PERAN TOKOH MASYARAKAT KECAMATAN PENJARINGAN...
Transcript of PERAN TOKOH MASYARAKAT KECAMATAN PENJARINGAN...
PERAN TOKOH MASYARAKAT KECAMATAN PENJARINGAN JAKARTA UTARA DALAM UPAYA PENGELOLAAN
DAN PENINGKATAN FUNGSI TANAH WAKAF Studi Kasus Kelurahan Penjaringan Kota Administrasi
Jakarta Utara
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah
Oleh:
Muhamad Irsyad NIM: 102043224956
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2010 M/1431 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 22 September 2010
MUHAMAD IRSYAD
iii
بسم اهللا الرمحن الرحيمKATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
nikmat dan karunia-Nya sehingga dengan izin dan ridho-Nya penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini sesuai yang diharapkan. Shalawat serta salam
selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. dengan kehadirannya telah
memberikan pencerahan, ketenangan dan kenyamanan hidup manusia. Dan tidak lupa
pula kepada para sahabatnya dan orang-orang yang telah mengikuti dan mentaati
ajaran-Nya hingga akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini sangat jauh dari sempurna atau boleh
dikatakan masih banyak kekurangan yang terdapat di dalamnya. Namun demikian
dengan segala keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki penulis, maka penulis
berusaha semaksimal mungkin agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Dan juga penulis menyadari bahwa tidak akan pernah sanggup dalam mengatasi
berbagai macam hambatan yang mengganggu lancarnya penulisan ini tanpa adanya
bantuan dan dukungan yang bersifat materil maupun spirituil baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH.,MA.,MM., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan
iv
Pembantu Dekan I, II, dan III yang telah membimbing dan memberikan ilmu
kepada penulis.
2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA., Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan
Hukum, Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. selaku Sekretaris Jurusan
Perbandingan Mazhab dan Hukum yang telah membimbing dan mengarahkan
segenap aktifitas yang berkenaan dengan jurusan.
3. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, pembimbing yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, pengarahan dan nasehat
kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Kepala KUA Kecamatan Penjaringan beserta staf-stafnya yang terkait, Camat
Penjaringan beserta staf-stafnya yang terkait dan para tokoh masyarakat Se-
kecamatan Penjaringan yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk
memberikan data dan informasi yang berkenaan dengan skripsi penulis.
5. Karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
yang telah memberikan fasilita sehingga memperoleh informasi yang dibutuhkan.
6. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan kepada penulis selama masa pendidikan berlangsung.
7. Kedua Orang Tua penulis yang tercinta, Ayahanda H. Abdul Gafar dan Ibunda
Hj. Idah, yang dengan segala pengorbanannya berupa harta dan do’a serta
motivasi yang tiada henti-hentinya dan saudara-saudaraku tercinta M. Suhandi,
Humayah,S.Ag, Abd. Mufid, S.Ag, Abd. Azis, S.Hi, tanpa terkecuali yang
memberikan motivasi dan membantu penulis sehingga dapat menyelesaikan
v
skripsi ini, dan doa guruku, yang telah memberi motivasi dan membantu penulis
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada sahabat-sahabat penulis: Keluarga Besar Forum Komunikasi Kader
Konservasi Indonesia DKI Jakarta, Komunitas Peduli Kali Angke, Gerakan
Pemuda Ansor Jakarta Utara, KNPI Jakarta Utara, KMB UIN, Rizqi Farahyona,
S.Hi, Ust. Muhayar, S.Hi, Budi Agung, M. Iqbal, S,Hi, Subhan Anshori, S.Hi,
Ahmad Junaidi, S.Pd, M. Junaidi, Chairil Anwar, Zarkasih Tanjung, Ade
Suryana, Feih, Ust Mamat, Nurhasan, Suryadi, S.Hi, Noerhasanah Suhaimi, S.Hi,
Kiki, Muhyidin, Iwan, terima kasih untuk semuanya yang telah menemani penulis
suka maupun duka dari awal hingga akhir kuliah.
9. Kepada teman-teman Fakultas Syari’ah dan Hukum khususnya Jurusan
Perbandingan Hukum angkatan 2002 yang telah memberikan inspirasi dan
bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak
langsung namun demikian tidak mengurangi rasa hormat dan terima kasih
penulis.
Akhirnya penulis berharap semoga segala amal baik semua pihak mendapat
balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Jakarta: 22 September 2010 M 13 Syawal 1431 H
P e n u l i s
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ……………………………………………………... i
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………….... ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 9
D. Metode Penelitian .................................................................... 9
E. Sistematika Penulisan .............................................................. 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERWAKAFAN
A. Perwakafan Menurut Hukum Islam dan Dasar Hukumnya ....... 14
B. Fungsi, Unsur dan Syarat-syarat Perwakafan ........................... 20
C. Perwakafan Menurut PP. No. 28 Tahun 1977 ........................... 40
D. Pengelolaan dan Pengembangan Tanah Wakaf Produktif ......... 46
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Letak Geografis Kec. Penjaringan ............................................ 50
vii
B. Keadaan Demografis Kec. Penjaringan .................................... 53
C. Keadaan Sosiologis Kec Penjaringan ....................................... 55
BAB IV PENGELOLAAN DAN PENINGKATAN FUNGSI TANAH
WAKAF DI KELURAHAN PENJARINGAN JAKARTA
UTARA
A. Proses Administrasi Perwakafan di KUA Kecamatan
Penjaringan .............................................................................. 59
B. Fungsi Pengadministrasian Perwakafan Tanah Menurut
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 ................................ 64
C. Efektifitas Nadzir Dalam Pengelolaan dan Peningkatan Fungsi
Tanah Wakaf di Kelurahan Penjaringan ................................... 69
D. Peran Tokoh Masyarakat Dalam Upaya Pengelolaan dan
Peningkatan Fungsi Tanah Wakaf di Kelurahan Penjaringan .... 73
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 79
B. Saran ....................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 82
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................... 85
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut pandangan Islam pemilik mutlak seluruh harta benda ialah Allah
SWT. Manusia ditunjuk oleh Allah sebagai penguasa terhadap benda itu yang
harus mengelolanya sesuai dengan petunjuk-Nya. Yaitu digunakan untuk
keperluan dirinya dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan kemaslahatan umat
manusia pada umumnya.
Sebagai kelanjutan dari ajaran tauhid, yang berarti bahwa segala sesuatu
harus berpuncak pada kesadaran akan adanya Allah SWT, maka lembaga
perwakafan merupakan salah satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam Islam
yang menyatakan tentang prinsip pemilikan harta dalam ajaran Islam tidak
dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang.1 Sesuai dengan firman Allah
SWT dalam surat al-Baqarah ayat 267, yaitu:
ض ياألر نم ا لكمنجرا اخممو متبا كسم اتبطي نا مقوفا انونام نيا الذها أيوال تيمموا الخبيث منه تنفقون ولستم باخذيه اال أن تغمضوا فيه واعلموا ان
ح غني اللهدي267: 2/البقرة. (م( Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
1 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia (Sejarah Pemikiran, Hukum, dan
Perkembangannya), (Bandung: Yayasan Plara, 1995), h. 1
2
buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Al-Baqarah/2: 267)
Ayat di atas menerangkan bahwa kita diperintahkan oleh Allah untuk
beramal sholeh kepada orang lain dengan jalan menafkahkan sebagian dari harta
kekayaan. Harta dalam agama Islam tidaklah hanya dinikmati oleh sendiri,
melainkan harus dinikmati bersama. Ini berarti bahwa Islam mengajarkan fungsi
sosial harta. Untuk itulah diciptakan lembaga perwakafan.
Fungsi sosial dari perwakafan tanah mempunyai arti bahwa penggunaan
hak milik tanah seseorang harus memberi manfaat langsung kepada masyarakat.
Dalam ajaran terhadap harta benda (tanah) tercakup di dalamnya benda lain,
dengan perkataan lain bahwa benda (tanah) tersebut.2
Seperti yang dimaksud dalam firman Allah dalam adz-Dzariat, ayat 19 :
) 19: 51/الذريات(وفي أموالهم حق للسائل والمحروم Artinya : “Dan di dalam harta benda mereka ada hak bagi orang yang minta
(karena tidak punya) dan bagi orang-orang yang terlantar”. (QS : adz-Dzariyat/51 : 19)
Mewakafkan harta benda jauh lebih utama dari bersedekah dan berderma
biasa, lagi pula jauh lebih besar manfaatnya, sebab harta wakaf itu kekal dan terus
selama harta itu masih tetap menghasilkan atau masih tetap dieksploitir
sebagaimana layaknya dengan cara produktif. Oleh sebab itu bagi kepentingan
2 Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di
Indonesia, (Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004), cet. Ke-2, h.14.
3
masyarakat bentuk harta wakaf amat besar manfaatnya dan amat diperlukan untuk
kelangsungan kegiatan-kegiatan keIslaman.3
Wakaf adalah tergolong kepada ibadah muamalah, yakni ibadah yang
mempunyai hubungan dengan sesama manusia, sehingga untuk menjamin
kelestariannya diperlukan adanya perlindungan hukum.
Mengingat pentingnya persoalan perwakafan ini, maka Undang-undang
Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 telah mencantumkan adanya suatu ketentuan
khusus mengenai masalah perwakafan ini. Sebagaimana tersebut dalam Pasal 49
ayat (3) yang menyatakan : Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Undang-
undang Pokok Agraria tersebut baru dikeluarkan pada tanggal 17 Mei 1977 yang
berwujud Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 (LN, 1977 No.38) tentang
Perwakafan Tanah Milik.
Peraturan pemerintah No.28 Tahun 1977 ini mengatur tentang teknis
administrasi dengan menunjuk pejabat yang berwenang mengenai masalah
perwakafan tanah yang berupa Peraturan Pelaksanaan. Pejabat yang mempunyai
wewenang dalam hal ini adalah Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 17 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.28
Tahun 1977 tersebut.
3 Abdurrahman, Masalah Perwakafan tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara
Kita, (Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, 1990), cet ke-3, h.8
4
Adapun peraturan pelaksanaan yang diatur oleh kedua Menteri tersebut
adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No.06 1977 tentang Tata Cara
Pendaftaran Perwakafan Tanah Milik, Peraturan Menteri Agama No.1 Tahun
1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977
tentang Perwakafan Tanah Milik. Instruksi bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri No.1 Tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Peraturan
Pemerintah No.28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan Peraturan
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/D/75/78 tentang
Formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-peraturan tentang Perwakafan
Tanah Milik.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 dan
berbagai peraturan pelaksanaannya maka telah terjadi suatu pembaharuan di
bidang perwakafan tanah, di mana persoalan tentang perwakafan tanah milik ini
telah diatur, ditertibkan dan diarahkan sedemikian rupa sehingga benar-benar
memenuhi hakikat dan tujuan perwakafan sesuai dengan ajaran Islam. Selanjutnya
diharapkan dengan berbagai peraturan dimaksud maka persoalan tentang
perwakafan tanah dapat ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya.
Salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum,
perlu meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya
bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki
kekuatan ekonomi yang berpotensi, antara lain, untuk memajukan kesejahteraan
5
umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip
syariah.4
Saat ini wakaf mendapat tempat pengaturan secara khusus di antara
perangkat peraturan perundang-undangan di Indonesia, dalam hal ini berbentuk
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, maka diharapkan ini merupakan
momentum yang sangat strategis dalam upaya pemberdayaan secara produktif.
Dengan kata lain, secara komprehensif-substansif, Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 merupakan wujud adanya pembaharuan hukum perwakafan di
Indonesia, yang menegaskan adanya paradigma baru wakaf serta sebagai
instrument hukum pengembangan dan pengolahan tanah wakaf ke arah produktif.
Selanjutnya dengan adanya pengaturan tersebut maka lembaga ini tidak
lagi dipandang sebagai suatu lembaga keagamaan yang bersandar pada hukum
Islam semata, akan tetapi sudah ditingkatkan kedudukannya sebagai suatu
lembaga formal di dalam Perundang-undangan. Sehingga segala sesuatunya tidak
hanya harus memenuhi segala persyaratan yang diatur dan ditentukan oleh ajaran
agama Islam semata akan tetapi juga harus memenuhi segala macam persyaratan
formal yang ditentukan dalam berbagai peraturan tentang perwakafan.
Secara konseptual, Islam mengenal lembaga wakaf sebagai sumber aset
yang memberikan kemanfaatan sepanjang masa. Di negara-negara muslim lain
wakaf telah diatur sedemikian rupa sehingga mempunyai peran yang cukup
4 Direktorat Jenderal Bimbingan Mayarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, (Jakarta; Departemen Agama Republik Indonesia, 2005), h. 40
6
signifikan dalam rangka mensejahterakan kehidupan masyarakat. Sedangkan di
Indonesia, sampai saat ini pengelolaan dan pendayagunaan harta wakaf
(produktif) masih juga ketinggalan dibanding dengan Negara-negara muslim lain
seperti Arab Saudi, Yordania, Qatar, Kuwait, dan Mesir.
Dalam pengelolaan harta produktif, pihak yang paling berperan berhasil
tidaknya pemanfaatan harta wakaf adalah nadzir wakaf, yaitu seseorang atau
sekelompok orang dan badan hukum yang diserahi tugas oleh wakif (orang yang
mewakafkan hartanya) untuk mengelola wakaf. Walaupun dalam kitab-kitab fiqih
ulama tidak mencantumkan nadzir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf, karena
wakaf merupakan ibadah tabaru’ (pemberian yang bersifat sunnah). Namun
demikian, setelah memperhatikan tujuan wakaf yang ingin melestarikan manfaat
dari hasil wakaf, maka keberadaan nadzir profesional sangat dibutuhkan, bahkan
menempati pada peran sentral. Sebab di pundak nadzirlah tanggung jawab dan
kewajiban memelihara, menjaga dan mengembangkan wakaf serta menyalurkan
hasil atau manfaat dari wakaf kepada sasaran wakaf.5
Praktek wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum
sepenuhnya berjalan tertib dan efisien, sehingga dalam berbagai kasus yang terjadi
banyak harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau
beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian
itu, disebabkan tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan nadzir dalam
mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, melainkan juga karena sikap
5 Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis Di Indonesia, (Jakarta; Deoartemen Agama Republik Indonesia, 2004), h.37
7
masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf
yang seharusnya dilindungi demi kesejahteraan umum yang sesuai dengan tujuan,
fungsi, dan peruntukan wakaf.
Salah satu hambatan bagi pemanfaatan wakaf yang kurang optimal yakni
kurangnya pemahaman dan kepedulian umat Islam terhadap wakaf dan kebiasaan
masyarakat kita yang ingin mewakafkan sebagian hartanya dengan
mempercayakan penuh kepada seseorang yang dianggap tokoh dalam masyarakat
sekitar, seperti kyai, ulama, ustadz, ajengan, dan lain-lain untuk mengelola harta
wakaf sebagai nadzir. Sedangkan orang yang ingin mewakafkan harta (wakif)
tidak tahu persis kemampuan yang dimiliki nadzir tersebut, bisa jadi ia (nadzir)
tidak mempunyai kemampuan manajerial dalam pengelolaan tanah atau bangunan
sehingga harta wakaf tidak bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Di samping
karena kurangnya aspek pemahaman yang utuh tentang wakaf dalam Islam, umat
Islam (khususnya Indonesia) juga belum menyadari betul akan pentingnya wakaf
dalam kehidupan kesejahteraan masyarakat banyak.6
Berdasarkan hasil penelitian awal yang telah dilaksanakan penulis di
wilayah Kecamatan Penjaringan, menunjukkan bahwa pengelolaan perwakafan di
Kelurahan Penjaringan relatif tinggi dibanding kelurahan lainnya, menurut data
perkembangan tanah wakaf pada KUA kecamatan penjaringan pada tahun 2005
terdapat 64 lokasi tanah wakaf, sedangkan pada kelurahan lain rata-rata hanya
6 Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat dan
Penyelenggaraan Haji, Perkembangan Pengelolaan Wakaf Di Indonesia, (Jakarta; Deoartemen Agama Republik Indonesia, 2003), h.40
8
mencapai 10 sampai 30 lokasi tanah wakaf, hal ini disebabkan respon masyarakat
di Kelurahan tersebut cukup tinggi dalam menanggapi perwakafan, aktif dan
kompaknya tokoh masyarakat, dan banyaknya Ulama, ustadz diwilayah tersebut
sehingga menjadi pengaruh bagi masyarakat yang lain dalam mensosialisakan
pentingnya mewakafkan tanah di wilayah tersebut, sedangkan di kelurahan lain
minimnya Ulama, ustadz dan kurangnya respon masyarakat dalam menangapi
persoalan perwakafan.
Mengingat hal tersebut, penulis berasumsi bahwa terdapat faktor-faktor
yang menjadi penunjang dalam peningkatan tanah wakaf pada wilayah tersebut,
lalu bagaimanakah peran wakaf dikelurahan tersebut bagi pemberdayaan
masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis semakin tertarik untuk
menyusun skripsi dengan judul “PERAN TOKOH MASYARAKAT
KECAMATAN PENJARINGAN JAKARTA UTARA DALAM UPAYA
PENGELOLAAN DAN PENINGKATAN FUNGSI TANAH WAKAF (Studi
Kasus Kelurahan Penjaringan Kota Administrasi Jakarta Utara)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar teraturnya pembahasan ini maka penulis akan memberikan batasan
dan perumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana peran wakaf bagi pemberdayaan masyarakat di Kelurahan
Penjaringan?
2. Bagaimana peran Tokoh Masyarakat dalam upaya pengelolaan dan
peningkatkan fungsi tanah wakaf di kelurahan penjaringan?
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Setiap kali seseorang melakukan sesuatu maka tidak terlepas dari motif
apa tujuan orang tersebut, maka dari itu dalam hal ini penulis akan menguraikan
beberapa tujuan dari penulisan ini diantaranya :
1. Untuk mengetahui peran wakaf bagi pemberdayaan masyarakat di Kelurahan
Penjaringan
2. Untuk mengetahui peran Tokoh Masyarakat dalam upaya pengelolaan dan
peningkatkan fungsi tanah wakaf di kelurahan penjaringan.
Sedangkan manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagi penulis sendiri, dapat menambah pengetahuan yang berharga mengenai
Peran Tokoh Masyarakat Kecamatan Penjaringan dalam upaya pengelolaan
dan peningkatan fungsi tanah wakaf di kelurahan penjaringan.
2. Memberikan kejelasan pada masyarakat mengenai peran wakaf bagi
pemberdayaan masyarakat di Kelurahan penjaringan Jakarta Utara.
3. Sebagai bahan bacaan tambahan di kalangan akademis dan sumber referensi
untuk mendalami pengetahuan mengenai masalah-masalah dalam perwakafan.
D. Metode Penelitian
Untuk mengumpulkan data dalam penulisan skripsi ini, penulis
menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis penelitian
10
Adapun jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah
data kualitatif yakni deskripsi berupa kata-kata, ungkapan, norma-norma atau
aturan-aturan dari fenomena yang diteliti. Oleh karena itu, penulis berupaya
mencermati mengenai peran Tokoh Masyarakat Kecamatan Penjaringan dalam
upaya pengelolaan dan peningkatan Fungsi tanah wakaf di Kelurahan
Penjaringan.
Sedangkan dari segi tujuan dalam penelitian ini termasuk dalam
penelitian yang bersifat deskriptif analisis yakni penelitian lapangan yang
menggambarkan data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang
diperoleh secara mendalam.7
Dan dari segi tipe penelitian hukum penelitian doktriner komperatif.
Penelitian ini juga termasuk jenis penelitian kepustakaan (library reseach),
penelitian kepustakaan dilakukan dengan menggunakan metode yaitu dari
buku-buku, makalah-makalah wakaf, brosur-brosur dan lain-lain yang
berkaitan dengan skripsi ini.
2. Teknik pengumpulan data
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu dengan membaca
literatur-literatur yang ada di perpustakaan yang berhubungan erat dengan
masalah pengelolaan dan peningkatan fungsi tanah wakaf.
7 Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: PT. Rineka Bakti, 1993), cet. ke-2,
hal. 309
11
b. Penelitian Lapangan (Field Research), peneliti langsung terjun kelapangan
(KUA Kecamatan Penjaringan, Kelurahan Penjaringan Kecamatan
Penjaringan Jakarta Utara) untuk memperoleh data-data yang berkaitan
dengan pokok permasalahan dengan menggunakan tehnik sebagai berikut :
1) Dokumentasi, yaitu menyelidiki dokumen-dokumen tertulis untuk
memperoleh data, seperti berkas-berkas, arsip, internet, majalah, dan
lain-lain.
2) Wawancara/Interview, yaitu pengambilan data dengan menggunakan
Tanya jawab yang ditujukan kepada pegawai KUA, ulama, dan tokoh
masyarakat mengenai pengelolaan dan peningkatan fungsi tanah wakaf
di Kelurahan Penjaringan.
3) Observasi yang merupakan sebuah proses penelitian secara mendalam
untuk mengetahui kinerja pengelolaan dan peningkatan fungsi tanah
wakaf yang terjadi di wilayah Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara.
3. Teknik analisa data
Setelah data terkumpul lalu dianalisa dengan analisa kualitatif lalu di
interprestasikan sedemikian rupa dengan metode deduktif.
Penelitian ini menggunakan konten analisis yaitu teknik analisis yang
berusaha menyimpulkan dengan menarik bagian atau hal yang bersifat khusus
dalam bentuk kasus dan data-data lapangan menjadi kesimpulan umum yang
berlaku secara general.
12
Teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007”.
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penyusun menyelesaikan pembahasan secara
sistematis, maka perlu disusun sistematika pembahasan sedemikian rupa. Adapun
sistematika yang akan diuraikan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN, meliputi: Latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERWAKAFAN, meliputi:
Perwakafan menurut hukum islam dan dasar hukumnya, fungsi, unsur dan syarat-
syarat perwakafan, perwakafan menurut PP. No. 28 Tahun 1977, pengelolaan dan
pengembangan tanah wakaf produktif
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN, meliputi:
Letak geografis Kec. penjaringan, keadaan demografis Kec. penjaringan, keadaan
sosiologis kecamatan penjaringan.
BAB IV PENGELOLAAN DAN PENINGKATAN TANAH WAKAF
DI KELURAHAN PENJARINGAN JAKARTA UTARA, meliputi: Proses
Administrasi Perwakafan di KUA Kecamatan Penjaringan, Fungsi
Pengadministrasian Harta Wakaf Tanah Milik Menurut Peraturan Pemerintah No.
28 Tahun 1977, Efektifitas Nadzir Dalam Pengelolaan dan Peningkatan Tanah
13
Wakaf di Kelurahan Penjaringan, Peran Tokoh Masyarakat Dalam Upaya
Pengelolaan dan Peningkatan Fungsi Tanah Wakaf di Kelurahan Penjaringan,
BAB V PENUTUP, meliputi: Kesimpulan dan saran-saran yang
berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERWAKAFAN
A. Perwakafan Menurut Hukum Islam dan Dasar Hukumnya
1. Pengertian Wakaf
Kata Wakaf atau Waqf berasal dari bahasa Arab. Asal kata “وقف” yang
berarti “menahan” atau “berhenti” atau “berdiam di tempat” atau “tetap
berdiri”. Kata “ یقـف - - وقـفا sama artinya dengan ”وقـف 1. "احبست - یحبس - حبس"
Wakaf dalam kamus Istilah Fiqih adalah memindahkan hak milik
pribadi menjadi milik suatu badan yang memberi manfaat bagi masyarakat.2
Secara terminologi, wakaf adalah sejenis pemberian yang
pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal, lalu
menjadikan manfaatnya menjadi umum. Yang dimaksud dengan pemilikan
asal ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan,
digunakan dalam bentuk dijual, dihibahkan, digadaikan, dipinjamkan, dan
sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah dengan menggunakannya
sessuai dengan kehendak pemberi wakaf tanpa imbalan.3
Wakaf menurut istilah yuridis adalah menyediakan suatu harta benda,
yang digunakan hasilnya untuk kepentingan/kemaslahatan umum. Menurut H.
1 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih bahasa oleh Kamaluddin A., dkk., vol. XIV, Cet. VIII, (Bandung: Al Ma’arif, 1996), h. 148
2 M. Abdul Mujieb dkk, kamus Istilah Fiqih, Cet. III (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 414 3 Muhamad Jawad Mughirah, Fikih Lima Mazhab, (Jakarta : PT. Lentera Basritama, 1996),
Cet. Ke-1, h. 635
15
Muhammad Thahir Azhary, wakaf adalah suatu lembaga sosial Islam yang
lazim dipahami “menahan suatu benda untuk diambil manfaatnya dan
dilembagakan guna kepentingan umum”. Artinya benda tersebut tidak
dialihkan oleh siapapun dan dijadikan sebagai suatu lembaga sosial yang
dapat dimanfaatkan untuk umum (for the public utility).4
Dalam merumuskan pengertian wakaf, para ulama fiqih tidak memiliki
kata sepakat. Pengertian wakaf menurut para ulama5 :
a. Menurut golongan Hanafi
Menahan benda yang statusnya tetap milik si wakif (orang yang
mewakafkan) dan yang disedekahkan adalah manfaatnya saja.
b. Menurut golongan Maliki
Menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik berupa sewa atau
hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhak, dengan bentuk
penyerahan yang berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki
oleh orang yang mewakafkan.
c. Menurut golongan Syafi’i
Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap
utuhnya barang dan barang itu lepas dari penguasaan si wakif serta
dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan oleh agama.
d. Menurut golongan Hambali
Menahan kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya
yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta dan memutuskan semua hak
4 M. Tahir, “Wakaf dan Sumber Daya Ekonomi : Suatu Pendekatan Teorotis”, Mimbar Hukum,
No. 7 Th. III, 1992, h. 11 5 Faisal Haq dan A. Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan Di Indonesia, PT. Garoeda
Buana Indah, Pasuruan Jatim, Cet II Nov. 1994, h. 1-2
16
penguasaan terhadap harta itu, sedangkan manfaatnya dipergunakan pada
suatu kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Terdapatnya perbedaan rumusan tersebut pada dasarnya diakibatkan
oleh pendapat masing-masing tentang status harta wakaf dikemudian hari,
yakni apakah harta itu akan bersifat tetap menjadi milik yang berwakaf
atau bisa dipindahkan hak miliknya atau diwariskan. Namun demikian,
terlepas dari bisa atau tidaknya harta ditarik kembali, definisi-definisi
tersebut menunjukkan suatu pandangan yang sama bahwa wakaf adalah
penahanan pemindahan harta suatu hak milik oleh pihak yang berwakaf
dan mensedekahkan segala manfaat dan hasil yang bisa diambil dari harta
tersebut untuk kebajikan dalam rangka mencari keridhaan dari Allah SWT.
2. Dasar Hukum Wakaf Menurut Hukum Islam
a. Al-Qur’an
Dalil yang menjadi dasar disyari’atkannya wakaf dapat kita lihat dalam
al-Qur’an, diantaranya yaitu:
يملع به ء فإن اللهيش نقوا مفنا تمون وبحا تمقوا مفنى تتح الوا البرنت لن )٩٢: 3/ال عمران(
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (Q.S. Ali Imran/3: 92)
دجاسوا وكعوا ارنءام ينا الذهاأيي لكملع ريلوا الخافعو كمبوا ردباعوا و )٧٧: 22/احلج(تفلحون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu dapat kemenangan. (Q.S. Al-Hajj/22: 77)
17
وا ءامنءام ينفالذ يهف نيلفختسم لكمعا جمقوا مفأنو هولسرو وا باللهن كبري رأج مفقوا لهأنو كمن٧: 57/احلديد( م (
Artinya: “Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman diantara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (Q.S. Al-Hadid/57: 7)
ل حبة أنبتت سبع سنابل في مثل الذين ينفقون أموالهم في سبيل الله كمث يملع عاسو اللهاء وشي نمل فاعضي اللهو ةبائة حم لةبنالبقرة(كل س /
2:٢٦١( Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dikehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunianya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah/2: 261)
Walaupun di dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas kata-kata
wakaf, akan tetapi ayat-ayat tersebut menunjukkan disyari’atkannya
menafkahkan harta yang kita miliki untuk kemaslahatan umum. Dan salah satu
caranya adalah dengan perwakafan. Dan hukum wakaf suunah yang sangat
dianjurkan, karena amalan wakaf akan tetap mengalir walaupun si wakif sudah
meninggal dunia.
b. Hadits Nabi
Dalil yang menjadi dasar disyari’atkannya wakaf dapat kita lihat dari
beberapa hadits, di antaranya yaitu:
18
إذا مات ابن: رة رضي اهللا عنه أن النيب صلى اهللا عليه و سلم عن أىب هريعمله أال من ثالث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صاحل أدم انقطع
6)رواه مسلم(يدعوله Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Nabi SAW bersabda:
“Apabila seseorang manusia telah meninggal, putuslah semua amalnya kecuali tiga perkara yakni sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendo’akan kedua orang tuanya.” (H.R. Muslim)
Hadits yang kiranya lebih tegas menunjukkan dasar hukum lembaga
wakaf adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Ibnu
Umar tentang tanah Khaibar, yaitu:
عن ابن عمر رضي اهللا عنهما أن عمر بن اخلطاب اصاب ارضا فأتى النيب صلى اهللا عليه و سلم ويستأ مره فيهما فقال يا رسول اهللا إين اصبت ارضا
مل أصب ماال قط أنفس عندى منه فما تأمروين به قال إن شأت ربخبيحبست اصلها و تصدقت ا قال فـتصدق ا عمر أا ال تباع وال
ىف الفقراء وىف الرقاب وىف سبيل اهللا وابن وال تورث وتصدق ا توهبالسبيل اهللا والضيف الجناح على من وليها ان يأكـل منها باملعروف
7)رواه البخــارى(ويطعم غري متمول Artinya: “Dari Ibnu umar r.a.: Bahwa Umar bin Khattab mendapatkan
sebidang tanah di Khaibar, kemudian dia datang menghadap kepada Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut dan Umar berkata: ”Ya Rasulullah, aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, yang tidak pernah sama sekali aku
6 Imam Abi Al-Husain Muslim Al-Halaj, Shahih Muslim, jilid IV, cet I, (Mesir: Daar al-Hadits
al-Qahirah,1994).,h. 95 7 Ibrahim bin Mughiroh bin Bardizbah Al Bukhari al-Jafi, Shahih Bukhari, (Beirut: Daar El-
Fikr,tt), Juz 3.,h. 196
19
dapatkan harta sebagus itu, maka bagaimana engkau perintahkan aku dengan harta itu?”. Nabi bersabda: “Kalau kamu berkehendak, maka kamu tahan (wakafkan) tanah itu dan shodaqahkanlah hasilnya.” Maka kemudian Umar mewakafkan tanah Khaibar itu, (dengan mengisyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Umar menyedahkahkan hasilnya kepada fakir miskin, karib kerabat, budak, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Tidaklah berdosa bagi orang yang mengurusi harta wakaf itu untuk memakan dari hasilnya secara baik atau memberi makan pada teman tanpa maksud memiliki harta itu (mutamawwil).” (H.R. Bukhori)
Hadits tersebut dijadikan dasar hukum wakaf karena adanya kata
habasa menunjukkan arti sinonim mewakafkan. Kandungan isi hadits tersebut
adalah agar seseorang mewakafkan harta benda yang dimilikinya untuk
kemaslahatan.
فقالت , احلجاراد رسول اهللا صلى اهللا عليه و سلم : عـن اىب عباس ما : احجين مع رسول اهللا صلى اهللا عليه و سلم فقال : امرأة لزوجها
ذلك : قال , قالت احجين على مجلك فالن: عندى مااحجك عليه اما : فقال , هللا عليه و سلمفأتى رسول اهللا صلى ا, حبيس ىف سبيل اهللا
رواه أبوداود أن رسول اهللا (إنك لو احججتها عليه كان ىف سبيل اهللا صلى اهللا عليه و سلم قال ىف حق خالد قد احتبس ادراعه واعتاداه ىف
8)سبيل اهللاArtinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Suatu ketika Rasulullah
SAW akan menunaikan Ibadah haji, seorang wanita berkata kepada suaminya: apakah engkau akan menghajikan aku bersama Rasulullah SAW?” Suaminya menjawab: tidak, aku akan tidak menghajikanmu. Si wanita itu berkata lagi: Apakah boleh engkau
8 Muhammad bin Ali bin Muhammad Assyaukani, Nailul Author, (Beirut-Lebanon: Daarul
Qolam) Juz 6.,h.25
20
menghajikan aku oleh seseorang dengan menunggang untamu? Suaminya berkata: Unta itu telah kuwakafkan di jalan Allah. Maka datanglah rasul menghampirinya seraya berkata: Adapun bila engkau mengajak istri dengan mengendarai unta engkau, sesungguhnya hal itu ibadah adalah di jalan Allah. (H.R. Abu Daud). Telah dishahihkan pula bahwa Rasulullah SAW menempati hak Khalid, ia telah mewakafkan pakaian besinya serta membiasakannya untuk berperang di jalan Allah.”
Berdasarkan hadits-hadits tersebut di atas, wakaf merupakan amal
ibadah yang sangat dianjurkan. Adapun benda yang diwakafkan bukan hanya
benda tetap akan tetapi juga benda bergerak, seperti unta, pakaian dan
sebagainya. Yang harus diperhatikan bahwa manfa’at benda yang diwakafkan
itu bersifat kekal dan tujuan wakaf sesuai dengan ajaran Islam.
B. Fungsi, Unsur dan Syarat-Syarat Perwakafan
1. Fungsi Wakaf
Dalam konsep Islam, wakaf dikenal dengan istilah jariyah artinya
mengalir. Maksudnya, sedekah atau wakaf yang dikeluarkan, sepanjang benda
itu dimanfaatkan untuk kepentingan kebaikan, maka selama itu pula si wakif
mendapat pahala secara terus-menerus, meskipun telah meninggal dunia.9
Firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat At-Tiin ayat 4-6
ينإلا الذ نيلاففل سأس اهنددر قومي ثمن تسي أحان فسا الإنلقنخ لقد وننمم رغي رأج مفله اتحاللوا الصمعوا ون٦ -٤ :التني ( ءام(
9 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-1, h. 492
21
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam keadaan bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (Q.S. At-Tiin: 4-6)
Dalam pengertian di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa
wakaf berfungsi untuk memberikan pahala yang terus mengalir kepada si wakif
meskipun dia sudah meninggal dunia, sebagai media untuk taqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah SWT, dan juga untuk membantu masyarakat
umum dari hasil benda yang diwakafkan oleh si wakif.
2. Unsur dan Syarat-Syarat Perwakafan
Unsur dalam istilah hukum Islam dinamakan rukun, yang dimaksud
dengan rukun adalah sudut, tiang penyangga, yang merupakan sendi utama atau
unsur pokok dalam pembentukan suatu hal. Tanpa rukun sesuatu hal tidak akan
berdiri.
Adapun rukun perwakafan di antaranya yaitu:
a. Wakif (orang yang mewakafkan)
Orang yang mewakafkan hartanya dalam istilah hukum Islam disebut
wakif. Para ulama madzhab sepakat bahwa syarat seorang wakif yaitu sehat
akal, baligh, dan rasyid. Pengertian baligh menitik beratkan pada usia,
sedangkan rasyid pada kematangan pertimbangan akal untuk kecakapan
bertindak melakukan tabarru’ (melepaskan hak tanpa imbalan benda).
22
Diperlukan .kematangan pertimbangan akal seseorang (rasyid), yang dianggap
telah ada pada remaja berumur antara 15 sampai dengan 23 tahun.10
b. Maukuf (benda yang diwakafkan)
Para ulama madzhab sepakat bahwa benda-benda yang diwakafkan
harus memenuhi syarat-syarat:
1) Benda yang diwakafkan merupakan sesuatu yang konkrit jelas wujudnya
dan batas-batasnya (jika berbentuk tanah misalnya) dan benda tersebut
merupakan milik orang yang mewakafkan.
2) Benda tersebut harus mempunyai nilai ekonomis, tahan lama dan dapat
diambil manfaatnya.
3) Benda yang diwakafkan dapat berupa barang-barang tidak bergerak
(misalnya tanah, rumah dan kebun) dan barang bergerak (misalnya buku-
buku dan kitab suci.
Dalam hal mewakafkan benda yang bergerak, Hanafi berbeda pendapat
dengan para ulama. Menurutnya, benda wakaf harus berupa benda yang tidak
bergerak demi tercapainya tujuan wakaf yang bersifat mu’abbad. Akan tetapi
muridnya, Abu Yusuf dan Muhammad mengatakan bahwa barang bergerak
yang berfungsi sebagai pelengkap sah untuk diwakafkan. Misalnya
10 Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta : UI Press, 1988),
Cet. Ke-1, h. 85
23
mewakafkan kebun sekaligus dengan binatang dan peralatanya, mewakafkan
senjata dan kuda perang. 11
Kesimpulannya, wakaf benda bergerak boleh dengan syarat benda itu
selalu menyertai benda tetap.
c. Maukuf Alaih
Adapun syarat-syarat maukuf alaih adalah12:
1) Orang yang diwakili tersebut ada (sudah dilahirkan) ketika wakaf terjadi.
Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai ada atau tidaknya orang yang
akan diwakili ketika terjadinya wakaf. Menurut Imamiyah, Syafi’i dan
Hambali orang yang akan diwakafi harus ada ketika wakaf terjadi.
Sedangkan menurut Maliki, sah hukum wakaf walaupun orang yang
diwakafi belum ada.
2) Harus dinyatakan secara tegas/jelas dikala mengingkari wakaf, kepada
siapa wakaf itu ditujukan.
3) Para ulama madzhab sepakat bahwa tujuan wakaf harus untuk ibadah dan
mengharap keridloan Allah SWT. Oleh karena itu, tujuan wakaf tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, tidak mewakafkan sesuatu
yang menimbulkan maksiat kepada Allah SWT. Misalnya mewkafkan
tanah untuk mendirikan tempat perjudian, diskotek dan sebagainya.
11 Muhammad Jawad Mughirah, op. cit., h. 645-646 12 Ibid., h.647
24
d. Sighat Wakaf (penyertaan)
Sighat wakaf adalah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari wakif yang
merupakan tanda penyerahan benda wakaf. Para ulama madzhab sepakat
bahwa akad wakaf merupakan akad tabarru’ yaitu transaksi sepihak yang sah
sebagai suatu akad yang tidak memerlukan qobul dari pihak penerima wakaf
dan cukuf hanya dengan ucapan ijab si wakif.
Adapun lafadz sighat wakaf ada dua macam, yaitu13:
1) Lafadz yang jelas (shorih) seperti dengan kata-kata sebagai berikut:
Wakoftu, habasu dan sabaltu.
2) Lafadz kiasan (kinayah) seperti dengan kata tashaddaqtu, harramtu dan
abbadtu. Semua kata-kata kiasan yang dipakai untuk mewakafkan sesuatu
harus disertai dengan niat wakaf.
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama madzhab mengenai apakah
wakaf dinyatakan sah jika hanya terjadi melalui perbuatan tanpa ucapan,
misalnya seseorang mempunyai sebidang tanah kemudian ia membangun
sebuah pemakaman dan mengizinkan orang Islam untuk melakukan
pemakaman di tempat tersebut.
Hanafi, Maliki dan Hanbali mengatakan wakaf dapat terjadi cukup
hanya dengan perbuatan dan barang yang dimaksud berubah menjadi wakaf.
Demikian pula pendapat segolongan ulama madzhab Imamiyah terkemuka di
antaranya Sayyid al-Yazidi, Sayyid Abu Hasan al-Asfahani, Sayyid al-Hakim,
13 Faisal Haq dan HA. Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan Di Indonesia, PT. Garoeda
Buana Indah, Pasuruan Jatim, Cet II Nov. 1994, h.26
25
al-Syahid al-Tsani dan Ibnu Idris. Sedangkan syafi’i mengatakan wakaf tidak
dapat terjadi kecuali dengan lafadz yang diucapkan.14
Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 menyebutkan
rukun dengan istilah unsur-unsur wakaf yang diuraikan pada Bab II bagian kedua
mulai pasal 3 sampai dengan 6 dan diuraikan juga dalam Kompilasi Hukum Islam
pada Bab II bagian kedua mulai pasal 217 sampai dengan 219.
Adapun unsur atau rukun yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No.
28 tahun 1977 dan Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut:
a. Wakif (orang yang mewakafkan)
Pasal 215 (2) Kompilasi Hukum Islam dan pasal 1 (2) Peraturan
Pemerintah No. 28 tahun 1977 disebutkan, “wakif adalah orang atau orang-
orang atau badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya.” Karena
mewakafkan tanah itu merupakan perbuatan hukum, maka wakif haruslah
orang atau orang-orang atau badan hukum yang memenuhi syarat untuk
melakukan tindakan hukum. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 3 ayat (1)
PP No. 28 tahun 1977, syarat-syarat wakif adalah sebagai berikut:
1) Dewasa
2) Sehat akalnya
3) Tidak terhalang untuk melakukan tindakan hukum
4) Atas kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak lain
5) Benar-benar pemilik harta yang diwakafkan
14 Muhammad Jawad Mughiroh, Op. Cit., h. 641
26
Syarat-syarat ini perlu dirinci untuk menghindari tidak sahnya tanah
yang diwakafkan, baik karena faktor intern (pada diri orang itu sendiri) seperti
cacat atau kurang sempurna cara berfikir, maupunn faktor extern (yang
berbeda di luar orang yang bersangkutan) seperti merasa dipaksa orang lain.15
b. Maukuf (benda yang diwakafkan)
Menurut Kompilasi Hukum Islam, yang dapat dijadikan benda wakaf
adalah segala benda baik bergerak maupun tidak bergerak yang memiliki daya
tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran agama Islam,
sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977, yang dapat
dijadikan benda wakaf adalah tanah hak milik. Benda atau tanah hak milik
tersebut disyaratkan harta yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan
dan perkara.
Ketentuan ini didasarkan pertimbangan bahwa wakaf adalah sesuatu
yang bersifat suci dan abadi. Karena itu, tanah yang dapat dijadikan wakaf
selain dari statusnya hak milik juga harus bersih, artinya tidak menjadi
tanggungan utang atau hipotik, tidak dibebani oleh beban (jaminan) lainnya
tidak pula dalam sengketa. Tanah yang diwakafkan itu harus benar-benar
tanah milik atau tanah hak milik yang sempurna.
Ahmad Rofiq menyatakan, bahwa syarat-syarat harta benda yang
diwakafkan adalah sebagai berikut16:
15 Mohammad Daud Ali, Op. Cit., h.106-107 16 Ahmad Rofiq, Op. Cit., h. 497
27
1) Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak sekali pakai.
Hal ini karena watak wakaf yang lebih mementingkan manfaat benda
tersebut.
2) Benda wakaf dapat berupa milik kelompok atau badan hukum.
3) Hak milik wakaf yang jelas batas-batas kepemilikannya, selain itu benda
wakaf merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan,
sitaan dan sengketa.
4) Benda wakaf dapat dialihkan jika untuk maslahat yang lebih benar.
5) Benda wakaf tidak boleh diperjual belika, dialihkan atau diwariskan.
Perbuatan mewakafkan adalah perbauatan yang suci, mulia dan terpuji
sesuai dengan ajaran agama Islam. Berhubungan dengan itu, maka tanah-tanah
yang hendak diwakafkan itu betul-betul merupakan milik bersih dan tidak ada
cacatnya ditinjau dari sudut kepemilikan.
Selain itu, adanya pernyataan ini dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya atau terbawa-bawanya lembaga perwakafan ini untuk sering
berhadapan dengan pengadilan yang dapat merosotkan wibawa dan syari’at
agama Islam. Berdasarkan pandangan tersebut di atas, maka tanah yang
mengandung pembebanan seperti tanah dalam proses perkara dan sengketa
tidak dapat diwakafkan sebelum masalahnya diselesaikan terlebih dahulu.
c. Maukuf ‘Alaih (tujuan wakaf)
Tujuan wakaf tidak terinci dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun
1977 ia hanya dinyatakan sepintas lalu dalam perumusan pengertian wakaf
28
(pasal) yang kemudian disebut dalam pasal 2 waktu menegaskan fungsi wakaf.
Menurut Peraturan Pemerintah, tujuan perwakafan tanah milik untuk
pemakaman adalah untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum
lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Mungkin, karena tujuan wakaf ini
dipandang sudah jelas, maka tidak perlu lagi dirinci dalam Peraturan
Pemerintah. Yang perlu adalah melestarikan tujuan tersebut dengan
pengeleloan yang baik dilakukan oleh nadzir, yaitu sekelompok orang atau
badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaannya dan pengurusan benda-
benda wakaf agar manfaatnya dapat kekal dinikmati oleh masyarakat. Oleh
karena itu pula dalam system perwakafan tanah milik untuk pemakaman ini,
tujuan wakaf yang merupakan unsur atau rukun dalam fiqh tradisional,
digantikan tempatnya oleh nadzir, agar wakafnya dapat berfungsi sebagaimana
mestinya, hak dan kewajibannya disebut secara terinci dalam Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Pelaksanaannya.
Yang jelas, syarat dan tujuan wakaf adalah untuk kebajikan mencari
ridlo Allah SWT dan mendekatkan diri kepadanya. kegunaannya bidang untuk
sarana ibadah murni seperti masjid, musholla, pesantren atau pemakaman dan
juga termasuk sarana sosial keagamaan lainnya yang lebih besar manfaatnya.
Untuk lebih jelasnya atau konkritnya, tujuan wakaf adalah sebagai
berikut17:
17 Ahmad Rofiq, Op. Cit., h. 497
29
1) Untuk mencari keridloan Allah SWT, termasuk di dalamnya segala macam
usaha untuk menegakkan agama Islam, seperti mendirikan tempat ibadah
kaum muslimin, kegiatan dakwah, pendidikan agama Islam, penelitian
ilmu-ilmu agama Islam, pemakaman dan sebagainya. Tujuan ini
merupakan tujuan utma dari wakaf, karena itu seseorang tidak dapat
mewakafkann hartnya untuk keperluan-keperluan yang berlawanan bagi
kepentingan agama Islam seperti mendirikan rumah ibadah agama lain
selain agama Islam, membantu pendidikan agama selain agama Islam.
Demikian harta wakaf tidak dikelola dalam usaha-usaha yang bertentangan
dengan ajaran Islam, seperti usaha perternakan babi modal pengadaan
lotre, membangun atau modal pabrik minuman keras (khamar) dan
sebagainya.
2) Untuk keperluan masyarakat, seperti untuk membantu fakir miskin,
membantu orang terlantar, karib kerabat, mendirikan sekolah, mendirikan
asrama anak yatim dan sebagainya.
Oleh karena itu, tujuan wakaf tidak bisa digunakan untuk kepentingan
maksiat atau membantu mendukung, dan atau yang memungkinkan
diperuntukan untuk tujuan maksiat.
Sehubungan dengan itu, boleh saja seseorang tidak secara terang-
terangan menegaskan tujuan wakafnya, apabila wakafnya itu diserahkan
kepada suatu badan hukum, yang jelas usahanya untuk kepentingan umum.
Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2:
30
ياأيها الذين ءامنوا لا تحلوا شعائر الله ولا الشهر الحرام ولا الهدي ولا مللتإذا حا وانورضو همبر نلا مون فضغتبي امرالح تيالب نيلا ءامو دالقلائ
رمجلا يوا وطادام أن فاصرالح جدسن المع وكمدم أن صآن قونش كمنتعتدوا وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان واتقوا
)٢: 5/املــاءدة(الله إن الله شديد العقاب Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-
syiar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dari keridloan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu, dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat besar siksa-Nya. (Q.S. al-Maidah/5: 2)
d. Shigat (ikrar pernyataan wakaf)
Pernyataan wakif yang merupakan tanda penyerahan barang atau
benda yang diwakafkan itu dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan. Dengan
pernyataan itu tinggallah hak wakif atau benda yang diwakafkannya. Benda
itu kembali menjadi hak milik mutlak Allah yang dimanfaatkan oleh orang
atau orang-orang yang disebut dalam ikrar wakaf tersebut. Karena tindakan
mewakafkan sesuatu itu dipandang sebagai perbuatan hukum sepihak, maka
dengan pernyataan wakif yang merupakan ijab, perwakafan telah terjadi.
31
Pernyataan qabul dari pihak yang menerima tidak diperlukan. Dalam wakaf
hanya ada ijab tanpa qabul.18
Hal ini karena ikrar wakaf pada hakikatnya merupakan suatu
pernyataan (ikrar) dari orang yang berwakaf (wakif) bahwa ia telah
mewakafkan hartanya yang tertentu kepada Allah SWT. Karena itu tidak
memerlukan Kabul atau semacam pernyataan penerimaan dari pihak
penerimanya. Di samping itu, wakaf juga merupakan tindakan tabarru’ atau
pelepasan hak milik. Tabarui’ tidak memerlukan Kabul.19
Adapun menurut Ahmad Rofiq menyatakan bahwa ikrar wakaf adalah
tindakan hukum yang bersifat deklaratif (sepihak), untuk itu tidak diperlukan
adanya Kabul (penerimaan) dari orang yang menikmati manfaat wakaf
tersebut. Namun demikian, demi tertib hukum dan administrasi, guna
menghindari penyalahgunaan benda wakaf, pemerintah mengeluarkan
peraturan perundang-undangan yang secara organik mengatur perwakafan.20
Ikrar menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 adalah
pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya, Ikrar
wakaf ini harus dinyatakan secara lisan, jelas dan tegas kepada nadzir yang
telah disahkan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dan
dua orang saksi. Ikrar wakaf itu kemudian, harus dituangkan dalam bentuk
18 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah, (Bandung: PT. Al
Ma’arif, 1987), h. 11 19 Zakiyah Daradjat, et al, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), Cet. Ke-1,
Jil. III 20 Ahmad Rofiq, Op. Cit., h. 497-498
32
tertulis. Bila seorang wakif tidak mampu menyatakan ikrar wakafnya secara
lisan, karena ia bisu misalnya, ia dapat menyatakan ikrar wakaf itu dengan
isyarat. Dan bila wakif tidak bisa hadir dalam upacara ikrar wakaf, ikrarnya
dapat dibuat secara tertulis dengan persetujuan PPAIW dan saksi-saksi.
Sedangkan dalam pasal 9 ayat (4) Peraturan Pemeritah dan dalam pasal
233 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pelaksanaan ikrar
wakaf diangap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-sekurangnyan 2
(dua) orang saksi. Ini berarti bahwa, jika ketentuan itu ditafsirkan secara a
contrario, pelaksanaan ikrar wakaf dianggap tidak sah jika tidak dihadiri dan
disaksikan oleh sekurang-sekurangnya 2 (dua) orang saksi. Konsekuensinya
adalah perwakafan yang dilakukan tanpa dihadiri dan disaksikan oleh dua
orang saksi, harus dipandang tidak memenuhi syarat dan karenannya tidak sah
dan tidak pula dilindungi oleh hukum.
Ketentuan yang mewajibkan ikrar wakaf dituangkan kemudian dalam
bentuk tertulis dan keharusan adanya dua orang saksi yang menghadiri dan
menyaksikan ikrar wakaf itu dimaksudkan sebagai jaminan dan perlindungan
hukum terhadap perwakafan tanah. Tujuannya adalah, menurut penjelasan
pasal 9 Peraturan Pemerintah, untuk memperoleh bukti yang otentik yang
dapat dipergunakan untuk berbagai persoalan seperti misalnya:
1) Untuk bahan pendaftaran pada kantor Subdirektorat Agraria Kabupaten
atau Kotamadya.
33
2) Untuk keperluan penyeleasaian sengketa yang mungkin terjadi di
kemudian hari tentang tanah yang diwakafkan itu.
Dengan kesaksian dua orang saksi itu akan jelas riwayat tanah yang
bersangkutan baik sebelum maupun sesudah tanah itu diwakafkan.
Tidak semua orang dapat menjadi saksi. Seorang saksi harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
2) Telah dewasa;
3) Sehat akalnya;
4) Tidak terhalang oleh hukum untuk melakukan perbuatan hukum;
Syarat ini dipersiapkan untuk menjadi salah satu alat bukti dalam
menghadapi sengketa hukum yang mungkin di kemudian hari walaupun hanya
sebagai bukti penguat saja, karena Akta Ikrar Wakaf yang dibuat oleh Kepala
Kantor Urusan Agama kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf,
adalah akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.21
e. Nadzir (pengelola wakaf)
Nadzir adalah sekelompok orang atau badan hukum yang diserahi
tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf. Yang dimaksud dengan
kelompok orang dalam perumusan itu adalah kelompok yang merupakan satu
kesatuan atau merupakan suatu pengurus. Jadi bukan orang seorang,
sebagaimana dimungkinkan dalam fiqh tradisional. Hal ini mungkin
dimaksudkan agar pengurusan harta wakaf dapat dilakukan secara lebih baik
21 Mohammad Daud Ali, Op. Cit., h. 110
34
oleh kumpulan orang yang dapat saling mengawasi dan menghindari
terjadinya penyelewengan harta wakaf yang menjadi milik perorangan nadzir
wakaf yang bersangkutan.
Ketentuan nadzir seperti yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah
merupakan pengembangan hukum fiqh di Indonesia, di samping seperti
misalnya keharusan adanya dua orang saksi yang menghadiri dan
menyaksikan ikrar wakaf, ikrar wakaf yang harus tertulis, dan dilakukan di
hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
Pasal 6 Peraturan Pemerintah dan pasal 219 Kompilasi Hukum Islam
menyebut syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh nadzir, baik nadzir
perorangan maupun badan hukum.22
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh nadzir perorangan
adalah sebagai berikut:
1) Warga Negara Indonesia;
2) Beragama Islam;
3) Sudah dewasa;
4) Sehat jasmani dan rohani;
5) Tidak berada dalam pengampuan;
6) Bertempat tinggal di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan;
22 Abdul Ghani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Pengadilan
Agama, (Jakarta: Intermasa, 1991), h. 341-342
35
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh nadzir berbentuk
badan hukum adalah sebagai berikut:
1) Badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
2) Mempunyai perwakilan di kecamatan tempat tinggal letaknya tanah yang
diwakafkan;
3) Sudah disahkan oleh Menteri Kehakiman dan dimuat dalam Berita
Negara;
4) Jelas tujuan dan usahanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan
umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Nadzir wakaf, baik perorangan maupun badan hukum, harus terdaftar
pada KUA Kecamatan setempat untuk mendapat pengesahan dari Kepala
KUA Kecamatan yang bertindak sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf.
Pendaftaran itu dimaksudkan untuk menghindari perbuatan perwakafan yang
menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dan juga untuk memudahkan
pengawasan.
Jumlah nadzir untuk suatu wilayah tertentu ditetapkan oleh Menteri
Agama. Menurut Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1978, jumlah nadzir
perorangan untuk satu kecamatan adalah sama dengan jumlah desa yang
terdapat dalam kecamatan yang bersangkutan. Dan di dalam setiap desa hanya
ada satu nadzir kelompok perorangan. Yang dimaksud kelompok perorangan
adalah kumpulan para nadzir yang ada di desa itu selama ini. Mereka
bergabung dan bersama-sama memeliahara serta mengurus seluruh benda-
36
benda wakaf yang ada dalam desa yang bersangkutan. Kelompok perorangan
itu terdiri dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, salah seorang di antaranya
menjadi ketua. Susunan itu ditentukan oleh Kepala KUA Kecamatan.23
Masa kerja nadzir perorangan tidaklah mutlak seumur hidup. Seorang
anggota nadzir berhenti dari jabatannya, karena24:
1) Meninggal dunia;
2) Mengundurkan diri
3) Dibatalkan kedudukannya sebagai nadzir oleh Kepala KUA kecamatan,
karena:
a) Tidak memenuhi syarat seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Pelaksanaannya.
b) Melakukan tindakan pidana kejahatan yang berhubungan dengan
jabatan nadzir.
c) Tidak dapat lagi melakukan kewajibannya sebagai nadzir.
Sebagaimana halnya dengan syarat dan susunan nadzir tersebut di atas,
kewajiban dan hak nadzir ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah No. 28
tahun 1977 (pasal 7) yang dirinci lebih lanjut pasal 10 dan 11 dalam Peraturan
Menteri Agama No. 1 tahun 1978.
Kewajiban-kewajiban nadzir yang terdapat pada pasal 10 Perturan
Menteri Agama No. 1 tahun 1978 adalah sebagai berikut:
23 Mohammad Daud Ali, Op. Cit., h. 113 24 Abdul Ghani, Op. Cit., h.417
37
1) Mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya, meliputi:25
a) Menyimpan lembar kedua Salinan Akta Ikrar Wakaf
b) Memelihara tanah wakaf
c) Memanfaatkan tanah wakaf
d) Berusaha meningkatkan tanah wakaf
e) Menyelenggarakan pembukaan atau administrasi perwakafan dengan
memelihara buku catatan tentang keadaan tanah wakaf, buku catatan
tentang pengelolahan dan hasil tanah wakaf, serta buku catatan tentang
penggunaan hasil tanah wakaf.
2) Memberi laporan kepada Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan tentang:
a) Hasil pencatatan perwakafan tanah milik untuk pemakaman oleh
Pejabat Agraria
b) Perubahan atas tanah milik yang telah diwakafkan dan perunbahan
penggunaannya karena:
Tidak susuai dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif.
Untuk kepentingan umum
c) Pelaksanaan kewajban mengurus dan mengawasi harta kekayaan
wakaf dan hasil tiap tahun yaitu pada tiap akhir bulan Desember.
3) Melaporkan anggota nadzir yang berhenti dari jabatannya.
25 Abdul Ghani, Op. Cit., h. 418
38
4) Mengusulkan kepada Kepala KUA Kecamatan anggota pengganti yang
berhenti itu untuk disahkan keanggotaannya.
Kewajiban nadzir yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah
pelaksanaannya jauh lebih banyak dan terinci dibandingkan dengan kewajiban
nadzir yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam, akan tetapi intinya
tetap sama yakni memelihara dan mengurus harta wakaf agar dapat
dimanfaatkan hasilnya seoptimal mungkin.
Sebagai imbalan kewajiban-kewajiban yang dibebankan di pundak
nadzir tersebut di atas, nadzir juga mempunyai hak-hak tertentu atas harta
wakaf yang diurusnya. Pasal 222 Kompilasi Hukum Islam dan pasal 11
Peraturan Menteri Agama menetapkan hak nadzir, yaitu:26
1) Menerima penghasilan dari hasil tanah wakaf yang besarnya tidak boleh
melebihi (10 %) dari hasil bersih tanah wakaf. Yang menentukan besarnya
penghasilan nadzir ini adalah Kepala Seksi Urusan Agama Islam Kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya.
2) Menggunakan fasilitas sepanjang diperlukan dari tanah wakaf atau
hasilnya yang ditetapkan oleh Kepala Seksi Urusan Agama Islam
setempat.
Dalam sistem perwakafan di Indonesia, nadzir merupakan unsur
penting. Tanpa nadzir, wakaf tidak akan terlaksana karena pada waktu ikrar
wakaf dilakukan, nadzir telah harus ditetapkan. Pengaturan demikian mungkin
26 Abdul Ghani, Op. Cit., h.418
39
dilakukan untuk menertibkan perwakafan tanah agar harta wakaf itu tidak
“hilang” begitu saja.
Di samping rukun-rukun wakaf yang telah disebutkan di atas, ada pula
syarat sahnya suatu perwakafan benda atau harta seseorang. Syarat-syarat itu
adalah sebagai berikut:27
a. Perwakafan benda itu tidak dibatasi untuk jangka waktu tertentu saja, tetapi
untuk selama-lamanya. Wakaf yang dibatasi waktunya, misalnya untuk lima
tahun saja atau untuk sepuluh tahun saja, hukumnya tidak sah.
b. Tujuan wakaf harus jelas, seperti telah disebut di muka. Namun demikian
apabila seseorang wakif menyerahkan tanahnya kepada suatu badan hukum
tertentu yang sudah jelas tujuan dan usahanya, wewenang untuk penentuan
tujuan wakaf itu berada pada badan hukum yang bersangkutan sesuai dengan
tujuan badan hukum itu.
c. Pelaksanaan wakaf direaliasasikan segera setelah ikrar. Hal ini karena pemilik
telah lepas dari wakif. Karena itu wakaf tidak boleh digantungkan kepada
sesuatu keadaan atau syarat tertent, misalnya pada kematian seseorang atau
kondisi tertentu.
d. Apabila seseorang wakif menentukan syarat dalam pelaksanaan pengelolah
benda wakaf, sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan wakaf, maka nadzir
perlu memperhatikannya. Tetapi bila syarat tersebut bertentangan dengan
tujuan wakaf semula, nadzir tidak perlu memperhatikannya.
27 Ahmad Rofiq, Op. Cit., h. 500-501
40
e. Pemilik wakaf tidak boleh dipindah tangankan. Dengan terjadinya wakaf,
maka sejak saat itu harta wakaf telah menjadi milik Allah SWT. pemilik itu
tidak boleh dipindah tangankan kepada siapapun, baik orang, badan atau
Negara.
C. Perwakafan Menurut PP. No. 28 Tahun 1977
Pada tanggal 17 Mei 1977 pemerintah RI mengeluarkan PP No. 28 tentang
perwakafan tanah milik yang diiringi dengan seperangkat pelaksanaannya oleh
DEPAG dan DEPDAGRI, dalam beberapa interuksi gubernur kepala daerah, dan
dengan demikian telah diatur oleh perundang-undangan sehingga mempunyai
badan hukum. Adapun tentang persoalan wakaf yang ada dalam peraturan
pemerintah dapat dilihat dalam bab I tentang ketentuan umum adalah ;
Pasal I menyebutkan :
Yang dimaksud dalam peraturan pemerintah ini adalah :
(1) Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari harta kekayaannya untuk selama-lamanya, untuk
kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran
Islam.
(2) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukumyang mewakafkan
tanah miliknya.
(3) Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah
miliknya.
41
(4) Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang di serahi tugas
pemeliharaan dengan pengurusan benda wakaf.28
Pada bab I tersebut telah jelas bahwa pada tahun 1977 wakaf di Indonesia
telah dibuat sebuah kelembagaannya. Pertanyaannya adalah mengapa perwakafan
tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah? Dikarenakan perwakafan tanah dan
tanah wakaf di Indonesia adalah termasuk dalam hukum agrarian. Yaitu sebagai
perangkat peraturan yang mengatur tentang bagaimana hubungan hukum antara
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, serta hubungan bumi, air dan ruang
angkasa tersebut.
Oleh karena perwakafan di Indonesia pada umumnya berobjek tanah,
maka masalah perwakafan tanah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang
peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dalam pasal 49 ayat (3) yang
berbunyi :
“Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”
Pelaksanaan dan peraturan wakaf itu sendiri di Indonesia dapat dibagi
menjadi tiga kurun waktu ;
1. Sebelum kemerdekaan RI.
2. Setelah kemerdekaan RI, dan sebelum adanya PP no. 28 tahun 1977.
3. Setelah berlakunya PP no. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.29
28 Departemen Agama DitJen Bimas Islam dan Urusan Haji, Himpunan Peraturan Perundang-
Undangan Perwakafan Tanah Milik, Tahun 1991-1992, hal. 84 29 Faisal Haq dan HA. Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan Di Indonesia, PT. Garoeda
Buana Indah, Pasuruan Jatim, Cet II Nov. 1994, hal. 30
42
1.a. Perwakafan sebelum kemerdekaan
Lembaga perwakafan sebenarnya sudah sering dilaksanakan oleh orang-
orang Indonesia yang beragama Islam jauh sebelum kemerdekaan, hal ini wajar di
laksanakan di Indonesia karena di Indonesia banyak berdiri kerajaan-kerajaan
Islam seperti Demak, Pasai dan lain sebagainya.
Sekalipun lembaga perwakafan itu merupakan lembaga yang berasal dari
ajaran Islam, tetapi seolah-olah sudah merupakan kesepakatan dari para ahli
hukum bahwa lembaga perwakafan tersebut merupakan masalah hukum adat di
Indonesia, sebab diterimanya lembaga ini berasal dari suatu kebiasaan dalam
sebuah kehidupannya (Azhar Basyir, 1977:13) maka tidak jarang orang
membangun masjid atau pesantren untuk kepentingan bersama secara bergotong
royong.
Sejak zaman dahulu persoalan wakaf ini telah di atur dalam hukum adat
yang sifatnya tidak tertulis, dengan mengambil sumber dari hukum Islam. Di
samping itu, oleh colonial dahulu telah pula di keluarkan berbagai peraturan yang
mengatur tentang persoalan wakaf antara lain :
1. Surat edaran sekretaris Govermen pertama tanggal 31 Januari 1905 Nomer
435 sebagai termuat dalam Bijblad 1905 nomer 6196 tentang toezicht op den
bow van Mohammedaansche bedehuizen, dalam surat edaran ini walaupun
tidak secara tertulis mengatur tentang wakaf namun dinyatakan bahwa tidak
akan menghalang-halangi orang Islam untuk keperluan keagamaan. Tetapi
apabila dikehendaki oleh kepentingan imim surat edaran tersebut ditujukan
43
kepada para kepala wilayah di Jawa dan Madura kecuali daerah Swaraja,
sepanjang belum pendaftaran tanah-tanah atau rumah ibadah Islam yang ada
di kabupaten masing-masing.
2. Surat edaran sekretaris Govermen tanggal 4 Juni 1931 nomer 1361/A yang
termuat dalam Bijblad 1905 nomer 6196 tentang toezicht van deregeriing op
Mohammedaansche bedehuizen, vrijdag diensten wakaf surat edaran tersebut
tentang tanah wakaf yang ada pada masyarakat agar memperoleh kepastian
hukum dari harta wakaf tersebut.
3. Surat edaran sekretaris Govermen tanggal 24 Desember 1934 nomer 3088/A
sebagaimana termuat di dalam Bijblad 1934 nomer 13390 tentang toezicht
van deregeriing op Mohammedaansche bedehuizen, vrijdag diensten en
wakaf. Surat edaran ini hanya hanya memepertegas atas surat edaran yang
kedua tersebut, yang pada intinya meminta kepada bupati untuk
menyelesaikan perselisihan yang terjadi apabiladiminta oleh pihak yang
bersengketa.
2.a. Perwakafan setelah kemerdekaan, sebelum adanya Peraturan Pemerintah
no.28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.
Peraturan tentang perwakafan tanah milik yang dikeluarkan pada masa
penjajahan Belanda sejak proklamasikemerdekaan negera Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945 masih harus diberlakukan berdasarkan bunyi pasal
II aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 “Segala badan Negara dan
44
pengaturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini”.30
Untuk menyesuaikan dengan alam kemerdekaan maka telah dikeluarkan
beberapa petunjuk-petunjuk mengenai wakaf.
Untuk selanjutnya perwakafan ini menjadi wewenang bagian D (ibadah
sosial), jawatan urusan agama.
Pada tanggal 8 Oktober 1956 telah dikeluarkan surat edaran nomer
5/D/1959 tentang prosedur perwakafan tanah.
Beberapa peraturan tentang perwakafan tanah di atas dirasakan kurang
memadai dan masih banyak kekurangan yaitu belum memberikan kepastian
hukum mengenai tanah-tanah wakaf. Oleh karena itu untuk memperjelas dan
memperbaharui system Agraria kita, pertama kita lihat dalam pasal 49 nomor 5
tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang
berbunyi:
(1) Hak milik tanah-tanah badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan
untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi.
(2) Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk
bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.
(3) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah.31
30 Ibid, hal. 32 31 PARLINDUNGAN, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, CV. Mandar Maju,
Bandung, Tahun 1998 Cet, VIII, hal 144
45
Dalam pasal ini ditegaskan bahwa soal-soal yang bersangkutan dengan
peribadatan dan keperluan suci lainnya dalam hukum agrarian yang baru akan
mendapatkanperhatian sebagaimana mestinya.
3.a. Perwakafan setelah berlakunya Peraturan Pemerintah no.28 tahun 1977
tentang perwakafan tanah milik.
Telah diuraikan di atas bahwa peraturan perwakafan tanah di Indonesia
belum memenuhi kebutuhan maupun belum dapat memberikan kepastian hukum
dalam rangka melindungi tanah-tanah wakaf tersebut. Oleh sebab itu pada pasal
49 ayat (3) UUPA pemerintah pada tanggal 14 Mei 1977 menetapkan peraturan
pemerintah nomer 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.32
(a) Bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan, yang dapat dipergunakan
salah satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya
umat yang beragama Islam, dalam rangka mencapai kesejahteraan spiritual
dan material menuju masyarakat yang adil, dan makmur berdasarkan
pancasila.
(b) Bahwa peraturan perundangan yang ada sekarang ini yang mengatur tentang
perwakafan tanah milik selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-cara
perwakafan juga membuka kemungkinan akan hal-hal yang tidak di inginkan
disebabkan tidak adanya data-data yang nyata dan lengkap mengenai tanah-
tanah yang di wakafkan.
32 Faisal Haq dan HA. Saiful Anam op.cit, hal. 33
46
Dengan berlakunya PP no.28 tahun 1977 sepanjang peraturan sebelumnya
yang bertentangan dengan PP ini dianggap tidak berlaku lagi. Kemudian hal
tersebut diatur oleh Departemaen Agama dan Menteri Dalam Negeri sesuai
dengan bidangnya masing-masing.
D. Pengelolaan dan Pengembangan Tanah Wakaf Produktif
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf telah disahkan oleh
presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 27 Oktober 2004 dan
diundangkan melalui Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor
159. Undang-Undang ini mengatur berbagai hal yang penting dalam pengelolaan
dan pengembangan wakaf untuk memperdayakan ekonomi umat.
Jika dibandingkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan
tentang wakaf yang sudah ada selama ini, maka dalam Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004 terdapat hal-hal baru dan penting yang sangat menunjang
pertumbuhan ekonomi umat. Beberapa di antaranya adalah mengenai masalah
nadzir, maukuf bih, dan maukuf ‘alaih, serta perlunya dibentuk Badan Wakaf
Indonesia (BWI). Berkenaan dengan masalah nadzir, karena dalam Undang-
Undang ini yang dikelola tidak hanya benda tidak bergerak yang selama ini sudah
lazim dikelola di Indonesia, tetapi juga benda bergerak seperti uang logam mulia,
surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan lain-lain,
maka itu dari nadzir pun dituntut untuk mampu mengelola benda-benda tersebut.
47
Kemudian dalam bab V Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 pasal 42
dijelaskan mengenai pengelolaan dan pengembangan wakaf. Pasal 42 tersebut
menjelaskan sebagai berikut: Nadzir wajib mengelola dan mengembangkan harta
benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya.
Pasal 43
(1) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh nadzir sebagaimana
dimaksud dalam pasal 42b dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah.
(2) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan secara produktif.
(3) Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud
pada ayat (1) diperlukan penjamin, maka digunakan lembaga penjamin
syariah. Yang dimaksud lembaga penjamin syariah yaitu badan hukum yang
menyelenggarakan kegiatan usaha yang dapat dilakukan, antara lain melalui
skim asuransi syariah atau skim lainnya yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pengelolaan wakaf dilakukan oleh nadzir, sesuai dengan pasal 42 Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Dalam penjelasan ini, yang
dimaksud dengan pengelolaan dan pengembangan secara produktif antara lain
dengan cara: pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan,
perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengemabangan
teknologi, pengembangan gedung, apartemen, rumah susun , pasar swalayan,
48
pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan, ataupun sarana kesehatan dan
usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan syariah.33
Pasal 44
(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, nadzir dilarang
melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atar dasar izin
tertulias dari Badan Wakaf Indonesia (BWI).
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila harta
benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan
yang dinyatakan dalam ikrar wakaf.
Pasal 45
(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, nadzir
diberhentikan dan diganti dengan nadzir lain apabila nadzir yang
bersangkutan:
a. Meninggal dunia bagi nadzir perseorangan;
b. Bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku untuk nadzir organisasi atau nadzir badan hukum;
c. Tidak melaksanakan tugasnya sebagai nadzir dan atau melanggar
ketentuan larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda
wakaf sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
33 Direktorat Jenderal Bimbingan Mayarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia. 2005), h. 53
49
d. Dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap;
(2) Pemberhentian dan penggantian nadzir sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia.
(3) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh
nadzir lain karena pemberhentian dan penggantian nadzir dilakukan dengan
tetap memperhatikan peruntukan harta benda wakaf yang ditetapkan dan
tujuan serta fungsi wakaf.
Dengan demikian secara komprehensif – substansif, Undang-undang
Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf merupakan wujud adanya pembaharuan
hukum perwakafan Indonesia, menegaskan adanya paradigma baru wakaf serta
sebagai instrumen hukum pengembangan dan pengelolaan tanah wakaf ke arah
produktif. Berubahnya paradigma baru dalam perwakafan, menjadi sangat luas
lingkup permasalahannya. Apalagi jika wakaf dikembangkan dengan cara atau
model yang diatur pada pasal 43 ayat (1), (2) dan (3) seperti disebutkan di atas.
50
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Letak Geografis Kecamatan Penjaringan
Kecamatan Penjaringan adalah merupakan salah satu dari enam kecamatan
yang ada di wilayah kota administrasi Jakarta Utara diantaranya adalah :
1. Kecamatan Penjaringan
2. Kecamatan Pademangan
3. Kecamatan Tanjung Priok
4. Kecamatan Koja
5. Kecamatan Kelapa Gading
6. Kecamatan Cilincing1
Sebagai salah satu kecamatan dengan luas wilayah 3,487,58 Ha yang
terdiri dari 68 RW dan 826 RT.
Kecamatan penjaringan terdiri dari lima kelurahan, dengan luas masing-
masing kelurahan sebagai berikut :
1. Kelurahan Penjaringan dengan luas wilayah 394 Ha
2. Kelurahan Pejagalan dengan luas wilayah 323,18 Ha
3. Kelurahan Pluit dengan luas wilayah 771,9 Ha
4. Kelurahan Kapuk Muara dengan luas wilayah 1005,5 Ha
1 Buku data wilayah provinsi, kotamadya, kecamatan dan kelurahan di provinsi DKI Jakarta,
Biro Administrasi Wilayah Prov DKI Jakarta 2006, h. 86
51
5. Kelurahan Kamal Muara dengan luas wilayah 1053 Ha2
Seiring dengan perkembangannya maka wilayah penjaringan yang terletak
berbatasan dengan laut jawa, kini menjadi daerah industry, terlihat banyaknya
kawasan pergudangan dan pabrik-pabrik besar lainnya.
Sebagai kota yang letaknya di pesisir laut maka pantaslah apabila wilayah
penjaringan sebagai daerah yang banyak mengelola pusat-pusat perdagangan para
nelayan, terlihat banyaknya para pedagang ikan yang dari manapun melintasi
wilayah penjaringan guna membeli ikan yang segar hal ini dilakukan setiap tengah
malam.
Sebagian wilayah kecamatan penjaringan terletak di bantaran kali,
sehingga terjadi kesulitan penertiban oleh petugas walaupun ada yang melanggar
batas-batas yang telah di tetapkan oleh pemerintah.
Di samping itu terlihat juga proyek vital lainnya seperti Rumah sakit
Atmajaya, RS Pluit dan Pabrik Bimoli serta beberapa tempat industri lainnya, hal
ini dimungkinkan bahwa kecamatan penjaringan merupakan wilayah strategis
untuk kawasan industri terutama pergudangan.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa wilayah kecamatan
penjaringan merupakan salah satu kecamatan yang ada di wilayah kota
administrasi Jakarta Utara dari enam kecamatan yang terletak di tepi pulau jawa
dengan kondisi tanahnya, tanah darat, tanah sawah, empang atau rawa-rawa, dan
hutan lindung.
2 Ibid
52
Batas-batas wilayah :
1. Sebelah utara berbatasan dengan pantai laut jawa
2. Sebelah timur berbatasan dengan kali opak sepanjang pelabuhan sunda
kelapa, rel kereta api jurusan kota/Tangerang
3. Sebelah selatan berbatasan dengan jalan tubagus angke, kapuk kamal, irigasi
rawa bebek
4. Sebelah barat berbatasan dengan sungai berok, pintu air kayu besar batas
kelurahan dadap kabupaten tangerang Banten
Adapun batas masing-masing kelurahan sebagai berikut :
1. Kelurahan Penjaringan
- Sebelah utara berbatasan dengan laut jawa
- Sebelah timur berbatasan dengan kali opak
- Sebelah selatan berbatasan dengan jalan pluit raya selatan
- Sebelah barat berbatasan dengan kali muara angke
2. Kelurahan Pejagalan
- Sebelah utara berbatasan dengan jalan tol cengkareng pluit
- Sebelah timur berbatasan dengan jalan jembatan tiga atau rel kereta api
pasar ikan-roxi
- Sebelah selatan berbatasan dengan jalan Tubagus angke
- Sebelah barat berbatasan dengan waduk pluit sebelah timur
3. Kelurahan Pluit
- Sebelah utara berbatasan dengan teluk jakarta
53
- Sebelah barat berbatasan dengan kelurahan pejagalan
- Sebelah timur berbatasan dengan kelurahan kapuk muara
- Sebelah selatan berbatasan dengan kelurahan penjaringan
4. Kelurahan Kapuk Muara
- Sebelah utara berbatasan dengan laut jawa
- Sebelah barat berbatasan dengan sepanjang kali cengkareng drain
- Sebelah timur berbatasan dengan kali muara angke/cisadane
- Sebelah selatan berbatasan dengan jalan raya kapuk kamal pemisah antara
Jakarta utara dan Jakarta barat
5. Kelurahan Kamal Muara
- Sebelah utara berbatasan dengan laut jawa
- Sebelah timur berbatasan dengan sepanjang kali cengkareng
- Sebelah selatan berbatasan dengan jalan raya kapuk kamal/irigasi rawa
melati
- Sebelah barat berbatasan dengan perbatasan desa dadap
B. Keadaan Demografis Kecamatan Penjaringan
Sebagai salah satu wilayah yang terletak di sebelah utara Jakarta,
penduduk kecamatan penjaringan cukup padat dan bervariasi baik dari segi suku,
kebudayaan, tingkat pendidikan, mata pencaharian maupun agama. Dengan
bervariasinya keadaan penduduk tersebut sudah tentu tidak terlepas dari masalah
dan tantangan yang dihadapi yang perlu diantisipasi dan ditangani secara serius.
54
Keadaan di atas sudah menjadi hukum alam (sunnatullah) di mana setiap
ada komunitas yang berdomisili dan bersosialisasi serta berinteraksi satu sama
lain akan menimbulkan pengaruh di setiap struktur kehidupan tersebut baik secara
positif maupun negatif.
Untuk melihat kondisi penduduk yang setiap tahun semakin bertambah
dikarenakan banyaknya pendatang dari berbagai macam daerah yang berlokasi di
tiap-tiap kelurahan maka diperlukan pengendalian penduduk. Pada tahun 2010
penduduk kecamatan penjaringan jumlah penduduk se-kecamatan berkisar
187.569 jiwa dan setiap kelurahan jumlahnya bervariasi, untuk itu diperlukan
pengendalian penduduk dengan cara pelaksanaan program keluarga berencana
yang dilaksanakan disetiap kelurahan dengan cara mengadakan penyuluhan di
tiap-tiap kelurahan, kemudian dengan meningkatkan taraf hidup masyarakat
dengan cara membuka areal pasar maupun membantu modal usaha untuk
pengusaha kecil.
Di antara manusia dan tantangan yang dominan dihadapi sehubungan
dengan pendapatan dan kehetrogenan penduduk kecamatan penjaringan adalah
tentang kemacetan jalan dan penertiban rumah tinggal yang ada di wilayah
bantaran kali, salah satunya adalah tentang banyaknya truk-truk besar di seputar
waduk teluk gong yang mereka parkir sehingga mengakibatkan tanggul rusak dan
membuka badan jalan sehingga menimbulkan kemacetan, karena pemilik truk
tersebut tidak memiliki lahan parkir dan sulit untuk ditertibkan, kemudian tentang
55
penertiban rumah tinggal di sepanjang bantaran kali yang mengakibatkan terjadi
kepadatan di sepanjang kali.
Menurut data yang diperoleh jumlah penduduk kecamatan penjaringan
sebanyak 187.569 jiwa dengan luas wilayah 3.487,58 Ha terdiri dari :
Tabel 1
Jumlah penduduk di Kecamatan Penjaringan
No KELURAHAN WNI WNA Jumlah
1 Penjaringan 55,982 10 55,992 jiwa
2 Pejagalan 55,759 34 55,793 jiwa
3 Pluit 46,304 81 46,385 jiwa
4 Kapuk Muara 21,928 14 21,942 jiwa
5 Kamal Muara 7,452 5 7,457 jiwa
Sumber data: Laporan Bulanan Kecamatan Penjaringan 2010
C. Keadaan Sosiologis Kecamatan Penjaringan
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak pernah lepas dari manusia
yang lainnya. Oleh hubungan yang terjadi akan menghasilkan organisasi
berdasarkan kepentingan dan karakter manusia yang ada di dalamnya.
Dilihat dari keadaan sosiologis Kecamatan Penjaringan ada beberapa
bidang yang perlu diketahui yaitu di antaranya:
56
1. Bidang Pendidikan
Masyarakat Kecamatan Penjaringan, untuk usia di atas 55 (lima puluh
lima) tahun pada umumnya berpendidikan SD (Sekolah Dasar), sedangkan
bagi penduduk yang berusia dibawah 55 (lima puluh lima) tahun mayoritas
berpendidikan SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) dan SLTA (Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas), bahkan lulusan-lulusan dari Perguruan Tinggi
semakin banyak.
Adapun sarana pendidikan yang ada di wilayah Kecamatan
Penjaringan baik yang bersifat pendidikan umum maupun pendidikan agama
dari segi kualitas cukup memadai. Hal ini dilakukan oleh Tokoh Masyarakat,
Pemerintah, maupun swasta untuk memberikan pelayanan pendidikan di
Kecamatan Penjaringan dengan sebaik-baiknya.
Salah satu faktor yang menentukan kualitas manusia adalah
pendidikan, sarana dan prasarana bidang pendidikan yang memadai akan
menghasilkan sumber daya manusia yang baik.
Tabel 2
Jumlah sarana dan prasarana pendidikan di Kecamatan Penjaringan
No. Sarana Pendidikan Jumlah
1
2
3
TK Negeri
TK Swasta
SD Negeri dan yang sederajat
-
2
22
57
4
5
6
7
8
9
10
11
SD Swasta dan yang sederajat
SLTP Negeri dan yang sederajat
SLTP Swasta dan yang sederajat
SLTA Negeri dan yang sederajat
SLTA Swasta dan yang sederajat
Akademi/ PT. Negeri dan yang sederajat
Akademi/ PT. Swasta dan yang sederajat
Kursus-kursus
2
17
2
2
2
-
1
5
Sumber data: Laporan Bulanan Kecamatan Penjaringan 2010
2. Bidang Keagamaan
Kecamatan Penjaringan sebagai wilayah yang mayoritas penduduknya
umat Islam dengan kehidupan keagamaan cukup rukun dan rasa keyakinan
mereka terhadap perayaan keagamaan cukup tinggi terlihat dengan adanya
tempat-tempat ibadah antar agama yang jaraknya saling berdekatan, sehingga
terlihat dari kehidupan sehari-hari mereka dan kehidupan bertetangga mereka
sangat damai. Dan tidak menimbulkan sara di antara mereka.
Keberadaan sarana ibadah mutlak dibutuhkan di tengah masyarakat
yang mayoritas penduduknya muslim, termasuk di dalamnya masyarakat
Kecamatan Penjaringan. Untuk menjelaskan banyaknya jumlah sarana
peribadatan yang ada di Kecamatan Penjaringan dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
58
Tabel 3
Jumlah sarana peribadatan di Kecamatan Penjaringan
No. Sarana Peribadatan Jumlah
1
2
3
4
5
6
7
Masjid
Musholla
Gereja
Pura
Wihara
Klenteng
Kuil
40
28
28
-
2
15
- Sumber data: Laporan Bulanan Kecamatan Penjaringan 2010
Bangunan fisik sarana peribadatan baik masjid maupun musholah
sudah cukup memadai untuk menampung masyarakat yang akan menjalankan
aktifitas keagamaannya seperti sholat yang waktunya telah ditentukan,
pengajian, dan bentuk peribadatan lainnya.
Melihat data sarana keagamaan tersebut, menunjukan bahwa
mayoritas penduduk Kecamatan Penjaringan adalah beragama Islam dan
penganut agama-agama lain pun tidak terlalu sedikit. Namun akan tetapi
mereka sangat menjaga kerukunan antar umat beragama antar sesama.
59
BAB IV
PENGELOLAAN DAN PENINGKATAN FUNGSI TANAH WAKAF
DI KELURAHAN PENJARINGAN JAKARTA UTARA
A. Proses Administrasi Perwakafan di KUA Kecamatan Penjaringan
Yang perlu diperhatikan dalam proses administrasi atau pendaftaran wakaf
adalah :
1. Orang yang mewakafkan atau wakif
Yang dapat mewakafkan tanah miliknya adalah, badan hukum
Indonesia, dan perorangan atau kumpulan orang, adapun hal demikian
haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Bagi badan hukum perseorangan itu tidak sedang dinyatakan oleh hukum
terlarang.
b. Atas kehendak sendiri tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
c. Bagi perseorangan haruslah berakal sehat, dan sudah dewasa dan yang
mewakili badan hukum adalah pengurus yang sah secara hukum.
2. Benda yang diwakafkan (objek wakaf)
Tanah yang diwakafkan haruslah tanah milik yang mempunyai
sertifikat tanah yang legal dan apabila mewakafkan tanah bukan miliknya atau
tanah negara maka tidak akan syah dalam perwakafannya.
60
3. Ikrar Wakaf
Pihak yang mewakafkan tanah haruslah mengikrarkan tanah miliknya
agar jelas dan tegas untuk apa tanah tersebut diwakafkan dihadapan PPAIW
dan harus tertulis dalam tiga rangkap.
4. Pengurus Wakaf
Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1 ayat 4 Peraturan Pemerintah
No.28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik maka nadzir itu harus
terdiri dari:
- Kelompok orang
- Badan Hukum
Sedangkan proses pendaftaran administrasi perwakafan di Kantor Urusan
Agama (KUA) Kecamatan Penjaringan akan dibagi menjadi dua bagian yang
pertama sebelum adanya Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 dan sesudah
ada Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 adalah sebagai berikut :
1. Tata cara atau proses pendaftaran tanah wakaf sebelum Peraturan Pemerintah
No. 28 Tahun 1977
Yang dimaksud dengan proses pendaftaran tanah wakaf sebelum Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977 dan hal tersebut secara administrasi masih
amat lemah terutama dalam hal peraturan karena masih banyak yang kurang
diatur di dalam sebelum adanya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977
tersebut. Sedangkan prosesnya adalah sebagai berikut :
61
a. Pertama nadzir mendaftarkan ke KUA kecamatan selaku PPAIW, apabila
nadzir sudah tidak ada maka anggota keluarga dari wakif tersebut yang
mendaftarkan ke KUA setempat selaku PPAIW, apabila anggota keluarga
wakif juga tidak ada maka kepala desa setempatlah yang wajib
mendaftarkan tanah wakaf tersebut karena beliaulah yang mengetahui
riwayat tanah tersebut dengan membawa surat-surat berupa :
- Surat keterangan tentang tanah atau surat keterangan kepala desa
tentang tanah wakaf atau dengan nama surat bentuk WK.
- Dua orang yang menyaksikan ikrar wakaf atau saksi.
b. Kemudian PPAIW selaku Pejabat Pencatat Akta Ikrar Wakaf melakukan
pemeriksaan terhadap hal-hal yang perlu di perhatikan seperti :
- Meneliti keadaan tanah yang akan diwakafkan
- Meneliti dan kemudian mengesahkan terhadap para nadzir
- Meneliti saksi-saksi.
- Menerima penyaksian tanah milik
- Membuat pengganti Akta Ikrar Wakaf (AIW bentuk W3)
- Membuat salinan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf (APAIW bentuk
W3a)
c. Kemudian PPAIW mendistribusikan Akta Pengganti (3 lembar) dalam
bentuk W3, dengan tujuan sebagai berikut :
Akta Pengganti
- Lembar 1 untuk disimpan PPAIW
62
- Lembar 2 dilampirkan pada permohonan pendaftaran kepada bupati
atau walikotamadya dalam hal ini Subdit Agraria
- Lembar ke 3 dikirim ke PA setempat
Selain Akta Pengganti
- Lembar 1 disampaikan kepada wakif
- Lembar 2 dismpaikan kepada nadzir
- Lembar 3 disampaikan kepada KANDEPAG
- Lembar 4 disampaikan kepada kepala desa setempat
2. Tata cara pendaftaran tanah wakaf sesudah Peraturan Pemerintah No. 28
Tahun 1977.
Pasal 4 Peraturan Pemerintah tentang tanah milik, dimaksudkan untuk
memberikan pembedaan terhadap tanah yang sudah ada sertifikatnya (tanah
hak milik) dan mana yang belum ada sertifikatnya, sedangkan tanah yang
sudah ada sertifikatnya dan yang belum ada sertifikatnya pada prinsipnya
mempunyai hak yang terkuat turun temurun, dan hal itu dapat diwakafkan
apabila surat dan buktinya lengkap. Sedangkan proses pendaftaran tanah
wakaf tersebut tidak jauh berbeda dengan sebelum Peraturan Pemerintah No.
28 Tahun 1977 hanya pada administrasinya saja yang lebih baik, seperti
dalam hal saksi maka harus diambil dari pamong praja desa yang memahami
tanah tersebut, kemudian dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik ini
pada buku tanah dan pada sertifikatnya itu kepada nadzir, dan nadzir wajib
melaporkan hal itu kepada PPAIW untuk mencatat seperlunya antara lain
63
dalam daftar ikrar wakaf (bentuk W4), bahwa wakaf itu telah dicatat dibuku
tanahnya subdit agraria, dengan telah didaftarkannya dan dicatatnya daftar
tersebut dalam sertifikat tanah hak milik yang diwakafkan, maka tanah itu
telah mempunyai alat pembuktian yang kuat.
Agar lebih memudahkan untuk proses pendaftaran tanah wakaf
bersama ini kami beri gambaran sebagai berikut :
PROSES PENDAFTARAN TANAH WAKAF SESUDAH PP NO.28
TAHUN 1977
a. W.K (Surat Keterangan kepala desa/ lurah tentang perwakafan tanah
milik)
b. W.I (Ikrar Wakaf) Bermaterai
c. Fakta Ikrar Wakaf) Bermaterai
d. W.2A. (Salinan Akta Ikrar Wakaf)
PROSES PENDAFTARAN TANAH WAKAF SEBELUM PP NO.28
TAHUN 1977
a. W.D (Pendaftaran Tanah)
b. W.3 (Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf) Bermaterai
c. W.3A (Salinan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf)
d. W.K (Surat Keterangan Kepala Desa/Lurah tentang perwakafan tanah
milik)1
1 Laporan Bulanan KUA Kecamatan Penjaringan 2010
64
B. Fungsi Pengadministrasian Perwakafan Tanah Menurut Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977
Dalam hukum Islam tidak ada ketentuan hukum yang mengharuskan
pendaftaran tanah wakaf atau mencatat transaksi penyerahan tanah wakaf. Tetapi
kalau dilihat dalam kegiatan muamalah lainnya, ada petunjuk dari al-Qur’an
untuk mencatat dan menuliskannya, sebagaimana disebutkan dalam surat al-
Baqarah ayat 282:
كمنيب بكتليو وهبى فاكتمسل من إلى أجيبد متنايدوا إذا تنءام ينا الذهاأيي )٢٨٢: 2/البقرة( كاتب بالعدل
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya, dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar, (Al-Baqarah: 282)
Adijani al-Alibij menyatakan bahwa, berwakaf adalah suatu kegiatan yang
tiada kalah pentingnya dari sekedar utang piutang atau sewa menyewa (dan
muamalah lainnya) seperti dimaksud dalam surat al-Baqarah ayat 282. Mengingat
penyerahan wakaf menyangkut status hak atas tanah wakaf untuk jangka waktu
yang tidak terbatas. Karena untuk muamalah lainnya Allah memerintahkan untuk
menulisnya, maka secara analogi (qias) untuk wakafpun seyogyanya harus ditulis
juga. Jiwa yang terkandung dalam perintah Allah untuk menuliskan muamalah ini
adalah agar di belakang hari tidak terjadi sengketa atau gugat menggugat di antara
para pihak yang bersangkutan.2
2 Adijani al-Alibij, Perwakafan Tanah di Indonesia, (Jakarta: CV Rajawali, 1992), Cet. Ke-2,
h. 100
65
Perwakafan apabila dilihat dari sudut hukum Islam sangat mudah dan
sederhana, yaitu cukup dengan memahami ketentuan ajaran Islam dengan
dilandasi oleh keyakinan bahwa wakaf sebagai salah satu bentuk ibadah untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. melalui pelepasan hak milik tanpa imbalan
material dan kaitan administrasi.3
Proses pelaksanaan tersebut sudah tentu di satu pihak akan mudah
pelaksanaannya, artinya orang yang akan mewakafkan itu tidak perlu melalui
prosedur yang rumit, sementara di lain pihak akan menyebabkan tidak adanya
pengadministrasian, sehingga tanah wakaf yang telah terjadi tidak mempunyai
kepastian hukum.
Akibat dari tidak adanya pengadminstrasian dalam pelaksanaan
perwakafan, akan menimbulkan kerugian dan kekacauan yang akhirnya nilai
kemaslahatan bersama dari tanah wakaf akan pudar dan akan menjadi
kemafsadatan.
Selain itu, ibadah wakaf menyangkut hak dan kepentingan orang lain,
tertib adminstrasi dan aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat. Agar hak
dan kepentingan masyarakat itu dapat berjalan serta terjalin bersama, pemerintah
perlu mengaturnya dengan perundang-undangan.
Dilihat dari wujud wakaf di Indonesia dan kepentingan wakaf di
Indonesia, perwakafan tanah nampaknya mendapat perhatian yang utama. Oleh
karena itu pula dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960)
3 Mohammad Daud Ali, , Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta : UI Press, 1988),
Cet. Ke-1, h. 104
66
diletakkan dasar-dasar umum pengaturan tanah wakaf di Indonesia. Dalam pasal
29 ayat (1) Undang-Undang tersebut disebutkan dengan jelas bahwa hak milik
tanah badan-badan keagamaan dan social diakui dan dilindungi oleh Negara.
Badan-badan tersebut dijamin dan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan
dan usahanya, jika perlu, ayat (2) dapat diberi tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara dengan hak pakai kepadanya. Dinyatakan lebih lanjut dalam pasal itu
bahwa, ayat (3) perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Adapun latar belakang dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 28
Tahun 1977 adalah sebagai berikut:4
Pertama, pada waktu lampau, pengaturan tentang perwakafan tanah selain
belum memenuhi kebutuhan, juga tidak diatur secara tuntas dalam suatu peraturan
perundang-undangan, sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan dari
hakikat dan tujuan wakaf itu sendiri. Ini disebabkan karena beraneka ragamnya
bentuk wakaf (wakaf keluarga, wakaf umum dan sebagainya) dan tidak adanya
keharusan untuk mendaftarkan benda-benda yang diwakafkan itu. Akibatnya
banyak benda-benda yang diwakafkan tidak diketahui lagi keadaannya, malah ada
di antaranya yang telah menjadi milik ahli waris pengurus (Nadzir) wakaf yang
bersangkutan.
Kedua, hal ini menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam yang
menjurus pada perasaan antipasti terhadap lembaga wakaf, padahal lembaga itu
4 Ibid., h. 99-100
67
dapat digunakan sebagai salah satu sarana pengembangan kehidupan beragama,
khususnya bagi umat Islam.
Ketiga, selain itu, dalam masyarakat banyak terjadi persengketaan
mengenai tanah wakaf karena tidak jelasnya status tanah wakaf yang
bersangkutan.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 itu hanyalah wakaf sosial
(untuk umum) di atas tanah milik seseorang atau badan hukum. Bentuk
perwakafan seperti ini dilakukan untuk menghindari kekaburan masalah
perwakafan. Selain itu, mengenai tanah yang diwakafkanpun dibatasi yakni
hanya tanah milik saja. Pembatasan ini dilakukan berdasarkan perttimbangan
bahwa selain dari untuk menghindari kekacauan (di kemudian hari), di dalam
Undang-Undang Pokok Agraria dinyatakan pula bahwa hanya hak milik yang
mempunyai sifat pemilikan yang penuh dan bulat, sedangkan hak-hak atas tanah
lainnya, seperti hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai tidak penuh
dan bulat. Artinya hak-hak atas tanah tersebut hanya dapat dimanfaatkan selama
jangka waktu tertentu dan pemegangnya tidak mempunyai kewewenangan
kepemilikan seperti halnya dengan pemegang hak milik. Oleh karena itu,
perwakafan tanah bersifat abadi (untuk selama-lamanya), maka perwakafan hak
atas tanah yang jangka waktu pemanfaatannya terbatas, tidak dapat dilakukan.5
Sebelum lahirnya PP No. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik,
hal yang menyangkut perwakafan, termasuk mewakafkan tanah berdasarkan pada
pemikiran para Fuqoha yang tersebar dalam berbagai kitab fiqih pemikiran para
5 Muhammad Daud Ali, op. Cit., h. 99-100
68
Fuqoha tersebut telah melahirkan berbagai keragaman dalam praktek
mewakafkan yang menyebabkan prosedur mewakafkan dan objek wakaf satu
dengan yang lainnya berbeda.
Tata cara yang mengikuti pemikiran fuqoha itu, perlu dilengkapi dengan
administrasi wakaf yang jelas, misalnya dilakukan pencatatan. Pengaturan
semacam ini dirasakan semakin penting untuk menghindari penyalahgunaan
hakikat tujuan wakaf. Sebab, mengabaikan administrasi akan memungkinkan
terjadinya rasa enggan berwakaf dan hilang kepercayaan dari masyarakat karena
prosedur mewakafkan tidak jelas. Padahal lembaga perwakafan ini merupakan
salah satu asset pemberdayaan ekonomi umat.
Menurut Ahmad Rofiq dinyatakan bahwa wakaf merupakan suatu
tindakan Tabarru’ (melepas hak milik tanpa mengharapkan imbalan) yang dalam
pelaksanaannya tidak diperlukan adanya qobul dari orang yang menerima, akan
tetapi ketentuan ini perlu difahami, bahwa dalam pelaksanaannya hendaknya
diikuti dengan bukti-bukti tertulis, agar tindakan hukum wakaf tersebut
mempunyai kekuatan hukum sekaligus menciptakan tertib administrasi.6
Sekarang ini, suatu tindakan hukum seperti wakaf, apabila tidak
dibuktikan dengan surat-surat atau akta otentik, akan membuka peluang yang
lebih besar untuk disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung
jawab. Oleh karena itu sudah seharusnya tanpa bermaksud memamerkan(riya)
6 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), Cet.
Ke-1, h. 494
69
dengan tindakan wakaf seyogyanya memperhatikan upaya-upaya tertib hukum
dan administrasi untuk leih mengoptimalkan sifat pelaksanaan wakaf itu sendiri.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa fungsi administrasi
perwakafan tanah milik sebagai berikut:
1. Sebagai bukti tertulis guna menjamin kelestarian tanah wakaf.
2. Untuk menghindari penyimpangan dari kedudukannya sebagai tanah wakaf.
3. Untuk menegakkan kapastian hukum dalam pelaksanaan, pemeliharaan dan
pengelolaan wakaf.
4. Untuk menghindari terjadinya saling perebutan antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya (misalnya ahli waris dengan nazir) yang diakibatkan oleh
tidak kepastiannya status tanah wakaf tersebut.
C. Efektifitas Nadzir Dalam Pengelolaan dan Peningkatan Fungsi Tanah Wakaf
di Kelurahan Penjaringan
Pada umumnya di dalam kitab-kitab fiqih tidak mencantumkan nadzir
(pengelola) sebagai salah satu rukun wakaf. Namun demikian, memperhatikan
tujuan wakaf yang ingin melestarikan manfaat dari benda wakaf, maka kehadiran
nadzir sangat diperlukan, bahkan menempati pada peran sentral. Sebab dipundak
nadzirlah tanggung jawab dan kewajiban memelihara, menjaga dan
mengembangkan wakaf serta menyalurkan hasil atau manfaat dari wakaf kepada
sasaran wakaf.
70
Mengingat pentingnya nadzir dalam pengelolaan wakaf, maka di
Indonesia nadzir ditetapkan sebagai unsur perwakafan sebagaimana di tetapkan
dalam UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf. Pengangkatan nadzir ini tampaknya
ditujukan agar harta wakaf tetap terjaga dan terpelihara sehingga harta wakaf itu
tidak sia-sia.
Dalam hal ini, mengenai pengelolaan dan peningkatan fungsi tanah wakaf
di Kelurahan Penjaringan adalah dikelola oleh nadzir yang berbentuk badan
hukum, yang bertanggung jawab dalam pengelolaan dan peningkatan fungsi tanah
wakaf atau yang bertindak untuk dan atas namanya adalah pengurusnya yang sah
menurut hukum. Selain nadzir dibebani tanggung jawab pengelolaan dan
peningkatan fungsi tanah wakaf, nadzir juga berhak dan berwenang melakukan
segala tindakan yang mendatangkan kebaikan bagi wakaf bersangkutan, dengan
senantiasa memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan oleh wakif. Nadzir juga
berhak mendapat upah atas jerih payahnya mengurus harta wakaf, selama ia
melaksanakan tugasnya dengan baik.
Pada pasal 222 Kompilasi Hukum Islam, dinyatakan : nadzir berhak
mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditentukan
berdasarkan kelayakan atas saran Majelis Ulama Kecamatan KUA kecamatan
setempat.7
Selama ini pengelolaan yang dilakukan oleh nadzir sudah sesuai dengan
tujuan wakif, karena masjid atau yayasan yang telah diwakafkan sudah berfungsi
7 Departemen Agama RI, UU No. 1/1974 dan UU No. 9/1975 serta KHI di Indonesia, h. 218
71
sebagai tempat ibadah dan pembinaan umat, yang diamanahi oleh para wakif.
Sudah banyak yang dilakukan nadzir untuk hal tersebut, ini dapat dilihat semakin
berkembangnya aktivitas keagamaan di masjid atau yayasan dalam upaya
pembinaan umat dan pemberdayaan masyarakat sekitar.
Salah satu konsep utama dalam mengukur prestasi kerja (performance)
manajemen adalah efektifitas dan efisiensi. Menurut ahli manajemen Peter
Drucker efektifitas adalah melakukan pekerjaan yang benar (doing thing right).
Efektifitas merupakan kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau
peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.8
Efektifitas merupakan ukuran yang menggambarkan sejauh mana sasaran
dapat dicapai. Sedangkan efisiensi menggambarkan bagaimana sumber-sumber
daya dikelola secara tepat dan benar. Jadi ukuran efektif itu apabila sasaran/tujuan
dapat tercapai.
Dalam buku O & M Penunjang berhasilnya Proses Management, Sujadi
F.X menulis bahwa untuk mencapai efektifitas kerja dan efisiensi suatu pekerjaan,
haruslah dipenuhi syarat-syarat ataupun ukuran sebagai berikut :
1. Berhasil guna, yakni untuk menyatakan bahwa kegiatan telah dilaksanakan
dengan tepat dalam arti target tercapai sesuai dengan waktu yang ditetapkan.
2. Ekonomis ialah untuk menyebutkan bahwa di dalam usaha pencapaian efektif
itu makan biaya, tenaga kerja material, peralatan, waktu, keuangan dan lain-
lainnya telah dipergunakan dengan setepat-tepatnya sebagaimana yang telah
8 T. Hani Handoko, Manajemen, (Yogyakarta : BPFE, 1998), Edisi ke-2, h. 7
72
ditetapkan dalam perencanaan dan tidak adanya pemborosan serta
penyelewengan.
3. Pelaksanaan kerja yang bertanggung jawab, yakni untuk membuktikan bahwa
dalam pelaksanaan kerja sumber-sumber telah dimanfaatkan dengan setepat-
tepatnya haruslah dilaksanakan dengan bertanggung jawab sesuai dengan
perencanaan yang telah ditetapkan.
4. Pembagian kerja yang nyata, yakni pelaksanaan kerja dibagi berdasarkan
beban kerja, ukuran kemampuan kerja dan waktu yang tersedia.
5. Rasionalitas, wewenang dan tanggung jawab, artinya wewenang harus sesuai
dengan tanggung jawab dan harus dihindari adanya dominasi oleh salah satu
pihak atas pihak yang lainnya.
6. Prosedur kerja yang praktis, yaitu untuk menegaskan bahwa kegiatan kerja
adalah kegiatan yang praktis, maka target efektif dan ekonomis, pelaksanaan
kerja yang dapat dipertanggung jawabkan serta pelayanan kerja yang
memuaskan tersebut haruslah kegiatan operasional yang dapat dilaksanakan
dengan lancar.9
Dari teori efektifitas dan efisiensi di atas, penulis berpendapat jika kita
kaitkan dengan pembahasan yang sedang penulis kaji yakni mengenai efektifitas
nadzir dalam pengelolaan dan peningkatan fungsi tanah wakaf di kelurahan
penjaringan, bahwasanya dalam pengelolaan dan peningkatan fungsi tanah wakaf
9 Sujadi F.X., O & M Penunjang berhasilnya Proses Management, (Jakarta : CV. Masagung,
1990), Cet. Ke-3, h. 36-39
73
yang ada di kelurahan penjaringan dalam hal ini (nadzir, pengelola) adalah sudah
efektif dan efisien dalam mengelola tanah wakaf di kelurahan penjaringan sebagai
tempat ibadah namun dalam upaya peningkatan fungsi tanah wakaf di kelurahan
penjaringan belum efektif, ini bisa dilihat dari kurang berkembangnya fungsi
tanah wakaf untuk pemberdayaan masyarakat setempat, hal ini disebabkan nadzir
tersebut tidak memiliki pengetahuan yang luas tentang wakaf dan juga tidak
memiliki kemampuan manajerial dalam pengelolaan tanah atau bangunan
sehingga tanah wakaf kurang bermanfaat dan berperan bagi pemberdayaan
masyarakat sekitar.
D. Peran Tokoh Masyarakat Dalam Upaya Pengelolaan dan Peningkatan
Fungsi Tanah Wakaf di Kelurahan Penjaringan
Manajemen pengelolaan menempati pada posisi paling urgen dalam
dunia perwakafan. Karena yang paling menentukan benda wakaf itu lebih
bermanfaat atau tidak tergantung pada pola pengelolaan, bagus atau buruk. Kalau
pengelolaan benda-benda wakaf selama ini hanya dikelola ”seada-adanya”
dengan menggunakan manajemen kepercayaan” dan sentralisme kepemimpinan
yang mengesampingkan aspek pengawasan, maka dalam pengelolaan wakaf
secara modern harus menonjolkan sistem manajemen yang lebih profesional. Dan
asas profesionalitas manajemen ini harusnya dijadikan semangat pengelolaan
74
benda wakaf dalam rangka mengambil kemanfaatan yang lebih luas dan lebih
nyata untuk kepentingan masyarakat banyak (kebajikan).10
Pada umumnya kondisi tanah wakaf di Kecamatan penjaringan cukup
lumayan besar hampir 90% tempat ibadah umat Islam itu hasil dari harta wakaf
dan yang memiliki sertifikat kurang lebih 85%. Dilihat dari hal tersebut bahwa
hampir 10-5% belum ada yang memiliki sertifikat tanah wakaf hak milik.
Data Perkembangan Sertifikasi Tanah Wakaf
KUA Kecamatan Penjaringan
Kotamadya Jakarta Utara Tahun 2005
No. Kelurahan Jumlah Sudah
Bersertifikat Belum
Bersertifikat
Sudah didaftar BPN/ Sudah
ada AIW /APAIW
Lokasi Luas (m2) Lokasi
Luas (m2) Lokasi
Luas (m2) Lokasi
Luas (m2)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 Penjaringan 64 20,497 59 18,440 5 2057 64 20,497 2 Pejagalan 38 6,716 36 6,646 2 70 38 6,716 3 Kapuk Muara 11 4,891 9 4,764 2 127 11 4,891 4 Kamal Muara 6 1,659 4 749 2 910 6 1,659 5 P l u i t - - - - - - - -
Jumlah 119 33,763 108 30,599 11 3,164 119 33,763 Sumber data: Laporan Bulanan KUA Kecamatan Penjaringan
10 Direktorat Jenderal Bimbingan Mayarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Paradigma
Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia. 2005), h. 81
75
Pengelolaan dan peningkatan fungsi tanah wakaf di kecamatan
penjaringan semata-mata tidak terlepas dari peran ulama dan tokoh masyarakat
setempat, ada beberapa faktor yang menjadi penunjang pengelolaan dan
peningkatan tanah wakaf di kelurahan penjaringan sehingga tingkat perwakafan
tanah di kelurahan penjaringan relatif tinggi jika dibandingkan dengan kelurahan
lain yang ada di kecamatan penjaringan, pada umumnya kelurahan penjaringan
secara demografis merupakan kelurahan terpadat penduduknya se-kecamatan
penjaringan, respon masyarakat di Kelurahan tersebut cukup tinggi dalam
menanggapi perwakafan, aktif dan kompaknya tokoh masyarakat, dan banyaknya
Ulama, ustadz di wilayah tersebut sehingga menjadi pengaruh bagi masyarakat
yang lain dalam mensosialisakan pentingnya mewakafkan tanah di wilayah
tersebut, sedangkan di kelurahan lain minimnya ulama, ustadz dan kurangnya
respon masyarakat dalam menangapi persoalan perwakafan.
Melihat besarnya potensi di wilayah kelurahan penjaringan maka tokoh
masyarakat sangat berperan penting dalam upaya pengembangan dan kemajuan
wilayah khususnya dalam pengelolaan tanah wakaf. Adapun peran tokoh
masyarakat dalam upaya pengelolaan dan peningkatan fungsi tanah wakaf di
kelurahan penjaringan adalah sebagai berikut:11
Pertama, merangsang kepada para wakif atau calon wakif untuk selalu
meningkatkan kuantitas harta untuk diwakafkan.
11 Tokoh Masyarakat Kelurahan Penjaringan, Wawancara Pribadi, Jakarta, 31 Juli 2010
76
Kedua, menjadi mitra PPAIW KUA kecamatan penjaringan dalam
membantu proses administrasi perwakafan dan mensosialisasikan kepada
masyarakat tentang pentingnya mewakafkan tanah.
Ketiga, membantu nadzir dalam upaya pengelolaan tanah wakaf dan
menjaga kelestarian tanah wakaf diwilayah setempat.
Keempat, mengajak kepada lembaga-lembaga atau perorangan yang peduli
terhadap kelembagaan wakaf agar menjalin kemitraan dalam mengelola
perwakafan.
Ada beberapa konsep manajemen yang diterapkan oleh PPAIW Kecamatan
Penjaringan dalam upaya pengelolaan dan peningkatan tanah wakaf, diantaranya
adalah:
Pertama, transparansi. Dalam kepemimpinan manajemen professional,
transparansi menjadi ciri utama yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin.
Adanya transparansi kepemimpinan dalam lembaga kenadziran harus dijadikan
tradisi untuk menutup tindakan ketidakjujuran, korupsi, manipulasi dan lain
sebagainya.
Kedua, pertanggung jawaban umum, pertanggung jawaban umum
merupakan wujud dari pelaksanaan sifat amanah (kepercayaan) dan shidiq
(kejujuran). Karena kepercayaan dan kejujuran memang harus dipertanggung
jawabkan baik di dunia maupun di akhirat.
Ketiga, aspiratif (mau mendengar dan mengakomodasi seluruh dinamika
lembaga kenazhiran). Seorang nadzir yang dipercaya mengelola harta milik
77
umum harus mendorong terjadinya sistem sosial yang melibatkan partisipasi
banyak kalangan.
Adapun yang menjadi ukuran peningkatan tanah wakaf di kelurahan
penjaringan yakni adanya manajemen yang baik yang merupakan alat untuk
mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya
untuk mencapai tujuan yang diinginkan, perencanaan pembinaan Sumber Daya
Manusia dalam hal ini nadzir, Ulama dan tokoh masyarakat, serta umat Islam
pada umumnya.
Sebagai bagian dari ajaran Islam, wakaf menandai adanya perhatian
Islam yang tinggi atas masalah-masalah kemasyarakatan dari kehidupan manusia
di dunia, namun pengelolaan dan peningkatan fungsi tanah wakaf di Kelurahan
Penjaringan selama ini disadari belum optimal dalam upaya pengembangan
fungsi tanah wakaf, sehingga tanah wakaf di Kelurahan Penjaringan belum terasa
manfaatnya bagi masyarakat setempat khususnya dalam pemberdayaan
masyarakat, selama ini wakaf dikelola dengan “seada-adanya”, padahal kondisi
tanah wakaf di Kelurahan Penjaringan sangat mendukung dalam upaya
peningkatan dan pengelolaan fungsi tanah wakaf, bukan hanya karena banyaknya
tanah wakaf, akan tetapi jika tanah wakaf tersebut dikelola secara produktif maka
akan terasa besar manfaatnya untuk masyarakat.
78
Faktor-faktor yang menjadi hambatan pengelolaan dan peningkatan
fungsi tanah wakaf di Kelurahan Penjaringan adalah:12
Pertama, kurangnya pemahaman tokoh masyarakat tentang
pengembangan tanah wakaf secara produktif.
Kedua, sempitnya pola pemahaman masyarakat terhadap harta yang
diwakafkan, berupa benda tetap (tanah, bangunan) hanya untuk kepentingan
peribadatan atau ukhrawi, sifat kemutlakan harus dikembalikan kepada Allah.
Ketiga, Ada kekhawatiran tokoh masyarakat jika tanah wakaf dikelola
secara produktif maka akan berorientasi kepada bisnis dan mencari keuntungan
materi, sehingga terjadilah penyalahgunaan fungsi tanah wakaf.
Keempat, faktor ekonomi dan keterbatasan dana dalam upaya
pengembangan dan peningkatan fungsi tanah wakaf ke arah yang lebih produktif.
Kelima, adanya anggapan bahwa tanah wakaf yang diwakafkan oleh si
wakif adalah merupakan tanah pusaka atau turunan sehingga terjadi dalam sebuah
masjid atau yayasan bahwa tanah tersebut milik pribadi.
12 Tokoh Masyarakat Kelurahan Penjaringan, Wawancara Pribadi, Jakarta, 31 Juli 2010
79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, Peran Tokoh Masyarakat Kecamatan
Penjaringan Jakarta Utara dalam upaya pengelolaan dan peningkatan fungsi tanah
wakaf studi kasus kelurahan penjaringan kota administrasi Jakarta Utara dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Sistem pengelolaan dan peningkatan fungsi tanah wakaf di kelurahan
penjaringan Jakarta Utara masih menggunakan sistem lama (tradisional)
dengan kata lain belum menggunakan sistem modern yang dapat
mengefektifkan dan memberdayakan fungsi tanah wakaf yang ada saat ini
agar lebih produktif. Sehingga masyarakat di Kelurahan Penjaringan hanya
dapat mengambil manfaat tanah wakaf sebagai sarana ibadah kepada Allah,
dengan kata lain fungsi tanah wakaf di Kelurahan penjaringan belum dapat
memberdayakan masyarakat sekitar. Hal ini terlihat belum adanya tanah
wakaf produktif di wilayah tersebut.
2. Pentingnya melakukan administrasi perwakafan tanah milik pada KUA
Kecamatan Penjaringan yang fungsinya antara lain :
a. Sebagai bukti tertulis guna menjamin kelestarian tanah wakaf.
b. Untuk menghindari penyimpangan dari kedudukannya sebagai tanah
wakaf.
80
c. Untuk menegakkan kapastian hukum dalam pelaksanaan, pemeliharaan
dan pengelolaan wakaf.
d. Untuk menghindari terjadinya saling perebutan antara satu kelompok
dengan kelompok lainnya (misalnya ahli waris dengan nazir) yang
diakibatkan oleh tidak kepastiannya status tanah wakaf tersebut.
3. Peran Tokoh Masyarakat Kecamatan Penjaringan dalam upaya peningkatan
tanah wakaf di kelurahan penjaringan sudah efektif dan berjalan dengan baik
sehingga perwakafan di kelurahan penjaringan relatif tinggi jika dibandingkan
dengan kelurahan lainnya, namun dalam upaya pengelolaan dan peningkatan
fungsi tanah wakaf ke arah produktif belum optimal, sehingga tanah wakaf di
Kelurahan Penjaringan belum terasa manfaatnya bagi masyarakat khususnya
dalam pemberdayaan masyarakat setempat
B. Saran-saran
Adapun saran penulis kepada Tokoh Masyarakat Kecamatan Penjaringan
Jakarta Utara dalam upaya pengelolaan dan peningkatan fungsi tanah wakaf yang
ada agar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak dan lebih efektif
lagi sebagai berikut :
1. Perlu adanya usaha lain untuk mengoptimalkan tanah wakaf, yaitu dengan
mencari terobosan baru/ide-ide baru untuk mengelola dan meningkatkan
fungsi tanah wakaf menjadi produktif agar lebih mensejahterakan umat yang
membutuhkan manfaat dari wakaf tersebut, tanpa harus membebani umat dan
81
juga salah satu cara untuk mewujudkan kemajuan wilayah khususnya
kecamatan penjaringan.
2. Perlu adanya sosialisasi yang lebih gencar lagi yang harus dilakukan oleh
KUA Kecamatan Penjaringan, instansi terkait, ulama, tokoh masyarakat
tentang perwakafan tanah dan pentingnya mengadministrasikan tanah wakaf
di Kecamatan Penjaringan, agar masyarakat lebih mau berpartisipasi baik
dalam pengelolaan, pemeliharaan dan peningkatan tanah wakaf, ini mengingat
masih sedikitnya orang yang mau mewakafkan tanahnya demi kepentingan
bersama.
3. Untuk pihak KUA dalam hal ini KUA Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara
agar terus berupaya meningkatkan kualitas nadzir dan memberikan
pemahaman lebih luas kepada tokoh masyarakat tentang wakaf dan juga
memberikan solusi ataupun bimbingan pelatihan agar pemanfaatan tanah
wakaf dapat lebih diproduktifkan.
82
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Karim
Abdullah, Abdul Ghani. Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Pengadilan Agama, Jakarta: Intermasa, 1991
Abdurrahman. Masalah Perwakafan tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita, Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, 1990, cet ke-3
Al Khatib, Asy Syarbini Muhammad. Mughnil Muhtaaj, juz II , Mesir: Musthofa Al Baabi Al Hallabi, 1958
Al-Alibij, Adijani. Perwakafan Tanah di Indonesia, Jakarta: CV Rajawali, 1992, Cet. Ke-2
Al-Halaj, Imam Abi Al-Husain Muslim. Shahih Muslim, jilid IV, cet I, Mesir: Daar al-Hadits al-Qahirah,1994
Ali, Muhammad Daud. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI Press, 1988, Cet. Ke-1
Al-Jafi, Ibrahim bin Mughiroh bin Bardizbah Al Bukhari. Shahih Bukhari, Beirut: Daar El-Fikr,tt, Juz 3.
Anam, Faisal Haq dan HA. Saiful. Hukum Wakaf dan Perwakafan Di Indonesia, PT. Garoeda Buana Indah, Pasuruan Jatim, Cet II Nov. 1994
Arikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian, Jakarta: PT. Rineka Bakti, 1993, cet. ke-2,
Assyaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Nailul Author, Beirut-Lebanon: Daarul Qolam, Juz 6
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah, Bandung: PT. Al Ma’arif, 1987
Buku data wilayah provinsi, kotamadya, kecamatan dan kelurahan di provinsi DKI Jakarta, Biro Administrasi Wilayah Prov DKI Jakarta 2006
Daradjat, Zakiyah. et al, Ilmu Fiqh, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, Cet. Ke-1, Jil. III
83
Departemen Agama DitJen Bimas Islam dan Urusan Haji, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perwakafan Tanah Milik, Tahun 1991-1992
Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004, cet. Ke-2
Departemen Agama RI, UU No. 1/1974 dan UU No. 9/1975 serta KHI di Indonesia, T. Hani Handoko, Manajemen, Yogyakarta : BPFE, 1998, Edisi ke-2
Direktorat Jenderal Bimbingan Mayarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Jakarta: Departemen Agama Refublik Indonesia. 2005
Direktorat Jenderal Bimbingan Mayarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia. 2005
F.X., Sujadi. O & M Penunjang berhasilnya Proses Management, Jakarta : CV. Masagung, 1990, Cet. Ke-3
Fikri, Sayyid Ali. Al Mu’aamalatul Madiyah wal Adabiyah, juz II, Mesir: Musthofa Al Baabi al hallabi, 1938
Laporan Bulanan KUA Kecamatan Penjaringan 2010
Mughirah, Muhamad Jawad. Fikih Lima Mazhab, Jakarta : PT. Lentera Basritama, 1996, Cet. Ke-1
Mujieb, M. Abdul dkk. kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002, Cet. III
Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, CV. Mandar Maju, Bandung, Tahun 1998 Cet, VIII
Praja, Juhaya S. Perwakafan di Indonesia (Sejarah Pemikiran, Hukum, dan Perkembangannya), Bandung: Yayasan Plara, 1995
Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis Di Indonesia, Jakarta; Deoartemen Agama Republik Indonesia, 2003
84
Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat dan Penyelenggaraan Haji, Perkembangan Pengelolaan Wakaf Di Indonesia, Jakarta; Deoartemen Agama Republik Indonesia, 2003
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. Ke-1
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, alih bahasa oleh kamaluddin A., dkk., vol. XIV, Cet. VIII, Bandung: Al Ma’arif, 1996
Tahir, M. “Wakaf dan Sumber Daya Ekonomi : Suatu Pendekatan Teorotis”, Mimbar Hukum, No. 7 Th. III, 1992
Zainuddin, Ibnu Najm. Al Bahrur Raiq, Mesir: Daarul Kutubil ‘Arabiyah Al Kubro,tt, Juz 5