PERAN EKSPRESI E-CADHERIN PADA METASTASIS … · masukan penulisan KTA ini. 8. Seluruh Staf...
Transcript of PERAN EKSPRESI E-CADHERIN PADA METASTASIS … · masukan penulisan KTA ini. 8. Seluruh Staf...
i
PERAN EKSPRESI E-CADHERIN PADA METASTASIS
KARSINOMA NASOFARINGS
Karya Tulis Akhir
Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat spesialisProgram Studi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher
Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Diajukan oleh :
TAUFIQURRAHMANNIM. 10/309088/PKU/11999
BAGIAN ILMU KESEHATAN
TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
ii
LEMBAR PENGESAHAN
PERAN EKSPRESI E-CADHERIN PADA METASTASIS
KARSINOMA NASOFARINGS
Dipersiapkan dan disusun oleh :
TAUFIQURRAHMANNIM. 10/309088/PKU/11999
Disetujui oleh:
Pembimbing I Pembimbing II
MengetahuiKetua Program Studi
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
dr. Sagung Rai Indrasari, M.Kes., Sp.THT-KL(K)NIP. 19680715 199903 2 002
Dr. dr. Bambang Hariwiyanto, Sp.THT-KL(K)NIP. 19501115 198003 1 002
dr. Camelia Herdini, M.Kes., Sp.THT-KLNIP. 19751218 200812 2 002
Tanggal: …………………… Tanggal: …………………………
iii
PERNYATAAN
Nama : Taufiqurrahman
NIM : 10/309088/PKU/11999
PERAN EKSPRESI E-CADHERIN PADA METASTASIS
KARSINOMA NASOFARINGS
Dengan ini saya menyatakan bahwa hasil penelitian ini bukan merupakan
karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara
tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam kepustakaan.
Yogyakarta, Maret 2014 Yang membuat penyataan,
Taufiqurrahman
iv
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Akhir (KTA)
dengan judul “Peran Ekspresi E-cadherin Pada Metastasis Karsinoma
Nasofarings”. Penyusunan KTA ini merupakan salah satu syarat mencapai derajat
spesialisasi pada Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher Program Pendidikan Dokter Spesialis I Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Dengan selesainya penyusunan KTA ini, penulis mengucapkan terima
kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat Dr. dr. Bambang Hariwiyanto,
Sp.THT-KL(K) selaku pembimbing I dan dr. Camelia Herdini, M.Kes., Sp.THT-
KL, selaku pembimbing II, yang dengan sabar memberikan masukan, pengarahan,
saran, nasehat dan bimbingan dalam penyusunan dan penulisan KTA ini dari awal
hingga akhir.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang tidak
terhingga kepada yang terhormat :
1. Pasien-pasien karsinoma nasofarings yang menjalani biopsi di RSUP dr.
Sardjito Yogyakarta yang termasuk ke dalam subyek penelitian.
2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada berserta staf yang
telah memberi izin dan kesempatan penulis menempuh pendidikan.
3. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat dr. Sardjito Yogyakarta yang telah
memberikan fasilitas pendidikan kepada penulis.
v
4. Prof. Dr. dr. H. Soewito Atmosoewarno, Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr. H.
Soenarto Sastrowijoto, Sp.THT-KL(K), Prof. dr. Soepomo Sukardono,
Sp.THT-KL(K) atas bimbingan dan masukannya dalam penyusunan dan
penulisan KTA ini.
5. Dr. dr. Bambang Udji Djoko Rianto, M.Kes., Sp.THT-KL(K) selaku
Kepala Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
6. dr. Sagung Rai Indrasari, M.Kes, Sp.THT-KL(K) selaku Ketua Program
Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta.
7. dr. Harijadi, Sp.PA(K) yang telah bersedia meluangkan waktu untuk
membacakan preparat subyek penelitian, memberikan bimbingan dan
masukan penulisan KTA ini.
8. Seluruh Staf Pendidik di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang telah memberikan
petunjuk dan pengarahan dalam penyusunan KTA ini.
9. Segenap rekan residen, staf nonedukatif Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan paramedis
SMF THT-KL yang tulus memberikan saran, dukungan dan sumbangan
pemikiran.
10. Seluruh petugas di bagian Rekam Medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
yang turut membantu dalam pencarian rekam medis untuk penelitian ini.
vi
Terimakasih terbesar penulis sampaikan kepada Ayahanda Ahmad Riva’i
Arifin, Ibunda Rosmawati, istri tercinta dr. Tengku Afrina, Sp.M, Ananda
Muhammad Hamizan Tamim, serta adik-adik tersayang Ikhwanul Arif, S.Hum,
Tengku Ade Saputra, A.Md, dan Tengku Vivi Pertiwi, S.Psi yang selalu
mendo’akan, mendukung, memberi inspirasi dan dorongan semangat kepada
penulis dalam menyelesaikan pendidikan.
Penulis menyadari bahwa KTA ini jauh dari sempurna. Segala masukan
dan saran sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan KTA ini. Akhirnya
penulis berharap semoga KTA ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak
khususnya untuk perkembangan Ilmu Kesehatan THT-KL dibidang onkologi.
Yogyakarta, Mei 2014
Taufiqurrahman
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...…………………………………………………..... iLEMBAR PENGESAHAN …..…………………………………………… iiPERNYATAAN ………………………………………………………….. iiiPRAKATA ……………………………………………………………….. ivDAFTAR ISI ……………………………………………………………... viiDAFTAR TABEL …………………………………………………….... ixDAFTAR GAMBAR ......…………………………………………………. xDAFTAR SINGKATAN .....……………………………………………… xiDAFTAR LAMPIRAN …....……………………………………………… xiiINTISARI ..….…………………………………………………………….. xiiiABSTRACT .….……………………………………………………………. xiv
BAB I PENDAHULUAN .……………………………………………….. 1A. Latar Belakang .....……………………………………………… 1B. Perumusan Masalah …..………………………………………... 6C. Pertanyaan Penelitian ....……………………………………….. 7D. Keaslian Penelitian ....…………………………………………. 7E. Tujuan Penelitian ....…………………………………………… 10F. Manfaat Penelitian ...………………………………………….. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………... 12A. Karsinoma Nasofarings ...……………………………………… 12
1. Definisi ..………………………………………………… 122. Etiologi ..………………………………………………… 123. Gambaran Klinis .....……………………………………… 124. Diagnosis ...……………………………………………… 145. Klasifikasi Histologis …………………………………… 156. Stadium Klinis ..……………………………………… 15
B. E-cadherin ...…………………………………………………… 171. Struktur E-cadherin ....…………………………………… 172. E-cadherin dan Metastasis …..…………………………… 19
C. Kerangka Teori …...…………………………………………… 26D. Kerangka Konsep ....…………………………………………… 27E. Hipotesis ..……………………………………………………… 27
BAB III METODE PENELITIAN ..….………………………………… 28A. Rancang Penelitian ….………………………………………… 28B. Populasi Penelitian .....………………………………………… 29C. Sampel Penelitian ………...………….………………………… 29D. Kriteria Subyek Penelitian ….....……………………………..… 30
viii
E. Tempat dan Waktu Penelitian …....………….………………… 30F. Definisi Operasional Variabel …....………….………………… 30G. Instrument dan Cara Pengumpulan data …....…………..……… 31
1. Rekam Medis ……………………………………………. 312. Pemeriksaan IHK ………………………………………... 32
H. Alur Penelitian .….……………………….…………………… 33I. Analisis Statistik ………………………………….…………... 33
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………..……… 35A. Karakteristik Subyek Penelitian …….….……………………… 35
1. Jenis Kelamin ....…………………………………………. 362. Umur ...…………………………………………………… 373. Jenis Histopatologi ...……………………………………... 374. Stadium Penyakit .……………………………………….. 39
B. Analisis Ekspresi E-cadherin ………………………………….. 401. Ekspresi E-cadhrin Pada Jaringan KNF ..………………... 402. Perbedaan Ekspresi E-cadherin Antara
Kelompok Kasus dan Kontrol …………………………… 413. Hubungan Ekspresi E-cadheran dengan
Beberapa Gambaran Klinis KNF ………………………... 44
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..……………………………....... 48A. Kesimpulan .…………………………………………………… 48B. Saran ...............................………………………………………. 48
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 49LAMPIRAN .……………………………………………………………... 54
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Korelasi ekspresi E-cadherin dengan gambaranklinis pasien KSS hipofarings ….…………..……………. 9
Tabel 2. Hubungan ekspresi E-cadherin dengan gambaran klinis pasien KSS larings …………………………………. 10
Tabel 3. Sistem klasifikasi stadium KNF menurut UICC 1997 …..…. 16Tabel 4. Pembagian stadium KNF menurut
UICC/AJCC 1997 ….……………………………………… 16Tabel 5. Subfamili E- Cadherin ……………………………………. 17Tabel 6. Karakteristik subyek penelitian …………………..………... 36Tabel 7. Distribusi umur subyek penelitian ….……………………… 37Tabel 8 Hasil penilaian ekspresi E-cadherin pada
subyek penelitian .…………………………………………. 41Tabel 9 Analisis Ekspresi E-cadherin Terhadap Kelompok
Kasus dan Kontrol ...………...……………………………... 42Tabel 10 Analisis jenis kelamin, umur, jenis histopatologi, ukuran
tumor, dan stadium penyakit terhadap kelompok kasus dan kontrol …………………………………………………. 42
Tabel 11 Hubungan ekspresi E-cadherin dengan beberapa gambaran klinis KNF ...……………………………………. 45
Tabel 12 Hubungan mean ekspresi E-cadherin terhadap gambaran klinis pasien KNF ….…………………….……… 46
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Ekspresi E-cadherin pada KSS hipofarings ….………….. 9
Gambar 2. Intercellular Junctional Complex (IJC) .……………….... 18
Gambar 3. E-cadherin memfasilitasi adesi antar sel epitel ………….. 19
Gambar 4. Tahapan proses metastasis …..…………………………… 20
Gambar 5. Aktivasi jalur transduksi signal LMP1 …..……………… 23
Gambar 6. Aktiviasi DMNT1 yang dimediasi oleh LMP1
melalui signal JNK/AP-1 ...……………………………… 25
Gambar 7. Kerangka teori …………………………………………… 26
Gambar 8. Kerangka konsep .....……………………………………… 27
Gambar 9. Bagan rancang penelitian …………...…………………… 28
Gambar 10. Alur penelitian ..……....………………………………….. 33
Gambar 11. Ekspresi E-Cadherin pada jaringan KNF .…..…………… 40
xi
DAFTAR SINGKATAN
AJCC : American Joint Committee on CancerAJs : Adherens JunctionsAP-1 : Activator Protein 1COX-2 : Cyclooxygenase-2CT Scan : Computed Tomography ScanCTAR : COOH-Terminal Activation RegionDNMT : DNA methyltransferaseEBNA : Epstein-Barr Nuclear AntigenEBV : Epstein-Barr VirusECM : Extracellular MatrixEGFR : Epidermal Growth Factor Receptor HGF : Hepatocyte Growth FactorIHK : ImunohistokimiaIJC : Intercellular Junctional ComplexJNK : c-Juni NH2-terminal kinaseKKL : Kanker Kepala LeherKNF : Karsinoma nasofaringsKSS : Karsinoma Sel SkuamosaLMP1 : Latent Membran Protein 1MAPK : Mitogen Activated Protein KinaseMMP : Matrix MetalloproteinaseMMP : Matrix MetalloproteinasesNFκB : Natural Factor Kappa BRO : Rasio OddRSUP : Rumah Sakit Umum PusatTHT-KL : Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala LeherTJs : Tight JunctionsTNF : Tumor Necrosis FactorTRADD : TNF Receptor Associated Death Domain ProteinTRAF : TNF Receptor Associated Factor ProteinsUICC : Union for International Cancer ControlUSG : UltrasonographyVEGF : Vascular Endothelial Growth FactorWHO : Wold Health Organization
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil penilaian ekspresi E-cadherin
subyek penelitian .……………………………………... 54
Lampiran 2. Kompilasi data penelitian …………………………… 56
Lampiran 3. Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance) ...……... 58
xiii
INTISARI
PERAN EKSPRESI E-CADHERIN PADA METASTASISKARSINOMA NASOFARINGS
Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala LeherFakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
Latar belakang: Sel-sel Karsinoma Nasofarings (KNF) sering kali menyebar ke jaringan sekitar atau bermetastasis pada stadium awal perkembangan tumor.Mekanisme yang pasti masih belum diketahui. Banyak faktor yang mungkin terlibat, seperti molekul-molekul adhesi antar sel. E-cadherin memainkan peran penting dalam pemeliharaan adhesi antar sel pada sel-sel epitel. Hilangnya adhesi antar sel yang dimediasi oleh E-cadherin merupakan peristiwa penting yang mendorong potensi terjadinya metastasis pada KNF. Epsteine Barr Virus (EBV) berkaitan dengan 90% kejadian KNF, Latent Membrane Protein 1 (LMP1) merupakan onkogen dari EBV yang mengambil bagian dalam regulasi metastasis tumor terkait gen seperti E-cadherin.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menentukan perbedaan ekspresi E-cadherin antara KNF yang sudah bermetastasis dengan KNF yang belum bermetastasis.Metode: Rancang penelitian adalah kasus kontrol. Subyek penelitian adalah blok-blok parafin dari pasien KNF yang telah menjalani biopsi di bagian Telinga Hidung dan Tenggorok Bedah Kepala Lehar (THT-KL) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr. Sardjito Yogyakarta. Blok-blok parafin yang berasal dari pasien KNF yang sudah bermetastasis dikategorikan sebagai kelompok kasus, sedangkan yang belum bermetastasis sebagai kelompok kontrol. Sampel dari kedua kelompok diperiksa dengan metode Imunohistokimia (IHK) menggunakanantibodi E-cadhrin di laboratorium patologi anatomi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Analisis statistik untuk membuktikan hipotesis menggunakan chi square.Hasil: Sampel penelitian berjumlah 48 blok parafin pasien KNF, masing-masing kelompok terdiri dari 24 blok parafin. Terdapat perbedaan yang bermakna ekspresi E-cadherin antara KNF yang sudah bermetastasis dengan KNF yang belum bermetastasis dengan nilai p<0,001 dan Rasio Odd (OR):87,4 (interval kepercayaan 95% 10,15 - 2653,26). Disamping itu didapatkan juga hubungan yang signifikan antara penurunan ekspresi E-cadherin dengan status limfonodi leher (p<0,001), metastasis jauh (p=0,001), dan stadium penyakit (p=0,001). Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang bermakna ekspresi E-cadherin antara KNF yang sudah bermetastasis dengan KNF yang belum bermetastasis
Kata Kunci : Karsinoma nasofarings, ekspresi E-cadherin, metastasis.
xiv
ABSTACT
ROLE OF E-CADHERIN EXPRESSION IN NASOPHARYNGEAL CARCINOMA METASTASIS
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery DepartmentFaculty of Medicine Gadjah Mada University
Yogyakarta
Background: Nasopharyngeal Carcinoma (NPC) tumor cells frequently invade surrounding tissue or metastasis at early stages of tumor development. The exactmechanisms of metastasis remain unknown. Many factors may be involved, such as cell adhesion molecules. E-cadherin plays an important role in maintenance of cell adhesions on epithelial cells. The loss of E-cadherin mediated cell adhesion isfound to be an important step in promoting malignant metastatic potential in NPC. Epsteine Barr Virus (EBV) is associated with 90% of nasopharyngeal carcinoma (NPC), Latent membrane protein 1 (LMP1) is an oncogene of EBV which takes part in the regulation of tumor metastasis related genes such as E-cadherin.Objective: This study is aimed to determine the difference of E-Cadherin expression between the NPC patient that has metastasized and the NPC patientthat has not metastasized.Methods: Research design was case control study. Subjects of this research wereparaffin blocks of NPC patient who had undergone biopsy at theOtorhinolaryngology Head and Neck Surgery (ORL-HNS) department dr. Sardjito General Hospital of Yogyakarta. Paraffin blocks from NPC patients who had metastasized were categorized as cases group, while the non metastasized as a control group. Samples from both groups were examined with immunohistochemistry (IHC) method using E-cadherin antibody at the anatomical pathology Laboratory dr. Sardjito General Hospital of Yogyakarta. Statistical analysis to prove the hypothesis were using chi square. Result: Study sample were 48 paraffin blocks of NPC patients , each groupconsisted of 24 paraffin blocks. There was statistically significant difference E-caherin expression between the NPC patient that had metastasized and the NPC patient that had not metastasized with p<0.001 and Odds Ratio (RO): 87.4 (95% confidence interval 10.15 to 2653.26). It also found decreased E-cadherin expression were significantly correlated with neck lymph node status (p <0.001), distant metastasis (p=0.001), and stage of disease (p=0.001).Conclusion: There is significant difference of E-cadherin expression between the NPC patient that has metastasized and the NPC patient that has not metastasized.
Keywords: Nasopharyngeal carcinoma, E-cadherin expression, metastasis.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karsinoma Nasofarings (KNF) merupakan subtipe yang berbeda dari
Kanker Kepala Leher (KKL) dalam hal epidemiologi, karakteristik klinis, etiologi,
dan histopatologi (Ruiz et al., 2011). Etiologi KNF sangat kompleks, mencakup
faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV), dan lingkungan (Razak et al.,
2010; Yu et al., 2013). Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya
KNF sehingga kekerapan cukup tinggi terjadi pada penduduk Cina bagian selatan,
Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia (Roezin dan
Adham, 2011). Secara global, KNF menyumbang sekitar 80.000 kasus baru dan
50.000 kematian setiap tahunnya (Razak et al., 2010).
Karsinoma nasofaring merupakan salah satu kanker yang paling sering
terjadi di Cina Selatan dan Asia Tenggara (Xu et al., 2013), dengan jenis histologi
yang paling sering ditemukan adalah karsinoma tak terdiferensiasi (World Health
Organization (WHO) tipe III) (Cao et al., 2011). Insiden yang cukup tinggi
terjadi di beberapa daerah di Cina Selatan, terutama di provinsi Guangzhou,
dengan insiden sekitar 30-80/100.000 per tahun (Spano et al., 2003; Zhao et al.,
2012), sehingga menimbulkan masalah kesehatan yang serius (Xu et al., 2013).
Insiden intermediate terjadi di Asia Tenggara, termasuk Singapura (15/100.000),
Malaysia (9.7/100.000), Vietnam (7.5/100.000), Taiwan (7/100.000), dan Filipina
(6,4/100.000). Kecenderungan ini juga berlaku di Afrika, termasuk Kenya
2
(5.4/100.000) dan Aljazair, Maroko, dan Tunisia (5.1/100.00) (Adham et al.,
2012).
Di luar negara-negara tersebut di atas, insiden KNF masih sangat rendah,
terutama di Eropa Barat dan di Amerika Serikat (AS), di negara-negara tersebut,
jenis histologi utama adalah WHO tipe I (differentiated type), yang berhubungan
dengan penggunaan tembakau dengan insiden 0,5-2/100.000 per tahun (Spano et
al., 2003).
Spano et al (2003), melaporkan rasio KNF pada laki-laki : perempuan
sekitar 2-3 : 1. Baru-baru ini dilaporkan insiden KNF di Hongkong pada laki-laki
sebesar 20-30/100.000, sedangkan pada perempuan 15-20/100.000 (Wei dan
Kwong, 2010).
Distribusi usia pasien KNF tidak sama di Asia Tenggara dan Afrika Utara.
Di Asia, sebagian besar kasus terjadi pada dekade kelima dan keenam kehidupan,
sedangkan di Arika Utara ditemukan distribusi bimodal, dengan puncak utama
kejadian sekitar usia 50 tahun, mirip dengan puncak usia kejadian KNF yang
diamati di Asia, dan puncak kecil pada pasien berusia antara 10 dan 25 tahun.
Insiden KNF pada remaja ini menyumbang sekitar 20% (Spano et al., 2003).
Karsinoma nasofarings merupakan kanker yang sering terjadi di Indonesia,
sebagai peringkat keempat setelah kanker leher rahim, kanker payudara, dan
kanker kulit, dan merupakan kanker yang paling sering terjadi di bagian kepala
leher. Penyakit ini 100% terkait dengan EBV, terutama tipe undifferentiated
carcinoma (WHO tipe III). Insiden KNF di Indonesia diperkirakan 6.2/100.000
atau sekitar 12 000 kasus baru setiap tahunnya (Adham et al., 2012). Data
3
registrasi kanker di Indonesia berdasarkan histopatologi tahun 2003 menunjukkan
bahwa KNF menempati urutan pertama dari semua tumor ganas primer pada laki–
laki dan urutan ke 8 pada perempuan (Ariwibowo, 2013).
Dari data rekam medik poliklinik Telinga Hidung Tenggorok-Bedah
Kepala Leher (THT-KL) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr. Sardjito
Yogyakarta, dalam 3 tahun terakhir didapatkan jumlah pasien yang terdiagnosis
KNF pada tahun 2010 sebanyak 87 pasien, tahun 2011 ada 97 pasien, sedangkan
pada tahun 2012 ada sebanyak 117 pasien. Dari data tersebut terlihat peningkatan
jumlah pasien KNF dalam 3 tahun terakhir.
Metastasis merupakan penyebab kematian (90%) dari semua kanker, dan
menimbulkan gejala klinis yang berbeda (Yilmaz et al., 2007). Metastasis
menunjukkan sebagai proses yang terkoordinasi, memiliki tahapan-tahapan,
meliputi pemisahan sel dari tumor primer untuk untuk berkembang menjadi lesi
baru di organ jauh (Beavon, 1999). Metastasis merupakan hasil dari pengaruh
yang kompleks dari perubahan adhesi antar sel, motilitas dan migrasi sel,
proteolisis Extracellular Matrix (ECM) dan membrana basalis (Howell dan
Grandis, 2005)
Berbeda dengan Karsinoma Sel Skuamosa (KSS) kepala leher lainnya
(Cao et al., 2011), pertumbuhan tumor yang cepat menyebabkan KNF memiliki
kecenderungan yang tinggi untuk menginvasi daerah yang berdekatan,
bermetastasis ke limfonodi regional dan organ jauh. Lebih dari 60% pasien KNF
yang datang didiagnosis dengan metastasis. Apabila telah terjadi metastasis maka
prognosis penyakit menjadi jelek dan menyebabkan tinggat kegagalan terapi yang
4
tinggi. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme molekuler
metastasis KNF sangat penting untuk memeperbaiki prognosis pasien (Chen et al.,
2012; Yu et al., 2013).
Metastasis jauh sering terjadi pada pasien KNF (38-87%). Organ yang
sering mengalami metastasis jauh adalah tulang (70-80%), liver (30%), paru-paru,
dan sedikit pada limfonodi selain di regio leher (aksila, mediastinum, pelvis, dan
inguinal). Prognosis penyakit tergantung pada lokasi metastasis, jika terjadi
metastasis ke liver prognosis penyakit menjadi jelek, sedangkan bila metastasis ke
tulang angka kelangsungan hidup lebih baik (Bensouda et al., 2011).
Pada stadium awal penyakit, pasien sering tidak menyadari adanya gejala,
sehingga pasien yang datang ke pelayanan kesehatan sudah dalam keadaan
stadium lanjut (Wei dan Kwong, 2010), dan pada 30-60% pasien stadium lanjut
akan terjadi metastasis jauh dan mati akibat penyebaran penyakit (Cao et al.,
2011). Sekitar 90% kontrol lokal tumor primer dapat dicapai dengan terapi yang
ada saat ini, seperti radioterapi dan kemoterapi. Namun demikian, sekitar 30-40%
KNF pasca terapi masih akan dapat berkembang untuk terjadi metastasis jauh dan
atau terjadi kekambuhan lokoregional yang pada akhirnya menyebabkan
kegagalan terapi (Zhao et al., 2012).
Kemajuan dalam diagnostik pencitraan, radioterapi, dan kemoterapi
mungkin dapat mencapai kontrol lokoregional yang baik, namun hasil akhir terapi
KNF tetap saja tidak memuaskan. Prognosis KNF terutama tergantung pada
stadium klinis TNM. Namun, pasien KNF dengan stadium klinis yang sama
sering kali memiliki prognosis yang berbeda, hal ini menunjukkan bahwa TNM
5
saja tidak cukup akurat untuk memprediksi prognosis penyakit. Dengan demikian,
penting untuk mencari target terapi baru dan pemahaman yang lebih baik tentang
mekanisme yang terlibat dalam penyebaran KNF (Chen et al., 2012).
Sel KNF sangat sering menginvasi jaringan di sekitarnya dan
bermetastasis ke limfonodi leher pada tahap awal perkembangan penyakit.
Namun, mekanisme utama yang relevan masih belum diketahui. Banyak faktor
yang mungkin terlibat dalam invasi dan metastasis seperti molekul adhesi antar
sel, Matrix Metalloproteinase (MMP), dan sitokin yang dapat mendukung
peningkatan mobilitas dan penyebaran sel kanker (Xu et al., 2013). Invasi dan
metastasis sel tumor merupakan proses multi tahap, yang membutuhkan
perubahan kompleks dalam interaksi adhesi antar sel. Adanya pelepasan sel tumor
dari tumor primer adalah tahap awal yang penting dalam proses metastasis (Jones
et al., 1996).
Adhesi antar sel memainkan peran penting dalam pemeliharaan integritas
sel dan jaringan (Kim et al., 2007). Beberapa molekul adhesi sel telah diakui
sebagai penanda untuk potensi kejadian metastasis tumor padat (Tsao et al.,
2003). E-cadherin adalah salah satu glikoprotein transmembran yang penting
dalam adhesi sel, tumor suppression, diferensiasi sel, dan migrasi sel. Penelitian
terbaru dari protein ini menunjukkan bahwa penurunan ekspresi E-cadherin
memainkan peran dalam perkembangan dan metastasis tumor (Shnayder et al.,
2001).
Perubahan interaksi antar sel dan sel dengan matriks memberikan
kemampuan sel kanker untuk melewati batas jaringan normal dan bermetastasis.
6
Adanya perubahan kualitatif dan kuantitatif dalam ekspresi dan fungsi molekul
adhesi sel yang dimediasi oleh E-cadherin merupakan penanda penting adanya
potensi metastasis beberapa kanker seperti kanker lambung, kanker kolorektal,
KSS kulit, dan kanker payudara (Huang et al., 2001; Shnayder et al., 2001).
Yip dan Seow (2012), menganalisis ekspresi E-cadherin pada 64 jaringan
KNF dan 38 jaringan nasofarings bukan kanker dengan Imunohistokimia (IHK)
dari tahun 2000 sampai 2004. Pada penilaian ekspresi E-cadherin, didapatkan
bahwa semua jaringan nasofarings bukan kanker (> 95% sel-sel epitel mukosa)
menunjukkan pewarnaan pada membran yang kuat dan seragam. Imunoreaktifitas
terhadap E-cahderin secara signifikan lebih rendah pada jaringan KNF
dibandingkan dengan jaringan nasofarings bukan kanker dengan P <0.001.
Penelitian sebelumnya yang senada oleh Huang et al (2001), melakukan
pemeriksaan mukosa nasofarings bukan kanker (20 kasus) dan KNF (80 kasus),
menunjukkan bahwa tingkat ekspresi E-cadherin pada KNF secara signifikan
lebih rendah dibandingkan pada sel epitel bukan KNF dengan p < 0.001.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas dapat diidentifikasi
beberapa hal penting sebagai berikut:
1. Karsinoma nasofarings merupakan suatu keganasan epitelial dengan
frekuensi kejadian yang cukup tinggi. Di Indonesia termasuk 4 besar
tumor ganas dengan frekuensi tertinggi, sedangkan di bagian THT-KL
menduduki tempat pertama. Hal ini ditandai dengan peningkatan jumlah
pasien KNF di RSUP dr. Sardjito setiap tahunnya.
7
2. Karsinoma nasofarings memiliki karakteristik yang berbeda KKL lainnya,
berupa prilaku dengan pertumbuhan yang sangat cepat, dan kecenderungan
yang tinggi untuk bermetastasis ke limfonodi regional dan organ jauh.
Apabila telah terjadi metastasis maka prognosis penyakit menjadi jelek.
3. E-cadherin memainkan peran penting dalam pemeliharaan adhesi antar sel
sel epitel. Perubahan molekul adhesi sel yang dimediasi oleh E-cadherin
pada sel kanker berkontribusi pada peningkatan penyebaran sel tumor dan
terbentuknya metastasis.
C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas maka disusun pertanyaan
penelitian: Apakah terdapat perbedaan ekspresi E-cadherin antara KNF yang
sudah bermetastasis dengan KNF yang belum bermetastasis?
D. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai ekspresi E-cadherin pada pasien KNF sangat terbatas.
Baru-baru ini Xu et al (2013), melakukan penelitian terhadap 148 dari jaringan
KNF yang bertujuan untuk menentukan komponen jalur Wnt/β-catenin (β-
catenin, cyclooxygenase 2, cyclin D1, c-Myc, dan E-cadherin) yang berhubungan
dengan prognosis penyakit di Cancer Research Institute, Xiangya School of
Medicine, Central South University (Changsha, Hunan, China).
Dari 148 pasien didapatkan, 100 pasien sudah bermetastasis ke limfonodi
regional (78 pasien N1, dan 22 pasien N2), sedangkan yang belum terjadi
metastasis ke limfonodi regional sebanyak 48 pasien. Keseluruhan pasien yang
8
masuk ke dalam sampel penelitian belum terjadi metastasis jauh, sehingga
diklasifikasikan sebagai M0.
Dari analisis multivariat didapatkan peningkatan ekspresi β-catenin dan
penurunan ekspresi E-cadherin adalah faktor prognosis (P=0.002 dan P=0.011)
terlepas dari stadium TNM dan status limfonodi leher, sehingga dapat
disimpulkan bahwa peningkatan ekspresi β-catenin dan penurunan ekspresi E-
cadherin berhubungan dengan prognosis yang jelek pada KNF (Xu et al., 2013).
Penelitian lainnya pada KKL dilakukan oleh Kim et al. (2007), pada
penelitian yang melibatkan sebanyak 66 pasien KSS hipofarings yang bertujuan
untuk menilai pengaruh Hepatocyte Growth Factor (HGF) terhadap ekspresi dan
distribusi E-cadherin di Ajou University Hospital dan Yonsei University Medical
Center Korea dari tahun 1994 sampai 2000. Dari 66 pasien terdiri dari 7 pasien
stadium I, 2 pasien stadium II, 19 pasien stadium III, dan 38 pasien stadium IV
(berdasarkan sistem klasifikasi TNM American Joint Committee on Cancer
(AJCC) tahun 2002).
Pada pengecatan E-cadherin secara IHK, ekspresi E-cadherin ditemukan
pada 87,9% dari jaringan KSS hipofarings, yang diklasifikasikan menjadi 2 tipe
yaitu tipe membranosa (46,9% ) yaitu lokasi E-cadheri hanya berada di dalam
membran sel (gambar 1.A), dan tipe nonmembranosa (53,1%) yaitu lokasi E-
cadheri berada di dalam sitoplasma atau tidak terlihat sama sekali (negatif)
(gambar 1.B). Ekspresi E-cadherin pada tipe nonmembranosa secara signifikan
berkorelasi dengan metastasis ke limfonodi, metastasis jauh, dan kekambuhan
penyakit (tabel 1) (Kim et al., 2007).
9
Tabel 1. Korelasi ekspresi E-cadherin dengan gambaran klinispasien KSS hipofaring
VariabelTipe ekspresi E-cadherin (%)
Nilai PMembranosa
(46.9%)Nonmembranosa
(53.1%)Metastasis ke limfonodi
Negatif (n=25) 22 (88) 3 (12)Positif (n=41) 9 (22) 32 (78) 0.006
Metastasis jauhNegatif (n = 45) 25 (55.6) 20 (44.4)Positive (n = 21) 6 (28.6) 15 (71.4) 0.041
Kekambuhan penyakitTidak (n = 48) 28 (58.3) 20 (41.7)Ya (n = 18) 3 (16.7) 15 (83.3) 0.003
(Kim et al., 2007)
Li et al (2012), melakukan penelitian yang bertujuan untuk menilai
hubungan ekspresi E-cadherin dengan beberapa parameter klinikopatologi pasien
KSS larings. Sebanyak 64 pasien KSS laring yang menjalani total atau parsial
laringektomi berdasarkan ukuran tumor di bagian THT-KL di rumah sakit
Xiangya II Central South University China periode Maret 2002 sampai Januari
2005. Sebagai kontrol adalah jaringan yang diperoleh dari jaringan laring non
tumor yang positif E-cadherin yang dikonfirmasi oleh ahli patologi anatomi. Pada
pengecatan E-cadherin secara IHK, didapatkan ekspresi E-cadherin menurun
Gambar 1. Ekspresi E-cadherin pada KSS hipofaring. (A) tipe membranosa, (B) tipe nonmembranosa (Kim et al., 2007)
10
(Li et al., 2012)
secara statistik, dan memiliki korelasi yang signifikan dengan metastasis ke
limfonodi dengan nilai P<0.001, seperti yang terlihat pada tabel 2.
Tabel 2. Hubungan ekspresi E-cadherin dengan gambaran klinis KSS laringVariavbel Kasus (n) Rata-rata skor
pengecatanNilai F Nilai P
Metastasis ke limfonodiN0 28 216 ±48 19.009 <0.001N1 14 163 ±63N2 17 128 ±46N3 5 66 ±23
Pada penelitian kali ini, peneliti hendak mengetahui adanya berbedaan
ekspresi E-cadherin antara KNF yang sudah bermetastasis, baik metastasis ke
limfonodi leher maupun ke organ jauh dengan KNF yang belum bermetastasis.
Subyek penelitian akan dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu KNF yang sudah
bermetastasis sebagai kelompok kasus, sedangkan KNF yang belum bermetastasis
sebagai kelompok kontrol, dengan masing-masing kelompok dengan jumlah yang
sama.
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan perbedaan ekspresi E-cadherin
antara KNF yang sudah bermetastasis dengan KNF yang belum bermetastasis.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat pada pengembangan ilmu
pengetahuan kedokteran di bidang THT-KL khususnya onkologi, agar lebih
memahami proses metastasis yang terjadi pada KNF, yaitu didapatkannya bukti
medis peran E-cadherin pada metastasis KNF yang dibuktikan dengan adanya
perbedaan ekspresi E-cadherin antara KNF yang sudah bermetastasis dengan KNF
11
yang belum bermetastasis. Perubahan tingkat ekspresi E-cahderin diharapkan juga
dapat memberikan informasi tambahan dalam penentuan stadium penyakit,
rencana terapi, dan prognosis penyakit pada pasien KNF.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Karsinoma Nasofarings
1. Definisi
Karsinoma nasofarings adalah KSS yang berasal dari epitel nasofarings,
keganasan ini dapat muncul dari beberapa tempat di nasofarings dan paling sering
terdapat pada fossa Rosen Muller sebelah medial dari muara tuba eustasius
(Brennan, 2006; Wei, 2006).
2. Etiologi
Karsinoma nasofarings merupakan penyakit yang penyebabnya sangat
kompleks. Perubahan pola genetik, faktor lingkungan, faktor kebiasaan, dan
infeksi EBV pada epitel nasofarings telah diketahui sebagai faktor etiologi KNF.
Namun demikian, faktor geografis dan ras juga berperan pada perkembangan
KNF (Huang, 1999).
3. Gambaran Klinis
Keluhan pasien KNF berupa satu atau lebih dari 4 kelompok gejala,
pertama adalah berupa keluhan pada hidung seperti sumbatan hidung, produksi
discharge yang meningkat, dan epistaksis. Hal ini berhubungan dengan adanya
tumor di nasofarings. Pada tumor yang berukuran kecil sumbatan hidung terjadi
satu sisi dan jika tumor berkembang menjadi besar dapat dirasakan pada kedua
sisi. Epistaksis terjadi jika terdapat ulserasi pada tumor, epistaksis biasanya
berulang dan disertai dengan post nasal drip, khususnya pada pagi hari (Wei,
2006; Wei dan Kwong, 2010).
13
Kedua, keluhan telinga yang berkaitan dengan gangguan fungsi tuba
eustasius yang disebabkan oleh perluasan tumor ke posterolateral. Hal ini
mengganggu fungsi drainase tuba sehingga terjadi akumulasi cairan pada telinga
tengah dan mengakibatkan pasien mengeluhkan adanya penurunan pendengaran
tipe konduktif, tinitus, dan rasa penuh pada telinga sampai otalgia (Wei, 2006;
Wei dan Kwong, 2010).
Ketiga, kelumpuhan saraf kranial, penyebaran ke atas sampai ke dinding
lateral sinus kavernosus dan saraf kranial III, IV, dan VI menyebabkan pasien
mengalami diplopia. Tumor yang penyebarannya sampai ke foramen ovale akan
menyebabkan gangguan saraf kranial V sehingga pasien merasakan keluhan nyeri
di wajah. Infiltrasi tumor ke dalam otak menyebabkan keluhan sakit kepala.
Gangguan saraf kranial yang disebabkan karena KNF sekitar 23-30%, tergantung
dari stadium penyakit (Wei, 2006; Wei dan Kwong, 2010; Roezen dan Adham,
2011).
Keempat, massa leher, sekitar 75% pasien KNF telah mengalami
metastasis ke limfonodi pada saat diagnosis. Limfonodi regional yang sering
terlibat adalah retrofaring (82%), level II (95,5%), level III (60,7%) dan level IV
(34,8%) (Chong et al., 2011). Penyebaran ke limfonodi leher dapat terjadi
bilateral karena nasofarings terletak di tengah. Metastasis jauh KNF dapat terjadi
pada vertebra, hepar dan paru-paru. Pasien KNF banyak terdiagnosis pada
stadium lanjut karena gejala awal yang timbul tidak spesifik (Wei, 2006). Gejala
umum keganasan seperti anoreksia dan penurunan berat badan jarang dapat terjadi
14
pada KNF, dan metastasis jauh harus dicurigai bila terdapat keluhan ini (Wei dan
Kwong, 2010).
Umumnya metastasis jauh terjadi pada tulang, paru-paru dan liver.
Keterlibatan pada sistem skeletal rangka biasanya mempengaruhi tulang belakang
(59,6%) dan pelvis (16,3%), diikuti oleh femur (9,9%), kosta dan sternum (7,8%)
dan humerus (5,0%). Pada X-ray sebagian besar ditemukan lesi litik (66%),
sklerotik (21%) dan campuran litik dan sklerotik (12,8%) (Chong et al., 2011).
Sebuah analisis retrospektif dari 4.768 pasien, mengidentifikasi gejala
pada pasien KNF, didapatkan massa leher (75,8%), keluhan hidung (73,4%),
keluhan telinga (62,4%), sakit kepala (34,8%), diplopia (10,7%), numbness pada
wajah (7,6%), penurunan berat badan (6,9%), dan trismus (3,0%). Keluhan yang
muncul pada pasien yang muda pada umumnya sama dengan pada pasien dewasa.
Sayangnya, keluhan hidung dan telinga tidak spesifik sehingga mayoritas pasien
KNF datang dan didiagnosis ketika tumor telah mencapai stadium lanjut (Wei
dan Kwong, 2010)
4. Diagnosis
Diagnosis KNF ditegakkan berdasarkan gambaran klinis tersebut di atas,
diikuti pemeriksaan hidung (rinoskopi anterior dan posterior), dan dilengkapi
dengan pemeriksaan nasofaringoskopi fiber optik. Kecurigaan adanya tumor
dilakukan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi. Biopsi dapat dilakukan dengan
bius lokal dan panduan nasofaringoskopi, apabila hasil biopsi negatif dapat
diulang dan bila perlu biopsi dilakukan dengan bius umum. Stadium KNF
ditetapkan berdasarkan gejaja, dilengkapi dengan pemeriksaan Computed
15
Tomography Scan (CT Scan) nasofaring, foto dada, Ultrasonography (USG)
andomen upper lower, foto tulang (bone survey) (Chan et al., 2002).
5. Klasifikasi Histologis
Secara mikroskopis tumor pada nasofarings 85% adalah jenis tumor
maligna. World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan KNF menjadi 3
tipe: Tipe I karsinoma dengan keratinisasi dan adanya jembatan interseluler,
hampir sama dengan keganasan lain yang ditemukan di saluran nafas atas. Tipe II
karsinoma epidermoid non keratinisasi dengan diferensiasi baik sampai buruk,
termasuk karsinoma transisional, selnya menunjukkan gambaran sel skuamous
yang belum sempurna. Tipe III karsinoma tak terdiferensiasi, sel tumor terlihat
memiliki inti sel yang hiperkromatis dan batas sel yang tidak jelas (Wei, 2006)
Insidens terjadinya tipe III pada daerah endemik KNF dapat mencapai 95%
dengan angka kelangsungan hidup 5 tahun sebesar 65% (Jeyakumar et al., 2006).
Tipe I lebih sering ditemukan pada penderita dengan usia lanjut,
sedangkan untuk anak dan dewasa muda lebih cenderung terjadi karsinoma
nasofarings tipe III dan sedikit tipe II. Tipe II dan III berkaitan dengan proses
terjadinya metastase jauh namun kedua tipe ini lebih mudah dikontrol karena lebih
bersifat radiosensitif sehingga pragnosisnya pun lebih baik dibandingkan dengan
tipe I (Brennan, 2006;Jeyakumar et al., 2006).
6. Stadium Klinis
Sistem klasifikasi dan stadium pada karsinoma nasofarings ada beberapa
macam, namun sejak tahun 1997 ada kesepakatan antara Union for International
Cancer Control (UICC) dan AJCC edisi ke 5 yang menggantikan edisi ke 4
16
(1988). Dibawah ini merupakan pembagian stadium karsinoma dan sistem
klasifikasi stadium karsinoma nasofarings menurut UICC tahun 1997 (tabel 3 dan
4) (Tamori et al.,2000;Chien et al.,2001).
Tabel 3. Sistem klasifikasi stadium KNF menurut UICC/AJCC 1997Nasofaring (T)
T1 Tumor terbatas pada nasofaringT2 Tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan atau
kavum nasiT2a tanpa perluasan ke parafaringT2b dengan perluasan ke parafaring
T3 Tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinusparanasal
T4 Tumor meluas ke intrakranial dan/ atau melibatkannervus kranialis, hipofaring, fossa infratemporalis atauorbita
Limfonodi Regional (N)N0 Tidak ada metastasis limfonodi regional
N1Metastasis unilateral dengan nodus < 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N2Metastasis bilateral dengan nodus < 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N3aMetastasis nodus ukuran > 6 cm, tidak ada perluasan ke fossa supraklavikula
N3bMetastasis nodus ukuran > 6 cm, dengan perluasan ke fossa supraklavikula
Metastasis Jauh (M)M0 Tidak terdapat metastasis jauhM1 Terdapat metastasis jauh
(Wei, 2006)
Tabel 4. Pembagian stadium KNF menurut UICC/AJCC 1997Stadium Keterangan
I T1N0M0IIA T2aN0M0IIB T1-2N1M0 atau T2aN1M0 atau T2bN0-1M0III T1-2bN2M0 atau T3N0-2M0
IVA T4N0-2M0IVB T apapun, N3M0IVC T apapun, N apapun, M1
(Wei, 2006)
17
B. E-cadherin
1. Struktur E-cadherin
Cadherin adalah superfamili molekul adhesi sel yang memediasi interaksi
antar sel berupa ikatan Ca2+-dependent. Cadherin klasik terdiri dari E (epitel), N
(neuron), dan P (plasenta) cadherin, dan beberapa lainnya (tabel 5). E-cadherin,
atau dikenal sebagai uvomorulin, L-CAM, cell-CAM 120/80 atau Arc-1
diekspresikan oleh semua sel epitel. Gen E-cadherin terdapat pada kromosom
16q22.1 dan menghasilkan sebuah protein 120 kDa (Ramburan dan Govender,
2002). E-cadherin merupakan protein adhesi transmembran yang membentuk
adherens junctions (Masterson dan O’Dea, 2007).
Tabel 5. Subfamili CadherinSimbol Cadherin lokusCDH1 Cadherin1, E-cadherin (epithelial) 16q22.1CDH2 Cadherin 2, N-cadherin (neuronal) 18q12.1CDH3 Cadherin 3, P-cadherin (placental) 16q22.1CDH4 Cadherin 4, R-cadherin (retinal) 20q13.3CDH5 Cadherin 5,VE-cadherin (vascular endothelium) 16q22.1CDH6 Cadherin 6, K-cadherin (kidney) 5p14-p15.1CDH7 Cadherin 7 18q22-q23CDH8 Cadherin 8 16q22.1CDH9 Cadherin 9, (T1-cadherin)CDH10 Cadherin10, (T2-cadherin) 5p13-p14CDH11 Cadherin11,OB-cadherin (osteoblast) 16q22.1CDH12 Cadherin12, (N-cadherin 2) 5p13-p14CDH12P Cadherin12, (N-cadherin 2) pseudogene 5q13CDH13 Cadherin13, H-cadherin (heart) 16q24.2CDH15 Cadherin15, M-cadherin (myotubule) 16q24.3CDH16 Cadherin16, KSP-cadherin 16q22.1CDH17 Cadherin17, LI cadherin (liver-intestine) 8q22.1-q22.3CDH18 Cadherin18 5p15.1-p15.2CDH19 Cadherin19 18q22-q23CDH20 Cadherin 20 18q22-q23CDH22 Cadherin-like 22CDH23 Cadherin related 23 10q21-q22CDH24 Cadherin-like 24
(Ramburan dan Govender, 2002)
18
Sel-sel epitel saling berhubungan erat melalui Intercellular Junctional
Complex (IJC) (Semb dan Christofori, 1998). Adhesi antar sel epitel secara
umum dimediasi oleh 3 jenis junction complex yaitu: Tight Junctions (TJs),
Adherens Junctions (AJs), dan desmosomes (gambar 2) (Moreno et al., 2003)
\
E-cadherin memfasilitasi hubungan homofilik Ca+2-dependent yang
merupakan reseptor adhesi (Masterson dan O’Dea, 2007) dan berlokasi di
basolateral membran pada AJs (Schmalhofer et al., 2009). Fungsi ini penting,
baik untuk membangun dan mempertahankan hubungan antar sel. Di dalam sel, E-
cadherin berikatan dengan catenin α, β, dan γ-catenin (plakoglobin) yang
Gambar 2. Intercellular Junctional Complex (IJC). (A) Tiga jenis intercellular junctions pada sel epitel, Tight Junctions (TJs), Adherens Junctions (AJs), dan desmosomes (B) gambaran mikroelekton TJs, AJs, dan desmosomes antara 2 sel epitel (Moreno et al., 2003)
19
menghubungkan E-cadherin dengan aktin sitoskeleton (gambar 3) (Semb dan
Christofori, 1998).
2. E-cadherin dan Metastasis
Kemampuan sel tumor untuk menginvasi jaringan yang berdekatan dan
menyebar ke organ jauh telah lama dianggap sebagai ciri biologis keganasan.
Kemampuan tumor ganas untuk menyebar dan menghancurkan organ jauh
pertama kali temukan oleh Jean-Claude Recamier pada tahun 1829 dan disebut
metastasis (Beavon, 1999).
Metastasis adalah proses dinamis yang melibatkan interaksi antar sel
tumor dan antara sel tumor dengan jaringan normal host (Howell dan Grandis,
Gambar 3. E-cadherin memfasilitasi adesi antar sel epitel, yang tergantung pada kalsium ekstrasel. E-cadherin intrasel berhubungan dengan β-atau γ-catenin, yang selanjutnya terhubung ke sitoskeleton aktin melalui α-catenin (Ramburan dan Govender, 2002)
2005). Proses-proses tersebut terjadi secara terkoordinasi
tahapan (Beavon, 1999).
yang telah meninggalkan
dan pembuluh limfe untuk mencari
membentuk koloni baru.
berbagai strategi, yang semuanya
membentuk pertumbuhan baru tumor sekunder (Yilmaz
Secara umum, metastasis tumor
berurutan, dimulai dengan
selanjutnya menginvasi dan mengendap
4) (Howell dan Grandis, 2005)
Gambar 4. Tahapan proses metastasisprimer. Sel tumor yang terpisah akan menempel dan menginvasi membrana basalis, yang selanjutnya bermigrasi ke ECM, limfatik, di mana mereka dapatpembuluh darah baru dapat menyebar ke organ target sebelum membentuk metastasis (Howell dan Grandis, 2005)
proses tersebut terjadi secara terkoordinasi dan memiliki tahapan
Beavon, 1999). Pada prinsipnya, metastasis dibentuk oleh sel-
yang telah meninggalkan tumor primer dan bermigrasi, terutama melalui
untuk mencari daerah baru dalam tubuh di mana mereka
oni baru. Untuk bisa bermetastasis, sel-sel kanker menggunakan
yang semuanya mengarah pada tujuan yang sama
membentuk pertumbuhan baru tumor sekunder (Yilmaz et al., 2007).
metastasis tumor dapat dibagi menjadi beberapa
dimulai dengan pemisahan sel tumor dari tumor primer
menginvasi dan mengendap ke dalam organ target metastasis (gambar
) (Howell dan Grandis, 2005)
proses metastasis. Dimulai dengan pemisahan sel tumor. Sel tumor yang terpisah akan menempel dan menginvasi membrana basalis, yang
ECM, dan kemudian masuk ke dalam darah ataudi mana mereka dapat menyebar ke organ jauh. Sel-sel tumor harus
rah baru dapat menyebar ke organ target sebelum membentuk metastasis (Howell dan Grandis, 2005)
20
memiliki tahapan-
-sel kanker
terutama melalui darah
di mana mereka
menggunakan
ang sama, yaitu
menjadi beberapa langkah
dari tumor primer yang
rgan target metastasis (gambar
dari tumor . Sel tumor yang terpisah akan menempel dan menginvasi membrana basalis, yang
atau pembuluh keluar dari
rah baru dapat menyebar ke organ target sebelum membentuk metastasis
21
Banyak studi telah mempelajari tentang keterlibatan E-cadherin dalam
perkembangan kanker pada manusia. Ketertarikan pada protein ini karena E-
cadherin berperan sebagai molekul utama adhesi antar sel pada sel epitel (Semb
dan Christofori, 1998), dimana mayoritas kanker pada manusia (80-90%) berasal
dari sel epitel (Christofori dan Semb, 1999). Untuk meninggalkan tumor primer
dan menyebarkan ke organ jauh, sel-sel kanker pertama kali harus kehilangan
kemampuan perekatan antar sel (Yilmaz et al., 2007).
Studi IHK telah menunjukkan bahwa kehilangan ekspresi E-cadherin
merupakan peristiwa yang sering terjadi dalam berbagai jenis karsinoma (Hajra
dan Fearon, 2002). Hilangnya fungsi E-cadherin dapat terjadi oleh beberapa
mekanisme, tapi yang utama adalah mutasi gen CDH1 yang telah telah
diidentifikasi dalam kasus kanker lambung yang menunjukkan bahwa
penyimpangan pada gen ini mempengaruhi perkembangan keganasan (Semb dan
Christofori, 1998).
Namun, pada beberapa jenis kanker sering terjadi perubahan ekspresi E-
cadherin, tetapi jarang atau tidak terdapat sama sekali terjadi mutasi CDH1.
Mekanisme epigenetik diusulkan sebagai mekanisme terjadinya kehilangan
ekspresi E-cadherin (Hajra dan Fearon, 2002). Chromatin rearrangement,
hypermethylation, dan hilangnya transcription-factor binding sering
menyebabkan penekanan aktivitas E-cadherin dan mendorong dalam aktifitas
invasi sel karsinoma (Semb dan Christofori, 1998).
Infeksi EBV terutama pada jaringan epitel nasofaring telah diketahui
sebagai penyebab penting KNF, dan menunjukkan bahwa EBV berperan dalam
22
karsinogenesis KNF. Penurunan ekspresi E-cadherin baru-baru ini terbukti
berhubungan dengan Latent Membran Protein 1 (LMP1) melalui aktivasi DNA
methyltransferase (DNMT) (Niemhom et al., 2008). Latent Membran Protein 1
(LMP1) adalah protein transmembran yang dikodekan oleh gen LMP1 yang
merupakan salah satu gen laten EBV. Meskipun EBV 90% berhubungan dengan
KNF, dilaporkan bahwa ekspresi LMP1 terjadi pada 50-80% kasus KNF (Zhao et
al, 2012).
Epstein-Barr Virus menginfeksi sel B dan mengubahnya menjadi
proliferating lymphoblastoid cell secara terus menerus dengan mengekspresikan 9
protein latent virus, yaitu 6 nuclear antigen (Epstein-Barr Nuclear Antigen
(EBNA)-1, - 2,-3A, 3B-,-3C dan-LP), dan 3 protein membran (Latent Membrane
Protein (LMP)-1,-2A dan 2B) (Ocheni et al., 2010).
Latent Membran Protein 1 mengambil bagian dalam regulasi ekspresi gen
tumor dalam bermetastasis, seperti E-cadherin, Matrix Metalloproteinases
(MMP), c-Met, Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Epidermal Growth
Factor Receptor (EGFR) dan Cyclooxygenase-2 (COX-2), dengan meningkatkan
kelangsungan hidup sel dan jalur signal proliferasi seperti Natural Factor Kappa
B (NFκB), Activator Protein 1 (AP1), ets-1, Mitogen Activated Protein Kinase
(MAPK), Janus Kinases (JAK)/STAT, phosphatidylinositol 3 kinase/Akt LMP1,
sehingga bisa terlibat dalam migrasi, invasi dan metastasis (Zhao et al, 2012).
Latent Membran Protein 1 merupakan protein membran yang terdiri dari
domain pendek NH2-terminal, enam domain transmembran, dan 200 asam amino
domain COOH-terminal. Kebanyakan signal LMP1 dibatasi COOH-Terminal
Activation Region (CTAR)
utama, CTAR1 dan CTAR2
Factor (TNF) Receptor Associated Factor Proteins
berinteraksi dengan TNF Receptor Associated Death Domain Protein
baik CTAR1 dan CTAR2
Protein Kinase (MAPK)
merupakan lokasi kunci LMP1
terminal kinase (JNK) (gambar 5)
Gambar 5. Aktivasi jalurberinteraksi dengan famili reseptor (CTAR1 and CTAR2). Latenmenginduksi ekspresi gen EGFR, CD40, cell surface activation markersantiapoptosis (Traub, 2002)
(CTAR), yang kemudian dibagi lagi menjadi dua domain
CTAR2. CTAR1 berhubungan dengan Tumor Necrosis
Receptor Associated Factor Proteins (TRAF), sedangkan
TNF Receptor Associated Death Domain Protein
CTAR2 memediasi jalur NFκB dan p38/Mitogen
MAPK). Pada CTAR2 khususnya asam amino 3 terakhir
merupakan lokasi kunci LMP1 memicu aktivitas AP-1 melalui jalur c-
(gambar 5) (Tsai et al., 2006).
Aktivasi jalur transduksi signal LMP1. Latent Membranberinteraksi dengan famili reseptor TNF (TRAF and TRADD) melalui 2 domain
Latent Membran Protein 1 mengaktifkan NFκB, dangen yang diatur oleh NFκB dan AP1. LMP1 menginduksi
cell surface activation markers, molekul adhesi, dan faktor2002)
23
dua domain
Tumor Necrosis
TRAF), sedangkan CTAR2
(TRADD),
Mitogen Activated
asam amino 3 terakhir (YYD)
-Juni NH2-
Protein 1domain aktivasi
dan JNK dan menginduksi ekspresi
dan faktor-faktor
24
Kemampuan migrasi LMP1 yang tinggi berhubungan dengan ekspresi E-
cadherin yang merupan molekul adhesi antar sel yang sering hilang pada berbagai
kanker termasuk KNF (Tsai et al., 2006). Hipermetilasi gen E-cadherin
menyebabkan ekpresi E-cadherin menurun dengan memacu aktivasi DNMT oleh
LMP1 (Niemhom et al., 2008).
DNMT mengubah struktur kromatin dengan menambahkan gugus metil
pada sitosin CpG dinucleotides. Metilasi CpG islands yang terletak di dalam
promoter dan proksimal ekson gen meyebabkan terjadinya perekrutan faktor
protein tambahan seperti methyl-CpG binding proteins dan transcriptional
repressors, sehingga gen sulit mengakses faktor transkripsi, dan akhirnya terjadi
gene silencing. Regulasi daerah trankripsi DNMT terdiri dari 4 promoter (P1, P2,
P3, P4 dan). P1 adalah promotor utama yang terletak pada CG-rich (Tsai et al.,
2006).
Metilasi DNA memainkan peran penting dalam pengaturan berbagai sel
dan proses perkembangan sel. Namun, penyimpanan pola metilasi merupakan ciri
dari kanker pada manusia, hipermetilasi pada CpG islands menyebabkan gen
tersebut bertindak sebagai gene suppressor yang kuat (Tsai et al., 2006).
Sel epitel yang mengekspresikan LMP1 menunjukkan bahwa sel tersebut
memiliki kemampuan invasif yang tinggi dan berhubungan dengan penurunan
ekspresi molekul adhesi antar sel (E-cadherin). Penekanan E-cadherin disebabkan
oleh hipermetilasi gen E-cadherin yang diinduksi oleh LMP1 melalui aktivasi
DNMT, khususnya DNMT1, DNMT3a, dan DNMT3b (gambar 6) (Tsai et al.,
2006).
Gambar 6. Aktivasi DMNT1 yang dimediasi oleh LMP1 melalui domain YYD LMP1 mengaktifkan signal jalur JNK yang akhirnya transcription factor c-JunAP-1 dan transaktivasimenyebabkan hipermetilasi
asi DMNT1 yang dimediasi oleh LMP1 melalui signal JNK/APdomain YYD LMP1 mengaktifkan signal jalur JNK yang akhirnya phosphorylates
Jun aktif dan membentuk ikatan komplek terfosforilasiktivasiv promotor DNMT1. Ekspresi DNMT1 yang
hipermetilasi gen E-cadherin (Tsai et al., 2006).
25
JNK/AP-1. Tphosphorylates
erfosforilasi c-Jun, yang tinggi
26
C. Kerangka Teori
Gambar 7. Kerangka teori
Epigenetik
EBV
Epitel nasofaring
Sel B
Latent Membran Protein 1(LMP1)
Tumor primer(Karsinoma Nasofarings)
AktivasiDNA Methyltransferase (DNMT)
Hipermetilasi gen E-cadherin
Penurunan Ekspresi E-cadherin
Gangguan adhesi antar sel tumor
Pemisahan sel tumor dari tumor primer
Invasi dan Metastasis
27
D. Kerangka Konsep
E. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah serta tinjauan pustaka,
disusun pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
Premis mayor : E-cadherin merupakan glikoprotein transmembran yang berperan
utama dalam pemeliharaan adhesi antar sel epitel. Gangguan adhesi antar sel
menyebabkan peningkatan kemampuan sel tumor untuk bermetatsasis (Shnayder
et al., 2001).
Premis minor : Pada KNF, LMP1 dapat menyebabkan penurunan ekspresi E-
cadherin (Niemhom et al., 2008).
Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas penulis merumuskan hipotesis
sebagai berikut:
Terdapat perbedaan yang bermakna ekspersi E-cadherin antara KNF yang sudah
bermetastasis dengan KNF yang belum bermetastasis.
Gambar 8. Kerangka konsep
K N FEkspresi
E-Cadherin (variabel bebas)
Metastasis (variabel tergantung)
Gambaran histopatologi
MMP
c-Met
VEGF
EGFR
COX-2
28
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancang Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian analitik observasional untuk menentukan
perbedaan ekspresi E-cadherin antara KNF yang sudah bermetastasis dengan KNF
yang belum bermetastasis. Rancang penelitian yang digunakan adalah case-
control study (kasus-kontrol), dengan sampel penelitian adalah pasien KNF baik
yang sudah mengalami metastasis (kelompok kasus) maupun yang belum
mengalami metastasis (kelompok kontrol).
Sebagai luaran (Outcome) pada penelitian ini adalah metastasis, baik ke
limfonodi regional maupun organ jauh yang didapat dari rekam medis. Ekspresi
E-cadherin merupakan variabel bebas yang mempengaruhi terjadinya metastasis.
Penilaian ekspresi E-cadherin dilakukan secara IHK oleh ahli patologi anatomi
(gambar 9).
Sampel
Ekspresi E-cadherin positif (+)
Metastasis positif (+)(kelompok kasus)
Metastasis negatif (-)(kelompok kontrol)
Ekspresi E-cadherin positif (+)
Ekspresi E-cadherin negatif (-)
Ekspresi E-cadherin negatif (-)
Gambar 9. Bagan rancang penelitian. Metastasis merupakan outcome, sedangkan ekspresi E-cadherin merupakan variabel yang mempengaruhi terjadinya metastasis.
29
B. Populasi Penelitian
Populasi target adalah pasien KNF yang menjalani biopsi, dengan populasi
terjangkau pasien KNF yang menjalani biopsi di bagian THT-KL RSUP
dr.Sardjito Yogyakarta mulai dari bulan Januari 2006 sampai Desember 2013.
C. Sampel Penelitian
Sampel pada penelitian ini adalah adalah pasien KNF yang menjalani
biopsi di bagian THT-KL RSUP dr.Sardjito Yogyakarta mulai dari bulan Januari
2006 sampai Desember 2013 yang memenuhi kriteia inklusi dan eksklusi.
Rumus besar sampel yang digunakan adalah :
Dari kasus diketahui bahwa:
Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5%, sehingga Zα = 1,64
Kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 20%, maka Zβ = 0,84
P2=proporsi pajanan pada kelompok kontrol sebesar 0,1
P1-P2 = Selisih proporsi pajanan minimal yang dianggap bermakna ditetapkan sebesar 0,3
P1=P2+0,20=0,1+0,3=0,4
Q1=1-P1=1-0,4=0,6
P=(P1+P2)/2=(0,4+0,1)/2=0,25
Q=1-P=1-0,25=0,75
Dengan memasukan nilai-nilai di atas pada rumus, diperoleh :
N1=N2=(Zα√2PQ+Zβ√P1Q1+P2Q2)2 / (P1-P2)2
=(1,64√2.0,5. 0,75+0,84√0,4.0,6+0,1.0,9)2 / (0,4-0,1)2
= 24
N1=N2=(Zα√2PQ+Zβ√P1Q1+P2Q2)2 / (P1-P2)2
30
Dengan demikian, besar sampel untuk tiap kelompok adalah 24.
D. Kriteria Subyek Penelitian
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien yang terdiagnosis KNF
dan terregistrasi mulai dari bulan Januari 2006 sampai Desember 2013, memiliki
data yang lengkap dan terdokumentasi pada rekam medis (hasil interpretasi biopsi,
CT Scan nasofaring, rontgen thorax, USG abdomen, dan bone survey), dan belum
pernah menjalani radioterapi dan atau kemoterapi. Kriteria eksklusi adalah pasien
KNF dengan blok parafin yang rusak, sehingga tidak dapat dilakukan pemeriksaan
IHK.
E. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Sub Bagian Onkologi Ilmu Kesehatan THT-KL
dan Bagian Patologi Anatomi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta mulai bulan Januari
sampai dengan Maret 2014.
F. Definisi Operasional Variabel
Variabel utama dalam penelitian ini adalah variabel bebas yang dalam
penelitian ini adalah ekspresi E-cadherin yang diperiksa secara IHK dari blok
parafin pasien KNF. Pembacaan hasil pemeriksaan IHK dinilai seperti penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Xie et al (2006), hasil positif ditandai dengan
terdapat perubahan warna menjadi kecoklatan. Variabel tergantung pada
penelitian ini adalah metastasis yang terjadi pada KNF baik ke limfonodi regional
maupun organ jauh .
31
Batasan operasional penelitian ini adalah ukuran serta pemeriksaan sampel
dan variabel, baik variabel bebas maupun variabel tergantung adalah sebagai
berikut:
1. Diagnosis KNF ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofarings baik
dengan anestesi lokal maupun umum yang menunjukkan hasil
histopatologi sesuai dengan klasifikasi WHO.
2. Ekspresi E-cadherin dinilai setelah dilakukan pemeriksaan IHK (E-
cadherin) dengan hasil positif atau negatif
3. Metastasis adalah penyebaran sel kanker ke limfonodi regional dan atau
organ jauh yang diperoleh dari hasil pemeriksaan fisik dan penunjang (CT
Scan nasofarings, rontgen thorax, USG abdomen upper lower, dan bone
survey), sesuai dengan sistem klasifikasi stadium KNF menurut
UICC/AJCC 1997
G. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data
1. Rekam Medis
Penelitian dimulai dengan mengambil data subyek penelitian yaitu pasien-
pasien yang terdiagnosis KNF di bagian onkologi THT-KL RSUP dr. Sardjito
Yogyakarta, selanjutnya dilakukan pengambilan data dari rekam medis di bagian
rekam medis RSUP dr. Sardjito Yogyakarta untuk melengkapi data yang
diperlukan berupa identitas pasien berupa nama (inisial), jenis kelamin, umur, dan
diagnosis (TNM), dan hasil-hasil pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk
menegakkan diagnosis penyakit (biopsi nasofarings, CT Scan nasofarings,
rongent thorax, USG abdomen, dan bone survey). Untuk menjaga kerahasian data
32
yang telah diambil dilakukan dengan tidak mencantumkan nama pasien, tetapi
berupa inisial saja.
2. Pemeriksaan IHK
Jaringan hasil biopsi dari pasien KNF difiksasi di formalin kemudian
disimpan dalam blok parafin. Kurang lebih 2 sampai 5 potongan jaringan dengan
tebal 5-6 m dari blok parafin dipotong dan diproses untuk pemeriksaan lebih
lanjut.
Potongan tunggal (kurang lebih 5-6 µm) jaringan di parafin diletakkan di
deck glass dan dikeringkan pada suhu 37ºC selama 1 malam, kemudian di cuci
untuk menghilangkan residu parafin dengan menggunakan xylene 2 kali selama 30
menit pada suhu 370C. Kemudian didehidrasi dengan larutan etanol 70%, 80%
dan 90%. Sebelum pengecatan, deck glass di cuci menggunakan bufer PBS.
Pengecatan masing-masing sediaan sampel menggunakan antibodi E-cadherin.
Ekspresi E-cadherin dinilai dengan hasil postif atau negatif.
Tingkat imunoreaktivitas E-cadherin dinilai secara semikuantitatif
berdasarkan intensitas pewarnaan dan proporsi sel tumor yang positif. Di bawah
mikroskop dengan perbesaran 400x, lapang pandang dipilih secara acak di 5
tempat (100 sel per lapangan pandang). Ekspresi E-cadherin positif terlihat pada
membran maupun pada sitoplasma sel tumor yang berwana kecoklatan. Penilaian
pemeriksaan IHK dilakukan seperti penelitian yang dilakukan oleh del Muro et al
(2000), ekspresi E-cadherin dinilai positif jika rerata persentase ekspresi E-
cadherin > 20% sel tumor, sedangkan E-Cadherin dinilai negatif jika rerata
persentase ekspresi E-cadherin < 20%.
33
H. Alur Penelitian
I. Analisis Statistik
Penelitian ini merupakan penelitian case-control study (kasus-kontrol)
yang merupakan penelitian analitik observasional yang mengkaji perbedaan
ekspresi E-cadherin antara KNF yang sudah bermetastasis dengan KNF yang
belum bermetastasis, sehingga analisis hasil berupa rasio odd (RO). Hubungan
perubahan tingkat ekspresi E-cadherin dengan beberapa gambaran klinis KNF
dianalisis dengan menggunakan x2 test. Hasil penelitian ini akan digambarkan dalam
tabel 2x2 sebagai berikut :
Gambar 10. Alur penelitian
KNF dengan metastasis(Kelompok Kasus)
KNF tanpa metastasis(Kelompok Kontrol)
IHK
Populasi
Sampel k
Kriteria Eksklus
IHK
Ekspresi E-cadherin positif (+)
Ekspresi E-cadherin positif (+)
Ekspresi E-cadherin negatif (-)
Ekspresi E-cadherin negatif (-)
Kriteria Inklusi
Analisis
34
Metastasis
Ya Tidak Jumlah
EkspresE-Cadherin
Positif A B A+BNegatif C D C+D
Jumlah A+C B+D A+B+C+D
Dari tabel di atas dihitung nilai RO:
RO = A/(A+B) : B/(A+B)
B/(C+D) : D/(C+D)
RO = A/B
C/D
RO = AD
BC
35
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Subyek penelitian ini adalah pasien yang terdiagnosis KNF di bagian
Onkologi THT-KL RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Berdasarkan hasil pemeriksaan
fisik dan penunjang yang diperoleh dari rekam medis, pasien KNF yang sudah
bermetastasis dimasukkan sebagai kelompok kasus, sedangkan pasien KNF yang
belum bermetastasis sebagai kelompok kontrol yang terregistrasi mulai dari bulan
Januari 2006 sampai Desember 2013.
Pada periode tersebut peneliti mendapatkan subyek penelitian sebanyak 48
pasien KNF, dimana 24 orang merupakan pasien KNF yang sudah bermetastasis,
dan 24 lainnya adalah pasien KNF yang belum bermetastasis yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi. Pemeriksaan IHK menggunakan antibodi E-cadherin
dilakukan di bagian Patologi Anatomi RSUP dr. Sardjito Yogyakarta, dan dinilai
oleh seorang ahli Patologi Anatomi tanpa mengetahui data klinis pasien.
Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Medical and Health Research
Ethics Committee (MHREC) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-
RSUP dr. Sardjito Yogyakarta.
A. Karakteristik Subyek Penelitian
Karakteristik subyek penelitian ini meliputi jenis kelamin, umur, jenis
histopatologi, dan stadium penyakit. Homogenitas subyek penelitian tercantum
pada tabel 6.
36
Tabel 6. Karakteristik subyek penelitianKarakteristik
SubyekKasus Kontrol Total
n (%)Nilai p
n (%) n (%)Jenis Kelamin
Laki-laki 17 (35,4) 16 (33.3) 33 (68,7)Perempuan 7 (14,6) 8 (16,7) 15 (31,3) 0,755
Umur≤ 50 tahun 11 (22,9) 15 (31,3) 26 (58,3)> 50 tahun 13 (27,1) 9 (18,7) 22 (41,7) 0,247
Jenis HistopatologiWHO Tipe I 0 0 0WHO Tipe II 3 (6,2) 1 (2,1) 4 (8,3) 0,296WHO Tipe III 21 (43,8) 23 (47,9) 44 (91,7)
Stadium PenyakitStadium I 0 1 (2,1) 1 (2,1)Stadium II 2 (4,2) 7 (14,5) 9 (18,7)Stadium III 7 (14,6) 8 (16,7) 15 (31,2) 0,113Stadium IV 15 (31,2) 8 (16,7) 23 (47,9)
x2 test bermakna p <0,05
1. Jenis Kelamin
Dari tabel 6 terlihat jumlah pasien KNF berjenis kelamin laki-laki lebih
banyak daripada perempuan, yaitu laki-laki sebanyak 33 orang (68,7%),
sedangkan perempuan sebanyak 15 orang (31,3%), dengan rasio laki-laki :
perempuan 2,2 : 1. Dengan menggunakan x2 test tidak terdapat perbedaan yang
signifikan pada jenis kelamin antara kelompok kasus dan kelompok kontrol
dengan nilai p = 0,755. Hasil penelitian ini senada dengan Adham et al (2012),
yang mendapatkan 70,4% pasien KNF berjenis kelamin laki-laki dan 29.6%
perempuan, dengan rasio laki-laki : perempuan 2,4 : 1, sedangkan Kurniawan et
al (2002), mendapatkan sebanyak 35 orang laki-laki dan 13 orang perempuan
pasien KNF dengan rasio laki-laki : perempuan 2,7:1.
37
2. Umur
Umur subyek penelitian yang termuda adalah 24 tahun dan yang tertua adalah 81
tahun dengan rata-rata usia pasien adalah 50 tahun. Frekuensi umur terbesar
adalah 41-50 tahun yaitu sebanyak 16 orang (33,3%) (tabel 7). Dengan x2 test
tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada umur antara kelompok kasus
dengan kelompok kontrol (p = 0,247).
Tabel 7. Distribusi Umur Subyek PenelitianUmur Frekuensi
(n)Persentase (%)
< 20 tahun 0 021 – 30 tahun 4 8,331 – 40 tahun 7 14,641 – 50 tahun 16 33,351 – 60 tahun 11 22,961 – 70 tahun 4 8,3≥ 71 tahun 6 12,5
Hasil ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Adham et al
(2012), frekuensi umur pasien KNF di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
yang terbesar adalah 40-49 tahun, dan lebih dari 80% pasien tersebut terdiagnosis
KNF pada usia 30-59 tahun.
3. Jenis Histopatologi
Jenis histopatologi yang terbanyak pada subyek penelitian ini adalah WHO
tipe III (undifferentiated carcinoma), yaitu sebanyak 44 pasien (91,7%),
sedangkan WHO tipe II (non-keratinizing squamous cell carcinoma) sebanyak 4
pasien (8,3%), dan tidak didapatkan pasien dengan jenis histopatologi WHO tipe I
(keratinizing squamous cell carcinoma). Hasil x2 test menunjukkan tidak
38
terdapat perbedaan yang signifikan pada jenis histopatologi antara kelompok
kasus dengan kelompok kontrol dengan nilai p = 0,296.
Nurhantaril et al (2003), menyebutkan bahwa undifferentiated carcinoma
(WHO tipe III) merupakan jenis histopatogi yang teridentifikasi pada 49 sampel
(87,5%) dari 56 pasien KNF di bagian THT-KL RS dr. Syaiful Anwal Malang.
Beberapa penelitian lainnya di luar negeri, seperti yang dilakukan oleh Corry et al
(2006), jenis histopatologi pada kelompok etnis Asia didapatkan 80 sampel (93%)
pasien KNF adalah WHO tipe III, dan 6 sampel (7%) adalah WHO tipe II.
Sharma et al (2011), mendapatkan jenis histopatologi pasien KNF yang terjadi di
India Timur yang paling banyak adalah WHO tipe III (75,0%) diikuti WHO tipe II
(15,0%) dan WHO tipe I (10,0%).
Menurut WHO, jenis histopatologi KNF dikelompokkan menjadi 3:
keratinizing squamous cell carcinoma (WHO tipe I), nonkeratinizing squamous
cell carcinoma (WHO tipe II), dan undifferentiated carcinoma (WHO tipe III).
Jenis histopatologi WHO tipe III berbeda dengan karsinoma epidermoid lainnya
pada Upper Aerodigestive Tract (UADT) dari gambaran histopatologi, dan secara
epidemiologi tidak berkaitan dengan alkohol maupun rokok, tetapi berhubungan
langsung dengan infeksi EBV (Nurhantari1 et al., 2003;Bensoudaa et al., 2011).
Banyak literatur yang melaporkan bahwa di daerah endemik KNF
ditemukan 90-100% pasien-pasien KNF berhubungan dengan infeksi EBV dengan
jenis histopatologi WHO tipe III, dan dalam jumlah sedikit WHO tipe II.
Nurhantaril et al (2003), mendeteksi gen EBV dengan metode Polymerase Chain
Reaction (PCR) pada 55 dari 56 sampel pasien KNF, hal ini menunjukkan bahwa
39
98% dari pasien KNF memiliki hubungan dengan infeksi EBV, sedangkan LMP 1
ditemukan 100% dari sampel EBVpositif.
4. Stadium Penyakit
Berdasarkan stadium penyakit pada tabel 6 didapatkan, 1 pasien (2,1%)
terdiagnosis KNF pada stadium I, 9 pasien (18,7%) stadium II, 15 pasien (31,2%)
stadium III, dan 23 pasien (47,9%) stadium IV. Kebanyakan pasien (71,9%) pada
penelitian ini datang ke poli THT-KL RSUP dr. Sardjito Yogyakarta dan
terdiagnosis pada stadium lanjut (stadium II-III). Tidak didapatkan perbedaan
yang signifikan pada stadium penyakit antara kelompok kasus dengan kelompok
kontrol dengan nilai p = 0,113.
Hasil penelitian ini senada dengan penelitian di Malaysia dengan subyek
penelitian yang lebih banyak oleh Pua et al (2009), yang melaporkan sebanyak 7
pasien (4%) terdiagnosis KNF pada stadium I, 35 pasien (21%) stadium II, 47
pasien (28%) stadium III, dan 78 pasien (47%) stadium IV, dimana hampir 80%
pasien-pasien tersebut terdiagnosis pada keadaan stadium lanjut (stadium II-III).
Karsinoma nasofarings pada stadium awal sulit didiagnosis secara klinis
karena lokasinya yang tersembunyi di nasofarings, kurangnya pengetahuan pasien
tentang tanda dan gejala awal KNF, dan keadaan ekonomi yang terbatas yang
dapat menunda pasien untuk datang dan mendapatkan pelayanan kesehatan. Di
sisi lain, dokter juga berkontribusi terhadap keterlambatan diagnosis, karena
kekeliruan diagnosis dengan infeksi saluran nafas atas lainnya yang mana
gejalanya hampir sama dengan KNF (Adham et al., 2012).
40
Gambar 11. Ekspresi E-cadherin pada jaringan KNF. A dan B ekspresi E-cadherin (panah warna merah) terlihat pada hampir semua sel tumor (>80%) masing-masing pada pembesaran 100X dan 400X. C dan D ekspresi E-cadherin terlihat hanya pada sebagian kecil sel tumor (ekspresi E-cadherin negatif) masing-masing pada pembesaran 100X dan 400X.
B. Analisis Ekspresi E-Chaderin
1. Ekspresi E-cadhrin Pada Jaringan KNF
Setelah dilakukan pemeriksaan IHK dengan antibodi E-cadherin, penilaian
ekspresi E-cadherin dilakukan oleh seorang ahli Patologi Anatomi. Ekspresi E-
cadherin positif terlihat pada membran maupun pada sitoplasma sel tumor yang
berwana kecoklatan (gambar 11).
Rerata persentase sel tumor yang terekspresi dihitung dari 5 lapang
pandang besar (pembesaran 400X) yang dipilih secara acak per 100 sel tumor.
Subyek penelitian dengan rerata persentase sel tumor yang terekspresi >20%
dikategorikan sebagai ekspresi E-cadherin positif, sedangkan yang <20%
dikategorikan sebagai ekspresi E-cadherin negatif.
A B
C D
41
Ekspresi E-cadherin positif ditemukan pada 28 (58,3%) blok parafin, dan
ekspersi E-cadherin negatif sebanyak 20 (41,7%) blok parafin yang terbagi
menjadi 2 kelompok. Pada kelompok kasus sebanyak 19 blok parafin (79,2%)
yang dinilai sebagai ekpresi E-cadherin negatif dan 5 blok parafin (20,8%) ekpresi
E-cadherin positif, sedangkan pada kelompok kontrol hampir semua blok parafin
23 (95,8%) yang dinilai sebagai ekpresi E-cadherin positif, dan hanya 1 (4,2%)
yang dinilai sebagai ekpresi E-cadherin negatif (tabel 8)
Tabel 8. Hasil penilaian ekspresi E-cadherin pada subyek penelitianKasus Kontrol Jumlah
n % n % (%)Ekspresi E-cadherin positif (+)
5 20,8 23 95,8 28 (58,3)
Ekspresi E-cadherin negatif (-)
19 79,2 1 4,2 20 (41,7)
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ruiz et al (2011), tingkat
ekspresi E-Cadherin strong (66-100% sel tumor positf) telah diamati pada 73%
jaringan nasofarings bukan KNF, dan moderate (33-66% sel tumor positif) pada
27% kasus. Sebaliknya, pada jaringan KNF tingkat ekspresi E-cadherin moderate
diamati pada 90,5%, strong pada 4,75%, dan low (0-33% sel tumor positif) pada
4,74% kasus. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa ekspresi E-
cadherin lebih tinggi pada kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok
kasus.
2. Perbedaan Ekspresi E-cadherin antara Kelompok Kasus dan Kontrol
Untuk mengetahui adanya perbedaan ekspresi E-cadherin antara KNF
yang sudah bermetastasis dengan KNF yang belum bermetastasis dengan
42
melakukan x2 test dan didapatkan nilai p < 0,001 dengan RO = 87,4 (interval
kepercayaan 95% 10,15 - 2653,26) (tabel 9), dan dengan berbagai variabel lainnya
(tabel 10)
Tabel 9. Analisis Ekspresi E-cadherin Terhadap Kelompok Kasus dan KontrolKasus Kontrol Nilai p RO (IK 95%)
n % n %Ekspresi E-cadherin negatif (-) 19 79,2 1 4,2
<0,001* 87,4 (10,15 - 2653,26)
Ekspresi E-cadherin positif (+) 5 20,8 23 95,8
x2 test * bermakna p<0,05
Tabel 10. Analisis jenis kelamin, umur, jenis histopatologi, ukuran tumor, dan stadium penyakit terhadap kelompok kasus dan kontrol
Kasus Kontrol Nilai p RO (IK 95%)n (%) n (%)
Jenis kelamin Laki-laki 17 (35,4) 16 (33.3) 0,755 1,21 (0,35-4,12)Perempuan 7 (14,6) 8 (16,7)
Umur ≤ 50 tahun 11 (22,9) 15 (31,3) 0,247 1,97 (0,61-6,24)> 50 tahun 13 (27,1) 9 (18,7)
Jenis histopatologi WHO tipe II 3 (12,5) 1 (4,2) 0,296 3,29 (0,32-34,08)WHO tipe III 21 (87,5) 23 (95,8)
Ukuran tumor T1-T2 12 (50) 8 (33,3) 0,242 2,00 (0,62-6,42)T3-T4 12 (50) 16 (66,7)
Stadium Penyakit Stadium I-II 2 (8,3) 9 (37,5) 0,016* 6,60 (1,25-34,95)Stadium III-IV 22 (91,7) 15 (62,5)
x2 test * bermakna p<0,05
Dari tabel 9 menunjukkan adanya hubungan terbalik antara ekspresi E-
cadherin dengan kejadian metastasis. Ekspresi E-cadherin negatif memiliki
hubungan yang signifikan dengan kejadian metastasis pada pasien KNF dengan
nilai p < 0,001. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan adhesi antar sel yang
dimediasi oleh E-cadherin dapat menyebabkan lepasnya sel-sel tumor dari tumor
primer yang semula diikat oleh E-cadherin, sehingga dapat terjadi metastasis.
Selain itu, dari tabel 9 juga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
yang bermakna ekspersi E-cadherin antara KNF yang sudah bermetastasis dengan
43
KNF yang belum bermetastasis. Pasien KNF dengan ekspresi E-cadherin negatif
memiliki risiko 87,4 kali untuk terjadi metastasis dibandingkan dengan pasien
KNF dengan ekspresi E-cadherin positif. Temuan ini menunjukkan bahwa pasien
KNF yang memiliki ekspresi E-cadherin positif memiliki E-cadherin yang cukup
stabil yang dibuktikan dengan belum terjadiya metastasis, baik ke limfonodi
regional maupun ke organ jauh. E-cadherin berperan sebagai tumor suppressor,
sehingga dapat menekan proses invasi dan metastasis sel-sel kanker (Ruiz et al.,
2011).
Ekspresi E-cadherin telah dilaporkan menurun pada beberapa sel kanker.
Huang et al (2001), menunjukkan bahwa tingkat ekspresi E-cadherin pada sel
epitel KNF secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan sel epitel
nasofarings bukan kanker (sel-sel inflamasi kronis epitel nasofarings) dengan nilai
p = 0.001.
Penurunan ekspresi E-cadherin selama perkembangan tumor dapat
disebabkan oleh berbagai mekanisme genetik maupun epigenetik. Perubahan
epigenetik berupa hipermetilasi CpG di sekitar area promoter gen E-cadherin
adalah fenomena yang dapat berperan sebagai mekanisme yang menyebabkan
penurunan ekspresi E-cadherin pada pasien KNF (Tsao et al., 2003; Ruiz et al,
2011; Yip dan Seow, 2012).
Telah banyak bukti yang menunjukkan adanya peran EBV dalam
hipermetilasi beberapa gen kanker, terutama KNF. Salah satu produk onkogen
EBV, LMP1 memainkan peran penting dalam terjadinya dan perkembangan KNF,
terutama pada proses terjadinya invasi dan metastasis. Sela et al (2004),
44
melaporkan dari 45 sampel pasien KNF, dilaporkan 39 pasien (89%) LMP1
positif, dan hanya 6 pasien (13%) LMP1 negatif, sedangkan Ferdan et al (2008),
mendapatkan 42 pasien (93%) LMP1 positif, dan 3 pasien (7%) LPM1 negatif.
LMP1 dapat mengaktifkan DNA methyltransferase yang menyebabkan
terjadinya hipemetilasi gen E-cadherin KNF, sehingga terjadi penurunan ekspresi
gen tersebut (Zhao et al., 2012). Tsao et al (2003), melakukan penelitian
menggunakan 29 sampel pasien KNF dan 10 sampel jaringan nasofarings
nonkanker sebagai pembanding. Hipermetilasi 5'CpG ditemukan pada 15 (52%)
dari 29 sampel pasien KNF, sedangkan pada sampel jaringan nasofarings
nonkanker hanya 1 (10%) dari 10 sampel. Hasil ini mendukung bukti bahwa
metilasi area promoter gen E-cadherin sering terjadi pada pasien KNF (lebih dari
5 kali dari sampel jaringan nasofarings nonkanker).
Penelitian yang senada juga dilakukan oleh Niemhom et al (2008), dari
total 38 pasien KNF di RS Ramathibodi Thailand, hipermetilasi gen E-Cadherin
terdeteksi pada 28 dari 38 (73,7%) sampel pasien KNF, dimana 22 (78,6%) dari
28 pasien tersebut juga terdeteksi gen EBV, sisanya 6 pasien (21,4%) tidak
terdeteksi. Hipermetilasi gen E-cadherin tidak terdeteksi pada semua jaringan
nasofarings normal yang berasal dari 15 orang sukarelawan sebagai pembanding.
Secara statistik terdapat hubungan yang signifikan antara hipermetilasi area
promoter gen E-cadherin dengan gen EBV (p < 0,001).
Baru-baru ini Zhao et al (2012), dalam studi metaanalisis melaporkan
sebanyak 718 kasus (pasien KNF) dari 12 artikel, 403 kasus dengan ekspresi
LMP1 positif dan 315 kasus dengan ekspresi LMP1 negatif. Tingkat metastasis
45
x2 test * bermakna p<0,05
Tabel 11. Hubungan ekspresi E-cadherin dengan beberapa gambaran klinis KNF
kumulatif adalah 66,75% (269/403) pada kasus dengan ekspresi LMP1 positif dan
46,98% (148/315) pada kasus dengan ekspresi LMP1 negatif.
3. Hubungan Ekspresi E-cadherin dengan Beberapa Gambaran Klinis KNF
Untuk mengetahui hubungan penurunan ekspresi E-cadherin dengan
beberapa gambaran klinis KNF seperti jenis kelamin, umur, jenis histopatologi,
ukuran tumor, status limfonodi, metastasis jauh, dan stadium penyakit dilakukan
analisis dengan x2 test komparatif kategorik tidak berpasangan (tabel 10).
Ekspresi E-cadherin Nilai p
Positif (+) Negatif (-)n (%) n (%)
Jenis KelaminLaki-laki (n = 33) 19 (39,6) 14 (29,2)Perempuan (n = 15) 8 (16,6) 7 (14,6) 0,784
Umur ≤ 50 tahun (n = 27) 17 (35,4) 10 (20,8)> 50 tahun (n = 21) 10 (20,8) 11(22,9) 0,288
Jenis HistopatologiWHO tipe II (n = 4) 1(2,1) 3 (6,2)WHO tipe III (n = 44) 26 (54,2) 18 (37,5) 0,188
Ukuran Tumor (T)T1-T1 (n = 20) 11(22,9) 9 (18,8)T3-T4 (n = 28) 16 (33,3) 12 (25) 0,883
Status Limfonodi leher (N)N0-N1 (n = 28) 25 (52,1) 3 (6,2)N2-N3 (n = 20) 2 (4,2) 18 (37,5) <0,001*
Metastasis jauhM0 (n = 41) 27 (56,2) 14 (29,2)M1 (n = 7) 0 (0) 7 (14,6) 0,001*
Stadium PenyakitStadium I-II (n = 10) 10 (20,8) 0 (0)Stadium II-III (n = 38) 16 (33,3) 22 (45,8) 0,001*
46
Uji beda mean dengan Independent sample t test dan one way ANOVA *bermakna p<0,05
Tabel 12. Hubungan mean ekspresi E-cadherin terhadap gambaran klinis pasien KNF
Dari tabel 10 dapat diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara penurunan ekspresi E-cadherin dengan jenis kelamin (p = 0,784),
umur (p = 0,288), dan jenis histopatologi (p = 0,188). Hal yang sama juga
ditunjukkan pada tabel 11, yaitu dengan melakukan uji beda mean dengan
Independent sample t test dan one way ANOVA ekspresi E-cadherin terhadap
beberapa gambaran klinis KNF.
Variabel Ekspresi E-cadherin Nilai pMean SD
Jenis KelaminLaki-laki (n = 33) 29,7 ± 23,4Perempuan (n = 15) 32,5 ± 26,5 0,717
Usia≤ 50 tahun (n = 27) 34,9 ± 24,2> 50 tahun (n = 21) 25,5 ± 23,7 0,181
Jenis HistopatologiWHO Tipe II (n = 4) 14,9 ± 11,7WHO Tipe III (n=44) 32,0 ± 24,6 0,180
Ukuran TumorT1 (n=7) 18,9 ± 28,3T2 (n=14) 43,2 ± 29,6T3 (n=11) 37,9 ± 12,8T4 (n=16) 19,7 ± 16,4 0,016*
Status LimfonodiN0 (n=24) 50,6 ± 16,8N1 (n=4) 16,6 ± 14,5N2 (n=8) 13,1 ± 8,4N3 (n=12) 6,9 ± 5,6 < 0,001*
Metastasis JauhM0 (n=41) 35,5 ± 22,7M1 (n=7) 1,7 ± 0,8 < 0,001*
Stadium PenyakitStadium I (n=1) 80,8 -Stadium II (n=9) 61,1 ± 19,7Stadium III (n=15) 31,9 ± 15,3Stadium IV (n=23) 15,6 ± 15,1 < 0,001*
47
Penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Xie et al (2010)
yang mendapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara ekspresi E-cadherin
tipe membranosa dan nonmembranosa (hanya pada sitoplasma atau tidak
terekspresi sama sekali) dengan jenis kelamin (p = 0,222), umur (p = 0,909), dan
jenis histopatologi (p = 0,480).
Dari tabel 10 juga dapat dilihat bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara penurunan ekspresi E-cadherin dengan status limfonodi leher (p = <0,001),
metastasis jauh (p = 0,001), dan stadium penyakit (p = 0,001).
Xu et al (2013), mendapatkan pasien KNF dengan ekspresi E-cadherin
negatif dan telah terjadi metastasis ke limfonodi sebanyak 65 (65%) pasien, dan
yang belum mengalami metastasis 17 (35,5%) pasien, sedangan pasien KNF
dengan ekspresi E-cadherin positif dan telah terjadi metastasis sebanyak 35 (35%)
pasien, dan yang belum bermetastasis sebanyak 31 (64,6%), sehingga dapat
disimpulkan bahwa KNF yang sudah bermetastasis ke limfonodi menunjukkan
ekspresi E-cadherin yang lebih rendah dibandingkan dengan KNF yang belum
bermetastasis ke limfondodi leher dengan p = 0,001.
Niemhom et al (2008), hipermetilasi gen E-cadherin lebih sering terdeteksi
pada KNF stadium lanjut (stadium III-IV) dibandingkan dengan KNF stadium
awal (stadium I-II). Dari total 29 pasien dengan stadium lanjut, hipermetilasi E-
cadherin terdeteksi pada 24 dari 29 (82,8%) pasien, tetapi hanya 4 dari 9 (44,4%)
pasien dengan stadium awal. Perbedaan signifikan secara statistik ditemukan
antara hipermetilasi E-cadherin pada KNF stadium III-IV dan KNF stadium I-II.
48
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Terdapat perbedaan yang bermakna ekspresi E-cadherin antara KNF yang
sudah bermetastasis dengan KNF yang belum bermetastasis. Pasien KNF dengan
ekspresi E-Cadherin negatif memiliki risiko yang lebih besar untuk terjadi
metastasis dibandingkan dengan pasien KNF dengan ekspresi E-cadherin positif.
Gangguan adhesi sel yang dimediasi oleh E-cadherin meyebabkan sel tumor dapat
terpisah dari tumor primer yang berpotensi untuk terjadinya metastasis.
B. SARAN
Pada pasien KNF yang belum terjadi metastasi disarankan untuk dilakukan
pemeriksaan IHK dengan antibodi E-cadherin untuk melihat kemungkinan
terjadinya metastasis. Jika rerata persentase sel tumor yang terekspresi ≤ 20%,
maka pasien tersebut harus diprioritaskan untuk mendapatkan terapi, karena sudah
berisiko tinggi untuk terjadi metastasis, sehingga prognosis penyakit menjadi
lebih baik.
49
DAFTAR PUSTAKA
Adham, M., Kurniawan, A.N., Muhtadi, A.I., Roezin, A., Hermani, B., Gondhowiardjo, S et al. 2012. Nasopharungeal Carcinoma in Indonesia: epidemiology, incidence, sign and symptoms at presentation. Chin J Cancer. 31(4):185-196.
Ariwibowo, H. 2013. Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring. Cermin Dunia Kedokteran. 40(5):348-351.
Beavon, I.R.G. 1999. Regulation of E-cadherin: does hypoxia initiate the metastatic cascade? J Clin Pathol Mol Pathol. 52:179-188.
Bensouda, Y., Kaikani, W., Ahbeddou, N., Rahhali, R., Jabri, M., Mrabti, H et al. 2011. Treatment for metastatic nasopharyngeal carcinoma. European Annals of Otorhinolaryngology, Head and Neck diseases. 128: 79-85.
Brennan, B. 2006. Nasopharyngeal carcinoma. Orphanet Journal of Rare Diseases. 1(23):1-5.
Cao, X., He, L.R., Xie, F.Y., Chen, Y.F., Wen, Z.S. 2011. Factors determining the survival of nasopharyngeal carcinoma with lung metastasis alone: does combined modality treatment benefit? BMC Cancer. 11(370):1-9
Chan, A.T.C., Teo, P.M.L., Johnson, P.J. 2002. Nasopharyngeal Carcinoma: Review. Annals of Otolaryngology. 13:1007-1015.
Chen, C.H., Shiu, L.Y., Su, L.J., Huang, C.Y.F., Huang, S.C., Huang, C.C et al. 2012. FLJ10540 is associated with tumor progression in nasopharyngeal carcinomas and contributes to nasopharyngeal cell proliferation, and metastasis via osteopontin/CD44 pathway. Journal of Translational Medicine. 10(93):1-12.
Chien, C.R., Chen, S. W., Hsieh, C.Y., Liang, J.A., Yang, S.N, Huang, C.Y et al. 2001. Retrospective comparison of the AJCC 5th edition classification for nasopharyngeal carcinoma with the AJCC 4th edition: an experience in Taiwan. Jpn J Clin Oncol. 2001. 31(8):363-9.
Chong, H.S., Yunus, M.R.H., Lum, C.L. 2011. Mandibular Metastasis from Nasopharyngeal Carcinoma. Philipp J Otolaryngol Head Neck Surg. 26 (2):18-20
Christofori, G dan Semb, H. 1999. The role of the cell-adhesion molecule E-cadherin as a tumour-suppressor gene. Trends in Biochemical Sciences. 24(2):73-76.
Corry, J., Fisher, R., Rischin, D., Peters, A.L.J. 2006. Relapse Patterns In Who 2/3 Nasopharyngeal Cancer: Is There A Difference Between Ethnic Asian Vs. Non-Asian Patients? Int. J. Radiation Oncology Biol. Phys. 64(1)63–71
50
del Muro, X.G., Torregrosa, A., Munoz, J., Castellsague, X., Condom, E., Vigues, F et al. 2000. Prognostic value of the expression of E-cadherin and b catenin in bladder cancer. European Journal of Cancer. 36:357-362
Fendri, A., Khabir, A., Guiga, B.H., Boudawara, T.H., Ghorbel, A., Daoud, J et al. 2008. Overexpression of COX-2 and LMP1 are correlated with lymph node in Tunisian NPC patients. Oral Oncology. 44, 710– 715
Hajra, K.H. dan Fearon, E.R. 2002. Cadherin And Catenin Alterations In Human Cancer. Genes, Chromosomes & Cancer. 34:255–268
Howell, G.M.S., and Grandis, J.R. 2005. Molecular Mediators of Metastasis In Head and Neck Squamous Cell Carcinoma. Head Neck. 27:710-717.
Huang, D.P. 1999. Aetiologi Factor and Pathogenesis. In Van Hasselt, C.A, Gibb, A.G. editor. Nasopharyngeal Carcinoma. 2nd ed. The Chinese University Press. Hongkong. p.31-36
Huang, G.W., Mo, W.N., Kuang, G.Q., Nong, H.T., Wei, M.Y., Sunagawa, M et al. 2001. Expression of p16, nm23-H1, E-cadherin, and CD44 Gene Products and Their Significance in Nasopharyngeal Carcinoma. Laryngoscope. 111:1465-1471.
Jeyakumar, A., Brickman, T.M., Jeyakumar, A., Doerr, T. 2006. Review of Nasopharyngeal Carcinoma. Ear Nose Throat J. 85(3):168-173
Jones, J.L., Royall, J.E., Walker, R.A. 1996. E-cadherin relates to EGFR expression and lymph node metastasis in primary breast carcinoma. British Journal of Cancer. 74:1237-124.
Khademi, B., Mahmoodi, J., Omidvari, S., Mohammadianpanah, M. 2006. Treatment Results of Nasopharyngeal Carcinoma: A 15-Year Single Institutional Experience. Journal of the Egyptian Nat. Cancer Inst. 18(2):147-155
Kim, C.H., Kim, J.H., Kahng, H., Choi, E.C. 2007. Change of E Cadherin by Hepatocyte Growth Factor and Effects on the Prognosis of Hypopharyngeal Carcinoma. Ann Surg Oncol. 14(5):1565-1574.
Kurniawan, A.N., Kodariah, R., Elisabeth, M., Roezin, A., Gondhowiardjo, S. 2002. Evaluation of EBV-LMPI as prognostic indicator of nasopharyngeal carcinoma in Indonesian patients. Med J Indones. 1(2):81-86.
Li, J.J., Zhang, G.H., Yang, X.M., Li, S.S., Liu, X., Yang, Q.T et al. 2012. Reduced E-cadherin expression is associated with lymph node metastases in laryngeal squamous cell carcinoma Auris Nasus Larynx. 39:186-192.
Masterson, J and O’Dea, S. 2007. Posttranslational Truncation of E-Cadherin and Significance for Tumour Progression. Cells Tissues Organs. 185:175-179.
Moreno, P.M., Jamora, C., Fuchs, E. 2003. Sticky Business: Orchestrating Cellular Review Signals at Adherens Junctions. Cell. 112:535–548.
51
Niemhom, S., Kitazawa, S., Kitazawa, R., Maeda, S., Leopairat., J. 2008. Hypermethylation of epithelial-cadherin gene promoter is associated with Epstein-Barr virus in nasopharyngeal carcinoma. Cancer Detection and Prevention. 32:127-134.
Ocheni, S., Olusina, D.B., Oyekunle, A.A., Ibegbulam, O.G., Kröger, N., Bacher, U et al. 2010. EBV-Associated Malignancies. The Open Infectious Diseases Journal. 4:101-112.
Pua, K.C., Khoo, A.S.B., Yap, Y.Y., Subramaniam, S.K., Ong, C.A., Krishnan, G.G et al. 2008. Nasopharyngeal Carcinoma Database. Med J Malaysia. 63:59-62.
Ramburan, A and Govender, D. 2002. Cadherins and catenins in pathology. Current Diagnostic Pathology. 8:305-317.
Razak, A.R.A., Siu, L.L., Liu, F.F., Ito, E., O’Sullivan, B., Chan, K. 2010. Nasopharyngeal carcinoma: The next challenges. European Journal of Cancer. 4 6:1967-1978.
Roezen, A dan Adham, M. 2011. Karsinoma Nasofaring. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 5th ed. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta. p. 182-187.
Ruiz, H.G., Rios, M.J, Campora, R.G., de Miguel, M., Carmona, M.I., Moreno, A.M et al. 2011. The cadherin–catenin complex in nasopharyngeal carcinoma. Eur Arch Otorhinolaryngol. 268:1335–1341
Schmalhofer, O., Brabletz, S., Brabletz, T. 2009. E-cadherin, β-catenin, and ZEB1 in malignant progression of cancer. Cancer Metastasis Rev. 28(1-2):151-166
Sela, G.B., Kuten, A., Minkov, I., Ari, E.G., Izhak, O.B. 2004. Prevalence and relevance of EBV latency in nasopharyngeal carcinoma in Israel. J Clin Pathol. 57:290–293
Semb, H., and Christofori, G. 1998. The Tumor-Suppressor Function of E-Cadherin. Am J Hum Genet. 63:1588-1593.
Sharma, T.D., Singh, T., Laishram, R.S., Sharma, L.D.C., Sunita, A.K., Imchen, T. 2011. Nasopharyngeal Carcinoma - a Clinico-pathological Study in a Regional Cancer Centre of Northeastern India. Asian Pacific J Cancer Prev. 12:1583-1587
Shnayder, Y., Kuriakose, A., Yee, H., Chen, F.A., DeLacure, M.D., Xue, X.N et al. 2001. Adhesion Molecules as Prognostic Factors in Nasopharyngeal Carcinoma. Laryngoscope. 111:1842-1846.
Spano, J.P., Busson, P., Atlan, D., Bourhis, J.,Pignon, J.P., Esteban, C et al. 2003. Nasopharyngeal carcinomas: an update. European Journal of Cancer. 39:2121-2135.
52
Tamori. A.T., Yoshizaki, T., Miwa, T., Furukawa, M. 2000. Clinical evaluation of staging system for nasopharyngeal carcinoma: comparison of fourth and fifth editions of UICC TNM classification. Ann Otol Rhinol Laryngol. 109(12 Pt 1):1125-9.
Titcomb, C.P. 2001. High Incidence of Nasopharyngeal Carcinoma in Asia. J Insur Med. 33:235-238.
Traub, N.R. 2002. Epstein–Barr virus in the pathogenesis of NPC. Seminars in Cancer Biology. 12(6):431-441.
Tsai, C.L., Li, H.P., Lu, Y.J., Hsueh, C., Liang, Y., Chen, C.L. 2006. Activation of DNA Methyltransferase 1 by EBV LMP1 Involves c-Jun NH2-Terminal Kinase Signaling. Cancer Res. 66:11668-11676
Tsao, S.W., Liu, Y., Wang, X., Yuen, P.W., Leung, S.Y., Yuen, S.T et al. 2003. The association of E-cadherin expression and the methylation status of the E-cadherin gene in nasopharyngeal carcinoma cells. European Journal of Cancer. 39:524-531.
Wei, W.I. 2006. Nasopharyngeal Cancer. In: Baley BJ & Johnson JT, Head & Neck Surgery-Otolaryngology. 4th edition. Lippincott Williams & Wilkins. p.1658-1671.
Wei, W.I. and Kwong, D.L.W. 2010. Current Management Strategy of Nasopharyngeal Carcinoma. Clinical and Experimental Otorhinolaryngology. 3(1):1-12
Xie, L.Q., Bian, L.J., Li, Z., Li, Y., Li, Z.X., Li, B. 2010. Altered Expression of E-cadherin by Hepatocyte Growth Factor and Effect on the Prognosis of Nasopharyngeal Carcinoma. Ann Surg Oncol. 17:1927-1936.
Xu, L., Jiang, Y., Zheng, J., Xie, G., Li, J., Shi, L et al. 2013. Aberrant expression of β -catenin and E-cadherin is correlated with poor prognosis of nasopharyngeal cancer. Hum Pathol. 44:1357-1364.
Yilmaz, M., Christofori, G., Lehembre, F. 2007. Distinct mechanisms of tumor invasion and metastasis. Trends in Molecular Medicine. 13(12):535-541.
Yip, W.K and Seow, H.F. 2012. Activation of phosphatidylinositol 3-kinase/Akt signaling by EGF downregulates membranous E-cadherin and b-catenin and enhances invasion in nasopharyngeal carcinoma cells. Cancer Letters. 318:162-172
Yu, L., Lu, J., Zhang, B., Liu, X., Wang, L., Li, S.Y et al. 2013. miR-26a inhibits invasion and metastasis of nasopharyngealcancer by targeting EZH2. Oncology Letters. 1234-12288.
Zhang, H., Liu, J., Yue, D., Gao, L., Wang, D., Zhang, H. 2013. Clinical significance of E-cadherin, β-catenin, vimentin and S100A4 expression in completely resected squamous cell lung carcinoma. J Clin Pathol. 66:937-945
53
Zhao, Y., Wang, Y., Zeng, S., Hu, X. 2012. LMP1 expression is positively associated with metastasis of nasopharyngeal carcinoma: evidence from a meta-analysis. J Clin Pathol. 65:41-45.