PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL...

113
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL E- COMMERCE MELALUI ARBITRASE Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh: TATAK EKO YULIANTO NIM. E0006238 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

Transcript of PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL...

Page 1: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

i  

PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL E-

COMMERCE MELALUI ARBITRASE

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh:

TATAK EKO YULIANTO

NIM. E0006238

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011

Page 2: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

   

ii  

Page 3: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

   

iii  

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL

E-COMMERCE MELALUI ARBITRASE

oleh :

Tatak Eko Yulianto NIM. E 0006238

Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari : Rabu

Tanggal : 20 Juli 2011

DEWAN PENGUJI

1.Yudho Taruno M, S.H, M.Hum : ...........................

NIP. 19770107 200501 1 001 Ketua

2.Djuwityastuti, S.H., M.H. : ...........................

NIP. 19540511 198003 2 001 Sekretaris

3.Munawar Kholil, S.H., M.Hum : ...........................

NIP. 19681017 199403 1 003 Anggota

Mengetahui :

Dekan,

Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih S.H., M.Hum. NIP. 19570203 198503 2 001

Page 4: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

   

iv  

PERNYATAAN

Nama : Tatak Eko Yulianto

NIM : E0006238

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi)

berjudul : ”PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS

INTERNASIONAL MENGGUNAKAN E-COMMERCE MELALUI

ARBITRASE”adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya

saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan

dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya

tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa

pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari

penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, Mei 2011 yang membuat pernyataan

TatakEkoYulianto NIM. E0006238

Page 5: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

   

v  

ABSTRAK

TatakEkoYulianto, E0006238. PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL E-COMMERCE MELALUI ARBITRASE. FakultasHukumUniversitasSebelasMaret Surakarta. 2011.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce melalui arbitrase yaitu mengenai dasar pengaturan yang digunakan dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis e-commerce melalui arbitrase dan ketentuan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif untuk menemukan jawaban atas isu hukum mengenai penyelesaian sengketa transaksi bisnis e-commerce melalui arbitrase. Pendekatan penelitian yang digunakan meliputi pendekatan undang-undang. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa studi kepustakaan untuk selanjutnya dianalisis dengan teknik silogisme dan interpretasi.

Hasil penelitian diperoleh bahwa dalam pengaturan penyelesaian sengketa transaksi bisnis e-commerce di Indonesia menggunakan beberapa prinsip yang diatur dalam peraturan Perundang-undangan yaitu, prinsip kesepakatan para pihak yang terdapat dalamPasal 4 ayat (1) Undang-Undang APS, prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UU ITE, prinsip kebebasan memilih hukum yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (2) UU ITE dan Pasal 56 ayat (2) UU APS, prinsip itikad baik terdapat dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (3), prinsip pengedepanan penyelesaian sengketa menggunakan Hukum Nasional terdapat dalam Pasal 2 UU ITE. Hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnise-commerce melalui arbitrase, dalam UU ITE pada dasarnya dikembalikan pada kebebasan para pihak dan jika para pihak tidak menentukan maka hukum yang berlaku dikembalikan ke asas-asas Hukum Perdata Internasional. Mengenai putusan arbitrase asing di Indonesia sepenuhnyadiaturdalamUndang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dimana putusan tersebut harus didaftarkan kePengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Kata kunci: penyelesaiansengketabisnisinternasional, e-commerce,arbitrase

Page 6: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

   

vi  

ABSTRACT Tatak Eko Yulianto, E0006238. DISPUTE SETTLEMENT OF TRANSACTION INTERNATIONAL BUSINESS E-COMMERCE THROUGH ARBITRATION. Faculty of Law University of Surakarta Eleven March. 2011.

This study aims to find the dispute settlemen transaction internasional business e-commerce trough arbitration about the principles used in dispute resolution business transactions using e-commerce, laws that apply in the dispute resolution business e-commerce transactions with arbitration and enforcement of foreign arbitration in Indonesia.

This research is a normative laws that are prescriptive to find answers to legal issues regarding dispute resolution business e-commerce transactions through arbitration.The approach used in this research include law approach. Type of data used are secondary data. Secondary data sources used include the primary legal materials, secondary legal materials and legal materials tertiary. Data collection techniques being used are literature studies were subsequently analyzed by syllogism technique and interpretation.

The results showed that in international business transactions using e-commerce in Indonesia there are some principles concerning the settlement of disputes arbitrationnamely, the principle agreement of the parties in Article 4 clause (1) of Act APS, the principle of freedom to choose the ways of dispute resolution in Article 18 clause (4) of Act ITE, the principle of freedom of choice of law in Article 18 clause (2) of Act APS and Article 56 clause (2) of the Act APS,the principle of good faith inCivil Code Section 1338 subsection (3), the principle preposing settlement of disputes using the National Lawinparties contained in Article 2 of Act ITE. Applicable law in dispute settlement business e-commerce transactions through arbitration, in the of Act ITE basically returned to the freedom of the parties and if the parties do not specify the applicable law is returned to the principles of Private International Law. Applicable law in e-commerce transactions is the law of the seller and this is in line with the theory of the Most Characteristic Connection, where the law of the seller assumed to have the most distinctive achievement (characteristics). Regarding the foreign award is fully regulated in of Actno. 30 of 1999 in which the decision shall be registered with the Central Jakarta District Court. Keywords: international business disput resolution, e-commerce, arbitration

Page 7: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

   

vii  

HALAMAN MOTTO

Ketahuilah, kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan berkelana enam perkara, yaitu : cerdas, semangat, bersabar, memiliki bekal, petunjuk/bimbingan

guru, dan waktu yang lama (Ali bin Abi Thalib)

Carilah ilmu dengan sungguh-sungguh sampai kamu merasakan nikmatnya

mencari ilmu, dan tetaplah mempelajarinya dengan cara yang terpuji. (Syaikh Qiwamuddin Hammad)

Page 8: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

   

viii  

PERSEMBAHAN

Penulis dengan sepenuh hati mempersembahkan karya ini kepada :

Orang tua penulis Bpk. Slamet Siswo Harjono dan Ibu Hartini yang tak

kenal lelah mendidik, membimbing, memberi kritik yang membangun dan

memberikan pendidikan yang terbaik serta do’a yang tak pernah terputus

bagi penulis.

Kedua adiku Totok Siswanto dan BimaTri Atmojo yang selalu berbagi

kebahagiaan dengan penulis.

Setyo Wardani atas doa dan motivasinya yang telah membuat semangat yang

takkunjung padam bagi penulis.

Sahabat-sahabat dan teman-teman penulis, yang telah memberi kesan

mendalam bagi penulis akan berharganya hidup ini

Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun dan

menyelesaikan karya ini

Page 9: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

   

ix  

KATA PENGANTAR AssalamualaikumWr. Wb.

Pujisyukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan segalakarunia, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) ini dengan judul

:”PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL

E-COMMERCE MELALUI ARBITRASE”. Penulisan Hukum ini bertujuan

untuk melengkapi tugas akhir sebagai persyaratan guna meraih gelar kesarjanaan

dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Penulisan Hukum (Skripsi)

initidak terlepas dari dukungan serta bantuan yang telah diberikan oleh berbagai

pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Ibu Djuwityastuti, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Perdata dan

Pembimbing I penulis yang telah memberikan bimbingan, nasehat, semangat,

arahan, bantuan dan selalu menyempatkan maupun meluangkan waktu untuk

penulis berkonsultasi dengan tangan terbuka.

3. Bapak Munawar Kholil, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing II penulis yang

telah memberikan bimbingan, nasehat, semangat, arahan, bantuan dan selalu

menyempatkan maupun meluangkan waktu untuk penulis berkonsultasi

dengan tangan terbuka.

4. Sabto Hermawan, S.H. selaku Pembimbing Akademik penulis di Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

5. Segenap Pimpinan Fakultas hukum, Dosen dan seluruh Staff Administrasi

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

6. Untuk kedua orang tua penulis, Bapak Slamet Siswo Harjono dan Ibu Hartini

yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan kasih sayang,

Page 10: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

   

x  

mendoakan, mendidik, dan mencurahkan segalanya demi terwujudnya segala

hal yang terbaik bagi diri penulis, yang semua itu tak akan habis diungkapkan

dengan kata-kata, tak dapat tergantikan, dan tak ternilai dengan apapun.

7. Untuk kedua Adiku Totok Siswanto dan Bima Tri Atmojo yang selalu

memberikan semangat bagi penulis.

8. Untuk Setyo Wardani yang telah selalu menemani dan memberikan dukungan

baik moril dan spirituil meskipun terpisah jarak. Semoga hari esok akan terus

lebih baik.

9. Teman-teman Ari, Qomar, Andri Kurnia, SFC Mania (Made,Wayan dkk),

LPM NOVUM FH UNS (Dedi, Yoyo dkk), Yolanda FC (Ponggih dkk),Wild

Hogs(Othonk dkk) dan Justitia 2006 terima kasih atas warna dan silaturahmi

selama perjalanan pendidikan di Fakultas Hukum. Semoga ini menjadi awal

dari kehidupan yang lebih dewasa.

10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun dan

menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) ini yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum (Skripsi) ini masih jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan

saran yang membangun. Semoga Penulisan Hukum (Skripsi) ini bermanfaat bagi

diri pribadi penulis maupun para pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Surakarta, Juli 2011

Penulis

Tatak Eko Yulianto NIM. E0006238

Page 11: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

   

xi  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ....................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ iv

ABSTRAK ...................................................................................................... v

ABSTRACT ....................................................................................................... vi

MOTTO .......................................................................................................... vii

PERSEMBAHAN ........................................................................................... viii

KATA PENGANTAR .................................................................................... ix

DAFTAR ISI ................................................................................................... xi

DAFTAR BAGAN` ......................................................................................... xiii

DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv

BAB I : PENDAHULUAN .................................................................. 1

a. Latar Belakang Masalah .................................................. 1

b. Rumusan Masalah ............................................................ 5

c. Tujuan Penelitian ............................................................. 5

d. Manfaat Penelitian ............................................................ 6

e. Metode Penelitian ............................................................ 7

f. Sistematika Penulisan Hukum .......................................... 10

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 12

A. Kerangka Teori................................................................... 12

1. Tinjauan Umum tentangBisnis Internasional ............... 12

a. Pengertian Bisnis Internasional .............................. 12

b. Dasar Hukum Bisnis Internasional ........................ 14

2. Tinjauan Umum tentang Electronic Commerce .......... 18

a. Peristilahan Electronic Commerce ......................... 18

b. Keuntungan Penggunaan Electronic Commerce .... 19

Page 12: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

   

xii  

c. Mekanisme Transaksi Electonic Commerce

d. dan Waktu Terjadinya Kontrak .............................. 20

e. Karakteristik Transaksi E-Commerce ................... 24

f. Jenis-jenis Transaksi Electonic Commerce ............ 26

g. Pihak-pihak dalam Transaksi Electronic Commerce 28

h. Pengaturan Electronic Commerce dalam Bisnis

Internasional ........................................................... 29

i. Sengketa Electronic Commerce ............................. 34

j. Pilihan Hukum Penyelesaian Electronic Commerce

3. Tinjauan tentang Arbitrase .......................................... 37

a. Pengertian Arbitrase ............................................... 37

b. Sejarah Arbitrase .................................................... 41

c. Badan Arbitrase Asing .......................................... ̀ 49

d. Prosedur Penggunaan Arbitrase ............................ 50

e. Prinsip-Prinsip Arbitrase ........................................ 54

B. Kerangka Pemikiran ........................................................... 56

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................... 58

A. Dasar Pengaturan yang Digunakan dalam Pengaturan

Penyelesaian Sengketa Transaksi Bisnis Internasional

E-commerce di Indonesia .................................................. 58

B. Pilihan Hukum yang Berlaku dalam Penyelesaian Sengketa

Transaksi Bisnis E-commerce Melalui Arbitrase .............. 69

C. Prosedur Pelaksanaan Eksekusi dan Pembatalan Putusan

Arbitrase Internasional ...................................................... 90

BAB IV : Kesimpulan dan Saran ............................................................. 97

A. Kesimpulan ........................................................................ 97

B. Saran ................................................................................... 98

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 100

Page 13: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

   

xiii  

DAFTAR TABEL

Tabel1. Prinsip-prinsip penyelesaian sengketa bisnis internasional yang

menggunakan e-commerce dan pengaturan hukumnya di Indonesia ................................................................................ 62

Page 14: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

   

xiv  

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Kerangka Pemikiran.......................................................... 56

Bagan 2. Tahap-Tahap Eksekusi Putusan Arbitrase............................. 92

Page 15: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

1  

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perdagangan merupakan salah satu sektor jasa yang menunjang kegiatan

ekonomi antar anggota masyarakat dan antar bangsa. Indonesia dengan

ekonominya yang bersifat terbuka, perdagangan sangat vital bagi upaya

peningkatan pertumbuhan ekonomi sekaligus guna memelihara kemantapan

stabilitas nasional. Salah satu upaya yang dapat dilakukan guna merealisasikan

pertumbuhan ekonomi adalah melalui proses pengintegrasian antara sistem

perekonomian, termasuk perdagangan dengan perkembangan teknologi informasi.

Pada permulaan abad ke- 20, salah satu penemuan besar di bidang teknologi

informasi yang sangat mempengaruhi perkembangan perekonomian adalah

ditemukannya internet (Interconnection Networking), sebagai media komunikasi

yang cepat dan handal. Sistem perdagangan dengan memanfaatkan internet telah

mengubah wajah dunia bisnis dari pola perdagangan tradisional kebentuk yang

lebih modern, yaitu secara virtual. Mengenai hal ini Alinafiah dan Prasetyo

menyatakan e-commerce lahir selain disebabkan oleh adanya perkembangan

teknologi informasi, juga karena tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang

serba cepat, mudah, praktis, dan menghendaki kualitas lebih yang baik

(http//:perkembanganinternet.mkn.com: diakses tanggal 15 Agustus 2010).

Negara-negara maju, perkembangan e-commerce di Indonesia dari waktu ke

waktu menunjukan peningkatan yang sangat signifikan, sekalipun dibandingkan

dengan negara-negara tetangga di kawasan Asia Pasifik, seperti Malaysia,

Filipina, Singapura, Australia, Taiwan, perkembangan penggunaan internet di

Indonesia masih jauh tertinggal.

Page 16: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2    

 

Teknologi internet memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap

perdagangan global dalam hal layanan (service). Kondisi ini disebabkan oleh

banyak faktor, antara lain (Ahmad Yahya Zein, 2008:45):

1. Electronic commerce memiliki kemampuan untuk menjangkau lebih banyak

pelanggan dan setiap saat pelanggan dapat mengakses seluruh informasi yang

terus menerus.

2. Electronic commerce dapat mendorong kreatifitas dari pihak penjual secara

cepat dan tepat dan pendistribusian informasi yang disampaikan berlangsung

secara periodik.

3. Electronic commerce dapat menciptakan efisiensi yang tinggi, murah serta

informatif.

4. Electronic commerce dapat meningkatkan kepuasan pelanggan, dengan

pelayanan yang cepat, mudah, aman dan akurat.

Transaksi perdagangan melalui internet sangat menguntungkan banyak

pihak, sehingga transaksi perdagangan ini sangat diminati, tidak saja bagi

produsen tetapi juga konsumen. Bagi konsumen electronic commerce telah

mengubah cara konsumen dalam memperoleh produk yang diinginkan, sedangkan

bagi produsen, electronic commerce telah mempermudah proses pemasaran suatu

produk. Michael Pattison mengemukakan, sebagaimana dikutip oleh Abu Bakar

Munir yang menyatakan (Abu bakar Munir, 2003:67): There are several

features,which distinguish electronic commerce from business conducted by

traditional means. In particular:

1. Electronic commerce establishes a global market-place, where traditional

geographic boundaries are not only ignored, they are quite simply irrelevant.

2. Electronic commerce allows business to be conducted anonymously.

3. Rather than direct selling between parties, electronic commerce requires

business to be conducted through the use of intermediaries of unknown

trustworthiness. This means that the transactions are inherently insecure.

Penggunaan internet dalam transaksi bisnis menjanjikan berbagai kemudahan,

hal ini tidak berarti e-commerce adalah suatu sistem yang bebas dari

permasalahan, karena bagaimanapun majunya teknologi tetap akan menyisakan

Page 17: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3    

 

berbagai permasalahan, khususnya bagi negara yang belum sepenuhnya mampu

menguasai teknologi tersebut, seperti halnya Indonesia. Menurut penelitian yang

dilakukan oleh sebuah lembaga internasional, telah banyak kasus yang merugikan

konsumen sebagai akibat dari penggunaan media internet dalam transaksi

perdagangan, sebagai contoh satu dari setiap sepuluh kasus pengiriman barang

dapat dipastikan terlambat atau tidak sampai kepada konsumen, dua orang

pembeli (buyers) dari Hongkong dan Inggris menunggu sampai lima bulan untuk

mendapatkan refund (pembayaran kembali) dari barang yang dibeli tapi tidak

sesuai dengan pemesanan dan barangnya tidak dikirim, banyak penjual (suppliers

atau sellers) yang tidak mampu memberikan kuitansi atau bukti transaksi dan lain-

lain (http://rmarpaung.tripod.com// ElectronicCommerce.doc, diakses: 28 Agustus

2010).

Kondisi ini tentunya akan merugikan baik bagi produsen terlebih konsumen

yang memiliki posisi tawar (bargaining position) lebih rendah. Hal yang sama

dikemukakan Riyeke Ustadiyanto saat menyatakan besarnya nilai transaksi

electronic commerce di dunia masih dibayangi masalah “kurang amannya”

(unsecure) transaksi online ini. Internet telah menimbulkan berbagai masalah

terutama yang berkaitan dengan masalah yang berkaitan dengan hukum yang

mengatur transaksi tersebut (Riyeke Ustadiyanto, 2002:93).

Apabila permasalahan-permasalahan di atas tidak segera diselesaikan secara

memadai tidak tertutup kemungkinan kepercayaan masyarakat pada sistem e-

commerce akan hilang, akibatnya pertumbuhan ekonomi akan berjalan lambat.

Salah satu upaya yang dapat ditempuh guna menyelesaikan masalah-masalah di

atas adalah dengan digunakannya mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif,

efisien, disertai biaya murah. Penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa yang

efektif, efisien serta berbiaya murah merupakan hal yang tidak dapat ditunda-

tunda lagi realisasinya guna terwujudnya kepercayaan para pihak (produsen atau

merchant dan konsumen) pada sistem electronic commerce (http :// www.hukum

online.com, Makalah Ahmad Zakaria atau J: arbitrase %20onlineatau arbitrase-

online-terobosan-baru-di html, diakses: 31 Agustus 2010).

Page 18: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4    

 

Pentingnya mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, efisien, dan

berbiaya murah agar segera diterapkan, dilatarbelakangi kenyataan bahwa

transaksi electronic commerce sangat rentan terhadap lahirnya berbagai sengketa

atau masalah diantara para pihak, sebagai akibat dari saling berjauhannya domisili

para pihak yang bertransaksi serta bahasa, budaya dan sistem hukum yang

berbeda serta adanya keinginan untuk menyelesaikan setiap sengketa melalui

mekanisme penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolution)

dalam hal ini arbitrase, dilatarbelakangi masih banyaknya ditemukan berbagai

kelemahan dari penyelesaian sengketa melalui sistem peradilan (litigasi), seperti

(Yahya Ahmad Zein, 2009:67):

1. litigasi memaksa para pihak bberada pada posisi yang ekstrim dan

memerlukan pembelaan (advocacy);

2. litigasi mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, sehingga

mendorong para pihak untuk melakukan penyelidikan terhadap kelemahan-

kelemahan pihak lainnya;

3. proses litigasi memakan waktu yang lama dan memakan biaya yang mahal;

4. hakim seringkali bertindak tidak netral dan kurang mengikuti perkembangan

ilmu pengetahuan yang mendasari penyelesaian suatu masalah hukum baru.

Kelemahan di atas jelas bahwa penyelesaian melalui jalur peradilan atau

litigasi sangat berlawanan dengan hakikat dari electronic commerce sebagai suatu

sistem perdagangan virtual (maya) yang membutuhkan sistem yang efektif dan

efisien. Mekanisme penyelesaian sengketa (bisnis) yang sifatnya konvensional

atau tradisional sangat dibatasi oleh letak geografis dan hukum tempat aktivitas

bisnis dilakukan. Penentuan mengenai hukum serta pengadilan (yurisdiksi)

manakah yang berwenang memeriksaatau mengadili suatu sengketa, sering

menjadi masalah pada saat para pihak akan membuat suatu kontrak, sekalipun

akhirnya, dalam transaksi konvensional penentuan hukum mana yang akan

berlaku relatif lebih mudah ditentukan.

Kondisi di atas sangat berlainan pada saat transaksi perdagangan terjadi di

dunia maya (cyberspace), pertanyaan yang sering timbul adalah hukum serta

yurisdiksi manakah yang akan digunakan apabila dikemudian hari muncul

Page 19: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5    

 

sengketa di antara para pihak, sedangkan dalam cyberspace setiap interaksi tidak

dibatasi oleh batas wilayah (borderless). Oleh karena itu, adanya kebutuhan

terhadap suatu lembaga yang bertugas untuk menyelesaikan setiap sengketa bisnis

(e-commerce) merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda lagi pelaksanaannya.

(Imamulhadi, 2001:80).

Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar

peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara

tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di bidang e-

commerce melalui arbitrase persoalan yang mungkin muncul adalah mengenai

hukum yang berlaku mengingat transaksi dilakukan melalui media internet.

Dari uraian diatas penulis mencoba untuk mengangkat persoalan mengenai

PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL

E-COMMERCE MELALUI ARBITRASE.

B. Perumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang di atas, ada beberapa permasalahan yang dapat

dirumuskan, yaitu:

1. Apa yang menjadi dasar pengaturan penyelesaian sengketa transaksi bisnis

internasional e-commerce di Indonesia?

2. Pilihan hukum manakah yang dapat digunakan dalam penyelesaiaan sengketa

transaksi bisnis internasional e-commerce melalui arbitrase?

3. Bagaimana pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian disini ialah penelitian berkenaan dengan maksud penulis

melakukan penelitian, terkait dengan perumusan masalah dan judul Penulis

mempunyai tujuan atau hal-hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Tujuan

itu berupa tujuan secara obyektif dan tujuan secara subyektif. Tujuan penelitian

ini adalah:

Page 20: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6    

 

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan dalam pengaturan

penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce di

Indonesia.

b. Untuk mengetahui pilihan hukum di Indonesia yang berlaku dalam

penyelesaiaan sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce melalui

arbitrase.

c. Untuk mengetahui pelaksanan putusan arbitrase asing di Indonesia.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperluas pengetahuan dan wawasan penulis di bidang hukum

serta pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktik di lapangan

Hukum Perdata, khususnya Hukum Bisnis dan Teknologi Informasi.

b. Untuk mengetahui kemampuan penulis dalam meneliti di bidang ilmu

hukum khususnya Perdata.

c. Untuk memenuhi syarat akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan

Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

D. Manfaat Penelitian

Setiap peneltian selalu diharapkan dapat memberi manfaat pada berbagai

pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

pembangunan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya

dan hukum perdata pada khususnya.

b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya referensi dan literatur

dalam dunia kepustakaan tentang penyelesaian sengketa transaksi bisnis

internasional e-commerce melalui arbitrase.

c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-

penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.

Page 21: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7    

 

2. Manfaat Praktis

a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran,

membentuk pola pikir ilmiah sekaligus mengetahui kemampuan penulis

dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

b. Memberikan wawasan dan pengetahuan hukum bagi masyarakat luas

terkait dengan penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-

commerce melalui arbitrase.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,

prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum

yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi,

teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang

dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:35). Dua syarat utama yang harus

dipenuhi sebelum mengadakan penelitian dengan baik dan dapat

dipertanggungjawabkan yakni peneliti harus lebih dahulu memahami konsep

dasar ilmu pengetahuan yang berisi (sistem dan ilmunya) dan metodologi

penelitian disiplin ilmu tersebut (Johny Ibrahim, 2006:26). Penelitian hukum

berisi konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan dalam suatu penelitian

memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-

temuannya tidak terjebak dalam relevansi dan aktualitasnya (Johnny Ibrahim,

2006:28).

Berdasarkan hal tersebut maka penulis dalam penelitian ini menggunakan

metode penulisan sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan penulisan

hukum ini adalah penelitian normatif atau penelitian hukum kepustakaan.

Penelitian hukum normatif menurut adalah suatu prosedur penelitian ilmiah

untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi

normatifnya (Johnny Ibrahim, 2006:57). Penelitian hukum normatif memilki

definisi yang sama dengan penelitian hukum doktrinal (doctrinal research)

Page 22: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8    

 

yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (library based) yang

fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan

sekunder (Johnny Ibrahim, 2006:44).

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian hukum ini tentunya sejalan dengan sifat ilmu hukum

itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif dan

terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari

tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep

hukum, dan norma-norma hukum. Sifat preskriptif keilmuan hukum ini

merupakan sesuatu yang subtansial di dalam ilmu hukum. (Peter Mahmud

Marzuki, 2008:22).

3. Pendekatan Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki, didalam penelitian hukum terdapat

beberapa pendekatan. Pendekatan-pendekatan yang digunakan didalam

penelitian hukum adalah pendekatan Undang-Undang (statue approach),

pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical

approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan

konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2008:93).

Penulis akan menggunakan pendekatan Undang-Undang (statue approach)

dari kelima pendekatan penelitian hukum tarsebut.

Peneliti menggunakan pendekatan Undang-Undang (statue approach)

dilakukan dengan menelaah Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut

paut dengan permaslahan hukum yang sedang ditangani, untuk menelaah

unsur filosofis adanya suatu peraturan perUndang-Undangan tertentu yang

kemudian dapat disimpulkan ada atau tidaknya benturan filosofis antara

Undang-Undang dengan isu hukum yang ditangani (Peter Mahmud

Marzuki, 2008:93-94), penelitian ini yang ditelaah yaitu Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa dan Kitab Undang-Undang Hukun Perdata.

Page 23: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9    

 

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum yang

dilakukan oleh penulis adalah bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri

dari perUndang-Undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan perUndang-Undangan dan putusan hakim, sedangkan bahan

hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan dokumen-dokumen resmi, yang meliputi buku-buku teks,

kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putusan

pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 141).

Bahan hukum primer yang digunkan oleh penulis dalam penelitian ini

antara lain:

a. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Transaksi dan Informasi

Elektronik.

b. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

c. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

d. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Arbitrase Asing.

Bahan hukum sekunder yang digunakan penulis antara lain:

a. Black Law Dictionary (kamus hukum)

b. Buku-buku tentang E-commerce, Arbitrase dan Transaksi Bisnis

Internasional.

c. Jurnal-jurnal Hukum tentang E-commerce, Arbitrase dan Transaksi

Bisnis Internasional.

5. Teknik Pengumpulan bahan hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan sebagai

sumber di dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan

bahan hukum dengan jalan membaca peraturan perUndang-Undangan,

dokumen-dokumen resmi maupun literatur-literatur yang erat kaitannya

Page 24: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10    

 

dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan bahan hukum sekunder.

Bahan hukum tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai bahan

hukum penunjang di dalam penelitian ini.

6. Teknik Analisis

Penelitian ini berusaha untuk mengerti atau memahami gejala yang

diteliti utuk kemudian mendiskripsikan data-data yang diperoleh selama

penelitian, yaitu apa yang tertera dalam bahan-bahan hukum yang relevan

dan menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan sebagaimana telah

disinggung diatas.

Metode penalaran yang dipilih oleh penulis adalah metode penalaran

deduktif, yaitu hal-hal yang dirumuskan secara umum diterapkan pada

keadaan yang khusus. Dalam penelitian ini, penulis mengkritisi teori-teori

ilmu yang bersifat untuk kemudian menarik kesimpulan yang sesuai dengan

isu hukum yang diteliti atau dianalisis, yaitu mengenai penyelesaian

sengketa bisnis internasional e-commerce melalui arbitrase.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum, serta

untuk mempermudah pemahaman berkaitan seluruh isi penulisan hukum ini, maka

penulis menyajikan sistematika penulisan hukum ini yang terdiri dari empat bab.

Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini terdiri dari subbab-subbab yaitu latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode

penelitian, dan sistematika penulisan hukum. Bab pertama ini

merupakan awal yang menjadi dasar, bahan pertimbangan, serta

patokan dari penulisan hukum ini.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab II ini mengenai Tinjauan Pustaka berisi subbab Kerangka Teori

dan subbab Kerangka Pemikiran. Kerangka Teori ini memuat berbagai

pengertian yang mendukung dari judul yang ada hingga memudahkan

Page 25: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11    

 

para pembacanya. Tinjauan pustaka ini diawali dengan menjelaskan

pengertian bisnis internasional dan dasar hokum bisnis internasional.

Tinjauan kedua mengenai e-commerce yang di dalamnya memuat

pengertian e-commerce, mekanisme transaksi e-commerce, jenis-jenis

transaksi e-commerce, pihak-pihak dalam transaksi, pengaturan

internasional mengenai e-commerce, sengketa e-commerce. Tinjauan

yang ketiga yaitu mengenai arbitrase yang terdiri dari pengetian

arbitrase, sejarah arbitrase, nama-nama badan arbitrase asing, prosedur

penggunaan dan prinsip-prinsip arbitrase.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan bab inti dan bab yang paling penting. Memaparkan

dan menjabarkan hasil penelitian yang kemudian dengan analisis

menghasilkan pembahasan atas pokok permasalahan yang dituju. Bab

ini dimulai dengan dasar pengaturan penyelesaian sengketa transaksi

bisnis internasional e-commerce di Indonesia, pemilihan hukum yang

digunakan dalam penyelesaian sengketa e-commerce dan peleksanaan

dan pembatalan arbitrase asing di Indonesia.

BAB IV : PENUTUP

Bab Penutup adalah bab terakhir, yang memuat kesimpulan dan saran.

Kesimpulan harus tetap merujuk pada pokok rumusan masalah yang

ditarik intinya dari hasil analisis pada pembahasan. Saran lebih

bersifat universal yang memunculkan ide untuk menciptakan keadaan

lebih baik terutama dalam kaitannya dengan inti dari penulisan ini.

Page 26: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

12  

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Bisnis Internasional

a. Pengertian Bisnis Internasional

Bisnis Internasional merupakan kegiatan perdagangan yang

melibatkan negara lain, berikut definisi beberapa sarjana mengenai bisnis

internasional sebagaimana dikutip dalam bukunya Gunawan Wijaya,

antara lain (Gunawan Wijaya, Ahmad Yani, 2003:13):

1) Ball, Mc Culloch, Frantz, Geringer, Minor, “Bisnis yang kegiatannya

melampaui batas Negara. Definisi tersebut mencakup perdagangan

internasional. pemanufakturan diluar negeri juga industri

jasa diberbagai bidang seperti transportasi, pariwisata, perbankan,

periklanan, konstruksi, perdagangan eceran, perdagangan besar dan

komunikasi massa.

2) Charles WH Hill, ”Perusahaan yang terlibat dalam perdagangan

maupun investasi internasional”.

3) Daniels, Radebaugh & Sullivan, “Semua transaksi komersial baik oleh

swasta maupun pemerintah diantara 2 negara atau lebih”.

Bisnis internasional secara umum merupakan kegiatan bisnis yang

dilakukan melewati batas - batas suatu negara. Transaksi bisnis seperti ini

merupakan transaksi bisnis internasional atau transaksi bisnis yang

dilakukan oleh suatu negara dengan negara lain yang sering disebut

sebagai bisnis internasional (International Trade). Dilain pihak transaksi

bisnis itu dilakukan oleh suatu perusahaan dalam suatu negara dengan

perusahaan lain atau individu di negara lain disebut pemasaran

internasional (International Marketing). Pemasaran internasional inilah

yang biasanya diartikan sebagai bisnis internasional, meskipun pada

dasarnya terdapat dua pengertian, sehingga kita dapat membedakan adanya

dua buah transaksi bisnis internasional yaitu:

Page 27: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13    

 

1) Perdagangan Internasional (International Trade)

Perdagangan internasional yang merupakan transaksi antar

negara itu biasanya dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan

cara ekspor dan impor. Transaksi ekspor dan impor yang terjadi akan

menimbulkan neraca perdagangan antar negara atau Balance of Trade.

Suatu egara dapat memiliki surplus neraca perdagangan atau devisit

neraca perdagangannya. Neraca perdagangan yang surplus

menunjukan keadaan dimana negara tersebut memiliki nilai ekspor

yang lebih besar dibandingkan dengan nilai impor yang dilakukan dari

negara partner dagangnya. Neraca perdagangan yang mengalami

surplus ini mengakibatkan apabila keadaan yang lain konstan maka

aliran kas masuk ke negara itu akan lebih besar dengan aliran kas

keluarnya ke negara partner dagangnya tersebut. Besar kecilnya aliran

uang kas masuk dan keluar antar negara tersebut sering disebut

sebagai neraca pembayaran atau Balance of Payments. Neraca

pembayaran yang mengalami surplus ini sering juga dikatakan bahwa

negara ini mengalami pertambahan devisa negara. Sebaliknya apabila

negara itu mengalami devisit neraca perdagangannya maka berarti

nilai impornya melebihi nilai ekspor yang dapat dilakukannya dengan

negara lain tersebut, sehingga negara tersebut akan mengalami devisit

neraca pembayarannya dan akan menghadapi pengurangan devisa

negara.

2) Pemasaran International (International Marketing)

Pemasaran internasional yang sering disebut sebagai bisnis

internasional (International Bussines) merupakan keadaan dimana

suatu perusahaan dapat terlibat dalam suatu transaksi bisnis dengan

negara lain, perusahaan lain ataupun masyarakat umum di luar negeri.

Transaksi bisnis internasional ini pada umumnya merupakan upaya

untuk memasarkan hasil produksi di luar negeri. Persoalan semacam

ini memungkinkan pengusaha tersebut akan terbebas dari hambatan

perdagangan dan tarif bea masuk karena tidak ada transaksi ekspor

Page 28: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14    

 

impor. Dengan masuknya langsung dan melaksanakan kegiatan

produksi dan pemasaran di negeri asing maka tidak terjadi kegiatan

ekspor impor. Produk yang dipasarkan itu tidak saja berupa barang

akan tetapi dapat pula berupa jasa. Transaksi bisnis internasional

semacam ini dapat ditempuh dengan berbagai cara antara lain :

a) Licencing

b) Franchising

c) Management Contracting

d) Marketing in Home Country by Host Country

e) Joint Venturing

f) Multinational Coporation (MNC)

Semua bentuk transaksi internasional tersebut diatas akan

memerlukan transaksi pembayaran yang sering disebut sebagai Fee.

Dalam hal itu negara atau Home Country harus membayar sedangkan

pengirim atau Host Country akan memperoleh pembayaran fee

tersebut. Pengertian perdagangan internasional dengan perusahaan

internasional sering dikacaukan atau sering dianggap sama, akan

tetapi seperti dalam uraian diatas sebenarnya berbeda. Perbedaan

utama terletak pada perlakuannya dimana perdagangan internasional

dilakukan oleh negara sedangkan pemasaran internasional adalah

merupakan kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan. Pemasaran

internasional juga menentukan kegiatan bisnis yang lebih aktif serta

lebih progresif dari pada perdagangan internasional.

b. Dasar Hukum Bisnis Internasional

Menurut Munir Fuady dalam bukunya “ Hukum Bisnis dalam

Teori dan Praktik” dasar hukum transaksi bisnis internasional antara lain

(Munir Fuadi, 1996:13):

1) Contract Provosions

Contrak provision merupakan hal-hal yang diatur dalam kontrak

tersebut oleh kedua belah pihak. Contract provision ini merupakan

dasar hukum utama bagi suatu kontrak. Segala sesuatu yang diatur

Page 29: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15    

 

dalam dalam contract provision terserah pada para pihak. Hukum hanya

memberikan rambu-rambu untuk melindungi berbagai kepentingan lain

yang lebih tinggi, misalnya keadilan, ketertiban umum, kepentingan

negara dan sebagainya. Jika provisi suatu kontrak tidak dapat

menampung aspirasi kedua belah pihak, misalnya ada hal dalam

pelaksanaan perjanjian yang tidak diatur sama sekali dalam kontrak,

hukum akan menyediakan optional law (hukum yang mengatur) untuk

mengisi kekosongan hukum dalam masyarakat. Dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata Indonesia, asa free dom of contract ini juga

diperlukan. Dalam konteks perdagangan internasional, kedua belah

pihak, yaitu eksportir dan importer diberi kebebasan yang seluas-

luasnya untuk menentukan isi kesepakatan dalam kontrak.

2) General Contract Law

Tiap-tiap negara memiliki general contract law masing-masing.

Di Indonesia, general contract law ini dapat dilihat dalam ketentuan

yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Ketiga.

Buku ketiga ini mengatur secara umum dan berlaku bagi seluruh

kontrak, seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, dan

sebagainya.

3) Specific Contract Law

Selain Ketentuan-ketentuan umum, Kitab Undang-undang

Hukum Perdata juga mengatur tenang ketentuan khusus yang berkenaan

dengan kontrak-kontrak tertentu. Dalam Perjanjian jual beli

internasional misalnya, jika yang berlaku adalah hukum Indonesia,

maka berlaku juga ketentuan tentang perjanjian jual beli yang terdapat

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang diatur dalam Pasal

1457 sampai dengan 1540.

4) Kebiasaan Bisnis

Kebiasaan-kebiasaan merupakan salah satu sumber hukum.

Demikian pula halnya dengan kebiasaan dalam bisnis (trade usage atau

custum) merupakan salah satu sumber hukum bisnis dan dapat menjadi

Page 30: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16    

 

pedoman dalam menginteprestasi kontrak bisnis tremasuk kontrak jual

beli internasional.

5) Yurisprudensi

Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap (yurisprudensi) dapat menjadi dasar hukum bagi berlakunya

kontrak. Yurisprudensi akan terasa maknanya jika ada hal-hal yang

belum diatur dalam undang-undang, atau yang memerlukan penafsiran-

penafsiran terhadap suatu undang-undang. Namun demikian, dalam

hukum transaksi perdagangan internasional, peranan yurisprudensi

kurang begitu berarti karena biasanya penyelesaian suatu kasus

menggunakan arbitrase.

6) Kaidah Hukum Perdata Internasional

Kaidah hukum perdata internasional banyak digunakan karena

pada umumnya dalam setiap transaksi perdagangan internasional

berbagi pihak dari berbagai negara. Berkaitan dengan hal itu, jika

terjadi perselesihan mengenai hukum mana yang berlaku bila mana hal

tersebut tidak diatur dalam kontrak, maka digunakan kaidah-kaidah

Hukum Perdata Internasional (conflict of law) ini. Salah satu yang

terkenal adalah teori yang disebut The Most Caracteristic Conection

Rule. Menurut teori ini hukum para pihak yang mempunyai presatasi

yang sangat karakteristik. Dalam bidang jual beli internasional, maka

ketentuan hukum dari pihak penjual lah yang berlaku karena dianggap

mengandung paling banyak karakteristik (yang unik) dalam setiap

transaksi perdagangan.

7) Internasional Convention

International convention adalah kesepakatan-kesepakatan

internasional yang telah, sedang atau akan diratifikasi oleh negara-

negara di dunia, agar suatu konvensi dapat mengikat maka negara

kedua belah pihak tersebut harus merupakan peserta dari konvensi

internasional tersebut dan telah meratifikasi sehingga telah menjadi

bagian dari hukum nasional masing-masing negara. Ketantuan-

Page 31: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17    

 

ketentuan konvensi internasional ada juga yang mengatur mengenai

perjanjian jual beli internasional. Konvensi-konvensi internasional yang

khusus mengatur mengenai jual beli internasional adalah sebagai

berikut:

a) United Nations Convention on Contract for the International Sale

of Goods

Konvesi merupakan hasil karya The United Nations

Commission on International Trade Law (UNCITRAL) dari

perserikatan bangsa-bangsa (PBB), yang kemudian diadopsi oleh

Konferensi Diplomatik tanggal 11 April 1980. Konvensi ini

mengatur mengenai ketentuan yang seragam tentang jual beli

internasional. Sebelum itu, persiapan terhadap uniform law

mengenai jual beli internasional sudah dilakukan sejak tahun 1930

di International Institute Law for the Unification of Private Law

(UNIDROIT) di Roma.

Sistematika konvensi ini adalah sebagai berikut:

(1) ruang lingkup aplikasi dan ketentuan umum

(2) formasi dari kontrak

(3) penjualan barang

(4) ketentuan penutup

b) Conventionon the Limination Period in the International Sale of

Good

Konvesi ini merupakan hasil kerja UNCITRAL yang

kemudian diterima oleh General Assemmbly di New York pada

tanggal 14 Juni 1974 dan selanjutnya diamandemir pada tahun

1980. Konvensi ini berisikan keseragaman tentang ketentuan-

ketentuan mengenai kadaluwarsanya suatu gugatan yang

berhubungan dengan jual beli. Sistemetikanya adalah sebagai

berikut:

(1) ruang lingkup penerapan

(2) lamanya dan mulai berlakunya masa kadaluwarsa

Page 32: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18    

 

(3) perhentian dan perpanjangan masa kadaluwarsa

(4) total waktu untuk suatu kadaluwarsa

(5) konsekuensi hukum dari lewatnya masa kadaluwarsa

(6) ketentuan lain-lain dan ketentuan penutup

8) Ketentuan-ketentuan Domestik

Ketentuan domestik merupakan aturan-aturan yang dikeluarkan

pemerintah setempat seperti aturan yang berkenaan dengan ekspor

impor, letter of Credit, Asuransi, Bill of Lading, Bill of Ex change, dan

lain sebagainya.

2. Tinjauan Umum tentang E-commerce

a. Peristilahan Electronic Commerce

Electronic commerce yang biasa disebut dengan e-commerce

merupakan sistem yang relatif baru dibandingkan dengan sistem

perdagangan lainnya. Akibatnya, bagi sebagian pihak masih belum jelas

apa yang dimaksud dengan electronic commerce. Munculnya berbagai

pengertian electronic commerce tidak akan mengubah keberadaan

electronic commerce sebagai suatu sistem perdagangan yang sangat

efektif dan efisien. Timbulnya berbagai pengertian electronic commerce

semata-mata lebih disebabkan adanya perbedaan latar belakang keilmuan

dari si pembuat definisi.

David Baum, dalam “Business Links”, Oracle Magazine, No. 3, Vol. XIII, 1999, sebagaimana dikutip Onno W. Purbo dan Aang Aris Wahyudi, mendefinisikan electronic commerce: a dynamic set of technologies, applications, and business process that link enterprises, consumers, and communities through electronic transactions and the electronic exchange of goods, service, and information, Howard E. Abrams,menyatakan: electronic commerce sebenarnya adalah: refers to the use of computer networks to facilitate transactions involving the production, distribution sale, and delivery of goods and services in the market (Purbo, Onno, W, 2001: 181).

Sekalipun terdapat berbagai definisi dari electronic commerce,

tetapi pada dasarnya semua definisi memiliki kesamaan, yaitu:

Page 33: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19    

 

1) adanya penawaran melalui Internet;

2) transaksi antara 2 belah pihak; (apabila terjadi kata sepakat)

3) adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi;

4) internet merupakan media utama dalam proses atau mekanisme

transaksi tersebut.

Mengacu pada beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa

electronic commerce merupakan suatu transaksi perdagangan antara

penjual dan pembeli dengan menggunakan media internet. Jadi, proses

pemesanan barang,pembayaran transaksi sampai dengan pengiriman

barang dikomunikasikan melalui internet.

b. Keuntungan Penggunaan Electronic Commerce

Pada dasarnya, keuntungan penggunaan electronic commerce dapat

dibagi dalam dua bagian, yakni keuntungan bagi pedagang (merchant)

dan keuntungan bagi pembeli. Menurut Joseph Luhukay (Presiden

Director, Capital Market Society) sebagaimana dikutip oleh PB, Triton,

keuntungan bagi pedagang (merchant) antara lain (PB, Triton, 2006: 76):

1) Dapat digunakan sebagai lahan untuk menciptakan pendapatan

(revenue generation) yang sulit atau tidak dapat diperoleh melalui

cara konvensional, seperti memasarkan langsung produk atau jasa;

menjual informasi, iklan (baner), membuka cybermall, dan

sebagainya.

2) Menurunkan biaya operasional. Berhubungan langsung dengan

pelanggan melalui Internet dapat menghemat kertas dan biaya

telepon, tidak perlu menyiapkan tempat ruang pamer (outlet), staf

operasional yang banyak, gudang yang besar, dan sebagainya.

3) Memperpendek product cycle dan management supplier. Perusahaan

dapat memesan bahan baku atau produk ke supplier langsung ketika

ada pemesanan sehingga perputaran barang lebih cepat dan tidak

perlu gudang besar untuk menyimpan produk-produk tersebut.

4) Melebarkan jangkauan (global reach). Pelanggan dapat menghubungi

perusahaanatau penjual dari manapun di seluruh dunia.

Page 34: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20    

 

5) Waktu operasi tidak terbatas. Bisnis melalui internet dapat dilakukan

selama 24 jam per hari, 7 hari per minggu.

6) Pelayanan ke pelanggan lebih baik. Melalui Internet pelanggan bisa

menyampaikan kebutuhan maupun keluhan secara langsung sehingga

perusahaan dapat meningkatkan pelayanannya.

Keuntungan bagi pembeli, antara lain (PB, Triton, 2006: 78):

1) Home shopping. Pembeli dapat melakukan transaksi dari rumah

sehingga dapat menghemat waktu, menghindari kemacetan, dan

menjangkau toko-toko yang jauh dari lokasi.

2) Mudah melakukan. Tidak perlu pelatihan khusus untuk bisa belanja

atau melakukan transaksi melalui Internet.

3) Pembeli memiliki pilihan yang sangat luas dan dapat

membandingkan produk maupun jasa yang ingin dibelinya.

4) Tidak dibatasi waktu. Pembeli dapat melakukan transaksi kapan saja

selama 24 Jam per hari, 7 hari per minggu.

5) Pembeli dapat mencari produk yang tidak tersedia atau sulit diperoleh

di outlet-outlet atau pasar tradisional.

Keuntungan-keuntungan di atas apabila dipergunakan dengan

sebaik-baiknya akan mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat

terhadap electronic commerce yang pada akhirnya dapat pula

meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional.

c. Mekanisme Transaksi Electronic Commerce dan Waktu Terjadinya

Kontrak

Transaksi perdagangan melalui media internet atau electronic

commerce pada dasarnya memiliki kesamaan dengan mekanisme

perdagangan biasa (konvensional). Perbedaan antara keduanya adalah

dalam electronic commerce, sistem yang digunakan dalam seluruh proses

transaksi dilakukan secara online, mulai dari penawaran produk,

pembelian, sampai dengan pembayaran, sedangkan dalam transaksi

biasa, seluruh proses transaksi dilakukan secara manual (off line). Seperti

halnya dalam transaksi biasa (konvensional), transaksi electronic

Page 35: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21    

 

commerce diawali dengan adanya penawaran oleh produsen (merchant)

kepada calon pembeli (consumer) melalui media Internet, sedangkan

apabila pembeli (costumer) berpendapat bahwa produk yang ditawarkan

dari segi kualitas, harga, jenis telah sesuai dengan keinginannya, maka

pembeli dapat langsung memesan (order) atas barang yang dimaksud

dengan cara mengisi formulir isian yang telah ditampilkan pada layar

monitor. Formulir yang harus diisi umumnya memuat identitas pemesan,

seperti nama, alamat, kantor, dan sebagainya. Formulir isian memuat

pula syarat- syarat transaksi yang harus disetujui oleh konsumen. Pada

tahap akhir setelah semua formulir isian diisi dan syarat-syarat transaksi

disetujui, pembeli tinggal menyatakan setuju dengan transaksi tersebut

dengan cara mengklik kolom OK atau Submit (PB, Triton, 2006: 92).

Gambaran proses transaksi electronic commerce di atas adalah

proses yang umum dilakukan, mengingat dalam prakteknya proses

transaksi electronic commerce banyak jenisnya. Permasalahan yang

paling sering muncul dalam transaksi electronic commerce adalah

berkaitan dengan pertanyaan kapan suatu transaksi (kontrak) dikatakan

telah terjadi. Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu dikemukakan

terlebih dahulu beberapa bentuk kontrak electronic commerce yang

selama ini berkembang. Beberapa bentuk kontrak elektronik yang selama

ini berkembang, yaitu:

1) Suatu kontrak yang dibentuk secara sah melalui e-mail. Penawaran

dan penerimaan dapat dipertukarkan melalui e-mail atau

dikombinasikan dengan alat komunikasi elektronik lainnya, dokumen

tertulis, fax, dan lain-lain.

2) Suatu kontrak dapat juga dibentuk melalui web sites dan jasa online

lain, yaitu suatu web site menawarkan penjualan barangatau jasa dan

konsumen dapat menerima penawaran dengan mengisi dan

mengirimkan suatu formulir yang terpampang pada layar monitor.

Page 36: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22    

 

3) Bentuk kontrak lain adalah mencakup direct online transfer dari

informasi dan jasa, web site digunakan sebagai medium of

communication dan sekaligus sebagai medium of exchange.

4) Kontrak yang berisi Electronic Data Interchange (EDI), suatu

pertukaran informasi bisnis secara elektronik dalam komputer

processable format melalui komputer milik para mitra dagang

(trading partners).

5) Suatu cara berkontrak dalam Internet dapat bersifat perjanjian lisensi

click-wrap dan shrink-wrap. Software yang di download dari Internet

lazimnya dijual dengan suatu lisensi click-wrap. Lisensi tersebut

muncul pada monitor pembeli pada saat pertama kali software akan

dipasang (install) dan calon pembeli ditanya apakah ia bersedia

menerima persyaratan lisensi tersebut sebelum menggunakan

program tersebut. Pengguna dapat click “I accept” atau I don’t

accept”. Apabila pembeli menyetujui persyaratan lisensi, software

tersebut dapat dipasang (install). Permasalahan kapan terjadinya

suatu kontrak pada perdagangan secara online perlu mendapatkan

perhatian khusus, mengingat hal ini membawa akibat hukum pada

penentuan lahirnya hak dan kewajiban masing-masing pihak,

peralihan kepemilikan, peralihan risiko, juga yurisdiksi mana yang

berkompeten untuk menyelesaikan sengketa jika dikemudian hari

muncul sengketa (Budi Rahardjo. E-commerce di Indonesia Peluang

dan Tantangan (http:// www.cert.or.id/ ~budi/ articles/1999-02.pdf:

diakses tanggal 30 Agustus 2010).

Penentuan saat terjadinya perjanjian (kontrak) berkaitan erat dengan

tempat dimana perjanjian itu dibuat, ada beberapa teori yang menjelaskan

tentang tempat terbentuknya perjanjian yaitu (PB, Triton, 2006: 112):

1) Pada saat disampaikannya persetujuan (consent) oleh pihak penerima

penawaran (expedition theory).

2) Pada saat dikirimnya penerimaan tersebut oleh pihak penerima

penawaran (acceptors acceptance atau disebut transmission theory).

Page 37: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23    

 

3) Pada saat diterimanya penerimaan tersebut oleh pihak yang

menawarkan (offeror) atau disebut reception theory.

4) Pada saat pihak yang menawarkan mengetahui adanya penerimaan

(acceptance) tersebut atau disebut information theory.

Menurut Julian Ding dalam bukunya Electronic Commerce, Law and

Practices, sebagaimana dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman

disebutkan bahwa terjadinya kontrak dalam transaksi electronic

commerce adalah a contract is struck when two or more persons agree to

a certain course of conduct, maksudnya bahwa sebagai suatu pertemuan

dimana dua atau lebih pihak setuju melakukan tindakan tertentu, sehingga

pada saat itulah kesepakatan tercapai. Mariam Darus Badrulzaman

berpendapat bahwa untuk menentukan kapankah suatu kontrak terjadi,

maka dapat dilihat dari syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu offer

(penawaran), acceptance (penerimaan) dan consideration. Suatu offer

merupakan suatu invitation to enter into binding agreement, suatu offer

adalah benar merupakan suatu tawaran jika pihak lain memandangnya

sebagai suatu penawaran, namun perlu diperhatikan bahwa suatu offer

haruslah benar merupakan suatu offer dalam hal mana memang benar

penawaran telah dilakukan dan ditujukan pada offeree. Jika suatu offer

sudah ditujukan pada offeree maka ia dapat choose whether yes or not to

accept it. Suatu offer harus secara jelas dinyatakan dan dalam hal offer

disampaikan dengan mempergunakan e-mail harus disebutkan bahwa jika

terjadi suatu offer dari seorang offeror, harus terdapat suatu kepastian

berupa diterima atau tidaknya hal tersebut dengan kata-kata “I accept or I

reject and go fourth”. Menemukan offer and acceptance dalam

cybersystem adalah tergantung pada keadaan dari cybersystem itu sendiri.

Seorang offeror adalah bebas untuk menentukan suatu manner of

acceptance, misalnya offeror menentukan bahwa hal penjualan melalui

web site atas barang dagangannya maka penawaran ditujukan pada

halaman dari e-mail addressnya sehingga dalam hal ini acceptance dapat

dalam bentuk e-mail saja (Mariam Darus Badrulzaman, 2005: 86).

Page 38: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24    

 

Jika offer pada web site secara umum mendapatkan acceptance dari

publik yang cukup banyak, sedangkan massage dalam offer di web site

tersebut hanya menawarkan sebuah barang saja maka dalam hal ini

dipakai prinsip “first come first serve”, maka yang paling awal dinyatakan

bahwa ia yang akan menerima tawaran itulah yang berhak. Peraturan ini

menyatakan bahwa suatu acceptance dari offer adalah efektif berlaku

pada saat pengiriman pos, dalam hal ini yaitu pada saat pengiriman

acceptance melalui pos tradisional melalui surat (dropping a place of

corespondence in to the mailbox). Cyberspace menerangkan jika suatu

pernyataan setuju dari offeree telah dikirim dan benar telah diterima oleh

offeror, maka dalam hal terjadi keterlambatan atau tidak sampainya pesan

adalah kewajiban dan risiko dari offeror jika tidak ada klausul pembatasan

hari dari offeror, namun dalam hal acceptance berlangsung dalam suatu

on line contract, maka tidak akan terjadi keterlambatan sehingga mailbox

rule tidak berlaku (Mariam Darus Badrulzaman, 2005: 87).

d. Karakteristik Transaksi E-Commerce

Berbeda dengan transaksi perdagangan biasa, transaksie-

commerce memiliki beberapa karakteristik yang sangat khusus, yaitu:

(Sakti, Nuransa,2001 :76)

1) Transaksi tanpa batas

Sebelum era internet, batas-batas geografi menjadi

penghalang suatu perusahaan atau individu yang ingin go-

international. Sehingga, hanya perusahaan atau individu dengan

modal besar yang dapat memasarkan produknya ke luar negeri.

Dewasa ini dengan internet pengusaha kecil dan menengah dapat

memasarkan produknya secara internasional cukup dengan membuat

situs web atau dengan memasang iklan di situs-situs internet tanpa

bataswaktu (24 jam), dan tentu saja pelanggan dari seluruh dunia

dapat mengakses situs tersebut dan melakukan transaksi secara on-

line.

Page 39: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25    

 

2) Transaksi anonim

Para penjual dan pembeli dalam transaksi melalui internet

tidak harus bertemu muka satu sama lainnya. Penjual tidak

memerlukan nama dari pembeli sepanjang mengenai pembayarannya

telah diotorisasi oleh penyedia sistem pembayaran yang ditentukan,

yangbiasanya dengan kartu kredit.

3) Produk digital dan non digital

Produk-produk digital seperti software komputer, musik dan

produk lain yang bersifatdigital dapat dipasarkan melalui internet

dengan cara mendownload secara elektronik. Dalam

perkembangannya obyek yang ditawarkan melalui internet juga

meliputi barang-barang kebutuhan hidup lainnya.

4) Produk barang tak berwujud

Banyak perusahaan yang bergerak di bidang e-commerce

dengan menawarkan barang tak berwujud seperti: data, software dan

ide-ide yang dijual melalui internet.

Implementasi e-commerce pada dunia industri yang penerapannya

semakin lama semakin luas tidak hanya mengubah suasana kompetisi

menjadi semakin dinamis dan global, namun telah membentuk suatu

masyarakat tersendiri yang dinamakan Komunitas Bisnis Elektronik

(Electronic Business Community). Komunitas memanfaatkan cyberspace

sebagai tempat bertemu, berkomunikasi dan berkoordinasi ini secara

intens memanfaatkan media dan infrastruktur telekomunikasi dan

teknologi informasi dalam menjalankan kegiatannya sehari-hari. Seperti

halnya pada masyarakat tradisional, pertemuan antara berbagai pihak

dengan beragam kepentingan secara natural telah membentuk sebuah

pasar tersendiri tempat bertemunya permintaan (demand) dan penawaran

(supply). Transaksi yang terjadi antara demand dan supply dapat dengan

mudah dilakukan walaupun yang bersangkutan berada dalam sisi

geografis yang berbeda karena kemajuan dan perkembangan teknologi

Page 40: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26    

 

informasi. Yang dalam hal ini adalah teknologi e-commerce

(Indrajit,Richardus, 2001: 60)

e. Jenis-jenis Transaksi Electronic Commerce

Electronic commerce dalam pelaksanaannya yang menggunakan media

internet sebagai sarana utamanya tidak terlepas dari ada dalam internet itu

sendiri. Kemudahan tersebut diantaranya adalah kemudahan untuk

diakses dimana saja dan dengan siapaseorang pengguna akan

berhubungan. Selain itu, sudut pandang dari e-commorce sangatlah luas.

Berdasarkan sudut pandang para pihak dalam bisnis e-commerce jenis-jenis

dari suatu kegiatan e-commerce adalah sebagai berikut:

1) Busines to Busines (B2B)

Busines to Busines merupakan kegiatan bisnis e-commerce yang

paling banyak dilakukan. Busines to Busines (B2B) terdiriatas:

a) Transaksi Inter Organizational System (IOS), misalnyatransaksi

extranest, electronic funds transfer, electronic forms,intrgrated messaging,

share data based, supply chainmanagement, dan lain-lain.

b) Transaksi pasar elektronik (electronic market transfer) (MunirFuady,

2005 : 408).

Busines to Busines (B2B) juga dapat diartikan sebagai

sistemkomunikasi bisnis online antar pelaku bisnis (Onno

W.Purbo,2000:2). Busines to Busines (B2B) mempunyai karakteristik,

dimana menurut Budi Raharjo dalam Mengimplementasikan Electronic

Commerce di Indonesia menyebutkan bahwa karekteristik itu antara

lain:

a) Trading Partners yang sudah diketahui dan umumnya

memilikihubungan (relationship) yang cukup lama. Informasi

hanyadipertukarkan dengan partner tersebut. Sehingga

jenisinformasi yang dikirimkan dapat disusun sesuai kebutuhan

dankepercayaan (trust).

b) Pertukaran data (data exchange) berlangsung berulang-ulangdan

secara berkala, dengan format data yang sudah disepakati

Page 41: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27    

 

bersama. Sehingga memudahkan pertukaran data untuk duaentiti

yang menggunakan standar yang sama.

c) Salah satu pelaku dapat melakukan inisiatif untuk mengirimkan

data, tidak harus menunggu partner.

d) Model yang umum digunakan adalah per-to-per dimana processing

intelligence dapat didistribusikan di kedua belah pihak

(http://www.cert.or.id/~budi/articles/1999-02.pdf, diakses tanggal 20 Juli

2011).

2) Bussines to Cunsumer (B2C)

Bussines to Cunsumer (B2C) merupakan transaksi ritel

denganpembeli individual (Munir Fuady, 2005 : 408). Selain itu

Bussines to Cunsumer (B2C) juga dapat berarti mekanisme took online

(electronic shoping mall) yaitu transaksi antara e-merchant dengan e-

customer (Onno W.Purbo, 2000:2). Budi Raharjo juga menyebutkan

Bussines to Cunsumer (B2C) mempunyai karakteristik tersendiri,

dimana karakteristik tersebut adalah:

a) Terbuka untuk umum, dimana informasi disebarkan ke umum

b) Servis yang diberikan bersifat umum (generic) dengan

mekanisme yang dapat digunakan oleh khayalak ramai. Sebagai

contoh, karena system web sudah umum digunakanmaka servis

diberikan dengan menggunakan basis web

c) Servis diberikan berdasarkan permohonan (on demand)

Consumer melakukan inisiatif dan produser harus siapmemberikan

respon sesuai dengan permohonan.

d) Pendekatan client atau server sering digunakan dimana diambil

asumsi client (consumer) menggunakan sistem yang

minimal(berbasis web) dan processing (bussines procedure)

diletakandi sisiserver (http://www.cert.or.id/~budi/articles/1999-02.pdf,

diakses tanggal 20 Juli 2011).

Page 42: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28    

 

3) Consumer to Consumer (C2C)

Consumer to Consumer (C2C) merupakan transaksi dimana

konsumen menjual produk secara langsung kepada konsumenlainnya.

Dan juga seorang individu yang mengiklankan produk barang atau

jasa, pengetahuan, maupun keahliannya di salah satusitus lelang

(Munir Fuady, 2005 : 408).

4) Consumer to Bussines (C2B)

Consumer to Bussines (C2B) merupakan individu yangmenjual

produk atau jasa kepada organisasi dan individu yangmencari penjual

dan melakukan transaksi (Munir Fuady,2005:408).

5) Non-Bussines Electronic Commerce Non-Bussines Electronic

Commerce meliputi kegiatan nonbisnis seperti kegiatan

lembaga pendidikan, organisasi nirlaba,keagamaan dan lain-lain

(Munir Fuady, 2005 : 408).

6) Intrabussines (Organizational) Electronic Commerce

Kegiatan ini meliputi semua aktivitas internal

organisasimelalui internet untuk melakukan pertukaran barang, jasa,

dan informasi, menjual produk perusahaan kepada karyawan, dan

lain-lain (Munir Fuady, 2005 : 408)

f. Pihak-pihak dalam Transaksi Electronic Commerce

Transaksi electronic commerce melibatkan beberapa pihak, baik

yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung, tergantung

kompleksitas transaksi yang dilakukan, artinya apakah semua proses

transaksi dilakukan secara on-line atau hanya beberapa tahap saja yang

dilakukan secara on-line. Apabila seluruh transaksi electronic commerce

dilakukan secara on-line, mulai dari proses terjadinya transaksi sampai

dengan pembayaran, maka pihak-pihak yang terlibat terdiri dari:

1) Penjual (merchant), yaitu perusahaan atau produsen yang

menawarkan produknya melalui internet. Menjadi seorang merchant,

maka seseorang harus mendaftarkan diri sebagai merchant account

Page 43: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29    

 

pada sebuah bank, tentunya ini dimaksudkan agar merchant dapat

menerima pembayaran dari customer dalam bentuk credit card.

2) Konsumen atau card holder, yaitu orang-orang yang ingin

memperoleh produk (barang atau jasa) melalui pembelian secara on-

line.

3) Acquirer, yaitu pihak perantara penagihan (antara penjual dan

penerbit) dan perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit).

4) Issuer; perusahaan credit card yang menerbitkan kartu.

5) Certification Authorities; pihak ketiga yang netral yang memegang

hak untuk mengeluarkan sertifikasi kepada merchant, kepada issuer

dan dalam beberapa hal diberikan pula kepada card holde.

Apabila transaksi electronic commerce tidak sepenuhnya dilakukan

secara on-line, dengan kata lain hanya proses transaksinya saja yang on-

line, sementara pembayaran tetap dilakukan secara manual atau cash,

maka pihak acquirer, issuer, dan certification authority tidak terlibat di

dalamnya .

g. Pengaturan E-commerce dalam Bisnis Internasional

Transaksi bisnis internasional e-commerce dalam pelaksanaanya

dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan perdagangan internasional

yaitu:

1) Kontrak Perdagangan Internasional (secara umum) Berdasarkan

United Nations in Contracts for International Sale of Goods

(UNCISG) 1980 dan 1986.

Kontrak perdagangan internasional secara umum (bukan dalam

konteks e-commerce) diatur dalam United Nations in Contracts for

International Sale of Goods (UNCISG) 1980 dan 1986. Indonesia

belum meratifikasi untuk UNCISG tahun 1980, meskipun demikian

konvensi ini patut kita pertimbangkan sebagai platform bagi konvensi

jual beli internasional yang baru. Konvensi ini mengatur masalah-

masalah kontraktual yang berhubungan dengan kontrak jual beli

internasional. Konvensi ini sebenarnya hanya mengatur masalah jual

Page 44: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30    

 

beli antara business to business (B2B), sedangkan e-commerce yang

kita bahas disini adalah hubungan bisnis antara Business to Consumer

(B2C) dan juga business to business tetapi didalam konvensi tersebut

terdapat beberapa prinsip yang dapat di adopsi dalam makalah ini.

Konsepsi yang bisa diambil dari konvensi ini antara lain adalah

(http//bisnis internasional e-commerce.mkn.com: diakses 15 Agustus

2010):

a) Bahwa kontrak tidak harus dalam bentuk tertulis (in writing form),

tetapi kontrak tersebut bisa saja berbentuk lain bahkan hanya

berdasarkan saksi. Berdasarkan aturan tersebut suatu kontrak dapat

juga dalam bentuk data elektronik (misalnya dalam format data

form yang di-sign dengan digital signature) tapi didalam UNCISG

ini belum diatur secara spesifik mengenai digital signature.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka suatu kontrak jual-beli secara

internasional yang menggunakan digital signature berdasarkan

hukum internasional secara hukum mengikat (legally binding) atau

mempunyai kekuatan hukum. Mengenai sahnya suatu kontrak yang

berbentuk digital signature ini sebaiknya diatur dalam perUndang-

Undangan tersendiri seperti seperti halnya yang dilakukan di

Amerika (negara bagian Utah, California), Malaysia, Singapura.

b) CISG mencakup materi pembentukan kontrak secara internasional

yang bertujuan meniadakan keperluan menunjukkan hukum negara

tertentu dalam kontrak perdagangan internasional serta untuk

memudahkan para pihak dalam hal terjadi konflik antar sistem

hukum . CISG berlaku terhadap kontrak untuk pejualan barang

yang dibuat diantara pihak yang tempat dagangnya berada di

negara yang berlainan Pasal 1 ayat (1). Dengan demikian yang

menentukan adalah tempat perdagangannya dan bukan

kewaarganegaranya. Konteks digital signature tempat kedudukan

dari Merchant yang adalah kedudukan hukum yang tercantum di

digital certificate miliknya. Suatu kontrak yang dibuat berdasarkan

Page 45: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31    

 

CISG (misalnya berupa digital signature) atau yang tunduk kepada

CISG harus ditafsirkan berdasarkan prinsip-prinsip yang tercantum

dalam CISG dan kalau CISG belum menentukan, berdasarkan

kaaidah-kaidah hukum perdata internasional. Disamping itu, CISG

menerima kebiasaan dagang serta kebiasaan antara para pihak

sebagai dasar penafsiran ketentuan kontrak. Seperti halnya dalam

hukum kontrak Indonesia, itikad baik dijadikan prinsip utama

dalam penaafsiran utama dalam penafsiran ketentuan dan

pelaksanaan kontrak. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka

hendaknya setiap bentuk kontrak perdagangan internasional dengan

menggunakan digital signature selain didasarkan pada peraturan

yang mengatur secara spesifik mengatur tentang digital signature

juga didasarkan pada UNCISG karena CISG banyak dipakai oleh

negara-negara di dunia.

c) Saat terbentuknya kontrak, Ini menyangkut kapan terjadinya

kesepakatan terutama apabila kesepakatan ini terjadi tanpa

kehadiran para pesertaatau pihak. Transaksi di internet kita

analogikan sebagai transaksi yang dialukan tanpa kehadiran para

pelaku di satu tampat (between absent person). CISG memberikan

kepastian di dunia perdagangan internasional mengenai saat

terjaadinya suatu kontrak. kepastian ini akan memberikan dalam e-

commerce tanpa adanya kepastian ini, pertukaran antara suatu

digital signature akan sulit menimbulkan hak dan kewajiban yang

diakui oleh hukum kontrak. E-mail meskipun sifatnya

menghubungkan para pihak dengan hampir seketika tetapi tetap

saja terjadi kelambatan (delay) dalam masalah transmisinya,

demikian juga harus dipertimbangkan adanya sistem yang tidak

bekerja secara sempurna sehingga suatu offer atau acceptance tidak

dapat diterima secara seketika. Kontrak jual-beli dianggap sudah

ada setelah adanya kesepakatan yang datang dari kedua belah

pihak.

Page 46: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32    

 

2) Kontrak Berdasarkan United Nations Commision on International

Trade Law (UNCITRAL) model law on Electronic Commerce.

Model law ini mengatur tentang e-commerce secara umum,

mulai dari definisi-definisi yang dipakai, bentuk dokumen-dokumen

yang dipakai dalam e-commerce, keabsahan kontrak, saat terjadinya

kontrak selain itu model law ini mengatur juga tentang carriage of

goods. Pendekatan yang diambil dalam model law ini adalah bahwa

suatu informasi tidak dapat dikatakan tidak mempunyai kekuatan

hukum, tidak mempunyai kekuatan hukum, karena informasi itu

berbentuk data message. Berdasarkan pendekatan diatas maka suatu

data messaages apapun bentuk atau formatnya tidak dapat dikatakan

tidak mempunayai kekuatan hukum hanya karena ia berbentuk suatu

data messages. Pendekatan ini akan menimbulkan suatu kepastian

dikemudian hari apabila terdapat suatu bentuk atau format data

messages dalam bentuk yang baru. Pendekatan ini juga akan

menyebabkan suatu kontrak atau perjanjian yang dibuat dengan

digital signature mempunyai kekuatan hukum. Sedangkan apabila

dalam suatu perUndang-Undangan terdapat persyaratan bahwa harus

dalam bentuk tertulis, maka persyaratan ini dapat dicapai, selama

informasiatau data tersebut dapat diakses. Apabila suatu perUndang-

Undangan menghendaki adanya suatu tandatangan sebagai tanda

sahnya suatu dokumen maka hal ini dapat dicapai dengan cara:

a) Terdapat suatu metode yang digunakan untuk mengidentifikasi

keberadaan seseorang dan juga dapat mengindikasikan didalam

dokumen tersebut telah mendapat persetujuan dari orang tersebut.

b) Bahwa metode tersebut diatas dapat dipercaya atau dapat

dipertanggungjawabkan sehingga data tersebut dapat dengan aman

disebarluaskan.

c) Pendekatan tersebut diatas sifatnya adalah sangat luas atau tidak

jelas. Metode Digital signature adalah salah satu cara yang dapat

Page 47: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33    

 

mensiasati kebutuhan adanya suatu tandatangan dalam sebuah

dokumen.

3) General Usage for International Digitally Ensured Commerce

(GUIDEC) dari The International Chamber of Commerce (ICC).

GUIDEC adalah suatu panduan yang dibuat oleh International

Chamber of Commerce bagi penggunaan suatu metode yang akan

menjamin keberadaan suatu dokumen atau data elektronis dalam

penggunaannya dalam dunia internasional. Panduan ini menggunakan

terminologi ensured untuk membedakannya dengan terminologi sign

dalam hal panandatanganan (sign in atau signature) terhadap suatu

dokumen (Kantaatmaja, 2002:23).

GUIDEC ini dimaksudkan untuk menunjang perkembangan

dari e-commerce dengan memberikan kepastian bagi penerapan

adanya tandatangan dalam suatu dokumen elektronis. Panduan ini

akan menjelaskan berbagai terminologi atau istilah yang ada didalam

UNCITRAL model law on e-commerce seperti apakah sebenarnya

maksud dari penandatangan suatu data messages secara elektronis

(electronically signed Messages). Penandatanganan disini maksudnya

adalah bukan dilakukan secara fisik, tetapi membutuhkan suatu

perangkat elektronik. Terminologi dari electronically signed yang

dipakai dalam GUIDEC ini adalah penggunaan teknik enkripsi dengan

menggunakan kunci publik yang lebih dikenal sebagai digital

signature. Penggunaan digital signature ini akan memberikan

kepastian akan keamanan, keutuhan dari data messages yang

digunakan dalam e-commerce. Faktor keamanan dan keutuhan dari

suatu data messages adalah suatu hal yang sangat menentukan dalam

menunjang perkembangan e-commerce. E-commerce yang dilakukan

melalui media internet yang merupakan suatu jaringan publik akan

memberikan berbagai ketidakpastian bagi para penggunaanya.

Panduan mengenai bagaimana suatu data messages dapat dijamin

keamanan dan keutuhan melalui cara digital signature.

Page 48: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34    

 

4) United Nations Commision on International Trade Law

(UNCITRAL), Draft on Electronic Signature

Draft ini berisi bagaimana suatu data messages dapat

ditandatangani secara elektronis. Sebenarnya terminologi Electronic

Signature yang dipakai dalam draft ini adalah sama dengan digital

signnature, namun pihak UNCITRAL memilih terminologi ini

mungkin karena medium yang dipakai dalam menandatangani suatu

data messages adalah secara elektronik.

Berdasarkan aturan-aturan yang berlaku secara internasional

seperti disebut diatas, maka keberadaan digital signature (dan

berbagai macam istilah lain yang sebenarnya mempunyai maksud

yang sama) dalam kontrak perdagangan internasional adalah hampir

menjadi semacam standar bagi perdagangan internasional dimasa

yang akan datang. Keberadaan digital signature pada saat ini dalam

penggunaannya sebagai salah satu bentuk kontrak perdagangan

internsional telah mempunyai kekuatan hukum. Ia secara hukum

mengikat (legally binding), meskipun belum ada konvensi yang

mengaturnya secara tersendiri.

h. Sengketa E-Commerce

Secara umum sengketa terbagi dalam dua macam, yaitu sengketa

menyangkut kontrak dan yang bukan menyangkut kontrak. Sengketa

menyangkut kontrak dapat dibagi lagi menjadi sengketa pengusaha dengan

pengusaha dan sengketa pengusaha dengan konsumen, namun sebagai

konsekuensinya, dari pengusaha ke konsumen telah memunculkan pula

sengketa antara konsumen dengan konsumen. Sengketa menyangkut

kontrak dapat terjadi, misalnya jika layanan yang dilakukan oleh penyedia

jasa sangat buruk. Contohnya dalam perdagangan saham secara online

yang sistemnya ternyata cacat, akses terhadap database yang ternyata

sangat minim (Paustinus Sibsruan, 2004: 5).

Page 49: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35    

 

Berikut ini akan diuraikan bentuk- bentuk wanprestasi yang

dilakukan oleh penjual ( merchant ) dalam transaksi e-commerce yaitu (

Edmon Makarim, 2005: 269-272):

1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya. Dalam

transaksi e-commerce, merchant mempunyai kewajiban untuk

menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli dan kewajiban untuk

menanggung segala kerusakan barang yang dikirim. Jika penjual tidak

melaksanakan kedua kewajibannya tersebut, merchant dapat

dikatakan wanprestasi. Contohnya toko online kakilima.com yang

menawarkan kue ulang tahun. Kakilima menjanjikan untuk mengantar

pesanan pembeli dalam waktu satu minggu setelah pesanan diterima.

Apabila pembeli memesan kue ulang tahun tersebut pada tanggal 12

Juli 2001, seharusnya roti tersebut sampai di tempat pembeli pada

tanggal 19 Juli 2001. Akan tetapi, ternyata penjual tidak dapat

melaksanakan kewajibannya tersebut, ia tidak mengirimkan kue

tersebut sehingga dengan demikian penjual telah melakukan

wanprestasi.

2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang

dijanjikan. Contohnya adalah pembeli memesan satu buah rangkaian

bunga pada kakilima.com. Saat memesan tersebut, yang pembeli lihat

adalah sebuah gambar di layar monitornya yang menampilkan gambar

sebuah rangkaian bunga mawar merah yang segar. Akan tetapi,

ternyata rangkaian bunga yang sampai ke tempatnya adalah rangkaian

bunga mawar merah yang sudah layu atau tidak segar lagi seperti yang

ada pada gambar di layar monitor. Merchant telah melakukan

wanprestasi karena melaksanakan prestasinya dengan tidak

sebagaimana mestinya.

3) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat. Untuk

wanprestasi model ini sebenarnya mirip dengan wanprestasi bentuk

yang pertama. Jika barang pesanan datang terlambat, tetapi tetap dapat

dipergunakan, hal ini dapat digolongkan sebagai prestasi yang

Page 50: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36    

 

terlambat. Sebaliknya jika prestasinya tidak dapat dipergunakan lagi,

digolongkan sebagai tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan.

Misalnya pembeli memesan buku dari Toko Sanur-Online. Pesanan

yang seharusnya hanya memerlukan waktu pengiriman selama tiga

hari ternyata baru tiba pada hari yang ke tujuh. Hal ini jelas

menunjukkan penjual telah wanprestasi. akan tetapi, karena barangnya

masih dapat dipergunakan, wanprestasi ini digolongkan sebagai

prestasi yang terlambat dan bukan tidak melakukan prestasi.

4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Untuk wanprestasi yang terakhir ini, contohnya merchant yang

berkewajiban untuk tidak menyebarkan kepada umum identitas dan

data diri dari pembeli, tetapi ternyata merchant melakukannya.

Demikianlah aplikasi dari wanprestasi yang mungkin terjadi dalam

transaksi e-commerce.Wanprestasi yang dilakukan oleh merchant

tentu saja sangat merugikan pihak pembeli. Akan tetapi, untuk

mengajukan tuntutannya, pembeli harus mendahului tuntutannya

dengan somasi. Somasi tersebut berupa peringatan agar merchant

melaksanakan kewajibannya. Jika somasi tersebut tidak diindahkan,

merchant berada dalam keadaan wanprestasi, somasi tidak diperlukan

jika merchant keliru berprestasi.

i. Pilihan Hukum Penyelesaian Sengketa E-commerce

Dalam Hukum Perdata Internasional jika telah ditentukan di dalam

klausula perjanjian tersebut mengenai pilihan hukum, maka pilihan hukum

itulah yang akan menyelesaikannya. Tetapi jika ternyata tidak

dicantumkan mengenai pilihan hukum tersebut maka hukum yang berlaku

dapat ditentukan berdasarkan teori-teori yang ada (www.hukum

online.com,diakses tanggal 16 Juli 2011):

1) Teori kotak pos (mail box theory)

Menurut teori ini, suatu kontrak atau perjanjian terjadi pada saat

jawaban yang berisikan penerimaan tersebut dimasukkan ke dalam

Page 51: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37    

 

kotak pos. Dalam hal transaksi e-commerce maka hukum yang berlaku

adalah hukum dimana pembeli mengirimkan pesanan melalui

komputernya. Teori ini mempunyai kelemahan sebab ada kemungkinan

pihak lawan tidak menerima pesannya atau terlambat menerima pesan

tersebut. Oleh karena itu diperlukan konfirmasi pihak penjual.

2) Acceptance Theory (teori penerimaan)

Menurut teori ini, hukum yang berlaku adalah hukum dimana

pesan dari pihak yang menerima tawaran tersebut disampaikan. Dalam

transaksi e-commerce maka hukum yang berlaku menurut teori ini

adalah hukum si penjual.

3) Proper Law of The Contract

Menurut teori ini hukum yang berlaku adalah hukum yang

mempunyai titik-titik pertalian yang paling banyak, atau hukum yang

paling sering dipergunakan pada saat pembuatan perjanjian. Misalnya

bahasa yang dipergunakan bahasa Jepang, mata uang yang dipakai

dalam transaksi yen, arbitrase yang dipergunakan arbitrase Jepang,

maka yang menjadi pilihan hukumnya adalah hukum Jepang.

4) The Most Characteristic Connection

Dalam teori ini, hukum yang berlaku adalah hukum pihak mana

yang melakukan prestasi yang paling karakteristik atau paling banyak.

Dengan demikian teori-teori tersebut dapat dipakai untuk menentukan

hukum mana yang berlaku jika terjadi sangketa di kemudian hari.

3. Tinjauan tentang Arbitrase

a. Pengertian Arbitrase

Arbitrase atau dalam beberapa istilah Indonesia sering disebut

peradilan wasit, dalam hal ini penulis sengaja memilili menggunakan

istilah arbitrase karena dirasa bahwa istilah kata arbitrase di Indonesia

sudah menjadi suatu bahasa baku yang langsung dapat di pergunakan, hal

ini juga termuat jelas dalam ketentuan-ketentuan yang ada dalam negara

Page 52: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38    

 

Indonesia menggunakan istilah arbitrase dalam penyebutannya , bukan pula

dengan penyebutan Peradilan Wasit ataupun Arbitrasi.

Berikut akan coba dijelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian

secara harfiah dari makna kata arbitrase, banyak pendapat yang dapat

dijadikan batasan dari arbitrase.

What is arbitration? Arbitration is a final, and binding resolution of a dispute by a person called an “arbitrator” or “Neutral”, or a panel of three or more “neutrals”. The courts of the majority of jurisdictions uphold the binding nature of an arbitrator's judgment to the same extent that they up hold a ruling by a judge (Leacock, 2001: 19).

Dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering di singkat B.Rv.

atau Rv. Tersebut istilah Arbitrage (bahasa Belanda) yang mengadung

pengertian dalam bahasa Inggris “arbitration “, yang dirumuskan, sebagai

the submission for determination ofdisputted matterr to private unofficial

persons selected in manner provided by law or agreement. (Akhmad

Ichsan, 1993:10).

Yahya Harahap berpendapat arbitrase merupakan salah satu metode

penyelesaian sengketa. Sengketa yang harus diselesaikan tersebut berasal

dari sengketa atas sebuah kontrak dalam bentuk sebagai berikut (M.Yahya

Harahap,1991:108):

1) Perbedaan penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian,

berupa:

a) Kontraversi pendapat (Controversy);

b) Kesalahan pengertian (misunderstanding);

c) Ketidaksepakatan (disagreement).

2) Pelanggaran perjanjian (breach of contract) termasuk didalamnya

adalah:

a) Sah atau tidaknya kotrak;

b) Berlaku atau tidaknya kontrak;

3) Pengakhiran kontrak (termination of contract);

Page 53: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39    

 

4) Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan atau

melawan hukum.

Menurut Abdurrachman arbitrase dimaksudkan sebagai memeriksa

sesuatu, atau mengambil keputusan mengenai faedahnya. Proses yang oleh

suatu perselisihan antara dua pihak yang bertentangan diserahkan kepada

satu pihak atau lebih yang tidak berkepentingan untuk mengadakan

pemeriksaan dan mengambil suatu keputusan terakhir. Pihak yang tidak

berkepentingan atau arbitator tersebut, dapat dipilih oleh pihak-pihak itu

sendiri, atau boleh ditunjuk oleh suatu badan yang lebih, tinggi yang

kekuasaannya diakui oleh pihak-pihak itu. Pelaksanaan prosedur

arbitration kedua belah pihak yang bertentangan itu sebelumnya telah

menyetujui akan menerima keputusan arbitrator (Abdurrachman, A.,

1991:50).

Definisi menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimaksud dengan

arbitrase adalah :

“Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999)

Beberapa definisi yang ada tentang pengertian arbitrase, Munir Fuady

menyimpulkan terdapat beberapa karakteristik yuridis dari arbitrase.

Karateristik yuridis tersebut adalah sebagai Berikut (Munir Fuady,

2000:13):

1) Adanya kontroversi diantara para pihak;

2) Kontroversi tersebut diajukan kepada arbiter;

3) Arbiter diajukan oleh para pihak atau ditunjuk oleh badan tertentu;

4) Arbiter adalah pihak diluar badan peradilan umum;

5) Dasar pengajuan sengketa ke arbitrase adalah perjanjian;

6) Arbiter melakukan pemeriksaan perkara;

7) Setelah memeriksa perkara, arbiter akan memberikan putusan arbitrase

tersebut dan mengikat para pihak.

Page 54: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40    

 

Perbedaan arbitrase ke dalam arbitrase domestik dan arbitrase

internasional atau dalam tulisan ini penulis menggunakan istilah arbitrase

asing disebabkan adanya anasir asing yang terdapat dalam perjanjian yang

dibuat para pihak baik berupa subyek, obyek, ataupun bentuk formalitas

perjanjian. (Kushartoyo budi S. dalam Majalah Hukum Trisakti; 1995:70).

Sudargo Gautama memberikan pengertian arbitrase internasional

secara agak luas menurutnya arbitrase akan bersifat Internasional jika

beberapa hal terpenuhi, yaitu : Pertama, apabila para pihak yang membuat

klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian itu

mempunyai tempat usaha (places of business) mereka di negara-negara

yang berbeda. Kedua, jika tempat arbitrase yang ditentukan dalam

perjanjian arbitrase ini letaknya diluar negara tempat para pihak

mempunyai tempat usaha mereka. Ketiga, apabila suatu tempat di mana

bagian terpenting kewajiban atau hubungan dagang para pihak harus

dilaksanakan atau tempat di mana obyek sengketa paling erat hubungannya

(most closely connected), memang letaknya diluar negara tempat usaha

para pihak. Keempat, apabila para pihak secara tegas telah menyetujui

bahwa obyek perjanjian mereka ini berhubungan dengan lebih dari satu

negara (Sudargo Gautama, 1989:3-4).

Penulis sengaja memilih istilah arbitrase asing dengan maksud untuk

memudahkan penyebutan dan menspesifikan arti dari istilah “asing” itu

sendiri, dengan memaknai “asing” disini adalah sama dengan luar negeri

seperti juga termaksud dalam Konvensi New York 1958, dengan

mengambil istilah padanan dengan “foreign”, sehingga arbitrase asing

disini dimaksudkan lebih kepada arbitrase yang berada diluar batas

yurisdiksi maupun wilayah Indonesia. Hal ini sejalan dengan Peraturan

Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang Pelaksanaan Arbitrase Asing

di Indonesia. Istilah “Putusan Arbitrase Asing” (Pasal 2), dan istilah

“Putusan Arbitrase Internasional” (Pasal 1 ayat (9)) dapat dijelaskan dalam

Undang-Undang Arbitrase No. 30 tahun 1999.

Page 55: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41    

 

b. Sejarah Arbitrase

1) Sejarah Arbitrase di Amerika dan Eropa

Arbitrase sebagai bentuk perwasitan di bidang proses peradilan di

luar peradilan umum merupakan sarana yang sangat membantu

menyelesaikan perselisihan-perselisihan atau sengketa yang terjadi

dalam pelaksanaan perjanjian atau kontrak, khusus dalam hukum privat

baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional, seperti

dalam pelaksanaan perjanjian komersial dan perjanjian investasi

(penanaman modal) (Akhmad Ichsan,1992:l). Penggunaan istilah

Hukum Privat di sini dimaksudkan baik yang di sebut civil law maupun

common law.

Berdasarkan sejarah perkembangannya, sebenarnya cikal bakal

lembaga arbitrase sudah ada sejak Zaman Yunani Kuno, terus

berkembang pada zaman Romawi dan Yahudi, seterusnya di negara-

negara bisnis di Eropa seperti Inggris dan Belanda. Kemudian

menyebar ke Perancis (1250), Scotlandia (1695), Irlandia (1700),

Denmark (1795) dan USA (1870) (Huala Adolf, 1990:2).

Penelusuran tentang sejarah hukum tentang arbitrase ada yang

berpendapat bahwa arbitrase mendapat akarnya dalam hukum-hukum

gereja (ecclesiastical law). Berdasarkan sejarah hukum Inggris

misalnya, terlihat bahwa arbitrase telah digunakan oleh asosiasi-

asosiasi bisnis abad pertengahan (medieval guilds) di Inggris. Arbitrase

juga sudah digunakan di sana dalam transaksi-transaksi maritim tempo

dulu (Munir Fuady, 2000:15).

Undang-Undang yang paling tua di dunia tentang Arbitrase

adalah Arbitration Act (1697) di Ingggris, Undang-Undang tersebut

sampai sekarang telah mengalami beberapa kali perubahan. Di Inggris

dalam sejarah perkembangann arbitrase banyak mengalami

pertentangan bahkan timbulnya sikap antipati terhadap lembaga

arbitrase. Pada abad 18 menjadi fashionable disana bagi hakim-hakim

untuk memutuskan bahwa arbitrase clause atau contract bertentangan

Page 56: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42    

 

dengan public policy karena arbitrase dapat mengakibatkan oust the

jurisdiction (of the courts).

Arbitrase di Perancis diatur dalam Code de Procedure Civile

(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata) yang mulai berlaku

sejak tahun 1806, yang kemudian sejalan dengan perkembangan zaman

lahir Undang-Undang arbitrase tahun 1925, yang lebih memberikan

tempat kepada sistem peradilan arbitrase ini (Munir Fuady,2000:22).

Praktek dirasakan bahwa kewenangan dan yurisdiksi dari

peradilan arbitrase ini masih belum memuaskan. Campur tangan badan

peradilan konvensional dianggap masih terlalu kuat terhadap arbitrase.

Karena itu, pada tanggal 14 Mei 1980, Pemerintah Perancis

mengeluarkan Dekrit (decree) yang memberikan kewenangan dan

yurisdiksi yang lebih mandiri terhadap badan arbitrase, di mana badan

peradilan pada prinsipnya tidak dapat mencampuri urusan arbitrase.

Badan-badan peradilan konvensional bahkan mempunyai kewajiban

untuk memperlancar pelaksanaan tugas-tugas arbitrase. Namun begitu,

banding terhadap putusan arbitrase ke badan peradilan umum

diperkenankan dalam hal-hal tertentu saja.

USA telah terdapat Arbitration Act (1925), yang asas-asanya

masih berlaku dalam Undang-Undang (federal) yang sekarang. Karena

hukum di USA berasal dari Inggris Raya, maka prinsip-prinsip hukum

tentang arbitrase di USA juga tidak jauh berbeda (dengan yang ada di

Inggris, kecuali dalam beberapa hal yang secara detail ada

perkembangan yang berbeda dalam praktek perUndang-Undangan dan

Praktek yurisprudensinnya (Munir Fuady, 2000:21).

Sejarah arbitrase di Belanda mempunyai keterkaitan dengan

sejarah di Indonesia. Semula, hukum arbitrase yang diterapkan di

negeri Belanda yang bersumber dari kitab Undang-Undang Hukum

Acara Perdatannnya tidak jauh berbeda dengan praktek yang di

terapkan di Indonesia yang berdasarkan pada RV, tetapi kemudian

pada perkembangannya ternyata hukum arbitrase di negeri Belanda

Page 57: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43    

 

berbeda dengan hukum arbitrase di Indonesia. Hal ini disebabkan dua

hal pokok sebagai berikut (Munir Fuady, 2000:23):

a) Perkembangan praktek arbitrase di negeri Belanda yang pesat telah

memberi pengaruh yang sangat besar dalam pengembangan hukum

arbitrase disana. Sementara di Indonesia, praktek hukum arbitrase

relatif tidak berkembang, dan penyelesaian sengketa lewat arbitrase

itu sendiri tidak populer.

b) Dibentuknya peraturan arbitrase yang baru di negeri Belanda yang

mulai berlaku sejak 1 Desember 1986. Peraturan ini merupakan

buku keempat yang baru dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Perdata, mulai dari Pasal 1020 sampai dengan Pasal 1076.

Sementara peraturan tentang arbitrase yang lama di Belanda

termuat dalam Pasal 620 sampai dengan Pasal 657 Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Perdatannya, yang mirip-mirip dengan

ketentuan dalam Pasal 605 sampai dengan Pasal 651 RV Indonesia.

2) Sejarah Arbitrase di Asia.

Perkembangan arbitrase di kawasan Asia dapat terlihat dalam

perkembangan institusionalisasi lembaga arbitrase ini. Dalam hal ini,

Cina, Sri langka dan Philipina, dianggap yang terdepan dalam

perkembangannya dari segi institusioinalisasi tersebut (Marifa, Isna,

1996:37), sedangkan di Indonesia, Badan Arbitras Nasional Indonesia

(BANI) sudah di bentuk pada tanggal 3 Desember 1977 oleh Kamar

dagang dan Industri (KADIN), tetapi perkembangan arbitrase di negeri

ini dianggap masih belum sesuai harapan, sementara itu keberadaan

arbitrase khusus yang coba dibentuk Indonesia dalam rangka

penyelesaian sengketa yang berkenaan dengan bank yang berdasarkan

syariat Islam juga belum efektif berjalan.

Institusi penyelesaian sengketa alternatif di Philipina diarahkan

terhadap pengembangan institusionalisasi ke tingkat pedesaan

(barangay), yang dibentuk dengan dekrit (decree) Presiden No. 1508

Tahun 1978. Jalur penyelesaian sengketa alternatif diluar pengadilan

Page 58: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44    

 

merupakan suatu hal terpenting, dalam hal ini telah dibentuk institusi

mediasi penyelesaian sengketa di 42000 desa di seluruh Philipina.

Bahkan begitu pentingnya kedudukan badan-badan mediasi ini

sehingga seseorang tidak dapat langsung maju ke pengadilan untuk

berperkara sebelum menunjukan adanya sertifikasi dari Sekretaris

Panel Mediasi yang menyatakan bahwa proses mediasi sudah

dilaksanakan tapi tidak berhasil (Munir Fuady, 2000:25).

Sri Langka melalui Undang-Undang No. 10 Tahun 1958,

pemerintah telah memformulasikan terbentuknya suatu badan

konsiliasi. Undang-Undang tersebut diamendir dengan Undang-Undang

No. 72 Tahun 1988 yang memformulasi terbentuknya Badan Mediasi.

Dewasa ini telah ada ratusan panel mediasi di Sri Langka dengan

seluruh mediator sudah ribuan jumlahnya. Kedudukan mediasi di Sri

Langka sangatlah penting bahkan wajib diikuti terlebih dahulu sebelum

sebelum perkara di bawa ke pengadilan-pengadilan konvensional

(Suyud Margono, 2000:54).

Jepang, tradisi menyelesaikan perkara di luar badan peradilan

juga sudah sangat membudaya dalam kehidupan hukum

kemasyarakatannya. Jepang sudah lama di kenal Konsiliasi Tokugawa

(Atsukai, Naisai), yang merupakan bentuk konsiliasi tradisionalnya, di

samping badan penyelesaian sengketa dalam arti modern, seperti

Konsiliasi Informal (Jidan), Konsiliasi (Chotel), dan Kompromi

(wakai).

Malaysia, penyelesaian sengketa alternatif juga populer,

khususnya dikalangan bisnis. Sejak tahun 1978, di sana sudah ada the

Kuala Lumpur Regional Center For Arbitration (KLRCA), yang

melaksanakan tugasnya sebagai mediasi dan arbitrase, baik untuk

sengketa domestik maupun sengketa Internasional. Negara ini juga

Asia-Afrika Legal Consultative Committee (AALCC), mempunyai

pusat arbitrase untuk Asia, sedangkan untuk Afrika dipusatkan di

Page 59: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45    

 

Kairo, dengan menggunakan Uncitral Rules (suatu prosedur arbitrase

yang telah acceptable oleh PBB sejak tahun 1976).

Singapore, terdapat pusat arbitrase yang menangani kasus-kasus

bisnis. Badan arbitrase internasional yaitu Singapore International

Arbitration, yang terbentuk dalam tahun 1990, juga sangat memegang

peranan di kawasan ini dalam menangani sengketa-sengketa bisnis

Internasional.

3) Sejarah Arbitrase di Indonesia

Jalur penyelesaian sengketa secara alternatif diluar pengadilan

sesungguhnya sangat mungkin terjadi di masyarakat Indonesia, dan

sejak dahulu budaya ini telah ada dalam masyarakat Indonesia,

sengketa-sengketa yang timbul dimasyarakat Indonesia terutama yang

masih kuat memegang nilai kulture adat, jarang sekali dibawa

kepengadilan negara untuk diselesaikan. Mereka lebih suka

membawanya ke lembaga yang tersedia pada masyarakat adat untuk

diselesaikan secara damai. Masyarakat hukum adat, penyelesaian

sengketa biasanya dilakukan dihadapan kepala desa atau hakim adat.

Alasan Kultural bagi eksistensi dan pengembangan ADR (Alternative

Dispute Resolution) di Indonesia tampaknya lebih kuat dibandingkan

dengan alasan tidak efisien proses peradilan dalam menangani sengketa

(Suyud Margono, 2000:38).

Berdasarkan tata peradilan Indonesia sudah lama dikenal sitem

pengadilan alternatif atau peradilan wasit. Arbitrase telah dikenal

sebelum perang Dunia II dan dijalankan dalam praktek, akan tetapi

masih jarang sekali digunakan, disebabkan kecuali karena kurang

pengertian juga karena tidak ada keyakinan tentang manfaatnya.

(Asikin Kusumah Armaja, 1973:61) Pada jaman Hindia Belanda badan

peradilan yang ada saat itu adalah:

a) Golongan Eropa dan mereka yang disamakan kedudukannya

dengan golongan tersebut adalah Raad van Justitie dan

Residentiegerechr sebagai peradilan sehari-hari dengan hukum

Page 60: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46    

 

acara yang digunakan termuat dalam Reglement op de Burgerlijke

Rechtsvordering disingkat B.Rv atau RV.

b) Golongan Bumiputera yang terdiri dari bangsa Indonesia asli dan

mereka yang disamakan kedudukannya adalah Landraad sebagai

pefadilan sehari-hari dan beberapa peradilan lainnya seperti

peradilan kabupaten, peradilan distrik dan sebagainya. Hukum

Acara yang digunakan adalah Herziene Inlandsch Reglement

disingkat H.I.R., sedangkan untuk daerah luar jawa dan madura

adalah Rechtsreglement Buitepgewesten atau R.B.G.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk

golongan bumiputra, baik HIR maupun RBG, tidak mengatur tentang

arbitrese, melalui Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBG, ketentuan-

ketentuan dalam RV berlaku juga untuk golongan bumiputera.

Berdasarkan pada Pasal 377 HIR, 705 RBG tersebut apabila

seorang bumiputera hendak tunduk pada peraturan orang Eropa, maka

ketentuan arbitrase yang terdapat dalam RV Pasal 615 sampai dengan

Pasal 651 juga diberlakukan bagi orang Indonesia. Ketentuan dalam

RV mengenai arbitrase meliputi lima bagian yaitu:

a) Bagian I, Pasal 615 sampai dengan Pasal 623 tentang Persetujuan

Arbitrase dan Pengangkatan Atbiter.

b) Bagian II, Pasal 624 sampai dengan Pasal 630 tentang Pemeriksaan

Perkara di Depan Arbitrase.

c) Bagian III, Pasal 631 sampai dengan Pasal 640 tentang Putusan

Arbitrase.

d) Bagian IV, Pasal 641 sampai dengan Pasal 647 tentang Upaya-

Upaya Hukum terhadap Putusan Arbitrase.

e) Bagian V, Pasal 648 sampai dengan Pasal 651 tentang Berakhirnya

Perkara Arbitrase.

Indonesia merdeka berdasarkan Pasal II peraturan peralihan

Undang-Undang dasar 1945 ketentuan mengenai arbitrase masih

berlaku untuk orang Indonesia.

Page 61: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47    

 

Undang - Undang tentang Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1950

memuat pengakuan bagi institusi arbitrase atau perwasitan yaitu diatur

dalam Pasal 15 dan Pasal 108 sampai dengan Pasal 111, yang mengatur

tentang banding terhadap putusan arbitrase kepada Mahkamah Agung

(Pasal 15 Juncto Pasal 108) dengan ketentuan sengketa tersebut

meliputi nilai f 500,00 (Pasal 615 RV) atau Rp. 25.000,00 atau lebih,

namun setelah dikeluarkannya peraturan tentang Mahkamah Agung

menggantikan Undang - Undang No. 1 Tahun 1950, yaitu Undang -

Undang No. 13 Tahun 1965 kemudian diganti dengan Undang-Undang

No. 14 Tahun 1985 tidak terdapat lagi ketentuan-ketentuan mengenai

arbitrase.

Undang-Undang Pokok Kekuasaan kehakiman No. 14 Tahun

1970 Pasal 10 membagi kekuasaan kehakiman dilakukan oleh :

a) Peradilan Umum.

b) Peradilan Agama.

c) Peradilan Militer.

d) Peradilan Tata Usaha Negara.

Ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun

1970 tersebut bahwa semua peradilan di seluruh wilayah Republik

Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan Undang-

Undang.

Eksistensi arbitrase tidak disebutkan secara eksplisit dalam

Undang-Undang sebagai salah satu lembaga peradilan di Indonesia,

namun dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 14 tahun

1970 disebutkan bahwa penyelesaian perkara diluar pengadilan atas

dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, tetapi

putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah

memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi (executoir) dari

pengadilan.

Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 kini telah diubah dengan

dikeluarkannya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan

Page 62: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48    

 

Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Pada tanggal 3 Desember 1997 atas prakarsa Kamar Dagang dan

Industri (KADIN), Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) berdiri

sebagai lembaga penyelesaian sengketa bisnis diluar badan peradilan

konvensional yang ada di Indonesia dengan anggaran dasar yang baru

dibuat tahun 1985, yang tugasnya menyelesaikan sengketa ataupun

sekedar memberikan pendapat yang mengikat (binding advice) untuk

sengketa yang bersifat nasional maupun internasional. Sejak itu

penyelesaian sengketa melalui arbitrase terus berkembang pesat. Badan

Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) dibentuk sebagai arbitrase

kusus yang dibentuk dalam rangka penyelesaian sengketa kusus di

bidang bisnis yang berdasarkan syariat Islam juga turut

menyemarakkan perkembangan arbitrase di Indonesia (Munir Fuadi,

2000:57).

Sejalan dengan berkembangnya arbitrase dalam praktek peradilan

Indonesia sebagai alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang timbul

dari suatu kontrak kebutuhan akan pengaturan mengenai masalah

hukum arbitrase ini pun terus mendesak karena dirasa ketentuan yang

ada sudah tidak memadai lagi, hingga pada tanggal 12 Agustus 1999

pemerintah mengesahkan Undang-Undang Republik indonesia Nomor

30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang Arbitrase yang telah dikeluarkan maka ketentuan

mengenai arbitrase yang sebelumnya diatur dalam Pasal 615 sampai

dengan Pasal 651 Reglemen Acara perdata (Reglement op de

Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen

Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement,

Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk daerah Luar

Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927

:227), dinyatakan tidak berlaku, hal ini sebagaimana di ungkapkan

dalam Pasal 81 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tersebut diatas.

Page 63: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49    

 

c. Badan Arbitrase Asing

Nama-nama badan Arbitrase Asing yang terkenal dan sering

digunakan untuk menyelesaikan sengketa bisnis Intemasional, sebagai

berikut (Munir Fuadi, 2000:62):

1) International Chamber of Commerce (ICC) didirikan pada tahun 1923.

2) American Arbitration Association (AAA) didirikan pada tahun 1926.

3) American Society of Maritimes Arbitration (SMA).

4) London Court of International Arbitration (LCIA) didirikan pada tahun

1892.

5) Centre For Dispute Resolution (CEDR) di London, didirikan pada

tahun 1990.

6) Australian Centre for International Commercial Arbitration

(ACICA) di Australia.

7) Singapore international Arbitration Centre (SIAC) yang didirikan pada

tahun 1991.

8) Regional Centre for Arbitration di Kuala Lumpur, yang didirikan pada

tahun 1978.

9) Regional Centre for Arbitration di Kairo, atau yang disebut dengan

Asian-African Legal Consultative Committee.

10) British Columbia International Commercial Arbitration Centre, yang

didirikan pada tahun 1986.

11) London Maritime Arbitrators Association (LMAA).

12) Hong Kong International Arbitration Centre di Hongkong, yang

didirikan pada tahun 1985.

13) China international Economic and Trade Arbitration Commission

(CIETAC).

14) Koren Commercial Arbitration Board (KCAB).

15) Thai Arbitration Board.

16) Japan Commercial Arbitration Association (JCAA).

17) Vietnam International Arbitration Centre (VIAC).

18) The Arbitration Institute, Stockholm.

Page 64: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50    

 

19) The International Centre for the Settlement of Investment Disputes

(ICSID).

20) Netherlands Arbitration Institute.

21) Interamerican Commission on Commercial Arbitration.

22) The International commercial Arbitration Court (ICAC) di Rusia.

23) The Maritime Arbitration Commission (MAC) di Rusia.

24) The Arbitration (Tretejskyi) Court for settlement of economic

Disputes di Rusia.

d. Prosedur Penggunaan Arbitrase

Menyadari besarnya kemungkinan terjadinya sengketa dalam

pelaksanaan kotrak bisnis internasional para pihak biasanya membuat

klausul atau kontrak arbitrase dalam perjanjian atau kontrak bisnis yang

dilakukan. Pemilihan arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa

oleh para pihak dapat dilakukan sebelum (pactum de

Compromitendo) atau setelah terjadinya sengketa (akta kompromis).

1) Pactum De Compromitendo

Istilah tersebut ditujukan kepada kesepakatan pemilihan arbitrase di

antara para pihak yang dilakukan “sebelum” tejadinya perselisihan.

Pasal 7 Undang-Undang Arbitrase mengisyaratkan sebagai berikut:

“Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang

akan terjadi antar mereka untuk diselesaikan melaui arbitrase”.

Pemilihan arbitrase sebelum terjadinya sengketa dilakukan dalam

bentuk perjanjian, sehingga ketentuan hukum kontrak yang berlaku.

Ketentuan hukum kontrak tersebut bersumber dari Buku ke Tiga Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, oleh karena itu pula para pihak bebas

untuk memilih apakah merumuskan klausul arbitrase terpisah dalam

kontrak tersendiri untuk itu, atau ditempatkan menjadi bagian dari

kontrak yang merupakan transaksi pokok, sebagaimana lazimnya dalam

praktek. (Munir Fuady, 2000: 118).

Prinsip kontrak arbitrase merupakan suatu kontrak buntutan

(accesoir), tetapi ada beberapa sifat yang menyebabkan sitafnya

Page 65: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51    

 

sebagai accessoir tersebut tidak diikuti secara penuh yaitu, jika

perjanjian pokok batal maka kontrak arbitrase tidak menjadi batal

(Pasal 10 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase).

2) Akta kompromis

Istilah kata kompromis digunakan untuk mendefinisikan

kesepakatan penyelesaian sengketa lewat arbitrase. Kesepakatan ini

dilakukan setelah adanya sengketa tersebut.

Pembuatan akta kompromis mempunyai syarat-syarat yang

cukup ketat yang apabila tidak dipenuhinya salah satu syarat maka

dapat membatalkan perjanjian atau akta tersebut dengan muatan

syarat sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Arbitrase

Indonesia No. 30 Tahun 1999 Pasal 9, yaitu :

a) Harus dibuat dalam bentuk tertulis.

b) Perjanjian tertulis tersebut harus ditandatangani oleh para pihak.

c) Jika para pihak tidak dapat menandatanganinya, harus dibuat dalam

bentuk akta notaris.

d) Muatan wajib dari akta tertulis tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Nama lengkap pihak yang bersengketa.

(2) Tempat tinggal para pihak.

(3) Nama lengkap arbiter atau majelis arbitrase.

(4) Tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase.

(5) Tempat arbiter atau majelis arbitrase yang akan mengambil

keputusan.

(6) Nama lengkap sekreatris.

(7) Jangka waktu penyelesaian sengketa.

(8) Pernyataan kesediaan dari arbiter.

(9) Pernyataan kesediaan dari para pihak yang bersengketa untuk

menanggung biaya arbitrase.

Pembuatan kontrak arbitrase baik yang berdiri sendiri atau bersama

perjanjian pokok, maka perumusan arbitration clause harus dirumuskan

secara jelas. Perumusan arbitration clause sebagaimana dimaksud harus

Page 66: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52    

 

memenuhi beberapa ketentuan standar. Perumusan arbitration clause yang

salah dapat menimbulkan akibat yang fatal, faktor kehati-hatian dalam

merumuskan klausul tersebut harus sangat diperhatikan agar pihak-pihak

tidak ada yang merasa dirugikan nantinya. Menurut Sudargo Gautama,

praktek-praktek dibanyak negara kususnya dinegara berkembang seperti

Indonesia, justru sering dibodohi (Sudargo Gautama, 1989 : 151).

Beberapa Lembaga arbitrase telah menentukan tentang klausula

standar yang dapat digunakan oleh para pihak yang tentu saja dalam

prakteknya klausula standar tersebut dapat dimodifikasi menurut keinginan

para pihak, sehingga terjadi karena klausula standar yang dirumuskan

belum tentu dapat mengkover semua persyaratan yang dapat memenuhi

keinginan para pihak (Huala Adolf, 2003 :21) dalam perumusan kontrak

arbitrase. Model yang paling sederhana adalah : Any dispute arising out of

this agreement shall be settle by arbitration. (Setiap sengketa yang terbit

dari perjanjian ini harus diselesaikan oleh arbitrase).

Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) merekomendasikan

model klausul arbitrase sebagai berikut:

“Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir” (Huala Adolf, 2003: 23).

United Nation Commission for International Trade Law

(UNCITRAL) memberikan model klausula arbitrase sebagai berikut:

“Any dispute, controversyor claim arising out of or relating to the contract, or the breach, termination or invalidity thereof, shall be settled by arbitration in accordance with the UNCITRAL Arbitration Rules as Present in force” (Munir Fuadi, 2000: 123-124).

Selanjutnya para pihak dapat mempertimbangkan untuk menambah

sebagai berikut :

(a) The appointing authority shall be .....

(b) The number of arbitration shall be.....

(c) The place of arbitration shall be ....

Page 67: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53    

 

(d) The language (s) to be used in arbitral proceeding shall be .....

Model International Chamber of Commerce (ICC):

“Any dispute arising in connection the present contract shall be finally settled under the Rules of Conciliation and Arbitration of the International Chamber of Commerce by one or more arbitrators appointed in accordace with the said Rules” (Huala adolf, 2003:22).

London Court of Arbitration menyarankan klausula sebagai berikut :

a) Untuk kemungkinan sengketa yang akan datang.

(1) Klausula Arbitrase

“Any dispute arising out of or in connection with this contact,

including any question regarding its existence, validity or

termination, shall be referred to and finally resolved by

arbitration under the Rules of the London Court of

International Arbitration, which Rules are deemed to be

incorporeted by reference into this clause “.

(2) Pengaturan hukum subtantif yang mengatur persengketaan “ The

governing law of this contract shall be the substantive law of.....”

(3) Pengaturan tata cara pemilihan arbiter

“The tribunal shall consist of......(satu atau tiga arbiter)”. Jika

yang dipilih tiga arbiter, maka LC1A menyarankan agar

ditambah kata-kata sebagi berikut :

“... two of them shall be nominated by the respective parties “.

(4) Pengaturan tempet arbirrase dan bahasa yang digunakan.

“The place of arbitration shall be.... (nama kota). The language

of the arbitration shall be... “

b) Sengketa yang sudah terjadi “Any dispute having arisen between the

parties concerni, the parties hereby agree that the matter shall referred

to and finally be resolved under the Rules of the London Court of

International Arbitration”.

Klausula arbitrase yang telah termuat dalam kontrak arbitrase

baik yang dibuat bersama perjanjian pokok atau di luar perjanjian

pokok, merupakan dasar yang kuat yang dapat digunakan oleh para

Page 68: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54    

 

pihak untuk mengajukan permohonan penggunaan arbitrase bila terjadi

persengketaan.

Penggunaan arbitrase dalam usaha penyelesaian sengketanya

harus mengikuti prosedur sebagaimana yang diatur dalam Rules dari

lembaga arbitrase yang dipilih.

Klausul tersebut menjadikan suatu kompetensi absolut bagi

arbitrase untuk menyelesaikan kemungkinan sengketa yang timbul dari

kontrak bisnis yang dibangun para pihak. Karena kontrak yang

dibangun oleh kedua belah pihak merupakan Undang-Undang bagi para

Pihak yang telah membuatnya.

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 mengatur tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 11 yaitu:

Ayat satu : “adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjian ke Pengadilan Negeri”. Ayat dua: “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini”.

e. Prinsip-Prinsip Arbitrase

Menurut Munir Fuady agar dapat menjadi badan penyelesaaian

sengketa yang ampuh, arbitrase seharusnya menganut beberapa prinsip

sebagai berikut (Munir Fuady, 2000:79):

1) Efisien, dalam hubungannya dengan waktu dan biaya jika

dibandingkan dengan penyelesaiaan sengketa lewat badan-badan

peradilan umum.

2) Accessibilitas, arbitrase harus terjangkau dalam arti biaya, waktu dan

tempat.

3) Proteksi hak para pihak, terutama pihak yang tidak mampu misalnya

untuk mendatangkan saksi ahli atau untuk menyewa pengacara

terkenal, harus dapat perlindungan yang wajar.

Page 69: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55    

 

4) Final and Binding, kepurusan arbitrase haruslahatau inaatau and

binding kecuali memang para pihak tidak menghendaki demikian atau

jika ada alasan-alasan yang berhubungan dengan “due Process”.

5) Fair and Just, tepat dan adil untuk pihak bersengketa, sifat sengketa

dan sebagainya.

6) Sesuai dengan sence of justice dari masyarakat, dengan demikian akan

lebih terjamin unsur “deterrant” dari pelanggar, dan sengketa akan

dapat dicegah.

7) Credibilitas, para arbiter dan badan arbitrase yang bersangkutan

haruslah orang-orang yang diakui kredibilitasnya, sehingga keputus dan

akan lebih dihornmati.

Page 70: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56    

 

B. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran menggambarkan logika hukum untuk menjawab

permasalahan penelitian. Guna mempermudah gambaran dari penelitian ini dapat

dilihat dari kerangka pemikiran sebagai berikut.

Bagan I Kerangka Pemikiran

Keterangan:

Transaksi bisnis internasional e-commerce di Indonesia pelaksanaanya

diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1999 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronil dimana peraturan tersebut mengadopsi prinsip-prinsip

penyelasaian sengketa transaksi bisnis internasional yang sudah ada. Dalam

Transaksi bisnis internasional e-commerce

Arbitrase internasional

Putusan arbitrase internasional

Eksekusi putusan arbitrase asing di

Indonesia

Prinsip-prinsip yang digunakan dalam

pengaturan penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce

di Indonesia

Penjual Pembeli

Sengketa bisnis internasional e-commerce

Pilihan hukum yang dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa

bisnis internasional e-commerce melalui

arbitrase

Page 71: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57    

 

pelaksanaan transaksi bisnis internasional e-commerce tidak selalu berjalan

dengan baik sesuai dengan kehendak para pihak yang akhirnya menimbulkan

sengketa , hal ini disebabkan tidak bertemunya antara penjual dan pembeli secara

fisik, tempat kediaman para pihak saling berjauhan dan sistem hukum yang

berbeda antara para pihak. Kondisi seperti ini tentunya menimbulkan berbagai

permasalahan yang memerlukan penyelesaian yang tepat.

Pengadilan yang mempunyai banyak kelemahan, membuat para pihak

enggan untuk menempuh jalur pengadilan, sehinggga penyelesaian sengketa

alternatif melalui arbitrase menjadi pilihan utama, mengingat proses penyelesaian

melibatkan para ahli dibidangnya sehingga dapat mempercepat tercapainya suatu

penyelesaian yang adil. Mekanisme penyelesaian sengketa alternatif pun

menyediakan penyelesaian yang murah, rahasia, serta dapat dipercaya.

Penggunaan arbitrase sebagai lembaga alternatife penyelesaian sengketa

juga membutuhkan cara menentukan pilihan hukum yang dpat digunakan dalam

penyelesaian sengketa transaksi bisnis ecommerce sehingga lembaga yang

digunakan mempunyai kompetensi dalam menyelesaikan sengketa yang ada.

Penyelesain sengketa transaksi bisnis e-commerce menggunakan arbitrase

asing menghasilkan putusan dan eksekusinya diserahkan kepada pengaturan

masing-masing negara, begitu juga dengan Negara Indonesia yang eksekusinya

diatur dalam peraturan nasional.

Page 72: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

58  

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Dasar Pengaturan yang digunakan dalam Penyelesaian Sengketa

Transaksi Bisnis Internasional E-commerce di Indonesia

Transaksi-transaksi atau hubungan bisnis yang menggunakan e-commerce

ini pada dasarnya bermacam-macam seperti hubungan jual-beli barang,

pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang dan jasa berdasarkan suatu

kontrak, dan lain-lain. Transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan konflik

atau sengketa. Berkaitan dengan sengketa dan bagaimana cara menyelesaikannya

adalah inheren dalam setiap sistem hukum, termasuk dalam sistem hukum

Internasional, perbedaan pendapat dan bagaimana para subyek hukum mengatasi

perbedaan-perbedaan pendapat ini untuk sampai pada suatu penyelesaian yang

dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa, baik secara sukarela

maupun karena dirasakan sebagai kewajiban sebagai anggota masyarakat yang

diatur sistem hukum yang bersangkutan, akan memperkuat dan memperkaya sis-

tem hukum yang bersangkutan secara normatif maupun dalam implementasinya

sebagaimana yang dikemukakan oleh Shabtai Rosenne bahwa “Dispute and

controversy are the life blood of international law (as of all law) without which

international law would degenerate simply into an abstraction, unrelated to what

is happening in the world,”yaitu perselisihan dan kontroversi adalah nyawa dari

hukum internasional (sebagai hukum semua) tanpa yang hukum internasional

akan menurun hanya sebuah abstraksi, tidak berhubungan dengan apa yang

sedang terjadi di dunia (http//:mkn.perdagangan internasional.blog.com: diakses

tanggal 15 Agustus 2010).

Salah satu fungsi dari penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis yang

menggunakan e-commerce adalah agar norma-norma hukum yang mengatur

hubungan di antara anggota masyarakat dipatuhi, dengan perkataan lain di

dalamnya terkandung fungsi pengawasan, dalam masyarakat nasional pengawasan

ini dipercayakan kepada suatu lembaga yaitu negara, sedangkan dalam

Page 73: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59    

 

masyarakat internasional yang tidak terdapat atau mempunyai kekuatan sentral

maka pengawasan ini diserahkan kepada para anggotanya sendiri. Transaksi bisnis

internasional yang menggunakan e-commerce salah satu institusi yang terkait

dengan pengawasan terhadap kepastian atau pengesahan terhadap identitas dari

seseorang atau pelanggan adalah apa yang disebut dengan Certification Authority

(CA), C.A. berkedudukan sebagai pihak ketiga yang dipercaya untuk memberikan

kepastian atau pengesahan terhadap identitas dari seseorangatau pelanggan (klien

C.A. tersebut), selain itu C.A. juga mengesahkan pasangan kunci publik dan kunci

privat milik orang tersebut. Proses sertifikasi untuk mendapatkan pengesahan dari

C.A. dapat dibagi menjadi 3 (tiga) tahap:

1. Pelanggan atau subscriber membuat sendiri pasangan kunci privat dan kunci

publiknya dengan menggunakan software yang ada di dalam komputernya.

2. Menunjukkan bukti-bukti identitas dirinya sesuai dengan yang disyaratkan

C.A.

3. Membuktikan bahwa dia mempunyai kunci privat yang dapat dipasangkan

dengan kunci publik tanpa harus memperlihatkan kunci privatnya.

Tahapan-tahapan tersebut tidak mutlak harus seperti di atas, akan tetapi

tergantung pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh C.A. itu sendiri.

Hal ini berkaitan dengan level atau tingkatan dari sertifikat yang diterbitkannya

dan level atau tingkatan ini berkaitan juga dengan besarnya kewenangan yang

diperoleh pelanggan atau “subscriber” berdasarkan sertifikat yang didapatkannya.

Semakin besar kewenangannya yang diperoleh dari suatu Digital Certificate yang

diterbitkan oleh C.A., semakin tinggi pula level sertifikat yang diperoleh serta

semakin ketat pula persyaratan yang ditetapkan oleh C.A.. Sebagai contoh, untuk

mendapatkan suatu sertifikat yang mempunyai level kewenangan yang cukup

tinggi, terkadang C.A. bahkan memerlukan kehadiran secara fisik si “subscriber”

sehingga C.A. dapat memperoleh kepastian pihak yang akan memperoleh

sertifikat tersebut, setelah persyaratan-persyaratan tersebut diuji keabsahannya

maka C.A. menerbitkan sertifikat pengesahan (dapat berbentuk hard-copy

maupun soft-copy).“Subscriber” telah diumumkan secara luas sebelumnya,

terlebih dahulu mempunyai hak untuk melihat apakah informasi-informasi yang

Page 74: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60    

 

ada pada sertifikat tersebut telah sesuai atau belum. Jika informasi-informasi

tersebut telah sesuai, maka subscriber berdapat mengumumkan sertifikat tersebut

secara luas atau tindakan tersebut dapat diwakilkan kepada C.A. atau suatu badan

lain yang berwenang untuk itu (suatu lembaga notariat). Selain untuk memenuhi

sifat integrity dan authenticity dari sertifikat tersebut, C.A. akan membubuhkan

digital signature miliknya pada sertifikat tersebut.

Informasi-informasi yang terdapat di dalam sertifikat tersebut di antaranya

dapat berupa :

1. Identitas C.A. yang menerbitkannya.

2. Pemegang atau pemilikatau subscriber dari sertifikat tersebut.

3. Batas waktu keberlakuan sertifikat tersebut.

4. Kunci publik dari pemilik sertifikat.

Setelah sertifikat tersebut diumumkan maka pihak-pihak lain dapat

melakukan transaksi, transfer pesan dan berbagai kegiatan dengan media internet

secara aman dengan pihak pemilik sertifikat. Fungsi-fungsi C.A yang telah kita

bicarakan di atas dapat kita golongkan sebagai berikut :

1. Mernbentuk hierarki bagi penandatanganan digital.

2. Mengumumkan peraturan-peraturan mengenai penerbitan sertifikat.

3. Menerima dan memeriksa pendaftaran yang diajukan.

Berkaitan dengan konteks transaksi bisnis internasional yang menggunakan

e-commerce dalam fungsi pengawasan internasional ada baiknya kita lihat

pendapat Van Hoof sebagaimana dikutip dalam buku Diana Anastasya yang

membagi pengawasan internasional ini menjadi tiga fungsi (Diana Anastasya,

2001:36):

1. Review Function : pada umumnya “review” diartikan sebagai mengukur atau

menilai sesuatu berdasarkan tolak ukur tertentu, dalam konteks hukum hal ini

berarti menilai sesuatu perilaku untuk menentukan kesesuaiannya dengan

aturan hukum, review function dalam hubungannya dengan negara

dilaksanakan apabila perilaku suatu negara dinilai menurut hukum

internasional oleh suatu lembaga pengawasan yang mempunyai status

internasional, pengawasan ini dilakukan oleh suatu negara atau lebih atau

Page 75: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61    

 

oleh suatu lembaga yang dibentuk menurut perjanjian internasional. Hasil

dari pengawasan ini adalah suatu keputusan tentang sesuai tidaknya tindakan

dengan hukum.

2. Correction Function: fungsi ini dilaksanakan manakala telah timbul suatu

keadaan yang bertentangan dengan hukum internasional, namun demikian

fungsi ini dapat pula bersifat preventif, misalnya dalam transaksi bisnis

internasional yang menggunakan e-commerce, CA dapat memberitahukan

apabila ternyata identitas dari seseorang atau pelanggan (klien C.A. tersebut)

ternyata tidak valid atau tidak benar. Tujuan dari correction function ini

adalah untuk menjamin dan memastikan kepatuhan terhadap aturan-aturan

hukum para pihak, oleh karena itu terhadap pelanggarnya harus diperbaiki

atau dikoreksi.

3. Creative Function: sekalipun review dan creative function merupakan bagian

pokok dari pengawasan, namun pengawasan ini juga dapat berfungsi kreatif,

terutama dalam hukum internasional, hal ini disebabkan karena tidak adanya

semacam lembaga eksekutif dan judikatif, tindakan-tindakan legislatif

seringkali abstrak dan tidak jelas, oleh karena itu usaha untuk memperjelas

norma-norma hukum internasional ini khususnya berkaitan dengan transaksi

bisnis yang menggunakan e-commerce merupakan bagian dari fungsi

pengawasan yaitu fungsi kreatif, jadi fungsi kreatif ini berupa penafsiran atas

aturan-aturan hukum internasional yang belum jelas.

Dalam kerangka teoritis tersebut di atas maka mekanisme penyelesaian

sengketa internasional, (khususnya transaksi bisnis yang menggunakan e-

commerce) merupakan salah satu bentuk dari mekanisme pengawasan dalam

hukum internasional.

Prinsip-prinsip penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional yang

menggunakan e-commerce dan pengaturanya hukumnya di Indonesia dapat di

tunjukan dalam Tabel 1.

Page 76: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62    

 

Tabel 1. Prinsip-prinsip penyelesaian sengketa bisnis internasional yang

menggunakan e-commerce dan pengaturan hukumnya di Indonesia

No Prinsip-prinsip yang Digunakan dalam

Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional e-commerce

Pengaturan dalam Hukum Indonesia

1 Prinsip kesepakatan para pihak (Konsensus)

UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 4 ayat (1)

2 Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa

UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 18 ayat (4)

3 Prinsip kebebasan memilih hukum

a. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 18 ayat (2)

b. UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 56 ayat (2)

4 Prinsip itikad baik (good faith) KUH Perdata Pasal 1338 ayat (3)

5 Prinsip Exhaustion of Local Remedies

UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 2

Penjelasan berdasarkan Tabel 1 dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)

Prinsip kesepakatan para pihak ini merupakan prinsip fundamental dalam

penyelesaian sengketa bisnis internasional termasuk transaksi bisnis yang

menggunakan e-commerce, karena prinsip ini yang merupakan dasar untuk

dilaksanakan atau tidaknya suatu proses penyelesaian sengketa yang terjadi

antara kedua belah pihak. Prinsip ini pula dapat menjadi dasar apakah suatu

proses penyelesaian sengketa yang sudah berlangsung diakhiri atau tidak,

jadi prinsip ini sangat esensial dan logis karena dalam suatu sengketa setidak-

tidaknya ada kehendak para pihak yang saling berseberangan atau

Page 77: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63    

 

bertentangan dan tentu saja kesepakatan para pihak untuk memilih cara-cara

penyelesaian sengketa tersebut adalah sangat penting, badan-badan peradilan

(termasuk arbitrase) harus menghormati apa yang telah menjadi kesepakatan

para pihak ini. Lingkup pengertian kesepakatan ini adalah sebagai berikut

(Huala Adolf, 2003).

a. Bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya melakukan

tindakan yang mengarah kepada penipuan, menekan atau berupaya

menyesatkan pihak lainnya.

b. Bahwa perubahan atas kesepakatan harus berasal dari kesepakatan para

pihak, artinya pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap muatan

kesepakatan harus pula didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.

Prinsip diatas termuat dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatife Penyelesaian Sengketa yaitu: ”

Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan

diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang,

maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan

kewajiban para pihak jika hal ini diatur dalam perjanjian mereka”. Dari Pasal

tersebut menjelaskan bahwa dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase

merupakan hasil kesepakatan para pihak sehinngga para pihak harus

mengikuti prosedur yang telah ditentukan.

2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa

Prinsip ini mengandung makna di mana para pihak memiliki kebebasan

penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana

sengketanya diselesaikan (Principle of free choice of means). Prinsip ini

termuat dalam Pasal 7 The UNCITRAL Model Law on International

commercial Arbitration, Pasal ini memuat mengenai definisi perjanjian

arbitrase, yaitu perjanjian menyerahkan sengketa kepada arbitrase merupakan

kesepakatan atau perjanjian para pihak, artinya penyerahan suatu sengketa ke

badan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk

memilihnya. Bahwasanya para pihak dalam hal terjadinya sengketa antara

mereka mempunyai kebebasan penuh untuk memilih cara-cara apa yang

Page 78: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64    

 

mereka gunakan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi tersebut (Huala

Adolf, 2003:74).

Kebebasan memilih cara penyelesaian sengketa di Indonesia juga diatur

dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik dalam Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi: ”Para pihak memiliki

kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga

penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani

sengketa yang mungkin timbul dari transaksi elektronik internasional yang

dibuatnya”. Isi Pasal tersebut menjelaskan bahwa para pihak dalam transaksi

e-commerce apabila terjadi sengketa diantara mereka mempunyai kebebasan

memilih cara penyelesaian sengketa.

3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum

Prinsip kebebasan memilih hukum ini juga merupakan salah satu prinsip

penting dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional yang

menggunakan e-commerce. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum

ini termasuk juga kebebasan untuk memilih kepatutan atau kelayakan

(exaequo etbono).

Prinsip ini adalah sumber di mana pengadilan akan memutuskan sengketa

berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kepatutan atau kelayakan atas suatu

penyelesaian sengketa, contoh kebebasan memilih ini yang harus dihormati

oleh badan peradilan adalah Pasal 28 ayat (1) UNCTTRAL Model Law on

International Commercial Arbitration adalah sebagai berikut :

“The arbitral tribunal shall decide the dispute in accordance with such rules of law as are chosen by the parties as applicable to the substance of the dispute, Any designation of the law or legal system of a given state shall be construed, unless otherwise expressed, as directly referring to the substantive law of that state and not to its conflict of law rules” Kebebasan dalam memilih hukum ini (Lex Cause) sudah barang tentu

ada batas-batasnya, hal yang paling umum dikenal balk dalam sistem hukum

Common Law maupun Civil Law adalah bahwa kebebasan memilih hukum

tersebut harus (Huala Adolf, 2003:76):

a. Tidak bertentangan dengan Undang-Undang atau ketertiban umum;

b. Kebebasan tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik;

Page 79: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65    

 

c. Hanya berlaku untuk hubungan bisnis (kontrak);

d. Hanya berlaku dalam bidang hukum bisnis (dagang);

e. Tidak berlaku untuk menyelesaikan sengketa tanah; dan

f. Tidak untuk menyeludupkan hukum.

Hukum Indonesia sendiri mengatur prinsip kebebasan memilih hukum

yang digunakan dalam penyelesaian e-commerce juga diatur dalam Undang-

Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Traksaksi Informasi

Elektronik dalam Pasal 18 ayat (2) yaitu: ”Para pihak memiliki kewenangan

untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional

yang dibuaatnya”, dan diatur juga dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 56 ayat (2)

yaitu: “Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku

terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para

pihak”, hal tersebut tentunya tidak bertentantangan dengan peraturan Undang-

Undangan yang berlaku dan ketertiban umum.

4. Prinsip itikad baik (Good Faith)

Prinsip itikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan

paling sentral dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini mensyaratkan dan

mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan

sengketanya. Prinsip penyelesaian sengketa ini tercermin dalam dua tahap.

Pertama, prinsip itikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa

yang dapat mempengaruhi hubungan baik di antara negara. Kedua, prinsip ini

disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikan sengketa yang dikenal

dalam hukum bisnis internasional, yaitu: negosiasi, mediasi, konsiliasi,

arbitrase, pengadilan atau cara-cara pilihan para pihak lainnya.

Itikad baik ini menjadi salah satu prinsip penting dalam penyelesaian

sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-commerce,

namun prinsip itikad baik ini masih menimbulkan permasalahan berkaitan

dengan keabstrakkan makna dari itikad baik tersebut, sehingga timbul

pengertian itikad baik yang berbeda-beda baik dari perspektif waktu, tempat,

dan orangnya. Selain tidak ada makna tunggal dari itikad baik ini, dalam

Page 80: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66    

 

praktek timbul pula permasalahan mengenai tolak ukur, dan fungsi itikad baik

tersebut, akibatnya makna dan tolak ukur serta fungsi itikad baik lebih banyak

disandarkan pada sikap atau pandangan hakim yang ditentukan secara

kasuistis, sehingga hal ini akan mengakibatkan di mana prinsip itikad baik ini

diterima maka di situ pula akan terjadi perbedaan pendapat dalam

mengartikan itikad baik tersebut, memang dalam kenyataannya sangat sulit

untuk mendefinisikan itikad baik ini, bahkan E. Allan Farnsworth dalam buku

Ridwan Khairandy, mencatat bahwa di Inggris doktrin itikad baik masih

merupakan sesuatu yang kontroversial, karena pengadilan belum mampu

menemukan makna itikad baik yang kongkrit dalam konteks hukum kontrak,

tanpa makna itikad baik yang jelas, doktrin itikad baik dapat menjadi suatu

ancaman bagi kesucian prinsip kepastian dan prediktabilitas hukum. E. Allan

Farnsworth juga menyatakan bahwa di Amerika Serikat banyak sekali

pandangan yang mencoba memberikan pengertian itikad baik. Akibat

ketidakjelasan tersebut, penerapan itikad baik seringkali lebih banyak

didasarkan pada institusi pengadilan yang mana hasilnya seringkali tidak

dapat diprediksi dan tidak konsisten ( Ridwan Khairandy, 2007:31).

Frase itikad baik ini biasanya dipasangkan dengan fair dealing, itikad

baik tersebut juga seringkali dihubungkan dengan makna fairness, reasonable

standard of fair dealing, decency, reason ableness, a common ethical sense, a

spirit of solidarity, and community standards. Mengingat itikad baik dalam

penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-

commerce merupakan suatu prinsip atau asas yang berasal dari hukum

romawi, maka untuk mendapat pemahaman yang lebih baik harus dilacak

kedalam doktrin itikad baik yang berkembang dalam hukum romawi tersebut,

doktrin tersebut bermula dari doktrin ex bona fides, perkembangan itikad baik

dalam hukum kontrak romawi tidak lepas dari evolusi hukum kontrak itu

sendiri, pada mulanya hukum kontrak romawi hanya mengenai iudicia strcti

iuris, yakni suatu kontrak yang lahir dari perbuatan menurut hukum

(negotium) yang secara ketat dan formal mengacu kepada lus civile. Apabila

hakim menghadapi hukum kontrak yang semacam itu, maka hakim harus

Page 81: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67    

 

memutusnya sesuai hukum, hakim terikat apa yang secara tegas telah

dinyatakan dalam kontrak (express term), berikutnya berkembang pula

iudicia bonae fidie, perbuatan hukum yang didasarkan iudicia bonae fidie

disebut negotia bonae fidie, negotia berasal dari ius gentium yang

mensyaratkan pihak untuk membuat dan melaksanakan kontrak sesuai dengan

itikad baik, dengan demikian hukum kontrak Romawi mengenai dua macam

kontrak, yakni iudicia strictiuris dan iudicia bonae fidie (Huala Adolf,

2003:78).

Doktrin itikad baik di atas berkembang seiring dengan mulai diakuinya

kontrak konsensual informal yang pada mulanya hanya meliputi kontrak jual-

beli, sewa-menyewa, persekutuan perdata, dan mandat. Doktrin itikad baik

berakar pada etika sosial romawi mengenai kewajiban yang komprehensif

akan ketaatan dan keimanan yang berlaku bagi warga negara maupun bukan.

Itikad baik dalam kontrak romawi mengacu kepada tiga bentuk perilaku

dalam kontrak, sebagaimana yang dikemukakan oleh dalam buku Ridwan

Khairandy. Itikad baik dalam trak, yaitu (Ridwan Khairandy, 2007:44) :

a. Para pihak harus memegang teguh janji atau perkataan yang telah

diucapkannya,

b. Para pihak tidak boleh mengambil keuntungan dengan tindakan yang

menyesatkan terhadap salah satu pihak,

c. Para pihak mematuhi kewajibannya dan berperilaku sebagai orang

terhormat dan jujur, walaupun kewajiban tersebut tidak secara tegas

diperjanjikan.

Prinsip itikad baik diatas juga tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3)

KUHPerdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad

baik”. Dalam hukum perjanjian itikad baik memiliki tiga fungsi, itikad baik

dalam fungsinya yang pertama, mengajarkan bahwa seluruh kontrak harus

ditafsirkan dengan itikad baik, fungsi kedua adalah fungsi menambah, fungsi

ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan.

Page 82: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68    

 

5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies

Prinsip exhaustion of local remedies ini sebenarnya semula lahir dari

prinsip hukum kebiasaan internasional, dalam upayanya merumuskan

pengaturan mengenai prinsip ini, Komisi Hukum Internasional PBB

(International Law Commission) memuat aturan khusus mengenai prinsip ini

dalam Pasal 22 dinyatakan sebagai berikut :

“When the conduct of state as created a situation not in conformity with the result of it by an international obligation concerning the treatment too be accorded to aliens, whether natural or juridical persons, but the obligation allows that this or an equivalent result may nevertheless be achtived by subsequent conduct of the state, there is a breach of the obligation only if the aliens concerned have exhausted the effective local remedies available to them without obtaining the treatment called for by the obligation or, where that is not possible, an equivalent treatment”

Prinsip ini menjelaskan bahwa hukum kebiasaan internasional

menetapkan bahwa sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke

pengadilan internasional, langkah-langkah penyelesaian sengketa yang

tersedia atau diberikan oleh nasional suatu negara harus terlebih dahulu

ditempuh.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik Pasal 2 menyebutkan ”Undang‐Undang ini berlaku untuk setiap

Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimanadiatur dalam

Undang‐Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun

di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah

hukum Indonesia dan/atau di luarwilayah hukum Indonesia dan merugikan

kepentingan Indonesia”. Pasal tersebut bertujuan untuk mengakomodir segala

bentuk sengketa supaya dapat diselesaikan menggunakan hukum Nasional

Negara Indonesia sebelum menempuh jalur pengadilan internasional.

Page 83: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69    

 

B. Pilihan Hukum yang Berlaku dalam Penyelesaian Sengketa

Transaksi Bisnis E-commerce melalui Arbitrase

Masalah hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis

yang menggunakan e-commerce adalah salah satu masalah krusial dalam hukum

kontrak internasional termasuk dalam hukum perdagangan internasional,

masalahnya adalah hukum yang berlaku ini akan menjadi penentu kepastian

hukum terutama bagi badan peradilan bahwa ia telah menetapkan hukumnya

dengan benar, dalam hal ini badan peradilan tidak mengambil jalan pintas dalam

menetapkan suatu hukum terhadap suatu sengketa yang dibawa kehadapannya.

Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) UU ITE pada dasarnya mengatur berkaitan

dengan hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis

internasional yang menggunakan e-commerce, sebagai berikut: ayat (2) “Para

pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi

elektronik internasional yang dibuatnya”, ayat (3) “dan apabila para pihak tidak

melakukan pilihan hukum dalam transaksi elektronik internasional, hukum yang

berlaku didasarkan pada asas-asas Hukum Perdata Internasiona”l.

Pilihan hukum (choice of law, proper law atau applicable law) suatu

hukum nasional dari suatu negara tertentu berarti bahwa badan peradilan negara

tersebut secara otomatis yang berwenang menyelesaikan sengketanya, dan pada

prinsipnya choice of law ini berbeda dengan choice of forum sebagai peran choice

of law dalam transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-commerce adalah

hukum yang akan digunakan oleh badan peradilan (pengadilan atau arbitrase)

dalam hal :

1. Menentukan keabsahan suatu kontrak dagang (dalam konteks ini khusus

berkaitan dengan sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-

commerce);

2. Menafsirkan suatu kesepakatan-kesepakatan atau persetujuan dalam kontrak

yang dibuat para pihak;

3. Menentukan telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu prestasi

yang menjadi objek kontrak tersebut (pelaksanaan suatu kontrak dagang);

Page 84: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70    

 

4. Menentukan akibat-akibat hukum dari adanya pelanggaran terhadap kontrak

yang telah disepakati para pihak.

Hukum yang berlaku ini dapat mencangkup beberapa macam hukum,

hukum-hukum tersebut adalah :

1. Hukum yang diterapkan dalam hal terhadap pokok sengketa (applicable

substantive law atau lex causae);

2. Hukum yang akan berlaku untuk proses persidangan yang akan dilaksanakan

dalam penyelesaian perselisihanatau sengketa yang terjadi antara para pihak.

Hukum yang berlaku ini akan sedikit banyak bergantung pada kesepakatan

para pihak, hukum yang akan berlaku tersebut dapat berupa hukum nasional suatu

negara tertentu, biasanya hukum nasional tersebut ada atau terkait dengan

nasionalitas salah satu pihak, cara pemilihan inilah yang lazim ditetapkan dewasa

ini. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak sepakat mengenai salah

satu hukum nasional tersebut, biasanya kemudian mereka akan berupaya mencari

hukum nasional yang relatif lebih netral.

Alternatif lainnya yang memungkinkan dalam hukum perdagangan

internasional adalah menerapkan prinsip-prinsip kepatutan dan kelayakan (ex

aequo et bono) namun demikian penerapan prinsip ini pun harus berdasarkan pada

kesepakatan para pihak. Menurut Gerald Cooke, kebebasan para pihak untuk

menentukan pilihan hukum yang mereka gunakan akan banyak dipengaruhi oleh

sistem hukum nasional yang akan dipilih (baik oleh salah satu pihak maupun oleh

kedua belah pihak), tidak hanya sekedar menentukan hukum suatu negara, tetapi

juga mempertimbangkan apakah hukum di negara tersebut konsisten atau tidak,

artinya apakah hukum di suatu negara tertentu sering berubah-ubah atau tidak.

Dengan tegas Cooke menyatakan sebagai berikut (Gerald Cooke , 2001:22):

“The significance of needing to provide for the 'prover' law is that the

parties will frequently prefer to have their disputes dealt with by a legal

system which is perhaps independent of each of the parties or which is

recognized to have highly sophisticated and consistent trading law”

Arti pentingnya perlu memberikan standar benar kepada para pihak untuk

memilih hukum yang digunakan sebagai penyelesaian perselisihan mereka alami

Page 85: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71    

 

oleh sistem hukum yang mungkin independen dari salah satu pihak atau yang

memiliki sangat canggih dan koheren hukum dagang.

Hukum nasional Indonesia menjelaskan mengenai arbitrase dan alternatif

penyelesaian sengketa, yaitu dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999

disebutkan bahwa hukum yang akan diberlakukan oleh para pihak diserahkan

sepenuhnya kepada mereka, Pasal 56 ayat 2 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999

tersebut menyatakan sebagai berikut: “para pihak berhak menentukan pilihan

hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin telah

timbul antara para pihak”.

Model Arbitration Law 1985 juga mengandung prinsip yang sama dalam

hal hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa ini. Pasal 28 Model Law

menggariskan sebagai berikut :

1. The arbital tribunal shall decide the dispute in accordance with such rules of

law as are chosen by the parties as applicable to, the substance of the dispute,

any designation of the law or legal, system of a given state shall be construed,

unless otherwise expressed, as directly referring to the substantive law of that

state and not to its conflict of law rules.

2. Failing any designation by the parties, the arbital tribunal shall apply the law

determined by the conflict of law rules which it considers applicable.

3. The arbital tribunal shall decide ex aequo ot bono or amiable compositeur

only if the parties expressly authorized to do so.

4. In all cases, the arbital tribunal shall decide in accordance with the terms of

the contract and shall take into account the usages of the trade applicable to

the transaction.

Kedua instrumen hukum di atas menjelaskan bahwa terdapat beberapa hal

yang cukup penting. Pertama, yang menonjol adalah bahwa kedua instrumen

berbeda dalam hal prioritas pengaturan mengenai hukum yang berlaku terhadap

kontrak, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 menekankan arbiter atau badan

arbitrase harus menyandarkan pada hukum untuk mengambil suatu putusan, Pasal

ini tidak mensyaratkan atau menentukan bahwa hukum yang akan diterapkan

tersebut haruslah pilihan hukum para pihak, sementara itu Model Law dengan

Page 86: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72    

 

tegas menyatakan bahwa badan arbitrase harus menetapkan hukum yang dipilih

para pihak. Kedua, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 membolehkan arbiter

atau badan arbitrase untuk menerapkan ex aequo ot bono (Pasal 56 ayat (1)),

ketentuan yang sama dengan Model Law tercantum dalam Pasal 28 ayat (3),

bedanya adalah Undang-Undang nasional kita tidak dengan tegas menyatakan

bahwa penerapan keadilan dan kepatutan ini hanya akan boleh dilakukan apabila

para pihak dengan tegas memerintahkan hal tersebut. Penjelasan Pasal 56 hanya

menyebutkan “dalam hal arbiter diberi kebebasan” rumusan ini tidak dengan

tegas siapa yang memberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan

keadilan dan kepatutan. Ketiga, adalah masalah ketika para pihak tidak memilih

hukum yang akan berlaku terhadap kontrak, dalam hal ini, UU nasional kita dan

Model Law memuat aturan yang berbeda, UU nasional kita tampaknya menganut

jalan pintas. Penjelasan Pasal 56 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 bahwa

apabila para pihak tidak menentukan pilihan hukum, maka arbiter atau badan

arbitrase harus menerapkan hukum tempat arbitrase dilakukan, sementara itu

Model Law menyatakan bahwa apabila para pihak tidak memilih hukum, badan

arbitrase atau arbiter harus mengacu kepada hukum yang ditentukan berdasarkan

aturan-aturan hukum perdata internasional (conflict of law rules) yang dianggap

berlaku oleh arbiter atau badan arbitrase.

Oleh karena sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-

commerce ini menyangkut asas-asas dalam hukum perdata internasional, maka

berarti harus ditinjau dari segi Hukum Perdata Internasional (HPI). Hukum

perdata negara mana dapat diketahui bahwa hukum perdata yang diberlakukan

dalam rangka penyelesaian sengketa mengenai transaksi e-commerce antarnegara,

maka perlu diketahui asas-asas maupun prinsip-prinsip yang diatur di dalam

Hukum Perdata Internasional (HPI). Hukum Perdata Internasional (HPI) memuat

istilah pilihan hukum atau (choice of law), sedangkan S. Gautama menyebutnya

sebagai “Rechtskenze” atau “Rechtswakl”. Pilihan hukum merupakan masalah

sentral dalam Hukum Perdata Internasional. la telah diterima baik di kalangan

akademisi maupun praktek pengadilan. Yansen Derwanto Latif, sebagaimana

Page 87: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73    

 

dikutip oleh Ridwan Khairandy menyebutkan bahwa pilihan hukum dihormati

dengan beberapa alasan, yaitu (Ridwan Khairandy, 2007:127) :

1. Pilihan hukum sebagaimana dimaksud para pihak, dianggap sangat

memuaskan oleh mereka yang menganggap kebebasan akhir individu adalah

dasar murni dari hukum. Prinsip ini berlaku dibanyak Negara. Hal ini

merupakan fakta yang menarik karena hal itu terjadi tanpa ada perjanjian

antara pengadilan di berbagai Negara.

2. Pilihan hukum dalam kontrak internasional memberikan kepastian, yakni

memungkinkan para pihak dengan mudah menentukan hukum yang mengatur

kontrak tersebut.

3. Akan memberikan efisiensi, manfaat dan keuntungan. Alasan tersebut

memberikan keuntungan untuk menghindari hukum memaksa yang tidak

efisien, meningkatkan persaingan hukum dan mengurangi ketidakpastian

tentang hukum yang digunakan.

4. Pilihan hukum akan memberikan kepada negara insentif bersaing. Kebebasan

para pihak memilih dan menentukan hukum yang berlaku bagi kontrak yang

mereka buat, yang berarti tidak semata-mata hak mereka untuk menggantikan

atau memindahkan peraturan yang tidak pasti dari

setiap sistem hukum.

Pada dasarnya para pihak bebas untuk menentukan pilihan hukum dengan

mengingat beberapa pembatasan :

1. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum.

2. Pilihan hukum tidak mengenai hukum yang bersifat memaksa.

3. Pilihan hukum diperkenankan berdasarkan asas kebebasan berkontrak.

Kebebasan tersebut bukan tidak ada batasnya tetapi dibatasi oleh ketentuan

ketertiban umum (public policy) dan hukum yang memaksa (dwingen recht).

Pembatasan-pembatasan tersebut ditentukan oleh keadaan sosial ekonomi

kehidupan modern, seperti perlindungan konsumen, pencegahan penyalahgunaan

wewenang dari penguasa ekonomi serta menjaga iklim persaingan yang adil

dalam ekonomi pasar.

Page 88: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74    

 

4 (empat) macam pilihan hukum yang dikenal dalam Hukum Perdata

Internasional (HPI), yaitu (Ridwan Khairandy, 2007:130):

1. Pilihan hukum secara tegas, di dalam klausula kontrak tertentu dapat dilihat

adanya pilihan hukum yang ditentukan secara tegas dan jelas oleh para pihak.

2. Pilihan hukum secara diam-diam, para pihak dalam suatu kontrak dapat

memilih hukum secara diam-diam. Hal ini dapat disimpulkan dari maksud,

ketentuan-ketentuan dan fakta-fakta yang terdapat dalam kontrak tersebut.

Misalnya bahasa yang digunakan, mata uang yang digunakan, gaya kontrak,

pelaksanaan kontrak dan pilihan domisili.

3. Pilihan hukum yang dianggap, pilihan hukum secara ini dianggap hanya

merupakan presumption iuris, atau suatu dugaan hukum. Hakim menerima

telah terjadi suatu pilihan hukum berdasar dugaan belaka. Dugaan hakim

merupakan pegangan yang dipandang cukup untuk mempertahankan bahwa

para pihak benar-benar telah menghendaki berlakunya suatu sistem hukum

tertentu.

4. Pilihan hukum secara hipotesis, sebenarnya para pihak tidak menentukan

pilihan hukum, namun hakimlah yang memilih. Hakim yang melakukan

pilihan hukum, Hakim bekerja dengan fiksi.

Kontrak mengenai transaksi bisnis e-commerce antar negara, tidak

semuanya memuat dan menggunakan kontrak sebagaimana kontrak bisnis pada

umumnya, akan tetapi dalam transaksi bisnis yang berhubungan dengan software

umumnya para pihak (penjual) menentukan adanya pilihan hukum baik secara

tegas maupun diam-diam, dan umumnya hukum yang diberlakukan dalam hal jika

terjadinya sengketa antara mereka adalah hukum dari negara penjual software,

misalnya jika yang menjual software tersebut adalah Amerika Serikat maka

dalam kontrak pembelian software tersebut akan dinyatakan bahwa jika terjadi

sengketa maka perdata negara yang dipilih adalah Hukum Amerika Serikat.

Dengan adanya pilihan hukum tersebut, para pihak yang membuat kontrak dalam

transaksi bisnis e-commerce harus tunduk dan taat pada hukum yang ditentukan

(Ridwan Khairandi, 2007:135).

Page 89: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75    

 

Sebaliknya, apabila dalam kontrak mengenai transaksi e-commerce, para

pihak tidak menentukan adanya pilihan hukum, maka jelas menimbulkan masalah

mengenai hukum perdata negara mana yang akan diberlakukan untuk

menyelesaikan sengketa yang terjadi. Maka dapat menggunakan asas-asas HPI

untuk menentukan hokum yang berlaku yaitu:

1. Lex Loci Contractus

Lex Loci Contractus ini adalah teori klasik, di mana ditentukan bahwa

hukum yang berlaku bagi suatu kontrak internasional adalah hukum di mana

tempat perjanjian atau kontrak itu dibuat. Dalam Pasal 18 AB disebutkan

bahwa: "De vorm van elke handeling wordbeoordeeld naarde wetten van net

land of de plaats, alwaardie handeling is verrigt". terjemahannya adalah

"bentuk dari tiap perbuatan ditentukan oleh Undang-Undang (hukum) dari

negara atau tempat di mana perbuatan tersebut telah dilakukan (Werhan

Asmin, 2003:89).

Transaksi bisnis konvensional di mana para pihak yang mengadakan

kontrak berada pada tempat yang sama (face to face) mungkin teori ini masih

dapat digunakan, namun pada saat sekarang apalagi berkaitan dengan

transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce maka teori ini sulit sekali

untuk dapat diterapkan karena dalam transaksi bisnis yang menggunakan e-

commerce tersebut para pihak yang mengadakan kontrak tidak hadiratau tidak

berada pada tempat yang sama, sehingga tidak mudah untuk menentukan

hukum mana yang berlaku bagi kontrak tersebut apalagi menyangkut beberapa

negara karena sangat sulit untuk bisa menentukan di mana kontrak tersebut

terjadi.

2. Mail Box Theory dan Theory of Declaration

Kesulitan pada penerapan teori lex loci contractus dapat diatasi, maka

negara-negara Common Law memperkenalkan Mail Box Theory, di mana

dalam teori ini dinyatakan bahwa kedua belah pihak dalam suatu kontrak tidak

saling bertemu muka, maka yang terpenting adalah salah satu pihak

mengirimkan surat yang berisi penerimaan atas tawaran kontrak tersebut,

dalam hal ini hukum yang berlaku bagi kontrak tersebut adalah hukum, negara

Page 90: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76    

 

pihak yang mengirimkan penerimaan penawaran tadi, Sudargo Gautama

memberikan contoh; A yang berada di Negara X menawarkan kepada B di

negara Y (negara common law) suatu barang dengan kondisi tertentu, B

kemudian menulis surat penerimaannya dan memposkannya di negara Y, jadi

jika diterima lex loci contractus di negara Y, maka hukum yang berlaku

adalah hukum negara Y( Sudargo Gautama, 1989:50)

Adanya perbedaan ini tidak dapat ditentukan di mana tempat

dilangsungkannya perjanjian, permasalahan ini penting artinya dalam

hubungannya dengan penentuan di hadapan forum hakim mana perkara ini

dapat diajukan. Jadi walaupun posisi kasusnya sama bisa saja hasilnya akan

berbeda, di samping itu penggunaan lex loci contractus ini dapat menimbulkan

digunakannya hukum yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan

kontrak yang bersangkutan.

Menurut teori ini, suatu kontrak atau perjanjian terjadi pada saat jawaban

yang berisikan penerimaan tersebut dimasukkan ke dalam kotak pos. Dalam

hal transaksi e-commerce maka hukum yang berlaku adalah hukum dimana

pembeli mengirimkan pesanan melalui komputernya. Teori ini mempunyai

kelemahan sebab ada kemungkinan pihak lawan tidak menerima pesannya

atau terlambat menerima pesan tersebut. Oleh karena itu diperlukan

konfirmasi pihak penjual.

3. Lex Loci Solution

Teori ini hukum yang berlaku bagi suatu kontrak adalah tempat di mana

kontrak itu tersebut dilaksanakan. Sudargo Gautama menjelaskan dalam

praktek hukum internasional umumnya diakui bahwa berbagai peristiwa

tertentu dipastikan oleh hukum yang berlaku pada tempat pelaksanaan

kontrak. Berkaitan dengan hal ini ketentuan Pasal 18, A-B juga menentukan

bahwa suatu permasalahan yang berkaitan dengan perbuatan hukum harus

diselesaikan berdasarkan hukum dimana perbuatan itu dilaksanakan, kontrak

adalah suatu perbuatan hukum, dengan perkataan lain bahwa kontrak adalah

bagian dari perbuatan hukum, sehingga dalam hal ini jika ada perkara kontrak

Page 91: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77    

 

yang mengandung unsur asing di Indonesia, dan ternyata tidak dijumpai

klausula pilihan hukum dalam penyelesaian sengketanya maka harus

diselesaikan berdasarkan hukum negara di mana kontrak itu dilaksanakan,

misalnya A yang berada di Bandung membeli suatu barang dari perusahaan B

yang berada di Amerika, kemudian barang-barang tersebut diserahkan di

Bandung, barang tersebut telah diterima di Bandung, karena merasa telah

dirugikan karena A wanprestasi dalam hal pembayaran maka Perusahaan B

menggugat A di pengadilan negeri Bandung, jika ternyata dalam klausula

kontrak mereka tidak dijumpai adanya pilihan hukum maka pengadilan dapat

menyelesaikan perkara wanprestasi ini didasarkan kepada hukum Indonesia,

karena perjanjian dilaksanakan di Bandung, Indonesia (Sudargo Gautama,

1989:54).

Penerapan teori ini dalam praktek juga sering menimbulkan berbagai

permasalahan, karena saat ini para pihak yang melakukan kontrak dapat

melaksanakan kontrak di berbagai negara, sehingga dalam konteks ini akan

mengalami kesulitan hukum negara mana yang akan diberlakukan mengingat

ada beberapa negara yang terlibat dalam melaksanakan kontrak tersebut.

4. The Proper Law of Contract

Prinsipnya asas ini tidak akan digunakan jika para pihak memilih suatu

sistem hukum tertentu ketika kontrak dibuat (pilihan hukum), pengadilan akan

menerapkan sistem hukum lain yang bertujuan untuk menyesuaikan maksud

para pihak, walaupun sudah ada pilihan hukum, pengadilan masih

memperhatikan lex loci contractus dengan menafsirkan hal-hal yang tidak

terkait dengan hukum suatu negara di mana kontrak itu dibuat, jadi pengadilan

lebih mengutamakan hukum suatu negara dengan menggunakan pandangan

pada suatu hukum di mana kontrak itu dibuat.

Pengadilan Kanada mengadopsi doktrin Proper law yang kemudian

banyak dimodifikasi oleh Dicey dan Morris yaitu sebagai suatu sistem hukum

yang dikehendaki oleh para pihak. Jika maksud para pihak baik yang

diungkapkan secara tegas atau tidak dapat diketahui dari keadaan sekitarnya,

maka digunakan suatu sistem hukum yang mempunyai kaitan paling erat dan

Page 92: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78    

 

paling nyata dengan transaksi yang terjadi. Ketika para pihak telah

mengungkapkan bahwa proper law yang mereka pilih, maka tidak ada

kesulitan untuk menerapkan hukum yang dikehendaki oleh para pihak, akan

tetapi jika tidak disebutkan tentang proper law yang mereka pilih, hal ini tidak

menjadi masalah apakah pengungkapan maksud mereka merupakan sistem

hukum yang dikehendaki secara langsung oleh para pihak dalam kontrak,

ataupun merupakan sistem hukum yang dikehendaki oleh para pihak yang

paling berwenang dalam kontrak.

Berkaitan dengan permasalahan apakah doktrin proper law ini sebaiknya

diformulasikan secara subjektif atau objektif, maka jika diterima pandangan

bahwa para pihak dapat selalu memilih proper law secara tegas dengan

batasan tertentu, maka perbedaan formulasi proper law secara subjektif dan

objektif sangat penting, khususnya jika seseorang mempertimbangkan hasil-

hasil yang diperoleh oleh pengadilan, hasilnya akan tetap sama apabila

digunakan kedua formulasi tersebut. Jika tidak ada pilihan yang tegas, maka

pengadilan akan menerapkan hukum suatu negara di mana kontrak tersebut

dianggap berada, atau di mana transaksi tersebut mempunyai kaitan dengan

faktor-faktor yang relevan yang mempunyai hubungan paling dekat dan

subtansial, pengadilan akan menegaskan proper law secara objektif yang

sesuai dengan fakta dan keadaan tiap kasus, termasuk tempat kontrak itu

dibuat, tempat pelaksanaan kontrak, tempat kedudukan atau bisnis para pihak,

subjek kontraknya, dan lain-lain. Formulasi doktrin proper law secara singkat

dapat dinyatakan sebagai berikut: "Jika dalam suatu kontrak telah ditentukan

sistem hukum yang dikehendaki oleh para pihak, maka pilihan hukum itulah

yang akan diberlakukan bagi penyelesaian sengketa kontrak tersebut, namun

jika kehendak itu tidak dinyatakan secara tegas, atau tidak dapat diketahui dari

keadaan sekitarnya, maka proper law bagi kontrak tersebut adalah sistem

hukum yang mempunyai kaitan yang paling erat dan nyata dengan transaksi

yang terjadi" (Sudargo Gautama 1989: 58).

Sistem hukum dalam penentuannya yang mempunyai kaitan paling erat

dan nyata dengan transaksi yang terjadi, pengadilan mempertimbangkan

Page 93: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

79    

 

faktor-faktor relevan yang memungkinkan seperti tempat pembuatan kontrak

dan tempat pelaksanaan kontrak, selain itu juga tetap diperhatikan aturan-

aturan domestik suatu negara yang bersangkutan dan juga hubungan antara

negara terhadap transaksi yang terjadi dan para pihaknya. Kepentingan negara

yang bersangkutan terhadap putusan tentang hal-hal yang menyangkut

kepentingan mereka juga harus diperhatikan, terlebih lagi jika negara tersebut

mempunyai kepentingan yang lebih daripada pihak lainnya untuk menerapkan

sistem hukum yang dikeluarkan oleh pengadilan. Jika para pihak menyetujui

pengadilan dari negara tertentu mempunyai eksklusif jurisdiksi terhadap

kontrak tersebut, maka pengadilan akan berpendapat bahwa hukum yang

dikehendaki para pihak adalah hukum yang diterapkan oleh negara itu.

Adanya klausula tersebut bukanlah merupakan hal yang menentukan akan

tetapi hal ini hanya merupakan bahan pertimbangan saja.

Tidak ada pernyataan tentang pilihan hukum proper law oleh para pihak

dalam kontrak mereka, pengadilan di common law, khususnya Anglo-

Canadian dalam menyatakan bahwa mereka akan menghubungkan setiap

maksud para pihak atau menentukan proper law bagi para pihak dan dalam hal

ini sistem hukum yang digunakan dalam kontrak adalah sistem hukum suatu

negara di mana kontrak itu dianggap berlokasi, lokasi ini ditandai oleh

pengelompokan elemen-elemen, berdasarkan fakta-fakta atau lainnya dalam

transaksi tersebut.

Kelemahan teori ini menurut Sudargo Gautama adalah bahwa sebelum

suatu perkara yang terjadi diajukan ke pengadilan, sukar sekali menentukan

terlebih dahulu hukum mana yang berlaku bagi kontrak tersebut, sebab di sini

hakim harus menyelidiki dulu dengan seksama semua titik taut yang ada

dalam kontrak tersebut untuk menentukan hukum negara mana yang berlaku

bagi kontrak itu (Sudargo Gautama, 1989:60).

5. Teori Most Characteristic Connection

Teori ini menurut Sudargo Gautama merupakan teori yang terbaik untuk

dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan persoalan pemakaian

hukum dan kontrak bisnis internasional dewasa ini. Menurut Rabbel apabila

Page 94: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

80    

 

para pihak dalam suatu kontrak bisnis internasional tidak menentukan sendiri

pilihan hukumnya, maka akan berlaku hukum dari suatu negara di mana

kontrak yang bersangkutan memperlihatkan most characteristic connection

(hubungan yang paling karakteristik) (Sudargo Gautama, 1989:61).

Teori ini kewajiban untuk melakukan prestasi yang paling khas

(karakteristik) menjadi tolak ukur penentuan yang akan mengatur kontrak,

dalam setiap kontrak dapat dilihat pihak mana yang melakukan prestasi yang

paling khas, menjadi hukum yang seharusnya berlaku bagi kontrak, misalnya

dalam kontrak jual-beli, pihak penjual dianggap memiliki prestasi yang khas,

dalam perjanjian kredit bank, pihak bank dianggap memiliki prestasi yang

paling khas, demikian juga hubungan antara klien dan advokat, prestasi pihak

advokat dianggap paling khas.

Teori ini memiliki beberapa kelebihan, dengan adanya prinsip prestasi

yang paling khas, dapat secara pasti ditentukan terlebih dahulu prestasi yang

paling khas sehingga sebelum kontrak dibuat sudah dapat diketahui hukum

yang seharusnya berlaku, di sini juga tidak perlu lagi diadakan kualifikasi

yang rumit seperti lex loci contractus dan lex loci solutions, walaupun teori ini

dianggap sebagai teori terbaik, akan tetapi tidak berarti memiliki kelemahan,

ada kelemahan yang melekat di dalam, misalnya jika di dalam kontrak jual-

beli, prestasi pihak penjual dianggap memiliki prestasi yang paling khas, tetapi

jika perhatian terhadap pembeli lebih besar atau jika pihak pembeli dinyatakan

lebih harus dilindungi, maka keadaannya menjadi lain.

Sehingga hukum yang berlaku adalah hukum pihak mana yang

melakukan prestasi yang paling karakteristik atau paling banyak. Dengan

demikian teori-teori tersebut dapat dipakai untuk menentukan hukum mana

yang berlaku jika terjadi sangketa di kemudian hari.  Dalam transaksi e-

commere teori ini yang paling sesuai karena mudah menetukan hukum yang

digunakan yaitu menggunakan hukum dari pihak yang memiliki karaktristik

yang kas dalam artian prestasinya yang paling besar.

Page 95: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

81    

 

6. Lex Mercatoria

Hukum yang berlaku di dalam suatu kontrak internasional tidak hanya

merujuk pada salah satu hukum negara tertentu, tetapi dapat juga tidak

mengacu pada salah satu hukum negara tertentu. Hukum secara historis lex

mercatoria ini merupakan hukum kebiasaan di antara para pedagang Eropa,

yang kemudian diadministrasi oleh pengadilan pedagang, di mana pedagang

itu sendiri yang jadi hakimnya. Lex mercatoria dapat diartikan sebagai

prinsip-prinsip dan kebiasaan yang diterima secara umum dalam praktek

perdagangan internasional tanpa merujuk pada suatu sistem hukum

internasional tertentu, dengan demikian lex mercatoria merupakan suatu

norma yang bersifat otonom, suatu norma yang berlaku di kalangan

masyarakat bisnis (Sudargo Gautama, 1989:68). Elemen-elemen lex

mercatoria adalah sebagai berikut :

1. Peraturan-peraturan yang terdapat dalam perjanjian-perjanjian

internasional.

2. Hukum-hukum yang seragam.

3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa pedagang di

seluruh dunia seperti asas pacta suntservanda.

4. Resolusi-resolusi Majelis Umum PBB.

5. Rekomendasi-rekomendasi dan kode-kode perilaku yang dikeluarkan

lembaga-lembaga Internasional.

6. Kebiasaan-kebiasaaan yang berlaku dalam bidang perdagangan dan

kontrak-kontrak standar yang diterima secara universal.

7. Putusan-putusan Arbitrase.

Disamping pilihan hukum, dalam Hukum Perdata Internasional (HPI)

dikenal istilah kualifikasi. Kualifikasi yang dimaksud adalah melakukan

"translation''atau "penyalinan"daripada fakta-fakta sehari-hari dalam istilah-

istilah hukum". Garis besarnya terdapat tiga macam kualifikasi, yaitu :

1. Lex Fori.

2. Lex Causae.

Page 96: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

82    

 

3. Teori Kualifikasi yang dilakukan secara otonom berdasarkan metode

perbandingan hukum.

Menurut kualifikasi Lex Fori, bahwa hukum yang berlaku adalah hukum

materiil negara sang hakim yang mengadili perkaranya. Para penganut teori ini

pada umumnya berpendapat bahwa beberapa kualifikasi yang disebut di

bawah ini dikecualikan dari kualifikasi Lex Fori, yaitu :

a. Kualifikasi kewarganegaraan.

b. Kualifikasi benda bergerak-tidak bergerak.

c. Kualifikasi suatu kontrak yang tidak ada pilihan hukumnya.

d. Kualifikasi berdasarkan konvensi-konvensi internasionali

e. Kualifikasi perbuatan melawan hukum.

f. Pengertian yang digunakan Mahkamah Internasional.

Sisi positif atau kebaikan dari teori ini adalah, bahwa kaidah-kaidah

hukum Lex Fori paling dikenal hakim, perkara yang ada relatif lebih mudah

diselesaikan. Kelemahannya adalah adakalanya menimbulkan ketidakadilan,

karena kualifikasi dijalankan menurut ukuran-ukuran yang tidak selalu sesuai

dengan sistem hukum asing yang seharusnya diberlakukan, atau bahkan

dengan ukuran-ukuran yang sama sekali tidak dikenal oleh sistem hukum

asing tersebut (Sudargo Gautama, 1989:70).

Kualifikasi Lex causa beranggapan, bahwa kualifikasi harus dilakukan

sesuai dengan sistem serta ukuran dari keseluruhan hukum yang bersangkutan

dengan perkara. Tindakan kualifikasi dimaksudkan untuk menentukan kaidah

HPI mana dari Lex fori yang erat kaitannya dengan hukum asing yang

seharusnya berlaku. Penentuan ini dilakukan dengan mendasarkan diri pada

kualifikasi yang telah dilakukan berdasarkan sistem hukum asing yang

bersangkutan. Setelah lembaga hukum tersebut ditetapkan, barulah ditetapkan

kaidah-kaidah hukum apa di antara kaidah Lex fori yang harus digunakan

untuk menyelesaikan perkara.

Kualifikasi otonom pada dasarnya menggunakan metode perbandingan

hukum untuk membangun suatu sistem kualifikasi yang berlaku secara

universal. Kualifikasi yang dilakukan secara otonom ini terlepas dari salah

Page 97: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

83    

 

satu sistem hukum tertentu, artinya dalam HPI seharusnya ada pengertian

hukum yang khas dan berlaku umum serta mempunyai makna yang sama

dimanapun di dunia ini.

Mengacu pada kualifikasi tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa

apabila sengketa transaksi e-commerce antarnegara diadili oleh negara A,

maka hukum yang berlaku adalah hukum sang hakim dari negara A, meskipun

demikian, kesimpulan itu belumlah bersifat final, dalam artian bahwa masalah

hukum yang berlaku terhadap penyelesaian sengketa transaksi e-commerce

masih perlu diperdebatkan lagi oleh para akademisi maupun praktisi hukum.

Prinsip yang ditemukan dalam Hukum Perdata Internasional (HPI)

juga dikenal adanya 2 (dua) prinsip, yaitu :

1. Prinsip tempat badan hukum didirikan (The Place of Incorporation) yang

menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi suatu badan hukum adalah

hukum tempat badan hukum itu didirikan.

2. Prinsip tempat kedudukan yang efektif (Siege Reel) yang menyatakan

bahwa hukum yang berlaku bagi status badan hukum adalah hukum

tempat badan hukum itu melakukan usahanya.

Berdasarkan kedua prinsip tersebut, apabila transaksi e-commerce

antarnegara dilakukan oleh badan hukum dengan perseorangan dan terjadi

sengketa, maka hukum yang berlaku adalah hukum tempat di mana badan

hukum itu didirikan atau tempat di mana badan hukum itu melakukan

usahanya. Misalnya, transaksi dilakukan antara badan hukum Indonesia (PT)

dengan warga negara Singapura (perseorangan) dan terjadi sengketa, maka

hukum yang berlaku adalah hukum di Indonesia, meskipun demikian, kedua

prinsip ini masih tetap menimbulkan masalah berkenaan dengan hukum yang

berlaku dalam sengketa e-commerce antarnegara, baik pelaku bisnisnya

berupa badan hukum dan perseorangan maupun antara sesama badan hukum.

Terciptanya kepastian hukum mengenai hukum yang berlaku dalam

rangka penyelesaian sengketa transaksi e-commerce antarnegara, maka para

pihak perlu menentukannya dalam kontrak yang dibuatnya baik secara pilihan

hukum atau secara kualifikasi hukum.

Page 98: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

84    

 

Alternatif lainnya adalah bahwa para pelaku bisnis yang akan

menggunakan internet dalam melakukan transaksi e-commerce antarnegara,

baik sesama badan hukum, perseorangan maupun antara badan hukum dengan

perseorangan perlu membentuk sebuah forum seperti General Agreement on

Tariffs and Trade (GATT). Forum ini perlu disepakati antara lain mengenai

hukum yang akan diberlakukan apabila terjadi sengketa transaksi e-commerce.

Ketentuan di atas berkaitan dengan persoalan hukum yang berlaku

(applicable law), dalam kontrak bisnis internasional negara-negara yang

menganut sistem common law dan civil law berusaha melakukan harmonisasi

peraturan perUndang-Undangan berkaitan dengan hukum yang diberlakukan

tersebut dan hasilnya ada dua konvensi utama yang sangat penting dalam

menentukan hukum yang berlaku dalam kontrak bisnis internasional, yaitu

(PB Triton, 2006:73):

1. Convention on the law Applicable to Contract for International Sale of

Goods (the Hague Convention), dalam Pasal 7 konvensi ini mengadopsi

prinsip-prinsip bahwa para pihak bebas untuk membuat pilihan hukum

yang mengatur kontrak yang mereka buat, kemudian Pasal 8 menentukan

bahwa untuk memperluas hukum yang berlaku dalam suatu kontrak jual-

beli yang tidak dipilih para pihak sesuai Pasal 7, maka kontrak diatur oleh

hukum negara di mana kedudukan bisnis penjual pada saat kontrak dibuat.

2. The European Convention on the Law Applicable to Contractual

Obligations (Rome Convention 1980). Pasal 1 ayat (1) dari konvensi ini

menyatakan bahwa ketentuan pilihan hukum berlaku bagi kewajiban

kontraktual dalam setiap situasi yang menyangkut tentang pilihan hukum

antara dua negara yang berbeda, yaitu kontrak yang menyangkut satu atau

lebih elemen asing di dalamnya. Pasal 2 secara tegas menyatakan bahwa

setiap hukum yang telah ditetapkan oleh konvensi ini harus diterapkan

baik hukum itu merupakan hukum dari contracting state ataupun bukan,

selanjutnya ketentuan Pasal 19 ayat (2) menyatakan bahwa konvensi ini

tidak berlaku untuk konflik hukum wilayah yang berbeda dalam satu

negara yang sama.

Page 99: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

85    

 

Kontrak akan diatur hukum negara di mana pembeli memilih tempat

bisnisnya pada saat kontrak dibuat jika pertama, negosiasi diadakan dan

kontrak ditandatangani oleh dan dalam kehadiran para pihak, dalam suatu

negara, kedua, kontrak menentukan secara tegas bahwa penjual harus

memenuhi kewajibannya untuk mengirim barang dalam suatu negara, dan

ketiga, kontrak ditandatangani dengan syarat yang ditentukan sebagian besar

oleh pembeli dan dalam tanggapan atas suatu undangan oleh pembeli

ditujukan kepada orang yang diundang untuk mengajukan penawaran.

Pasal 13 the Hague Convention menentukan bahwa dalam hal tidak ada

pilihan yang tegas, maka berlaku hukum negara di mana pemeriksaan barang

dilakukan. Inggris sejak Tahun 1990 telah memiliki The Contract (Applicable

Law) Act 1990, Undang-Undang ini merupakan implementasi Konvensi Roma

1980 tentang Hukum yang berlaku terhadap kewajiban kontraktual (Rome

Convention 1980 on The Law Applicable to Contract Obligations), keadaan

ini mengakibatkan perubahan terhadap doktrin proper law dalam kontrak yang

dianut Inggris. Konvensi Roma ini menjadi tanda bagi kemajuan harmonisasi

hukum bagi negara anggota masyarakat Eropa (Europen Community, EC),

unifikasi hukum yang terjadi akan mengurangi ketidakadilan yang disebabkan

dari forum perdagangan antarnegara anggota EC, konvensi ini bertujuan untuk

mengidentifikasi hukum yang berlaku, terlepas dari ke mana dan di mana

setiap tindakan negara anggota EC ini akan dibawa.

Ruang lingkup pilihan hukum dalam Rome Convention tidak

mencangkup pada semua hal. Beberapa pengecualian terhadap ruang lingkup

pilihan hukum itu, dengan perkataan lain pilihan hukum tidak dapat diterapkan

pada beberapa permasalahan, yakni ( Suyud Margono, 2000:73):

1. Persoalan yang berkaitan dengan status atau kepastian hukum seseorang,

tetapi yang merupakan subjek dari Pasal 11 Rome Convention.

2. Kewajiban kontraktual yang terkait dengan surat wasiat dan warisan.

3. Kewajiban kontraktual yang terkait dengan hak atas harta benda yang

timbul dari hubungan perkawinan, masalah keluarga.

Page 100: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

86    

 

4. Kewajiban yang timbul dalam wesel, cek, surat sanggup, atau surat

promise, dan instrumen yang dapat diperjualbelikan lainnya.

5. Perjanjian arbitrase dan yurisdiksi.

6. Persoalan yang diatur oleh hukum perusahaan dan badan usaha lainnya

seperti pembentukan, kapasitas hukum, organisasi internal atau winding

up, dan tanggung jawab karyawan dan anggota sebagai suatu kewajiban

perusahaan atau badan usaha itu.

7. Persoalan apakah agen itu mampu untuk mengikat prinsipal, atau suatu

organ mampu untuk mengikat perusahaan atau badan usaha pada pihak

ketiga.

8. Pengaturan trust dan hubungan antara settlors, trustee, dan beneficiaries.

9. Pembuktian dan prosedur yang termasuk subjek Pasal 14 Rome 5:

Convention.

10. Kontrak asuransi yang mencangkup risiko yang berada dalam wilayah

negara anggota EC.

Ketentuan common law Inggris yang dikemukakan oleh Munir Fuadi,

konvensi ini juga memberikan perbedaan yang mendasar antara situasi di

mana hukum yang berlaku itu dipilih oleh para pihak dan situasi di mana tidak

ada pilihan hukum yang tegas dari para pihak, maka hukum yang berlaku

harus diketahui, biasanya hukum yang berlaku dalam konvensi ini mengacu

pada hukum domestik suatu negara dan disesuaikan dengan doktrin renvoi.

Pasal 3 ayat (1) konvensi ini menyatakan bahwa kontrak itu diatur oleh hukum

yang dipilih oleh para pihak, asalkan pilihan itu dinyatakan dengan tegas dan

ditujukan dengan alasan yang patut sesuai dengan term kontraknya atau situasi

kasusnya. Sesuai dengan Pasal di atas para pihak dapat memilih hukum yang

berlaku dalam kontrak mereka baik sebagian atau seluruhnya dan para pihak

juga dapat memilih dua hukum yang berbeda untuk mengatur bagian yang

berbeda dalam kontrak. Hal ini disebut dengan depecage yaitu menggunakan

dua sistem hukum yang berbeda dalam satu kontrak, sebagai contoh para

pihak dapat memilih satu hukum untuk mengatur tentang penafsiran

kontraknya dan menggunakan sistem hukum yang lain untuk mengatur tentang

Page 101: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

87    

 

pemutusan kontrak itu. Pasal 3 ayat (2) Konvensi Roma menyatakan bahwa

para pihak dapat membuat pilihan hukum kapan saja, walaupun hal itu disebut

setelah penandatanganan kontrak, mereka sewaktu-waktu juga dapat merubah

pilihan hukum yang telah dibuat sebelumnya, perubahan itu diperbolehkan

dengan ketentuan perubahan pilihan hukum itu tidak melanggar syarat sahnya

suatu kontrak sesuai dengan peraturan yang ada dalam Pasal 9, atau

merugikan pihak ketiga. Ketentuan ini memungkinkan para pihak untuk

mempunyai kebebasan yang maksimum untuk membuat pilihan hukum

mereka, selaln itu pilihan hukum itu juga bisa dibuat pada saat pembuatan

kontrak, ataupun setelah atau sesudah penandatanganan kontrak (Munir

Fuady, 2000: 84).

Jika pihak gagal dalam membuat pilihan hukum baik secara tegas

ataupun secara diam-diam, maka pilihan hukum itu akan ditentukan sesuai

dengan Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam hal ketika pilihan

hukum itu tidak dapat dipilih sesuai dengan Pasal 3 maka kontrak tersebut

diatur oleh hukum suatu negara yang mempunyai hubungan paling dekat

dengan kontrak itu. Pasal 4 ayat (2) menjelaskan tentang anggapan bahwa

kontrak ini mempunyai hubungan yang paling dekat dengan negara di mana

para pihaknya mempunyai karakterlstik tertentu pada pelaksanaan kontrak

seperti tempat tinggal mereka saat penandatanganan kontrak. Menurut the

Giuliano-Lagarde Report, biasanya karakteristik prestasinya itu ditandai pada

saat pembayaran itu terjadi seperti pengiriman barang, ketentuan pelayanan,

memberikan hak untuk membuat item barangnya, dan lain-lain, walaupun

Pasal 4 ayat (2) ini lebih menekankan pada ciri khas prestasi, akan tetapi di

sini juga dijelaskan tentang hukum negara mana yang berlaku ketika para

pihaknya mempunyai tempat tinggal yang tetap, atau untuk kasus sebuah

badan hukum atau tidak berbadan hukum, di mana pusat administrasinya pada

saat penandatanganan kontrak, ketika tempat tinggal para pihak dan pusat

administrasi dari suatu perusahaan tidak disebutkan maka kemudian hukum

sebuah forum akan dianggap diterapkan dalam kontrak itu (http//the giuliano

lagarde-e-commerce.doc. diakses 28 September 2010).

Page 102: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

88    

 

Kehadiran internet walaupun masih dalam fase pertumbuhan, telah

memperkokoh keyakinan tentang pentingnya peranan teknologi dalam

pencapaian tujuan finansial. Salah satu sarana guna melakukan transaksi

perdagangan seperti penjualan, pembelian, promosi, dan lain-lain, internet

dirasakan manfaatnya pada saat sejumlah situs yang menyajikan breaking

news telah menarik para pelaku bisnis.

Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa perkembangan transaksi e-

commerce menunjukkan adanya peningkatan yang sangat signifikan, tidak

saja di negara-negara maju tetapi juga negara-negara berkembang khususnya

Indonesia. Keuntungan yang ditawarkan transaksi e-commerce yang sulit atau

tidak dapat diperoleh melalui cara-cara transaksi konvensional.

Transaksi e-commerce terbuka kemungkinan terjadinya sengketa antara

para pihak yang membuatnya, oleh karena dalam transaksi e-

commerce para pihak tidak bertemu secara fisik dan tidak menggunakan tanda

tangan asli, sehingga salah satu pihak bisa saja mengingkari kontrak yang

telah dibuat.

Jika dalam transaksi e-commerce terjadi sengketa antara para pihak yang

berbeda negara, maka selain dikenal adanya pilihan hukum juga dikenal

adanya pilihan yurisdiksi (Choice of Forum). Pilihan yurisdiksi ini bermakna,

bahwa para pihak di dalam kontrak akan bersepakat memilih pengadilan

negara manakah yang berwenang mengadili perkara mereka. Transaksi e-

commerce dilakukan antara perseorangan bukan berbentuk badan usaha, untuk

mengetahui pengadilan negara yang berwenang mengadili sengketa yang

terjadi, maka dapat dilihat pada pilihan yurisdiksi sebagaimana disebutkan di

atas.

Jika dalam kontrak e-commerce antarnegara, para menentukan pilihan

yurisdiksi baik secara tegas maupun diam, maka pengadilan sebagaimana

ditentukan dalam tersebutlah yang diberlakukan. Kualifikasi hukum tertentu

dalam kontrak transaksi e-commerce, maka yang berwenang mengadili

sengketa yang terjadi adalah pengadilan yang ditentukan dalam kualifikasi

tersebut sesuai dengan hukum yang diberlakukan.

Page 103: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

89    

 

Jika pelaku bisnis dalam transaksi e-commerce berupa badan usaha

seperti Perseroan Terbatas (PT) dan perseorangan, kemudian terjadi sengketa,

maka berdasarkan prinsip Siege Statutair, pengadilan yang berwenang

mengadili perkaranya adalah pengadilan tempat didirikannya perusahaan

(Werhan Asmin, 2003:97), oleh karena menurut prinsip Siege Statutair bahwa

hukum yang berlaku bagi suatu badan hukum itu didirikan. Prinsip ini pada

hakekatnya identik dengan prinsip The Place of Incorporation atau prinsip

tempat badan hukum didirikan yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku

bagi suatu badan hukum adalah hukum tempat badan hukum itu didirikan.

Kemudian prinsip Siegle Reel atau prinsip tempat kedudukan yang

efektif yaitu hukum yang berlaku bagi status badan hukum ialah hukum

tempat badan hukum itu melakukan usahanya. Berdasarkan prinsip ini bahwa

pengadilan yang berwenang mengadili sengketa transaksi e-commerce

antarnegara, di mana para pelaku bisnisnya badan hukum dan perseorangan

adalah pengadilan tempat badan hukum melakukan usahanya, meskipun telah

ada beberapa prinsip yang dapat menjadi acuan untuk menentukan pengadilan

yang berwenang mengadili sengketa mengenai transaksi e-commerce antara

badan hukum dengan perse orangan, namun hal ini akan menimbulkan

masalah apabila transaksi e-commerce antarnegara dilakukan antara badan

hukum, apakah prinsip tersebut di atas dapat diterapkan.

Oleh karena itu, dalam rangka mengantisipasi terjadinya sengketa dalam

pelaksanaan transaksi e-commerce, maka sudah seharusnya para pihak yang

menentukan pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya dalam kontrak

yang dibuatnya.

Para pihak pada umumnya dianggap mempunyai kebebasan untuk

memilih, namun mereka bisa menyimpang dari kompetensi relatif dengan

memilih hakim lain, namun tidak diperkenankan untuk menjadikan suatu

peradilan menjadi tidak berwenang bilamana kaidah-kaidah hukum intern

negara yang bersangkutan menentukan bahwa hakim tidak berwenang adanya.

Page 104: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

90    

 

Menurut Convention on the Coice of court 1965, pilihan yurisdiksi;

terbuka untuk perkara perdata atau dagang yang mempunyai sifat

internasional, namun tidak berlaku bagi:

1. Status kewarganegaraan orang atau hukum keluarga termasuk kewajiban

atau hak-hak pribadi atau finansial antara orang tua dan atau antara suami

dan istri.

2. Permasalahan alimentasi yang tidak termasuk dalam butir 1.

3. Warisan.

4. Kepailitan.

5. Hak-hak atas benda tidak bergerak.

Pilihan Yurisdiksi yang dimaksud di atas selain dapat menunjuk kepada

suatu pengadilan di negara tertentu juga dapat menunjuk badan arbitrase

tertentu. Pengadilan atau arbitrase sebelum mengadili perkara harus meneliti

dulu apakah ia berwenang mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Salah

satu caranya adalah dengan meneliti klausula pilihan Yurisdiksi yang terdapat

dalam kontrak tersebut.

C. Prosedur Pelaksanaan Eksekusi dan Pembatalan Putusan Arbitrase

Internasional

Putusan arbitrase asing dalam pelaksanaanya termasuk dalam perkara e-

commerce, ada prosedur yang harus dijalani atau dilaksanakan agar putusan

arbitrase asing tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia. Peraturan yang mengatur

tentang prosedur pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia, diatur

dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Republik Indonesia No. 1 Tahun

1990 tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing No. 1 Tahun 1990 dan

UU No. 30 Tahun 1999.

Perma No. 1 Tahun 1990 dan UU No. 30 Tahun 1999 tidak banyak

perbedaan dalam prosedur pelaksanaan putusan arbitrase asing, yang

membedakan antara Perma No. 1 Tahun 1990 dan UU No. 30 Tahun 1999 adalah

mengenai pemberian eksekuatur. Dalam Perma No. 1 Tahun 1990, putusan

Page 105: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

91    

 

arbitrase asing baru dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari

Mahkamah Agung, sedangkan dengan berlakunya UU No. 30 Tahun 1999,

kewenangan Eksekuatur Mahkamah Agung berpindah ke Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat, kecuali jika keputusan arbitrase internasional menyangkut Negara

Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, maka pelaksanaan

putusannya hanya dapat dilakukan setelah memperoleh eksekuatur dari

Mahkamah Agung, kemudian dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Berdasarkan Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999, putusan arbitrase hanya dapat

diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia jika memenuhi

beberapa persyaratan sebagai berikut:

1. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau mejelis arbitrase

di suatu Negara yang dengan Negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik

secara bilateral maupun multilateral dalam kaitannya dengan pengakuan dan

pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

2. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf 1 terbatas

pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam

ruang lingkup hukum perdagangan.

3. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada

putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

4. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah

memperoleh eksekuatur dati Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

5. Putusan arbitrase internasional yang menyangkut Negara Republik Indonesia

sebagai salah satu pihak dalam sengketa hanya dapat dilaksanakan setelah

memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung RI, yang selanjutnya

dilimpahkan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Jika diperhatikan isi Pasal tersebut, huruf 1 sampai dengan 4 adalah sama

dengan Pasal 3 Perma No. 1 Tahun 1990 (Gatot Sumartono, 2006:92), dengan

pengecualian huruf d tentang kompetensi pengadilan untuk memberikan eksekusi,

yaitu oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pasal 3 ayat (4) Perma No. 1 Tahun

1990 menyebutkan bahwa “suatu putusan Arbitrase Asing dapat dilaksanakan di

Page 106: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

92    

 

Indonesaia setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik

Indonesia.

Prosedur yang harus dilakukan untuk melaksanakan eksekusi putusan

arbitrase asing di Indonesia diatur dalam UU No. 3 Tahun 1999, dimana dalam

Pasal 67 ayat (1) menjelaskan bahwa pemohonan pelaksanaan putusan arbitrase

internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh

arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pendeponiran putusan arbitrase asing, semuanya disentralisir di kantor

Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pendeponiran putusan arbitrase

asing, menjadi kompetensi relatif tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal itu

ditegaskan dalam Pasal 65 UU No. 30 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa yang

berwenang mengenai masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase

Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Secara garis besar tahap-tahap eksekusi putusan arbitrase dapat digambar

dengan bagan sebagai berikut:

Bagan 2 Tahap-tahap Eksekusi Putusan Arbitrase

Perintah pelaksanaan (eksekuatur) putusan arbitrase asing dapat

dimintakan dengan mengajukan pelaksanaan putusan arbitrase asing kepada Ketua

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan disertai persyaratan sebagaimana diatur

Permohonan pelaksanaan putusan

Penyerahan dan pendaftaran putusan Tahap II

Tahap I

Perintah pelaksanaan putusan (eksekatur) Tahap III

Pelaksanaan putusan Tahap IV

Page 107: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

93    

 

dalam Undang-Undang Pasal 67 ayat (2) yaitu dengan menyertakan berkas

permohonan dengan:

1. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai

ketentuan otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam

bahasa Indonesia;

2. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan

Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokimen asing,

dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia;

3. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di Negara tempat

Putusan Arbitrase Internasional tersebut di tetapkan, yang menyatakan bahwa

Negara pemohon terikat pada perjanjian baik secara bilateral maupun

multilateral dengan Negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan

pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

Praktiknya, hanya dokumen 1 dan 2 yang diserahkan pada Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat pada saat putusan arbitrase internasional didaftarkan.

Selanjutnya pada saat permohonan eksekusi dilakukan, dokumen 1 dan 2 tidak

perlu diserahkan lagi, cikip menunjukkan bukti surat pendaftaran putusan dan

dokumen 3 (Gatot Sumartono, 2006:90).

Pasal 68 mengatur bahwa, jika Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

mengeluarkan putusan yang mengakui dan melaksanakan suatu putusan arbitrase

internasional, maka putusan tersebut tidak dapat diajukan banding atau kasasi,

tetapi jika putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak untuk

mengakui dan malaksanakan putusan arbitrase internasional, maka putusan

tersebut dapat dimintakan kasasi, Mahkamah Agung mempertimbangkan dan

memutuskannya. Putusan Mahkamah Agung tersebut tidak dapat diajukan upaya

perlawan.

Seluruhan prosedur permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional

telah dilakukan dan ternyata putusan arbitrase internasional tersebut diakui dan

dapat dilaksanakan berdasarkan putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,

maka selanjutnya adalah pelaksanaan eksekusi berdasarkan perintah eksekusi

yang diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang kemudian

Page 108: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

94    

 

dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang

melaksanakannya. Mengenai peraturan yang mengatur mengenai pelaksanaan

eksekusi, terdapat di dalam Pasal 69 UU No. 30 Tahun 1999.

Pasal 69 ayat (2) menyatakan bahwa sita eksekusi dapat dilaksanakan atas

harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi. Hal ini sama dengan Perma

No. 1 Tahun 1990 Pasal 6 ayat (3), dimana dalam Perma tersebut dikatakan sita

eksekutorial dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang-barang milik

termohon eksekusi.

Pasal 69 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 memyatakan tata cara penyitaan

serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam

Hukum Acara Perdata, sehingga dalam pelaksanaannya, tidal diperlukan lagi

peraturan-peraturan yang baru dalam pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrase

internasional tersebut.

Tentang pembatalan putusan arbitrase, hal ini diatur dalam Pasal 70 UU No.

30 Tahun 1999 yang menentukan bahwa terhadap putusan arbitrase para pihak

dapat mengajukan permohonan pembatalan, jika putusan tersebut diduga

mengandung unsure-unsur antara lain sebagai berikut:

1. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan

dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu,

2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang

disembunyikan oleh pihak lawan, atau

3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak

dalam pemeriksaan sengketa.

Prosedur permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional terdapat di

dalam Pasal 71 dan 72 ayat (1) s/d ayat F(3) UU No. 30 Tahun 1999, yaitu

permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua

Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari tehitung sejak

hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan

Negeri. Jika permohonan pembatalan tersebut dikabulkan, Ketua Pengadilan

Negeri menentukan akibat pembatalan seluruhnya atau sebagai dari putusan

arbitrase.

Page 109: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

95    

 

Pasal 71 dapat disimpulkan bahwa pendaftaran putusan arbitrase harus

dilakukan terlebih dahulu, sebelum putusan tersebut dapat dimohonkan

pembatalannya (Gatot Sumartono, 2006:94). Pendaftaran pembatalan putusan

arbitrase harus diajukan dalam format permohonan.

Menurut UU No. 30 Tahun 1999, pembatalan putusan arbitrase internasional

hanya dapat dilakukan setelah memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

1. putusan tersebut memenuhi salah satu atau beberapa unsure sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 70,

2. putusan tersebut sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

dilengkapi dengan persyaratan dokumen, dan pendaftarannya pun harus

dilakukan oleh arbitrase atau kuasanya,

3. pengajuannya harus dalam bentuk format permohonan.

Pelaksanakan eksekusi putusan arbitrase asing, sering kali mengalami

kendala-kendala yang membuat pelaksanaan eksekusi tersebut tertunda bahkan

gagl untuk di eksekusi, seperti diketahui bahwa Indonesia telah meratifikasi

konvensi internasional yang mengakui putusan arbitrase asing. Namun, sampai

sejauh ini pelaksanaan putusan arbitrase masih menghadapi kendala di dalam

praktik.

Keengganan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan putusan arbitrase,

khususnya putusan arbitrase asing, telah diingatkan oleh Sunayarti Hartono beliau

menyatakan antara lain (Sunaryati Hartono, 1991:15):

“Sayang sekali masih sering dialami, bahwa pihak Indonesia yang sudah dinyatakan wajib membayar ganti rugi oleh instansi yang berwenang di Indonesia, sama sekali tidak menghormati keputusan itu, yang menyebabkan image Indonesia dimata pengusaha asing tidak bertambah baik, sekalipun Indonesia sudah bersedia mengakui dan melaksanakan keputusan arbitrase asing melalui Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990.”

Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing

di Indonesia berupa kendala yuridis yang menyebabkan terjadi titik singgung

kewenangan Peradilan Umum dengan kewenangan absolute arbitrase

(Panggabean, 2002:75). Titik singgung kewenangan itu dapat terjadi dalam hal-

hal sebagai berikut:

Page 110: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

96    

 

a. bahwa badan arbitrase juga berperan sebagai “particuliere rechtpraak”

(Pengadilan Swasta), sebenarnya memberikan putusannya lebih

didasarkan pada aspek keadilan dan kepatutan (redelijkheid en

billijkheid=ex aequo et bono) tanpa menyebut aspek kepastian hukum dan

kemanfaatan, artinya wasit (arbiter) dapat mengesampingkan peraturan

perUndang-Undangan yang berlaku. Peran seperti ini, para pihak

bersangkutan dapat saja “menolak” putusan arbitrase dengan alasan

subjektif bahwa putusan arbitrase tersebut kurang sesuai dengan keadilan

hukum, atau alasan lainnya,

b. bahwa beberapa putusan arbitrase terdahulu sebelum berlakunya UU No.

30 Tahun 1999 dapat digunakan pedoman untuk mempersoalkan

kewenangan absolute badan arbitrase,

c. bahwa UU No. 30 Tahun 1999 sendiri telah mengatur beberapa alasan

untuk membatalkan putusan arbitrase.

d. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dengan tegas mengatur yurisdiksi

arbitrase, namun dalam praktik penyelesaiaan sengketa melalui lembaga

arbitrase hanya dapat efektif jika para pihak yang terlibat dalam sengketa

mempunyai niat baik untuk menerima dan menghormati keputusan arbiter

(Panggabean, 2002:80). Efektifitas putusan arbitrase juga tergantung

ketaatan Pengadilan Negeri untuk menggormati yurisdiksi lembaga

arbitrase yang berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang

mengandung klausula arbitrase.

Kendala tersebut diatas diakibatkan karena adanya celah hukum dimana

peradilan arbitrase atau yang disebut dengan peradilan swasta sering kali dianggap

tidak sesuai dengan keadilan hukum, selain itu kendala yang muncul dalam

peraturan perUndang-Undangan mengenai arbitrase itu sendiri yaitu dengan

mengatur beberapa alasan untuk membatalkan putusan arbitrase yang telah

dijatuhkan. Niat baik para pihak juga sangat berpengaruh dalam kelancaran

pelaksanaan putusan arbitrase.

Page 111: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

97  

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, bahwa:

1. Dasar pengaturan penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-

commerce di Indonesia antara lain, prinsip kesepakatan para pihak

(Konsensus) terdapat dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 4 ayat (1), prinsip

kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa diatur dalam Undang-

Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,

prinsip kebebasan memilih hukum terdapat dalam Undang-Undang No. 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 18 ayat (2)

dan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa Pasal 56 ayat (2), prinsip itikad baik (Good Faith)

diatur dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (3), prinsip Exhaution of local

remidies (Pengedepanan Penyelesaian Sengketa menggunakan Hukum

Nasional) diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal (2).

2. Hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis

internasional e-commerce melalui arbitrase pada dasarnya diberikan

kebebasan para pihak begitu pula yan diatur dalam peraturan di Indonesia

yaitu dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2), apabila tidak menentukan pilihan

hukum maka didasarkan pada asas hukum perdata internasional. Hukum

perdata internasional mengenal empat macam choice of law atau pilihan

hukum yaitu: pilihan hukum secara tegas, pilihan hukum secara diam-diam,

pilihan hukum yang dianggap dan pilihan hukum secara hipotesis. Apabila

pilihan hukum tersebut tidak dipilih maka hakim dapat menentukan pilihan

hukum dengan menggunakan bantuan titik taut diantaranya: lex loci

contractus, mail box theory, lex loci solution, the proper law of contract,

theory most characteristic conection. Dalam pelaksanaanya teori most

Page 112: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

98    

 

characteristic conection dapat dijadikan sebagai pilihan hukum dalam

sengketa e-commerce karena penjual dianggap mempunyai prestasi yang

kas sehingga menggunakan hukum dari pihak yang mempunyai prestasi

yang terbesar.

3. Ketentuan yang mengatur tentang eksekusi putusan arbitrase asing di

wilayah Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang sebelumnya

diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang Tata

Cara Pelaksanaan Arbitrase Asing. Pasal 65 sampai dengan Pasal 69

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1990, yang pada intinya mengatur

tentang tahapan-tahapan serta prosedur dan persyaratan yang harus dilalui

dalam rangka eksekusi putusan arbitrase asing yang mana harus didaftarkan

ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemungkinan adanya upaya hukum

terhadap pemberian eksekuatur pengadilan, dan penggunaan hukum acara

perdata dalam hal tata cara eksekusi yang diatur dalam Pasal 195-224 HIR.

Pembatalan putusan arbitrase asing diatur dalam Pasal 71 dan 72.

Pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia sering terjadi kendala

hukum yang menyebabkan terjadi titik singgung kewenangan peradilan

umum dengan kewenangan absolut arbitrase sehingga putusan arbitrase

dalam sengketa e-commerce akan mendapat perlakuan yana sama.

B. Saran

Beberapa saran yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak yang

terkait antara lain sebagai berikut:

1. Para pelaku bisnis dapat menggunakan teori pemilhan hukum Most

Characteristic Connection dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis

internasional e-commerce dimana hukum dari pihak penjual dianggap

memiliki prestasi yang paling khas, sehingga memberikan perlindungan

hukum yang lebih terhadap konsumen apabila terjadi sengketa.

2. Pemerintah perlu melakukan pengkajian ulang terhadap pelaksanaan putusan

arbitrase asing di Indonesia yang belum efektif dikarenakan terdapat kendala

Page 113: PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL …eprints.uns.ac.id/9310/1/214551711201103451.pdf · internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

99    

 

yaitu terjadinya titik singgung kewenangan peradilan umum dengan

kewenangan absolut arbitrase, sehingga diperlukan ratifikasi peraturan

internasional secara keseluruhan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa supaya pelaksanaan

arbitrase asing di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.