Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

22
243 Alex Sobur. Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses Demokratisasi di Indonesia Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses Demokratisasi di Indonesia Alex Sobur ABSTRAK Peran pers dalam mendorong proses demokratisasi adalah hal yang mutlak. Namun, pers Indonesia, terutama pers Islam, bagaimanapun diharapkan berperan lebih aktif dalam mendudukkan reformasi dalam maknanya yang tepat, sambil tetap mencatat dan melaporkan sejumlah bahaya yang bisa membelokkan transisi demokrasi yang sedang berlangsung sekarang ini. Namun, ironisnya di negara yang penduduknya mayoritas Islam ini justru media pers lebih banyak didominasi oleh medis pers non-Islam. Lalu, bagaimana pers Islam bisa berperan di dalamnya? Dalam konteks ini, kehadiran pers Islam, atau pers yang Islami, yang maju dan bermutu, serta berdaya jangkau luas, mutlak dibutuhkan, agar ia bisa berperan dalam proses demokratisasi di Indonesia. Horst Koehler, Presiden Korea Selatan Roh Moo- hyun, dan PM Singapura BG Lee. Selain itu, ucapan selamat juga disampaikan Presiden Swiss Joseph Deiss, penjabat PM Belanda Gerrit Zalm, PM Malaysia Abdullah Badawi, PM Thailand Thaksin Shinawatra, dan Presiden Timor Timur Xanana Gusmao (Kompas, 6 Oktober 2004). Tampaknya, salah satu isu paling populer di penghujung abad keduapuluh dan di awal milenium ketiga ini adalah soal demokratisasi. Lihat saja, misalnya, di antara indikator paling jelas dari kepopuleran tersebut adalah berlipat gandanya jumlah negara yang menganut sistem pemerintahan demokratis. Sejak 1980-an, banyak negara di kawasan Eropa Selatan, Eropa Timur, Afrika, Amerika Latin, dan Asia, mengalami proses transisi ke demokrasi. Pemerintahan otoriter yang dipraktikkan di kawasan tersebut, sejak akhir 1950-an, satu demi satu mulai rontok. Meski tertatih-tatih—bahkan terancam gagal, Spanyol, Portugal, Yunani, Brazil, Argentina, Uruguay, Bostwana, Afrika Selatan, Polandia, Hungaria, Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Thailand, dan (akhirnya) Indonesia, menyambut proses transisi dengan antusiasme Pengantar “Dunia Sambut Baik Yudhoyono,” demikian bunyi salah satu judul berita Kompas edisi Rabu, 6 Oktober 2004. Sementara, di hari yang sama, Pikiran Rakyat pun menulis, “George Bush Puji SBY.” Dua koran ini, setidaknya, mewakili “sambutan” dunia terhadap keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia. Tahapan penting awal dari proses pembangunan demokrasi, yakni penyelenggaraan pemilihan umum, seperti ditulis Kompas dalam “Tajuk Rencana”-nya, telah kita laksanakan bersama-sama secara baik. Bahkan sangat baik karena tidak ada kekerasan sama sekali yang mewarnai sehingga tidak ada setetes pun darah yang harus mengalir (Kompas, 5 Oktober 2004). Maka itu, tidaklah berlebihan jika ucapan selamat kepada presiden terpilih Pemilu 2004, Susilo Bambang Yudhoyono, bermunculan dari sejumlah kepala negara. Mereka, antara lain, Presiden China Hu Jintao, Perdana Menteri (PM) Denmark Anders Fogh Rasmussen, PM Inggris Tony Blair, dan PM Jepang Junichiro Koizumi. Hal serupa disampaikan Presiden Jerman

Transcript of Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

Page 1: Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

243Alex Sobur. Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses Demokratisasi di Indonesia

Peran Pers Islam dalam Upaya MendorongProses Demokratisasi di Indonesia

Alex Sobur

ABSTRAK

Peran pers dalam mendorong proses demokratisasi adalah hal yang mutlak. Namun, persIndonesia, terutama pers Islam, bagaimanapun diharapkan berperan lebih aktif dalam

mendudukkan reformasi dalam maknanya yang tepat, sambil tetap mencatat dan melaporkansejumlah bahaya yang bisa membelokkan transisi demokrasi yang sedang berlangsung

sekarang ini. Namun, ironisnya di negara yang penduduknya mayoritas Islam ini justru mediapers lebih banyak didominasi oleh medis pers non-Islam. Lalu, bagaimana pers Islam bisa

berperan di dalamnya? Dalam konteks ini, kehadiran pers Islam, atau pers yang Islami, yangmaju dan bermutu, serta berdaya jangkau luas, mutlak dibutuhkan, agar ia bisa berperan

dalam proses demokratisasi di Indonesia.

Horst Koehler, Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun, dan PM Singapura BG Lee. Selain itu,ucapan selamat juga disampaikan Presiden SwissJoseph Deiss, penjabat PM Belanda Gerrit Zalm,PM Malaysia Abdullah Badawi, PM ThailandThaksin Shinawatra, dan Presiden Timor TimurXanana Gusmao (Kompas, 6 Oktober 2004).

Tampaknya, salah satu isu paling populer dipenghujung abad keduapuluh dan di awal mileniumketiga ini adalah soal demokratisasi. Lihat saja,misalnya, di antara indikator paling jelas darikepopuleran tersebut adalah berlipat gandanyajumlah negara yang menganut sistem pemerintahandemokratis.

Sejak 1980-an, banyak negara di kawasanEropa Selatan, Eropa Timur, Afrika, Amerika Latin,dan Asia, mengalami proses transisi ke demokrasi.Pemerintahan otoriter yang dipraktikkan dikawasan tersebut, sejak akhir 1950-an, satu demisatu mulai rontok. Meski tertatih-tatih—bahkanterancam gagal, Spanyol, Portugal, Yunani, Brazil,Argentina, Uruguay, Bostwana, Afrika Selatan,Polandia, Hungaria, Korea Selatan, Taiwan,Filipina, Thailand, dan (akhirnya) Indonesia,menyambut proses transisi dengan antusiasme

Pengantar“Dunia Sambut Baik Yudhoyono,” demikian

bunyi salah satu judul berita Kompas edisi Rabu,6 Oktober 2004. Sementara, di hari yang sama,Pikiran Rakyat pun menulis, “George Bush PujiSBY.” Dua koran ini, setidaknya, mewakili“sambutan” dunia terhadap keberhasilan prosesdemokratisasi di Indonesia.

Tahapan penting awal dari prosespembangunan demokrasi, yakni penyelenggaraanpemilihan umum, seperti ditulis Kompas dalam“Tajuk Rencana”-nya, telah kita laksanakanbersama-sama secara baik. Bahkan sangat baikkarena tidak ada kekerasan sama sekali yangmewarnai sehingga tidak ada setetes pun darahyang harus mengalir (Kompas, 5 Oktober 2004).

Maka itu, tidaklah berlebihan jika ucapanselamat kepada presiden terpilih Pemilu 2004,Susilo Bambang Yudhoyono, bermunculan darisejumlah kepala negara. Mereka, antara lain,Presiden China Hu Jintao, Perdana Menteri (PM)Denmark Anders Fogh Rasmussen, PM InggrisTony Blair, dan PM Jepang Junichiro Koizumi.

Hal serupa disampaikan Presiden Jerman

Page 2: Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

MEDIATOR, Vol. 5 No.2 2004244

yang patut dihargai. Sejumlah negara mengalamiberbagai kesulitan cukup menonjol di dalam prosestersebut. Namun, ada pula yang berhasil—dan kinibisa dikategorikan ke dalam negara demokratisyang terkonsolidasikan, kuat, dan stabil.

Kini, tak satu pun negara berani “tampil beda”dengan—atau berpikir sedikit agak kritis tentang—demokrasi. Orang begitu takut untuk dibilang tidakdemokratis. Dan, masing-masing berlomba, walaucuma pada tingkatan retorik, untuk menyebutpihaknya demokratis. Hanya segelintir pemimpinatau gerakan politik yang mengaku sebagai “anti-demokrasi”. Bahkan, belakangan ini di Brazil, ketikaorang-orang mengusulkan perlunya suaturestorasi kerajaan, kalangan kerajaan sendiri tidakmendukung sistem kerajaan absolut dengan haktak terbatas. Sebaliknya, kalangan kerajaan sendirimengusulkan suatu “sistem kerajaan presidensial”yang serupa dengan kerajaan Spanyol sekarang(Sirry, 2002). Banyak orang sepakat bahwaperkembangan politik global yang terpenting padaakhir abad keduapuluh adalah munculnya gerakanprodemokrasi di seluruh belahan dunia dankeberhasilan gerakan itu di banyak negara.

Begitu gencarnya kampanye ihwal demokrasiberlangsung, sehingga muncul pandangan bahwaseluruh negara harus dikelola secara demokratis.Di situ ada kepercayaan kuat, kendatipun mungkintidak dielaborasikan dengan baik bahwa demokrasimerupakan sesuatu yang universal, baik padatataran ide maupun aplikasi.

Di tengah proses demokratisasi yang terjadidi mana-mana itu, pada mulanya dunia Islam tidakmenjadi bagian di dalamnya. Ribuan halaman yangditulis dalam koran-koran dan buku-bukumengenai transisi demokrasi yang terjadi diAmerika Latin, Eropa Selatan, Afrika, dan Asia,dengan sengaja sejumlah ahli tidak melibatkandunia Islam (Effendy, 2002). Alasan awalnya ketikaitu, akhir dasawarsa 1980-an, adalah kurangnyabahan. Namun, segera mereka tambahkan bahwadunia Islam tidak mempunyai prospek untukmenjadi demokratis serta tidak mempunyaipengalaman demokrasi yang cukup.

Kalau kemudian, di tahun 2004, Indonesiaternyata bisa membuktikan bahwa negara yang

mayoritas berpenduduk Muslim ini sanggupmenjalani proses demokratisasi melalui pemilihanpresiden dan wakil presiden secara langsung olehrakyat, tanpa pertumpahan darah, dan tanpagejolak yang berarti, barulah mereka terkaget-kaget. “Kok, bisa ya,” mungkin begitu pikir mereka.

Pada dasarnya, memang banyak orang yangmeragukan kesesuaian Islam dengan demokrasi.Laporan terbaru yang dikeluarkan Freedom House,Desember 2001, seperti dikutip Effendy (2002),menyebutkan bahwa di antara negara-negara yangada di dunia, kawasan Islam, tidak ada yang masukdalam kategori demokratis (dalam laporan ditulis“free”). Paling banter, di antara negara Islam adayang masuk dalam kategori “partly free.” Dalamkategori ini, antara lain, disebut-sebut Banglades,Indonesia, Jordan, Kuwait, Maroko, Turki, danMalaysia. Sementara Aljazair, Mesir, Libanon,Oman, Pakistan, Tunisia, Uni Emirat Arab, Yaman,Brunei, Iran, Qatar, Bahrain, Afghanistan, Irak,Lybia, Arab Saudi, Sudan, dan Syria masuk dalamkategori “not free”. Artinya, tidak demokratis.

Dari mana sesungguhnya demokrasi,khususnya di Indonesia itu datang? Sungguh sulitdijelaskan. Bahkan, para ilmuwan politik sekalipun,yang notabene banyak menggeluti teori-teoridemokrasi dan demokratisasi kuno dan mutakhir,cuma bisa mengemukakan jawaban-jawaban yangsifatnya sangat spekultaif. Mereka seharusnyasudah bisa diandalkan untuk meramalkan apakahdan kapan Indonesia akan menjadi negarademokratis. Selama Orde Baru, termasuk tahapakhirnya pada tahun-tahun 1990-an, para ilmuwanpolitik tidak pernah percaya bahwa demokrasisudah ada di ambang pintu. Ketika PresidenSoeharto ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa,mereka terkejut. Ketika beberapa hari kemudianPresiden Habibie membebaskan pers dan partai-partai politik, serta menjanjikan pemilihan umumyang betul-betul demokratis dalam jangka waktusatu tahun, mereka merasa lebih terkejut lagi.

Di Indonesia, demokratisasi (setidaknya untuksementara ini) datang lebih awal daripada di Ko-rea, dan lebih awal daripada ramalan para pengamatdan ilmuwan politik kita. Pemilihan umum yangdemokratis, yang dijanjikan Presiden Habibie,

Page 3: Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

245Alex Sobur. Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses Demokratisasi di Indonesia

dilakukan pada 7 Juni 1999, kira-kira satu tahunsetelah Presiden Soeharto lengser. Lima tahunkemudian, tepatnya 5 Juli dan 20 September 2004,pemilihan presiden dan wakil presiden yang lebihdemokratis lagi, sudah berlangsung dengan prosesyang relatif aman, tertib, dan lancar. Kita tentubelum bisa menilai apakah sistem demokrasi yanguntuk pertama kalinya ini akan bertahan lama atautidak. Namun, untuk sementara waktu, yangterpenting adalah bahwa rakyat Indonesia, melaluipemilihan umum langsung itu, telah berhasilmeletakkan batu demokrasi yang pertama.

Makna Reformasi, Peranan Pers,dan Pluralisasi Informasi

Sejak berakhirnya Orde Baru, mulailah terjadiperubahan-perubahan dramatis, termasukberakhirnya “keharusan” bagi pegawai negeri sipiluntuk menegakkan asas monoloyalitas padaGolongan Karya, berkembangnya komite yangmengelola gerakan massa, pembebasan tahananpolitik, merebaknya kebebasan politik, danberkembangnya kebebasan pers secara luar biasa.Hampir semua elemen kehidupan berbangsa danbernegara mengalami perombakan. Dalamterminologi umum, proses perkembangan itulahyang biasa disebut “reformasi.”

Jadi, reformasi pada dasarnya merupakanproses perubahan atau perombakan sistem nilaidan tatanan lama yang dianggap keliru. Dalamkerangka ini, reformasi sebetulnya memiliki maknahakiki yang positif. Namun, dalam konteks transisidari otoritarianisme di Indonesia, pemaknaanreformasi semacam itu mesti diimbuhi oleh sejumlahcatatan kaki (Fatah, 2000).

Pertama, sudah terlampau lama sistem politiktidak mengakomodasi tuntutan-tuntutanperubahan yang sebetulnya berkembang di tengahmasyarakat. Kedua, terlalu lama sebetulnya sistempolitik Orde Baru menimbun masalah tanpa mencicilpemecahan-pemecahan konkret. Akibatnya, ketikakekuasaan berganti dan tuntutan reformasimenguak, yang kemudian tersedia adalahpersoalan sosial politik yang menggunung.Reformasi pun berhadapan dengan serangkaian

pertanyaan pelik: dari mana perubahan-perubahanitu harus dimulai? Apa saja yang mestidiprioritaskan untuk diubah? Bagaimanamenghadapi gelombang persoalan sosial-politik-ekonomi yang membutuhkan pemecahan segera?Pendeknya, reformasi adalah sebuah agenda kerjayang sangat pelik, rumit, alot, dan pasti memakanbiaya sangat besar. Ketiga, proses reformasi terjadisebagai sebuah pendadakan karena paksaankeadaan, bukan melalui proses sosial yang alamiahdan gradual. Hal ini menyebabkan proses reformasiharus dijalani tanpa ada kesiapan yang cukup daripara pelaku politik dan pemerintahan untukmembangun saling percaya dan membangunkesiapan guna melakukan kompromi-kompromipolitik.

Di sinilah, saya kira, pers dituntut untukmenjelaskan seluruh persoalan itu. Pers Indone-sia, termasuk pers Islam, bagaimanapun harusmencoba mendudukkan reformasi dalam maknanyayang tepat sambil mencatat dan melaporkansejumlah bahaya di dalamnya yang bisamembelokkan transisi tidak ke arah pembentukandemokrasi, tetapi ke terkonsolidasikan kembalinyaotoritarianisme. Agar pers bisa memosisikan perandan fungsinya untuk ikut memberikan maknaterhadap reformasi, maka dengan sendirinya perspun terlebih dahulu perlu mereformasi diri.Setidaknya, media pers tak lagi digunakan untukkepentingan pihak-pihak tertentu. Pers harusbenar-benar independen.

Semenjak pergantian presiden pada 21 Mei1998, pemerintah telah mengeluarkan begitubanyak Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)baru. Jumlah media massa mengalamipembengkakan secara sangat cepat dan dramatis.Reformasi pun ditandai oleh berkembangnyakebebasan pers serta peningkatan lalu lintasinformasi. Informasi pun mengalami peragaman(pluralisasi). Kini, tak ada lagi sumber informasiyang cenderung tunggal dan jenis informasi yangcenderung seragam.

Begitulah memang, di satu sisi pluralisasiinformasi memiliki kecenderungan positif, namuntak bisa dipungkiri bahwa pluralisasi informasi jugamendatangkan kebingungan di tengah masyarakat.

Page 4: Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

MEDIATOR, Vol. 5 No.2 2004246

Informasi yang meluap dan beragam justrumendatangkan kemungkinan distorsi informasiatau disinformasi yang sangat besar. Dalamkerangka ini, reformasi di bidang informasisemestinya dilakukan dengan menegakkanmekanisme baru bagi pertanggungjawabaninformasi. Karena itu, ada baiknya wacana yangberkembang sejak lama—agar kita mendirikanperadilan pers—dipertimbangkan secara saksamasebagai bagian pemaknaan reformasi yang tepat.

Fenomena Pers IslamKehadiran suatu pers Islam, atau pers yang

Islami, yang maju dan bermutu, serta berdayajangkau luas, mutlak diperlukan. Namun, di sinilahironisnya; di negara yang penduduknya mayoritasIslam ini justru media pers lebih banyak didominasioleh kaum non-Muslim. Berbagai penerbitan suratkabar yang memiliki tiras terbesar tampaknya lebihbanyak dimiliki kelompok penerbitan non-Islam.

Mengkaji fenomena penerbitan pers Islamsekarang, tidak dapat dilepaskan dari suatukenyataan bangkitnya pers Nasrani yang besar dilingkungan umat dan pembaca kalangan Islam.Banyak pakar dan pengamat pers yang tidak bisamengerti fenomena tadi. Karena itu, ada beberapastudi dilakukan orang dan bahkan seorang pendetaBelanda membuat disertasi mengenai “HarianKompas sebagai Surat Kabar Katolik: SebuahFenomena Pers dalam Pluralisme Agama di Indo-nesia” (Assegaff, 1992).

Kemunculan pers Nasrani tadi tidak bisadilepaskan dengan masa akhir DemokrasiTerpimpin, ketika Soekarno membreidel 26 suratkabar yang pro-BPS (Badan PendukungSoekarnoisme). Beberapa minggu kemudian,Menteri Penerangan Achmadi mengeluarkanperaturan tentang izin penerbitan pers. Peraturantersebut mengatur bahwa izin terbit hanyadiberikan kepada surat kabar yang mempunyaipendukung partai politik atau kekuatan sosial yangdiakui saat itu.

Ketika itulah lahir surat kabar Kompas yangdidukung oleh Partai Katolik. Cikal bakal suratkabar Suara Pembaruan juga lahir dengan

dukungan dari Partai Kristen (Assegaff, 1992).Kedua surat kabar ini beruntung pula mendapatkantenaga-tenaga profesional yang umumnya sudahberpengalaman di surat kabar dagang kelompokKeng Po dan Sinpo yang beberapa waktusebelumnya ditutup pemerintah.

Sementara itu, pers Islam yang didukung olehpartai Islam, ketika itu, tetap hadir sebagai perspartisan dan pers politik. Ia berkembang tidakdengan dukungan profesionalisme, melainkan olehdukungan dana-dana politik, seperti DutaMasyarakat yang didukung NU (Nahdlatul Ulama)dan sebuah lagi yang didukung oleh partai politikPerti. Karena dikelola tidak sebagaimana mestinya,baik dalam bidang redaksi maupun manajemen,surat kabar tersebut mengalami kebangkrutanketika partai yang mendukung dana penerbitannyasudah tidak memadai. Padahal, untuk menerbitkankoran atau majalah, diperlukan persiapan danperencanaan yang matang, modal yang besar,perangkat keras dan alat-alat perkantoran yangserba canggih.

Begitulah, sejak saat itu di kalangan umat Is-lam terasa timbul kepedihan dan keprihatinanmenyaksikan pertumbuhan pers Nasrani yangpesat di tengah pembaca mayoritas Muslim, yangjuga menghidupinya dengan berlangganan. Suratkabar ini kian maju pesat justru di saat koran-koranlain diberangus setelah peristiwa “Malari”(Assegaff, 1992).

Kini pun, kondisi pers Islam seakan tidak jauhberanjak dari bayang-bayang kesulitan dantantangan masa lalu. Selain majalah Sabili, sulitmencari pers yang memakai label Islam mencapaitiras di atas 100.000 eksemplar. Misalnya, Adilhanya bisa terbit dengan tiras 4.000 eksemplarsetiap kali terbit. Gema Islam, 10.000 eksemplar(1961). Suara Muhammadiyah, 20.000 eksemplar(1988). Salam, 42.000 eksemplar (1990). Panjimas,pada tahun 1983, hanya sanggup mencapai angkatiras tertinggi 65.000 eksemplar (Junaedhie, 1995;Anwar, 1993). Kenyataan ini sangat bertentangandengan gencarnya isu fenomena kebangkitan Is-lam di kalangan kaum muda.

Meskipun majalah Sabili sudah mencapai100.000 eksemplar, namun hingga bulan Mei 2001,

Page 5: Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

247Alex Sobur. Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses Demokratisasi di Indonesia

iklan media Islam ini hanya mampu menyerap iklan10-15 % dari jumlah halaman. Persentase ini,menurut Agus Muhammad, tergolong kecil untukoplah Sabili sebesar itu (Muhammad, 2001).

Harus diakui, sejak dua dasawarsa terakhir iniberbagai aktivitas keislaman yang dilakukan dikalangan kampus maupun di lembaga-lembagakepemudaan Islam, dan lembaga-lembagakemasyarakatan lainnya, tampil amat marak. Jumlahmesjid bertambah, jumlah calon jamaah hajimeningkat, jumlah zakat/infaq/sadaqah cenderungmenaik. Banyak majelis taklim bermunculan.Banyak lembaga pendidikan didirikan. Pesantrenbaru berdiri di mana-mana. Para ustadz, kiai, danda’i mampu menembus berbagai sektor kehidupanmasyarakat. Bahkan, dunia artis pun sanggupdirambah. Kegiatan-kegiatan semacam pesantrenkilat, studi dasar keislaman, ramadhan di kampus,dan lain-lain amat sering digelar. Bahkan, sekolah-sekolah yang dipercaya memberikan pelajaranagama Islam yang lebih baik, cenderung menjadifavorit dan laku keras. Pengajian-pengajian dikalangan menengah atas pun tampaknya semakinmenjamur. Perkembangan pengkajian Islam yangsemarak di kalangan masyarakat yang pekainformasi itu semestinya diir ingi denganpertumbuhan pers Islam. Namun, kenyataannyatidaklah demikian. Justru, penerbitan-penerbitanyang hanya mengobral seks dan berita-beritasensasional makin melejit, sementara pers Islammasih tampak “terseok-seok”.

Konsep “jurnalisme lher” Arswendo,misalnya, dari segi komersial, sangat berhasil.Tatkala Monitor dibreidel pada 23 Oktober 1990,tirasnya mencapai 600.000 eksemplar. Tetapi, tab-loid ini ditutup bukan karena kegemarannyamengekspos seks, melainkan karena memuat hasilangket yang diberi nama “Ini Dia 50 Tokoh yangDikagumi Pembaca Kita”. Hasil angket itumencantumkan nama Nabi Muhammad saw padaurutan ke-11, setingkat di bawah nama ArswendoAtmowiloto. Angket ini, oleh masyarakat Islam diIndonesia, dinilai sangat menghina danmerendahkan Nabi serta melukai hati segenap umatIslam (Lesmana, 1995).

Menurut Jalaluddin Rakhmat, kasus Monitor

hanyalah satu langkah dari sejumlah langkah untukmendeskreditkan Islam dan umatnya. Mula-muladimasukkan jurnalisme lher dan serr untuk merusakakhlak, kemudian kehidupan mewah dan glamouruntuk meningkatkan pola hidup konsumtif yangmenghancurkan ekonomi, dan akhirnyamerendahkan Nabi Muhammad saw untukmenghancurkan akidah umat (Rakhmat, 1991).

Mencermati fenomena itu kemudian munculpertanyaan, mengapa kondisi seperti ini bisaterjadi? Apakah para pembaca potensial media Is-lam itu, yang menurut hasil penelitian Pan AsiaResearch pada tahun 1984 (Hamka, 1989) umumnyaadalah orang-orang dewasa dan dewasa mudamemang kurang minat baca? Ataukah karena persyang berlabelkan “Islam” yang ada dipandangtidak aspiratif dan tidak profesional? Padahal, darisegi ekonomi dan penghasilannya, pangsa pasarmedia Islam umumnya adalah mereka yang tingkatpenghasilannya dari golongan menengah ke atas,dan mereka dari segi keagamaan merupakankelompok umat Islam yang cukup terbuka dan dapatmenerima unsur-unsur asimilatif dan akulturatifdalam kehidupan beragama, berbangsa danbernegara. Lebih jelasnya, pangsa pasar media Is-lam, berdasarkan hasil penelitian Pan Asia Re-search (dalam Hamka, 1989), menunjukkan:kelompok terbesar adalah pegawai pemerintah danswasta (32%); tempat kedua diduduki dari kalangantokoh-tokoh masyarakat atau para pemimpinnonformal (22%), kalangan pedagang dan petani(20%), kaum ibu (6%), dan kalangan-kalangan lain(7%).

Berdasarkan survei yang dilakukan majalahPanji Masyarakat tahun 1975, penyebaran danjumlah pembaca di ibukota propinsi sepertiBandung, Surabaya, Medan, Banjarmasin, danUjung Pandang, lebih besar dari Ibukota Jakarta.Golongan pembaca pers Islam (khususnyaPanjimas) sebagian besar adalah guru-guru agamadan aktivis organisasi Islam, pengurusMuhammadiyah, NU, dan sebagainya. Karenanya,ada sementara orang yang mengatakan pers Islamsebagai pers daerah. Menurut Rusjdi Hamka,sebagai pers daerah itu niscaya besar sekalirisikonya, karena sulitnya penagihan dari para agen

Page 6: Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

MEDIATOR, Vol. 5 No.2 2004248

dan langganan serta lamanya peredaran uang(Hamka, 1990).

Mencermati persoalan yang membelenggupers Islam memang ibarat lingkaran setan yang tiadahabisnya. Antara sebab dan akibat semuanyabertali-temali, sehingga tak akan ada ujung danpangkalnya. Kondisi tersebut sudah berlangsunglama, meski dalam kondisi Muslim yang mayoritasdi Indonesia.

Dalam pandangan seorang pakar komunikasidari Bandung, Deddy Mulyana, kondisi pers Is-lam yang memprihatinkan terkait erat dengankondisi umat Islam Indonesia yang belummengamalkan ajaran-ajaran Islam secara baik.Malah, menurut guru besar Pascasarjana danFikom Unpad ini, kehidupan umat Islam sudahdirasuki nilai-nilai Barat dan Muslim dengan“ikhlas” mengamalkannya. Cara-cara hidup,budaya sehari-hari, sampai kebutuhan merupakangaya dan pengaruh Barat, sehingga ketika melihatpers Islam yang mengusung nilai-nilai ideal, yaknimemburnikan dan menegakkan tauhid, ‘amarma’ruf nahyi munkar, dan menyejahterakan umat,penduduk mayoritas ini akan terasa asingmengonsumsinya.

Terkait persoalan di atas, AB Susantomengungkapkan,

Seseorang hidup di Medan, namun gaya hidup yangdipakai selalu dengan kehidupan Amerika. DialekAmerican Style, makan hamburger, minum JackDaniel, jaket jeans dengan gambar bendera Amerika.Orang tersebut jelas hidup di sebuah menara gading,alias tidak membumi. Bisa pula dia terkenapenyakit. Nama penyakitnya: krisis identitas(Susanto, 2001).

Dalam hal mengonsumsi informasi pun,seperti dikatakan Mulyana (2000), masyarakat lebihsenang mengonsumsi berita-berita yang sesuaidengan definisi berita dari Barat. Yakni, if dog bitesa man is not news, but if a man bites dog is news(kalau anjing menggigit manusia bukanlah berita,tapi kalau manusia menggigit anjing adalah berita).Jadi, kata Mulyana, berita haruslah menarikperhatian sehingga yang keluar adalah beritasensasi, seks, konflik, atau kriminal. Jenis berita inisudah pula dipraktikkan pers Islam maupun pers

bernuansa Islam. Semua kalangan, baik masyarakatmaupun pers, sudah terjebak pada pola-polapemberitaan seperti itu (Mulyana, 2000).

“Jihad Melawan Komplotan ‘Syetan’ Cabul”adalah sebuah judul besar di kulit muka Sabili, 14Juli 2000. Di bawahnya tertulis “Overseas Chinesedi Balik Kerusuhan.” Judul-judul seperti itu kerapterpampang di kulit muka Sabili. “Hampir tiap edisi,judul Sabili langsung menyentuh emosi pembaca.Dalam soal konflik horisontal yang bernuansa suku,agama, ras, dan antargolongan, judul yang dipakaiSabili lebih keras lagi” (Muhammad, 2001).

Misalnya, “Agama di Balik KebringasanPasukan Salib” adalah judul besar pada edisi 9Februari 2000. Di atas logo Sabili, tertulis “Prof.Dr. Nurcholish Madjid: Kalau Dizalimi, Kita BolehBalas,” lengkap dengan foto Madjid.

Atmakusumah Astraatmadja, mantan KetuaDewan Pers, dan mantan wartawan IndonesiaRaya, serta salah seorang wartawan senior Indo-nesia yang paling getol ceramah soal etika pers,menyodok reputasi Sabili ketika mengatakan Sabilisebagai “media pamflet”. Menurut Astraatmadja,sebuah media disebut pamflet bila gaya penulisandan gaya penyajian laporannya tidak sesuaidengan standar profesional pers dan kode etikjurnalistik. Menurutnya, paling tidak ada dua syaratyang harus dipenuhi, akurasi dan fair (Muhammad,2001).

Persoalan pelik lain yang berkaitan denganpermasalahan penerbitan pers Islam, bisa lebihdiperpanjang lagi. Misalnya, harus diakui bahwadukungan dari kalangan dunia usaha terhadap persIslam terasa masih sangat kurang. Bambang DwiCahyono dari Komunika Advertising melihat iklanSabili yang kecil walaupun media Islam ini sudahbertiras sekitar 100.000 eksemplar adalah risiko daripilihan topik yang difokuskan pada tema yangsangat segmented. Menurut Bambang, ada banyakmedia yang memang ditujukan kepada orang yangpunya concern terhadap segmen tertentu,misalnya majalah arsitek, otomotif, atau pertanianyang sengaja menciptakan segmen pembaca yangterbatas (Muhammad, 2001).

Adalah suatu hal yang mustahil jika adasebuah penerbitan pers yang tidak membutuhkan

Page 7: Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

249Alex Sobur. Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses Demokratisasi di Indonesia

iklan untuk kelangsungan hidupnya. Dengan iklanyang masih minim jumlahnya serta pelanggan yangmasih sangat terbatas, membuat pers Islam sepertidalam kasus Tabloid Salam, Hikmah, Kiblat, SuaraMasjid, Media Dakwah, tidak bisa hidup secarawajar. Untuk kelangsungan penerbitannya saja takjarang harus kembang-kempis. Terlebih lagi jikaharus bersaing dengan sejumlah pers umum yangdari segi perjalanan hidupnya saja sudah amatmerasakan pahit manisnya mengemudikan duniapenerbitan pers.

Disebabkan minimnya dukungan dari umatIslam sendiri akhirnya pers Islam tampil apa adanya.Pers Islam tidak memiliki wartawan atau reporteryang handal, karena para wartawan yang handaldan profesional pada umumnya mencari danmengabdi pada penerbitan-penerbitan yangdianggapnya sudah mapan dan bisa menjaminkebutuhan materi yang relatif memuaskan. PersIslam juga pada umumnya tidak mampumenyediakan atau membeli kertas serta alat-alatcetak yang relatif lebih baik dibandingkan denganpers umum, sehingga tampilan mutu cetaknyaterkesan apa adanya, terkesan asal bisa terbit. Lihatsaja, misalnya, majalah Suara Masjid, PanjiMasyarakat, Risalah, atau Media Da’wah, ketikamedia ini terbit di era 1980 atau 1990-an.

Menurut Dja’far Assegaff, kelemahan yangtampak dalam pers Islam adalah sikap partisan yangtidak memungkinkan para profesional bekerjasecara penuh. Suardi Tasrif almarhum (bersamaAbdullah Nasir dan Mara Karma) sebagaiwartawan profesional yang memimpin harian Abadi(Masyumi) hanya mendapat kepercayaan daritokoh pimpinan partai. Sebaliknya, pada jajaranredaksi dan wartawannya terdapat orang-orangyang bekerja karena “didudukkan” oleh tokoh-tokoh partai atau anggota DPP partai Masyumi(Assegaff, 1993). Dikatakan,

Sebagai wakil pemimpin redaksi harian Abadiperiode penerbitan kedua, di zaman PrawotoManhkunsasmito (1958-1960), saya pribadimengalami masalah keterbatasan tenaga profesional.Selain H. Sidi Mohd. Syaaf sebagai pemimpinredaksi yang merupakan tenaga profesional,terdapat tenaga-tenaga dari kalangan non-

profesional yang direkrut karena dekat denganbeberapa tokoh atau berasal dari organisasi yangbernaung di bawah Masyumi (Assegaff, 1993).

Akibatnya—dan ini lebih mengenaskan lagi—adalah kesimpangsiuran informasi yang merugikanumat Islam itu sendiri. Dalam kasus Maluku,misalnya, amat sedikit pers umum yangmemberitakan kejadian tersebut sesuai denganfakta-fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan.Sedikit sekali media massa yang memilikikeberpihakan kepada umat Islam. Jika sudah begini,yang rugi adalah umat Islam sendiri. Karena itu,adalah kewajiban para pengelola media massa yangumumnya Muslim untuk memiliki kesadaranberdakwah, memunculkan media Islam. Di pihaklain, adalah juga kewajiban umat Islam untukmendukung kelangsungan hidup media Islam yangmuncul tersebut.

Konspirasi Internasional dan UpayaKaum Yahudi Menguasai Media

Persoalan lain adalah adanya konspirasi(persekongkolan) internasional, yang dirasakankian mencekik. Ini, misalnya, dapat dilihat denganadanya jaringan informasi yang kokoh melaluikantor-kantor berita yang ada, dan umumnyadimiliki oleh Barat (Yahudi). Sumber berita yangada juga sangat bergantung dari pihak Barat. Sudahbarang tentu dominasi ini akan terus berlangsung.

The New York Times, The Wall Street Jour-nal, dan The Washington Post, tiga surat kabarkelas dunia ini menentukan arah pemberitaan, sertapengambilan keputusan oleh tokoh-tokoh diseluruh ibukota negara di dunia. Merekamenentukan apa yang patut menjadi berita danapa yang bukan, baik di tingkat nasional maupuninternasional. Mereka menciptakan berita. Koranlain sekadar menyalin dan meneruskannya keseluruh penjuru dunia. Ketiga harian ini milikpemodal Yahudi, seperti juga koran-koran lain diAmerika Serikat dan di sebagian besar penjurudunia. Keluarga Suzberger, seorang pemodalYahudi yang menguasai The New York Times Com-pany, masih menguasai 36 buah perusahaan suratkabar lainnya, dan dua belas majalah, termasuk

Page 8: Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

MEDIATOR, Vol. 5 No.2 2004250

McCall’s dan Family Circle. Pemilikan orangYahudi atas media cetak tidak berhenti hanya padakoran yang berpengaruh, tetapi bahkan sampaikepada koran-koran kuning di New York, sepertiThe Daily News, dan The New York Post, yangdimiliki seorang milyarder Yahudi yang jugapengembang real-estate, Peter Kalikow. Koran TheVillage Voice juga milik seorang pemodal Yahudibernama Leonard Stern.

Menyinggung ihwal penerbitan majalah, padadasarnya hanya ada tiga majalah yang pantasdicatat di Amerika Serikat, Time, Newsweek, danUS News and World Report. Pemimpin eksekutifTime Warner Corporation adalah Steven J. Ross,dan orang ini pun seorang Yahudi.

Di dunia perbukuan, terdapat tiga penerbitbuku kaliber raksasa, Random House, Simon &Schuster, dan Time Inc. Book Co. Kesemuanyadimiliki oleh pemodal Yahudi. Pemimpin eksekutifSimon & Schuster ialah Richard Snyder, danketuanya Jeremy Kaplan, keduanya orang Yahudi.Western Publishing ada pada peringkat paling atas,yang menerbitkan buku-buku untuk kanak-kanak,dengan pangsa pasar yang dikuasainya 50% daripangsa pasar buku untuk kanak-kanak yang adadi dunia. Ketua sekaligus pemimpin ekseskutifnyaialah Richard Bernstein, seorang Yahudi.

Di dunia media elektronika dan hiburan,konglomerat media terbesar saat ini adalah WaltDisney Company, di mana pemimpin eksekutifnya,Michael Eisner, juga Yahudi. Kerajaan Disneydikepalai oleh seorang yang oleh salah satu analismedia disebut-sebut sebagai “tukang kontrol,”termasuk beberapa perusahaan produksi TV (WaltDisney Television, Touchstone Television, BuenaVista Television), jaringan TV kabelnya, termasukdi Indonesia, meliputi 14 juta pelanggan, dan duaperusahaan yang memproduksi video. Dan janganlupa pula dengan CNN, siaran TV palingberpengaruh dengan jaringannya yang meliputinyaris ke seluruh jagat, dikuasai oleh Ted Turner,yang juga orang Yahudi.

Selain itu, dua perusahaan produksi filmterbesar di dunia, MCA dan Universal Pictures,dimiliki oleh satu perusahaan, Seagram Co. Ltd.Pemilik Seagram juga seorang raksasa produsen

minuman keras, Edgar Bronman, yang menjabatsebagai ketua World Jewish Congress (KongresYahudi se-Dunia). Perusahaan yang pernah merajaidunia perfilman seperti Melvyn, Goldwyn, Meyer(MGM) diambil dari nama tiga-serangkai Yahudi.Lalu, perusahaan film Dreamworks yang diketuaiDavid Geffen, Steven Spielberg, dan JeffryKatzenberg, dikenal dengan film-film mereka yangmenggunakan special effect yang memukau parapenggemarnya di seluruh dunia. Kemudian, siaranTV terbesar di dunia, ABC, CBS, dan NBC, melaluimerger kerajaan elektronika, ketiganya ada dibawah kontrol Yahudi (Maulani, 2003).

Kantor berita terbesar di dunia adalah Reuters.Kantor berita ini didirikan oleh Julius Reuter—seorang Yahudi tulen—pada 1816 M. The UnitedPress International (UPI), salah satu kantor beritabesar Amerika Serikat adalah hasil merger SchribsHoward United Press dan International NewsService yang didirikan William Hersett pada 1909.Hersett beristrikan wanita Yahudi dan atasdukungan warga Yahudi AS, ia berhasil menjadikepala negara bagian New York. Lantas, di Prancis,seorang warga Yahudi mendirikan kantor beritaHavas. Pada 1835, kantor berita ini berubah menjadikantor berita resmi Prancis (Samantho, 2002).

Kolonialisme Barat atas Dunia IslamBanyak wartawan Barat yang ditempatkan di

berbagai negeri Muslim, baik sebagai penulis lepasmaupun sebagai wakil surat kabar mereka. Namun,banyak surat kabar dan kantor berita di negeri-negeri Muslim tak menjadikan media dunia Mus-lim independen. Suatu penelitian atas 25 surat kabardalam bahasa-bahasa Inggris, Arab, Persia, danUrdu, menunjukkan, lebih dari 80 persen beritatentang dunia Muslim berasal dari empat KantorBerita Internasional utama: Associated Press (AP),Agence France Presse (AFP), United Press Inter-national (UPI) dan Reuters. Terbukti pula bahwa25 surat kabar dan majalah hampir tak pernahmemuat artikel atau berita tentang Barat yangditulis para koresponden mereka sendiri (Abdullah,1987).

Dalam situasi ketergantungan kepada kantor-

Page 9: Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

251Alex Sobur. Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses Demokratisasi di Indonesia

kantor berita asing ini, hampir tidak mungkinmencari liputan alternatif. Pandangan peristiwa-peristiwa dunia yang diterima seorang pembaca,tentang negeri-negeri Muslim dan bahkan tentangnegerinya sendiri, pada dasarnya merupakanpandangan yang disajikan kantor-kantor beritainternasional (Abdullah, 1987).

Kokohnya jaringan kantor berita itu sangatterkait dengan masalah politik, ekonomi, militer, danbudaya, yang tujuannya adalah tentu sajakolonialisme (penjajahan) Barat atas Dunia Islam.Mereka memiliki kepentingan politik, ekonomi,militer, dan budaya yang harus mereka pertahankan.Karena itu, mereka (kaum Yahudi/kaum Zionis)berusaha mendominasi sumber-sumber informasimelalui media massa yang ada, termasuk kantorberita. Melalui media massa yang ada, dengansangat efektif mereka membentuk opini publik dikalangan masyarakat Islam.

Pembentukan opini ini diciptakan melalui imagiBarat tentang masyarakat-masyarakat Muslim.“Fanatik, tidak kompeten, fundamentalis, biadab,otokratis, haus darah.” Itulah beberapa atributuntuk menggambarkan kaum Muslimin danmasyarakat-masyarakat Muslim di Barat (Sardar,1988). Atribut-atribut ini, maupun imagi yangmereka abadikan, menurut Sardar, memiliki sejarahyang panjang. Dalam ilmu pengetahuan danliteratur, maupun dalam jurnalisme dan fiksi populer,kaum Muslimin digambarkan sebagai kaum ganasyang haus darah, yang memotong tangan pencuri,merajam wanita penzina sampai mati, ataumencambuk orang yang meminum alkohol. Imagiini diabadikan dengan konsistensi dan kegarangansedemikian, sehingga banyak kaum Musliminsendiri mempercayai imagi ini, dan berupayaberbuat sesuai dengan karikatur ini.

Menurut Ziauddin Sardar, ada satu alasansangat kuat kenapa kaum Muslimin telah menjadisasaran imagi-imagi terdistorsi terus-menerus ini.Islam adalah satu-satunya peradaban yang telahmenimbulkan—di masa lalu, dan kiranya di masadatang—suatu ancaman serius bagi dominasiintelektual dan politis Barat. Sejak kedatangan Is-lam, dan penyebarannya yang luar biasa, hampirselama beberapa dekade, dari Maroko sampai Cina,

Islam telah dipandang oleh Barat sebagaiperadaban dan kultur “lain” (Sardar, 1988).

Pada bagian lain, Sardar menulis,

Islam telah menjadi trauma bagi Eropa. Bagi kaumKristen abad pertengahan, Islam itu problematis.Yang pertama dan terutama adalah sebagai suatuproblem bagi “theodisi” (mempertahankan keadilanTuhan di hadapan eksistensi kejahatan) Kristen.Tujuan apa yang hendak dicapai Muhammad ketikaTuhan sendiri sudah muncul di muka bumi ini?Kenapa kelahiran seorang Nabi Arab, lama setelahmasa kenabian berpuncak pada penyaliban dankebangkitan kembali putra Tuhan, sesuai denganrencana ilahi tentang penyelamatan? Persoalan inimenggusarkan kaum Kristen dalam hubungannyadengan Islam selama lebih 1400 tahun. Tetapi, Is-lam tidak saja menimbulkan suatu problemkeagamaan. Kekuatan empirium Islam merupakantantangan serius bagi kaum Kristen. Hingga abadke-18, Empirium Utsmaniyah dipandang oleh or-ang-orang Eropa sebagai selalu membahayakanperadaban Kristen. Dominasi ilmu danpengetahuan Islam selama delapan abad jelasmenunjukkan bahwa Islam juga menimbulkan suatuproblema intelektual. Dan akhirnya, secaraideologis, Islam merupakan suatu problem:penguasaannya atas pikiran berjuta-juta orang,bahkan keberhasilannya mengubah keyakinanberjuta-juta orang Kristen, tak dapat dimengertioleh kaum Kristen (Sardar, 1988).

Guna mencemarkan Islam, menurut Sardar,Barat menciptakan sejumlah teknik. Yang pertamaadalah pemroyeksian terang-terangan imagi Islamdengan menggunakan label-label. Islam dipandangsebagai sisi-gelap Eropa. Maka, ketika Eropaberadab, Islam biadab. Ketika Eropa mencintaiperdamaian, kaum Muslimin garang dan hausdarah. Sementara di Barat, ada tradisi demokratisdan cinta damai, kaum Muslimin despostis dankejam. Sementara Eropa bermoral dan bajik, kaumMuslimin amoral dan bejat (Sardar, 1988). Berbagaiimagi ini telah diproyeksikan dalam lukisan-lukisandan literatur-literatur Barat sejak abad ke-17.

Jika ditelusuri akar persoalannya, kita bisamenemukan bahwa ada dua kekuatan besar yangbertarung di panggung pemikiran: Islam versussekularisme. Islam adalah pemikiran asli pribumi,sementara sekularisme adalah pendatang dan

Page 10: Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

MEDIATOR, Vol. 5 No.2 2004252

sekaligus penjajah karena datang memangbersamaan dengan kolonial. Pemikiran yangmelandasi pola berpikir kaum Muslim seharusnyapemikiran Islam yang mengacu kepada Al-Qur’andan Sunnah. Namun, ketika Barat menjajah negeri-negeri Islam, mereka turut menyebarkan pahamsekularisme yang merupakan mainstream mereka.Barat mempersiapkan kader-kader yang akanmeneruskan pola berpikir sekularistis jika merekakelak meninggalkan negeri jajahannya. Di sinilah,sesungguhnya, asal mula percokolan itu terjadi.

Argumen bahwa kaum Muslimin tidakmempunyai suara yang cukup kuat dalam mediainternasional telah banyak didiskusikan dalamberbagai seminar dan konferensi-konferensi duniayang diselenggarakan organisasi-organisasi Mus-lim. Ada banyak keluhan bahwa dunia Barat takmelakukan peliputan atas Islam dan Dunia Muslimsecara berimbang dan memadai. Sudah banyakpula desakan bahwa kaum Muslimin harusmengembangkan media internasional merekasendiri.

Misalnya, sesuai dengan resolusi-resolusiMuktamar Persiapan Pers Islam di Siprus padabulan Juni 1979, yang antara lain memutuskanmembentuk sebuah Sekretariat Jenderal Sementarauntuk Pers Islam di bawah naungan Rabithah AlAlam di kota Makkah Al Mukarramah, salah satutugasnya mempersiapkan Konperensi Pertamauntuk Penerangan Islam.

Muktamar Media Massa Islam PertamaSedunia berlangsung di Jakarta, mulai tanggal 1sampai tanggal 3 September 1980. Negara-negarapeserta Muktamar ini terdiri atas 49 negara, denganpeserta yang hadir sebanyak 450 orang tokoh-tokoh wartawan, penulis, penerbit, dan pemikir-pemikir beragama Islam dari berbagai negara diseluruh dunia (Badan Litbang Penerangan DeppenRI, 1981).

Muktamar telah mendukung dengan suarabulat kertas kerja dari negara Iraq yang menyangkutsoal-soal berikut:

(a) Menyokong pernyataan Iraq-Arab Sauditentang pemboikotan politik dan ekonomi terhadapsetiap negara yang membuka kedutaannya di kotaBaitul Maqdis.

(b) Membongkar semua tindakan eksistensi Zionisyang menantang perasaan umat Islam dengankeputusan menjadikan Baitul Maqdis sebagaiIbukota Abadi yang dipersatukan bagi eksistensiZionis itu.(c) Melawan dan menolak semua kerja teknis ataupenerangan yang memusuhi Is-lam dan memburuk-burukkan prinsip-prinsip yang toleran.(d) Mengajak negara-negara Islam untukmemperkuat kerjasama di antara mereka demimempertahankan prinsip-prinsip Islam, dan tidakmengizinkan pihak mana pun mengadakan tantanganterhadap perasaan kaum Muslimin.(e) Mengajak semua negara Islam, melalui aparatpenerangan dan kebudayaannya untuk berdirimenghadapi semua kampanye penerangan yangberusaha menentang berhasilnya negara-negara Is-lam menguasai teknologi atau untuk tujuan-tujuandamai (Badan Litbang Deppen RI, 1981).

Kemudian, setelah membahas danmemperdebatkan hasil-hasil dari pelbagai komisiyang merupakan rekomendasi, maka tercapailahkeputusan-keputusan di bawah ini (Badan LitbangDeppen RI, 1981):

(a) Agar Universitas-Universitas Islam mendirikanbagian publisistik untuk menghasilkan jurnalisterlatih dan berkualifikasi yang mampu melakukansemua cabang penerangan Islam di sampingmengadakan sebuah akademi untuk menghasilkankader-kader yang berkecakapan tinggi.(b) Menggunakan potensi-potensi Muslimin diberbagai bidang kerja penerangan.(c) Agar Rabithah Alam Islami mengadopsi tugasmendirikan pusat informasi untuk memberi bekalbidang penerangan dengan informasi-informasiotentik.(d) Mendorong Sekjen Organisasi negara-negara Is-lam untuk mengaktifkan peranan Kantor BeritaIslam di seluruh dunia Islam dalam waktu secepatmungkin.(e) Diserukan Kantor-Kantor Berita Dunia Islamuntuk menyiarkan dan menonjolkan penyiaranberita-berita dunia Islam serta memberikanperhatian sepenuhnya dalam usaha ini untukmemecahkan belenggu blokade yang hendakdipaksakan oleh prasarana media massa yangmemusuhi Islam.(f) Mempelajari kemungkinan mendirikan harian,majalah mingguan dan bulanan Islam dalam

Page 11: Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

253Alex Sobur. Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses Demokratisasi di Indonesia

beberapa bahasa yang terbit pada satu hari yangsama di Ibukota-ibukota dunia internasional dandunia Islam.(g) Mempelajari kemungkinan dibentuknya sebuahlembaga atau beberapa lembaga iklan Islam untukmelindungi pers Islam dari tekanan-tekananperusahaan iklan asing.(h) Menghimbau negara-negara dan organisasi-organisasi Islam untuk melarang masuk danberedarnya pers, buletin, dan buku-buku yangmemusuhi gagasan-gagasan dan pemikiran Islamatau mempengaruhi aqidah pemuda Muslim. Jugauntuk melarang iklan-iklan yang memberikandukungan komersial tentang sarana media Islamyang memusuhi Islam.

Tetapi, ketika bicara soal tindakan, sedikit sajayang terdengar dari seminar-seminar dankonferensi-konferensi atau muktamar seperti ini.Mereka memang mengusulkan bahwa kaumMuslimin harus memiliki koran-koran dan majalah-majalah yang digunakan sebagai perjuangan Is-lam. Namun, sedikit usul saja tentang program yangnyata. Tampak bahwa organisasi-organisasi danlembaga-lembaga Muslim belum dapat merancangkebijaksanaan media yang sesuai dengan ideologidan juga profesi jurnalis mereka (Abdullah, 1988).

Lepas dari itu, tampaknya, kaum Muslimintelah memberikan reaksi yang keterlaluan ataspeliputan Islam oleh media Barat. Benar bahwamedia Barat memang berat sebelah dalam meliputIslam, tetapi ia pun sebenarnya juga berat sebelahdalam meliput semua kelompok dan ideologi lain.

Dalam cover story konflik Maluku yangberjudul “Agama di Balik Keberingasan PasukanSalib”, misalnya, Sabili memperlihatkan jalinan eratantara imperialisme Barat dengan motif penyebaranagama Kristen di bumi Nusantara. Jalinan inimemberikan landasan pembenar untuk membingkaidan memprasangkai konflik yang terjadi di Ambondan kasus-kasus di wilayah Nusantara lainnyasebagai “sentimen agama”. Sabili menulis:

Tidak seperti Islam, agama Katolik dan KristenProtestan datang ke Nusantara lewat tangan-tanganpenjajah kolonialis. Penjajah Spanyol dan Portugismembawa dan menyebarkan agama Katolik,sedangkan penjajah Belanda membawa danmenyebarkan Kristen Protestan. Baik Katolik

maupun Kristen Protestan, masing-masingmembawa misi “Tiga G” yakni: Gold, Glory, danGospel (emas yang melambangkan kekayaan,kekuasaan politik, dan kejayaan gereja). Jikademikian, tidak salah jika suara rekaman kasetmirip-mirip suara Mayjen (Purn) Theo Syafei, yangsempat heboh beberapa waktu yang lalumengatakan bahwa sejarah penyebaran agamaKristen memang tidak bersih dari darah (Sabili,No.17, Th.VII, 9 Februari 2000).

Memasukkan faktor hubungan sejarahantaragama yang meliputi Perang Salib danimperialisme Barat-Kristen bisa menimbulkanpertanyaan. Apakah tidak terlalu jauhhubungannya dengan akar sebab prasangka yangmewarnai hubungan antaragama Islam danKristen?

Pada dasarnya, prasangka (prejudice) adalahkonstruk terpenting bagi ilmuwan sosial untukmemahami hubungan antar kelompok etnis, agama,ras, dan budaya (Taylor & Porter, dalam Sudibyo,Hamad, Qodari, 2001). Namun, sejauh ini, fenomenaprasangka tetap tidak mudah dan sederhana untukdijelaskan.

Perhatikan pula, cuplikan Media Dakwahketika menyajikan konflik Ambon dan Maluku Utaraberikut ini:

Keretakan hubungan Islam-Kristen akhir-akhir inisejatinya telah tersulut dengan transparannyaberbagai gerakan mahasiswa Kristen yang berpusatdi kampus-kampus Kristen seperti: UniversitasKatolik Atmajaya, Universitas Kristen Indonesia(UKI), Sekolah Tinggi Theologia (STT), SekolahTinggi Filsafat Driyarkara dan lain-lain yangmenentang pemerintahan Habibie yangrepresentatif Islam. Bahkan pusat-pusat gerakandemo brutal itu dirancang di berbagai kampusKristen itu, termasuk pasokan logistik parademonstran radikal itu berasal dari komunitas gereja,karena semua barang yang dikirim selalu diberi la-bel salib (Sudibyo, Hamad, Qodari, 2001).

Dari cuplikan di atas, Media Dakwahmenunjukkan kehadiran prasangka dan stereotipdalam menuliskan beritanya. Gerakan mahasiswayang marak di masa pemerintahan Presiden Habibie,khususnya pada bulan November 1998, adalahidentik dengan gerakan mahasiswa Kristen,

Page 12: Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

MEDIATOR, Vol. 5 No.2 2004254

demikian menurut berita itu. Padahal, di antara yangikut mendemo Habibie banyak sekali mahasiswayang juga beragama Islam. Dalam paragraf itu,gerakan mahasiswa Kristen digeneralisasi sebagaigerakan demonstran radikal yang menggunakanbasis di kampus-kampus Kristen.

Sementara itu, studi Edward Said mengenaipenggambaran Islam dalam pers Barat ada jugarelevansinya. Warga negara AS keturunanPalestina tersebut menggambarkan bagaimanapelaporan pers Barat tentang dunia Islam,khususnya dunia Arab, diwarnai oleh suatu“pengetahuan ortodoks” tentang Islam, yang tidaktergantung dari dinamika para subjek berita (yangbervariasi itu) dan apa kata mereka sendiri,melainkan tergantung dari “komunitas penafsir”yang terdiri dari para pekerja media, pakar-pakaryang menjadi langganan wawancara, pemerintahnegara-negara Barat, serta perusahaan-perusahaanBarat yang berkiprah di dunia Arab (Aditjondro,dalam Sudibyo, Hamad, Qodari, 2001).

Dalam kasus Islam, distorsi-distorsi tersebut,seperti dikatakan Aslam Abdullah, mungkinmerupakan warisan kolonial atau citra-citrastereotip terhadap Muslim, dan bukannyaperasaan-perasaan buruk para penulis itu sendiri.Lagi pula secara profesional tidaklah mungkinuntuk meliput semua aspek dari suatu peristiwasecara akurat dan objektif dalam suatu periodewaktu tertentu. Tidak pula masuk akalmengharapkan mereka yang tidak memandang Is-lam dan dunia Muslim dengan cara yang sama,seperti yang dilakukan kaum Muslimin, menulistentang Islam dengan antusiasme yang sama ataudengan cara yang akan lebih disukai kaumMuslimin (Abdullah, 1988).

Dalam buku Covering Islam (1981), EdwardSaid mengungkapkan secara gamblang dan terincitentang berbagai distorsi dan bias yang dilakukanBarat terhadap Islam. Jaringan kantor-kantor beritaBarat yang mendunia itu secara konstan dankontinyu menciptakan dan menyebarkan citra yangtidak benar tentang Islam.

Menyadari kenyataan ini, dari negara-negaraIslam yang tergabung dalam Organisasi KonferensiIslam (OKI) muncul inisiatif mendirikan Interna-

tional Islamic News Agency (IINA), yang berpusatdi Jeddah. Kantor berita internasional Islam ini mulaiberoperasi pada Mei 1979; pada 1988, setiap hariia menyiarkan berita rata-rata sejumlah 7.500 kataatau 35 sampai 45 item berita. Staf tetapnyaberjumlah 26 orang, dengan anggaran tahunansekitar $ 2 juta. Sebagai perbandingan, AssociatedPress (AP, kantor berita Amerika) mempunyai 76biro luar negeri dengan 400 wartawan tetap, yangmenghabiskan anggaran $ 40 juta per tahun. APmenyampaikan pelayanan topik-topik utama beritadunia yang berfluktuasi antara 51.000 sampai112.000 kata per hari, atau antara 200 sampai 600macam berita setiap hari (Azra, 1994).

Dengan melihat pengalaman IINA dan AP,terlihatlah kepincangan penyebaran informasitentang Islam dan masyarakat Muslim merupakanfakta sangat riil. Selain IINA, memang terdapatkantor-kantor berita Islam bertaraf internasionallainnya, ditambah kantor berita negara-negara Is-lam sendiri. Namun, sebagai eksperimen relatifbaru, kantor-kantor berita Islam itu harusberhadapan dengan jaringan kantor berita raksasayang sangat mapan, seperti AP, UPI (United PressInternational), AFP (Agence France Presse), danlain-lain.

Setiap kali diadakan seminar yang membahaspers Islam, maka soal profesionalisme selaludiutarakan, sehingga lambat laun namun pasti,timbul kesan bahwa pers Islam di negeri inidisebabkan oleh wartawannya dan pengelolanyatidak memiliki profesionalisme. Betulkah itu?Barangkali untuk sebagian ada benarnya, tapi tidakkeseluruhannya. Lagi pula, sekali-kali perlu dikaji,apakah persisnya yang dimaksud denganprofesionalisme dalam bidang kewartawanan itu?

Dalam kaitan dengan soal profesionalismetersebut, pada tanggal 17 Januari 1993 di Medan,diselenggarakan seminar membahas “Peranan PersIslam dalam Membentuk Opini Masyarakat” olehSenat Mahasiswa FISIP Universitas SumateraUtara (USU), yang diikuti oleh ratusan mahasiswadari berbagai perguruan tinggi di Medan. Seorangpengamat pers Islam, Daud Rasyid Sitorus, padakesempatan itu mengemukakan, profesionalismeadalah kunci keberhasilan pers Islam. Kalau tidak

Page 13: Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

255Alex Sobur. Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses Demokratisasi di Indonesia

didukung oleh profesionalisme dan kedalamanpemahaman ajaran Islam para pengelola lembagapers tersebut, maka keberhasilan pers Islammenjalankan misinya sebagai pembentuk opinimasyarakat tidak akan berjalan baik (Anwar, 1993).

Pengertian profesionalisme hingga kinimemang masih beragam. Bahkan, tidak jarangistilah ini disamakan dengan penguasaan teknisdan penampilan individual semata. Lebih ranculagi, profesionalisme diidentikkan dengansemangat berwiraswasta (entrepreneurship) yangjelas-jelas basis nilainya berbeda. Pengertianseperti ini, tentu saja, tidak melihat konteks sosialmakna profesionalisme, kedudukanprofesionalisme sebagai sistem normatif golonganprofesional cenderung terabaikan. Akibatnya,pengertian seperti ini tidak dapat menerangkanbagaimana kaitan profesionalisme di dalam prosessosial secara keseluruhan (Sobur, 2001).

Kriteria utama yang membedakan golonganprofesional dari entrepreneurs adalah perbedaannilai. Para profesional tidak meletakkan imbalanmateri (profit oriented) sebagai tujuan utama,sungguhpun tetap menganggapnya sebagaisesuatu yang perlu. Sebaliknya, para pengusahamenganggap mencari keuntungan adalahtujuannya (Parsons, dalam Hamzah, 1992).

Pengertian profesionalisme akan lebih jelasjika dibedakan dengan paham-paham yang kurangmenghargai profesionalisme. Budaya yang tidakmengutamakan keahlian atau kemampuan pribaditidak mempersoalkan dengan cara bagaimana suatuhasil dapat diraih. Pada budaya yang demikian,fasilitas, keberuntungan, hubungan-hubunganistimewa, dan cara-cara nonetis tidak dipersoalkan.Dengan demikian jelas bahwa profesionalismetidak menggantungkan keberhasilan padakemampuannya dan keahliannya serta mengikutikaidah-kaidah yang berlaku dalam profesinya.Mereka akan bersaing melalui standar kualitaskaryanya, layanannya, atau produknya. Karenakaidah-kaidah profesi umumnya teruji,profesionalisme menghasilkan kehandalan dankredibilitas.

Pada umumnya, ada lima kategori yangmenurut para sosiolog tercakup oleh

profesionalisme, yang disarankan sebagai struktursikap yang diperlukan bagi setiap jenis profesi:(1) Profesional menggunakan organisasi atau

kelompok profesional sebagai kelompokreferensi utama. Tujuan-tujuan dan aspirasi-aspirasi profesional bukanlah diperuntukkanbagi seorang majikan atau status lokal darimasyarakat setempat; kesetiaannya adalahpada bidang tugas.

(2) Profesional melayani masyarakat. Tujuannyamelayani masyarakat dengan baik. Ia altruistik,mengutamakan kepentingan umum.

(3) Profesional memiliki kepedulian atau rasaterpanggil dalam bidangnya. Komitmen inimemperteguh dan melengkapi tanggungjawabnya dalam melayani masyarakat. Iamelaksanakan profesinya karena merasakomitmennya yang mendalam; dan inimenopangnya selama periode-periode latihandalam penekanan secara berulang-ulang.

(4) Profesional memiliki rasa otonomi. Profesionalmembuat keputusan-keputusan dan ia bebasuntuk mengorganisasikan pekerjaannya didalam kendala-kendala fungsional tertentu.

(5) Profesional mengatur dirinya sendiri (self-regu-lation). Ia mengontrol perilakunya sendiri.Dalam hal kerumitan tugas dan persyaratanketerampilan, hanya rekan-rekansepekerjaannya yang mempunyai hak danwewenang untuk melakukan penilaian (Sobur,2001).

Kelima kategori di atas tampak tidak bebas,artinya satu sama lain saling melengkapi. Pendekkata, profesional melakukan pekerjaannya demikepentingan umum dalam melayani masyarakat.

Meski demikian, profesi dipandang sebagaifenomena relatif, tidak mutlak. Suatu pekerjaandapat dikatakan lebih profesional daripadapekerjaan lainnya karena memiliki unsur-unsurprofesional yang lebih daripada pekerjaan lainnya.Nilai pendekatannya, ciri-ciri psikologis suatuprofesional dipisahkan dari sifat-sifat struktural danorganisasional pekerjaan itu (perizinan, ijazah,organisasi profesional).

Memang, berbagai upaya untuk menghadir-

Page 14: Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

MEDIATOR, Vol. 5 No.2 2004256

kan pers Islam yang bermutu sesuai aspirasikhalayak pembacanya yang notabene beragamaIslam tidaklah selalu berjalan mulus. Sejarahperkembangan pers Islam, baik nasional (sepertiMedan Priaji, Duta Masyarakat, atau Abadi)maupun internasional (seperti Islamic World Re-view), mencatat, nyaris tidak ada pers Islam yangmampu bertahan lama. Mencapai usia sepuluhtahunan, sudah dianggap prestasi gemilang.Padahal, ketika hadir di tengah publik, pers Islamselalu mendapat sambutan. Publik memangmembutuhkan. Namun, ketahanan daya hidup apapun —apalagi penerbitan pers yang membutuhkanmodal besar—tidak cuma sekadar dibutuhkan.Perlu ada kepedulian. Terutama pada zaman penuhpersaingan bisnis, serta materi manjadi acuannomor satu.

Dulu, pers Islam pernah mampu menyemarak-kan dunia pers. Sebut saja misalnya harian Abadi,organ Partai Masyumi, yang sangat berperan padaera multipartai tahun 1950-1960. Mengandalkanfanatisme pendukung Masyumi, harian Abadimemiliki tiras cukup besar (lihat Tabel 1), jaringancukup luas, dan isi yang bagus. Para pengelolaAbadi mampu mengolah misi dan visi Islam dalambentuk berita dan artikel. Tulisan-tulisan bercorakpolitik dalam Abadi selalu diperhitungkan olehkawan dan lawan politik Masyumi.

Namun, sayang, tahun 1960, Masyumi dipaksabubar oleh rezim Demokrasi Terpimpin Orde Lama.Baru muncul lagi pada era Orde Baru. Masihmenampilkan “watak keras” Masyumi, walaupunMasyumi sendiri sebagai partai tidak diizinkanhidup kembali.

Harian Islam Abadi era Orde Baru, terhitungsingkat. Terbit tahun 1967, dibreidel tahun 1974,akibat peristiwa “Malari”. Tulisan yang cukupmemikat dalam Abadi babak kedua adalah polemiktentang dwifungsi ABRI, antara Mr. SM Amindengan Mabes ABRI/Hankam. Tulisan SM Aminyang mengritik keras dwifungsi ABRI, dimuatdalam Abadi. Pihak Hankam/Mabes ABRImenjawab melalui harian Berita Yudha. Polemikamat berharga ini sempat dibukukan menjadiPolemik dengan Berita Yudha (Usep, 2000). Diera pasca-Orde Baru sekarang ini, Abadi kembaliterbit berupa tabloid mingguan dan menjadi organPartai Bulan Bintang.

Survei yang dilakukan Litbang RedaksiRepublika dengan The Asia Foundation yangdilakukan pada tahun 1998-1999, menemukansedikitnya 34 pers Islam di Indonesia yang terbitantara 1970-1993. Secara sederhana, survei inimerumuskan pengertian pers Islam sebagai “persyang dalam kegiatan jurnalistiknya melayanikepentingan umat Islam, baik yang berupa materi(misalnya kepentingan politik) maupun nilai-nilai”.Pers Islam yang disurvei dibatasi pada majalah atausurat kabar yang memiliki Surat Izin Terbit (SIT)dan atau Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).Dengan pengertian seperti itu, penerbitan persyang tidak dimiliki oleh individu atau organisasiIslam tertentu dapat juga digolongkan sebagai persIslam sejauh isi, visi, dan misinya menyentuhkepentingan umat Islam. Nama-nama penerbitanpers Islam serta penerbit/pemilik secara lebih terincibisa dilihat pada Tabel 2.

Tradisi pers yang hidup sejak awal abad ke-20, tidak memberi jaminan bagi satu pun penerbitpers Islam untuk menjadi sebuah media besar dalamusia cukup panjang. Harian Pelita yang terbit sejaktahun 1974 dan menjadi alternatif koran Islamsetelah dibreidelnya harian Abadi, pernahmencapai tiras di atas 200.000 eksemplar pada kurunwaktu antara 1977 dan 1982. Pencapaian tirassebesar itu sekaligus membuat Pelita mengukirsejarah sebagai koran yang pernah mengalahkanharian Kompas, meski hanya untuk beberapa saat(Edwin et al., 2000).

Kalau saja Pelita tidak terus-menerus ditekan

Tabel 1 Tiras Harian Abadi di Antara Empat Besar

Surat Kabar yang Terbit di Jakarta Tahun 1954 Nama Surat Kabar Aliran Tiras Harian Rakyat Pedoman Suluh Indonesia Abadi

PKI PSI PNI Masyumi

55.000/hari 48.000/hari 40.000/hari 34.000/hari

Sumber: Tribuana Said, 1988; Yasuo Hanazaki, 1998

Page 15: Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

257Alex Sobur. Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses Demokratisasi di Indonesia

dan tidak dikooptasi oleh tokoh-tokoh Golkarsecara perlahan-lahan sejak tahun 1982 dan secararesmi tahun 1987, ada kemungkinan koran ini akanmenjadi koran besar yang bersaing denganKompas untuk waktu yang lebih lama. Tetapi,karena berbagai bentuk tekanan politik, mulai daripembreidelan secara berulang-ulang, upaya-upaya

persuasi tokoh-tokoh Muslim Golkar hinggasenjata undang-undang yang menekan denganpersyaratan modal, Pelita akhirnya menyerahkepada Golkar. Dan sejak jatuh ke tangan partaipenguasa zaman Orde Baru itu, Pelita pun menjadikoran dengan ideologi “Islam Pembangunan”(Edwin at al., 2000).

T abel 2. P enerbitan P ers Islam 1970-1993

N o N ama Penerbit/Pemilik

1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 11 12 13 14 15 16 17

18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34

SKH A ngkatan Baru SK D uta M asjarakat (Jakarta) Suara Islam M ajalah Bud i M ajalah Gem a Is lam M ajalah Gagasan M ajalah Kib lat M ajalah Pand ji M asjarakat M ajalah Ser i D akw ah Islam M ajalah S inar K eem asan M ajalah R isalah SKH D uta M asjarakat (Semarang) SKM Adil SKH M ertju Suar (Yogyakarta) M ajalah Al D jam i’ah M ajalah Suara M uham madiyah SKH N usantara Baru M ajalah S inar D arussalam SKH M ertju Suar (M edan) SK Api D jihad SKH D uta M asjarakat (Sumsel) SKH T jahaja T im ur SKH D uta M asjarakat SKH Pembela SKM H anura SKM A ngkatan Baru SKH M ertju Suar (M anado) SKM A lachbar SKM M im bar D akw ah SKM D em i M asa SKH Fajar SKH A bad i M ajalah Semesta SKH Republika

M uham m adiyah N ahdlatu l U lam a Jajasan Kesed jahteraan U m at Islam Pusat Kerohanian Islam Angkatan D arat Jajasan Perpustakaan Islam Pusat Jajasan Keset iaan Penerbit K iblat Kebangk itan/M uham m adiyah Jajasan Pend id ikan T inggi D a’wah Islam Tharikat Islam Persatuan Islam (Pers is) Bandung Jajasan D uta M assa/N ahd latul U lam a PT Adil Jajasan M ertju Suar tjabang Jokjakarta Jajasan D jam i’ah “Sunan Kalijaga” PP M uham m adiyah Jajasan Kesed jahteraan dan Perbendaharaan Buruh Is lam C abang Banda Aceh Studi K lub Islam Darussalam Jajasan M ertju Suar Cabang M edan Jajasan Ap i D jihad PT B atang H ari Sembilan Palembang Jajasan Pembina D ana M uslim in Indonesia Jajasan Penerbit D uta/N ahd latu l U lam a Jajasan Fitrah Jajasan U m m at Jajasan Kalam Jajasan M ertju Suar Jajasan Raden Saleh Senat mahasisw a Fak. S jariah D arussalam Y ayasan Dem i M asa PT M edia Fajar PT Kramat Empat L ima Y ayasan M uttaqin PT Abd i Bangsa/ICM I

Sumber: Republika , 26 April 2000.

Page 16: Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

MEDIATOR, Vol. 5 No.2 2004258

Patut disayangkan memang. Sebab, pada awalterbitnya, surat kabar Pelita mengemukakanjatidirinya sebagai surat kabar Islam. Secara lebihspesifik, dalam pikiran masyarakat, Pelitaditautkan dengan partai politik PPP. Zamanberedar, pimpinan dan kepemilikan Pelita turutberedar dan diketahui sebagian besar parapemegang sahamnya orang-orang dari Golkar.Belakangan, mungkin Pelita mengaku dirinyasebagai surat kabar Islam, tetapi kemudian tidakbanyak orang yang percaya akan hal itu. Sebab,para pengelolanya, juga berita-beritanya, tidak lagimerepresentasikan aspirasi kepentingan Islam.

Merumuskan dan menjabarkan sosok persIslam, memang sulit. Fenomena lain yang cukupmenarik adalah dengan munculnya koranRepublika. Harian ini resmi terbit 4 Januari 1993,meramaikan khasanah pers nasional. BegituRepublika yang didukung oleh ICMI (IkatanCendekiawan Muslim Indonesia) ini terbit,terdengar suara-suara dalam masyarakat yangbersumber dari kalangan surat kabar itu sendiribahwa Republika bukan koran ICMI. Ia adalahkoran umum dan tidak secara khusus membawakansuara golongan Islam, tetapi tentu di dalamnyatetap tercermin aspirasi Islam.

Harian yang dijanjikan bukan sebagai koranagama itu merupakan harian umum yangberwawasan kebangsaan dengan nafas Islam danberorientasi bisnis. Sementara, nama Republikaitu sendiri merupakan nama yang diberikanPresiden Soeharto ketika pengurus ICMI Pusatmenghadap penguasa Orde Baru tersebut. ParniHadi, yang dipercayai menjadi Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Republika ketika itu,dalam jumpa pers seusai peresmian gedung/kantorRepublika di Jakarta menandaskan, “Republikaditerbitkan untuk menyalurkan aspirasi sebagianbesar masyarakat, khususnya masyarakat lapisanbawah”. Menurutnya, harian itu juga terbuka untukdikritik, dan tetap mengkritik penguasa (SuaraKarya, 4 Januari 1993).

Walaupun ICMI menjadi sponsor utamapenerbitan Republika, menurut Parni Hadi, harianitu tidak akan menjadi corong ICMI maupuncorong Pemerintah. Republika akan dikelola

berdasarkan semangat profesional dan bukansemata-mata berdasarkan ikatan primordial.Menurutnya, “Meskipun koran ini bernafaskanIslam, kami sama sekali tidak akan mengaitkannyadengan unsur primordial keislaman, tapimengandalkannya kepada unsur profesional daripara pengelolanya serta market force (kekuatanpasar)” (Pelita, 4 Januari 1993). Berbicara soal cirikhas Republika, Parni Hadi mengatakan, koran ituakan selalu berusaha tampil khas dalam pemilihantopik. Setelah melakukan marketing research danreader research, Republika dalam penerbitanperdananya terbit dengan tiras 100.000 dengankonsentrasi awal wilayah Jabotabek dan JawaBarat.

Jika kemudian misi Republika diletakkan dalamIslam kosmopolitan, seperti yang diungkapkanHaidar Bagir (Latif dan Subandy, 1993), maka duakemungkinan segera menghadang di depannya.Semakin menambah jumlah pembuktian tidakkredibelnya media massa Islam, atau menegasikansemua stereotip minor yang dialamatkankepadanya.

Seorang ekonom, seperti dikutip tim peneliti“Pers Islam dan Negara Orde Baru” yangdikoordinir Donni Edwin (dalam Republika, 26 April2000), pernah mengkritik cara kelahiran Republika.Sebagai lembaga ekonomi, menurut ekonom itu,kelahiran dan cara membesarkan Republikatermasuk tidak wajar karena ada campur tangannegara (dalam pandangan tim peneliti, darisubstansi kritiknya ini, sudah tentu dia seorangekonom liberal yang sangat mengagungkan hukumpasar). Tetapi, ekonom tersebut, menurut Edwindan kawan-kawan, tentu lupa melihat dari latarbelakang ekonomi-politik koran ini sebagai lembagaekonomi, sebagaimana halnya koperasi unit desaatau koperasi produsen batik tradisional di Indo-nesia pada masa Orde Baru.

Keberhasilan Republika mengisi kekosonganyang ditinggalkan media-media massa Islamsebelumnya disusul dengan kelahiran majalahUmmat di awal tahun 1995. Semangat pendiriUmmat ini sebetulnya hampir sama dengansemangat para pendiri Republika. Majalah Ummatlahir dari kebutuhan untuk melayani masyarakat

Page 17: Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

259Alex Sobur. Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses Demokratisasi di Indonesia

Islam yang sadar politik karena pada waktu itu tidakada majalah yang mengisi segmen tersebut. Tetapi,karena jarak kelahirannya yang berbeda empattahun dari koran Republika, dan selama kurunwaktu tersebut juga telah terjadi perkembanganpolitik yang tidak lagi persis sama dengan ketikaRepublika dilahirkan, Ummat terbit secara lebihindependen dan dengan semangat kewiraswastaan,meskipun dari segi perhitungan yang terakhir iniUmmat gagal hingga berhenti terbit di saatreformasi politik baru dimulai tahun 1998.

Walaupun majalah ini akhirnya gagal karenaresistensi pasar iklan, lonjakan prestasinya meraihpembaca patut dicatat. Dalam tempo usia kuranglebih satu tahun, menurut data Survey ResearchIndonesia, majalah ini telah berada di peringkat 3-4 dari segi jumlah pembaca di antara majalah-majalah berita umum. Prestasi ini tentu juga menarikjika dilihat dari segi modal SDM-nya yang sekitar95 persennya adalah orang-orang yang memulaikarier wartawan dari nol (Edwin, et al., 2000).

Masyarakat Indonesia secara keseluruhantidak/belum akan menjadi masyarakat informasisecepat negara maju di awal abad ke-21 ini. Namun,sebagian masyarakat pada segmen tertentumerupakan bagian dari masyarakat industri glo-bal, dengan kemajuan ekonomi jumlah golonganini akan memadai untuk menunjang beberapapenerbitan on line, misalnya.

Namun, seiring dengan kian merambahnyaglobalisasi informasi dan komunikasi, tampaknyaterasa getir melihat lembaga pers Islam di Indone-sia dewasa ini. Apalagi bila melihat perubahan-perubahan global yang dapat mengubah samasekali gaya hidup (life style) masyarakat Islam.

Hampir seluruh sudut dan pelosok hunianumat Islam kini tampak berubah, sehingga dengancepat masyarakat Islam menjadi masyarakat “laadiniyah”, yang membiarkan hidup mereka dalamdekapan sekularisme. Sendi-sendi dasarmasyarakat Islam, yaitu “keluarga”, telahdihancurkan melalui media massa, termasuklembaga pers yang ada, baik melalui jaringanpemberitaan mereka maupun gambar-gambar yangmereka muat.

Di tengah-tengah suasana seperti ini, pers

Islam bagai tak bisa berkutik dalam menghadapiera informasi, yang sesungguhnya merupakan“invasi” kebudayaan yang dilakukan Baratterhadap dunia Islam. Masihkah pers Islammempunyai harapan untuk berkembang?Bagaimana sesungguhnya wajah pers Islam kitasekarang?

Yang jelas, seperti dikatakan Abdelwahab el-Affendy (1993), sepanjang 1970-an dan 1980-an,nalar kritis di Dunia Islam telah terpasung. Ini,antara lain, karena dibungkamnya media-mediamassa yang kritis. Dorongan ke arah perdebatanbebas, pupus. Dalam pandangan el-Affendy, parapenguasa otoriter di dunia Islam berupayamempertahankan monopoli media di negeri sendiridan mengkooptasi pers luar negeri sebagai bagiandari usaha sinis mempertahankan kekuasaan.

Pandangan bahwa media di Dunia Muslimtidak berjalan sesuai dengan harapan-harapanmemang sudah umum dikemukakan. Namun, yangbiasanya dipandang biang keladinya (culprit)adalah hegemoni Barat, terutama Amerika Serikat,dalam bidang komunikasi internasional. Masalahtersebut menjadi tema perdebatan-perdebatanintensif pada 1970-an dan 1980-an, khususnyadalam UNESCO (United Nations, Social and Cul-tural Organization), di mana kampanye sengit atasnama NWICO (New World Information and Com-munication) akhirnya gagal.

Berbagai Pandangan tentangPers Islam

Apakah yang disebut sebagai pers Islam itu?Haruskah ia memuat dan berisi ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Hadits Nabi? Adakah ia semacam suratkabar, tabloid, atau majalah yang menulis nasihatdan fatwa para ulama? Apakah yang disebut persIslam itu pers yang memuat gambar dan wawancarapara kiai di pondok-pondok pesantren serta hanyamemberitakan segala aktivitas umat Islam saja,terutama yang baik-baik? Ataukah pers Islam ituyang mungkin tanpa atau sedikit ayat namun saratinformasi yang bermanfaat bagi umat?

Para pakar komunikasi, akademisi jurnalistik,dan praktisi pers, sudah sejak lama mencoba

Page 18: Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

MEDIATOR, Vol. 5 No.2 2004260

memberikan rumusan, pengertian, batasan, definisi,atau formulasi tentang pers Islam ini berdasarkanmasing-masing sudut pandang dan persepsi. ZaimUchrowi, misalnya, menyebutkan secara garisbesar pers Islam terpecah menjadi dua pandangan.Pandangan pertama adalah pers yang menyatakandirinya Islam dan menggunakan atribut-atribut for-mal Islam. “Soal apakah isi keredaksian maupunmanajemen tidak menjalankan prinsip-prinsip Is-lam, adalah soal lain,” katanya. Yang kedua,berpandangan bahwa yang terpenting adalahberkembangnya nilai-nilai Islam. Bukanberkibarnya bendera. Pandangan kedua ini melihatbahwa Islam adalah universal. Artinya, nilai-nilaiIslam pasti membawa kebaikan bila dilaksanakandalam kehidupan. Oleh siapa pun, “Walaupun olehmereka yang nonmuslim.” Maka, kata Zaim,prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, kebenaran,menjadi landasan utamanya (Muhammad, 1992).

Sementara itu, “Muktamar Media Massa Is-lam Sedunia I,” yang berlangsung di Jakarta,tanggal 1 sampai 3 September 1980, telah berusahapula merumuskan kriteria pers Islam. Disebutkanbahwa yang disebut pers Islam ialah segala liputandan tulisan lainnya yang senantiasa mendasarkanpemberitaannya atas kebenaran Islam dengan caradan metode yang diatur agama Islam, yakni bi al-mau’izhah al-hasanah (pendekatan yang baik),sehingga memungkinkan terjalinnya pengertianpembaca terhadap Islam. Dengan kata lain, persIslam itu harus selaras dengan tuntutan Islam itusendiri. Bukan sebaliknya, pers Islam di luar metodedan aturan agama Islam. Dalam pemahaman yanglebih dalam, pers Islam itu bersifat universal.Tegaknya nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan hak-hak asasi, kepedulian sosial, dan seterusnya,adalah kongkruen dan sesuai dengan nilai-nilaiIslam (Baharun, 1996; Badan Litbang Penerangan,1981).

Secara sederhana, tim survei “Pers Islam danNegara Orde Baru”, seperti dikutip Republika (26April 2000), merumuskan pengertian pers Islamsebagai “pers yang dalam kegiatan jurnalistiknyamelayani kepentingan umat Islam, baik yang berupamateri (misalnya kepentingan politik) maupun nilai-nilai.”

Dalam pandangan Ainur Rofiq Sophiaan, adadua metode pendekatan yang sederhana dalammenyelisik pers Islam. Pertama, metodependekatan secara formal. Dengan pendekatan inipers Islam dipahami sebagai pers yang diterbitkanoleh umat Islam, menyuarakan aspirasi danaktivitas umat Islam dan bertujuan untukmempertahankan missi dan eksistensi Islam.Kedua, metode pendekatan informal. Darikacamata ini pers Islam dinilai dari misi Islam itusendiri secara global dan holistik; rahmatan lilalamin (rahmat bagi semesta alam). Dalam konteksini, Islam lebih banyak diukur dari cita-citamoralitasnya dari semua segi kehidupan.Wujudnya adalah keadilan, pemerataan,“kebebasan” (tidak seperti lazimnya di Barat),persaudaraan, persamaan, dan demokrasi(Sophiaan, 1993).

Jika itu yang menjadi titik acuannya, munculpertanyaan, bukankah hampir semua mediamenyandang komitmen seperti itu? Memang benardemikian adanya. Pers Islam dari sudut pandangini masih perlu diperjelas lagi, yaitu bahwapenerbitan itu dikelola dan dimiliki oleh orang-or-ang Islam dan secara sadar, meskipun tidak formal,untuk menjembatani kepentingan umat.

Jika dari berbagai pandangan tersebutdirumuskan, maka pers Islam adalah, pers yangdari segi kepemilikan (ownership), pemegangsaham terbesarnya adalah orang/kelembagaan Is-lam, atau setidaknya mempunyai ghirah dan ataucommitment terhadap nilai Islam, sebagian atauseluruhnya.” Indikator pers Islam pada dasarnyatidak terletak pada awak jurnalistiknya yang Mus-lim. Sebuah penerbitan pers dapat sajamempekerjakan jurnalis Muslim dalam jumlahmayoritas, namun kepemilikan modalnya beradapada orang/kelembagaan yang berada di luarkriteria tersebut di atas.

Sebenarnya, ilmu komunikasi tidak mengenalistilah wajah pers secara baku. Jika ingin gampang,“wajah” itu dapat saja digambarkan menurutpenampilan fisik. Dapat juga orientasi redaksiataupun isi yang disajikan oleh pers yang sedangditelaah. Mungkin pula kesan masyarakat umummengenai pers yang bersangkutan; misalnya

Page 19: Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

261Alex Sobur. Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses Demokratisasi di Indonesia

stereotip (stereotype) yang dilekatkan padanya.Namun, untuk menggambarkan suatu pers, yangbiasa dilakukan adalah menelaah unsur-unsurpokoknya, kemudian mencari “benang merah”yang mengikatnya menjadi satu.

Pers masa kini adalah institusi yang bermukaganda (Dahlan, 1991). Wajah yang pertama adalahsebagai usaha, institusi industri atau ekonomi.Wajah yang kedua, sebagai institusi redaksionalatau lembaga jurnalistik. Dan, yang ketiga, sebagaipemasok kebutuhan informasi khalayak atauinstitusi kemasyarakatan. Untuk menggambarkanwajah pers Islam atau pers yang Islami, berartimelukiskan ketiga aspek ini bersama-sama, baikaspek ekonomi, informasi, maupun profil khalayak.Kemudian, perlu dicari “benang merah” yangmenjadikannya pers Islami, bukannya pers non-Islam atau pers yang lain. Itu berarti pula bahwapembahasan pers Islam tidak dapat melepaskandiri dari pers nasional Indonesia secara umum.

Peranan Pers Islam dalamDemokratisasi di Indonesia

Apa itu demokratisasi? Secara harfiah,“demokratisasi” dapat diartikan sebagai “prosesuntuk mencapai demokrasi”. Karena itu,pembicaraan ihwal demokratisasi selalumembutuhkan klarifikasi terlebih dahulu mengenaimakna dan substansi kata “demokrasi”. Secarasederhana, demokrasi berarti pemerintahan dari,oleh, dan untuk rakyat. Demokrasi adalahpemerintahan dengan segenap kegiatan yangdikelolanya dijalankan dengan menjadikan rakyatsebagai subjek atau titik tumpu. Demokrasimerupakan sistem yang bertumpu pada daulatrakyat, bukan daulat pemimpin, daulat negara/pemerintah, atau daulat raja.

Pelbagai literatur ilmu politik modern (Barat)biasanya menyebut beberapa ciri pokok sebuahsistem yang demokratis. Di antaranya: (1)partisipasi politik yang luas; (2) kompetisi politikyang sehat; (3) sirkulasi kekuasaan yang terjaga,terkelola, dan berkala, terutama melalui prosespemilihan umum; (4) pengawasan terhadapkekuasaan yang efektif; (5) diakuinya kehendak

mayoritas; dan (6) adanya tatakrama politik yangdisepakati dalam masyarakat (Fatah, 2000).

Bagaimana sebuah sistem itu berjalan secarademokratis? Secara umum, sistem yang demokratispada hakikatnya ditandai oleh berjalannya tigaprinsip dasar. Pertama tegaknya etika danmoralitas politik sebagai landasan kerja sistempolitik, ekonomi, dan sosial. Kedua, tegaknyaprinsip konstitusionalisme, yakni tegaknyasupremasi hukum dan adanya kepatuhan padahukum dalam masyarakat. Ketiga, digunakannyamekanisme akuntabilitas atau pertanggungjawab-an publik, yakni mekanisme yang memosisikansemua pemegang jabatan publik sebagai pemegangmandat atau amanat dari rakyat.

Ada yang mengartikan demokrasi itu sebagaiteori tentang kekuasaan. Ada pula yang melihatkaidah-kaidah demokrasi sebagai teori tentang hak.Kuntowijoyo (1997) menyebut tiga substansi hak-hak asasi dalam masyarakat demokratis, yakni (1)hak politik (demokrasi politik mengenai hubungannegara dengan masyarakat); (2) hak sipil (demokrasisosial dan demokrasi ekonomi, mengenaihubungan elite dengan massa); dan (3) hakaktualisasi diri (demokrasi budaya dan demokrasiagama, mengenai hubungan negara dengan warganegara, serta hubungan antarwarga negara).

Dalam perspektif Islam, demokrasi itu tercakupdalam kaidah-kaidah: (1) ta’arruf (saling mengenal),(2) syura (musyawarah), (3) ta’awun (kerjasama,koperasi), (4) mashlahah (menguntungkanmasyarakat), dan (5) ‘adl (adil).

Pada dasarnya, ta’arruf hanya berjalan kalauada equality, persamaan. Tidak ada warga negarayang dinomorduakan. Ta’arruf mempunyai asumsiadanya liberty, kemerdekaan. Ta’arruf juga berartiadanya komunikasi dialogis. Tidak ada dominasisatu kelompok atas kelompok lain.

Syura atau musyawarah diwajibkan dalam Is-lam. Karena itu, bagi umat Islam, komitmennya padademokrasi tidak diragukan lagi. Praktikmenunjukkan, betapa Nabi sendiri menghargaimusyawarah. Misalnya, menjelang Perang Uhudantara pihak Nabi di Madinah dan kaum Quraisydi Makkah, ada dua kemungkinan yang dihadapi:bertahan dalam kota Madinah atau berperang di

Page 20: Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

MEDIATOR, Vol. 5 No.2 2004262

luar kota. Nabi mengadakan musyawarah dengankaum Muslim untuk menentukan pilihan. Nabikemudian mengalah pada kehendak mayoritas.

Dalam ta’awun atau kerjasama, ada duakepentingan yang diharuskan untuk bekerja sama,yaitu kepentingan manusia dan “kepentingan”Tuhan. Biasanya orang berbicara tentangdemokrasi dalam pengertian demokrasi politik,yaitu tidak adanya hambatan dari kekuasaan.Demokrasi yang dimengerti secara negatif, berarti“merdeka dari”. Islam menginginkan pengertianyang lebih dari itu, demokrasi perlu diperluasmenjadi kerjasama antarwarga, “merdeka untuk”,yaitu demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi.

Mashlahah sama akarnya dengan kata shalihyang berarti “baik” menurut agama. Dalam Al-Qur’an banyak dijumpai kata shalih dan katajadiannya. Shalih atau saleh dapat berarti kebaikanpada umumnya, menguntungkan di sinilah orangsering berbicara agama sebagai moral force dalamkehidupan berbangsa dan bernegara.

‘Adl atau adil. Keharusan berlaku adil banyakkita jumpai dalam Al-Qur’an. Dalam Surah An-Nisa’(4):8, misalnya, disebutkan, “Apabila menetapkanhukum di antara manusia, supaya kamumenetapkan dengan adil.” Surah Al-An’am (6):152, juga menandaskan “Dan apabila kamuberkata, maka hendaklah kamu berlaku adilkendatipun dia adalah kerabatmu.”

Lantas, bagaimana peranan pers, khususnyapers Islam, dalam proses demokratiisasi itu? Jikasaja para insan pers Islam memahami maknademokratisasi, memahami ciri pokok sebuah sistemdemokratis, bisa menjiwai kaidah-kaidahdemokrasi, dan utamanya memiliki tekad sertakemauan yang kuat untuk mengaplikasikannyadalam manajemen penerbitan pers dan praktikjurnalistik mereka, saya kira reputasi dankredibilitas penerbitan pers Islam akan memilikiperan yang menentukan dalam prosesdemokratisasi di Indonesia ini.

Bagaimanapun, demokrasi itu bukanlahsistem yang mudah dan murah. Salah satusebabnya, demokrasi merupakan sistem yangdipenuhi oleh banyak paradoks (dua halbertentangan yang mesti diwujudkan dalam waktu

yang bersamaan). Beberapa paradoks yang adadalam demokrasi adalah: (1) kebebasan danketeraturan atau keleluasaan dan kontrol; (2)kompetisi dan persamaan; (3) pengawasan yangefektif dan pemerintahan yang kuat; (4) dunamikadan stabilitas; serta (5) kesejahteraan dan keadilan.

Akhirnya, oleh karena demokrasi merupakansesuatu yang tidak mudah dan tidak murah, prosesdemokratisasi, tentu saja, selalu membutuhkanwaktu dan biaya. Setiap negara mengalami prosesdemokratisasi dalam rentang waktu yang berbeda-beda.

Catatan:

Tulisan ini pernah disampaikan pada Seminar “Peran MediaIslam dalam Demokratisasi di Indonesia” yangdiselenggarakan Lembaga Kajian Islam dan Sosial(LkiS), Yogyakarta, di Kampus Institut TeknologiBandung (ITB), 7 Oktober 2004.

Daftar PustakaA. BukuAssegaff, Dja’far H. 1993. Islam dan Tantangan

Abad Informasi: Tebaran Tulisan tentangPers dan Dakwah dalam Era GlobalisasiInformasi. Jakarta: Media Sejahtera.

Badan Litbang Penerangan. 1981. Almanak PersIndonesia 1981 . Jakarta: DepartemenPenerangan RI.

Baharun, M. 1996. Opini Keislaman Aktual.Jakarta: PT Pustaka Firdaus.

Effendy, Bahtiar. 2002. “Islam, Demokrasi, danModal Sosial”. Pengantar dalam Mun’im A.Sirry. Dilema Islam Dilema Demokrasi.Bekasi: PT Gugus Press. Hlm. Xiii-xxiii.

Fatah, Eep Saefulloh. 2000. Zaman Kesempatan;Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca-Orde Baru. Bandung: Mizan.

Hamka, Rusjdi. 1989. “Kepeloporan Pers Islam dan30 Tahun Panji Masyarakat,” dalam Hamka,Rusjdi dan Rafiq (ed.). Islam dan Era

M

Page 21: Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

263Alex Sobur. Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses Demokratisasi di Indonesia

Informasi. Jakarta: Pustaka Panjimas, hlm. 229-248.

Hanazaki, Yasuo. 1998. Pers Terjebak. PenerjemahDanang Kukuh Wardoyo dan Tim Cipinang.Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.

Junaedhie, Kurniawan. 1995. Rahasia DapurMajalah di Indonesia. Jakarta: PT GramediaPustaka Utama.

Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam.Bandung: Mizan.

Lesmana, Tjipta. 1995. Pornografi dalam MediaMassa. Jakarta: Puspa Swara.

Maulani, Z.A. 2003. Zionisme: GerakanMenaklukkan Dunia. Jakarta: PustakaAmanah.

Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi, SuatuPengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Rakhmat, Jalaluddin. 1991. Islam Aktual; Refleksi-Sosial Seorang Cendekiawan Muslim.Bandung: Mizan.

Rasyid, Daud. “Membentengi Islam dari BerbagaiDistorsi Pemikiran.” Pengantar dalam AdianHusaini. Penyesatan Opini. Jakarta: GemaInsani Press. Hlm vii-xii.

Said, Edward W. 1981. Covering Islam, How theMedia and the Expert Determine How We Seethe Rest of the World. London: Routledge &Kegan Paul.

Said, Tribuana. 1988. Sejarah Pers Nasional danPembangunan Pers Pancasila. Jakarta: CVHaji Masagung.

Sardar, Ziauddin. 1988. Tantangan Dunia IslamAbad 21: Menjangkau Informasi. PenerjemahA.E. Priyono dan Ilyas Hasan.Bandung:Mizan.

Sirry, Mun’im A. 2002. Dilema Islam DilemaDemokrasi. Bekasi PT Gugus Press.

Sobur, Alex. 2001. Etika Pers: Profesionalismedengan Nurani. Bandung: Humaniora UtamaPress.

Sophiaan, Ainur Rofiq. 1993. Tantangan MediaInformasi Islam: Antara Profesionalisme &Dominasi Zionis. Surabaya: Risalah Gusti.

Sudibyo, Hamad, Qodari. 2001. Kabar-KabarKebencian: Prasangka Agama di MediaMassa. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi(ISAI).

Susanto, AB. 2001. Potret-Potret Gaya Hidup Me-tropolis. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

B. Jurnal, Surat Kabar, dan MajalahAbdullah, Aslam. 1988. “Menuju Pembangunan

Pers Islam.” Penerjemah Deddy Mulyana.Bandung: Lembaran Jum’atan Salam, No.14/5-11 Pebruari 1988. Hlm14.

______. 1987. “Focus on the Muslim Media”. Is-lamic World Review. Vol.6, No.68, April 1987.

Anwar, H. Rosihan. 1993. “Pers Islam Indonesia,Mampukah Bangkit?”. Bandung: Hikmah, 9Februari 1993. Hlm. 4.

Assegaff, Dja’far. 1992. “Pers Islam dalam DinamikaPers Nasional: Sebuah Tinjauan dari SegiProfesionalisme Jurnalistik.” Jakarta: Reporter24/V/Des. 1992-Januari 1993. Hlm. 4-5.

Edwin, Donni, et. al. 2000. “Pers Islam dan NegaraOrde Baru.” Jakarta: Republika, 26 April 2000.Hlm. 19.

______. 2000. “Pers Islam: Di Antara AspirasiPolitik dan Modal”. Jakarta: Republika, 26April 2000. Hlm.20.

El-Affendy, Abdelwahab. 1993. “The Eclipse ofReason: Media in The Muslim World.” DalamJournal of International Affairs 47:1 (Sum-mer 1993).

Hamka, Rusjdi. 1989. “Membidik Pangsa PasarMedia Islam”. Reporter No.3/Tahun I/Juni-Juli1989. Hlm. 21-23.

Hamzah, Nusyirwan. 1992. “Pengaruh Keterlibatandalam Kegiatan Profesi terhadapProfesionalisme: Studi di Kalangan Dokter”.Jurnal Sosiologi Masyarakat No.1. Jakarta:

Page 22: Peran Pers Islam dalam Upaya Mendorong Proses ...

MEDIATOR, Vol. 5 No.2 2004264

Jurusan Sosiologi FISIP UI & PT GramediaPustaka Utama.

Kompas. 2004. “Selamat Pak SBY, Terima Kasih BuMegawati.” Tajuk Rencana. 5 Oktober 2004.Hlm. 4.

______. 2004. “Dunia Sambut Baik Yudhoyono.”6 Oktober 2004. Hlm.1

Latif, Y. dan Idi Subandi. 1993. “Republika danWajah Pers Kita.” Jakarta: Republika, 7Februari 1993. Hlm.3.

Muhammad, Agus. 2001. “Jihad Lewat Tulisan”.Pantau, Kajian Media dan Jurnalisme. Juli2001. Hlm 11-16.

Mulyana, Deddy. 2000. “Aneh, Umat Islam Indo-nesia...” Bandung: Hikmah, 1 Pebruari 2000.Hlm. 5.

Panji Masyarakat. 1986. “Majalah Al Munir Me-dia Dakwah Kaum Muda”. Jakarta. No. 493, 1Februari 1986. Hlm. 9-11.

Pelita. 1993. “Selamat Datang Republika”. Jakarta.5 Januari 1993. Hlm.1.

Pikiran Rakyat. 2004. “George Bush Puji SBY.” 6Oktober 2004. Hlm. 1.

Samantho, Ahmad Y. 2002. Jurnalistik Islami.Bandung: Harakah.

Suara Karya. 1993. “Republika Berjanji KritikPenguasa”. Jakarta. 4 Januari 1993. Hlm.1

Usep, H. 2000. “Media Massa Islam: AntaraKebutuhan dan Ketakpedulian.” Bandung:Hikmah, 1 Pebruari 2000. Hlm.5

C. MakalahAzra, Azyumardi. 1994. “Pers Islam: Peluang dan

Tantangan.” Makalah. Disampaikan padaSaresehan Milad I Tabloid Mingguan Hikmah.Bandung, 3 Pebruari 1994.

Dahlan, M. Alwi. 1991. “Wajah Pers Islam MasaKini”. Makalah. Disampaikan pada SeminarKontribusi Cendekiawan Muslim bagiPengembangan Pers yang Islami, 16-17 Maret1991. Bandung: Senat Mahasiswa FakultasIlmu Komunikasi Universitas Islam Bandung(Fikom Unisba).

M M M