Penyusunan Pola Pusluh

68
LAPORAN AKHIR TIM PENYUSUNAN POLA PENYULUHAN HUKUM Disusun oleh Tim Dibawah Pimpinan S R I B A D I N I, S.H., M.H. BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA R.I JAKARTA, 2005

description

LAPORAN AKHIRTIM PENYUSUNAN POLA PENYULUHAN HUKUM

Transcript of Penyusunan Pola Pusluh

  • LAPORAN AKHIR

    TIM PENYUSUNAN POLA PENYULUHAN HUKUM

    Disusun oleh Tim Dibawah Pimpinan

    S R I B A D I N I, S.H., M.H.

    BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA R.I

    JAKARTA, 2005

  • DAFTAR ISI

    BAB I : PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang.................... 1

    B. Identifikasi Masalah.............. 5

    C. Maksud Dan Tujuan................. 6

    D. Metode Kerja...................... 6

    E. Tahap Pelaksanaan................. 6

    F. Jangka Waktu Pelaksanaan.......... 7

    G. Personalia Tim.................... 7

    H. Jadwal Pelaksanaan................ 8

    BAB II : TINJAUAN UMUM

    A. Sejarah Penyuluhan Hukum.......... 9

    B. Metode Penyuluhan Hukum........... 22

    C. Metode Pendekatan................. 22

    D. Tata Laksana...................... 24

    BAB III : PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.... 25

    BAB IV : PENUTUP ....................... 41

    LAMPIRAN

  • - RANCANGAN PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAM RI

    TENTANG PENYULUHAN HUKUM

    - NOTA KESEPAKATAN ANTARA MENTERI HUKUM DAN HAM RI

    DENGAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PELAKSANAAN

    KEGIATAN PENYULUHAN HUKUM DAN PEMBINAAN PROGRAM

    LEGISLASI DAERAH

  • KATA PENGANTAR

    Sesuai penugasan Tim Penyusunan Pola Penyuluhan

    Hukum yang tercantum di dalam Keputusan Menteri Hukum

    dan HAM RI Nomor Nomor: G.44-PR.09.03 Tahun 2004

    Tanggal 21 Pebruari 2005 telah dilakukan penyusunan

    Rancangan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI tentang

    Pola Penyuluhan Hukum.

    Upaya Penyusunan Rancangan Peraturan Menteri

    Hukum dan HAM RI ini merupakan upaya yang kesekian

    kali sejak diprogramkan pembuatan Pola Penyuluhan

    Hukum dengan bentuk Peraturan Menteri tahun 2002.

    Berbagai kendala dialami Tim Penyusunan Pola antara

    lain Peraturan Perundang-undangan yaitu Undang-undang

    Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

    Perundang-undangan yang diacu sebagai cantolan pola

    yang akan dibuat menggunakan istilah lain dari istilah

    penyuluhan hukum. Kemudian Peraturan Presiden yang

    merupakan Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor

    10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

    undangan tak kunjung keluar. Namun dengan kendala-

    kendala itu upaya penyempurnaan pola tetap dilakukan.

  • Baru pada tahun 2005 ini setelah melalui

    pembahasan dan diskusi melalui 4 kali rapat Tim,

    Forum konsultasi dengan Kepala Kantor Wilayah dan

    Kepala Divisi Pelayanan Hukum Departemen Hukum dan HAM

    RI seluruh Indonesia, serta konsinyasi Tim Penyusunan

    Pola, Tim telah dapat menyelesaikan konsep

    Rancangan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI tentang

    Pola Penyuluhan Hukum dan konsep MOU antara Menteri

    Hukum dan HAM RI dengan Menteri Dalam Negeri.

    Laporan ini merupakan hasil akhir pembahasan dan

    diskusi dalam acara dimaksud diatas dari seluruh

    personil Tim, yang masih harus ditindaklanjuti, yaitu

    konsep Rancangan Menteri segera akan dikirim kepada

    Menteri Hukum dan Ham RI untuk dimintakan persetujuan

    dan konsep MOU akan ditindaklanjuti dengan mengundang

    pihak Departemen dalam Negeri untuk membahas MOU

    dimaksud.

    Jakarta, 21 Desember 2005

    Ketua Tim

    SRI BADINI, SH.,MH.

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Sampai tahun 2005 penyuluhan hukum masih

    berdasarkan Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor:

    M.05-PR.08.10 tahun 1988 tentang Pola Pemantapan

    Penyuluhan Hukum. Peraturan menteri ini merupakan

    pelaksanaan TAP MPR No. IV tahun 1988 yang berkaitan

    dengan penyuluhan hukum, berbunyi : Penyuluhan hukum

    perlu dimantapkan untuk mencapai kadar kesadaran hukum

    yang tinggi dalam masyarakat, sehingga setiap anggota

    masyarakat menyadari dan menghayati hak dan

    kewajibannya sebagai warga negara dalam rangka

    tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap

    harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman

    dan kepastian hukum serta terbentuknya perilaku setiap

    warga negara Indonesia yang taat hukum.

    Sebagaimana diketahui bahwa TAP MPR yang

    berkaitan dengan GBHN hanya berlaku 5 tahun, dengan

    demikian Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.05-

    PR.08.10 tahun 1988 tentang Pola Pemantapan Penyuluhan

    Hukum seharusnya hanya berlaku sampai tahun 1993, dan

  • selanjutnya harus diganti dengan pola baru berdasarkan

    arahan GBHN berikutnya setiap 5 tahun. TAP.MPR

    mengenai GBHN berikutnya yaitu tahun 1993, tahun 1998,

    tahun 1999 dan bahkan sampai munculnya arahan mengenai

    penyuluhan hukum dalam PERPRES nomor 7 tahun 2005

    tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

    Tahun 2004/2009, belum diikuti Pola Penyuluhan Hukum

    yang baru. Jadi selama 12 tahun dari tahun 1993 sampai

    tahun 2005 belum mempunyai pedoman penyuluhan hukum

    yang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Inilah

    kondisi yang merupakan kendala yang sangat urgen .

    Kondisi seperti tersebut diatas menimbulkan suatu

    pemikiran baru dimulai tahun 2002, yang pertama,

    mengapa Pola Penyuluhan Hukum mendasarkan dari

    peraturan perundang-undangan dari UUD dan Tap MPR

    (GBHN) kemudian dijabarkan dengan produk-produk

    Peraturan Menteri. Idealnya tentunya diatur dengan

    undang-undang atau setidak-tidaknya dengan Perpres.

    Yang kedua, program penyuluhan hukum dapat

    dikatakan berskala nasional yang melibatkan berbagai

    komponen yang ada seperti berbagai Departemen, Lembaga

    Pemerintah Non Departemen, Organisasi Kemasyarakatan,

    Perguruan Tinggi dan lain-lain sudah seyogyanya diatur

  • dengan peraturan-peraturan yang tingkatannya lebih

    tinggi.

    Pemikiran-pemikiran tersebut kemudian diambil

    langkah-langkah konkrit, pada tahun 2002 pada acara

    bimbingan teknis yang pesertanya terdiri dari para

    Kepala Bidang Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan

    Hak Asassi Manusia dan Kepala Bagian Hukum Pemda di

    seluruh Indonesia, diadakan konsultasi mengenai pola

    penyuluhan hukum yang telah ada. Dari konsultasi

    tersebut diperoleh suatu rekomendasi dari para peserta

    agar dibentuk pola penyuluhan hukum dengan peraturan

    perundang-undangan setingkat undang-undang atau

    serendah-rendahnya dengan Keppres. Langkah selanjutnya

    pada acara temu konsultasi yang diadakan BPHN pada

    bulan Mei 2003 di Bogor (Hotel Safari) yang

    pesertanya terdiri dari Kepala Kantor Wilayah

    Departemen Kehakiman dan HAM seluruh Indonesia, salah

    satu rekomendasinya adalah juga pembentukan Pola

    Penyuluhan Hukum dengan Undang-undang atau Keppres.

    Langkah-langkah tersebut diikuti dengan pembentukan

    tim pola penyuluhan hukum yang anggotanya terdiri dari

    Kepala Pusat dilingkungan BPHN ditambah seorang pakar

    dari perguruan tinggi. Langkah-langkah pembentukan tim

    tersebut ditingkatkan lebih konkrit pada bulan

  • Desember tahun 2003 dilakukan konsultasi kembali

    dengan anggota yang sama ditambah dengan mantan

    pejabat Pusat Penyuluhan Hukum, Pejabat dari Ditjen

    Peraturan perundang-undangan dan seorang pakar

    peraturan perundang-undangan. Hasilnya sangat konkrit

    diperoleh suatu rancangan Keppres Penyuluhan Hukum.

    Pada tahun 2004 pada saat konsep KEPPRES telah

    jadi, muncul Undang-undang Nomor 10 tahun 2004

    tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ( UU

    P.3 ) yang dalam salah satu pasalnya mengisyaratkan

    adanya suatu arahan tentang penyuluhan hukum yang

    lebih lanjut akan diatur dalam PERPRES tentang

    Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan

    Perundang-undangan. Dalam menyikapi hal tersebut BPHN

    telah membentuk Tim yang akan bekerja menyusun kembali

    pola penyuluhan hukum dengan bentuk Peraturan Menteri

    dengan mendasarkan pada kedua peraturan perundang-

    undangan yang ada.

    Karena itu Peraturan Menteri Kehakiman R.I Nomor:

    M.05-PR.07.08 Tahun 1988 Tentang Pola Pemantapan

    Penyuluhan Hukum perlu disempurnakan / diganti

    disesuaikan dengan 2 (dua) peraturan perundang-

    undangan tersebut diatas, disertai dengan Petunjuk

    Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis.

  • B. IDENTIFIKASI MASALAH

    Berdasarkan uraian latar belakang tersebut

    diatas, maka terdapat permasalahan-permasalahan

    yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:

    1. Tidak adanya pedoman penyuluhan hukum sebagai

    pelaksanaan Undang-undang Nomor 10 tahun 2004

    tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

    undangan.

    2. Pola pemantapan Penyuluhan Hukum sebagaimana

    ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kehakiman

    Republik Indonesia Nomor : M.05-PR.07.08 Tahun

    1988 sudah tertinggal dari perkembangan

    masyarakat.

    3. Instruksi-instruksi Menteri Kehakiman Republik

    Indonesia yang memuat materi Penyuluhan Hukum

    status hukumnya terlalu rendah.

    C. MAKSUD DAN TUJUAN

    Dengan adanya Pedoman Penyuluhan Hukum yang telah

    sesuai dengan perkembangan masyarakat, maka

    pelaksanaan kegiatan penyuluhan hukum lebih efektif

    sehingga tujuan penyuluhan hukum untuk menciptakan

  • kesadaran hukum dan mengembangkan budaya hukum dalam

    kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum

    akan tercapai.

    D. METODE KERJA

    1. Pertemuan tim untuk mendapatkan gagasan-

    gagasan dan membicarakannya dalam rangka

    perumusan Pedoman Penyuluhan Hukum.

    2. Pertemuan tim untuk merumuskan materi muatan

    Pedoman Penyuluhan Hukum secara sistematis.

    E. TAHAP PELAKSANAAN

    Tahap 1 : Pembuatan Proposal

    Tahap 2 : Pemandangan Umum

    Tahap 3 : Perumusan Materi Muatan

    Tahap 4 : Pengetikan

    Tahap 5 : Pengkoreksian

    Tahap 6 : Penyusunan Laporan Akhir.

    F. JANGKA WAKTU PELAKSANAAN

    Penyusunan Pedoman Penyuluhan Hukum dilaksanakan

    dalam jangka waktu satu tahun dari tanggal 2 Januari

    sampai dengan 31 Desember 2005.

    G. PERSONALIA TIM

  • Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi

    Manusia R.I. Nomor:G-44-PR.09.03 Tahun 2005 tentang

    Pembentukan Tim Penyusunan Pola Penyuluhan Hukum Tahun

    Anggaran 2005 tanggal 21 Pebruari 2005 , personalia

    tim terdiri dari :

    Ketua : SRI BADINI, S.H., M.H.

    Sekretaris: PUJIONO TRI WALUYO, S.H., M.H.

    Anggota :

    1. L. SUMARTINI, S.H.

    2. SRI HARININGSIH, S.H., M.H.

    3. ADJAB KHAN, S.H.

    4. ANIES SHAHAB, S.H.

    5. RR. YULIAWIRANTI, S.H., C.N.

    Asisten : 1. ELIS WIDYANINGSIH, S.H., C.N.

    2. IVO HETTY NOVITA, S.H.

    Pengetik : 1. SUKARI

    2. SUDARYADI,S.Ag.

    I. Jadwal Pelaksanaan

    No Waktu Kegiatan

    APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOV DES

    1 Penyusunan Proposal 2 Pengumpulan Bahan 3 Pembahasan 4 Penyusunan Lap Akhir 5 Penggandaan

  • BAB II

    TINJAUAN UMUM

    A. SEJARAH PENYULUHAN HUKUM

    Kegiatan penyuluhan hukum berlandaskan pada

    Undang-Undang Dasar 1945 dan mengikuti arahan yang

    ditetapkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara

    (GBHN) setiap tahun. Penjelasan Undang-Undang Dasar

    1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas

    hukum (rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan

    belaka (machtstaat). Pernyataan ini merupakan

    kesepakatan bangsa Indonesia melalui wakilnya yaitu

    pembuat Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada

    tanggal 18 Agustus 1945.

    Sudah pasti bahwa pernyataan tersebut bukan

    dimaksudkan sekedar sebagai slogan atau semboyan

    tertulis belaka, tetapi merupakan suatu kebulatan

    tekad yang harus diwujudkan menjadi kenyataan. Guna

  • mewujudkan pernyataan tersebut, pasal-pasal Undang-

    Undang Dasar 1945 telah memberikan ketentuan-ketentuan

    yang harus diterapkan, salah satu yang terpenting dan

    ada hubungannya dengan penyuluhan hukum adalah pasal

    27 ayat 1 yang menyatakan :

    Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam

    hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan

    pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya

    Ketentuan tersebut dengan tegas menetapkan tentang hak

    dan kewajiban terpenting bagi semua warga negara tanpa

    kecuali dalam negara hukum Indonesia yaitu :

    - Hak bersamaan kedudukannya dalam hukum dan

    pemerintahan

    - Kewajiban menjunjung Hukum dan Pemerintahan.

    Dari ketentuan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak negara kita merdeka, mengatur negara dan pemerintahan sendiri, bukan hanya diperlukan adanya jaminan terhadap hak kebersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan saja, akan tetapi harus disertai dengan kewajiban untuk menjunjung hukum dan pemerintahan itu tanpa kecuali bagi semua anggota masyarakat.

    Kata menjunjung mengandung arti yang luas

    yaitu meliputi menghormati, menjadikan sebagai pedoman

    bertingkah laku, melaksanakan, mematuhi dan mentaati

    sungguh-sungguh. Menjunjung hukum sangat erat

    kaitannya dengan kesadaran hukum, bahkan boleh

  • dikatakan bahwa kesadaran hukumlah yang mendorong

    seseorang itu untuk menjunjung hukum.

    Sementara itu, Garis-garis Besar Haluan Negara

    Tahun 1973 menyatakan perlunya memupuk kesadaran hukum

    dalam masyarakat. Arahan ini rupanya belum dapat

    menggerakkan suatu usaha nyata untuk melaksanakan

    pemupukan kesadaran hukum. Lima tahun kemudian Garis-

    garis Besar Haluan Negara Tahun 1978 menyatakan

    perlunya meningkatkan kesadaran hukum dalam

    masyarakat, sehingga menghayati hak dan kewajiban,

    diiringi suatu rumusan Asas Kesadaran Hukum yang

    menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia harus

    selalu sadar dan taat kepada hukum dan mewajibkan

    negara untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum.

    Asas Kesadaran Hukum tersebut yang merupakan salah

    satu Asas Pembangunan Nasional, telah memperkokoh

    ketentuan pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945

    yang berarti bahwa setiap gerak langkah dalam

    pembangunan di Indonesia harus ditopang oleh asas

    kesadaran hukum disamping asas pembangunan nasional

    lainnya. Berdasarkan arahan Garis-garis Besar Haluan

    Negara Tahun 1978 tersebut, maka pemerintah dalam hal

    ini Departemen Kehakiman yang sekarang menjadi

    Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mulai merintis

  • usaha untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat

    dengan cara melaksanakan penyuluhan hukum pada tahun

    1981. Kegiatan penyuluhan hukum ini merupakan bagian

    dari Badan Pembinaan Hukum Nasional dan bulan Maret

    1982 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen

    Kehakiman bekerjasama dengan Universitas Sebelas Maret

    di Surakarta menyelenggarakan suatu Lokakarya

    penyuluhan hukum membahas sebuah konsep Pola Dasar

    Penyuluhan Hukum.

    Pada tahun 1982 di Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM dibentuk wadah baru yaitu Pusat Penyuluhan Hukum ( berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 27 Tahun 1981) yang bertugas untuk merencanakan, mengelola dan melaksanakan penyuluhan hukum. Selanjutnya Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1983 menyatakan perlu meningkatkan penyuluhan hukum untuk mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat, sehingga setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajiban sebagai warga negara dalam rangka tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat, manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai Undang-undang Dasar 1945.

    Dari arahan Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1983 tersebut, dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Tujuan penyuluhan hukum adalah mencapai kadar kesadaran hukum yang

    tinggi dalam masyarakat; 2. Tercipta kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat apabila setiap

    anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara;

    3. Pencapaian kadar kesadaran hukum yang tinggi itu adalah dalam rangka tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, serta kepastian hukum sesuai Undang-undang Dasar 1945. Dengan adanya arahan tersebut, bukan saja tujuan penyuluhan hukum

    akan tetapi juga fungsi dan peranan penyuluhan hukum manjadi lebih jelas. Arahan Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1983 itu telah mendorong peningkatan kegiatan penyuluhan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, dan peningkatan kegiatan penyuluhan hukum tersebut adalah semata-mata menjadi tugas Departemen Hukum dan HAM saja akan tetapi merupakan tugas instansi pemerintah lainnya dan seluruh anggota masyarakat termasuk organisasi - organisasi kemasyarakatannya, yang dilakukan dengan penuh semangat.

  • Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.05-PR.07.10 Tahun 1984 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehakiman, Pusat Penyuluhan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional dipindahkan ke Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan menjadi Direktorat Penyuluhan Hukum yang telah ditimbang terimakan pada tanggal 11 Juni 1984.

    Meskipun Pusat Penyuluhan Hukum berubah nama menjadi Direktorat Penyuluhan Hukum, tetapi kegiatan penyuluhan hukum terus di tingkatkan pada tahap-tahap Pelita berikutnya, baik secara langsung yang melibatkan Departemen Kehakiman, Kejaksaan Agung, Jajaran ABRI, Kepolisian dan Perguruan Tinggi serta organisasi kemasyarakatan maupun secara tidak langsung melalui wakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga dalam kurun waktu lima tahun kemudian perlu dimantapkan. Pengesahan pernyataan perlunya penyuluhan hukum itu dimantapkan dituangkan dalam Garis-garis Besar haluan Negara Tahun 1988 yang menyatakan bahwa penyuluhan hukum perlu dimantapkan untuk mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat, sehingga setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara, dalam rangka tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman dan kepastian hukum serta terbentuknya perilaku setiap warga negara Indonesia yang taat pada hukum.

    Dengan adanya pengarahan Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1988, maka metode penyuluhan hukum yang tertuang dalam Pola Dasar Penyuluhan Hukum (Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.06.02 Tahun 1983) dan Pola Operasional Penyuluhan Hukum ( Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.10-UM.06.02 Tahun 1983) serta beberapa keputusan lainnya disesuaikan agar kegiatan penyuluhan hukum dapat dilaksanakan secara terpadu dengan berbagai pihak, baik instansi pemerintah maupun swasta dan perorangan.

    Sebagai langkah penyesuaian itu, dirintislah pencanangan Pembentukan Keluarga Sadar Hukum (KADARKUM) pada tanggal 1 Agustus 1988, sebagai wadah untuk menghimpun anggota masyarakat. Dengan adanya pencanangan ini dimaksudkan untuk memudahkan sistem pengawasan dan pelaporan. PUSKUMNAS dihapus, begitu juga Program Hakim masuk desa yang berakhir pada tahun anggaran 1989/1990, agar hakim dapat lebih memusatkan perhatiannya pada tugas yudisiil.

    Kemudian sebagai realisasi Pembentukan Keluarga Sadar Hukum ( Kadarkum ), Menteri Kehakiman RI pada Tanggal 6 Agustus 1988 mengeluarkan : 1. Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor M.05-PR.08.10 Tahun 1988 tentang

    Pola Pemantapan Penyuluhan Hukum;

    2. Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.05-PR.07.08 tahun 1988 tentang

    Pembentukan dan Pembinaan Keluarga Sadar Hukum ( KADARKUM).

  • Peraturan dan Keputusan Menteri Kehakiman RI tersebut dijadikan pedoman atau landasan bagi kegiatan penyuluhan hukum dan Program Keluarga Sadar Hukum di seluruh Indonesia.

    Pembinaan Keluarga Sadar Hukum dilaksanakan dengan Temu Sadar Hukum yang telah dilakukan di beberapa desa dan kota seluruh Indonesia dan menunjukan hasil yang baik sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesadaran hukum, maka kemudian Temu Sadar Hukum ini pelaksanaannya dianggap perlu untuk dimantapkan. Pemantapan pelaksanaan Temu Sadar Hukum tersebut dituangkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.04-UM.06.02 Tahun 1990 tanggal 13 Februari 1990.

    Dengan pemantapan penyuluhan hukum sebagaimana diarahkan Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1988, kadar kesadaran hukum masyarakat semakin meningkat, masyarakat menjadi kritis dan tanggap terhadap sesuatu yang ada hubungannya dengan hukum terutama mengenai hak dan kewajibannya. Lima tahun kemudian Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1993 mengarahkan bahwa kemampuan penyuluhan hukum dan keteladanan aparat hukum terus ditingkatkan agar tercapai kemantapan kadar kesadaran hukum masyarakat sehingga setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati secara serasi hak dan kewajibannya sebagai warga negara, serta terbentuknya perilaku warga negara Indonesia yang taat hukum . Selain itu dirumuskan pula asas hukum sebagai salah satu dari 9 (sembilan) asas Pembangunan Nasional yang menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan Pembangunan Nasional setiap warga negara harus taat pada hukum yang berintikan keadilan, serta negara diwajibkan untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum.

    Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1993 menyebutkan pula bahwa sasaran akhir pembangunan hukum dalam pembangunan jangka panjang tahap kedua adalah terwujudnya dan berfungsinya sistem hukum nasional secara mantap. Sehubungan dengan itu Menteri Kehakiman RI dalam kebijaksanaan perencanaan dan pembangunan hukum sebagai implementasi Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1993 dan antisipasi Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1998, antara lain menyatakan bahwa peningkatan penyuluhan hukum, kesadaran hukum masyarakat dan aparatur pemerintah, pembinaan wawasan kebangsaan dan P4 sebagai upaya pembinaan budaya hukum nasional.

    Dalam perkembangannya selanjutnya dalam hal penyelenggaraan ketatanegaraan terjadi reformasi dengan diganti kannya pemerintahan orde baru pada tahun 1998, secara relatif mendorong berbagai perubahan, yang pada hakekatnya ingin menegakkan sistem demokrasi dengan baik dinegara kita.

    Penyelenggaraan ketatanegaraan dalam era reformasi berlanjut dan kemudian diselenggarakan Sidang Istimewa Majelis Permuyawaratan Rakyat pada Tahun 1998 dan Pemilihan Umum Tahun 1999. Sidang Umum Majelis Permuyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum Tahun 1999 antara lain menghasilkan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, yang memberi arah bangsa dan negara Indonesia menuju Indonesia baru.

  • Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara ini disebutkan antara lain yang berkaitan dengan penyuluhan hukum di Bab IV , Arah Kebijakan yang dapat dikutip sebagai berikut : 1. Mengembangkan budaya hukum disemua lapisan masyarakat untuk

    terciptanya kesadaran hukum dan kepatuhan hukum dan tegaknya negara

    hukum.

    2. Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan

    perlindungan, penghormatan dan penegakan hak asasi manusia dalam

    seluruh aspek kehidupan.

    Selanjutnya disebutkan pula tentang menata sistem hukum nasional, menegakkan hukum secara konsisten, melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum, mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun, mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan ekonomi, menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka serta bebas Kolusi Korupsi dan Nepotisme dan menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak asasi manusia, yang belum ditangani secara tuntas.

    Sehubungan dengan hal tersebut diatas Menteri Kehakiman mengadakan penataan kembali fungsi-fungsi Departemen yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.03-PR.07.10 Tahun 1999 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehakiman, tanggal 26 Maret 1999, dimana Direktorat Penyuluhan Hukum dikembalikan lagi ke Badan Pembinaan Hukum Nasional menjadi Pusat Penyuluhan Hukum, yang sejak bulan Juni 1999 sudah pindah ke Badan Pembinaan Hukum Nasional dan mulai aktif melaksanakan kegiatan penyuluhan hukum.

    Kurang lebih setahun kemudian nama Departemen Kehakiman diganti menjadi Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Untuk menyesuaikan dengan nama Departemen Baru tersebut, maka Menteri Hukum dan Perundang-undangan mengeluarkan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor M.03-PR.07.10 Tahun 2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Hukum dan Perundang-undangan, tanggal 5 April 2000 dan Pusat Penyuluhan Hukum masih tetap berada di Badan Pembinaan Hukum Nasional. Perubahan nomenklatur selanjutnya bahwa Departemen Hukum dan Perundang-undangan diganti kembali menjadi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dan sekarang dimasa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono kembali berganti nama menjadi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta pola yang menjadi pedoman pelaksanaan penyuluhan hukum ialah Pola Pemantapan Penyuluhan Hukum (Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor M.05-PR.07.08 Tahun 1988) dan peraturan-peraturan lainnya yang merupakan

  • pengembangan dari Peraturan dan Keputusan tersebut diatas seperti yang mengatur tentang Kadarkum Binaan, Desa Binaan, Lomba Kadarkum, Ceramah Penyuluhan Hukum Terpadu dan Desa Sadar Hukum.

    B. METODE PENYULUHAN HUKUM

    Pelaksanaan penyuluhan hukum dapat dilaksanakan dengan berbagai cara atau metoda. Secara garis besar metoda penyuluhan hukum terbagi dua (2) yaitu :

    1. Penyuluhan Hukum Langsung adalah kegiatan penyuluhan hukum yang

    dilaksanakan secara langsung (penyuluh dan yang disuluh bertemu langsung dapat

    berdialog), metoda yang digunakan antara lain : ceramah, diskusi, sarasehan, temu

    wicara, peragaan, simulasi dan lain sebagainya.

    2. Penyuluhan Hukum Tidak Langsung adalah kegiatan

    penyuluhan hukum yang dilakukan secara tidak langsung

    yaitu penyuluh tidak berhadapan dengan yang disuluh

    melainkan melalui media atau perantara, misalnya melalui

    radio, televisi, video, pentas panggung, bahan bacaan dan

    lain sebagainya.

    C. METODE PENDEKATAN

    Sehubungan dengan beragamnya masyarakat yang

    harus disuluh, pelaksanaan penyuluhan hukum yang

    dilaksanakan selama ini menggunakan metode pendekatan

    yang disebut PEKA. Istilah pendekatan ini telah

    mempunyai definisi otentik dalam Peraturan Menteri

    Nomor. M.05-PR.08.10 Tahun 1988 yang mendefinisikan

    PEKA sebagai berikut:

  • - Persuasif artinya bahwa penyuluh hukum dalam

    melaksanakan tugasnya harus mampu meyakinkan

    masyarakat yang disuluh, sehingga mereka merasa

    tertarik dan menaruh perhatian serta minat terhadap

    hal-hal yang disampaikan oleh penyuluh.

    - Edukatif artinya bahwa penyuluh harus bersikap dan

    bertingkah laku sebagai pendidik yang dengan penuh

    kesabaran dan ketekunan membimbing masyarakat ke

    arah tujuan .

    - Komunikatif artinya bahwa penyuluh hukum harus mampu

    berkomunikasi dan menciptakan iklim serta suasana

    sedemikian rupa sehingga tercipta suatu pembicaraan

    yang bersikap akrab, terbuka dan timbal balik.

    - Akomodatif artinya bahwa dengan diajukannya

    permasalahan-permasalahan hukum oleh masyarakat,

    penyuluh hukum harus mampu mengakomodasikan,

    menampung dan memberikan jalan pemecahannya dengan

    bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami oleh

    masyarakat.

    D. TATA LAKSANA

    Tata laksana penyuluhan hukum meliputi

    perencanaan, pelaksanaan, laporan dan evaluasi. Adapun

  • pembagian tugas mengenai tata laksana adalah sebagai

    berikut :

    1. Perencanaan berupa penyusunan program tahunan

    dilakukan oleh:

    a. Pusat Penyuluhan Hukum Badan Pembinaan Hukum

    Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

    untuk program kegiatan penyuluhan hukum

    nasional;

    b. Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi

    Manusia untuk program kegiatan penyuluhan hukum

    di Propinsi dan Kabupaten/Kota;

    2. Pelaksanaan Penyuluhan Hukum

    a. Pelaksanaan penyuluhan hukum secara nasional dilakukan oleh Pusat

    Penyuluhan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan

    Hak Asasi Manusia bekerjasama dengan Lembaga Pemerintah, Organisasi

    Kemasyarakatan, Organisasi Profesi dan Lembaga Swasta di tingkat Pusat.

    Pelaksanaan penyuluhan hukum di Daerah Propinsi dilakukan oleh Kantor

    Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia bekerjasama dengan

    Lembaga Pemerintah di Daerah Propinsi (Pengadilan Tinggi, Pengadilan

    Tinggi Agama, Kantor Pemerintah Daerah Propinsi, Kejaksanaan Tinggi dan

    lain-lain) dan Organisasi Kemasyarakatan, Organisasi Profesi serta

    Lembaga Swasta.

    b. Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia melaporkan

    pelaksanaan kegiatan penyuluhan hukum dengan pertanggung jawaban

    keuangan yang dibuat oleh Pemimpin Proyek Penyuluhan Hukum pada Kantor

    Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada Kepala Pusat

  • Penyuluhan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan

    Hak Asasi Manusia untuk tiap triwulan dan satu tahun anggaran.

    Kepala Pusat Penyuluhan Hukum melaporkan pelaksanaan kegiatan

    penyuluhan hukum beserta pertanggungjawaban keuangannya yang dibuat

    oleh Pemimpin Proyek Penyuluhan Hukum pada Pusat Penyuluhan Hukum

    kepada Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional tiap triwulan dan satu

    tahun anggaran.

    Sedang laporan administrasi proyek tetap dibuat oleh Pemimpin Proyek

    sesuai dengan peraturan yang berlaku.

    c. Setiap akhir tahun anggaran Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan

    Hak Asasi Manusia membuat evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan dan

    pencapaian tujuan penyuluhan hukum untuk bersama laporan tahunan

    dikirim kepada Pusat Penyuluhan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional

    Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kemudian Kepala Pusat

    Penyuluhan Hukum membuat evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan dan

    pencapaian tujuan penyuluhan hukum bersama laporan tahunan disampaikan

    kepada Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional.

  • BAB III

    PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

    Peraturan perundang-undangan nasional yang

    mengatur penyuluhan hukum cukup banyak namun tersebar.

    Dari berbagai ketentuan tersebut khususnya yang

    mengatur pelaksanaan penyuluhan hukum pada Departemen

    Kehakiman (Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia)

    tidak ada ketentuan setingkat Undang-undang, sebagian

    terbesar setingkat dengan peraturan/keputusan menteri

    bahkan yang lebih rendah dari itu misalnya berupa

    instruksi menteri.

    Berikut ini berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang penyuluhan hukum berdasarkan kronologis dan hierarkhis: 1. Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa "segala

    warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum

    dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan

    pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya"

    sebagai pelengkap penjelasan UUD 1945 menyatakan

    lebih lanjut bahwa "negara Indonesia berdasar

    atas hukum (rechstaat) dan tidak berdasar atas

    kekuasaan belaka (Machtstaat)". Dengan ketentuan

    tersebut jelas bahwa setiap warga mempunyai

  • kedudukan yang sama di depan hukum dan untuk

    membuat hal tersebut, maka kewajiban semua pihak

    terutama pemerintah untuk menciptakan upaya agar

    rakyat sadar akan hak dan kewajibannya.

    2. Tap MPR Nomor.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara

    (GBHN).

    GBHN menyatakan bahwa arah kebijakan bidang hukum adalah

    mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya

    kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya

    negara hukum. Adanya arahan GBHN yang menginginkan tumbuhnya budaya hukum

    dalam masyarakat, salah satunya melalui penyuluhan hukum. Oleh karena itu

    peranan penyuluhan hukum dalam mewujudkan hal tersebut sangat besar dan

    penting.

    3. Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor M.05-PR.08.10 Tahun 1988 tentang

    Pola Pemantapan Penyuluhan Hukum.

    Dalam peraturan menteri ini diatur berbagai

    ketentuan mengenai penyuluhan hukum pada Pusat

    Penyuluhan Hukum Departemen Kehakiman sejak

    tenaga penyuluh hukum, tata laksana, metoda

    penyuluhan hukum dan lain sebagainya.

    4. Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.05-PR.07.08 Tahun 1988 tentang

    Pembentukan dan Pembinaan Keluarga Sadar Hukum.

  • Keputusan menteri ini mengatur mengenai cara

    bagaimana keluarga sadar hukum dibentuk dan

    siapa-siapa saja yang dapat membentuk keluarga

    sadar hukum (KADARKUM). KADARKUM merupakan wadah

    bagi anggota masyarakat yang dengan kemauan

    sendiri berusaha untuk meningkatkan kesadaran

    akan hak dan kewajibannya di bidang hukum. Awal

    pencanangan KADARKUM dilaksanakan pada tanggal 1

    Agustus 1988.

    5. Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.04-UM.06.02 Tahun 1990 tentang

    Pemantapan Pelaksanaan Temu Sadar Hukum.

    Pembinaan KADARKUM dilaksanakan melalui Temu

    Sadar Hukum yang sebelumnya telah dilakukan baik

    di beberapa daerah. Untuk pemantapan temu sadar

    hukum yang ada maka dibuatlah Keputusan Menteri

    Kehakiman tersebut.

    6. Instruksi Menteri Kehakiman RI Nomor M.04-PR.07.08 Tahun 1994 tentang

    Kadarkum Binaan.

    Sebagai bagian dari pembinaan kadarkum, maka

    dibentuk kadarkum binaan yang anggotanya dipilih

    dari orang-orang yang telah mengikuti kadarkum

  • dengan tujuan membina atau menjadi motor bagi

    pembinaan kadarkum yang ada di daerah tersebut.

    7. Instruksi Menteri Kehakiman RI Nomor M.05.07.08 Tahun 1994 tentang

    Pembinaan Desa Sadar Hukum.

    Sebagai ukuran keberhasilan pelaksanaan

    penyuluhan hukum adalah diakuinya suatu desa

    sebagai Desa Sadar Hukum. Dalam Instruksi Menteri

    tersebut ditetapkan kriteria-kriteria suatu desa

    diakui sebagai desa sadar hukum yaitu :

    a) Pelunasan kewajiban membayar Pajak Bumi dan

    Bangunan mencapai 90 % (sembilan puluh persen)

    atau lebih;

    b) Tidak terdapatnya perkawinan di bawah usia

    berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

    tentang Perkawinan;

    c) Tidak adanya tindak pidana kriminalitas.

    8. Instruksi Menteri Kehakiman RI Nomor M.16-UM.06.01 Tahun 1994 tentang

    Ceramah Penyuluhan Hukum Terpadu.

    Pelaksanaan penyuluhan hukum pada Departemen

    Kehakiman dilakukan bukan hanya oleh

    Pusat/Direktorat Penyuluhan Hukum, akan tetapi

  • dilaksanakan pula oleh Kantor Wilayah Departemen

    Kehakiman di daerah, agar tercipta keterpaduan

    dalam pelaksanaan penyuluhan hukum di pusat dan

    daerah maka intruksi tersebut dibuat.

    9. Instruksi Menteri Kehakiman RI Nomor M.34-UM.06.02 Tahun 1994 tentang

    Lomba Kadarkum.

    Sebagai rangsangan agar kadarkum yang ada di

    berbagai pelosok daerah terus meningkatkan

    pengetahuannya dibidang hukum, maka

    dilaksanakanlah lomba kadarkum. Pelaksanaan lomba

    kadarkum dimulai sejak tingkat kecamatan yang

    diikuti oleh kadarkum desa hingga lomba kadarkum

    tingkat nasional.

    10. Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.03-PR.07.10 Tahun 1999 tentang

    Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehakiman RI.

    Salah satu ketentuan keputusan menteri

    tersebut adalah mengembalikan Pusat Penyuluhan

    Hukum dari Direktorat Jenderal Hukum dan

    Perundang-undangan ke Badan Pembinaan Hukum

    Nasional.

  • 11. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor M.03-PR.07.10

    Tahun 2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Hukum dan Perundang-

    Undangan tanggal 5-4-2000.

    Melalui keputusan menteri tersebut keberadaan Pusat Penyuluhan Hukum

    pada Badan Pembinaan Hukum Nasional tetap dipertahankan sehingga Keputusan

    Menteri Kehakiman Nomor. M.04-PR.07.10 Tahun 2004 tentang Organisasi dan

    Tata Kerja Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

    Selama keberadaan Pusat Penyuluhan Hukum di Badan

    Pembinaan Hukum Nasional, terus dilakukan

    penyempurnaan peraturan Perundang-undangan yang

    mengatur tentang penyuluhan hukum. Fokus perubahan

    peraturan perundang-undangan dimaksud adalah yang

    mengatur tentang pola penyuluhan hukum. Harapan dari

    Tim Penyusunan Pola Penyuluhan Hukum adalah adanya

    pola penyuluhan hukum dengan produk peraturan diatas

    peraturan Menteri. Setelah melalui beberapa kali

    perubahan dalam beberapa tahun anggaran, pada tahun

    2004 Tim Penyusunan Pola Penyuluhan Hukum Badan

    Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI

    telah selesai menyusun pola penyuluhan hukum dengan

    bentuk Rancangan Peraturan Presiden dan Rancangan

  • Peraturan Menteri. Pada tahun 2004 juga Rancangan

    Peraturan Presiden diajukan ke Sekretariat Negara.

    Ternyata konsep rancangan Peraturan Presiden

    tersebut ditolak dan usaha-usaha pembuatan Peraturan

    Presiden dihentikan, tinggal konsep Rancangan

    Peraturan Menteri tentang penyuluhan hukum.

    Menginjak tahun 2005 konsep Rancangan Peraturan

    Menteri kembali beberapa kali disempurnakan.

    Penyempurnaan ini mengacu pada Undang-undang Nomor 10

    tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

    undangan. Dalam penyempurnaan ini Tim menghadapi

    kendala-kendala, yaitu :

    1. Mengenai peristilahan pasal yang diacu dalam

    Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 digunakan

    istilah penyebarluasan Peraturan Perundang-

    undangan, sedangkan konsep pola yang dibuat Tim

    menggunakan istilah penyuluhan hukum ;

    2. Pada waktu penyusunan konsep Rancangan

    Peraturan Menteri, Peraturan Presiden yang

    merupakan peraturan pelaksanaan Undang-undang

    Nomor 10 tahun 2004 belum keluar.

    Walaupun menghadapi kendala-kendala itu, Tim

    Penyusunan Pola Penyuluhan Hukum yang terdiri dari

  • unsur BPHN, Pakar Peraturan Perundang-undangan dan

    dari Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan,

    terus berupaya menyempurnakan konsep Rancangan

    Peraturan Menteri tersebut. Dalam tahun 2005, kegiatan

    penyempurnaan pola penyuluhan hukum dimaksud melalui

    4 kali rapat /pertemuan Tim Penyusunan Pola

    Penyuluhan Hukum, 1 kali temu konsultasi dengan

    Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Divisi Pelayanan

    Hukum Dep. Hukum dan HAM RI seluruh Indonesia, dan 1

    kali konsinyasi Tim Pola Penyuluhan Hukum ditambah

    Pakar dan Kepala-kepala Pusat dilingkungan Badan

    Pembinaan Hukum Nasional. Kegiatan-kegiatan

    penyempurnaan pola penyuluhan hukum dimaksud secara

    kronologis adalah sebagai berikut :

    I. Rapat I (pertama) Tim Penyusunan Pola

    Penyuluhan Hukum, diadakan pada hari Senin 11

    April 2005 diruang rapat H Lantai IV BPHN

    dimulai pukul 10.00 sampai dengan 12.00 Wib.

    Dalam rapat diputuskan :

    1) Bahwa setelah keluarnya Pengadilan Negeri dari

    sistem pembinaan organisasi, administrasi dan

    keuangan dari Departemen Hukum dan HAM RI sesuai

    dengan Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang

    Kekuasaan Kehakiman, maka perlu dicari alternatif

  • pengganti sebagai pelaksana penyuluhan hukum di

    Kabupaten/Kota. Rapat memutuskan pelaksanaan

    diarahkan bekerjasama pemerintah Kabupaten/Kota

    sambil menunggu pola penyuluhan hukum yang baru.

    BPHN akan membuat surat edaran pelaksanaan

    penyuluhan hukum di Kabupaten/ Kota dimaksud.

    2) Dalam rapat timbul suatu wacana untuk membuat

    Memorandum Of Understanding (Nota kesepakatan)

    dengan Menteri Dalam Negeri.

    II. Rapat II (kedua) Tim Penyusunan Pola Penyuluhan

    Hukum, diadakan pada hari Senin 11 Juli 2005 di

    ruang rapat H lantai IV BPHN, dimulai pukul 13.00

    sampai dengan 15.00 Wib.

    Dalam rapat diputuskan :

    Rapat masih membahas masalah pelaksanaan penyuluhan

    hukum di Kabupaten/Kota.

    Hasil dari pembahasan ini diakomidir dalam pasal-

    pasal, yaitu dengan menambah pasal 47 yang

    dikembangkan menjadi pasal 47 , 48 dan 49.

    III. Forum Konsultasi dengan Kepala Kantor Wilayah dan

    Kepala Divisi Pelayanan Hukum seluruh Indonesia,

  • diadakan pada tanggal 28 sampai dengan 31 Juni

    2005 di Hotel Safari Garden Cisarua Bogor.

    Dari hasil Forum Konsultasi ini merekomendasikan

    sebagai berikut :

    1) Merubah rumusan tujuan Penyuluhan Hukum dalam

    pasal 2;

    2) Merubah rumusan pasal 3 tentang Materi

    Penyuluhan Hukum ;

    3) Merubah rumusan pasal 52 tentang laporan yang

    dibuat Kepala Kantor Wilayah

    4) Merubah kriteria Desa Sadar Hukum yang selama

    ini dibuat BPHN ;

    5) Mengusulkan pasal-pasal baru mengenai

    pendelegasian Peraturan Pelaksanaan ;

    6) Mengusulkan penunjukan pengganti Pembina Kadarkum

    yang selama ini dilaksanakan Pengadilan Negeri ;

    7) Mengusulkan dibuat MOU antara Menteri Hukum dan

    HAM RI dengan Menteri dalam Negeri .

    IV. Rapat III (ketiga) Tim Penyusunan Pola

    Penyusunan Hukum, diadakan pada hari Jumat 28

    Oktober 2005 di ruang rapat H lantai IV

  • BPHN, dimulai pukul 13.00- sampai dengan 15.00

    Wib.

    Dalam rapat diputuskan :

    1) Merumuskan kembali pasal-pasal dalam Pola

    Penyuluhan Hukum sesuai dengan rekomendasi dalam

    Forum Konsultasi dengan kanwil Dep.Hukum dan HAM

    RI dan Kepala Divisi Hukum Seluruh Indonesia,

    sepanjang rekomendasi itu dapat dituangkan dalam

    pasal-pasal Pola Penyuluhan Hukum. Sedangkan yang

    tidak dapat dituangkan dalam Pola Penyuluhan

    Hukum akan dituangkan dalam Juklak atau Juknis

    Pola Penyuluhan Hukum itu.

    2) Membahas masalah Draft Rancangan Peraturan

    Presiden Tentang Pengesahan, Pengundangan dan

    Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan yang

    tidak mencantumkan kata Penyuluhan Hukum, hal ini

    menyulitkan Penyuluhan Hukum dalam mencari

    cantolan untuk Peraturan Menteri Tentang Pola

    Penyuluhan Hukum yang akan dikeluarkan. Dalam

    rapat ini belum diputuskan solusinya dan

    direncanakan akan dibahas dalam konsinyasi yang

    akan dilaksanakan pada bulan Nopember 2005 dengan

    mengundang pejabat dari Direktorat Peraturan

    Perundang-undangan.

  • 3) Merencanakan pembuatan konsep MOU dengan Mendagri

    yang akan dibahas dalam konsinyasi.

    V. Konsinyasi Tim Penyusunan Pola Penyuluhan Hukum,

    diadakan pada tanggal 14 sampai dengan 16 Nopember

    2005 di Hotel Ciloto Puncak. Acara dalam konsinyasi

    tersebut adalah menghaluskan / menyempurnakan

    dengan merumuskan kembali pasal-pasal yang telah

    dirumuskan pada rapat-rapat terdahulu, dengan

    merubah, mengurangi atau menambah. Acara kedua

    adalah membahas MOU yang telah direncanakan pada

    rapat ke III Tim Penyusunan Pola. Hasilnya telah

    terbentuk konsep MOU dimaksud.

    VI. Rapat IV (keempat) Tim Penyusunan Pola Penyuluhan

    Hukum, diadakan pada hari Jumat tanggal 16 Desember

    2005 di ruang rapat G Lantai IV BPHN dimulai pukul

    13.00-15.00 Wib.

    Dalam rapat diputuskan :

    1) Menyusun konsideran mengingat, disusun

    berdasarkan urutan keluarnya peraturan perundang-

    undangan dan hierarkhie tingkatan peraturan

    perundang-undangan.

  • 2) Rumusan pengertian bantuan hukum diambil

    berdasarkan Orta Kantor Wilayah Departemen Hukum

    Dan Hak Asasi Manusia RI.

    3) Menambah redaksi pasal 58.

    4) Merencanakan pertemuan dengan Depdagri dalam

    rangka pembuatan MOU.

  • BAB IV

    PENUTUP

    Dari rangkaian upaya-upaya penyempurnaan Pola

    Penyuluhan Hukum, rapat tim, Temu Konsultasi dengan

    Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Divisi Pelayanan

    Hukum Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi

    Manusia RI Seluruh Indonesia, serta konsinyasi Tim

    Penyusunan Pola Penyuluhan Hukum, maka pada tahun 2005

    Tim Penyusunan Pola Penyuluhan Hukum telah

    menyelesaikan :

    1. Rancangan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI

    tentang Pola Penyuluhan Hukum, yang diharapkan

    dapat diproses lebih lanjut menjadi Peraturan

    Menteri yang sudah definitif. Rancangan Peraturan

    Menteri ini untuk beberapa substansi masih

    diperlukan petunjuk pelaksanaannya maupun

    petunjuk teknisnya.

    2. Rancangan MOU antara Menteri Hukum dan HAM RI

    dengan Menteri Dalam Negeri tentang kerjasama

    pelaksanaan penyuluhan hukum. MOU ini masih

    diperlukan proses lebih lanjut sebelum

    persetujuan Menteri juga dilanjutkan pertemuan-

    pertemuan dengan pihak Departemen Dalam Negeri.

  • Rancangan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI

    tentang Pola Penyuluhan Hukum segera akan dikirim

    kepada Menteri untuk diperiksa dan mohon

    persetujuannya. Sedangkan konsep MOU antara Menteri

    Hukum dan HAM RI dengan Menteri Dalam Negeri masih

    memerlukan proses yaitu mengundang pihak Departemen

    Dalam Negeri untuk membicarakan konsep MOU dimaksud.

  • DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

    REPUBLIK INDONESIA

    PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

    REPUBLIK INDONESIA

    NOMOR ... TAHUN

    TENTANG POLA PENYULUHAN HUKUM

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

    MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

    Menimbang : a. bahwa dalam rangka mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat agar dapat tercipta kesadaran dan kepatuhan hukum demi tegaknya supremasi hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu dilakukan penyuluhan hukum secara nasional;

    b. bahwa agar pelaksanaan penyuluhan hukum secara nasional dapat berjalan secara tertib, terarah, dan terpadu, perlu didasarkan pada Pola Penyuluhan Hukum;

    c. bahwa Peraturan Menteri Kehakiman Nomor : M.05-PR.08.10 Tahun 1988 tentang Pola Pemantapan Penyuluhan Hukum yang selama ini berlaku, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat oleh karena itu perlu dicabut dan diganti yang baru;

    d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c perlu ditetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tentang Pola Penyuluhan Hukum;

    Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor

  • 8; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358);

    2. Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

    3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);

    4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);

    5. Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 2004 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen;

    6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Bersatu.

    7. Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I Nomor M.04-PR.07.10 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

    MEMUTUSKAN :

    Menetapkan : PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA TENTANG POLA PENYULUHAN HUKUM.

    BAB I

    KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

  • Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Penyuluhan Hukum adalah salah satu kegiatan penyebarluasan

    informasi dan pemahaman terhadap norma hukum dan peraturan perundangundangan yang berlaku guna mewujudkan dan mengembangkan kesadaran hukum masyarakat sehingga tercipta budaya hukum dalam bentuk tertib dan taat atau patuh terhadap norma hukum dan peraturan perundangundangan yang berlaku demi tegaknya supremasi hukum.

    2. Kesadaran Hukum Masyarakat adalah nilai yang hidup dalam masyarakat dalam bentuk pemahaman dan ketaatan atau kepatuhan masyarakat terhadap norma hukum dan peraturan perundang - undangan yang berlaku.

    3. Penyuluhan Hukum Terpadu adalah kegiatan Penyuluhan Hukum yang diselenggarakan oleh berbagai instansi pemerintah dan swasta serta Organisasi Kemasyarakatan secara bersama-sama dan terpadu mengenai penyuluh, sasaran, dan/atau materi penyuluhan.

    4. Metode Penyuluhan Hukum adalah cara penyampaian informasi hukum dari penyuluh hukum kepada sasaran penyuluhan hukum.

    5. Pusat adalah wilayah penyuluhan hukum di Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang sasaran penyuluhannya di luar kewenangan administratif Pemerintah Daerah tersebut.

    6. Keluarga Sadar Hukum yang selanjutnya disingkat Kadarkum adalah wadah yang berfungsi menghimpun warga masyarakat yang dengan kemauannya sendiri berusaha untuk meningkatkan kesadaran hukum bagi dirinya.

    7. Kadarkum Binaan adalah Kadarkum yang berperan menggerakkan, membimbing, dan menjadi teladan bagi

  • Kadarkum lainnya.

    8. Desa Binaan atau Kelurahan Binaan adalah desa atau kelurahan yang dipilih untuk dibina menjadi Desa Sadar Hukum atau Kelurahan Sadar Hukum.

    9. Desa Sadar Hukum atau Kelurahan Sadar Hukum adalah desa atau kelurahan yang telah dibina atau karena swakarsa dan swadaya, memenuhi kriteria sebagai Desa Sadar Hukum dan Kelurahan Sadar Hukum.

    10. Temu Sadar Hukum adalah pertemuan berkala antara para anggota dalam satu Kadarkum atau antara Kadarkum yang satu dengan Kadarkum lainnya atau antara Kadarkum yang satu dengan kelompok lain yang ada dalam masyarakat, dengan melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesadaran hukum bagi mereka.

    11. Lomba Kadarkum adalah suatu sarana untuk memilih kelompok Kadarkum yang berprestasi dalam pemahaman hukum.

    12. Konsultasi Hukum adalah pemberian pelayanan jasa hukum berupa nasihat, penjelasan, informasi atau petunjuk kepada anggota masyarakat yang mempunyai permasalahan hukum untuk memecahkan masalah yang dihadapinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    13. Bantuan hukum adalah pelayanan jasa pemberian bantuan hukum melalui penasehat hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Universitas atau Lembaga-lembaga Bantuan Hukum lainnya untuk membela perkara masyarakat yang kurang mampu yang ingin memperoleh keadilan di pengadilan.

    14. Anubhawa Sasana Desa dan Anubhawa Sasana Kelurahan adalah penghargaan Pemerintah kepada daerah yang mempunyai Desa

  • Sadar Hukum atau Kelurahan Sadar Hukum.

    15. Pembinaan adalah suatu upaya peningkatan kualitas bagi tenaga penyuluh, kelompok sasaran penyuluhan hukum dan materi penyuluhan hukum.

    BAB II TUJUAN PENYULUHAN HUKUM

    Pasal 2

    Penyuluhan Hukum diselenggarakan dengan tujuan mewujudkan kesadaran hukum masyarakat yang lebih baik sehingga setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan mewujudkan budaya hukum dalam sikap dan perilaku yang sadar, patuh, dan taat terhadap hukum serta menghormati hak asasi manusia.

    BAB III MATERI PENYULUHAN HUKUM

    Pasal 3

    Materi hukum yang disuluhkan meliputi peraturan perundang-undangan tingkat Pusat dan Daerah dan norma hukum.

    Pasal 4

  • Materi hukum yang disuluhkan ditentukan berdasarkan hasil evaluasi, peta permasalahan hukum, kepentingan negara, dan kebutuhan masyarakat.

    Pasal 5

    (1) Setiap tahun ditetapkan prioritas peraturan perundang-undangan dan norma hukum yang dijadikan bahan pokok materi Penyuluhan Hukum.

    (2) Penentuan prioritas materi Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada pertimbangan hasil evaluasi, peta permasalahan hukum, kepentingan negara, dan kebutuhan masyarakat.

    (3) Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional dapat menetapkan Prioritas materi penyuluhan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

    Pasal 6

    Materi Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat berbentuk : a. naskah untuk ceramah, diskusi, simulasi, pentas panggung, dialog

    interaktif dan wawancara radio; b. skenario untuk sandiwara, sinetron, fragmen dan film; c. kalimat dan desain grafis untuk spanduk, poster, brosur, leaflet,

    filler, tellop, running text, booklet dan billboard; d. artikel untuk surat kabar dan majalah; e. permasalahan hukum yang secara spontan timbul dalam kegiatan

    Temu Sadar Hukum atau Lomba Kadarkum.

    BAB IV METODE DAN SASARAN PENYULUHAN HUKUM

    Pasal 7

    (1) Penyuluhan Hukum diselenggarakan dengan metode:

  • a. Penyuluhan Hukum langsung; b. Penyuluhan Hukum tidak langsung;

    (2) Penyuluhan Hukum langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan cara bertatap muka secara langsung antara penyuluh dan yang disuluh.

    (3) Penyuluhan Hukum tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Penyuluhan Hukum yang dilakukan melalui media elektronik dan media cetak.

    Pasal 8

    Penyuluhan Hukum langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) dapat dilakukan secara terpadu dengan berbagai instansi dan/atau organisasi kemasyarakatan yang terkait baik mengenai penyelenggaraannya, materi yang disuluhkan, maupun sasaran yang disuluh.

    Pasal 9

    Metode Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilaksanakan dengan pendekatan: a. persuasif yakni penyuluh hukum dalam melaksanakan

    tugasnya harus mampu meyakinkan masyarakat yang disuluh, sehingga mereka merasa tertarik dan menaruh perhatian serta minat terhadap hal-hal yang disampaikan oleh penyuluh;

    b. edukatif yakni penyuluh hukum harus bersikap dan berperilaku sebagai pendidik yang dengan penuh kesabaran dan ketekunan membimbing masyarakat yang disuluh ke arah tujuan penyuluhan hukum;

    c. komunikatif yakni penyuluh hukum harus mampu berkomunikasi dan menciptakan iklim serta suasana sedemikian rupa sehingga tercipta suatu pembicaraan yang bersifat akrab, terbuka dan timbal balik; dan

  • d. akomodatif yakni penyuluh hukum harus mampu mengakomodasikan, menampung dan memberikan jalan pemecahannya dengan bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang diajukan oleh masyarakat.

    Pasal 10

    Sasaran Penyuluhan Hukum meliputi seluruh lapisan masyarakat, termasuk penyelenggara negara.

    BAB V

    PELAKSANAAN PENYULUHAN HUKUM

    Pasal 11

    Penyuluhan Hukum dilakukan oleh tenaga fungsional penyuluh hukum dan/atau orang yang mempunyai pengetahuan dan keahlian di bidang hukum dan mampu menyampaikan informasi atau penjelasan tentang materi yang disuluhkan, secara jelas dan benar, kepada masyarakat yang disuluh.

    Pasal 12

    Pelaksanaan penyuluhan hukum di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, dikoordinasikan oleh Pusat Penyuluhan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional.

    Pasal 13

    (1) Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam melaksanakan penyuluhan hukum dapat melakukan kerja sama dengan

  • instansi terkait atau organisasi kemasyarakatan di tingkat pusat.

    (2) Bentuk kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dituangkan dalam peraturan bersama, kesepakatan bersama atau instrumen hukum lainnya.

    Pasal 14

    (1) Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) dapat diselenggarakan dalam bentuk : a. ceramah; b. diskusi; c. temu sadar hukum; d. pameran; e. simulasi; f. lomba kadarkum; g. konsultasi hukum; h. bantuan hukum; dan/atau i. dalam bentuk lain.

    (2) Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (3) dapat diselenggarakan dalam bentuk : a. dialog interaktif; b. wawancara radio; c. pentas panggung; d. sandiwara; e. sinetron; f. fragmen; g. film; h. spanduk; i. poster; j. brosur; k. leaflet; l. booklet; m. billboard;

  • n. surat kabar; o. majalah; p. running text; q. filler; dan/atau r. dalam bentuk lain.

    Pasal 15

    Penyuluhan Hukum dalam bentuk ceramah diselenggarakan untuk memberikan penjelasan tentang materi hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 3.

    Pasal 16

    (1) Penyuluhan Hukum dalam bentuk diskusi diselenggarakan untuk pendalaman materi hukum tertentu yang disuluhkan.

    (2) Dalam diskusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak sebagai panelis adalah tenaga ahli sesuai dengan bidangnya.

    Pasal 17

    (1) Penyuluhan Hukum dalam bentuk Temu Sadar Hukum diselenggarakan untuk membina Kadarkum, Kadarkum Binaan, Desa Binaan atau Kelurahan Binaan, Desa Sadar Hukum atau Kelurahan Sadar Hukum, dan kelompok masyarakat lainnya;

    (2) Temu Sadar Hukum diselenggarakan di tempat yang terbuka untuk umum.

    (3) Dalam pelaksanaan Temu Sadar Hukum harus ada narasumber dan pemandu.

    Pasal 18

  • Penyuluhan Hukum dalam bentuk simulasi diselenggarakan untuk membina Kadarkum, Kadarkum Binaan, Desa Sadar Hukum, Kelurahan Sadar Hukum dan kelompok masyarakat lainnya melalui kegiatan yang menggunakan alat peraga.

    Pasal 19

    Penyuluhan hukum dalam bentuk pameran diselenggarakan untuk memamerkan hasil kegiatan penyuluhan hukum dan mempromosikan instansi yang melakukan penyuluhan hukum, baik melalui panel, foto, grafik, buku, leaflet, brosur, booklet, maupun audio-visual.

    Pasal 20

    (1) Penyuluhan Hukum dalam bentuk Lomba Kadarkum diselenggarakan untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan Penyuluhan Hukum yang telah dilaksanakan.

    (2) Lomba Kadarkum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan di tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, pusat, dan/atau di tingkat nasional.

    Pasal 21

    (1) Lomba Kadarkum tingkat kecamatan diikuti oleh peserta dari desa atau nama lain yang setingkat atau kelurahan yang ada di wilayah kecamatan tersebut.

  • (2) Lomba Kadarkum tingkat kabupaten/kota diikuti oleh pemenang pertama Lomba Kadarkum tingkat kecamatan yang ada di wilayah kabupaten/kota tersebut.

    (3) Lomba Kadarkum tingkat provinsi diikuti pemenang pertama Lomba Kadarkum tingkat kabupaten/kota yang ada di wilayah provinsi tersebut.

    (4) Lomba Kadarkum tingkat pusat diikuti oleh Kadarkum wakil dari instansi/organisasi tingkat pusat.

    (5) Lomba Kadarkum tingkat nasional diikuti pemenang pertama Lomba Kadarkum tingkat provinsi dan pemenang pertama Lomba Kadarkum tingkat pusat.

    Pasal 22

    (1) Penyelenggaraan Lomba Kadarkum tingkat kecamatan, kabupaten/kota dan/atau tingkat provinsi dilaksanakan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia bekerjasama dengan instansi lainnya di daerah setempat.

    (2) Penyelenggaraan Lomba Kadarkum tingkat pusat dan tingkat nasional dilaksanakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

    Pasal 23

    (1) Penyuluhan Hukum dalam bentuk konsultasi dan bantuan hukum diberikan kepada anggota masyarakat yang membutuhkan untuk permasalahan hukum yang dihadapi.

    (2) Konsultasi dan bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan tanpa dipungut biaya.

  • Pasal 24

    Konsultasi dan bantuan hukum diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

    Pasal 25

    Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam melaksanakan konsultasi dan/atau bantuan hukum dapat melakukan kerjasama dengan fakultas hukum perguruan tinggi dan lembaga bantuan hukum.

    Pasal 26

    Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilaksanakan berdasarkan perjanjian kerjasama.

    Pasal 27

    Setiap anggota masyarakat yang membutuhkan konsultasi dan bantuan hukum, dapat menghubungi Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia atau fakultas hukum yang telah melakukan kerja sama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

  • Pasal 28

    Penyuluhan Hukum yang dilakukan melalui media elektronik dapat dilaksanakan bekerja sama dengan stasiun televisi, radio, penyedia layanan internet, dan/atau media elektronik lainnya.

    Pasal 29

    Penyuluhan Hukum yang dilakukan melalui media cetak dapat dilaksanakan bekerja sama dengan perusahaan di bidang media cetak.

    BAB VI

    KADARKUM

    Pasal 30

    (1) Kadarkum dapat dibentuk di pusat dan di daerah.

    (2) Setiap anggota masyarakat dapat menjadi anggota Kadarkum.

    (3) Setiap Kadarkum mempunyai anggota sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang.

    Pasal 31

  • (1) Pembentukan Kadarkum tingkat pusat ditetapkan dengan Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

    (2) Pembentukan Kadarkum di daerah ditentukan sebagai berikut: a. di provinsi dengan keputusan gubernur;

    b. di kabupaten/kota dengan keputusan bupati/walikota; atas usul Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan

    Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

    Pasal 32

    Untuk menggerakkan, membina, dan menjadi teladan bagi Kadarkum lainnya, di setiap kabupaten/kota, provinsi atau di pusat dapat dibentuk Kadarkum Binaan.

    Pasal 33

    (1) Pembentukan Kadarkum Binaan di pusat ditetapkan dengan Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

    (2) Pembentukan Kadarkum Binaan di daerah ditentukan sebagai berikut:

    a. di provinsi dengan keputusan gubernur; b. di kabupaten/kota dengan keputusan bupati/walikota; atas usul Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan

    Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

    Pasal 34

    (1) Anggota Kadarkum Binaan di pusat sekurang-kurangnya berjumlah 25 (dua puluh lima) orang anggota tetap dan

  • terdaftar pada Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

    (2) Anggota Kadarkum Binaan di provinsi dan kabupaten / kota sekurang-kurangnya berjumlah 25 (dua puluh lima) orang anggota tetap dan terdaftar pada Pemerintah Daerah dan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

    BAB VII DESA BINAAN ATAU KELURAHAN BINAAN

    DAN DESA SADAR HUKUM ATAU KELURAHAN SADAR

    HUKUM

    Pasal 35

    (1) Camat dapat mengusulkan kepada bupati/walikota agar suatu desa atau kelurahan yang telah mempunyai Kadarkum dapat ditetapkan menjadi Desa Binaan atau Kelurahan Binaan.

    (2) Desa Binaan atau Kelurahan Binaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati / Walikota atas usul Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

    Pasal 36

    (1) Desa Binaan atau Kelurahan Binaan dapat ditetapkan menjadi Desa Sadar Hukum atau Kelurahan Sadar Hukum jika diusulkan oleh bupati/walikota yang membawahi wilayah desa atau kelurahan yang bersangkutan setelah desa atau kelurahan tersebut memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional.

  • (2) Desa Sadar Hukum atau Kelurahan Sadar Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur atas usul Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

    (3) Penetapan Desa Sadar Hukum atau Kelurahan Sadar Hukum dapat ditinjau kembali jika di kemudian hari tidak memenuhi lagi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

    Pasal 37

    (1) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia memberikan penghargaan Anubhawa Sasana Desa atau Anubhawa Sasana Kelurahan kepada gubernur, bupati/walikota, camat, dan kepala desa atau lurah, yang desanya atau kelurahannya ditetapkan sebagai Desa Sadar Hukum atau Kelurahan Sadar Hukum.

    (2) Penghargaan Anubhawa Sasana Desa atau Anubhawa Sasana Kelurahan yang diberikan kepada gubernur, bupati/walikota dalam bentuk piagam.

    (3) Penghargaan Anubhawa Sasana Desa atau Anubhawa Sasana Kelurahan yang diberikan kepada camat dan kepala desa atau lurah dalam bentuk medali.

    (4) Tanda penghargaan lainnya disediakan oleh Pemerintah Daerah yang mempunyai Desa Sadar Hukum atau Kelurahan Sadar Hukum.

    BAB VIII

    PEMBINAAN PENYULUHAN HUKUM

    Pasal 38

  • (1) Pembinaan Penyuluhan Hukum dilakukan terhadap penyuluh hukum dan sasaran penyuluhan hukum atau materi penyuluhan hukum.

    (2) Dalam melakukan pembinaan penyuluhan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional dapat membentuk tim ahli sesuai dengan bidang keahliannya.

    Pasal 39

    (1) Pembinaan terhadap penyuluh hukum dilakukan dengan cara menyelenggarakan bimbingan teknis Penyuluhan Hukum.

    (2) Bimbingan teknis Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan di tingkat nasional, pusat, dan daerah.

    Pasal 40

    (1) Bimbingan teknis Penyuluhan Hukum tingkat nasional dan pusat diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

    (2) Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam menyelenggarakan bimbingan teknis Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen, Perguruan Tinggi dan Organisasi Kemasyarakatan.

    Pasal 41

    (1) Bimbingan teknis Penyuluhan Hukum tingkat daerah diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

  • (2) Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam menyelenggarakan bimbingan teknis penyuluhan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerjasama dengan instansi terkait, perguruan tinggi dan organisasi kemasyarakatan.

    Pasal 42

    Bimbingan teknis Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 dilaksanakan berdasarkan kurikulum yang di tetapkan dengan Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

    Pasal 43

    Pembinaan terhadap kelompok sasaran penyuluhan hukum ditujukan kepada Kadarkum, Kadarkum Binaan, Desa Binaan atau Kelurahan Binaan, dan Desa Sadar Hukum atau Kelurahan Sadar Hukum yang dilakukan dalam bentuk kegiatan Temu Sadar Hukum.

    Pasal 44

    (1)Pembinaan terhadap kelompok sasaran penyuluhan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 di tingkat pusat

  • dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

    (2) Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen, Perguruan Tinggi, dan Organisasi Kemasyarakatan.

    Pasal 45

    (1) Pembinaan terhadap kelompok sasaran penyuluhan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 di tingkat daerah dilakukan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

    (2) Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan Instansi terkait, Perguruan Tinggi, dan Organisasi Kemasyarakatan.

    BAB IX

    TATA LAKSANA PENYULUHAN HUKUM

    Pasal 46

    Tata laksana Penyuluhan Hukum meliputi penyusunan program,

    pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan laporan.

    Pasal 47

  • (1) Program Penyuluhan Hukum tingkat nasional dan tingkat pusat disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

    (2) Program Penyuluhan Hukum tingkat provinsi dan kabupaten/kota disusun oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

    Pasal 48

    (1) Penyuluhan Hukum di tingkat nasional dan tingkat pusat dilaksanakan dan dikoordinasikan secara terpadu oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

    (2) Pelaksanaan Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerjasama dengan instansi terkait dan atau Organisasi Kemasyarakatan.

    Pasal 49

    (1) Penyuluhan hukum di provinsi dilaksanakan dan dikoordinasikan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

    (2) Pelaksanaan Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerjasama dengan instansi terkait dan atau Organisasi Kemasyarakatan.

    Pasal 50

    (1) Penyuluhan Hukum di Kabupaten/ Kota dilaksanakan dan dikoordinasikan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum

  • dan Hak Asasi manusia.

    (2) Pelaksanaan Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerjasama dengan instansi terkait dan organisasi kemasyarakatan di daerah setempat.

    Pasal 51

    (1) Pemantauan Penyuluhan Hukum dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pelaksanaan program penyuluhan hukum

    yang telah ditetapkan.

    (2) Pusat Penyuluhan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak

    Asasi Manusia melakukan pemantauan

    terhadap kegiatan penyuluhan hukum yang

    dilaksanakan di tingkat Nasional, pusat

    dan provinsi.

    (3) Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia melakukan pemantauan

    terhadap kegiatan penyuluhan hukum yang

    dilaksanakan di kabupaten/kota.

    Pasal 52

    (1) Evaluasi penyuluhan hukum dilakukan untuk mengetahui perkembangan,

  • keberhasilan dan permasalahan

    pelaksanaan Penyuluhan Hukum.

    (2) Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia setiap akhir tahun membuat laporan hasil evaluasi pelaksanaan penyuluhan hukum untuk disampaikan kepada Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

    (3) Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional setiap akhir tahun membuat laporan hasil evaluasi pelaksanaan penyuluhan hukum untuk disampaikan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

    Pasal 53

    (1) Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia wajib menyampaikan laporan pelaksanaan

    Penyuluhan Hukum di Provinsi dan

    Kabupaten/kota kepada Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen

    Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan

    tembusan kepada Gubernur dan

    Bupati/Wali kota.

    (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap triwulan, tengah tahun, dan akhir tahun anggaran.

  • (3) Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

    setiap akhir tahun anggaran

    menyampaikan laporan pelaksanaan

    penyuluhan hukum Pusat dan Daerah

    kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi

    Manusia.

    Pasal 54

    Bentuk dan materi laporan evaluasi pelaksanaan Penyuluhan Hukum ditetapkan dengan Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional.

    BAB X

    BIAYA

    Pasal 55

    Seluruh biaya yang diperlukan untuk

    pelaksanaan Penyuluhan Hukum dibebankan

    kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

    Pasal 56

    Biaya pelaksanaan Penyuluhan Hukum selain

    berasal dari anggaran sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 55, juga dimungkinkan bantuan pihak ketiga yang tidak mengikat.

  • BAB XI

    KETENTUAN PERALIHAN

    Pasal 57

    Kadarkum, Kadarkum Binaan, Desa Binaan dan

    Desa Sadar Hukum yang telah terbentuk

    sebelum berlakunya Peraturan Menteri Hukum

    dan Hak Asasi Manusia ini dinyatakan tetap

    sebagai Kadarkum, Kadarkum Binaan, Desa

    Binaan dan Desa Sadar Hukum, sepanjang masih memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam

    Peraturan Menteri ini beserta dalam

    peraturan pelaksanaannya.

    BAB XII

    KETENTUAN PENUTUP

    Pasal 58

    Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku, Peraturan Menteri Kehakiman Nomor : M.05-PR.08.10 Tahun 1988 tentang Pola Pemantapan Penyuluhan Hukum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

    Pasal 59

    Peraturan Pelaksanaan atas Peraturan Menteri

    Kehakiman Nomor : M.05-PR.08.10 Tahun 1988

  • tentang Pola Pemantapan Penyuluhan Hukum

    tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Peraturan

    Menteri ini.

    Pasal 60

    Ketentuan lebih lanjut mengenai hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal

    17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 22, Pasal 23,

    Pasal 24, Pasal 30, Pasal 35, Pasal 36,

    Pasal 37, dan Pasal 39 diatur dengan

    Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum

    Nasional.

    Pasal 61 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada

    tanggal ditetapkan.

    Ditetapkan di Jakarta pada tanggal

    MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

    HAMID AWALUDDIN

  • NOTA KESEPAKATAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

    DENGAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

    TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN PENYULUHAN HUKUM DAN

    PEMBINAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH Nomor : ------------------------

    Pada hari ini . Tanggal . Bulan tahun yang bertanda tangan di bawah ini :

    1. Nama : HAMID AWALUDDIN Jabatan : Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

    Indonesia, Alamat : Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,

    Jalan HR Rasuna Said Kav. 6-7 Jakarta Selatan,

    yang selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA

    2. Nama : MOHAMMAD MARUF Jabatan : Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Alamat : Departemen Dalam Negeri RI

    Jalan Medan Merdeka Utara No. 7 Jakarta Pusat,

    yang selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA

    Kedua belah pihak telah sepakat melakukan kerjasama dalam kegiatan Penyuluhan Hukum dan dalam Penyusunan serta Pengelolaan Program Legislasi Daerah dengan ketentuan sebagai berikut :

    BAB I

    PENYULUHAN HUKUM

    Pasal 1

    PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA sepakat melakukan kerjasama dalam kegiatan penyuluhan hukum yang diselenggarakan di Provinsi dan Kabupaten/Kota.

  • Pasal 2

    Penyuluhan hukum di Provinsi dan Kabupaten/Kota dikoordinasikan oleh kantor wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

    Pasal 3

    (1) Penyuluhan hukum di Provinsi dan Kabupaten/Kota dilaksanakan secara terpadu dengan Pemerintah Daerah

    (2) Pelaksanaan Penyuluhan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan kerjasama dengan Instansi terkait, Perguruan Tinggi, Organisasi Kemasyarakatan.

    Pasal 4

    Pelaksanaan Penyuluhan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor .. Tahun..tentang Pola Penyuluhan Hukum.

    Pasal 5

    Pelaksanaan lebih lanjut Nota Kesepakatan ini diatur dalam perjanjian tersendiri antara Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Gubernur dan/atau Bupati/Walikota.

    BAB II

    PROGRAM LEGISLASI DAERAH

    Pasal 6

    PIHAK PERTAMA melalui Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia membantu dalam penyusunan dan pengelolaan program legislasi daerah.

  • Pasal 7

    Bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat berupa Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi mengenai program legislasi daerah.

    Pasal 8

    Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah di Provinsi dan Kabupaten/Kota dikoordinasikan oleh masing-masing Pemerintah Daerah.

    Pasal 9

    Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 dapat mengikutsertakan praktisi, akademisi, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, dan/atau anggota masyarakat yang memiliki keahlian di bidang tertentu sesuai dengan materi yang diatur.

    Pasal 10

    Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

    Pasal 11

    Pelaksanaan lebih lanjut Nota Kesepakatan ini diatur dalam perjanjian tersendiri antara Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Gubernur dan/atau Bupati/Walikota.

  • BAB III PEMBIAYAAN

    Pasal 12

    Pembiayaan kerjasama mengenai pelaksanaan Penyuluhan Hukum dan Penyusunan serta Pengelolaan Program Legislasi Daerah dibebankan pada DIPA Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan DIPA Pemerintah Daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota.

    BAB IV KETENTUAN PENUTUP

    Pasal 12

    Nota Kesepakatan ini mulai berlaku sejak ditandatangani oleh kedua belah pihak.

    Jakarta, .

    MENTERI DALAM NEGERI MENTERI HUKUM DAN HAM RI

    MOHAMMAD MARUF HAMID AWALUDDIN