Peran Etik Medikolegal dalam Mewujudkan Dokter...

50

Transcript of Peran Etik Medikolegal dalam Mewujudkan Dokter...

Peran Etik Medikolegal dalam Mewujudkan Dokter Paripurna

Prof. Dr. dr. Dedi Afandi, D.F.M., Sp.F.M.(K)

Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Kedokteran Forensik Bagian/Jurusan Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Riau

UNIVERSITAS RIAU Fakultas Kedokteran

PEKANBARU, 30 AGUSTUS 2019

Peran Etik Medikolegal Dalam Mewujudkan Dokter Paripurna ISBN 978-602-50127-6-1 Penulis: Prof. Dr. dr. Dedi Afandi, D.F.M., Sp.F.M.(K) Desain Sampul Humas Universitas Riau Penerbit: Fakultas Kedokteran Universitas Riau Redaksi: Fakultas Kedokteran Universitas Riau Jl. Diponegoro 1, Pekanbaru, Riau (28133) Telp: (0761) 839264 Fax: (0761) 839265 Email: [email protected] Laman: http://fk.unri.ac.id Terbitan online, September 2019 Hak cipta dilindungi Undang-undang, hak cipta terdaftar pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum & HAM Republik Indonesia. Surat Pencatatan Hak Cipta Nomor 000152589 tanggal 1 September2019.

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT penulis sampaikan atas rahmat, nikmat dan

dan karunia-Nya akhirnya buku ini dapat diterbitkan. Buku ini merupakan isi dari pidato pengukuhan guru besar penulis dan telah dibacakan pada tanggal 30 Agustus 2019. Buku ini berisi ide, gagasan, dan pemikiran penulis tentang peran etik medikolegal dalam mewujudkan dokter paripurna.

Dalam menguraikan lebih jauh tentang keluhuran profesi kedokteran, perkembangan etik medikolegal di Indonesia, dan konsep dokter paripurna. Dalam mewujudkan dokter paripurna dapat dilakukan dengan cara menjaga dan mempertahankan keluhuran profesi profesi kedokteran, kontrak sosial plus, idealisme kompromistis, keputusan klinis yang etis, dan pelaku pelayanan kesehatan yang beradab. Dokter yang pintar adalah dokter yang kompeten; Dokter yang luhur adalah dokter yang menjalankan etika profesi; Dokter yang beradab adalah dokter yang memahami aspek medikolegal; Dokter yang melaksanakan ketiganya adalah dokter paripurna.

Penulis menyadari bahwa buku ini jauh dari kesempurnaan. Akhirnya penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan moril dan materil sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ini. Penulis Dedi Afandi

iv

DAFTAR ISI

Kata Pengantar iii Daftar Isi iv Pendahuluan 1 Profesi Kedokteran Merupakan Profesi Luhur 2 Etik Medikolegal dalam Praktik Kedokteran 6 Tantangan Profesi Kedokteran 15 Mewujudkan Dokter Paripurna 18 Bahan Bacaan 30 Curriculum Vitae 32

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 1

PERAN ETIK MEDIKOLEGAL DALAM MEWUJUDKAN DOKTER

PARIPURNA

Dedi Afandi

Pidato Pengukuhan Guru Besar dibacakan di hadapan Rapat Terbuka Senat Universitas Riau pada tanggal 30 Agustus 2019, Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa, Kampus UNRI Gobah Pekanbaru

Bismillaahirrahmaanirrahiim Yang saya hormati, Rektor, dan para Wakil Rektor Universitas Riau, Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat Akademik Universitas Riau, Para Guru Besar Unviersitas Riau, Para Pejabat Sipil, TNI dan POLRI, Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, SpFM(K), SH, MSi, DFM dari Universitas Indonesia, Prof. dr. Budi Sampurna, SpFM(K), SH, DFM, SpKP dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Herkutanto, SpFM(K), SH, DFM, LLM, FACLM dari Universitas Indonesia, Prof. Dr.med. dr. M. Soekri Erfan Kusuma, SpFM(K), DFM dari Universitas Airlangga, Para Dekan, Ketua Lembaga, Wakil Dekan, Kepala UPT di lingkungan Universitas Riau, Ketua IDI Wilayah, para Ketua IDI Cabang, Para Ketua PDSp dan PDSm se Riau, Segenap Sivitas Akademika Universitas Riau, Para tamu undangan, teman sejawat, para dosen, mahasiswa dan sanak keluarga yang saya cintai. Assalaamu’alaikum warrahmatullaahi wabarakaatuh Selamat pagi dan salam sehat bagi kita semua.

Pertama-tama perkenankanlah saya menyampaikan sedalam rasa syukur ke

hadirat Allah SWT yang telah senantiasa melimpahkan rahmat, nikmat, dan karunia-

Nya sehingga pada hari ini kita semua dapat berkumpul dalam keadaan sehat walafiat

untuk mengikuti acara Pengukuhan Guru Besar Universitas Riau. Setinggi puji mari

kita panjatkan untuk Nabi besar Muhammad SAW. Saya menyampaikan terima kasih

yang tidak terhingga kepada Rektor dan Ketua Senat Akademik Universitas Riau yang

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 2

telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyampaikan pidato

pengukuhan saya yang berjudul:

Peran Etik Medikolegal dalam Mewujudkan Dokter Paripurna

Judul ini sengaja saya pilih sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran

forensik di Indonesia. Berdasarkan Keputusan Menteri Riset, Teknologi, dan

Pendidikan Tinggi Nomor 57/M/KPT/2019 tentang Nama Program Studi pada

Perguruan Tinggi dan Keputusan Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan

Nomor 46/B/HK/2019 tanggal 22 Februari 2019 tentang Daftar Nama Program Studi

pada Perguruan Tinggi, dulunya disebut Ilmu Kedokteran Forensik sekarang menjadi

Kedokteran Forensik dan Studi Medikolegal. Yang dulunya Sp.F sekarang menjadi

Sp.FM. Ternyata penambahan huruf M ini mengakibatkan penambahan tanggung

jawab dan upaya yang sungguh-sungguh untuk mengembangkannya.

Pidato pengukuhan ini merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban

akademik dan komitmen saya atas jabatan Guru Besar bidang ilmu kedokteran

forensik. Semakin saya mempelajari maka semakin saya menyadari bahwa ilmu Allah

SWT luas. Saya juga menyadari bahwa masih banyak hal yang harus saya pelajari,

masih banyak majelis-majelis ilmu yang harus saya hadiri untuk dapat

mengembangkan keilmuan ini sehingga bermanfaat bagi masyarakat, nusa, bangsa

dan agama.

Profesi Kedokteran Merupakan Profesi Luhur

Hadirin yang saya hormati,

Profesi berasal dari kata Profession yang berarti “deklarasi secara terbuka”,

kemudian dari kata ini berkembang arti yang mirip yaitu deklarasi, janji, atau sumpah

yang khusuk. Karena evolusi kata ini dan adanya kaitan dengan sumpah keagamaan,

seseorang yang menjadi anggota suatu profesi disyaratkan untuk mengucapkan

sumpah itu pada saat mulai membaktikan hidupnya untuk tujuan yang luhur. Profesi

juga didefinisikan sebagai suatu kelompok individual dengan aturan/disiplin tersendiri

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 3

yang mempunyai kemampuan khusus dalam masyarakat yang didapat dari jenjang

pendidikan ataupun pelatihan. Inti dari semua profesi melibatkan 2 elemen, yaitu:

memiliki pengetahuan/kemampuan khusus yang tidak dimiliki masyarakat awam dan

komitmen untuk melayani. Kenyataan ini kemudian merupakan salah satu ciri yang

membenarkan munculnya ilmu kedokteran sebagai profesi. Kewenangan profesional

berkembang berlandaskan pada kemampuan yang luas dimiliki oleh para anggota

profesi kedokteran. Kewenangan profesional ini terbatas pada bidang teknis

kedokteran saja dan hanya dapat dicapai dan dimiliki sesudah menjalani pendidikan

dan latihan yang cukup lama.

Esensi sebuah profesi adalah adanya professional power (autonomi profesi) dan

professional value (kode etik profesi). Adanya kewenangan; autoritas; kekuasaan profesi

membuat sebuah profesi memiliki kemampuan untuk memengaruhi pemikiran,

pendapat, keputusan dan kehidupan orang lain berdasarkan kearifan nilai-nilai profesi.

Keistimewaan ini harus dipandang sebagai hal yang positif untuk menjaga keluhuran

sebuah profesi. Karena professional power merupakan jantung etika profesi dan

merupakan dasar dalam memformulasikan etika profesi. Profesionalisme kedokteran

adalah unik. Tidak hanya menyangkut masalah seorang dokter yang pintar, tetapi lebih

jauh merupakan refleksi nilai dan perilaku dokter dalam menjalankan praktik sehari-

hari, termasuk interaksi dengan pasien, keluarga, teman sejawat dan masyarakat luas.

Profesi kedokteran merupakan profesi tertua di dunia. Pengakuan ilmu

kedokteran sebagai sebuah profesi dapat ditelusuri melalui ciri-ciri sebuah profesi.

Bila dilihat dari sejarah profesi kedokteran terjadi saat-saat pasang dan surut ciri-ciri

profesi tersebut. Namun ada dua ciri yang tetap terdapat dalam profesi kedokteran

yaitu adanya pengetahuan dan teknik (body of knowledge) yang khusus dimiliki oleh

anggota dan adanya kode etik yang mengatur perilaku anggota.

Adanya pengetahuan dan teknik yang khusus serta dibakukannya kemampuan

seorang ahli kedokteran oleh para ahli kedokteran itu sendiri, menimbulkan tuntutan

monopoli dalam menjalankan praktik kedokteran. Tuntutan ini bisa dikatakan sebagai

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 4

suatu bentuk autonomi dari sebuah organisasi profesi untuk bekerja. Autonomi

mengakibatkan kelompok profesi ini menjadi “eksklusif”. Monopoli dan autonomi ini

pada satu sisi dapat menimbulkan efek negatif. Bagi para pengguna jasa kedokteran,

ketertutupan profesi kedokteran dapat mengakibatkan kecurigaan. Selain itu sejarah

mencatat bahwa kritikan terhadap profesi kedokteran telah lama berjalan, dan telah

menjadi “olokan masyarakat” sejak zaman Yunani Kuno. Seorang ahli filsafat, George

Bernard Shaw mengatakan bahwa semua profesi merupakan persengkongkolan

melawan kaum awam.

Kesenjangan tingkat pengetahuan dan keterampilan khusus yang dimiliki oleh

sebuah profesi menyebabkan terjadinya pandangan negatif dan kritik terhadap

profesi itu sendiri. Masyarakat awam tidak mampu menilai karya profesional. Oleh

karena itu dibutuhkan pengendalian diri secara individual pengemban profesi untuk

tetap berpegang teguh pada nilai-nilai dan norma-norma yang menjiwai suatu profesi.

Hal ini sangat diperlukan dalam menjalankan suatu profesi terutama profesi

kedokteran. Karena hubungan horisontal antara sebuah profesi dan kliennya

sesungguhnya hanyalah hubungan kepercayaan.

Kekhususan yang dimiliki oleh profesi kedokteran itu harus senantiasa dijaga

dengan menanamkan altruisme sebagai salah satu ciri keluhuran profesi. Altruisme

tidak akan terwujud tanpa adanya pemahaman dan dukungan faktor-faktor yang

membentuknya. Menurut McGuy ada 11 inti nilai profesionalisme untuk mencapai

altruisme yaitu: kepedulian, jujur, akuntabilitas, memegang janji, berbuat yang terbaik,

loyalitas, adil, kompeten, menghormati orang lain, bertanggung jawab dan rendah hati.

Etika profesi diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan dan menjamin

professional power dimanfaatkan sesuai pedoman moral; selain itu juga untuk

menghindari distorsi dan menjamin dari professional value agar senantiasa sesuai

dengan pedoman moral. Adapun prinsip-prinsip utama etika profesi adalah tanggung

jawab, keadilan dan autonomi. Ini menunjukkan bahwa sebuah profesi adalah

kumpulan individu-individu yang memiliki tolak ukur perilaku di atas rata-rata.

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 5

Aturan-aturan etika profesi bisa diartikan sebagai terjemahan dari asas-asas

etika menjadi ketentuan-ketentuan pragmatis yang memuat hal-hal yang boleh

dilakukan dan hal-hal yang harus dihindari oleh anggota profesi. Kode etik adalah

kumpulan terpilih etika profesi yang dianggap masih cocok dengan situasi praktik

kedokteran suatu negara. Etika profesi merupakan serangkaian norma-norma ideal

yang diharapkan dari seorang dokter. Jadi etika profesi yang diformulasikan menjadi dalam

dokumen tertulis disebut sebagai kode etik. Khusus untuk profesi kedokteran di

Indonesia disebut Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).

Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang berlaku sekarang adalah

KODEKI 2012, yang merupakan revisi dan penyempurnaan dari KODEKI tahun 2001.

Revisi dan penyempurnaan ini dilakukan agar dapat menampung substansi

profesionalisme dokter dan keselamatan pasien sebagaimana tersirat dalam UU

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan dan UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU nomor 40 Tahun

2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Nomor 24 Tahun 2011

tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), maupun pelbagai perundang-

undangan lainnya yang mengatur profesi kedokteran. Hal ini menunjukkan bahwa

etika profesi bukanlah suatu hal yang statis. KODEKI 2012 memberi ruang dalam

"cakupan pasal" agar dapat menampung wawasan baru dari “Code of Medical Ethics”

negara maju agar dapat mengantisipasi perkembangan global dan perkembangan

terbaru dari praktik kedokteran. Secara garis besar KODEKI 2012 memiliki 4

kewajiban dan 21 pasal yaitu:

a. Kewajiban umum: 1. Sumpah dokter; 2. Standar pelayanan kedokteran yang baik; 3. Kemandirian profesi; 4. Memuji diri; 5. Perbuatan melemahkan psikis maupun fisik; 6. Bijak dalam penemuan baru; 7. Keterangan dan pendapat yang valid; 8. Profesionalisme;

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 6

9. Kejujuran dan kebajikan sejawat; 10. Penghormatan hak-hak pasien dan sejawat; 11. Pelindung kehidupan; 12. Pelayanan kesehatan holistik; 13. Kerja sama.

b. Kewajiban dokter terhadap pasien: 14. Konsul dan rujukan; 15. Kebebasan beribadat dan lain-lain; 16. Rahasia jabatan; 17. Pertolongan darurat;

c. Kewajiban dokter terhadap teman sejawat: 18. Menjunjung tinggi kesejawatan; 19. Pindah pengobatan;

d. Kewajiban dokter terhadap diri sendiri: 20. Menjaga kesehatan, dan 21. Perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran.

Pemahaman, penerapan, dan penegakan kumpulan peraturan etika profesi

yang terdapat dalam KODEKI merupakan suatu tolak ukur perilaku ideal/optimal dan

penahan godaan penyimpangan profesi perorangan dokter yang merupakan

pengabdi profesi di Indonesia. Dalam pelayanan, seorang dokter harus memegang

teguh etika kedokteran yang menjadi penentu keluhuran profesi ini. Jika etika

kedokteran tidak lagi dipegang teguh oleh dokter sebagai anggota IDI, maka profesi

ini tidak lagi layak disebut sebagai profesi yang luhur.

Etik Medikolegal dalam Praktik Kedokteran

Hadirin yang saya muliakan,

Layanan kedokteran adalah suatu sistem yang kompleks dengan sifat

hubungan antar komponen yang ketat (complex and tightly coupled) khususnya di

ruang gawat darurat, ruang bedah dan ruang rawat intensif. Sistem yang kompleks

umumnya ditandai dengan spesialisasi dan interdependensi. Dalam suatu sistem yang

kompleks, satu komponen dapat berinteraksi dengan banyak komponen lain, kadang

dengan cara yang tak terduga atau tak terlihat. Semakin kompleks dan ketat suatu

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 7

sistem akan semakin mudah terjadi kecelakaan (prone to accident), oleh karena itu

praktik kedokteran haruslah dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi.

Mengingat sifat keilmuan tersebut di atas maka muncullah doktrin hubungan

dokter-pasien yang bersifat kontrak berdasar upaya (inspanningsverbintennis) dan

bukannya kontrak berdasar hasil. Keberhasilan suatu tindakan medik tidak hanya

bergantung kepada kompetensi dokter dan stafnya, melainkan juga bergantung

kepada ketersediaan peralatan dan waktu, keadaan penyakitnya, faktor-faktor

lingkungan, kepatuhan pasien, serta faktor konstitutif pasien itu sendiri. Perlu diingat

bahwa tidak semua faktor tersebut dapat dikendalikan oleh dokter dan stafnya.

Pada awalnya hubungan dokter – pasien adalah hubungan yang bersifat

paternalistik, dengan prinsip moral utama adalah beneficence. Sifat hubungan

paternalistik ini kemudian dinilai telah mengabaikan nilai otonomi pasien, dan

dianggap tidak sesuai dengan perkembangan moral (orang Barat) saat ini, sehingga

berkembanglah teori hubungan kontraktual (sekitar tahun 1972-1975). Konsep ini

muncul dengan merujuk kepada teori social contract di bidang politik. Veatch

mengatakan bahwa dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang bebas, yang meskipun

memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat keputusan, tetapi saling menghargai.

Dokter akan mengemban tanggungjawab atas segala keputusan teknis, sedangkan

pasien tetap memegang kendali keputusan penting, terutama yang terkait dengan

nilai moral dan gaya hidup pasien. Hubungan kontrak mengharuskan terjadinya

pertukaran informasi dan negosiasi sebelum terjadinya kesepakatan, namun juga

memberikan peluang kepada pasien untuk menyerahkan pengambilan keputusan

kepada dokter.

Walaupun hubungan dokter-pasien ini bersifat kontraktual, namun mengingat

sifat praktek kedokteran yang berdasarkan ilmu empiris, maka prestasi kontrak

tersebut bukanlah hasil yang akan dicapai (resultaatsverbintennis) melainkan upaya

yang sungguh-sungguh (inspanningsverbintennis). Profesi dokter yang menggeluti

bidang kosmetik seringkali terjebak untuk “memperjanjikan” hasil seperti pada

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 8

resultaat verbintennis. Hal itu berbahaya oleh karena hasil dari tindakan dokter

umumnya tidak dapat dipastikan 100%, oleh karena hasil tersebut dipengaruhi

berbagai faktor, tidak hanya bergantung kepada tindakan dokter. Hubungan kontrak

semacam itu harus dijaga dengan peraturan perundang-undangan dan mengacu

kepada suatu standar atau benchmark tertentu.

Berdasarkan hubungan kontrak di atas muncullah hak-hak pasien yang pada

dasarnya terdiri dari dua hak, yaitu : (1) the Rights to health care dan (2) the Rights to

self determination. Secara tegas the World Medical Association telah mengeluarkan

Declaration of Lisbon on the Rights of the Patient (1991), yaitu hak memilih dokter

secara bebas; hak dirawat oleh dokter yang bebas dalam membuat keputusan klinis

dan etis; hak untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi

yang adekuat; hak untuk dihormati kerahasiaan dirinya; hak untuk mati secara

bermartabat; dan hak untuk menerima atau menolak dukungan spiritual atau moral.

Undang-Undang Kesehatan menyebutkan beberapa hak pasien, seperti hak

atas informasi, hak atas second opinion, hak untuk memberikan persetujuan atau

menolak suatu tindakan medis, hak atas kerahasiaan, hak untuk memperoleh

pelayanan kesehatan, dan hak untuk memperoleh ganti rugi apabila terdapat

kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Ditjen Yanmed Depkes RI mengeluarkan

Surat Edaran No YM.02.04.3.5.2504 tahun 1997 yang berisikan Pedoman Hak dan

Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumahsakit. UU Praktik Kedokteran tahun 2004

menguatkan kembali hak-hak pasien, yaitu hak mendapatkan penjelasan secara

lengkap, memperoleh pendapat kedua, mendapat pelayanan sesuai dengan

kebutuhan medis, menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis.

Sikap dan tindakan yang wajib dilaksanakan oleh dokter diatur dalam berbagai

standar, yaitu standar kompetensi, standar perilaku dan standar pelayanan. Standar

kompetensi mengatur tentang kompetensi minimal yang harus dimiliki seorang

dokter atau dokter spesialis tertentu dan kaitannya dengan kewenangan mediknya.

Seorang dokter hanya boleh melakukan suatu tindakan medik yang berada dalam

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 9

wilayah kompetensi dan kewenangannya, yang dapat dilihat dalam sertifikat

kompetensinya. Dalam hal terdapat kompetensi tambahan yang mengakibatkannya

wewenang melakukan tindakan yang khusus, maka kompetensi ini juga harus

dikukuhkan dengan sertifikasi dan diakui oleh masyarakat profesinya.

Standar perilaku diuraikan dalam sumpah dokter, etik kedokteran dan kode/

pedoman etik spesialis tertentu. Etik profesi mengatur tentang bagaimana

“sebaiknya” dokter bersikap, dan umumnya diuraikan dalam bentuk kewajiban-

kewajiban dalam kode etik. Namun, mengingat sifat etik yang tidak memiliki sanksi

yang dapat dipaksakan, maka alangkah baiknya apabila di masa mendatang Konsil

Kedokteran menyusun standar perilaku yang lebih operasional dan sanksinya dapat

dipaksakan.

Standar pelayanan medis adalah uraian tentang apa yang harus dikerjakan

oleh seorang dokter dalam menghadapi suatu kasus atau suatu situasi medis tertentu.

Suatu standar umumnya berbicara tentang pelayanan pada situasi dan keadaan yang

“normal” (clean case), sehingga harus dikoreksi/disesuaikan terlebih dahulu untuk

dapat diterapkan pada situasi dan kondisi yang tertentu. Banyak hal harus

diperhitungkan disini, seperti keadaan umum pasien dan faktor-faktor lain (hardware,

software, liveware dan environment) yang “memberatkannya”; adakah situasi

kedaruratan tertentu, adakah keterbatasan sarana dan/atau kompetensi institusi,

adakah keterbatasan waktu, dan lain-lain. Oleh karena itu ada kecenderungan untuk

mengatur hal-hal yang umum dalam bentuk standar dan mengatur hal-hal yang

khusus dan rinci dalam bentuk pedoman. Di tingkat sarana kesehatan, pedoman

tersebut disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya, dan dibuatkan standar

prosedur operasional. Termasuk di dalamnya adalah kewajiban membuat rekam

medis yang adekuat, kewajiban memperoleh consent setelah memberikan informasi,

kewajiban merujuk apabila tidak mampu, dll.

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 10

Hadirin yang saya hormati,

Rekam medis memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis sebagaimana

disebut di dalam Permenkes RI No 269 tahun 2008, yaitu sebagai dasar pemeliharaan

kesehatan dan pengobatan pasien, bahan pembuktian dalam perkara hukum, bahan

untuk keperluan penelitian dan pendidikan, dasar pembayaran biaya pelayanan

kesehatan, dan sebagai bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan. Baik doktrin

yang dikemukakan oleh para ahli di berbagai kepustakaan maupun UU Kesehatan, UU

Praktek Kedokteran dan Permenkes RI No 269 tahun 2008 tentang rekam medis

menyatakan bahwa kepemilikan Rekam Medis mengandung dua aspek, yaitu bahwa

isi rekam medis adalah milik pasien yang bersangkutan sedangkan fisik rekam medis

nya sendiri adalah milik dari sarana kesehatan tersebut.

Berkaitan dengan hak pasien untuk mengakses rekam medis beberapa hal

harus diingat dan dipertimbangkan. Pertimbangan pertama adalah bahwa apabila

informasi yang terdapat di dalam rekam medis dapat mengakibatkan memburuknya

keadaan pasien, maka akses langsung menjadi tidak diperkenankan. Pertimbangan

lain adalah bahwa informasi yang diberikan oleh pasien adalah absolut milik pasien,

sedangkan informasi yang diperoleh dokter dengan cara deduksi atau inferensi ilmiah

adalah milik dokter dan tidak absolut dapat diketahui oleh pasien. Amerika Serikat

yang dikenal sangat liberal dan mengakui hak-hak individu, ternyata produk hukum di

bidang ini belumlah sama di semua negara bagian. Hanya 28 negara bagian yang

memberikan hak kepada pasien untuk mengakses rekam medisnya, itupun dengan

tata cara yang bervariasi. Bahkan untuk rekam medis tertentu, seperti rekam medis

psikiatris, diperlakukan sangat khusus – tidak dapat diakses oleh pasien. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa meskipun pasien berhak mengetahui keadaan

kesehatan / penyakit dirinya, namun hal ini tidak mengakibatkan bahwa ia berhak

secara absolut mengakses rekam medisnya. Dalam hal dokter berpendapat bahwa

pasien dapat melihat rekam medisnya, maka sebaiknya pasien didampingi oleh dokter

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 11

atau perawat yang mengetahui agar dapat menjelaskan hal-hal yang sukar dipahami

oleh pasien.

Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1966 yang mengatur tentang wajib simpan

rahasia kedokteran mewajibkan seluruh tenaga kesehatan untuk menyimpan segala

sesuatu yang diketahuinya selama melakukan pekerjaan di bidang kedokteran

sebagai rahasia. Namun PP tersebut memberikan pengecualian sebagaimana

terdapat dalam pasal 2, yaitu apabila terdapat peraturan perundang-undangan yang

sederajat (PP) atau yang lebih tinggi (UU) yang mengaturnya lain. Ketentuan ini juga

ditunjang oleh pasal 50 KUHP yang menyatakan bahwa seseorang tidak akan dipidana

oleh karena melakukan suatu perbuatan untuk menjalankan undang-undang. Hal ini

mengakibatkan “bebasnya” para dokter dan tenaga administrasi kesehatan dalam

membuat visum et repertum (kewajiban dalam KUHAP), dan dalam menyampaikan

pelaporan tentang statistik kesehatan, penyakit wabah dan karantina.

Alasan lain yang diperbolehkan untuk membuka rahasia kedokteran adalah

adanya ijin pasiennya sendiri, perintah jabatan (pasal 51 KUHP), daya paksa (pasal 48

KUHP), dan dalam rangka membela diri (pasal 49 KUHP). Selain itu etika kedokteran

umumnya membenarkan pembukaan rahasia kedokteran secara terbatas untuk

kepentingan konsultasi profesional, pendidikan dan penelitian. Permenkes No 269

tahun 2008 juga memberi peluang bagi penggunaan rekam medis untuk pendidikan

dan penelitian. UU Praktik Kedokteran merumuskan pembukaan rahasia kedokteran

hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak

hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan

ketentuan perundang-undangan.

Persetujuan tindakan kedokteran (PTK) adalah merupakan terjemahan yang

dipakai untuk istilah informed consent. Konsep tentang informed consent mempunyai

dua unsur : (1) informed atau informasi yang harus diberikan oleh dokter dan (2)

consent atau persetujuan yang diberikan pasien, dalam arti pasien harus mengerti

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 12

untuk apa persetujuan itu diberikan. Jadi informed consent adalah persetujuan yang

diberikan pasien kepada dokter setelah diberi penjelasan.

Istilah Persetujuan Tindakan Kedokteran (PTK) resmi dipakai setelah

diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, yang

mendefinisikan bahwa “Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang

diberikan pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan lengkap

mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap

pasien”.20 Pengertian PTK di sini bukanlah semata-mata mendapatkan persetujuan

atau izin tertulis dari pasien pada tindakan operatif atau tindakan invasif lainnya yang

berisiko namun lebih jauh ditekankan bahwa adanya kesepakatan yang dicapai

setelah dokter dan pasien berdialog. Jadi PTK merupakan suatu proses yang

menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya

pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien.

Babar menyatakan bahwa: “Informed consent is a process to some extend but lays

essential emphasis on what the patient would want to know, including about adverse

effects, risk of failure, alternative choices and how that individual patients could be

affected by the treatment of if its lack. Here, the patient decides on what he wants to

know”. Jadi dalam pelaksanaannya PTK minimal harus membuat pasien mengerti

(informed) dalam kontek pemberian informasi sebelum pasien memberikan

persetujuan (consent). Idealnya ini baru bisa terlaksana apabila terdapat komunikasi

yang efektif dan bertemunya pemikiran yang sepakat sebelum mencapai

persetujuan.

Dasar hukum persetujuan tindakan kedokteran adalah Pasal 45 Undang-

Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan Pasal 37 Undang-

Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Peraturan pelaksananya adalah

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008

tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Sumber bacaan lain yang terkait dengan

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 13

PTK adalah buku yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia:

Penyelenggaraan Kedokteraan yang Baik di Indonesia, dan Manual Persetujuan

Tindakan Kedokteran. Dari sisi etik, PTK wajib dilaksanakan oleh dokter sesuai dengan

Pasal 10 Kode Etik Kedokteran Indonesia, yaitu:” Seorang dokter wajib senantiasa

menghormati hak-hak- pasien, teman sejawatnya, dan tenaga kesehatan lainnya,

serta wajib menjaga kepercayaan pasien”.

Ada 2 tujuan utama dari persetujuan tindakan kedokteran yaitu: (1).

Melindungi pasien terhadap segala tindakan medik yang dilakukan tanpa

sepengetahuan pasien, misalnya hendak dilakukan prosedur medik yang sebenarnya

tidak perlu dan tanpa ada dasar mediknya, (2). Memberikan perlindungan hukum

kepada dokter terhadap akibat yang tak terduga dan bersifat negatif. Perlindungan

hukum yang dimaksud di sini adalah perlindungan yang terbatas pada keadaan “risk

of treatment” yang tak mungkin dihindarkan, walaupun sang dokter sudah berusaha

sedapat mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti. Karena setiap

tindakan medis yang dilakukan oleh dokter, terkadang hasilnya bersifat

ketidakpastian (uncertainty) dan tidak dapat diperhitungkan secara matematik karena

dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berada di luar kekuasaan dan kontrol dokter,

misalnya virulensi penyakit, kepatuhan pasien, kualitas obat dan sebagainya.

Persetujuan tindakan kedokteran sesungguhnya merupakan kunci

keberhasilan dalam hubungan dokter-pasien, karena: a). melindungi otonomi pasien,

di mana dengan memberikan persetujuan atau tidak, ia menentukan hidupnya

sendiri; b). melindungi martabat manusia, di mana pasien diakui sebagai pusat nilai

yang tidak boleh digunakan sebagai sarana belaka untuk tujuan lain di luar dirinya; c).

berfungsi untuk memperlihatkan bahwa pasien tidak dimanipulasi; d). menciptakan

suasana saling percaya antara dokter-pasien: dan e). membantu kelancaran jalannya

pemeriksaan-pengobatan, di mana dengan mengetahui lebih banyak tentang

tindakan yang akan dilakukan, umumnya pasien dapat memberi informasi lebih baik,

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 14

dapat bekerja sama lebih intensif, dan lebih taat memenuhi persyaratan-persyaratan

yang diminta berkaitan dengan proses penyembuhan.

Perkembangan etik medikolegal yang awalnya berpijak pada 3 pilar yaitu

rahasia kedokteran, rekam medis dan informed consent, pada saat ini telah jauh

berkembang. Terutama sejak dinyatakannya bahwa praktik kedokteran harus sesuai

dengan standar profesi dan standar pelayanan medis. Dulu, hampir mustahil untuk

menstandarisasi tindakan kedokteran pada suatu diagnosis penyakit karena pusat

Pendidikan memiliki mahzabnya masing-masing.

Perkembangan ini menimbulkan beberapa standar atau panduan yang dijadikan

acuan dalam melaksanakan tindakan kedokteran. Seperti Panduan Praktik Klinis,

Standar Prosedur Operasional dan sebagainya.

Medikolegal jauh masuk ke dalam tindakan-tindakan kedokteran secara

mikro. Medikolegal mulai menilai bahwa tidak cukup niat baik saja dalam

menjalankan praktik kedokteran, akan tetapi niat baik juga harus diiringi dengan

tindakan yang baik juga.

Beberapa pemeriksaan penunjang dan konsep etikomedikolegal

dikembangkan untuk menilai kesejalanan dan kesesuaian tindakan dan standar.

Diantaranya adalah: (1). Bolam test/substandard care: Yang akan dilakukan oleh

“responsible body of responsible practitioner” pada waktu “ITU”; (2). Bolitho

test/illogical care: Treatment harus memiliki dasar logika; dapat diterima secara

logika dan defensible; (3). Montgomery test: informasi harus cukup dan dapat

dipahami oleh pasien dan; (4). Chester test/but for test: Jika bukan karena

tindakan/terapi maka tidak akan ada damage tersebut. Seyogyanya tindakan

kedokteran harus lulus ke empat tes tersebut.

Selain itu juga ada (1). Konsep Minimal 3T atau 3 tanya sebagai ukuran

“adequate informasi” pada proses pemberian informasi dari informed consent, yaitu

deklarasi (bahwa kita sudah memberikan informasi), konfirmasi (apakah ada yang

ingin ditanya lagi), recall (tanya kembali yang sudah dijelaskan) dan (2). Konsep

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 15

kancing dua pada proses persetujuan dari Informed Consent, yaitu upaya memastikan

yang tersirat disadari oleh pasien, membiarkan pasien untuk secara sadar membuka

kancing baju pertama, mulai menawarkan bantuan untuk membuka kancing baju

kedua. Sehingga benar-benar kita pastikan bahwa pasien setuju dengan tindakan

kedokteran yang akan kita lakukan.

Tantangan Profesi Kedokteran

Hadirin yang saya muliakan,

Perubahan praktik kedokteran mulai terjadi pada awal tahun 60-an, di saat

kemajuan dalam bidang ilmu dan teknologi kedokteran berdampak pada hasil

pengobatan dan kualitas hidup pasien yang lebih baik. Hal ini memaksa terjadinya

perubahan lingkungan eksternal dan tantangan bagi profesi dan kode etik. Praktik

kedokteran di masyarakat berkembang dan berubah sejalan dengan keinginan dan

kebutuhan masyarakat.

Faktor-faktor yang memengaruhi profesionalisme dokter dalam era sekarang

bisa dikategorikan dalam 2 kelompok yaitu faktor eksternal dan faktor internal.

Faktor eksternal adalah komersialisme, konsumerisme, birokratisasi dan industrilisasi.

Sedangkan faktor internal berawal dari kegagalan melaksanakan etika kedokteran,

autonomi dalam berpraktik dan kegagalan mengatur anggota profesinya.

Perkembangan praktik kedokteran saat ini tidak hanya melibatkan hubungan

antara seorang dokter dengan seorang pasien saja, namun juga melibatkan hubungan

dengan pihak ketiga (baik itu rumah sakit, pihak asuransi) dan masyarakat. Seorang

dokter yang berpraktik di sebuah rumah sakit selain menjalankan KODEKI juga akan

bersinggungan dengan Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI). Demikian pula

halnya dalam pemberian obat-obatan akan terjadi persinggungan dengan Kode Etik

Pemasaran Usaha Farmasi Indonesia. Posisi dokter yang juga bekerja pada suatu

instansi (seperti angkatan bersenjata, kepolisian dan lain-lain) maupun dokter yang

juga menjalankan jabatan fungsional staf pengajar akan terikat dengan beberapa

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 16

kode etik selain KODEKI itu sendiri. Dokter yang juga peneliti akan terikat dengan

Kode Etik Penelitian Kesehatan.

Keabadian dilemma etik, meskipun beberapa peraturan telah memberi aturan

yang jelas, tanpa kita sadari isu etik tetap ada, namun subyek isu etiknya yang

mengalami pergeseran (shift to left or shift to right).

Perubahan sistem pembiayaan kesehatan dari fee for service ke sistem

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) membawa dampak yang luar biasa, baik pada

profesi dokter maupun penerima layanan kesehatan. Pro dan kontra akan sistem ini

seakan tiada habisnya dan belum menemukan formula yang tepat pada sebagian

kalangan profesi kedokteran. Hal yang sama juga terjadi di Amerika dan negara maju

lainnya, pro dan kontra juga terjadi pada awal pemberlakuan ini Universal Health

Coverage. Isu utama adalah bagaimana pelayanan kesehatan akan diberikan secara

baik dan proposional dengan 3 pihak yang terlibat yaitu masyarakat, fasilitas

pelayanan kesehatan dan profesi dokter. Dari kalangan dokter yang kontra

berpendapat bahwa mereka tidak dapat melaksanakan pekerjaan keprofesiannya

sesuai dengan standar karena keterbatasan biaya yang telah ditentukan, penurunan

penghasilan dan beberapa penyakit menjadi termaginalkan karena dianggap lebih

berhubungan dengan kualitas hidup. Hal yang dapat menahan kita adalah kita harus

menyadari bahwa bagaimana pun sumber daya tersebut pasti terbatas, namun

bagaimana secara bijak kita dapat memanfaatkan nya secara optimal dan maksimal.

Dalam KODEKI 2012, diharapkan dokter sebagai anggota profesi tetap

melaksanakan pekerjaannya secara professional sesuai dengan Pasal 2: Seorang

dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan profesional secara

independen, dan mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran yang tertinggi.

Dalam penjelasan cakupan pasal ini dijelaskan bahwa apabila terjadi perbenturan

kepentingan kendali mutu dan kendali biaya dalam sistem jaminan kesehatan

semesta dalam pemberian pelayanan kesehatan, setiap dokter wajib bersikap sesuai

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 17

keutamaan profesinya. Demikian juga halnya dengan fraud, seorang dokter

diharapkan senantiasa jujur dan bekerja berdasarkan keilmuan.

Keselamatan pasien dan perawatan berkualitas merupakan komponen yang

tidak terpisahkan dari praktik medis. Penanganan spesimen biopsi adalah salah satu

contoh pentingnya masalah ini, penelitian di Amerika menunjukkan bahwa angka

kesalahan pelabelan spesimen berkisar antara 5,79 – 6,3 per 1000 spesimen. Setelah

dilaksanakan standar protokol identifikasi dan pelabelan spesimen, tingkat kejadian

kesalahan pelabelan menurun secara signifikan. Ketidakpuasan pasien dan kurangnya

kepedulian terhadap keselamatan pasien merupakan salah satu pemicu terjadinya

kekerasan terhadap tenaga medis.

Keselamatan pasien adalah langkah-langkah sistemik yang dilakukan fasilitas

pelayanan kesehatan untuk mengurangi kejadian tidak diinginkan dan/atau nyaris

cedera, khususnya yang bersifat iatrogenik, sehingga dalam menjalankan profesinya,

dokter senantiasa dituntut agar bekerja profesional. Hal ini bertujuan agar menjamin

dipenuhinya keselamatan pasien dengan cara setiap dokter secara sendiri-sendiri

maupun bersama melalui organisasi profesi kedokteran wajib memperjuangkan

dipenuhinya fasilitas, sarana dan prasarana sesuai dengan standar minimal dan/atau

pedoman nasional pelayanan kedokteran. Pemenuhan sarana dan prasarana serta

fasilitas pelayanan kesehatan seringkali terbentur kepada kendala biaya, ruang/lokasi

dan waktu, apalagi dalam rangka pemerataan pelayanan di seluruh Indonesia yang

luas ini, wajib senantiasa diperjuangkan. Mengatasi ketimpangan fasilitas yang dapat

mengganggu dilaksanakannya pencapaian standar profesi dan pedoman nasional

pelayanan kedokteran adalah tugas pemilik fasilitas tersebut, termasuk pemerintah

dan pemerintah daerah.

Konflik inter profesi, seperti celetukan maut, Adalah komentar sembrono di

depan pasien yang berdampak menurunkan kredibilitas staf klinis lain. Perilaku yang

mengganggu (disruptive), tak jarang kadang berakhir pada tindakan penuntutan oleh

pasien.

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 18

Kebangkitan “ghost doctor”, dalam sejarahnya ghost doctor terjadi pada

pelayanan dimana pasien tidak dapat melihat pelayanan yang diterimanya, misalnya

yang melaksanakan operasi pada pasien bukan dokter itu sendiri melainkan

digantikan oleh dokter lain, lebih jauh sekarang ghost doctor dapat terjadi pada

dokter yang tidak menggunakan panca indera nya dalam melaksanakan tindakan

kedokteran.

Mewujudkan Dokter Paripurna

Hadirin yang saya hormati,

Menjaga dan Mempertahankan Keluhuran Profesi

Keluhuran sebuah profesi dapat dinilai dari kode etik yang dimiliki dan

diterapkan secara konsisten oleh kalangan profesi itu sendiri. Bila kita refleksikan,

apabila anggota profesi melaksanakan dan menaati kode etik maka hal tersebut selain

dapat mempertahankan keluhuran profesi juga akan mengakibatkan kepercayaan

masyarakat bertambah, sehingga masing-masing pihak akan sama-sama

diuntungkan. KODEKI sebagai acuan moral dokter dalam berperilaku yang mengatur

di tingkat makro dan mikro. Pada tingkat makro mengatur kedudukan dokter sebagai

anggota profesi dalam masyarakat. Maka dari itu penting bagi seorang dokter untuk

senantiasa menjaga keluhuran profesi di tengah masyarakat. Nilai-nilai yang mengatur

hal ini adalah nilai-nilai profesi luhur. Pada tingkat mikro, KODEKI mengatur hubungan

dokter–pasien sebagai profesional yang dapat menyembuhkan. Nilai-nilai yang

mengatur hal ini adalah nilai-nilai profesi umum dalam pengertian dokter sebagai

penyembuh.

Untuk itu perlu memulai pendidikan etik sejak awal masuk fakultas

kedokteran. Program ini diharapkan akan menghasilkan luaran berupa : (1)

peningkatan kesadaran mahasiswa akan masalah etika dan hukum yang dihadapi

dalam praktik sehari- hari; (2) mengembangkan pengetahuan dasar tentang etika

biomedis untuk mendorong membuat keputusan moral yang bijaksana; dan (3)

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 19

meningkatkan kesadaran diri dan pemahaman untuk mencegah masalah yang

berhubungan pelanggaran batas professional, penurunan nilai dan tindakan disiplin.

Dari hasil evaluasi diharapkan mahasiswa akan mampu mengembangkan

pengetahuan dasar yang telah didapat, kemampuan analisis, dan kesadaran diri untuk

hati-hati dalam menghadapi dilemma etik serta mampu menjunjung tinggi integritas

dan profesionalisme.

Organisasi profesi kedokteran amat memegang peran strategis dalam

mengawal, mengawasi dan melakukan pembinaan terhadap perilaku anggotanya

untuk mempertahankan keluhuran profesi. Dari segi struktur, institusi penegakan

etika kedokteran dilakukan oleh majelis etik, suatu badan kelengkapan di lingkungan

profesi yang keputusannya autonom dan diagungkan. Untuk itu pemberdayaan

majelis etik sebagai mahkamah etik harus didukung oleh kelengkapan infrastruktur

dan personalia yang mumpuni, selain sebagai muara pengaduan pelanggaran etik dari

masyarakat, organisasi profesi juga harus berperan aktif di bagian hulu yaitu

melakukan evaluasi dan atau revisi kode etik sehingga dapat menjawab tuntutan

masyarakat tanpa kehilangan kemandirian profesi serta tetap dalam kerangka

keluhuran profesi.

Kontrak Sosial Plus

Sebuah profesi itu merupakan kontrak sosial antara anggota profesi dengan

masyarakat. Para anggota profesi menyatakan komitmen untuk memiliki kompetensi,

integritas, moralitas, altruisme dan mempertimbangkan kepentingan masyarakat

dalam bidang kerja mereka. Pernyataan ini bisa dikatakan sebagai garansi atas

autonomi yang didapatkan sebuah profesi dalam menjalankan praktik dan

keistimewaan dalam mengatur diri sendiri. Sebuah profesi dan anggotanya bertanggung

jawab untuk melayani dan untuk masyarakat. Masyarakat akan memandang

pengemban profesi sebagai orang yang mewujudkan pelayanan daripada orang yang

mencari keuntungan untuk dirinya sendiri.

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 20

Hakikat konsep kontrak sosial, yaitu di mana moralitas merupakan seperangkat

aturan, yang mengorganisasi bagaimana orang harus memperlakukan satu sama lain;

orang yang rasional akan setuju menerima aturan ini, karena hal ini demi keuntungan

timbal balik, dengan syarat anggota lain juga mau menaati aturan tersebut.

Dokter sebagai anggota masyarakat, wajib menjalankan kontrak sosial dan

sebagai pribadi wajib menjalankan kontrak pribadi antara dirinya dengan profesinya.

Kontrak sosial plus ini sejatinya sudah dijalankan saat seorang dokter mengangkat

sumpah dokter.

Idealisme Kompromistis

KODEKI merupakan acuan moral bagi dokter di Indonesia untuk menjalankan

praktik kedokteran. Dalam kenyataannya, seiring dengan perkembangan dalam ilmu

kedokteran itu sendiri, kode etik profesi juga menghadapi tantangan dalam

masyarakat plural dewasa ini. Tantangan tersebut dapat dibagi atas dua kategori,

yaitu faktor ekternal dan faktor internal. Selain itu perkembangan sosial, teknologi,

politik dan ekonomi setidaknya menjadi tantangan bagi profesi kedokteran dalam

mempertahankan keluhuran profesi.

Perbedaan-perbedaan nilai, norma dan aturan dalam masyarakat plural

menuntut profesi kedokteran dapat memenuhi kebutuhan dan harapan mereka.

Tetapi di sisi lain profesi kedokteran juga dituntut mampu menjaga kepercayaan yang

merupakan dasar hubungan dokter pasien. Intinya adalah bagaimana KODEKI dapat

memenuhi tantangan, kebutuhan dan harapan tersebut dengan tetap memper-

tahankan keluhuran profesinya.

Konsep dialogis yang dapat digunakan untuk menjawab permasalahan di atas

adalah penggunaan kombinasi etika deontologi dan etika teleologi dalam mekanisme

revisi KODEKI. Etika deontologi diperlukan untuk mempertahankan nilai luhur profesi

kedokteran, sedangkan etika teleologi (berorientasi pada tujuan) digunakan untuk

memenuhi tantangan, kebutuhan dan harapan masyakat.

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 21

Prinsip bioetika digunakan untuk menganalisis dan mengevaluasi penggunaan

kombinasi etika deontologi dan etika teleologi dalam mekanisme revisi KODEKI.

Dalam KODEKI terdapat nilai-nilai profesi luhur dan nilai-nilai profesi umum. Nilai profesi

luhur merupakan suatu nilai yang bersifat imperatif kategoris (kewajiban demi

kewajiban) untuk mempertahankan keluhuran profesi. Berbeda halnya dengan nilai

profesi luhur, nilai profesi umum lebih luwes sifatnya dalam pelaksanaannya dapat

bersifat teleologi. Nilai-nilai profesi umum yang terdapat dalam KODEKI dalam

pelaksanaannya dapat bersifat teleologi. Hal ini memberi peluang untuk

mempertimbangkan tujuan baik yang ingin dicapai atau bila tindakan tersebut

mempunyai asas manfaat, menyadari konsekuensi dari tindakan tersebut serta

dilaksanakan dengan pertimbangan proporsional. Agar tindakan yang akan diambil

dapat dipertanggungjawabkan, seorang dokter demi kepentingan pasiennya, harus

memiliki suatu konsep dalam memilih salah satu dari keempat kaidah dasar bioetika.

Konsep inilah yang disebut sebagai konsep prima facie.

Keputusan Klinis yang Etis

Dokter dalam menjalankan praktik sehari-hari seringkali menemukan isu etik

yang terkadang dapat berkembang menjadi dilema etik. Seorang dokter senantiasa

dihadapkan dalam penilaian moral untuk membuat suatu keputusan klinis yang etis.

Etika klinis merupakan suatu metodologi dalam proses pengambilan keputusan klinis

yang etik. Beberapa contoh metodologi tersebut adalah:

Casuistry: metodologi pengambilan keputusan etik adalah menganalogikan situasi

dan kondisi suatu kasus terhadap kasus terdahulu yang sudah ada pemecahan

masalahnya secara konsensus. Kelemahan metode ini adalah bahwa tidak ada

konsensus yang abadi.

Moral Pluralism: dikembangkan oleh Jonsen, Siegler and Winslade yang membagi 4

jenis kategori yang memerlukan analisis moral, yaitu seperti yang terlihat pada

Gambar 1.

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 22

Gambar 1. Empat dimensi analisis etika klinis

Langkah yang dilakukan adalah mengkontekstualitaskan masalah-masalah

yang ada ke dalam masing-masing kategori. Untuk selanjutnya dilakukan

pertimbangan keputusan apa yang akan diambil bila ada dua kategori yang

berseberangan. Sebagai catatan bahwa 4 kategori yang ada hanya merupakan alat

bantu untuk meninjau ulang kasus dan bukan ditujukan sebagai prioritas etik.

Keputusan tetap harus diambil dari pertimbangan ke empat kategori tersebut.

Kekurangan metode ini adalah bahwa tidak ada analisis kritik terhadap hasil

keputusan yang telah kita ambil.

Ketika seorang pasien datang ke seorang dokter, pertanyaan yang pertama

kali muncul di benak sang dokter adalah apa yang akan saya lakukan? dan banyak

pertanyaan lain yang akan muncul dalam benak si dokter. Semua pertanyaan-

pertanyaan tersebut dapat direduksi menjadi tiga pertanyaan yaitu: (1). Apa yang

dapat menjadi salah? Ini adalah pertanyaan yang menyangkut diagnostik dan

MEDICAL INDICATION 1. What is patient’s medical problem? history?

diagnosis? prognosis? 2. Is problem acute? chronic? critical? emergent?

reversible? 3. What are goals of treatment? 4. What are probabilities of success? 5. What are plans in case of therapeutic failure? 6. In sum, how can this patient be benefited by

medical and nursing care, and how can harm be avoided?

PATIENT PREFERENCES 1. What has the patient expressed about preferences

for treatment? 2. Has patient been informed of benefits and risks,

understood, and given consent? 3. Is patient mentally capable and legally competent?

what is evidence of incapacity? 4. Has patient expressed prior preferences (eg. Advance

directives)? 5. If incapacitated, who is appropriate surrogate? Is surrogate

using appropriate standards? 6. Is patient unwilling or unable to cooperate with

medical treatment? If so, why? 7. In sum, is patient right to choose being respected to extent

possible in ethics and law? QUALITY OF LIFE 1. What is the prospect, with or without treatment, for a

return to patient’s normal life? 2. Are there blades that might prejudice provider’s

evaluation of patient’s quality of life? 3. What physical, mental, and social deficits is patient

likely to experience if treatment succeeds? 4. Is patient’s present or future condition such that

continued life might be judge undesirable by [him/her]?

5. Any plan and rationale to forgo treatment? 6. What plans for comfort and palliative care?

CONTEXTUAL FEATURE 1. Are there family issues that might influence

treatment decisions? 2. Are there provider (physicians and nurses) issues that

might influence treatment decisions? 3. Are there financial and economic factors? 4. Are there religious, cultural factors? 5. Is there any justification to breach confidentiality? 6. Are there problems of allocation of resources? 7. What are legal implications of treatment decisions? 8. Is clinical research or teaching involved? 9. Any provider or institutional conflict of interest?

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 23

klasifikasi masalah. Dalam hal ini dokter akan menggunakan segenap kemampuan

medis yang dimilikinya untuk dapat meminimalisasi kesalahan diagnosis yang akan

dibuat; (2). Apa yang dapat dilakukan? Ini adalah pertanyaan selanjutnya yang

menyangkut terapi terhadap pasien bila diagnosis atau penyakit pasien sudah dapat

ditegakkan. Dokter akan mempertimbangkan segala kemampuannya untuk

memberikan yang terbaik bagi pasien, dan (3). Apa yang seharusnya dilakukan pada

pasien ini? Saat diagnosis sudah dapat ditegakkan dan pilihan terapi sudah diputuskan

berdasarkan keilmuan, pertanyaan kemudian yang akan timbul adalah, haruskah terapi

yang sudah dipilih diberikan pada pasien ini? Kalau memang benar, apakah sudah tepat

dan sesuai dengan keadaan dan kondisi pasien? Atau apakah pasien menyetujui

pilihan terapi yang kita berikan?

Dalam situasi konkrit mungkin pertanyaan 1 dan 2 akan relatif lebih mudah

diatasi oleh dokter, akan tetapi bisa juga pertanyaan nomor 3 akan membuat jawaban

dari pertanyaan nomor 2 berubah. Bagaimana jika dalam langkah-langkah

pertanyaan tersebut menimbulkan dilema bagi dokter untuk mengambil keputusan?

Ada empat pendekatan yang dapat digunakan untuk dapat memecahkan dilema

tersebut, yaitu:

Single-Principle Theories, prinsipnya di sini adalah memilih satu prinsip dengan

mengalahkan prinsip-prinsip yang lain setelah melalui pertimbangan yang

matang.

Ranking (Lexically Ordering) Principles, prinsipnya di sini adalah kita membuat

ranking (leksikal) dari prinsip-prinsip yang ada dan keputusan diambil pada

prinsip yang urutannya terletak paling atas.

Balancing, prinsipnya adalah keputusan diambil dengan menyeimbangkan

prinsip-prinsip yang ada.

Combining ranking and balancing, prinsipnya di sini adalah kita berusaha

merangking dan sedapat mungkin membuatnya prinsip-prinsip tersebut

dalam satu kelompokan. Akan tetapi pada praktiknya sangat sulit, karena

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 24

banyaknya nilai yang satu sama lain saling mengalahkan dan tidak dapat

diseimbangkan.

Purwadianto mencoba untuk menerapkan konsep prima facie melalui

pendekatan empat basic moral principl. Dalam konteks beneficence, prinsip prima

facie-nya adalah sesuatu yang (berubah menjadi atau dalam keadaan) yang umum.

Artinya ketika kondisi pasien merupakan kondisi yang wajar dan berlaku pada banyak

pasien lainnya, sehingga dokter akan melakukan yang terbaik untuk kepentingan

pasien. Juga dalam hal ini dokter telah melakukan kalkulasi di mana kebaikan yang

akan dialami pasiennya akan lebih banyak dibandingkan dengan kerugiannya. Dalam

konteks non-maleficence, prinsip prima facie-nya adalah ketika pasien (berubah

menjadi atau dalam keadaan) gawat darurat yang memerlukan suatu intervensi

medik dalam rangka penyelamatan nyawanya. Dapat pula dalam konteks ketika

menghadapi pasien yang rentan, mudah dimarjinalisasikan dan berasal dari kelompok

anak-anak atau orang uzur ataupun juga kelompok perempuan (dalam konteks isu

jender). Dalam konteks autonomi, nampak prima facie di sini muncul (berubah menjadi

atau dalam keadaan) pada sosok pasien yang berpendidikan, pencari nafkah, dewasa

dan berkepribadian matang. Sementara justice nampak prima facie-nya pada

(berubah menjadi atau dalam keadaan) konteks membahas hak orang lain selain diri

pasien itu sendiri. Hak orang lain ini khususnya mereka yang sama atau setara dalam

mengalami gangguan kesehatan. di luar diri pasien, serta membahas hak-hak sosial

masyarakat atau komunitas sekitar pasien.

Dalam kesehariannya seorang dokter senantiasa dihadapkan dalam penilaian

moral untuk membuat suatu keputusan klinis yang etis. Istilah penilaian moral dapat

didefinisikan menjadi 4 hal yang berbeda. Pertama, kegiatan berpikir apakah nilai moral

objek yang memberi (dapat berupa tindakan, personal, institusi atau keadaan)

mempunyai sifat moral secara khusus, dapat berupa yang umum (seperti: kebenaran,

kejahatan) atau yang spesifik (tidak peka, integritas). Kedua, keadaan yang tercipta

dari pandangan bahwa objek tersebut memiliki sifat moral. Ketiga, bahwa ada makna

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 25

dari keadaan tersebut: apa yang kita pandang, dari pada apa pandangan kita. Dan yang

keempat, istilah tersebut dapat dibaca sebagai penghargaan atau pujian, mengarah

kepada moral yang baik yang juga biasa disebut “ketajaman moral” atau “kebijaksanaan

moral”.

Pelaku Pelayanan Kesehatan yang Beradab

Dalam melakukan praktik medis, dokter tersebut harus memiliki kewenangan

medis yang diperoleh dari penguasa di bidang kesehatan dalam bentuk ijin praktik.

Kewenangan formil diperoleh dengan menerima “surat penugasan” (atau dalam UU

Praktik Kedokteran disebut sebagai Surat Tanda Registrasi), sedangkan kewenangan

materiel diperoleh dengan memperoleh ijin praktik.

Dokter sebagai pelaku pelayanan kesehatan yang berpraktik wajib memasang

papan praktik, atau apabila di rumah sakit wajib disebutkan dalam daftar dokter.

Apabila berhalangan hadir wajib memberitahukan atau mencari pengganti yang

berkualifikasi sama dan memiliki Surat Ijin Praktik (SIP). Dokter wajib membuat rekam

medis, memperoleh informed consent sebelum melakukan tindakan medis,

memegang rahasia kedokteran, bekerja sesuai dengan standar pelayanan, serta

mengendalikan mutu dan biaya pelayanan. Dokter yang beradab adalah dokter yang

memahami dan menerapkan aspek medikolegal dalam menjalankan praktik

kedokterannya.

Hadirin yang berbahagia,

Di penghujung pidato saya ini, saya mengajak semua pihak terutama kalangan

kedokteran untuk dapat bersama-sama berusaha mewujudkan dokter paripurna

demi kepentingan pasien dan masyarakat, demi kepentingan profesi kita. Sejarah

Panjang profesi kedokteran harus senantiasa kita jaga keluhurannya.

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 26

Dokter yang pintar adalah dokter yang kompeten,

Dokter yang luhur adalah dokter yang menjalankan etika profesi,

Dokter yang beradab adalah dokter yang memahami aspek medikolegal,

Dokter yang melaksanakan ketiganya adalah dokter paripurna.

Hadirin yang saya muliakan,

Sebelum mengakhiri pidato saya ini, perkenankan saya menyampaikan rasa

syukur kepada Allah SWT atas nikmat, rahmat dan ridhanya sehingga saya sampai

pada jabatan guru besar ini. Jabatan guru besar yang mulia ini saya terima melalui

perjalanan yang cukup panjang dan penuh perjuangan. Anugerah sekaligus amanah

ini sungguh sarat dengan berbagai peristiwa yang semakin menebalkan keyakinan

saya akan kebesaran-Nya. Rasa syukur ini tentu disertai tantangan untuk

mempertanggungjawabkan jabatan ini kepada Allah SWT., kepada dunia kedokteran,

khususnya kepada Universitas Riau beserta para mahasiswanya dan juga masyarakat

umum.

Hadirin yang saya hormati,

Perkenankanlah pada akhir pidato pengukuhan ini saya menyampaikan

penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia, dalam

hal ini Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, atas kepercayaan yang

diberikan kepada saya untuk menduduki jabatan guru besar dalam bidang ilmu

kedokteran forensik di Fakultas Kedokteran Universitas Riau.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Rektor, Ketua dan Sekretaris

Senat Akademik, serta para anggota Senat Akademik Universitas Riau, yang telah

menyetujui pengusulan dan mengukuhkan saya sebagai guru besar.

Untuk selanjutnya perkenankanlah saya sampaikan rasa hormat yang tulus dan

ucapan terima kasih kepada:

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 27

Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, SpFM(K), SH, MSi, DFM, Prof. dr. Budi

Sampurna, SpFM(K), SH, DFM, SpKP dan Prof. Dr. dr. Herkutanto, SpFM(K), SH, DFM,

LLM, FACLM dari Universitas Indonesia, serta Prof. Dr.med. dr. M. Soekri Erfan

Kusuma, SpFM(K), DFM dari Universitas Airlangga. Juga kepada guru-guru saya di

Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUI atas segala ajaran, didikan, bantuan

dan bimbingan kepada saya. Termasuk juga kepada ketua umum PDFI dan teman-

teman sejawat forensik. Salam Forensiker!!!

Untuk guru-guru saya yang mulia, mulai dari SD dan SMP di Kerinci, Jambi.

SMP dan SMA di Padang, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, terima kasih telah

memberi saya tunjuk ajar, ilmu yang bermanfaat dan doa yang tulus. Dan terkhusus

Angkatan 94 FK Unand, akan selalu ada tempat di hati ini untuk kebersamaan kita

semua.

Kepada Wadek, Kabag, Sekbag, Koprodi, Kabag TU, kasubbag, Dosen, segenap

Karyawan dan seluruh sivitas akademika FK UNRI, saya berutang budi atas semua

kebaikan dan dukungan Bapak, Ibu dan sejawat sekalian. Dan juga terima kasih tiada

ujung untuk panitia pengukuhan yang luar biasa. Acara ini adalah pesta kemenangan

bagi semua. Tak lupa pula kepada seluruh anak-anakku tersayang, mahasiswa FK

UNRI, berjuanglah karena tidak ada yang yang tak mungkin jika kita terus berusaha.

Terima kasih untuk Komunitas Kutilang yang telah berkenan menyediakan

penerjemah bahasa isyarat sehingga acara ini ramah difabel.

Kepala Kepolisian Daerah Riau, kabiddokes POLDA Riau, Kepala Rumah Sakit

Bhayangkara Polda Riau, Kompol Supriyanto, dr. Chunin Widyaningsih, MKM, yang

telah berkenan memberi fasilitas pendidikan belajar baik itu sarana fisik maupun

sumber daya manusia terhadap pendidikan Ilmu Kedokteran Forensik dan

Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Juga kepada junior-junior saya

Forensik Riau dr. M. Tegar Indrayana, SpFM, dr. Leonardo, SpFM, dr. Arwan, SpFM,

M.Ked(For), dr. Indra Faisal, MH, SpFM, terima kasih untuk bantuan dan

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 28

pengertiannya, insya Allah mimpi kita mendirikan PPDS Sp1 Ilmu Kedokteran Forensik

dan Studi Medikolegal akan tercapai, Amin.

Ketua IDI Wilayah Riau, Ketua IDI Cabang Pekanbaru, Ketua IDI Cabang se-

Riau, Ketua PDSp dan PDSm atas segala dukungan dan doanya. Selalu konsisten dan

berkomitmen untuk mengetik-medikolegalkan anggota IDI di Riau.

Direktur RSUD Arifin Achmad dan seluruh direktur RS jejaring FK UNRI, juga

kepada semua mitra kerja FK UNRI, KKP Kelas II Pekanbaru, Dinas Kesehatan dan Dinas

Pendidikan Provinsi Riau, Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru,

Direktur RS se-Provinsi Riau, terima kasih telah bersedia turut serta mendidik anak-

anak kita semua mahasiswa FK UNRI. Khususnya kepada Direktur dan jajaran

manajemen RS Awal Bros Sudirman Pekanbaru, RS Prima Pekanbaru, RS Aulia

Pekanbaru, terima kasih telah memberi kesempatan dan mempercayai saya untuk

mengembangkan etik medikolegal secara lebih mendalam.

Kepada seluruh keluarga besar (alm) H. Moch. Djamaluddin Martoprawiro dan

(almh) Hj. Sumini, yang telah memberi semangat moril dan materiil, semoga buah

kerja keras ini semakin memperkuat kekerabatan dan tali persaudaraan kita semua.

Kepada yang saya muliakan dan saya hormati Bapak mertua Drs. H.

Syarifuddin Syafei, dan Ibu mertua Hj. Rosmani serta kakak dan adik ipar, ayukne, Fitra

dan Dian, beserta keluarga besar di Bengkulu, terima kasih atas dukungan, bantuan

semangat dan doanya selama ini. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Ayah,

Ibu dan keluarga besar di Bengkulu. Amin. Terima kasih telah bersedia menerima saya

ke dalam keluarga besar Bengkulu 15 tahun yang lalu.

Kepada yang mulia dan saya sayangi, almarhum Papa Drs. H. M. Noer Muddin,

SH, dan almarhum Mama Hj. Siti Sumarlik Handayaningsih, SPd, terima kasih atas

segala pengorbanan, doa, rawatan, benih-benih pengajaran kehidupan yang telah

diberikan kepada ananda, tiada apapun yang dapat membalas kasih sayang, perhatian

dan pengorbanan dari mama dan papa kepada ananda.

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 29

Terima kasih kepada kakak dan adik, Mas Sofi, Mas Heri, Yuyun, Wilda, Heru

beserta seluruh keluarga besar di Padang, kasih sayang dan doa dari semuanya

membuat saya dapat mendapatkan jabatan ini. Ingat selalu pesan almarhum mama

dan papa, agar kita senantiasa menjaga silaturahim.

Darrel Vania Putri Vidi dan Dahayu Aniqah Putri Vidi, anakku tersayang, peluk

cium dan maaf dari Bapak untuk segala hal yang mungkin telah tercuri dari kamu nak;

perhatian, waktu dan kebutuhan kamu, tetapi yakinlah nak ini semua demi kebaikan

kita bersama. Gelak tawa dan candamu memberiku semangat untuk menjalani sampai

sejauh ini.

dr. Dwi Novitasari, SpPK teman hidup yang telah setia mendampingiku selama

ini, baik dalam suka maupun duka. Tempat aku berbagi gundah, keluh kesah resah,

namun kamu selalu memberiku semangat. Terima kasih atas ketulusan cinta yang

telah engkau beri kepadaku, penghargaan atas kesediaanmu untuk hidup susah dan

senang denganku, maaf atas khilaf dan segala hal yang mungkin belum dapat kita

capai. Tak satu pun syair indah yang dapat menggambarkan indahnya perjuangan

yang kita jalani bersama-sama. Terima kasih.

Masih banyak lagi ungkapan penghargaan dan terima kasih yang ingin saya

utarakan pada kesempatan berbahagia ini. Namun ada keterbatasan waktu dan ruang

sehingga saya tidak mampu menyampaikan satu per satu. Untuk itu, secara tulus saya

mohon maaf yang sebesar-besarnya. Pada kesempatan yang amat berbahagia ini.

saya berdoa semoga buah amalan kebaikan bapak, ibu dan saudara sekalian kepada

saya dilipatgandakan oleh Allah Swt. Akhir kata, teriring ucapan alhamdulillahi rabbil’

aalamiin, saya mengakhiri pidato pengukuhan ini. Atas kesabaran dan perhatian para

hadirin saya menghaturkan penghargaan dan terima kasih.

Billahittaufiq wal hidayah,

Wassalaamu ‘alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 30

Bahan Bacaan ABH Medicolegal. Buku Pegangan. Jakarta: ABH;2015. Afandi D. Nilai-Nilai Luhur dalam Profesi Kedokteran: Suatu Studi Kualitatif. Jurnal

Kesehatan Melayu, Volume 1 No. 1, September 2017, pp. 25-28. Afandi D. Kaidah dasar bioetika dalam pengambilan keputusan klinis yang

etis. Majalah Kedokteran Andalas (MKA), Volume 40 No. 2, September 2017, pp. 111-121.

Angsar MD. Professionalism, ethics and the limitations. Proceeding Pertemuan Nasional IV Jaringan Bioetika dan Humaniora Kesehatan Indonesia (JBHKI). Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 30 November – 2 Desember 2006.p 8-10.

Babar SMA. True consent, informed consent and the english law. Anil Aggrawal’s Internet Journal of Forensic Medicine and Toxicology. 2004:5(2). [cited 2017 Nov 25] available from: http://anilaggrawal.com/ij/vol_005_no_002/papers/paper002.html.

Beauchamp TL, Childress JF. Principles of Biomedical Ethics. 7 Ed. New York: Oxford University Press;2013. p. 120-5.

Bertens K. Etika. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama; 2005. p 279-83. Canadian Medical Association. Professionalism in medicine. Ottawa: CMA

Publication. 2001. Craig E. Moral Judgment. The Routledge of philosophy. London: Routledge; 1998. Cruess SR, Johnston S, Cruess RL. Professionalism for medicine : opportunities and

obligations. MJA. 2002;177:208-11. Daldiyono. Menuju seni ilmu kedokteran; Bagaimana dokter berpikir dan bekerja.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2006.p281-313. Guwandi J. Informed consent. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia; 2004. 50 p. Jacobalis S. Perkembangan ilmu kedokteran, etika medis dan bioetika. Jakarta:

Sagung Seto; 2005. Jawaid SA. Patient satisfaction, patient safety and increasing violence against

healthcare professionals. Pak J Med Sci 2015;31(1):1-3. Jones JW, McCullough LB. How informed need be informed consent? J Vasc Surg.

2011;54(6):1830–1. Kerridge I, Lowe M, McPhee J. Ethics and law for the health professions. Chapter 6 :

Proffesionalism and standar of care. Tuggerah NSW : Social Science Press; 2003. p 94-115.

Kim JK, Dotson B, Thomas S, Nelson KC. Standardized patient identification and specimen labeling: A retrospective analysis on improving patient safety. J Am Acad Dermatol 2013; 68:53-6.

Kohn LT, Corrigan JM and Donaldson MS. To err is human, building a safer health system. Washington DC: National Academy Press, 2000, p58-60.

Pidato Pengukuhan Guru Besar | 31

Konsil Kedokteran Indonesia. Manual persetujuan tindakan kedokteran. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2006. 36 p.

Moeloek FA. Etika kedokteran Indonesia. Dalam: Affandi B, Soebijanto S, Rusdianto E, editor. Ethical decision making in health services. Jakarta : Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI; 2005. p 1-10.

Nambiar RM. Professional development in changing world. Singapore Med J. 2004; 45(12): 551-7.

Nelson K. Patient safety and quality care. J Clin Dermatol 2014; 32;542–4. Pariser DM. Ethical considerations in health care reform: Pros and cons of the

affordable care act. J Clin Dermatol 2012; 3:151–5. Pellegrino ED, Thomasma DC. The virtue in medical practice. New York: Oxford University

Press; 1993. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Kode etik kedokteran Indonesia. Jakarta:

PB IDI; 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008

tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Purwadianto A. Kaidah dasar moral dan teori etika dalam membingkai tanggung

jawab profesi kedokteran. Makalah penyegaran etika kedokteran. Jakarta : FKUI, 18 Februari 2003.

Rasjidi L, Rasjidi IT. Dasar-dasar filsafat dan teori hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti; 2004. p.88-92.

Salam B. Etika sosial ; asas moral dalam kehidupan manusia. Jakarta : Rineka Cipta ; 1997. p.137-58.

Sampurna B, Siswaja TD, Samsu Z. Bioetik dan hukum kedokteran. Bab 1 : Profesi kedokteran. Jakarta : Pustaka Dwipar; 2005. p 3-13.

Sjamsuhidajat R. Pengertian dan makna profesi kedokteran serta pengembangannya menuju pembangunan bangsa. Dalam: Daldiyono. Menuju seni ilmu kedokteran; Bagaimana dokter berpikir dan bekerja. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2006. p 423-36.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Veatch RM. The principle of autonomy and the doctrine of informed consent in: The basics of bioethics. New Jersey: Prentice-Hall, Inc; 2000.

White MK, Keller V, Horrigan LA. Beyond informed consent: The shared decision-making process. JCOM. 2003;10(6):323–8.

32

Curriculum Vitae

Nama : Prof. Dr. dr. Dedi Afandi, DFM., SpFM(K). Alamat kantor : FK UNRI, Jl. Diponegoro No. 1, Pekanbaru, Riau (28133).

Riwayat Pendidikan 1. SD Negeri 89/III, Tanah Kampung, Kerinci, Jambi, tamat tahun 1988. 2. SMP Negeri Tanah Kampung, Kerinci, Jambi, 1989-1990. 3. SMP Negeri 12 Padang, tamat tahun 1991. 4. SMA Negeri 3 Padang, tamat tahun 1994. 5. Sarjana Kedokteran (S.Ked), Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, tamat tahun 1999. 6. Dokter (dr), Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, tamat tahun 2001. 7. Post Graduate Diploma in Forensic Medicine (DFM), Groningen State University, tamat tahun 2004. 8. Spesialis Forensik dan Studi Medikolegal (SpFM), Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, tamat

tahun 2005. 9. Doktor Ilmu Kedokteran (Dr), Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, tamat tahun 2010. 10. Master in Bioethics and Global Public Health, American University Sovereign Nation (AUSN) 2016 –

sekarang. 11. Konsultan Sp.FM(K), Kolegium Ilmu Kedokteran Forensik Indonesia, 2018. Riwayat Kepangkatan Golongan Ruang 1. CPNS Penata Muda Tk. I, Golongan IIIb, TMT 1 Desember 2001. 2. PNS Penata Muda Tk. I, Golongan IIIb, TMT 1 November 2003. 3. Penata, Golongan IIIc, TMT 1 April 2009. 4. Penata Tk. I, Golongan IIId, TMT 1 April 2012. 5. Pembina, Golongan IVa, TMT 1 April 2014. Riwayat Jabatan Fungsional 1. Asisten Ahli, TMT 1 Maret 2006. 2. Lektor, TMT 1 November 2008.

33

3. Lektor Kepala IIId, TMT 1 April 2013. 4. Profesor/Guru Besar, TMT 1 Mei 2019. Riwayat dan Pengalaman Pekerjaan 1. Dosen FK UNRI. 2. Associate ABH Medicolegal, Jakarta, sejak 2007. 3. Mediator, sejak 2008. 4. Kepala Balai Kesehatan Universitas Riau, 2008-2009. 5. Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal RSUD Arifin Achmad. 6. Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal RS Bhayangkara. 7. Ketua Dewan Pakar Penelitian Poltekkes Riau Kementerian Kesehatan RI. 8. Ketua Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Riau. 9. Dosen Pascasarjana UNRI. 10. Dosen Etika dan Hukum Rumah Sakit STIKES Hang Tuah Pekanbaru. 11. Dekan FK UNRI (2013-2017; 2017-2021). 12. Tim Pertimbangan Klinis Provinsi Riau (2016-2021). 13. Dewan Pengawas RSUD Arifin Achmad (2016-2019). 14. Asesor Lembaga Akreditasi Mandiri Perguruan Tinggi Kesehatan (LAM PT-Kes), sejak 2016. 15. Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal RS Awal Bros Pekanbaru, sejak 2016. 16. Visiting Profesor American University Sovereign Nation (AUSN), sejak 2017. 17. Sekjen Jaringan Bioetika dan Humaniora Kesehatan Indonesia (JBHKI). 18. Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal RS Prima Pekanbaru, sejak 2018. 19. Co-Founder the China – ASEAN University Alliance of medical Education, 2018. 20. RS Aulia Pekanbaru, sejak 2019. Kepengurusan dan Anggota Organisasi Profesi

2001 - sekarang : Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) 2005 - sekarang : Anggota Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) 2007 - sekarang : Wakil Sekretaris Pengurus Pusat PDFI 2007 - sekarang : Tim Identifikasi Korban Mati Pada Bencana Massal (Disaster Victim

Identivication/DVI) Propinsi Riau 2007 – 2010 : Sekretaris II IDI Wilayah Riau 2009 – 2012 : Anggota Bidang Hukum, Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) IDI

Cabang Pekanbaru 2012 - 2015 : Wakil Ketua Biro Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota, IDI

Wilayah Riau. 2012 – 2015 : Koordinator Seksi Pembinaan, Pembelaan Anggota dan Hukum Etika

Kedokteran IDI Cabang Pekanbaru 2013 – 2016 : Bidang Etik dan Advokasi Pengurus Pusat PDFI 2013 – 2016 : Ketua PDFI Cabang Riau-Sumbar-Kepri 2016 - 2019 : Ketua PDFI Cabang Riau-Sumbar-Kepri 2015 - 2020 : Seksi Profesi dan Hukum DPP Ikatan Alumni FK Unand 2016 - 2019 : Ketua Bidang Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) IDI

Wilayah Pekanbaru 2016 - 2019 : Dewan Penasehat IDI Cabang Pekanbaru 2016 - 2019 : Ketua I Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI)

34

Keanggotaan Internasional 1. Asian Bioethics Association. 2. Global Ethics Observatory UNESCO. 3. American Society for Bioethics and Humanities. 4. Institute of Medical Ethics. 5. Law and Society Association. 6. The Association for Medical Education in Europe. 7. World Association Medical Law. 8. International Bioethics Association. Editor / Reviewer Jurnal Ilmiah 1. Reviewer American Journal of Public Health, American Public Health Association, 2010-sekarang. 2. Penanggung Jawab Jurnal Ilmu Kedokteran, FK UNRI, 2013 – sekarang. 3. Reviewer Journal of Forensic and Legal Medicine, Elsevier, 2014 – sekarang. 4. Reviewer Child Abuse & Neglect, Elsevier, 2014-Sekarang. 5. Reviewer Egyptian Journal of Forensic Science, Springer, 2015 – sekarang. 6. Reviewer Jurnal Kedokteran Komunitas, STIKES Hang Tuah, 2014-sekarang. 7. Editor Majalah Kedokteran Andalas, FK UNAND, 2016-sekarang. 8. Editor in chief, Jurnal Kesehatan Melayu, FK UNRI, 2017-sekarang. 9. Reviewer Majalah Kedokteran Bandung, FK UNPAD, 2018-sekarang. 10. Reviewer Medical Journal of Indonesia, FKUI, 2019-sekarang. Penghargaan 1. Mahasiswa Berprestasi Utama Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Tahun 1998. 2. Mahasiswa Berprestasi Utama Universitas Andalas Tahun 1998. 3. Mahasiswa Berprestasi Utama Tingkat Nasional Tahun 1998. 4. Mahasiswa Berprestasi Utama Nasional, PT. Surya Citra Televisi (SCTV) Tahun 1998. 5. Dosen Berprestasi Universitas Riau Tahun 2008. 6. Kaprodi Berprestasi Universitas Riau Tahun 2009. 7. Piagam Penghargaan Kapolda Riau: Pengabdiannya dalam Membantu Proses Penyidikan Tindak

Pidana di Wilayah Polda Riau dalam bidang Ilmu Kedokteran Forensik sejak Tahun 2005-2015, Tahun 2015.

8. Wing Kehormatan Kedokteran Kepolisian, Pusat Kedokteran dan Kesehatan Kepolisian Republik Indonesia Tahun 2016.

9. Piagam Penghargaan Kapolda Riau: Dokter Forensik yang Berprestasi di Bidang Medis dan Operasional Kepolisian, Tahun 2017.

10. Satyalancana Karya Satya X Tahun, Presiden Republik Indonesia Tahun 2017. 11. Alumni Berprestasi, ILUNI FKUI, Tahun 2019. Kursus/Latihan/Pendidikan Non-Formal/Pendidikan Non Gelar 1. Pendidikan Metodologi Penelitian, Jakarta, FKUI, 2002. 2. Diklat “Tenaga Pelatih Medikolegal Bidang Forensik”, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik DEPKES

RI, 2002. 3. Kursus Pembelaan Hukum Tersangka Malpraktek, TIA & KPPIK FKUI, 2002. 4. Kursus Pemberdayaan Komite Medik Rumah Sakit, TIA & KPPIK FKUI, 2002. 5. Diklat “Etikolegal/edokteran Forensik Bagi Dokter di RS”, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik

DEPKES RI. 2004. 6. Pelatihan Program Peningkatan Ketrampilan Dasar Teknik Instruksional (PEKERTI), 2005.

35

7. International Legal Medicine Workshop on Enhancement Role of Legal Medicine by Law Enforcement in Indonesia. FK UDAYANA-DAAD, 2005.

8. Pelatihan Penyusunan Modul dalam Ketiga Tahap Pendidikan dan Penerapan Problem-based Learning, Pengembangan Pendidikan Tenaga Kesehatan, Dirjen DIKTI, Departemen Pendidikan Nasional, P3KW III (Jawa Timur, Bali dan NTB), Mataram, 7-9 Agustus 2006.

9. Pelatihan Penyusunan Modul dalam Ketiga Tahap Pendidikan dan Penerapan Problem-based Learning, Pengembangan Pendidikan Tenaga Kesehatan, Dirjen DIKTI, Departemen Pendidikan Nasional, P3KW V (Wilayah Kalimantan, Jayapura dan Sulawesi), Manado, 13-14 Agustus 2006.

10. Pelatihan Tutor Modul Empati & Bioetik untuk Pengembangan Pribadi dan Profesi Kedokteran dalam konteks Humaniora, FKUI, 7 – 19 November 2006.

11. Pelatihan Alternative Dispute Resolution (ADR) Hak Atas Lingkungan dan Sumber Daya Air, KOMNAS HAM, 28-31 Mei 2007.

12. Program Non Gelar Bioetika, Hukum Kedokteran dan HAM, FKUI-HWS DIKTI, 2007. 13. Diklat Nasional “Pembekalan Teknis Administrasi Sertifikasi Keahlian Pengadaan Barang dan Jasa

Pemerintah”, Pusat Pelatihan Administrasi dan Kebijakan Publik, 2007. 14. Forensic Sciences and Investigation Methods Workshop, Jakarta, 2008. 15. Pelatihan Dasar Mediasi, Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT) dan Program Studi

Magister Hukum Konsentrasi Hukum Kesehatan Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, 2008. 16. Pelatihan Metodologi Penelitian Kedokteran, FK UNRI, 2008. 17. Diklat Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi FK UNRI, 15-17 Juli 2008. 18. Workshops Nasional II Pendidikan dan Medikolegal untuk Pendidikan Dokter Indonesia, Makassar

24-25 Juli 2008. 19. Workshop “How to Survive from Claim and Lawsuit”, Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI)

dan Institut Manajemen Risiko Klinis (IMRK), Jakarta, 2008. 20. Postgraduate Diploma in Biomedical Ethic, Sindh Institute Urology and Transplantation (SIUT),

Pakistan, 2012. 21. Pelatihan Program Applied Approach Universitas Riau, 2012. 22. Workshop Biologi Molekuler dan Imunologi. FK UNRI, Pekanbaru, 12-14 Agustus 2014. 23. Workshop Metodologi Penelitian. FK UNRI, Pekanbaru, 5-7 September 2014. 24. Lokakarya Pengembangan Kapasitas Kepemimpinan Perguruan Tinggi, Jakarta, 15-16 Januari 2015. 25. Medicolegal Expert Witness Course on Clinical Negligence, London, 2015. 26. Ethic’s Teacher Training Course, UNESCO, Kuala Lumpur, 2016. 27. Pelatihan Asesor LAM PT-Kes, Jakarta, 20 -22 Juli 2016. 28. Pelatihan Koding Sertifikat Medis Penyebab Kematian dan Dasar-Dasar Koding ICD-10 Bagi Dokter di

Rumah Sakit. Semarang, 10-11 Februari 2017. 29. Pelatihan Etik Dasar - Lanjut Penelitian Kesehatan. Kementerian Kesehatan RI. Pekanbaru, 22-24

Januari 2018. 30. Pelatihan Nasional Etika, Medikolegal dan Hukum Advokasi Donor Transplantasi Organ, RSCM

Jakarta, 26-28 Maret 2018. Publikasi Artikel Ilmiah Penulis utama 1. Dedi Afandi. Hak atas Kesehatan dalam Perspektif HAM. (Jurnal Ilmu Kedokteran, Maret 2008, Jilid

2 Nomor 1). ISSN 1978-662X. 2. Dedi Afandi, Mukhyarjon, Roy Jamil. The Quality of Visum et Repertum of The Living Victims In Arifin

Achmad General Hopital During January 2004-September 2007. (Jurnal Ilmu Kedokteran, Maret 2008, Jilid 2 Nomor 1). ISSN 1978-662X

36

3. Dedi Afandi, Budi Sampurna, Tjetjep Dwija Siswadja, Ivan Riyanto Widjaja. Association between Consultation Frequency and Satisfaction With Informed Consent Quality of Information in Preoperative Elective Surgery Patients. Majalah Kedokteran Indonesia. (Maj Kedokt Indon, Mei 2008, Vol 58 Nomor 5).

4. Dedi Afandi, Yuli Budiningsih, Oktavinda Safitry, Agus Purwadianto, Ivan Riyanto Widjaja, Desti Merlina. Analisis butir ujir, reliabilitas dan valifitas Tes Kaidah dasar Bioetika. Majalah Kedokteran Indonesia (Maj Kedokt Indon, Juni 2008, Vol 58 Nomor 6).

5. Dedi Afandi, Budi Sampurna, Inge Sutanto, J. Wirasmi Marwoto, Nurjati Chairani, Sutisna Himawan, Rawina Winita, Ivan Riyanto Widjaja. Autopsy Findings in Severe Malaria-Case Report. Medical Journal Indonesia (Med J Indones, July 2008, Vol 7 No.3).

6. Dedi Afandi, Iwan Djuanda, Swasti Hertian, Djaja Surya Atmadja, Oktavinda Safitry, Ivan Riyanto Widjaja. Temuan otopsi pada emboli silikon sistemik. Majalah Kedokteran Indonesia. (Maj Kedokt Indon, Juli 2008, Vol 58 Nomor 7)

7. Dedi Afandi, Swasti Hertian, Djaja Surya Atmadja, Ivan Riyanto Widjaja. Pembunuhan Anak Sendiri dengan Kekerasan Multipel. Majalah Kedokteran Indonesia. (Maj Kedokt Indon, September 2008, Vol 58 Nomor 9).

8. Dedi Afandi, Yuli Budiningsih, Oktavinda Safitry, Agus Purwadianto, Dwi Novitasari, Ivan Riyanto Widjaja. Effect of an Additional Small Group Discussion to Cognitive Achievement and Retention in Basic Principles of Bioethics Teaching Methods. Medical Journal Indonesia (Med J Indones, Jan-Mar 2009, Vol 18 No.1).

9. Dedi Afandi, Fifia Chandra, Dwi Novitasari, Ivan Riyanto Widjaja, Lilik Kurniawan. Correlation between social supports and Drug Abuse Screening Test-10among senior high school students at Pekanbaru district, Riau Province, Indonesia. Jurnal Ilmu Kedokteran, Maret 2009, Jilid 2 Nomor 1. ISSN 1978-662X.

10. Dedi Afandi. Mediasi : Alternatif Penyelesaian Sengketa Medis. Majalah Kedokteran Indonesia (Maj Kedokt Indon, Mei 2009, Vol 59 Nomor 5).

11. Dedi Afandi, Fifia Chandra, Dwi Novitasari, Ivan Riyanto Widjaja, Lilik Kurniawan. Tingkat Penyalahgunaan Obat dan Faktor Risiko di Kalangan Siswa Sekolah Menengah Umum. Majalah Kedokteran Indonesia. (Maj Kedokt Indon, Juni 2009, Vol 59 Nomor 6).

12. Dedi Afandi. Otopsi Virtual. Majalah Kedokteran Indonesia. (Maj Kedokt Indon, Juli 2009, Vol 59 Nomor 7).

13. Dedi Afandi. Visum et repertum pada korban hidup. Jurnal Ilmu Kedokteran, September 2009, Jilid 3 Nomor 2. ISSN 1978-662X

14. Dedi Afandi, Laode Burhanudin Mursali, Dwi Novitasari, Metalita Roza Faulina. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Kaidah Dasar Bioetika dengan Tingkat Kemampuan Penilaian Moral pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Majalah Kedokteran Indonesia. (Maj Kedokt Indon, Januari 2010, Vol 60 Nomor 1).

15. Dedi Afandi. Ruptur Aneurisma Arteri Pulmonalis. Majalah Kedokteran Indonesia. (Maj Kedokt Indon, Februari 2010, Vol 60 Nomor 2).

16. Dedi Afandi. Visum et Repertum Perlukaan : Aspek Medikolegal dan Penentuan Derajat Luka. Majalah Kedokteran Indonesia Vol 60 Nomor 4, 2010.

17. Dedi Afandi, Raden Irawati Ismail, Agus Purwadianto. Refleksi Dokter Terhadap Kodeki di DKI Jakarta. Majalah Kedokteran Indonesia Vol 61 Nomor 3, 2011.

18. Dedi Afandi, Wendy Yolanda Rosa, Suyanto, Khodijah, Chunin Widyaningsih. Karakteristik Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Journal Indonesian Medical Association Vol 62 Nomor 11, 2012.

19. Dedi Afandi. Profile Medicolegal Autopsies in Pekanbaru Indonesia 2007-2011. Malaysian Journal of Pathology Vol 34 Nomor 2, 2012.

37

20. Dedi Afandi. Total Luas Luka Sebagai Indikator Penentuan Derajat Luka Pada Kasus Medikolegal. Journal Indonesian Medical Association Vol 64 Nomor 3, 2014.

21. Dedi Afandi, Tuti Restuastuti, Winda Kristanti. Kualitas Visum et Repertum Perlukaan di RSUD Indrasari Kabupaten Indragiri Hulu Periode 1 Januari 2009-31 Desember 2013. Jurnal Ilmu Kedokteran, Volume 9 No. 1, Maret 2015, pp. 11-16.

22. Dedi Afandi, Mohammad Tegar Indrayana, Iriandanu Nugraha, Dinda Danisha. Prevalence and pattern of domestic violence at the Center for Forensic Medical Services in Pekanbaru, Indonesia. Medical Journal of Indonesia, Volume 26 No. 2, June 2017, pp. 97-101.

23. Dedi Afandi. Kaidah dasar bioetika dalam pengambilan keputusan klinis yang etis. Majalah Kedokteran Andalas (MKA), Volume 40 No. 2, September 2017, pp. 111-121.

24. Dedi Afandi. Nilai-Nilai Luhur dalam Profesi Kedokteran: Suatu Studi Kualitatif. Jurnal Kesehatan Melayu, Volume 1 No. 1, September 2017, pp. 25-28.

25. Dedi Afandi, Melissa Mandatasari. Hubungan antara pola sidik bibir dengan jenis suku melayu Riau. Majalah Kedokteran Bandung, Volume 49 Nomor 4, Desember 2017, pp. 231-236.

26. Dedi Afandi, Andrei Kurnia Pranata Sitepu. Age estimation based on facial wrinkles among Indonesian adult population. Medico-legal Update, Volume 18 Nomor 1, January-June 2018, pp. 232-235.

27. Dedi Afandi, Mohammad Tegar Indrayana, Syarifah Hidayah Fatriah, Iriandanu Nugraha, Muhammad Ridho Fiardy Pangestu. Forensic Examination Findings among Child Victims in Pekanbaru, Indonesia (2010–2016). Indian Journal of Forensic Medicine & Toxicology, Volume: 12, Issue: 1, January 2018, pp. 298-303.

28. Dedi Afandi, Herkutanto. Investigasi Forensik pada Kasus Kematian Dugaan Akibat Cedera Kepala. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Volume: 30, Nomor: 1, Februari 2018, pp.68-75.

29. Dedi Afandi. Aspek Medikolegal dan Tata Laksana Persetujuan Tindakan Kedokteran. Jurnal Kesehatan Melayu, Volume 1 No. 2, April 2018, pp. 99-105.

30. Dedi Afandi. Medicolegal study of sexual violence cases in Pekanbaru, Indonesia: prevalence, pattern, and Indonesian legal framework. Egyptian Journal of Forensic Sciences, Volume 8 No. 1, May 2018.

31. Dedi Afandi. Physical violence cases in Pekanbaru, Indonesia: a 5 years retrospective study. Majalah Kedokteran Andalas, Volume 41 Nomor 2, Mei 2018, pp 78-87.

32. Dedi Afandi, Mohammad Tegar Indrayana, Vini Aulia Putri, Rizka Octaviana. Violence Against Women at Bhayangkara Hospital Pekanbaru, Indonesia: A 5 Years Retrospective Study. Journal of Indian Academy of Forensic Medicine, Volume 40 No 2, June 2018. pp. 165-171.

33. Dedi Afandi, Ilhamy Romus. Autopsy Findings of SUDEP in Adolescence. Malaysian Journal of Pathology, Volume 40, Nomor 2, Agustus 2018. pp. 185-189.

34. Dedi Afandi, Dewi Anggraini, Arfianti, Elda Nazriati, Suyanto. Strengthening medical education through intersectoral collaboration: Current practices in Faculty of Medicine, University of Riau, Indonesia. Asian Pacific Journal of Tropical Medicine, Volume 11, Suppl 10, Oktober 2018.

Penulis pendamping 1. Mohammad Tegar Indrayana, Dedi Afandi, Syarifah Hidayah Fatriah. The Role of Trans Sectoral

Service in Violence Against Women and Children Cases at Pekanbaru. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences (IJLFS), Volume 2 No. 3, Desember 2012, pp.45-47.

2. Yepi Kurniadi, Zulfan Saam, Dedi Afandi. Faktor Kontaminasi Bakteri E. Coli Pada Makanan Jajanan Dilingkungan Kantin Sekolah Dasar Wilayah Kecamatan Bangkinang. Jurnal Ilmu Lingkungan, Volume 7 No. 1, Maret 2013, pp. 28-37.

3. Novi Yanti, Aras Mulyadi, Dedi Afandi. Analisis Hubungan Lingkungan Kerja Fisik Terhadap Terjadinya Stres Kerja Pada Pekerja Industri Bengkel Las di Kota Pekanbaru Tahun 2013. Jurnal Kajian Lingkungan, Volume 2 No. 2, Juli 2014, pp. 159-166.

38

4. Suryani, Aras Mulyadi, Dedi Afandi. Analisis Gangguan Pendengaran Tipe Sensorineural Pada Pekerja Akibat Kebisingan Di Industri Mebel Kayu di Kota Pekanbaru. Jurnal Ilmu Lingkungan, Volume 9 No. 1, Maret 2015, pp. 1-11.

5. Aria Gusti, Bernard Isjandi, Syaiful Bahri, Dedi Afandi. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Intensi Perilaku Pengelolaan Sampah Berkelanjutan Pada Siswa Sekolah Dasar di Kota Padang. Dinamika Lingkungan Indonesia, Volume 2 No. 2, Juli 2015, pp. 100-107.

6. Nopriadi, Zulfan Saam, Ridwan Amirudin, Dedi Afandi. The Influence of Illegal Gold Mining Activities toward Health of Workers in Kuantan Singingi, Indonesia. International Journal of Science and Research (IJSR), Volume 4 No. 8, August 2015, pp. 2009-2015.

7. Adhistie Indah Sari, Aras Mulyadi, Dedi Afandi. Hubungan Higiene dan Sanitasi Pedagang Dengan Kontaminasi Salmonella Pada Daging Ayam Potong di Pasar Tradisional Pekanbaru. Jurnal Ilmu Lingkungan, Volume 9 No. 2, September 2015, pp. 173-182.

8. Aria Gusti, Bernard Isjandi, Syaiful Bahri, Dedi Afandi. Faktor Determinan Intensi Perilaku Pengelolaan Sampah Berkelanjutan Pada Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, Volume 9 No. 2 April-September 2015, pp. 65-72.

9. Aria Gusti, Bernard Isjandi, Syaiful Bahri, Dedi Afandi. The Behavioral Intention to Implement Sustainable Waste Management on Primary School Students in City of Padang, Indonesia. International Journal of Innovation and Applied Studies, Volume 13 No. 2, October 2015, pp. 309-315.

10. Mohammad Tegar Indrayana, Dedi Afandi, Stella Putri Wanda, Popi Novia, Satrio Mandala Tinardy. Profil Kasus Autopsi Pada Anak Di Provinsi Riau Periode Tahun 2010-2014. Majalah Kedokteran Andalas (MKA), Volume 38 No. 3, Desember 2015, pp. 201-207.

11. Rafiqi Ulfa Ali, Zulkarnaini, Dedi Afandi. Hubungan Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan dengan Angka Kejadian Kecacingan (Soil Transmitted Helminth) Pada Petani Sayur di Kelurahan Maharatu Kecamatan Marpoyan Damai Kota Pekanbaru. Dinamika Lingkungan Indonesia, Volume 3 No. 1, Januari 2016, pp. 24-32.

12. Damri, Mirna Ilza, Dedi Afandi. Analisis Paparan CO Dan SO2 Pada Petugas Parkir di Basement Mall Ska di Kota Pekanbaru. Dinamika Lingkungan Indonesia, Volume 3 No. 1, Januari 2016, pp. 48-56.

13. Dessyka Febria, Dedi Afandi, Efriyeldi. Pengaruh Environmentalisme dan Perilaku Masyarakat Terhadap Tingkat Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Pujud. Jurnal Ilmu Lingkungan, Volume 10 No. 1, Maret 2016, pp. 15-20.

14. Indi Esha, Dedi Afandi, Victor Amrifo. Analisis Paparan Gas Polutan Karbon Monoksida Terhadap Fungsi Paru Petugas Parkir Di Ruang Bawah Tanah Mal X Kota Pekanbaru. Jurnal Ilmu Lingkungan, Volume 11 No. 1, Maret 2017, pp. 25-34.

15. Elnovrian Purnama Saghita, Thamrin, Dedi Afandi. Analisis Minimisasi Limbah Padat Medis Di RS PB. Jurnal Photon, Volume 7 No. 2, Mei 2017, pp.1-7.

16. Rika Susanti, Eryati Darwin, Dedi Afandi, Yan Wirasti, Syahruddin Said, Taufik Hidayat, Zelly Dia Rofinda. S100b Level of Postmortem Cerebrospinal Fluid and Serum in Blunt Head Trauma Cases. Indian Journal of Forensic Medicine & Toxicology, Volume: 12, Issue: 1, January 2018, pp. 253-258.

17. Mohamad Hadyan Wardhana, Burairah Hussin, Abd Samad Bin Hasan Basri, Dedi Afandi. Enhanced degree of injury classification model: determination critical indicator and criteria degree of injury from Visum et Repertum (Ver) in Pekanbaru, Indonesia. Egyptian Journal of Forensic Sciences, Volume 8 No. 1, May 2018.

18. Endang Purnawati Rahayu, Zulfan Saam, Sukendi Sukendi, Dedi Afandi. The Factors of Affect Indoor Air Quality Inpatient at Private Hospital, Pekanbaru, Indonesia. Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences, Volume 7 No. 13, Juli 2019. Pp 2208-12.

39

Konferensi / Seminar Ilmiah 1. Infanticide by Blunt Head Injury, Smothering and Strangulation, Followed by Postmortem Sharp Injury

(case report). 8th Asia Pacipic Association of Societies of Pathologists Congress-2003. 2. A Man without Head: The Role of Tattoo, Nevus, Pimples and Crowded Teeth in Personal Identification

(case report). 8th Asia Pacipic Association of Societies of Pathologists Congress-2003. 3. Profil Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang Diperiksa di Pusat Krisis Terpadu (PKT) RSCM

Periode Juni 2000 – Juni 2004. Kongres Nasional III Persatuan Dokter Forensik Indonesia (PDFI), Semarang, 22-25 Juli 2004.

4. Temuan Otopsi Malaria Berat Dengan Ketidak-spesifikan Gejala dan Kesulitan Diagnosa. Kongres Nasional III Persatuan Dokter Forensik Indonesia (PDFI), Semarang, 22-25 Juli 2004.

5. Kasus Bunuh Diri Yang Diperiksa Di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUI-RSCM Periode 2004 – 2005. Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia, Yogyakarta, 26 Agustus 2006.

6. Visum et Repertum Pada Kasus Trauma. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan II FKUR. Pekanbaru, September 2008.

7. Association Between Cognitive of Principles Based of Bioethics with Ability of Moral Judgment Among Medical Students at Faculty of Medicine University of Riau. 10th Asian Bioethics Conference, Tehran Iran, 26 – 29 April 2009.

8. Contemplation Clinical Forensic Medicine in Indonesia. 1st Iranian International Forensic Medicine Congress, Tehran Iran, 25-27 May 2009.

9. Making a Movie as Methods to Improve Cognitive of Informed Consent in Bioethics Teaching. 13th Asian Bioethics Conference, Kuala Lumpur, 27-30 Agustus 2012.

10. Aspek Etika dan Hukum Inisiasi Menyusui Dini Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan II FKUR. Pekanbaru, 2012.

11. Ethical and Medicolegal Aspects of Biobanking and Medical Technology. Pertemuan Nasional Jaringan Bioetika dan Humaniora Kesehatan VII, Padang 14-16 Maret 2014

12. Ethical Aspect of Health Care Associated Infections (HAIs). Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan II FKUR. Pekanbaru, 2014

13. Clinical Ethics in Primary Service on Neurological Cases. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan II FKUR. Pekanbaru, 2015

14. Bioethics Curriculum Development at Faculty of Medicine University of Riau: From Conventional to Integrated Approach. 16th Asian Bioethics Conference, 4-8 November 2015, Manila

15. Autopsy profile of homicide and suicide cases in Riau province 2010-2014. Prosiding Kongres Nasional Dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia: Improving Professionalism: to Reach Best Practice in Forensic Medicine (PDFI). Bandung, Indonesia, 16-18 Mei 2016.

16. Professional ethics: Are we still a noble profession? Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokters Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Padang, Agustus 2016

17. Malay Riau local wisdom values to resolve medical dispute cases. Asian Bioethics Conference 17, Yogyakarta, 14-17 November 2016.

18. Penentuan Umur Berdasarkan Pemeriksaan Radiologis (Laporan Kasus). Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2017 Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia. Pekanbaru, Indonesia, 15-16 Juli 2017.

19. Profil Korban Kasus Pemeriksaan Kerangka di Provinsi Riau Periode 2010-2014. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2017 Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia. Pekanbaru, Indonesia, 15-16 Juli 2017.

20. Medicolegal and Patient Safety in Neurology. Pertemuan Ilmiah Nasional (PIN) Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI), Pekanbaru, 11-14 Oktober 2017.

40

21. Environment and Health-- China-ASEAN Healthy Destiny Community Forum on July 25-27 in China-ASEAN Education cooperation Week Permanent Site organized by Guizhou Medical University. Guiyang, China, 25-27 Juli 2018.

Pengabdian Masyarakat / Pembicara / lain-lain 1. Tim Disaster Victim Identification Pada Bencana Gempa Bumi dan Tsunami Nangroe Aceh

Darussalam, 2004. 2. Pemateri pada Pelatihan “Pelatihan Pembuatan Visum et repertum bagi Perempuan dan Anak Korban

Tindak Kekerasan”. JARI-DINKES Jawa Barat, Bandung, 21-22 Juni 2005. 3. Pembicara pada Seminar: “Pelayanan Kesehatan pada Situasi Bencana Akibat Konflik : Tugas, Peranan

dan Tanggung Jawab Petugas Kesehatan ; Tinjauan Aspek Etika, Hukum dan Operasional” International Committee of the Red Cross (ICRC), Lhokseumawe, 24 Agustus 2005.

4. Anggota Tim Pemantau Pelanggaran Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Khususnya Hak Atas Kesehatan Dalam Kasus Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara, KOMNAS HAM, 2005.

5. Narasumber/pembicara pada Kegiatan Perlindungan Sosial: Rehabilitasi Sosial Korban Tindak Kekerasan (KTK) dan Pekerja Migran (PM), Dinas Bina Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial, Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, 28 September 2005.

6. Pembicara pada Pelatihan “Manajemen Rekam Medis dan Informasi Kesehatan” DPP Perhimpunan Profesional Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Indonesia (PORMIKI), 30 November 2005.

7. Fasilitator pada Pelatihan “Peningkatan Pelayanan Medikolegal Unit Gawat Darurat”, FKUI-RSCM, Jakarta, 16 Februari 2006.

8. Wakil Ketua Tim Kajian Instrumen Nasional Tentang Kesehatan Dalam Perspektif HAM, KOMNAS HAM, 2006.

9. Pembicara pada FGD “Hak atas kesehatan adalah hak asasi manusia” KOMNAS HAM-PWI Sumatera Selatan, Palembang, 16 Maret 2006.

10. FGD “Dampak SUTET terhadap kesehatan” KOMNAS HAM, Jakarta, 29 Maret 2006. 11. Pembicara Pelatihan Ilmu Kedokteran Forensik “Tatalaksana Korban Hidup dan Korban Mati di

Rumah Sakit" RSUD Tangerang, 6 April 2006. 12. Pembicara pada BIMTEK Pelayanan Korban Kekerasan Pada Perempuan dan Anak, DEPKES RI, 29

Agustus 2006. 13. Pembicara pada Pelatihan untuk Pelatih HAM dan Kesehatan, Berastagi 18-21 September 2006. 14. Peneliti Tim Pengkajian Instrumen Internasional Tentang Hak Atas Kesehatan, KOMNAS HAM,

Februari s/d Juli 2007. 15. Pembicara/narasumber “Pelatihan Hak Atas Kesehatan dalam Perspektif HAM”. KOMNAS HAM.

Surabaya, Jawa Timur. 5-8 Februari 2007. 16. Sekretaris Panitia AdHoc Amandemen UU Praktik Kedokteran (UUPK) No: 29/2004, PB IDI. 2007. 17. Pengkajian Peraturan Perundang-undangan Bidang Kesehatan Tentang Bedah Mayat Klinis dan

Anatomis. DEPKES RI. Mei – Desember 2007 18. Pembicara/narasumber “Pelatihan Dasar Hak Atas Kesehatan Bagi Aparat Negara dan Penegak

Hukum”. KOMNAS HAM, Mataram, Nusa Tenggara Barat. 18-20 Juni 2007. 19. Pembicara/Narasumber Program Non Gelar Bioetika, Hukum Kedokteran dan HAM. FKUI-HWS DIKTI.

Mei-Juli 2007. 20. Pembicara pada Pelatihan Bagi Tenaga Kesehatan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan dan

Anak. P2TP2A DKI Jakarta. 27 Nopember 2007. 21. Pembicara Pendidikan dan Pelatihan Bioetika. FKUI – DEPKES RI. 1-28 April 2008. 22. Anggota Peneliti. Evaluasi program non gelar bioetika, hukum kedokteran dan HAM untuk staf

akademik institusi pendidikan dokter terhadap implementasinya. HWS-DIKTI. 2008.

41

23. Pembicara pada Pelatihan Metodologi Penelitian Kedokteran. FKUR. 24-26 April 2008 24. Pembicara pada Latihan Kepemimpinan dan Manajemen Mahasiswa (LKMM). BEM FKUR. 27 April

2008. 25. Fasilitator pada “Seminar Nasional IX, Seminar Tahunan II “Patient Safety” and Hospital Expo XXI

2008. 4-7 November 2008 26. Panitia Pelaksana Bakti Sosial dan Pengobatan Massal Balai Kesehatan UNRI Kecamatan Pantai Raja

Kabupaten Kampar. 12 Desember 2008 27. Anggota Peneliti. Resistensi Jaringan Lunak Kepala dan Tulang Tengkorak Manusia Terhadap

Kekerasan Tumpul : Penelitian Biomekanika Eksperimental pada Kadaver Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI. 2009.

28. Pembicara pada Pelatihan Bioetika, Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia. Jakarta. 10 Mei 2009 29. Pembicara pada Temu Ilmiah Hukum Kesehatan, Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia. Jakarta.

11-12 Mei 2009. 30. Pembicara pada “May Meeting 2009”. Jakarta. CIMSA. 23 Mei 2009. 31. Mediator pada Seminar “Surviving Claims and Complains: Aanticipating the New Emerging

Rrequirements of the Hospital Act and Health Act. Jakarta. FKUI. 11 Desember 2009. 32. Trainer pada Pelatihan “Claims & Complains Handling, Malpractice Preparedness in Hospital”.

Jakarta. FKUI. 12 Desember 2009. 33. Pembicara pada Simposium Indonesia 2010 “Make Patient Better Life”. Pekanbaru. IDI Cabang

Pekanbaru. 13 Februari 2010. 34. Pembicara in the 5th National Congress of Indonesian Forensic Medicine and Medicolegal (PDFI) in

conjunction with the 1st National Congress of Indonesian Association of Forensic Sciences (AIFI). Makassar, 16-18 Oktober 2010.

35. Pembicara. Aspek Medikolegal dan Penentuan Derajat Luka. Pelatihan Visum et Repertum Korban Hidup. Pekanbaru, 4 Juni 2011.

36. Sosialisasi Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Perpustakaan Bunga Raya Kabupaten Siak Riau. 28 Oktober 2013.

37. Pelatihan Visum et Repertum Bagi Dokter Umum di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Riau. 29 Oktober 2013.

38. Deteksi Dini dan Alur Penanganan Kasus Kekerasan Pada Anak Pada Ibu-Ibu Pengajian di Perumahan Peputra RW 08 Muara Fajar, Rumbai. 22 November 2013.

39. Pembicara. Prosedur Medikolegal Visum et Repertum. Simposium dan Workshop Visum et Repertum, Pekanbaru 30 November 2013.

40. Pembicara. Informed Consent Pada Kegawatdaruratan Anak. Workshop Resusitasi dan Syok Pediatrik diRuang Gawat Darurat,Pekanbaru 4 Desember 2013.

41. Pembicara. Primary Care di Klinik BPJS Kesehatan dalam Perspektif Etika Kedokteran. PKB IV FK UR 2014.

42. Pembicara. Informed Consent in Emergency. 1st Pekanbaru Anesthesiologist Forum, 18-19 Januari 2014.

43. Pembicara. Aspek Etik dan Hukum Pada Praktisi Laboratorium Kesehatan. PKB Patologi Klinik SUMBAGUT III, Pekanbaru 23-25 Mei 2014.

44. Pembicara. Fotografi Dermatologi: Suatu Tinjauan Aspek Etik dan Hukum dalam Dermatologi. SIMPOSIUM Recent Management of Dermatology in Daily Practice, Perdoski 2014.

45. Pembicara. Medical Liability System. Riau Internal Medicine Meeting III (RIMM III) PAPDI Riau, 30-31 Agustus 2014.

46. Pembicara. Medical liability system In Universal Health Coverage: Is it possible? IDI Pekanbaru, 7 September 2014.

42

47. Pembicara. Informed Consent for Gastrointestinal Endoscopy Procedure. One Day Symposium on Gastroenterology, 28 September 2014.

48. Pembicara. Peran Informed Consent Dalam Mencegah Malpraktik Medis. Perhati-KL 2014. 49. Sosialisasi Terapi Olah Raga Kaki Tempura (Tempurung Kelapa) Terhadap Sirkulasi Darah dan

Sensitivitas Kaki Penderita Diabetes di Puskesmas Bungaraya Siak. 20 November 2014. 50. Penyuluhan Pemeriksaan Kedokteran Forensik Pada Kasus Kekerasan Seksual di Rumah Sakit

Bhayangkara Pekanbaru Polda Riau. 24 November 2014. 51. Pembicara. Aspek Etikolegal Pengobatan TB dan Pencegahan TB MDR. PIR, Jakarta 12 April 2015. 52. Pembicara. Komunikasi Efektif di Era JKN. Simposium Peranan Dokter dalam Era JKN, IDI Dumai, 4

Oktober 2015. 53. Pembicara. Aspek Etik dan Legal Pelayanan Kasus Epilepsy di Layanan Primer. Simposium Neurology

Update in Daily Practice from Prevention to Treatment, Pekanbaru 24 Oktober 2015. 54. Pembicara. Paradigma Hukum Pelayanan Kesehatan Era Jaminan Kesehatan Nasional. Hari

Kesehatan Nasional, Dumai 12 November 2015. 55. Pembicara. Aspek Medikolegal obstetri ginekologi. Symposium Daily Practice in Obstetric dan

Gynecology, Pekanbaru 10 Desember 2015. 56. Pembicara. Komunikasi efektif dalam era JKN. Riau Internal Medicine Meeting (RIMM), Pekanbaru,

28 Mei 2016. 57. Pembicara Aspek Etik dan Medikolegal pada Simposium Update management of clinical

endocrinology and diabetes in daily practice. Pekanbaru, 13 Agustus 2016. 58. Pembicara Seminar Nasional Pendidikan Kesehatan. FK Unsoed, Purwokerto, 18 Agustus 2016. 59. Pembicara Aspek Etik dan Medikolegal pada Simposium Permasalahan Kulit dan Kelamin pada

Remaja. Pekanbaru, 18 September 2016. 60. Pembicara Aspek Etik dan Medikolegal pada Simposium dan Workshop Vertigo Update. Pekanbaru,

24 September 2016. 61. Pembicara. Fraud dalam pelayanan kesehatan. Simposium PERHATI-KL, September 2016. 62. Penyuluhan Pencegahan Kejahatan Seksual Pencabulan Pada Anak-anak di Madrasah Diniyah

Takmiliyah Awaliyah (MDTA) Al Arafah Rumbai Pesisir Pekanbaru. 5 Oktober 2016. 63. Pembicara Aspek Etik dan Medikolegal pada Simposium Obesity: Disease or Matter of Beauty ?.

Pekanbaru, 8 Oktober 2016. 64. Pembicara Aspek Etik dan Medikolegal pada Seminar dan Talk Show Ethicholegal in Daily Practice.

Bagan Siapi-api, 12 Oktober 2016. 65. Pembicara Aspek Etik dan Medikolegal pada Simposium Kegawatdaruratan Medis Pada Praktik

Sehari-hari. Pekanbaru, 22 Oktober 2016. 66. Pembicara Aspek Etik dan Medikolegal pada Sarasehan Nasional Peringatan HUT IDI 66. Pekanbaru,

18-20 November 2016. 67. Pembicara Aspek Etik dan Medikolegal pada Simposium Medis Respiratory Emergencies and Lung

Diseases in Daily Practice. Pekanbaru, 4 Februari 2017. 68. Narasumber Kegiatan Pengembangan Kapasitas Pemberdayaan Masyarakat Anti Narkoba di Instansi

Pemerintah, BNN Kota Pekanbaru, 26 April 2017. 69. Pembicara Aspek Etik dan Medikolegal pada RIMM VI: Update of Integration and Holistic Role in Best

Practice to Optimize Primary care in All Aspect of Internal Medicine. Pekanbaru, 4 Mei 2017. 70. Pembicara Aspek Etik dan Medikolegal pada Workshop "Litigation or Non-Litigation" & "Usage Rape

Kit". Pekanbaru, 16 Juli 2017. 71. Pembicara Aspek Etik dan Medikolegal pada Simposium Enterpreneurship Kesehatan. Pekanbaru, 29

Juli 2017. 72. Pembicara Aspek Etik dan Medikolegal pada Simposium Haelth and Beauty with Anti Aging.

Pekanbaru, 9 September 2017.

43

73. Penyuluhan Pelecehan Seksual Untuk Mencegah Terjadinya Kasus Kejahatan Seksual di Mesjid Muthmainnah Polda Riau. 4 Oktober 2017.

74. Pembicara Aspek Etik dan Medikolegal pada Simposium & Workshop Snoring, Insomnia and Obstruvtive Sleep Apnea (OSA). Pekanbaru, 28 Oktober 2017.

75. Pembicara Aspek Etik dan Medikolegal pada PKB VIII: To improve basic knowledge and skills of Medical Practitioner in Cardiometabolic and Endocrinology Field of Medicine. Pekanbaru, 4 November 2017.

76. Pembicara. Aspek Medikolegal Praktik Homecare di Indonesia. Symposium (COHESIVE), Pekanbaru, 24 Februari 2018.

77. Pembicara. Aspek Etik dan Medikolegal HIV/AIDS. Seminar Kesehatan Nasional "Tantangan dan Penanganan Pasien HIV AIDS”, Pekanbaru, 29 April 2018.

78. Pembicara. Aspek Medikolegal di Bidang Neurologi. Simposium PERDOSSI "Neurology disorders Update in Daily Practice”, Pekanbaru, 6 Oktober 2018.

79. Pembicara. Aspek Medikolegal Anti-Aging. Simposium INDAAC 2018, Pekanbaru, 6 Oktober 2018. 80. Keynote Speaker. Ethical and Medico-legal Aspect of Stunting. The 1st Al-Insyirah International

Scientific Conference on Health, Pekanbaru, 24 November 2018. 81. Pembicara. Aspek Etik dan Medikolegal Penggunaan Antibiotika Secara Rasional. Seminar PPRA “Best

Practice for Clinicians in Management of Infectious Disease in Hospital Setting”, Pekanbaru, 28 November 2018.

82. Pembicara. Celetukan Maut. Simposium PAPDI, Pekanbaru, 17 Februari 2019. 83. Pembicara. Ghost Doctor. Simposium dan Workshop Perhimpunan Dokter Patologi Klinik,

Pekanbaru, 8 Maret 2019. 84. Pembicara. Ethical and Medicolegal Aspect Informed Consent for Patient TB. Pertemuan Ilmiah

Respirasi X 2019, Pekanbaru, 16 Maret 2019. 85. Pembicara. Peran BHP2A dalam Mengadvokasi Anggota IDI. Simposium "Pertemuan Ilmiah Tahunan

(PIT) Ke-I IDI Cabang pekanbaru dan Alumni Fakultas kedokteran universitas Riau Angkatan 2001", Pekanbaru, 30 Maret 2019.

86. Pembicara. Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat dan Resusitasi Jantung Paru. Simposium dan Workshop “Managing Heart Failure & Cardiometabolic Disease in Daily Basis”, Pekanbaru, 20 April 2019.

87. Narasumber Workshop Pengembangan Insrumen Penjamin Mutu FKIK. FKIK Universitas Jambi, 22 April 2019.

88. Pembicara. Aspetk etik dan Medikolegal Perawatan Pasien Onkologi. Seminar Kesehatan "Riau Oncology Summit (ROS)”, Pekanbaru, 27 April 2019.

89. Pembicara. Hak dan Kewajiban Pasien di Rumah Sakit. Simposium PAPDI, 15 Juni 2019. 90. Pembicara. Aspek Etik dan Medikolegal Kegawatdaruratan. Simposium dan workshop PERHATI-KL,

Pekanbaru, 13 Juli 2019. 91. Pembicara. Medicolegal Issues on Patients with End-Stage Cancer. Simposium dan Workshop

“Comprehensive Approach in Emergency and Critical Care Patient”, Pekanbaru, 20 Juli 2019. 92. Pembicara. Aspek Etik dan Medikolegal di Bidang Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi. 1st Medical

Rehabilitation Knowledge, Pekanbaru, 28 Juli 2019. 93. Pembicara. Aspek Etik dan Medikolegal di Bidang Radiologi Diagnosis. Perhimpunan Dokter Spesialis

Radiologi Indonesia, Pekanbaru, 17 Agustus 2019. 94. Pembicara. Aspek Etik dan Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat. Pertemuan Ilmiah Berkala (PIB)

III IDI Bengkalis, Duri, 1 September 2019.

44

Buku 1. Visum et Repertum: Tata Laksana dan Teknik Pembuatan. Penerbit: UR Press. 2011. ISBN:

9789797922634. 2. Publikasi ilmiah guna meningkatkan kreativitas dosen Politeknik Kesehatan dalam melaksanakan

penelitian. Penerbit: UR Press. 2012. ISBN: 9789797923235. 3. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2017 Perhimpunan Dokter Forensik

Indonesia. Penerbit: Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 2017. ISBN: 9786025012709. 4. Visum et Repertum : Tata Laksana dan Teknik Pembuatan. Jilid Kedua. Penerbit: Fakultas Kedokteran

Universitas Riau. 2017. ISBN: 9786025012723. Hak Cipta (HAKI) 1. Kondisi Keberlakuan Bioetika dalam Mekanisme Revisi KODEKI: Mempertahankan Keluhuran Profesi

di Tengah Masyarakat Plural. Disertasi. Surat Pencatatan Ciptaan Nomor: 000129887. 2. Persetujuan Tindakan Medik Pasien Kompeten Pada Tindakan Bedah Elektif Di RSUPN Cipto

Mangunkusumo Jakarta (Suatu Survei Evaluasi Sumatif Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Medik Ditinjau Dari Sudut Pandang Pasien). Tesis. Surat Pencatatan Ciptaan Nomor: 000129888.

3. Total Luas Luka sebagai Indikator Penentuan Derajat Luka pada Kasus Medikolegal. Alat ukur/cut off penentuan derajat luka derajat ringan dan sedang. Surat Pencatatan Ciptaan Nomor: 000129899

4. Tes Kaidah Dasar Bioetika (KDB). Alat ukur/kuesioner. Surat Pencatatan Ciptaan Nomor: 000130026. 5. Kuesioner Refleksi KODEKI (KRK). Alat ukur/kuesioner. Surat Pencatatan Ciptaan Nomor:

000130039.

Pekanbaru, Agustus 2019 Prof. Dr. dr. Dedi Afandi, DFM, SpFM(K)