KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM …

19
KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM KUHAP DITINJAU DARI CHECK AND BALANCE SYSTEM (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR: 219/PID.B/2012/PN.JKT PST ATAS NAMA TERDAKWA HASAN BASRI) Roberto Bosta Sianturi, Narendra Jatna Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia [email protected] Abstrak Skripsi ini membahas dua permasalahan pokok. Pertama, pengaturan sistem koordinasi antara Penyidik POLRI dengan Jaksa Penuntut umum dalam KUHAP. Kedua, mengenai penerapan sistem koordinasi check and balance dalam kasus korban salah tangkap. Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang dipadu dengan wawancara narasumber, penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui sistem koordinasi perseimbangan dan berimbang antara penyidik POLRI dengan Jaksa Penuntut Umum, baik secara peraturan perundang-undangan maupun dalam prakteknya. Permasalahan mengenai adanya sistem koordinasi yang dimulai oleh penyidik pada saat dimulainya penyidikan terkait dengan pemberitahuan oleh penyidik dengan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan kepada Jaksa Peneliti. Seperti yang telah ditetapkan oleh KUHAP bahwa penyidik wajib menyampaikan kepada jaksa sejak dimulainya penyidikan agar Jaksa mengikuti perkembangan kasus sejak dimulainya penyidkan, yang mana menjadi dasar penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. Katakunci: Hukum acara pidana, check and balance system, koordinasi penyidik dan jaksa penuntut umum, salah tangkap. Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014

Transcript of KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM …

Page 1: KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM …

KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM

DALAM KUHAP DITINJAU DARI CHECK AND BALANCE SYSTEM

(STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR: 219/PID.B/2012/PN.JKT PST ATAS

NAMA TERDAKWA HASAN BASRI)

Roberto Bosta Sianturi, Narendra Jatna

Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

[email protected]

Abstrak

Skripsi ini membahas dua permasalahan pokok. Pertama, pengaturan sistem koordinasi antara

Penyidik POLRI dengan Jaksa Penuntut umum dalam KUHAP. Kedua, mengenai penerapan

sistem koordinasi check and balance dalam kasus korban salah tangkap. Dengan

menggunakan metode penelitian kepustakaan yang dipadu dengan wawancara narasumber,

penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui sistem koordinasi perseimbangan dan

berimbang antara penyidik POLRI dengan Jaksa Penuntut Umum, baik secara peraturan

perundang-undangan maupun dalam prakteknya. Permasalahan mengenai adanya sistem

koordinasi yang dimulai oleh penyidik pada saat dimulainya penyidikan terkait dengan

pemberitahuan oleh penyidik dengan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan kepada Jaksa

Peneliti. Seperti yang telah ditetapkan oleh KUHAP bahwa penyidik wajib menyampaikan

kepada jaksa sejak dimulainya penyidikan agar Jaksa mengikuti perkembangan kasus sejak

dimulainya penyidkan, yang mana menjadi dasar penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Katakunci:

Hukum acara pidana, check and balance system, koordinasi penyidik dan jaksa penuntut

umum, salah tangkap.

Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014

Page 2: KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM …

Check and Balance System between National Police Investigator and Public Prosecutor

Authority in accordance with Criminal Law Procedure (Case Study of Court Decision

219/PID.B/2012/PN. JKT PST on behalf of Hasan Basri)

Abstract

This thesis addresses two issues. First, regarding the rules and regulation concerning

coordination system between National Police Investigator and Public Prosecutor in

accordance with Criminal Law Procedure. Second, regarding the implementation of such

coordination system in respect of check and balance system against the victim of wrongful

arrest. By using the method of literature research combined with sources interviews, this

thesis aims to determine the coordination system as check and balance system between

National Police Investigator and Public Prosecutor, both in rule and regulation and in practice.

The issue regarding coordination system must be addressed when Investigator starting the

investigation in relation with the notification to Prosecutor that the investigation is formally

commencing. As stipulated in Criminal Law Procedure (KUHAP) that Investigator obliged to

convey the case progress to the Prosecutor as from the investigation is commencing,

considering such investigation result would be determine as the basis of prosecution.

Keywords: Criminal Law Procedures, Check and Balance System, Coordination between

Police Investigator and Public Prosecutor, Wrongful Arrest.

Pendahuluan

Pada akhir tahun 2011 silam, mencuat sebuah kasus perampokan yang diduga

dilakukan oleh seorang tukang ojek. Hal ini dimulai pada saat Kepolisian Jakarta Pusat

menangkap Hasan pada tanggal 9 November 2011 silam di pangkalan ojek Lapangan

Banteng, Jakarta Pusat. Sekitar pukul 20.00 WIB, Hasan dibawa sejumlah polisi ke Polsek

Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014

Page 3: KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM …

Menteng dengan tuduhan terlibat perampokan.1 Kasus ini dimulai pada saat kepolisian

menangkap hasan Waktu ditangkap dia dituduh sebagai Lala gara-gara kasus pencurian.

Padahal, KTP dan tanda pengenal lainnya menuliskan nama Hasan Basri.2

Beberapa bulan setelah peristiwa penangkapan Hasan Basri, dijatuhkan putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat putusan nomor 219/PID.B/2012/PN.JKT PST yang pada

pokoknya membebaskan terdakwa Hasan Basri dengan pertimbangan hukum bahwa

keterangan saksi yang dibawa kedalam persidangan tidaklah cukup kuat dalam membuktikan

kesalahan yang didakwakan pada Hasan Basri. Dengan memanggil saksi-saksi yang kurang

kuat nilai pembuktiannya, hakim dalam pertimbangannya3 beranggapan bahwa terpenuhinya

azas unus testis nulus testis dan adanya subjektifitas yang harus dikesampingkan

kesaksiannya, yakni pemanggilan polisi pemeriksa sebagai saksi yang dalam hal cenderung

membenarkan hasil pemeriksaannya sendiri. Kejadian ini memunculkan pertanyaan besar,

apakah fungsi check and balance dalam penyidikan yang dilakukan oleh kejaksaan dan

penyidik berjalan sebagaimana yang dicita-citakan oleh hukum? lantas siapakah yang

bertanggung jawab terhadap check and balance system dalam tahapan penyidikan dan

penuntutan?

Pasal 1 butir 1 KUHAP menjelaskan, penyidik adalah pejabat polisi negara Republik

Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh

undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Adapun pengaturan mengenai wewenang Penyidik diatur secara jelas dalam Pasal 7

KUHAP yaitu:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri

tersangka;

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

1Diunduh penulis pada tanggal 26-10-2013:

http://news.detik.com/read/2013/05/02/112627/2236111/10/?nd772204topnews 2 Diunduh penulis pada tanggal 26-10-2013:

http://tempo.co/read/news/2012/02/10/214383015/Gara-gara-Mirip-Buron-Hasan-Masuk-Penjara+&cd=19&hl=en&ct=clnk&gl=us

3 Putusan Nomor 219/Pid.B/2012/Pn.Jkt Pst. Hlm. 29

Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014

Page 4: KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM …

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

h. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

i. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan

perkara;

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Persoalan yang sering kali muncul dalam proses penyidikan adalah adanya salah tafsir

pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf J diatas, sekalipun dalam penjelasannya sudah diuraikan

apa yang dimaksud dengan kewenangan tersebut4, namun dalam prakteknya sering kali

muncul ketidak konsistenan penafsiran bergantung dari kepentingan penyidik semata.5

Pokok Permasalahan

Sehubungan dengan adanya korban salah tangkap sebagaimana yang melatar

belakangi penulisan skripsi ini, muncul pertanyaan apakah terdapat perseimbangan dan

seimbang antara penyidik POLRI dan Jaksa Penuntut Umum, dalam kaitannya dengan

urgensi perlindungan hak-hak tersangka dalam sistem peradilan pidana. Adapun rumusan

permasalahannya dapat dinyatakan dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian dalam penelitian

ini yakni sebagai berikut:

1. Apakah ada penerapan perseimbangan dan berimbang berdasarkan peraturan

perundang-undangan terkait dalam melaksanakan kewenangan yang dilakukan

penyidik dengan jaksa peneliti ?

2. Bagaimana penerapan Check And Balance System terkait wewenang penyidik dan

jaksa peneliti (studi kasus No. 219/PID/B/2012/PN JKT PST) ?

Metode Penelitian

4 Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana:

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan; c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal termasuk dalam lingkungan jabatannya d. Atas pertimbangan yang layak dan berdasarkan keadaan yang memaksa e. Menghormati hak asasi manusia 5 Al. Wisnubroto, G. Widiarta, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, (Bandung, Citra Aditya

Bakti:2005)

Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014

Page 5: KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM …

Penelitian ini berbentuk Yuridis-Normatif6, dimana penelitian ini mengacu pada

norma hukum yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan dan keputusan

pengadilan, serta norma-norma yang berlaku dan mengikat masyarakat. Penelitian ini

mengacu pada peraturan perundang-undangan nasional berupa KUHAP, Undang-Undang

Kepolisian NRI sampai pada peraturan Kapolri serta Prosedur Tetap yang dikeluarkan oleh

Kepala Kepolisian Indonesia, juga dikaitan dengan prinsip-prinsip internasional yang telah

diratifikasi oleh Indonesia.

PEMBAHASAN

Didalam sistem praperadilan di Indonesia, terkait jelas mengenai adanya hubungan

fungsional di antara Jaksa Penuntut Umum dan Kepolisian RI, yang mana menurut M. Karjadi

dalam bukunya POLISI (Fisafat dan Perkembangan Hukumnya) mengatakan bahwa

berdasarkan penelitian para ahli, hakikat polisi ialah “kontrol”, yang artinya pengawasan dan

pengadilan terhadap sesuatu yang tidak beres.7 Didalam masyarakatpun ada sesuatu yang

mutlak harus ada untuk dapat dicapai keadaan tertib, aman, sejahtera dan bahagia dalam

kehidupan bersama, dan sesuatu yang mutlak harus ada ialah yang disebut kontrol, dan

kontrol ini adalah polisi, yang merupakan hati nurani masyarakat atau rakyat.8

Lingkup wewenang penyidikan secara dasar telah diatur di dalam KUHAP yakni Pasal

1 butir 1 jo. Pasal 6 KUHAP yang menyatakan bahwa pejabat yang berwenang dalam

melakukan penyidikan adalah polisi atau Penyidik pegawai negeri sipil, selanjutkan tugas

penyidikan diatur lebih khusus oleh Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian

NRI serta Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak

Pidana. Adapun sebagai Penyidik, Penyidik memiliki wewenang dalam melakukan upaya

paksa yakni diantaranya terdiri atas :

i. Penangkapan

Penangkapan merupakan salah satu lembaga hukum yang diatur di

dalam KUHAP, yang merupakan ”senjata ampuh” bagi penyidik dalam

melakukan upaya paksa terhadap tersangka untuk mempercepat proses

penyidikan dan memastikan penghadapannya kepada penuntut umum

6 Sri Mamudji et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta : Badan Penerbit

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 9-10. 7 Djoko Prakoso, POLRI sebagai Penyidik dalam penegakan Hukum, (Jakarta: Bina Aksara,

1987), hlm. 164. 8 Ibid.

Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014

Page 6: KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM …

karena diduga ia telah melakukan suatu tindak pidana dan

dikhawatirkan ia akan menghambat/mempersulit proses penyidikan atau

mengulangi tindak pidana. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam

Pasal 1 butir 20 KUHAP yakni sebagai berikut :

1. Pengekangan (pembatasan) kebebasan untuk sementara waktu;

2. Yang boleh ditangkap adalah tersangka atau terdakwa;

3. Apabila terdapat cukup bukti;

4. Guna keperluan penyidikan, penuntutan atau peradilan;

5. Prosedur dan landasan hukumnya harus menurut KUHAP.

ii. Penahanan

Diatur dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP dimana penahanan dilakukan

dalam rangka menempatkan tersangka/terdakwa di tempat tertentu oleh

penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya dengan

memenuhi persyaratan materiil dan formil.

iii. Penggeledahan

Penggeledahan diatur Pasal 1 butir 17 dan 18 KUHAP yang

mengklasifikasikan penggeledahan sebagai berikut:

a. Penggeledahan rumah, dimana tindakan yang dilakukan

diantaranya untuk memasuki rumah dan tempat tertutup lainnya,

untuk melakukan tindakan pemeriksaan, penyitaan, penangkapan;

b. Penggeledahan badan, dilakukan terhadap badan dan atau pakaian

tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada

badannya atau dibawa olehnya agar dapat disita.

iv. Penyitaan

Berdasarkan Pasal 1 butir 16 KUHAP penyitaan terdiri atas unsur-unsur

sebagai berikut:

a. Serangkaian tindakan penyidik;

b. Untuk mengambil alih atau menyimpan dibawah penguasaan

penyidik;

c. Objeknya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak

berwujud;

d. Bertujuan untuk kepentingan pembuktian dalam tahap penyidikan,

pennuntutan dan peradilan.

Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014

Page 7: KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM …

Adapun mengenai lingkup wewenang Jaksa Penuntut Umum Berdasarkan Pasal

30 tugas dan wewenang Jaksa Penuntut Umum diantaranya sebagai berikut :

(1) Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :

a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,

putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam

pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat

bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama

negara atau pemerintah.

(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut

meyelenggarakan kegiatan:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;

c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan

negara;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;

f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.

Adapun fungsi Jaksa Penuntut Umum sebagai penyelenggara kekuasaan negara di

bidang penuntutan untuk mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan

kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan

kesusilaan, dengan menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam

masyarakat.9

9Penjelasan umum atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan

Republik Indonesia.

Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014

Page 8: KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM …

Sebagaimana telah dijabarkan pada bagian Penyidik POLRI dan Jaksa Penuntut Umum

di atas, dapat diketahui bahwa hubungan fungsional diantaranya keduanya adalah hubungan

kerjasama yang bersifat saling mengawasi dalam proses penanganan perkara pidana.

Meskipun, fungsi penyidik dan penuntut umum dibedakan secara tegas, namun KUHAP

meletakkan dasar-dasar yang mewajibkan adanya mekanisme yang bersifat koordinatif yang

saling mengawasi.

Adapun, hubungan koordinatif yang bersifat fungsional dapat dirincikan sebagai

berikut:

1. Penyampaian pemberitahuan dimulainya penyelidikan.

Hal ini sebagaimana diatur oleh Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang menyatakan,

dalam hal dimulainya penyidikan suatu peristiwa pidana, penyidik wajib

memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Sehingga secara tidak langsung,

penuntut umum yang tugasya mempersiapkan penuntutan harus sejak dini,

mengikuti perkembangan suatu perkara. Hal ini dikarenakan hasil penyidikan

tersebut akan menjadi dasar penyidikan, oleh karenanya sejak awal penuntut

umum melakukan pelaksanaan konsultasi antara penyidik dan penuntut umum,

dimana penuntut umum memberikan petunjuk pentunjuk yang mengarahkan

arahnya penyidikan untuk mengungkapkan data dan fakta yang diperlukan dalam

penuntutan perkara.10

2. Penanganan pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh jaksa peneliti.

Sebelumnya dijelaskan terlebih dahulu jaksa peneliti adalah jaksa yang bertindak

dalam kapasitasnya untuk meneliti dan memeriksa berkas perkara dalam tahap Pra

penuntutan, tepatnya yakni sebelum melimpahkan perkara kepada Pengadilan

Negeri yang berwenang. Penunjukan jaksa penuntut umum peneliti, dilakukan

oleh kepala Kejaksaan Negeri dengan menerbitkan surat perintah penunjukan

Jaksa Penuntut Umum untuk penelitian dengan kode PK-5.

Penerbitan surat perintah tersebut dilakukan setelah menerima surat

pemberitahuan dimulainya penyidikan, dengan maksud agar jaksa yang ditunjuk

itu mengikuti perkembangan penyidikan. Sehingga jaksa yang ditunjuk itulah

bertugas mempelajari berkas perkara setelah penyidik menyerahkan berkas

penyidikan tahap pertama.11

10

Op.Cit, Harun, Hlm. 271-272.

11 Ibid. Hlm 280.

Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014

Page 9: KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM …

Mengacu kepada hubungan fungsional antara Jaksa Penuntut Umum dengan Penyidik

tentu dapat kita lihat adanya Check and Balances System mempunyai arti yaitu suatu

pengontrolan yang satu dengan yang lain, agar suatu pemegang kekuasaan tidak berbuat

sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan.

Istilah checks and balances berdasarkan kamus hukum Black’s Law Dictionary, diartikan

sebagai “arrangement of governmental powers whereby powers of one governmental branch

check or balance those of other brances”.12

Menurut Miriam Budiardjo, ajaran

mengenai checks and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan) di antara

lembaga-lembaga negara adalah adanya kesetaraan dan saling mengawasi satu sama lain,

sehingga tidak ada lembaga yang lebih powerful dari yang lain.13

Dalam pemisahan pelaksanaan tugas menangani perkara pidana, antara penyidik dan

penuntut umum terjalin hubungan yang bersifat fungsional dan instasional. Yang dimaksud

dengan koordinasi fungsional adalah hubungan kerja sama antara penyidik dan penuntut

umum menurut fungsi dan wewenang masing-masing dalam penanganan perkara pidana.

Hubungan tersebut adalah hubungan kerja sama yang bersifat saling mengawasi antara

penyidik dan penuntut umum dalam proses penanganan perkara pidana.14

Disamping hubungan yang bersifat fungsional tersebut, terdapat pula hubungan yang

bersifat instansional antara kepolisian dan kejaksaan dalam melaksanakan tugas penegakan

hukum. Hubungan kerja sama yang bersifat instansional tersebut, pengaturannya tidak

terdapat dalam KUHAP. Hubungan tersebut pelaksanaannya didasarkan pada petunjuk

pelaksanaan dan atau petunjuk teknis yang dikeluarkan dalam bentuk produk bersama.

Hubungan koordinasi instansional ini meskipun tidak secara langsung mengenai pelaksanaan

tugas, fungsi kewenangan masing-masing, tetapi dalam praktek hal ini dirasakan manfaatnya

dalam menanggulangi kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas masing-masing.

Keterkaitan antara penyidikan dan penuntutan sangatlah jelas. Polisi melakukan

penyidikan tidak boleh semata-mata melakukan penyidikan karena perkara tidak berhenti

hanya pada penyidikan. Polisi dalam melakukan penyidikan hendaknya menyadari bahwa

hasil karyanya sangat menentukan bagi proses perkara selanjutnya dalam penuntutan.

Keberhasilan penyidikan mesti terkait dengan keberhasilan penuntutan. Sebaliknya, bagi

12 A. Bryan Garner, Black's law dictionary, West Group:1999, hlm. 680.

13

Budiarjo Miriam, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 296.

14

Op. Cit., Harun, Hlm. 269-270.

Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014

Page 10: KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM …

jaksa, mereka pun semestinya mengikuti proses penyidikan suatu perkara dengan sebaik-

baiknya, sebab hal itu akan menjadi bekal baginya dalam menyusun surat dakwaan dan dalam

melakukan penuntutan di sidang pengadilan. Apabila ia tidak menguasai perkara yang akan ia

tuntut, karena tidak mengetahui proses penyidikannya, penuntutan yang ia lakukan menjadi

tidak meyakinkan, yang pada gilirannya gagal membuktikan keyakinan hakim bahwa si

terdakwa memang benar-benar bersalah. Pada ujungnya kebenaran tidak dapat dibuktikan di

depan sidang pengadilan, dan si pelaku gagal dipidana.15

KUHAP dalam penjelasan umumnya menyatakan, “Kepada seorang tersangka sejak

saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar

hukum apa yang didakwakannya kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu, termasuk hak

untuk menghubungi dan minta bantuan penasehat hukum”. Dari asas itu pada dasarnya ada

dua hal penting yakni adanya dakwaan dan adanya perlindungan terhadap hak tersangka. Di

samping itu, sesuai dengan Pasal 137 KUHAP maka lembaga kejaksaan adalah satu-satunya

alat negara yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan sebagai penuntut

umum. Hal ini membawa konsekuensi logis, yaitu merupakan suatu kewajiban mutlak bagi

penuntut umum untuk senantiasa mengikuti perkembangan setriap pemeriksaan yang

dilakukan penyidik dalam hal seorang disangka melakukan tindak pidana.16

Perlu diingat bunyi diktum angka 1 dari Instruksi Bersama Jaksa Agung RI dan

Kapolri tanggal 6 oktober 1981 yang secara tegas menyatakan bahwa antara Kejaksaan dan

Polri senantiasa meningkatkan kerja sama secara fungsional dan instansional yang sebaik-

baiknya untuk menyelesaikan perkara-perkara pidana dengan sempurna menurut hukum mulai

dari penyidikan sampai ke pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap. Dengan demikian, meskipun penjelasan resmi Pasal 109 KUHAP tidak

mengandung kejelasan, tetapi bilamana kita kaitkan dengan uraian singkat di atas pada

hakikatnya dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Pemberitahuan oleh penyidik kepada penuntut umum sebagaimana

dimaksud oleh Pasal 109 KUHAP adalah merupakan suatu kewajiban bagi

penyidik;

2. Pemberitahuan tersebut ujudnya harus tertulis demi ketertiban administrasi

perkara dan dalam hubungan ini perlu adanya suatu standardiisasi;

15

Ibid. 16

Ibid. Hlm. 98

Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014

Page 11: KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM …

3. Batas waktu pemberitahuan seyogyanya dilakukan dalam waktu relatif

singkat, yaitu sejak penyidik memulai pemeriksaan terhadap tersangka.17

Dalam perihal terkait check and balance antara penyidik dan jaksa penuntut umum

dikenal juga tahapan pra-penuntutan yaitu penelitian berkas perkara tahap pertama, pemberian

petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan, penelitian ulang berkas perkara, Penelitian

tersangka dan barang bukti pada tahap penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang

bukti serta pemeriksaan tambahan.18

Pemeriksaan tambahan disini merupakan hak dari seorang jaksa untuk dapat turun

langsung dalam penyidikan yang mana dalam melakukan peyidikan suatu perkara pidana.

Adapun pemeriksaan tambahan disini dapat dilakukan jaksa setelah memperoleh hasil

penelitian atas berkas perkara yang diserahkan pada tahap pertama ternyata hasil penyidikan

belum lengkap, yang melalui proses sebagai berikut:

Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk

untuk dilengkapi dalam batas waktu 14 (empat belas) hari setelah penerimaan atas

pengembalian berkas perkara. Dalam rangka mengembalikan berkas perkara dimaksud,

diterbitkan pemberitahuan bahwa hasil penyidikan belum lengkap (P-18) dan pengembalian

berkas perkara dengan petunjuk dilaksanakan dengan menerbitkan (P-19) dan selanjutnya

telah diterbitkan pula Pemberitahuan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap (P-21), akan tetapi

kemudian ternyata berkas perkara tersebut belum memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan

ke pengadilan (sesuai pasal 139 KUHAP), maka untuk melengkapinya dapat dilakukan

Pemeriksaan Tambahan.19

Jaksa Penuntut Umum melaporkan hal itu kepada Kepala

Kejaksaan Negeri disertai usul untuk melengkapi berkas perkara dengan melakukan

Pemeriksaan Tambahan. Hasil penelitian ulang tersebut dituangkan dalam bentuk Berita

Acara Pendapat Hasil Penelitian Berkas Perkara (P-24) lalu memerintahkan penyidik disertai

petunjuk untuk dilengkapi dalam batas waktu 14 (empat belas) hari setelah penerimaan atas

pengembalian berkas perkara.20

Dalam hal batas waktu penyidikan tambahan hampir berakhir,

Jaksa Penuntut Umum mengingatkan Penyidik dengan menerbitkan P-20. Setelah berakhirnya

17

Abdul Hakim G Nusantara; Luhut Pangaribuan’ dan Achmad Santosa, KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) dan Peraturan-peraturan Pelaksana, (Jakarta: Djambata, 1992), Hlm. 274-277.

18 Poin 1 Surat Edaran -JAMPIDUM-B- 401/E/9/1993 tentang Pelaksanaan tugas Pra

Penuntutan. Hlm. 1 19

SE-JAMPIDUM-B-536-E-11-1993 Melengkapi Berkas Perkara Dengan Melakukan Pemeriksaan Tambahan. Hlm. 2

20

Ibid

Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014

Page 12: KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM …

batas waktu Penyidikan Tambahan dan tidak ada jaminan bahwa hasil penyidikan sesuai

dengan harapan, diterbitkan P-22 guna meminta penyerahan berkas perkara. tersangka dan

barang bukti untuk pelaksanaan Pemeriksaan Tambahan.21

Setelah berkas perkara, tersangka

dan barang bukti berada di tangan Jaksa Penuntut Umum, Kepala Kejaksaan Negeri

menerbitkan Surat Perintah melengkapi berkas perkara (P-25), dan dalam pelaksanaan

Pemeriksaan Tambahan sesuai ketentuan pasal 27 (1) huruf d Undang-Undang Nomor : 5

Tahun 1991 beserta, penjelasannya, dilakukan dengan memperhatikan: Tidak dilakukan

terhadap tersangka

A. Hanya terdapat perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan atau

yang dapat meresahkan masyarakat, dan atau dapat membahayakan

keselamatan negara

B. Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 hari setelah dilaksanakan

ketentuan pasal 110 dan pasal 138 (2) KUHAP

C. Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan Penyidik.

Setelah selesai Pemeriksaan Tambahan Jaksa Penuntut Umum menentukan pendapat

tentang telah dapat dilengkapi atau tidaknya berkas perkara, yang dituangkan dalam bentuk

Berita Acara Pendapat (P-24).22

Hubungan fungsional antara penyidik dan penuntut umum seyogyanya merupakan

hubungan kerjasama yang bersifat saling mengawasi, dalam proses penanganan pidana.

Adapun hal tersebut diimplementasikan melalui mekanisme koordinatif yang saling

mengawasi. Dalam penanganan perkara tersebut, penyidik wajib wajib memberitahukan hal

itu kepada penuntut umum. Sehingga secara tidak langsung, penuntut umum yang tugasya

mempersiapkan penuntutan harus sejak dini, dapat mengikuti perkembangan suatu perkara.

Hal ini dikarenakan hasil penyidikan tersebut akan menjadi dasar bagi penuntut umum dalam

menyusun surat dakwaan. Dalam perkara tersebut, khususnya dalam pertimbangan hakim,

dapat diketahui bahwa surat dakwaan penuntut umum disusun berdasarkan keterangan yang

telah dihimpun oleh Penyidik dalam masa penyidikan. Sehingga terlihat bahwa peran

penuntut umum dalam meneliti berkas perkara hasil penyidikan tidak lah bersifat signifikan,

melainkan hanya meneliti berkas perkara penyidikan secara administratif. Padahal telah diatur

oleh peraturan perundang-undangan mengenai fungsi dari jaksa penuntut umum untuk

penelitian setelah diterimanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh

penyidik, dengan maksud agar jaksa peneliti tersebut mengikuti perkembangan penyidikan

21

ibid 22

Ibid. Hlm. 3

Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014

Page 13: KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM …

dan mempelajari berkas perkara setelah penyidik menyerahkan berkas perkara penyidikan

tahap pertama.

Hubungan fungsional antara penyidik dan penuntut umum yang demikian itu,

merupakan salah satu mekanisme Check And Balance System yang dimaksud oleh Penulis

dalam penulisan skripsi ini, sehingga pelaksanaan tugas penyelenggaraan penyidikan dapat

berjalan sedemikian rupa sehingga tidak mengorbankan hak-hak warga negara terutama

dalam hal ini hak-hak sipil yang seharusnya dapat dinikmati oleh Hasan Basri. Lebih lanjut

hubungan fungsional penyidik dan penuntut umum dalam kaitannya dengan Check and

Balance System terimplementasi dengan adanya pengembalian berkas perkara penyidikan

kepada penyidik dalam hal hasil penyidikan tersebut masih belum lengkap atau kurang

lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas tersebut disertai petunjuk-petunjuk

guna melengkapi hasil penyidikan, penyidik wajib mengadakan penyidikan tambahan.

Dalam prakteknya, hal petunjuk-petunjuk dan arahan tersebut diberikan dalam

bentuk berkas P-18 dan P-19, dimana pada intinya jaksa peneliti akan memberikan instruksi

untuk melengkapi persyaratan formil dan materiil dalam hal berkas hasil penyidikan belum

dapat dinyatakan lengkap.

Namun, penyelenggaraan Check and Balance System melalui mekanisme SPDP

tersebut dalam kasus Hasan Basri ini tidak terlaksana dengan baik, dimana memang pada

prakteknya, SPDP diserahkan bersamaan dengan pelimpahan perkara kepada Kejaksaan.

Penanganan lebih lanjut atas pemberitahuan dimulainya penyidikan tersebut,

akan diperiksa oleh jaksa peneliti. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, jaksa peneliti

adalah jaksa yang bertindak dalam kapasitasnya untuk meneliti dan memeriksa berkas perkara

dalam tahap Pra penuntutan, tepatnya yakni sebelum melimpahkan perkara kepada Pengadilan

Negeri yang berwenang. Penunjukan jaksa peneliti yang dilakukan oleh kepala Kejaksaan

Negeri, dilakukan dengan menerbitkan surat perintah penunjukan Jaksa Penuntut Umum

untuk penelitian dengan kode PK-5 tersebut menunjukkan adanya realisasi secara teoritis

adanya Check and Balance System dari institusi kejaksaan terhadap institusi kepolisian dalam

proses peradilan pidana (Criminal Justice System).23

Sehubungan dengan hal tersebut, pada penanganan perkara Hasan Basri tersebut

berdasarkan aturan hukumnya, Penyidik seyogyanya menyampaikan SPDP kepada Jaksa, agar

Jaksa dapat mengikuti perkembangan penyidikannya. Sehingga jaksa yang ditunjuk tersebut

23

Ibid.

Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014

Page 14: KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM …

dapat mempelajari berkas perkara setelah penyidik menyerahkan berkas penyidikan tahap

pertama.24

Namun dalam hal ini, dapat dimengerti mengapa pada akhirnya dalam kasus Hasan

Basri baik Jaksa maupun Polisi mengalami kesalahan yang sedemikian rupa, dikarenakan

dalam prakteknya, SPDP yang disampaikan bersamaan dengan pelimpahan berkas perkara

tersebut tidak memberikan waktu yang banyak bagi Jaksa untuk meneliti berkas penyidikan

dengan seksama. Dengan demikian, jaksa tidak dapat menyelenggarakan Check and Balance

System dalam melaksanakan surat perintah melakukan penelitian untuk dapat diperiksanya

berkas penyidikan dan memberikan petunjuk kepada penyidik untuk dilengkapi apabila

terdapat bukti yang kurang atau perihal lain bagi hasil penyidikan yang dipertimbangkan

belum lengkap.25

Jaksa dalam melakukan penelitian terhadap hasil penyidikan, tidaklah turun langsung

ke dalam proses penyidikan, dimana penyidikan tambahan oleh jaksa hanya dilakukan apabila

terdapat kendala dari pihak kepolisian dan dalam hal ini seringkali baik Polisi maupun Jaksa

tidak melakukan koordinasi, dikarenakan secara khusus bagi Jaksa yang dikejar waktu untuk

menyelesaikan berkas, sehingga koordinasi yang dilakukan oleh penyidik seringkali hanyalah

terkait dengan adanya kasus yang menarik perhatian publik mereka terkadang berkoordinasi

untuk hal itu. Terlebih lagi Jaksa berusaha untuk menghindari adanya stigma mencampuri

tugas dan wewenang penyidik.26

Hal ini lah yang menjadi celah tidak terselenggaranya Check

and Balance System sebagaimana amanat peraturan perundang-undangan, sebagaimana hal

yang kemungkinan besar terjadi pada perkara Hasan Basri.

Hal yang terjadi pada Hasan Basri inilah yang menjadi celah hukum di Indonesia,

dimana hal ini berkaitan erat dengan sistem inquisitor yang menjadikan tersangka hanya

sebagai subjek sehingga penyidik cenderung menyalahgunakan kekuasaannya/abuse of power

yang jelas-jelas berkontradiksi dengan asas dari KUHAP yang meletakkan dasar persamaan di

mata hukum bagi tersangka dalam mendapatkan hak-hak dasarnya.27

24

Ibid., Hlm 280. 25

Hasil wawancara dengan Bapak Mudjiono, Kejaksaan Tinggi Kota Jakarta pada tanggal 11

Maret 2014 26

Hasil wawancara dengan Bapak Mudjiono, Kejaksaan Tinggi Kota Jakarta pada tanggal 11

Maret 2014

27 http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2014/02/Pretrial-Hearing-in-Indonesia.pdf,,

hlm. 4.

Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014

Page 15: KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM …

Dalam studinya, Komisi Hukum Nasional menemukan bahwa pemeriksaan untuk

melakukan penahanan, masih terdapat penyalahgunaan dalam tahap penyidikan oleh Polisi

dan penuntutan oleh jaksa.28

Studi tersebut menemukan, hal tersebut disebabkan karena

KUHAP dan peraturan pelaksanaannya memberikan kewenangan diskresional yang tinggi

kepada aparat penegak hukum. Penggunaan kewenangan tersebut sangat tergantung dari

penilaian subjektif aparat penegak hukum ditambah dengan peraturan perundang-undangan

yang banyak memberikan ruang intrepretasi bagi aparat penegak hukum.29

Potensi penyalahgunaan wewenang juga terjadi terhadap ketentuan KUHAP mengenai

“bukti permulaan yang cukup” karena KUHAP tidak pernah menjelaskan secara memadai

pengertian dan batasannya. Penafsiran atas “bukti permulaan yang cukup” akhirnya

diserahkan kepada aparat penegak hukum, yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum

dan berakibat pada metode kerja penyidik yang masih mewarisi cara-cara masa lalu yaitu

dengan “tangkap dulu baru pembuktian”. Penelitian KHN tersebut menyebutkan30

:

“Ketidakjelasan pengertian maupun batasan ”bukti permulaan yang cukup”

menunjukkan bahwa KUHAP tidak konsisten dengan semangat lahirnya, yaitu

menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang memilki hak-hak asasi yang

harus dihormati dan dijunjung tinggi. Bukti permulaan yang cukup merupakan dasar

untuk melakukan upaya paksa khususnya penangkapan dan penahanan, dalam

menggunakan upaya paksa ini telah terjadi pengurangan terhadap hak asasi manusia

yaitu kebebasan, sehingga harus betul-betul didasarkan pada bukti yang akurat dan

memadai, apalagi penangkapan, penahananan maupun upaya paksa lainnya terkait

dengan nama baik seseorang, meski di dalam hukum pidana digunakan asas praduga

tidak bersalah tetapi di tengah masyarakat orang yang pernah ditangkap dan ditahan

terkadang mendapat stigma yang negatif. Bukti permulaan yang cukup seharusnya

dikaitkan dengan ketentuan pasal 183 KUHAP yang mengatur tentang batas minimal

alat bukti yaitu minimal harus ada 2 (dua) alat bukti yang sah dan keyakinan hakim”

Keterkaitan antara bukti permulaan yang cukup menjadi faktor utama bagi fungsi

pelaksanaan Check and Balance System, yang mana merupakan keterkaitan hubungan

28

KHN, Penyalahgunaan Wewenang Dalam Penyidikan Oleh Polisi Dan Penuntututan Oleh Jaksa Dalam Proses Peradilan Pidana, (Jakarta: 2007), Hlm. 81.

29

Ibid.

30 Ibid, Hlm. 82

Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014

Page 16: KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM …

fungsional antara jaksa dan polisi. Hal ini lah yang menurut Penulis, bahwa diperlukannya

faktualisasi pengawasan antara Jaksa dan Polisi dalam menangani perkara pidana. Dalam hal

ini, polisi harus dapat bersikap lebih kooperatif terhadap Jaksa dalam mengirimkan SPDP

pada kesempatan pertama, sehingga Jaksa dapat mengikuti perkembangan perkara dari awal

dilakukannya penyidikan. Dengan demikian, korban salah tangkap seperti Hasan Basri dapat

dihindari di kemudian hari.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian hasil penelitian pada bab-bab sebelumnya mengenai hubungan

antara penyidik Polri dengan Jaksa Peneliti yang saling bekoordinasi dalam suatu tindak

pidana, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.

1. Dalam hubungan antara Penyidik Polri dengan Jaksa Peneliti, telah diletakkan

dasar dalam KUHAP mengenai adanya sebuah hubungan koordinasi yang dimulai

sejak awal dimulainya penyidikan dengan adanya pemberian SPDP dari Penyidik

ke Jaksa Peneliti, agar nantinya dapat diteliti oleh Jaksa Peneliti dan adanya berkas

P-18 dan P-19 sebagai bentuk pengawasan dari Jaksa Peneliti apabila berkas

penyidikan belum dapat dinyatakan lengkap, sehingga adanya sistem

perseimbangan dan seimbang anatara keduanya disini hanyalah dalam bentuk

berkas saja, dimana jaksa tidaklah mengetahui mengenai perkembangan mengenai

kasus sejak dimulainya penyidikan secara menyeluruh.

2. Terkait dengan penerapan Check and Balance System dalam kasus Hasan Basri

(studi kasus No. 219/PID/B/2012/PN JKT PST) belum terselenggara dengan baik,

mengingat adanya pembagian secara tegas mengenai wewenang penyidik dan

jaksa yang mengakibatkan adanya celah hukum yang cenderung dapat merugikan

hak-hak tersangka, dimana Penerapan koordinasi sistem ceking antara penyidik

Polri dengan jaksa peneliti dalam kasus Hasan Basri yang dalam KUHAP diatur

seharusnya terjadi koordinasi pada tahap dimulainya Penyidikan (SPDP) namun

dalam kenyataannya pemberian surat dimulainya penyidikan ini diberikan oleh

pihak Penyidik pada saat pelimpahan berkas yang mana kemudian tahap

koordinasi ini hanyalah sebatas kelengkapan materiil dan formil mengenai berkas

yang telah dilimpahkan oleh pihak penyidik kepada jaksa peneliti. Sehingga

dengan adanya korban salah tangkap terhadap Hasan Basri yang dilakukan oleh

Penyidik, menunjukkan tidak adanya perseimbangan dan seimbang dengan tidak

Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014

Page 17: KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM …

adanya pengawasan yang memadai terhadap jalannya penyidikan suatu perkara

terkait dengan aturan yang telah diatur dalam KUHAP dari Jaksa Peneliti,

sehingga aturan untuk saling koordinasi antara jaksa dan penyidik yang tidak

terselenggara mengorbankan hak-hak tersangka itu sendiri, dalam hal ini Hasan

Basri. Adapun faktor lain tidak adanya keseimbangan disini, dikarenakan pihak

kepolisian memisahkan secara tegas mengenai pembagian kewenangan, yang

mana kepolisian mempunyai wewenang dalam penyidikan dan jaksa dalam

penuntutan, adanya pembagian ini cenderung mengakibatkan adanya abuse of

power dari pihak kepolisian dalam mendapatkan keterangan mengenai suatu

perkara dalam tahap penyidikan tanpa adanya pengawasan dari Jaksa, namun hal

ini tidaklah berjalan sebagaimana seharusnya, dimana Hasan Basri merupakan

salah satu contoh kasus korban salah tangkap dikarenakan tidak adanya Check and

Balance System.

SARAN

1. Perlu adanya perbaikan sistem pada institusi penyidik Polri dan Kejaksaan, dimana

diadakannya pengawasan sebuah perkara yang dimulai sejak adanya penyidikan,

yang dalam hal ini bertujuan agar menghindari adanya proses salah tangkap yang

mana adalah sebuah pelanggaran Hak Asasi Manusia, terkait dengan upaya paksa

yang mengakibatkan hilangnya sebuah kemerdekaan seseorang dalam sementara

waktu. Model sistem peradilan pidana yang harus diperbaiki mengacu

keseimbangan kepentingan, yang mana model sistem ini memperhatikan berbagai

kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana yaitu kepentingan negara,

kepentingan umum, kepentinga nindividu, kepentingan pelaku tindak pidana, dan

kepentingan korban kejahatan yang mana hal ini didukung oleh check and balance

diantara lembaga tersebut.

2. Polri dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan penyidikan, harus berpatokan

dan berpegang pada ketentuan khusus yang diatur dalam hukum acara pidana dalam

hal ini adalah KUHAP (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981) mengingat di negara

Indonesia sebagai negara hukum yang menganut asas supremasi hukum yang

menegaskan bahwa segala tindakan pemerintah harus didasarkan atas peraturan

perundang-undangan yang sah dan tertulis atau disebut due process of law, terlebih

adanya pengurangan dominasi peranan di antara aparatur, yang seyogyanya justru

Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014

Page 18: KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM …

sudah seharusnya lebih diutamakan pandangan yang mengangkat kebersamaan dan

semangat bekerja sama yang tulus dan ikhlas serta positif diantara aparatur negara.

KEPUSTAKAAN

Buku

Garner, A. Bryan. Black's Law Dictionary. West Group:1999.

Husein, Harun M. Penyidikan Dan Penuntutan Dalam Proses Pidana. Jakarta: Rineka Cipta,

1991.

Mamudji, Sri, et.al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta : Badan Penerbit

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Miriam, Budiarjo. Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi

Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.

Nusantara, Abdul Hakim G, Luhut Pangaribuan dan Achmad Santosa. KUHAP (Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana) dan Peraturan-peraturan Pelaksana. Jakarta:

Djambata, 1992.

Prakoso, Djoko. POLRI sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum. Jakarta: Bina Aksara,

1987.

Internet

http://news.detik.com/read/2013/05/02/112627/2236111/10/?nd772204topnews. Diunduh

pada tanggal 26 Oktober 2013.

http://tempo.co/read/news/2012/02/10/214383015/Gara-gara-Mirip-Buron-Hasan-Masuk-

Penjara+&cd=19&hl=en&ct=clnk&gl=us. Diunduh pada tanggal 26 Oktober 2013.

http://www.columbia.edu/~cp2124/papers/JudicialChecksFinal_JPE.pdf. Diunduh pada

tanggal 12 Desember 2013.

http://kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3. Diunduh pada tanggal 12 Desember 2013.

Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014

Page 19: KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DAN JAKSA PENUNTUT UMUM …

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Risalah/risalah_sidang_5106. Diunduh pada tanggal 27

Desember 2013.

http://www.jsijournal.ie/html/Volume%204%20No.%202/4%5B2%5D_Mahoney_Right%20t

o%20a%20Fair%20Trial%20in%20Criminal%20Matters.pdf. Diunduh pada tanggal

27 Desember 2013.

http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2014/02/Pretrial-Hearing-in-Indonesia.pdf. Diunduh

pada tanggal 14 Januari 2014.

KASUS

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: Putusan Nomor 219/Pid.B/2012/Pn.Jkt Pst, (2012).

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1981. LN No.76

Tahun 1981. TLN. No. 3209.

________. Undang-Undang Kejaksaan RI. UU No. 16 Tahun 2004. LN No. 67 Tahun 2004.

TLN. No. 4401.

________. Surat Edaran JAMPIDUM-B-536/E/11/1993 Melengkapi Berkas Perkara Dengan

Melakukan Pemeriksaan Tambahan.

________. Surat Edaran Jaksa Agung No.SE-013/J.A/8/1982. Tanggal 20 Agustus 1982.

Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di

Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perkapolri No. 12 Tahun 2009.

Kewenangan penyidik..., Roberto Bosta Sianturi, FH UI, 2014