Peranan NU dalam Pendidikan Islam di Indonesia
description
Transcript of Peranan NU dalam Pendidikan Islam di Indonesia
Organisasi Sosial Keagamaan dan Pendidikan:
Nahdhatul Ulama
Iwan Wahyudi
Pendahuluan
Di Indonesia, organisasi sosial keagamaan dan pendidikan tidak terhitung jumlahnya, dari
yang berskala regional, nasional, maupun internasional ( berkantor cabang,dan berpengaruh
sampai ke luar negeri). Sebagian organisasi tersebut ada yang hanya bergerak di bidang
kegamaan, seperti Majelis Ulama Indonesia dan Dewan Gereja Indonesia, ada juga yang
hanya berkonsentrasi di bidang pendidikan, seperti Boedi Oetomo Ikatan Cendikiawan
Muslim Indonesia, dan Indonesia Mengajar.
Ada beberapa organisasi (baca: tidak banyak) yang bergerak di dua bidang tersebut
sekaligus bahkan lebih. Selain keagamaan dan pendidikan, ada beberapa organisasi yang juga
berkiprah di bidang ekonomi dan kesehatan. Diantara organisasi yang tidak banyak tersebut
adalah Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (selanjutnya disingkat NU).
Muhammadiyah dan NU merupakan organisasi raksasa, dengan basis pendukung
terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Sehingga keduanya pun memilki kekuatan potensial
(bukan praktis) juga dalam bidang politik, meskipun keduanya bukan partai politik. Apapun
yang terjadi dalam dua organisasi ini pasti akan berpengaruh terhadap kehidupan berbangsa
dan bernegara kita. Siapapun yang ingin memimpin negeri ini harus mendapat restu dari para
pemimpin kedua organisasi, atau salah satunya. Unik, canggih, dan hebat, memang.
Makalah ini tidak akan membahas sejarah Muhammadiyah dan NU secara detil.
Sebaliknya, tulisan ini hanya akan mencoba mengungkap kiprah NU sebagai organisasi sosial
yang bergerak di bidang keagamaan dan pendidikan dalam konteks keindonesiaan. Apa yang
akan tersaji dalam makalah singkat ini adalah sejarah singkat berdirinya NU, kiprah
perjuangan NU, serta sumbangan penting NU bagi Indonesia dalam bidang keagaaman dan
kependidikan. Penulis berharap tulisan singkat ini dapat menjadi pengantar terciptanya
sebuah diskusi yang hangat.
Seputar Berdirinya NU
Nahdlatul Ulama (NU), adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar di Indonesia.
Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan
ekonomi. Fakta menarik yang melatarbelakangi berdirinya NU adalah bahwa suatu waktu
Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah,
kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab
dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan
pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925.
Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam
Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli
terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat
delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari
segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya,
hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-
masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil
memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah
dan peradaban yang sangat berharga.
Beranggotakan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional, maka setelah
itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk
mengantisipasi perkembangan zaman. Setelah adanya koordinasi berbagai kyai, akhirnya
muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama
(Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh
K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy’ari
merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad
Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU,
yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam
bidang sosial keagamaan.
Berdirinya NU pada hakikatnya merupakan pelembagaan dari tradisi Islam yang
sudah ratusan tahun hidup dan berkembang di nusantara. Kelahiran NU tidak dapat
dipisahkan dari kelahiran Nahdlatul Wathan yang berdiri pada tahun 1914, Nahdlatut
Tujjar (1918) dan Tashwirul Afkar (1918) yang juga didirikan oleh para ulama pendiri
NU. Nahdlatul Wathan yang artinya kebangkitan bangsa atau tanah air merupakan
organisasi pendidikan dan dakwah untuk menyediakan sumber daya manusia yang berwatak
religius dan nasionalis. (A. Muhamin Iskandar, 2009; 150-151).
Kontribusi berharga NU dalam konteks keindonesiaan adalah perjuangannya
mengembangkan Islam tradisi yang moderat. Dari era KH. Hasyim Asy’ari, KH.
Abdurrahman Wahid, hingga sekarang PBNU yang dinahkodai KH. Said Aiel Siradj, tetap
teguh dalam mengampanyekan Islam moderat ala Indonesia, yang besikukuh pada empat
pilar kebangsaan; Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Dan kebulatan
tekad mengukuhkan empat pilar kebangsaan ini adalah salah satu keputusan Muktamar NU
di Makasar di awal-awal tahun 2012 silam.
Bidang Keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah waljama’ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan
tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu
sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur’an, sunnah, tetapi juga menggunakan
kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari
pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang
teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi’i dan
mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali
sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam
bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang
mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk
menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode
berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU
dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan
dinamika sosial dalam NU.
Bidang Pendidikan
Berbicara NU tak ubahnya membicarakan pesantren, lahirnya NU tidak dapat dipisahkan dari
pergumulan pesantren. Pesantren merupakan sumbangan terbesar NU bagi pendidikan
generasi muda di negeri ini. Hingga saat ini sudah ada ribuan pesantren yang tersebar di
penjuru nusantara. Di pesantren inilah generasi muda NU mendapatkan pendidikan formal
dan informal. Selain ilmu keagamaan, para santri juga mendapat materi keilmuan kurukulum
formal dari pemerintah, sehingga mereka memperoleh bidang keilmuan secara seimbang. Hal
ini tentu tidak akan didapat dari lembaga pendidikan lain. Bahkan dibeberapa pesantren,
dewasa ini, para santri juga dibekali ketrampilan-hidup (life-skill) seperti; menjahit,
komputer, bertani, beternak, otomotif, dan lain sebagainya, agar ketika lulus dari pesantren
kelak para santri benar-benar siap terjun dan mengabdi di masyarakat. Inilah yang
menjadikan pesantren sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sesungguhnya.
Banyak hal menarik jika kita berbincang soal pesantren. Nurcholish Madjidmenyebut
pesantren sebagai lembaga pendidikan ter-genuine dan mengandung makna
Keindonesiaan (indigenous). Cak Nur menyatakan: “Pesantren atau pondok adalah lembaga
yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan
nasional. Pesantren tidak hanya identik dengan keislaman, melainkan juga mengandung
makna keaslian Indonesia (indigenous)”. (Nurcholish Madjid, 1997; 3). Bahkan, Gus Dur—
sapaan akrab KH. Abdurahman Wahid—menegaskan bahwa khazanah yang ada dalam
pesantren merupakan sub kultur dari pada Islam itu sendiri. Inilah yang menurut saya
mengapa pendidikan pesantren tetap survive hingga saat ini, bahkan di tengah gempita
globalisasi sekalipun.
Ditinjau dari sudut sejarahnya, sebagaimana dikemukakan oleh Hasbullah (1995: 138)
bahwa Pesantren yang merupakan “Bapak” dari pendidikan Islam di Indonesia, didirikan
karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman, sesungguhnya pesantren dilahirkan atas
kesadaran kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran
Islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama atau da’i. Marwan Saridjo (1982: 7)
mengemukakan bahwa kedudukan pondok pesantren hampir-hampir tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan umat Islam. Ia lahir semenjak Islam singgah ke nusantara sehingga
pertumbuhannya tidak dapat terpisahkan dari sejarah pertumbuhan masyarakat Indonesia.
Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, resistensi pesantren terhadap segala
perubahan zaman telah membuktikan keberadaannya hingga ia masih mengakar kuat dan
semakin menjamur diberbagai pelosok negeri ini.
Corak tersendiri dari kehidupan pesantren dapat dilihat juga dari struktur pengajaran
yang diberikan dari sistematika pengajaran, dijumpai jenjang pelajaran yang berulang-ulang
dari tingkat ke tingkat tanpa terlihat kesudahannya. Struktur pengajaran yang unik dan
memiliki khas ini tentu saja juga menghasilkan pandangan hidup dan aspirasi yang khas pula.
(Abdurrahman Wahid, 2010: 7).
Dari berbagai keontetikan dan kebertahanan pesantren, KH. Said Aqiel Siradj
berkesimpulan bahwa pesantren itu tidak terlepas dari al-mas’uliyah al-arba’ah (empat
kapabilitas), yaitu pertama, mas’uliyah aldiniyah (religion capability) yang
diimplementasikan dalam kiat pesantren untuk memperjuangkan da’wah Islamiyah yang
nota bene dia berarti sebagai tumpuan harapan pemecahan semua masail al-diniyah.
Kedua, al-mas’uliyah al-tsaqafiyah (educational capability) yang lebih meningkatkan
kualitas pembelajaran dan pendidikan umat. Ketiga, al-mas’uliyyah al-amaliyyah (pratice
capability) yang lebih mengutamakan pada realisasi hukum Islam/syariat dalam kehidupan
pribadi maupun kehidupan sosial-masyarakat. Keempat, al-mas’uliyyah al-qudwah (moral
capability) yang lebih memusatkan pada perilaku akhlak al-karimah. (Said Aqil Siradj: 2007:
51).
Kontribusi Penting NU
Dari awal berdirinya, NU tampak begitu konsisten mendidik bangsa ini untuk menjadi
‘dewasa’ dalam beragama dan bernegara. NU (satunya-satunya) organisasi yang sangat
menentang sikap-sikap ekstrim dalam beragama sejak awal.
Tahun 1925, (kyai) NU melalui Komite Hijaz berhasil mencegah terbentuknya
Khilafat Islam di Mekah oleh Ibnu Sa’ud yang hendak menjadikan umat Islam bermazhab
tunggal, Wahabi. Kita tidak bisa membayangkan seperti apa wajah dunia Islam sekarang ini
jika rencana Raja Sa’ud tersebut benar-benar terwujud.
Pada zaman perang kemerdekaan, Rais Akbar NU KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan
Resolusi Jihad dengan fatwa wajib bagi umat Islam beperang melawan dan mengusir
penjajah keluar dari negeri ini. Mungkin inilah fatwa yang paling efektif yang pernah keluar
dibanding fatwa lain yang pernah dikeluarkan (oleh MUI sekalipun). Dengan Resolusi Jihad-
nya tadi Mbah Hasyim (lewat Bung Tomo) telah membakar semangat para pejuang santri dan
non-santri untuk bejuang total tanpa takut melawan penjajahan sekutu.
Kontribusi lain oleh (kyai) NU adalah apa yang diperjuangkan KH. Wachid Hasyim,
putera KH. Hasyim Asy’ari dalam perumusan UUD bagi Negara Indonesia yang baru lahir.
Beliau berhasil meyakinkan PPKI untuk menghilangkan 7 kata dalam Piagam Jakarta yang
menjadi pembukaan UUD 1945. 7 kata tersebut adalah: Dengan kewajiban menjalankan
syriat bagi orang Islam. Dengan hilangnya 7 kata tersebut, Indonesia terhindar dari bentuk
Negara Agama.
Yang paling fenomenal tentu sosok KH. Abdurrahman Wahid, putera KH. Wachid
Hasyim ( Ketua Umum PBNU 1984 – 1998). Beliau secara konsisten mendidik bangsa ini
untuk bersikap toleran terhadap kaum minoritas, baik etnis, ras, maupun penganut agama.
Beliau berhasil memperkenalkan Islam sebagai rahmatan lil’alamin meskipun dengan resiko
dikafirkan oleh saudara muslim yang lain. Beliau memang kontroversial, karena menurut
beliau inti dari sebuah demokrasi adalah kontroversi. Beliau tokoh yang menolak
pembubaran Ahmadiyah, beliau juga menentang kasus pemberedelan Mingguan Monitor
(milik Arswendo Atmoiloto), pernah juga membuka wacana hubungan dagang RI-Israel,
mengesahkan Hari Raya Imlek, menentang hukuman mati Salman Rushdie yang divonis In
Abcentia oleh Ayatulloh Khomaeni. Sekilas apa yang beliau lakukan terlihat controversial.
Namun pada hakikatnya beliau sedang memperjuangkan nilai-nilai dasar pluralism, dimana
setiap perbedaan pendapat sangat dihargai, dan menurut beliau inilah salah satu pesan penting
Islam yang dahulu pernah disampaikan Nabi Muhammad, tidak ada paksaan dalam
(ber)agama, bagimu agama (kepercayaan, pendapat)mu bagiku agamaku, perbedaan
pendapat diantara umatku adalah rahmat.
Secara umum, NU dan pesantrennya (kyai, santri, dan norma di dalamnya) telah
memberi kontribusi yang begitu besar bagi bangsa ini seperti yang dijelaskan diatas. Tanpa
NU, saya tidak yakin Islam akan menjadi agama mayoritas di negeri ini. Basis NU yang di
pedesaan (mayoritas penduduk Indonesia berada di desa) bisa menjelaskan hal itu. Akhir
kata, NU benar-benar unik, canggih, dan hebat.
DAFTAR PUSTAKA
Aqiel, Said Siradj, 2007, Teks Pesantren tentang Pendidikan Kebangsaan. Jakarta: Jurnal
EDUKASI DEPAG RI.
Aqiel, Said Siradj, 2009, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Jakarta: Yayasan KHAS.
Hasbullah, 1995, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo.
Iskandar, A. Muhaimin, 2009, Momentum untuk Bangkit: Percikan Pemikiran Ekonomi,
Politik, dan Keagamaan, Yogyakarta: LKiS.
Madjid, Nurcholish, 1997, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta:
Paramadina.
Saridjo, Marwan. Produk Pesantren di Indonesia. Jakarta: DEPAG. 1982.
Wahid, Abdurrahman, 2010 Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren. Yogyakarta: LKis.