Peralihan Pengawasan Dari Bi Ke Ojk

download Peralihan Pengawasan Dari Bi Ke Ojk

of 7

description

hukum perbankan

Transcript of Peralihan Pengawasan Dari Bi Ke Ojk

NAMA: SILVIA KUMALASARINIM: 8111412028MATA KULIAH: HUKUM PERBANKANROMBEL : I

PERPINDAHAN PENGAWASAN PERBANKAN DARI BANK INDONESIA( BI) KE OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) Sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 8 UU No. 3 Tahun 2004, Bank Indonesia selaku bank sentral memiliki tiga kewajiban dalam menjaga kestabilan rupiah yakni menetapkan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan. Setelah adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang diundangkan tanggal 22 November 2011,pengaturan dan pegawasan sektor perbankan yang semula berada pada Bank Indonesia sebagai bank sentral di negara kita dialihkan pada otoritas jasa keuangan.Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2011 OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang memiliki fungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan pada sektor jasa keuangan. Sebelumnya pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di Indonesia dilakukan oleh dua lembaga, yaitu Bank Indonesia (BI) dan Badan Pengawas Pasar ModalLembaga Keuangan (Bapepam-LK). BI mengatur dan mengawasi sektor Perbankan, sedangkan Bapepam-LK mengatur dan mengawasi sektor Pasar Modal dan sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya. Pembentukan OJK ini mengakibatkan kewenangan-kewenangan tersebut beralih dari BI dan Bapepam-LK ke OJK, sehingga BI hanya memiliki kewenangan di bidang kebijakan moneter saja, sedangkan Bapepam-LK melebur menjadi OJK dan tidak lagi di bawah Kementerian Keuangan.Kewenangan pengawasan sektor perbankan sebagai salah satu sektor bidang jasa keuangan secara otomatis beralih dari Bank Indonesia kepada OJK. Beberapa kewenangan pengawasan sektor perbankan yang semula berada di Bank Indonesia diatur dalam UU tentang BI dialihkan kepada OJK . Tugas OJK adalah mengatur dan mengawasi 3 sektor jasa keuangan, yaitu sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, serta sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya. Dalam Pasal 8 UU tentang BI ditentukan bahwa pengaturan dan pengawasan Bank merupakan salah satu tugas Bank Indonesia. Dalam rangka melaksanakan tugas ini, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu bank, melaksanakan pengawasan bank, serta mengenakan sanksi terhadap bank (Pasal 24). Selain itu, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian (Pasal 25).a. Pengaturan danpengawasanmengenai kelembagaan bank meliputi:1. Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank,anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusandan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisibank, serta pencabutan izin usaha bank; dan2. Kegiatan usaha bank,antara lainsumberdana, penyediaandana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;.b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank meliputi:1. Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas,kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;2. Laporan bankyangterkaitdengan kesehatan dankinerja bank;3. Sistem informasi debitur;4. Pengujiankredit (credit testing); dan5. Standarakuntansibank.c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:1. Manajemenrisiko;2. Tatakelolabank;3. Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan4. Pencegahan pembiayaan terorisme dankejahatanperbankan.

d. Pemeriksaanbank.Selanjutnya Penjelasan Pasal 7 UU OJK menyatakan bahwa selain lingkup pengawasan di atas, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia yang disebut sebagai pengaturan dan pengawasan macroprudential. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan macroprudential tersebutperanOJKadalahmembantuBIuntuk melakukan himbauan moral kepada industri perbankan.Keterikatan antara kebijakan macroprudential dengan kebijakan microprudential, disadari oleh pembuat undang-undang. Hal ini dapat dilihat dari pengaturan yang terdapat pada Pasal 39 UU OJK yang menetapkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkordinasi dengan BI dalam membuat peraturan pengawasan di bidang perbankan antara lain:a. kewajiban pemenuhan modal minimum bank;b. sistem informasi perbankan yang terpadu;c. kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri;d. produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha banklainnya, antara lain kartu kredit, kartu debet dan internetbanking;e. penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; danf. data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.Selanjutnya, Pasal 40 UU OJK menetapkan bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, BI membutuhkan informasi melalui kegiatan pemeriksaan bank, maka BI dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tertentu yang masuk systemically important bank (SIB) dan/atau bank lainnya sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia di bidang macroprudential.Berdasarkan UU OJK, penyidikan seluruh kejahatan di bidang keuangan dilakukan oleh Penyidik OJK, meskipun tidak mengurangi kewenangan penyidikan yang ada di tangan kepolisian. Ketentuan seperti ini sebelumnya hanya berlaku untuk kejahatan di pasar modal, sedangkan kejahatan di sektor keuangan lainnya merupakan kewenangan kepolisian. Tidak dimilikinya kewenangan penyidikan bagi pengawas bank mempengaruhi efektifitas dalam menjalankan tugas pengawasan bank. Seringkali pengawas kewalahan menghadapi pengurus bank yang tidak kooperatif dan nakal. Dengan kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh OJK diharapkan penanganan seluruh kejahatan di sektor keuangan dapat dilakukan oleh satu institusi yaitu OJK.Pasal 28 UU OJK menetapkan untuk perlindungan konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat, yang meliputi:a. memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya;b. meminta lembagajasakeuanganuntukmenghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; danc. tindakanlainyangdianggap perlusesuaidenganketentuan peraturan perundang-pndangan di sektor jasa keuangan. Di samping itu, OJK juga melakukan pelayanan pengaduan konsumenyangmeliputi:a. menyiapkanperangkat yang memadaiuntuk pelayananpengaduankonsumen dirugikan oleh pelaku di lembaga jasa keuangan;b. membuat mekanismepengaduankonsumen yangdirugikanoleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan; danc. memfasilitasi penyelesaianpengaduankonsumen yangdirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan pembelaan hukum, yang meliputi memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan Lembaga Jasa Keuangan dimaksud. OJK juga dapat mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawah penguasaan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun dibawah penguasaan pihak lain dengan itikad tidak baik; dan/atau untukmemperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugianpada konsumen dan/atau lembaga jasa keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Perlu dipertimbangankan agar keseluruhan sengketa antara konsumen dengan lembaga keuangan tunduk pada satu lembaga penyelesiaan sengketa tertentu. Hal ini dimaksudkan agar memberikan keamanan bagi nasabah keuangan, mengingat mahalnya proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan badan peradilan. Saat ini, industriperbankanmemilikilembagamediasiyangdilakukanBI untuk sengketa antara nasabah dengan bank dengan nilai di bawah 500 juta sedangkan asuransi memiliki lembaga sendiri yang disebut Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI), demikian pula halnya dengan pasar modal.Konsep penyelamatan perbankan telah memiliki aturan sendiri yang cukup jelas sebagaimana diatur pada Pasal 37 UU Perbankan. Sedangkan konsep penyelamatan lembaga keuangan selain bank belum memiliki aturan setingkat undang-undang yang lengkap sebagaimana yang mengatur industri perbankan. Untuk LKBB tertentu bentukpengaturan industri tersebut bahkan belum diatur dalam undang-undang. Penanganan lembaga keuangan bermasalah seolah-olah berlomba dengan waktu. Apabila jangka waktu antara terjadinya economic insolven dan pencabutan izin usaha terlalu panjang maka kerugian yang akanditanggung masyarakat menjadi lebih besar. Sebab, di antara waktu tersebut manajemen memiliki insentif untuk melakukan kegiatan yangberisiko tinggi dalam upaya menjaga agar perusahaan kelihatan tetap solven. Pasal 37 UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan mensyaratkan harus dilakukannya proses penyelamatan yang panjang sebelum suatu bank dinyatakan gagal dan dicabut izin usahanya. Panjangnya proses ini menimbulkan kesan pengawas lamban mengambil keputusan. Untuk itu, perlu disusunpengaturan yang lebih tegas dan tidak terlalu panjang.Konsepsi dan transformasi Otoritas Jasa Keuangan, Pasal 5 UU OJK menetapkan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. UU Perbankan dan UU LPS secara tegas mengatur tata cara likuidasi bank. Mengingat Pasal 2 UU Kepailitan menetapkan bahwa untuk lembaga keuangan diberlakukan rezim tersendiri yang berbeda dengan rezim kepailitan yang berlaku bagi perusahaan bukan lembaga keuangan makadibutuhkan kesetaraan pengaturan untuk likuidasi lembaga keuangan. Dalam kaitan ini perlu juga dipertimbangkan perluasan kewenangan LPS untuk juga mencakup likuidasi dan penyelamatan serta penjaminan nasabah bukan bank. Hal ini untuk menghindarkan terdapat rezim yangberbeda di antara lembaga keuangan. Tolok ukur yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan OJK adalah kemampuannya dalam mencegah dan menangani krisis, independensinya dan kemampuannya dalam memberikan perlindungan kepada konsumen di sektor jasa keuangan.Akibat hukum setelah dibentuknya Lembaga OJK mengakibatkan peranan BI dalam menjalankan tugasnya hanya sebatas fungsi independen sebagai Bank Sentral selaku otoritas moneter dan sistem pembayaran. BI tetap berwenang mengatur dan mengawasi seluruh aspek perbankan dalam rangka perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter dan sistem pembayaran.Dalam pelaksanaannya, BI melakukan kebijakan moneter melalui penetapan uang beredar atau suku bunga, dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Selain itu, BI juga menciptakan efisiensi sistem pembayaran, kesetaraan akses dan perlindungan konsumen. OJK dan BI akan bekerjasama dalam pengawasan bank terkait penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank, dibantu oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).Selanjutnya untuk melaksanakan tugas menjaga stabilitas moneter dan menjaga sistem pembayaran, maka Bank Indonesia sebagai bank sentral bukan hanya mengawasi bank, tetapi juga dapat mengawasi pasar modal dan lembaga keuangan non bank. Hal ini yang selama ini tidak pernah dilakukan oleh Bank Indonesia. Kegiatan ini bertujuan untuk meyakinkan ada atau tidaknya resiko terganggunya stabilitas sistem keuangan. Sebagai bank sentral, Bank Indonesia juga berperan sebagai lender of the last resort. Dalam hal ini apabila terdapat bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membutuhkan pinjaman, maka Bank Indonesia bertugas memberikan bantuan pinjaman dalam bentuk Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP). Akan tetapi setelah pengaturan dan pengawasan perbankan dilakukan oleh OJK maka yang mengetahui dan menguasai informasi kondisi perbankan adalah OJK. Selanjutnya OJK akan melaporkan pada BI tentang kondisi bank yang memerlukan bantuan. Tentu saja BI tidak dapat secara cepat memutuskan untuk memberikan FPJP, akan tetapi terlebih dahulu akan melakukan konfirmasi dan peninjauan ulang. Hal ini berpotensi kurang efektifnya peran BI sebagai lender of the last resort.Sebagai lembaga yang bertugas menjaga sistem pembayaran dan mengatur kebijakan moneter, maka Bank Indonesia menjaga kestabilan nilai rupiah. Salah satu intrumen yang dapat digunakan oleh BI adalah menentukan tingkat suku bunga acuan (BI Rate), giro wajib minimum, ketentuan devisa dan ketentuan kredit.

DAFTAR PUSTAKA Sutedi, Adrian. 2014. Aspek Hukum Otoritas Jasa keuangan. Jakarta : Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup).Wijaya, Krisna. 2010. Analisis Kebijakan Perbankan Nasional. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.http://www.academia.edu/3217150/PEMBENTUKAN_DAN_KEWENANGAN_OTORITAS_JASA_KEUANGAN_ESTABLISHMENT_AND_AUTHORITY_OF_THE_FINANCIAL_SERVICES_AUTHORITY. ( Diakses pada 22 Mei 2015).