Penyimpangan Prosedur Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Kerja Konsolidasi Tanah
Transcript of Penyimpangan Prosedur Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Kerja Konsolidasi Tanah
5/16/2018 Penyimpangan Prosedur Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Kerja Konsolidasi Tan...
http://slidepdf.com/reader/full/penyimpangan-prosedur-tahapan-pelaksanaan-kegiatan-kerja-kon
PENYIMPANGAN PROSEDUR TAHAPAN PELAKSANAAN KEGIATAN KERJA KONSOLIDASI TANAH
(Studi Kasus dalam Pelaksanaan Konsolidasi Tanah di Kota Pematang Siantar Provinsi Sumatra Utara)
Kasus Posisi
Lidya Boru Siahaan, dkk mendalilkan bahwa dalam rangka proyek Land-consolidation, tanahnya berkurang
seluas 11.141 M2 atau 20,27 % (persen). Pengurangan areal ini seharusnya dipergunakan untuk saranaumum/jalan ternyata oleh Kantor Pertanahan Kota Pematang Siantar diberikan kepada orang lain tanpa
sepengetahuan Lidya Boru Siahaan, dkk. Areal milik orang lain yang ditambahkan kedalam sertifikat hak milik
atas nama Lidya Boru Siahaan, dkk adalah areal dengan keadaan tidak baik (rendahan), sedang areal Lidya
Boru Siahaan, dkk yang diberikan kepada orang lain adalah areal yang baik. Hal ini jelas merugikan Lidya Boru
Siahaan, dkk dan proses tersebut dilaksanakan Kantor Pertanahan Kota Pematang Siantar tanpa musyawarah
dengan Lidya Boru Siahaan, dkk. Pada tanggal 24 Agustus 1992 sertifikat hak atas tanah tersebut terbit, Lidya
Boru Siahaan, dkk tidak dapat menerimanya dan menyatakan keberatan kepada Kantor Pertanahan Kota
Pematang Siantar. Obyek sengketa adalah tanah yang terletak di areal Siantar Estate Blok 26 afd.Sumarito
Desa Bah Kapul Kecamatan Siantar dengan jumlah keseluruhan 43.835 M2, sertipikat nomor 837, 838, 846,
847, 1023, 1024
Berdasarkan hal-hal di atas, Lidya Boru Siahaan, dkk menuntut kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Medan
untuk membatalkan Surat Keputusan tergugat yaitu sertifikat hak milik tanah masing-masing Nomor M. 837,Nomor M. 838, Nomor M. 846, Nomor M. 847, Nomor M. 1023, Nomor M. 1024. Atas nama Wahasan
Manurung, Lidya Br.Siahaan, Indira Manurung.
Pertimbangan hukum Peradilan Tata Usaha Negara Medan bahwa berdasar ketentuan yang terdapat dalam
Tata Cara Kerja Tahap II, bahwa selain pernyataan ikut serta dalam konsolidasi tanah tersebut diperlukan pula
pernyataan kesepakatan desain tata ruang. Bahwa dari ketentuan tersebut di atas ternyata pihak Kantor
Pertanahan Kota Pematang Siantar baik dalam menyusun pra desain maupun desain tata ruang tidak pernah
memanggil Lidya Boru Siahaan dkk untuk mengadakan musyawarah. Pertimbangan hukum tersebut menjadi
dasar bagi hakim PTUN Medan untuk mengadili Kantor Pertanahan Kota Pematang Siantar untuk menyatakan
batal hak milik yang dibuat di atas tanah Lidya Boru Siahaan dkk.
Analisis Kasus Berdasarkan kasus posisi diatas dapat dianalisis dari beberapa aspek penting berkaitan dengan konsolidasi
tanah sebagai berikut :
1. Dalam konsolidasi tanah terdapat apa yang disebut dengan sumbangan tanah untuk pembangunan (STUP),
yaitu bagian dari obyek konsolidasi tanah yang disediakan untuk pembangunan prasarana jalan dan fasilitas
umum lainnya, serta untuk tanah pengganti biaya pelaksanaan. Dalam kasus konsolidasi tanah di Kota
Pematang Siantar tersebut jelas bahwa tanah seluas 11.141 M2 atau 20,27 % (persen) yang merupakan
pengurangan areal milik Lidya Boru Siahaan dkk ini yang seharusnya dipergunakan untuk sarana umum/jalan,
dengan kata lain pengurangan tanah tersebut seharusnya merupakan STUP (sumbangan tanah untuk
pembangunan) karena tanah tersebut merupakan bagian dari obyek konsolidasi tanah yang disediakan untuk
pembangunan prasarana jalan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Peraturan Kepala BPN Nomor 4
tahun 1991, bahwa para peserta konsolidasi menyerahkan sebagian tanahnya sebagai STUP yang akan
digunakan untuk pembangunan prasarana jalan dan fasilitas umum lainnya dan pembiayaan pelaksanaan
konsolidasi tanah. Sedangkan besarnya STUP tersebut ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama peserta
konsolidasi tanah dengan mengacu pada rencana tata ruang daerah. Di Indonesia biasanya ditetapkan antara
15%-30%, jadi jika dalam kasus tersebut besarnya Pengurangan STUP 20,27% adalah sudah benar. Apabila
dalam kasus tersebut ternyata tanah tersebut oleh pihak pengelola konsolidasi tanah (kantor pertanahan Kota
Pematang Siantar) justru diberikan kepada orang lain tanpa persetujuan dari pihak yang dikurangi tanahnya
maka itu merupakan bentuk penyimpangan pelaksanaan konsolidasi tanah, namun apabila hal tersebut
dianggap penyimpangan/pelanggaran oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sehingga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, dasar pengujinya adalah pelanggaran atas asas kepercayaan (het
5/16/2018 Penyimpangan Prosedur Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Kerja Konsolidasi Tan...
http://slidepdf.com/reader/full/penyimpangan-prosedur-tahapan-pelaksanaan-kegiatan-kerja-kon
vertrouwens beginsel), asas kejujuran atau asas permainan yang layak (fair play) dari AUPB dalam
pelaksanaan konsolidasi tanah. Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundang-
undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijaksanaan seperti Surat Edaran Kepala Badan
Pertanahan Nasional tanggal 7 Desember 1991 Nomor 410-4245 perihal Petunjuk Pelaksanaan Konsolidasi
Tanah, yang merupakan peraturan kebijaksanaan. Suatu peraturan kebijaksanaan tidak dapat diuji secara
wetmatigheid, karena memang tidak akan ada dasar peraturan perundang-undangan untuk keputusan
membuat peraturan kebijaksanaanNamun disisi lain harus dicermati bahwa dalam kasus tersebut telah ada penandatanganan persetujuan/
kesepakatan/pelepasan hak atas tanah dalam konsolidasi tanah oleh pemilik tanah (Lidya Boru Siahaan dkk).
Peristiwa itu diartikan telah ada kesepakatan dalam perjanjian antara Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
(Kota Pematang Siantar) dan pemilik tanah (Lidya Boru Siahaan dkk). Dengan kata lain pemilik tanah
setuju/sepakat untuk melepaskan hak atas tanahnya untuk ditata dalam konsolidasi tanah. Konsekwensi
penataan adalah adanya pergeseran lokasi tanah karena keperluan fasilitas umum dan fasilitas social.
Penandatanganan persetujuan/ kesepakatan/pelepasan hak atas tanah dalam konsolidasi tanah oleh pemilik
tanah berarti telah ada musyawarah tentang desain konsolidasi tanah kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
Dengan kata lain tidak akan ada penandatanganan persetujuan/kesepakatan apabila pemilik tanah tidak atau
belum ada kesepakatan. Pemilik tanah mempunyai hak untuk menerima atau menolak sama sekali (take it or
leave it) konsolidasi tanah.
2. Prosedur penerbitan sertipikat hak atas tanah dalam konsolidasi tanahTahapan pertama yang dilakukan Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota setelah dikeluarkannya Keputusan
Bupati/Walikota tentang Penetapan Lokasi Pelaksanaan Konsolidasi Tanah adalah:
1. Mengidentifikasi (pendataan) Subyek dan Obyek;
2. Pengukuran dan Pemetaan Keliling;
3. Pengukuran dan Pemetaan Rincikan;
4. Pengukuran Topografi dan Pemetaan Penggunaan Tanah;
5. Pembuatan Desain Konsolidasi Tanah (DKT);
Setelah prosedur (tahapan pertama) selesai, Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota mengajukan permohonan
penegasan obyek konsolidasi tanah kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi setempat
dengan melampirkan : (a) Surat Keputusan Bupati/Walikota tentang Penetapan Lokasi Konsolidasi Tanah; (b)
Pernyataan/ Persetujuan pemilik tanah mengenai kesediaannya ikut serta dalam konsolidasi tanah; (c) Daftar
peserta dan luas tanahnya; (d) Peta situasi lokasi konsolidasi tanah; (e) Peta penggunaan tanah; (f) PetaRencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota; (g) Peta keliling; (h) Peta rincikan (sebelum
konsolidasi tanah); (i) Desain konsolidasi tanah; (j) Perhitungan rencana luas dan peruntukan tanah; (k)
Keterangan riwayat tanah yang ditandatangani Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. (l) Surat
keterangan pendaftaran tanah.
Dikeluarkannya Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi tentang
Penegasan Tanah Sebagai Obyek Konsolidasi Tanah, langkah prosedur tahapan kedua adalah:
1. Staking out/Realokasi;
2. Pembuatan Desain Konsolidasi Tanah (DKT); adalah untuk merencanakan penataan tanah setelah
dikurangi STUP.
3. Musyawarah Tentang DKT; dimusyawarahkan dengan peserta Konsolidasi Tanah dengan dijelaskan : (a)
perubahan bentuk, luas dan kemungkinan terjadinya penggeseran sebagai akibat dari realokasi kaveling
setelah luas tanahnya dikurangi STUP. (b) kemungkinan pembongkaran bangunan atau tanaman yang telahada sebagai akibat penggeseran.
4. Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah; adalah untuk menjadikan status tanah menjadi tanah yang dikuasai
negara, sehingga pemerintah dapat menata kembali penguasaan tanah dan penggunaan sesuai hasil
musyawarah dengan para peserta Konsolidasi Tanah. Surat Pernyataan Pelepasan Hak/ Penguasaan fisik
tanah ditandatangani oleh yang bersangkutan dihadapan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
5. Konstruksi; adalah pekerjaan teknis fisik yang meliputi penggalian parit untuk pembentukan badan jalan,
pengerasan, sarana/fasilitas umum dan lainnya. Pekerjaan konstruksi ini dilaksanakan mengacu kepada
desain konsolidasi tanah.
5/16/2018 Penyimpangan Prosedur Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Kerja Konsolidasi Tan...
http://slidepdf.com/reader/full/penyimpangan-prosedur-tahapan-pelaksanaan-kegiatan-kerja-kon
6. Pengelolaan Tanah Pengganti Biaya Pelaksanaan (TPBP); dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota. Tanah tersebut merupakan sumbangan dari pemilik tanah atau peserta konsolidasi tanah
yang telah diserahkan pengelolaannya kepada negara melalui pelepasan hak untuk membiayai pelaksanaan
konsolidasi tanah.
7. Penerbitan Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah;
8. Sertifikasi.
Berkaitan dengan kasus sengketa konsolidasi di Kota Pematang Siantar tersebut, dapat ditarik unsur-unsursebagai berikut :
1. Pertama, bahwa tanah yang terletak di lokasi konsolidasi tanah adalah tanah milik penggugat yang dalam
rangka Land-consolidation tanahnya dikurangi sesuai perjanjian yang telah disepakati.
2. Kedua, bahwa dalam proses desain konsolidasi tanah proses tersebut dilaksanakan Kantor Pertanahan
Kota Pematang Siantar tanpa musyawarah dengan pihak Lidya Boru Siahaan, dkk.
Namun apabila kita lihat dari prosedur yang ada, dalam kasus tersebut telah sampai pada sertifikat yang
dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kota Pematang Siantar, dengan demikian dapat dikatakan bahwa
penerbitan sertifikat tersebut telah melalui serangkaian prosedur yang ada. Sertifikat tidak akan dapat
dikeluarkan jika terdapat salah satu dari rangkaian prosedur diatas tidak dipenuhi. Hal tersebut erat kaitannya
dengan analisis no. 1 tentang kaitannya dengan kesepakatan yang telah ditandatangani oleh pemilik tanah.
Jika tidak ada kesepakatan yang ditandatangani maka tahap selanjutnya tidak akan dapat dilaksanakan.
Dalam kasus tersebut saya menilai bahwa pihak Lidya Boru Siahaan, dkk kurang mencermati adanyakesepakatan yang telah mereka tandatangani tersebut. Apa yang dilakukan pihak Kantor Pertanahan Kota
Pematang Siantar tersebut merupakan bagian dari konsekuensi yang harus diterima oleh pihak Lidya Boru
Siahaan, dkk karena telah sepakat menyerahkan sebagian tanahnya kepada Pemerintah melalui konsolidasi
tanah tersebut. Hanya saja kembali lagi pada analisis no 1 bahwa apabila Kantor Pertanahan Kota Pematang
siantar dianggap menyimpang dalam hal ini maka hanya dapat kenakan pelanggaran atas asas kepercayaan
(het vertrouwens beginsel), asas kejujuran atau asas permainan yang layak (fair play) dari AUPB dalam
pelaksanaan konsolidasi tanah.
Oleh :
Tri Eka Hermawati (Fak.Hukum Universitas Sebelas Maret)
http://cacaunslaw.blogspot.com/2011/04/penyimpangan-prosedur-tahapan.html
5/16/2018 Penyimpangan Prosedur Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Kerja Konsolidasi Tan...
http://slidepdf.com/reader/full/penyimpangan-prosedur-tahapan-pelaksanaan-kegiatan-kerja-kon
http://syahyuti.wordpress.com/
http://www.perhepi.org/images/stories/publikasi/agroekonomika_april05/saptana.pdf