PERAN KOMUNITAS LOKAL DALAM MENGHADAPI ANCAMAN …repo.apmd.ac.id/941/1/MIFTAH ARIFATU...
Transcript of PERAN KOMUNITAS LOKAL DALAM MENGHADAPI ANCAMAN …repo.apmd.ac.id/941/1/MIFTAH ARIFATU...
i
PERAN KOMUNITAS LOKAL DALAM MENGHADAPI ANCAMAN BENCANA DI
KAMPUNG TANGGUH BENCANA
(Studi Di Kampung Jagalan Ledoksari, Kelurahan Purwokinanti, Kecamatan Pakualaman,
Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)
SKRIPSI
Disusun Oleh :
Miftah Arifatu Aghnia
14510004
PROGRAM STUDI ILMU SOSIATRI/PEMBANGUNAN SOSIAL
SEKOLAH TINGGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA “APMD”
YOGYAKARTA
2019
iii
MOTTO
“Jadilah seperti AIR, yang kuat, tenang dan dapat menyesuaikan diri dengan wadahnya”
“Kebaikan kita kepada orang jangan diingat
Kebaikan orang dengan kita harus diingat
Hak semua orang untuk membenci kita, hak semua orang untuk bersikap buruk pada kita. Tapi
kewajiban kita adalah untuk berbuat baik kepada semua orang”
(Ustadz Handy Bonny)
“Perbaiki Sholatmu Maka Alloh akan Memperbaiki Hidupmu”
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, Sesungguhnya bersama kesulitan ada
kemudahan, maka apabila engkau telah selesai dari suatu urusan, tetaplah bekerja keras untuk
urusan yang lain dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap”
(Q.S. Al-Insyirah ayat 5-8)
iv
ABSTRAK
Pengalaman bencana banjir lahar dingin dan kiriman sendimen dari Gunung
Merapi pada tahun 2010 ke wilayah Sungai Code di Kota Yogyakarta, membuat
masyarakat Kampung Jagalan Ledoksari dan sekitarnya mulai sadar bencana dan
membentuk komunitas lokal yang kiprahnya dibidang relawan bencana. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran peran komunitas lokal dalam menghadapi
ancaman bencana di Kampung Tangguh Bencana dan faktor pendorong serta penghambat
dalam menjalankan perannya. Kampung Tangguh Bencana di Ledoksari bekerja sama
dengan Komunitas Pareanom, Komunitas Code-X, dan memberdayakan kelompok PKK
serta karang taruna. Komunitas lokal ini sebagai subyek dalam pemberdayaan bencana.
Dengan banyaknya komunitas tersebut dalam kegiatan menghadapi ancaman bencana
perlu adanya pembagian peran, sehingga memunculkan rumusan masalah : bagaimana
peran komunitas lokal dalam menghadapi ancaman bencana ? dan apa yang menjadi
faktor pendorong serta penghambat dalam kegiatan komunitas lokal tersebut.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan metode
deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan peran komunitas lokal secara jelas.
Sumber data primer didapat dari observasi dan wawancara secara mendalam. Sedangkan
data sekunder berasal dari dokumentasi, artikel, arsip, UU Penanggulangan bencana, serta
berita elektronik. Untuk melihat bagaimana peran komunitas lokal dalam menghadapi
ancaman bencana digunakan teori peran untuk mengidentifikasi kegiatan dalam
menghadapi bencana mulai tahap pra bencana, tahap tanggap darurat dan pasca bencana.
Hasil penelitian menunjukkan peran komunitas lokal dalam menghadapi ancaman
bencana di Kampung Tangguh Bencana, dalam tahap pra bencana adalah : meningkatkan
kapasitas komunitas dengan mengikuti sosialisasi, pelatihan dan simulasi yang diadakan
oleh pemerintah setempat dan BPBD, kemudian dari hasil pelatihan tersebut, kembali
disosialisasikan kepada masyarakat luas agar mereka mendapat perkembangan ilmu
kebencanaan. Selanjutnya diadakan kerja bakti membersihkan sungai, terlebih saat
memasuki musim hujan mereka mulai mengecek alat-alat kebencanaan yang dipinjam-
pakai dari BPBD, memperbaiki talud yang mulai terkikis dan membuat water level. Pada
tahap tanggap darurat : komunitas lokal berkoordinasi melalui HT, komunitas pareanom
memantau kondisi sungai dengan memperhatikan sendimen yang dibawa dan kecepatan
perjalanan air, sedangkan komunitas Code-X membantu evakuasi warga bersama karang
taruna, sementara kelompok PKK menyiapkan dapur umum dan pengurus KTB
menyiapkan segala kebutuhan pengungsi dibantu oleh pemerintah setempat. Selanjutnya
pada tahap pasca bencana: seluruh komunitas lokal membantu membersihkan rumah
warga yang terdampak banjir, dengan dibantu pihak BPBD serta Damkar untuk
membersihkan lumpur di dalam rumah menggunakan selang air. Selanjutnya diadakan
evaluasi agar dalam penanganan bencana kedepan dapat lebih baik. Faktor pendorong
komunitas lokal adalah perasaan yang sama-sama terpapar bencana, sehingga muncul
jiwa relawan dan kepedulian terhadap sesama. Faktor penghambat komunitas lokal
adalah kurangnya pemahaman masyarakat tentang bencana dan budaya sadar bencana,
sehingga ada penyalahgunaan bantuan logistik untuk masyarakat yang dipergunakan
untuk kepentingan pribadi.
Kata Kunci : peran komunitas, komunitas lokal, ancaman bencana
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Miftah Arifatu Aghnia
2. Tempat/Tanggal Lahir : Pasir Belengkong, 14 Juli 1996
3. Agama : Islam
4. Alamat : Taman Jalin Lestari, Blok B, No. 1, Desa Tepian
Batang, Kecamatan Tanah Grogot, Kabupaten
Paser, Provinsi Kalimantan Timur
5. Nomor Handphone : 0821-5470-2696
6. Email : [email protected]
7. Riwayat Pendidikan :
• 2008 Lulus dari SDN 012 Tanah Grogot
• 2011 Lulus dari SMPN 02 Pasir Belengkong
• 2014 Lulus dari SMAN 1 Pasir Belengkong, Jurusan IPA
• 2019 Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”
Yogyakarta, S1 Ilmu Sosiatri
Yogyakarta, Oktober 2019
Penulis
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Puji Syukur penulis panjatkan kepada Alloh Yang Maha Esa,
karena berkat karunia rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan Skripsi
sebagai salah satu syarat unutuk menyelesaikan pendidikan strata 1 (S1) pada Sekolah
Tinggi Pembanguan Masyarakat Desa “APMD” Yogykakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, dan tanpa
bantuan dari berbagai pihak mustahil kiranya dapat terselesaikan. Untuk ini penulis
menghaturkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Dr. Sutoro Eko Yunanto, Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat
Desa “APMD” Yogykakarta.
2. Ibu Dra. Oktarina Albizzia, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Sosiatri S-1
Sekolah Tinggi Pembanguan Masyarakat Desa “APMD” Yogykakarta.
3. Ibu Dra. Widati, Lic,rer,reg selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
4. Tim dosen penguji, Drs. AY Oelin Marliyantoro, M.Si dan Dra. Anastasia
Adiwirahayu, M. Si yang telah meluangkan waktu untuk menguji saat siding
skripsi.
5. Ibu Kepala Kelurahan Purwokinanti dan aparatnya, yang telah memberikan ijin
penelitian dan warga kampung Jagalan Ledoksari yang bersedia meluangkan
waktunya.
6. Terkhusus kepada yang tercinta Abi dan Ummi serta adik-adik ku Naufal dan
Fathi, atas doa dan dukungan yang selalu menjadikan motivasi dan inspirasi,
Alhamdulillah jazakumulloh khoiron katsir.
vii
7. Sahabat-sahabatku selama di Yogyakarta, Neng Nurul Febriana, Neng Nurhayati
dan khususnya kalian sahabatku yang sholiha. Alhamdulillah jazakumulloh
khoiron katsir.
8. Teman-Teman Unit Kegiatan Mahasiswa Islam Fastabiqul Khoirot,
Alhamdulillah jazakumulloh khoiron katsir atas kebersamaannya.
9. Teman-Temanku angkatan 2014, angkatan 2015 dan adik-adik kelasku
Alhamdulillah jazakumulloh khoiron katsir.
10. Teman-Teman KKN Kelompok 17, Dedel Kulon, terima kasih atas dukungannya.
11. Teman-Teman Asrama Putri Daya Taka Paser, yang sudah menjadi keluargaku
Alhamdulillah jazakumulloh khoiron katsir.
12. Dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Alhamdulillah jazakumulloh khoiron
katsir.
Segala amal dan kebaikannya yang diberikan dengan tulus dan ikhlas
kepada penulis semoga mendapatkan imbalan yang setimpal dari Alloh Azza
Wajalla. Aamiin Yaa Robbal ‘aalamiin.
Akhirnya penulis berharap semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis sendiri dan pembaca yang budiman.
Yoyakarta, Oktober 2019
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bencana Alam sering terjadi di Indonesia karena berada di lokasi Cincin
Api Pasifik (wilayah dengan banyak aktivitas tektonik), Indonesia harus terus
menghadapi resiko bencana alam, diantaranya gunung meletus, gempa bumi,
tsunami dan banjir. Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir Indonesia mengalami
banyak peristiwa bencana hingga mengakibatkan ratusan korban manusia dan
hewan yang cukup banyak dan mengerikan di headline dunia, serta
menghancurkan wilayah daratannya (terutama infrastruktur sehingga berimbas
pada ekonomi). The 2010 Asia-Pasific Disaster Report menyatakan bahwa
masyarakat di kawasan Asia Pasifik 4 kali lebih rentan terkena dampak bencana
alam dibanding masyarakat di wilayah Afrika dan 25 kali lebih rentan daripada di
Amerika Utara dan Eropa. Laporan PBB (Persatuan Bangsa Bangsa) tersebut
memeringkatkan Indonesia ke dalam peringkat 4 sebagai negara paling rentan
terkena dampak bencana alam di Asia Pasifik. Indonesia adalah negara yang
memiliki paling banyak gunung berapi aktif di seluruh dunia. Lempeng Eurasia,
Lempeng Pasifik beserta Lempeng Indo-Australia adalah tiga lempeng tektonik
aktif yang menyebabkan terjadinya zona-zona tumbukan yang kemudian
membentuk gunung-gunung berapi ini.
Indonesia diperkirakan memiliki 129 gunung berapi, semuanya diawasi
dengan hati-hati oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Hal ini
dilakukan karena sejumlah gunung berapi di Indonesia terus menunjukkan
2
aktivitas. Apalagi, diperkirakan lebih dari lima juta orang tinggal (dan/atau kerja)
di "zona bahaya" sebuah gunung berapi (yang harus segera dievakuasi kalau
gunungnya menunjukkan aktivitas yang naik secara signifikan). Setidaknya ada
satu letusan gunung berapi yang signifikan di Indonesia setiap tahun. Namun,
biasanya hal ini tidak menyebabkan kerusakan yang besar bagi lingkungan atau
menewaskan korban jiwa karena gunung-gunung berapi yang paling aktif terletak
biasanya di tempat-tempat terpencil.
Pada masa lalu, berbagai kelompok baik itu pemerintah, swasta maupun
organisasi masyarakat di Indonesia merespons bencana melalui operasi
pertolongan bencana dan aktivitas kesiapan menghadapi bencana. Pemerintah dan
para stakeholders bencana sibuk menangani korban bencana dan memenuhi
kebutuhan dasar masyarakat yang terdampak bencana dengan memberikan
bantuan pangan, pakaian dan tempat pengungsian serta perawatan korban
bencana. Upaya ini, sebenarnya sudah sering dilakukan ketika bencana terjadi,
namun berulangkali mengalami masalah misalnya bantuan datang terlambat,
sulitnya akses ke lokasi bencana, bantuan yang diberikan tidak sesuai kebutuhan
korban dan lain sebagainya. Sehingga seringkali menimbulkan konflik baik
ditingkat lokal maupun daerah. Pemerintah dalam hal ini setelah masa tanggap
darurat, sibuk menangani kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.
Dalam penanganan bencana yang responsif ini tidak dapat mengurangi resiko
bencana, masyarakat dianggap tabu terhadap bencana yang pada kenyataannya
ada disekitar mereka. Dengan pengalaman bencana gempa dan tsunami yang
terjadi di Aceh, Yogyakarta dan Pangandaran yang dalam kurun waktu tiga tahun
3
tersebut (2004-2007) tercatat ±172.033 korban jiwa serta kerugian yang mencapai
3.276 triliun, maka pemerintah memerlukan peningkatan atau perubahan
pendekatan yang lebih signifikan dalam managemen bencana alam. Ini khususnya
pada aspek sistem peringatan dini, kewaspadaan risiko bencana dan kecakapan
managemen bencana lokal. Hal ini merupakan upaya pengurangan resiko bencana
alam yang dapat menjadi acuan bagi perkembangan managemen bencana di
Indonesia. (Sumber data RAN PRB 2010-2012).
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di wilayah
Jawa yang rawan bencana. Potensi bencana yang terjadi di Yogyakarta merupakan
ancaman bagi warga sehingga perlu adanya kewaspadaan. Mulai dari tingkat
pemerintah hingga unit terkecil dalam masyarakat harus berperan aktif untuk
saling mengantisipasi datangnya bencana sehingga, korban atau kerugian dapat
diminimalisir. Tercatat beberapa gempa terjadi di wilayah Yogyakarta dan
berpotensi tsunami seperti yang terjadi pada tahun 2006 yang mengakibatkan
banyak korban jiwa serta kerusakan lainnya. Adanya Gunung Merapi yang sangat
aktif pun tak luput dari ancaman bencana bagi warga Yogyakarta. Bencana yang
mengancam Daerah Istimewa Yogyakarta cukup banyak diantaranya gempa
bumi, lestusan gunung merapi dan erupsi, banjir, tanah longsor serta tsunami yang
tersebar dibeberapa titik kabupaten seperti Bantul, Kulon Progo, Gunung Kidul
dan Kota Yogyakarta.
Membangun kesiapan dalam menghadapi bencana merupakan salah satu
hal penting dalam upaya penanggulangan bencana. Paradigma penanggulangan
bencana telah mengalami pergeseran dari fatalistic responsive yang berorientasi
4
pada respon kedaruratan akibat bencana menuju kepada proactive preparedness
yaitu penanggulangan bencana yang dilakukan sejak dini melalui kesiapsiagaan
hingga tahap pemulihan sosial. Paradigma ini menuntut pemerintah dan
masyarakat secara bersama-sama melaksanakan upaya pengurangan risiko (Raja,
Hendarmawan, & Sunardi, 2017). Sehingga dengan berjalannya waktu
dikembangkanlah sebuah kerangka kerja pengurangan risiko dan manajemen
bencana alam berbasis komunitas yang lebih komprehensif untuk mengarahkan
pekerjaan mereka. Kerangka kerjanya itu sendiri memuat 3 fase penanganan
bencana alam sekaligus, yaitu: kesiapan dan mitigasi; respons darurat bencana;
dan, rehabilitasi dan pemulihan bencana. Tujuan utama kerangka kerja ini
nantinya adalah, diklaim, untuk meningkatkan kapasitas komunitas dan sekaligus
mengurangi kerawanan dalam menghadapi bahaya bencana alam di
lingkungannya. Selama ini ancaman dan bahaya dari bencana alam seringkali
hanya dianggap sebagai proses alamiah lingkungan, sehingga masyarakat kurang
dipertimbangkan dalam pengelolaan risiko bencana. Oleh karena itu, solusi-solusi
yang bersifat teknis sering menjadi pilihan untuk menanggulangi risiko bencana,
padahal tidak dapat dipungkiri bahwa solusi-solusi teknis tidak sepenuhnya
mampu menyelesaikan masalah kebencanaan tersebut.
Penanggulangan Bencana dan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008
tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tanggung jawab
penanggulangan bencana di Indonesia dikelola oleh institusi resmi BNPB.
Kehadiran BNPB membuat perkembangan usaha penanggulangan bencana di
Indonesia menemui titik terang agar dapat lebih terencana dan terarah (Chang
5
Seng, 2013). Sistem otonomi daerah yang telah dijalankan sejak reformasi
selanjutnya menuntut pembentukan lembaga khusus yang menangani
kebencanaan di daerah, sehingga Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) kemudian berangsur-angsur terbentuk di masing-masing daerah, sebagai
turunan dari BNPB.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana mengamanatkan untuk melindungi masyarakat dari
ancaman bencana. Salah satu strategi untuk mewujudkan hal ini adalah melalui
pengembangan desa/kelurahan tangguh terhadap bencana dengan upaya
pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK). Kemudian
berdasarkan Perka BNPB No 1/2012, dibentuklah Desa/Kelurahan Tangguh
Bencana dengan tujuan memberikan panduan bagi pemerintah dan/atau
pemerintah daerah dalam pengembangan Destana sebagai bagian upaya PRBBK
serta memberikan acuan pelaksanaan pengembangan Destana bagi aparatur
pelaksana dan pemangku kepentingan Pengurangan Risiko Bencana (PRB).
Adapun instrumen kebijakan yang dibuat oleh BPBD Yogyakarta dalam
mengantisipasi datangnya bencana yakni dengan membentuk Kampung Tangguh
Bencana (KTB) sebagai turunan dari Desa/Kelurahan Tangguh Bencana.
Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah sebuah desa atau kelurahan yang
memiliki kemampuan untuk mengenali ancaman di wilayahnya dan mampu
mengorganisir sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan
sekaligus meningkatkan kapasitas demi mengurangi risiko bencana. Kemampuan
ini diwujudkan dalam perencanaan pembangunan yang mengandung upaya-upaya
6
pencegahan, kesiapsiagaan, pengurangan risiko bencana dan peningkatan
kapasitas untuk pemulihan pascabencana. Dalam Destana atau Katana ini,
masyarakat terlibat aktif dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau,
mengevaluasi dan mengurangi risiko-risiko bencana yang ada di wilayah mereka,
terutama dengan memanfaatkan sumber daya lokal demi menjamin keberlanjutan
penghidupan. Sedangkan KTB atau Kampung Tangguh Bencana dibentuk dalam
rangka mensinergikan setiap kampung yang ada di wilayah desa/kelurahan untuk
mandiri terhadap bencana. Sehingga ketika bencana datang pengorganisasiannya
lebih mudah apabila di setiap kampung memiliki satu perwakilan koordinasi.
Kampung Tangguh Bencana atau biasa disebut KTB dalam hal ini yang
terletak di Kampung Jagalan Ledoksari, Kelurahan Purwokinanti, Kecamatan
Pakualaman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan institusi atau
sebuah komunitas bentukan BPBD Kota Yogyakarta karena melihat potensi
rawan bencana di daerah bantaran Kali Code. Kampung Jagalan Ledoksari
menjadi KTB pertama yang terletak di bantaran sungai. Hal ini juga merupakan
inisiatif warga setempat yang mandiri dalam menghadapi bencana pertama kali
pada tahun 2010. Kemudian Pak Yatmoko mengajukan proposal ke BPBD untuk
memfasilitasi warga Ledoksari dalam pembentukan KTB. Potensi bencana yang
ada di bantaran Kali Code khususnya Kampung Jagalan Ledoksari diantaranya
adalah, banjir dan kiriman sendimen material akibat letusan Gunung Merapi yang
sampai melewati wilayah Kali Code. Tidak hanya itu karena padatnya
pemukiman, rawan longsor pun menjadi alasan perlu adanya kesiapsiagaan
masyarakat bantaran Kali Code.
7
Selanjutnya, dibentuklah relawan-relawan yang berasal dari gabungan
anggota institusi lokal dan masyarakat setempat. Mereka adalah yang termasuk
aktif di dalam kegiatan masyarakat. Kriteria ini dibutuhkan untuk mengambil
peranan penting dalam mengembangkan Kampung Tangguh Bencana (KTB).
KTB Ledoksari sudah berdiri sejak tahun 2014 yang diketuai oleh Bapak
Yatmoko, meskipun sempat mengalami fakum, namun sejak tahun 2016 hingga
sekarang KTB Ledoksari dikategorikan sebagai KTB yang aktif dan berprestasi.
Terbukti setiap tahun mereka mengikuti lomba yang diadakan oleh BPBD dalam
rangka memperingati hari kesiapsiagaan bencana di balai kota. KTB Ledoksari
menjadi sebuah komunitas lokal bidang kebencanaan dalam upaya Pengurangan
Resiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) dengan anggotanya yang
merupakan warga pemangku kepentingan setempat seperti kepala dusun, kepala
RT dan kepala RW bahkan pemerintah di kelurahan. Ada pun peran bagian dapur
darurat adalah ibu-ibu PKK. KTB Ledoksari juga dapat menjadi ajang
pembelajaran bagi karang taruna dalam berpartisipasi di bidang kebencanaan.
Biasanya para pemuda ditugaskan menjadi tim evakuasi bencana. Menurut Pak
Amprono selaku ketua KTB Ledoksari saat ini, kegiatan yang dijalankan oleh
KTB Ledoksari tidak hanya ketika bencana terjadi, namun pada kegiatan pra
bencana dan pasca bencana. Mereka mengadakan pertemuan rutin setiap tiga
bulan sekali dalam rangka penguatan kelembagaan dan sosialisasi terkait program
yang dicanangkan BPBD. Selain itu dari BPBD juga sering mengadakan pelatihan
tentang mitigasi bencana dan juga simulasi bencana bersama KTB se Daerah
Istimewa Yogyakarta. Adapun dalam kegiatan pasca bencana, KTB Ledoksari
8
mengajak masyarakat lainnya yang terdampak untuk bergotong royong
membersihkan lingkungan mereka dan mengevakuasi keluarganya.
Maka dari itu pada kesempatan ini peneliti ingin mengangkat penelitian
tentang kebencanaan dengan judul “Peran Komunitas Lokal dalam Menghadapi
Ancaman Bencana di Kampung Tangguh Bencana Jagalan Ledoksari, Kelurahan
Purwokinanti, Kecamatan Pakualaman, Daerah Istimewa Yogyakarta“.
9
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana peran komunitas lokal dalam menghadapi ancaman bencana di
Kampung Tangguh Bencana Jagalan Ledoksari ?
2. Apa yang menjadi faktor pendorong dan penghambat komunitas lokal dalam
menjalankan perannya untuk menghadapi bencana di Kampung Jagalan
Ledoksari?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui peran komunitas lokal dalam menghadapi ancaman
bencana di Kampung Tangguh Bencana Jagalan Ledoksari.
2. Untuk mengetahui faktor pendorong dan penghambat komunitas lokal dalam
menjalankan perannya untuk menghadapi ancaman bencana yang ada di
kampung Jagalan Ledokasari.
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Manfaat akademik adalah untuk memenuhi syarat kelulusan jenjang
pendidikan strata 1 di STPMD “APMD” Yogyakarta dan sebagai wawasan
untuk mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan terkhusus di bidang
kebencanaan.
10
b. Manfaat Praktis
Manfaat secara praktis yaitu sebagai masukan bagi institusi lokal dan
masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana mulai dari pra bencana, saat
darurat bencana dan pasca bencana sehingga dapat terus berkembang ilmu
pengetahuannya sesuai dengan hasil penelitian-penelitian yang didapat.
E. KERANGKA TEORI
1. Peran
Menurut Soerjono Soekanto, (2009:212-213). Peran adalah kelengkapan
dari hubungan-hubungan berdasarkan peran yang dimiliki oleh orang karena
menduduki status-status sosial khusus. Selanjutnya dikatakan bahwa di dalam
peran terdapat dua macam harapan, yaitu: pertama, harapan-harapan dari
masyarakat terhadap pemegang peran atau kewajiban-kewajiban dari
pemegang peran, dan kedua harapan-harapan yang dimiliki oleh pemegang
peran terhadap masyarakat atau terhadap orang-orang yang berhubungan
dengannya dalam menjalankan peranannya atau kewajiban-kewajibannya.
Sedangkan menurut Biddle and Thomas dalam Sarwono (2015:224),
peran adalah serangkaian rumusan yang membatasi perilaku-perilaku yang
diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu. Misalnya dalam keluarga,
perilaku ibu dalam keluarga diharapkan bisa memberi nasihat, memberi
penilaian serta sanksi dan lain sebagainya. Dalam kehidupan sosial nyata,
membawakan peran berarti menduduki suatu posisi sosial dalam masyarakat.
11
Menurut teorinya Biddle & Thomas dalam Sarwono (2015:215)
membagi peristilahan teori peran dalam empat golongan, yaitu istilah-istilah
yang menyangkut :
a. Orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial;
b. Perilaku yang muncul dalam interaksi tersebut;
c. Kedudukan orang-orang dalam perilaku;
d. Kaitan antara orang dan perilaku.
Berdasarkan pengertian peran diatas maka dalam hal ini peran adalah
suatu perilaku pada subyek atau pemegang peran yang memiliki kelengkapan
hubungan-hubungan serta harapan dalam menjalankan kewajibannya.
Menurut Biddle dan Thomas (dalam Edy Suhardono 1994:3), tentang teori
peran mereka mereduksinya menjadi suatu sistem klasifikasi yang lebih
ringkas. Adapun makna dari kata “peran” dapat dijelaskan lewat beberapa cara
dengan sebagai berikut :
1) Pertama, suatu penjelasan historis menyebutkan, konsep peran
semula dipinjam dari kalangan drama atau teater yang hidup subur
pada zaman Yunani kuno atau Romawi. Dalam arti, peran menunjuk
pada karakterisasi yang disandang untuk dibawakan oleh seorang
aktor dalam sebuah pentas drama.
2) Kedua, suatu penjelasan yang merujuk pada konotasi ilmu sosial,
yang mengartikan peran sebagai suatu fungsi yang dibawakan
12
seseorang ketika menduduki suatu karakterisasi (posisi) dalam
struktur sosial.
3) Ketiga, suatu penjelasan yang lebih bersifat operasional,
menyebutkan bahwa peran seorang aktor adalah suatu batasan yang
dirancang oleh aktor lain, yang kebetulan sama-sama berada dalam
satu “penampilan/unjuk peran” (role performance).
Dalam kehidupan sosial nyata, membawakan peran berarti menduduki
suatu posisi sosial dalam masyarakat. Dalam hal ini seorang individu juga harus
patuh pada skenario, yang berupa norma sosial, tuntutan sosial dan kaidah-kaidah.
(Edy Suhardono 1994:7).
Peran serta dapat pula dikenali dari keterlibatan, bentuk kontribusi,
organisasi kerja, penetapan tujuan, dan peran. Parwoto (dalam Soehendy,
1997:28) mengemukakan bahwa peran serta mempunyai ciri-ciri :
1). Keterlibatan dalam keputusan, artinya adalah mengambil dan
menjalankan keputusan dengan memilih suatu jalur tindakan di antara
beberapa alternatif yang ada melalui suatu proses mental dan berfikir logis
dan juga mempertimbangkan semua pilihan alternatif yang ada yang
mempunyai pengaruh negatif atau pun positif.
2). Bentuk kontribusi, dalam hal ini merupakan bentuk adanya
keikutsertaan masyarakat seperti gagasan, tenaga, materi, kepedulian dan
13
lain-lain untuk menyukseskan suatu program atau kegiatan tertentu yang
dilakukan oleh pihak tertentu.
3). Organisasi kerja artinya bersama setara (berbagi peran) struktur
pembagian kerja dan struktur tata hubungan kerja antara sekelompok
orang pemegang posisi yang bekerjasama secara tertentu untuk bersama-
sama mencapai tujuan tertentu.
4). Penetapan tujuan, tujuan sendiri diartikan sebagai hasil akhir atau
segala sesuatu yang akan dicapai selanjutnya penetapan tujuan adalah
upaya untuk menciptakan masa depan dengan langkah awal, gagasan atau
harapan menjadi kenyataan. Dengan kata lain menetapkan apa yang akan
dicapai dan rencana mencapainya serta dapat ditetapkan kelompok
bersama pihak lain.
5). Peran masyarakat adalah sebagai subyek, dalam hal ini masyarakat
dapat mengambil peran dari tahap perencanaan, tahap pelaksanaan sampai
tahap evaluasi dimana masyarakat yang berperan aktif pada pembangunan
itu sendiri.
Struktur Peran dibagi menjadi dua yaitu :
(1). Peran Formal (Peran yang Nampak jelas)
Yaitu sejumlah perilaku yang bersifat homogen. Peran formal yang
standar terdapat dalam keluarga.
(2). Peran Informal (Peran tertutup)
Yaitu suatu peran yang bersifat implisit (emosional) biasanya tidak
tampak ke permukaan dan dimainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan
14
emosional individu dan untuk menjaga keseimbangan. Pelaksanaan peran-
peran informal yang efektif dapat mempermudah peran-peran formal.
Secara garis besar, tanggung jawab utama dalam penanggulangan
bencana berada di tangan pemerintah. Kesiapan pemerintah dalam
penanggulangan bencana telah banyak digambarkan terutama pada level
pemerintah pusat hingga kabupaten/kota serta kecamatan (Chang Seng, 2013;
Hidayati, 2008; Madan & Routray, 2015). Namun, kesiapan pada tingkat yang
lebih kecil seperti desa/kelurahan belum terpetakan secara baik, padahal
institusi kelurahan merupakan institusi yang paling banyak bersentuhan
dengan masyarakat secara langsung.
Penelitian sebelumnya yang berkaitan bidang kebencanaan yaitu
skripsi yang ditulis oleh Andita Setiawati, mahasiswa S1 Sosiologi UGM pada
tahun 2017 dengan judul “Peran Komunitas Lokal Dalam Upaya
Pengurangan Risiko Bencana” tersebut menjelaskan bahwa upaya
pengurangan risiko bencana harus dimulai dari tingkat lokal karena
masyarakatlah yang mengetahui kondisi lingkungan mereka. Peran Forum
Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Ngargomulyo dalam upaya
pengurangan resiko bencana difase mitigasi bencana ini didasari karena
adanya rasa persamaan nasib para anggota untuk penanganan bencana yang
lebih baik dan pengurangan risiko bencana yang lebih optimal. Pada tulisan
ini, kasus dilihat dalam pandangan sosiologis, yaitu membahas masyarakat
dan mitra jaringan didalamnya yang terlibat. Upaya yang dilakukan meliputi
penyadaran kepada masyarakat tentang pemahaman bahaya akan ancaman
15
bencana, sosialisasi dan pelatihan kepada masyarakat dalam menghadapi
bencana seperti bagaimana upaya penyelamatan diri. Kampanye tabungan
bencana juga dilakukan, agar dalam fase pasca bencana masyarakat masih
memiliki aset untuk dimanfaatkan.
Upaya pengurangan resiko bencana berbasis komunitas dapat menjadi
jawaban bagi pemerintah daerah dalam memanagemen bencana pada tingkat
lokal. Dengan memanfaatkan potensi lokal yakni masyarakat serta sumber
daya lokal maka potensi bencana mampu terorganisir dengan baik.
Keberadaan komunitas lokal yang mengambil peran dalam Kampung
Tangguh Bencana di Ledoksari khususnya menjadikan masyarakat turut
berpartisipasi secara aktif dalam setiap kegiatan kebencanaan. Dengan adanya
KTB masyarakat menjadi aktor utama yang diharapkan mandiri dalam
menghadapi bencana. Dalam hal ini peneliti menarik kesimpulan bahwa peran
komunitas lokal menjadi penting karena dapat menjadi alernatif terpercaya
pada tingkat terendah dalam upaya pengurangan resiko bencana ditingkat
kelurahan dan kampung dengan adanya tindakan, kewajiban, keterlibatan
masyarakat, bentuk kontribusi serta kesiapan menghadapi bencana.
16
2. Komunitas Lokal
Komunitas adalah suatu unit atau kesatuan sosial yang terorganisasikan dalam
kelompok-kelompok dengan kepentingan bersama (community of common interest),
baik yang bersifat fungsional maupun yang mempunyai teritorial. Istilah community
dapat diterjemahkan sebagai “ masyarakat setempat”. Istilah komunitas dalam batas-
batas tertentu dapat menunjuk pada warga sebuah dusun (dukuh atau kampung), desa,
kota, suku, atau bangsa. Apabila anggota-anggota suatu kelompok, baik kelompok
besar maupun kecil, hidup bersama sedemikian rupa sehingga merasakan bahwa
kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama, maka
kelompok tadi disebut komunitas.
Sebagai suatu perumpamaan, kebutuhan seseorang tidak mungkin secara
keseluruhan terpenuhi apabila dia hidup bersama-sama rekan lainnya yang sesuku.
Dengan demikian, kriteria yang utama bagi adanya suatu komunitas adalah terdapat
hubungan sosial (social relationship) antara anggota suatu kelompok. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa komunitas menunjuk pada bagian masyarakat yang
bertempat tinggal di suatu wilayah (dalam arti geografis) dengan batas-batas tertentu
dan faktor utama yang menjadi dasar adalah interaksi yang lebih besar di antara para
anggotanya, dibandingkan dengan penduduk di luar batas wilayahnya (Soekanto :
1990).
Maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat setempat atau komunitas adalah
suatu wilayah kehidupan sosial yang ditandai oleh suatu derajat hubungan sosial
17
tertentu. Dasar-dasar dari komunitas adalah lokalitas dan perasaan semasyarakat
setempat tersebut (Soemardjan, 1962).
Komunitas (community) dalam prespektif sosiologi adalah warga setempat
yang dapat dibedakan dari masyarakat lebih luas (society) melalui kedalaman
perhatian bersama ( a community of interest) atau oleh tingkat interaksi yang tinggi.
Para anggota komunitas mempunyai kebutuhan bersama (common needs), jika tidak
ada kebutuhan bersama itu bukan suatu komunitas (Jim Ife, 1995). Dalam suatu
komunitas aktivitas anggotanya dicirikan dengan partisipasi dan keterlibatan langsung
anggota komunitas dalam kegiatan tersebut, di mana semua usaha swadaya masyarakat
diintegrasikan dengan usaha-usaha pemerintah setempat untuk meningkatkan taraf
hidup, dengan sebesar mungkin ketergantungan pada inisiatif, sifat berswadaya, dan
kegotong-royongan, sehingga proses pembangunan berjalan efektif.
Suatu komunitas pasti mempunyai lokalitas atau tempat tinggal (wilayah)
tertentu. Komunitas yang mempunyai tempat tinggal tetap dan permanen, biasanya
mempunyai ikatan solidaritas yang kuat sebagai pengaruh kesatuan tempat tinggalnya.
Secara garis besar, komunitas berfungsi sebagai ukuran untuk mengorganisasikan
hubungan antara hubungan-hubungan sosial dengan suatu wilayah geografis tertentu.
Dewasa ini komunitas berkembang menjadi komunitas yang peduli terhadap
bencana. Hal ini dikarenakan beberapa daerah yang memiliki potensi rawan bencana,
seperti halnya di wilayah Yogyakarta. Sejak 2012, dengan adanya instrumen kebijakan
dari BNPB yang mana memaksimalkan managemen bencana pada tingkat lokal serta
dalam rangka upaya Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK)
18
maka dibentuklah Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Dalam implementasinya BPBD
bertanggung jawab untuk memfasilitasi masyarakat dalam pembentukan
Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Selanjutnya Destana/Katana yang dibentuk oleh
BPBD Yogyakarta dikembangkan di setiap kabupaten di wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta, hingga saat ini sudah sekitar 261 desa yang masuk kategori
Desatana/Katana. Salah satunya Katana Purwokinanti, yang sudah memiliki tiga KTB
disetiap kampungnya.
Disini masyarakat atau komunitas dimaknai sebagai kelompok orang yang
hidup dan saling berinteraksi di daerah tertentu, yang dapat memiliki ikatan hukum
dan solidaritas yang kuat karena memiliki satu atau dua kesamaan tujuan, lokalitas
atau kebutuhan bersama. Misalnya, tinggal di lingkungan yang sama-sama terpapar
pada risiko bahaya yang serupa, atau sama-sama telah terkena bencana, yang pada
akhirnya mempunyai kekhawatiran dan harapan yang sama tentang risiko bencana.
2.1 Desa/Kelurahan Tangguh Bencana
Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah sebuah desa atau kelurahan yang
memiliki kemampuan untuk mengenali ancaman di wilayahnya dan mampu
mengorganisir sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus
meningkatkan kapasitas demi mengurangi risiko bencana. Kemampuan ini
diwujudkan dalam perencanaan pembangunan yang mengandung upaya-upaya
pencegahan, kesiapsiagaan, pengurangan risiko bencana dan peningkatan kapasitas
untuk pemulihan pascabencana. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana mempunyai
konsep yang jelas yaitu desa sebagai wilayah administratif.
19
Desa/Kelurahan Tangguh Bencana memiliki tujuan sebagai berikut :
• Melindungi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bahaya dari dampak-
dampak merugikan bencana,
• Meningkatkan peran serta masyarakat, khususnya kelompok rentan, dalam
pengelolaan sumber daya dalam rangka mengurangi risiko bencana,
• Meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan sumber
daya dan pemeliharaan kearifan lokal bagi pengurangan risiko bencana,
• Meningkatkan kapasitas pemerintah dalam memberikan dukungan sumber daya
dan teknis bagi pengurangan risiko bencana,
• Meningkatkan kerjasama antara para pemangku kepentingan dalam PRB, pihak
pemerintah daerah, sektor swasta, perguruan tinggi, LSM, organisasi masyarakat
dan kelompok-kelompok lainnya yang peduli.
Organisasi pelaksana desa/ kelurahan tangguh bencana dilaksanakan oleh
masyarakat melalui forum penanggulangan bencana desa/kelurahan yang berasal dari
unsur pemerintah dan masyarakat, kelompok/ tim relawan penanggulangan bencana di
dusun, RW dan RT serta pengembangan kerjasama antar sektor dan pemangku
kepentingan dalam mendorong upaya pengurangan resiko bencana. Pengurus
Desa/Kelurahan Tangguh Bencana bersifat dari masyarakat, oleh masyarakat dan
untuk masyarakat sehingga seluruh kegiatan pengurangan resiko bencana berbasis
masyarakat.
Peran pemerintah, BPBD di tingkat provinsi dapat mendorong BPBD di tingkat
kabupaten/kota untuk mengembangkan program Desa/Kelurahan tangguh bencana.
20
Pada tahap awal BPBD kabupaten/kota perlu berperan aktif dalam mendorong dan
memfasilitasi desa-desa/kelurahan untuk merencanakan dan melaksanakan program
ini. Selain bantuan teknis, BPBD kabupaten/ kota diharapkan turut memberikan
dukungan sumber daya untuk pengembangan program di tingkat desa/kelurahan dan
masyarakat. Pemerintah di tingkat kecamatan diharapkan membantu BPBD
kabupaten/kota dalam memantau dan memberi bantuan teknis bagi pelaksana program.
Ditingkat masyarakat, para pemimpin masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama akan
bekerjasama dengan aparat pemerintah memobilisasi warga untuk mengadopsi
pendekatan ini. Pendanaan rencana mobilisasi dana dan sumber daya dari APBD
Kabupaten/kota, APBDes/ADD, dana mandiri masyarakat dan sektor swasta atau
pihak-pihak lain bila dibutuhkan.
Pada desa/kelurahan tangguh bencana konteks ecological termasuk salah satu
prinsip desa/kelurahan tangguh bencana yaitu Mobilisasi Sumber Daya Lokal. Mobilisasi
Sumber Daya Lokal merupakan prakarsa pengurangan risiko bencana juga merupakan
upaya pengerahan segenap aset, baik modal material maupun modal sosial. Termasuk
kearifan lokal masyarakat sebagai modal utama. Kemampuan untuk memobilisasi sumber
daya menjadi salah satu ukuran untuk melihat ketangguhan desa. Mobilisasi sumber daya
mengandung prinsip pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan sekaligus
meningkatkan daya dukung lingkungan terhadap berbagai risiko bencana dengan
mengacu pada kebutuhan masyarakat dan hak-haknya. Masyarakat dapat membangun
kerjasama yang saling menguntungkan dengan lembaga swadaya masyarakat, lembaga
usaha, maupun lembaga-lembaga lainnya dari luar komunitas untuk bersama-sama
21
mengurangi risiko bencana. Kegiatan di dalam Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah
sebagai berikut :
• Pengkajian Risiko Desa/Kelurahan meliputi menilai ancaman, menilai kerentanan,
Menilai kapasitas, menganalisis risiko bencana.
• Perencanaan PB dan Perencanaan Kontinjensi Desa/Kelurahan meliputi,
Rencana Penanggulangan Bencana Desa/ Kelurahan, Rencana Kontinjensi Desa/
Kelurahan.
• Pembentukan Forum PRB Desa/Kelurahan.
• Peningkatan Kapasitas Warga dan Aparat dalam PB.
• Pemaduan PRB ke dalam Rencana Pembangunan Desa dan Legalisasi.
• Pelaksanaan PRB di Desa/Kelurahan.
• Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Program di tingkat Desa/Kelurahan.
2.2 Kampung Tangguh Bencana
Dalam perkembangan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana agar memudahkan
koordinasi sampai pada tingkatan terendah, maka dibentuklah komunitas siaga
bencana pada wilayah dusun/kampung yang selanjutnya disebut Kampung Tangguh
Bencana (KTB). Secara pengertian dan tujuan adanya komunitas ini sama dengan
dibentuknya Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, akan tetapi lingkupnya lebih kecil.
Kampung Tangguh Bencana dibentuk dalam rangka memperkecil unit/level
pemberdayaan penanggulangan bencana. Karena masyarakat yang tinggal di
wilayah Kampung juga memiliki hak untuk selamat dari ancaman bencana, serta
berhak mengenali potensi bencana yang ada dilingkungannya. Dalam KTB, seluruh
22
lapisan masyarakat dapat berkontribusi dalam upaya pengurangan resiko bencana.
Masyarakat lokal dapat menjadi relawan penanggulangan risiko bencana (PRB)
dengan ikut berpartisipasi dalam kegiatan Kampung Tangguh Bencana. Mulai pada
tahap kesiapsiagaan dan mitigasi bencana, respon darurat bencana dan rehabilitasi
serta pemulihan pasca bencana. Sehingga nantinya terwujud tujuan utama kerangka
kerja yang berdasarkan Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana yaitu untuk meningkatkan kapasitas komunitas dan
sekaligus mengurangi kerawanan dalam menghadapi bahaya bencana di
lingkungannya.
Harapannya adalah dengan terbentuknya Kampung Tangguh Bencana tersebut
mereka mulai mengembangkan kemandirian terhadap bencana, termasuk juga bekerja
sama dengan pihak BPBD, dan memperluas pengetahuan mereka tentang
kesiapsiagaan bencana, sehingga mereka mampu menghadapi ancaman bencana yang
ada di sekitarnya. Dalam hal ini masyarakat sebagai komunitas lokal terlibat aktif
dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau, mengevaluasi dan mengurangi
risiko-risiko bencana yang ada di wilayah mereka, terutama dengan memanfaatkan
sumber daya lokal.
3. Bencana
Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
23
kerugian harta benda dan dampak psikologis. Dengan kata lain, bencana tidak terjadi
manakala peristiwa atau serangkaian peristiwa tidak menimbulkan korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerusakan harta benda dan dampak psikologis bagi
korban.
Upaya untuk mencapai tujuan penanggulangan bencana sebagaimana amanat
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yaitu
untuk:
a. Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana.
b. Menyelaraskan peraturan perundangundangan yang sudah ada.
c. Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,
terkoordinasi, dan menyeluruh.
d. Menghargai budaya lokal.
e. Membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta.
f. Mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan
menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Bencana berdasarkan sumbernya dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Bencana alam, adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa/serangkaian peristiwa oleh alam
2) Bencana nonalam, adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa/serangkaian peristiwa nonalam
24
3) Bencana sosial, adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa/serangkaian peristiwa oleh manusia
Bencana alam juga dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Bencana alam meteorologi (hidrometeorologi). Berhubungan dengan
iklim. Umumnya tidak terjadi pada suatu tempat yang khusus
2) Bencana alam geologi. Adalah bencana alam yang terjadi di permukaan
bumi seperti gempa bumi, tsunami, dan longsor
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 pasal 1 angka 13, ancaman
bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana.
Selanjutnya resiko bencana menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
pasal 1 angka 17 adalah potensi kerugian yang timbul akibat bencana pada suatu
wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa
terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta dan
gangguan kegiatan masyarakat. Untuk mempermudah penyampaian kepada
masyarakat, istilah “resiko bencana” dapat disamakan dengan istilah “potensi
dampak bencana”, “perkiraan akibat bencana”, atau istilah-istilah lain yang
relavan. Dalam pengurangan resiko bencana dapat diambil dari pasal 37 Undang-
Undang Nomor 24 Tentang Penanggulangan Bencana yaitu dilakukan untuk
mengurangi dampak situasi buruk yang mungkin timbul, terutama dilakukan
dalam situasi sedang tidak terjadi bencana. Pengurangan resiko bencana
merupakan upaya untuk mencegah mata rantai proses bencana, agar korban jiwa
manusia, kerusakan alam, kerugian harta benda dan dampak psikologis dapat
dicegah atau diminimalisir yang mana hal ini dilakukan sebelum bencana terjadi.
25
Mitigasi bencana merupakan tindakan yang diambil sebelum bencana
terjadi dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan dampak bencana
terhadap masyarakat dan lingkungan (King, 2007). Mitigasi juga sering disebut
pencengahan atau pengurangan risiko dan dianggap sebagai landasan manajemen
bencana (Federal Emergency Management Agency/FEMA, 2006). Mitigasi
sendiri secara sederhana dapat diartikan sebagai serangkaian upaya untuk
mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran
dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP
No. 21 Tahun 2008, Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana). Upaya
mitigasi pada era dewasa ini semakin digiatkan dan dianggap sebagai bagian
penting dalam upaya pengurangan risiko bencana. Banyak ahli yang mengklaim
jika pelaksanaan program atau upaya pengurangan risiko bencana di fase mitigasi
dengan baik, efektif mampu menurunkan potensi kepanikan atau kekacauan saat
terjadi fase tanggap darurat serta menurunkan potensi dampak sebagai rangkaian
dalam penanggulangan bencana.
Beberapa kegiatan mitigasi bencana di antaranya:
1) pengenalan dan pemantauan risiko bencana;
2) perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;
3) pengembangan budaya sadar bencana;
4) penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan
bencana;
5) identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya atau ancaman
bencana;
26
6) pemantauan terhadap pengelolaan sumber daya alam;
7) pemantauan terhadap penggunaan teknologi tinggi;
8) pengawasan terhadap pelaksanaan tata ruang dan pengelolaan
lingkungan hidup.
Pengurangan resiko bencana berbasis komunitas atau selanjutnya
disingkat PRBBK menjadi salah satu strategi yang dikembangkan dalam
mengurangi resiko yang diakibatkan oleh bencana dan meningkatkan
kewaspadaan masyarakat yang mana peneliti ingin memfokuskan pada peran
institusi lokal yang berkembang di masyarakat lokal. Hal ini menitikberatkan pada
pendayagunaan potensi lokal terutama masyarakat yang rentan bencana dalam
kemandirian melalui pengorganisasian potensi lokal secara efektif dan efisien,
dengan tujuan agar masyarakat mampu mengolah potensinya, memanajemen
bencana untuk menumbuhkan budaya aman dalam masyarakat sendiri.
Manajemen bencana didefinisikan sebagai istilah kolektif yang mencakup semua
aspek perencanaan untuk merespons bencana, termasuk kegiatan-kegiatan
sebelum bencana dan setelah bencana yang mungkin juga merujuk pada
manajemen risiko dan konsekuensi bencana (Shaluf, 2008).
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, pada pasal 33 secara jelas mengatur tiga tahap dalam penanggulangan
bencana, yaitu tahap pra bencana, tahap saat tanggap darurat bencana dan pasca
bencana. Penjelasannya adalah sebagai berikut :
27
1) Tahap Pra Bencana
Tahap ini merupakan tahap awal dalam menghadapi bencana yaitu
dengan kegiatan pengurangan resiko bencana dan kesiapsiagaan bencana. Pada
tahap ini terdapat dua jenis pekerjaan yakni, mengurangi resiko bencana dan
membangun kesiapsiagaan seluruh elemen masyarakat. Tujuan kegiatan ini
adalah meminimalisasi potensi dampak bencana (K3DL : Korban, Kerusakan,
Kerugian, dan Dampak Lainnya) ketika terjadi bencana. Mitigasi yaitu
serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana baik melalui
pembangunan mitigasi struktural maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana atau mitigasi non struktural. Pada
tahap ini juga terdapat Kesiapsiagaan bencana, yaitu serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengantisipasi bencana alam melalui langkah yang tepat guna
dan berdaya guna. Kesiapsiagaan adalah sekumpulan tindakan yang
memungkinkan pemerintah, organisasi, masyarakat dan perorangan untuk
melakukan tindakan dalam menghadapi situasi bencana secara cepat dan
efektif.
Bentuk-bentuk kegiatan kesiapsiagaan bencana tersebut dapat berupa:
a. Penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana.
b. Pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini
penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan
dasar.
c. Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme
tanggap darurat.
28
d. Penyiapan lokasi evakuasi.
e. Penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap
tanggap darurat bencana.
f. Penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk
pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana.
2) Tahap Saat Tanggap Darurat
Merupakan respon cepat untuk menolong dan mengurangi penderitaan
korban pada saat terjadi bencana. Tujuan pada tahap ini adalah semaksimal
mungkin menyelamatkan banyak nyawa agar tidak ada pertambahan korban jiwa.
3) Tahap Pasca Bencana
Pada tahap ini terdiri dari rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.
Tujuannya untuk memulihkan kondisi pasca bencana dengan membangun kembali
daerah pasca bencana dengan lebih baik. Serta upaya mengembalikan keadaan
masyarakat pada situasi yang kondusif, sehat, dan layak sehingga masyarakat dapat
hidup seperti sedia kala sebelum bencana terjadi, baik secara fisik dan psikologis.
F. METODE PENELITIAN
1. Jenis penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif
kualitatif. Pilihan peneliti untuk menggunakan metode ini tidak saja untuk
mendapatkan hasil penelitian yang berkualitas tetapi juga mendapatkan hasil
penelitian yang tepat sesuai dengan gambaran nyata yang terjadi di lapangan.
Menurut Nazir (1988: 63) dalam Buku “Contoh Metode Penelitian”, metode
29
deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia,
suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa
pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat
deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki. Kemudian
menurut Sugiyono (2005: 21) menyatakan bahwa metode deskriptif adalah suatu
metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil
penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas.
Miles and Huberman (1994) dalam Sukidin (2002:2) metode kualitatif
berusaha mengungkap berbagai keunikan yang terdapat dalam individu,
kelompok, masyarakat, dan/atau organisasi dalam kehidupan sehari-hari secara
menyeluruh, rinci, dalam, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan penelitian deskriptif kualitatif adalah
sebuah upaya penelitian yang menggambarkan atau menganalisis suatu hasil
penelitian yang diperoleh dari sumber data primer dan data sekunder kemudian
dapat diintrepretaskan, dianalisis dan disimpulkan sehingga mendapatkan hasil
penelitian yang akurat dan sesuai dengan fakta di lapangan.
2. Ruang Lingkup Penelitian
a. Obyek Penelitian
Obyek penelitian dalah permasalahan atau perihal yang akan diteliti.
Dalam penelitian ini, yang menjadi obyek penelitian adalah Peran Komunitas
lokal dalam menghadapi ancaman bencana di Kampung Tangguh Bencana
30
Jagalan Ledoksari, Kelurahan Purwokinanti, Kecamatan , Daerah Istimewa
Yogyakarta, Indonesia.
b. Definisi Konseptual
1) Peran
Peran merupakan hubungan erat yang dimiliki seseorang atau
institusi dan organisasi untuk menjalankan sebuah fungsi atau tanggung
jawab dalam status sosial tertentu. Dalam peran ada harapan baik dari
masyarakat maupun dari pemegang peran atas kewajiban dan peranannya.
2) Komunitas Lokal
Komunitas adalah suatu wilayah kehidupan sosial yang ditandai
oleh suatu derajat hubungan sosial tertentu. Dasar-dasar dari komunitas
adalah lokalitas dan perasaan semasyarakat setempat tersebut. Dalam
suatu komunitas harus memiliki kebutuhan bersama serta tujuan dalam
integrasi pemerintah setempat yaitu untuk pemenuhan kebutuhan dan
kesejahteraan masyarakat. Salah satunya, melalui komunitas lokal
terbentuk komitmen bersama untuk mengurangi risiko bencana dalam
menghadapi ancaman bencana di tingkat Kampung. Komunitas yang
dimaksud diantaranya kelompok PKK, karang taruna, komunitas
Pareanom dan komunitas Code-X.
31
3) Bencana
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.
Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa
menimbulkan bencana. Pengurangan resiko bencana merupakan upaya
untuk mencegah mata rantai proses bencana, agar korban jiwa manusia,
kerusakan alam, kerugian harta benda dan dampak psikologis dapat
dicegah atau diminimalisir yang mana hal ini dilakukan sebelum bencana
terjadi.
c. Definisi Operasional
Agar pengambilan informasi dan data menjadi terarah berdasarkan
fakta maka indikator dalam penelitian ini adalah : Peran Komunitas Lokal
dalam menghadapi ancaman bencana di KTB Jagalan Ledoksari, Kali Code,
Kelurahan Purwokinanti Kecamatan Pakualaman, Yogyakarta, Daerah
Istimewa Yogyakarta, dapat diukur melalui :
1) Peran komunitas lokal dalam menghadapi ancaman bencana di
Kampung Tangguh Bencana Ledoksari
a) Tahap Pra Bencana
32
(1) Peran serta komunitas lokal dalam persiapan menghadapi
ancaman bencana
(2) Upaya komunitas lokal dalam pengurangan risiko bencana
kepada masyarakat Kampung Jagalan Ledoksari melalui
kegiatan
b) Tahap Tanggap Darurat
(1) Kontribusi komunitas lokal dan upaya penyelamatan korban
saat tanggap darurat
(2) Pembagian kerja komunitas lokal saat tanggap darurat
c) Tahap Pasca Bencana
2) Kendala-kendala yang dihadapi komunitas lokal pada Kampung
Tangguh Bencana dalam menghadapi ancaman bencana
3) Usaha-usaha komunitas lokal untuk menghadapi kendala-kendala
tersebut
4) Faktor pendorong komunitas lokal dalam menjalankan perannya.
3. Lokasi Penelitian
Peneliti dalam hal ini memutuskan mengambil penelitian di KTB
Ledoksari, dikarenakan masyarakat yang ada di Kampung Jagalan Ledoksari
dalam sejarahnya mereka sudah memiliki pengalaman di bidang kebencanaan
sejak tahun 2010 pasca meletusnya gunung merapi, yang mengakibatkan banjir,
serta adanya kiriman material dari sungai Gendol sampai ke area Kali Code yang
merupakan wilayah pemukiman warga kampung Jagalan Ledoksari. Kiriman
33
material pasca gunung meletus tersebut mengakibatkan jembatan terputus dan
beberapa rumah warga hanyut. Sehingga warga bergerak untuk mengevakuasi
korban dan memperbaiki jembatan yang putus. Penelitian ini dilakukan di
Kampung Jagalan Ledoksari, Kelurahan Purwokinanti, Kecamatan Pakualaman,
Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
4. Subyek Penelitian
Subjek penelitian adalah sumber utama data penelitian, yaitu yang
memiliki data mengenai variabel-variabel atau permasalahan- permasalahan yang
diteliti. Pada dasarnya subjek penelitian adalah yang akan dikenai kesimpulan
hasil penelitian. Informan merupakan subyek dalam suatu penelitian. Dalam
penelitian ini informan yaitu masyarakat sebagai komunitas lokal yang berperan
dalam menghadapi ancaman bencana di lingkungannya. Penelitian ini
menggunakan teknik purposiv sampling (cari di metode penelitian) dengan
informan yang berjumlah 15 orang :
a. Pemerintah Kelurahan
Informan yang diambil dari pemerintah kelurahan berjumlah 3 orang, yang
terdiri atas :
1 orang Kepala Kelurahan : Ibu Dra. Ertiana Erna Hendrayani
1 orang Bidang Pendataan (Tim Assasment Kelurahan) : Pak Suparmono
1 orang Pengurus Katana : Pak Agus
34
b. Pemerintah Kecamatan
Informan diambil dari pemerintah kecamatan yaitu hanya 1 orang Seksi
Pemerintahan, Ketentraman dan Ketertiban Umum : Bapak Suhardi
c. BPBD Kota Yogyakarta
1 orang Kepala BPBD Kota Yogyakarta : Bapak Hari Wahyudi S.E
1 orang Seksi Kesiapsiagaan : Ibu Retno
d. Pengurus KTB Ledoksari
1 orang Ketua KTB Ledoksari : Pak Joko Amprono
1 orang Sekretaris KTB Ledoksari : Pak Adiyo Kuntoro
e. Karang Taruna
1 orang perwakilan karang taruna : Mufid
f. Pengurus PKK Ledoksari
1 orang Ketua PKK : Ibu Eni Sulistyowati
1 orang pengurus PKK bagian dapur umum : Tati Jumiati
g. Komunitas Relawan Code X
1 orang humas komunitas Code X : Damar Aristianto/Andre
35
2 orang anggota komunitas : Apriyanto dan Pak Basuki
h. Komunitas Pareanom : Informan yang diambil dari komunitas pareanom
dan sekaligus sebagai kepala kampung adalah : Bapak Yatmoko
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Menurut teori penelitian kualitatif, agar penelitinya dapat betul-betul
berkualitas, maka data yang dikumpulkan harus lengkap, yaitu berupa data
primer dan data sekunder. Data primer adalah data dalam bentuk verbal atau
kata-kata yang diucapkan secara lisan,gerak-gerik atau perilaku yang
dilakukan oleh subjek yang dapat dipercaya, dalam hal ini adalah subjek
penelitian (informan) yang berkenaan dengan variabel yang diteliti.
Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen
grafis (tabel, catatan, notulen rapat, dll), foto-foto, film, rekaman video,
benda-benda, dan lain-lain yang dapat memperkaya data primer.
Bungin (2007:115), mengemukakan beberapa bentuk observasi yang
dapat digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi partisipasi,
observasi tidak terstruktur, dan observasi kelompok tidak terstruktur.
1) Observasi partisipasi (participant observation) adalah metode
pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian
melalui pengamatan dan pengindraan dimana observer atau peneliti benar-
benar terlibat dalam keseharian responden.
36
2) Observasi tidak berstruktur adalah observasi yang dilakukan tanpa
menggunakan guide observasi. Pada observasi ini peneliti atau pengamat
harus mampu mengembangkan daya pengamatannya dalam mengamati
suatu objek.
3) Observasi kelompok adalah observasi yang dilakukan secara berkelompok
terhadap suatu atau beberapa objek sekaligus.
Pada penelitian ini, peneliti sudah melakukan observasi tidak terstruktur
yaitu dengan mengamati suatu obyek yang akan diteliti. Pada tahap ini peneliti
telah melakukan observasi sebanyak 4 (empat) kali yakni dengan
mengobservasi lapangan, dokumen dan informan. Tujuannya adalah agar
peneliti mendapatkan inorman yang berkompeten. Kemudian agar data-data
berupa dokumen yang peneliti butuhkan dapat dipergunakan dalam
melengkapi penelitian. Hasil penelitian tersebut yakni dengan didapatkannya
beberapa data seperti buku panduan Kampung Tangguh Bencana, buku
monografi kelurahan, profil kelurahan, buku saku BPBD, modul pelatihan
fasilitator untuk Katana dan masyarakat serta beberapa foto kegiatan
kebencanaan di kampung Jagalan Ledoksari.
b. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara berhadapan secara langsung dengan yang
diwawancarai, tetapi dapat juga diberikan daftar pertanyaan terlebih
dahulu untuk dijawab pada kesempatan lain. Dalam penelitian ini
37
wawancara menggunakan jenis wawancara bebas terpimpin, dalam artian
pertanyaan yang diajukan kepada informan sudah dipersiapkan
sebelumnya, akan tetapi pertanyaan disampaikan tidak harus sama persis
dengan konsep sebelumnya. Wawancara bebas terpimpin bisa disebut
dengan wawancara tidak terstruktur, dimana dalam hal ini peneliti tidak
menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis
dan lengkap untuk pengumpulan datanya.
Wawancara ini ditujukan kepada subjek penelitian yang berjumlah
15 orang terdiri atas pemerintah kecamatan, pemerintah kelurahan, BPBD
Kota Yogyakarta, pengurus KTB, kelompok PKK, karang taruna,
komunitas pareanom yang merupakan komunitas asli kampung Jagalan
Ledoksari, dan komunitas Code-X yang merupakan komunitas relawan
bencana tingkat nasional. Tentunya peneliti memiliki masing-masing
tujuan dalam mewawancarai informan-informan tersebut. Pertama, dalam
hal ini wawancara yang dilakukan antara pemerintah kecamatan dan
pemerintah kelurahan bertujuan untuk mengecek sinergitas dan hubungan
mereka dalam memanagemen bencana di daerahnya. Kedua, wawancara
dilakukan dengan BPBD Kota Yogyakarta yang mana sebagai instansi
yang fokus dalam penanggulangan bencana daerah dengan upaya-upaya
dalam menghadapi bencana untuk melakukan perbandingan data atau
konfirmasi kegiatan kebencanaan di daerah yang berkaitan dengan KTB
yang disampaikan oleh bapak Amprono selaku pengurus KTB Ledoksari.
Ketiga, wawancara dengan komunitas lokal yang ada di Kampung Jagalan
38
Ledoksari, dalam hal ini bertujuan untuk mengetahui peran serta mereka
dalam kegiatan menghadapi ancaman bencana di wilayahnya.
b. Dokumentasi
Menurut Sugiyono (2013:240) dokumen merupakan catatan
peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar,
atau karya-karya monumental dari seorang dan record (rekaman).
Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah
kehidupan (life histories), cerita, biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen
yang berbentuk gambar misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan lain-lain.
Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi
dan wawancara dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini teknik
dokumentasi dilakukan melalui dokumentasi foto dan rekaman yang
dilakukan dengan informan di Kampung Jagalan Ledoksari, kelurahan
Purwokinanti, Kota Yogyakarta.
6. Teknik Analisis Data
Menurut Lexy J. Moleong (2012:247) proses analisis data dimulai dengan
menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara,
pengamatan yang sudah dituliskan dalam caatan lapangan, dokumen pribadi,
dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya.
Model analisis dalam penelitian kualitatif biasanya meliputi empat
komponen yaitu pengumpulan data, reduksi data (reduction), sajian data (display),
39
dan verifikasi data atau penarikan kesimpulan (conclusion drawing). Keterkaitan
empat komponen tersebut ditunjukkan secara interaktif dalam proses
pengumpulan data sehingga kegiatan dilakukan secara berkelanjutan. Adapun
penjelasan dan keempat komponen dalam teknik analisis data kualitatif tersebut,
antara lain adalah sebagai berikut;
• Pengumpulan data. Pada tahap ini, peneliti mengumpulkan seluruh catatan
lapangan yang telah dibuat berdasarkan wawancara dan pengamatan yang telah
dilakukan.
• Reduksi dan kategonisasi data. Pada tahap ini dilakukan proses penyederhanaan
dan pengkategorian data.
• Display data, merupakan proses menampilkan data hasil reduksi dan kategorisasi
dalam matriks berdasarkan kritenia tertentu, dapat berupa grafik, tabel, teks,
transkip dan lainnya.
• Penarikan kesimpulan, apabila hasil display data menunjukkan bahwa data yang
diperoleh telah cukup dan sesuai dengan informasi yang dibutuhkan, dimulailah
penarikan kesimpulan menggunakan teori dan hasil data di lapangan.
Dari penjelasan diatas, peneliti selanjutnya menganalisis data dengan
menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu dengan menginterpretasikan data-
data yang diperoleh ke dalam bentuk kalimat-kalimat. Kemudian data tersebut
diurutkan, dikelompokkan dan ditarik kesimpulan dari hasil penelitian
dilapangan.
40
BAB II
DESKRIPSI WILAYAH KELURAHAN PURWOKINANTI DAN
KAMPUNG TANGGUH BENCANA
A. Gambaran Umum Kelurahan Purwokinanti
Kelurahan Purwokinanti merupakan salah satu kelurahan yang terletak di
Kecamatan Pakualaman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kelurahan ini
sudah ada sejak 1981 yang berdasarkan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6
Tahun 1981 (6/1981) Tentang Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan
Kelurahan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
1. Kondisi Geografis
a. Batas Wilayah
1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Tegalpanggung dan Kelurahan
Bausasran, Kecamatan Danurejan
2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Gunungketur, Kecamatan
Pakualaman dan Kelurahan Wirogunan, Kecamatan Mergangsan
3) Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan
4) Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Gunungketur, Kecamatan
Pakualaman.
41
Gambar II. 1
Peta Kecamatan Pakualaman
Sumber:Google www.jogjakota.go.id
b. Luas Wilayah
Kelurahan Purwokinanti memiliki luas wilayah 0.33 Km2 dengan
peruntuntukannya yaitu Pekarangan seluas 0,0052 km2 , bangunan umum 0,1943 km2 ,
pemukiman atau perumahan 0,1314 km2 , taman 0,0047 km2 , pekuburan 0,0064 km2 ,
dan lain-lain (perkantoran) 0, 0063 km2 . Saat ini Kelurahan Purwokinanti dipimpin oleh
Ibu Dra. Ertiana Erna Hendrayani. Kelurahan Purwokinanti ini merupakan dataran rendah
dengan suhu udara rata-rata 24°C s/d 26°C, letak ketinggiannya dari permukaan laut
adalah ± 114 M, sedangkan banyaknya curah hujan 2000-3000 mm/tahun. Kondisi ini
membuat beberapa wilayahnya yaitu yang berada di bantaran Kali Code rawan banjir.
42
Gambar II.2
Peta Kelurahan Purwokinanti
Sumber : Google www.jogjakota.go.id
c. Orbitrasi Kelurahan Purwokinanti ke pusat-pusat pemerintahan tergambar seperti tabel
berikut :
Tabel II.1
Jarak Kelurahan Purwokinanti ke Pusat-Pusat Pemerintahan
No Tempat Jarak
1. Jarak dari pusat pemerintahan Kecamatan 1 km
2. Jarak dari pusat pemerintahan Kota 2 km
3. Jarak dari pusat pemerintahan Provinsi 1 km
4. Jarak dari pusat pemerintahan Provinsi 1 km
5. Jarak dari pusat pemerintahan Negara 565 km
Sumber : Data Monografi Kelurahan Purwokinanti 2019
43
Letak Kelurahan Purwokinanti sangat dekat dengan jarak dari Kecamatan
Pakualaman yaitu hanya 1 km, sehingga jika ditempuh dengan menggunakan motor
hanya sekitar 2 menit dan untuk berjalan hanya 6 menit. Sedangkan jarak dari ibukota
kabupaten adalah 2 km atau dapat ditempuh dengan 10 menit menggunakan kendaraan
bermotor. Maka dapat dikatakan Kelurahan Purwokinanti memiliki lokasi yang relatif
strategis karena berada di tengah kota.
2. Kondisi Demografi
Jumlah penduduk Kelurahan Purwokinanti secara keseluruhan yakni berjumlah
6.462 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki 3.101 jiwa dan jumlah penduduk
perempuan 3.361 jiwa. Sementara jumlah Kepala Keluarga adalah 1.519.
Diagram II. 1
Jumlah Penduduk Kelurahan Purwokinanti Berdasarkan Jenis Kelamin
Sumber : Data Monografi Kelurahan Purwokinanti 2019
33613101
48.00% 52.00%0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
Perempuan Laki-laki
Jumlah Persentase
44
Berdasarkan data jumlah penduduk Kelurahan Purwokinanti yang berdasarkan
kategori jenis kelamin laki- laki diatas berjumlah 3.101 jiwa dan jumlah penduduk
perempuan adalah 3.361 jiwa. Jadi total penduduk adalah 6.462 jiwa.
Kelurahan Purwokinanti terbentuk dari empat kampung diantaranya, Kampung
Jagalan Beji, Kampung jagalan Ledoksari, Kampung Kepatihan dan Kampung
Purwokinanti. Kelurahan ini di sebelah barat dibatasi oleh Sungai Code yang
membentang dari utara menuju selatan. Beberapa daerah yang membentuk kelurahan
Purwokinanti pada awalnya adalah "wedi kengser", yaitu tanah yang terhanyut oleh arus
Sungai Code dan kemudian mengendap di sepanjang bantaran Sungai Code, kemudian
tanah yang mengendap tersebut didirikan pemukiman perintis, yang kemudian
berkembang menjadi sebuah kampung. Kampung yang berawal dari wedi kengser
tersebut adalah Kampung Jagalan Ledoksari dan Kampung Jagalan Beji. Saat ini tanah
endapan yang tumbuh menjadi perkampungan yang sangat padat penduduknya
45
Diagram II.2
Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama
Sumber : Data Monografi Kelurahan Purwokinanti 2018
Berdasarkan Tabel diatas maka dapat kita ketahui jumlah penduduk berdasarkan
agama Islam yakni sebanyak 5.147 orang dengan presentase 80%, agama Kristen 430
orang dengan presentase 7%, agama Katolik 837 orang dengan presentase 13% dan
agama Budha 28 orang dengan presentase 0%, lalu agama Hindu 20 orang dengan
presentase 0%.
80%
7%
13%0%0%
jumlah
Islam
Kristen
Katolik
Hindu
Budha
46
Tabel II.2
Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
No Jenis Pekerjaan Jumlah
1 Pegawai Negeri Sipil 176
2 TNI/Polri 9
3 Swasta/buruh 1334
4 Wiraswasta/pedagang 824
5 Pertukangan 7
6 Pensiunan 123
7 Tani/buruh 2
8 Jasa 8
Total 2.483
Sumber : Data Monografi Kelurahan Purwokinanti 2018
Berdasarkan daftar tabel diatas maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata penduduk di
Kelurahan Purwokinanti memiliki pekerjaan sebagai Swasta/buruh, terlihat dari jumlah
yang cukup signifikan yaitu 1334 jiwa, diikuti dengan wiraswasta/pedagang dengan
jumlah 824 jiwa, kemudian jumlah PNS yaitu 176 jiwa dan jumlah pensiunan yaitu 123
jiwa, selanjutnya TNI/Polri memiliki jumlah yang sedikit yaitu hanya 9 jiwa, diikuti oleh
penyedia layanan jasa 8 jiwa dan sebagai Tani/buruh tani yakni hanya 2 orang. Hal ini
dikarenakan kelurahan Purwokinanti terletak di tengah kota, sehingga lebih banyak
warganya yang bekerja di perusahaan swasta dibanding bertani karena tidak ada
lahannya.
47
Diagram II. 3
Tingkat Pendidikan Masyarakat
Sumber : Data Monografi Kelurahan Purwokinanti 2018
Berdasarkan data diagram diatas penulis simpulkan bahwa tingkat pendidikan
penduduk Kelurahan Purwokinanti cukup beragam. Mulai dari jumlah tingkat pendidikan
tertinggi adalah tamat SMA/SMU dengan jumlah 2.135 orang, diikuti oleh tamat SMP
yaitu dengan jumlah 817 orang. Sedangkan jumlah lulusan sarjana/S1 cukup besar juga
yaitu 657 orang. Untuk lulusan Pascasarjana/S2 adalah 80 orang dan lulusan
Akademi/D1-D3 adalah 417 orang. Kemudian untuk yang tingkat pendidikan Sekolah
Dasar adalah 542 orang dan Taman Kanak-Kanak berjumlah 587 orang.
3. Kondisi Sarana dan Prasarana
Kelurahan Purwokinanti memiliki satu kantor kelurahan yang merupakan
bangunan permanen. Digunakan sepenuhnya oleh pemerintah kelurahan dalam setiap
kegiatan pelayanan dan aktivitas pertemuan dengan masyarakat.
587 542
817
2135
417657
8024% 16% 44% 4.8% 11% 0.2% 1.520
500
1000
1500
2000
2500
Tamat TK Tamat SD Tamat SMP TamatSMA/SMU
TamatAkademi
TamatSarjana
Tamat PascaSarjana
JUMLAH Persentase
48
Tabel II. 3
Fasilitas dan Prasarana Kesehatan
No. Fasilitas/Prasarana Jumlah
1. Puskesmas 1 buah
2. UKBM (Posyandu) 10 buah
3. Poliklinik/Balai Pelayanan Masyarakat 2 buah
4. Apotik2 2 buah
5. Rumah Bersalin/BKIA1 1 buah
6. Dokter Praktek 10 orang
7. Bidan 10 orang
8. Akupuntur 6 orang
9. Jamu Gendong1 1 orang
10. Batra Pijat 17 orang
11. Tenaga Dalam 3 orang
Total 63
Sumber : Data Monografi Kelurahan Purwokinanti 2018
Berdasarkan daftar tabel di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Kelurahan
Purwokinanti memiliki fasilitas dan prasaranan ksehatan yang cukup lengkap.
49
a. Prasarana Pendidikan
Diagram II.4
Jumlah Prasarana Pendidikan
Sumber : Data Monografi Kelurahan Purwokinanti 2018
Berdasarkan data diagram diatas, bahwa Kelurahan Purwokinanti memiliki fasilitas
prasarana Pendidikan dengan jumlah gedung sekolah PAUD 10 buah, gedung sekolah TK
4 buah, gedung sekolah SD 2 buah dan gedung Perguruan Tinggi 1 buah, sedangkan untuk
gedung sekolah SLTP/SLTA mereka belum memilikinya. Jadi total prasarana pendidikan
di kelurahan Purwokinanti adalah 17 gedung.
b. Prasarana Ibadah
Untuk prasarana ibadah Kelurahan Purwokinanti memiliki 5 Masjid dan 1 Mushola yang
tersebar di setiap kampungnya. Tetapi untuk prasarana ibadah lainnya seperti gereja,
klenteng dan wihara, mereka tidak memilikinya. hal ini dikarenakan tempat ibadah
tersebut berada diluar wilayah Kelurahan Purwokinanti tetapi masih bisa dijangkau oleh
penganut agama lain tersebut.
10
4
2
01
0
2
4
6
8
10
12
GedungSekolahPAUD
GedungSekolah TK
GedungSekolah SD
GedungSekolah
SLTP/SLTA
GedungPerguruan
Tinggi
JUMLAH Persentase
50
c. Prasarana Umum
Kelurahan Purwokinanti memiliki prasarana umum seperti Olahraga sebanyak 14 buah,
kesenian atau budaya 3 buah dan balai pertemuan warga 3 buah.
4. Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan
a. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPMK) adalah wadah prakarsa masyarakat
kelurahan yang menjadi mitra kerja pemerintah kelurahan untuk menampung dan
mewujudkan aspirasi, serta kebutuhan masyarakat di kelurahan. LPM Kelurahan
Purwokinanti memiliki jumlah pengurus 17 orang dan jumlah anggota 57 orang
dengan satu kali jumlah kegiatan perbulan.
b. Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) adalah organisasi kemasyarakatan
yang memberdayakan wanita untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan. Tim
Penggerak PKK di Kelurahan Purwokinanti memiliki 34 personil dengan jumlah
pengurus 7 orang dan jumlah anggota 31 orang, untuk pertemuan PKK diadakan
sebulan sekali.
c. Karang Taruna yang ada di wilayah Purwokinanti ada satu dengan jumlah
pengurus rata-rata 19 orang.
d. Kelurahan Purwokinanti memiliki jumlah RW : 10 buah dengan jumlah RT 47
buah dan 47 dasawisma.
e. Lembaga Kemasyarakatan Lainnya antara lain ada IK-PSM (Ikatan Pekerja Sosial
Masyarakat dengan jumlah 36 personil, BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat)
dengan jumlah personil 15 orang. Selanjutnya ada Kelurahan Tangguh Bencana
(Katana) dengan jumlah pengurus 28 orang dan Kampung Tangguh Bencana
51
(KTB) ada 3 kampung yaitu KTB Ledoksari, KTB Kepatihan serta KTB Jagalan
Beji yang baru saja dibentuk tahun 2019.
5. Kondisi Ekonomi
Mayoritas masyarakat Kelurahan Purwokinanti bekerja disektor swasta/buruh dan
wiraswasta/pedagang. Hal ini dikarenakan letak geografis kelurahan yang berada
ditengah-tengah industri pariwisata dan pusat perbelanjaan. Terdapat Puro Pakualaman
yang merupakan tempat tinggal Pangeran Paku Alam dan Museum Puro Pakualaman
yang dijadikan tempat wisata sejarah dan masih banyak yang lainnya. Kemudian wilayah
ini dekat destinasi wisata seperti Malioboro, Taman Pintar, Alun-Alun Utara dan Keraton
Yogyakarta. Selain itu juga dekat dengan pusat perbelanjaan yakni Pasar Beringharjo.
Dan beberapa sarana lainnya juga yang menunjang perekonomian di Kelurahan
Purwokinanti seperti UMKM, wisata kuliner, toko, kaki lima, warung/kios dan swalayan.
Selain itu juga wilayah ini memiliki hotel-hotel besar seperti Hotel Jambuluwuk dan Puri
Pangeran Hotel. Kelurahan Purwokinanti juga memiliki koperasi yang berjumlah tiga unit
serta terdapat tiga tempat percetakan dan satu penerbitan.
6. Kondisi Sosial dan Budaya
Memanfaatkan potensi sumber daya manusia dan warisan budaya membuat
masyarakat Kelurahan Purwokinanti memiliki ikatan sosial dan budaya yang kuat,
adanya berbagai macam komunitas seperti Paguyuban Muda Mudi Jagalan
(PAMUJA), Komunitas Pareanom, Bergodo JOGO LEKSO, Komunitas Code-X,
Paguyuban Kesenian (Keroncong, Ketoprak, Karawitan, dll), Taman Bacaan,
Kelompok Senam Lansia, dan Forum Pengurangan Risiko Bencana. Masyarakat
Purwokinanti juga setiap tahun berpartisipasi dalam kegiatan Upacara Ruwahan dalam
52
menyambut Bulan Suci Ramadhan. Ikatan solidaritas dan gotong royong dalam setiap
kegiatan masyarakat juga didukung oleh lembaga pemerintah setempat.
7. Pembagian Wilayah Kelurahan Purwokinanti
Tabel II. 4
Pembagian wilayah RW dan RT di Kelurahan Purwokinanti
NO RW JUMLAH
RT Dasawisma
1 RW I 6 6
2 RW II 5 5
3 RW III 5 5
4 RW IV 5 5
5 RW V 6 6
6 RW VI 4 4
7 RW VII 5 5
8 RW VIII 3 3
9 RW IX 4 4
10 RW X 4 4
Jumlah 47 47
Sumber : Data Monografi Kelurahan Purwokinanti 2018
53
8. Struktur Pemerintahan Kelurahan Purwokinanti
Diagram II. 5
Struktur Pemerintahan Kelurahan Purwokinanti
Sumber : Data Monografi Kelurahan Purwokinanti 2019
9. Visi dan Misi Kelurahan Purwokinanti
Visi
Menjadi fasilitator dan motivator dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan
dan kemasyarakatan dengan didukung pelayanan prima yang sesuai bidang
kewenangannya
Misi
Siap menjadi pelayan dan fasilitator yang prima
LURAH
Dra. Erna Ertiana Hendrayani
Kepala Seksi Pemerintahan Dan
Pembangunan Trantib
Jihad Prananto, S.T
Kepala Seksi Pemberdayaan
Andiyani Tyas Utami, S.Sos
Kepala Seksi Pelayanan Informasi
dan Pengaduan
Kurniatun S.E
SEKRETARIS
Diah Nur Astuti, S.H, M.Si
Kelompok Jabatan
Fungsional
Suparmono (Tenaga Teknis)
54
B. KAMPUNG TANGGUH BENCANA JAGALAN LEDOKSARI
1. Sejarah Kampung
Mulanya, menurut Rijksblad 1916 No. 18 Tentang Paprintahan kota
Ngayogyakarta terbagi menjadi lima Onder district yaitu Tugu, Kauman, Gading,
Lempuyangan, dan Keraton. Onder district Keraton terdiri atas Kampung
Ketandan, Gondomanan, Ngampilan, dan Wirobrajan. Onder district Gading,
terdiri atas Kampung Dahengan, Mantrijeron, Karangkajen, dan Mergangsan.
Onder district Lempuyangan terdiri dari Kampung Bintaran, Lempuyangan,
Gondokusuman, dan Pengok. Sedangkan Onder district Keraton terdiri dari
Kampung Panembahan, Langenastran, Taman, dan Kadipaten. Kampung
dikepalai oleh Lurah kampung atau kepala kampung. Kepala kampung berada
dibawah kekuasaan kepala Onder district. Kepala Onder district berada di bawah
kekuasaan Bupati.
Kabupaten kota dibentuk mulai tahun 1945, daerahnya meliputi bekas
Kawedanan Kota Yogyakarta. sebelum itu, Kabupaten Ngayogyakarta berasal
dari Kawedanan Sleman, Kota dan Kasalan. Pada reorganisasi pada tahun
tersebut, wilayah administrasi kawedanan distia wilayah dipecah. Kawedanan
kota diubah menjadi Kabupaten Kota Yogyakarta. hal itu merupakan gabungan
dari Kabupaten Kota Kasultanan dan kabupaten Kota Pakualaman sebagaimana
diatur dalam Maklumat NO. 18 tahun 1946. Sedangkan kawedanan Sleman,
Kalasan, ditambah kawedanan Godean (dari Kabupaten Bantul) digabung
menjadi Kabupaten Sleman. Munculnya Undang-Undang No. 16 tahun 1950
55
wilayah Kota Yogyakarta sampai sekarang terdiri dari 14 kecamatan dan 45
kelurahan dan realitanya setiap kelurahan terbagi menjadi struktur yang lebih
kecil yang dahulu merupakan gabungan beberapa kampung.
2. Latar Belakang Kampung Tangguh Bencana
Kota Yogyakarta merupakan kota yang terletak di Daerah Istimewa
Yogyakarta yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, berhadapan langsung
dengan zona subduksi atau pertemuan antara dua lempeng tektonik yang terletak
di dasar Samudera Hindia. Lokasi demikian secara geologis menyebabkan
Yogyakarta memiliki potensi yang tinggi terjadi bencana gempa bumi dan erupsi
merapi. Dua bencana tersebut adalah bencana yang secara periodik terjadi pada
siklus-siklus tertentu. Selain itu secara hidrologis dan meteorologis kota
Yogyakarta memiliki curah hujan tinggi dengan keberadaan 3 aliran sungai yang
beruhulu di merapi. Ketika musim penghujan aliran sungai seringkali tidak
mampu menampung volume air yang masuk sehingga menyebabkan bencana
banjir, belum lagi jika ditambah material Gunung Api Merapi yang menyebabkan
pendangkalan sungai pasca erupsi. Kota Yogyakarta yang semakin tahun
didatangi penduduk dari berbagai tempat dalam berbagai tujuan tertentu
mengalami tekanan demografis yang juga berpotensi untuk menyebabkan
terjadinya bencana lain seperti kebakaran, atau konflik sosial.
Dari sana kita ketahui bahwa secara geografis, geologis, hidrologis, dan
demografis wilayah Kota Yogyakarta memiliki kerawanan bencana, baik ang
disebabkan oleh faktor alam, non alam maupun oleh akibat ulah manusia.
56
Bencana yang terjadi di Kota Yogyakarta dapat menimbulkan korban jiwa,
pengungsian, kerusakan aset, dan kerugian dalam bentuk lain yang besar.
Bencana telah menghancurkan hasil-hasil pembangunan yang diperoleh
dengan susah payah. Dana yang digunakan untuk tanggap darurat dan pemulihan
pasca bencana juga telah mengurangi anggaran yang seharusnya dapat
dimanfaatkan untuk pembangunan wilayah dan program-program pemberantasan
kemiskinan. Jika terjadi bencana, masyarakat miskin dan kaum marjinal yang
tinggal di kawasan rawan bencana akan menjadi pihak yang paling dirugikan,
karena jumlah korban terbesar biasanya berasal dari kelompok ini dan pemiskinan
yang ditimbulkan oleh bencana sebagian besar akan menimpa mereka.
Mengingat korban terbesar dari bencana adalah kaum miskin di tingkat
masyarakat dan yang pertama-tama menghadapi bencana adalah masyarakat
sendiri, pemerintah mengembangkan program pengurangan resiko bencana
berbasis komunitas, sesuai dengan tanggungjawab pemerintah untuk melindungi
masyarakat. Salah satu strategi yang akan digunakan untuk mewujudkan ini
adalah melalui pengembangan kampung-kampung yang tangguh terhadap
bencana.
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 1 tahun
2012 tentang pedoman pembentukan desa/kelurahan tangguh bencana telah
menggariskan upaya pengurangan resiko bencana berbasis masyarakat yang akan
dilaksanakan melalui pengembangan kampung tangguh bencanaperlu dipadukan
ke dalam perencanaan dan praktik pembangunan reguler, agar wilayah dapat
57
melakukan program pengembangan Kampung Tangguh Bencana dan
memadukannya sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Kota, dibutuhkan adanya pedoman umum yang akan menjadi acuan
pelaksanaanya.
3. Kampung Tangguh Bencana
a. Komponen Kampung Tangguh Bencana
Secara garis besar Kampung Tangguh Bencana akan memiliki komponen-
komponen sebagai berikut :
1) Legislasi : penyusunan regulasi daerah dan kelurahan yang mengatur
pengurangan resiko dan penanggulangan bencana di tingkat kampung
2) Pemetaan Resiko Bencana dan Perencanaan Aksi, terdiri dari :
a) Pemetaan Resiko Bencana
b) Rencana Aksi Pengurangan Resiko Bencana Berbasis Komunitas
c) Rencana Kontinjensi Bencana
Pemetaan dan rencana aksi harus terintegrasi dengan pemetaan resiko dan
rencana rencana aksi di tingkat yang lebih tinggi (kelurahan, kecamatan, dan
kota) dan atau lebih luas (antar kampung, antar daerah aliran sungai).
d) Kelembagaan : pembentukan tim relawan Kampung Tangguh Bencana yang
berasal dari warga kampung setempat, yang bertugas: Mengorganisasikan
kegiatan penanggulangan bencana kampung, RT dan RW; Menggalang
kekuatan relawan penanggulangan bencana di tingkat RT dan RW;
Mengembangkan kerja sama penanggulangan bencana antar kampung;
58
Melakukan penggalian, penggalangan dan pengelolaan sumber daya dari
semua pihak dan semua sektor, baik pemerintahan, masyarakat maupun dunia
usaha.
e) Mobilisasi Sumber Daya Kampung
Berupa rencana untuk inventarisasi dan pengelolaan sumber-sumber daya dan
dana yang dapat dimobilisasi untuk penyelenggaraan penanggulangan
bencana di tingkat kampung, baik yang bersumber dari dana mandiri
masyarakat, lembaga penyandang dana, sektor swasta atau pihak-pihak lain
yang dibutuhkan.
f) Pendanaan Oleh Pemerintah : rencana mobilisasi dana dan sumber daya (dari
APBN, APBD DIY, APBD Kota Yogyakarta.
g) Pengembangan Kapasitas : pelatihan, pendidikan dan penyebaran informasi
kepada masyarakat, khususnya kelompok relawan dan para pelaku
penanggulangan bencana agar memiliki kemampuan dan berperan aktif
sebagai pelaku utamadalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan
evakuasi kegiatan-kegiatan pengurangan risiko bencana.
h) Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana : kegiatan-kegiatan mitigasi fisik
struktural dan non-fisik; sistem peringatan dini;kesiapsiagaan untuk tanggap
darurat; dan segala upaya pengurangan risiko melalui intervensi
pembangunan dan program pemulihan, baik yang bersifat struktural-fisik
maupun non-struktural.
59
b. Kampung Sebagai Subyek Ketangguhan
Disebut Kampung, sebab terjadinya begitu saja, awalnya terbentuk tanpa
perda, tanpa Sk dan dari pangreh pengembating praja. Namun terjadi karena
tempat tinggal ini merupakan pertemuan antara penghuni dengan penghuni,
antara anak turun penghuni maupun penghuni luar. Memang sangat sederhana
sekali, namun penuh dengan kejujuran, justru semacam itulah yang
dikehendaki kawula alit, walaupun tempatnya terkesan berserakan, mereka
Cuma orang kecil yang mencari tempat ngeyup untuk siangnya mencari
nafkah bagi anak istrinya, bukan untuk yang lain-lain. Para penghuni tampak
akrab dan ramah tanpa kepalsuan, justru mereka menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan yang masih merupakan tolak ukur peradaban.
Nilai-nilai historis semacam ini yang kemudian berkembang menjadi
interaksi antar masyarakat yang mewujudkan aktivitas sosial kemasyarakatan
dan ekonomi seperti: sosial/budaya yang berupa system-sistem sosial yang
dibangun bersama untuk menjaga keamanan kampung, sistem interaksi sosial
berupa olahraga, kenduri, arisan juga bentuk aktivitas sosial berupa kesenian.
Selain itu, masyarakat kampung juga memiliki historis dalam pengembangan
ekonomi misalnya dalam pemberdayaan usaha masyarakat (UKM, koperasi,
home industri, dan lain-lain).
Dalam konteks kebutuhan bersama untuk selamat terhadap bencana, maka
satuan kampung dianggap sebagai satuan yang tepat untuk diberdayakan dan
disusun organisasinya. Kampung sebagai satuan terkecil pemerintahan secara
historis dapat diarahkan untuk menyusun penanggulangan bencana secara
60
mandiri. Kemandirian inilah yang diharapkan merupakan tindakan yang
efektif. Kampung dikatakan tangguh jika mampu melakukan penilaian
terhadap resiko bencana yang ada di kampung tersebut dan melakukan
perencanaan serta tindakan untuk mengurangi risiko bencana yang ada. Secara
rinci dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Pengkajian Resiko Kampung
Dalam mengembangkan Kampung Tangguh Bencana, para pemangku
kepentingan pertama-tama harus mengadakan pengkajian atas risiko-risiko
bencana yang ada di kampung sasaran. Pengkajian risiko terdiri dari tiga
komponen, yaitu penilaian atau pengkajian ancaman, kerentanan dan
kapasitas/kemampuan. Ada beberapa perangkat yang dapat digunakan untuk
melakukan pengkajian risiko, seperti misalnya HVCA (Hazard, Vulnerability,
and Capacity Assessment), yang dikembangkan oleh Palang Merah Indonesia.
Perangkat-perangkat pengkajian risiko yang dapat digunakan dalam
pengembangan kampung tangguh bencana akan dirinci lebih lanjut dalam
panduan pelaksanaan yang lebih teknis.
2) Rencana Penanggulangan Bencana Kampung
Rencana aksi penanggulangan bencana kampung merupakan rencana aksi yang
berisi kegiatan-kegiatan untuk pengurangan risiko bencana, sekaligus rencana
mobilisasi sumber daya berbagai pemangku kepentingan, pemerintah maupun
non-pemerintah, dalam lingkup Kampung. Rencana aksi pengurangan risiko
bencana harus disusun bersama masyarakat, karena warga masyarakat di kawasan
61
rawan bencana merupakan pihak yang paling terpapar ancaman dan paling
mengenal wilayahnya.
3) Rencana Kontinjensi Kampung
Rencana Kontijensi adalah rencana yang disusun untuk menghadapi suatu situasi
kritis yang diperkirakan akan segera terjadi, tetapi dapat pula tidak terjadi.
Rencana kontijensi (Rekon) merupakan suatu proses identifikasi dan penyusunan
rencana yang didasarkan pada keadaan kontijensi atau yang belum tentu tersebut.
Suatu rencana kontijensi mungkin tidak selalu pernah diaktifkan, jika keadaan
yang diperkirakan tidak terjadi.
Rekon bencana memuat rencana tindakan segera jika terjadi krisis/ bencana yang
diperkirakan akan terjadi. Renkon berupaya mengidentifikasi kemungkinan
kejadian bencan beserta dampaknya bagi masyarakat dan membangun
kesepakatan bersama untuk membagi tanggung jawab dalam menghadapinya,
serta keputusan tentang mobilisasi sumber daya yang akan dilakukan.
4) Pembentukan Tim Relawan Kampung Tangguh Bencana
Untuk mendukung upaya pengurangan risiko bencana sekaligus sebagai upaya
kesiapsiagaan bencana, di kampung perlu dibentuk Tim Relawan Kampung
Tangguh Bencana. Tim ini dapat dibentuk secara khusus atau mengembangkan
kelompok yang telah ada di kampung. Tim ini tidak menjadi bagian dari struktur
resmi pemerintah setempat, tetapi pemerintah dapat terlibat di dalamnya bersama
dengan komponen masyarakat sipil lainnya.
62
5) Peningkatan Kapasitas Warga dan Aparat dalam Penanggulangan Bencana
Peningkatan kapasitas dalam isu Pengurangan Risiko Bencana (PRB) akan
meliputi pelatihan-pelatihan dalam Pemetaan Ancaman, HVCA (Hazard,
Vulnerability, and Capacity Assessment) atau Penilaian Ancaman, Kerentanan
dan kapasitas PMI, metode-metode PRA (Participatory Rural Appraisal) atau
penilaian pedesaan partisipastif, dan metode-metode serupa lainnya yang
dibutuhkan. Peningkatan kapasitas juga akan dilakukan melalui penyediaan
peralatan dan perangkat-perangkat sistem peringatan dini dan kesiapsiagaan
bencana yang terjangkau dalam konteks program.
6) Pemaduan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) ke dalam Pembangunan dan
Legalisasi
Selain menyusun rencana aksi PRB Kampung, program diharapkan juga
mendorong pemaduan PRB ke dalam Rencana Pembangunan Kelurahan. Bila
berdiri sendiri, rencana aksi kemungkinan sulit untuk mendapatkan pendanaan,
karena harus bersaing dengan program-program pembangunan lainnya. Oleh
karena itu, selain program berfungsi menyusun rencana aksi PRB Kampung,
program juga diharapkan mendorong masuknya aspek-aspek dalam PRB ke
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, sehingga RPJMD juga
mengandung pendekatan pengurangan risiko bencana.
7) Pelaksanaan Pengurangan Risiko Bencana di Kampung
Rencan aksi PRB dan rencana kontijensi kampung perlu diimplentasikan oleh
seluruh warga. Untuk itu dibutuhkan pendanaan dan alokasi sumber daya yang
memadai. Hal ini akan diatur lebih lanjut melalui pedoman yang akan disusun.
63
8) Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan di tingkat Kampung
Agar dapat diimplementasikan dengan berhasil, program Kampung Tangguh
Bencana perlu dilengkapi dengan sistem pemantauan, evaluasi dan pelaporan
yang baik. Kegiatan-kegiatan ini perlu dilakukan sejak awal pelaksanaan program
di berbagai tingkatan, mulai dari tingkat kota sampai tingkat masyarakat.
Perangkat pemantauan dan evaluasi perlu dibuat sesuai dengan kemampuan
pemerintahan Kota Yogyakarta, sumber daya yang ada dan kapasitas warga serta
dapat memberikan bukti-bukti yang diperlukan untuk memberi penilaian.
c. Tujuan Pengembangan Kampung Tangguh
1) Sinkronisasi pengembangan Pengurangan Risiko Bencana berbasis
kampung dengan konsep Desa/Kelurahan Tangguh Bencana berdasarkan
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 1
Tahun 2012 Tentang Pedoman Pembentukan Desa/Kelurahan Tangguh
Bencana;
2) Penyelarasan penyelenggaraan penanggulangan bencana dengan
semangat Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3) Memperkecil basis pengorganisasian masyarakat untuk internalisasi
pengurangan risiko bencana ke dalam kehidupan masyarakat;
4) Optimalisasi pengurangan risiko bencana berbasis potensi sosial budaya
masyarakat Kota Yogyakarta;
5) Melindungi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bahaya dari
dampak-dampak merugikan bencana;
64
6) Meningkatkan peran serta masyarakat, khususnya kelompok rentan, dalam
pengelolaan sumber daya dalam rangka mengurangi risiko bencana;
7) Meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan
sumber daya dan pemeliharaan kearifan lokal bagi pengurangan risiko
bencana;
8) Meningkatkan kapasitas pemerintah dalam memberikan dukungan sumber
daya dan teknis bagi pengurangan risiko bencana;
9) Meningkatkan kerjasama antara para pemangku kepentingan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana, pihak pemerintahan Kota
Yogyakarta, sektor swasta, perguruan tinggi, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), organisasi kemasyarakatan (Ormas) dan kelompok-
kelompok lainnya yang peduli.
4. Kampung Tangguh Bencana Ledoksari
Kampung Jagalan Ledoksari merupakan salah satu kampung di kelurahan
Purwokinanti yang pertama kali memiliki kampung tangguh bencana tepatnya
pada tahun 2014 atas dasar bentuk kepedulian salah seorang anggota komunitas
Pareanom yaitu Pak Yatmoko. Kampung ini memiliki 6 RT, terletak di ujung
paling barat dari wilayah kelurahan Purwokinanti, kecamatan Pakualaman, dan
berada di tepian sungai Code. Topografi wilayah sekitar 70% merupakan daerah
ledok, membujur dari utara ke selatan. Batas wilayah sebelah utara berbatasan
dengan RW 14 Kelurahan Tegalpanggung di sebelah timur dibatasi oleh RW 04,
RW 05 dan RW 06 kelurahan Purwokinanti, sebelah selatan berbatasan dengan
65
RW 02 dan disebelah barat berbatasan dengan RW 07, RW 09 kelurahan
Ngupasan.
Kampung Jagalan Ledoksari padat dengan penduduk tercatat ada 6.462
jiwa terdiri dari jumlah laki-laki 3.101 jiwa dan perempuan 3.361 jiwa. Mata
pencaharian didominasi oleh pedagang maupun usaha kecil rumah tangga, karena
memang kampung ini berdekatan dengan pusat perbelanjaan Pasar Beringharjo.
Ancaman Bencana yang ada di kampung salah satu potensi di daerah bantaran
sungai code ini adalah banjir, karena terletak di bantaran Kali Code yang berhulu
di Gunung Merapi, ancaman bencana utama dari wilayah ini adalah banjir hujan
maupun banjir lahar dingin. Seperti yang terjadi pada tahun 2010 lalu. Banyaknya
material lahar dingin yang terbawa arus air, mengakibatkan beberapa daerah
sekitar Sungai Code mengalami dampaknya berupa banjir lahar dingin. Ancaman
lain yang juga perlu diwaspadai adalah gempa bumi, angin puting beliung, tower
radio Retjo Buntung ( misal roboh dan lain sebagainya) dan kebakaran. Terlebih
untuk kebakaran, perlu mendapatkan perhatian lebih, sebab wilayah ini termasuk
kampung padat penduduk. Hal ini tentu memperbesar dampak bencana apabila
terjadi kebakaran. Sempitnya jalan kampung juga akan mengakibatkan sulitnya
evakuasi saat terjadi bencana.
Kerentanan yang ada di Kampung Jagalan Ledoksari ada beberapa faktor
yang diperhatikan untuk menanggulangi dan mengurangi dampak bencana antara
lain, dari faktor lingkungan, yaitu pengikisan talud, pendangkalan sungai, saluran
limbah air rumah tangga, pencemaran sumber air bersih(sumur), lokasi rumah
berhimpitan (padat penduduk), jalan kampung sempit, jembatan dan keamanan
66
wilayah. Sedangkan dari faktor alam yaitu banjir. Talud merupakan salah satu
cara yang digunakan untuk mengurangi dampak banjir, perlu selalu diperhatikan
kondisinya. Apabila terjadi pengikisan, maka dampak banjir akan berakibat
semakin parah. Selain itu, pendangkalan sungai juga dapat menjadi satu hal yang
dapat mengakibatkan dampak banjir menjadi semakin meluas. Padatnya
penduduk mengakibatkan lokasi rumah saling berhimpitan. Ini memperbesar
dampak bencana apabila terjadi kebakaran. Sempitnya jalan kampung juga
tentunya akan mengakibatkan sulitnya evakuasi saat terjadi bencana.
Beberapa potensi yang dimiliki kampung dapat dimanfaatkan ntuk
menangani bencana. salah satunya dari segi fisik yaitu, adanya balai RW juga
sebagai pos komando bencana, sarana olahraga, tempat titik kumpul, talud sungai
sepanjang 327 meter, jalur evakuasi yang jelas, early warning system ( 2 titik
lokasi ), masjid, hotel, rumah susun, jembatan, pos kampling, dan MCK. Dari
sumber daya manusia diantaranya adanya relawan, Paguyuban Muda Mudi
Jagalan ( PAMUJA), Komunitas Pareanom, bergodo JOGO LEKSO, forum PRB
(pengurangan risiko bencana), Komunitas Code-X, Paguyuban Kesenian,
(Keroncong, Ketoprak, Karawitan,dll), Taman Bacaan, Kelompok Senam Lansia
dan Poco-Poco. Adanya beragam komunitas ini diharapkan dapat mengurangi
dampak bencana yang terjadi dengan komunikasi yang baik dan lancar.
Aksi Kampung, untuk mengantisipasi ancaman bencana dan kerentanan
yang ada, masyarakat melakukan aksi penanggulangan diantaranya: peningkatan
jalur evakuasi, penentuan titik kumpul, penentuan tempat pengungsian, simulasi
67
kebencanaan, sosialisasi PRB, kerja bakti rutin, pengadaan peralatan
kebencanaan.
Tabel II.6
SUSUNAN PENGURUS KAMPUNG TANGGUH BENCANA (KTB)
KAMPUNG JAGALAN LEDOKSARI PERIODE 2019-2022
No Nama Jabatan Dalam TIM
1 Joko Amprono dan Heri Wibowo Ketua dan Wakil Ketua
2 Adiyo Kuntoro/ M. Dinar Maulana H Sekretaris
3 Wasgiyanti/Dra. Chamda Mulyarini Bendahara
4 Apriyanto, M. Ichsanudin, Sudaryanto, Dito Prasetyo, dan Haryono Seksi Evakuasi dan Eksekusi
5 Ign. Sumarsono dan Muji Hartono Seksi Informasi, Sosialisasi dan
Edukasi
6 H. Suryo Edi Setiawan Seksi Peringatan Dini
7 Endro Nugroho dan Adhi Arfianto Seksi Data
8 Miming Helansyah dan Nur Mufid Seksi Perlengkapan
9 M.M Kuntari dan Iswantono Seksi Logistik
10 Eni Sulistyowati, Tati Jumiati, dan Hartilah Seksi dapur Umum
11 Agung Dirganto dan Siti Roswaniah Seksi P3K
12 Ardianto Setiawan Seksi Transportasi
13 Nurmaidi, Sutrisna, dan Margono Seksi Keamanan
Sumber: Data Fasilitator Katana Purwokinanti, 2019
68
Berikut adalah Job Description (Uraian Tugas/Jabatan) dari Pengurus Kampung
Tangguh Bencana Jagalan Ledoksari :
1) Penasehat dan Pengarah
Bertanggung jawab atas keseluruhan pelaksanan kegiatan PRB dan menetapkan
langkah-langkah guna mempercepat upaya penanganan bencana
2) Ketua :
a) Mengkoordinasikan, mengsinkronkan, perencanaan, penganggarandan
pelaksanaan kebijakan Program Pengurangan Risiko Bencana
b) Meningkatkan responsibilitas, akuntabilitas, dan efektifitas kebijakan dan
program Pengurangan Risiko Bencana kelurahan sesuai karakteristik
kondisi lokal
c) Memantau dan mengevaluasi perkembangan kebijakan dan program
Pengurangan Risiko Bencana ditingkat Kampung
3) Sekretaris :
a) Melaksanakan kegiatan administrasi terkait pelaksanaan kebijakan dan
program Pengurangan Risiko Bencana ditingkat Kampung
b) Menyusun tatakala, persiapan, dan penyelenggaraan rapat koordinasi
secara menyeluruh
c) Membuat notulensi rapat koordinasi, menyusun laporan dan
mendokumentasikan seluruh kegiatan dan kejadian secara terperinci.
4) Bendahara :
a) Melakukan/mencatat kondisi keuangan yang dilaksanakan oleh semua
komponen yang ada
69
b) Melaporkan keluar masuk kondisi keuangan kepada ketua dan seluruh
anggota forum
c) Membuat laporan pertanggung jawaban keuangan yang diketahui oleh
Ketua KTB.
5) Seksi Evakuasi :
a) Melaksanakan penanganan/evakuasi terhadap korban bencana
b) Melakukan penyelamatan terhadap korban bencana
c) Menyiapkan sumber daya penunjang untuk kegiatan evakuasi dan
penyelamatan korban bencana.
6) Seksi Informasi, Sosialisasi dan Edukasi
a) Mengupdate informasi dari pihak manapun untuk memperoleh informasi
yang jelas pada setiap saat
b) Melakukan sosialisasi pada semua warga mengenai kondisi wilayah pada
saat darurat/aman
c) Merencanakan program-program dan anggaran pelatihan penanggulangan
bencana bagi masyarakat
7) Seksi Peringatan Dini
a) Memberikan informasi kepada masyarakat ketika ada potensi ancaman
bencana menggunakan alat, tanda atau tindakan yang sudah disepakati
sebagai Early Warning System (EWS)
b) Memastikan masyarakat mengetahui jika ada potensi ancaman bencana
(status waspada)
70
c) Memastikan masyarakat mengetahui jalur-jalur evakuasi, titik kumpul dan
tempat pengungsian
8) Seksi Data
a) Melakukan pendataan secara rinci terhadap warga yang tinggal diwilayah
Kelurahan Purwokinanti
b) Melakukan pendataan terhadap kelompok rentan dan kelompok kapasitas
yang ada
c) Jika terjadi bencana melakukan pendataan korban bencana meliputi
manusia, harta dan benda yang dimiliki oleh warga
d) Melakukan update data setiap 6 bulan sekali
e) Berkoordinasi dengan seksi-seksi yang lain untuk update data yang
diperlukan
9) Seksi Perlengkapan
a) Menyiapkan alat dan sarana yang akan digunakan untuk evakuasi
b) Menyiapkan lokasi untuk evakuasi beserta kelengkapannya
c) Menyiapkan tenda medis, dapur umum dan perlengkapan yang dibutuhkan
d) Berkoordinasi dengan seksi-seksi yang lain untuk pemenuhan kebutuhan
yang diperlukan
10) Seksi Logistik
a) Mengiventarisir seluruh kebutuhan alat, sarana dan prasarana, sandang
dan kebutuhan per makanan
b) Mencatat barang masuk dan barang keluar secara rinci