PERAN PEREMPUAN DALAM RUANG PUBLIK DAN...
Transcript of PERAN PEREMPUAN DALAM RUANG PUBLIK DAN...
i
PERAN PEREMPUAN DALAM RUANG PUBLIK DAN
DOMESTIK
(Studi Pemikiran Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah AS)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
MUHAMAD ABI AULIA
NIM: 1113044000001
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439 H/2017 M
v
ABSTRAK
Muhamad Abi Aulia. NIM 1113044000001. PERAN PEREMPUAN
DALAM RUANG PUBLIK DAN DOMESTIK (Studi Pemikiran Prof. Dr.
Hj. Tutty Alawiyah AS). Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/ 2017 M. x
+ 80 halaman.
Persoalan mengenai perempuan tidak akan ada habisnya, ketika idealitas
agama memberikan peran dan aktualisasi atas hak-hak dasar kaum perempuan,
seperti yang diberikan kepada kaum laki-laki, realitas sosial justru membatasi dan
membelenggunya. Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah merupakan seorang tokoh yang
memberikan ruang terhadap perempuan untuk mengembangkan potensi yang
dimiliki. Tujuan dari penelitian ini adalah a) Untuk mengetahui dan memberikan
gambaran yang jelas pemikiran Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah tentang peran
perempuan dalam ruang publik dan domestik. b) Untuk mengetahui dan
menjelaskan korelasi pemikiran Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah tentang peran
perempuan dengan hak- hak perempuan dalam Islam.
Jenis penelitian ini adalah library reseach. Sumber data dalam penelitian
ini adalah sumber data primer dan sekunder. Yang menjadi sumber data primer
adalah buku-buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah, sedangkan
sumber data sekunder diperoleh dari buku-buku, jurnal, artikel dan tulisan yang
berkaitan dengan judul skripsi ini, ditambah dengan hasil wawancara dengan
orang dekat Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah. Data yang terkumpul dianalisis dengan
cara deduktif agar mendapat pandangan Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah tentang
peran perempuan dalam ruang publik dan domestik.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah a) Tutty Alawiyah berpendapat
bahwa tugas suci perempuan bukan hanya sebagai makhluk domestik-reproduktif
belaka. Urusan domestik rumah tangga pada dasarnya merupakan tanggungjawab
bersama. Selanjutnya Tutty Alawiyah mengasumsikan bahwa ketika perempuan
yang memilih bekerja di ruang publik tetap dituntut mengkombinasikan dengan
kedudukannya sebagai ibu dan istri. b) Pemikiran Tutty Alawiyah tentang peran
perempuan dalam ruang domestik dan publik sesungguhnya refleksi atas ajaran
Islam yang telah lama pudar, bahwasanya Islam itu memandang mulia
perempuan. Perempuan itu mempunyai hak-hak yang sama dengan laki-laki
dalam berbagai sektor kehidupan, baik politik, ekonomi, hukum, dan pendidikan,
beserta akses terhadap sumber-sumber pembangunan. Islam sesungguhnya telah
membuktikan diri sebagai agama modern yang penuh gagasan dan cita-cita sosial
yang amat tinggi. Islam mendobrak keterbelakangan dan melepaskan belenggu
yang mengikat harkat kemanusiaan.
Kata kunci : Peran Perempuan , Publik, Domestik, Prof. Dr. Hj. Tutty
Alawiyah AS
Pembimbing : Dr. Hj. Mesraini, S.H, M.A
Daftar Pustaka : Tahun 1991 s.d Tahun 2017.
vi
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحن الرحيم
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan rahmat, taufik, dan
hidayah-Nya, Sholawat dan salam tak lupa kita curahkan kepada junjungan kita
Nabi Besar Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabatnya, yang telah
mendidik kita sebagai umatnya untuk menuju jalan kebenaran.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat tantangan dan
hambatan, namun berkat rahmat dan inayah-Nya, kesungguhan seta dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak, segala tantangan dan hambatan itu dapat diatasi
dengan sebaik-baiknya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh
karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. dan Indra Rahmatullah S.H.I., M.H., Ketua
dan Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Hj. Mesraini, S.H, M.A., Pembimbing skripsi yang dengan tulus ikhlas
meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan arahan serta saran-
saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. Dosen Penasehat Akademik yang telah
memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis.
5. Keluarga Besar Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah AS yang telah mengizinkan
dan memberikan dukungan terhadap penulisan skripsi ini, khususnya
kepada Dra. Hj. Nurfitria Farhana, SE yang telah berkenan menjadi
narasumber dalam skripsi ini.
6. Segenap Bapak dan Ibu dosen serta staf pengajar pada lingkungan
program studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku
perkuliahan.
7. Segenap jajaran Staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu
penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
8. Orang tua penulis, Ayahanda tercinta Jumadi dan juga Ibunda Napsiah,
serta keluarga besar, terimakasih atas segala cinta dan kasih sayang serta
luapan doa yang tak pernah putus setiap harinya, yang selalu menyertai
langkahku serta segenap pengorbanannya tanpa keluh kesah.
9. Segenap guru-guru penulis, Ustadz Alwi, Habib Abdurrahman, Habib Ali
yang selalu membimbing, memotivasi dan mendoakan penulis setiap saat.
10. Para sahabat dan kawan seperjuangan Hukum Keluarga 2013, baik dalam
lingkup Formasas, AKI, Tim Hadrah al-Ahsan al-Tanwir dan juga kepada
teman-teman yang ada di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Terimakasih telah mewarnai hidup penulis ketika di Ciputat.
11. Para sahabat penghuni kos Asmara, Abangda Nidhami, Syafaat, Subhan,
Fuad, Aji, H.Cecep, Icad, Fatir, Alwi, Kholis, yang telah menerima
kedatangan penulis tanpa pamrih sekedar bercerita, diskusi dan bermain
bersama. Mudah-mudahan Allah meridhai langkah kehidupan kalian.
12. Sahabat istimewa Alfan, Tami, Harun, Anies Fathieni, Hikmah, Azryani,
Ayang Lutpiani Azizi, teman-teman KKN Maritim 99, Al-Kawakib, dan
Nurul Habib, terimakasih atas cinta kasihnya. Semoga kelak Allah ta‟ala
kumpulkan kalian bersama yang dicinta.
13. Kepada mereka yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah
membantu dan memberikan doa, semangat serta motivasi kepada penulis.
Semoga amal dan jasa mereka yang telah membantu penulis dalam
penyusunan skripsi ini diterima oleh Allah SWT dan dibalasnya dengan pahala
yang berlipat ganda. Penulis mengakui bahwa skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna karena keterbatasan pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman yang
dimilik penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan.
Akhirul kalam, semoga skripsi ini dengan kelebihan dan kekurangan yang
terdapat di dalamnya, kiranya memberi manfaat kepada para pembacanya.
vii
Jakarta, 27 Desember 2017
Penulis
Muhamad Abi Aulia
viii
iv
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................. iv
ABSTRAK ......................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................... ix
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................. 1
B. Identifikasi Masalah .................................................... 5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................... 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................... 6
E. Review Studi Terdahulu ............................................. 7
F. Metode penelitian ....................................................... 8
G. Sistematika Penulisan ................................................. 9
BAB II PERSPEKTIF ISLAM TENTANG PEREMPUAN
A. Prinsip Dasar Relasi Laki-laki dan Perempuan
dalam Islam ................................................................. 11
B. Hak dan Kewajiban Perempuan dalam Ruang Domestik 19
C. Hak dan Kewajiban Perempuan dalam Ruang Publik 30
BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN PROF. DR. HJ. TUTTY
ALAWIYAH AS
A. Biografi Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah AS ................. 39
B. Rekam Jejak Perjuangan Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah
dan Karya-karyanya ................................................... 42
C. Pemikiran Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah Tentang Peran
Perempuan dalam Islam .............................................. 47
BAB IV ANALISA ATAS PEMIKIRAN PROF. DR. HJ. TUTTY
ALAWIYAH AS TENTANG PERAN PEREMPUAN DALAM
RUANG PUBLIK DAN DOMESTIK
A. Kedudukan Perempuan ............................................... 57
B. Hak dan Kewajiban Perempuan dalam Ruang Domestik 61
C. Hak dan Kewajiban Perempuan dalam Ruang Publik 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................. 74
B. Saran ........................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 76
LAMPIRAN
x
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kedudukan perempuan menurut hukum Islam adalah cukup tinggi. Islam
telah menghapuskan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan.1 Pada zaman
jahiliah seorang perempuan itu dianggap sebuah aib keluarga, sehingga saat bayi
perempuan lahir ke dunia, maka ayahnya akan langsung menguburnya hidup-
hidup.
Saat Islam datang, derajat perempuan terangkat dengan sendirinya.
Perempuan dalam pandangan Islam adalah makhluk yang memiliki potensi sama
seperti apa yang dimiliki laki-laki. Perempuan diberikan hak dan kewajiban serta
kesempatan yang sama dengan pria.2 Keberadaannya dipandang sebagai mitra
sejajar dengan laki-laki secara harmonis. Tak ada perbedaan kedudukan antara
laki-laki dan perempuan, baik sebagai individu (hamba Allah), anggota keluarga,
maupun sebagai anggota masyarakat, begitu pula dalam hak dan kewajiban.3
Perempuan dan laki-laki berasal dari satu keturunan dan sama dalam
karakter kemanusiaan secara umum. Keduanya adalah sama dalam hal beban dan
tanggung jawab, dan di akhirat kelak akan sama-sama menerima pembalasan.4
Demikian digambarkan dalam Al-Quran surat al-Nisa‟ ayat 1 Allah ta‟ala
berfirman:
ا حأ ا ي ا وبد ا زوج جفس وخدة وخيق ي خيلل ٱل ربل ا ل ٱنلاس ٱت
كن غييل إن ٱلل رخامي تصاءلن ةۦ وٱل ٱل ا ٱلل ل وٱت ا ونصاءا .رقيتاارجالا نرريا
1 Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia
Indonesia,2010), Cet-1, h. 84
2 Muhammad Koderi, Bolehkah Wanita Menjadi Imam Negara, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1999), h. 49
3 Masdar Mas‟udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, (Bandung: Mizan,2000),
Cet. I, h. 197
4 Yusufi Al- Qaradhawy, Anatomi Masyarakat Islam, Penerjemah. Setiawan Budi Utomo,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), h. 293
2
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.”
Dalam konteks rumah tangga, Perempuan sebagaimana halnya dengan laki-
laki, dituntut ikut serta melaksanakan tugas-tugas ketika menjadi seorang suami.
Istri memiliki berbagai hak yang harus dipenuhi oleh suami, sebagaimana halnya
istri juga memiliki berbagai kewajiban yang harus dia penuhi untuk si suami.
Landasan pembagian hak-hak dan kewajiban tersebut adalah tradisi dan fitrah,
serta prinsip setiap hak dibalas dengan kewajiban.5 Hal ini sesuai dengan
penggalan firman Allah SWT dalam Q.s. al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi:
ػروف ةٱل ي غييرو ٱل ....ول
“... Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma´ruf....”
Bicara tentang hak dan kewajiban menurut Imam Syafi‟i dan Hambali,
seorang istri tidak wajib melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan kebutuhan
rumah tangga sehari-hari, juga tidak perlu mengurusinya, karena yang benar-benar
menjadi kewajiban bagi seorang istri adalah memberikan pelayanan yang baik
kepada “kebutuhan” suaminya.6 Menurut mazhab Syafi‟iyah istri mempunyai hak
untuk dipergauli secara ma‟ruf artinya suami harus memperlakukan istri secara
baik menurut syara‟. Suami jangan sampai menyakiti atau membuat bahaya
terhadap istri.7
5 Ali Hasan, Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media,2003), h. 152
6 Pendapat ini dikutip oleh Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan
Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), h. 210 dari kitab al- Uum karya Muhammad Idris
Asy Syafi‟i (Beirut: Dar al-Fikr, 1987) dan kitab Fiqh Al- Sunnah karya Sayyid Sabiq, (Beirut:
Dar el-Fikr, 1977)
7 Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, Syarah Uqud al-Lujjain, (Surabaya: Al-
Hidayah,1416), h. 8
3
Selanjutnya juga Quraish Shihab menjelaskan bahwa perempuan
mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan
atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut, serta pekerjaan tersebut
dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan serta dapat pula menghindari
dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.8
Namun realitasnya, umumnya kehidupan perempuan di Indonesia ini, ke
mitra sejajaran antara suami dan istri belum sepenuhnya terwujud. Hal ini tidak
lain disebabkan masih adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam
mewujudkan ke mitra sejajaran.
Perbincangan mengenai perempuan antara cita dan fakta ini mengharuskan
kita melihat dua sudut pandang yang berbeda. Pertama, sudut cita-ideal
perempuan muslimah seperti yang diajarkan atau dijelaskan dalam Al- Quran dan
Al- sunah. Kedua, sudut realita atau kenyataan perempuan muslimah secara
objektif dalam realitas masyarakat (sejarah). Persoalan sesungguhnya timbul
manakala ada kesenjangan (disparitas) antara cita-idealitas dengan fakta- fakta
perempuan dalam dimensi ruang dan waktu.9
Dalam kenyataan keseharian, nampak adanya kesenjangan dan
ketimpangan antara idealitas agama dan realitas sosial. Ketika idealitas agama
memberikan peran dan aktualisasi atas hak-hak dasar kaum perempuan, seperti
yang diberikan kepada kaum laki-laki, realitas sosial justru membatasi dan
membelenggunya. Kesenjangan seperti ini tentu perlu dihilangkan melalui upaya-
upaya intelektual yang kritis dan menerobos terhadap teks-teks keagamaan yang
dijadikan pedoman.
Berangkat dari hal tersebut, penyusun tertarik menghadirkan salah satu
pemikir Islam yang mempunyai pandangan tentang peran perempuan yaitu Prof.
Dr. Hj. Tutty Alawiyah AS. Ketertarikan ini disebabkan beberapa hal, di
8 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan,1992), h. 275
9 A. Ilyas Ismail, et.al, ed, 70 Tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
kemajuan dan Peradaban, (Jakarta: UIA Press, 2012), h. 317
4
antaranya: Pertama, Prof. Tutty Alawiyah seorang tokoh yang mampu menekuni
dan berkiprah hampir dalam semua sektor kehidupan, mulai dari agama dan
keulamaan, dakwah, pendidikan, politik, pemberdayaan perempuan, sosial
ekonomi, hingga seni dan budaya Islam.10
Kedua, beliau seorang ulama perempuan yang pernah menjabat sebagai
Menteri Peranan Wanita pada Kabinet Pembangunan VII dan Kabinet Reformasi
Pembangunan. Ketiga, beliau juga pernah menjabat sebagai Rektor Universitas
Islam Assyafi‟iyah, Ketua Umum Pengurus Pusat Badan Kontak Majelis Taklim
(BMKT), Ketua Umum Al Ittihadu Annisa‟i Al Islami Al „Alami atau
International Moslem Women Union (IMWU) dan jabatan penting lainnya.11
Keempat, beliau juga produktif dalam berdakwah baik dalam seminar,
acara keagamaan, maupun dalam media elektronik. Dan juga produktif berkarya
lewat menulis beberapa buku tentang perempuan, jurnal dan artikel yang telah
tersebar di penjuru nusantara maupun mancanegara.12 Seperti buku Women In
Islam: Past, Present, Future, selanjutnya ada Wanita Dalam Nuansa Peradaban,
Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, Kata dan Perbuatan, Menggapai
panggung dunia dan buku lainnya.13
Meski beliau tidak bersinggungan langsung dengan masalah-masalah yang
berkenaan dengan hukum, namun sebagai ulama, pendidik, pengajar yang penuh
dedikasi terhadap murid serta masyarakat tentunya beliau mempunyai pandangan
tersendiri tentang isu-isu kontemporer mengenai hukum agama terlebih lagi pada
masalah perempuan.
Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah AS berpendapat peran perempuan lebih
strategis dalam mewujudkan ketahanan keluarga dan masyarakat dengan
10
http://uia.ac.id/index/2016/12/19/biografi-prof-dr-hj-tutty-alawiyah-as-ma/, diakses
pada 17 Juli 2017.
11
Zainal Arifin Hoesein, et.al, ed., 70 Tahun Tutty Alawiyah Mereka Bicara Tentang
“Kak Tutty” , (Jakarta: UIA Press, 2012), h. 187
12
Tutty Alawiyah, Women in Islam Past, Present, Future, (Jakarta: diterbitkan atas kerja
sama BMKT, IMWU dan UIA, 2002), h. 127
13
A. Ilyas Ismail, et.al, ed, 70 Tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
kemajuan dan Peradaban, h. 44
5
berpegang pada nilai-nilai moral dan agama.14
Peran perempuan yang penting
sekali ialah dalam pendidikan keluarga. Namun dalam peran itu tidak berarti
perempuan tak punya kesempatan untuk berkarier. Dengan persetujuan suami dan
sesuai dengan tingkat pendidikan, tak ada halangan bagi perempuan untuk
berkarier. Dengan catatan tidak boleh melupakan peran pendidikan terhadap anak
dengan tanggung jawab pada suami. Peran itu timbul daripada adanya hak dan
kewajiban.15
Menurutnya, kaum perempuan mempunyai hak untuk berperan
dalam pembangunan seperti halnya kaum pria, sebagaimana diperlihatkan dalam
berbagai peristiwa sejarah. Nilai ajaran Islam mendudukkan hak perempuan
dalam martabat yang sama dengan pria.16
Meski secara eksplisit tidak menyebutkan bahwa pandangan tersebut
adalah pandangan perempuan Betawi, yang notabennya orang Betawi ialah
menganut budaya patriarkhi. Tetapi yang diutarakan oleh Prof. Dr. Hj. Tutty
Alawiyah AS itu lekat dengan pemikiran Islam yang moderat.
Oleh sebab itu, penulis memiliki ketertarikan untuk mengkaji lebih dalam
lagi mengenai pemikiran Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah AS yang penulis tuangkan
dalam penelitian yang berjudul, “PERAN PEREMPUAN DALAM RUANG
PUBLIK DAN DOMESTIK (Studi Pemikiran Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah
AS)”
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana kedudukan perempuan dalam Islam ?
2. Bagaimana peran perempuan dalam Islam ?
3. Apa saja hak-hak perempuan dalam Islam ?
4. Apa saja kewajiban perempuan dalam Islam ?
5. Bagaimana pandangan Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah tentang peran perempuan
dalam ruang domestik dan publik ?
14
Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, (Jakarta: Legasi,2002), h.
38
15
Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, h. xii
16
Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, h. 39
6
6. Bagaimana korelasi pemikiran Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah mengenai peran
perempuan dengan hak- hak perempuan dalam Islam ?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar tidak mengalami pelebaran dan mempermudah penelitian yang
dibahas dalam skripsi ini, penulis ingin membatasi dengan hal-hal yang
berkaitan dengan Pemikiran Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah AS tentang peran
perempuan dalam ruang domestik dan publik saja, tidak membahas pemikiran
beliau tentang hal lainnya.
2. Perumusan masalah
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini, agar lebih jelas pokok
permasalahannya, maka penulis merumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana pandangan Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah tentang peran
perempuan dalam ruang domestik dan publik ?
b. Bagaimana korelasi pemikiran Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah mengenai
peran perempuan dengan hak- hak perempuan dalam Hukum Islam ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
a. Untuk mengetahui dan memberikan gambaran yang jelas bagaimana
pemikiran Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah tentang peran perempuan dalam
ruang publik dan domestik.
b. Untuk mengetahui dan menjelaskan korelasi pemikiran Prof. Dr. Hj.
Tutty Alawiyah tentang peran perempuan dengan hak- hak perempuan
dalam Islam.
2. Manfaat penelitian
a. Teoritis
1) Memberikan wawasan pengetahuan kepada masyarakat tentang
bagaimana peran perempuan menurut pandangan Prof. Dr. Hj. Tutty
Alawiyah.
7
2) Mengetahui korelasi pemikiran pemikiran Prof. Dr. Hj. Tutty
Alawiyah tentang peran perempuan dengan hak-hak perempuan dalam
Islam.
b. Praktis
1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan
dalam bidang hukum Islam, terutama dalam bidang hukum keluarga.
2) Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi
penelitian selanjutnya terutama mengenai pembahasan peran
perempuan dalam Islam.
E. Review Studi Terdahulu
1. Husnul Alfia Aulia, Pemikiran Prof. Dr.Hj. Huzaemah Tahido Yanggo
Mengenai Peran Perempuan dalam Islam, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan
Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2016. Skripsi ini membahas
mengenai peran perempuan dalam Islam yang lebih membahas kepada
pembahasan peran perempuan karier dalam Islam juga mendeskripsikan
pandangan Huzaemah Tahido Yanggo tentang perempuan karier.
2. Ulfah Abdullah, Hak-hak Perempuan dalam Keluarga Menurut Pandangan
Asma Barlas, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2016. Skripsi ini membahas bagaimana
metodologi pemikiran Asma Barlas dan bagaimana hak-hak perempuan
dalam wilayah keluarga menurut Asma Barlas. Adapun menurut Barlas, hak
perempuan dalam keluarga itu ada hak sebagai istri dan juga hak sebagai
orang tua.
3. Ziadatun Ni‟mah, Wanita Karier dalam Perspektif Hukum Islam (Studi
Pandangan K.H Husein Muhammad), skripsi S1 Fakultas Syariah, UIN
Sunan Kali Jaga Yogyakarta Tahun 2009. Skripsi ini membahas mengenai
pandangan Husein Muhammad terhadap perempuan karier bahwa perempuan
karier itu merupakan perempuan yang mandiri, bekerja menghidupi dirinya
sendiri dan Husein melihat bahwa pria dan perempuan yang sudah dewasa
berhak bekerja di mana saja, di dalam rumah maupun di luar rumah.
8
Sedangkan dalam penelitian ini penulis membahas mengenai pandangan
Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah tentang peran perempuan dalam ruang publik dan
domestik yang dikaitkan dengan hak-hak perempuan yang nantinya adanya
korelasi antara peran perempuan dengan hak-hak perempuan dalam hukum Islam
tersebut. Penjelasan Hak-hak perempuan sebagai makhluk, sebagai istri, sebagai
anak, juga sebagai orang tua serta partisipasinya dalam membangun bangsa.
F. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data dan fakta dalam penelitian ini, penulis
menggunakan beberapa langkah sebagai berikut.
1. Jenis Penelitian
Penelitian skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research),
yaitu penelitian yang kajiannya dilakukan dengan menelusuri dan menelaah
literatur atau penelitian yang difokuskan pada bahan-bahan pustaka. Sumber-
sumber data yang diperoleh dari berbagai karya tulis seperti buku, artikel,
jurnal, yang secara langsung maupun tidak langsung membicarakan persoalan
yang diteliti.
2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menyusun berdasarkan sumber
data yang terbagi ke dalam dua kriteria, yaitu sumber data utama (primer) dan
sumber data tambahan (sekunder) ialah :
a. Sumber Data Primer
Adapun sumber data primer yang digunakan ialah buku karya Prof. Dr.
Hj. Tutty Alawiyah AS yang berjudul Perempuan dan Masyarakat
Pembelajaran, dan Women in Islam Past, Present, Future.
b. Sumber Data Sekunder
Di dalam penelitian ini, digunakan pula data sekunder yang memiliki
kekuatan mengikat. Seperti buku, makalah seminar, jurnal, laporan
penelitian, artikel, majalah, dan situs yang di dapat melalui sumber-
sumber yang akurat serta ditambah dengan hasil wawancara.
9
3. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis deduktif yaitu metode yang
dipakai untuk menganalisa data yang bersifat umum dan memiliki unsur
kesamaan sehingga digeneralisasikan menjadi kesimpulan khusus. Analisa
dilakukan dengan terlebih dahulu menjelaskan pemikiran Prof. Dr. Hj. Tutty
Alawiyah mengenai peran perempuan dalam ruang domestik dan publik
secara umum lalu ditarik kesimpulan khusus.
4. Pedoman Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah
berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Pusat
Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan, skripsi ini dibagi atas lima
bab yang saling berkaitan satu sama lain.
Bab pertama dalam penelitian ini berisi pendahuluan yang meliputi latar
belakang yang menjadi dasar mengapa penulisan ini diperlukan, identifikasi
masalah, pembahasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Kemudian bab dua, membahas teori tentang perspektif Islam tentang
perempuan, meliputi tentang prinsip dasar relasi laki-laki dan perempuan dalam
Islam, hak dan kewajiban perempuan dalam ruang domestik, serta hak dan
kewajiban perempuan dalam ruang publik.
Bab tiga, dalam bab ini peneliti menguraikan secara singkat riwayat hidup
tokoh yang menjadi objek penelitian. Rekam jejak perjuangan Prof. Dr. Hj. Tutty
Alawiyah dan karya-karyanya, serta pemikiran Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah
tentang peran perempuan dalam ruang domestik dan publik.
Selanjutnya adalah bab empat, pada bab ini lah pandangan Prof. Dr. Hj. Tutty
Alawiyah dianalisis, yaitu pandangan beliau tentang kedudukan perempuan, hak
10
dan kewajiban perempuan dalam ruang domestik serta hak dan kewajiban
perempuan dalam ruang publik. Adapun bab lima, merupakan bab terakhir dari
rangkaian bab-bab yang ada dalam skripsi ini. Bab ini berisikan kesimpulan-
kesimpulan dari penelitian serta saran-saran. Bab ini merupakan penutup dari
serangkaian penelitian yang dilakukan oleh peneliti.
11
BAB II
PERSPEKTIF ISLAM TENTANG PEREMPUAN
A. Prinsip Dasar Relasi Laki-laki dan Perempuan
Sebelum Islam, perempuan selalu berada di bawah kezaliman kaum laki-
laki. Kepada kaum perempuan tidak diberi kebebasan dalam segala urusan,
bahkan mayoritas mereka tidak diberi kesempatan untuk menikmati kehidupan
dan tidak mendapat perlindungan hukum untuk memperoleh hak-haknya.
Bangsa-bangsa kuno pada umumnya menganggap perempuan itu rendah
derajatnya, bahkan ada yang menganggap bahwa perempuan bukan dari jenis
manusia. Menurut Mustaghiri Asrar, dikutip dari buku Prof. Huzaemah T.
Yanggo, dilihat dari kacamata tata tertib hukum maupun kebudayaan, hampir
tidak ada bangsa-bangsa kuno yang mendudukkan perempuan pada kedudukan
yang wajar.1
Sebut saja perempuan di mata orang-orang Romawi. Di zaman Romawi
orang-orangnya memiliki semboyan yang cukup terkenal, “Perempuan itu tidak
punya ruh”, kaum perempuan mengalami berbagai macam siksaan yang kejam.
Betapa tidak, sering kali mereka harus menahan panasnya minyak yang
dituangkan ke tubuhnya yang sudah diikat pada sebuah tiang.2
Pada zaman jahiliah, masyarakat Arab sebelum Islam, nasib perempuan di
Arab tidak jauh berbeda dengan nasib kaum perempuan di tempat lain. Hak-hak
mereka dirampas. Di antara mereka ada yang merasa malu dan bosan menerima
kehadiran bayi perempuan, karena kelahirannya dianggap membawa malapetaka
dan sial bagi keluarga serta dianggap membawa aib, sehingga mereka banyak
melakukan pembunuhan terhadap bayi-bayi perempuan, sebagaimana disebutkan
dengan jelas dalam surat al-Nahl ayat 58-59 :
1 Huzaemah T. Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, (Palu: YAMIBA, 2013), h. 1
2 Hayfa binti Mubarok al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah, (Jakarta: Darul Falah,
1998), h. 5
12
ر أحدهم بٱألنثى ظل وجهه ر به .مسودا وهو كظيم ۥوإذا بش رى من ٱلقوم من سوء ما بش ۦ ي ت و
ه ۥأيسكه راب ۥعلى هون أم يدس . أل ساء ما يكمون ف ٱلت
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran)
anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung
kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?.
Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”.
Praktik- praktik tersebut dihapuskan oleh Islam dan sekaligus melakukan
usaha emansipasi yang pertama dalam sejarah. Kedatangan agama Islam ke dunia
ini, membawa kabar gembira bagi kaum perempuan yang direndahkan
kedudukannya sebelumnya. Kepada kaum perempuan, Islam mengangkat dan
menghormati serta diberinya hak yang sesuai dengan keadilan.
Kaum perempuan diberikan peran yang belum pernah diberikan oleh
agama-agama sebelumnya, maupun oleh undang-undang sebelumnya, bahkan
Islam memberikan perhatian khusus kepada kaum perempuan, terbukti dengan
ditetapkannya perempuan sebagai salah satu nama surah di dalam Al- Quran yaitu
surah al-Nisa‟, sebagian besar ayat-ayat dalam surah ini membicarakan hal-hal
yang berhubungan dengan perempuan, utamanya yang berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap perempuan.3
Namun demikian, masih banyak orang berbicara tentang kedudukan
perempuan dalam Islam dan mereka pun menuduh, bahwa Islam telah memerkosa
hak perempuan, menurunkan derajatnya dan menjadikan sebagai barang mainan
kaum lelaki, di mana mereka boleh bertindak sewenang-wenang terhadap kaum
perempuan, kapan pun dan dalam bentuk apa saja.
Pandangan-pandangan kontroversial seputar kedudukan perempuan yang
telah diberikan oleh Islam itu karena pengaruh penafsiran terhadap teks-teks
sumber ajaran Islam itu sendiri, baik karena pengaruh persepsi laki-laki atau
3 Huzaemah T. Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, h. 3
13
perempuan yang menafsirkannya. Yang keduanya kemungkinan dipengaruhi oleh
ajaran agama-agama di luar Islam dan kemungkinan karena dipengaruhi oleh
budaya dan tradisi.4
Dalam hadis Nabi Muhammad SAW dijelaskan mengenai penciptaan
perempuan pertama kali (Hawa). Di mana penciptaan perempuan tersebut berasal
dari tulang rusuk laki-laki.
ة نريب ا أ ث خد شجع
ة ال يس زاندة خ خ ع ا خصي ب ث خزام كال خد ومس ب
كال خ ريرة رض الل ب أ ب خازم خ
أ ا :خ اشخص غيي وشي صل الل كال رشل الل
نس ةاىنص تج حلي غله ـإن ذيع أ ء ف الظ ج ش غ
طيع إون أ ة خيلج
رأ اء ـإن ال ح
ا ةاىنصاء ج ـاشخص غ يزل أ ل 5إون حركخ
“Telah bercerita kepada kami Abu Kuraib dan Musa bin Hizam keduanya
berkata, telah bercerita kepada kami Husain bin "Ali dari Za'idah dari Maisarah
Al Asyka'iy dari Abu Hazim dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Nasihatilah para perempuan
karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok dan yang paling
bengkok dari tulang rusuk adalah pangkalnya, jika kamu mencoba untuk
meluruskannya maka dia akan patah namun bila kamu biarkan maka dia akan
tetap bengkok. Untuk itu nasihatilah para perempuan".
Hadis ini dipahami oleh ulama terdahulu secara harfiah. Sebenarnya hadis
ini bermaksud untuk memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan
dengan bijaksana karena ada sifat dan kecenderungan mereka yang tidak sama
dengan laki-laki, yang bila tidak disadari akan mengantarkan kaum lelaki untuk
berperilaku tidak wajar. Siapa pun tidak akan mampu mengubah kodrat, termasuk
kodrat perempuan. Kalau ada yang memaksakan perubahan itu, akibatnya akan
fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok. Anggapan
kata bengkok di sini hanyalah ilustrasi yang diberikan Nabi SAW. Terhadap
4 Huzaemah T. Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, h. 5
5 Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Libanon: Dar el-Fikr, t.tp), no.
Hadis : 3084 Juz: 3 h. 1212
14
persepsi yang keliru dari sementara lelaki menyangkut sifat perempuan sehingga
para lelaki itu memaksakan untuk meluruskannya.6
Ulama kontemporer seperti Muhammad Abduh, al- Qasimy dan Rasyid
Ridha, mereka mengatakan bahwa tidak ada petunjuk yang pasti dari ayat Al-
Quran yang dapat mengantar kita untuk menyatakan bahwa perempuan diciptakan
dari tulang rusuk. Penciptaan manusia setelah Adam dan Hawa tidak lagi
sebagaimana dilakukan Allah terhadap Nabi Adam as melalui primodial yang
berasal dari tanah liat kering dari unsur lumpur hitam yang diberi bentuk, yaitu
primodial (bentuk pertama kali) sebagaimana disebutkan dalam Q.s al-Hijr ayat
26 :7
ن ا ٱل لن وىلد خي ص حإ صيصو س
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah
liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.”
Al- Quran menempatkan kaum laki-laki dan perempuan sebagai dua jenis
makhluk yang mempunyai status yang sama, baik dalam posisi dan kapasitasnya
sebagai pengabdi kepada Tuhan („abid), maupun sebagai wakil Tuhan di bumi
(khalifah). Antara satu dengan lainnya tidak terdapat superioritas, baik dilihat dari
segi asal-usul dan proses penciptaan maupun dilihat dari struktur sosial
masyarakat Islam.8
Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada
Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam Q.s al-Zariyat ayat 56 :
وٱلنس إل لػتدون ا خيلج ٱجل و
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku”.
6 Quraish Shihab, Perempuan, (Ciputat: Lentera Hati, 2011), cet-VII, h. 44
7 Huzaemah T. Yanggo, Hukum Keluarga Dalam Islam, h. 21
8 Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam Islam, (Jakarta: lembaga Kajian
Agama dan Jender, 1999), cet-1, h. 35
15
Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-
laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk
menjadi hamba ideal. Hamba yang ideal dalam Al- Quran biasa diistilahkan
dengan orang-orang yang bertakwa (muttaqun). Dan untuk mencapai derajat
takwa, tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok
etnis tertentu. Al- Quran menjelaskan dalam surat al-Hujurat ayat 13 :
إن ا شػباا وقتانو لػارـ ث وجػينل ذنر وأ ا ٱنلاس إا خيلنل ح
أ ي ل كر
أ
ختري غيي إن ٱلل ل تلى أ .غد ٱلل
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Ayat di atas menegaskan bahwa tidak ada perbedaan kedudukan laki-laki
dan perempuan. Perbedaan dan kelebihan di antara mereka yang dijadikan ukuran
untuk meninggikan dan merendahkan derajat mereka hanyalah nilai pengabdian
dan ketakwaannya kepada Allah SWT.9
Selanjutnya dalam firman Allah SWT dalam surat al-Taubah ayat 71 :
هر وي ٱل ن غ ػروف وي
مرون ةٱلولاء بػض يأ
أ نج بػظ ؤ ن وٱل ؤ ن وٱل لي
ي غزيز خ ٱلص إن ٱلل ٱلل ولهم شريحۥ أ ورشل ة ويطيػن ٱلل ن ة ويؤحن ٱلز .هي
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma´ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”.
Dijelaskan dalam ayat tersebut, bahwa dalam masalah amar ma‟ruf, nahi
munkar, mengerjakan shalat dan mengeluarkan zakat, diwajibkan kepada laki-laki
9 Huzaemah T. Yanggo, Hukum Keluarga Dalam Islam, h. 6
16
dan perempuan, juga dalam ibadah-ibadah yang lainnya, tidak ada perbedaan di
antara laki-laki dan perempuan dalam hal ini.
Selain sebagai seorang hamba, Allah SWT menciptakan seorang manusia
ke muka bumi ini menjadikannya sebagai seorang khalifah. Hal ini dijelaskan
dalam Al- Quran pada surat al-Baqarah ayat 30 :
ا حفصد في ا تػو في أ ا كال رض خييفثا
لههث إن جاغو ف ٱل ويصفم إوذ كال ربم لي
ن ا ل تػي غي أ س لم كال إن دك وجلد نصتح ب اء ون .ٱل
“Ingatlah ketika Tuhan mu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka
berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
Kata khalifah dalam ayat di atas tidak menunjuk kepada salah satu jenis
kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai
fungsi yang sesama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan tugas-
tugas kekhalifahannya di bumi, sebagaimana halnya mereka harus bertanggung
jawab sebagai hamba Tuhan.10
Mengenai kedudukan perempuan, dijelaskan juga dalam Al-Quran surat
Al- Azab ayat 35:
دقي وٱىص تج وٱىص تي وٱىق نج وٱىق ؤ ي وٱل ؤ صيمج وٱل ي وٱل صي ج إن ٱل دت
ي ه ج وٱىص ت خصد قي وٱل خصد ترت وٱىخشػي وٱىخشعج وٱل وٱىص بي وٱىص
غد ٱللت أ نر ا وٱىذ نرريا ٱلل نري وٱىحفظج وٱىذ همج وٱىحفظي ـروج ؾفرةا وٱىص ل
ا ا جرا غظي .وأ
10
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur‟an
(Jakarta: Paramadina, 2001), h. 253
17
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya,
laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-
laki dan perempuan yang khusyu´, laki-laki dan perempuan yang bersedekah,
laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut
(nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang
besar”.
Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa laki-laki dan perempuan sama-
sama muslim dan beriman. Ayat ini juga menunjukkan hak untuk memilih agama
dan mencapai kebebasan yang utuh, dalam hal ini pertumbuhan intelektual dan
persamaan laki-laki dan perempuan. 11
Islam mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan
perempuan, bukan pembedaan (discrimination). Ajaran Islam tidak secara
skematis membedakan faktor-faktor perbedaan laki-laki dan perempuan, tetapi
lebih memandang kedua insan tersebut secara utuh. Antara satu dengan lainnya
secara biologis dan sosio- kultural saling memerlukan dan dengan demikian antara
satu dengan yang lain masing-masing mempunyai peran.12
Manusia mendambakan perlakuan yang adil dari sesamanya serta
membebaskan dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan oleh siapa pun, di
manapun, dan kondisi apapun. Tuntutan kaum perempuan untuk memperjuangkan
persamaan hak (emansipasi) peran, dan fungsi dalam berbagai aspek kehidupan
dilakukan secara gencar, baik secara fisik maupun nonfisik.
Isu hak asasi manusia (HAM) merupakan isu internasional atau isu global.
Jauh sebelum berdirinya PBB perjuangan terhadap HAM sudah dimulai. Di
Inggris muncul gerakan yang disebut Magna Charta (1215).13
Disusul gerakan
Petition of Right (1627). Di Amerika lahir Declaration of Right (1776). Pada
11
S.M Khamenei, Risalah Hak Asasi Wanita, (Jakarta: Al-Huda, 2004), h. 35
12 Nasarudin Umar, Kodrat perempuan dalam Islam, h. 22
13
Patut dikemukakan di sini bahwa jauh sebelum Magna Charta, sebenarnya di dunia
Islam ada suatu piagam tentang HAM yang dikenal dengan “Piagam Madinah” di Madinah pada
tahun 622 M, yang memberikan jaminan perlindungan HAM bagi penduduk Madinah yang terdiri
atas berbagai suku dan agama. Baca selengkapnya Rozi Abdullah dan Syamsir, Perkembangan
HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2001), h. 1
18
tahun pertama setelah berakhirnya Perang Dunia I pada tahun 1935, wakil-wakil
di Liga Bangsa-Bangsa mulai membahas mengenai kedudukan perempuan dan
mempertimbangkannya dari aspek-aspek sipil dan politik.
Berakhirnya perang dunia II, berdirilah PBB dengan ditandatanganinya
Piagam PBB di San Fransisco pada tahun 1945. Piagam PBB merupakan
instrumen internasional pertama yang menyebutkan persamaan antara laki-laki
dan perempuan.14
Setelah berdirinya PBB, masalah HAM dibicarakan dalam
sidang umum PBB di Prancis 10 Desember 1946 yang kemudian diberi nama
Universal Declaration of Human Right atau pernyataan hak-hak asasi manusia.
Pada dasarnya menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) yang diproklamirkan PBB pada 1948, setiap orang tanpa terkecuali
berhak atas hak-hak asasi dan kebebasannya. Artinya, secara normatif DUHAM
tidak membeda-bedakan manusia, termasuk tidak membedakan antara laki-laki
dan perempuan.15
Setelah DUHAM, lahir berbagai instrumen HAM internasional mengenai
aspek-aspek khusus tentang perempuan dalam kehidupan berkeluarga dan
bermasyarakat. Muncul sejumlah konvensi mengenai penghapusan diskriminasi
terhadap perempuan, yaitu konvensi tentang pengupahan yang sama bagi laki-laki
dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya (1951), Konvensi Hak Politik
Perempuan (1953), Konvensi Anti Diskriminasi dalam Pendidikan (1960),
International Cevenant on Civil and Political Right (Konvensi Hak Sipil dan
Politik) tahun 1966, Konvensi Hak ekonomi, Sosial dan Budaya tahun 1966,
Convention on The Elimination of All Frons of Discrimination Against Women
14 Achie Sudiari Luhulima, “Hak Wanita dalam Konstitusi Indonesia” dalam Wanita dan
Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2006), h. 84
15
Musdah Mulia, Islam dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Nauan Pustaka, 2010), h.
218
19
(Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) tahun
1979, disebut juga sebagai konvensi CEDAW.16
Selanjutnya pada tahun 1990 OKI17
mengeluarkan Deklarasi Kairo tentang
Hak Asasi Manusia dalam Islam. Deklarasi ini berisi antara lain persamaan hak
untuk hidup, persamaan laki-laki dan perempuan, persamaan di depan hukum, hak
berpendapat, berpolitik, dan ditegaskan pula bahwa semua orang adalah sama
dipandang dari martabat dan kewajiban dasarnya sebagai manusia. Terakhir,
dalam konvensi HAM PBB di Wina tahun 1993 dinyatakan bahwa hak asasi
perempuan adalah hak asasi manusia (Women‟s Right Are Human Rights) yang
tidak dapat dicabut, integral dan tidak dapat dipisahkan.18
Hak-hak yang melekat dalam diri perempuan merupakan hak asasi
manusia karena perempuan adalah manusia juga, yang dilahirkan merdeka dan
mempunyai martabat sama halnya dengan laki-laki. Pengaturan mengenai hak
perempuan juga diatur di dalam pembukaan UUD 1945. “Bahwa sesungguhnya
Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan
peri keadilan.”
B. Hak dan Kewajiban Perempuan dalam Ranah Domestik
1) Perempuan ketika sebagai anak (individu)
Hak dan kewajiban bagai dua sisi mata uang, adanya hak maka ada pula
kewajiban. Berkaitan dengan hak, anak layak untuk mendapatkan perlindungan
pribadi, dari tindakan atau penangkapan sewenang- wenang, dari perampasan
kebebasan, dari perlakuan kejam, hukuman dan perlakuan yang tidak manusiawi
dari siksaan fisik dan nonfisik, dari penculikan, penjualan dan perdagangan, dari
16 Tapi Omas Ihrmoi dkk, Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita, (Bandung:
Alumni, 2006), h. 124
17
Adalah singkatan dari Organisasi Kerjasama Islam. Lebih lanjut Lihat di
id.m.wikipedia.org/wiki/organisasi_kerjasama_Islam
18
Tapi Omas Ihrmoi dkk, Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita, h. 40
20
eksploitasi seksual dan kegunaan seksual, dari eksploitasi penyalahgunaan obat-
obatan, dari eksploitasi sebagai pekerja anak.
Anak juga mempunyai hak untuk bermain, berkreasi, berpartisipasi,
berhubungan dengan orang tua bila terpisahkan, bebas melakukan kegiatan
agamanya, bebas berkumpul berserikat, hidup dengan orang tua, kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang. Anak layak untuk mendapatkan nama, identitas,
kewarganegaraan, pendidikan, informasi, standar kesehatan paling tinggi, dan
standar hidup layak.19
Nabi Muhammad SAW menyuruh kepada para orang tua agar memenuhi
hak-hak anaknya. Memberikan nama yang baik merupakan salah satu kewajiban
dari orang tua, ini merupakan dari hak-hak anak yang harus ditunaikan. Efek dari
pemberian nama tersebut ialah merupakan sebuah harapan dan kabar gembira.
Nama juga menunjukkan arti tersendiri dan sekaligus merupakan sebuah identitas
bagi anak tersebut. Dengan memberikan nama yang baik kepada anak, maka akan
berdampak ketika mereka dewasa dan ada efek psikologis yang sangat
mendukung bila nama tersebut Islami artinya sesuai dengan nilai-nilai ajaran
Islam.20
Selanjutnya Nabi Muhammad SAW juga menyuruh kepada orang tua agar
memperhalus budi pekerti yang baik kepada anak. Hal ini dapat diartikan orang
tua wajib mendidik kepribadian anak dengan baik, budi pekerti, etika, norma-
norma agama yang sangat penting diberikan pada anak usia dini. Sehingga anak
dapat membedakan mana yang baik dan buruk, benar dan salah serta hak dan
batil.
Selain itu Nabi SAW juga memberikan contoh kepada kita umatnya agar
mengakikahkan anaknya. Menurut Imam Malik, Imam Syafi‟i, Imam Ahmad dan
19 Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
20 Cut Anisah, Pendidikan Akhlak Anak dalam Keluarga Menurut Zakiah Daradjat
(Kajian Teoritis), Tesis S2 , TIK, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015, h. 54
21
jumhur ulama sepakat merupakan sunah dan sangat dianjurkan oleh Nabi
Muhammad SAW. dalam hadis dikatakan :21
ش يم شاةػ ويصم في ويديق رأ ث ةػليلخ حذةح خ رواه او الصنن )ك ؽل م ري
(لك
“Setiap anak tergadaikan (dan perlu ditebus) dengan akikahnya, yang
disembelih untuknya pada hari ketujuh (sejak kelahirannya), diberi nama, dan
dicukur kepalanya saat itu.”
Namun berbeda dengan jumhur, fuqaha bermazhab Hanafi tidak
menyepakati disyariatkannya akikah berdasarkan riwayat-riwayat mereka.22
Di antara keistimewaan perempuan muslimat yang menonjol adalah birru
al- walidain ( berbakti kepada kedua orang tua). Yang demikian itu Islam telah
memerintahkan supaya kita senantiasa berbakti dan berbuat baik kepada kedua
orang tua.
Al-Quran memberi nasihat kepada orang Islam agar menunjukkan rasa
cinta, terima kasih, dan perhatian kepada kedua orang tua. Dinyatakan dalam surat
Lukman ayat 14 :
ا ٱلنس ي ووص أ ي حيخ ل ۥةن و وـصي ا ع يم إل ۥو ل ن ٱشهر ل وىن
ي أ ف ع
صري .ٱل
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku kembalimu.”
Selanjutnya firman Allah ta‟ala pada surat al-Ahqaf ayat 15 :
21 Ibnu Qayyim al- Jauziyah, Fiqih Bayi, penerjemah. H. Anshori Umar, (Jakarta: Fikr ,
2000), h. 48
22
Mahmud Ash Shabagh, Tuntunan Keluarga bahagia Menurut Islam, (Bandung:
Remaja Roada Karya, 1991), h. 195
22
ۥ ۥ وـصي وحي ا ا نر ا ووطػخ ا ۥ نر أ حيخ ا ي إخس ل ةن نس ا ٱل ي را ووص رن ش ذل
شهر ػن أوزغن أ
ثا كال رب أ ربػي ش
هۥ وبيؼ أ شد
إذا ةيؼ أ خت وع ج ع جػ
خم ٱىت أ
صي ٱل إن تتج إلم إون صيح ل ف ذريت وأ ا حرطى و صيدا خ
ن أي وأ .ي ول
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua
orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan
melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya
adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai
empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhan ku, tunjukilah aku untuk mensyukuri
nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan
supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan
kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku
bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri"
Allah ta‟ala memerintahkan manusia supaya berbuat baik kepada kedua
ibu bapaknya atau kedua orang tuanya serta mengasihi keduanya dan berbakti
kepada keduanya semasa hidup mereka maupun sesudah kematian mereka dan
kami jadikan berbakti kepada kedua orang tuanya sebagai amal yang paling
utama, sedang durhaka terhadap keduanya termasuk dosa besar.23
Begitulah Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan kepada para
pengikutnya bagaimana memelihara dan menaati ibu bapak. Durhaka kepada
orang tua, khususnya kepada ibu, merupakan satu bentuk dosa yang amat besar.24
2) Perempuan ketika sebagai Istri
Apabila akad nikah telah berlangsung dan sah memenuhi syarat dan
rukunnya, maka akan menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian akan
menimbulkan pula hak dan kewajibannya selaku suami istri dalam keluarga.25
Istri memiliki berbagai hak yang harus dipenuhi oleh laki-laki,
sebagaimana halnya istri juga memiliki berbagai kewajiban yang harus dia penuhi
23
Quraish Shihab, Tafsir al- Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), cet- I, 3, h. 86
24
Haifa A Jawad, Otentitas Hak-hak Perempuan Perspektif Islam atas Kesetaraan
Jender, (Yogyakarta: Pustaka Baru, 2002), h. 30
25 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 155
23
untuk si suami. Landasan pembagian hak-hak dan kewajiban tersebut adalah
tradisi dan fitrah, serta prinsip setiap hak dibalas dengan kewajiban.26
Hak-hak istri yang menjadi kewajiban suami dapat dibagi menjadi dua,
yaitu: Hak-hak kebendaan atau materiil, yaitu mahar (maskawin) dan nafkah.
Selain itu ada hak-hak yang bersifat bukan kebendaan atau non- materiil, misalnya
berbuat adil di antara para istri (dalam pernikahan poligami), tidak berbuat yang
merugikan istri dan sebagainya.27
1) Hak kebendaan atau Materiil
a. Mahar
Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang perempuan
berupa harta atau yang serupa dengannya ketika dilaksanakan akad. Seolah-
olah ini adalah pengibaratan dari kebaikan niat seorang laki-laki kepada
perempuan, dan permulaan keterikatan yang baik antara keduanya, yang
berasaskan kecintaan dan kerelaan serta hubungan baik.28
Dalam Al-Quran
surat al- Nisa‟ ayat 4 Allah SWT berfirman :
ه ا ـك جفصا ء غ ش ـإن طب ىل نيثا خ ا ٱىنصاء صدت ي وءاح ري ا . ا ا ا
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,
maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap
lagi baik akibatnya.”
Dalam pernikahan disunahkan tidak melangsungkan akad nikah
kecuali dengan adanya maskawin. Karena Rasulullah SAW tidak mengakad
nikahkan sahabat kecuali dengan menyebutkan maskawin, dan dengan
26
Ali Hasan, Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 152
27 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2007), cet-
11, h. 223
28
Abd. Al- Qadir Manshur, Buku Pintar Fikih Wanita, (Jakarta: Zaman, 2009),
h. 237
24
menyebutkan maskawin akan lebih jauh permusuhan atau persengketaan.29
Menurut Imam Syafi‟i disunahkan menyebutkan mahar ketika akad nikah.
Kalaupun tidak disebutkan, maka akadnya tetap sah.30
Para ulama Mazhab sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal
dalam mahar tersebut. Akan tetapi dalam batas minimal Imam Hanafi
mengatakan bahwa jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham. Kalau
suatu akad dilakukan dengan mahar kurang dari itu, maka tetap sah, dan
wajib membayar mahar sepuluh dirham.
Menurut Maliki, jumlah minimal mahar adalah tiga dirham. Kalau
kurang dari jumlah tersebut, kemudian terjadi percampuran maka suami
wajib membayar tiga dirham. Namun apabila belum mencampuri, dia boleh
memilih antara membayar tiga dirham (dengan mencampurinya) atau
memfasakh perkawinannya.31
Para ulama mazhab sepakat bahwa istri (pengantin perempuan)
berhak menuntut seluruh mahar yang dibayar kontan kepada suami dengan
semata-mata terjadinya akad, dan dia berhak menolak digauli sebelum
mahar tersebut diterimanya. Akan tetapi jika ia rela digauli sebelum
mendapatkan maharnya maka menurut kesepakatan seluruh mazhab kecuali
Imam Abu Hanifah tidak boleh menolak suaminya untuk selanjutnya.32
Dalam firman Allah ta‟ala ( نيث خ ٱىنصاء صدت ا ( وءاح
“berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kalian nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” Melalui ayat ini, Allah ta‟ala
telah menjelaskan harta istri terlarang bagi suaminya. Kecuali atas kerelaan
29
Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kifaayatul Akhyaar Fii alli Ghayatil Ikhtihaar,
penerjemah. Achmad Zaidun dan A.Ma‟ruf Asrori (Surabaya: Bina Ilmu Oset, 1997) II, h. 407
30
Musthafa Diib Al-Bugha, Fikih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-hukum Islam
Mazhab Syafii, (Surakarta: Media Zikir, 2010), h. 362
31
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, penerjemah Masykur A.B dkk
(Jakarta: Lentera, 2010), cet- 26, h. 364
32
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 365
25
hati sang istri, karena istri adalah pemilik hartanya sendiri. Suami tidak
boleh untuk memilikinya, kecuali atas kerelaan hati istri, sebagaimana
ditetapkan oleh Allah SWT dalam kitab-Nya.33
b. Nafkah
Kewajiban suami terhadap istrinya jika telah memasuki pernikahan
salah satu di antaranya adalah memberi nafkah istrinya sesuai dengan usaha
dan kemampuan suaminya. Menurut Syekh Nawawi, Allah ta‟ala telah
melebihkan laki-laki atas perempuan karena suami memberikan harta
kepada istri dalam pernikahan, seperti mas kawin dan nafkah.34
Normalnya suami merupakan pemimpin dalam keluarganya dan
yang bertanggung jawab terhadap kehidupan di dalamnya, mulai dari
menafkahkan, ibadah, muamalah, sampai kepada memberi pengetahuan
tentang hal-hal yang diwajibkan dan disunahkan.35
Selama ini dalam tradisi fikih klasik, seorang suami berkewajiban
memberikan nafkah kepada istrinya didasarkan kepada prinsip pemisahan
alur pikir bahwa suami adalah pencari rezeki. Harta yang telah diperolehnya
tersebut kemudian menjadi haknya secara penuh. Selanjutnya, suami
berkedudukan sebagai pemberi nafkah. Sebaliknya, istri bukan pencari
rezeki dan untuk memenuhi keperluannya ia berkedudukan sebagai
penerima nafkah.36
Nafkah istri merupakan hak dasar istri dari suaminya. Seorang
suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya disebabkan ikatan
perkawinan. Ulama sepakat bahwa seorang suami wajib memberikan nafkah
33 Syaikh Ahmad Musthafa al-Arfan, Tafsir Imam Syafii, penerjemah. Edrian dkk,
(Jakarta: Al- Mahira, 2008), II, h. 10
34
Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, Syarah Uqud al-Lujjain, (Surabaya: Al-
Hidayah,1416), h. 6
35
Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, Syarah Uqud al-Lujjain, h. 25
36
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2009), h. 165
26
kepada istrinya, baik dia muslimah maupun kafirah karena ikatan
perkawinan.37
Kewajiban memberi nafkah dimulai sejak terjadinya tamkin, bukan
pada saat selesainya akad perkawinan. Jika terjadi perselisihan tentang
penyerahan diri istri kepada suami maka pendapat yang dibenarkan adalah
pendapat si suami, karena pada awalnya, tidak terjadi penyerahan diri
seorang istri kepada suami. Begitulah menurut qaul jadid. Jika suatu hari
istri tidak menyerahkan dirinya pada suami maka gugurlah kewajiban
memberikan nafkah sang suami saat itu.38
Apabila suami tidak mampu memberikan nafkah maka hal itu
menjadi utang baginya, walau tanpa ketetapan hakim. Aturan ini berlaku
jika istri bersabar dengan ketiadaan nafkah dari suaminya dan istri
menafkahi dirinya sendiri dengan menggunakan hartanya sendiri atau
memberikan pinjaman kepada suaminya.
Ketika suami tidak mampu menafkahi istri, maka istri boleh
mencari nafkah sendiri, boleh pulang ke rumahnya sendiri meski hingga
malam hari sampai sang suami mampu menafkahinya kembali.39
Nafkah bagi perempuan yang berkarier menurut ulama Hanafiyah,
jika ia bekerja tanpa rida suami maka tidak wajib diberi nafkah, tetapi jika ia
bekerja dengan ridanya suami, maka tetap wajib mendapat nafkah. Rida
suami pada suatu waktu tidak otomatis menjadi keridaan di setiap waktu dan
tempat, baginya boleh mencegah istri. Jika si istri tidak mau, ia tergolong
nusyuz dan gugur nafkahnya.40
Pendapat ini sejalan dengan pendapat mazhab-mazhab lainnya
yang menyatakan ketidakbolehan istri keluar dari rumah tanpa izin suami.
37
Wahbah al-Zuhailli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), VII,
h. 786
38
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafii, penerjemah Muhammad Apipi dan Abdul Hafiz,
(Jakarta: Al- Mahira,2012), II, cet- II, h. 50
39
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafii, h. 56
40
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh
Munakahat, penerjemah. Abdul Majid Khon, (Jakarta: Amzah, 2009), cet. I, h. 216
27
Bahkan Imam Syafi‟i dan Imam Hambali lebih menegaskan lagi dengan
mengatakan bahwa kalau istri keluar rumah dengan izin suami tapi demi
kepentingannya sendiri, maka gugurlah hak nafkah untuknya.41
2) Hak bukan kebendaan atau non-materiil42
a. Suami menggauli istrinya dengan baik.
Menurut mazhab Syafi‟iyah istri mempunyai hak untuk dipergauli
secara ma‟ruf artinya suami harus memperlakukan istri secara baik menurut
syara‟. Suami jangan sampai menyakiti atau membuat bahaya terhadap
istri.43
Dalam surat al-Nisa‟ ayat 19 ada kalimat, ػروف ةٱل و dan bergaulah) وعش
dengan mereka secara patut). Disebutkan dalam tafsir al- Manar yang
dikutip oleh Abdul Halim Abu Syuqqah, bahwa wajib bagi orang-orang
mukmin untuk mempergauli istrinya dengan baik, yaitu menemani dan
mempergauli mereka dengan cara yang ma‟ruf yang mereka kenal dan
disukai oleh hati mereka, serta tidak dianggap mungkar oleh syara‟ tradisi,
dan kesopanan.44
Menurut Azar Basyir, menggauli istri dengan baik ini mencakup:
1) Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan-perlakuan yang baik
serta meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang agama, akhlak, dan
ilmu pengetahuan yang diperlukan;
2) Melindungi dan menjaga nama baik istri. Hal ini tidak berarti suami
harus menutup-nutupi kesalahan istri. Namun menjadi kewajiban untuk
tidak membeberkan kesalahan atau keburukan istri kepada orang lain;
3) Memenuhi kebutuhan biologis yang merupakan kodrat pembawa hidup.
Oleh karena itu, suami wajib memperhatikan hak istri, dalam hal ini
41 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 364
42
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 293
43
Syekh Nawawi bin Umar al- Jawi, Syarah Uqud al-Lujjain, h. 8
44
Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, (Jakarta: Gema Insani, 1998), cet. V,
h. 215
28
ketenteraman dan keserasian perkawinan antara lain ditentukan oleh hajat
biologis ini.45
b. Persamaan hak dan kewajiban
Hak ialah sesuatu yang harus diterima sedangkan kewajiban ialah
sesuatu yang harus dilaksanakan dengan baik. Begitulah kehidupan antara
suami istri dalam setiap rumah tangga, apabila dua hal tersebut tidak
seimbang niscaya akan timbullah percekcokan dan perselisihan dalam
rumah tangga. Sebaliknya jika antara hak dan kewajiban itu seimbang atau
sejalan, terwujudlah keserasian dan keharmonisan dalam rumah tangga, rasa
kebahagiaan semakin terasa dan kasih sayang akan terjalin dengan baik.46
Al-Quran telah menentukan hak istri dari suaminya. Hak pertama
untuk si istri adalah persamaan dalam hak dan kewajiban di antara
keduanya. Hal ini sesuai dengan penggalan firman Allah ta‟ala dalam Q.s
al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi:
ي رو ٱل ػروف ول ةٱل غيي ....
“... Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma´ruf....”
c. Suami wajib berlaku adil terhadap semua istri bagi suami yang
mempunyai istri lebih dari satu.
Termasuk hak istri jika mempunyai satu madu atau lebih, untuk
mendapatkan perlakuan adil dari suaminya di hadapan madu-madunya.
Sang suami wajib berlaku adil terhadap semua istrinya, tanpa membedakan
antara satu dengan lainnya. Dalam buku karangan „Abd al-Qadir Manshur
yang mengutip kitab Ihya‟ Ulummu al-Din karya Al-Ghazali menegaskan
bahwa “keadilan yang dimaksud adalah dalam hal kebutuhan hidup dan
tempat tinggal. Adapun cinta dan hubungan suami istri (al-wiqa) tidak
45
Azar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Jogjakarta: UII Press, 1999), h. 58
46
Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya,1993), h. 37
29
termasuk di dalamnya. Karena suami tidak akan pernah bisa berlaku adil
dalam membagi ketertarikan hati dan cinta kasih.47
Selanjutnya mengenai kewajiban istri terhadap suaminya, hak suami
yang wajib dipenuhi oleh istri hanya merupakan hak-hak yang bukan kebendaan,
sebab menurut hukum Islam istri tidak dibebani hak kebendaan yang diperlukan
untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Hak-hak suami yang menjadi
kewajiban istri pada pokoknya ialah hak ditaati mengenai hal-hal yang
menyangkut kehidupan perkawinan.48
Arti pembahasan mengenai hal urusan domestik (urusan rumah tangga),
Yang dimaksud di sini meliputi banyak hal mulai dari tugas mencuci dan
menggosok pakaian, membersihkan rumah, memasak, menghidangkan makanan,
cuci piring, membenahi perabotan dan lain-lain.
Menurut Imam Syafi‟i dan Hambali, seorang istri tidak wajib melakukan
pekerjaan yang berkaitan dengan kebutuhan rumah tangga sehari-hari, juga tidak
perlu mengurusinya, karena yang benar-benar menjadi kewajiban bagi seorang
istri adalah memberikan pelayanan yang baik kepada “kebutuhan” suaminya.49
Selanjutnya mengenai kewajiban-kewajiban istri terhadap suami menurut
Imam Ghazali yang dikutip dari kitab Adaab al-Nikah, kewajiban terhadap suami
ialah:
1) Etika seorang istri harus dipegang erat. Erat adalah hendaknya dia tetap
tinggal di dalam rumah, jangan suka menampakkan diri. Sedikit bicara
dengan tetangganya, jangan masuk ke rumah tetangga kecuali dalam
kondisi yang mengharuskan masuk. Peliharalah kehormatan sewaktu
suami pergi. Jangan keluar rumah kecuali mendapat izin dari suami. Jika
istri keluar dari rumah suami hendaknya menyembunyikan dirinya dalam
47 Abd al-Qadir Manshur, Buku Pintar Fikih Wanita, h. 344
48
Muhammad Ikrom, “Hak dan Kewajiban Suami Istri Perspektif Al-Qur‟an”,
Qolamuna 1, no. 1 (Juli 2015) diakses pada 8 November 2017 pukul 08.23 WIB, dari
http://stismu.ac.id/ejournal/ojs/index.php/qolamuna/article/
49
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:
Darussalam, 2004), h. 210
30
bentuk kelemahan mencari tempat-tempat yang lenggang, bukan ke jalan-
jalan yang ramai atau pasar.
2) Istri hendaknya jangan memperkenalkan diri kepada teman suaminya
dalam mencapai kebutuhan. Apabila teman suami minta diizinkan masuk
rumah, sementara suami tidak ada di rumah, hendaknya jangan diizinkan.
3) Seorang istri hendaknya berqana‟ah atau menerima dari suaminya berupa
barang-barang yang diizinkan Allah kepadanya. Kemudian mendahulukan
hak-hak suami di atas hak-haknya sendiri dan hak-hak semua kerabatnya.
Istri dituntut untuk selalu bersih, selalu menyediakan diri untuk diajak
bersenang-senang sewaktu suaminya berkehendak.
4) Termasuk dalam etika istri adalah hendaknya jangan membanggakan diri
terhadap suami karena kecantikannya. Jangan mencela suami karena
keburukan rupanya.
5) Tetap memelihara keshalihan, menjaga hati selama ditinggal suami.
Sementara suaminya pergi dia bermain-main di dalam rumah dan siap
siaga untuk memberi kelezatan (kesenangan) setelah kembalinya suami.
6) Mengerti pekerjaannya di rumah sepanjang dirinya mampu memikulnya.50
Selanjutnya kewajiban ibu terhadap anaknya Menurut pendapat Imam
Syafi‟i yang di kutip oleh Prof. Dr. Wahbah Zuhaili dalam kitab fikih Imam
Syafi‟i bahwasanya Ibu berkewajiban menyusui anaknya dengan air susu yang
pertama kali keluar setelah melahirkan, karena anak tidak bisa hidup pada saat itu
tanpa air susu ibu. Selanjutnya, ibu berkewajiban menyusui anaknya jika tidak ada
perempuan lain yang menyusui, atau ada karena menjaga keberlangsungan hidup
si anak.51
C. Hak dan Kewajiban Perempuan dalam Ranah Publik
Allah SWT dalam Q.s Al- Ahzab ayat 33 berfirman :
50 Imam Al- Ghazali, Etika Perkawinan, penerjemah. Abu Asma Anshari, dari kitab
Adaab al- Nikah, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993), h. 117-120
51
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafii, h. 61
31
ن ة وءاتي ٱلز ي ٱلص ك وأ ول
ييث ٱل ج
ج ٱى تب ول تبج وكرن ف بيحل ٱلل طػة وأ
تطريا رك و ٱليج ويط ٱلرجس أ لذب غل ا يريد ٱلل ۥ إج .ا ورشل
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah yang dahulu dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
Para mufasir berbeda pendapat mengenai pemahaman kata وقرن yang
menjadi kata kunci ayat ini. Ulama Madinah dan sebagian ulama Kufah
membacanya sebagai وقرن yang berarti “tinggallah di rumah kalian dan tetaplah
berada di sana”. Sementara ulama-ulama Bashrah dan sebagian ulama Kufah
membaca waqirna dalam arti “tinggallah di rumah kalian dengan tenang dan
hormat”. Pendapat terakhir ini didukung oleh Ibn Katsir dan Jalaluddin al-
Sayuti.52
Menurut Ibnu Katsir, ayat di atas mengandung arti perempuan tidak
dibenarkan keluar rumah kecuali ada kebutuhan yang dibenarkan oleh agama. Itu
pun dengan syarat dapat memelihara kesucian dan kehormatannya.53
Menurut Muhammad Quthb, beranggapan bahwa ayat ini bukan berarti
larangan terhadap perempuan bekerja, karena Islam tidak melarang perempuan
bekerja. Hanya saja Islam tidak mendorong hal tersebut. Islam membenarkan
mereka bekerja karena darurat dan bukan menjadikannya dasar. Makna darurat di
sini ialah pekerjaan-pekerjaan yang sangat perlu, yang dibutuhkan masyarakat
atau atas dasar kebutuhan pribadi, karena tidak ada yang membiayai hidupnya dan
atau yang menanggung biaya hidupnya tidak mampu mencukupi kebutuhannya.54
52
Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010),
h. 144
53 Ibnu Katsir, Tafsir Ibn Katsir, juz III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), h. 290
54 Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, h. 146
32
Menurut Syekh Mutawalli As Sya‟rawi seorang perempuan diperbolehkan
untuk mengetahui sebesar apa kemampuannya dalam berkarier di ranah publik
dengan syarat tanpa harus mengabaikan kewajiban rumah tangga selaku istri dan
ibu yang bertugas untuk mendidik anaknya dan juga haruslah masih dalam
koridor yang telah ditentukan oleh agama.55
Quraish Shihab menjelaskan bahwa perempuan mempunyai hak untuk
bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka
membutuhkan pekerjaan tersebut, serta pekerjaan tersebut dilakukannya dalam
suasana terhormat, sopan serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif
dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.56
Membahas mengenai ruang publik, yang dimaksud di sini ada pembahasan
mengenai hal yang bersifat umum. Hal urusan bersama, baik laki-laki maupun
perempuan. Dalam urusan tata negara misalnya, hal yang berkaitan dengan
wilayah legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Dalam Islam, hak-hak perempuan selain hak materiil dan non- materiil
yang telah dijelaskan di atas, Islam juga memberikan hak bagi kaum perempuan
yang berkaitan dengan ranah publik, di antaranya:
1. Hak Memperoleh Pendidikan
Secara kuat Islam mendorong adanya pendidikan bagi perempuan baik
dalam wilayah agama maupun dalam wilayah sosial. Pendidikan perempuan dan
pembelajaran budaya dihargai sebuah dimensi perkembangan sosial yang integral.
Tidak ada prioritas bagi laki-laki di atas perempuan sehubungan dengan hak
pendidikan. Laki-laki dan perempuan sama-sama didorong untuk memperoleh
pendidikan.57
55
Syekh Mutawalli As Sya‟rawi, Fikih Perempuan (Muslimah), (Jakarta : Amzah, 2005),
cet-2, h. 39
56
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan,1992), h. 275
57
Haifa A Jawad, Otentitas Hak-hak Perempuan Perspektif Islam atas Kesetaraan
Jender, h. 69
33
Nabi Muhammad SAW katakan dalam sabdanya bahwa menuntut ilmu itu
wajib bagi seluruh muslim baik laki-laki maupun perempuan.
مصيم ـريظث ع ك
طيب اىػي غيي وشي صل الل 58كال رشل الل
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Menuntut ilmu
adalah kewajiban bagi setiap muslim.”
2. Hak dalam Bidang Politik
Topik Kepemimpinan Perempuan atau semakna dengan itu, sering kali
menjadi hangat diperbincangkan oleh beberapa kalangan. Di kalangan muslim
sendiri, ada tiga dasar yang selalu dijadikan pijakan untuk menegaskan bahwa
perempuan tidak boleh menjadi pemimpin; pertama, sebuah hadis yang
menggambarkan sikap pesimis Rasulullah SAW. akan keberhasilan
kepemimpinan perempuan. Dalam hadis dikatakan:
ا خر ث ث خد ةلي ب ةلرة كال ىلد جفػن الل أ خ الص ا غف خ ث خد ير
ال ان ب
صد لق ةأ
ن أا ندت أ و بػد يام اجل
أ غيي وشي صل الل رشل الل ا ػخ و ش اب اجل
و ـارس كد ميهن أ أ غيي وشي صل الل ا ةيؼ رشل الل كال ل ػ كاحو
ةج ـأ ا غيي
ة امرأ مر
ا أ حفيح كم وى ى كال ى 59نس
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Haitsam Telah
menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Abu Bakrah dia berkata;
Sungguh Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan suatu kalimat yang
pernah aku dengar dari Rasulullah, -yaitu pada waktu perang Jamal tatkala aku
hampir bergabung dengan para penunggang unta lalu aku ingin berperang
bersama mereka.- Dia berkata; 'Tatkala sampai kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam, bahwa penduduk Persia telah di pimpin oleh seorang anak
perempuan putri raja Kisra, beliau bersabda: "Suatu kaum tidak akan beruntung,
jika dipimpin oleh seorang wanita."
58 Muhammad bin Yazid bin Majah al- Qazwini, Sunan Ibnu Majah, no. 220
59 Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, t.tp), no.
4073, Juz IV, h. 1610
34
Kedua, sebuah hadis yang menerangkan tentang rendahnya kualitas
intelektualitas perempuan.
ختد اد خ ال اة شػد خ ا الييد بجتأح أ ر د ب ا م ث خد ختد الل ار خ دي ة الل
كث وأ ق ػش اىنصاء حصد كال يا
أ غيي وشي صل الل رشل الل ر خ خ ة ن
و انلار فلاىج امرأ
كث أ
أ حخل
كث الشخؾفار ـإن رأ
أ ا نلا يا رشل الل جزىث و ة
ؽيب لي أ اكصات خلو ودي يج
ا رأ وحلفرن اىػشري و انلار كال حلثن اليػ
أ
ا جلصان اىػل و كاىج يا رشل الل ل تي ىب ادة امرأ ا جلصان اىػلو ـش
كال أ و والي
ا حصل وتفطر ف رمظان ف يال هد الي جلصان اىػلو وت ذا ادة رجو ف تػدل ش ذا
60جلصان الي
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh telah
memberitakan kepada kami Al Laits bin Sa'd dari Ibnu Al Had dari Abdullah bin
Dinar dari Abdullah bin Umar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
bahwa beliau bersabda: "Wahai para wanita, perbanyaklah sedekah dan
istighfar, sungguh saya melihat kebanyakan kalian adalah penghuni neraka."
Lalu seorang wanita berbadan gemuk dari mereka bertanya, "Wahai Rasulullah,
kenapa kami yang paling banyak masuk ke dalam neraka?" Beliau menjawab:
"Kalian banyak melaknat dan mengkhianati perlakuan suami, saya tidak pernah
melihat makhluk berakal yang akal dan agamanya kurang selain kalian." Wanita
tersebut kembali bertanya, "Wahai Rasulullah, apa yang di maksud dengan
kekurangan akal dan agama?" beliau menjawab: "Adapun akalnya kurang
disebabkan karena kesaksian dua orang wanita sama dengan kesaksian seorang
laki-laki, ini termasuk dari kekurangan akal. Kalian berdiam beberapa hati tidak
shalat dan berbuka di bulan Ramadhan adalah bukti kurangnya agama kalian."
Ketiga, QS. al-Nisa‟ [4]: 34 ayat yang sering dijadikan dasar oleh
kalangan ulama tafsir melegitimasi kepemimpinan pria dan pencekalan
perempuan menjadi pemimpin.
60 Muhammad bin Yazid bin Majah al- Qazwini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.tp), no. 3993
35
ن أ ا فل
ا أ بػض وب ع بػظ و ٱلل ا ـظ ٱىنصاء ة
من ع يحج ٱلرجال كن ـٱىص ل
ف ٱ جرو وٱ ـػظ ت تاـن نشز وٱل ا خفظ ٱلل تج حفظج ىيؾيب ة ظاجع ت ل
كن شبيل إن ٱلل ا غيي ـل تتؾ ل طػ ـإن أ ا وٱضب ا نتريا .غييا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”
Menurut Imam Ibnu Katsir menjelaskan beberapa alasan bahwa hak
menjadi pemimpin direkomendasikan kepada laki-laki. Menurutnya, berdasarkan
ayat ini laki-laki memiliki kelebihan dibanding perempuan, oleh karena itu para
nabi dikhususkan untuk laki-laki, demikian pula para raja semuanya laki-laki.61
Sementara Wahbah Zuhaili secara tegas masih memasukkan laki-laki
dalam syarat seorang pemimpin. Pendapat yang sama juga di kemukakan oleh
Said Ramadhan al- Buti. Selain karena fisik, kedua tokoh ini mengajukan alasan
yang berkaitan dengan kewajiban agama. Di antara kewajiban itu adalah
mengumpulkan manusia untuk melakukan shalat Jumat dan menyampaikan
khutbah, seorang pemimpin juga bertugas untuk menyatakan atau terlibat perang
melawan musuh. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh perempuan, karena mereka
terbebas dari kedua taklif tersebut. Dengan alasan ini, keduanya berkesimpulan
bahwa kepemimpinan politik direkomendasikan kepada laki-laki.62
Dalam ajaran Islam, syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang laki-laki
atau perempuan sama, tidak dibedakan. Ada beberapa poin khusus bagi
perempuan berkaitan dengan nilai-nilai etika moral kesopanan dalam relasi laki-
61 Ibnu Katsir, Tasir al- Qur‟an al-„Adzim, juz II (Beirut: Dar al-Fikr,1999), h. 292
62 Muhammad Yusuf, Penciptaan dan Hak Kepemimpinan Perempuan dalam al-Qur‟an,
(Makasar, Al- Fikr Vol.17 No.1, 2013), h. 39
36
laki dengan perempuan, yakni yang ada dalam firman Allah di dalam Q.s (al- Nur:
30-31) yaitu hendaknya menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.
Selanjutnya janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak
dari padanya. 63
3. Hak Memilih Pasangan Hidup
Sudah menjadi sunnatullah bahwa manusia diciptakan secara berpasang-
pasangan antara laki-laki dan perempuan. Kedua jenis kelamin manusia ini juga di
fitrah oleh Allah mempunyai kecenderungan untuk saling mencintai dan sifat
ketertarikan antara keduanya. Allah menentukan kodrat perempuan sebagai
penerus keturunan dengan menciptakan organ tubuh yang berbeda dengan laki-
laki. Proses untuk memperoleh keturunan tersebut sudah barang tentu melibatkan
manusia jenis kelamin laki-laki. Dalam kaitan dengan proses memperoleh
keturunan itu, Islam mengatur prosesnya dengan cara yang bermartabat sebagai
makhluk yang terhormat melalui aturan dalam bentuk pernikahan dengan syarat
dan rukunnya yang jelas.
Dalam Islam, perempuan mempunyai hak untuk menentukan laki-laki
mana yang akan menjadi suaminya. Hak memilih seorang perempuan atau
walinya dalam fikih di bingkai dengan konsep kafa‟ah. Yaitu kesetaraan antara
calon mempelai suami dan istri secara seimbang dan tolak ukur keseimbangan
tersebut adalah dari pihak perempuan / calon istri.64
Pernikahan adalah salah satu syariat yang dikembangkan dalam bingkai
pemahaman ajaran Al-Quran dan hadis untuk mengatur hubungan laki-laki dan
perempuan dalam suatu perkumpulan kekeluargaan yang penuh kasih sayang. 65
Kitab suci Al-Quran telah menyampaikan, bahwa kehidupan berpasangan
laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami istri adalah untuk menciptakan
ketenangan dan ketentraman, sebagaimana difirmankan dalam Q.s al- Ruum : 21 :
63 Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta : el-Kahfi,
2008), h. 108
64
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender dan Fajar
Pustaka, 2006), h. 129
65
Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Perspektif Agama Islam, (Jakarta :
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, 2004), h. 92
37
ءايخ ۦ و ة ورحث د ل ا وجػو ةي إل ا زوجا ىتصهفصل أ
أ ن خيق ىل
إن أ
رون لم ليج ىلم حخفه . ف ذ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berpikir.”
Selanjut apabila perempuan terjun ke ruang publik, tentunya tetap
mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan. Pertama, kewajiban
perempuan sebagai istri. perempuan yang berstatus sebagai istri dari seorang
suami dituntut untuk memiliki sikap kepatuhan, ketaatan dan kesetiaan terhadap
suaminya. Tentunya ketaatan dalam arti yang positif. istri harus merasa bahwa
dirinya adalah milik dan hanya diabdikan untuk suaminya dalam hal cinta kasih
bukan kepada orang lain, serta menjaga dan membelanjakan harta dan
pendapatannya secara bijaksana.
Sebaik-baiknya sifat yang dimiliki wanita adalah taat kepada suami yang
dengannya akan tercipta kedamaian dan kebahagiaan. Adapun ketidakpatuhan
hanya akan melahirkan kebencian dan perpisahan serta merusak perasaan anak-
anak.66
Tunduk dan taat kepada perintah suami selama bukan untuk melaksanakan
maksiat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya serta menyimpang dari ajaran agama
merupakan suatu kewajiban yang diberikan kepada istri oleh agama Islam.67
Kedua, Kewajiban perempuan sebagai ibu. Perempuan muslimah yang
telah membina rumah tangga dan mempunyai anak, peranannya bertambah. Ia
tidak hanya sebagai anak dan istri, tetapi juga menjadi ibu bagi anak-anaknya.68
Bagi seorang ibu, ia akan melihat seorang anak sebagai harapan hidup,
penyejuk jiwa, penghibur hati, kebahagiaan hidup serta tumpuan masa depan.
66
Ukasyah Athibi, Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya, (Jakarta: Gema Insani,1998), h.
27
67 Mohammad Asnawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:
Darussalam,2004), h. 195
68 Siti Muri‟ah, Wanita Karier Dalam Bingkai Islam, h. 91
38
Seorang ibu memiliki tanggung jawab besar terhadap pendidikan dan
pembentukan kepribadian anak-anaknya.69
Dan yang ketiga, Kewajiban Perempuan sebagai masyarakat. Sebagai
anggota masyarakat, perempuan tidak bisa terlepas dari keterlibatannya dalam
kegiatan masyarakat. Islam tidak melarang seorang perempuan menyumbangkan
tenaga dan pikirannya untuk kepentingan masyarakat. Dan sebagai perempuan
karier, tidak seharusnya ia meninggalkan tugas-tugas kemasyarakatannya. Apabila
hal itu dilanggar, maka ia akan dikucilkan dari tengah- tengah masyarakat.
69 Muhammad Ali Al-Hasyimy, Jati Diri Wanita Muslimah, (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar,
1997), h. 199
39
BAB III
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN PROF. DR. HJ. TUTTY ALAWIYAH AS
A. Biografi Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah AS
Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah Abdullah Syafi‟ie, M.A lahir di Jakarta, 30
Maret 1942 M, merupakan putri ketiga dari pasangan Abdullah Syafi‟ie1 dan Ibu
Hj. Ruqayah Binti H. Ahmad Mukhtar. Nama Alawiyah merupakan nama yang
sejak lama disiapkan oleh KH. Abdullah Syafi‟ie sejak Tutty Alawiyah masih
dalam kandungan. Nama atau sebutan Alawiyah ketika itu tidak lazim bagi
masyarakat Islam bukan keturunan Arab. Rupanya nama tersebut merupakan
nisbah atau memiliki keterkaitan dengan nama ulama besar, guru dari
ayahandanya, yaitu Habib „Alwi bin Thahir Al Haddad, ulama asal Bogor yang
kemudian pindah dan menjadi Mufti di Johore Bharu Malaysia. Nama „Alwi atau
Alawiyah itu diberikan dengan harapan (tafaulan)2 kelak menjadi ulama dan
orang besar seperti Habib „Alwi yang sangat dihormati dan dimuliakan itu.3
Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah AS dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan
keluarga yang sangat kuat memegang teguh nilai-nilai agama. Beliau
menyelesaikan pendidikan dasar di SD Slamet Riyadi dan Madrasah Ibtidaiyah
1
Abdullah Syafi‟ie adalah anak pertama dari H. Syafi‟ie bin H. Sairan. seorang
pengusaha mangga yang berpangkalan di Pasar Manggarai, Jakarta. Dan pasangannya Nona binti
Sa‟ari, pembuat kecap rumahan. Ia lahir pada tanggal 10 Agustus 1910 di Jakarta. Abdullah
Syafi‟ie merupakan ulama asli Jakarta yang mengabdikan hidupnya untuk pendidikan dan dakwah.
Mulai dari kecil hidupnya dihabiskan untuk belajar. Berlanjut hingga mengajar di berbagai majelis
taklim di Jabodetabek, hingga mendirikan pondok pesantren dan lembaga pendidikan Assyafiiyah
Jakarta. (lebih lengkap baca: https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents// Zubair Ahmad,
K.H Abdullah Syaif‟ie: Ulama Produk Lokal Asli Betawi dengan Kiprah nasional dan
Internasional, h. 320)
2 Tafaulan artinya mengharapkan bernasib baik, (Baca A.W Munawwir, Kamus Al-
Munawwir,(Yogyakarta: Pustaka Progresif,1997), h. 1029)
3 A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, (Jakarta : UIA pres, 2012), h. 13
40
As-Syafiiyah, dan pendidikan menengah di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah As-
Syafiiyah Jakarta.4
Tutty Alawiyah merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara. Jika
masing-masing diurutkan ialah Muhibbah, Ahmad Fuad, Tutty Alawiyah, Abdul
Rasyid, Nasrullah, Abdul Hakim, dan Ida Farida. Dari tujuh bersaudara ini, hanya
Abdul Rasyid yang masih hidup sampai sekarang.5
Tutty dan saudara-saudaranya berguru langsung ke ayahnya KH. Abdullah
Syafi‟ie di Pesantren Assyafiiyah Jakarta. Tak jarang sang bapak mengajak anak-
anaknya untuk ikut berdakwah baik di dalam maupun luar negeri. Banyak
pengalaman yang diperoleh Tutty muda dengan ikut terjun langsung dibawa sang
bapak dalam berdakwah. Sebut saja misalnya, ketika Tutty diajak untuk
berdakwah ke Singapura bersama adiknya, Abdul Rasyid. Tutty Alawiyah
diberikan ruang untuk tampil berdakwah, mengisi acara dengan berpidato atau
memberi ceramah, membaca Al-Quran, membaca puisi, dan membawakan
beberapa lagu kasidah dan membaca doa. Kegiatan ini diadakan dalam acara
tablig maupun mengisi ruang acara di radio Singapura.6
Hal yang menarik dari perjalanannya ke Singapura, bahwasanya Tutty
berangkat ke Singapura dengan ongkos sendiri. Hal ini dikarenakan adanya
motivasi dari ayahnya jika ingin ikut ke Singapura maka pakai uang sendiri. Dan
ternyata Tutty bisa mengumpulkan uang tersebut dengan cara berjualan tulisan-
tulisan yang dia tulis sendiri, mengisi acara, dan mengajar.7
Didikan yang diberikan oleh sang ayah memang keras, jadi Tutty bukan
anak yang dimanjakan, dari kecil Tutty sudah sering membantu orang tua dengan
4 Tutty Alawiyah, Women in Islam Past, Present, Future, (Jakarta: diterbitkan atas kerja
sama BMKT, IMWU dan UIA, 2002), h. 127
5 Tutty Alawiyah , KH. Abdullah Syafi‟ie: Membangun Bangsa Melalui Dakwah,
Pendidikan, dan Sosial, (Jakarta: UIA Press, 2010), h.12
6 A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, h. 25
7 A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, h. 26
41
berdagang kue dan jeruk. Berjualan di komplek sekolah kakeknya (H. Syafi‟i).
Dengan berjualan beliau sudah bisa melihat kehidupan orang-orang pada
umumnya.
Jati diri dan ketokohan seseorang tak terlepas dari pengaruh-pengaruh
keluarga dan lingkungan sosio- kultural yang melingkupinya. Diyakini kuat ilmu,
pengalaman, dan pola pengasuhan bapaknya inilah yang membentuk karakter dan
pemikiran Tutty Alawiyah. 8
Selain itu tiga bulan di Singapura, menjadikan wawasannya bertambah,
cara dia berpikir berubah, wawasan dia lebih terbuka, bahwa perempuan itu harus
maju. Melihat perempuan-perempuan di sana mandiri, dengan menyetir mobil
sendiri, dan fashion perempuan muslimah di sana terlihat lebih modern dan
elegan.
Pendidikan tinggi Tutty Alawiyah ditempuh di Akademi Pendidikan Islam
(AKPI) Assyafiiyah sampai dengan tingkat Sarjana Muda (Bercaloriat).
Selanjutnya, beliau meneruskan kuliah untuk menyelesaikan Program Sarjana
lengkap (Doktoral) pada jurusan Dakwah, Fakultas Ushuluddin IAIN (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan skripsi bertajuk, “Kepemimpinan
(leadership) Khalifah Abu Bakar Ashiddiq”, dan lulus dengan predikat sangat
memuaskan.9
Sejalan dan seiring dengan kiprah Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah AS yang
makin kuat dan luas dalam kancah dakwah, pendidikan dan sosial, serta
pemberdayaan wanita, beliau memperoleh penganugerahan Gelar Doktor
Kehormatan (HC) dari IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2001.
Selanjutnya beliau juga mendapat gelar Profesor Kehormatan dari Universitas
Liuchou China Pada Desember 2010.10
8 A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, h. 15
9 A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, h. 29
10 A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, h. 31
42
Pada tanggal 30 September 1960, beliau menikah dengan H.A Chatib
Naseh. Pria dari Matraman yang beruntung dapat mempersunting seorang wanita
yang cantik dan shalihah. Tidak seperti anak kiai pada umumnya, Prof. Tutty
ternyata memilih seorang pria yang bukan lulusan pesantren atau pun bukan anak
seorang kiai. Menurutnya, ia memang tidak ingin menikah dengan ustad, beliau
lebih memilih calon suami dengan latar belakang pendidikan umum. Tujuannya
adalah integrasi. Pernikahan yang memadukan antara agama dan umum, urusan
dunia dan akhirat.11
Dari pernikahannya dengan H.A Chatib Naseh, mereka dikaruniai dua
orang putra, H.Moh. Reza Hafiz, Prof. Dr. H. Dailami Firdaus, SH, LL.M, MBA,
M.Pd, dan tiga orang putri, Dra. Hj. Nurfitria Farhana, Hj. Lily Kamalia
Ihsana,SE dan Hj. Syifa fauzia, B.Arts, MA.12
Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah AS wafat pada hari Rabu tanggal 4 Mei 2106
sekitar pukul 07.15 WIB, setelah beberapa hari terakhir menjalani perawatan di
Rumah Sakit Metropolitan Medical Center, Kuningan, Jakarta.13
B. Rekam Jejak Perjuangan Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah dan Karya-karyanya
Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah AS adalah perempuan yang cukup hebat
yang memiliki aktivitas cukup banyak. Beliau terus bekerja dan berkarya tanpa
kenal lelah. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai dai, rektor, dan penggerak
masyarakat, beliau aktif dan produktif menulis.
Kesehariannya diisi dengan hal-hal yang bermanfaat. Mulai dari usia 9
tahun, beliau pernah diminta untuk membaca Al- Quran14 di Istana Merdeka di
hadapan Presiden Soerkarno pada acara Maulid Nabi Muhammad SAW tahun
11
A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, h. 33
12 Tutty Alawiyah, Dakwah berwawasan Global: Inovasi Menghadirkan Islam Rahmatan
Lil‟Alamin, (Jakarta: UIA, 2010), h. 24
13 http://nasional.kompas.com/read/2016/05/04// , di akses pada tanggal 14 September
2017, pukul 11.00 WIB.
14 Keahlian Tutty Alawiyah dalam membaca Qur‟an ini adalah berkat bimbingan, arahan,
dan tuntunan Ibundanya, Ruqayah yang juga seorang Qariah. Lebih lengkap baca buku 70 tahun
Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak Kemajuan dan Peradaban, h. 19
43
1950-an. Pada usia belum mencapai 15 tahun, beliau telah aktif membuka
bermacam-macam kursus, di antaranya untuk remaja putri (li al-Banat), kursus
untuk ibu-ibu (li-al ummahat). Dan pada usia 17 tahun beliau ikut berdakwah
untuk pertama kali ke Singapura bersama ayahandanya KH. Abdullah Syafi‟ie.15
Pada usia 28 tahun, beliau memprakarsai berdirinya organisasi persatuan
mubalighat/ ustadzah di Jakarta. Dan pada tahun 1981, beliau menginisiasi
berdirinya organisasi Badan Kontak Majelis Taklim se- Indonesia. Dan pada
tahun 2007 ia ditunjuk sebagai presiden International Moslem Women Union
(IMWU).16
Dalam kancah politik, beliau pernah menjadi anggota MPR RI fraksi
Utusan Golongan, wakil dari kelompok intelektual, Ikatan Cendikiawan Muslim
se- Indonesia (ICMI). Beliau pernah pula menjadi anggota Badan Pekerja Ad Hoc
II MPR 1992-1997.17
Bahkan beliau juga pernah menjabat sebagai Menteri
Negara Peningkatan Peranan Wanita (MENPERTA) pada kabinet Pembangunan
VII dan Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999).18
Dengan karier yang begitu gemilang dan mampu menjadi tokoh yang
begitu berpengaruh, beliau masuk dalam salah satu dari 500 tokoh Muslim dunia
dalam buku “The 500 Most Influential Muslims in The World” (500 Tokoh
Muslim Dunia Sangat Berpengaruh) tahun 2009 yang diterbitkan oleh The Royal
Islamic Strategic Studies Centre (Pusat Studi Strategis Islam Kerajaan),
bekerjasama dengan Prince Alwaleed bin Talal Center for Muslim Christian
15
A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, h. 21
16 Zainal Arifin Hoesein, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah di Mata Tokoh Indonesia dan
Dunia, (Jakarta: UIA press, 2012), h. 170
17 A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, h. 24
18 http://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/view/3, diakses pada tanggal 12
September 2017, pukul 06.27 WIB.
44
Understanding Georgetown University (Pusat Studi Kepahaman Islam-Kristen
Pangeran Alwaleed bin Talal, Universitas Georgetown), Amerika Serikat.19
Sebagian karya Tutty Alawiyah berupa bahan ajar (modul pembelajaran)
yang diberikan di pengajian MTKI As Syafiiyah, sebagian lagi berupa makalah-
makalah (majmuu‟at al-rasa‟il) yang disampaikan dalam berbagai seminar dan
forum ilmiah baik di dalam maupun di luar negeri. Beberapa karya ilmiah beliau
berupa buku di antaranya :
1. Mengenal Peradaban Dunia: Catatan Perjalanan di 91 Kota di 5 Benua
1959-1995, Jakarta, Yayasan Alawiyah, 1995.
2. Wanita dalam Nuansa Peradaban, Jakarta: Yayasan Alawiyah, 1996
3. Strategi Dakwah di Lingkungan Majelis Taklim, Bandung, Mizan, 1997.
4. Kata dan Peradaban, Jakarta, kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1999
5. K.H. Abdullah Syafii: Tokoh Karismatik 1910-1985, Jakarta, 1999
6. Paradigma Baru Dakwah : Memberdayakan Masyarakat Melalui
Pengembangan Sosiokultural Mad‟u, Pidato penganugerahan Doktor HC,
Jakarta, IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah, 2001
7. Women In Islam: Past, Present, future, Jakarta: Kerjasama BMKT, IMWU,
UIA, 2002.
8. Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, Jakarta, Legasi, 2002
9. Peran Dakwah Millenium Ke- 3, Jakarta, BMKT, 2002
10. Menggapai Panggung Dunia, Jakarta, UIA Press, 2009
11. Membangun Kesadaran Beragama.
12. Yatim dan Masalahnya.
13. Tasyakur Indonesia Emas Bersama BMKT.
Beberapa makalah karya beliau di antaranya,20
1. Peran Cendikia Dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa,
19
http://uia.ac.id/index/2016/12/19/biografi-prof-dr-hj-tutty-alawiyah-as-ma/, diakses
pada tanggal 12 September 2017, pukul 06.00 WIB.
20 A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, h. 45
45
2. The Religion as The Primary force on National Building Islam‟s focus in the
21” Cenctury : World Peace
3. Education or A Better Lie With Islamic Ideals
4. Women and Economic Development an Coorperation
5. Women, Leadership, APEC Opportunities and Challenges : Indonesian
Experience
6. To Promote Gender Responsive (Approach to Public) Policy and Governance
7. Women as Participants in Economy
8. Women and Industrial Science and Technology
9. Pemberdayaan Muslimah dalam Percaturan Politik Bangsa
10. Kualitas Ibu Membina Generasi Cerdas
11. Pembangunan Kualitas Manusia, Sebagai Inti Aktifitas Konstruktif
12. Peranan Wanita dan Masa Depan Kehidupan Keluarga Menjawab Krisis
Moral dan Etika Bangsa
13. Mengantar Generasi Muda Menghadapi Tantangan Masa Depan
14. Wanita Islam Menghadapi Millenium Baru
15. Agama, Kesatrian, dan Budaya National
16. Silaturrahmi Membangun Solidaritas Kesatuan Bangsa
17. Sisi Lain Tentang Peran Cendikiawan Wanita Islam
18. Perlindungan Bagi Pekerja Wanita
19. Peran Ganda Wanita, Dilema dan Aktualisasi
20. Kualitas Muslimah Menghadapi Globalisasi
21. Keharusan Mengkonsumsi Makanan Halal
22. Pendidikan Tinggi Internasional: Sebuah Visi Bernafaskan Islam
23. Konsepsi Islam Terhadap Kriminologi
24. Musyawarah dan Toleransi
25. dan Sejumlah Tulisan Lepas Majelis Taklim lainnya.
Selain itu, Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah AS juga banyak mendapatkan
penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri, di antaranya :21
21
Tutty Alawiyah, Menggapai Panggung Dunia, (Jakarta: UIA, 2009), h. xvii
46
1. Satya Lencana Kebaktian Sosial, dari Pemerintah Republik Indonesia yang
disematkan oleh Presiden RI Bapak H. M. Soeharto, 21 Desember 1995.
2. Bintang Maha Putra Adi Pradana II, dari Pemerintah Republik Indonesia
yang disematkan oleh Presiden RI Bapak H. M Soeharto, 16 Agustus 1999.
3. Lie Time Membership, dari Muslim Women‟s Federation of Southern Africa.
4. Bintang Gerakan Sosial Peduli Yatim Piatu, dari Madam Siamwalla Thailand.
5. Melalui Duta Besar Yordania, Kerajaan Yordania menyampaikan kenang-
kenangan berupa lukisan Ratu Rania, istri Raja Abdullah, dan photo beliau
dengan putrinya.
6. Mendapat kenangan “Kiswah Ka‟bah, Ya Hayyu Ya Qoyyum”, dengan dasar
berwarna hitam dan benang hurufnya berwarna emas kuning yang amat
mulia.
7. Hadiah sebuah kain khusus untuk penutup makam Syekh Abdul Qadir Al
Jailani di Baghdad, pemberian dari Syekh Abu Bakar dari Irak. Selain itu ada
hadiah Tirai penutup makam Nabi Ilyas as.
8. Pernghargaan dari berbagai Organisasi dan Ormas Politik di Indonesia.
Prof. Tutty Alawiyah berhasil menunjukkan bahwa walaupun dibesarkan
di lingkungan ulama yang sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa
lingkungan tersebut diskriminatif terhadap pendidikan perempuan, namun
ternyata Prof. Tutty mampu menunjukkan pada dunia bahwa Islam tidak pernah
diskriminasi terhadap perempuan.
Beliau menunjukkan pada dunia bahwa perempuan Indonesia cerdas dan
takwa. Dan pandangan beliau tersebut dituangkan dalam teladan, di mana semua
anak-anaknya diberikan pendidikan yang sama, baik laki maupun perempuan.
Semua berhasil untuk sekolah di luar negeri demi mencapai pendidikan tertinggi.
Ajaran Islam dan roh perjuangan yang diterima sejak dini dari ayahnya
KH. Abdullah Syafi‟ie sebagai warisan yang paling berharga bagi hidupnya,
membuatnya semakin yakin bahwa Islam memberikan hak-hak perempuan
47
sepenuhnya, di antaranya hak untuk belajar, hak hidup terhormat, dan hak untuk
berperan aktif dalam masyarakat.
Kedekatan beliau dengan tokoh-tokoh ulama dunia seperti Syekh Yusuf
Qardhawy Ketua Persatuan Ulama Internasional, Syekh Badruddin Hasun Mufti
Negara Syria, Almh. Syekh Jadul Haq Syaikhul Azhar Mesir, dan beberapa ulama
besar lainnya membuat beliau memiliki budaya dan wawasan global, yang
menjadikan Islam sebagai agama pembawa rahmah dan kedamaian bagi semesta
alam.22
C. Pemikiran Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah AS
Islam diyakini oleh para pemeluknya sebagai agama yang menebarkan
rahmat bagi semesta alam. Salah satu bentuk dari rahmat itu adalah pengakuan
Islam terhadap Perempuan yang dipandang sebagai makhluk yang memiliki
potensi sama seperti apa yang dimiliki laki-laki. Keberadaannya dipandang
sebagai mitra sejajar dengan laki-laki secara harmonis.
Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah AS berpendapat bahwa Islam datang dan
secara bertahap mengembalikan lagi hak-hak perempuan sebagai manusia
merdeka. Berhak menyuarakan keyakinannya, berhak mengaktualisasikan
karyanya, dan berhak memiliki harta yang memungkinkan mereka diakui sebagai
warga masyarakat.23
Islam sejak awal telah mengedepankan ide kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan. Term zawj (pasangan yang dipergunakan Al- Quran untuk menyebut
suami (laki-laki) dan istri (perempuan) memperlihatkan dengan jelas ide
kesetaraan ini. Begitu pula kata Libas (pakaian) untuk suami dan istri dan kata-
kata al- Insan, Basyar, dan Bani Adam (masing-masing untuk arti manusia) yang
22
A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, h. 216
23 A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, h. 340
48
tercakup di dalamnya laki-laki dan perempuan. Penggunaan istilah ini
sesungguhnya mengandung makna pengokohan terhadap ide kesetaraan tersebut.24
Selanjutnya beliau berpendapat, kesamaan antar perempuan dan laki-laki
itu terutama dilihat dari tiga dimensi, Pertama, dari segi hakikat kemanusiaan,
Islam memberikan kepada perempuan sejumlah hak untuk meningkatkan kualitas
kemanusiaannya, seperti hak mendapatkan pendidikan, hak berpolitik, dan hak-
hak lain yang berkenaan dengan urusan publik.
Kedua, dari segi ajaran agama, Islam mengajarkan bahwa perempuan dan
laki-laki sama-sama mendapat pahala atas amal shalih yang diperbuatnya dan
sama-sama mendapat siksaan atas pelanggaran yang mereka lakukan. Ketiga, dari
segi hak-hak dalam keluarga, seperti hak waris. Islam memberikan hak waris
kepada perempuan, meskipun jumlahnya tidak sebanyak bagian laki-laki.
Sebelumnya, hak menerima warisan bagi perempuan tidak dikenal dalam tradisi
Arab.25
1. Perempuan dalam Ruang Domestik
Dalam Al-Quran surat al- Nisa‟ ayat 1 Allah ta‟ala berfirman:
ا ل ا ٱنلاس ٱت حأ ا ي ا وبد ا زوج جفس وخدة وخيق ي خيلل ٱل ربل
كن غييل إن ٱلل رخامي تصاءلن ةۦ وٱل ٱل ا ٱلل ل وٱت ا ونصاءا .رقيتاارجالا نرريا
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.”
Disebutkan di atas bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari satu
jenis atau dari zat yang sama. Penegasan ini menghapus diskriminasi akibat
24 Tutty Alawiyah, Women in Islam Past, Present, Future, h. 116
25 A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, h. 341
49
pemahaman yang mengatakan bahwa Hawa adalah pelengkap Nabi Adam as
(diciptakan dari tulang rusuk Adam) dan penyebab Nabi Adam as berbuat dosa.
Dalam Nafas yang sama, disebutkan pula oleh Al-Quran bahwa laki-laki
dan perempuan berhak atas semua yang diusahakannya (Q.s Al-Nisa‟ [4]: 32).
ولينص ا ا ٱكتصت بػض ىيرجال صيب م ع ةۦ بػظل و ٱلل ا ـظ ا اء صيب ول تخ
وس ا ٱكتصب ا م ا ء غيي كن ةلو ش ـظيۦ إن ٱلل ا ٱلل .ي
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi
orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi
para perempuan (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.”
Dari sini secara normatif quraniyah, tidak terlihat sedikit pun kesan yang
menyatakan bahwa tugas suci perempuan hanya sebagai makhluk domestik
reproduktif belaka. Dengan demikian, menyudutkan perempuan pada tugas utama
rumah tangga semata tidak mendapatkan dasar yang kuat dalam Islam.26
Bahkan Al-Quran memandang kesetaraan dan ke mitra sejajaran ini
sebagai pola natural (alamiah) yang berlaku bagi seluruh makhluk. Dijelaskan
dalam Q.s al-Dzariyat[51]: 49 :
رون حذن ا زوجي ىػيل ء خيل ش ك و
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah”
Dan dalam surat Q.s Yaasin [36]: 36 juga dijelaskan:
ن ا ل حػي وم فص أ رض و
ا حنتج ٱل ا م زوج لك
ي خيق ٱل ٱل .شتح
“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka
maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”
26
Tutty Alawiyah, Women in Islam Past, Present, Future, h. 116
50
Kesetaraan ini, tentu mengandung makna persamaan hak-hak perempuan
dalam berbagai sektor kehidupan, baik politik, ekonomi, hukum, dan pendidikan,
beserta akses terhadap sumber-sumber pembangunan. Dengan begitu, Islam
sesungguhnya telah membuktikan diri sebagai agama modern yang penuh gagasan
dan cita-cita sosial yang amat tinggi. Islam mendobrak keterbelakangan dan
melepaskan belenggu yang mengikat harkat kemanusiaan (Q.S al-A‟raf [7]:
157).27
Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah AS berpendapat peran perempuan lebih
strategis dalam mewujudkan ketahanan keluarga dan masyarakat dengan
berpegang pada nilai-nilai moral dan agama.28
Ibu adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga. bagi seorang
muslim menghayati fungsi ibu dan memberikan kecintaan kepadanya sangat
ditekankan oleh agama. Penafian pengakuan terhadap fungsi luhur ibu dalam
membina dan membantu anak memiliki kemampuan fisik dan mental yang
diperlakukannya untuk mengarungi samudra kehidupan, dalam membina dan
membantu anak berjalan dalam koridor rambu dan kisi-kisi agama adalah
bertentangan dengan rasa keadilan dan kemanusiaan.29
Keluarga bisa disebut sebagai pilar pertama dakwah, karena keluarga
dipandang sebagai pusat dakwah dan pendidikan agama yang mula-mula (al
mahad al-awwal). Setiap manusia, siapa pun dia, pasti menimba dan menyerap
pemikiran, ajaran, dan nilai-nilai agama yang hidup dalam keluarga. Dan peran
perempuan sebagai ibu sangat dibutuhkan dalam upaya mendidik anak agar
generasi berikutnya dapat menjadi anak yang baik.30
Menghadapi masa depan kehidupan keluarga, perempuan sebagai istri
bersama suami dan sebagai orang tua harus mampu meningkatkan daya penalaran
27
Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, h. 50
28 Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, h. 38
29
A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban , h. 325
30 A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, h. 364
51
anak-anak. Dia harus menjelaskan kepada anak-anak mengenai pengaruh negatif
globalisasi yang masuk melalui televisi maupun media elektronik lain, yang
kemungkinan dapat mempengaruhi prilaku yang buruk terhadap perkembangan
kepribadian dan mental anak.31
Dalam konteks keluarga beliau berpendapat bahwa syarat perempuan
masuk surga adalah taat pada suami. Selain itu, perempuan karier tetap harus
meluangkan waktunya untuk anak dan suami. Pandangan yang di usung oleh Prof.
Tutty mengasumsikan bahwa perempuan yang memilih bekerja di ruang publik
tetap dituntut mengombinasikan dengan kedudukannya sebagai ibu dan istri.
Baginya, suami dan istri harus saling menghormati agar tercipta harmoni keluarga
dan karier. Para suami juga diharapkan dapat memberi kesempatan pada para istri
untuk berperan di masyarakat.32
2. Perempuan dalam Ruang Publik
Dalam sejarah Islam pada masa Rasulullah SAW perempuan juga menjadi
subyek dalam perjuangan Rasulullah SAW menyebarkan Islam. Dimulai dari istri
Rasul SAW (Khadijah binti Khuwailid) adalah figur muslimah pembisnis yang
sukses, potret perjuangan Siti Hajar yang berjuang untuk mempertahankan
kehidupan anaknya yang berlari-lari dari Safa ke Marwa yang akhirnya membawa
keberkahan bagi manusia karena Air Zam- zamnya, dan masih banyak lagi kisah
teladan perempuan-perempuan Al- Quran yang menarik untuk dijadikan suri
tauladan.33
Perempuan mengemban tugas kemanusiaan yang luhur seperti yang
disabdakan Rasulullah SAW “Perempuan adalah tiang negara, apabila baik
perempuannya maka baiklah negaranya dan apabila rusak perempuannya,
31 Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, h. 38
32 Zainal Arifin Hoesein, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah di Mata Tokoh Indonesia dan
Dunia, (Jakarta: UIA Press, 2012), h. 29
33 A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, h. 74
52
rusaklah negara.” Hadis ini dapat ditafsirkan dari dimensi reproduktif, produktif
dan sosial politik.34
Dari dimensi reproduktif/domestik memberi indikasi jelas mengenai
kualitas umat manusia yang sangat tergantung dari kinerja perempuan. Contoh
dalam fungsinya sebagai pendukung produktivitas sumber daya manusia.
Bagaimana seorang suami atau anak-anak dapat tampil percaya diri dan produktif
bila tidak ada campur tangan seorang perempuan.
Dari dimensi produktif, bisa dilihat dari segi ekonomi. Dari sini bisa
disaksikan berapa banyak mereka yang terlibat dalam kegiatan family income
generating yang pada beberapa budaya hanya dilihat sebagai kewajiban bukan
sebagai prestasi. Bukti-bukti telah menunjukkan kemampuan intelektual
perempuan tidak berbeda bahkan dapat mengungguli laki-laki.35
Selanjutnya dari dimensi yang terakhir, kaum perempuan mempunyai hak
untuk berperan dalam pembangunan seperti halnya kaum pria, sebagaimana
diperlihatkan dalam berbagai peristiwa sejarah.36
Tujuan dari perempuan harus
terlibat dalam kehidupan pengaturan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
tidak lain agar perempuan dapat menyuarakan kepentingan praktis dan strategis,
peranan dan aspirasinya, agar dapat ikut dalam pengambilan ke putusan yang
memungkinkan perempuan dapat meningkatkan kualitas kinerja perannya dalam
ranah publik maupun domestik.37
Peran perempuan yang penting sekali ialah dalam pendidikan keluarga.
Namun dalam peran itu tidak berarti wanita tak punya kesempatan untuk
berkarier. Dengan persetujuan suami dan sesuai dengan tingkat pendidikan, tak
ada halangan bagi wanita untuk berkarier. Dengan catatan tidak boleh melupakan
34
Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, h.50
35 Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, h.51
36Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, h.39
37 Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, h.51
53
peran pendidikan dengan tanggung jawab pada suami. Peran itu timbul daripada
adanya hak dan kewajiban.38
Membahas tentang kepemimpinan perempuan, Prof. Tutty menjelaskan
yang dimaksud dengan kepemimpinan perempuan ialah bukan dominasi
perempuan atas kaum laki-laki, karena Islam adalah agama keadilan (din al-
„adalah) yang menolak kezaliman dalam bentuk apa pun, termasuk kezaliman
kaum perempuan atas kaum laki-laki.
Kepemimpinan perempuan di sini adalah suatu konsep perjuangan berupa
pemikiran dan gerakan untuk mengokohkan kemerdekaan (huriyah, freedom),
persamaan (musawah, equality), dan ujungnya adalah keadilan („adalah, justice)
bagi kaum perempuan dalam kedudukannya sebagai manusia (insanan), sebagai
ibu (umman), sebagai istri (zawjatan), sebagai anak (bintan), dan sebagai anggota
dari suatu komunitas atau masyarakat („adhawan li al-mujtama‟).
Kepemimpinan perempuan tidak berarti perempuan hendak merebut posisi
dan peran kepemimpinan laki-laki, tetapi perempuan dan laki-laki dapat bersama-
sama menyalurkan potensi kepemimpinan mereka sepenuhnya Tanpa superioritas
pada satu sama lain. Kepemimpinan perempuan merupakan tantangan bersama
bagi para laki-laki dan perempuan, sebagai „equal partner‟ untuk mewujudkan
kehidupan bersama yang lebih sinergi, penuh kesejahteraan lahir batin, dan
menggapai keselamatan dunia akhirat.39
Selain kemerdekaan dan kesetaraan, menurut Prof. Tutty Alawiyah ,
kepemimpinan perempuan perlu didukung dan diperkuat oleh peran dan kiprah
perempuan dalam sektor-sektor kehidupan publik, baik dalam pendidikan,
ekonomi, politik, dan peradaban. Dalam pendidikan, perempuan perlu
memperbesar kekuatan SDM melalui investasi pendidikan berbasis iptek.
Dalam ekonomi, perempuan dituntut agar bekerja sehingga lebih
menghasilkan baik ia kaya apalagi miskin. Ada dua alasan penting menurut Jamal
38
Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, h.xii
39
Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, h. 63
54
Al-Banna, mengapa perempuan wajib bekerja. Pertama, agar ia memiliki
kemerdekaan dan kemandirian secara ekonomi, sehingga tidak bergantung kepada
keluarga, orang tua atau suami. Kedua, agar diri perempuan dan bakat-bakatnya
yang tersembunyi dapat diaktualisasikan secara baik. Dan kerja adalah alat terbaik
untuk aktualisasi ini.40
Dalam politik, perempuan harus melibatkan diri secara aktif dalam proses
pembangunan bangsa. Perempuan diminta untuk setiap waktu memperbesar
keterwakilannya dalam pemerintahan baik pada jalur eksekutif, legislatif maupun
yudikatif. Perempuan juga diminta untuk menjadi salah satu kekuatan moral
(moral force) yang diharapkan mampu memberantas kebobrokan bangsa seperti
yang diminta oleh Q.s Al-Taubah ayat 71 :
ن وٱ ؤ ولاء ةػضوٱل أ نج ةػظ ؤ ن .ل هر ويلي ٱل ن غ ػروف وي يأمرون ةٱل
ورشل ة ويطيػن ٱلل ن ة ويؤحن ٱلز ي غزيز خهي ۥ ٱلص إن ٱلل ٱلل ولهم شريح .أ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma´ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”
Sementara dalam peradaban, perempuan juga diharapkan mampu
memberikan peranan dan kontribusinya bagi pengembangan budaya dan
peradaban global yang berbasis pada kekuatan moral dan spiritual (agama) dengan
memperkuat (a), komitmen terhadap budaya tanpa kekerasan sebagai realisasi dari
ajaran “larangan membunuh” (Q.S Al- An‟am[6] : 151). (b), komitmen kepada
budaya solidaritas dan tata ekonomi yang adil sebagai realisasi dari ajaran
“larangan mencuri” (Q.S Al-Baqarah[2] : 188). (c), komitmen toleransi dan
kejujuran sebagai realisasi dari ajaran “jangan berdusta” (Q.S Al- Baqarah [2]:
40
A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, h. 353
55
42), dan (d), komitmen kepada budaya persamaan dan kesetaraan gender sebagai
realisasi dari ajaran “jangan berzina” (Q.S Al- Isra‟ [17]: 32).41
Menurut Tutty Alawiyah, untuk mencapai kemajuan dan sukses
perempuan Indonesia, perempuan harus melakukan dua hal. Pertama,
meningkatkan kepercayaan yang tinggi terhadap diri sendiri sebagai perempuan.
Dan yang kedua, perempuan Indonesia perlu membuang jauh-jauh mitos-mitos
yang merendahkan perempuan. Yang dimaksud dengan mitos itu adalah
pandangan yang diskriminatif dan destruktif itu, tidak berdasar dan tidak memiliki
argumen yang kuat baik berdasarkan agama (Islam) maupun sains (modern).42
Lebih lanjut menurut Tutty Alawiyah, di antara mitos itu ialah pandangan
sesat yang dipahami dari hadis Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa
perempuan adalah makhluk kurang akal dan kurang agama ( اكصات خلو ودي ). Ada
beberapa catatan yang diberikan oleh Tutty Alawiyah mengenai hadis ini. Di
antaranya :43
a) Dalam hadis ini ada keraguan perawi, apakah pernyataan Nabi
Muhammad SAW disampaikan pada momen Idul Fitri atau Idul Adha.
Keraguan semacam ini, secara metodologis, mengurangi validitas hadis.
b) Hadis ini berbicara dalam konteks khusus, dan tidak bisa dipahami secara
general. Hadis ini menerangkan kenyataan perempuan yang ada pada masa
itu. Seperti yang diketahui, kenyataan (waqi‟) bisa berubah dan
berkembang (qabli li al-taghir wa al-tathawwur), sedangkan syariat tidak
berubah. Bahwa disadari pada masa itu, ada sebagian perempuan yang
memiliki kelemahan-kelemahan yang menyebabkan mereka terbelakang
atau diancam siksa api neraka. Namun, kelemahan-kelemahan itu bukan
41
A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, h. 354
42 A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, h. 389
43
A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, h. 390
56
karena mereka perempuan, tetapi karena faktor-faktor lain yang bisa
menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan.
c) Dikehendaki dengan kurang akal (naqishatu aql) adalah kecerdasan emosi.
Jadi berdasarkan hadis ini perempuan memiliki kecerdasan emosi yang
lebih tinggi dibanding dengan laki-laki. Kecerdasan emosi di sini yang
intinya kasih sayang. Kasih sayang memang tidak bisa di kuantifikasi dan
dikalkulasi secara logika. Ia memiliki logikanya sendiri. Ini justru
pemberian Allah SWT yang agung bagi kaum perempuan, agar mereka
bisa mencurahkan cinta dan kasih sayangnya kepada keluarga dan kepada
anak-anaknya. Jadi kalau begitu, hadis ini tidak bermakna ejekan atau
perendahan, tetapi justru pujian dan sanjungan kepada kaum perempuan.
d) Soal akal (kecerdasan intelektual) tentulah berbeda-beda, dan tidak ada
orang yang sama antara yang satu dengan yang lain. Bukan hanya laki-laki
dengan perempuan, tetapi juga antara laki-laki yang satu dengan laki-laki
yang lain. Perlu diingat, bahwa dalam Islam akal adalah tolak ukur taklif,
yakni kewajiban dari Allah ta‟ala. Kalau benar perempuan kurang akal
seperti paham yang salah itu, pasti Allah ta‟ala tidak akan memberikan
tugas (taklif) yang sama antara laki-laki dengan perempuan. Faktanya,
Allah ta‟ala memberikan beban yang sama antara laki-laki dan perempuan
seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain.
e) Soal kurang agama (naqishatu din), maksudnya adalah kemudahan
(rukhsah) dari Allah ta‟ala. Kaum perempuan diberikan keringanan dalam
agama lebih besar dari laki-laki, terutama waktu haidh dan nifas. Terlalu
banyak ayat dan hadis sahih yang menerangkan bahwa Allah ta‟ala tidak
membeda-bedakan hamba-hambanya, laki-laki maupun perempuan.
57
BAB IV
ANALISA ATAS PEMIKIRAN PROF. DR. HJ. TUTTY ALAWIYAH AS
TENTANG PERAN PEREMPUAN DALAM RUANG PUBLIK DAN
DOMESTIK
A. Kedudukan Perempuan
Setiap manusia memiliki kedudukan tertentu dan berperan menurut
kedudukannya. Kedudukan dan peran tidak dapat dipisahkan, karena peran
merupakan aspek dinamis dari kedudukan. Tidak ada peranan tanpa kedudukan
dan tidak ada kedudukan tanpa peranan.1
Bicara tentang kedudukan perempuan dalam Islam, masih banyak orang
yang menuduh bahwa Islam telah memerkosa hak perempuan, menurunkan
derajatnya dan menjadikan sebagai barang mainan kaum lelaki, di mana mereka
boleh bertindak sewenang-wenang terhadap kaum perempuan, kapan pun dan
dalam bentuk apa saja.
Padahal Islam datang ke dunia ini membawa kabar gembira bagi kaum
perempuan yang direndahkan kedudukannya sebelumnya. Kepada kaum
perempuan, Islam mengangkat dan menghormati serta diberinya hak yang sesuai
dengan keadilan. Perempuan dipandang sebagai makhluk yang memiliki potensi
sama seperti apa yang dimiliki laki-laki. Keberadaannya dipandang sebagai mitra
sejajar dengan laki-laki secara harmonis.
Prof. Tutty Alawiyah berpendapat bahwa Islam datang dan secara bertahap
mengembalikan lagi hak-hak perempuan sebagai manusia merdeka. Berhak
menyuarakan keyakinannya, berhak mengaktualisasikan karyanya, dan berhak
memiliki harta yang memungkinkan mereka diakui sebagai warga masyarakat.2
1
Hidayah Sultan Salim, Wanita-wanita di dalam al- Qur‟an, penerjemah. Salman Harun,
(Bandung: Al- Ma‟arif, 1983), cet-1, h. 22
2 A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, (Jakarta : UIA pres, 2012), h.. 340
58
Islam sejak awal telah mengedepankan ide kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan. Term zawj (pasangan yang dipergunakan Al- Quran untuk menyebut
suami (laki-laki) dan istri (perempuan) memperlihatkan dengan jelas ide
kesetaraan ini. Begitu pula kata Libas (pakaian) untuk suami dan istri, dan kata-
kata al- Insan, Basyar, dan Bani Adam (masing-masing untuk arti manusia) yang
tercakup di dalamnya laki-laki dan perempuan. Penggunaan istilah ini
sesungguhnya mengandung makna pengokohan terhadap ide kesetaraan tersebut.3
Dalam Al-Quran surat al- Nisa‟ ayat 1 Allah ta‟ala berfirman:
ربل ا ل ا ٱنلاس ٱت حأ ا ي ا وبد ا زوج جفس وخدة وخيق ي خيلل ٱل
كن غييل إن ٱلل رخامي تصاءلن ةۦ وٱل ٱل ا ٱلل ل وٱت ا ونصاءا .رقيتاارجالا نرريا
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.”
Disebutkan di atas menurut pandangan Tutty Alawiyah bahwa laki-laki
dan perempuan diciptakan dari satu jenis atau dari zat yang sama. Penegasan ini
menghapus diskriminasi akibat pemahaman yang mengatakan bahwa Hawa
adalah pelengkap Adam (diciptakan dari tulang rusuk Adam) dan penyebab Adam
berbuat dosa.4 Hal ini sesuai dengan pendapat ulama kontemporer, antara lain:
Muhammad Abduh, Al-Qasimy dan Rasyid Ridha. Mereka mengatakan bahwa
tidak ada petunjuk yang pasti dari ayat Al- Quran yang dapat mengantar kita
untuk menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk. Mereka tidak
3 Tutty Alawiyah, Women in Islam Past, Present, Future, (Jakarta: diterbitkan atas kerja
sama BMKT, IMWU dan UIA, 2002), h. 116
4 Tutty Alawiyah, Women in Islam Past, Present, Future, h. 117
59
memahami secara harfiah hadis yang mengatakan bahwa perempuan diciptakan
dari tulang rusuk yang bengkok, tetapi mereka memahami secara metaforis.5
Al-Quran memandang kesetaraan dan ke mitra sejajaran ini sebagai pola
natural (alamiah) yang berlaku bagi seluruh makhluk. Kesetaraan ini, tentu
mengandung makna persamaan hak-hak perempuan dalam berbagai sektor
kehidupan, baik politik, ekonomi, hukum, dan pendidikan, beserta akses terhadap
sumber-sumber pembangunan.
Selanjutnya beliau berpendapat, kesamaan antar perempuan dan laki-laki
itu terutama dilihat dari tiga dimensi, Pertama, dari segi hakikat kemanusiaan,
Islam memberikan kepada perempuan sejumlah hak untuk meningkatkan kualitas
kemanusiaannya, seperti hak mendapatkan pendidikan, hak berpolitik, dan hak-
hak lain yang berkenaan dengan urusan publik. Kedua, dari segi ajaran agama,
Islam mengajarkan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama mendapat pahala
atas amal shalih yang diperbuatnya dan sama-sama mendapat siksaan atas
pelanggaran yang mereka lakukan. Ketiga, dari segi hak-hak dalam keluarga,
seperti hak waris. Islam memberikan hak waris kepada perempuan, meskipun
jumlahnya tidak sebanyak bagian laki-laki. Sebelumnya, hak menerima warisan
bagi perempuan tidak dikenal dalam tradisi Arab.6
Pandangan-pandangan kontroversial seputar kedudukan perempuan yang
telah diberikan oleh Islam itu karena pengaruh penafsiran terhadap teks-teks
sumber ajaran Islam itu sendiri, baik karena pengaruh persepsi laki-laki atau
perempuan yang menafsirkannya. Yang keduanya kemungkinan dipengaruhi oleh
ajaran agama-agama di luar Islam dan kemungkinan karena dipengaruhi oleh
budaya dan tradisi.7
Banyak nash yang bertalian dengan perempuan yang sering ditafsirkan
secara tekstual dan tidak melihat kepada asbab nuzul atau konteks diturunkannya
5
Pendapat Muhammad Abduh, Al- Qasimy dan Rasyid Ridha ini dikutip dari Huzaemah
T. Yanggo, Hukum Keluarga Dalam Islam, h. 22
6 A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, h. 341
7 Huzaemah T. Yanggo, Hukum Keluarga Dalam Islam, h. 5
60
ayat itu, akhirnya muncul anggapan bahwa laki-laki superioritas, sementara
perempuan subordinat. Penafsiran seperti itu tentu saja merugikan kaum
perempuan, karena mengakibatkan peran perempuan pun didefinisikan dalam
wilayah domestik, sementara wilayah publik menjadi milik laki-laki. Jadi bukan
agama yang memandang rendah kepada perempuan atau memandang remeh
terhadap hak-haknya, atau memandang kedudukannya tidak sejajar dengan laki-
laki melainkan pemahaman dan praktik keagamaan yang mengandung bias kultur
patriarki.
Agama Islam memberikan kesempatan kepada kaum perempuan dalam
kegiatan-kegiatan sosial, politik, pendidikan dan lain-lain, selama tidak menyalahi
garis yang telah ditetapkan oleh agama Islam dan tidak mengurangi nilai dan
martabat perempuan itu sendiri. Jadi agama Islam tidak membedakan kedudukan
perempuan dengan laki-laki, kalaupun ada perbedaan, itu hanyalah akibat fungsi
dan tugas utama yang dibebankan Allah ta‟ala kepada masing-masing jenis
kelamin, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa
memiliki kelebihan atas yang lain, di mana fungsi dan tugas utama mereka itu
sama-sama penting dan semuanya dibutuhkan, karena saling melengkapi dan
saling menyempurnakan serta bantu membantu dalam melaksanakan tugas dan
kewajiban.
Jadi mengenai kedudukan perempuan, Tutty Alawiyah berpendapat bahwa
perempuan itu setara dengan laki-laki, hanya ketakwaanlah yang menjadi nilai
pembeda. Kesetaraan ini tentu mengandung makna persamaan hak-hak
perempuan dalam berbagai sektor kehidupan, baik politik, ekonomi, hukum, dan
pendidikan, beserta akses terhadap sumber-sumber pembangunan. Pendapat ini
berbeda dengan pendapat para fuqaha klasik, yang mana mereka berpendapat
bahwasanya laki-laki derajatnya satu tingkat di atas perempuan.
Pendapat Tutty ini dikarenakan perkembangan khazanah keilmuan pada
masa Tutty hidup sedang menemui masa kemajuan. Sebut saja Muhammad
Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (1863- 1935 M), Jamaluddin
61
al-Afghani (1839-1897 M) dan lain-lain.8 Para ulama-ulama pembaharu yang
terlahir pada abad 19 M dan mulai populer dengan karyanya di abad 20 M. Jadi
ketika Tutty sedang mengenyam pendidikan, banyak pemikiran-pemikiran tokoh
tersebut yang diterima dan dicerna oleh Tutty Alawiyah.
B. Hak dan Kewajiban Perempuan dalam Ruang Domestik
Menurut Hamka, hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dan
perempuan bukanlah berarti bahwa pekerjaan yang hanya bahu laki-laki kuat
memikulnya perempuan disuruh untuk memikulnya pula. Islam menjelaskan
bahwa meskipun sama-sama berhak dan sama-sama berkewajiban, pekerjaan
harus dibagi-bagi.
Para fuqaha menegaskan bahwa Allah ta‟ala telah mewajibkan nafkah
atas suami, karena kemampuan yang dia miliki dalam memperoleh rezeki, karena
kemampuannya bekerja, karena kedudukannya sebagai penanggung jawab
keluarga, dan karena kelebihannya memikul beban.
Namun kewajiban memberikan nafkah yang dibebankan kepada suami
tidak berarti bahwa istri tidak boleh memberikan andil dalam memberi nafkah.
Bila si istri kaya atau memiliki pekerjaan yang mendatangkan gaji dan ia
memperoleh izin suaminya. Kehidupan suami istri adalah perpaduan, saling
menolong dan cinta kasih. Istri yang bekerja yaitu yang membantu suaminya
secara materi jika mampu dan dengan syarat bahwa istri tidak memayahkan
jiwanya untuk memperoleh harta dan untuk memberikan nafkah kepada keluarga,
karena hal itu hanya menjadi kewajiban suami.9
Begitu pun dengan Tutty Alawiyah, mengenai masalah nafkah,
menurutnya agama memberikan kewajiban kepada laki-laki untuk menafkahi
keluargannya. Namun Tutty Alawiyah tidak melihat bahwa ketika si istri bekerja
8 M. Khoirul Hadi, Pemikiran Politik Rasyid Ridha dalam Fiqh Munakahat, (Jurnal
Hunafa, 10, no. 2, 2015), h. 223. Diakses pada tanggal 20 Desember 2017, pukul 6.30 WIB dari
https://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/27/20.
9 Musa Shalih Syara, Fatwa- Fatwa Kontemporer Tentang Problematika Wanita, (Jakarta
: Pustaka Firdaus, 1997), h. 87
62
lalu pendapatan si istri itu mutlak hanya milik istri saja, melainkan si istri bisa
turut membantu kehidupan keluarganya melalui pendapatannya.10
Pendapat Tutty ini juga diperkuat oleh keterangan dari Fitriani Farhana,
yang merupakan Anak ke- 3 Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah, bahwasanya Prof.
Tutty alawiyah itu tidak memandang ini harta ayah atau ini harta mamah, tetapi
mamah ikut memberikan nafkah kepada anaknya dengan uang hasil keringatnya
sendiri. Dan akhirnya ajaran yang dia kerjakan itu kita ikuti sebagai anaknya.11
Nampak terlihat jelas bahwa adanya perbedaan pandangan mengenai
masalah nafkah ini. Para fuqaha klasik berpendapat bahwa nafkah keluarga
mutlak kewajiban suami, tidak ada campur tangan dari sang istri. mau sekaya
apapun sang istri dan semiskin apapun si suami, tetap kewajiban nafkah ada pada
suami.12
sedangkan menurut pandangan Tutty Alawiyah sang istri dapat
memberikan nafkah kepada keluarganya dengan hasil usahanya sendiri.
Pandangan Tutty Alawiyah ini mungkin disebabkan karena di Indonesia
telah lama mengenal yang namanya harta gono-gini. Pembagian harta bersama
antara suami dan istri di dalam satu keluarga yang sudah berjalan dari dahulu.
Selain itu pada masa setelah Tutty Alawiyah menikah, pada tahun 1974 lahir
Undang- undang nomor 1 tentang perkawinan, yang mana ada pasal yang
membahas tentang harta bersama.
Selanjutnya bicara soal kewajiban istri terhadap suami, ada pembahasan
mengenai hal urusan domestik (urusan rumah tangga). Yang dimaksud di sini
meliputi banyak hal mulai dari tugas mencuci dan menggosok pakaian,
membersihkan rumah, memasak, menghidangkan makanan, cuci piring,
membenahi perabotan dan lain-lain.
Menurut Imam Syafi‟i dan Hambali, seorang istri tidak wajib melakukan
pekerjaan yang berkaitan dengan kebutuhan rumah tangga sehari-hari, juga tidak
10 Wawancara Pribadi dengan Fitriani Farhana, Anak ke- 3 Tutty Alawiyah, di Jati
Waringin, 22 November 2017.
11
Wawancara Pribadi dengan Fitriani Farhana, Anak ke- 3 Tutty Alawiyah, di Jati
Waringin, 22 November 2017
12 Mohammad Asnawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:
Darussalam, 2004), h. 214
63
perlu mengurusinya, karena yang benar-benar menjadi kewajiban bagi seorang
istri adalah memberikan pelayanan yang baik kepada “kebutuhan” suaminya.13
Sependapat dengan pendapat ulama klasik, Tutty Alawiyah menjelaskan
bahwa seorang istri tidak wajib melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan
urusan rumah tangga, melainkan peran tersebut diemban secara bersama-sama
dengan suami. Tidak terlihat sedikit pun kesan yang menyatakan bahwa tugas suci
perempuan hanya sebagai makhluk domestik- reproduktif belaka. Menyudutkan
perempuan pada tugas utama rumah tangga semata tidak mendapatkan dasar yang
kuat dalam Islam.14
Sama seperti tugas rumah tangga, urusan mendidik anak pun dilakukan
atas tanggung jawab bersama. Di barat, orang bisa melepas anaknya ke sekolah
dengan tanggung jawab adalah sekolah, guru dan sebagainya. Oleh karenanya
anak-anak bisa cenderung liar. Kalau dalam pemikiran di dunia Islam tidak seperti
itu. Walaupun anak dilepas ke sekolah atau pesantren, tapi tangggung jawab
pertama tetap orang tua sampai dia dewasa dan berkeluarga.15
Orang tua merupakan pendidik pertama, utama dan sejati. Apabila orang
tua tidak dapat mendidik anak-anaknya walau dengan alasan kesibukan, maka
hubungan batin di antara orang tua dan anak akan longgar, orang tua akan
kehilangan wibawanya, sehingga anak-anak akan bersikap tidak sopan, hormat
dan patuh kepada orang tuanya.16
Prof. Tutty Alawiyah berpendapat peran perempuan lebih strategis dalam
mewujudkan ketahanan keluarga dan masyarakat dengan berpegang pada nilai-
nilai moral dan agama.17
Ibu adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga. bagi seorang
muslim menghayati fungsi ibu dan memberikan kecintaan kepadanya sangat
13 Pendapat ini dikutip oleh Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan
Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), h. 210
14 Tutty Alawiyah, Women in Islam Past, Present, Future, h. 116
15 Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, h. xi
16
Huzaemah T. Yanggo, Hukum Keluarga Dalam Islam, h. 121
17 Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, h. 38
64
ditekankan oleh agama. Penafian pengakuan terhadap fungsi luhur ibu dalam
membina dan membantu anak memiliki kemampuan fisik dan mental yang
diperlakukannya untuk mengarungi samudra kehidupan, dalam membina dan
membantu anak berjalan dalam koridor rambu dan kisi-kisi agama adalah
bertentangan dengan rasa keadilan dan kemanusiaan.18
Menghadapi masa depan kehidupan keluarga, perempuan sebagai istri
bersama suami dan sebagai orang tua harus mampu meningkatkan daya penalaran
anak-anak. Dia harus menjelaskan kepada anak-anak mengenai pengaruh negatif
globalisasi yang masuk melalui televisi maupun media elektronik lain, yang
kemungkinan dapat mempengaruhi prilaku yang buruk terhadap perkembangan
kepribadian dan mental anak.19
Jika kita tarik kesimpulan mengenai kewajiban memberikan pendidikan
kepada anak, pendapat Tutty Alawiyah ini sependapat dengan ulama klasik,
bahwasanya pendidikan adalah kewajiban yang utama dari sang ayah maupun ibu.
Namun ketika bicara hak pendidikan yang didapatkan oleh anak laki-laki dan
perempuan, nampaknya ulama klasik lebih cenderung berhati-hati terhadap anak
perempuan, tidak seperti anak laki-laki yang lebih diberikan kebebasan untuk
menuntut ilmu ke mana pun dan di mana pun. Sedangkan menurut Tutty
Alawiyah, anak laki-laki dan anak perempuan bisa mendapatkan hak
pendidikannya tanpa adanya perbedaan. Hal ini disebabkan karena mengenai
kedudukan perempuan, Tutty Alawiyah berpendapat bahwa laki-laki dan
perempuan itu setara, maka hak-hak yang diperoleh oleh anak laki-laki seharusnya
bisa diperoleh anak perempuan.
C. Hak dan Kewajiban Perempuan dalam Ruang Publik
Fenomena yang berlangsung saat ini di Indonesia adalah semakin hari
semakin banyak perempuan Indonesia dalam usia dewasa muda mempunyai
peluang untuk berkarya di dunia publik di samping menjadi ibu rumah tangga.
18 A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban , h. 325
19
Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, h. 38
65
Mereka melakukannya terutama tidak karena keharusan ekonomi, tetapi atas dasar
pilihan.20
Di kota-kota besar, fungsi perempuan sebagai ibu rumah tangga ini
semakin berkurang peranannya karena beberapa penyebab, di antara penyebabnya
ialah karena tuntunan kebutuhan rumah tangga, atau dorongan berprestasi sebagai
orang modern. Perempuan semakin banyak ditemui mempunyai karier sendiri,
bahkan terkadang melebihi golongan laki-laki.21
Islam tidak mengatur wilayah perempuan dan laki-laki secara skematis.
Islam menyisakan wilayah-wilayah tertentu untuk diatur oleh akal manusia
berdasarkan tuntutan tuntutan yang senantiasa berkembang.
Penegasan Allah SWT bahwa perempuan dan laki-laki diberi hak dan
peluang yang sama baik dalam hal beramal, bekerja maupun prestasi dapat
disimak dalam Al- Quran (QS. Al-Nisa‟ [4]: 124) :
ث ول حظي ولهم يدخين ٱجل ـأ مؤ ث و
و أيحج ذنر أ ٱىص و حػ ن و
ا .لريا
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam
surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.”
Ayat ini menjamin (memotivasi) perempuan maupun laki-laki yang ingin
berkarier dalam bidang apa saja yang tergolong pekerjaan baik (halal) akan
mendapatkan keberhasilan dan kebahagiaan dan tidak pula akan dirugikan.
Menurut Syekh Mutawalli As Sya‟rawi seorang perempuan diperbolehkan
untuk mengetahui sebesar apa kemampuannya dalam berkarier di ranah publik
dengan syarat tanpa harus mengabaikan kewajiban rumah tangga selaku istri dan
20 Saparinah Sadli, Berbeda Tetapi Setara, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010),
h.18
21
H.Ray Sitoresmi Prabuningrat, Sosok Wanita Muslimah, (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1997), cet-2, h. 106
66
ibu yang bertugas untuk mendidik anaknya dan juga haruslah masih dalam
koridor yang telah ditentukan oleh agama.22
Quraish Shihab menjelaskan bahwa perempuan mempunyai hak untuk
bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka
membutuhkan pekerjaan tersebut, serta pekerjaan tersebut dilakukannya dalam
suasana terhormat, sopan serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif
dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.23
Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah AS sependapat dengan ulama kontemporer di
atas, bahwasanya dengan persetujuan suami dan sesuai dengan tingkat
pendidikan, tak ada halangan bagi perempuan untuk berkarier. Dengan catatan
tidak boleh melupakan peran pendidikan kepada anak dan tanggung jawab pada
suami.24
Namun pendapat itu berbeda dengan pendapat ulama klasik, yang mana
menurut jumhur ulama klasik menyatakan bahwa tidak dibenarkan seorang
perempuan itu keluar rumah tanpa ada sebab yang dibenarkan dalam pandang
agama. Itu pun dengan syarat dapat memelihara kesucian dan kehormatannya.25
Selanjutnya bicara tentang hak perempuan yang berkaitan dengan ruang
publik, dalam hal pendidikan, Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah AS merupakan orang
yang terbuka. Seperti yang di contohkan, semua anak-anaknya disekolahkan di
luar negeri. Dan dia membebaskan kepada anak untuk memilih pilihannya sendiri
tidak ada paksaan dalam mencari pendidikan.26
22
Syekh Mutawalli Assya‟rawi, Fikih Perempuan (Muslimah), (Jakarta: Amzah, 2005),
cet-2, h. 39
23
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan,1992), h. 275
24 Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, h. xii
25 Pendapat Jumhur ini terdiri dari Imam Ibnu Katsir, Muhammad Nawawi al-jawi, al-
Qurthubi, dan al-Maraghi yang dikutip dari Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua,
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,2010), h. 146 (lebih lengkap baca: Muhammad Nawawi al- Jawi,
Tafsir al- Nawawi, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 183. Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Juz III,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1986). Al- Qurthubi, al- Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an, Jilid I, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1986), h. 15
26
Wawancara Pribadi dengan Fitriani Farhana, Anak ke- 3 Tutty Alawiyah, di Jati
Waringin, 22 November 2017.
67
Beliau tidak membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan.
Pendidikan itu wajib bagi setiap muslim muslimat tidak ada pengecualian, mulai
dari lahir hingga liang lahat. Pemikiran beliau ini mungkin berbeda dengan cara
pendidikan yang dahulu beliau dapatkan dari sang ayah. Dulu sang ayah tidak
membolehkan Tutty untuk mengenyam pendidikan di luar madrasah.27
Berbeda
zaman, mungkin ketika zaman sang ayah tidak mengizinkan anaknya untuk
sekolah di luar lingkupnya, dikarenakan banyak dampak negatifnya jika si anak
jauh dari pengawasan orang tua. Namun ketika zaman sekarang, banyak cara
pengawasan dan pengontrolan yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk tetap
dekat dengan sang anak.
Begitu pun dengan hal dalam memilih pasangan hidup, Prof. Tutty
Alawiyah tidak pernah menekan anaknya untuk berjodoh dengan seseorang,
namun lebih memberikan kebebasan kepada anaknya untuk menentukan
pilihannya sendiri.28
Ajaran yang beliau berikan kepada anaknya ini merupakan
ajaran yang beliau dapat dari sang ayah. Karena Prof. Tutty Alawiyah menikah
dengan pak Chatib Naseh, pernikahan yang memang bukan berdasar dari hasil
perjodohan orang tua.
Membahas tentang kepemimpinan perempuan, Prof. Tutty menjelaskan
yang dimaksud dengan kepemimpinan perempuan ialah bukan dominasi
perempuan atas kaum laki-laki, karena Islam adalah agama keadilan (din al-
„adalah) yang menolak kezaliman dalam bentuk apa pun, termasuk kezaliman
kaum perempuan atas kaum laki-laki. Kepemimpinan perempuan tidak berarti
perempuan hendak merebut posisi dan peran kepemimpinan laki-laki, tetapi
perempuan dan laki-laki dapat bersama-sama menyalurkan potensi kepemimpinan
mereka sepenuhnya tanpa superioritas pada satu sama lain. Kepemimpinan
perempuan merupakan tantangan bersama bagi para laki-laki dan perempuan,
sebagai „equal partner‟ untuk mewujudkan kehidupan bersama yang lebih
27 Wawancara Pribadi dengan Fitriani Farhana, Anak ke- 3 Tutty Alawiyah, di Jati
Waringin, 22 November 2017.
28
Wawancara Pribadi dengan Fitriani Farhana, Anak ke- 3 Tutty Alawiyah, di Jati
Waringin, 22 November 2017.
68
sinergik, penuh kesejahteraan lahir batin, dan menggapai keselamatan dunia
akhirat.29
Dalam politik, perempuan harus melibatkan diri secara aktif dalam proses
pembangunan bangsa. Perempuan diminta untuk setiap waktu memperbesar
keterwakilannya dalam pemerintahan baik pada jalur eksekutif, legislatif maupun
yudikatif. Perempuan juga diminta untuk menjadi salah satu kekuatan moral
(moral force) yang diharapkan mampu memberantas keburukan bangsa.30
Kaum perempuan mempunyai hak untuk berperan dalam pembangunan
seperti halnya kaum lelaki, sebagaimana diperlihatkan dalam berbagai peristiwa
sejarah. Tujuan dari perempuan harus terlibat dalam kehidupan pengaturan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak lain agar perempuan dapat
menyuarakan kepentingan praktis dan strategis, peranan dan aspirasinya, agar
dapat ikut dalam pengambilan ke putusan yang memungkinkan perempuan dapat
meningkatkan kualitas kinerja perannya dalam ranah publik maupun domestik.31
Menurut Tutty Alawiyah, wilayah politik pada dasarnya kewajiban yang
kekuatan tuntutannya bisa masuk kategori wajib „ain atau hanya berhenti sebagai
wajib kifayah. Ini sangat tergantung pada definisi wilayah politik (sesuatu yang
cocok bagi perbaikan manusia untuk meniti jalan selamat dunia dan akhirat),
maka tuntutan itu mempunyai kekuatan wajib „ain. Namun apabila konsep negara
bangsa, per undang- undangan, persaingan kekuasaan, itu kekuatannya termasuk
dalam wilayah wajib kifayah.32
Format pemahaman seperti ini mengindikasikan kegiatan politik adalah
tanggung jawab individual dan sekaligus tanggung jawab sosial, karena setiap
individu di manapun tempatnya mempunyai kewajiban untuk membantu
terlaksananya wajib kifayah baik yang dilaksanakan oleh perorangan maupun oleh
29 Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, h. 63
30 A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, h. 354
31 Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, h. 51
32
Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, h. 70
69
negara. Dalam pengertian ini, setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan
mempunyai kewajiban membantu negara yang akan melaksanakan wajib
kifayah.33
Masih dalam pembahasan politik, menurut Tutty Alawiyah Islam
memandang penting unsur kemampuan. Bagi perempuan yang memang mampu
dalam dunia politik, terbuka baginya untuk berperan dalam politik. Sementara
yang tidak mampu harus ingat bahwa konsep kewajiban dalam dimensi
dinamikanya sangat berkaitan dengan kemampuan. Hukum taklif harus bisa
dijangkau oleh kemampuan mukalafnya karena sesungguhnya tidak ada taklif
kecuali bila ada kemampuan.34
Dalam Q.s al- Baqarah ayat 286 :
ا جفصا إل وشػ ....ل يليؿ ٱلل
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Sebagian orang melihat perempuan memiliki kecenderungan menyimpang
dan tidak berlaku bijak seimbang. Emosinya lebih tinggi dari rasionya dan
sebagainya. Kekuasaan politik menuntut adanya pandangan rasional dan
keteguhan, suatu hal yang dianggap kelemahan yang dimiliki oleh perempuan.
Karena itu politik diharamkan bagi para perempuan demi menjaga masyarakat
agar tidak mundur dan jatuh. Selain itu, dunia politik akan menjadi beban berat
bagi wanita yang tidak akan mampu dipikul, hanya akan membuat tugas utamanya
dalam keluarga menjadi terabaikan atau tidak tertangani.
Menurut Tutty Alawiyah pandangan seperti ini harus kita lihat semata-
mata didasarkan pada teori maslahat bukan pada pandangan dasar yang tidak
sejalan dengan perkembangan bentuk negara yang sesuai dengan ruang dan
waktu. Persoalan yang berkaitan dengan masalah keluarga maupun politik telah
ada landasan tempat berpijaknya dalam hukum taklif bahwa tidak memberi beban
kewajiban kecuali yang sesuai dengan kemampuannya. Tidak ada kecuali, apakah
33 Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, h. 70
34
Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, h. 71
70
itu laki-laki maupun perempuan, jika tidak ada kemampuan dan keahlian pastilah
hak dalam pengertian kewajiban itu gugur dengan sendirinya.35
Jadi ketika membahas tentang hak perempuan dalam ruang publik, penulis
berkesimpulan bahwasanya Prof. Tutty Alawiyah merupakan seseorang yang
sangat amat perhatian terhadap hak-hak perempuan, pemikiran yang ia hasilkan
berkat belajar, pengalaman dan wawasan yang ia dapatkan, semua itu beliau
aplikasikan melalui didikan dan teladan kepada anak-anak dan murid-muridnya.
Melihat sosok Tutty Alawiyah yang menjadi emansipator pada zaman orde
baru terlebih lagi pada zaman reformasi ini mengingatkan kita kepada sosok
Raden Ajeng Kartini. Seorang yang menjunjung tinggi ide kesetaraan pada zaman
penjajahan. Tutty Alawiyah dalam pandangannya mengenai kesetaraan ini adalah
sebuah upaya reformasi kultural untuk mengedepankan pentingnya percerahan
perempuan dan perubahan-perubahan yang ditimbulkan beserta jejak-jejak
keberhasilan perempuan Indonesia sampai saat ini.
Menurut Tutty, reformasi kultural ini bukanlah upaya penafsiran kultural
sosok Raden Ajeng Kartini dan posisinya dalam sejarah perjuangan perempuan
Indonesia. Bukan pula upaya pengesahan ulang simbolisasi cita-cita perempuan
Indonesia dalam sejarah. Seperti Christina Martha Tiahahu, Cut Nya‟ Dien, Cut
Mutia, Dewi Sartika, dan masih banyak lagi pejuang perempuan di seluruh
pelosok negeri yang belum sempat tercatat. Melainkan sebuah perubahan
paradigma atau peningkatan level pemikiran pada hari kemarin. Dibutuhkan
partisipasi dan peranan perempuan yang sangat besar dalam menyukseskan
rangkaian pembaharuan kultural yang saat ini sedang berjalan.36
Dari sosok perempuan seperti mereka kita memperoleh hikmah tentang
semangat pembelajaran dan pentingnya peningkatan level pemikiran. Dari mereka
pula kita memiliki spesifikasi ciri dari perjuangan emansipator perempuan, yang
pada zamannya mampu melakukan perubahan paradigma.
35 Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, h. 71
36
Tutty Alawiyah, Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran, h. 60
71
Mengenai kewajiban perempuan ketika terjun ke dalam ruang publik,
beliau berpendapat bahwa perempuan karier tetap harus meluangkan waktunya
untuk anak dan suami. Komunikasi menjadi sangat penting dalam hal bagaimana
pola relasi pemenuhan hak dan kewajiban dalam rumah tangga. Ketika perempuan
sibuk menjalani kesehariannya sebagai perempuan karier, seharusnya tidak
melupakan kewajiban-kewajibannya sebagai istri maupun ibu.37
Hal itu di contohkan oleh Tutty Alawiyah, ketika beliau sibuk dalam
menjalani kehidupan kesehariannya, beliau pasti sempatkan satu waktu dalam
sehari untuk sekedar bertemu dengan sang anak, sekedar makan siang, atau makan
malam. Jika tidak bisa bertemu, maka dia usahakan untuk menelepon sang anak.38
Terhadap suami, beliau sisihkan satu hari untuk sang suami yaitu hari
Kamis. Beliau khususkan hari itu untuk sang suami. entah mau jalan ke Bandung,
Bogor, atau ke Sentul, yang jelas setiap hari Kamis beliau berikan untuk sang
suami. Menurutnya itu bentuk kasih sayang dia kepada suaminya, di banyak
kesibukan sehari-harinya namun dia tetap ingin memberikan waktu lebihnya
kepada sang suami.39
Begitu pun terhadap anak dan cucu, beliau berikan waktu sehari dalam
sebulan untuk jalan bersama keluarga, baik suami, anak, cucu dan menantu. Dan
beliau berikan pula satu waktu untuk berlibur bersama berwisata ke daerah di
dalam negeri maupun ke luar negeri. Begitulah dia punya cara dalam memberikan
kasih sayangnya kepada keluarga.40
Pandangan yang diusung oleh Tutty Alawiyah mengasumsikan bahwa
perempuan yang memilih bekerja di ruang publik tetap dituntut mengombinasikan
37 Wawancara Pribadi dengan Fitriani Farhana, Anak ke- 3 Tutty Alawiyah, di Jati
Waringin, 22 November 2017.
38
Wawancara Pribadi dengan Fitriani Farhana, Anak ke- 3 Tutty Alawiyah, di Jati
Waringin, 22 November 2017.
39
Wawancara Pribadi dengan Fitriani Farhana, Anak ke- 3 Tutty Alawiyah, di Jati
Waringin, 22 November 2017.
40
Wawancara Pribadi dengan Fitriani Farhana, Anak ke- 3 Tutty Alawiyah, di Jati
Waringin, 22 November 2017.
72
dengan kedudukannya sebagai ibu dan istri. Baginya, suami dan istri harus saling
menghormati agar tercipta harmoni keluarga dan karier.41
Jadi sebagai perempuan yang terjun ke ruang publik ketika kesehariannya
disibukkan dengan pekerjaan, hendaknya sisihkan waktu untuk bertemu dengan
keluarga, berikan pelayanan yang terbaik bagi suami, dan jangan lupakan
tanggung jawab perhatian kepada sang anak.
Jika kita lihat secara eksplisit pemikiran yang ditawarkan oleh Prof. Tutty
Alawiyah ini ialah pemikiran seorang feminis. Namun berbeda dengan feminis-
feminis barat, dalam meningkatkan peran dan kedudukan perempuan guna
mendapatkan hak-hak perempuan yang seharusnya didapatkan beliau lebih
menekankan kepada identitas muslimah itu sendiri.
Jangan sampai kaum perempuan kehilangan identitas diri sebagai
penganut agama yang agung, lalu terpuruk ke dalam situasi modernitas tanpa nilai
yang akhirnya membawa perempuan terpuruk menjadi barang dagangan dalam
kehidupan materialisme.
Ajaran Islam dan roh perjuangan yang diterima sejak dini dari ayahnya
KH. Abdullah Syafi‟ie sebagai warisan yang paling berharga bagi hidupnya,
membuatnya makin yakin bahwa Islam memberikan hak-hak perempuan
sepenuhnya, di antaranya hak untuk belajar, hak hidup terhormat, dan hak untuk
berperan aktif dalam masyarakat.
Selain itu Prof. Tutty Alawiyah juga sering berkawan dengan orang luar
negeri yang berbeda budaya maupun berbeda agama, jadi wawasannya lebih
terbuka. Terkadang banyak tamu yang suka menginap di rumah beliau dan beliau
terima dengan ramah. Bahkan tidak sedikit pendeta atau pemuka agama lainnya
yang pernah bermalam di rumahnya dan beliau tetap hargai. Prof. Tutty Alawiyah
merupakan sosok yang terbuka bagi semua kalangan dan golongan.42
41
Zainal Arifin Hoesein, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah di Mata Tokoh Indonesia dan
Dunia, (Jakarta: UIA Press, 2012), h. 29
42
Wawancara Pribadi dengan Fitriani Farhana, Anak ke- 3 Tutty Alawiyah, di Jati
Waringin, 22 November 2017
73
Kedekatan beliau dengan tokoh-tokoh ulama dunia seperti Syekh Yusuf
Qaradhawi Ketua Persatuan Ulama Internasional, Syekh Badruddin Hasun Mufti
Negara Syria, Almh. Syekh Jadul Haq Syaikhul Azhar Mesir, dan beberapa ulama
besar lainnya membuat beliau memiliki budaya dan wawasan global, yang
menjadikan Islam sebagai agama pembawa rahmah dan kedamaian bagi semesta
alam.43
43
A. Ilyas Ismail, et.al, ed. 70 tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman Penggerak
Kemajuan dan Peradaban, h. 216
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian dan pembahasan yang penyusun lakukan pada bab
terdahulu maka kesimpulan yang didapat adalah sebagai berikut:
1. Dalam Islam perempuan dipandang sebagai makhluk yang memiliki potensi
sama seperti apa yang dimiliki laki-laki. Keberadaannya dipandang sebagai
mitra sejajar dengan laki-laki secara harmonis. Tutty Alawiyah berpendapat
bahwa tugas suci perempuan bukan hanya sebagai makhluk domestik-
reproduktif belaka. Tidak terlihat sedikit pun kesan dalam Islam yang
menyatakan bahwa perempuan bertugas pada urusan rumah tangga semata.
Urusan domestik rumah tangga pada dasarnya merupakan tanggung jawab
bersama. Selanjutnya Tutty Alawiyah mengasumsikan bahwa ketika
perempuan yang memilih bekerja di ruang publik tetap dituntut
mengombinasikan dengan kedudukannya sebagai ibu dan istri. Dalam
meningkatkan peran dan kedudukan perempuan guna mendapatkan hak-hak
perempuan yang seharusnya didapatkan beliau lebih menekankan kepada
identitas muslimah itu sendiri. Jangan sampai kaum perempuan kehilangan
identitas diri sebagai penganut agama yang agung, lalu terpuruk ke dalam
situasi modernitas tanpa nilai yang akhirnya membawa perempuan terpuruk
menjadi barang dagangan dalam kehidupan materialisme.
2. Pemikiran Tutty Alawiyah tentang peran perempuan dalam ruang domestik
dan publik sesungguhnya refleksi atas ajaran Islam yang telah lama pudar,
bahwasanya Islam itu memandang mulia perempuan. Perempuan itu
mempunyai hak-hak yang sama dengan laki-laki dalam berbagai sektor
kehidupan, baik politik, ekonomi, hukum, dan pendidikan, beserta akses
terhadap sumber-sumber pembangunan. Islam sesungguhnya telah
membuktikan diri sebagai agama modern yang penuh gagasan dan cita-cita
sosial yang amat tinggi. Islam mendobrak keterbelakangan dan melepaskan
belenggu yang mengikat harkat kemanusiaan.
75
B. Saran
Akhir dari penulisan skripsi ini, penulis mengharapkan adanya manfaat
bagi kita semua, yaitu kepada penulis khususnya dan kepada para pembaca
umumnya. Adapun beberapa saran sehubungan dengan sasaran penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Penelitian mengenai peranan perempuan masih perlu dan harus lebih
dikembangkan untuk melihat lebih jauh segi-segi peranan kaum perempuan
agar dapat diaktualisasikan di masa-masa mendatang.
2. Seorang perempuan haruslah memiliki kecerdasan dengan cara
memperbanyak ilmu dan pengalaman agar dapat mengikuti perkembangan
zaman yang semakin maju. Dan ketika ingin terjun ke ruang publik
hendaknya tidak melupakan identitasnya sebagai seorang muslimah. Jangan
sampai kaum perempuan kehilangan identitas diri sebagai penganut agama
yang agung hanya karena hal urusan keduniaan.
76
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Rozi dan Syamsir. Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan
HAM di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia, 2001.
Alawiyah, Tutty. Women in Islam Past, Present, Future. Jakarta: diterbitkan atas
kerja sama BMKT, IMWU dan UIA, 2002.
Alawiyah, Tutty. Perempuan dan Masyarakat Pembelajaran. Jakarta: Legasi,
2002.
Alawiyah, Tutty. Dakwah berwawasan Global: Inovasi Menghadirkan Islam
Rahmatan Lil‟Alamin. Jakarta: UIA, 2010.
Alawiyah, Tutty. KH. Abdullah Syafiie: Membangun Bangsa Melalui Dakwah,
Pendidikan, dan Sosial. Jakarta: UIA Press, 2010.
Al-Arfan, Ahmad Musthafa. Tafsir Imam Syafii, penerjemah. Edrian dkk. Jakarta:
AlMahira, 2008.
Al-Barik, Hayfa binti Mubarok. Ensiklopedi Wanita Muslimah. Jakarta: Darul
Falah, 1998.
Al-Bugha, Musthafa Diib. Fikih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-hukum Islam
Mazhab Syafii. Surakarta: Media Zikir, 2010.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Shahih Bukhari. Libanon: Dar el-Fikr, t.tp.
Al-Ghazali, Imam. Etika Perkawinan. Penerjemah. Abu Asma Anshari. kitab
Adabun Nikah. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993
Al-Hasyimy, Muhammad Ali. Jati Diri Wanita Muslimah. Jakaarta: Pustaka Al-
Kaustar, 1997.
Al-Husaini, Taqiyuddin Abu Bakar. Kifaayatul Akhyaar Fii alli Ghayatil
Ikhtihaar, Penerjemah. Achmad Zaidun dan A.Ma‟ruf Asrori. Surabaya:
Bina Ilmu Oset,1997.
Al- Jauziyah, Ibnu Qayyim. Fiqih Bayi, Penerjemah. H.anshori Umar. Jakarta:
Fikr , 2000.
Al- Jawi, Muhammad Nawawi bin Umar. Syarah Uqud al-Lujjain. Surabaya: Al-
Hidayah,1416
77
Al-Qardhawy, Yusuf. Anatomi Masyarakat Islam. Penerjemah, Setiawan Budi
Utomo. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993.
Al- Qazwini, Muhammad bin Yazid bin Majah. Sunan Ibnu Majah.
Anisah, Cut. Pendidikan Akhlak Anak dalam Keluarga Menurut Zakiah Daradjat
(Kajian Teoritis), Tesis S2 , TIK, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.
Ash Shabagh, Mahmud. Tuntunan Keluarga bahagia Menurut Islam. Bandung:
Remaja Roada Karya, 1991.
Asnawi, Mohammad. Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan. Yogyakarta:
Darussalam,2004
Assya‟rawi, Syekh Mutawalli. Fikih Perempuan (Muslimah). Jakarta, Amzah,
2005.
Athibi, Ukasyah. Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya. Jakarta: Gema Insani,
1998.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh
Munakahat. Penerjemah. Abdul Majid Khon. Jakarta: Amzah, 2009.
Bakry, Sidi Nazar. Kunci Keutuhan Rumah Tangga. Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya,1993.
Basyir, Azar. Hukum Perkawinan Islam. Jogjakarta: UII Press, 1999.
Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqih Munakahat. Jakarta: Prenada Media, 2003
Hasan, Ali. Berumah Tangga Dalam Islam. Jakarta: Prenada Media,2003.
Hoesein, Zainal, Arifin et.al, ed., 70 Tahun Tutty Alawiyah Mereka Bicara
Tentang “Kak Tutty”. Jakarta: UIA Press, 2012.
Ihrmoi, Tapi Omas dkk, Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita. Bandung:
Alumni, 2006.
Ismail, A. Ilyas, et.al, eds., 70 Tahun Tutty Alawiyah The Inspiring Woman
Penggerak kemajuan dan Peradaban. Jakarta: UIA Press, 2012.
Jawad, Haifa A. Otentitas Hak-hak Perempuan Perspektif Islam atas Kesetaraan
Jender. Yogyakarta: Pustaka Baru, 2002.
Khamenei, S.M. Risalah Hak Asasi Wanita. Jakarta: Al-Huda, 2004.
78
Koderi, Muhammad. Bolehkah Wanita Menjadi Imam Negara. Jakarta: Gema
Insani Press, 1999.
Katsir, Ibnu. Tasir al- Qur‟an al-„Adzim. Beirut: Dar al-Fikr,1999.
Manshur, Abd. Al- Qadir. Buku Pintar Fikih Wanita. Jakarta: Zaman, 2009.
Mas‟udi, Masdar. Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan. Bandung:
Mizan,2000.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera, 2010.
Mulia, Musdah. Islam dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Nauan Pustaka,
2010.
Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwir. Yogyakarta: Pustaka Progresi,1997.
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender. Purwokerto: Pusat Studi Gender dan Fajar
Pustaka, 2006.
Shihab, Quraish. Perempuan. Ciputat: Lentera Hati, 2011.
Shihab, Quraish. Tafsir al- Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2003.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur‟an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan,1992.
Subhan, Zaitunah. Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan. Jakarta : el-
Kahfi, 2008.
Syarifudin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media
Group, 2009.
Syuqqah, Abdul Halim Abu. Kebebasan Wanita. Penerjemah. As‟ad Yasin.
Jakarta: Gema Insani, 1998.
Umar, Nasaruddin. Fikih Wanita Untuk Semua. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2010.
Umar, Nasaruddin. Kodrat Perempuan dalam Islam. Jakarta: lembaga Kajian
Agama dan Jender, 1999.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur‟an. Jakarta:
Paramadina,2001.
79
Yanggo, Huzaemah Tahido. Fikih Perempuan Kontemporer. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2010.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Hukum Keluarga dalam Islam. Palu: YAMIBA,
2013.
Yusuf, Muhammad. Penciptaan dan Hak Kepemimpinan Perempuan dalam al-
Qur‟an. Makasar, Al- Fikr Vol.17 No.1, 2013.
Zuhailli, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Beirut: Dar al-Fikr,2006.
Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafii. Penerjemah. Muhammad Apipi dan Abdul
Hafiz. Jakarta: Al Mahira, 2012.
Perundang- undangan
Undang- Undang nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Artikel
http://nasional.kompas.com/read/2016/05/04//
http://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/view/3
http://uia.ac.id/index/2016/12/19/biografi-prof-dr-hj-tutty-alawiyah-as-ma/
https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents// Zubair Ahmad, K.H
Abdullah Syaif‟ie: Ulama Produk Lokal Asli Betawi dengan Kiprah
nasional dan Internasional.
http://nasional.kompas.com/read/2016/05/04//
http://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/view/3
http://uia.ac.id/index/2016/12/19/biografi-prof-dr-hj-tutty-alawiyah-as-ma/
Hadi, M. Khoirul , Pemikiran Politik Rasyid Ridha dalam Fiqh
Munakahat, (Jurnal Hunafa, 10, no. 2, 2015), h. 223. Diakses dari
https://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/27/20
Ikrom, Muhammad. “Hak dan Kewajiban Suami Istri Perspektif Al-
Qur‟an”, Qolamuna 1, no. 1 (Juli 2015) diakses dari
http://stismu.ac.id/ejournal/ojs/index.php/qolamuna/article/
80
Sudrajat, M. Subana. Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah. Bandung, Pustaka Setia,
2011. http://uia.ac.id/index/2016/12/19/biografi-prof-dr-hj-tutty-alawiyah-
as-ma/
Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Perspektif Agama Islam, Jakarta:
Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, 2004
Wawancara Pribadi dengan Fitriani Farhana, Anak ke- 3 Prof. Dr. Hj. Tutty
Alawiyah, di Jati Waringin, 22 November 2017.
81
Lampiran 1 : Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi
82
Lampiran 2 : Surat Permohonan Data Wawancara
83
Lampiran 3 : Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara
84
Hasil Wawancara dengan Narasumber
Nama : Hj. Fitriani Farhana, SE
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 18 Januari 1968
Alamat : Jl. Raya Jatiwaringin no.51 Pondok Gede 17411
Keterangan : Anak ke Tiga Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah
Pekerjaan : Hubungan Luar Negeri, Universitas Islam
Assyafiiyah
Pertanyaan : Beliau lahir dan dibesarkan dilingkungan taat beragama, lalu
bagaiamana pola asuh dari kedua orang tua Prof. Dr. Hj. Tutty
Alawiyah ketika beliau masih kecil ? apakah sama seperti
pendidikan dan pengasuhan yang diterapkan oleh kiyai pada
umumnya? Atau adakah yang menjadi ciri khas dari K.H
Abdullah Syaiie terkait pengasuhan terhadap anak-anaknya?
Jawaban: Ibu Tutty ialah bukan anak pertama, ayahnya itu mempunyai dua
orang istri, tapi tidak sewaktu. Dan bu Tutty itu anak dari istri yang
pertama, ialah Hj.Rogayah, yang berlatar belakang orang tua kiyai
juga. Jadi bu Tutty itu lahir dari background agamis. Jadi keluarga
dari ayah dan ibunya itu sama-sama keluarga kiyai. Ibu Tutty punya
kaka perempuan namanya Muhibbah. Ibu Tutty ditinggal wafat oleh
ibunya itu pada umur sembilan tahun. Tapi dari kecil beliau sudah
mendapatkan didikan tentang agama oleh ibunya seperti, tentang
baca qur‟an, belajar menjadi qari‟ah atau sholawatan. Di umur
sembilan tahun sebelum ibunya wafat, beliau sempat diminta untuk
baca Al-qur‟an di Istana Negara ketika acara maulid Nabi saw. dan
segala sesuatunya di persiapkan oleh ibundannya.
Didikan dari bapaknya memang keras, jadi bukan anak yang di
manjakan, dari kecil bu Tutty sudah sering membantu orang tua
berdagang kue dan jeruk. Berjualan di komplek sekolah kakeknya
(H. Syafi‟i). Dengan berjualan beliau sudah bisa melihat kehidupan
orang-orang pada umunya.
Ketika bu Tutty umur 15 tahun, kakaknya meninggal. Jadi bu Tutty
meneruskan majlis talim peninggalan keluarganya yang sebelumnya
di pegang oleh kakaknya (Muhibbah) sejak usia 15 tahun sampai
akhir hayat. Pengajian ini sudah turun temurun dari ibu Hj.Rogayah
dilanjutkan oleh kak Muhibbah dan dilanjutkan kembali oleh bu
Tutty. Dan ketika bu Tutty meninggal, pengajian tersebut tetap kita
lanjutkan oleh anak-anaknya.
Pernah pada suatu kejadian, pada saat itu pak Kiyai (ayah bu Tutty)
di undang ceramah ke Singapura. Bu Tutty mendengar ada undangan
ke Singapura dan dia minta ikut kesana. Tapi disitu pada saat dia
ingin ikut ke Singapura, pak Kiyai bilang, “ke Singapur,hah mau
ikut? mau ikut emang punya duit?” mendengar ayahnya bilang
seperti itu, membuat dirinya termotivasi untuk bisa berangkat ke
Singapura dengan uang sendiri. Nah dia cari uang dengan berjualan,
tulisan-tulisan dia, buku sholawatan, mengajar, dan akhirnya
terkumpul lah uang tersebut. Ibu Tutty itu kalau untuk nabung,
simpanan dia bisa. Kadang-kadang saya juga berikir mamah uang
dari mana, kan kita sama-sama disini, pemasukan dia kita tahu, tapi
untuk mengeluarkan uang untuk yatim, untuk keluarga atau untuk
pergi ada saja.
Akhirnya punya uang dia berangkat ke Singapura. Sesampainya di
Singapura,banyak berita yang memberitakan dia. Karena suaranya
bagus, sholawatan, lantas terdengar berita tersebut oleh mantan
Menteri Pendidikan, segera ibu Tutty diajak tinggal dirumahnya
selama tiga bulan. Tiga bulan di singapura, wawasannya tambah,
cara dia berfikir berubah, wawasan dia lebih terbuka, bahwa
perempuan ini harus maju. Pulang dari Singapura baju-baju dia
dikasih-kasihin keorang semua, ganti model yang agak modern.
karena tadinya dia berpakaian pakai kebaya, namun setelah pulang
dari Singapura busananya agak modern, dia ganti pakai baju kurung,
atau baju-naju model melayu, yang memang terlihat agak longgar
namun tetap elegan. Selain itu disana beliau bisa liat perempuan
menyetir mobil sendiri, dan terbuka lah wawasannya, dan
perempuan itu harus maju.
Pertanyaan: Bagaimana keadaan lingkungan (pergaulan) Prof. Dr. Hj. Tutty
Alawiyah sejak kecil hingga beliau menikah?
Jawaban: Dulu ibu Tutty tidak diperbolehkan sekolah di sekolah umum, dia
disuruh sekolah di madrasah saja, tapi dia melihat sepupunya belajar
di luar, hati resah, dia ingin seperti orang lain, kawan seumurannya,
mau sekolah di sekolah umum di luar, bisa main, bisa naik sepeda
dan sebagaimana mainan anak kecil pada umumnya.
Setelah ayahnya dibujuk rayu akhirnya dia dibolehkan sekolah di SD
Cibono. Sekolah di daerah manggarai. Tapi saat mendaftar dia tidak
mau masuk kelas satu, dia maunya masuk langsung kelas dua.
Memang dia orangnya keras, Karena sepupunya itu sudah kelas dua,
Akhirnya dia diizinkan masuk kelas dua, karena memang dia pintar
dan bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Dan terus sekolah sampai
lulus. Beranjak SMP, dia ingin masuk SMP 3 Jakarta dekat dengan
rumahnya. Namun tetap ayahnya tidak mengizinkan dia untuk
sekolah di luar selain madrasah. Akhirnya secara diam-diam dia
masuk sekolah SMP lewat pos, SMP di Jogjakarta. Jadi sudah dari
kecil dia berfikir untuk kedepan. Sekolah Aliyah dia masuk di
Madrasah Asyafiiyah dan terus lanjut ke IAIN Jakarta. Jadi begitulah
kehidupannya tidak yang mulus, memamng didikan dari
keluarganya, bukan berarti dengan terlahir dari keluarga mampu, tapi
dia tetap tidak di manjakan.
Pertanyaan: Ketika berumah tangga, bagaimana tentang keluarga mudanya?
Ketika bu Tutty aktif dalam ranah publik, bagaimana beliau
menjalankannya? Lantas bagaimana pandangan suaminya
terkait hal tersebut?
Jawaban: Ayah saya itu bukan seorang ustadz, tetapi orang umum. Malah
sebelumnya kehidupannya di otomotif, kerja di bengkel. Pak Chatib
itu orang yang sabar. Dan ibu Tutty itu orang yang keras. Dan
menurut kita ini adalah perpaduan yang pas. Tapi bukan berarti ibu
Tutty yang dominan, namun tetap kepala keluarga lah dipegang oleh
suaminya. Kalau ayah saya sudah marah ya tetap ibu Tutty diam.
Namun pak Chatib itu lebih pengertian orangnya. Malah ayah yang
mendukung karir ibu Tutty. Selanjutnya ayah meninggalkan
kebiasaan dia dan ikut mengabdi bersama ibu Tutty mengurus
Asyafiiyah.
Selain itu pak Chatib itu supportnya luar biasa, terlalu cinta, setiap
ibu pulang dari kantor itu ayah yang sering jemput didepan pintu,
kalo mamah pergi, ayah antar mamah sampe depan pintu. Kalau
mamah pergi keluar negeri, ayah antar sampai bandara. Kalau sudah
sampai telpon mamah langsung bunyi lantaran ada telpon dari ayah.
Walaupun hanya sekedar menanyakan kabar. Ketika pulang dari luar
kota atau luar negeri, ayah pasti jemput mamah di bandara, bukan
Cuma itu dia sudah siapkan makanan untuk mamah.
Pertanyaan: Bagaimana kehidupan Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah dalam
menjalani peran sebagai ibu dari anak-anaknya dan juga
sebagai seorang tokoh di ranah publik?
Jawaban: Tentang pengasuhan kepada anak, pengasuhan diasuh bersama-
sama. Mamah ini orangnya sangat pengertian terhadap keluarga, jadi
sesibuk apa pun dia pasti ada waktu untuk bersama.
Jadi kalau sibuk seharian dari pagi sampai sore, malam tetap ajak
kumpul, yuk kita makan diluar, makan-makan.., disitu dia jadikan
pendekatan dengan anak-anaknya. Dulu pada saat sebelum ada
viskal, jaman saya kecil itu setiap ada libur pasti diajak jalan
kemana-mana, keluar kota, dan memang suka kumpul bersama
keluarga. jadi kalau pergi itu selalu bersama. Ada satu kebiasaan
yang memang kita pergi bersama 25 orang, anak cucu menantu.
Terakhir sebelum mamah meninggal kita pergi ke Amerika, ke
Eropa dan ke Vietnam. Ketika sedang pergi bersama keluar negeri,
atau ke suatu daerah, misalnya pagi sebelum sarapan itu kumpul di
kamar ibu Tutty, disitu diisi dengan pengajian pagi, nasehat agama,
atau cerita sejarah-sejarah tentang dimana tempat yang kita akan
tuju.
Pertanyaan: Bagaimana peran bu Tutty dalam keluarga? dengan urusan
domestiknya apakah bu Tutty tetap menjalankannya dengan
berarti bahwa berperan ganda dengan peran publik juga? Atau
peran tersebut dibangun bersama suami? Atau seperti apa?
Jawaban: Urusan rumah tangga tetap dia tanggung jawab, urusan belanja,
mamah itu orang yang sangat perhatian dengan urusan rumah
tangga, mamah itu orang yang sangat perhatian seperti itu, berarti
bukan dengan kesibukannya dia lupa dengan urusan rumah.
Terkadang kalau hari minggu libur, dia biasa belanja ke pasar
swalayan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Urusan rumah juga,
dia kalau rumah berantakan dia tidak suka, orangnya suka
ngebongkar atau beres-beres kalau sedang dirumah, kalo menurut
saya mamah itu orang yang paling rapih. Ketika dirumah, kita
biasanya pakai pakaian yang biasa, namun tidak demikian dengan bu
Tutty. Dia pakai baju yang memang untuk pergi tapi dipakai dirumah
juga. Karena buat dia dirumah itu harus rapih juga. Apalagi depan
suami, dia sangat rapih pasti.
Dan ibu Tutty itu sangat peduli tentang hal itu, baju-baju ayah saya
itu kadang dia yang beli, dia yang urus, karena dia memang suka
facion, dan suka yang rapih. Di lemari rumah sudah di susun, ini
tempat baju tidur semua, baju panjang semua, ini kain semua, ini
baju dalem buat gamis semua, jadi kalau mau ambil dia sudah tahu.
Walaupun kalau tidak ada pembantu dia sudah tahu tempat-
tempatnya.
Pertanyaan : Bagaimana pola pengasuhan Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah
kepada keluarganya (anak-anaknya) ?
Jawaban: Berbeda dengan pak Kiyai, ibu Tutty agak terbuka. Contohnya
anaknya semua itu sekolah diluar negeri, atau sekolah bukan
disekolah sendiri. Dan dia membebaskan anak untuk memilih pilihan
sendiri tidak ada paksaan dalam mencari pendidikan.
Dan ibu Tutty itu tidak bisa jauh dari anak. Sehari saja tidak bertemu
dengan si anak besoknya si anak langsung ditanya, “kemana aja
sih?”. Dan memang ketika ibu Tutty ada acara keluar kota atau ke
luar negeri pasti dia bawa anak-anaknya. Namun ada saatnya juga
anaknya tidak dibawa melainkan dirumah bersama suaminya.
Terkadang ayah itu menjadi seorang yang bisa menjadi sosok ibu.
Ayah bisa menjadi tempat cerita anak-anak sama seperti mamah.
Mamah suka memberikan suprise, ketika ulang tahun dia, atau
sewaktu-waktu, mamah bungkus-bungkusin hadiah sendiri, yang
perempuan warna pink yang laki-laki warna biru, diisi dengan surat
yang berisikan nasehat dia, dan motivasi untuk anak-anaknya. Anak-
anak diajak kumpul setelah itu mamah kasih hadiah tersebut. Jadi
buat kita mamah gak ngebedain laki-laki dengan perempuan.
Akhirnya ajaran tersebut kakak-kakak saya mengikuti jejak mamah.
Suka memberikan hadiah kepada adik-adik perempuannya.
Dulu mamah ketika mendapatkan hadiah dari orang, terkadang
hadiah tersebut langsung dibagi 7. mamah, ayah saya, dan kita
anaknya berlima. Karena kita sudah diajarkan sama mamah dari dulu
seperti itu, yang terkesan bagi kita itu semua untuk kita sama bagi
rata. Misalnya seperti ada uang mamah ketika dibagi-bagi untuk
warisan, tetap awalnya kita bagi seperti agama 2 : 1, namun setelah
itu kakak-kakak saya itu memberikan bagiannya kepada adik-
adiknya dengan rata. Jadi mamah sudah mengajarkan pembagian
sama rata, tidak membedakan mana anak perempuan, mana anak
laki-lakinya, supaya tidak bertengkar.
Pertanyaan: Bagaimana pembagian urusan Hak beliau sebagai istri, misalnya
tentang nafkah ?
Jawaban: Masalah nafkah, Mamah saya tidak melihat ini uang laki-laki ini
uang perempuan, jadi mamah lihat “uang saya dan uang kamu
sama”, saya tidak melihat ada pembagian ini uang laki ini uang
perempuan. Harta aku dan harta kamu ya harta bersama. Dan
akhirnya ajaran tersebut, kita sebagai anak juga menerapkan hal
seperti itu. Tidak ada pembedaan pembagian harta. Walaupun pada
dasarnya tetap ayah saya memberikan nafkahnya untuk menjalankan
kewajibannya sebagai suami.
Pertanyaan: Bagaimana pandangan Ibu Tutty tentang kedudukan
Perempuan dalam Islam?
Jawaban: Perhatian ibu Tutty dengan perempuan itu sangat luar biasa, beliau
menjadi presiden IMWU dari 88 negara di dunia dan bermarkas di
Sudan. dia ingin perempuan muslimah indonesia itu harus maju.
Jangan yang diam ditempat, harus bergerak. Sampai ke anak-
anaknya pun begitu harus disuruh belajar, jangan suka main mainin
waktu. Dia tidak suka main-mainin waktu. Buat dia waktu 24 jam itu
sedikit, harus dipergunakan dengan baik. Karena dia punya 14
jabatan dalam sekali waktu dia emban. Dia ingin perempuan terlebih
muslimah itu maju, maka dari itu dia dirikan BKMT. Dengan
didirikan wadah tersebut, berharap agar semua perempuan bisa
menggali kreativitasnya supaya tidak kalah. Jadi Jangan sampai
perempuan itu kalah, terpinggirkan, apalagi termarjinalkan.
Mungkin tempat laki-laki dalam urusan publik itu banyak, namun
bukan berarti perempuan tidak bisa seperti itu. Perempuan itu bisa
sejajar dengan laki-laki. Beliau contohkan seperti di Amerika, beliau
bisa duduk bersama dengan laki-laki dihadapan kongres. Namun
dalam kehidupan perempuan punya kodratnya masing-masing,
perempuan sebagai istri, sebagai ibu, jangan lupa sama hal-hal
tersebut. Tapi kalau kita sedang berdakwah atau di ruang publik ya
harus sama seperti laki-laki tanggung jawabnya.
Pertanyaan: Bagaimana korelasi pemikiran Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah
mengenai Peran Perempuan dengan Hak- hak Perempuan
dalam Hukum Islam?
Jawaban: Jadi sama dia sudah di pos-posin, mana waktu untuk kerja, mana
waktu untuk keluarga, waktu untuk cucunya dan lain-lain. Bu Tutty
itu setiap bulannya ada waktu yang di khususkan untuk jalan jalan
bareng sama cucu. Yuk ke ancol naik kereta gantun, yuk ke Bandung
yuk .. begitu dia punya cara.
Dulu kalo waktu masih ada ayah, setiap hari kamis bu Tutty pasti
kosongkan waktunya. Karena hari sabtu minggu kan macet, dia kasih
waktu itu buat ayah saya. Jadi dia mau jalan kemana saja, ke
Bandung, ke Puncak, ke Sentul di hari kamis tersebut. Menurutnya
itu bentuk kasih sayangnya dia kepada suaminya, dibanyak
kesibukan sehari-harinya namun dia tetap ingin memberikan waktu
lebihnya kepada sang suami.
Jika dengan keluarga keseluruhannya apabila hari-harinya penuh
kesibukan, kadang dia suka ajak makan malam, atau ketika siang,
ajak makan siang bareng. Jadi setiap hari itu kita harus ketemu.
Walaupun dalam pertemuan itu ngobrol pekerjaan juga. Tapi itulah
qualiti time yang dia buat untuk suami, anak dan cucunya.
Dan yang tidak ada di orang lain, setiap bulan, dia bikin amplop
yang sudah diisi uang untuk anak cucunya. Dan dia sendiri yang beri
nama di amplop. Karena dulu mamah berikir, karena dia gak terlalu
banyak waktu untuk bersama anak cucunya, jadi limpahan
terimakasihnya dia dia ungkapkan lewat bentuk tersebut.
Pertanyaan: Bagaimana hubungan pemikiran Prof. Dr. Hj. Tutty Alawiyah
mengenai Perempuan dengan kehidupannya terkait budaya
lingkungannya?
Jawaban: Betawinya kental si kental, tapi karena mamah itu bergaul keluar jadi
wawasannya berbeda, kadang dirumah itu suka banyak yang bertamu
dirumah, ada yang dari non muslim atau dari yang muslim. Dari
dalam maupun luar negeri. Ada pendeta yang nginap ya silahkan, dia
tetap hargain. Ibu Tutty ialah sosok yang terbuka, bukan orang yang
anatik, melainkan orang yang cair.
Seperti urusan jodoh, dia tidak pernah menekan anaknya untuk
berjodoh dengan si ulan, tapi lebih memberikan kebebasan kepada
anaknya untuk menentukan pilihannya sendiri. Namun anaknya
harus tahu diri, jadi ketika si anak mengenalkan kepada bu Tutty
maka anaknyya harus tau terlebih dahulu. Dan bu Tutty itu tidak
memberikan kriteria tertentu untuk mendapatkan menantu yang dia
dambakan, kriterianya sama kriteria yang diberikan oleh agama.
Selain itu masalah jilbab. Dulu itu kan sekolah masih tidak boleh
pakai jilbab, yang pake jilbab itu Cuma ibu ibu doang paling. Dia
juga tidak memaksakan anak-anaknya untuk pakai jilbab. namun
seiring berjalannya waktu, akhirnya kita juga yang menyadari, anak-
anaknya pakai jilbab dengan sendirinya. Kalau zaman sekarang bu
Tutty ketika ingin menyuruh cucu-cucunya berhijab, dia bilang,
“kamu cantikdeh kalau pake krudung model begini... mama Tutty
seneng deh liat kamu pakai itu, nanti kalau pake mamah Tutty kasih
persenan”. Jadi dia itu bukan orang yang memaksa, tidak dengan
cara yang keras. Melainkan dia punya cara sendiri untuk
memberikan pendidikan kepada anak cucunya.