PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN OLEH BADAN …
Transcript of PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN OLEH BADAN …
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN OLEH BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) MELALUI PROSES
ARBITRASE DI KOTA MEDAN
(Kasus Antara Esrawaty Melawan PT Graha Kirana Development Dalam Putusan No : 036/PEN/III/BPSK-MDN)
SKRIPSI
Disusun Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Mamperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
150200444 Lismar Wahyuni
Departemen Hukum Ekonomi
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan judul “Penyelesaian Sengketa Konsumen Oleh Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) melalui Arbitrase di Kota Medan (Kasus Antara
Esrawaty Melawan PT Graha Kirana Development Dalam Putusan NO :
036/PEN/III/BPSK-MDN)”. Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat
untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan baik
dalam segi penguasaan pembahasan, tata bahasa, ataupun substansi isi dari
penulisan skripsi ini. Maka dengan kerendahan hati, penulis memohon maaf dan
mohon diberikan kritik maupun saran agar dapat terwujudnya penulisan skripsi
ini.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari telah menerima banyak
bimbingan, motivasi dan doa dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan. Seiring rasa syukur yang tiada hentinya kepada Allah SWT, penulis
ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
4. Ibu Dr. Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan III
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak Syaiful Azam, S.H., M.Hum selaku Dosen Penasehat Akademik
(PA).
7. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.Hum. selaku Dosen
Pembimbing I, yang dengan ikhlas, sabar, dan berbaik hati memberikan
bimbingan, baik kritikan maupun saran sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
8. Ibu Tri Murti Lubis, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II.
Terimakasih atas waktu dan bimbingan yang Ibu berikan kepada Penulis,
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang
telah mendidik serta membimbing penulis selama proses perkuliahan
sampai tingkat akhir memperoleh gelar Sarjana Hukum.
10. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan, Bapak Dharma
Bakti Nasution, Bapak Saiful dan Kak Qoni yang telah membantu penulis
dalam penyelesaian skripsi ini.
11. Kedua orang tua saya Marwan Siregar dan Kamariah br. Manik, yang
selalu memberikan kasih sayang, dukungan, semangat, nasehat dan doa
yang tidak ada putusnya. Terima kasih telah memberikan dan melakukan
yang terbaik selama masa pendidikan saya di Fakultas Hukum USU ini.
Universitas Sumatera Utara
12. Untuk abangku Zefrika Sastra Siregar dan adik-adikku tersayang Emi
Masyroyani dan Neni Wardani, yang selalu memberikan doa dan semangat
hingga saya sampai pada tahap ini.
13. Seluruh keluarga besar HMI Komisariat Fakultas Hukum USU, Pengurus
HMI Periode 2017-2018, Pengurus KOHATI Periode 2017-2018,
Presidium HMI Periode 2017-2018 serta Pengurus HMI dan KOHATI
Periode 2019-2020.
14. Rekan seperjuangan, HMI Stambuk 2015 Adhani, Wulan, Faridah, Mar’ie,
Doni, Diwa, Andika, Farhan, Uan, Dana, Zulham, Zikri, Adji, Taufik,
Putri, Bayu, Arfan. Terimakasih telah menemani penulis dalam berproses
di hijau hitam tercinta.
15. Adik-adik yang saya sayangi Ecak, Tira, Nako, Helnia, Divia, Dinda,
Pristin, Fanisya. Terimakasi untuk setiap canda tawa yang diberikan.
Semangat terus kulianya dan jangan perna berhenti untuk berproses.
16. Sahabat penulis semasa SMA sampai saat ini yaitu Arvi, Annisa, Firli dan
Suci, yang selalu memberikan dukungan dan semangat. Juga kepada Nuri,
Mega, Kak Siti, Kak Ayang, teman penulis semasa Kuliah di USU yang
berasal dari daerah yang berbeda dan fakultas yang berbeda juga.
Terimakasih untuk semangat yang diberikan.
17. Pengurus MPM FH USU Periode 2019-2020.
18. Kepada Group G stambuk 2015 yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu, tetaplah semangat.
19. Ikatan Mahasiswa Hukum Ekonomi (IMAHMI) Fakults Hukum USU.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai penutup kata, penulis berharap semoga penelitian skripsi ini
dapat berguna dan menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Medan, 31Juli 2019
Lismar Wahyuni
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... v
ABSTRAKSI ...................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan................................................................. 8
D. Keaslian Penulisan ................................................................................... 9
E. Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 10
F. Metodelogi Penulisan.............................................................................. 15
G. Sistematika Penulisan ............................................................................. 20
BAB II KEDUDUKAN BPSK DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
A. PERLINDUNGAN KONSUMEN.......................................................... 23
1. Pengertian Perlindungan Konsumen ................................................ 23
2. Asas dan Tujuan Perlindungan ........................................................ 24
3. Hak dan Kewajiban Konsumen ....................................................... 28
4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ................................................... 35
B. PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN ..................................... 38
1. Penyelesaian Sengketa secara Litigasi ............................................. 38
2. Penyelesaian Sengketa Non Litigasi ................................................ 40
Universitas Sumatera Utara
C. KEDUDUKAN BPSK DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
KONSUMEN .......................................................................................... 47
1. Dasar Hukum Pembentukan BPSK ................................................ 47
2. Bentuk Penyelesaian Sengketa di BPSK ......................................... 50
3. Tugas,Fungsi dan Wewenang BPSK dalam Penyelesaian
Sengketa ........................................................................................... 55
4. Kedudukan BPSK Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen ........ 59
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN OLEH BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) KOTA MEDAN MELALUI PROSES ARBITRASE
A. Prosedur Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase di BPSK ............... 62
B. Penyelesaian Sengketa Melalui Proses Arbitrase di BPSK Kota Medan 74
C. Kekuatan Hukum Putusan Arbitrase oleh BPSK .................................... 77
BAB IV ANALISIS HUKUM PUTUSAN NO : 036/PEN/III/BPSK-MDN
A. Kasus Posisi antara Esrawaty Sianturi melawan PT Graha Kirana
Development ........................................................................................ 80
B. Dalil Pemohon (Esrawaty Sianturi) ........................................................ 81
C. Dalil Termohon (PT Graha Kirana Development) ................................. 82
D. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim BPSK ......................................... 84
E. Analisis Hukum Putusan NO : 036/PEN/III/BPSK-MDN ..................... 86
1. Kedudukan Putusan Arbitrase oleh BPSK ....................................... 88
2. Analisis Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui Arbitrase
oleh BPSK Kota Medan ................................................................... 89
BAB V PENUTUP
Universitas Sumatera Utara
A. Kesimpulan ......................................................................................... 95
B. Saran ................................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 98
LAMPIRAN
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAKSI
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN OLEH BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) MELALUI
ARBITRASE DI KOTA MEDAN (Kasus Antara Esrawaty Melawan PT Graha Kirana Development Dalam
Putusan NO : 036/PEN/III/BPSK-MDN)
*) Lismar Wahyuni **) Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H,. M.H
***) Tri Murti Lubis, S.H., M.H
Sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui Pengadilan ataupun diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela dari para pihak.Penyelesaian sengketa melalui jalurpengadilan mengacu kepada ketentuan yang berlaku dalam peradilan umum denganmemperhatikan Pasal 45 UUPK.Penyelesaian sengketa diluar pengadilan dapat dilakukandengan memanfaatkan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Metode penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif. Data penelitian ini diperoleh dari penelitian kepustakaan serta wawancara yang dilakukan dengan Majelis BPSK Kota Medan yang kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif untuk mendapatkan hasil yang bersifat deskriptif.
Adapun kesimpulan dalam skripsi ini antara lain yaitu BPSK Kota Medan merupakan lembaga yang berwenang dan bertugas menyelesaikan sengketa konsumen diluar pengadilan melalui cara arbitrase. Namun UUPK tidak menjelaskan secara rinci batasan sengketa konsumen yang dapat diselesaiakan oleh BPSK. Penyelesaian sengketa oleh BPSK yang dilakukan dengan cara arbitrase merupakan penyelesaian sengketa di mana para pihak menyerahkan sepenuhnya proses persidangan kepada arbiter, kemudian persidangan tersebut harus selesai dalam jangka waktu 21 hari. Dalam hal ini para pihak yang memilih majelis anggota BPSK yang terdiri dari unsur konsumen, pelaku usaha dan pemerintah. Proses penyelesaian sengketa dengan arbitrase dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya murah. Namun, tidak semua sengketa dapat dilselesaikan dengan cepat. Dalam Putusan BPSK No 036/PEN/III/BPSK-MDN, sengketa antara Esrawaty melawan PT Graha Kirana Development diselesaikan lebih dari 21 hari kerja sehingga masih belum sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
*) Mahasiswa Fakultas Hukum USU, Departemen Hukum Ekonomi **) Dosen Pembimbing I Skripsi Penulis, Dosen Fakultas Hukum USU ***) Dosen Pembimbing II Skripsi Penulis, Dosen Fakultas Hukum US
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pesatnya pembangunan dan perkembangan perekonomian nasional telah
menghasilkan variasi produk barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi.
Kemajuan dibidang ilmu pengetahuan, teknologi komunikasi, dan informatika
juga turut mendukung perluasan ruang gerak transaksi barang dan/atau jasa
hingga melintasi batas-batas wilayah suatu Negara. Kondisi demikian pada satu
pihak sangat bermanfaat bagi kepentingan konsumen karena kebutuhannya akan
barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar
kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan
kemampuannya.1
Konsumen selalu berada dalam posisi lemah dibandingkan dengan produsen
ataupun pelaku usaha. Konsumen pada umumnya kurang memperoleh informasi
lengkap mengenai produk yang dibelinya. Kenyataan seperti itu seringkali
disebabkan ketidakterbukaan produsen mengenai produk yang ditawarkan.
Sedangkan pelaku usaha dan/atau penyedia jasa mengharapkan keuntungan
yang sebesar-besarnya. Kondisi ini dapat mengakibatkan terjadinya kedudukan
yang tidak seimbang antara pelaku usaha dan penyedia jasa dengan konsumen,
dimana konsumen akan dijadikan objek aktivitas bisnis oleh pelaku usaha dan
penyedia jasa.
2
1Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 1
2 NHT Siagian, Hukum Konsumen: perlindungan Konsumen dan tanggungjawab produk, (Jakarta: panta rei, 2005), hlm. 14
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat luas sebagai konsumen sudah seharusnya diberikan
perlindungan karena seringkali tidak berdaya dalam menghadapi kegiatan
perdagangan sehari-hari. Permasalahan yang dihadapi konsumen Indonesia,
seperti juga yang dialami di negara-negara berkembang lainnya, tidak hanya
sekedar memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu menyangkut pada
penyadaran semua pihak, baik itu pengusaha, pemerintah maupun konsumen
sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen.3
Kedudukan konsumen pada umumnya masih lemah dalam bidang ekonomi,
pendidikan dan daya tawar, karena itu sangatlah dibutuhkan adanya undang-
undang yang melindungi kepentingan-kepentingan konsumen. Untuk dapat
memberikan jaminan pada penyelenggaraan perlindungan konsumen, maka
pemerintah menuangkan perlindungan konsumen dalam suatu produk hukum. Hal
ini penting karena hanya hukum yang memiliki kekuatan memaksa pelaku usaha
untuk menaatinya, dan juga hukum memiliki sanksi yang tegas.
4
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
5 Kepastian
hukum itu meliputi segala upaya untuk mmberdayakan konsumen memperolah
atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta
mempertahankan atau membela hak-haknya apa bila dirugikan oleh perilaku
pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut.6
3Arif Rahman, Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Serang, Jurnal Ilmu Hukum, STKIP Pelita Pratama, Vol. 2 No. 1. Juni 2018. hlm 22
4 Susanti Adi Nugroho., Op. Cit, hlm. 2 5 Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 6 Susanti Adi Nugroho., Op. Cit, hlm. 4
Universitas Sumatera Utara
Pada usaha pemenuhan kepentingan tersebut, maka manusia harus
berinteraksi satu dengan yang lainnya. Ada kalanya kepentingan mereka itu saling
bertentangan, hal mana dapat menimbulkan suatu sengketa atau konflik. Sengketa
yang terjadi bisa disebabkan adanya iktikad tidak baik dari pihak yang
bersengketa ataupun kerena ketidak-tahuannya dalam memandang permasalahan
yang terjadi, sehingga permasalahan terus terjadi tanpa pernyelesaian, yang
bermula dari hal-hal lebih mudah dapat deselesaikan/diperbaiki. Akan tetapi,
karena tidak adanya penyelesaian dengan iktikad baik, akhirnya kemudian
berkembang menjadi masalah yang sulit diselesaikan dan bahkan menjadi masalah
yang besar.7 Untuk menghindari gejala tersebut, mereka mencari jalan
mengadakan tata tertib, yaitu dengan membuat ketentuan atau kaedah hukum,
yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat agar dapat mempertahankan
hidup bermasyarakat.8
Adapun Undang-Undang yang dibentuk oleh pemerintah yang mengatur
tentang perlindungan konsumen yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang perlindungan konsumen. Undang-Undang ini sebagai payung hukum yang
menjadi kriteria untuk mengukur dugaan adanya pelanggaran-pelanggaran hak-
hak konsumen, yang semula diharapkan oleh semua pihak mampu memberikan
solusi bagi penyelesaian segala macam kerumitan dalam hubungan antara
produsen dengan konsumen.
9
7 Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 6
8 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, cet. VIII, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm.1
9Zulham, Hukum Pelindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 140
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang Perlindungan Konsumen membagi penyelesaian sengketa
konsumen menjadi 2 bagian:10
1. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan
2. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan
a. Penyelesaian sengketa secara damai, oleh para pihak sendiri,
konsumen dan pelaku usaha/produsen; dan
b. Penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen dengan menggunakan mekanisme alternative dispute
resolution, yaitu konsiliasi, mediasi dan arbitrase.
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk
mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian, dan/atau
mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak
akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 membentuk suatu lembaga dalam
hukum perlindungan konsumen, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Pasal 1 ayat (11) UUPK menyatakan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan
sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.11
Harus diakui bahwa UUPK disamping kurang memberikan perhatian khusus
pada tahap pemeriksaan di BPSK sebagai institusi pertama yang menangani
BPSK sebenarnya dibentuk untuk
menyelesaikan kasus-kasus sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat
sederhana. Terbentuknya lembaga BPSK, maka penyelesaian sengketa konsumen
dapa t dilakukan secara cepat, mudah, dan murah.
10 Susanti Adi Nugroho., Op. Cit, hlm. 14 11 Pasal 1 ayat (11) UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Universitas Sumatera Utara
masalah yang berkaitan dengan adanya pelanggaran terhadap hak-hak konsumen,
juga undang-undang mengabaikan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan
lembaga peradilan. BPSK sebagaimana dimaksud dalam UUPK, yang dibentuk
oleh pemerintah adalah badan yang bertugas menangani dan meyelesaikan
sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen, tetapi bukanlah merupakan
bagian dari institusi kekuasaan kehakiman. Pemerintah membentuk BPSK di
daerah tingkat II untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan.12
1. Mediasi
Penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan Undang–undang
Perlindungan Konsumen dapat ditempuh dengan jalur Non-Litigasi. Penyelesaian
dengan menggunakan jalur Non-Litigasi ini dapat ditempuh melalui BPSK.
Adapun proses penyelesaian sengketa konsumen ini dapat ditempuh dengan cara
seperti berikut :
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (10) Kepmenperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001 menyebutkan bahwa mediasi adalah proses penyelesaian
sengketa konsumen diluar pengadilan dengan perantara BPSK sebagai penasihat
dan penyelesaian diserahkan kepada para pihak. Artinya mediasi merupakan
sesuatu proses penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga netral agar
bias membantu para pihak yang sedang bersengketa untuk dapat memecahkan
masalah tersebut.
2. Konsilisai
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (9) Kepmenperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001 menyebutkan bahwa konsiliasi adalah proses penyelesaian
12 Susanti Adi Nugroho., Op. Cit, hlm 17
Universitas Sumatera Utara
sengketa konsumen diluar pengadilan dengan perantara BPSK untuk
mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkkan
kepada para pihak. Fungsi konsiliator di sini agar dapat mengusulkan solusi
penyelesaian sengketa, tetapi tidak berwenang untuk memutus perkara tersebut.
Dalam hal ini, majelis BPSK untuk selanjutnya menyerahkan sepenuhnya proses
penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun jumlah
ganti kerugiannya. Terhadap usulan konsiliator, para pihak yang bersengketa
harus menyatakan persetujuan atas usulan tersebut menjadikannya sebagai
kesepakatan penyelesaian sengketa.
3. Arbitrase
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (11) Kepmenperindag No.350/MPP/Kep/12/2001
menyebutkan bahwa arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsusmen di
luar pengadilan. Dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan
sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK.
Salah satu metode penyelesaian sengketa secara non llitigasi yang di tempuh
di BPSK yang lazim digunakan adalah Arbitrase. Pranata arbitrase di Indonesia
sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Arbitrase adalah
pranata alternatif penyelesaian sengketa terahir dan bersifat final bagi para pihak.
Sifat pribadi dari arbitrase memberikan keuntungan–keuntungan melebihi proses
ajudikasi di pengadilan. Arbitrase lebih memberikan kebebasan, pilihan, otonomi,
dan kerahasiaan bagi para pihak yang bersengketa.Para pihak juga dapat
menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya termasuk proses dan
tempat penyelenggarakan arbitrase di BPSK.13
13 Fitri Hidayanti, Efektifitas Penerapan Arbitrase Dalam Menyelesaiakan Sengketa Perbankan, Fakultas Hukum USU, 2014, hlm. 8
Universitas Sumatera Utara
Kelemahan penyelesaian sengketa melalui BPSK tidak mempunyai
kemampuan untuk dapat berperan lebih aktif dalam penyelesaian persoalan
sengketa konsumen. Semua ini terjadi karena baik substansi pengaturan, prosedur,
dan mekanisme penyelesaian sengketa konsumen tidak dapat terselesaikan dengan
baik akibat kelemahan dan juga saling bertentangan.Inilah yang menjadi penyebab
BPSK tidak dapat berperan lebih banyak dalam penyelesaian sengketa konsumen
dalam beberapa hal, seperti keberatan mengenai keputusan konsiliasi atau mediasi
dan belum adanya pengaturan untuk penetepan eksekusi.
Arbitrase merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar
pengadilan yang mempermudah pihak yang bersengketa untuk rmenyelesaikan
sengketanya. Arbitrase juga menguntungkan para pihak karena dilakukan dengan
biaya yang ringan bagi masyarakat yang memiliki kepentingan untuk
menyelesaikan sengketa secara cepat dan efisien. Yang diharapkan ialah hal ini
sungguh-sungguh dilaksanakan oleh para arbiter termasuk BPSK Kota Medan.
Berdasarkan uraian diatas, maka mendorong penulis untuk mengadakan
penelitian dalam skripsi yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Konsumen Oleh
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Bpsk) Melalui Proses Arbitrase Di
Kota Medan (Kasus Antara Esrawaty Melawan PT Graha Kirana Development
Dalam Putusan No : 036/PEN/III/BPSK-MDN)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis merumuskan masalah
yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen?
Universitas Sumatera Utara
2. Bagaimana penyelesaian sengketa konsumen melalui proses arbitrase di
BPSK Kota Medan?
3. Bagaimana analisis hukum putusan No : 036/PEN/III/BPSK-MDN ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui kedudukan BPSK dalam penyelesaian sengketa
konsumen.
b. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa konsumen melalui proses
arbitrase di BPSK Kota Medan.
c. untuk menganalisis putusan No : 036/PEN/III/BPSK-MDN terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Secara Teoritis
Hasil dari penelitian yang dituangkan dalam skripsi ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum di
Indonesia.Terutama dibidang arbitrase sebagai salah satu penyelesaian
sengketa konsumen. Skripsi ini diharapkan tidak hanya menambah
pengetahuan saja, tetapi dapat memberikan gambaran yang nyata dan
signifikan kepada kalangan masyarakat Indonesia mengenai penyelesaian
sengketa konsumen melalui proses arbitrase oleh Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen Kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
b. secara praktis
Skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi rekan-rekan mahasiswa, praktisi
hukum, pemerintah, serta masyarakat yang bersengketa sebagai pedoman
dan bahan rujukan dalam rangka menyelesaikan sengketa konsumen
dengan menggunakan arbitrase dalam proses penyelesaiannya, sehingga
hukum dapat ditegakkan dengan sebaik-baiknya.
D. Keaslian Penulisan
Beberapa hasil penelitian mengenai BPSK telah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya yaitu yang dilakukan oleh Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang bernama Verytethy Hutagaol dengan judul “kendala-kendala
yang dihadapi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam
Mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen” yang ditulis pada tahun 2010. Penelitian tersebut
membahas mengenai Peran BPSK sebagai lembaga penyelesaian konsumen,
mekanisme hukum di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, serta kendala-
kendala yang dihadapi BPSK dalam mengimplementasikan UUPK.
Kemudian penelitian yang dilakukan Mahasiswi Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara bernama Pasca Sari Saragih dengan judul
“Kedudukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai Lembaga
Kuasi-Yudisial” ditulis pada tahun 2017. Penelitian tersebut membahas mengenai
tugas dan wewenang BPSK dalam menyelesaiakn sengketa konsumen, lembaga
kuasi-yudisial dalam sistem hukum Indonesia dan kedudukan BPSK sebagai
lembaga Kuasi-Yudisial.
Universitas Sumatera Utara
Berbeda dengan penelitian ini, dimana penelitian ini lebih memfokuskan
kepada penyelesaian sengketa melalui proses arbitrase di BPSK. Adapun judul
tulisan ini adalah Penyelesaian Sengketa Konsumen Oleh Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) Melalui Proses Arbitrase Di Kota Medan (Kasus
Antara Esrawaty Melawan PT Graha Kirana Development Dalam Putusan No :
036/PEN/III/BPSK-MDN). Penulis telah melakukan pemeriksaan ada
Perpustakaan Fakultas Hukum USU, sehubungan dengan keaslian juduk skripsi
ini belum pernah ada yang membahas dan meneliti. Berdasarkan penelusuran di
Perpustakaan Fakultas Hukum USU ditemukan beberapa judul yang membahas
mengenai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Meskipin demikian,
substansi permasalahan dan penyajian dari penelitian ini berbeda dengan
penelitian-penelitian tersebut. Penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan
keasliannya.
E. Tinjauan Pustaka
1. Konsumen dan Pelaku Usaha
Mengenai Pengertian konsumen, diatur dalam pasal 1 angka (2) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang
menyatakan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.14
14 Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Berdasarkan pengertian di atas, maka terdapat 4 unsur utama yang
membentuk pengertian tentang konsumen yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Setiap orang
Yang dimaksud setiap orang yaitu perseorangan dan bukan badan hukum atau
pribadi hukum.
2. Pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
Barang dan/atau jasa yaitu dapat diperoleh di tempat umum, misalnya pasar,
supermarket dan toko.
3. Untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain atau makhluk hidup lain
Barang dan/atau jasa digunakan, dipakai, dimanfaatkan untuk kepentingan
konsumen dan keluarga, orang lain (teman) dan makhluk hidup (binatang
peliharaan).
4. Tidak untuk diperdagangkan
Barang dan/atau jasa digunakan, dipakai, dimanfaatkan tidak untuk tujuan
komersil.
Dalam penjelasan pasal 1 ayat (2) UUPK dijelaskan tentang berbagai jenis
konsumen yang menjadi batasan atas pengertian konsumen itu sendiri. Beberapa
batasan tentang pengertian konsumen sebagai berikut:15
a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan
untuk tujuan tertentu.
b. Konsumen-Antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/jasa
utuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk
diperdagangkan (tujuan komersil).
c. Konsumen-Akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dsn
menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan
15 AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2002), hlm. 13
Universitas Sumatera Utara
hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah-tangga dan tidak untuk
diperdagangkan kembali (non komersil).
Pengertian pelaku usaha diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 pada pasal 1 angka (3) yang menyebutkan bahwa pelaku usaha adalah setiap
orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum negara republik indonesia, baik sendiri maupun bersama-
sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi.16
Sengketa dalam pengertian sehari-hari dimaksudkan sebagai suatu keadaan
di mana pihak-pihak yang melakukan upaya-upaya perniagaan mempunyai
masalah yaitu menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
tetapi pihak lainnya menolak atau tidak berlaku demikian. Sengketa juga dapat
dimaksudkan sebagai adanya ketidakserasian antara pribadi-pribadi atau
kelompok-kelompok yang mengadakan hubungan karena hak salah satu pihak
terganggu atau dilanggar.
Dalam penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha
adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor
dan lainlain.
2. Sengketa Konsumen
17
Menurut ketentuan pasal 1 ayat (4) Peraturan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 06/M-DAG/PER/2/2017 menyebutkan bahwa
sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang
16 Pasal 1 ayat 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 17 Soerjono Soekanto, Mengenai Antropologi hukum, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 29
Universitas Sumatera Utara
menuntut ganti rugi atau kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita
kerugian akibat mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasa yang dihasilkan
atau dimanfaatkan.18
Pada dewasa ini hampir semua negara dikembangkan berbagai jalan
terobosan alternatif karena kelemahan penyelesaian sengketa melalui
pengadilan/litigasi yang mengakibatkan terkurasnya sumber daya, dana, waktu,
pikiran dan tenaga, dan mulai mengedepankan pola-pola penyelesaian sengketa di
luar pengadilan. Menurut Pasal 45 ayat (2) UUPK menyebutkan bahwa
Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Sengketa konsumen terjadi karena adanya ketidakpuasan konsumen
terhadap suatu produk atau kerugian yang dialami konsumen karena penggunaan
atau pemakaian barang atau jasa. Setiap kali konsumen membeli barang, harus
waspada agar tidak menderita kerugian.
3. Penyelesaian Sengketa
19
Berdasarkan ketentuan ini, bisa dikatakan bahwa ada dua bentuk
penyelesaian sengketa konsumen, yaitu melalui pengadilan atau di luar jalur
pengadilan.
a. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada
ketentuan peradilan umum yang berlaku di Indonesia.
18 Pasal 1 ayat (4) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 06/M-DAG/PER/2/2017 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
19 Pasal 45 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Universitas Sumatera Utara
b. Penyelesian sengketa di luar pengadilan
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan
tertentu untuk menjamin tidak akan terjadinya kembali kerugian yang diderita
konsumen.
4. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah pengadilan
khusus konsumen yang sangat diharapkan dapat menjawab tuntutan masyarakat
agar proses berperkara berjalan cepat, sederhana dan murah. Pemeriksaan
dilakukan oleh hakim tunggal dan kehadiran penuh pihak ketiga (pengacara)
sebagai wakil pihak yang bersengketa tidak diperkenankan.20
Istilah arbitrase berasal dari kata arbitrare (bahasa latin) yang berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Dihubungkannya
arbitrase dengan kebijaksanaan itu dapat menimbulkan salah pengertian tentang
arbitrase karena dapat menimbulkan kesan seolah-olah seorang arbiter atau suatu
majelis arbitrase dalam menyelesaikan suatu sengketa tidak mengindahkan
norma-norma hukum lagi dan menyandarkan pemutusan sengketa tersebut hanya
pada kebijaksanaan. Kesan tersebut keliru karena arbiter atau majelis tersebut juga
menerapkan hukum seperti yang dilakukan oleh hakim atau pengadilan.
5. Arbitrase
21
Arbiter sebagai pihak ketiga yang menengahi, menjalankan tugasnya dan
menyelesaiakan sengketa dengan cara memberikan putusan. Dalam hal ini arbiter
20 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 126
21 Sudiarto, Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase salah satu alternatif penyelesaian sengketa bisnis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 27
Universitas Sumatera Utara
harus berada di posisi netral dan tidak memihak kepada salah satu pihak yang
bersengketa. Selain itu yang paling esensi adalah “independensi” dari arbiter
dalam melaksanakan tugasnya, sehingga dapat diperoleh suatu putusan yang adil
dan cepat bagi para pihak yang berbeda pendapat, berselisih paham maupun
sengketa.22
Metode berasal dari kata methodhos (Yunani) yang artinya cara atau
menuju suatu jalan. Metode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
suatu cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu objek atau objek penelitian,
sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah dan termasuk keabsahannya. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian
merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang
dilakukan secara metodelogis, sistematis dan konsisten. Menarik kesimpulan dari
pembahasan tersebut, bahwa sistem dan metode yang dipergunakan untuk
memperoleh informasi atau bahan materi suatu pengetahuan ilmiah yang disebut
dengan metodelogi ilmiah. Pada sisi lain dalam kegiatan untuk mencari informasi
tersebut dengan tujuan menemukan hal-hal yang baru merupakan suatu prinsip-
prinsip tertentu atau solusi (pemecahan masalah) tersebut disebut dengan
penelitian.
F. Metodelogi Penulisan
23
Dapat dikatakan bahwa metode merupakan suatu unsur yang mutlak harus
ada dalam penelitian, dipilih berdasarkan dan mempertimbangkan keserasian
dengan obyek serta metode yang digunakan sesuai dengan tujuan, sasaran,
variabel dan masalah yang hendak diteliti. Hal tersebut diperlukan untuk
22 Fitri Hidayati, Efektifitas Penerapan Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan, Fakultas Hukum USU, 2014, hlm. 16
23Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,1986), hlm 5
Universitas Sumatera Utara
memperoleh hasil penelitian yang mempunyai nilai validitas dan rebilitas yang
tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut, metode yang digunakan penulis dalam
melakukan penelitian ini adalah :
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah
yuridis normatif.Pendekatan yuridis normatif mengacu kepada norma-
norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam
masyarakat, juga melihat sinkronisasi suatu aturan dengan aturan lainnya
secara hierarki.24
Sifat penelitian yang digunakan penulis adalah deskriptif.Penelitian
berbentuk deskriptif bertujuan menggambarkan realitas objek yang diteliti,
dalam rangka menemukan diantara dua gejala dengan memberikan
gambaran secara sistematis mengenai peraturan hukum dan fakta-fakta
sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan di lapangan.
25
2. Lokasi Penelitian
Sesuai dengan judul dan permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis
mengambil lokasi di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Kota Medan dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara. Alasan memilih Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Kota Medan sebagai tempat penelitian karena di tempat tersebut dapat
diperoleh data yang ingin diketahui secara sistmatik maupun secara
24 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 175 25Ibid., hlm. 223
Universitas Sumatera Utara
keseluruhan mengenai Penyelesaian Sengketa Konsumen di Kota Medan
melalui Proses Arbitrase.
3. Data dan Sumber data
Data adalah kumpulan informasi yang diperoleh dari suatu pengamatan,
dapat berupa angka, lambang atau sifat.Data dapat memberikan gambaran
tentang suatu keadaan atau persoalan.Data juga didefenisikan sebagai
sekumpulan informasi atau nilai yang diperoleh dari pengamatan.
Adapun sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber
pertama.26
b. Data Sekunder
Data primer diperoleh langsung melalui riset dan wawancara
dengan narasumber yang berasal dari BPSK Kota Medan untuk
mendapatkan data dan informasi mengenai masalah yang diteliti guna
mendukung data-data sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan pustaka.Data
sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi,
buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian
dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi dan peraturan
perUndang-Undangan.27
26 Soerjono soekanto.,Op. Cit, hlm. 12 27 Zainuddin Ali., Op. Cit, hlm. 106
Universitas Sumatera Utara
Data sekunder tersebut dapat dibagi menjadi :
1. Bahan Hukum Primer
Bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian ini.
Dalam penelitian ini, jenis bahan hukum primer yang digunakan
adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan RI Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 06/M-DAG/PER/2/2017 tentang Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen, Putusan BPSK Nomor 036/PEN/III/BPSK-
MDN
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer misalnya hasil
penelitian dan karya ilmiah dari kalang hukum lainnya.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk dan penjelasan terkait bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, yang berupa kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
4. Metode Pengumpulan Data
Mengingat jenis dan sumber data yang digunakan dalam tulisan ini adalah
jenis data primer dan sekunder maka metode yang digunakan dalam proses
pengumpulan data untuk penulisan ini adalah:
a. Penelitian Kepustakaan
Metode penelitian kepustakaan adalah data kepustakaan yang
diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari
peraturan perUndang-Undangan, buku-buku, dokumen resmi,
publikasi dan hasil penelitian.
b. Penelitian Lapangan
Metode penelitian lapangan adalah data lapangan yang diperlukan
sebagai data penunjang.Metode penelitian ini dilakukan dengan
melakukan kunjungan langsung ke lokasi penelitian untuk menemui
pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa konsumen pada
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan. Penelitian
lapangan ini dilakukan dengan teknik sebagai berikut :
- Wawancara yaitu teknik pengumpulan data dengan cara Tanya
jawab langsung antara peneliti dengan subjek penelitian. Teknik
wawancara ini dimaksudkan untuk mengetahui pendapat
narasumber yang terlibat dalam penyelesaian sengketa konsumen
pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan..
5. Analisis Data
Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metodenpenelitian
bersifat deskriptif analitis, analisis data yang dipergunakan adalah
Universitas Sumatera Utara
pendekatan kualitatif terhadap data primer dan sekunder.Deskriptif
tersebut meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang
dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum
yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang
menjadi objek kajian.28
28Ibid., hlm. 107
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan
hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka penulis
membuat suatu sestematika penulisan hukum. Penulis membagi skriksi ini
menjadi 5 bab, yang selanjutnya setiap bab terdiri atas beberapa sub bab yang
tujuannya untuk mempermudah menguraikan dan mendeskripsikan lebih
mendetail permasalahan yang dikaji. Adapun sistematika penulisan hukum ini
terdiri dari 5 (lima) bab yaitu Pendahuluan,Kedudukan BPSK Dalam Penyelesaian
Sengketa Konsumen, Penyelesaian Sengketa Konsumen Oleh Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Medan Melalui Proses Arbitrase, Dan Analisis
Hukum Putusan NO : 036/PEN/III/BPSK-MDN. Yang apabila disusun dengan
sistematis adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN. Pada awal bab ini penulis berusaha
memberikan gambaran awal tentang penelitian yang meliputi Latar Belakang
Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian
Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metodelogi Penulisan yang digunakan dan
Sistematika Penulisan.
Universitas Sumatera Utara
BAB II : KEDUDUKAN BPSK DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
KONSUMEN. Dalam bab ini diuraikan mengenai gambaran umum mengenai
Perlindungan Konsumen, Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Kedudukan
BPSK dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen yang terdiri atas : Perlindungan
Konsumen yang terbali lagi menjadi Pengertian Perlindungan Konsumen, Asas
dan Tujuan Perlindungan Konsumen, Hak dan Kewajiban Konsumen, Hak dan
Kewajiban Pelaku Usaha, Penyelesaian Sengketa Konsumen yang kemudian
dibagi lagi menjadi Penyelesaian Sengketa secara Litigasi , Penyelesaian Sengketa
Non Litigasi dan Kedudukan BPSK dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen
yang terdiri atas Dasar Hukum Pembentukan BPSK, Bentuk Penyelesaian
Sengketa di BPSK, Kedudukan BPSK Dalam Penyelesaian Sengketa, Tugas,
Fungsi dan Wewenang BPSK dalam Penyelesaian Sengketa.
BAB III : PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN OLEH BADAN
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) KOTA MEDAN
MELALUI PROSES ARBITRASE. Dalam bab ini diuraikan tentang:Prosedur
Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase di BPSK, Penyelesaian Sengketa
melalui Proses Arbitrase di BPSK Kota Medan dan Kekuatan Hukum Putusan
Arbitrase oleh BPSK.
BAB IV : ANALISIS HUKUM PUTUSAN NO : 036/PEN/III/BPSK-MDN.
Dalam bab ini berisi uraian mengenai putusan BPSK NO : 036/PEN/III/BPSK-
MDN. Bab ini berisi tentang : Kasus Posisi antara Esrawaty Sianturi melawan PT
Graha Kirana Development, Dalil Pemohon (Esrawaty Sianturi), Dalil Termohon
(PT Graha Kirana Development), Pertimbangan Hukum Majelis Hakim BPSK
dan Analisis Hukum Putusan NO : 036/PEN/III/BPSK-MDN yang terdiri atas
Universitas Sumatera Utara
Kedudukan Putusan Arbitrase oleh BPSK dan Analisis Proses Penyelesaian
Sengketa Konsumen melalui Arbitrase oleh BPSK Kota Medan
BAB V : PENUTUP. Bab ini memuat kesimpulan hasil penelitian dan saran
sebagai pedoman dalam perumusan penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK
di Kota Medan melalui Arbitrase.
Universitas Sumatera Utara
BAB II
KEDUDUKAN BPSK DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
D. PERLINDUNGAN KONSUMEN
5. Pengertian Perlindungan Konsumen
Dalam alinea ke IV UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 secara
tegas dinyatakan bahwa tujuan Negara Republik Indonesia adalah melindungi
segenap bangsa Indonesia dan selurun tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
Perlindungan hukum bagi konsumen adalah suatu masalah yang besar,
dengan persaingan global yang terus berkembang.Perlindungan hukum sangat
dibutuhkan dalam persaingan dan banyaknya produk dan layanan yang
menempatkan konsumen dalam posisi tawar yang lemah.Perlindungan hukum
bagi konsumen dalam bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh negara.29
Menurut ketentuan pasal 1 ayat (1) UUPK, perlindunagn konsumen adalah
segala upaya menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen.Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat
dalam pasal 1 ayat (1) UUPK tersebut cukup memadai.Kalimat yang menyatakan
“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai
benteng untuk meniadakan kesewenang-wenangan yang merugikan pelaku usaha
hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.Meskipun undang-undang
29 Arif Rahman., Op. Cit, hlm 24
Universitas Sumatera Utara
ini disebut sebagai Undang-undang Perlindungan Konsumen namun bukan berarti
kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, karena perekonomian
nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha.30
a. Prinsip perlindungan kesehatan/harta konsumen
Dalam melindungi konsumen terdapat prinsip-prinsip perlindungan hukum
bagi konsumen di Indonesia, yaitu:
Perlindungan kesehatan/harta konsumen yang dimaksud adalah
perlindungan terhadap manusia agar kesehatannya tidak menurun/hartanya tidak
berkurang sebagai akibat penggunaan produk.31
b. Prinsip perlindungan atas barang dan harga
Perlindungan atas barang dan harga dimaksudkan sebagai perlindungan
konsumen dari penggunaan barang dengan kualitas di bawah standar atau kualitas
yang lebih rendah dari pada nilai harga yang dibayar.32
c. Prinsip penyelesaian sengketa secara patut
Penyelesaian sengketa secara patut merupakan, harapan setiap orang yang
menghadapi sengketa dengan pihak lain, termasuk penyelesaian sengketa secara
patut atas sengketa yang timbul antara konsumen dan pelaku usaha.33
6. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Berdasarkan pasal 2 UUPK disebutkan bahwa perlindungan konsumen
berasaskan manfaat, keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian
30 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2017), hlm. 1
31 Ahmadi Miru, Op. Cit.,hlm. 184 32Ibid., hlm. 196 33Ibid., hlm. 209
Universitas Sumatera Utara
hukum.34 Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama
berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:35
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamankan bahwa segala upaya
dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku
usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti materiil dan spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
menyelenggarakan perlindungan kosumen, serta negara menjamin
kepastian hukum.
Memerhatikan pasal 2 UUPK demikian pula penjelasannya tampak bahwa
perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan
34 Pasal 2 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 35 Penjelasan Pasal 2 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Universitas Sumatera Utara
manusia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah Negara Republik Indonesia.
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya,
dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu:36
1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan
keselamatan konsumen
2. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan
3. Asas kepastian hukum.
Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan,
kemanfaatan disejajarkan dengan asas maksimalitas, dan asas kepastian hukum
disejajarkan dengan asas efisiensi karena menurut Himawan bahwa: ”Hukum
yang berwibawa berarti hukum yang efisiensi, dibawah naungan mana seseorang
dapat melaksanakan hak-haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan kewajibannya
tanpa penyimpangan”.37
Tujuan yang ingin dicapai dalam perlindungan konsumen dijabarkan dalam
Undang-undang Perlindungan Konsumen pasal 3, yaitu perlindungan konsumen
bertujuan:
38
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
36Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., hlm. 26 37Ibid., hlm. 33 38 Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Universitas Sumatera Utara
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi.
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. ntut hak-haknya
sebagai konsumen.
Pasal 3 UUPK merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 UUPK, karena tujuan perlindungan konsumen
merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan
dibidang hukum perlindungan konsumen.39
Tujuan perlindungan konsumen yang telah disebutkan diatas dapat
dikelompokkan kedalam tiga tujuan hukum secara umum. Tujuan hukum untuk
mendapatkan keadilan dapat terlihat pada rumusan huruf c dan huruf e. Tujuan
hukum untuk memberikan kemanfaatan dapat dilihat pada rumusan huruf a, b,
termasuk huruf c, huruf d dan huruf f. Terakhir tujuan hukum yang memberikan
kepastian hukum dapat dilihat dalam rumusan huruf d. Pengelompokan ini
tidakbelaku mutlak, karena rumusan yang ada pada huruf a sampai dengan huruf f
terdapat tujuan yang dapat dikualifikasikan sebagai tujuan ganda.
40
39Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo., Op. Cit, hlm. 34 40Ibid., hlm. 34
Universitas Sumatera Utara
7. Hak dan Kewajiban Konsumen
Sebagai pemakai barang dan/atau jasa, konsumen mempunyai sejumlah hak
dan kewajiban.Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar setiap
orang mampu bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri.
Berdasarkan pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan, hak konsumen adalah:41
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa serta
mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar
dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
41 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Universitas Sumatera Utara
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen lebih luas daripada hak-
hak dasar konsumen sebagai mana pertama kali dikemukakan oleh Presiden
Amerika Serikat J.F. Kennedy di depan Kongres pada tanggal 15 Maret 1962
yaitu:42
Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi
Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, yang kemudian
oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers
Union – IOCU) ditambahakan empat hak dasar konsumen yaitu:
a. Hak memperoleh keamanan
b. Hak memilih
c. Hak medapatkan informasi
d. Hak untuk didengar
43
Disamping itu, Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap
atau EEG) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen. Lima hak dasar
tersebut adalah:
a. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup
b. Hak untuk memperoleh ganti rugi
c. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen
d. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat
44
a. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan
42Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo., Op. Cit, hlm. 38 43Ibid., hlm. 39 44Ibid., hlm. 39
Universitas Sumatera Utara
b. Hak perlindungan kepentingan ekonomi
c. Hak mendapat ganti rugi
d. Hak atas penerangan
e. Hak untuk didengar
Memperhatikan hak-hak yang disebutkan di atas, maka secara keseluruhan
pada dasarnya dikenal 10 macam hak konsumen, yaitu sebagai berikut:45
a. Hak atas keamanan dan keselamatan
Hak ini dimaksudkan untuk menjamin kemanan dan keselamatan
konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya,
sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun
psikis) apabila mengonsumsi suatu produk.
b. Hak untuk memperoleh informasi
Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya
informasi yang disampaikan kepada konsumen juga merupakan salah
satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi
atau cacat karena informasi yang tidak memadai.Hak atas informasi
yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh
gambaran yang benar tentang suatu produk yang diinginkan sesuai
kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam
penggunaan produk.
Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut diantaranya adalah
mengenai manfaat kegunaan produk; efek samping atas penggunaan
produk; tanggal kadaluarsa; serta identitas dari produk
45Ibid., hlm. 40-46
Universitas Sumatera Utara
tersebut.Informasi itu dapat disampaikan baik secara lisan, maupun
tertulis, baik yang dilakukan dengan mencantumkan pada label yang
melekat pada kemasan produk, maupun melalui iklan-iklan yang
disampaikan oleh produsan, baik melalui media cetak maupun media
elektronik.
c. Hak untuk memilih
Hak untu memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada
konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan
kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar.Berdasarkan hak ini,
konsumen berhak memutuskan untuk membeli atau tidak terhadap
suatu produk, demikian pula keputusan untuk memilih baik kualitas
maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya.
d. Hak untuk didengar
Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak
dirugikan lebih lanjut.Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang
berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila
informasi tentang produk tersebut kurang memadai, ataukah berupa
pengaduan atas adanya kerugianyang telah dialami akibat penggunaan
suatu produk, atau yang berupa pernyataan/pendapat tentang suatu
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen.
e. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup
Hak ini merupakan hak yang mendasar karena menyangkut
kelangsungan hidup seseorang.Dengan demikian, setiap konsumen
Universitas Sumatera Utara
berhak untuk memperoleh kebutuhan dasar (barang atau jasa) untuk
mempertahankan hidupnya secara layak.
f. Hak untuk memperoleh ganti kerugian
Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan
yang telah menjadi rusak akibat adanya penggunaan barang atau jasa
yang tidak memenuhi harapan konsumen.Hak ini sangat terkait
dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen baik
yang berupa kerugian materi maupun kerugian yang menyangkut
kerugian atas diri kosumen sendiri.
g. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen
Hak ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan
maupun keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari
kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan
konsumen tersebut,konsumen dapat menjadi lebih kritis dan teliti
dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan.
h. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat
Hak atas lingkungan yang bersih dan sehat ini sangat penting bagi
setiap konsumen dan lingkungan.
i. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang
diberikannya
Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari permainan
harga yang tidak wajar, karena dalam keadaan tertentu konsumen
dapat saja membayar harga suatu barang yang jauh lebih tinggi
Universitas Sumatera Utara
daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang atau jasa yang
diperolehnya.
j. Hak untuk mendapat upaya penyelesaian hukum yang patut
Hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang
telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur
hukum.
Selain adanya hak, konsumen juga mempunyai beberapa kewajiban.
Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, kewajiban Konsumen
adalah:46
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan.
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi
dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa merupakan hal
yang penting mendapat pengaturan. Banyak konsumen yang menderita kerugian
akibat penggunaan dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikarenakan
konsumen tidak membaca petunjuk informasi dan prosedur pemakaian yang
disampaikan oleh pelaku usaha pada label produk. Dengan pengaturan kewajiban
46 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Universitas Sumatera Utara
ini, memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggung jawab jika
konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban
tersebut.47
Mengenai kewajiban konsumen beriktikad baik hanya tertuju pada transaksi
pembelian barang dan/atau jasa.Hal ini tentu saja disebabkan karena bagi
konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat
melakukan transaksi dengan produsen.Berbeda dengan pelaku usaha
kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang /
diproduksi oleh produsen (pelaku usaha).
48
Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah
kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut. Adanya kewajiban seperti ini diatur dalam
Undang-undang Perlindungan Konsumen dianggap tepat, sebab kewajiban ini
adalah untuk mengimbangi hak konsumen untuk mendapatkan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak ini akan menjadi
lebih mudah diperoleh jika konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa
secara patut. Hanya saja kewajiban konsumen ini, tidak cukup terealisasikan jika
tidak diikuti oleh kewajiban yang sama oleh pelaku usaha.
Selain itu, konsumen juga mempunyai kewajiban untuk membayar sesuai
dengan nilai tukar yang disepakati dengan pelaku usaha.Hal itu sudah menjadi
biasa dan dan sudah semestinya dalam suatu transkasi jual beli barang dan/atau
jasa.
49
47Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo., Op. Cit, hlm. 48 48Ibid., hlm. 49 49Ibid., hlm. 50
Universitas Sumatera Utara
8. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pelaku usaha sebagai produsen dari barang atau jasa, dalam kegiatan jual
beli juga memiliki hak.Hak pelaku usaha diatur dalam UUPK. Adapun hak
pelaku usaha adalah:50
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
Berkaitan dengan kewajiban konsumen untuk membayar produk yang
dibeli sesuai dengan nilai tukar yang disepakati, maka pelaku usaha
berhak menerima pembayaran yang telah disepakati atas jual beli produk
tersebut.
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik.
Iktikad baik pada dasarnya diwajibkan dalam segala perjanjian termasuk
perjanjian jual beli antara konsumen dan pelaku usaha.Apabila
konsumen tidak beriktikad baik maka pelaku usaha berhak mendapatkan
perlindungan hukum atas tindakan konsumen tersebut.
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen.
Dalam kegiatan jual beli antara konsumen dan pelaku usaha, banyak
kemungkinan yang bisa menyebabkan adanya sengketa
konsumen.Pelaku usaha dalam hal ini mempunyai hak untuk melakukan
pembelaan diri di dalam penyelesaian sengketa konsumen.
50 Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Universitas Sumatera Utara
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
Jika dalam penyelesaian sengketa diputuskan bahwa pelaku usaha tidak
bersalah maka pelaku usaha berhak mendapatkan rehabilitasi atas
dirinya.
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Menyangkut hak-hak pelaku usaha yang lainnya, sebenarnya lebih banyak
berhubungan dengan aparat pemerintah atau Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen / Pengadilan dalam tugas dan wewenangnya melakukan penyelesaian
sengketa.Melalui hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen secara
berlebihan hingga mengabaikan hak pelaku usaha dapat dihindari.51
Selain adanya hak, pelaku usaha dalam kegiatan jual beli barang dan/atau
jasa juga mempunyai kewajiban. Kewajiban pelaku usaha adalah:
52
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan, dan pemeliharaan.
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
51Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo., Op. Cit, hlm. 51 52 Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Universitas Sumatera Utara
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku.
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan.
f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai
dengan perjanjian.
Kewajiban pelaku usaha beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usaha
merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian.Ketentuan
tentang iktikad baik diatur dalam pasal 1338 ayat (3) BW. Bagi masing-masing
calon pihak dalam perjanjian terdapat kewajiban untuk mengadakan penyelidikan
dalam batas-batas wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak
atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup
kontrak yang berkaitan dengan iktikad baik.53
Tentang kewajiban ke dua pelaku usaha yaitu Memberikan informasi yang
benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, disebabkan karena
informasi disamping merupakan hak konsumen juga karena ketiadaan informasi
Dalam UUPK pelaku usaha diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan
kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beriktikad baik dalam
melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
53Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo., Op. Cit, hlm. 53
Universitas Sumatera Utara
atau informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis
cacat produk (cacat informasi) yang akan merugikan konsumen. Pentingnya
penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk,
agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tersebut.54
E. PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
3. Penyelesaian Sengketa secara Litigasi
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan merupakan penyelesaian sengketa
baik yang dipilih sebagai klausula perjanjian ataupun tidak adanya klausula
perjanjian (pilihan hukum) yang mencantumkan pilihan penyelesaian sengketa
melalui pengadilan dan pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi), penanganan perkaranya
melalui proses pendaftaran perkara di pengadilan negeri.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumenmenyatakan penyelesaian sengketa melalui pengadilan Pasal 48 yaitu
:“Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada
ketentuantentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan
dalampasal 45”.
Penunjukan pasal 45 dalamhal ini, lebih banyak bertujuan padaketentuan
tersebut dalam ayat (4). Artinya penyelesaian sengketa konsumenmelalui
pengadilan hanya dimungkinkan apabila :55
54Ibid., hlm. 55 55 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op. Cit., hlm 234
a. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di
luarpengadilan, atau
Universitas Sumatera Utara
b. Upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan dinyatakan
tidak berhasiloleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang
bersengketa.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) adalah suatu pola
penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak yang bersengketa, dalam
penyelesaian sengketa itu diselesaikan oleh pengadilan.Putusannya bersifat
mengikat.Penggunaan sistem litigasi mempunyai keuntungan dan kekurangannya
dalam penyelesaian suatu sengketa. Keuntungannya yaitu:56
1. Dalam mengambil alih keputusan dari para pihak, litigasi sekurang-
kurangnya dalam batas tertentu menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat
memengaruhi hasil dan dapat menjamin ketenteraman social
2. Litigasi sangat baik sekali untuk menemukan kesalahan-kesalahan dan
masalah-masalah dalam posisi pihak lawan.
3. Litigasi memberikan suatu standar bagi produsen yang adil dan memberikan
peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar keterangannya sebelum
mengambil keputusan.
4. Litigasi membawa nilai-nilai masnyarakat untuk menyelesaiakn sengketa
pribadi.
5. Dalam sistem litigasi para hakim menerapkan nilai-nilai masyarakat yang
terkandung dalam hukum untuk menyelesaikan sengketa.
Penyelesaian melalui litigasi tidak hanya menyelesaikan sengketa tetapi
lebih dari itu, yaitu menjamin suatu bentuk ketertiban umum, yang tertuang dalam
56 Anita D A Kolopaking, Asas Iktikad Baik dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Melalui Arbitrase, (Bandung: PT Alumni, 2013), hlm. 39
Universitas Sumatera Utara
undang-undang eksplisit maupun implisit.Namun, litigasi setidak-tidaknya
memiliki banyak kekurangan (draw-backs). Kekurangan litigasi yaitu:57
1. Memaksa para pihak pada posisi yang ekstrem.
2. Memerlukan pembelaan (advocacy) atas setiap maksud yang dapat
memengaruhi putusan.
3. Benar-benar mengangkat seluruh persoalan dalam perkara, apakah
4. Persoalan materi (substantive) atau prosedur, untuk persamaan
kepentingan dan mendorong para pihak melakukan penyelidikan fakta
yang ekstrim dan sering kali marginal.
5. Menyita waktu dan meningkatkan biaya keuangan.
6. Fakta-fakta yang dapat dibuktikan membentuk kerangka persoalan,
para pihak tidak selalu mampu mengungkapkan kekhawatiran mereka
yang sebenarnya.
7. Tidak mengupayakan untuk memperbaiki atau memulihkan hubungan
para pihak yang bersengketa
8. Tidak cocok untuk sengketa yang polisenteris, yaitu sengketa yang
melibatkan banyak pihak, banyak persoalan dan beberapa
kemungkinan alternative penyelesaian sengketa.
4. Penyelesaian Sengketa Non Litigasi
Penyelesaian sengketa non litigasi adalah penyelesaian sengketa yang
dilakukan di luar pengadilan.Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat
dilakukan dengan :
57Ibid.,hlm. 40
Universitas Sumatera Utara
1. Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak yang bersengketa
Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 45
ayat (2) UUPK, tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian
secara damai oleh para pihak yang bersengketa yaitu pelaku usaha dan
konsumen , tanpa melalui pengadilan atau BPSK dan sepanjang tidak
bertentangan dengan UUPK. Dari penjelasan pasal 45 ayat (2) UUPK dapat
diketahui bahwa UUPK menghendaki agar penyelesaian damai, merupakan
upaya hukum yang harus terlebih dahulu diusahakan oleh para pihak yang
bersengketa, sebelum para pihak memilih untuk menyelesaikan sengketa
mereka di BPSK atau badan peradilan.58
2. Penyelesaian sengketa melalui BPSK
Pemerintah membentuk suatu badan yaitu Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) untuk menyelesaikan sengketa konsumen diluar
pengadilan.Dengan adanya BPSK maka penyelesaian sengketa konsumen
dapat dilakukan secara cepat, mudah dan murah.59Setiap konsumen yang
merasa dirugikan dapat mengadukan masalahnya kepada BPSK, baik secara
langsung, diwakili kuasanya atau ahli warisnya. Penyelesaian sengketa
konsumen di BPSK diselenggarakan semata-mata untuk mencapai
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan/atau
mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulang kembali
kerugian yang diderita oleh konsumen.60
Dalam penyelesaian sengketa melalui non-litigasi, kita telahmengenal
adanya alternatif penyelesaian sengketa atau AlternativeDispute Resolutin (ADR),
58 Susanti Adi Nugroho, Op. cit., hlm. 99 59Ibid., 60Ibid., hlm. 100
Universitas Sumatera Utara
yang dijelaskan dalam Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan ADR,yang berbunyi sebagai berikut:
“Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembagapenyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui proseduryang disepakati para pihak, yakni penyelesaian sengketa diluar pengadilan dengan cara konsultasi, mediasi, konsiliasi,atau penilaian ahli.” Alternatif penyelesaian sengketa lahir dari tuntutan pencari keadilan yang
menginginkan peradilan yang sederhana, cepat danbiaya ringan. Cara
penyelesaian alternatif akhir-akhir ini mendapatperhatian dari berbagai kalangan
(terutama dalam dunia bisnis) sebagaicara penyelesaian perselisihan yang perlu
dikembangkan untuk mengatasi kemacetan melalui pengadilan.61
1. Konsultasi
Dalam Alternatif Penyelesaian sengketa terdapat beberapa bentuk
penyelesaian, anatara lain:
Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak
tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak
konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan
kebutuhan kliennya.62
2. Negosiasi
Negosiasi sebagai sarana bagi para pihak yang bersengketa untuk
mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah,
sehingga tidak ada prosedur baku, akan tetapi prosedur dan mekanismenya
diserahkan kepada kesepakatan para pihak yang bersengketa tersebut.
61 Sudirto, Zaeni Asyhadie, Op. Cit., hlm. 11. 62https://business-law.binus.ac.id/2017/05/31/ragam-dan-bentuk-alternatif-penyelesaian-
sengketa/ , diakses tanggal 9 Mei 2019, Pukul 12.11 WIB
Universitas Sumatera Utara
Penyelesaian sengketa sepenuhnya dikontrol oleh para pihak, sifatnya informal,
yang dibahas adalah berbagai aspek, tidak hanya persoalan hukum saja.
3. Konsiliasi
Konsiliasi adalah suatu penyelesaian dimana para pihak berupaya aktif
mencari penyelesaian dengan bantuan pihak ketiga.Konsiliasi diperlukan apabila
para pihak yang bersengketa tidak mampu menyelesaikan sendiri
perselisihannya.63
4. Mediasi
Jika pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu
kesepakatan, maka pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari
sengketa.Meskipun demikian konsiliator tidak berwenang membuat putusan,
tetapi hanya berwenang membuat rekomendasi, yang pelaksanaanya sangat
bergantung pada itikad baik para pihak yang bersengketa sendiri.
Mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan dibantu oleh pihak ketiga
(mediator) yang netral/tidak memihak.Peranan mediator adalah sebagai penengah
(yang pasif) yang memberikan bantuan berupa alternatif-alternatif penyelesaian
sengketa untuk selanjutnya ditetapkan sendiri oleh pihak yang bersengketa.
5. Penilaian Ahli
Pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis sesuai dengan bidang
keahliannya.
6. Arbitrase
Arbitrase memiliki karakteristik yang hampir serupa dengan penyelesaian
sengketa adjudikatif.Sengketa dalam arbitrase diputus oleh arbiter atau majelis
arbiter yang mana putusan arbitrase tersebut bersifat final and binding.
63Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, OP. Cit., hlm. 11
Universitas Sumatera Utara
Tidak semua bentuk alternatif penyelesaian sengketa baik untuk para pihak
yang bersengketa. Suatu alternative penyelesaian sengketa yang baik setidak-
tidaknya haruslah memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut:64
a. Haruslah efisiensi dari segi waktu
b. Haruslah hemat biaya
c. Haruslah dapat diakses oleh para pihak. Misalnya tempatnya tidak
terlalu jauh.
d. Haruslah melindungi hak-hak dari para pihak yang bersengketa.
e. Haruslah dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur.
f. Badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya di
mata masyarakat dan di mata para pihak yang bersengketa.
g. Putusannya haruslah final dan mengikat.
h. Putusannya haruslah bahkan mudah dieksekusi.
i. Putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dari komuniti
dimana penyelesaian sengketa alternative tersebut terdapat.
Penyelesaian sengketa secara non litigasi yakni melalui lembaga alternative
penyelesaian sengketa, lebih menjadi pilihan dari para pelaku bisnis.Hal ini terjadi
karena terdapat keunggulan-keunggulan yang tidak dijumpai dalam penyelesaian
sengketa secara litigasi. Adapun beberapa keunggulan dari penyelesaian sengketa
secara non litigasi ialah sebagai berikut:65
64 Munir Fuady, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 34
65 Khotibul Umam, Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), hlm. 7
Universitas Sumatera Utara
a. Sifat kesukarelaan dalam proses
Kesukarelaan disini karena penyelesaian sengketa melalui alternative
penyelesaian sengketa dilakukansesuai dengan perjanjian yang dibuat
para pihak. Perjanjian dimaksud dibuat dengan berdasarkan
kesukarelaan, baik menyangkut substansi maupun proses beracara di
lembaga peradilan yang prosedurnya telah ditentukan secara pasti.
b. Prosedur cepat
Keunggulan lain dari alternative penyelesaian sengketa adalah dalam hal
kecepatan. Kecepatan dalam penyelesaian tergantung dari iktikad baik
para pihak yang bersengketa dalam berupaya menyelesaikannya dengan
mengedepankan semangat kekeluargaan.Prosedurnya pun tergantung
dari kesepakatan para pihak sehingga lebih fleksibel.
c. Putusan non yudisial
Putusan bersifat non yudisial maksudnya bahwa putusan yang dihasilkan
tidak diputus oleh lembaga hakim, tetapi lebih pada hasil kesepakatan
para pihak yang bersengketa sendiri dengan atau tanpa bantuan pihak
ketiga yang netral.Karena merupakan kesepakatan maka hasil
penyelesaian hakikatnya merupakan perjanjian yang mengikat.
d. Prosedur rahasia
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan pada asasnya terbuka dan
dibuka untuk umum.Akan tetapi, dalam lembaga penyelesaian sengketa
alternative justru sebaliknya yaitu bahwa putusan harus dirahasiakan.Hal
ini ditujukan untuk menjaga reputasi dari para pihak yang bersengketa.
e. Fleksibel dalam merancang syarat-syarat penyelesaian masalah
Universitas Sumatera Utara
Syarat-syarat penyelesaian masalah dalam lembaga alternative
penyelesaian sengketa lebih fleksibel karena bisa ditentukan oleh para
pihak yang bersengketa.
f. Hemat waktu dan biaya
Konsekuensi logis dari fleksibelnya prosedur penyelesaian dan faktor
kecepatan adalah bahwa menyelesaikan sengketa melalui lembaga
alternative akan menghemat waktu dan biaya. Hal ini sejalan dengan
asas dalam penyelesaian sengketa yaitu dilakukan secara cepat,
sederhana dan biaya murah.
g. Pemeliharaan hubungan baik
Pemeliharaan hubungan baik antara pihak yang bersengketa dapat
terwujud karena penyelesaian sengketa dilakukan secara dialogis dengan
atau tanpa melibatkan pihak ketiga yang netral dan putusan hakikatnya
merupakan kesepakatan dari para pihak.Dengan demikian, sifat
penyelesaian sengketa yang ada yakni win-win solution, bahwa setiap
pihak tidak dirugikan dan masing-masing mendapatkan keuntungan
secara proporsional.
h. Lebih mudah dikontrol dan lebih mudah memperkirakan hasil
Lembaga alternative penyelesaian sengketa dengan prosedur yang
fleksibel, akan memudahkan bagi pihak yang bersengketa untuk
memperkirakan hasil penyelesaiannya.
i. Putusan cenderung bertahan lama karena penyelesaian sengketa secara
kooperatif dibandingkan pendekatan adversial atau pertentangan.
Universitas Sumatera Utara
Proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan meliputi:66
a. Penyelesaian sengketa kosumen yang dilakukan oleh pelaku usaha dan
konsumen sendiri.
b. Penyelesaian dengan mengadu kepada Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).
c. Penyelesaian dengan cara mengadu kepada Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen.
F. KEDUDUKAN BPSK DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
KONSUMEN
1. Dasar Hukum Pembentukan BPSK
Dasar hukum pembentukan BPSK adalah Undang-Undang No. 8 Tahun
1999.Pasal 49 Ayat 1 yang menyatakan bahwa pemerintah membentuk Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian
sengketa di luar pengadilan. Ketentuan pasal 49 ayat (1) UUPK yang menetapkan
pembentukan BPSK hanya pada Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota),
memperlihatkan maksud pembuat undang-undang bahwa putusan BPSK sebagai
badan penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan tidak ada upaya
banding dan kasasi.67
Kehadiran BPSK diresmikan pada tahun 2001, yaitu dengan adanya
Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Medan, Kota
66 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hlm 238 67 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 246
Universitas Sumatera Utara
Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota
Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makassar.68
Selanjutnya dalam Keputusan Presiden No. 108 Tahun 2004 dibentuk lagi
BPSK di tujuh kota dan tujuh kabupaten berikutnya, yaitu di Kota Kupang, Kota
Samarinda, Kota Sukabumi, Kota Bogor, Kota Kediri, Kota Mataram, Kota
Palangkaraya dan pada Kabupaten Kupang, Kabupaten Belitung, Kabupaten
Sukabumi, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Serang, Kabupaten Ogan Komering
Ulu, dan Kabupaten Jeneponto
69
a. Ketua merangkap anggota
.
Terakhir, dalam Keputusan Presiden No. 18 Tahun 2005 membentuk BPSK
di Kota Padang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bandung dan Kabupaten
Tangerang.
Menurut ketentuan pasal 90 Keppres No. 90 Yahun 2001, biaya pelaksanaan
tugas BPSK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).Dalam upaya
untuk memudahkan konsumen menjangkau BPSK, maka dalam keputusan
presiden tersebut, tidak dicantumkan wilayah yuridiksi BPSK, sehingga
konsumen dapat mengadukan masalahnya pada BPSK mana saja yang di
kehendakinya.
Sesuai dengan ketentuan pasal 50 UUPK, kelembagaan BPSK terdiri dari:
b. Wakil ketua merangkap anggota
c. Anggota
68 Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2001, LN No. 105 Tahun 2001 69 Keputusan Presiden No. 108 Tahun 2004
Universitas Sumatera Utara
BPSK dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sekretariat.Pada setiap
BPSK dibentuk secretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang terdiri
atas kepala sekretariat dan anggota, yang pengangkatan dan pemberhentiannya
dilakukan oleh menperindag.70
a. Warga negara RI
Untuk dapat diangkat menjadi anggota BPSK, seseorang harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
b. Berbadan sehat
c. Berkelakuan baik
d. Tidak pernah dihukum karena kejahatan
e. Memiliki pengetahuan dan pengalaman dibidang perlindungan
konsumen
f. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun
Dalam pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ini mengacu
pada peraturan hukum, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 Tentang Badan
PenyelesaianSengketa Konsumen Nasional (BPKN)
3. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan
PengawasanPenyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 Tentang Lembaga
PerlindunganKonsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)
70 Pasal 51 ayat (1,2,3) Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Universitas Sumatera Utara
5. Keputusan Presidan Nomor 50 Tahun 2001 Tentang Pembentukan
BadanPenyelesaian Sengketa Konsumen.
6. Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Nomor
301MPP/Kep/10/2001 Tanggal 24 Oktober 2001 tentang
PengangkatanPemberhentian Anggota Sekretariat Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen.
7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
302MPP/Kep/10/2001 Tanggal 24 Oktober 2001 Tentang Pendaftaran
LembagaPerlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).
8. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350
MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas danWewenang Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen.
9. Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Nomor605/MPP/Kep/8/2002 Tanggal 29 Agustus 2002 Tentang
Pengangkatan AnggotaBadan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK).
10. Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Badan Penyelesaian Sengketa Kosumen (BPSK).
11. Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Pembentukan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
2. Bentuk Penyelesaian Sengketa di BPSK
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan atau Alternative Dispute Resoution
dapat ditempuh dengan berbagai cara, berupa: arbitrase, mediasi, konsiliasi,
negosiasi, konsultasi dan pendapat ahli. Dari sekian banyak cara penyelesaian
Universitas Sumatera Utara
sengketa di luar pengadilam, UUPK dalam pasal 52 tentang tugas dan wewenang
BPSK, memberikan 3 (tiga) macam bentuk penyelesaian sengketa di BPSK, yaitu:
a. Mediasi
Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa diluar
pengadilan ditempuh atas inisiatif salah satu ihak atau para
pihak.Dalam mediasi, majelis BPSK bersikap aktif sebagai
pemerantara dan penasihat.
Pada dasarnya mediasi adalah suatu proses dimana pihak ketiga (a
third party), suatu pihak luar yang netral (a neutral outsider) terhadap
sengketa, mengajak pihak yang bersengketa pada suatu penyelesaian
sengketa yang disepakati. Sesuai dengan batasan tersebut mediator
berada di tengah-tengah dengan tidak memihak salah satu
pihak.Sesuai dengan sifatnya, mediasi tidak dapat diwajibkan
(compulsory), tetapi hanya dapat terjadi jika kedua belah pilah secara
sukarela (voluntary) berpartisipasi.71
71Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori dan Praktek Penegakan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 23
Peran mediator sangat terbatas yaitu pada hakikatnya hanya menolong
para pihak untuk mencari jalan keluar dari persengketaan yang mereka
hadapi, sehingga hasil penyelesaian dalam bentuk kompromi terletak
sepenuhnya pada kesepakatan para pihak, dan kekuatannya tidak
secara mutlak mengakhiri sengketa secara final dan tidak pula
mengikat secara mutlak tetapi tergantung pada iktikad baik untuk
memenuhi secara sukarela.
Universitas Sumatera Utara
Keuntungan penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah karena cara
pendekata penyelesaian diarahkan pada kerja sama untuk mencapai
kompromi, sehingga masing-masing pihak tidak perlu saling
mempertahankan fakta dan bukti yang mereka miliki, serta tidak
membela dan mempertahankan kebenaran masing-masing. Dengan
demikian, pembuktian tidak lagi menjadi beban yang memberatkan
para pihak.72
b. Arbitrase
Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dalam upaya
penyelesaian sengketa, para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada
Majelis BPSK untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa
konsumen arbitrase.Arbitrase merupakan suatu metode penyelesaian
sengketa dalam masalah-masalah perdata yang dapat disetujui oleh
kedua belah pihak yang dapat mengikat (binding) dan dapat
dilaksanakan/ditegakkan.73
Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini karena
putusannya langsung final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan
mengikat para pihak.Putusa arbitrase ini memiliki kekuatan
eksekutorial, sehingga apabila pihak yang dikalahkan tidak memenuhi
72Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., hlm. 261 73 Yusuf Shofie, Op. Cit., hlm. 25
Universitas Sumatera Utara
putusan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat meminta
eksekusi ke pengadilan.74
Secara umum dinyatakan bahwa lembaga arbitrase mempunya
kelebihan, antara lain:
75
1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
2. Dapat dihindarkan kelambatan yang diakibatkan karena hal
prosedur dan administratif
3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya
mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang
cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil
4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan
masalah serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase
5. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan
dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun
langsung dapat dilaksanakan.
Walaupun arbitrase memiliki kelebihan, namun pada akhir-akhir
ini peran arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa di luar
pengadilan digeser oleh alternative penyelesaian sengketa yang
lain, Karena pada arbitrase:76
a. Biaya mahal, karena walaupun secara teori biayanya lebih
murah namun dalam prakteknya biaya yang harus dikeluarkan
hampir sama dengan biaya litigasi karena terdapat beberapa
komponen biaya yang harus dikeluarkan seperti biaya
74Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., hlm. 254 75 Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Op. Cit., hlm33 76Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., hlm. 254
Universitas Sumatera Utara
administrasi, honor arbiter, biaya transportasi dan akomodasi
arbiter serta biaya saksi dan ahli.
b. Penyelesaian yang lambat, karena walaupun banyak sengketa
yang diselesaikan dalam jangka waktu 60-90 hari, namun
banyak juga penyelesaian yang memakan waktu panjang
bahkan bertahun-tahun, apalagi kalau terjadi perbedaan
pendapat tentang penunjukan arbitrase atau hukum yang
hendak diterapkan, maka penyelesaiannya akan bertambah
rumit.
c. Konsiliasi
Konsiliasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang
ditempuh di luar pengadilan, yang diartikan sebagai: an independent
person (conciliator) brings the parties together and encourages a
mutually acceptable resolution of the dispute by facilitating
communication bertween the parties.77
Di dalam konsiliasi, seorang konsiliator akan mengklarifikasikan
masalah-masalah yang terjadi dan bergabung di tengah-tengah para
pihak, tetapi kurang aktif dibandingkan dengan seorang mediator
dalam menawarkan pilihan-pilihan (options) penyelesaian suatu
sengketa. Konsiliasi menyatakan secara tidak langsung suatu
Cara konsiliasi ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para
pihak, sedangkan Majelis BPSK bersikap pasif.Majelis BPSK
bertugas sebagai pemerantara antara para pihak yang bersengketa.
77Ibid., hlm. 258
Universitas Sumatera Utara
kebersamaan para pihak di mana pada akhirnya kepentingan-
kepentingan bergerak mendekat (moving closer) dan selanjutnya
dicapai suatu penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak (a
measure of goodwill).78
Oleh karena itu, maka penyelesaian sengketa konsumen sebaiknya
diselesaikan secara berjenjang dalam arti bahwa setiap sengketa diusahakan
penyelesaiannya melalui proses mediasi, jika mediasi gagal penyelesaian
ditingkatkan menjadi konsiliasi, dan jika konsiliasi gagal penyelesaian di
tingkatkan menjadi arbitrase.
Penyelesaian sengketa ini memiliki kesamaan dengan arbitrase , dan
juga menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan
pendapatnya tentang sengketa yang disampaikan para pihak. Namun
pendapat dari konsiliator tersebut tidak mengikat sebagaimana
putusan arbitrase.Keterikatan para pihak terhadap pendapat dari
konsiliator menyebabkan penyelesaian sengketa tergantung pada
kesukarelaan para pihak.
UUPK menyerahkan wewenang kepada BPSK untuk menyelesaikan setiap
sengketa konsumen (di luar pengadilan).UUPK tidak menentukan adanya
pemisahan tugas anggota BPSK yang bertindak sebagai mediator, arbitrator
ataupun konsiliator.
79
3. Tugas, Fungsi dan Wewenang BPSK dalam Penyelesaian Sengketa
Pasal 1 angka 11 UUPK menjelaskan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaiakn sengketa
78 Yusuf Shofie, Op. cit., hlm. 22 79Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., hlm. 263
Universitas Sumatera Utara
antara pelaku usaha dan konsumen.Setiap penyelesaian sengketa konsumen
dilakukan oleh majelis yang dibentuk oleh Ketua BPSK dan dibantu oleh
panitera.Panitera BPSK berasal dari anggota secretariat yang ditetapkan oleh
ketua BPSK. Tugas penitera terdiri dari:
a. Mencatat jalannya proses penyelesaian sengketa konsumen.
b. Menyiapkan berkas laporan.
c. Menjaga barang bukti.
d. Membantu majelis menyusun putusan.
e. Membantu menyampaikan putusan kepada konsumen dan pelaku usaha.
f. Membuat berita acara persidangan.
g. Membantu majelis dalam tugas-tugas penyelesaian sengketa.
Mengenai tugas dan wewenang BPSK diatur dalam pasal 52 UUPK jo.
Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu:
a. Melaksanakan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui
mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen.
c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku
d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan
dalam undang-undang ini.
e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen
tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.
f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen.
Universitas Sumatera Utara
g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen.
h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini.
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli, atau setiap orang sabagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h,
yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen.
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.
k. Memutuskan atau menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
konsumen.
l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen.
m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini
Dari pemaparan tentang tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
tersebut di atas, dapat dilihat bahwa tugas utama dari dibentuknya Badan
Penyelesaian Sengketa adalah untuk menangani dan menyelesaikan sengketa
konsumen namun selain itu pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen juga mempunyai tugas lain yakni untuk lebih mengayomi dan
memberikan fasilitas kepada konsumen untuk lebih dapat mengerti tentang apa-
apa saja hak-hak dari konsumen.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh BPSK, BPSK
memiliki karakteristik lembaga kuasi yudisial sebagaimana yang dirumuskan oleh
Jimly Asshiddiqie. Adapun karakteristik yang dimiliki oleh Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) adalah sebagai berikut :
1. BPSK memiliki kekuasaan untuk mendengar dan menentukan atau
memastikan fakta-fakta. Pada tugas dan wewenangnya BPSK dapat melakukan
penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen. Untuk
melaksanakan tugas tersebut BPSK dapat memanggil para pihak yang bersengketa
untuk dapat menyelesaikan sengketa yang terjadi. BPSK juga dapat meneliti
dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain.
2. BPSK memiliki kekuasaan untuk menguji saksi-saksi, untuk memaksa
saksi-saksi untuk hadir, dan untuk mendengar keterangan para pihak dalam
persidangan. Kekuasaan yang dimiliki oleh BPSK ini terlihat dari tugas dan
wewenang BPSK yang tertuang pada pasal 52 poin h dan i. Di mana dalam poin
tersebut dijelaskan bahwa BPSK dapat memanggil dan menghadirkan saksi, saksi
ahli, dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui tentang pelanggaran UUPK.
Bahkan BPSK sendiri memiliki wewenang untuk meminta bantuan dari penyidik
untuk dapat menghadirkan pelaku usaha, saksi saksi ahli dan juga orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran UUPK.
3. BPSK memiliki kekuasaan untuk menegakkan keputusan atau
menjatuhkan sanksi hukuman. Tugas dan wewenang BPSK yang tertulis pada
poin k dan m menjelaskan bahwa BPSK dapat memutuskan dan menetapkan ada
atau tidaknya kerugian di pihak konsumen dan juga menjatuhkan sanksi
Universitas Sumatera Utara
administrative kepada pelaku usaha iyang melanggar ketentuan undang-undang
ini.
Berdasarkan tugas dan wewenang tersebut, maka terdapat 2 (dua) fungsi
strategis dari BPSK, yaitu:80
a. BPSK berfungsi sebagai instrument hukum penyelesaian sengketa diluar
pengadilan (alternative dispute resolution), yaitu melalui konsiliasi, mediasi
dan arbitrase.
b. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku (one-sided
standard from contract) oleh pelaku usaha (pasal 52 huruf c UUPK).
Termasuk disini klausula yang dikeluarkan oleh PT PLN (persero) dibidang
kelistrikan, PT Telkom (persero) dibidang telekomunikasi, bank-bank milik
pemerintah maupun swasta, perusahaan leasing/pembiayaan dan lain-lain.
Salah satu fungsi strategis ini adalah untuk menciptakan keseimbangan
kepentingan-kepentingan pelaku usaha dan konsumen. Jadi, tidak hanya kalusula
baku yang dikeluarkan oleh pelaku usaha atau badan usaha perusahaan-
perusahaan swasta saja, tetapi juga pelaku usaha atau perusahaan-perusahaan
milik negara.
4. Kedudukan BPSK Dalam Sistem Penyelesaian Sengketa Konsumen
Pasal 47 UUPK menjelaskan, penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadila diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan
besarnya ganti kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin
tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita
80 Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hlm. 83
Universitas Sumatera Utara
oleh konsumen.81
81 Pasal 47 Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen
Untuk penyelesaian sengketa antar pelaku usaha dan konsumen
di luar pengadilan, pemerintah membentuk suatu badan yaitu Badan Penyelesaian
Sengketa konsumen yang berada di daerah tingkat II (Kabupaten/Kota).
BPSK berkedudukan sebagai lembaga yang dapat memeriksa dan memutus
sengketa konsumen, yang bekerja seolah-olah sebagai sebuah pengadilan. Karena
itu BPSK dapat disebut sebagai kuasi peradilan. BPSK menyelesaikan perkara-
perkara kecil, atau sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat sederhana.
Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling
lambat 21 hari kerja setelah gugatan di terima, hal ini tertulis dalam pasal 55
UUPK. Dalam waktu paling lambat 7 hari kerja semenjak menerima putusan dari
badan penyelesaian sengketa konsumen pelaku usaha wajib melaksanakan
putusan tersebut.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Nomor:350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK
dinyatakan bahwa BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen diluar
pengadilan menyelesaiakan penyelesaian sengketa dengan cara konsiliasi,
mediasi, atau arbitrase. Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK melalui cara
konsiliasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa didampingi oleh
Majelis yang bertindak sebagai konsiliator. Penyelesaian sengketa konsumen oleh
BPSK dengan cara Mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa
dan didampingi oleh majelis yang bertindak sebagai mediator. Penyelesaian
sengketa konsumen melalui arbitrase dilakukan sepenuhnya dan diputuskan oleh
Majelis yang bertindak sebagai arbiter.
Universitas Sumatera Utara
Dalam menyelesaiakan sengketa konsumen BPSK membentuk majelis.
Pada pasal 54 ayat yang ke (3) UUPK menyatakan bahwa putusan yang
dikeluarkan oleh majelis bersifat final dan mengikat
Universitas Sumatera Utara
BAB III
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN OLEH BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) KOTA
MEDAN MELALUI PROSES ARBITRASE
D. Prosedur Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase di BPSK
Tata cara penyelesaian sengketa konsumen oleh Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen jo. Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 tentang
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen.Prosedur penyelesaiannya pun diatur sangat sederhana dan sejauh
mungkin dihindari suasana yang formal.
Berikut ini akan diuraikan prosedur penyelesaian sengketa konsumen
melalui BPSK, yang terbagi kedalam 3 (tiga) tahap sebagai berikut:
1. Tahap Permohonan penyelesaian sengketa konsumen
Setiap konsumen yang dirugikan, ahli waris atau kuasanya dapat
mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen kepada BPSK baik
secara tertulis maupun lisan melalui secretariat BPSK yang menangani pengaduan
konsumen.82Pengaduan konsumen dapat dilakukan di tempat BPSK yang terdekat
dengan domisili konsumen.83
Permohonan yang diajukan oleh ahli waris atau kuasanya yang
dilakukanbilamana:
84
82Pasal 15 ayat (1) Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK. 83Pasal 2 Keppres No. 90 tahun 2001. 84Pasal 15 ayat (3), Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan
Tugas dan Wewenang BPSK.
a. Konsumen yang bersangkutan telah meninggal dunia
Universitas Sumatera Utara
b. Konsumen sakit atau telah lanjut usia, sehingga tidak dapat diajukan
pengaduan sendiri baik secara tertulis maupun lisan,
sebagaimanadibuktikan dengan surat keterangan dokter dan bukti Kartu
TandaPenduduk (KTP);
c. Konsumen belum dewasa sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku;
d. Konsumen warga negara asing.
Permohonan yang dibuat secara tertulis diberikan bukti tanda terima oleh
sekretariat BPSK kepada pemohon.85 Sedangkan permohonan yang dibuat
secaratidak tertulis harus dicatat oleh sekretariat BPSK dalam suatu formulir
yangdisediakan dan dibubuhi tanda tangan atau cap jempol oleh konsumen atau
ahliwarisnya atau kuasanya dan kepada pemohon diberikan bukti tanda
terima.86Berkas permohonan penyelesaian sengketa konsumen baik yang tertulis
maupun tidak tertulis dicatat oleh sekretariat BPSK dan dibubuhi tanggal dan
nomorregistrasi.87
Permohonan penyelesaian sengketa konsumen sebaiknya memang diajukan
secara tertulis dengan memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditetapkan,
karena dapat dijadikan tanda bukti bahwa permohonan sudah diajukan.
Permohonan penyelesaian sengketa konsumen secara tertulis harus memuat secara
benar dan lengkap mengenai:
88
85Pasal 15 ayat (4), Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK
86Pasal 15 ayat (5) Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK 87Pasal 15 ayat (6) Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan
Tugas dan Wewenang BPSK 88Pasal 16 Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang BPSK.
Universitas Sumatera Utara
a. Nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris atau kuasanya
disertaibukti diri;
b. Nama dan alamat lengkap pelaku usaha;
c. Barang atau jasa yang diadukan;
d. Bukti perolehan (bon, faktur, kuitansi dan dokumen bukti lain);
e. Keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang atau jasa
tersebut;
f. Saksi yang mengetahui barang atau jasa tersebut diperoleh;
g. Foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan, bila ada.
Terhadap formulir pengaduan penyelesaian sengketa konsumen konsumen
dilakukan penelitian yang meliputi penelitian kelengkapan formulir pengaduandan
bukti-bukti pendukung.Data pengaduan yang diterima secara benar dan lengkap
diajukan oleh kepala sekretaiat kepada ketua BPSK, selanjutnya ketua BPSK
membuat suratpanggilan kepada tergugat dan penggugat agar hadir pada sidang
pertama. KetuaBPSK juga harus membentuk majelis dan menunjuk panitera, hal
ini harusdilakukan sebelum sidang pertama.Bagi pengaduan yang tidak lengkap
pengaduan tersebut dikembalikan kepada pengadu untuk dilengkapi.89
89 Susanti Adi Nugroho, Op.cit.,hlm. 153
Pasal 17 Kepmenprindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001
menyebutkanbahwa ketua BPSK menolak permohonan penyelesaian sengketa
konsumen, apabila permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 Kepmenperindag RI No. 350 Tahun 2001 atau
permohonan gugatan bukan merupakan kewenangan BPSK.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan Pasal 17 tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Pedoman
Operasional BPSK yang dikelurkan oleh Direktorat Perlindungan Konsumen
Departemen Perdagangan, yaitu menjadi:
a. Setiap permohonan secara tertulis tidak dapat diterima, apabila tidakdisertai
dengan bukti-bukti secara benar sebagaimana dimaksud dalamPasal 16
Kepmenperindag RI No. 350 Tahun 2001.
b. Setiap permohonan pengaduan secara lisan tidak dapat diterima
bilamanatidak mengisi dan menyerahkan formulir pengaduan pada angka 1
di atas.Formulir dibuat dalam rangkap 4.
c. Pengaduan yang bukan merupakan kewenangan BPSK tidak dapat diterima
meskipun penggugatnya konsumen akhir, adalah:
1) Tergugatnya adalah lembaga atau instansi pemerintah baik sipil maupun
militer (contohnya dalam masalah SIUP, KTP, sertifikat,
penyalahgunaan kekuasaan, dan lain-lain).
2) Barang atau jasa yang dikonsumsi, secara hukum dilarang untuk
dikonsumsi atau diperdagangkan (contohnya dalam masalah narkoba,
barang purbakala, jasa kenikmatan yang dilarang, dan lain-lain).
3) Kasus pidana yang dilakukan oleh pelaku usaha.
d. Pengadu yang bukan konsumen akhir atau gugatan joinder tidak
dapatditerima oleh BPSK.
e. Pelaku usaha tidak boleh mengajukan gugatan kepada konsumen
melaluiBPSK.
2. Tahap Persidangan Arbitrase
Universitas Sumatera Utara
Pasal 26 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 tersebut menenentukan
bahwa pemanggilan pelaku usaha untuk hadir di persidangan BPSK, dilakukan
secara tertulis disertai dengan copy permohonan penyelesaian sengketa konsumen
dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan penyelesaian sengketa
konsumen diterima secara lengkap dan benar telah memenuhi persyaratan Pasal
16 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001. 90
1. Hari, tanggal, dan tempat persidangan.
Secara formal dalam surat
panggilan tersebut dicantumkan:
2. Kewajiban pelaku usaha untuk memberikan jawaban terhadap
permohonan penyelesaian sengketa konsumen dan disampaikan pada
hari persidangan pertama.
Secara keseluruhan ketentuan Pasal 26 Kepmenperindag No.
350/MPP/12/2001 tersebut mendorong dan menuntut Ketua Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen berbuat teliti dan cermat tentang prosedur pemanggilan pada
persidangan pertama.Persidangan pertama harus sudah dilakukan pada hari ke-7
(ketujuh) ini terhitung sejak permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(PSK) telah dinyatakan dan benar menurut Pasal 16 Kepmenperindag No.
350/MPP/12/2001.91
Maksimal Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen diberi waktu 3
hari kerja untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran (secara formal)
permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PSK).Pada tahap ini, dituntut
sikap aktif KetuaBadan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Jadi maksimal waktu
yang dimiliki Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dari mulai
90 Yusuf Shofie, Op. cit., hlm. 33 91Ibid., hlm. 34
Universitas Sumatera Utara
pemerikasaan kelengkapan dan kebenaran (secara formal) permohonan
Penyelesaian Sengketa Konsumen sampai dengan dilaksanakannya persidangan
pertama, yaitu maksimal 10 hari kerja, tidak termasuk hari libur nasional.92
Pada persidangan dengan cara arbitrase, para pihak menyerahkan
sepenuhnya kepada Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk
memutuskan dan menyelesaikan sengketa yang terjadi. Majelis Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen mempunyai kewajiban menjaga ketertiban
jalannya persidangan.Majelis di BPSK terdiri atas 3 (tiga) anggota atau arbitor
yaitu arbitor dari unsur konsumen, arbitor dari unsur pelaku usaha dan arbitor dari
unsur PNS (Pemerintah). Pelaku usaha memilih arbitor pelaku usaha dan
konsumen memilih arbitor dari unsur konsumen. Sedangkan arbitor dari unsur
Berdasarkan Undang-undang No. 30 Tahun 1999, pengertian arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan, yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa. Dalam proses ini pihak bersengketa mengemukakan masalah
mereka kepada pihak ketiga netral dan memberinya wewenang untuk memberinya
keputusan.
Dalam pasal 1 angka 11 Kepmenperindag RI Nomor 350/MPP/Kep/12/2001
mendefinisikan “Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan
sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK”.
92Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
pemerintah dipilih oleh arbitor konsumen dan pelaku usaha dan dikukuhkan oleh
penetapan dari ketua dan/atau wakil ketua BPSK.93
a. Kewajiban majelis BPSK memberikan petunjuk tentang upaya hukum bagi
kedua belah pihak.
Prinsip tata cara Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan cara arbitrase
dilakukan melalui 2 (dua) tata cara persidangan yaitu melalui persidangan pertama
dan persidangan kedua. Prinsip-prinsip persidangan pertama yaitu:
94
b. Kewajiban majelis BPSK untuk mendamaikan kedua belah pihak.
95Dalam
hal tercapai perdamaian, maka hasilnya wajib dibuatkan penetapan
perdamaian oleh majelis BPSK.96
c. Pencabutan gugatan konsumen dilakukan sebelum pelaku usaha
memberikan jawaban, dituangkan dengan surat penyataan, disertai
kewajiban majelis mengumumkan pencabutan gugatan tersebut dalam
persidangan.
97
d. Kewajiban majelis BPSK untuk memberikan kesempatan yang sama
bagipara pihak,
98
dengan persidangan dan membuat kutipan seperlunya.
yaitu:
1) Kesempatan yang sama untuk mempelajari berkas yang berkaitan
99
93 Wawancara dengan Bapak Dharma Bakti Nst (wakil ketua BPSK Medan), pada tanggal 16 Mei 2019 pukul 13.43 WIB
94Pasal 33 Ayat (1) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.
95Pasal 34 Ayat (1) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK
96Pasal 35 Ayat (3) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK
97Pasal 35 Ayat (1) dan Ayat (2) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.
98Pasal 34 Ayat (2) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.
Universitas Sumatera Utara
2) Pembacaan isi gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usaha,jika
tidak tercapai perdamaian.100
a. Kewajiban majelis BPSK untuk memberikan kesempatan terakhir sampai
persidangan kedua disertai kewajiban para pihak membawa alat bukti yang
diperlukan, bila salah satu pihak tidak hadir pada persidangan pertama.
Prinsip-prinsip pada persidangan kedua, yaitu:
101
d. Pengabulan gugatan konsumen, jika pelaku usaha tidak datang pada
persidangan kedua (verstek), sebaliknya gugatan digugurkan, jika konsumen
yang tidak datang.
b. Persidangan kedua dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari
kerja sejak hari persidangan pertama.
c. Kewajiban sekretariat BPSK untuk memberitahukan persidangan kedua
dengan surat panggilan kepada para pihak.
102
a. Barang dan/atau jasa
Selama proses penyelesaian sengketa alat bukti dapat diajukan oleh Majelis
atas permintaan para pihak yang bersengketa. Dalam pasal 21 Kepmenperindag
No 350 MPP/Kep/12/2001, alat bukti yang digunakan dalam penyelesaian
sengketa konsumen berupa:
b. Keterangan para pihak yang bersengketa
c. Keterangan saksi dan/atau saksi ahli
d. Surat dan/atau dokumen
99Pasal 33 Ayat (2) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK
100Pasal 34 Ayat (1) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK
101Pasal 36 Ayat (2) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK
102Pasal 36 Ayat (3) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang PelaksanaanTugas dan Wewenang BPSK
Universitas Sumatera Utara
e. Bukti-bukti lain yang mendukung
Sekalipun dalam proses penyelesaian sengketa konsumen beban pembuktian
ada pada pelaku usaha, namun konsumen pun berhak mengajukan bukti untuk
mendukung gugatannya.Setelah mempertimbangkan penyataan dari kedua belah
pihak mengenai hal yang dipersengketakan dan mempertimbangkan hasil
pembuktian serta permohonan yang diinginkan para pihak, maka Majelis Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen memberikan putusan.103
3. Tahap Putusan
Putusan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sedapat mungkin
didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat, namun jika telah
diusahakan namun tidak mencapai kata mufakat, maka putusan diambil dengan
suara terbanyak (voting).104 Hasil penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase
dibuat dengan putusan majelis yang ditandatangani oleh ketua dan anggota
majelis. Keputusan majelis dalam arbitrase dapat memuat sanksi administrasi.105
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas,
pencemaran akibat mengonsumsi barang yang diperdagangkan, dan/atau kerugian
konsumen atas jasa yang dihasilkan.
Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat berupa:
a. Perdamaian
b. Gugatan ditolak; atau
c. Gugatan dikabulkan
106
103 Susanti Adi Nugroho, Op. cit., hlm. 118 104Pasal 39 Ayat (1) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang
PelaksanaanTugas dan Wewenang BPSK. 105Pasal 37 Ayat (5) Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang
PelaksanaanTugas dan Wewenang BPSK. 106 Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Manakala gugatan dikabulkan, maka
Universitas Sumatera Utara
dalam amar putusann ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku
usaha, dapat berupa pemenuhan:
1. Ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam putusan dapat berupa:107
a) Pengembalian uang atau penggantian barang dan/ atau jasa yangsejenis
atau setara nilainya atau perawatan.
b) Pemberian santunan sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-
undangan yang berlaku.
c) Ganti kerugian tersebut dapat pula ditujukan sebagai
penggantiankerugian terhadap keuntungan yang akan diperoleh apabila
tidakterjadi kecelakaan, atau kehilangan pekerjaan atau
penghasilanuntuk sementara atau seumur hidup akibat kerugian fisik
yangdiderita, dan sebagainya.
2. Sanksi administrasi berupa penetapan ganti kerugian paling banyak
Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).108
Sanksi administrasi dapat dibebankan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap:
109
1. Tidak dilaksanakannya pemberian ganti kerugian oleh pelaku usaha
kepada konsumen, dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian
barang dan/atau jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau
pemberian santunan atas kerugian yang diderita oleh konsumen.
2. Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang
dilakukan oleh pelaku usaha periklanan.
107Pasal 19 Ayat (2) Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 108Pasal 40 Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang BPSK. 109 Susanti Adi Nugroho, Op. cit., hlm. 120
Universitas Sumatera Utara
3. Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan purna
jual, baik dalam bentuk suku cadang maupun pemeliharaannya, serta
pemberian jaminan atau garansi yang telah ditetapkan sebelumnya.
Ketentuan ini berlaku baik terhadap pelaku usaha yang
meperdagangkan barang dan/atau jasa.
Gugatan kerugian secara perdata, tidak menutup kemungkinan adanya
tuntuntan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur
kesalahan dari pelaku usaha. Ganti kerugian yang dapat digugat oleh konsumen
maupun yang dapat dikabulkan BPSK adalah ganti kerugian yang nyata/riil yang
dialami konsumen. UUPK tidak mengenal gugatan immateriil, yaitu gugatan ganti
kerugian atas hilangnya kesempatan untuk mendapatkan keuntungan, kenikmatan,
nama baik dan sebagainya. Oleh sebab itu, majelis BPSK dilarang mengabulkan
gugatan immateriil yang diajukan konsumen. Sebaliknya dalam upaya melindungi
konsumen, UUPK memberi wewenang kepada BPSK untuk menjatuhkan sanksi
administratif yang dibebankan kepada pelaku usaha untuk dibayarkan kepada
konsumen.
Ganti kerugian berupa sanksi administratif adalah berbeda dengan ganti
kerugian yang nyata atau riil yang dialami konsumen yang digugat melalui BPSK.
Majelis BPSK selain mengabulkan gugatan ganti kerugian nyata dialami
konsumen juga berwenang menambahkan ganti kerugian berdasarkan sanksi
administratif tersebut. Besarnya ganti kerugian tersebut tergantung pada nilai
kerugian konsumen akibat memakai, menggunakan, atau memanfaatkan barang
atau jasa produsen atau pelaku usaha.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Pasal 38 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 Majelis
wajib memutuskan sengketa konsumen tersebut selambat-lambatnya dalam waktu
21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak gugatan diterima oleh Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen.110Ketua BPSK memberitahukan putusan
Majelis secara tertulis kepada Konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa,
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan dibacakan. Setelah putusan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen diberitahukan, selambat-lambatnya
dalam14 (empat belas) hari kerja sejak putusan dibacakan, konsumen dan pelaku
usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen.111
Apabila konsumen dan atau pelaku usaha menolak putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, maka mereka dapat mengajukan keberatan
kepada pengadilan negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari
kerja terhitung sejak putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
diberitahukan.
112
Sebaliknya apabila konsumen dan pelaku usaha menerima putusan BPSK
tersebut maka pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut selambat-
lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak menyatakan menerima putusan
tersebut.
113
110Pasal 38 Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.
111 Pasal 41 ayat (2)Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.
112 Pasal 41 ayat (3)Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK.
113 Pasal 41 ayat (4)Kepmenperindag RI No.350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK
Universitas Sumatera Utara
Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang tidak diajukan
keberatan oleh pelaku usaha, dimintakan penetapan fiat eksekusinya kepada
pengadilan negeri di tempat tinggal konsumen yang dirugikan.Pelaku usaha yang
menolak putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, tetapi tidak
mengajukan keberatan setelah melampaui batas waktu untuk menjalankan
putusan, maka dianggap menerima putusan.Putusan BPSK merupakan putusan
yang final dan mepunyai kekuatan hukum tetap.
E. Penyelesaian Sengketa Melalui Proses Arbitrase Di BPSK Kota Medan
BPSK merupakan lembaga yang dibentuk untuk menyelesaikan sengketa
antara konsumen dengan pelaku usaha. BPSK berkedudukan di Daerah Tingkat II,
salahsatunya BPSK Kota Medan. Penyelesaian sengketa di BPSK Kota Medan
dapat dilakukan dengan cara Mediasi, konsiliasi dan Arbitrase.
Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar
pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak
yang bersengketa. Dalam proses ini para pihak bersengketa mengemukakan
masalah mereka kepada pihak ketiga yang netral dan memberinya wewenang
untuk memberikan putusan.
Dalam menyelesaikan sengketa konsumen dengan arbitrase di BPSK Kota
Medan berdasarkan pada UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dan Kepmenperindag No 350/MPP/Kep/12/2001. Penyelesaian sengketa
konsumen melalui arbitrase di BPSK Kota Medan dilaksanan secara sederhana,
cepat, biaya murah dan Proses penyelesaiannya sejauh mungkin dihindari suasana
yang formal. Jangka waktu penyelesaian sengketa ialah 21 hari dengan biaya Rp
0,-. Namun, tidak semua sengketa yang diadukan ke BPSK Kota Medan
Universitas Sumatera Utara
diselesaikan dengan waktu 21 hari ( lebih dari 21 hari). Sengketa yang
diselesaikan lebih dari 21 hari biasanya adalah sengketa yang kompleks. Selain itu
cepatnya penyelesaian sengekta juga tergantung pada para pihak, artinya
kehadiran para pihak dalam menyelesaikan sengketa juga menentukan.
Persidangan arbitrase di BPSK Kota Medan dilaksanakan setiap hari kamis pada
hari kerja saja.
Hasil Persidangan BPSK Jumlah
Mediasi 3
Konsiliasi 6
Arbitrase 70
Ditolak 25
Total 104
Sumber: Matriks Pelaksanaan BPSK Kota Medan Tahun 2018
Berdasarkan matriks diatas dapat dilihat bawasannya pada tahun 2018
BPSK Kota Medan telah menerima pengaduan dari konsumen sebanyak 104
kasus. Diantara 104 kasus tersebut, sebanyak 25 kasus ditolak, 6 kasus
diselesaikan dengan cara konsiliasi, 3 kasus diselesaikan dengan cara mediasi, dan
sebanyak 70 kasus diselesaikan dengan cara arbitrase. Dalam hal ini arbitrase
merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling banyak digunakan dalam
menyelesaikan sengketa konsumen di BPSK Kota Medan.
Dari 70 kasus yang diselesaikan dengan cara arbitrase, 9 kasus yang
diselesaikan merupakan sengketa perumahan. Sengketa perumahan yang diadukan
untuk diselesaikan di BPSK Kota Medan disebabkan oleh pihak pengembang
Universitas Sumatera Utara
(Pelaku usaha) yang ingkar janji terhadap unit perumahan yang telah diperjanjikan
dan disepakati.
Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK Kota Medan yang dilakukan
dengan cara arbitrase memiliki beberapa hambatan yaitu sebagai berikut:
1. Para pihak tidak memahami arbitrase di BPSK. Salah satu penyebab
para pihak (konsumen dan pelaku usaha) tidak memahami arbitrase ialah
kurangnya sosialisasi
2. Salah satu pihak tidak menghendaki cara arbitrase. Maksudnya, dalam
menyelesaikan sengketa hanya satu pihak saja yang ingin sengketanya
diselesaikan dengan arbitrase sedangkan pihak yang lainnya tidak. Hal
ini memberikan kesulitan bagi Majelis dalam menyelesaikan sengketa
diantara para pihak.
3. Waktu penyeleseaian sengketa secara arbitrase yang telah ditentukan
dalam UUPK ialah 21 hari kerja setelah gugatan diterima. Namun dalam
praktiknya tidk sesuai. Salah satu faktor yang menjadi penyebabnya
ialah salah satu atau para pihak yang tidak dapat berhadir dalam
persidangan.
Dalam penyelesaian sengketa perumahan, pihak BPSK Kota Medan
memiliki beberapa kendala, yaitu:
1. Konsumen tidak memahami transaksi jual beli perumahan yang
dilakukan. Mereka tidak paham dengan isi dari perjanjian yang di buat.
Isi perjanjian yang dimaksud adalah konsumen memberi kuasa kepada
developer untuk mengagunkan tanahnya.
Universitas Sumatera Utara
2. Klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang. Misalnya
rumah yang dibangun untuk tempat melakukan kegiatan yang dilarang.
3. Pelaku usaha (developer) berusaha untuk menjelaskan perjanjian
ataupun pajak seolah-oleh dhilangkan. Maksudnya pihak developer
tidak menjelaskan di awal bahwasannya biaya seperti pajak, akta jual
beli belum termasuk didalamnya sehingga memberatkan konsumen.
F. Kekuatan Hukum Putusan Arbitrase BPSK
Herzien Inlandsch Reglemen atau HIR pasal 185 menentukan putusan dapat
dibagi menjadi dua macam, yakni putusan sela dan putusan akhir.Putusan sela
adalah putusan yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau
mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.Putusan akhir ialah putusan yang
mengakhiri perkara pada tingkat pemeriksaan pengadilan, meliputi pengadilan
tingkat pertama, pengadilan tinggi dan mahkamah agung.114
HIR tidak memuat ketentuan tentang kekuatan putusan hakim, namun dalam
pasal 180 hanya disebutkan adanya suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan
tetap.Karena ada putusan hakim yang mempunyai kekuatan tetap tentu ada
putusan hakim yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap.Putusan hakim
yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang menurut undang-
undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa
melawn putusan itu.Jadi putusan yang tidak dapat diganggu gugat.Sedangkan
putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang
114 Moh Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata,(Jakarta: PT Rineka Cipta,2004), hlm.129
Universitas Sumatera Utara
menutut ketentuan undang-undang masih terbuka kesempatan mengguunakan
upaya hukum melawan putusan misalnya banding dan kasasi.115
BPSK wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua
puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.
Dalam UUPK Pasal 54 ayat (3) menegaskan bahwa putusan dari majelis
BPSK bersifat final dan mengikat.arti dari putusan yang bersifat final adalah
bahwa tidak adanya upaya banding dan kasasi pada putusan tersebut. Sedangkan
arti mengikat pada sifat putusan tersebut adalah putusan tersebut harus dijalankan
oleh yang diwajibkan untuk itu.
116Segera setelah putusan
diucapkan, maka dimintalah penetapan esksekusinya kepada pengadilan neger
ditempat tergugat berkediaman.Dalam waktu paling lambat 7 hari kerja sejak
menerima putusan BPSK sebagaimana dimaksud Pasal 55 UUPK pelaku usaha
wajib melaksanakan putusan tersebut.Ada hal yang menimbulkan kontradiktif
terhadap putusan BPSK, di mana dalam UUPK pasal 56 Ayat (2) dinyatakan para
pihak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri paling lambat
14(empat belas) hari kerja setelah menerima putusan BPSK.Dengan dibukanya
kesempatan mengajukan keberatan maka dapat dikatakan bahwa putusan BPSK
belum bersifat final atau dapat dikatakan tidak berkekuatan hukum tetap.117
Dalam penjelasan Pasal 54 ayat (3) UUPK menyebutkan putusan majelis
bersifat final adalah tidak adanya upaya hukum banding dan kasasi. Jika
dihubungkan pada ketentuan pasal 56 ayat (2) UUPK, maka dapat diketahui
bahwa ternyata istilah final putusan BPSK hanya dimaknai pada upaya banding,
115Ibid., hlm. 131 116 Pasal 55 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 117 Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen, (Banjarmasin: Penerbit
Nusa Media,2008),hlm.182.
Universitas Sumatera Utara
tetapi tidak termasuk terhadap upaya mengajukan keberatan kepada pengadilan
negeri, yang ternyata atas putusan pengadilan negeri ini UUPK masih membuka
lagi kesempatan untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.118
Putusan Majelis BPSK bersifat nonlitigasi, sehingga apabila ada pihak yang
keberatan atas putusan BPSK tersebut, mereka dapat mengajukan kepada
pengadilan negeri.Dalam arti pula putusan BPSK tidak memiliki kekuatan
eksekutorial.
119
118 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit,hlm. 266 119 Abdul Halim Barkatulah, Op.cit, hlm.184.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
ANALISIS HUKUM PUTUSAN BPSK NO : 036/PEN/III/BPSK-MDN
A. Kasus Posisi Antara Esrawaty Melawan PT Graha Kirana Development Kasus ini merupakan kasus sengketa konsumen yang terjadi antara Esrawaty
Sianturi selaku konsumen pengguna jasa perumahan dengan PT Graha Kirana
Development selaku pelaku usaha dibidang jasa perumahan.Sengketa tersebut
terjadi karena tidak ada kejelasan dari pihak PT Graha Kirana Development
mengenai masalah penyelesaian perumahan yang dijanjikan.
Sengketa bermula pada tahun 2015, dimana pada saat itu marketing PT
Graha Kirana Development menawarkan perumahan Kirana Garden kepada
Esrawaty Sianturi dengan mengatakan bahwa rumah tersebut akan selesai dan
serah terima pada bulan September 2015. Pada tanggal 13 Juli 2015 Esrawaty
Sianturi melunasi DP rumah tersebut dengan menyerahkan uang sebesar Rp
27.500.000,- (dua puluh juta lima ratus ribu rupiah).
Pada akhir tahun 2016, Esrawaty hampir menandatangani akta kredit,
namun dikarenakan terjadi kesalahan dari pihak PT Graha Kirana Development
sendiri sehingga akhirnya Esrawaty menangguhkan proses akad kredit tersebut.
Kemudian ketika ingin melanjutkan proses akad kredit tersebut, Esrawaty
(konsumen) mendapat informasi bahwa perumahan Kirana Garden sedang
bermasalah sehingga proses pemberian berkas ke BTN (Bank Tabungan Negara)
dibatalkan.
Pihak Esrawaty menanyakan kepada Marketing dari Kirana Garden, namun
Ia berbohong dan mengatakan bahwa informasi tersebut tidah benar. Namun,
Universitas Sumatera Utara
setelah pihak Esrawaty memberi tahu informasi yang ditanyakan, pihak Kirana
Garden akhirnya mengaku bahwa sedang ada masalah dengan pihak kontraktor.
Pada tahun 2017, pihak Esrawaty masih menunggu penyelesaian proses
pembangunan perumahan Kirana Garden, namun tidak ada kemajuan. Sementara
itu Esrawaty harus tetap membayar kontrakan rumah tiap tahunnya.
B. Dalil Pemohon (Esrawaty Sianturi)
Pemohon telah melunasi pembayaran DP rumah yang dipesan sebesar
Rp 27.500.00,-. Namun, pemohon enggan untuk menandatangani akad kredit
dikarenakan pihak pelaku usaha mengalami permasalahan dengan pihak
kontraktor. Karena hal tersebut, konsumen sangat dirugikan oleh pihak pelaku
usaha dengan pertimbangan UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
pasal 45 ayat 1 yang menyatakan bahwa Setiap konsumen yang merasa dirugikan
dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan
sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di
lingkungan peradilan umum.Dalam hal ini, konsumen mengadukan masalah
tersebut kepada BPSK Kota Medan. Atas dasar pengaduan konsumen
melampirkan beberapa bukti sebagai berikut:
1. Fotocopy KTP a/n Esrawaty Sianturi
2. Fotocopy Surat Pemesanan Unit
3. Fotocopy Denah Rumah
4. Fotocopy syarat-syarat dan ketentuan surat pemesanan
5. Fotocopy kwitansi pembayaran
6. Fotocopy Surat konsumen kepada PT Kirana Garden tanggal 16 januari
2018
Universitas Sumatera Utara
7. Fotocopy balasan surat PT Kirana Garden No : 004/GK/LGL/I/2018,
tanggal 19 Januari 2018
Dalam dalilnya Esrawaty Sianturi menuntut pihak PT Graha Kirana
Development untuk mengembalikan dana penuh 100% ditambah dengan bunga
yang harus dibayar sekaligus tanpa dicicil
C. Dalil Termohon (PT Graha Kirana Development)
Dalam penyelesaian sengketa antara Esrawaty melawan PT Graha Kirana
Development, Manajemen PT Graha Kirana Development memberi tanggapan
untuk Esrawaty bahwa DP adalah tanda jadi (panjar) pemesan unit rumah, yang
harus dilanjutkan dengan pembayaran jual beli (dengan cara KPR, tunai bertahap
atau tunai keras). Namun, hingga saat ini konsumen tidak melanjutkan
pembayaran sebagaimana seharusnya. Pembangunan unit yang dipesan konsumen
menggunakan fasilitas indent bukan fasilitas ready stock (rumah dibangun
terlebih dahulu baru dijual belikan) yang artinya bahwa pelunasan pembayaran
harus dilakukan terlebih dahulu baru unit yang dipesan dilaksanakan
pembangunannya sebagaimana yang sudah disampaikan sales perusahaan.
Dikarenakan belum dilakukannya pelunasan pembayaran oleh konsumen,
perusahaan belum dapat menyelesaikan pembangunan unit secara
keseluruhan.Oleh sebab itu, perusahaan mengharapkan konsumen untuk
menyiapkan berkas yang dibutuhkan oleh Bank agar pross KPR bisa dilaksanakan
dan unit bisa diselesaikan sebagaimana yang tercantum dalam Surat Pesanan Unit
(SPU).
Universitas Sumatera Utara
Melihat pengaduan yang dilakukan konsumen untuk meminta pengembalian
DP, berlaku ketentuan yang ada dalam SPU yang telah disepakati bersama sejak
awal pemesanan unit, yaitu:
- Apabila pemesanan Unit batal maka :
Dalam SPU berlaku ketentuan sebagai berikut:
(i) Apabila pemesan telah membayar angsuran (termasuk booking fee,
down payment/angsuran down payment dan pembayaran lain) kurang
dari atau 20 % dari harga unit rumah maka seluruh pembayaran
angsuran tersebut menjadi hak dan milik penerima pesanan, pemesan
tidak dapat menuntut kembali seluruh atau sebagian pembayaran
angsuran tersebut;
Dalam perjanjian pengikatan jual beli berlaku ketentuan sebagai berikut :
a. Apabila pihak kedua telah membayar angsuran kurang dari atau sampai
dengan 20% (dua puluh persen) dari harga pengikatan, maka seluruh
pembayaran angsuran tersebut menjadi hak dan milik pihak pertama dan
pihak kedua tidak dapat menuntut kembali seluruh atau sebagian
pembayaran angsuran tersebut.
- Bahwa sesuai dengan azas pacta sun servanda dijelaskan bahwa setiap
perjanjian mengikat dan semua persetujuan yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bai mereka yang membuatnya (pasal
1338 KUHPerdata);
- Bahwa persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu dikarenakan perjanjian
Universitas Sumatera Utara
tersebut sudah sesuai dengan syarat sah perjanjian sesuai dengan pasal
1320 KUHPerdata;
-
D. Pertimbangan Majelis Hakim BPSK
Dasar pertimbangan yang diambil majelis hakim BPSK dalam penyelesaian
sengketa antara Esrawaty melawan PT Graha Kirana Development yaitu :
1. Bahwa maksud dan tujuan perkara ini adalah seperti yang telah
diuraikan.
2. Bahwa yang dimaksud dengan konsumen menurut Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam pasal 1
angka (1) adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3. Bahwa yang dimaksud dengan pelaku usaha menurut Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam pasal 1
angka (3) adalah setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi.
4. Bahwa konsumen dan pelaku usaha memiliki hubungan hukum
berdasarkan Surat Pesanan Unit No 1505005547 yang dijadikan
lampiran bukti oleh konsumen.
Universitas Sumatera Utara
5. Bahwa konsumen ada membeli rumah dengan cara memesan Unit
Claster 2 Blok 2-A No Unit 2-A-12, namun pembangunan rumah
tersebut belum selesai sampai sekarang.
6. Bahwa konsumen merasa telah dirugikan akibat tindakan pelaku usaha
yang tidak memenuhi janjinya menyelesaikan dan/atau menyerahkan
rumah yang telah dipesan dan/atau dibeli oleh konsumen.
7. Bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, pasal 45 ayat 1 dinyatakan bahwa Setiap konsumen yang
merasa dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha
atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
8. Bahwa konsumen telah mengadukan masalah ini kepada BPSK Medan
untuk diselesaikan demi mendapatkan kepastian hukum.
9. Bahwa majelis BPSK telah memberikan kesempatan kepada keduabelah
pihak untuk berdamai, namun tidak mendapatkan hasil yang baik dalam
penyelesaian.
10. Bahwa kewajiban pelaku usaha dalam pasal 7 huruf g Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 adalah wajib memberikan kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
11. Bahwa kewajiban pelaku usaha dalam pasal 7 huruf a Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 adalah wajib beriktikad baik dalam melakukan
kegiatan usahanya, maka seharusnya janji yang diberikan kepada
konsumen itu harus ditunaikan.
Universitas Sumatera Utara
12. Bahwa dalam pasal 16 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 pelaku
usaha dilarang untuk tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan
waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan.
13. Bahwa asas perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam pasal 2
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah manfaat, keadilan serta
kepastian hukum. Maka Konsumen harus mendapatkan manfaat,
keadilan dan kepastian hukum atas sengketa tersebut.
14. Bahwa tujuan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dalam
pasal 3 huruf e Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah
menumbuhkan kesadarab pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan
bertanggungjawab dalam berusaha.
15. Bahwa tugas dan wewesang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) adalah menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis
dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi atau arbitrase, memmutuskan
dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian dipihak konsumen, dan
menjatuhkan sanksi administrative kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
16. Bahwa demi asas kepastian hukum dalam perlindungan konsumen maka
sengketa ini harus diselesaikan berdasarkan kewenangan tersebut.
E. Analisis Putusan No. 036/PEN/III/BPSK-MDN
Universitas Sumatera Utara
Perlindungan konsumen menurut pasal 1 angka 1 UU Nomor 8 Tahun 1999
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen. Pengertian tersebut menggambarkan bahwa pada
dasarnya hubungan antara konsumen adalah hubungan hukum yang menimbulkan
hak dan kewajiban secara timbal balik antara para pihak.
Berdasarkan putusan BPSK No. 036/PEN/III/BPSK-MDN bahwa terjadi
keterlamban penyelesaian pembangunan perumahan kirana garden yang telah di
pesan konsumen dan juga pemberian informasi yang tidak jujur. Dalam putusan
majelis BPSK tersebut, pihak pelaku usaha telah melanggar pasal 4 huruf c dan h
UUPK mengenai hak konsumen. Adapun hak-hak tersebut ialah sebagai berikut:
1. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.
Informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa perlu disampaikan oleh pelaku usaha agar konsumen tidak
mempunyai gambaran yang keliru mengenai produk barang dan/atau jasa
yang digunakan agar konsumen tidak merasa dirugikan di kemudian hari
setelah penggunaan barang dan/atau jasa tersebut. Dalam kasus ini,
Esrawaty sianturi tidak mendapatkan informasi yang jelas mengenai
penyelesaian perumahan yang telah ia pesan kepada pihak kirana garden.
2. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya.
Sengketa konsumen antara esrawaty sianturi dengan pihak kirana garden
yang diselesesaikan di BPSK diputuskan dengan adanya pengembalian uang
Universitas Sumatera Utara
yang telah dibayarkan konsumen. Dalam hal ini pihak kirana garden
mendapatkan kembali uang DP yang telah dibayarkan sebelumnya yang
berjumlah Rp 27.500.000,- (dua puluh juta lima ratus ribu).
1. Kedudukan Putusan Arbitrase oleh BPSK Kota Medan
Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan
yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya
penyelesaian sengketa kepada BPSK. Setiap putusan arbitrase pada dasarnya
hukum yang mengikat terhadap para pihak yang bersangkutan.Hal ini sejalan
dengan pasal 54 ayat 3 UUPK yang menyatakan bahwa putusan majelis bersifat
final dan mengikat. Berdasarkan pasal 42 ayat 1 Kepmenperindag Nomor
350/MPP/12/2001 menyatakan bahwa putusan BPSK merupakan putusan yang
final dan mengikat para pihak sehingga para pihak harus dengan itikad baik
menjalankan hal yang sudah disepakati. Agar putusan tersebut dapat menjadi
putusan yang bersifat eksekutorial, terhadap putusan tersebut dapat dimintakan
eksekusi ke Pengadilan Negeri.
Putusan Arbitrase dari majelis BPSK Kota Medan bersifat final dan
mengikat.arti dari putusan yang bersifat final adalah bahwa tidak adanya upaya
banding dan kasasi pada putusan tersebut. Sedangkan arti mengikat pada sifat
putusan tersebut adalah putusan tersebut harus dijalankan oleh yang diwajibkan
untuk itu.dengan begitu, putusan BPSK No. 036/PEN/III/BPSK-MDN secara
hukum mengikat antara Esrawaty dengan PT Graha Kirana Development. Para
pihak wajib menjalankan putusan yang telah ditetapkan.Dalam putusan BPSK No.
036/PEN/III/BPSK-MDN, PT Graha Kirana Development diwajibkan untuk
mengembalikan sejumlah uang yang telah dibayarkan Esrawaty selaku konsumen.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hal tersebut, putusan arbitrase BPSK No. 036/PEN/III/BPSK-
MDN mempunyai kedudukan yang sejajar serta mempunyai kekuatan hukum
yang sama dengan putusan hakim dan mengikat para pihak. Namun, dalam tahap
eksekusinya putusan arbitrase masih tergantung pada kewenangan Pengadilan
Negeri.
2. Analisis Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui Arbitrase oleh BPSK Kota Medan Berdasarkan pasal 45 UUPK, Konsumen dapat menuntut haknya apabila
merasa dirugikan oleh pelaku usaha, yaitu sebagai berikut:
1. Setiap konsumen yang merasa dirugikan dapat menggugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di
lingkungan peradilan umum.
2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan
atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa.
3. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan tidak menghilangkan
tanggungjawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang.
4. Apabila telah dipilih penyelesaian sengketa di luar pengadilan, gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang
bersengketa.
Dari putusan BPSK No. 036/PEN/III/BPSK-MDN, dapat dilihat bahwa
Konsumen (Esrawaty) akhirnya mengadukan permasalahannya dengan pihak
Kirana Garden kepada BPSK Kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK mengacu pada
Kepmenperindag Nomor 350/MPP/12/2001 tentang Pelaksanaan tugas dan
wewenang BPSK. Dalam penyelesaian sengketa antara Esrawaty melawan PT
Graha Kirana Development oleh BPSK Kota Medan Sesuai dengan
Kepmenperindag Nomor 350/MPP/12/2001 yang terdiri dari 3 tahap yaitu tahap
permohonan, tahap persidangan dan tahap putusan. Namun, didalam tahap
tersebut terdapat beberapa proses yang tidak berjalan sesuai dengan ketentuan.
1. Tahap permohonan
Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
penyelesaian sengketa baik tertulis maupun lisan kepada BPSK.Pengaduan
konsumen dapat dilakukan di tempat BPSK yang terdekat dengan domisili
konsumen. Dari putusan BPSK No. 036/PEN/III/BPSK-MDN, dapat dilihat
bahwa Konsumen (Esrawaty) yang beralamat di jalan Pinus 17 No 12 Perumnas
Simalingkar Medan mengadukan permasalahannya dengan pihak Kirana Garden
kepada BPSK Kota Medan. Pihak konsumen merasa telah dirugikan atas
ketidakjujuran pelaku usaha mengenai penyelesaian pembangunan unit rumah
yang telah dipesan. Dalam pengaduannya, Esrawaty menuntut pengembalian dana
100% fullditambah dengan bunga serta pembayarannya dilakukan sekaligus tanpa
dicicil. Pada tahap permohonan penyelesaian sengketa Esrawaty melampirkan
bukti-bukti yang mendukung berupa:
1. Fotocopy KTP a/n Esrawaty Sianturi
2. Fotocopy Surat Pemesanan Unit
3. Fotocopy Denah Rumah
4. Fotocopy syarat-syarat dan ketentuan surat pemesanan
Universitas Sumatera Utara
5. Fotocopy kwitansi pembayaran
6. Fotocopy Surat konsumen kepada PT Kirana Garden tanggal 16 januari
2018
7. Fotocopy balasan surat PT Kirana Garden No : 004/GK/LGL/I/2018,
tanggal 19 Januari 2018
Pada tahap ini Ketua BPSK juga harus membentuk majelis dan menunjuk
panitera. Ketua BPSK Kota Medan membentuk Majelis BPSK berjumlah 3 orang
yaitu Syahrizal Arif, S.E., S.H., MM sebagai Ketua Majelis, M. Djanel Hamjas,
S.H., dan Faisal Riza, S.H.,M.H yang masing-masing sebagai anggota Majelis
serta Sandra Komala Pontas,S.T sebagai Panitera.
2. Tahap Persidangan
Pada persidangan dengan cara arbitrase, para pihak menyerahkan
sepenuhnya kepada Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk
memutuskan dan menyelesaikan sengketa yang terjadi.
Persidangan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa antara Esrawaty
melawan PT Graha Kirana Development dilaksanakan cukup lama.Hal ini
dikarenakan dalam beberapa kali panggilan untuk menghadiri persidangan, pihak
PT Graha Kirana Development tidak hadir.
Persidangan pertama dilakukan pada tangal 5 April 2018, BPSK Kota
Medan memanggil para pihak untuk didengar keterangannya, namun pelaku usaha
tidak hadir.Tanggal 12 April 2018 persidangan dilanjutkan, namun pelaku usaha
juga tidak berhadir. Selanjutnya tanggal 19 April 2019 sidang kembali dilanjutkan
dan majelis memanggil para pihak untuk berhadir. Esrawaty selaku konsumen
hadir dalam persidangan akan tetapi PT Graha Kirana Development selaku Pelaku
Universitas Sumatera Utara
usaha tidak hadir namun diwakilkan kepada kuasa hukumnya. Pada persidangan
tersebut, majelis hakim BPSK Kota medan berusaha untuk mendamaikan para
pihak namun tidak mendapatkan hasil yang baik dalam penyelesaiannya. Sidang
kembali dilanjutkan pada tanggal 26 April 2018 dan pada persidangan tersebut
pihak pelaku usaha memberikan tanggapan yang mengatakan bahwa DP yang
telah dibayar merupakan tanda jadi (panjar) pemesanan unit rumah yang dipesan,
sehingga apabila unit rumah yang telah dipesan ingin diselesaikan
pembangunannya maka pihak konsumen harus melanjutkan pembayaran jual beli
baik dengan cara KPR, tunai bertahap ataupun tunai keras. Dan untuk
pengembalian DP berlaku ketentuan dalam SPU yang telah disepakati antara
konsumen dan pelaku usaha.Dalam SPU yang disepakati apabila pemesan telah
membayar angsuran kurang dari atau 20% dari harga unit rumah maka seluruh
pembayaran menjadi hak milik penerima pesanan.Dalam kasus ini, Esrawaty
hanya membayar DP saja dan belum melakukan pembayaran angsuran rumah
yang dipesan.
3. Tahap Putusan
Putusan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sedapat mungkin
didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat. Hasil penyelesaian
sengketa konsumen dengan cara arbitrase dibuat dalam bentuk putusan yang
ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis. Dalam hal ini, hasil penyelesaian
sengketa antara Esrawaty dengan PT Graha Kirana Development dibuat dalam
putusan BPSK No. 036/PEN/III/BPSK-MDN.
Menurut pasal 40 ayat 1 Kepmenperindag No 350 Tahun 2001, putusan
BPSK dapat berupa:
Universitas Sumatera Utara
a. Perdamaian;
b. Gugatan ditolak;
c. Gugatan dikabulkan.
Manakala gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan
kewajiban yang harus dilakukan pelaku usaha berupa ganti kerugian ataupun
sanksi administrasi berupa penetapan ganti kerugian Terhadap penyelesaian
sengketa antara Esrawaty melawan PT Graha Kirana Development, BPSK Kota
Medan dalam putusannya mengabulkan gugatan Esrawaty selaku
konsumen..Majelis BPSK Kota Medan dalam putusannya No.
036/PEN/III/BPSK-MDN memberikan amar putusannya sebagai berikut,
PertamaMenerima pengaduan konsumen sebahagian, KeduaMenyatakan
konsumen berhak atas uang yang telah dibayarkan, Ketiga Mewajibkan pelaku
usaha untuk mengembalikan uang yang telah dibayarkan, KeempatMenolak
permohonan konsumen selebihnya, KelimaMembebankan biaya perkara kepada
Negara.
Dalam putusan BPSK No. 036/PEN/III/BPSK-MDN, Majelis Hakim
mengabulkan permohonan konsumen sebahagian dan menolak Permohonan
selebihnya. Permohonan sebahagian konsumen yang dikabulkan ialah pemenuhan
ganti kerugian berupa pengembalian uang yang nilainya setara yaitu
pengembalian DP yang telah dibayar sebesar Rp 27.500.000,-. Permohonan
selebihnya yang ditolak ialah pengembalian bunga. Biaya penyelesaian sengketa
di BPSK Rp 0,- karena seluruh biaya dibebankan kepada negara.
Berdasarkan penjelasan diatas, menurut penulis penyelesaian sengketa
dalam putusan BPSK No. 036/PEN/III/BPSK-MDN antara Esrawaty melawan PT
Universitas Sumatera Utara
Graha Kirana Development masih belum sesuai dengan kaidah yang terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dan Kepmenperindag Nomor 350/MPP/12/2001.
Berdasarkan pasal 38 Kepmenperindag Nomor 350/MPP/12/2001 majelis
wajib memutuskan sengketa konsumen selambat-lambatnya 21 hari kerja
terhitung sejak gugatan diterima BPSK.Dalam penyelesaian sengketa antara
Esrawaty melawan PT Graha Kirana Development tidak sesuai dengan ketentuan
dalam pasal 38 Kepmenperindag Nomor 350/MPP/12/2001 tersebut.Sengketa
antara Esrawaty melawan PT Graha Kirana Development diputuskan tanggal 3
Mei 2018 dimana telah melebihi jangka waktu yang diatur dalam
Kepmenperindag Nomor 350/MPP/12/2001.Lamanya putusan tersebut disebabkan
pelaku usaha yang tidak berhadir beberapa kali dalam persidangan yang telah
ditentukan. Meskipun demikian, tidak ada ketentuan mengenai akibat hukum apa
yang akan ditimbulkan apabila penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK
Kota Medan melebihi 21 hari.
Universitas Sumatera Utara
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan dari uraian pembahasan maka penulis menarik kesimpulan dari
penelitian ini sebagai berikut:
1. Kedudukan BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen ialah sebagai
salah satu lembaga yang menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen
di luar pengadilan yang mempunyai tugas, fungsi dan wewenang
sebagaimana diatur dalam UUPK. BPSK tidak diperbolehkan atau berhak
menolak permohonan penyelesaian sengketa yang diajukan pada kantor
BPSK apabila tidak memenuhi syarat pengajuan permohonan, perkara
bukan sengketa konsumen atau sengketa konsumen yang telah diperjanjikan
akan diselesaikan di tempat lain oleh para pihak.
2. Penyelesaian sengketa oleh BPSK melalui proses arbitrase dilakukan dan
diputuskan sepenuhnya oleh majelis yang bertindak sebagai arbiter. Majelis
BPSK terdiri dari unsur konsumen, unsur pelaku usaha dan unsur
pemerintahan. Penyelesaia sengketa melalui arbitrase di BPSK Kota Medan
mengacu pada UUPK dan Kepmenperindag No 350/MPP/Kep/12/2001.
Proses dalam penyelesaian sengketa di BPSK dilakukan dengan cepat, mudah,
murah serta jauh dari sifat formal. Salah satu cara penyelesaian sengketa di
BPSK Kota Medan ialah Abitrase. Dalam arbitrase, para pihak memberikan
wewenang kepada piha ketiga (Majelis/arbitor) yang bersifat netral untuk
Universitas Sumatera Utara
menyelesaikan sengketa para pihak. Prosedur Penyelesaian sengketa konsumen
melalui arbitrase di BPSK terbagi kedalam 3 tahap yaitu tahap permohonan
penyelesaian sengketa, tahap persidangan dan tahap putusan.
3. Penyelesaian sengketa antara Esrawaty melawan PT Graha Kirana
Development dalam putusan NO : 036/PEN/III/BPSK-MDN, BPSK Kota
Medan dalam jangka waktu pemberian putusan tidak sesuai dengan ketentuan
yang ada dalam UUPK dan Kepmenperindag Nomor 350/MPP/12/2001.
Dalam UUPK dan Kepmenperindag Nomor 350/MPP/12/2001 jangka
waktu putusan ialah 21 hari kerja sejak permohonan namun dalam kasus ini
putusan diberikan lebih dari 21 hari dikarenakan PT Graha Kirana
Development selaku pelaku usaha yang tidak berhadir dalam beberapa
persidangan. Putusan BPSK bersifat mengikat antara kedua belah pihak.
B. SARAN
1. UUPK tidak menjelaskan secara rinci mengenai ruang lingkup sengketa
konsumen yang dapat diselesaikan di BPSK. Permenperindag menyatakan
bahwa sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dan
konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau
yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang atau memnfaatkan
jasa. Oleh sebab itu, penulis menyarankan agar pemerintah memberikan
standard mengenai sengketa yang dapat diselesaikan di BPSK.
2. Dihimbau kepada masyarakat agar menyadari peranan hukum perlindungan
konsumen yang mengatur adanya lembaga yang dapat menyelesaikan
sengketa diluar pengadilan yaitu BPSK. Selain itu, perlu adanya ketelitian
bagi masyarakat sebelum mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dipasarkan oleh pelaku usaha, serta pelaku usaha diharapkan lebih
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan pelayanan dan keakuratan mengenai informasi produk yang
dipasarkan.
3. BPSK kota Medan dalam Penyelesaian sengketa harusla sesuai dengan
kaidah yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Agar
penyelesaian sengketa oleh BPSK dapat dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan, para pihak yang bersengketa juga harus beriktikad baik dan
melaksanakan setiap prosedur yang telah ditentukan.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Zainuddin. 2016. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika
Barkatulah, Abdul Halim. 2008.Hukum Perlindungan Konsumen. Banjarmasin:
Penerbit Nusa Media
Fuady, Munir. 2000.Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis.
Bandung: Citra Aditya Bakti
Hidayanti, Fitri. 2014.Efektifitas Penerapan Arbitrase Dalam Menyelesaiakan
Sengketa Perbankan. Fakultas Hukum USU
Kolopaking, Anita D A. 2013.Asas Iktikad Baik dalam Penyelesaian Sengketa
Kontrak Melalui Arbitrase. Bandung: PT Alumni
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2008.Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar
Grafika
Makarao, Moh Taufik. 2004.Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: PT
Rineka Cipta
Miru, Ahmadi. 2013.Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di
Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2017.Hukum Perlindungan Konsumen.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Nasution, AZ.2002. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta:
Diadit Media
Nugroho, Susanti Adi. 2011.Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau
dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya. Jakarta: Kencana
Universitas Sumatera Utara
Siagian, NHT. 2005.Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen Dan
Tanggungjawab Produk. Jakarta: Panta Rei
Soekanto, Soerjono.1979.Mengenai Antropologi Hukum. Bandung: Alumni
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press
Shofie, Yusuf. 2003. Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori dan Praktek Penegakan Hukum.
Bandung: Citra Aditya Bakti
Sudiarto, Zaeni Asyhadie. 2004.Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif
Penyelesaian Sengketa Bisnis. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. 1997.Hukum Acara Perdata
Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju
Umam, Khotibul. 2010.Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan. Yogyakarta:
Pustaka Yustisia
Zulham. 2013. Hukum Pelindungan Konsumen. Jakarta: Kencana
Peratutan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Badan Penyelasain SengketaKonsumen
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 06/M-
DAG/PER/2/2017 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Universitas Sumatera Utara
Lain-Lain
Arif Rahman, Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Serang, Jurnal Ilmu Hukum, STKIP
Pelita Pratama, Vol. 2 No. 1. Juni 2018
https://business-law.binus.ac.id/2017/05/31/ragam-dan-bentuk-alternatif
penyelesaian-sengketa/, diakses tanggal 9 Mei 2019, Pukul 12.11 WIB
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara