PERLINDUNGAN HUKUM DAN PERTANGGUNGJAWABAN PENYIDIK POLRI ...
PERANAN PENYIDIK DALAM PENANGGULANGAN TINDAK …digilib.unila.ac.id/31172/14/SKRIPSI TANPA BAB...
Transcript of PERANAN PENYIDIK DALAM PENANGGULANGAN TINDAK …digilib.unila.ac.id/31172/14/SKRIPSI TANPA BAB...
PERANAN PENYIDIK DALAM PENANGGULANGANTINDAK PIDANA PREMANISME
(Sudi Pada Kepolisian Sektor Tulang Bawang Udik)
(SKRIPSI)
Oleh:
RACHMAD SEPTIAWAN
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2018
ABSTRAK
PERANAN PENYIDIK DALAM PENANGGULANGANTINDAK PIDANA PREMANISME
(Sudi Pada Kepolisian Sektor Tulang Bawang Udik)
OlehRACHMAD SEPTIAWAN
Premanisme adalah pada perilaku seseorang atau sekelompok orang yangmembuat resah, tidak aman dan merugikan lingkungan masyarakat ataupun oranglain. Kepolisian sebagai aparat negara memiliki peran sangat penting terhadappenegakan hukum, seperti memberikan pelayanan, pemeliharaan keamanan danketertiban umum, serta penegakan hukumnya. Melihat beberapa kasus mengenaitindak pidana premanisme belum terlihat adanya peran maksimal yang dilakukanoleh kepolisian sebagai aparat hukum dalam menanggulangi kejahatanpremanisme. Permasalahan dalam skripsi ini adalah : Bagaimanakah upayakepolisian sektor Tulang Bawang Udik terhadap penanggulangan tindak pidanapremanisme?, Apakah faktor penghambat kepolisian sektor Tulang Bawang Udikdalam upaya penanggulangan tindak pidana premanisme?
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatansecara yuridis normatif dan pendekatan secara yuridis empiris. Narasumber padapenelitian ini terdiri dari Penyidik pada Kepolisian Sektor Tulang Bawang Udik,Polisi Satuan Reserse Kriminal Sektor Tulang Bawang Udik dan AkademisiHukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa : Peran Kepolisian SektorTulang Bawang Udik dalam melakukan upaya penanggulangan kejahatanpremanisme di kabupaten Tulang Bawang Udik yaitu dengan upaya persuasif,upaya persuasif tersebut dilakukan dengan melakukan pembinaan dan melakukanpendekatan dengan masyarakat.Apabila menimbulkan tindak pidana makakepolisian sektor Tulang Bawang Udik melakukan penegakkan hukum apabilaperbuatan yang dilakukan oleh premanisme tersebut memasuki ranah tindakpidana. Faktor penghambat Kepolisian Sektor Tulang Bawang Udik dalam upayapenanggulangan Preman di kabupaten Tulang Bawang Udik yaitu preman yangberada di Tulang Bawang Udik kebanyakan bukan warga dari daerah tersebutmelainkan dari luar, Preman tersebut melakukan aksinya di waktu yang tidakmenentu, Kurangnya pengawasan dan dukungan dari pihak keluarga yangmenyebabkan kurang efektifnya upaya penanggulangan kejahatan premanismeoleh pihak Kepolisian Sektor Tulang Bawang Udik.
Rachmad SeptiawanSaran dalam penelitian ini adalah sebaikya Kepolisian Sektor Tulang BawangUdik melakukan melakukan upaya preventif dan represif. Dalam upaya preventifpihak kepolisian sektor tulang bawang udik dapat melakukannya dengan caramengadakan kegiatan-kegiatan seperti operasi tertentu, razia, pembinaan, danpatroli rutin, sedangkan upaya represif pihak Kepolisian Sektor Tulang BawangUdik dapat melakukan tindakan penegakan hukum terhadap seseorang yangterbukti melakukan tindak pidana premanisme yang merugikan masyarakatsekitar.
Kata Kunci : Peranan Penyidik, Penanggulangan, Premanisme
PERANAN PENYIDIK DALAM PENANGGULANGANTINDAK PIDANA PREMANISME
(Studi Pada Kepolisian Sektor Tulang Bawang Udik)
Oleh :RACHMAD SEPTIAWAN
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai GelarSARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum PidanaFakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2018
RIWAYAT HIDUP
Rachmad Septiawan dilahirkan di Bandar Lampung pada 08
September 1996, sebagai anak kedua, buah hati pasangan
Bapak Dr. Iskandar Ali Alam, S.E., M.M dan Ibu Tuti
Hairani, S.E., M.M.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh penulis, yaitu:
1. TK MELATI PUSPA Bandar Lampung, diselesaikan tahun 2002
2. SD KARTIKA II-5 Bandar Lampung, diselesaikan tahun 2008
3. SMP AL-KAUTSAR Bandar Lampung, diselesaikan tahun 2011
4. SMA AL-KAUTSAR Bandar Lampung, diselesaikan tahun 2014
Penulis tercatat sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung pada
pertengahan Juli 2014. Dipertengahan tahun 2016 penulis memfokuskan diri
untuk lebih mendalami Hukum Pidana. Semasa Perkuliahan penulis bergabung
pada organisasi kampus sebagai anggota Barisan Intelektual Muda BEM FH
UNILA dan sebagai Sekretaris Dinas Seni dan Kekaryaan BEM FH UNILA. Pada
awal Tahun 2017 penulis mengabdikan diri guna mengaplikasikan ilmu yang telah
didapat selama perkuliahan dengan mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa
Bina Karya Utama Kecamatan Putra Rumbia Kabupaten Lampung Tengah.
MOTTO
Bergelap-gelaplah dalam Terang,
Berterang-teranglah dalam Gelap.
(Tan Malaka)
Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan selama
Ada komitmen untuk menyelesaikannya.
Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu
kaum, sampai mereka merubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri
(Q.S. Ar Ra’ad : 11)
PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan hati kupersembahkan karya skripsi kecilkuini kepada inspirasi terbesarku:
Ayahandaku Dr. Iskandar Ali Alam, S.E., M.M. dan Ibundaku TutiHairani, S.E., M.M.
Yang senantiasa membesarkan, mendidik,membimbing,berdoa,
berkorban dan mendukungku. Terimakasih untuk semua kasih sayangdan pengorbanannya serta setiap doa’nya yang selalu mengiringi
setiap langkahku menuju keberhasilan
Kakak dan adikku Adi Prima Putra, S.M., M.M. dan MuhammadFajri Assalam yang kusayangi dan kubanggakan dan terimakasih
atas motivasi dandoa untuk keberhasilanku.
Terima kasih atas kasih sayang tulus yang diberikan, semoga suatusaat dapat membalas semua budi baik dan nantinya dapat menjadi
anak yang membanggakan kalian.
Dosen Pembimbingku dan Dosen Pembahasku, terima kasih untukbantuan dan dukungannya dalam pembuatan skripsi ini.
Almamater Universitas Lampung Fakultas HukumTempat aku menimba Ilmu dan mendapatkan pengalaman berharga
yang menjadi awal langkahku meraih kesuksesan
SANWACANA
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang yang telah melimpahkan nikmat, Hidayah dan
Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tepat
waktu. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Suri Tauladan Rasulullah
Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat serta seluruh Umat Muslim.
Skripsi dengan judul “PERANAN PENYIDIK DALAM
PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PREMANISME” adalah salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini,
untuk itu saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan
untuk pengembangan dan kesempurnaan skripsi ini. Pada kesempatan kali ini,
penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M. P, selaku Rektor Universitas
Lampung.
2. Bapak Armen Yasir, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung beserta staf yang telah memberikan bantuan dan
kemudahan kepada Penulis selama mengikuti pendidikan;
3. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
sekaligus pembimbing satu yang telah meluangkan waktu untuk memberikan
bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam upaya penyusunan skripsi
ini;
4. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H. selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana
sekaligus pembimbing dua yang telah memberikan dorongan semangat dan
pengarahan kepada penulis dalam upaya penyusunan skripsi ini;
5. Ibu Dr. Nikmah Rosida, S.H., M.H. selaku pembahas satu dan juga penguji
utama yang telah memberikan masukan, saran dan pengarahannya dalam
penulisan skripsi ini.
6. Ibu Emilia Susanti, S.H., M.H. selaku pembahas dua yang telah memberikan
masukan, kritik, dan saran dalam penulisan skripsi ini;
7. Ibu Ati Yuniarti, S.H., M.H. selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah
memberikan bimbingan dan motivasi selama ini;
8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah meluangkan
waktu untuk selalu memberikan bimbingan, ilmu pengetahuan, dan juga
bantuannya kepada penulis serta kepada staf administrasi Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
9. Seluruh Karyawan Gedung A, Bude Siti, Pakde Misio, dan Bu Asuntuk selalu
mengingatkan penulis agar segera menyelesaikan studi, memberikan
masukan, dan motivasi dalam penulisan ini;
10. Narasumber dalam Penulisan skripsi ini Bapak IPTU. Aladin Effendi, S.H.
selaku Kepala Kepolisian Sektor Tulang Bawan Udik dan Ibu Dr. Erna Dewi,
S.H., M.H. selaku Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung yang telah sangat membantu dalam mendapatkan data yang
diperlukan dalam penulisan skripsi ini, terimakasih untuk semua kebaikan
dan bantuannya.
11. Kedua Orang Tuaku yang selalu menjadi inspirasi terbesar bagi penulis
Dr. Iskandar Ali Alam, S.E., M.M. dan Tuti Hairani, S.E., M.M., serta
seluruh keluarga besar Ali Manap dan Hambali. Terima kasih atas
dukungannya dan doanya;
12. Kakak dan adikku yang selalu membantu dan memberikan semangat
Adi Prima Putra, S.M., M.M dan Muhammad Fajri Assalam. Terima kasih
atas dukungan dan doanya;
13. Sahabat – sahabat seperjuangan yang selalu memberikan semangat dan
motivasi Rizki Adi Putra, Desriyanto dan Raka Prayoga Putra P, S.H.
Semoga Persahabatan dan persaudaraan kita kekal selamanya;
14. Sahabat-sahabat seperjuangan tugas akhir skripsi yang selalu membantu,
memberi masukan dan semangat kepada penulis Rangga Dwi Saputra, Reno
adytia CS, Fitria Ulfa, Siska Dwi Azizah Warganegara, S.H, Nadia Setyasari,
S.H, dan Riski Putri Aprilia semoga persahabatan dan persaudaraan kita tidak
hanya sampai disini;
15. Sahabat-sahabatku M. Wiryawan Saputra, Indra Amoza, Dimas Putra
Pamungkas, Rexzi Ananda, Rahmat Zulfikar, S.H, Darwin Ricardo, Gian
Apriliansyah, Raka Edwira, S.H, Randa Edwira, S.H, M. Khadafi Azwar,
S.H, Raka Salim, M Arrafi, S.H. dan Tim Hore, ORMAS 00, Team Push FBI,
Jalan-JalanOM, Pejuang Sarjana, BK Bersatu. Dan kawan-kawan semuanya
yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas doa dan
bantuannya;
16. Keluarga baruku KKN Desa Bina Karya Utama Kecamatan Putra Rumbia
Pak Fatur, Mas Rafi’i, Agum, Dika, Nando, Walfi, Marwansyah, Irvan, Uno
dan adik-adik di Desa Bina Karya Utama terima kasih atas 40 hari yang
sangat berharga dan pengalaman yang luar biasa dan tak akan terlupakan;
17. Kepada semua pihak yang terlibat yang tidak dapat disebutkan satu persatu,
penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuannya dalam
menyelesaikan skripsi ini;
18. Almamaterku tercinta, Universitas Lampung;
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas semua bantuan dan
dukungannya. Akhir kata atas bantuan, dukungan, serta doa dan semangat dari
kalian, penulis yang hanya mampu mengucapkan mohon maaf apabila ada yang
salah dalam penulisan skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan
keilmuan pada umumnya dan ilmu hukum khususnya hukum pidana.
Bandar Lampung, Maret 2018
Penulis
Rachmad Septiawan
DAFTAR ISI
Halaman
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup .............................................. 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................. 6
D. Kerangka Teori dan Konseptual .................................................. 7
E. Sistematika Penulisan .................................................................. 14
II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tindak Pidana Premanisme................................ 16
1. Pengertian Tindak Pidana ……………………………………. 16
2. Pengertian Premanisme……………………………………….. 23
B. Penegakan Hukum Pidana ……………………………………… 24
C. Tugas dan wewenang Kepolisian dalam Penyidikan .................... 28
D. Teori Peran …………………………............................................ 35
E. Teori Penanggulangan Kejahatan .................................................. 37
F. Teori Faktor Penghambat Penanggulangan Kejahatan……........... 44
III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah ..................................................................... 45
B. Sumber dan Jenis Data ................................................................. 45
C. Narasumber/Responden ............................................................... 47
D. Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data ...................... 47
E. Analisis Data ............................................................................... 48
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Peran Kepolisian terhadap Penanggulangan Tindak PidanaPremanisme ................................................................................... 49
B. Faktor Penghambat dalam Upaya Penanggulangan TindakPidana Premanisme ....................................................................... 73
V PENUTUP
A. Simpulan ....................................................................................... 77
B. Saran.............................................................................................. 78
DAFTAR PUSTAKA
1
I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan jaman sekarang ini tidak hanya membawa pengaruh besar pada
negara Indonesia melainkan berdampak pada perkembangan masyarakat, perilaku,
maupun pergeseran budaya dalam masyarakat. Terlebih lagi setelah masa
reformasi kondisi ekonomi bangsa ini yang semakin terpuruk, tidak hanya
mengalami krisis ekonomi namun berdampak juga pada krisis moral.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, maka salah satu peran kepolisian adalah memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat. Telah diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat
Kepolisian Resort dan Kepolisian Sektor.
Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyrakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya
keamanan dalam negeri. Dalam Pasal 2 dari Undang-Undang ini disebutkan
bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
2
perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat.
Kepolisian dalam hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai pengayom
masyarakat mempunyai peran yang sangat besar dalam upaya penanggulangan
terhadap premanisme. Pihak kepolisian yang begitu dekat dengan masyarakat
diharapkan mampu mengambil tindakan yang tepat dalam menyikapi fenomena-
fenomena preman di masyarakat. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari
partisipasi seluruh masyarakat untuk membantu pihak kepolisian dalam
mengungkap aksi-aksi preman yang terjadi di sekeliling mereka. Operasi yang
dilakukan pihak kepolisian terhadap para pelaku preman yang pada umumnya
hanya menangkap kemudian melepaskannya lagi sama sekali tidak
mendatangkan manfaat bagi pemberantasan preman.
Pemikiran ini kiranya dapat dijadikan bahan pemikiran bagi para pengambil
kebijakan baik di tingkat pusat maupun di daerah. Sehingga harapan kita tentang
kondisi masyarakat yang nyaman, aman, dan tertib dapat tercapai. Terjadinya
peningkatan kepadatan penduduk, jumlah pengangguran yang semakin
bertambah, didukung dengan angka kemiskinan yang tinggi mengakibatkan
seseorang tega untuk berbuat jahat. Karena desakan ekonomi, banyak orang yang
mengambil jalan pintas dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
uang. Masalah ini menyebabkan semakin tingginya angka kriminalitas terutama
di daerah urban yang padat penduduk1.
Salah satu fenomena kejahatan yang terjadi dalam masyarakat saat ini adalah
praktik atau aksi premanisme di kalangan masyarakat. Praktek preman memang
1 Dikutip dari Andreas Kusumo, Referensi Untuk Pembuatan Skripsi Hukum Terbaik danTerlengkap, http://petirskripsihukum.blogspot.com diakses pada 9 oktober 2017
3
bisa tumbuh di berbagai lini kehidupan manusia. Secara sosiologis, munculnya
preman dapat dilacak pada kesenjangan yang terjadi dalam struktur masyarakat.
Kesenjangan disini bisa berbentuk material dan juga ketidaksesuaian wacana
dalam sebuah kelompok dalam struktur sosial masyarakat. Disini yang disebut
masyarakat (society) dapat dimaknai sebagai arena perebutan kepentingan antar
kelompok (class), dimana masing-masing ingin agar kepentingannya menjadi
referensi bagi masyarakat.
Praktik preman juga masuk kedalam dunia politik yang sarat akan kepentingan
tertentu. Di dunia politik, tidak jarang preman dan budaya berdiri di atas hukum
malah lebih kasat mata dibanding dunia lain. Partai-partai politik utama, baik
dari jaman orde baru sampai era reformasi sekarang, memiliki elemen
barisan muda pendukung yang secara khusus cenderung diarahkan untuk tujuan
intimidatif.
Tindak Pidana Premanisme yang terjadi di tengah-tengah masyarakat khususnya
di Tulang Bawang Udik adalah pengeroyokan dan perusakan. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah memuat pasal yang mengatur
tentang tindak pidana pengeroyokan dan perusakan, aturan tersebut terdapat pada
Pasal 170 KUHP yaitu perbuatan yang dengan terang-terangan dan tenaga
bersama melakukan kekerasan terhadap orang yang menyebabkan luka-luka dan
barang yang menyebabkan perusakan barang dengan ancaman pidana penjara
paling lama lima tahun enam bulan.
Contoh kasus terjadinya tindak pidana premanisme khususya di Tulang Bawang
Barat yaitu, telah terjadi aksi premanisme yang mengakibatkan tiga orang tewas.
4
Ketiga warga diketahui bernama Komang Suparte (36). Warga Kampung Sangkar
Buana, Kecamatan Seputih banyak, Lampung Tengah dan Ketut Sartono (30),
warga Terang Sakti, Kecamatan Gunung Terang, Tulang Bawang Barat. Korban
terakhir adalah Supardi (51), warga Mekar Jaya, Kecamatan Gunung Agung,
Tulang Bawang Barat. Peristiwa ini terjadi akibat persengketaan lahan di hutan
tanaman industri yang diklaim warga. Sebelum korban tewas, kawanan preman
kelompok Irawan cs mengajak ketiga korban untuk berpesta minuman keras.
Setelah ketiga nya mabuk, para pelaku langsung menghabisi nyawa korban.2
Selain sengketa lahan, kawanan preman itu juga sering memeras terhadap warga
pada saat panen singkong yang menyebabkan 2 orang tewas yang memicu
bentrok antarwarga. Permasalahan disana bukan mengenai SARA, tetapi murni
warga Lampung, Bali dan Jawa yang melawan preman dikarenakan preman
menindas dan memalak para petani.3
Aparat Penegak hukum memiliki peran yang penting sebagai jembatan
pelaksanaan suatu aturan (Sollen) agar dapat diimplementasikan dalam kehidupan
sosial, dimana dalam kenyataannya (Sein),dapat dikaji sejauh manakah
pelaksanaan itu di terapkan. Dalam proses pelaksanaan mekanisme hukum,
timbul dua variabel penting, yaitu hak dan kewajiban, dimana pelaksanaan
hukum pada masyarakat berlaku secara umum kepada setiap warga negara,
dengan adil, proporsional dan tidak diskriminatif.4
2 http://news.okezone.com/read/2016/03/12/340/1333921/kronologi-bentrok-yang-menewaskan-tiga-orang-warga-di-lampung diakses pada tanggal 10 agustus 20173http://www.tribunnews.com/regional/2016/03/17/bentrok-di-tulang-bawang-barat-bukti-perlawanan-petani-terhadap-preman diakses pada 10 agustus 20174 Budi Rizki H, dan Rini Fathonah, Studi Lembaga Penegak Hukum, Bandar Lampung: JusticePublisher. 2014. Hlm 19.
5
Kepolisian sebagai aparat negara memiliki peran sangat penting terhadap
penegakan hukum, seperti memberikan pelayanan, pemeliharaan keamanan dan
ketertiban umum, serta penegakan hukumnya. Melihat beberapa kasus mengenai
tindak pidana premanisme tersebut, terlihat belum adanya peran maksimal yang
dilakukan oleh kepolisian sebagai aparat hukum dalam menanggulangi kejahatan
premanisme. Akibat sering terjadinya tindak pidana premanisme akan membawa
dampak negatif yang menimbulkan keresahan serta kekhawatiran masyarakat
dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul Peranan Penyidik dalam Penanggulangan Tindak Pidana
Premanisme (studi pada Kepolisian Sektor Tulang Bawang Udik).
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimanakah upaya penyidik sektor Tulang Bawang Udik terhadap
penanggulangan tindak pidana premanisme?
2. Apakah faktor penghambat penyidik sektor Tulang Bawang Udik dalam
upaya penanggulangan tindak pidana premanisme?
2. Ruang Lingkup
Berdasarkan latar belakang, maka ruang lingkup penelitian skripsi ini termasuk
kajian hukum pidana mengenai upaya penanggulangan tindak pidana premanisme
6
dan dibatasi pada peran kepolisian terhadap penanggulangan tindak pidana yang
dilakukan oleh preman di wilayah hukum Kepolisian Sektor Tulang Bawang
Udik. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2017 dengan lokasi penelitian di
Kepolisian Sektor Tulang Bawang Udik.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan
Berdasarkan permasalahan di dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian skripsi
antara lain:
1. Untuk memperoleh deskripsi lengkap, jelas dan rinci mengenai peran
kepolisian terhadap penanggulangan tindak pidana yang dilakukan oleh
preman.
2. Untuk memperoleh deskripsi lengkap, jelas dan rinci mengenai faktor
penghambat dalam upaya penanggulangan tindak pidana yang dilakukan
oleh preman.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan
praktis:
1. Kegunaan teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sekedar sumbangan
pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pada umumnya,
perkembangan hukum pidana, pembuat undang-undang serta akademisi
7
khususnya mengenai peran kepolisian terhadap penanggulangan tindak
pidana premanisme.
2. Kegunaan Praktis
Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
pemerintah, penegak hukum, serta pemahaman masyarakat mengenai
peran kepolisian terhadap penanggulangan tindak pidana premanisme.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi
dari pemikiran atau kerangk acuan yang pada dasarnya berguna untuk
mengadakan identifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh
peneliti.
Menurut Soerjono Soekanto, Peran adalah tindakan yang dilakukan oleh
seseorang dalam suatu peristiwa. Selanjutnya menurut Soerjono Soekanto, peran
terbagi menjadi:
a. Peranan yang seharusnya (expected role)
Peran yang seharusnya adalah peran yang dilakukan seseorang atau
lembaga yang didasarkan pada seperangkat norma yang berlaku pada
kehidupan masyarakat.
b. Peranan ideal (Ideal role)
Peranan ideal adalah peranan yang dilakukan seseorang atau lembaga
yang didasarkan pada nilai-nilai ideal yang seharusnya dilakukan sesuai
8
dengan kedudukannya dalam suatu sistem.
c. Peranan yang sebenarnya dilakukan (Actual Role)
Peranan yang dilakukan seseorang atau lembaga yang didasarkan pada
kenyataan secara kongkrit di lapangan atau masyarakat sosial yang terjadi
secara nyata.5
Penanggulangan kejahatan mempunyai dua cara yaitu preventif dan represif.
1. Tindakan Preventif
Tindakan preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau
menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan. Menurut A. Qirom
Samsudin M, dalam kaitannya untuk melakukan tindakan preventif adalah
mencegah kejahatan lebih baik daripada mendidik penjahat menjadi baik
kembali, sebab bukan saja diperhitungkan segi biaya, tapi usaha ini lebih
mudah dan akun mendapat hasil yang memuaskan atau mencapai tujuan.6
Bonger berpendapat cara menanggulangi kejahatan adalah:
a. moralistik yaitu menyebarluaskan sarana-sarana yang dapat
memperteguhkan moral seseorang agar dapat terhindar dari nafsu
berbuat jahat.
b. Abalionistik yaitu berusaha mencegah tumbuhnya keinginan
kejahatan dan meniadakan faktor-faktor yang terkenal sebagai
penyebab timbulnya kejahatan, misalnya memperbaiki ekonomi
(pengangguran,kelaparan), memperbaiki peradaban, dan lain-lain.
5 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan hukum. Jakarta: RajawaliPers.2012.hlm 20.6 A. Qirom Samsudin Meliala, Eugenius Sumaryono. Kejahatan Anak Suatu Tinjauan Dari segiPsiologis dan Hukum. Yogyakarta: Liberti. 1985. Hlm 46.
9
Berusaha melakukan pengawasan dan pengontrolan terhadap kejahatan dengan
berusaha mencipatakan;
a. Sistem organisasi dan perlengkapan kepolisian yang baik
b. Sistem peradilan yang objektif
c. Hukum (perundang-undangan) yang baik.7
2. Tindakan Represif
Tindakan Represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur
penegak hukum sesudah terjadinya tindakan pidana.8Tindakan ini dapat
dipandang sebagai pencegahan untuk masa yang akan datang. Tindakan ini
meliputi cara aparat hukum dalam melakukan penyidikan, penyidikan
lanjutan, penuntutan pidana, pemeriksaan di pengadilan, eksekusi, dan
seterusnya sampai pembinaan narapidana.
Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan,
dalam arti:
a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial;
b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan
dengan penal dan non penal.9
Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa “modern criminal case” terdiri dari tiga
komponen “Criminology”, “Criminal Law”, dan “Penal Policy”. dikemukakan
olehnya, bahwa “Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada
7 Bonger. Pengantar tentang Kriminologi. Jakarta: PT. Pembangunan Ghalia Indonesia. 1981. Hlm15.8 Soedjono Dirdjosisworo. Penanggulangan Kejahatan (Crime Prevention). Bandung: alumni.1976. Hlm. 32.9 Barda nawawi Arif. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra AdityaBakti.2002. hlm.4.
10
akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum
positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya
kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan untuk
menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana
putusan pengadilan. Penggunaan upaya “penal” (sanksi/hukum pidana) dalam
mengatur masyarakat (lewat perundang-undangan) pada hakikatnya merupakan
bagian dari suatu langkah kebijakan “policy”.10
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum
maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “politik hukum” adalah:
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengankeadaan dari situasi pada suatu saat.
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untukmenetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisadigunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalammasyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.11
Menurut A. Mulder, “strafrechtpolitiek” ialah garis kebijakan untuk menentukan:
a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah ataudiperbarui;
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;c. Cara bagaimana pendidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan
pidana harus dilaksanakan.12
Definisi mulder diatas, bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana” menurut
Marc Ancel yang menyatakan, bahwa setiap masyarakat yang terorganisir
memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari: (a) peraturan-peraturan hukum
pidana dan sanksinya, (b) suatu prosedur hukum pidana, dan (c) suatu mekanisme
pelaksanaan (pidana).
10 Barda nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan HukumPidana. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2005, hlm. 75.11 Ibid. hlm 24.12 Ibid. hlm 26.
11
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada
hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi
kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal.
Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum
pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan
hukum pidana”.
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum
pidana). Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum
pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement
policy).
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal
(hukum pidana) ialah masalah penentuan:
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si
pelanggar.
Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama
diatas, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang
pada intinya sebagai berikut:
a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunannasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang meratamateril spiritual berdasarkan pancasila; sehubungan dengan ini maka(penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatandan mengadakan pencegahan terhadap tindakan penanggulangan itusendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
12
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi denganhukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaituperbuatan yang mendatangkan kerugian (materil dan atau spiritual) ataswarga masyarakat.
c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biayadan hasil (cost and benefit principle).
d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas ataukemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangansampai ada kelampauan beban tugas (overblasting).13
Kemampuan G.P. Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat di tempuh
dengan:
a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);
b. Pencegahan tanpa pidana (Prevention without punishment);
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan melalui media massa (influencing views of society crime and
punishment/mass media).
Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi 2 (dua), yaitu
melalui jalur “penal” (hukum pidana) dan jalur “non penal” (bukan/diluar hukum
pidana). Menurut pendapat G. P. Hoefnagels pada butir (b) dan (c) merupakan
upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non penal. Upaya penanggulangan
kejahatan lewat jalur “penal” menitikberatkan pada sifat “repressive”
(penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan
jalur “non penal” lebih menitikberatkan pada “preventive”
(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.14
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih
bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya
13 Ibid. hlm 36.14 Ibid. hlm 42.
13
adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-
faktor kondusif tersebut antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-
kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau
tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan
demikian, dilihat dari sudut politik hukum kriminal secara makro dan global
maka upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan
upaya politik kriminal.
Soerjono soekanto berpendapat bahwa ada beberapa faktor penghambat upaya
penanggulangan kejahatan, yaitu:
a. Faktor hukumnya itu sendiri atau peraturan itu sendiri
b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
c. Faktor saran atau fasilitas yang mendukung penegak hukum.
d. Faktor masyarakat yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut
diterapkan.
e. Faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta rasa yang didasarkan
pada karya manusia didalam pergaulan hidup.15
2. Kerangka konseptual
Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan
antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan
dengan istilah yang ingin atau yang akan diteliti.16
15 Soerjono Soekanto. Op.Cit. hlm. 8.16 Soerjono Soekanto. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali Pers.1986. hlm 132.
14
Adapun bahasan batasan tersebut adalah:
a. Peran adalah tindakan yang dilakukan seseorang atau lembaga dala suatuperistiwa.17
b. Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi danlembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.18
c. Penanggulangan adalah perlindungan masyarakat untuk kesejahteraanmasyarakat.19
d. Tindak pidana adalah adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturanhukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapayang melanggar larangan tersebut.20
e. Preman/premanisme secara etimologis, kata preman berasal dari kata free-man yang berarti orang bebas, orang yang merdeka atau tidak terikat olehaturan. Sedangkan premanisme merupakan praktek atau kegiatan yangdilakukan oleh orang yang jahat (rampok dan sebagainya).
E. Sistematika Penulisan
Penelitian ini menggunakan sistematika penulisan yang sistematis untuk
membahas permasalahan yang telah ditetapkan. Untuk mengetahui keseluruhan
isi dari penulisan skripsi ini, maka dibuat suatu susunan sistematika secara garis
besar sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Bab pendahuluan menguraikan tentang latar belakang, permasalahan, dan ruang
lingkup. Selain itu di dalam bab ini memuat tujuan, kegunaan penelitian,
kerangka teoritis dan kerangka konseptual serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab tinjauan pustaka merupakan pengantar yang menguraikan tentang
pengertian-pengertian umum dari peran kepolisian terhadap penanggulangan
tindak pidana premanisme.
17 Soerjono Soekanto. Op.Cit. hlm 20.18 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 200219 Barda Nawawi Arief. Op. Cit. hlm 2.20 Bambang Poernomo. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1992. Hlm 130.
15
III. METODE PENELITIAN
Dalam bab ini penulis menjabarkan tentang pendekatan masalah, sumber, jenis
data, prosedur pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan penjelesan dan pembahasan mengenai permasalahan yang ada
yaitu peran kepolisian terhadap penanggulangan tindak pidana premanisme serta
apa saja faktor penghambat dalam upaya penanggulangan tindak pidana
premansime.
V. PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan yang berisikan kesimpulan dan
saran-saran penulis.
16
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tindak Pidana Premanisme
1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis
normatif)21. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah
perbuatan seperti in-abstracto dalam pengaturan pidana. Sedangkan kejahatan
dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang
hidup di masyarakat secara konkrit. Mengenai pengertian tindak pidana (
stafbaarfeit) beberapa sarjana memberikan pengertian yang berbeda yaitu
menurut Moeljono “Perbuatan pidana (tindak pidana) adalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.22
Menurut Vos tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh
peraturan undang-undang, jadi suaatu kelakuan yang pada umumnya dilarang
dengan ancaman pidana.23 Sedangkan tindak pidana menurut ahli hukum pidana
lainnya, seperti menurut Tongat adalah perbuatan yang dilarang suatu aturan
21 Tri Andrisman. Buku Ajar Hukum Pidana. Bandar Lampung, 2011. Hlm. 69.22 Moeljono “perbuatan pidana (tindak pidana) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturanhukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapamelanggar laeangan tersebut”. 1987. hlm.5423 Vos tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia diancam oidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana(BambangPernomo),1981. hlm.86
17
hukum, larangan yang mana disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu
bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Adapun unsur-unsur tindak
pidana yaitu :
a. Perbuatan (manusia)
b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil)
c. Bersifat melawan hukum obyektif dan subyektif (syarat materiil).24
Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana,
barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Berdasarkan pengertian
diatas, maka dapat dipahami bahwa pengertian pidana dan tindak pidana pada
hakekatnya pidana merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa akibat-
akibat lain yang tidak menyenangkan sedangkan tindak pidana adalah suatu
perbuatan yang dilakukan seseorang sengaja maupun tidak sengaja oelh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan yang dilakukannya.25
1. Berdasarkan unsur subjektif :
a. Orang yang mampu bertanggung jawab
b. Adanya kesalahan, perbuatan ini harus dilakukan dengan kesalahan,
kesalahan ini dapat berhubungan dengan dari perbuatan dan keadaan
mana perbuatan itu dilakukan.
2. Berdasarkan Unsur Objektif :
a. Perbuatan manusia
b. Akibat yang kelihatan dari pebuatan tersebut
24 Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, UUM Press,Malang, 2008, hlm.3925 Ibid, hlm.42
18
c. Mungkin keadaan tertentu yang menyertai pebuatan itu (seperti dalam
pasal 281 KUHP)
Tindak pidana atau yang dikenal dengan strafbaar feit adalah tindakan orang
yang dirumuskan dengan WET yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidan
dan dilakukan dengan kesalahan. Unsur-unsur tindak pidana :
a. Perbuatan manusia
b. Yang dirumuskan dalam Undang-Undang
c. Dilakukan dengan kesalahan
d. Patut dipidana
Pengertian strafbaar feit dibedakan secara definisi yang bersifat teoritis dan yang
bersifat Undang-Undang. Strafbaar feit merupakan suatu pelanggaran terhadap
norma yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana
untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
Menurut Undang-Undang hukum positif, strafbaar feit adalah suatu kejadian
(feit) yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan
yang dapat dihukum.26
Konsep KUHP 2008 pengertian tindak pidana telah dirumuskan dalam pasal 11
ayat (1) sebagai berikut: Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Pengertian tindak pidana menurut istilah adalah terjemahan paling umum untuk
26 Bambang Purnomo, Teori Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hlm.51
19
istilahh “starfbaar feit” dalam bahasa Belanda walaupun secara resmi tidak ada
terjemahan resmi strafbaar feit. Pendapat beberapa ahli tentang pengertian tindak
pidana, yaitu: Pengertian Tindak Pidana menurut Simons ialah suatu tindakan
atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana,
bertentangan dengan hukum pidana dan dilakukan dengan kesalahan oleh
seseorang yang mampu bertanggung jawab.
Menurut Pompe, Pengertian Tindak Pidana adalah Suatu pelanggaran norma
(gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak
sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman
trhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminnya kepentingan hukum.
Menurut Simons, Pengertian Tindak Pidana merupakan tindakan melanggar
hukum pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-
undang hukum pidana telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum.
Sementara itu, Moeljatno meyatakan bahwa Pengertian Tindak Pidana berarti
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap siapa saja yg
melanggar larangan tersebut. Perbuatan tersebut harus juga dirasakan oleh
masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicita-citakan oleh
masyarakat.
Van Hmamel juga sependapat dengan rumusan tindak pidana dari simons, tetapi
menambahkan adanya “sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum”.
20
Jadi, pengertian tindak pidana menurut Van Hamael meliputi lima unsur, sebagai
berikut :
1. Diancam dengan pidana oleh hukum,
2. Bertentangan dengan hukum,
3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (schuld),
4. Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya,
5. Sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpukan bahwa Pengertian tindak pidana
adalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang dapat bertanggung jawab
yang mana perbuatan tersebut dilarang atau diperintahkan atau dibolehkan oleh
undang-undang hukum pidana yang diberi sanksi berupa sanksi pidana. Untuk
membedakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan tindak
pidana ialah apakah perbuatan tersebut diberi sanksi pidana atau tidak
diberi sanksi pidana.
Pengertian diatas dapat dianalisis bahwa pengertian tindak pidana itu sendiri
adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh sesorang dimana orang tersebut
dapat dimintai pertanggungjawaban atas segala tindakannya tersebut. Tindakan
atau perbuatan yang dilakukan tersebut adalah perbuatan yang melawan dan
melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga perbuatan
dapat diancam dengan suatu pemidanaan yang bertujuan untuk membeikan efek
jera bagi individu yang melakukan perbuatan tersebut.
21
Unsur-unsur formal tindak pidana meliputi :
Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak berbuat yang
termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia. Melanggar peraturan pidana.
dalam artian bahwa sesuatu akan dihukum apabila sudah ada peraturan pidana
sebelumnya yang telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat
menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan dengan suatu peraturan pidana,
maka tidak ada tindak pidana.
Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP mengatur tentang
hukuman yang berbeda berdasarkan tindak pidana yang telah
dilakukan. Dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana unsur-unsur kesalahan
yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan dari orang yang melakukan
tindak pidana serta Orang tersebut berbuat sesuatu dengan sengaja, mengetahui
dan sadar sebelumnya terhadap akibat perbuatannya. Kesalahan dalam arti sempit
dapat diartikan kesalahan yang disebabkan karena si pembuat kurang
memperhatikan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.
Pertanggungjawaban yang menentukan bahwa orang yang tidak sehat ingatannya
tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Dasar dari pertanggungjawaban
seseorang terletak dalam keadaan jiwanya. Unsur material dari tindak pidana
bersifat bertentangan dengan hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh
masyarakat sehingga perbuatan yang tidak patut dilakukan. Jadi meskipun
perbuatan itu memenuhi rumusan undang-undang, tetapi apabila tidak bersifat
melawan hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana.
Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan dalam dua
22
macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur
yang terdapat di luar diri pelaku tindak pidana. Unsur ini meliputi :
perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau kelakuan manusia itu
ada yang aktif (berbuat sesuatu), misal membunuh (Pasal 338 KUHP),
menganiaya (Pasal 351 KUHP).
Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini terdapat dalam delik
material atau delik yang dirumuskan secara material, misalnya pembunuhan
(Pasal 338 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP), dan lain-lain. Ada unsur
melawan hukum. Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
oleh peraturan perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan
hukum, meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam perumusan.
Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana Ada beberapa tindak pidana yang
untuk mendapat sifat tindak pidanya itu memerlukan hal-hal objektif yang
menyertainya, seperti penghasutan (Pasal 160 KUHP), melanggar kesusilaan
(Pasal 281 KUHP), pengemisan (Pasal 504 KUHP), mabuk (Pasal 561 KUHP).
Tindak pidana tersebut harus dilakukan di muka umum.
Unsur yang memberatkan tindak pidana. Hal ini terdapat dalam delik-delik yang
dikualifikasikan oleh akibatnya, yaitu karena timbulnya akibat tertentu, maka
ancaman pidana diperberat, contohnya merampas kemerdekaan seseorang (Pasal
333 KUHP) diancam dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun, jika
perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat ancaman pidana diperberat lagi
menjadi penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. Unsur tambahan yang
23
menentukan tindak pidana. Misalnya sukarela masuk tentara asing, padahal
negara itu akan berperang dengan Indonesia, pelakunya hanya dapat dipidana jika
terjadi pecah perang (Pasal 123 KUHP).
2. Pengertian Premanisme
Premanisme berasal dari kata bahasa Belanda vrijman yang diartikan orang
bebas, merdeka dan kata isme yang berarti aliran. Premanisme adalah sebutan
pejoratif yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok
orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok
masyarakat lain.27
Istilah preman penekannya adalah pada perilaku seseorang yang membuat resah,
tidak aman dan merugikan lingkungan masyarakat ataupun orang lain. Menurut
ketua Presidium Indonesia Police Watch, NetaS.Pane, setidaknya ada empat
model preman yang ada di Indonesia, yaitu:
1. Preman yang tidak terorganisir. Mereka bekerja secara sendiri-sendiri,atau berkelompok, namun hanya bersifat sementara tanpa memiliki ikatantegas dan jelas;
2. Preman yang memiliki pimpinan dan mempunyai daerah kekuasaan;3. Preman terorganisir, namun anggotanya yang menyetorkan uang kepada
pimpinan;4. Preman berkelompok, dengan menggunakan bendera organisasi.28
Perilaku premanisme dan kejahatan jalanan merupakan masalah sosial yang
berawal dari sikap mental masyarakat yang kurang siap menerima pekerjaan yang
dianggap kurang bergengsi. Premanisme di Indonesia sudah ada sejak jaman
penjajahan kolonial Belanda, selain bertindak main hakim sendiri, para pelaku
27 http://id.wikipedia.org/wiki/premanisme. diakses pada tanggal 29 Oktober 201728 Andi Hamzah, 1994. Asas-asas Hukum Pidana. hal. 40.
24
premanisme juga telah memanfaatkan beberapa jawara lokal untuk melakukan
tindakan premanisme tingkat bawah yang pada umumnya melakukan kejahatan
jalanan (street crime) seperti pencurian dengan ancaman kekerasan (Pasal 365
KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), pemerkosaan (Pasal 285 KUHP),
penganiayaan (Pasal 351 KUHP), melakukan tindak kekerasan terhadap orang
atau barang dimuka umum (Pasal 170 KUHP) bahkan juga sampai melakukan
pembunuhan (Pasal 338 KUHP), perilaku Mabuk dimuka umum (Pasal 492
KUHP), yang tentunya dapat mengganggu ketertiban umum serta menimbulkan
keresahan di masyarakat.29
B. Penegakan Hukum Pidana
Penegakan hukum merupakan upaya aparat yang dilakukan untuk menjamin
kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan
globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum
selalu menjaga keselarasan dan keserasian antara moralisasi sipil yang didasarkan
oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradap. Sebagai suatu proses
kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka
pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana
sebagai sistem peradilan pidana.30
Penegakan hukum adalah suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan secara
rasional, memenuhi rasa keadilan dan berdaya guna. Dalam rangka
menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat
29 Munadi Afrizal, Tinjauan Kriminologis Timbulnya Premanisme Di Bandar Lampung, Lampung:Skripsi bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, 2013.30 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan danPenegakanHukum dalam Batas-batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta,1994,hlm.76.
25
diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum
pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana
pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan
politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil
perundang-udangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.31
Secara umum dilihat dari segi fungsional, pengoperasian, dan penegakan
sanksi pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan agar benar-benar
dapat terwujud harus melalui beberapa tahap, yaitu:
1. Tahap Formulasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh
badan pembuat undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang
melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan
situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam
bentuk perundang-undangan untuk mencapai hasil perundang-undangan
yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.
tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif.
2. Tahap Aplikasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan
hukum pidana) oleh aparat-aparat penegak hukum bertugas menegakan
serta menerapkan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh
pembuat undang-undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak
hukum harus berpegangan teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna
tahap ini dapat disebut sebagai tahap yudikatif.
3. Tahap Eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) hukum secara
31 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm.109
26
konkret oleh aparat-aparat pelaksanaan pidana. Dalam tahap ini aparat-
aparat pelaksanaan pidana bertugas menegakan peraturan perundang-
undangan pidana yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan. Dalam
melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam putusan
pengadilan, aparat-aparat pelaksanaan pidana itu dalam melaksanakan
tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan
pidana yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai keadilan
suatu daya guna.
Ketiga tahap kebijakan penegakan hukum pidana tersebut terkandung tiga
kekuasaan atau kewenangan yaitu, kekuasaan legislatif pada tahap, yaitu
kekuasaan legislatif dalam menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang
dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat apa yang dapat dikenakan. Pada tahap
ini kebijakan legislatif ditetapkan system pemidanaan, pada hakekatnya
merupakan sistem kewenangan atau kekuasaan menjatuhkan pidana. Yang kedua
adalah kekuasaan yudikatif pada tahap aplikasi dalam menerapkan hukum
pidana, dan kekuasaan eksekutif pada tahap eksekusi dalam hal melaksanakan
hukum pidana.32
Berdasarkan paparan diatas bahwa penegakan hukum pidana merupakan suatu
upaya yang diterapkan guna mencapai tujuan dari hukum itu sendiri. Tujuan
pembentukan hukum tidak terlepas dari politik hukum pidana yang terdiri dari
tiga tahap, yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi. Tahap
formulasi mengandung arti pembuat undang-undang melakukan kegiatan
memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan masa
32 Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan PengembanganHukum Pidana, PT. Citra AdtyaBakti, Bandung, 2005, hlm. 30.
27
yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan
perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana
yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Setelah
terbentuknya suatu perundang-undangan yang baik maka akan masuk ke dalam
tahap aplikasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum
pidana) oleh aparat Kepolisian sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat
penegak hukum bertugas menegakan serta menerapkan peraturan perundang-
undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang. Dalam
melaksanakan tugas ini aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada
nilai-nilai keadilan dan daya guna.33
Setelah itu tahap terakhir yaitu, tahap eksekusi artinya penegakan (pelaksanaan)
hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksanaan pidana. Dalam tahap aparat
pelaksanaan pidana bertugas menegakan peraturan perundang-undangan pidana
yang telah dibuat pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah
ditetapkan dalam putusan pengadilan.
Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan
perlindungan hukum pada era moderenisasi dan globalisasi saat ini dapat
terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga
keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang
didasarkan oleh nili-nilai actual di dalam masyarakat beradap. Sebagai proses
kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam rangka
pencapaian tujuan adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana
33 Shafrudin, Politik Hukum Pidana, B.Lampung, Universitas Lampung, 1998, hlm.4.
28
sebagai suatu sistem peradilan pidana.
Negara Indonesia adalah negara hukum, maka setiap orang yang melakukan
tindak pidana harus mempertanggungjawabakan perbuatannya melalui proses
hukum. Penegakan hukum mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana larangan
tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu sebagai
pertanggungjawabannya. Dalam hal ini ada hubungannya dengan legalitas, yang
mana tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan telah diatur dalam undang-
undang, maka bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut sudah diatur
dalam undang-undang, maka bagi oara pelaku dpat dikenai sanksi atau hukuman,
sedangkan ancaman pidananya ditunjukan kepada orang yang
menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula.34
C. Tugas dan Wewenang Kepolisian
Tugas dan wewenang kepolisian diatur dalam pasal 13-19 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002, berdasarkan ketentuan pasal 13-19 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah
sebagai berikut:
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
34 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rienka Cipta, Jakarta, 2001, hlm.15
29
Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakkan hukum; dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
Kepolisian Republik Indonesia bertugas:
a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroliterhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakatterhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanaan umum;f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentukpengamanan swakarsa;
g. Melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai denganhukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingantugas kepolisian; melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda,masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/ataubencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan denganmenjunjung tinggi hak asasi manusia;
i. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelumditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
j. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengankepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
k. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimakus dalam ayat (1)
30
huruf diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalampasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umumberwenang:a. Menerima laporan dan/atau pengaduan;b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum;c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan
administratif kepolisian;f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan
kepolisian dalam rangka pencegahan;g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;i. Mencari keterangan dan barangbukti;j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;k. Mengeluarkan izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam
rangka pelayanan masyarakat;l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan
putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturanperundang-undangan lainnya berwenang:a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan
kegiatan masyarakat lainnya;b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;e. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan
peledak, dan senjata tajam;f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap
badan usaha di bidang jasa pengamanan;g. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian
khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang tekniskepolisian;
h. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidikdan memberantas kejahatan internasional;
i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing
31
yang berada di wilayah Indonesia dengna koordinasi instansi terkait;j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian
internasional;k. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam ruang lingkup
tugas kepolisian.
3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaiman dimaksud dalam ayat (2)
huruf a dan d diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalamPasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara RepublikIndonesia berwenang untuk :a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat
kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan;d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan
serta memeri ksa tanda pengenal diri;e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;h. Mengadakan penghentian penyidikan;i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi
yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaanmendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orangyang disangka melakukan tindak pidana;
k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidikpegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidikpegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
2) Tindakan lain sebagaiamana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah
tindakan penyidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi
syarat sebagai berikut:
32
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilakukan;c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dane. Menghormati hak asasi manusia.
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
“Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia menjalankan tugas dan
wewenanganya diseluruh wilayah negara Republik Indonesia, khususnya
di daerah hukum pejabat yang bersangkutan ditugaskan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.”
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesiadalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurutpenilaiannya sendiri.
2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapatdilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikanperaturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian NegaraRepublik Indonesia.
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
1) Dalam melaksanakan tugas wewenangnnya, pejabat Kepolisian NegaraRepublik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum danmengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjungtinggi hak asasi manusia.
2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalamayat (1), Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakanpencegahan.35
35 Pasal 13-19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
33
Pada ketentuan Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa
“Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan”.Dari hal tersebut, dapat dikatakan secara tegas bahwa
fungsi dan ruang lingkup “penyidik” adalah untuk melakukan “penyidikan”.
Pada ketentuan Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
dijelaskan bahwa penyidikan merupakan “serangkaian tindakan penyidik dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.Penyidikan merupakan tahapan
penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan tahapan
permulaan yang mencari ada atau tidaknya tindak pidana dalam suatu
peristiwa.Ketika diketahui ada tindak pidana yang terjadi, maka saat itulah
penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan.Pada tindakan
penyelidikan, hal yang ditekankan adalah pada tindakan mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindakan pidana.Sedangkan
pada penyidikan, penekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta
mengumpulkan bukti.Penyidikan bertujuan membuat terang suatu tindak pidana
yang ditemukan dan juga menentukan pelakunya.
Unsur-unsur yang terkandung pada pengertian penyidikan antara lain:36
36 Dikutip dari: http://digilib.unila.ac.id/4224/12/BAB%20II.pdf diakses pada tanggal 6 September2017.
34
a. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung tindakan-
tindakan yang antara satu dan lainnya saling berhubungan.
b. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik.
c. Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
d. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan
bukti tersebut membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi, dan dapat
menemukan tersangkanya.
Kepolisian dalam melakukan proses penyidikan tindak pidana banyak hal yang
harus dipenuhi atau di lakukan, dalam menangani perkara pidana kebutuhan
antara lain:
a. Kecermatan dengan ketepatan setiap membuat dokumen yang berkaitan
dengan perkara yang ditangani dengan perkara yang ditangani.
b. Hati-hati dengan teknologi modern, teknologi modern hanya alat bantu
yang mempermudah untuk melakukan pekerjaan yang di inginkan, harus
diingat mindset-nya tetapada pertanggung jawaban manusia yang diberi
kesempurnaan, tetapi tergantung manusia itu sendiri mau diarahkan
kemana teknologi modern itu.
c. Memahani dengan benar kebutuhan yang harus diterapkan, bukan sekedar
memenuhi kebutuhan peraturan perundang-undangan belaka. Karena
sesungguhnya terdapat perbedaan yang nyata antara apa hukum itu dan
apa preaturan hukum itu.
d. Hati-hati setiap membuat berita acara, baik terhadap berita acara karena
tindakannya, maupun karena berita acara pemeriksaan, karena dengan
kesalahan kecil dalam pembuatan berita acara, dapat berakibat fatal
35
danbisa mementahkan proses hukum yang seharusnya tidak perlu terjadi.
e. Objek hukum (tersangka) bukanharus dijadikan sasaran legalitas
operasionalnya hukum, tetapi tersangka juga mempunyai hak-hak hukum
yang harus dihargai oleh siapa pun.37
C. Teori Peran
Peran adalah seperangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang
berkedudukan di masyarakat. Kedudukan dalam hal ini diharapkan sebagai posisi
tertentu di dalam masyarakat yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau
rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya
adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu, sedangkan hak dan kewajiban
tersebut merupakan peran. Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai
kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peran (role occupant). Suatu
hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat,
sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.38
Secara sosiologis, peranan merupakan aspek dinamis kedudukan. Apabila
seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, dia
telah menjalankan suatu peran. Pentingnya peran adalah karena ia mengatur
perilaku seseorang. Peran lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian
diri, dan sebagai suatu proses.
Peranan mencakup tiga hal, yaitu sebagai berikut:
37Hartanto,penyidikan dan penegakan hukum pidana melalui pendekatan progresif,Jakarta:SinarGrafika,2010.Hlm12038 Soerjono Soekanto. Op. Cit. hlm 9.
36
a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan
rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam
kehidupan kemasyarakatan.
b. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh
individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang
penting bagi struktur sosial masyarakat.39
Selanjutnya menurut Soerjono Soekanto, peran terbagi menjadi:
a. Peranan yang seharusnya (expected role)Peran yang seharusnya adalah peran yang dilakukan seseorang ataulembaga yang didasarkan pada seperangkat norma yang berlaku padakehidupan masyarakat.
b. Peranan ideal (ideal role)Peranan ideal adalah peranan yang dilakukan seseorang ataulembaga yang didasarkan pada nilai-nilai ideal yang seharusnya dilakukansesuai dengan kedudukannya dalam suatu sistem.
c. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role)Peranan yang dilakukan seseorang atau lembaga yang didasarkan padakenyataan secara kongkrit di lapangan atau di masyarakat sosial yangterjadi secara nyata.40
Selain itu, peranan atau role juga memiliki beberapa bagian, yaitu:
1. Peranan nyata (Anacted Role) adalah suatu cara yang betul-betul
dijalankan seseorang dalam menjalankan suatu peranan.
2. Peranan yang dianjurkan (Prescribed Role) adalah cara yang diharapkan
masyarakat dari kita dalam menjalankan peranan sesuatu.
3. Konflik peranan (Role Conflick) adalah suatu kondisi yang dialami
39 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. 2010. hlm. 213.40 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: RajawaliPers. 2012. hlm.20.
37
seseorang yang menduduki suatu status atau lebih yang menuntut harapan
dan tujuan peranan yang saling bertentangan satu sama lain.
4. Kesenjangan peranan (Role Distance) pelaksanaan peranan secara
emosional
5. Kegagalan peran (Role Failure) adalah kegagalan seseorang dalam
menjalankan peranan tertentu.
6. Model peranan (Role Model) adalah seseorang yang tingkah lakunya kita
contoh, tiru, diikuti.
7. Rangkaian atau lingkup peranan (Role Set) adalah hubungan seseorang
dengan individu lainnya pada saat dia sedang menjalankan perannya.
8. Ketegangan peranan (Role Strain) adalah kondisi yang timbul bila
seseorang mengalami kesulitan dalam memenuhi harapan atau tujuan
peranan yang dijalankan dikarenakan adanya ketidaksesuaian yang
bertentangan satu sama lain.41
D. Teori Penanggulangan Kejahatan
Penanggulangan kejahatan mempunyai dua cara yaitu preventif dan represif.
1. Tindakan Preventif
Tindakan preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau
menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan. Menurut A. Qirom
Samsudin M, dalam kaitannya untuk melakukan tindakan preventif adalah
mencegah kejahatan lebih baik daripada mendidik penjahat menjadi baik
41 Ibid. hlm.214.
38
kembali, sebab bukan saja diperhitungkan segi biaya, tapi usaha ini lebih
mudah dan akan mendapat hasil yang memuaskan atau mencapai tujuan.42
Bonger berpendapat cara menanggulangi kejahatan adalah:
Preventif kejahatan dalam arti luas, meliputi reformasi dan preventif dalam arti
sempit meliputi :
a. Moralistik yaitu menyebarluaskan sarana-sarana yang dapat
memperteguhkan moral seseorang agar dapat terhindar dari nafsu
berbuat jahat.
b. Abalionistik yaitu berusaha mencegah tumbuhnya keinginan
kejahatan dan meniadakan faktor-faktor yang terkenal sebagai
penyebab timbulnya kejahatan, mislanya memperbaiki ekonomi
(pengangguran, kelaparan), memperbaiki peradaban, dan lain-lain.
Berusaha melakukan pengawasan dan pengontrolan terhadap kejahatan
dengan berusaha menciptakan;
a. Sistem organisasi dan perlengkapan kepolisian yan baik
b. Sistem peradilan yang objektif
c. Hukum ( perundang-undangan ) yang baik.43
2. Tindakan Represif
Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur
penegak hukum sesudah terjadinya tindakan pidana.44 Tindakan ini dapat
42 A. Qirom Samsudin Meliala, Eugenius Sumaryono. Kejahatan Anak Suatu Tinjauan Dari SegiPsiologis dan Hukum. Yogyakarta: Liberti. 1985. hlm. 46.43 Bonger. Pengantar Tentang Kriminologi. Jakarta: PT. Pembangunan Ghalia Indonesia. 1981.hlm. 15.44 Soedjono Dirdjosisworo. Penanggulangan Kejahatan (Crime Prevention). Bandung:Alumni.1976. hlm. 32.
39
dipandang sebagai pencegahan untuk masa yang akan datang. Tindakan ini
meliputi cara aparat hukum dalam melakukan penyidikan, penyidikan lanjutan,
penuntutan pidana, pemeriksaaan di pengadilan, eksekusi, dan seterusnya sampai
pembinaan narapidana.
Tindakan represif juga disebutkan sebagai pencegahan khusus, yaitu suatu usaha
untuk menekan jumlah kejahatan dengan memberikan hukuman (pidana)
terhadap pelaku kejahatan dan berusaha pula melakukan perbuatan
dengan jalan memperbaiki si pelaku yang berbuat kejahatan.
Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan
kebijakan, dalam arti:
a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik
sosisal;
b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penaggulangan kejahatan
dengan penal dan non penal.45
Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa “modern criminal science” terdiri
dari tiga komponen ”Criminology”, ”Criminal Law”, dan “Penal Policy”.
Dikemukakan olehnya, bahwa “Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni
yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan
hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak
hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan untuk
menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana
putusan pengadilan. Penggunaan upaya “penal” (sanksi/hukum pidana) dalam
45 Barda Nawawi Arief. Op. Cit. hlm. 4.
40
mengatur masyarakat (lewat perundang-undangan) pada hakikatnya
merupakan bagian dari dari suatu langkah kebijakan (“policy”).46
Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” (inggris) atau
“politiek” (belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan
hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”.
Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal
dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau
“strafrechts politiek”
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik
hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “politik hukum” adalah:
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat.
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.47
Menurut A. Mulder, “strafrechtpolitiek” ialah garis kebijakan untuk menentukan:
a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau
diperbaharui;
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
c. Cara bagaimana pendidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan
46 Barda Nawawi Arief. Op. Cit. hlm. 75.47 Op. Cit. hlm. 24.
41
pidana harus dilaksanakan.48
Definisi Mulder diatas, bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana”
menurut Marc Ancel yang menyatakan, bahwa setiap masyarakat yang
teroganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari: (a) peraturan-
peraturan hukum pidana dan sanksinya, (b) suatu prosedur hukum pidana, dan (c)
suatu mekanisme pelaksannan (pidana).
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada
hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.
Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik
kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik
hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan
dengan hukum pidana”.
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum
pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politk atau kebijakan
hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum
(law enforcement policy).
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana
penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan:
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan
2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si
pelanggar.
48 Op. Cit. hlm 26.
42
Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang
pertama diatas, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-
hal yang pada intinya sebagai berikut:
a. Penggunaan hukum pidana harus memerhatikan tujuan
pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan
makmur yang merata materil spiritual berdasarkan pancasila; sehubungan
dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk
menanggulangi kejahtan dan mengadakan pencegahan terhadap tindakan
penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman
masyarakat.
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi
dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak
dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materil dan
atau spiritual) atas warga masyarakat.
c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya
dan hasil (cost and benefit principle).
d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).49
Menurut G.P. Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat di
tempuh dengan:
a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);
b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);
49 Op. Cit. hlm 26.
43
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime
and punishment/mass media).
Dengan demikian, upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat
dibagi 2 (dua), yaitu melalui jalur “penal” (hukum pidana) dan jalur “non penal”
(bukan/diluar hukum pidana). Menurut pendapat G. P. Hoefnagels pada butir (b)
dan (c) merupakan upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non penal.
Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitikberatkan pada
sifat “repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan
terjadi, sedangkan jalur “non penal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventive”
(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.50
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat
tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah
menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor
kondusif tersebut antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi
sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau
menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik hukum
kriminal secara makro dan global, maka upaya non penal menduduki posisi kunci
dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal.
E. Faktor Penghambat Penanggulangan Kejahatan
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa ada beberapa faktor penghambat upaya
penanggulangan kejahatan, yaitu:
a. Faktor hukumnya itu sendiri atau peraturan itu sendiri
50 Ibid. hlm. 42.
44
Praktek menyelenggarakan penegakan hukum di lapangan seringkaliterjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal inidikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifatabstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telahditentukan secara normatif. Suatu tindakan atau kebijakan yang tidaksepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkansepanjang kebijakan atau tindakan tersebut tidak bertentangan denganhukum.
b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupunmenerapkan hukum.Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalahmentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalamkerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwapenegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakankebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangkapenegakan hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa,terlihat serta harus diaktualitaskan.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum.Sarana dan prasarana yang mendukung mencakup tenaga manusia yangberpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yangmemadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yangmemadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar danpenegak hukum tidak mungkin menjalankan peraturannya sebagaimanamestinya.
d. Faktor masyarakat yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebutditerapkan.Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaanpenegakan hukum, sebab penegakan hukum bersumber dari masyarakt danbertujuan untuk mencapai kepentingan masyarakat. Bagian yangterpenting dalam menentukan aparat penegak hukum adalah kesadaranhukum masyarakat.
e. Faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta rasa yang didasarkanpada karya manusia didalam pergaulan hidup.Kebudayaan indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat.Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkannilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum,semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangandengan kebudayaan masyarakat, maka semakin mudah dalampenegakannya.51
51 Soerjono Soekanto. Op. Cit. hlm. 9.
45
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
secara yuridis normatif dan pendekatan secara yuridis empiris. Pendekatan secara
yuridis normatif adalah pendekatan melalui studi kepustakaan (library research)
dengan cara membaca, mengutip dan menganalisis teori-teori hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan dalam
penelitian. Pendekatan secara yuridis empiris adalah upaya untuk memperoleh
kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang
ada atau yang terjadi dan dikaji secara hukum.
B. Sumber dan Jenis Data
Sumber data penelitian ini berasal dari data di lapangan dan data kepustakaan.
Jenis data yang diperlukan dalam melakukan penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder.
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh peniliti dari sumber utama melalui
penelitian yang dilakukan dari hasil langsung di lapangan dan hasil wawancara
yang berupa data-data informasi atau keterangan dari para pihak terkait mengenai
peran kepolisian terhadap penanggulangan tindak pidana premanisme di wilayah
46
Kepolisian Sektor Tulang Bawang Udik.
2. Data Sekunderr
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka. Data sekunder
diperoleh dengan cara membaca, mengutip, mencatat serta menelaah bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat, dalam hal ini yaitu:
1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 73
tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.
2) Undang-undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu:
Bahan hukum yang berkaitan dengan data penunjang dari data sekunder.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang fungsinya melengkapi dari
bahan hukum primer dan sekunder agar dapat menjadi lebih jelas, seperti
kamus literatur-literatur yang menunjang dalam penulisan skripsi ini,
media masa dan sebagainya.
47
C. Narasumber
Narasumber dalam penelitian adalah orang yang diminta memberikan keterangan
tentang suatu fakta/pendapat. Keterangan tersebut dapat disampaikan dalam bentuj
tulisan, yaitu ketika mengisi angket/lisan ketika menjawab wawancara.52 Sesuai
dengan metode yang telah ditentukan, maka narasumber yang akan diteliti dalam
pembahasan masalah ini adalah sebagai berikut:
1. Kepala pada Kepolisian Sektor Tulang Bawang Udik : 1 orang
2. Dosen bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang +
Total : 2 orang
D. Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data
1. Metode Pengumpulan data
Untuk melengkapi data guna pengujian hasil penelitian ini digunakan
prosedur pengumpulan data yang terdiri dari data primer dan data
sekunder, yaitu pengumpulan data primer dilakukan dengan cara
mengadakan studi lapangan field research. Studi lapangan dilakukan
dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden sebagai usaha
mengumpulka data yang berkaitan dengan permasalahan yang akan
dibahas. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengadakan
studi kepustakaan library research. Studi kepustakaan dilakukan dengan
serangkaian dengan cara membaca, mengutip, dan menelaah literatur-
52 J.H. Hartono. Metodelogi Penelitian. BPFE: Yogyakarta.2004.hlm.27.
48
literatur yang menunjang, serta bahan-bahan ilmiah lainnya yang
mempunyai hubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.
2. Metode Pengolahan Data
Berdasarkan data yang telah terkumpul baik dari studi kepustakaan
maupun dari lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Seleksi Data, yaitu meneliti data yang keliru, menambah dan
melengkapi data yang kurang lengkap.
b. Klarifikasi Data, yaitu pengelompokan data menurut bahasan yang
ditentukan
c. Sistematisasi Data, yaitu penempatan data pada tiap pokok bahasan
secara sistematis sehingga memudahkan interpretasi data.
E. Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian di analisis secara kualitatif, yaitu menguraikan data
dalam bentuk kalimat yang disusun secara sistematik kemudian di interpretasikan
dengan bentuk kalimat yang disusun secara sistematik, kemudian di intepretasikan
dengan melandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti sehingga akan mendapatkan gambaran yang jelas dan
terang dalam pokok bahasan sehingga akhirnya akan menuju pada suatu
kesimpulan. Kesimpulan akan ditarik dengan menggunakan metode induktif yaitu
suatu cara penarikan kesimpulan dari hal yang umum ke hal yang khusus.
77
V. PENUTUP
A. Simpulan
Adapun kesimpulan yang dapat penulis tarik yaitu:
1. Peranan Penyidik Sektor Tulang Bawang Udik dalam melakukan upaya
penanggulangan kejahatan premanisme di wilayah Kepolisian Sektor Tulang
Bawang Udik yaitu dengan upaya persuasif, upaya persuasif tersebut
dilakukan dengan melakukan pembinaan dan melakukan pendekatan dengan
masyarakat. Apabila menimbulkan tindak pidana maka kepolisian sektor
Tulang Bawang Udik melakukan penegakkan hukum apabila perbuatan yang
dilakukan oleh premanisme tersebut memasuki ranah tindak pidana. Bentuk
premanisme khususnya di wilayah Tulang Bawang Udik berupa kenakalan
remaja, Minuman Keras, dan balap liar yang tergolong dalam aksi
premanisme yang meresahkan masyarakat.
2. Faktor penghambat Kepolisian Sektor Tulang Bawang Udik dalam upaya
penanggulangan Preman di wilayah Kepolisian Sektor Tulang Bawang Udik
yaitu preman yang berada di Tulang Bawang Udik kebanyakan bukan warga
dari daerah tersebut melainkan dari luar daerah yang datang ke daerah tersebut
dengan tujuan untuk melakukan aksi premanisme, hal ini menyebabkan pihak
kepolisian sulit untuk melakukan penegakan hukum. Preman tersebut
melakukan aksinya di waktu yang tidak menentu. Kurangnya pengawasan dan
78
dukungan dari pihak keluarga yang menyebabkan kurang efektifnya upaya
penanggulangan kejahatan premanisme oleh pihak Kepolisian Sektor Tulang
Bawang Udik.
B. Saran
Berdasarkan simpulan diatas maka dalam hal ini penulis dapat memberikan saran
bahwa, salah satu yang dapat dilakukan oleh Kepolisian Sektor Tulang Bawang
Udik dalam penanggulangan premanisme di wilayah Tulang Bawang Udik
adalah dengan melakukan upaya preventif dan represif. Dalam upaya preventif
pihak kepolisian sektor tulang bawang udik dapat melakukannya dengan cara
mengadakan kegiatan-kegiatan seperti operasi tertentu, razia, pembinaan, dan
patrol rutin, sedangkan upaya represif pihak Kepolisian Sektor Tulang Bawang
Udik dapat melakukan tindakan penegakan hukum terhadap seseorang yang
terbukti melakukan tindak pidana premanisme yang merugikan masyarakat
sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
Afrizal, Munadi. 2013. Tinjauan Kriminologis Timbulnya Premanisme di Bandar
Lampung. Bandar Lampung: Skripsi Bagian Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung.
Andrisman, Tri. 2011. Hukum Pidana. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Bisri, Ilham. 1998. Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Grafindo Persada.
Bonger. 1981. Pengantar tentang Kriminologi. Jakarta: PT. Pembangunan GhaliaIndonesia.
Dirdjosisworo, Soedjono. 1976. Penanggulangan Kejahatan (Crime Prevention).Bandung: Alumni.
Hamzah, Andi. 1994. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta
----------. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: GhaliaPersada.
Husin, Budi Rizki. Rini Fathonah. 2014. Studi Lembaga Penegak Hukum. BandarLampung: Universitas Lampung.
Kelana, Momo. 1972. Hukum Kepolisian. Perkembangan di Indonesia Suatustudi Histories Komperatif. Jakarta: PTIK.
Lamintang. P.A.F. 1996. Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra AdityaBakti.
Meliala Samsudin, A. Qirom, Eugenius Sumaryono. 1985. Kejahatan Anak SuatuTinjauan dari segi Psikologis dan Hukum. Yogyakarta: Liberti.
Nawawi Arief, Barda. 1998. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:Alumni.
----------. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan PenanggulanganKejahatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
----------. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. CitraAditya Bakti.
Poernomo, Bambang. 1992. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Prasetyo, Teguh. 2011. Hukum Pidana. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia. MelihatKejahatan dan Penegakan Hukum dan Batas-batas toleransi. Jakarta:Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum.
Shafrudin. 1995. Politik Hukum Pidana. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Soekanto, Soerjono. 1981. Krimonologi Suatu Pengantar. Jakarta: Ghalia.
----------. 1986. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali Pers.
----------. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
----------. 2012. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Pers.
----------. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:Rajawali Pers.
Tongat. 2008. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam PerspektifPembaharuan. Malang: UUM Press.
Penelusuran Web
Andreas Kusumo, Referensi untuk Pembuatan Skripsi Hukum Terbaik dan
terlengkap. http://petirskripsihukum.blogspot.com
http://www.tribunnews.com/regional/2016/03/17/bentrok-di-tulang-bawang-barat-bukti-perlawanan-petani-terhadap-preman
http://news.okezone.com/read/2016/03/12/340/1333921/kronologi-bentrok-yang-menewaskan-tiga-warga-di-lampung
http://id.wikipedia.org/wiki/premanisme
Peraturan Perundang Undangan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RepublikIndonesia.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun2010 Tentang Susunan dan Organisasi dan Tata Kerja Pada TingkatKepolisian Resort dan Kepolisian Sektor.