Peran Regional Cooperation Agreement on …Angkatan yang memiliki peranan dalam membantu menjalin...
Transcript of Peran Regional Cooperation Agreement on …Angkatan yang memiliki peranan dalam membantu menjalin...
Peran Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and
Armed Robbery Against Ships in Asia (ReCAAP) Terhadap
Keamanan Maritim di Kawasan Asia Tenggara
SKRIPSI Oleh:
MUHAMMAD ALIF ANDYVA E131 13 006
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Departemen
Ilmu Hubungan Internasional
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN 2017
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan karunia, rahmat, dan
segala nikmat-Nya kepada penulis, serta tak lupa penulis mengirimkan salam dan
shalawat kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi suri teladan yang
sempurna dalam kehidupan sehari-hari, sehingga penulis mampu menyelesaikan
skripsi berjudul Peran Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy
and Armed Robbery Against Ships in Asia (ReCAAP) Terhadap Keamanan
Maritim di Kawasan Asia Tenggara sebagai syarat dalam memperoleh gelar
sarjana pada Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin.
Melalui skripsi ini, besar harapan penulis, tidak hanya sebagai syarat
paripurna studi S1, tapi juga mampu menjadi referensi alternatif bagi masyarakat
luas yang sedang mengkaji mengenai Keamanan Maritim maupun eksistensi
ancaman-ancaman non-tradisional yang muncul di dunia yang terus berubah ini.
Penulis akan sangat senang dan terbuka bagi siapa saja yang ingin berdiskusi
ataupun memberikan masukan, kritikan yang konstruktif, ataupun saran bagi
penulis. Penulis dapat dihubungi melalui [email protected]
Skripsi, yang pada akhirnya membawa penulis mendapatkan gelar sarjana ini,
penulis persembahkan kepada keluarga penulis. Kepada kedua orang tua penulis,
Ayahanda Dr. Ir. H. Abdul Rivai Ras, M.M, MS, MSi. dan Ibunda dr. Hj.
Dwi Nindya Ayu Nontji Beddu, MSi. yang telah memberikan segalanya kepada
penulis. Terima kasih telah menjadi orang tua yang senantiasa memberikan
bimbingan dan kasih sayang kepada. Teruntuk saudari penulis, Azizah Fitriayu
Andyra, yang telah menjadi partner-in-crime dalam setiap kegiatan sekaligus
membantu selalu dalam segala keperluan penulis, tetap menjadi adik yang
menyebalkan dan tidak lupa berbakti pada orang tua juga. Meskipun dalam
keadaan tumbuh bersama, terima kasih kadang menjadi kawan cerita dan teman
jalan yang baik. Kepada keluarga kecil yang penulis sayangi, terima kasih telah
menjadi tempat yang akan selalu diingat dalam perjalanannya menjadi orang yang
lebih baik serta menjadi tempat bernaung dalam suka dan duka.
Penulisan skripsi ini pastinya mengalangi banyak tantangan dalam
prosesnya, dan pastinya tidak akan terselesaikan tanpa adanya bantuan dan
dukungan dari beberapa pihak hingga skripsi ini dapat dirampungkan. Oleh
karena itu, dalam kesempatan yang singkat ini pula penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Rektor Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Dwia Aries Tina
Pulubuhu, MA. Beserta jajarannya.
2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNHAS, Prof. Dr.
A. Alimuddin Unde, M.Si beserta jajarannya.
3. Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNHAS
serta Pembimbing I penulis, H. Darwis, MA., Ph.D. yang selalu
memberi tambahan pengetahuan dalam ilmu hubungan
internasional dan sifat jenakanya ketika membimbing.
4. Pembimbing II, Agussalim, S.IP, MIRAP, yang selalu
memberikan arahan dan perbaikan dalam penulisan skripsi ini,
serta memberikan motivasi untuk menyelesaikannya dalam
tempo yang lebih cepat.
5. Para staf Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNHAS, Ibunda
Lily dan Kak Rahma yang tak pernah lelah membantu proses
pengurusan administrasi penulis.
6. Seluruh Dosen Ilmu Hubungan Internasional atas segala ilmu dan
pengetahuan yang diberikan hingga hari ini kepada penulis dalam
menyikapi dan memandang dinamika global yang terjadi melalu
berbagai sudut pandang kritis maupun scientific dalam setiap
kajiannya.
7. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Pusat Unhas yang
memberikan izin kepada penulis untuk meneliti dan menjadi
sebuah acuan dalam penelitian.
8. Sahabat – sahabat JAD (Jalanin Aja Dulu) yang selalu
memberikan inspirasi unik dan semangat kepada penulis. JAD
tidak akan menjadi menggembirakn seperti mereka, Ardi dan
Arfan, sahabat dekat dalam berbagai hal, mulai permasalahan
asmara hingga permasalahan akademik. Tenri, sebagai sosok
ibunya kelompok ini selalu saja tabah dan marah – marah, tapi
kadang ada benarnya, cukup didengarkan saja. Ayyub yang
memiliki obsesi menjadi artis dan selalu gundah gulana dalam
menentukan sikap kepada cewek – cewek, menjadi moodbooster
yang ampuh. Chandra yang gagah tapi ongol, kawan rantauan
juga, dan sulit dideskripsikan. Asrin yang menjadi guru spiritual
dan multi talenta, yang rumahnya selalu menjadi pelarian penulis
saat sedang jenuh. Nana yang selalu tabah dalam menjalankan
hubungannya dengan pasangannya dan juga tempat curhat
penulis begitu juga sebaliknya. Annisa doppleganger ibu Rektor,
selalu bermasalah sama pasangannya, tapi baik dalam membagi
makanna dan jago masak. Iccang the ozzie boi yang memiliki
pribadi dan selera music unik, kawan diskusi filosofis jam 9
malam di warung kopi. Beatrix gadis tomboy yang mudah saja
baper, dan selalu saja foto dengan laki – laki dibanding dengan
kaum hawa, jangan selalu teringat sama yang benci sama kau.
Riska selaku kawan BM penulis dan juga adik bagi semuanya
dikelompok ini, kawan hobi dan juga sebagai pendengar yang
baik.
9. Teman – teman SEATTLE HI 2013, yang berperan sebagai
keluarga besar kedua ketika memasuki HI UNHAS. Dalam
kesempatan ini, berterima kasih kepada Thorgib ketua angkatan
seumur hidup yang hidupnya sangat musisi dan ikhlas
menghadapi semuanya. Enggra sebagai Pelaksana Tugas Ketua
Angkatan yang memiliki peranan dalam membantu menjalin tali
silaturahmi antara angkatan. Upi dan Hilda yang memiliki
pribadi unik dan senantiasa menjadi objek candaan penulis.
Echa, Afan, Aufar, Aldy, Ryan, Fadhil, Iswan sebagai sector
kelembagaan mahasiswa di angkatan dan kegaulan intelektual
bagian otak kanan dan kiri, HIDUP MAHASISWA!. Alia,
Indah, Chufi, Eda, Mekay, Nicha, Woching, Siska, yang
selalu senantiasa di bangku tengah memberikan interaksi gossip
lucu dan hits. Fahira, Ziza, Rani trio yang selalu datang dan
pergi bersamaan, bahkan dalam absen kuliah. Abel, Oji,
Pimpim, Ucup yang menggawangi tingkat kegaulan di Makassar
dalam angkatan, keep rockin guys!. Zia, Tira, Lena, Windows
yang menjadi kelompok gadis solid nan ribut. Dhyla dan Lia
yang selalu jadi bagian housekeeping di angkatan. Dwiki dan
Sandi selaku coordinator lapangan untuk kegiatan kesehatan
jasmani. Diah, Yanti, Dhea, Tifanny, Jenny, Puji, Rian
sebagai wanita – wanita yang diam diam heboh, semoga selalu
demikian. Dan terima kasih, kepada canda tawa, dukungan,
semangat yang diberkan oleh teman – teman Seattle lainnya yang
belum dapat disebutkan satu – persatu oleh penulis. Ilham
biduan ajaib dan ekspresif seangkatan.
10. Teman-teman Arisan Diplomat yang juga setia memberikan
warna lucu - lucu dalam kehidupan kuliah penulis. Astari yang
keliatan jutek tapi perhatian, Kak Kiki yang anggun calon model,
Eka si tangguh yang selalu setia memberikan dukungan dan
barista hebat. Husnul perempuan yang penuh dengan perhatian
dan kawan Gosip. Avy wanita manis yang kini menjadi ibu
PERSIT, tidak lupa narsisnya juga. Dipo ratu Jeneponto yang
baik hati selalu dan smeoga diberikan kemudahan. Fira wanita
kalem nan anggun yang kalo bicara selalu tepat sasaran. Ina
pejuang LDR sekaligus tipe wanita idaman penulis. Opi gadis
Kotamubagu yang selalu heboh dan ibu kosnya anak - anak.
11. Teman teman UKM DBI UNHAS yang selalu memberikan
ajakan dalam hal intelektual, lawakan, dan olah vocal seperti
Fajar, Shita, Pute, Saras, Finka, Titan, Kak Tillah, Kak
Kharji, Kak Fahmi, Kak Emir, Kak Nawir, Kak Taqim, Kak
Yayang, Kak Ayu, Kak Aumi.
12. Teman – Teman UNHAS MUN COMMUNITY, yang
senantiasa memberikan pengetahuan berlebih dalam lini studi
penulis serta dalam pengembangan ESQ dan segala baper
bapernya, seperti Budi, Ivonne, Putri, Adin, Alisha, Louisa,
Nabila, Tamira, Kevin, Hep, Gandhi, Ayat, Ari, Kak Agor,
Kak Winda, Kak Frischa, Kak Tyo, Kak Keppo, Kak Bama,
Kak Biondi, Kak Riri, Kak Riyad, Kak Mumu.
13. Teman – Teman KKN 93 UNHAS DSM BANTAENG
khususnya pada kawan – kawan posko Desa Borong Loe, terima
kasih atas dukungan doa dan semangat yang telah diberikan
kepada penulis.
14. Serta seluruh pihak yang terlibat, baik dalam pergaulan maupun
permasalahan asmara dan perasaan, dalam penulisan skripsi ini,
yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis. Terima
kasih atas dukungan langsung maupun tidak langsung yang
mungkin berupa doa ataupun semangat yang diberikan selama
pernulisan berlangsung. Tanpa kalian, mungkin penulis tidak
dapat menjadi seperti sekarang ini dalam melakukan
penulisannya.
Makassar, 8 Juni 2017
Muhammad Alif Andyva
ABSTRAKSI
Muhammad Alif Andyva E131 13 006, Peranan of Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery Against Ships in Asia (ReCAAP) tentang Keamanan Maritim di Asia Tenggara, di bawah bimbingan Bapak Darwis sebagai pembimbing I dan Bapak Agussalim sebagai pembimbing II, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan: pertama, kinerja ReCAAP di Asia Tenggara, untuk melawan ancaman maritim, terutama pembajakan dan perampokan bersenjata. Kedua, keberadaan dan implikasinya untuk memperkuat keamanan maritim di wilayah ini. Untuk memenuhi tujuan tersebut, penulis menerapkan metode penelitian deskriptif dan dengan menggunakan penelitian kepustakaan untuk mengumpulkan data yang diperlukan. Sedangkan untuk analisis data, metode kualitatif digunakan dan ditulis secara deduktif. Hasil dari makalah ini menunjukkan bahwa kehadiran ReCAAP di Asia Tenggara untuk melawan pembajakan dan perampokan bersenjata mempengaruhi situasi keamanan maritim, karena ReCAAP membantu informasi yang diperlukan, memperkuat koordinasi di antara focal point, dan memperkuat kemampuan anggota untuk beradaptasi dengan tren perampokan dan perampokan bersenjata. Namun, ada hambatan dalam ReCAAP untuk memastikan keamanan maritim, termasuk pada kemampuan penegakan hukum dan kemampuan hukum terhadap individu yang dicurigai. Di sisi lain, implikasi ReCAAP mempengaruhi secara politis, dalam hal hubungan antar negara di kawasan ini, dan secara strategis, untuk memperkuat keamanan maritim. Dengan demikian, situasi tersebut menyebabkan kondisi semakin kompleks untuk mencapai kestabilan, terutama bila ada kemungkinan untuk menghambat hubungan baik antar negara tetangga di wilayahnya. Kata kunci: Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery Against Ships in Asia, ReCAAP, Pembajakan, Keamanan Laut, Asia Tenggara.
ABSTRACT
Muhammad Alif Andyva E131 13 006, Role of Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery Against Ships in Asia (ReCAAP) on Maritime Security in Southeast Asia, under the guidance and supervision of Mr. Darwis and Mr. Agussalim, International Relations Department, Faculty of Social and Political Sciences, University of Hasanuddin. The research aims to explain: firstly, the ReCAAP performance in Southeast Asia, to counter maritime threats, especially piracy and armed robbery. Secondly, its existence and implication to strengthen maritime security in the region. In order to meet the objectives, writer applied descriptive research method and by using library research to collect the necessary data. As for analyzing data, the qualitative method is used and written deductively. The result of this paper exhibits that ReCAAP’s presence in Southeast Asia to counter piracy and armed robbery affects the maritime security situation, as ReCAAP assist with necessary information, strengthen coordination among focal points, and reinforcing members’ ability to adapt to piracy and armed robbery trends. However, there are obstacles in ReCAAP to ensure the maritime security, including but not limited to enforcement ability and legal action ability toward the suspected individuals. On the other hand, ReCAAP implications affect politically, in terms of relations among states in the region, and strategically, in order to strengthen the maritime security. Thus, the situation led to more complex conditions to achieve stability, especially when there is a possibility to hamper amity among neighbouring country in the region. Keywords: Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery Against Ships in Asia, ReCAAP, Piracy, Maritime Security, Southeast Asia
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 Matriks Keamanan Maritim……………………………………. …….31
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Lokasi penyerangan Perompakan dan Perampokan Bersenjata di Asia
tahun 1993 – 2006……………………………………………………………… 48
Tabel 2 Lokasi penyerangan Perompakan dan Perampokan Bersenjata di Asia
tahun 2006 – 2014……………………………………………………………….70
Tabel 3 Modus Operandi Piracy and Armed Robbery di Kawasan Laut China
Selatan dan Selat Malaka / Selat Singapura……………………………………..71
LAMPIRAN
ReCAAP Agreement………………………………………………………..........99
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, isu keamanan menjadi sebuah hal signifikan dalam
perkembangan global. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya isu yang bersifat
kontemporer, yang dalam hal ini merupakan isu keamanan non-tradisional.
Keamanan non-tradisional menjadi sebuah isu penting dalam memahami
perkembangan yang progresif dalam bidang pertahanan. Hal ini dapat dikatakan
demikian dikarenakan keamanan non-tradisional yang bersifat transnasional
dalam sifatnya (Masys, 2016, p. 1), selain itu isu tersebut hadir sebagai sebuah
tantangan terhadap kemaslahatan masyarakat dan negara yang muncul dalam
bentuk non-militer, serta hadir secara tiba-tiba dan cepat dikarenakan
perkembangan globalisasi, terlebih objek keamanan bukan lagi hanya negara,
entah itu kedaulatannya maupun integritasnya, tetapi juga masyarakatnya, secara
individu maupun secara kelompok (Caballero-Anthony, 2006, p. 6).
Keamanan non-tradisional di kawasan Asia Tenggara juga dipengaruhi
oleh faktor kondisi keamanan secara global, dimana kondisi tersebut menjadi
sebuah tantangan dikarenakan perkembangan pada laju ekonomi dunia dan era
globalisasi yang bergerak secara cepat. Cakupan tersebut juga menjadi menjadi
dorongan pada kondisi kerjasama, baik secara global maupun secara regional.
Sehingga, meningkatkan kepentingan berbagai pihak mulai dari negara – negara
besar yang bertaruh pada kondisi tersebut, seperti isu lingkungan, hak asasi
manusia, dan isu perompakan dengan perampokan bersenjata.
Isu perompakan dan perampokan bersenjata di kawasan Asia Tenggara
didorong dengan kondisi ekonomi modern, politik dan perkembangan sosial.
Terlebih dengan kondisi perkembangan globalisasi dengan jaringan informasi
yang luas dan cepat di seluruh dunia, pengembangan dalam peningkatan ekonomi,
dan sifat interdependensi yang membentuk kondisi dunia sekarang ini, dan hal
tersebut termasuk isu perompakan dan perampokan bersenjata. Serta,
permasalahan perompakan dan perampokan bersenjata di kawasan Asia Tenggara
juga telah menyita atensi negara-negara tersebut, dalam hal ini dikarenakan
timbulnya tren global di kawasan layaknya apa yang terjadi di Somalia, hal
tersebut juga didukung dengan argument yang dilemparkan oleh United Nations
pada tahun 2014, yang menyatakan bahwa bukan lagi Somalia yang menjadi
kawasan yang ramai akan kasus piracy, tetapi kawasan tersebut adalah kawasan
Asia Tenggara.
Isu perompakan dan perampokan bersenjata dapat dikatakan merupakan
isu yang seringkali terjadi di perairan Asia Tenggara. Terlebih dalam beberapa
tahun ini, kondisi di kawasan perairan tersebut mengalami fluktuasi insiden
perompakan dan perampokan bersenjata yang cukup aktif. Fluktuasi tersebut
dapat dilihat pada perkembangan dari tahun 2013 hingga tahun 2015, dimana
peningkatan 12 percobaan perompakan hingga 104 percobaan perompakan di
kawasan Selat Malaka (ReCAAP, 2015). Sehingga, perkembangan perompakan
dikawasan Selat Malaka meningkat secara eksponensial.
Sehingga, peningkatan pada insiden isu perompakan dan perampokan
tersebut mendorong untuk terciptanya sebuah kerjasama untuk menanggulangi
serta mencegah kondisi perompakan dan perampokan bersenjata dan
meningkatkan keamanan, khususnya keamanan maritime. Dorongan tersebut
kemudian menciptakan organisasi Regional Cooperation Agreement on
Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia (ReCAAP) yang
memiliki fokus terhadap perompakan dan perampokan bersenjata untuk
melakukan peningkatan pada kondisi keamanan maritim di kawasan Asia.
Kehadiran ReCAAP memang memberikan kesempatan untuk mengurangi
ancaman keamanan maritime, terkhusus pada isu perompakan dan perampokan
bersenjata di kawasan Asia Tenggara dalam bentuk kerjasama. ReCAAP juga
memiliki beberapa anggota ASEAN didalamnya, antara lain: Singapore,
Phillipines, Thailand, Vietnam, Myanmar, Brunei, Laos dan Kamboja. Negara –
negara tersebut sejatinya juga memiliki kepentingan dalam mengawasi keamanan
maritim di perairan mereka masing – masing.
Meskipun dalam memberikan peluang untuk meningkatkan keamanan
maritime dengan bekerjasama dengan negara negara yang berpengaruh, akan
tetapi, ReCAAP belum dapat menarik dua negara yang memiliki kepentingan
dalam bidang keamanan maritime, yakni Indonesia dan Malaysia. Dengan
Indonesia dan Malaysia tidak bergabung dengan kiat kerjasama dengan ReCAAP,
justru mudah saja mempertimbangkan optimalisasi ReCAAP dalam menjalin
kerjasama untuk mencapai stabilitas keamanan maritime di kawasan Asia
Tenggara. Terlebih dengan hadirnya kerjasama Indonesia, Singapura, Malaysia,
dan Philippines dalam Malacca Strait Patrols dibeberapa kawasan perairan
seperti Selat Malaka dan Laut Sulu (Southgate, 2015; Parameswaran, 2016) yang
bisa saja menciptakan implikasi di kawasan Asia Tenggara, serta
mempertanyakan eksistensi ReCAAP dalam menanggulangi keamanan di
kawasan Asia Tenggara.
B. Rumusan Permasalahan
Dalam peneliitian ini, penulis berusaha berfokus kepada sejarah serta latar
belakang pembentukan ReCAAP serta eksistensi dan implikasi ReCAAP dalam
mencapai kerjasama dalam bidang keamanan maritime, terkhusus kepada isu
perompakan dan perampokan bersenjata di kawasan tersebut.
Dengan batasan tersebut, merupakan formulasi rumusan masalah yang dibahas
dalam penelitian ini:
1. Bagaimana Kinerja RECAAP dalam menanggulangi keamanan maritime di
kawasan Asia tenggara?
2. Bagaimana Eksistensi dan Implikasi ReCAAP terhadap penguatan Keamanan
Maritim di Asia Tenggara?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana ReCAAP mampu menanggulangi isu keamanan Maritim
kepada kawasan Asia Tenggara maupun ASEAN.
Adapun kegunaan penelitian ini, yaitu:
1. Untuk memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi akademisi
Ilmu Hubungan Internasional, yaitu Dosen dan Mahasiswa dalam
mengkaji dan memahami mengenai sejarah serta hal yang
melatarbelakangi pembentukan ReCAAP.
2. Sebagai referensi tambahan bagi setiap aktor hubungan internasional, baik
itu individu, organisasi, pemerintah, maupun organisasi non-pemerintah
baik dalam tingkat nasional, regional maupun internasional tentang
bagaimana eksistensi serta implikasi kerjasama ReCAAP terhadap
penguatan keamanan Maritim di Asia Tenggara
D. Metode Penelitian
a. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kualitatif
deskriptif. Metode penelitian ini akan menjelaskan peran ReCAAP di kawasan
Asia Tenggara dalam isu keamanan maritim. Serta, mengetahui implikasi kinerja
ReCAAP dengan organisasi regional di kawasan.
Tujuan penelitian kualitatif pada umumnya mencakup informasi tentang
fenomena utama yang dieksplorasi dalam penelitian, partisipan penelitian, dan
lokasi penelitian. Lebih spesifik, cakupan bagian dari tipe penelitian yang
digunakan oleh penulis adalah tipe deskriptis, yaitu penelitian yang menggunakan
pola penggambaran keadaan fakta empiris disertai argument yang relevan.
Kemudian, hasil uraian tersebut dilanjutkan dengan analisis untuk menarik
kesimpulan yang bersifat analitik.
b. Teknik Pengumpulan Data
Dalam teknik pengumpulan data, penulis menggunakan metode Library
Research untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan. Data-data dapat
didapatkan melalui buku, jurnal, dokumen, artikel, serta dari berbagai media
lainnya seperti internet, majalah ataupun surat kabar harian. Bahan-bahan tersebut
dari beberapa tempat yang penulis akan kunjungi, yaitu:
1. Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin di Makassar
c. Jenis Data
Jenis data yang penulis gunakan adalah data sekunder. Data sekunder
merupakan data yang diperoleh melalu studi literatur seperti buku, jurnal,
artikel, majalah, handbook, situs internet, institute dan lembaga terkait.
Adapun, data yang dibutuhkan ialah data yang berkaitan langsung dengan
penelitian penulis tentang peranan dan kinerja ReCAAP dalam isu keamanan
Maritim di kawasan Asia Tenggara dan implikasi dengan organisasi regional
di kawasan.
d. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam menganalisis
data hasil penelitian adalah teknik analisis kualitatif. Menganalisis
permasalahan yang digambarkan berdasarkan fakta-fakta, kemudian
menghubungkan fakta tersebut dengan fakta lainnya sehingga menghasilkan
sebuah argumen yang tepat. Sedangkan, data kuantitatif memperkuat analisis
kualitatif.
e. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan oleh penulis ialah metode deduktif,
yaitu menggambarkan secara umum masalah yang diteliti, kemudian menarik
kesimpulan secara khusus dalam menganalisis data.
BAB III GAMBARAN UMUM RECAAP DAN KONDISI KEAMANAN
MARITIM ASIA TENGGARA
A. Gambaran Umum ReCAAP
a. Awal Mula Munculnya Ancaman Maritim di Kawasan Asia Tenggara
Pada akhir 1990-an, pembajakan kontemporer di Asia Tenggara mulai
menarik perhatian yang lebih dan lebih internasional (Eklof, 2006). Semakin
banyak serangan dan sifat serius dari beberapa insiden memicu kekhawatiran
internasional tentang keamanan pengiriman internasional di perairan negara
tersebut. Hal ini menyebabkan pembentukan organisasi regional dan internasional
dan dimulainya tindakan kooperatif yang, setidaknya pada awalnya,
menyebabkan penurunan jumlah serangan bajak laut yang dilaporkan terjadi di
hot spot Asia Tenggara.
Tidak semua perairan di Asia Tenggara sama-sama terpengaruh oleh
pembajakan, dan seiring waktu pembajakan, hot spot beralih ke wilayah perairan
yang berbeda. Data pembajakan IMB yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan
jumlah serangan yang dilaporkan secara komparatif - di seluruh dunia, di Asia
Tenggara dan di masing-masing negara Asia Tenggara. Namun saat mereka
resmi, data ini perlu dipahami tidak komprehensif dan lengkap. Seperti yang
diketahui IMB sendiri, hanya diperkirakan 50 persen serangan dilaporkan ke IMB
saat itu. Selanjutnya, jumlah insiden yang tidak dilaporkan mungkin lebih tinggi
lagi jika serangan terhadap kapal penangkap ikan juga diperhitungkan, karena
serangan semacam itu jarang menemukan jalan mereka ke dalam statistik ini.
Tabel 1 Lokasi penyerangan Perompakan dan Perampokan Bersenjata di Asia tahun 1993 – 2006
Antara 1990 dan 1992, perairan antara Selat Malaka dan Singapura
diidentifikasi sebagai rawan paling bajak laut di dunia. Setelah memulai patroli
anti-pembajakan yang terkoordinasi di bidang ini, bagaimanapun, fokus
pembajakan beralih ke Laut Cina Selatan, di mana sebagian besar serangan yang
dilaporkan terjadi antara tahun 1993 dan 1995.
Sekitar pertengahan 1990an, jumlah serangan yang lebih tinggi
dilaporkan terjadi di Philipina (24 pada tahun 1995 dan 39 pada tahun 1996) dan
di Thailand (16 pada tahun 1996 dan 17 pada tahun 1997), namun insiden ini
dibayangi oleh munculnya beberapa serangan yang dilaporkan di Indonesia.
Karena Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau yang tersebar lebih dari 1,9
Sumber: IMB CCC (1994-2006)
juta kilometer persegi, memerangi pembajakan tidak ada tugas yang mudah.
Sebagian besar insiden yang dilaporkan terjadi di Indonesia adalah pencurian
kecil, sering dilakukan di pelabuhan. Namun, peningkatan serangan yang
dilaporkan di Selat Malaka menarik lebih banyak perhatian internasional setelah
melonjak dari dua serangan aktual dan percobaan yang dilaporkan pada tahun
1999 sampai 75 pada tahun berikutnya (Tabel 1.1). Serangan di daerah ini
menyebabkan kekhawatiran karena strategisnya selat tersebut sebagai salah satu
jalur air tersibuk di dunia.
Spekulasi yang tidak terbantahkan bahwa orang-orang yang
diidentifikasi sebagai teroris mungkin telah berkolusi dengan bajak laut di Selat
Malaka dan tuduhan bahwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau anggota yang
tidak bertanggung jawab atas beberapa serangan dengan menambahkan nada
konspiratif (Liss & Biggs, 2016, p. 3).
Sebagian besar dari serangan bajak laut terhadap kapal dagang di Asia
Tenggara antara tahun 1990an dan pertengahan tahun 2000an adalah perampokan
"hit dan run" sederhana yang dilakukan di laut, pada jangkar atau di pelabuhan.
Oknum meluncur ke kapal yang ditargetkan, sering di bawah penutup kegelapan,
dan mengambil sesuatu yang bernilai sebelum meninggalkan. Biasanya mereka
adalah kelompok pria yang saling mengenal dan menyimpan barang rampasan
untuk dirinya sendiri, di luar dari suap yang dibayarkan kepada pihak berwenang
dan pihak luar lainnya untuk memastikan kesunyian atau kerja sama mereka.
b. Kehadiran ReCAAP Sebagai Lembaga Dalam Bidang Keamanan
Maritim
Regional Cooperation Agreement on Combatting Piracy and Armed
Robbery in Asia (ReCAAP) merupakan organisasi yang berlandaskan pada kinerja
antara pemerintah dengan pemerintah (government-to-government) yang
melakukan promosi terhadap peningkatan kerjasama patroli laut negara anggota
dalam melawan pembajakan dan perampokan bersenjata di kawasan laut Asia,
yang memiliki peran yang cukup vital terhadap kehidupan perekonomian
kawasan. ReCAAP juga hadir dengan anggapan untuk melindungi SLOCs yang
berada di kawasan Asia, yang secara tidak langsung melindungi shipping lanes
perusahaan – perusahaan besar yang melakukan perdagangan di kawasan Asia
Sebelum terciptanya ReCAAP menjadi sebuah organisasi internasional
seperti sekarang ini, perkembangannya dimulai dari peningkatan angka
perompakan pada tahun 1990an dan terjadinya lebih dari 200 aksi perompakan
dan perampokan bersenjata pada awal tahun 2000an di kawasan Asia Tenggara.
Terlebih, adanya kekhawatiran terhadap ancaman navigasi laut yang menuntut
adanya biaya lebih terhadap perdagangan yang dilakukan oleh negara – negara
yang berkepentingan dikawasan tersebut (ReCAAP, 2016, p. 33). Selain itu juga,
adanya juga kekhawatiran bahwa kawasan Asia akan menjadi mengalami krisis
yang sama dengan Afrika dalam isu perompakan dan perampokan bersenjata.
Konsep pengembangan kerjasama regional tersebut, disarankan oleh
mantan Perdana Menteri Jepang, Junichiro Koizumi, pada pertemuan ASEAN+3
pada bulan November 2001, yang pada titik ini menjadi acuan dasar dalam
terciptanya perintisan ReCAAP. Hal ini mendorong untuk terciptanya perjanjian
dalam menanggulangi isu tersebut, yang dirumuskan pada tahun 2002 oleh
ASEAN+3, dan difinalisasi di Tokyo, Jepang, pada tanggal 11 November 2004
dengan ASEAN+6, serta mulai berlaku pada tanggal 4 September 2006.
Kemudian, pada tanggal 29 November 2006, terbentuklah ReCAAP sebagai
sebuah organisasi pertama yang melakukan kerjasama antar pemerintah pertama,
dalam bidang menanggulagi isu perompakan di kawasan Asia, dan bertempat di
Singapura yang diakui sebagai salah satu organisasi internasional, yang pertama
kali terdiri dari 14 Contracting Parties, yakni: Jepang, Cina, Korea Selatan, India,
Sri Lanka, Bangladesh, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, Laos,
Myanmar, Vietnam, Kamboja (ReCAAP, 2016, p. 33).
ReCAAP bertujuan untuk memberantas piracy dan armed robbery yang
terjadi di wilayah Asia dan sebagai pusat informasi kepada patroli laut tentang
aksi pembajakan dan perampokan bersenjata diatas kapal, namun tidak menutup
kemungkinan juga Contracting Parties dari perjanjian ini juga memberikan
bantuan baik dari segi tenaga dalam hal ini tenaga ahli, dan alih teknologi kepada
negara lain yang membutuhkan. Selain itu, ReCAAP beracuan pada tiga pilar
dasar dalam menjalankan tugasnya, yaitu:
1. Berbagi informasi antara negara-negara anggota ReCAAP.
2. Peningkatan kapasitas antara negara-negara anggota dengan berbagi
praktik terbaik dalam memerangi pembajakan dan perampokan
bersenjata.
3. Melakukan perjanjian kerjasama dengan seperti- organisasi
berpikiran untuk memperkuat kemampuan negara-negara anggota
untuk mengelola insiden di laut (ReCAAP, 2006).
Masing – masing dari pilar tersebut mengimplmentasikan mekanisme
focal point terhadap negara – negara anggota dalam menerapkan kinerja
ReCAAP, penerapan mekanisme tersebut merupakan hal vital dalam
menyambung informasi kepada negara negara anggota ReCAAP. Hal ini dapat
dilihat dalam pengembangan bidang berbagi informasi, ReCAAP menjadi
fasilitator dalam melakukan penyelidikan dan melakukan koordinasi dalam
melakukan pengamatan serta penguatan terhadap kegiatan perompakan dan
perampokan bersenjata dengan focal point lainnya. Selain itu, upaya dalam
peningkatan kapasitas antara negara anggota, ReCAAP melakukan workshop
serta diskusi dengan pegawai pemerintah senior dalam memperkuat dan
mampu menggunakan ReCAAP secara efektif dan efisien, dikarenakan sifat
ReCAAP yang memberikan kemampuan penyebaran informasi. Dan yang
terakhir, melakukan kerjasama, ReCAAP melakukan koordinasi dengan
organisasi yang relevan dalam menanggulangi isu perompakan dan
perampokan bersenjata (ReCAAP, 2016, p. 79).
Sehingga, dalam perkembangannya, ReCAAP dengan asas kebebasan
navigasi laut, memiliki kemampuan untuk melakukan pembagian informasi
perihal perompakan serta perampokan bersenjata diatas kapal, terlebih
pembagian kompilasi data biasa yang dilakukan secara bulanan, menjadikan
ReCAAP mampu melakukan pemberian informasi secara real-time. ReCAAP
juga memiliki kemampuan dalam menciptakan keamanan maritime yang
bersifat cepat tanggap, hal ini sebagaimana tujuan utama ReCAAP sebagai
organisasi yang memberikan informasi secara jelas terhadap negara – negara
anggotanya.
B. Kondisi Keamanan Maritim di Kawasan Asia Tenggara
a. Dinamika Keamanan Internasional Pasca 11 September
Kondisi keamanan global saat ini merupakan hal yang kompleks, dimana
tidak hanya aktor negara yang memeiliki peranan khusus dalam menangani isu
keamanan, tetapi juga munculnya aktor non-negara yang menjadi spotlight dalam
isu keamanan, yang menciptakan tren yang hingga saat ini menjadi pembahasan
setiap negara, dikarenakan adanya perubahan yang signifikan pasca penyerangan
terorisme 11 September 2001 (9/11).
Penyerangan tersebut memiliki efek yang cukup detrimental, yang
menyebabkan kondisi keamanan global menjadi lebih keruh dari sebelumnya. Hal
ini juga menjadi sebuah motivasi keamanan tersendiri dari negara adidaya seperti
Amerika Serika, sebagai korban utama pada insiden transnasional tersebut, yang
bahkan mendorong terciptanya global war on terrorism terhadap negara – negara
yang memiliki indikasi tersangka utama dalam insiden tersebut, yang kemudian
tindakan ini membuat instabilitas di kawasan Timur Tengah dikarenakan agresi
militer yang bertubi – tubi.
Global war on terrorism memang memberikan kerberhasilan yang
parsial, dimana kondisis tersebut mengangkat kembali isu isu keamanan non-
tradisional, seperti permasalahan terorisme, isu kejahatan transnasional, serta
kehadiran Weapon of Mass Destruction sebagai sebuah pembahasan yang marak
di berbagai kawasan (Buzan, 2006).
Implikasi insiden 9/11 juga meliputi keprihatinan terhadap kondisi
keamanan di berbagai kawasan. Bagi kawasan Eropa, Keutamaan AS membawa
perubahan besar dalam hubungan mereka dengan Amerika dan dengan satu sama
lain. Eropa sekarang juga menghadapi tugas untuk menyesuaikan diri dengan
kenyataan ini yang mengharuskan adanya penyesuaian diri dengan peran yang
jauh berkurang dalam kebijakan AS dan, secara implisit, sebuah suara yang sangat
berkurang dalam apa prinsip-prinsip keteraturan hubungan internasional. Terlebih,
masih adanya kepentingan AS dalam NATO serta mengharapkan peranna yang
lebih aktif untuk membantu penanganan pada global war on terrorism ini
(Gartner & Cuthbertson, 2005, p. 116).
Di sisi lain, realitas baru membuka peluang bagi Eropa untuk mengatasi
banyak pertanyaan tentang masa depannya sendiri yang telah terus terakumulasi
namun belum terselesaikan. Ada kebutuhan mendesak untuk fokus pada masa
depan integrasi di semua dimensi dan peran Amerika Serikat di benua Eropa
(Gartner & Cuthbertson, 2005, p. 110).
Sedangkan, bagi kawasan Asia-Pasifik pada umumya, dan kawasan Asia
Tenggara khususnya, perubahan dalam agenda dan karakteristik kebijakan luar
negeri AS telah melahirkan sebuah kompleks keamanan (security complex) yang
semakin rumit. Pada saat masalah-masalah keamanan yang sebelumnya sudah ada
di kawasan belum menentukan bentuk penyelesaian, kini beban keamanan
regional dirasa semakin berat dengan munculnya ancaman terorisme dalam skala
yang belum pernah dialami sebelumnya. Meskipun menguatnya ancaman
terorisme itu juga memiliki akar regional implikasi dari perang global melawan
terorisme yang dimotori AS telah memperumit pola-pola hubungan antar negara
kawasan, khususnya di antara negara-negara ASEAN.
Dengan kata lain, perkembangan situasi keamanan di Asia-Pasifik pada
umumnya, dan di kawasan Asia Tenggara pada khususnya, tidak menunjukkan
gambaran masa depan menggembirakan. Setidaknya ada beberapa faktor dalam
memandang perkembangan keamanan tradisional pasca 9/11 di kawasan Asia
Pasifik, yakni:
1. Kawasan Asia Pasifik ini masih diwarnai oleh sejumlah sengketa wilayah
dan perbatasan. Di sub-kawasan Asia Timur Laut, tantangan keamanan
tradisional masih didominasi oleh sengketa wilayah antara RRC dan
Jepang, antara Jepang dan Korea Selatan, antara Jepang dan Rusia, serta
masalah Taiwan. Sementara itu, sengketa teritorial di Laut Cina Selatan,
dan sengketa wilayah antara Singapura-Malaysia dan Malaysia-Filipina
masih menjadi isu sensitif di sub-kawasan Asia Tenggara.. Sengketa
wilayah dan perbatasan ini, apabila tidak diselesaikan dengan baik,
dalam jangka panjang dapat menjadi isu keamanan yang serius bagi
kawasan.
2. Masih adanya kecurigaan dan ketegangan bilateral di antara negara
negara di kawasan. Kecurigaan historis antara RRC dan Jepang dan
antara Jepang dan Korea Selatan merupakan contoh klasik di kawasan
Asia Timur Laut. Sementara itu, kawasan Asia Tenggara juga ditandai
oleh masih adanya kecurigaan-kecurigaan dalam hubungan antara
Thailand dan Myanmar, antara Kamboja dan Thailand, antara Indonesia
dan Singapura, dan antara Malaysia dan Singapura. Sengketa mengenai
masalah perairan antara Malaysia dan Singapura belum lama ini, atau
mengenai persepsi historis antara Kamboja dan Thailand, merupakan
contoh paling akhir mengenai masalah ini. Fakta bahwa meskipun
negara-negara tersebut telah tergabung dalam ASEAN, namun belum
dapat menyelesaikan persoalan yang ada, menunjukkan bahwa masalah
ini tidak dapat diabaikan begitu saja.
3. Kawasan Asia Timur juga diwarnai oleh ancaman nuklir Korea Utara.
Meskipun adanya tekanan internasional, khususnya dari AS, Korea Utara
tetap tidak bergerning dalam sikap dan posisinya mengenai masalah ini,
dan bahkan cenderung mengeras. Beberapa insiden peluncuran hulu
ledak dan rudal ke arah wilayah Jepang, serta ancaman-ancaman yang
dikeluarkan pemerintah Korea Utara baru-baru ini, baik terhadap Jepang,
Korea Selatan maupun AS, menunjukkan bahwa masalah Korea Utara ini
merupakan masalah serius bagi keamanan tidak hanya bagi kawasan Asia
Timur Laut, tetapi juga bagi kawasan Asia Tenggara. Masalah Korea
Utara ini semakin kompleks dengan keterlibatan negara-negara besar
seperti RRC, Rusia, dam AS. Pecahnya konflik terbuka di kawasan ini,
meskipun dalam skala teratas, jelas akan membawa dampak ekonomi dan
keamanan yang tidak kecil bagi kawasan Asia Tenggara (Sukma, 2003).
Disamping ketiga masalah keamanan tradisional di atas, kawasan Asia-
Pasifik, khususnya di sub-kawasan Asia Tenggara, merupakan kawasan yang sarat
dengan sejumlah permasalahan dan ancaman non-tradisional. Disamping
menghadapi masalah terorisme, negara-negara di kawasan sudah lama berkutat
menghadapi masalah penyelundupan senjata ringan, separatisme bersenjata,
penjualan wanita dan anak-anak, pemalsuan dokumen dan surat-surat berharga,
bajak laut, kebakaran hutan, imigran legal, pencucian dan pemalsuan uang, serta
perdagangan narkotika dan obat-obat terlarang. Sekarang ini, dengan
meningkatnya aksi-aksi terorisme di Indonesia dan Filipina, ancaman non-
tradisional itu dirasakan sebagai ancaman keamanan yang semakin menonjol.
Selama ini, berbagai langkah dan kesepakatan telah dihasilkan dalam kerangka
kerjasama ASEAN (Sukma, 2003).
Perkembangan terhadap kondisi setelah 9/11, pembajakan dan terorisme
seirng kali digabungkan. Analis keamanan menyatakan keprihatinannya bahwa
teroris dapat bergabung dengan gerombolan bajak laut untuk melakukan
kekejaman di perairan Asia Tenggara, terutama di Selat Malaka yang strategis,
yang melaluinya 65.000 kapal per tahun transit, membawa sekitar sepertiga dari
perdagangan dunia dan Satu setengah dari pasokan energi global. Dua skenario
yang paling sering dikutip termasuk teroris yang menenggelamkan satu atau lebih
kapal besar dalam upaya untuk memblokir Selat dan melumpuhkan ekonomi
dunia, dan militan menggunakan kapal tanker minyak mentah atau gas alam
sebagai "bom terapung" di sebuah pelabuhan besar di Asia.
Asia Tenggara tentu tidak asing dengan tindakan terorisme maritim. Di
Filipina kelompok Abu Sayyaf (ASG) yang radikal telah aktif di wilayah maritim
sejak terbentuk pada awal 1990an, dan pada bulan Februari 2004 kelompok
tersebut melakukan tindakan terorisme maritim terburuk di dunia sampai saat ini
dengan menenggelamkan SuperFerry 14 di Teluk Manila dengan hilangnya 116
nyawa. Pada bulan Desember 2001, dinas keamanan Singapura menahan 13
anggota Jemaah Islamiyah (JI) yang terkait dengan Al Qaeda yang rencananya
melakukan serangan bunuh diri terhadap kapal angkatan laut A.S. yang
menggunakan kapal berkecepatan tinggi yang dilengkapi dengan bahan peledak
(Storey, 2009, pp. 38 - 40).
b. Trend dan Isu Keamanan Maritim di Kawasan Asia
Dalam perkembangan isu keamanan maritime, menurut Bateman tren
dan isu ini hadir sebagai sebuah ancaman terhadap good order at sea, yang juga
diasumsikan oleh Geoffrey Till untuk mencapai stabilitas keamanan maritime.
Bateman juga menambahkan, setidaknya ada sebelas ancaman terhadap keamanan
maritime di kawasan Asia, yaitu:
1. Polusi Laut
Pencemaran laut berasal dari sumber berbasis laut, termasuk kapal dan
instalasi minyak dan gas lepas pantai, atau dari sumber berbasis lahan, seperti
run-off dari sungai, pembuangan ilegal, air hujan, dan limbah. Selain itu,
ancaman polusi menjadi tantangan utama bagi industri perikanan, wisata pantai,
dan habitat laut yang rapuh. Pencemaran laut berbasis kapal merupakan masalah
yang meningkat di beberapa wilayah, termasuk Selat Malaka dan Laut Cina
Selatan, karena lalu lintas pelayaran yang meningkat dan kurangnya sistem
pengawasan dan pengawasan yang efektif.
2. Perompakan dan Perampokan Bersenjata
Pembajakan dan perampokan bersenjata terhadap kapal merupakan
masalah keamanan maritim utama di Asia. Serangan oleh perompak Somalia di
Tanduk Afrika dan jauh ke Laut Arab menarik perhatian sebagian besar, namun
insiden berlanjut di Asia Selatan dan Selatan-Asia, terutama di bagian selatan
Laut Cina Selatan dekat Mangkai dan kepulauan Anambas.
Penurunan dalam pengiriman internasional sebagai konsekuensi dari
krisis keuangan global mungkin menjadi penyebab yang signifikan dari
peningkatan serangan di perairan Asia Tenggara ini (Bateman, 2009).
Langkah-langkah yang diambil oleh negara-negara regional terhadap
pembajakan dan perampokan laut, baik di laut maupun darat sebagian besar
efektif, termasuk pembentukan Regional Cooperation Agreement on Combating
Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia (ReCAAP). Namun, perhatian
yang lebih besar terhadap keamanan sekarang dibutuhkan di bagian selatan Laut
Cina Selatan. Keamanan di pelabuhan dan jangkar di beberapa negara dan
peraturan umum mengenai kejahatan maritim juga dapat ditingkatkan. Sementara
insiden pembajakan dan perampokan bersenjata akan terus terjadi di wilayah ini,
terutama di pelabuhan, pelabuhan, dan pendekatan pelabuhan, konsekuensi dari
ancaman tersebut dapat diabaikan.
3. Perdagangan Illegal dan Penyelundupan
Laut adalah media utama untuk pergerakan orang dan barang secara
ilegal karena pengiriman yang lebih besar dapat dilakukan, pengiriman
transenden dapat dilakukan di laut, dan batas laut mungkin lebih berpori daripada
perbatasan darat dan udara. Perdagangan ilegal senjata, obat-obatan terlarang,
dan manusia jelas terlihat sampai batas tertentu di wilayah ini. Ini semua adalah
kejahatan transnasional yang membutuhkan kerja sama antara negara-negara
regional untuk mengatasinya (Bateman & Ho, 2012).
Penyelundupan manusia melalui laut merupakan masalah yang semakin
meningkat di beberapa wilayah. Asia Selatan dan Afrika Timur Laut adalah
tujuan utama para pengungsi dan pencari suaka di wilayah Samudra Hindia,
sementara banyak korban juga berasal dari Asia Tenggara, khususnya perempuan
dan anak-anak (Centre for Non-Traditional Security Studies, 2010).
4. Bencana Alam
Bahaya alam laut adalah bencana yang timbul dari badai tropis,
perubahan iklim, tsunami, dan kondisi lautan parah lainnya. Menurut Asian
Disaster Reduction Centre, Asia adalah daerah yang paling terkena dampak
bencana di dunia. Kelemahan wilayah Asia Pasifik terhadap bencana alam laut
ditunjukkan oleh tsunami yang tragis di Samudera Hindia-Timur Laut Pada
Boxing Day 2004, topan Nargis di Myanmar pada bulan Mei 2008, tsunami yang
menyerang Tonga dan Samoa pada tanggal 20 September 2009, dan banjir besar
di Pakistan selama tahun 2010. Bahaya alam di darat yang dapat menyebabkan
bencana alam meliputi bahaya bahaya (siklon, Badai tropis, banjir, dan
perubahan permukaan air laut); Bahaya geologi (gempa bumi, letusan gunung
berapi, dan tsunami); Dan bahaya biologis (infestasi dan polusi hama laut).
5. Penangkapan ikan illegal, tidak diatur, dan tidak dilaporkan (IUU)
Perikanan IUU telah menjadi masalah serius di wilayah ini. Bentrokan
antara kelompok nelayan yang berbeda dan dugaan nelayan illegal, serta
kekuatan penegak hukum maritim terjadi secara reguler di wilayah ini, termasuk
di Laut Cina Selatan, sebagian kepulauan Indonesia, dan di bagian barat Thailand
dan Myanmar. Umumnya insiden ini memiliki konsekuensi sepele, namun dapat
dianggap sebagai dimensi yang lebih serius ketika terjadi di wilayah kedaulatan
yang disengketakan di mana bentrokan bersenjata dapat terjadi antara unit
penegakan hukum di negara tetangga.
6. Kurangnya batas maritime
Batas geografis yang disepakati dengan yurisdiksi maritim penting untuk
ketertiban di laut. Namun, ada daerah yang luas di kawasan ini, di Asia Tenggara
dan Asia Utara pada khususnya, di mana batas-batas maritim belum disepakati
antara negara-negara tetangga, terutama di Laut Cina Selatan. Daerah lain
termasuk Selat Malaka utara, di mana tidak ada batas Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) antara Malaysia dan Indonesia; Pendekatan timur ke Selat Singapura, di
mana kedaulatan mengenai fitur utama terbagi antara Malaysia dan Singapura;
dan wilayah Ambalat ke Kalimantan Timur. Sementara konsekuensi dari insiden
ini biasanya diabaikan, selalu ada risiko kesalahpahaman yang dapat
menyebabkan konsekuensi yang lebih serius dan rincian hubungan bilateral.
7. Perubahan iklim
Sebagai hasil dari perubahan iklim, suhu samudra akan meningkat secara
nyata, pola pengukuran laut bisa berubah, dan permukaan laut akan naik.
Perubahan ini bisa memberi efek majemuk pada tingkat perubahan iklim.
Perputaran laut memainkan peran utama dalam menentukan dampak regional
dari perubahan iklim, yang akan mempengaruhi banyak orang melalui hilangnya
habitat laut dan persediaan ikan, dan meningkatnya prevalensi bencana alam.
Frekuensi yang lebih tinggi dari "kejadian cuaca ekstrem" akan berdampak besar
pada daerah pesisir dan dataran rendah.
Perubahan kondisi samudra sebagai konsekuensi pemanasan global bisa
memiliki efek peracikan pada tingkat perubahan iklim. Dampak perubahan iklim
terhadap ekosistem laut, pesisir, muara, dan air tawar kemungkinan akan
mempengaruhi banyak orang secara langsung atau tidak langsung melalui
hilangnya stok ikan dan habitat laut dan meningkatnya prevalensi bencana alam,
seperti banjir dan angin topan.
8. Terorisme Maritim
Kerentanan sektor maritim untuk diserang oleh teroris telah menjadi
perhatian karena kepentingan ekonomi sektor ini; Kejadian pembajakan dan
perampokan laut di beberapa wilayah; Dan adanya kelompok teroris dengan
riwayat menyerang target maritim atau saran untuk meluncurkan serangan
semacam itu (Bateman, 2006). Kawasan pengiriman adalah area perhatian
khusus karena penggunaan potensial mereka untuk pengiriman materi teroris atau
senjata pemusnah massal (WMD). Serangan teroris telah terjadi pada kapal feri
di Asia Tenggara, dan kapal-kapal ini, dan kapal pesiar berpotensi, terus rentan
terhadap serangan.
Serangan teroris maritime juga dapat meningkat ke tahapan yang lebih
serius dan mencakup serangan terhadap infrastruktur pelabuhan yang menutup
pelabuhan utama atau serangan atau ancaman serangan yang mengarah ke
penutupan saluran air utama regional. Secara fisik tidak mungkin untuk
memblokir Selat Malaka atau Singapura, namun beberapa kemungkinan
ancaman, seperti penambangan laut atau serangan bom kapal kecil, dapat
menyebabkan perutean kembali lalu lintas pengiriman komersial menjauh dari
jalur air ini (Bateman & Ho, 2012).
9. Proliferasi WMD
Perkembangan WMD dan sistem pengiriman mereka dianggap oleh
komunitas internasional sebagai salah satu ancaman terbesar bagi perdamaian
dan keamanan internasional (Australian Government, 2005). Fokus ini telah
disoroti oleh perkembangan terakhir di Korea Utara. Proliferation Security
Initiative (PSI) adalah instrumen utama untuk mencegah pengangkutan WMD
dan materi terkait melalui laut.
Amerika Serikat telah mengalami masalah di kawasan ini, terutama di Asia
Timur, dengan menerapkan PSI dan prosedur untuk mencegat kapal di laut.
Hanya dua negara Asia (yaitu Jepang dan Singapura) adalah anggota penuh PSI,
dan negara-negara Asia yang menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan inisiatif
ini, terutama China, India, dan Indonesia, telah menunda keterlibatan aktif
meskipun mendapat tekanan dari United Negara.
Dengan rezim kontra-proliferasi ekstensif sekarang, ancaman serangan
senjata di wilayah tersebut tidak mungkin terjadi walaupun konsekuensinya
mungkin bersifat katalitik. Tanpa ketaatan yang kuat terhadap rezim, risiko
insiden WMD bisa meningkat. Kelompok teroris telah secara aktif mencari
kemampuan WMD, dan sementara pengembangan senjata yang efektif jauh
melampaui kemampuan kelompok regional yang ada, ini bisa berubah di masa
depan, terutama karena teknologi yang relevan dapat menjadi lebih mudah
didapat.
10. Konflik di laut
Beberapa potensi penyebab konflik di laut ada di wilayah ini, termasuk
di Semenanjung Korea, di Selat Taiwan, atau di wilayah yang disengketakan,
seperti pulau Takeshima / Tokdo, kepulauan Senkaku / Diaoyu, atau di Laut Cina
Selatan. Konflik ini mungkin bilateral atau bisa melibatkan koalisi kekuatan.
Secara umum kemungkinan konflik di salah satu daerah ini nampaknya akan
berkurang seiring dengan peningkatan yang dapat dipetik, misalnya, dalam
hubungan lintas selat antara China dan Taiwan.
Bentuk konflik paling serius di laut adalah melibatkan kekuatan-
kekuatan angkatan laut regional utama: China, India, Jepang, Rusia, dan Amerika
Serikat. Direktur Intelijen Nasional AS baru-baru ini memperkirakan bahwa
dunia menghadapi risiko konflik yang semakin meningkat dalam 20 sampai 30
tahun mendatang. Dia merujuk pada pemindahan kekayaan dan kekuasaan dari
Barat ke Timur, kemungkinan persaingan strategis seputar perdagangan,
demografi, Akses terhadap sumber daya alam, serta investasi dan inovasi
teknologi. Tidak diragukan lagi, bagaimana hubungan antara kekuatan yang
muncul ini berkembang di masa depan akan memiliki dampak besar pada
keamanan maritim di Asia Tenggara.
11. Meningkatnya pengeluaran angkatan laut
Tren di daerah terhadap belanja pertahanan yang lebih tinggi merupakan
salah satu perkembangan yang bisa mengancam ketertiban baik di laut. Belanja
pertahanan yang lebih tinggi menciptakan lingkungan aktivitas militer yang
meningkat yang berpotensi mendestabilisasi, dengan jumlah pesawat, kapal
perang, kapal selam, dan kendaraan lapis baja yang lebih banyak. Situasi di
lingkungan maritim sangat memprihatinkan dengan lebih banyak kapal laut,
kapal selam, dan pesawat maritim yang beroperasi di perairan regional yang
relatif terbatas, beberapa wilayah di antaranya termasuk perselisihan kedaulatan
dan batas maritim yang belum diselesaikan. Meningkatnya aktivitas militer di
laut meningkatkan risiko terjadinya insiden yang tidak menguntungkan antara
angkatan laut, terutama yang melibatkan kapal selam. Belanja pertahanan juga
memiliki biaya peluang yang tinggi dengan mengalihkan sumber daya dari
program penting untuk pembangunan ekonomi, perbaikan sosial, pengelolaan
lingkungan, dan pengentasan kemiskinan (Bateman & Ho, 2012:22-28).
Dengan demikian, sebelas hal diatas menjadi sebuah ancaman terhadap
good order at sea yang juga berpengaruh kepada kawasan Asia, terlebih dalam
mencapai sebuah stabilitas keamanan maritim serta menjadi sebuah penghalau
dalam mencapai kesepakatan bersana di kawasan Asia.
c. Penguatan Pilar-pilar Kerjasama Regional dalam Keamanan Maritim
Kerjasama regional dalam isu keamanan Maritim di Asia Tenggara
memiliki tiga pilar utama, hal ini juga berlaku didalam ReCAAP yang
memungkinkan untuk membendung serta mengatasi isu – isu keamanan maritim,
seperti perompakan dan perampokan bersenjata. Tiga pilar tersebut merupakan
pertukaran informasi, capacity building, serta melakukan kerjasama dengan
organisasi yang relevan dalam isu tersebut.
1. Pertukaran Informasi Keamanan Kawasan
Dalam kemampuan pertukaran Infomasi, menjadi faktor yang
menentukan untuk melakukan pencegahan maupun dalam menciptakan koordinasi
untuk melakukan penangkapan terhadap oknum perompakan dan perampokan
bersenjata. Hal ini dapat dilihat pada kemampuan ReCAAP untuk menciptakan
pembagian informasi tersebut dapat diakses secara langsung, dan menciptakan
sebuah aksi cepat tanggap untuk negara – negara yang menjadi anggotanya.
Kemampuan pemberian informasi secara real time menjadi sebuah
indicator pertukaran informasi mengenai ancamana keamanan maritime, yakni
perompakan dan perampokan bersenjata di perairan, kepada ReCAAP yang sejauh
ini membantu secara signifikan dalam melakukan patroli dan usaha penindakan
oknum oknum tersebut.
2. Capacity Building di Bidang Keamanan
Capacity building juga diperlukan dalam membangun serta menciptakan
kondisi yang kondusif untuk mengetahui tren serta keperluan terhadap anggota
pengamanan laut dalam melakukan aksinya untuk mencegah dan menanggapi isu
keamanan maritime di kawasan. Terlebih, perubahan tren yang berangsur angsur
menjadikan capacity building sebuah keperluan dalam mengetahui dan
memahami situasi yang nantinya akan dihadapi.
Situasi keamanan saat ini dapat dikatakan bersifat sporadis serta para
oknum melakukan taktik hit-n-run kepada kapal – kapal yang berjalan lambat
seperti kapal kargo, tugboats, yang memiliki tingkat keamanan yang rendah.
Sehingga, diperlukan juga pengetahuan dan pelatihan berkala kepada pihak pihak
yang berwenang dalam pengamanan laut, serta awak kapal yang mengarungi
samudera dengan kapal tersebut.
3. Memperkuat Jaringan Organisasi Keamanan Maritim Internasional
Sebuah organisasi tentu membutuhkan koneksi dalam menciptakan
sebuah integrasi dalam melengkapi keperluan organisasi tersebut. hal ini
sebagaimana yang telah dilakukan oleh ReCAAP yang melakukan kerjasama
dengan beberapa organisasi seperti INTERPOL dan IMO, untuk memperkuat
jaringan demi menciptakan standar internasional, meskipun dalam kinerjanya
ReCAAP hanya bekerja dalam lingkup Asia. Oleh karenanya, jaringan ataupun
koneksi dengan organisasi internasional menjadi sebuah faktor untuk mencapai
kemampuan yang sederajat dengan organisasi tersebut, serta kerjasama tersebut
memberikan keuntungan satu sama lain dikarenakan pengalaman yang dimiliki
ReCAAP dapat dipelajari oleh organisasi lain, begitu juga sebaliknya.
Bab V PENUTUP
A. Kesimpulan
Peran ReCAAP di kawasan Asia Tenggara berpengaruh terhadap kondisi
keamanan maritime, karena adanya pendataan yang lebih spesifik, pemberian
informasi secara intens dan real-time, dan bantuan terhadap capacity building
menjadi kunci dalam peranan ReCAAP di kawasan Asia Tenggara. Meskipun
demikian, adanya kendala terhadap instrument operasional, seperti dalam
melakukan penindakan serta dalam menjalankan mekanisme penegakan hukum
terhadap oknum perompakan dan perampokan bersenjata yang kurang maksimal
dikarenakan ReCAAP hanya memiliki kemampuan untuk menyebarkan informasi
dan memberikan pelatihan serta analisis secara berkala kepada negara – negara
yang menjadi anggotanya. Selebihnya, diberikan kepada otoritas negara anggota
untuk melakukan penindakan dan penegakan hukum.
Implikasi pada kehadiran ReCAAP tentu mendorong mekanisme
kerjasama dalam bidang keamanan maritime, kepada negara – negara anggotanya,
terutama negara – negara Asia Tenggara yang bergabung didalamnya. Akan
tetapi, adanya halangan terhadap prinsip yang berlaku seperti adanya prinsip
ASEAN yang bersifat non – intervensionis menjadi salah satu tembok besar
dalam menciptakan kerjasama keamanan yang lebih komprehensif, dan adanya
intervensi dari negara – negara besar yang memberikan efek detrimental.
ReCAAP juga memberikan dampak yang politis terhadap kawasan Asia Tenggara
yakni seperti permasalahan kedaulatan dengan Indonesia dan Malaysia
dikarenakan terciptanya isu kedaulatan didalamnya. Meskipun, secara strategis,
ReCAAP memberikan keuntungan pada mekanisme penanganan keamanan
maritim di Asia Tenggara, dengan sistem yang lebih terstruktur dalam pembagian
dan pengumpulan data serta Informasi.
B. Saran
Memahami upaya ReCAAP dalam implikasi kinerjanya, setidaknya ada
beberapa masukan untuk menciptakan kondisi yang lebih stabil di kawasan Asia
Tenggara.
1. Dikarenakan dalam perkembangannya kondisi di kawasan Selat Malaka
serta Laut China Selatan terhadap ancaman kejahatan perompakan dan
perampokan bersenjata, ReCAAP harus turut berperan aktif dalam
penciptaan diplomasi pertahanan di kalangan negara – negara ASEAN
serta mencapai sebuah keamanan kolektif ataupun keamanan yang
komprehensif dalam bidang keamanan maritime. Serta, ReCAAP harus
menjadi lebih menyadari dalam penciptaan upayanya, dikarenakan di
kawasan Asia Tenggara memiliki kondisi balance of power khususnya di
kawasan Selat Malaka, sehingga harus lebih bersikap diplomatis untuk
mencapai keamanan bersama di kawasan. Selain itu,, potensinya sebagai
sebuah penggarap awal sebuah komunitas keamanan yang bersifat
komprehensif, diperlukan adanya perubahan yang mendasar dalam
menciptakan sebuah mekanisme yang memahami kondisi umum kawasan.
2. Pembaharuan terhadap kondisi ReCAAP menjadi sebuah solusi, sehingga
diperlukan reformasi kepada kemampuan ReCAAP ataupun
menghapuskan ReCAAP dengan perjanjian yang lebih solid dan lebih
terarah dari sebelumnya. Dalam perjanjiannya juga, diperlukan hal hal
yang tidak menyinggung secara langsung perihal kedaulatan, dan lebih
baik adanya mekanisme Coordinated Patrol, dibandingkan dengan Joint
Patrol, yang lebih memberikan keleluasaan tanpa adanya gangguan
kepada perbatasan perbatasan yang rentan, terutama dalam kondisi yang
dimiliki ASEAN sekarang ini.
Daftar Pustaka
Masys, A. J. (2016). Exploring The Security Landscape: Non Traditional Security
Challenges. Switzerland: Springer International Publishing.
Caballero-Anthony, M. (2006). An Introduction to Non-Traditional Security Studies: A
Transnational Approach. London: Sage Publication.
ReCAAP. (2015). Annual Report 2015. ReCAAP. Singapore: ReCAAP.
Eklof, S. (2006). Pirates in Paradise: A Modern History of Southeast Asia’s Maritime
Marauders . Copenhagen: NIAS Press.
Liss, C., & Biggs, T. (2016). Piracy in Southeast Asia: Trends, Hotspots, and Responses.
New York: Routledge.
ReCAAP. (2016). Commemorating a Decade of Cooperation. Regional Cooperation
Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia.
ReCAAP.
ReCAAP. (2006). About ReCAAP. Retrieved December 21, 2016, from ReCAAP.org:
http://www.recaap.org/AboutReCAAPISC.aspx
Buzan, B. (2006). Will the ‘global war on terrorism’ be the new Cold War? International
Affairs , 82 (6), 1101-1118.
Gartner, H., & Cuthbertson, I. M. (2005). European Security and Transatlantic Relations
after 9/11 and the Iraq War. New York: Palgrave.
Sukma, R. (2003). Keamanan Internasional Pasca 11 September: Terorisme, Hegemoni
As Dan Implikasi Regional. Seminar Pembangunan Hukum Nasional Viii Tema
Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan. Denpasar: Badan
Pembinan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Ri.
Storey, I. (2009). Maritime Security in Southeast Asia: Two Cheers for Regional
Cooperation. Southeast Asian Affairs , 2009.
Bateman, S. (2009). Increased Risks at Sea? Global Shipping Downturn and Maritime
Security. RSIS Commentary 100/2009.
Bateman, S., & Ho, J. (2012). Maritime Challenges and Priorities in Asia: Implications
for Regional Security. New York: Routledge.
Centre for Non-Traditional Security Studies. (2010). Transnational Organised Crime in
Southeast Asia: Threat Assessment. NTS Alert (1), 6.
Australian Government. (2005). Weapons of Mass Destruction - Australia's Role in
Fighting Proliferation - Practical Responses to New Challenges. Canberra:
Australia Department of Foreign Affairs and Trade.
Southgate, L. (2015, July 08). Piracy in the Malacca Strait: Can ASEAN Respond?
Retrieved December 21, 2016, from thediplomat.com:
http://thediplomat.com/2015/07/piracy-in-the-malacca-strait-can-asean-respond/
Parameswaran, P. (2016, August 04). New Sulu Sea Trilateral Patrols Officially
Launched in Indonesia. Retrieved December 21, 2016, from thediplomat.com:
http://thediplomat.com/2016/08/new-sulu-sea-trilateral-patrols-officially-
launched/
Coplin, W. D., & Marbun, M. (1992). Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah
Teoritis (Edisi Kedua ed.). Bandung, Bangdung, Indonesia: CV. Sinar Baru.
Baylis, J., & Smith, S. (2011). The Globalization of World Politics: An Introduction to
International Relations (5th Edition ed.). New York, United States: Oxford
University Press.
Winarno, B. (2014). Dinamika Isu - Isu Global Kontemporer. Deresan , Yogyakarta,
Indonesia: Center of Academic Publishing Service.
Keohane, R., & Nye, J. (1977). Power and Interdependence: World Politics in
Transition. Boston, United States: Little, Brown and Company.
Ganesan, N., & Amer, R. (2010). International Relations in Southeast Asia: Between
Bilateralism and Multilateralism. Pasir Panjang, Singapore, Singapore: ISEAS
Publishing.
Caporaso, j. (1992). International Relations Theory and Multilateralism: The Search for
Foundations. International Organization , 42 (3).
Krisna, D. (1993). Kamus Hubungan Internasional. Jakarta, Indonesia: Grasindo.
Krauss, E., & Pempel, T. (2004). Beyond Bilateralism: U.S. - Japan Relations in the New
Asia Pacific. Stanford: Stanford University Press.
Ruggie, J. G. (1992). Multilateralism: The Anatomy of an Institution. International
Organization , 46 (3).
Newcombe, H. (1990, August). What is Common Security? A Conceptual Comparison.
(H. Newcombe, Producer) Retrieved May 16, 2017, from peacemagazine.org:
http://peacemagazine.org/archive/v06n4p08.htm
Rochester, J. M. (2010). Fundamental Principles of International Relations. Philadelphia:
Westview Press.
Organski, A. (1960). World Politics. New York: Alfred A. Knopf.
Dewitt, D. (1994). Common, comprehensive, and cooperative security. The Pacific
Review , 7 (1), 1-15.
Waever, O. (2014). Cooperative Security: A New Concept? Danish Institute for
International Studies. Copenhagen: DIIS.
Haftendom, H. (1991). The Security Puzzle: Theory-Building and Discipline-Building in
International Security. International Studies Quarterly , 35 (1), 3-17.
Baldwin, D. A. (1997). The Concept of Security. Review of International Studies , 23, 5-
26.
Krause, K., & Williams, M. C. (1996). Broadening the Agenda of Security Studies:
Politics and Methods. Mershon International Studies Review , 40 (2), 229-254.
McNicholas, M. (2008). Maritime Security: An Introduction. Jordan Hill, Oxford, United
Kingdom: Butterworth-Heinemann.
Bueger, C. (2015). What is Maritime Security? Marine Policy , 53, 159-164.
Masys, A. (2016). Exploring the Security Landscape: Non-Traditional Security
Challenges . Switzerland: Springer International Publishing.
Kapla, R. D. (2011, August 15). The South China Sea Is the Future of Conflict. Retrieved
May 16, 2017, from Foreign Policy: http://foreignpolicy.com/2011/08/15/the-
south-china-sea-is-the-future-of-conflict/
Bateman, S. (2006). Maritime Terrorism: Issues for the Asia - PAcific. Security
Challenges , 2 (3), 77-92.
United Nations. (2006). The United Nations Global Counter-Terrorism Strategy. United
Nations.
Johnson, D., & Valencia, M. (2005). Piracy in Southeast Asia: Status, Issues, and
Responses. Singapore: ISEAS Publication.
BBC Indonesia. (2016, Maret 29). Dua kapal Indonesia dibajak di Filipina, 10 WNI
disandera. Retrieved September 09, 2016, from BBC.com:
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160329_indonesia_kapa
l_dibajak_filipina
Tempo. (2011, Mei 02). Inilah Kronologi Pembebasan Kapal Sinar Kudus. Retrieved
September 09, 2016, from Tempo.co:
https://m.tempo.co/read/news/2011/05/02/063331610/inilah-kronologi-
pembebasan-kapal-sinar-kudus
Rudy, T. M. (2005). Organisasi dan Administrasi Internasional. Bandung: PT. Refika
Aditama.
Kartasasmita, K. (1998). Organisasi dan Administrasi Internasional. Bandung: PT.
Angkasa.
Rudy, T. M. (1993). Teori, Etika dan Kebijakan Hubungan Internasional. Bandung: PT.
Angkasa.
Holsti, K. J. (1994). International Politics: A Framework for Analysis (7th Edition) (7th
Edition ed.). New Jersey: Prentice Hall.
Dwisaputra, R. (2007). Kerjasama Perdagangan Regional. In S. Arifin, Kerja Sama
Perdagangan Internasional: Peluang dan Tantangan bagi Indonesia (pp. 167 -
208). Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Till, G. (2009). Seapower: A Guide For Twenty-First Century. Oxon, United Kingdom:
Routledge.
ASEAN. (1997). 1997 Joint Communique Of The 30th Asean Ministerial Meeting
(AMM). ASEAN Secretariat. Subang Jaya: ASEAN Secretariat.
Ho, J. H., & Bateman, S. (2012). Maritime Challenges and Priorities in Asia: Implication
for Regional Security (1st Edition ed.). New York, New York, USA: Routledge.
Thai, V. (2009). Effective Maritime Security: Conceptual Model and empirical evidence.
Maritime Policy & Management , 36 (2).
Liss, C. (2011). Oceans of Crime: Maritime Piracy and Transnational Security in
Southeast Asia and Bangladesh. Pasir Panjang, Singapore, Singapore: ISEAS
Publishing.
UN General Assembly. (2008). Oceans and The Law Of The Seas. Report of Secretary
General, United Nations.
Johnson, D., & Valencia, M. (2005). Piracy in Southeast Asia: Status, Issues, and
Responses. Pasir Panjang, Singapore, Singapore: ISEAS Publishing.
ASEAN. (2015). ARF Work Plan on Maritime Security. ASEAN, Singapore.
Singapore Ministry of Defense. (2016, April 21). Fact Sheet: Malacca Strait Patrol.
Retrieved May 1, 2017, from mindef.gov.sg:
https://www.mindef.gov.sg/imindef/press_room/official_releases/nr/2016/apr/21a
pr16_nr/21apr15_fs.html
ReCAAP. (2011). Annual Report 2011. Annual Report, ReCAAP, Singapore.
ReCAAP. (2012). Annual Report 2012. Annual Report, ReCAAP.
ReCAAP. (2013). Annual Report 2013. Annual Report, ReCAAP, Singapore.
Liss, C. (2017). Piracy in Southeast Asia: Trends, Hotspots and Responses (1 ed.). New
York, New York, United States: Routledge.
Hribernik, M. (2013). Countering Maritime Piracy and Robbery in Southeast Asia.
Briefing Paper, European Institute For Asian Studies.
Weatherbee, D. E. (2010). International Relations in Southeast Asia: The Struggle for
Autonomy (2nd Edition ed.). Pasir Panjang, Singapore, Singapore: ISEAS
Publishing.
The Global Initiative against International Organized Crime. (2016). The Economics of
Piracy in Southeast Asia. The Global Initiative against Transnational Organized
Crime .
Gill, M. (2014). Handbook of Security. New York, New York, United States: Palgrave
McMillan.
Bueger, C. (2015). From Dusk to Dawn?: Maritime Doamin Awareness in Southeast
Asia. Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategic
Affairs , 38 (2), 157 - 182.
Keohane, R. (1984). After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political
Autonomy. Princeton, New Jersey, United States: Princeton University press.
Dunne, T., Kurki, M., & Smith, S. (2013). International Relations Theories: Discipline
and Diversity (3rd Edition ed.). Oxford, United Kingdom: Oxford University
Press.
ReCAAP. (2014). Annual Report 2014. Annual Report, ReCAAP, Singapore.
Sato, Y. (2007). Southeast Asian Receptiveness To Japanese Maritime Security
Cooperation. Asia-Pacific Center for Security Studies . Honolulu: Asia-Pacific
Center for Security Studies .
Bradford, J. F. (2005). Naval War College Review. The Growing Prospects for Maritime
Security Cooperation in Southeast Asia , 58 (3).
Teo, Y. Y. (2007). Target Malacca Straits: Maritime Terrorism in Southeast Asia. Studies
in Conflict & Terrorism , 30 (6), 541 - 561.
Emmers, R. (2007). Comprehensive Security and Resilience in Southeast Asia: ASEAN's
Approacg to Terrorism and Sea Piracy. Nanyang Technological University, S.
Rajaratnam School of International Studies. Singapore: Nanyang Technological
University.
Chapsos, I. (2016). Is Maritime Security a Traditional Securoty Challenge? In A. J.
Masys, Exploring the Security Landscape: Non-Traditional Security Challenges.
Switzerland: Springer International.