PENYELESAIAN PERCERAIAN DALAM PERKARA KEKERASAN DALAM...
Transcript of PENYELESAIAN PERCERAIAN DALAM PERKARA KEKERASAN DALAM...
PENYELESAIAN PERCERAIAN DALAM PERKARA
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(Analisa terhadap Putusan Perkara Nomor. 607 / pdt. G / PA
Depok Jawa Barat)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu
persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
JAJANG SUDIAR NIM. 106044101409
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A 1431 H / 2010 M
PENYELESAIAN PERKARA PERCERAIAN YANG
DISEBABKAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(Analisa Putusan Perkara Nomor. 607 / pdt. G / PA
Depok Jawa Barat)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh
Jajang Sudiar NIM: 106044101409
Pembimbing I
Drs. H. Asep Syarifuddin. H, SH, MH
NIP: 195505051982031012
Pembimbing II
Dra. Rosdiana, MA. NIP: 196906102003122001
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL ASYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul ”Penyelesaian Perceraian Dalam Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Analisa terhadap Putusan Perkara Nomor. 607 / pdt. G / PA Depok Jawa Barat)” telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 September 2010 skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah (Peradilan Agama).
Jakarta, 6 September 2010 Disahkan oleh Dekan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH.,MA.,MM NIP. 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua : Drs. H. A Basiq Djalil, SH., MA (...........................) NIP. 195003061976031001 Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag., MH (...........................) NIP. 197202241998031 Pembimbing I : Drs. H. Asep Syarifudin Hidayat, SH., MH. (...........................) NIP. 195505051982031012 Pembimbing II : Rosdiana, MA. (...........................) NIP. 196906102003122001 Penguji I : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH.,MA.,MM (...........................) NIP. 195505051982031012 Penguji II : Drs. H. A Basiq Djalil, SH., MA (...........................) NIP. 195003061976031001
KATA PENGANTAR
بسم اهللا الرحمن الرحيم
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
berbagai kenikmatan yang diberikan kepada penulis sehingga bisa tercapainya tujuan
penulis untuk menyelesaikan salah satu kewajiban penulis untuk memuntut ilmu
dengan menyelsaikan studi S1, mudah-mudahan ilmu yang didapatkan bisa
diamalkan dan bermanfaat bagi penulis khususnya dan masyarakat umumnya.
Shalawat dan salam senantiasa penulis haturkan kepada panutan kita penutup
para nabi yakni Nabi Muhammad SAW kepada keluarganya, sahabatnya, dan mudah-
mudahan kepada kita selaku umatnya yang taat pada ajarannya. Dalam
menyelesaikan tugas akhir kuliah ini penulis mengangkat temana tentang
”Penyelesaian Perkara Perceraian Yang Disebabkan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (Analisa Putusan Perkara Nomor 607 / pdt.G / PA Depok Jawa Barat)”
Dengan penuh kerendahan hati bahwa dalam menyelesaikan skipsi ini
terdapat pihak-pihak yang telah membantu, untuk itu penulis mengucapkan
terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi
ini yaitu kepada bapak/ibu:
1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH. MA. MM. Dekan Fakultas Syariah Dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. A. Basik Djalil, SH. MA. Ketua Prodi Akhwal Al Syahsiyyah, dan
Kamarusdiana, S.Ag. MH. Selaku skretaris Prodi Akhwal Al Syahsiyyah.
i
3. Drs. H. Asep Syarifuddin, H, SH. MH. Dan Dra. Rosdiana, MA. selaku dosen
pembimbing skripsi terimakasih atas perhatian dan bimbingannya
4. Segenap pengurus perpustakaan Fakultas Syariah Dan Hukum dan
Perpustakaan Utama yang telah memberiakn pelayanan dalam yang baik.
5. Kepada bapak Abas dan ibu Siti, selaku orang tua kami yang selalu
memotifasi dan memberikan curahan kasih sayang yang tiada henti-hentinya
kepada penulis agar tercapai cita-citanya.
6. Kepada kaka kami teh Yuyum, teh Entin, ka Jajat, ka Kamal, ka Dede,teh Fitri
dan sodara-sodara yang selalu memberikan dorongan motifasi baik materil
ataupun inmateril kepada penulis
7. Kepada teman-teman kesatuan aksi mahasiswa muslim indonesisa (KAMMI)
komsat UIN dan KAMMI TANGSEL, teman-teman angkatan Hasan Al Bana,
Galuh Jaya, teman-teman satuperjuangan di kelas yang selalu memberikan
masukan dan motifasinya kepada penulis.
8. Segenap pengurus dan pembina Rumah Cita Yayasan Irtiqo Kebajikan, adik-
adik binaan rumah cita, dan para dosen yang telah membimbing penulis dalam
menuntut ilmu di bangku kuliah ataupun di diluar trimakasih kepada
semuanya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk jadi
bagian dalam bimbingannya.
Akhirnya penulis dengan segala kerendahan hati, berharap semoga kebaikan
dan pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis akan mendapat balasan yang
ii
iii
berlipat ganda dari Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna
dikemudian hari dan memberikan manfaat bagi semua pihak dan semoga yang telah
penulis lakukan mendapat ridho dari Allah SWT, amin.
Jakarta, 22 Agustus 2010 M 12 Ramadhan 1431 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 1
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah............................................... 6
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ....................................................... 6
D. Studi Revieu Terdahulu .................................................................... 7
E. Metode Penelitian ............................................................................. 9
F. Sistematika Pembahasan ................................................................... 10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN ............................. 12
A. Pengertian Perceraian....................................................................... 12
B. Pengertian Perceraian Menurut Hukum Islam .................................. 14
C. Pengertian Perceraian Menurut Hukum Positif................................ 20
D. Macam-Macam Perceraian................................................................ 23
BAB III KAJIAN TEORITIS TENTANG KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA............................................................................... 40
A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga...................................
B. Kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No. 23 tahun 2004 .... 44
C. Faktor-faktor penyebab munculnya Kekerasan Dalam Rumah
Tangga .............................................................................................. 48
iv
v
D. Pandangan Hukum Islam Terhadap Kekerasan Dalam Rumah
Tangga............................................................................................... 56
E. Pandangan Hukum Positif Terhadap Kekerasan Dalam Rumah
Tangga............................................................................................... 61
BAB IV ANALISA PUTUSAN PERADILAN AGAMA DEPOK .................. 66
A. Profil Peradilan Agama Depok ......................................................... 66
B. Prosedur Penyelesaian Perkara Cerai Di PA Depok......................... 71
C. Putusan Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Studi Analisis Putusan Nomor 607 / pdt. G / PA Depok Jawa
Barat)................................................................................................. 74
D. Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara.......................... 77
E. Analisa Penulis Hasil Penelitian ....................................................... 80
BAB V PENUTUP............................................................................................... 88
A. Kesimpulan ....................................................................................... 88
B. Saran.................................................................................................. 90
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 92
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberagaman masalah dalam perkawinan yang terjadi pada masa kini
banyak menyentak perhatian dari berbagai kalangan. Implikasi-implikasi dari
persoalan dalam perkawinan bukan hanya tidak tercapainya tujuan perkawinan
tetapi sudah mencapai pada kondisi yang sudah sangat memprihatinkan, seperti
banyaknya kasus perceraian yang diakibatkan oleh tindakan kekerasan dalam
rumah tangga dengan dipicu oleh berbagai faktor baik faktor emosional
keharmonisan, faktor ekonomi dan lain sebagainya. Kenyataan ini seharusnya
dapat dijadikan sebagai masukan berharga yang dapat menggugah kesadaran
semua pihak. Padahal kalau kita lihat tujuan dari sebuah pernikahan sebagai mana
yang disebutkan dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 pasal 1 adalah: “
perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa”. 1
Dari isi pasal tersebut dapat kita tarik pemahaman bahwa tujuan dari suatu
pernikahan adalah:
1. Membentuk keluarga yang kekal dan bahagia.
1 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI), Departemen Agama RI, Direktur Jendral Kelembagaan Agama Islam Tahun 2001.
1
2
2. Berdasarkan ikatan-ikatan agama dalam perkawinan.
3. Kedua belah pihak harus menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
menjalankannya.
4. Bisa menjadi suri tauladan bagi keluarga dan masyarakat.
Tentu tujuan tersebut tidak bisa dicapai begitu saja tanpa ada satu
kemauan berarti yang dapat diwujudkan dalam sebuah aturan. Sebagai salah satu
syarat yang harus dipenuhi dalam memasuki perkawinan, perkawinan rumah
tangga adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan melalui akad nikah (ijab dan kobul) dengan tujuan untuk membentuk
rumah tangga bahagia dan sejahtera.2 Pernikahan atau perkawinan merupakan
sunnatullah yang artinya perintah Allah SWT dan Rasulnya, tidak hanya semata-
mata keinginan manusia semata atau hawa nafsunya saja, karena seseorang yang
telah berumah tangga berarti ia telah menjalankan sebagian dari syari’at islam.3
Seperti yang difirmankan Allah SWT, dalam Al Quran surat An-Nur ayat 32 :
☺
)32: النور (
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka
2 Sidi Nazar Bakry “Kunci Keutuhan Rumah Tangga, Keluarga yang Sakinah” (Pedoman Ilmu Jaya,2001) cet. I, h.2 3 Ibid., h.3.
3
miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S.An Nur :32).
Selanjutnya juga diterangkan Dalam Al Qur’an Surat An–Nisa ayat 3:
☺ )3:النور(
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S.An Nur: 3).
Pada hakikatnya, seseorang yang melakukan akad pernikahan adalah
saling berjanji serta berkomitmen untuk saling membantu, menghargai dan
menghormati satu dengan yang lainnya. Sehingga tercapailah kebahagian dan
cita-cita yang diinginkan. Tujuan perkawinan itu tertulis pada Kompilasi Hukum
Islam atau yang biasa kita sebut dengan KHI, pada pasal 3 yang berbunyi:
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rohmah.”4
Islam sendiri menghendaki dicapainya suatu makna yang di mulia dari
suatu perkawinan atau kehidupan berumah tangga.5
4 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Departemen Agama RI, Direktur Jendral Kelembagaan Agama Islam Tahun 2001, h.14.
4
Tujuan lain dari pernikahan adalah untuk memenuhi petunjuk agama
dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera
artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan
hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang
antara anggota keluarga. Selain itu untuk membangun suatu kehidupan (berumah
tangga) yang penuh kasih sayang, tenggang rasa, toleransi, solidaritas dan
kesederhanaan akhlak yang semuanya akan membawa seseorang pada keimanan
dan ketakwaan yang sempurna.6
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kenyataan hidup yang
terdapat di masyarakat roda kehidupan berjalan dengan dinamis, tidak lepas dari
perselisihan antara anggota keluarga tersebut terlebih antara suami dan isteri.
Kenyataan hidup seperti itu menimbulkan bahwa memelihara kelestarian
kesinambungan hidup bersama suami isteri itu bukanlah perkara yang mudah
dilaksanakan, bahkan dalam banyak hal kasih sayang dan kehidupan yang
harmonis antara suami isteri tidak dapat diwujudkan. Munculnya perubahan
pandangan hidup yang berbeda antara suami dan isteri, timbul perselisihan
pendapat antara keduanya, berubah kecenderungan hati pada masing-masing
memungkinkan timbulnya krisis rumah tangga yang merubah suasana harmonis
menjadi percekcokan, persesuaian menjadi pertikaian, kasih sayang menjadi
5 Abduttawab Haikal, Illyas Ismail Al Sendany, et. Al (pent) “Rahasia Rasulullah Saw, Poligami Dalam Islam Versus Monogamy Barat” (Jakarta: Pedoman Ilu Jaya, 1988), h.7 6 Abduttawab Haikal, Op.cit, h.10
5
kebencian. Perselisihan yang terjadi adalah suatu hal yang sangat sering dijumpai
dalam kehidupan dalam rumah tangga, dimana hal tersebut adalah sesuatu yang
wajar selama tidak disertai dengan tindak kekerasan. Dalam masyarakat kita yang
mayoritas laki-laki memiliki peran yang lebih dominan dibandingkan dengan
perempuan dan posisi perempuan dianggap lemah dalam masyarakat (patriarki),
istri memiliki peluang untuk mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari
suaminya sehingga perselisihan yang terjadi antara suami dengan istri tidak jarang
disertai dengan kekerasan dalam pertikaian-pertikaian tersebut. Akan tetapi tidak
menutup kemungkinan suami yang menjadi korban kekerasan tersebut.
Kekerasan yang dialami dalam pertikaian tersebut bukan hanya sebatas
kekerasan fisik semata, kekerasan itu bisa berbentuk psikis, ekonomi, dan seksual.
Termasuk kekerasan seksual dalam relasi perkawinan, dengan cakupan bentuk
pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang wajar maupun yang tidak wajar.7
Perselisihan yang terjadi antara suami dengan isteri yang disertai
kekerasan baik fisik, psikis, ekonomi, bahkan seksual, secara langsung sangat
berpengaruh terhadap jalannya bahtera rumah tangga tersebut. Yang pada
puncaknya terjadilah perceraian. Dari permasalahan inilah peneliti melakukan
penelitian tentang “PENYELESAIAN PERCERAIAN DALAM PERKARA
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA”(Analisis terhadap Putusan
7 Suara Apik, lahirnya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT): Sebuah Bentuk Terobosan Hukum Dan Implikasinya Terhadap Hukum Nasional, (Jakarta: lbh Apik, 2005), Edisi 28, h.4
6
Peradilan Agama Depok Perkara Nomor 607 / Pdt. G / PA. Depok. Jawa
Barat)
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan masalah
Agar dalam pembahasan ini tidak meluas, maka dalam penelitian ini
peneliti terfokus pada kasus cerai gugat yang disebabkan oleh tindak
kekerasan dalam rumah tangga di Peradilan Agama Depok.
2. Perumusan masalah
Pada dasarnya undang-undang yang mengatur kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) telah mempunyai undang-undang tersendiri, yakni undang-
undang nomor 23 tahun 2004 tentang “penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga” namun pada kenyataannya masih banyak orang yang melakukan
tindak kekerasan dalam rumah tangga tersebut khususnya kepada pihak isteri.
Agar dalam pembahasan skripsi ini terarah dan tersusun secara sistematis
pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis perjelas
tentang pokok-pokok bahasan dengan memberikan batasan dan perumusan
masalah sebagai berikut:
a. Faktor-faktor apa saja yang sering menyebabkan terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga.
b. Bagai mana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap
kekerasan dalam rumah tangga.
7
c. Mengapa majelis hakim peradilan agama Depok dalam pertimbangan
hukumnya tidak menggunakan pasal dalam undang-undang penghapusan
KDRT.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
a. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana SI yang di
berikan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian
yang diakibatkan oleh kekerasan dalam rumah tangga, khususnya yang
menyangkut dengan masalah percekcokan yang berakibat lebih lanjut
pada masalah perceraian di wilayah Pengadilan Agama Depok
c. Untuk memperoleh data secara rinci dan jelas tentang hal-hal yang terkait
mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian akibat kekerasan dalam
rumah tangga dan aspek lainnya yang terkait.
d. Dapat mengidentifikasi bentuk tindakan kekerasan dan kategori pada istri
dalam rumah tangga.
2. Manfaat penelitian
a. Memberikan informasi dari penelitian ini kepada masyarakat tentang latar
belakang kekerasan dalam rumah tangga dan bentuk-bentuknya.
b. Sebagai penelitian yang dapat dijadikan sumber untuk penelitian-
penelitian lain tentang kekerasan dalam rumah tangga.
8
c. Mampu memahami secara menyeluruh tentang tindak kekerasan pada istri
dalam rumah tangga.
D. Studi Riview Terdahulu
1. Judul skripsi, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Ditinjau Dari Hukum Islam
Dan Hukum Positif (Studi Analisis Putusan Perkara 1376/pid.b/2005/PA.
Jaksel)
Pengarang, Samsul Mu’min, Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif
Hidayatullah Jakarta, Jurusan Perbandingan Mazhab Dan Hukum 2006.
Fokus pembahasan
a. Bagaimana kekerasan dalam rumah tangga dalam pandangan Al Quran,
social cultural dan kajian jender
b. Sejauh mana peran putusan perkara No. 1376/pid.b/2005/PA. Jaksel
dalam mengatasi dan mencegah tindakan KDRT.
c. Sudahkah putusan perkara No.1376/pid.b/2005/PA. Jaksel. Dipengadilan
Jaksel sesuai dengan acuannya yaitu UU No. 23 tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Perbedaan pembahasan
1) Mengali faktor-faktor apasaja yang bisa menyebabkan terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga
9
2) Bagai mana pandangan hukum positif dan hukum islam terhadap kasus
kekerasan dalam rumah tangga
3) Dan mengapa dalam kasus ini dalam putusannya pengadilan tidak
mencantumkan undang-undang kekersan dalam rumah tangga dalam
putusannya.
2. Judul skripsi, Battered Women Syndrome Pada Perempuan Korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Pengarang, Qur’aniyah, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Fakultas Psikologi Tahun 2008.
Fokus pembahasan
a. Bagai mana gambaran isteri atau perempuan yang mengalami battered
womens syndrome.
b. Isteri yang mengalami tindak kekerasan oleh suaminya baik secara fisik,
ekonomi, atau pun seksual.
Perbedaan pembahasan
1) Pandangan islam dalam mendidik rumah tangga yang sakinah mawadah
dan rohmah
3. Judul skripsi, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sebagai Alasan Perceraian
(Di Pengadilan Agama Tagamus Lampung)
Pengarang, Dhiaul Fajri, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta,
fakultas syariah dan hukum konsentrasi peradilan agama, 2009.
Fokus pembahasan
10
a. Jenis dan pola kekerasan dalam rumah tangga yang bagai mana yang
sering muncul dalam kasus perceraian di pengadilan agama Tagamus
Lampung
b. Apa pertimbangan hakim dalam menentukan putusan perceraian yang
diakibatkan terjadinya KDRT di pengadilan agama Tagamus Lampung.
Perbedaan pembahasan
1) Kasus yang terjadi di Pengadilan Agama Depok Jawa Barat
2) Apa pertimbangan hakim dalam putusannya dengan tidak mencantumkan
undang-unadang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
E. Metode Penelitian
Metode pembahasan yang dipergunakan oleh penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini adalah metode-metode yang berlaku dalam penulisan
karya ilmiah, yaitu:
1. Library Research, yakni penelitian kepustakaan dengan cara mengumpulkan
sumber-sumber yang berkaitan dengan aspek-aspek permasalahan, mengambil
data, meneliti dan mengkaji literature, pendapat para ahli yang terdapat dalam
buku-buku, surat kabar, majalah dan lain sebagainya yang bisa menunjang
dan membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Field Research, yakni penelitian lapangan yang pelaksanaannya penulis terjun
langsung ke lokasi pengadilan, yaitu dipengadilan Agama Depok untuk
melakukan pengambilan data di pengadilan agama Depok.
11
Teknik field research ini penulis bagi kedalam bidang-bidang sebagai berikut:
a. Interview (wawancara)
Penulis mempergunakan teknik ini karena teknik interview sebagai teknik
Tanya jawab secara lisan yang berpedoman pada daftar pertanyaan
terbuka. Dengan demikian dapat diperoleh jawaban langsung dari
responden sedalam-dalamnya tentang masalah yang dibahas dan tehnik ini
penulis tunjukan kepada para pihak yang mengetahui dan berproses
sebagai praktisi di peradilan agama maupun kepada masyarakat di wilayah
Depok yang mengalami secara langsung.
b. Observasi (pengamatan)
Yakni melihat dari dekat mekanisme dan operasional dilingkungan
pengadilan agama yang berhubungan dengan persoalan yang dibahas.
c. Dokumentasi
Teknik ini dipergunakan untuk kelengkapan data yang diperlukan, yaitu
dengan cara melihat dokumen dan arsip-arsip yang ada di pengadilan
Agama Depok yang dijadikan objek penelitian.
Adapun sebagai pedoman dalam penulisan skripsi ini, penulis
mempergunakan buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas
Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2005.
F. Sistematika Pembahasan
12
Untuk lebih memudahkan pembahasan dan penulisan skripsi ini lebih
fokus dan sistematis, maka penulis mengklasipikasikan permasalahan dalam
beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan yang memberikan gambaran secara umum dan
menyeluruh tentang skripsi ini dengan menguraikan tentang latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, metode
pembahasan serta sistematika penyusunan.
BAB II Merupakan bab yang membahas tentang Pengertian kekerasan dalam
rumah tangga menurut UU No 23 tahun 2004 tentang penghapusan
dalam rumah tangga, dan membahas tentang bagaimana Pandangan
islam terhadap kekerasan dalam rumah tangga, lalu bagaimana Dasar
hukum perkawinan dalam islam, dan bagai mana tujuan perkawinan
menurut hukum islam, dan tujuan perkawinan menurut UU No.
1/1974.
BAB III Bab ini membahas dan menguraikan tentang Pengertian dan latar
belakang KDRT dan Bentuk- bentuk kekerasan dalam rumah tangga,
dan Dampak kekerasan dalam rumah tangga dan bagaimana upaya
pencegahan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, gambaran umum
PA Depok, dan Prosedur penyelesaian perkara KDRT di PA Depok
BAB IV Bab ini berisi pokok bahasan dalam skripsi ini, dengan menampilkan
profil pengadilan agama Depok dengan disertai putusan perceraian
yang diakibatkan tindak kekerasan dalam rumah tangga serta
13
pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara, dan disertai dengan
analisa penulis mengenai penelitian putusan pengadilan agama Depok
nomor 607 / pdt. G / PA. DEPOK
BAB V Merupakan bagian akhir dari pembahasan skripsi ini. Yang terdiri dari
kesimpulan dan rekomendasi atau saran, dan penutup dari skripsi ini.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
A. Pengertian Perceraian
Perceraian merupakan bagian dari pernikahan, sebab tidak ada perceraian
tanpa diawali pernikahan terlebih dahulu. Pernikahan merupakan awal dari hidup
bersama antara seorang pria dengan seorang wanita yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam semua tradisi hokum, baik civil law,
common law, maupun Islamic law, perkawinan adalah sebuah kontrak
berdasarkan persetujuan sukarela yang bersifat pribadi antara seorang pria dengan
seorang wanita untuk menjadi suami isteri. Dalam hal ini, perkawinan selalu
dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga yang mempunyai arti penting bagi
penjagaan moral atau akhlak masyarakat dan pembentukan peradaban1
Akad perkawinan dalam hukum islam bukanlah perkara perdata semata,
melainkan ikatan suci (mitsaqon galidza) yang terkait dengan keyakinan dan
keimanan kepada Allah SAW. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam
sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga
bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam islam yakni
terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat terwujud.2
1 Rifyal Ka’bah, permasalahan perkawinan, dalam Majalah Varia Peradilan, no 271 juni
2008, IKAHI, Jakarta, hal 7 2 Amiur Nuruddin, Azahri Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No. 1/1974 Sampai KHI (Jakarta, Kencana, 2006) cet, ke-3. h. 206.
13
14
Namun sering kali apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas di
perjalanan. Perkawinan harus putus di tengah jalan. Sebenarnya putusnya
perkawinan merupakan hal yang wajar saja, karena makna dasar sebuah akad
nikah adalah ikatan atau dapat juga dikatakan perkawinan pada dasarnya adalah
kontrak.3 Konsekuensinya ia dapat lepas yang kemudian dapat disebut dengan
talak. Makna dasar dari talak itu adalah melepaskan ikatan atau melepaskan
perjanjian.
Talak terambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya “
melepaskan atau meninggalkan”. Menurut istilah syara, “talak yaitu:
4ةيجوز الةقالع الاءهنا واجو الزةطب رلحArtinya “melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”.
Sedangkan perceraian dalam istilah fiqih disebut “talak” atau
furqoh”talak berarti membuka ikatan” membatalkan perjanjian, “furqoh berarti
bercerai” lawan dari berkumpul kemudian kedua perkataan ini dijadikan istilah
oleh ahli-ahli fikih yang berarti perceraian antara suami dan istri5. Ta’rif talak
menurut bahasa arab mempunyai arti bercerainya perempuan dari suaminya atau
melepaskan ikatan.6 Yang dimaksud di sini adalah melepaskan ikatan
3 Ahamad Kuzairi, Perkawinan Sebagai Sebuah Perikatan (Jakarta: Rajawali Pres, 1995).
4 Sayyid Sabiq “Fiqih Sunnah”(Beirut Dar Al Fikr, 1983),cet. Ke-4, jilid 2. 5 Kamal Muktar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan (Jakarta. Bulan bintang.
1974)cet. Ke 2 hal 156. 6 M. Yunus. Kamus Arab-Indonesia (Jakarta, PT Hidayah)cet. ke-2. h. 120.
15
perkawinan, sedangkan menurut istilah talak adalah melepaskan tali perkawinan
dan mengakhiri hubungan suami istri
Sayyid Sabiq mendefinisikan talak adalah sebuah upaya untuk
melepaskan ikatan perkawinan dan selajutnya mengakhiri hubungan perkawinan
itu sendiri.7 Sedangkan dalam kitab Kifayat Al Akhyar yang menjelaskan talak
sebagai sebuah nama untuk melepaskan ikatan nikah dan talak adalah lafad
jahiliah yang setelah islam datang menetapkan lafaz itu sebagai kata untuk
melepaskan nikah. Dan dalil-dalil tentang talak itu berdasarkan al kitab, hadis,
ijma’ ahli agama dan ahli sunnah.8
B. Perceraian Menurut Hukum Islam
Pada prinsipnya, kehidupan rumah tangga harus disadari oleh mawaddah,
rahmah dan cinta kasih. Yaitu bahwa suami istri harus memerankan peran
masing-masing yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Disamping itu
harus juga diwujudkan keseragaman, keeratan, kelembutan saling pengertian satu
dengan yang lain sehingga rumah tangga menjadi hal yang sangat menyenangkan,
penuh kebahagiaan kenikmatan dan melahirkan generasi yang baik yang
merasakan kebahagian yang dirasakan oleh orang tua mereka.9
7 Sayyid Sabiq, Fiqih Al Sunnah, Juz II, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1983), h. 206. 8 Taqiyuddin, Kifayaut Al Akhyar, Juz II, (Bandung: Al Ma’arif, t.t)h. 84. 9 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Dar At Tauji Wa An Nashr Al Islamiyyah,
1419/1999m), cet ke 1, h. 205.
16
Jika mata air cinta dan kasih sayang sudah kering dan tidak lagi
memancarkan airnya, sehingga hati salah satu pihak atau keduanya (suami dan
istri) sudah tidak lagi merasa cinta kasih, lalu kedua-duanya sudah tidak saling
memperdulikan satu dengan yang lain serta sudah tidak menjalankan tugas dan
kewajiban masing-masing, sehingga yang tinggal hanyalah pertengkaran dan tipu
daya. Kemudian keduanya berusaha memperbaiki, namun tidak berhasil, begitu
juga keluarganya telah berusaha melakukan perbaikan, namun tidak kunjung
berhasil pula, maka pada saat itu, talak adalah kata yang paling tepat seakan-akan
ia merupakan setrika yang didalamnya terdapat obat penumbuh, namun ia
merupakan obat yang paling pahit diminum.10
Seandainya islam tidak memberikan jalan menuju talak bagi suami istri
dan tidak memperbolehkan mereka untuk bercerai pada saat yang sangat kritis,
niscaya hal itu akan membahayakan bagi pasangan tersebut. Mereka akan
merasakan kehidupan rumah tangga mereka seperti neraka dan penjara yang
berisi siksaan dan penderitaan. Dan hal itu pasti akan berakibat buruk terhadap
anak-anak dan bahkan mempengaruhi kehidupan mereka, karena jika pasangan
suami istri mengalami kegoncangan, maka anak-anak mereka pun pasti menderita
dan menjadi korban. Dari mereka itu akan lahir masyarakat yang dipenuhi dengan
kedengkian, irihati, kezhaliman, hidup berfoya-foya dan berbuat hal yang negatif
sebagai bentuk pelampiasan dan pelarian diri dari kenyatan hidup yang mereka
alami. Bagi mereka, rumah itu tidak lain hanyalah seperti penjara yang
10 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, op. cit., h.205.
17
menjengkelkan dan menyebalkan, yang menyebabkan seluruh penghuninya lari
menjauh agar tidak terperangkap kedalam kebencian, adu domba, keserakahan
dan kesedihan.11
Yang dimaksud dengan talak adalah memutuskan tali perkawinan. Talak
ini merupakan sesuatu yang disyariatkan. Dan yang menjadi dasarnya Al Quran
dan hadis serta ijma para ulama. Di dalam Al Quran talak secara tegas dinyatakan
dalam surat Al Baqarah: 229.
☺
☺
: البقرة( ☺ 229(
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.(Q.S. Al Baqoroh:229)
Imamiyah mengatakan: talak dianggap tidak jatuh (sah) kecuali dengan
menggunakan redaksi khusus, yaitu anti thaliq ا نت طا لق (engkau adalah orang
yang diceraikan), fulanah thaliq (menyebut nama istrinya ), فال نة طا لق fulanah
11 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, op. cit., h.206.
18
Penyusun kitab Al Jawahir, mengutip Al Kafi, mengatakan bahwa, talak
dipandang tidak ada kecuali seperti terdapat pada riwayat Bakir Bin A’yan, yaitu
seorang suami mengatakan kepada istrinya yang berada dalam keadaan suci dan
tidak dia campuri menjelang talak, anti thaliq, dan ucapannya itu disaksikan dua
orang saksi laki-laki yang adil. Apa yang tidak seperti itu dianggap kosong
belaka. Kemudian, dengan menukil Al Inthisar, penyusun kitab Al Jawahir
menyatakan adanya kesepakatan para ulama mazhab imamiyah tentang hal itu.13
Dengan demikian, maka Imamiyah amat membatasi ruang lingkup talak
dalam batas yang amat sempit, dan secara ketat memberlakukan ketentuan-
12 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007), cet, ke. 20,
h. 446. 13 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, op. cit., h.447.
19
ketentuan yang sulit, baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan yang dicerai,
terhadap redaksi dan saksi-saksinya. Semuanya itu dilakukan lantaran perkawinan
merupakan ikatan, kasih sayang, dan perjanjian kuat yang datang dari Allah SWT.
Allah berfirman dalam surat An Nisa: 21.
⌧
)21: النساء( ⌧Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian
kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.” (Q.S. An Nisa :21)
Kendati demikian, mazhab-mazhab lain membolehkan talak dengan
menggunakan redaksi apapun, asal terkandung maksud talak, dalam bentuk
tulisan atau pun lisan. Secara tegas atau hanya berupa kiyasan, misalnya
mengucapkan, sekarang engkau menjadi haram bagi ku, engkau putus dan tidak
ada hubungan lagi dengan ku, pergilah dan kawinlah dengan laki-laki lain,
sekarang ikatan dirimu berada pada orang lain, pulanglah kerumah orang tuamu,
dan lainsebagainya. Mereka juga menperbolehkan adanya talak mutlak dan
mukhayad (terkait oleh sesuatu), misalnya dengan mengatakan: kalau engkau
keluar rumah, berarti engkau cerai. Bila aku berbuat demikian, maka engkau
cerai, bila dia berbicara dengan ayah mu, engakau cerai, tiap orang yang
20
kukawini, cerai, yang dengan sendirinya setelah ia melangsungkan akad nikah,
maka jatuhlah talak, dan lain sebagainya, yang tidak dapat dikemukakan disini.14
Mazhab-mazhab tersebut juga menyatakan sahnya talak yang dilimpahkan
kepada si istri atau orang lain, seperti halnya pula mereka membolehkan
penjatuhan talak tiga dengan satu kali ucapan (engkau ku talak tiga). Para ulama
mazhab-mazhab tersebut mengemukakan pembahasan panjang lebar dalam
lembaran-lembaran kitab mereka yang isinya tak lebih hanyalah penghancuran
terhadap esensi rumah tangga, serta menyerahkannya ketangan iblis.15
Para Ulama Mazhab Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariyah dan Ismailiyah
mengatakan bahwa, talak tidak dianggap jatuh bila tidak disertai saksi laki-laki
yang adil, berdasarkan firman Allah tentang masalah talak dalam surat Al Talak 16
Seperti halnya dengan ketetapan yang diberikan oleh imamiyah dalam
persoalan suami istri yang terlibat dalam talak dan redaksinya, mazhab ini pun
bersikap amat ketat dalam persoalan persaksian talak. Para ulama mazhab
imamiyah menetapkan bahwa, kalau semua persyaratan itu telah terpenuhi, tapi
ketika talak tersebut dijatuhkan tidak ada dua orang saksi laki-laki yang adil yang
mendengarnya, maka talak tersebut diyatakan tidak jatuh. Tidak dipandang cukup
14 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, op. cit., h.448. 15 Penulis kitab ta’sis al najhar mengutip pendapat imam malik yang mengatakan bahwa,
kalau seandainya seorang laki-laki telah bermaksud (“azam”)menalak istrinya, maka talak tersebut dinyatakan telah jatuh dengan semata-mata maksud tersebut, sekalipun ia tidak mengucapkannya (lihat ta’sis al nazhar, h. 49).
16 Muhammad Jawad Mughniyah “Fiqih Lima Mazhab” op. cit., h.449.
21
ada nya satu orang saksi saja, sungguhpun saksi tersebut seorang yang sangat
dipercayai atau bahkan ma’sum.
C. Perceraian Menurut Hukum Positif
Sebagai mana yang disebutkan dalam pasal 1 Undang-Undang No.1/1974
dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia,
kekal berdasarkan ketuhanan yang masa esa atau dalam bahasa KHI disebut
dengan mistsaqan ghaliza (ikatan yang kuat),17 namun dalam realitasnya
seringkali perkawinan tersebut kandas ditengah jalan yang mengakibatkan
putusnya perkawinan baik karena sebab kematian, perceraian ataupun karena
putusnya pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh
undang-undang. Dalam pasal 38 undang-ungang perkawinan dikatakan
“perkawinan dapat putus karena, a. kematian, b. perceraian dan c, atas keputusan
pengadilan”.18
Kematian sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan, adalah salah satu
pihak baik suami atau istri meninggal dunia. Sedangkan untuk sebab perceraian,
undang-undang pernikahan memberikan aturan-aturan yang telah baku, terperinci,
dan sangat jelas. Adapun putusnya perkawinan dengan putusan pengadilan adalah
17 Kompilasi Hukum Islam ( KHI) 18 Amir Nuruddin, Azahri Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No. 1/1974 Sampai, po.cit, h. 216.
22
jika kepergian salah satu pihak tanpa kabar berita untuk waktu yang lama.
Undang-undang perkawinan tidak menyebutkan berapa lama jangka waktu untuk
menetapkan hilangnya atau dianggap meninggalnya seseorang itu.19
Bahkan di dalam penjelasan undang-undang perkawinan dalam pasal 38
tersebut dipandang cukup jelas, dan jika kita merujuk kepada hukum perdata pada
pasal 493 dinyatakan “ apabila, selain terjadinya meninggalkan tempat tinggal
dengan sengaja, seseorang antara suami istri selama genap sepuluh tahun telah
tak hadir di tempat tinggalnya, sedangkan kabar tentang hidup atau matinya pun
tak pernah diperolehnya, maka si istri atau suami yang ditinggalkannya, atas izin
dari pengadilan negeri tempat tinggal suami istri bersama berhak memanggil
pihak yang tak hadir tadi dengan tiga kali panggilan umum berturut-turut
dengan cara seperti teratur dalam pasal 467 dan 468.”
Didalam PP No. 9 tahun 1975 tentang pasal 19 diyatakan hal-hal yang
menyebabkan terjadinya perceraian, perceraian dapat terjadi karena alasan atau
alasan-alasan seperti:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar untuk disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal yang lain
diluar kemampuannya.
19 Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan Dan Perderaian Di Malayasia Dan Indonesia, (Bandung:
Alumni, 1982), h.291.
23
3. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
4. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
5. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Selanjutnya pada pasal 39 tentang Undang-Undang Perkawinan diyatakan:
1. Perceraian hannya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu
tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
3. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan sendiri.
Alasan perceraian ini adalah sama seperti yang tersebut dalam pasal 116
kompilasi hukum islam dengan penambahan dua ayat yaitu : (a) suami melanggar
taklik talak dan (b) peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidak rukunan dalam rumah tangga, maka dapat diketahui bahwa hokum positif
di indonesia tidak mengenal lembanga hidup terpisah yaitu perceraian pisah meja
dan pisah tempat tidur sebagai mana diatur dalam pasal 424 kitab undang-undang
hokum perdata atau dalam lembaga hukum keluarga Eropa yang dikenal dengan
“separation from bed and board”.
24
Dalam pasal 41 tentang Undang-Undang Perkawinan juga membicarakan
akibat yang ditimbulkan oleh perceraian, adapun bunyi pasalnya yang diakibatkan
putusnya perkawinan karena perceraian adalah:20
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, bila mana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan
memberi keputusannya.
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bila mana bapak dalam kenyataan tidak
dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul biaya tersebut.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Berbeda dengan keputusan perkawinan dengan sebab kematian yang
merupakan ketentuan Allah yang tidak biasa ditolak, sebab-sebab lain seperti
perceraian pada dasarnya kesalahan yang bersumber dari manusia itu sendiri.
Terjadinya perceraian misalnya, lebih disebabkan ketidak mampuan pasangan
suami istri tersebut merealisasikan tujuan perkawinan itu sendiri.
D. Macam- Macam Perceraian
Kalau kita lihat dari kemaslahatan atau kemudharatannya, maka hukum
talak ada lima:
20 Undang-Undang Perkawinan Republik Indonesia
25
1. Wajib
Apabila ada perselisihan antara suami istri lalu tidak ada jalan yang
dapat ditempuh kecuali dengan mendatangkan dua hakim yang mengurus
perkara keduanya. Jika kedua hakim memandang bahwa perceraian lebih baik
bagi mereka, maka saat itulah talak menjadi wajib. Jadi, jika sebuah rumah
tangga tidak mendatangkan apa-apa selain keburukan, perselisihan,
pertengkaran dan bahkan menjerumuskan keduanya dalam kemaksiatan.
Maka pada saat itu talak adalah wajib baginya.21
2. Makruh
Yaitu talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan
sebagian ulama ada yang mengatakan mengenai talak yang makruh ini
terdapat dua pendapat:
a. Bahwa talak tersebut haram untuk dilakukan, karena dapat menimbulkan
madharat bagi dirinya juga istrinya, serta mendatangkan manfaat apa pun.
Talak ini haram sama seperti tindakan merusak atau menghamburkan
harta kekayaan tampa guna, hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah
SAW yang berbunyi:
) رواه ابن ما جة (22ارر ضالو رر ضال“tidak boleh memberikan mudharat kepada orang lain dan tidak boleh membalas kemudharatan dengan kemudharatan lagi”
21 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, op. cit., h.208. 22 Ilmu Fiqih Jilid II. Cet.ke-2.
26
b. menyatakan bahwa talak seperti itu dibolehkan, hal itu didasarkan pada
sabda rasulullah SAW yang berbunyi:
)رواه أبو داود (23قال الطى اهللال الالح الضغبا “sesuatu hal yang halal yang paling dibeci Allah adalah talak”
Dan dalam lafazh yang lain di sebutkan: )رواه ابو داود (قالالط ن مهيل اضغب اأي شهللا الحا ام
“Allah tidak membolehkan sesuatu yang lebih dia benci selain talak”(HR. abu daud dengan sanad ma’lul).
Talak itu dibenci karena dilakukan tanpa adanya tuntutan dan sebab
yang menbolehkan. Dan karena talak semacam itu dapat membatalkan
pernikahan yang menghasilkan kebaikan yang memang disunnahkan,
sehingga talak itu menjadi makruh hukumnya. 24
3. Mubah
Mubah yaitu talak yang dilakukan karena ada kebutuhan, misalnya
karena buruknya akhlak istri dan kurang baiknya pergaulannya yang hanya
mendatangkan mudharat dan menjauhkan mereka dari tujuan pernikahan.
4. Sunnah.
Sunnah yaitu talak yang dilakukan pada saat istri mengabaikan hak-
hak Allah yang telah diwajibkan kepadanya. Misalnya shalat, puasa dan
kewajiban lainnya. Sedangkan suami sudah tidak sanggup lagi memaksanya.
Atau istrinya sudah tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian dirinya. Hal
23 Ilmu Fiqih Jilid II. Cet.ke-2. 24 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007),cet, ke-2, h, 200.
27
itu mungkin saja terjadi, karena wanita itu mempunyai kekurangan dalam hal
agama, sehingga mungkin saja ia berbuat selingkuh dan melahirkan anak hasil
perselingkuhan dengan laki-laki lain. Dalam kondisi seperti itu dibolehkan
bagi suaminya untuk mempersempit ruang dan geraknya. Sebagai mana yang
difirmankan Allah SWT.25
5. Mahzhuz (terlarang)
Mahzhur yaitu talak yang dilakukan ketika istri sedang haid, para
ulama di Mesir telah sepakat untuk mengharamkannya. Talak ini juga disebut
talak bid’ah. Disebut bid’ah karena suami yang menceraikan itu menyalahi
sunnah rasul dan mengabaikan perintah Allah SWT dan rasulnya. Dimana
Allah telah berfirman. Dalam Al Quran surat Ath Thalaq ayat:1, yang
berbunyi:
⌦ ⌧
)1: الطالق ( Artinya: ”Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan
bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(Q.S.At Thalak:1)
Dalam menjatuhkan talak kepada istri islam sangat berhati-hati
terhadap orang yang ingin memberikan atau menjatuhkan talaknya terhadap
istrinya, ada ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan oleh suami dalam
menjatuh kan talak, ini terbukti bahwa sanya Allah sangat membenci
25 Syaih Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, op. cit., h.209.
28
terjadinya perceraian dalam rumah tangga, walaupun itu diperbolehkan dalam
islam, diantara ketentuan-ketentuannya seseorang harus memiliki kriteria
sebagai berikut:
a. Baligh, talak yang dijatuhkan anak kecil diyatakan tidak sah, sekalipun ia
telah pandai, demikian kesepakatan ulama mazhab, terkecuali imam
Hambali. Para ulama mazhab Hambali mengatakan bahwa, talak yang
dijatuhkan anak kecil yang mengerti dinyatakan sah, meskipun usia nya
belum mencapai sepuluh tahun.
b. Berakal sehat, dengan demikian talak yang dijatuhkan oleh seorang gila,
baik penyakitnya itu akut maupun jadi-jadian, pada saat dia gila, tidak sah,
begitu pula hal dengan talak yang dijatuhkan oleh orang yang tidak sadar,
dan orang yang hilang kesadarannya lantaran sakit panas yang sangat amat
tingi sehingga ia merancau. Akan tetapi para ulama mazhab berbeda
pendapat tentang talak yang dijatuhkan orang mabuk, Imamiyah
mengatakan bahwa, talak orang mabuk sama sekali tidak sah, akan tetapi
beda halnya dengan mazhab enam26, berpendapat bahwa talak orang
mabuk itu sah, manakala ia mabuk dengan minuman yang ia haramkan
atas dasar keinginan sendiri. 27
26 Hanafi dan maliki secara jelas mengatakan sahnya talak yang dijatuhkan orang mabuk,
sedangkan imam Syafi’i mempunyai dua pendapat. Yang lebih kuat talak itu jatuh. 27 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, op. cit., h.441.
29
c. Atas kemauan sendiri. Dengan demikian, talak yang dijatuhkan oleh
seorang yang dipaksa (menceraikan istrinya) menurut kesepakatan para
ulama mazhab, tidak dinyatakan sah, ini berdasarkan hadis yang berbunyi:
ةيلا عو هركتسا ام ونايسالن واءطخل ايتم ان ععفر“ketentuan hukum dicabut dari umatku yang melakukan perbuatannya karena keliru, lupa dan dipaksa.” Hal itu merupakan kesepakatan para ulama mazhab kecuali hanafi,
mazhab yang disebut terakhir ini mengatakan bahwa, talak yang
dijatuhkan oleh orang yang dipaksa dinyatakan sah.
d. Betul-betul bermaksud menjatuhkan talak. Dengan demikian, kalau
seorang laki-laki mengucapkan talak karena lupa, keliru atau main-main,
maka menurut imamiyah talak tidak jatuh. Sementara imamiyah menukil
hadis dari ahlilbait yang mengatakan:
ةين بال ا قال ط ال قاللط اادر انم لال ا قال طال“Tidak dianggap jatuh suatu talak kecuali bagi orang yang memang bermaksud menjatuhkan talak, dan tidak ada talak kecuali disertai niat”
Sementara pengarang kitab Al Jawahir mengatakan, “kalau seseorang
telah menjatuhkan talak, dan sesudah mengucapkan talaknya itu dia
mengatakan, “saya tidak bermaksud menjatuhkan talak, maka pernyataannya
diterima sepanjang istri masih dalam masa ‘iddah sebab, yang demikian itu
merupakan informasi tentang niatnya yang tidak bias diketahui siapa pun
kecuali melalui pemberitahuannya sendiri.” 28
28 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, op. cit., h.443.
30
Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak, maka talak dibagi
menjadi tiga macam.29 Sebagai berikut:
a. Talak Sunni.
Talak sunni yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan
sunnah,30dikatakan juga pada kitab fiqih lima mazhab bahwasanya talak
sunni adalah talak yang didasarkan pada sunnah nabi, yaitu apabila
seorang suami mentalak istrinya yang telah disetubuhi dengan talak satu
pada saat suci, sebelum disetubuhi. Allah SWT berfirman: “thalak yang
dapat dirujuk adalah dua kali, setelah itu, boleh rujuk kembali dengan cara
yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Q.S. al
baqoroh:229). Pada surat lain Allah juga berfirman: “Wahai Nabi, jika
kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka
pada waktu mereka dapat menghadapi ‘‘iddahnya yang wajar.” (Al
Thalaq:1) dikatakan talak sunni jika memenuhi empat syarat:
1) Istri yang ditalak sudah pernah digauli, bila talak dijatuhkan terhadap
istri yang belum pernah digauli, tidak termasuk talak sunni.
2) Istri dapat segera melakukan ‘iddah suci sesudah ditalak, yaitu dalam
keadaan suci dari haid. Menurut ulama Syafi’iyah, perhitungan ‘iddah
bagi wanita berhaid ialah tiga kali suci, bukan tiga kali haid. Talak
terhadap istri yang telah lepas haid (menopause) atau belum pernah
29 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor, Kencana, 2003)cet. Ke-1, h. 193. 30 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat,op. cit. h. 193.
31
haid, atau sedang hamil, atau talak karena suami meminta tebusan
(khulu’), atau ketika istri dalam haid, semuanya tidak termasuk talak
sunni.
3) Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik dipermulaan,
dipertengahan maupun di akhir suci, kendati beberapa saat lalu datang
haid.
4) Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci dari haid tetapi
pernah digauli, tidak termasuk talak sunni.
Para ulama dari kalangan sahabat rasulullah dan ulama lainnya
juga menjalankan hadis ini sedangkan ulama yang lain berpendapat” jika
si suami mentalak tiga, sedang istrinya dalam keadaan suci, maka yang
demikian itu juga termasuk talak sunni”pendapat ini dikemukakan oleh
imam Syafi’ dan Ahmad bin Hambal.
b. Talak Bid’i.
Yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan
tuntunan sunnah, tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni31, dikatakan
dalam kitab yang ditulis oleh syaikh kamil Muhammad ‘Uwaidah bahwa
sanya yang disebut dengan talak bid’I (thalak bid’ah) ada beberapa
keadaan yang mana seluruh ulama telah sepakat menyatakan, bahwa talak
31 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat,op. cit. h. 194.
32
semacam ini tidak berlaku, talak bid’I (talak bid’ah) ini jelas bertentangan
dengan syari’at yang termasuk talak bid’i ialah:32
1) Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid (menstruasi),
baik di permulaan haid maupun dipertengahannya.
2) Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi pernah
digauli oleh suaminya dalam keadaan suci dimaksud.
3) Seorang suami mentalak tiga istrinya dengan satu kalimat dengan tiga
kalimat dalam satu waktu. Seperti dengan mengatakan “ia telah aku
talak, lalu aku talak dan selanjutnya aku talak” dalil yang
melandasinya adalah sabda rasulullah, sebagai mana diceritakan;
bahwasannya ada seorang laki-laki yang mentalak istrinya dengan satu
kalimat, lalu beliau mengatakan kepadanya: “apakah kitab Allah
hendak dipermainkan, sedang aku masih berada ditengah-tengah
kalian” (H.R. An Nasa’i dan Ibnu Katsir mengatakan bahwa isnad
hadis ini jayyid).33
c. Talak La Sunni Wala Bid’i
Talak la sunni wal bid’I yaitu talak yang tidak termasuk ke dalam
kategori talak sunni dan tidak pula termasuk talak bid’i, yaitu:
1) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli.
32 Drs. H. Abd. Rahman Ghazaly, MA. “Fiqih Munakahat” (Jakarta. Prenada Media.
2003).cet. ke-1.h. 33 Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita (Jakatra, Pustaka Al Kautsar, 2004),
cet. Ke-1.h. 438.
33
2) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid, atau istri
yang telah lepas haid.
3) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.
Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan
sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjadi dua macan, sebagai berikut:
a. Talak Sharih,
Yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas,
dapat dipahami sebagi pernyataan talak atau cerai seketika diucapkan,
tidak mungkin dipahami lagi, seperti dengan mengucapkan: “aku cerai”
atau “kamu telah aku cerai”34
Imam syafi’I mengatakan bahwa kata-kata yang dipergunakan
untuk talak sharih ada tiga, yaitu talak, firaq dan sarah, ketiga ayat itu
disebut dalam al quran dan hadits. Ahl al zahiriyah berkata bahwa talak
tidak jatuh kecuali dengan mempergunakan salah satu dari tiga kata
tersebut, karena syara telah mempergunakan kata-kata ini, padahal talak
merupakan perbuatan ibadah, karenanya diisaratkan mempergunakan kata-
kata yang telah ditetapkan oleh syara. Beberapa contoh talak sharih ialah
seperti, suami berkata kepada istrinya;35
1) Engakau saya talak sekarang juga. Engkau saya cerai sekarang juga.
34 Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita (Jakatra, Pustaka Al Kautsar, 2004),
cet. Ke-1.h. 440. 35 Muhammad Jawad Mughniyah “Fiqih Lima Mazhab”.op.cit
34
2) Engkau saya firoq sekarang juga. Engkau saya pisahkan sekarang juga.
3) Engkau saya sarah sekarang juga. Engkau saya lepas sekarang juga.
Apabila suami menjatuhkan talak terhadap istrinya dengan talak
sharih maka menjadi jatuhlah dengan talak itu dengan sendirinya,
sepanjang ucapannya itu dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas
kemauannya sendiri.
b. Talak Kinayah (Talak Sindiran)
Talak kinayah, yaitu talak dengan menpergunakan kata-kata
sindiran, atau samar-samar, dalam kitab fiqih wanita dikatakan
bahwasannya yang dimaksud dengan talak kinayah adalah talak yang
memerlukan adanya niat pada diri suami. Karena, kata-kata yang
diucapkan tidak menunjukan pengertian talak. Hal ini didasarkan pada
hadis yang diriwayatkan dari Aisyah r.a.
ملس وهيل ع اهللاىل ص اهللالوس رل عتلخدا ام لانوج الةن ابناي قح الميظع بتدعدقا له لالق فكن ماهللا بذوع اتالا قهنا منذو )رواه البخاري وغيره (كلهاب
Artinya: “bahwa ketika putri Jaun dihadapkan kepada rasulullah dan beliau mendekatkan diri padanya, maka ia (putri Jaun) pun berkata: aku berlindung kepada Allah darimu. Lalu beliau bersabda: sesungguhnya engkau telah berlindung kepada dzat yang Maha Agung, maka kembalilah kekeluargamu”(HR. bukhari dan lainnya).
35
Dalam kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan kitab-kitab
lainnya disebutkan hadis tentang Ka’ab bin malik yang tidak mau
bergabung dalam perang, yaitu ketika ada orang yang berkata kepadanya:
“bahwa rasulullah menyuruh kamu menjauhi istrimu, Ka’ab bertanya: aku
ceraikan atau apa yang harus aku lakukan ?, orang itu menjawab: jauhi
saja dan jangan sekali-kali kamu dekati. Maka Ka’ab melanjutkan
ceritanya: lalu kukatakan kepada istriku: pulanglah kepada keluargamu
“(mutafakun’alaih). Kedua hadis diatas menunjukan, bahwa kata-kata
yang diucapkan berarti talak, seiring niat yang ada pada diri suami dan
tidak berarti talak jika tidak diikuti dengan adanya niat. 36
Tentang kedudukan talak dengan kata-kata kinayah atau sindiran
ini sebagai mana dikemukakan oleh Taqiyuddin Al Husaini, bergantung
kepada niat suami. Artinya, jika suami dengan kata-kata tersebut
menjatuhkan talak, maka jadi jatuhlah talak itu, dan jika suami dengan
kata-kata tersebut tidak bermaksud menjatuhkan talak maka talak tidak
jatuh talaknya.
Kalau kita tinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan
bekas suami merujuk kembali bekas istri, maka talak dibagi menjadi dua
macam, yakni talak Raj’i Dan talak Ba’in.
d. Talak Raj’i.
36 Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita (Jakatra, Pustaka Al Kautsar, 2004). op.
cit. 441.
36
Para ulama mazhab sepakat bahwa yang dinamakan dengan talak
raj’i ialah talak yang suami masih memiliki hak untuk kembali kepada
istrinya (rujuk) sepanjang istrinya tersebut masih dalam masa ‘iddah, baik
istri tersebut bersedia dirujuk maupun tidak.37 Salah satu diantara
syaratnya adalah bahwa si istri sudah dicampuri, sebab istri yang dicerai
sebelum dicampuri, tidak mempunyai masa ‘iddah berdasarkan firman
Allah dalam Al Quran surat Al Ahzab ayat 49 yang berbunyi:
☺ ☺
☺ ☺
☺
)49: األحزاب( ⌧ ☯Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka '‘addah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.(Q.S. Al Ahzab:49)
Yang juga termasuk syarat talak raj’i adalah bahwa talak tersebut
tidak dengan menggunakan uang (pengganti) dan tidak pula dimaksudkan
untuk melengkapi talak tiga38. Wanita yang ditalak raj’i hukum nya
37 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007), cet, ke. 20,
h. 451. 38 Fiqih Lima Mazhab. Op.cit.h.451
37
seperti istri, mereka masih memiliki hak-hak suami-istri, seperti hak waris
mewarisi antara suami-istri manakala diantara keduanya ada yang
meninggal sebelum masa ‘iddah. Sementara itu, mahar yang dijanjikan
untuk dibayar, kecuali sesudah masa ‘iddah dan si suami tidak mengambil
kembali si istri kedalam pengakuannya. Singkatnya, talak raj’i tidak
menimbulkan ketentuan-ketentuan apapun kecuali sekadar ‘iddah dalam
tiga talak.
Talak raj’i hanya terjadi pada talak pertama dan kedua saja,
berdasarkan kedalam firman Allah dalam surat Al Baqoroh ayat: 229
⌧
)229 :ة البقر ( Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”(Q.S. Al Baqoroh:229)
Ayat ini memberi makna bahwa talak yang disyariatkan Allah
ialah talak yang dijatuhkan oleh suami satu demi satu, tidak sekaligus, dan
bahwa suami boleh memelihara kembali istrinya setelah talak pertama
dengan cara yang baik, demikian pula setelah talak kedua. Arti
memelihara kembali ialah dengan merujuknya dan mengembalikannya
kedalam ikatan perkawinan dan berhak mengumpuli dan mempergaulinya
dengan baik. Dan hak merujuk hanya terdapat pada talak raj’i saja.
e. Talak Ba’in
38
Sedangkan talak ba’in adalah talak yang suami tidak memiliki hak
untuk ruju’ kepada wanita yang ditalak nya, untuk mengembalikan bekas
istri kedalam ikatan perkawinan dengan bekas suami harus melalui akad
nikah baru, lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya. Adapun yang
termasuk kedalam talak ba’in diantaranya adalah:39
1) Wanita yang ditalak sebelum dicampuri (jenis ini disepakati oleh
semua pihak).
2) Wanita yang dicerai tiga (juga ada kesepakatan pendapat).
3) Talak khulu; sebagian ulama mazhab mengatakan bahwa khulu’
adalah fasakh nikah, bukan talak.
4) Wanita yang telah memasuki masa menopause khususnya pendapat
imamiyah, karena mereka mengatakan bahwa wanita menopause yang
ditalak tidak mempunyai ‘iddah. Hukumnya sama dengan hukum
wanita yang belum dicampuri.40
Didalam Al Quran surat Al Thalaq ayat 4 disebutkan:
☺
⌧
39 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007), cet, ke. 20,
h. 452. 40 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, op. cit., h.452.
39
)4: الطالق( Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause)
di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Q.S. At Thalaq:4)
Tidaklah dimaksudkannya sebagai wanita-wanita yang betul-betul
diketahui keterputusan haidnya, tetapi dimaksudkan untuk menunjukan
wanita-wanita yang telah berhenti haidnya tanpa diketahui apakah
berhentinya itu disebabkan oleh penyakit atau usia tua. Wanita-wanita
seperti ini ‘iddahnya adalah tiga bulan, keragu-raguan yang dimaksud
pada ayat diatas bukan mengenai hukum tentang orang yang telah
diketahui keterputusan haidh mereka, melainkan mengenai wanita-wanita
yang diragukan putus haidnya.
Didalam talak ba’in terbagi menjadi dua macam yaitu, talak ba’in
shugro dan talak ba’in kubro.
1) Talak ba’in shugro ialah talak ba’in yang menghilangkan pemilikan
bekas suami terhadap istri tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas
suami untuk kawin kembali dengan bekas istri. Artinya bekas suami
boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas istri, baik dalam
40
masa iddahnya maupun sesudah berakhir masa iddahnya yang
termasuk kedalam talak ba’in shugro ialah:41
a) Talak sebelum berkumpul.
b) Talak dengan penggantian harta atau yang disebut khulu’
c) Talak karena aib (cacat badan), karena salah seorang dipenjara,
talak karena penganiayaan dan lain sebagainya.
2) Talak ba’in kubro ialah talak yang menghilangkan pemilikan bekas
suami terhadap bekas istri serta menghilangkan kehalalan bekas
istrinya, kecuali bekas istrinya itu kawin dengan laki-laki lain, dan
telah berkumpul dengan suami yang kedua dan telah bercerai secara
wajar dan telah selesai menjalankan iddahnya, dan talak ba’in kubro
terjadi pada talak yang ketiga. Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam Al Quran surat Al Baqoroh ayat 230 yang berbunyi:42
⌧ ⌧
)230 :البقرة( ⌧"Artinya: Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang
kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. (Q.S Al Baqoroh; 230)
41 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat,op. cit. h. 198. 42 Ibid.
41
Kalau kita tinjau dari segi suami menyampaikan talak terhadap
istrinya, talak ada beberapa macam diantaranya sebagai berikut:43
a. Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan
ucapan dihadapan istri dan istri mendengar secara langsung ucapan
suaminya itu.
b. Talak dengan tulisan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami secara
tertulis lalu disampaikan kepada istrinya, kemudian istri membaca dan
memahami dan isi maksudnya, talak yang dinyatakan secara tertulis dapat
dipandang jatuh (sah, meski yang bersangkutan dapat mengucapkannya.
c. Talak dengan isyarat, yaitu talak yang dilakukan dalam bentuk isyarat
oleh suami yang tuna wicara (bisu) dapat dipandang sebagai alat
komunikasi untuk memberikan pengertian dan menyampaikan maksud
dan isi hati. Oleh karena itu isyarat baginya sama dengan ucapan bagi
yang dapat berbicara dalam menjatuhkan talak. Sepanjang isyarat itu jelas
dan menyakinkan bermaksud talak atau mengakhiri perkawinan, dan
isyarat itu satu-satunya jalan untuk menyampaikan maksud yang
terkandung dalam hati.44
d. Talak dengan utusan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada
istrinya melalui perantara orang lain sebagai utusan untuk menyampaikan
maksud suami itu kepada istrinya yang tidak ada dihadapan suami bahwa
43 Ibid. 44 Ibid.
42
mentalak istrinya. Dalam hal ini utusan berkedudukan sebagai wakil suami
untuk menjatuhkan talak suami dan melaksanakan talak itu.45
45 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat,op. cit. h. 201.
BAB III
KAJIAN TEORITIS TENTANG KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1. Pengertian kekerasan
Kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang
atau sejumlah orang yang berposisi kuat (merasa kuat) kepada seseorang atau
sejumlah orang yang berposisi lemah (dipandang lemah atau dilemahkan)
yang dengan sarana kekuatannya, baik secara fisik atau pun non fisik dengan
segaja dilakukan untuk menimbulkan penderitaan kepada obyek kekerasan.1
Secara etimologi kekerasan berasal dari kata “keras” yang berarti
padat dan tidak mudah berubah bentuknya atau tidak mudah pecah.
Sedangkan kata :kekerasan” itu sendiri adalah perihal (yang bersifat, berciri)
keras, perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedar
atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang
lain.2
Secara terminologi yang dimaksud dengan kekerasan atau violence pada
dasarnya merupakan suatu konsep yang makna isinya sangat bergantung kepada
1 Mufidah. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang, UIN Malang:2008),cet-
ke1,h. 267. 2 Tim penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa . kamus besar edisi ke-2
cet VII Jakarta: balai pustaka, 1996, h. 484-485.
42
43
masyarakat sendiri.3 Kekerasan identik dengan bentuk penyiksaan seperti yang
terungkap dalam Al Quran Surat Al Fajr ayat 25 yang berbunyi:
)25: الفجر( ⌧
Artinya: “Maka pada hari itu tiada seorangpun yang menyiksa seperti siksa-Nya” (Q.S. Al Fajr: 25)
Yang dimaksud dalam kalimat dari ayat ini “menyiksa” adalah kekerasan
akibat Allah. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia kekerasan adalah
perihal atau sifat keras atau padat, perbuatan seseorang atau sekelompok orang
yang menyebabkan cedera atau artinya orang lain.4
Dalam laporannya di Jawa Tengah, fatayat NU menyimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan kekerasan adalah melakukan tindakan atau serangan pada
seseorang baik secara fisik atau non fisik dan berakibat penderitaan pada korban.5
Sedangkan Damik mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah
perwujudan historis dari hubungan-hubungan kekuasaan antara laki-laki dan
perempuan yang telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap kaum
perempuan oleh kaum laki-laki dan hambatan kemajuan bagi mereka.6
3 Fathul Djannah, dkk. Kekerasan terhadap istri(Jogyakarta: LKiS, 2003), h. 11. 4 Dekdibud, kamus bahasa Indonesia (kamus besar bahsa Indonesia) (Jakarta: balai pustaka,
1988), h. 758 5 Fatayat NU Kekerasan Pada Perempuan Di Banjar Negara (Jawa Tegah: laporan penelitian
NU dan the asian development bank, Jakarta: 2001), h. 5 6 DKI Jakarta. Penetapan Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT laporan
penelitian),h.29
44
2. Pengertian Rumah Tangga
Menurut Ensiklopedia Nasional jilid ke-1, yang dimaksud dengan
“rumah” adalah tempat tinggal atau bangunan untuk tinggal manusia.
Sementara rumah tangga memiliki pengertian tempat tinggal beserta
penghuninya dan apa-apa yang ada di dalamnya.7
Secara bahasa, kata rumah (al bait) dalam Al Qamus Al Muhith
bermakna kemuliaan; istan; keluarga seseorang; kasur untuk tidur, bisa pula
bermakna menikahkan, atau bermakna orang yang mulia.8 Dari makna bahasa
tersebut, rumah memiliki konotasi tempat kemuliaan, sebuah istana, adanya
suasana kekeluargaan, kasur untuk tidur, dan aktivitas pernikahan. Sehingga
rumah tidak hanya bermakna tempat tinggal, tetapi juga bermakna penghuni
dan suasana.Rumah tangga islami bukan sekedar berdiri di atas kenyataan
kemusliman seluruh anggota keluarga. Bukan juga karena seringnya terdengar
lantunan ayat-ayat Al Qur’an dari rumah itu, bukan pula sekedar karena anak-
anaknya disekolahkan ke masjid waktu sore hari. Rumah tangga islami adalah
rumah tangga yang di dalamnya ditegakkan adab-adab islami, baik yang
menyangkut individu maupun keseluruhan anggota rumah tangga. Rumah
tangga islami adalah sebuah rumah tangga yang didirkan di atas landasan
ibadah. Mereka bertemu dan berkumpul karena Allah, saling menasehati
dalam kebenaran dan kesabaran, serta saling menyuruh kepada yang ma’ruf
7 Ensiklopedia nasional Indonesia jilid ke 1 8 Qomus Arab Indonesia
45
dan mencegah dari yang mungkar, karena kecintaan mereka kepada
Allah.Rumah tangga islami adaah rumah tangga teladan yang menjadi teladan
yang menjadi panutan dan dambaan umat. Mereka betah tinggal di dalamnya
karena kesejukan iman dan kekayaan ruhani. Mereka berkhimat kepada Allah
SWT. Dalam suka maupun duka, dalam keadaan senggang maupun
sempit.Rumah tangga islami adalah rumah yang di dalamnya terdapat sakinah,
mawadah dan rahmah (perasaan tenang, cinta dan kasih sayang). Perasaan itu
senantiasa melingkupi suasana rumah setiap harinya. Seluruh anggota
keluarga merasakan suasana “surga” di dalamnya. Baiti jannati, demikian
slogan mereka sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw. Subhanalah!“dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ruum:21) Hal itu terjadi karena Islam telah
mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik yang berskala individu
maupun kelompok, hubungan antar individu, antar kelompok masyarakat,
bahkan antar negara. Demikian pula, dalam keluarga terdapat peraturan-
peraturan, baik yang rinci maupun global, yang mengatur hubungan individu
maupun keseluruhannya sebagai satu kesatuan. Iniah ciri khas rumah tangga
islami. Mereka berserikat dalam rumah tangga itu untuk berkhidmat pada
46
aturan Allah swt. Mereka bergaul dan bekerja sama di dalamnya untuk saling
menguatkan dalam beribadah kepada-Nya.9
B. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut UU No. 23 Tahun 2004
Tanggal 22 September 2004 bisa jadi merupakan tanggal bersejarah bagi
kalangan feminis di Indonesia. Setidaknya satu dari sekian banyak agenda
perjuangan mereka yang terkait dengan isu perempuan/yakni upaya pencegahan
dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga akhirnya membuahkan hasil.
Pemerintahan dan DPR RI akhirnya sepakat untuk mengesahkan undang-undang
No 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga atau
dikenal dengan UU KDRT.10
Hanya saja, seperti yang sudah diduga sebelumnya, pengesahan undang-
undang ini akhirnya memang banyak menuai kontroversi. Selain banyak kalangan
yang merasa kecolongan, mereka juga menilai keberadaan undang-undang yang
disponsori penuh oleh the Asia Foundation ini dibangun diatas paradigma yang
salah. Wajar jika materi hukumnya pun syarat dengan pasal-pasal bermasalah.11
Kekerasan apapun yang terjadi dalam masyarakat, sesungguhnya
berangkat dari satu idiologi tertentu yang mengesahkan penindasan disatu pihak-
pihak perseorangan maupun kelompok terhadap pihak lain yang disebabkan oleh
9 http://embuntarbiyah.wordpress.com/2007/07/24/rumah-tangga-islami/ 10 Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwekerto, Fajar Pustaka, 2006), cet. Ke-1, h. 1. 11 Ibid
47
anggapan ketidak setaraan yang ada dalam masyarakat. Pihak yang tertindas
disudutkan pada posisi yang membuat mereka berada dalam ketakutan melalui
cara penampakan kekuatan secara periodik.
Kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) adalah bentuk
penganiayaan (abuse) oleh suami terhadap istri atau sebaliknya baik secara fisik
(patah tulang, memar, kulit tersayat), maupun emosional atau psikologis (rasa
cemas, depresi dan perasaan rendah diri). Dalam rumusan yang lain, kekerasan
dalam rumah tangga didefinisikan setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
secara sendiri atau bersama-sama terhadap seorang perempuan atau terhadap
pihak yang tersubordinasi lainnya dalam rumah tangga, yang mengakibatkan
kesengsaraan secara fisik, seksual, ekonomi, ancaman psikologis termasuk
rampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Dalam perkembangannya,
kekerasan dalam rumah tangga sesungguhnya tidak hanya terjadi antara suami
dengan istrinya saja, tetapi juga bisa terjadi antara orang tua dengan anak
(kekerasan terhadap anak) atau antara majikan dengan pembantunya yang terjadi
di dalam lingkup keluarga.12
Bentuk kekerasan yang palang sering terjadi adalah kekerasan terhadap
istri atau yang lebih tepat kekerasan terhadap perempuan oleh pasangan intim.
Kekerasan terhadap perempuan menyebabkan dan melestarikan subordinasi.
Subordinasi terhadap perempuan sudah berlangsung cukup lama dan bersifat
universal, hanya bentuk subordinasinya yang beragam dengan intensitas yang
12 Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwekerto, Fajar Pustaka, 2006), cet. Ke-1, h. 3.
48
berbeda-beda. Subordinasi tidak sekedar perbedaan seksual dalam arti biologis,
tetapi kemudian berkembang pada perbedaan fungsi-fungsi reproduksi dan
produksi, baik dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi, ideologi kelas,
maupun stratifikasi sosial melalui serangkaian sosialisasi untuk melanggengkan
posisi perempuan yang subordinat.13
Terjadinya kekerasan dalam rumah tangga bermula dari adanya pola relasi
kekuasaan yang timpang antara laki-laki (suami) dengan perempuan (istri).
Kondisi ini tidak jarang mengakibatkan tindakan kekerasan oleh suami pada
istrinya justru dilakukan sebagai bagian dari penggunaan otoritas yang
dimilikinya sebagai kepala keluarga. Justifikasi atas otoritas itu bisa lahir
didukung oleh perangkat undang-undang Negara atau oleh persepsi-persepsi
sosial dalam bentuk mitos-mitos superioritas seorang laki-laki yang dipercayai
oleh masyarakat tertentu. 14
Dalam konsideran undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dijelaskan bahwa kebanyakan
korban KDRT adalah perempuan yang harus mendapatkan perlindungan Negara
atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman
kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat
13 Ibid 14 Ibid
49
kemanusiaan.15 Di samping itu, perlunya undang-undang ini disahkan karena
system hukum yang ada belum dinilai bisa menjadi perlindungan terhadap korban
kekerasan dalam rumah tangga.
Pengertian kekerasan dalam rumah tangga sebagai mana yang dijelaskan
dalam bab 1 ketentuan umum pasal 1, yang menyatakan bahwa:
1. Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan. Yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.16
2. Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan
oleh Negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan melindungi korban
kekerasan dalam rumah tangga.
3. Korban adalah yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam
lingkup rumah tangga.17
Didalam BAB III Undang-Undang PKDRT tentang larangan kekerasan dalam
rumah tangga disebutkan bahwa:
15 Undang-undang republic Indonesia no 23 tahun 2004 tentang kekerasan dalam rumah
tangga 16 Undang-Undang RI Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004 17 Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia Undang-undang RI No 23
tahun 2004 ,(Jakarta: Undang-undang RI No 23 tahun 2004 ,), h. 10.
50
Dalam Pasal 5 setiap orang dilarang kekerasan dalam rumah tangga
terhadap orang lingkup rumah tangganya dengan cara:
a. Kekerasan fisik
b. Kekerasan psikis
c. Kekerasan seksual
d. Penelantaran rumah tangga.
Dan dalam Pasal 6 disebutkan “kekerasan fisik sebagai mana dimaksud
dalam pasal 5 huruf (a) adalah perubahan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat”.
Sedangkan dalam Pasal 7 dijelaskan “kekerasan psikis sebagai mana yang
dimaksudkan dalam pasal 5 huruf (b) adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,
rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang”. Dan dalam
Pasal 8 menguraikan kekerasan seksual yang dimaksudkan dalam pasal 5 huruf
(c) meliputi:
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang menetapkan
dalam lingkup rumah tangga tersebut.
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau untuk tujuan
tertentu.
Dan dalam Pasal 9 ayat (2) menyebutkan “penelantaran sebagai mana
dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara menbatasi dan atau melarang untuk bekerja
51
yang layak didalam atau diluar sehingga korban berada dibawah kendali orang
tersebut18”
C. Faktor-Faktor Penyebab Munculnya KDRT
Islam sebenarnya tidak pernah menolak hak wanita, bahkan memberikan
kemungkinan-kemungkinan kepadanya untuk menuntut cerai kepada hakim apa
bila mengalami penderitaan hebat, siapapun takan tahan mengalami penderitaan
terus-menerus. Berdasarkan penderitaan itu, seorang wanita boleh menuntut cerai.
Dan adalah kewajiban hakim untuk memeriksa kebenaran pengaduan tersebut
dengan seksama, bila memang benar, maka bolehlah wanita diceraikannya oleh
suaminya.
Adapun faktor-faktor penyebab munculnya KDRT diantaranya adalah:19
1. Disebabkan oleh masalah ekonomi
Suami tidak mampu memberi nafkah kepada istri dan anaknya sebagai
mana tertera dalam firman Allah dalam surat Al Baqarah: 231 yang berbunyi:
)231: البقرة( Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir
iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf,( Q.S. Al Baqarah:231)
18 Ibid 19 Mufidah Ch. “Psikologi Keluarga Islam Bewawasan Gender” (Malang, UIN Malang
press.2008) cet.ke-1.h269.
52
Maksud ayat di atas, bahwa apa bila suami itu mempertahankan
istrinya maka wajib menahannya dengan ma’ruf atau bila hendak
menceraikannya maka harus dengan cara yang baik pula. Tidak diragukan
bahwa dengan tidak memberi nafkah berarti tidak dapat mempertahankan istri
dengan ma’ruf.
2. Disebabkan oleh perbedaan prinsip20
Apabila antara suami istri terdapat perbedaan pendapat dan
pertengkaran yang memuncak sehingga kedua belah pihak tidak dapat
mengatasinya dengan sendiri, maka dapat diutus seorang hakim dari pihak
suami atau dari pihak istri. Kasus krisis rumah tangga yang memuncak ini
dalam dalam istilah fiqih disebut dengan syiqaq. Perceraian karena perbedaan
prinsip ini diberikan solusi dalam Al Quraan surat Al Baqoroh ayat 229 yang
berbunyi:
⌧
)229: البقرة( Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (q.s. al baqarah:229)
3. Disebabkan karena kasus akhlak
Kehidupan keluarga terutama orang tua mempunyai kedudukan istimewa
dimata anak-anaknya, karena orang tua mempunyai tanggung jawab yang besar
20 Ibid.
53
untuk mempersiapkan dan mewujudkan masa depan yang lebih baik, maka
mereka orang tua berperan aktif dalam membimbing anak-anaknya dalam
kehidupan didunia yang penuh dengan cobaan dan godaan, dalam hal ini ibu
bapak menempati posisi sebagai tempat rujukan dan keluh kesah bagi anak, baik
dalam soal moral maupun dalam memperoleh informasi. Gerak dan aktifitas ini
harus disadari oleh seseorang semenjak dia menjadi ibu bapak dari anak-anaknya.
4. Disebabkan tidak adanya keharmonisan dalam keluarga
Betapa pentingnya keterlibatan semua unsur (yang berkompeten) untuk
memberikan pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai cara-cara
membentuk keluarga yang harmonis, sebab tentu faktor ini banyak terjadi
dikarenakan kurangnya pengertian mereka dalam pembinaan rumah tangga yang
baik. Krisis akhlak adalah kemerosotan moral yang terjadi pada diri manusia, hal
ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Bapak sebagai keluarga yang seharusnya
menjadi contoh bagi anak-anaknya justru berbuat kesalahan besar. Apabila
disadari sepenuhnya semua sikap orang tua secara tidak langsung dan disengaja
merupakan pendidikan moral dan menjadi unsur kepribadian anak. Karena itu
apabila seorang anak yang dilahirkan dan disebabkan dalam kehidupan rumah
tangga atau keluarga yang beragama, rukun damai serta berakhlak mulia. Maka
pada masa dewasanya nanti anak akan berakhlak mulia dan dalam hidupnya taat
dalam beragama.21
21 Ibid
54
Ahmad Murray mengidentifikasikan hal dominasi pria dalam kontek
struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:
a. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap superiolitas sumber daya dibandingkan dengan
wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
b. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan kesempatan bagi wanita untuk bekerja
mengakibatkan wanita dan istri ketergantungan terhadap suami, dan ketika
suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
c. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikan menanggung beban sebagai
pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka
suami akan menyalahkan istri sehingga terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
d. Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum,
mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan
segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk
melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap
anaknya agar menjadi tertib.
e. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
55
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami
kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga
penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim, yang
dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami
melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
f. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Aksi kekerasan yang sering terjadi disekitar kita dilihat dari jenisnya
dapat diklasifikasikan kedalam empat jenis yaitu, kekerasan langsung (direct
violence), kekerasan tidak langsung (indeirect violence), kekerasan represif
(refressive violence), dan kekerasan alternatif (alenating violence).22
g. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung merujuk pada tindakan yang menyerang fisik atau
psikologi seseorang secara langsung. Yang termasuk dalam kategori ini
adalah semua bentuk pembunuhan individual atau kelompok, seperti
permusuhan etnis, kejahatan perang, pembunuhan massal dan juga semua
bentuk tindakan paksa atau brutal yang menyebabkan penderitaan fisik atau
psikologis seseorang (pengusiran paksa terhadap suatu masyarakat,
penculikan, pemerkosaan, penganiayaan). Semua tindakan tersebut
merupakan tindakan yang mengganggu hak asasi manusia yang paling
mendasar yakni hak untuk hidup.
1) Kekerasan tidak langsung
22 Jamil Salmi, Violence And Democtratic Society, Hooliganisme Dan Masyarakat Demokrasi, Alih Bahasa Slamet Raharjo, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hal. 33-40.
56
Kekerasan tidak langsung adalah tindakan yang membahayakan
manusia. Bahkan kadang-kadang ancaman kematian, tetapi tidak
melibatkan hubungan langsung dengan korban.
2) Kekerasan represif
Kekerasan represif adalah berkaitan dengan pencabutan hak dasar
untuk bertahan hidup dan untuk melindungi dari kesakitan dan
penderitaan. Oleh karena itu termasuk kedalam pelanggaran hak asasi
manusia seperti mengekang kebebasan , martabat manusia dan kesamaan
hak bagi semua manusia.
3) Kekerasan alienatif
Kekerasan alienatif merujuk kepada pencabutan hak-hak individu
yang lebih tinggi, misalnya hak pertumbuhan kejiwaan (emosi), budaya
atau intelektual (rights to emotional, cultural or intellectual growth).23
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan bentuk pelanggaran
hak asasi manusia yang harus segera ditanggulangi, begitu banyak bentuk
kekerasan dalam rumah tangga, seperti kekerasan fisik (pemukulan,
penganiayaan, penjambakan dan lain sebagainya), kekerasan seksual
(pemerkosaan, eskploitasi seksual, pembudakan seksual, kehamilan paksa,
aborsi dan lain sebagainya). Kekerasan psikologis (ancaman, intimidasi,
penyisihan dan lain sebagainya), dan kekerasan ekonomi (larangan untuk
bekerja, eskploitasi tenaganya, dan lain sebagainya), sedangkan korban
23 Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwekerto, Fajar Pustaka, 2006), op cit. h 77.
57
kekerasan dalam rumah tangga bisa siapa saja, suami, istri, anak, anggota
keluarga lainya atau siapapun yang tinggal dalam rumah tangga, akan
tetapi yang sering jadi korban kekerasan dalam rumah tangga pada saat ini
adalah kaum perempuan atau istri dan anak. 24
Menurut undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang tindak kekerasan
terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam yaitu:
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk kedalam golongan ini
antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak),
menendang, menyundut dengan rokok, memukul / melukai dengan sengaja dan
lain sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti biru-biru, muka
lebam, gigi patah atau luka lainnya.
2. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya dan penderitaan psikis pada seseorang. Prilaku
kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan,
komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir
24 Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwekerto, Fajar Pustaka, 2006), op cit. hal. 81.
58
istri dari dunia luar, mengancam atau menakuti-nakuti sebagai sarana
memaksakan kehendak.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari
kebutuhan batinnya, memaksa hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri,
tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah
tidak memberi nafkah istri, bahkan memberikan uang istri.
Lebih dari itu, kekerasan atau kejahatan sendiri dipicu oleh dua hal.
Pertama, faktor individual. Yaitu tidak ada ketakwaan pada individu-individu,
lemahnya pemahaman terhadap relasi suami istri dalam rumah tangga, dan
karakteristik individu yang temperamental adalah pemicu dari seseorang
untuk melanggar hukum syara’ termasuk melakukan tidakan KDRT. Kedua,
faktor sistemik, yaitu kekerasan yang terjadi saat ini sudah menggejala
menjadi penyakit sosial di masyarakat, baik di lingkungan domestik maupun
publik. Kekerasan yang terjadi bersifat structural yang disebabkan oleh
berlakunya sistem yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat, yang
59
mengakibatkan nilai-nilai ruhiyah dan menafikan perlindungan atas eksistensi
manusia.
D. Pandangan Hukum Islam Terhadap Kekerasan Dalam Rumah tangga
Kekerasan terhadap wanita adalah bentuk kriminalitas (jarimah)
pengertian kriminalitas (jarimah) dalam islam adalah tindakan melanggar
peraturan yang telah ditentukan oleh syariat islam dan termasuk kedalam kategori
kejahatan. Sementara kejahatan dalam islam adalah perbuatan tercela. (al qobih)
yang ditetapkan oleh hukum syara’, bukan yang lain. Sehingga apa yang
dianggap sebagai tindakan kejahatan terhadap wanita, dengan anggapan wanita
telah menjadi korbannya.25
Padahal, kejahatan bukan perkara gender (jenis kelamin) pasalnya,
kejahatan bisa menimpa siapa saja, baik laki-laki ataupun perempuan. Pelakunya
juga bisa laki-laki ataupun perempuan. Dengan demikian islam pun menjatuhkan
sangsi tanpa melihat apakah korbannya laki-laki ataupun perempuan, tapi yang
dilihat apakah dia melanggar hukum Allah SWT atau tidak. Kekerasan juga
bukan disebabkan sistem patriarki atau karena adanya subordinasi kaum
perempuan, Karena laki-laki maupu perempuan mempunyai peluang yang sama
sebagai korban. Kalaupun data yang tersedia lebih banyak menyebut wanita
sebagai korban, itu semata-mata karena data laki-laki sebagai korban tindak
25 Mufidah ch, Upaya Penghapusanya Kekerasan Terhadap Terhadap Perempuan Dan Anak
Dalam Perspektif Islam”makalah sosilisasi PKDRT di Kab Malang,
60
kekerasan tidak tersedia. Dengan begitu kekerasan tidak ada kaitannya dengan
penyetaraan hak laki-laki atau perempuan. Gagasan anti KDRT dengan mengatas
namakan pembelaan terhadap hak-hak wanita pada akhirnya justru bias gender.
Dalam kontek rumah tangga, bentuk-bentuk kekersan memang sering
terjadi, baik yang menimpa istri, anak-anak, pembantu rumah tangga, kerabat atau
pun suami. Misal ada suami yang memukuli istri dengan berbagai sebab, ibu yang
memukuli anaknya karen tidak menuruti perintah orang tua, atau pembantu rumah
tangga yang dianiaya majikan karena tidak beres menyelsaikan tugasnya. Semua
bentuk kekersan itu pada dasarnya harus dikenai sanksi karena merupakan bentuk
kriminalitas (jarimah). Dan perlu digaris bawahi dalam konteks rumah tangga,
suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya agar taat
kepada Allah SWT, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al Quran surat At
Tahrim ayat 6 yang berbunyi:
⌧
: تهريمل ا( 6(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.(Q.S. At Tahrim:6)
61
Dalam Islam mendidik istri dan anak-anak ini, bisa saja terpaksa
dilakukan dengan “pukulan”, dalam kontek pendidikan atau ta’dib ini dibolehkan
dengan batasan-batasan dan kaidah tertentu yang jelas. Kaidah itu antara lain:
pertama pukulan yang diberikan bukan pukulan yang menyakitkan, apalagi
sampai mematikan, kedua, pukulan hannya diberikan jika tidak ada jalan lain
(atuaran semua cara telah ditempuh)untuk memberikan hukuman pengertian,
ketiga, tidak boleh memukul ketika dalam keadaan marah sekali (Karena
dikhawatirkan akan membahayakan), keempat, tidak memukul pada bagian-
bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada, kelima, tidak boleh memukul
lebih dari tiga kali pukulan (kecuali dalam amat terpaksa dan tidak melebihi
sepuluh kali pukulan), keenam, tidak boleh memukul anak dibawah usia 10
tahun, ke tujuh, jika kesalahan baru pertama kali dilakukan, maka diberi
kesempatan bertobat dan minta maaf atas perbutannya.26
Dengan demikian jika seorang ayah yang memukul anaknya (dengan tidak
menyakitkan) karena si anak sudah berusia 10 tahun lebih namun belum
mengerjakan sholat, tidak bias dikatakan ayah tersebut telah melakukan
penganiayaan, akan tetapi pukulan itu dalam rangka mendidik anak untuk
mengerjakan kewajibannya. Demikiian pula istri yang tidak taat terhadap suami
atau nusyuz, missal tidak mau melayani suami padahal tidak ada uzur (sakit atau
haid), maka tidak bisa disalahkan jika suami memperingatkannya dengan
“pukulan” yang tidak menyakitkan, atau istri yang melalaikan tugas sebagai ibu
26 http://embuntarbiyah.wordpress.com/2007/07/24/rumah-tangga-islami/
62
rumah tangga karena disebabkan berbagai urusan diluar rumah, maka bila suami
melarangnya keluar rumah bukan berarti kekerasan terhadap perempuan. Dalam
hal ini bukan berarti suami telah menganiaya istri melainkan untuk mendidik istri
agar taat pada suami.27
Semua ini dikarenakan istri wajib taat kepada suami selam suami tidak
melanggar syara. Rasulullah SAW menyatakan: ”apabila seorang wanita shalat
lima waktu, puasa sebulan (ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada
suminya, maka dikatakan padanya: masuklah engkau kedalam surge dari pintu
mana saja yang engkau sukai.” (HR Ahmad, Di Shahihkan Asy Syaikh Al Albani
r.a). namun disilain, selain kewajiban taat pada suami, wanita boleh menuntut
hak-haknya seperti nafkah, kasih sayang, perlakuan yang baik dan sebagainya.
Seperti firman Allah SWT dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 228:
☺
☺
☺
☯
)228 :البقرة(Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru' tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan
27 Ibid.
63
Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. Al Baqarah: 228)
Kehidupan rumah tangga adalah dalam konteks menegakan syariat islam,
menuju ridho Allah SWT, suami dan istri harus saling melengkapi dan bekerja
sama dalam membangun runah tangga yang harmonis menuju derajat takwa.
Allah SWT berfirman dalam Al Quran surat At Taubah ayat 71.
☺ ☺
☺
☺ ☺
⌧
⌧
)71: التوبة( Artinya; “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q,S. At Taubah: 71)
Sejalan dengan itu dibutuhkan relasi yang jelas antara suami dan istri dan
tidak bisa disama ratakan tugas dan wewenagnya suami berhak menuntutnya hak-
haknya, seperti dilayani istri. Sebaliknya, auami memiliki kewajiban untuk
64
mendidik istri dan anak-anaknya memberikan nafkah yang layak dan
memperlakukan mereka dengan cara yang makruf.
Allah SWT berfirman dalam Al Quran surat An Nisa ayat 19 yang
berbunyi:
⌧
☺
⌧
☺ ☺ ⌧
⌧
: النساء( 9(
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa[278] dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata[279]. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Q.S. An Nisa:19)
Nash ini merupakan seruan kepada para suami agar mereka mempergauli
istri-istri mereka secara maruf. Menurut ath thabari, ma’ruf adalah menunaikan
hak-hak mereka. Beberapa mufasir menyatakan bahwa ma’ruf adalah bersikap
adil dalam giliran dan nafkah, memperbagus ucapan dan perbuatan. Ayat ini juga
memerintahkan menjaga keutuhan keluarga. Jika ada sesuatu tidak disukai pada
diri istrinya, selain jina dan nuyuz, suami diminta bersabar dan tidak terburu-buru
65
menceraikannya sebab, bisa jadi pada perkara yang tidak disukai, terdapat sisi
kebaikan. Jika masing- masing baik suami maupun istri menyadari perannya dan
melaksanakan hak dan kewajiban sesui syarat islam, kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) dapat terhindarkan karena rumah tangga dibagun dengan pondasi
syarat islam dikemudikan dengan kasih saying dan diarahkan oleh peta iman.
E. Pandangan Hukum Positif Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kasus-kasus kekersan dengan korban perempuan terjadi hampir setiap hari
dibarbagai belahan dunia, baik secara individual maupun secara terintegrasi
dalam peristiwa social polotik dalam sekala besar, seperti konplik bersenjata atau
kerusuhan sosial. Oleh karena itu, berbicara mengenai kekerasan terhadap
perempuan anakan menyangkut permasalahan yang sangat luas baik karena
bentuknya (kekerasan fisik, non fisik atau verbal dan kekerasan seksual) tempat
kejadiannya (di dalam rumah tangga dan di tempat umum), jenisnya
(penganianyaan, pemerkosaan, pembunuhan atau kombinasi dari ketiganya),
maupun pelaku (yang memiliki hubungan dekat atau pun orang asing). 28
Kekerasan terhadap perempuan merupakan tindak penistaan dan
pengebirian harkat manusia, dapat terjadi di semua tingkat kehidupan, baik
ditinkat pendidikan, ekonomi, budanya, agama, maupun suku bangsa. Hal ini
28 Htlp/meetabied. Word press.com/2009/12/25 Perspektif Hukum Terhadap Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Dan Upanya Pencegahannya
66
karean pada dasarnya kekersana terjadi akibat paham dunia yang masih
didominasi oleh laki-laki.29
Oleh karena itu untuk mengatasi masalah kekersan dalam rumah tangga
khususnya pada kaum perempuan dilingkungan rumah tangga, perlu tindakan
bersama antara semua pihak, dari masyarakat sampai aparat. Akan tetapi suatu
prilaku kongkrit belum akan muncul apabila belum ada perubahan sikap maupun
persepsi mengenai kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri.
Hukum positif sebagai mana dituangkan dalam undang-undang nomor 23
tahun 2004 tentang penghapusan kekersan dalam rumah tangga dimana
didalamnya termuat solusi dan upanya yang dilakukan oleh pemerintah melui
perundang-undangan guna menghapus terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
antara lain.
1. Tujuan penghapusan kekerasan dalam runah tangga termuat dalam pasal 4
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujauan:
a. mencegah segala bentuk kekersan dalam rumah tangga
b. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
c. mennindak pelaku kekersan dalam rumah tangga dan
d. memelihara keutuhan rumah tangga
2. Memenuhi hak-hak korban kekerasan dalam rumah tangga termuat dalam
pasal 10, 11, 12, 13, 14, dan 15.yang mana setiap pasal itu berbunyai:30
29 Ibid. 30 Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004
67
Dalam Pasal 1031 Korban Berhak Mendapatkan
1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga social, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
2. Pelanyanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan perahasian korban
4. Pendamping oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tinggat proses
pemeringkasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang dan
5. Pelayanan binbingan rohani
Dan dalam Pasal 11 pemerintahan bertanggung jawab dalam upanya
pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. Dan Pasal 12 Ayat (1) untuk melak
sanakan ketentuan sebagai mana dimaksud dalam pasal 11 pemerintahan
1. Merumuskan kewajiban tetangga penghapusan kekersan dalam rumah tangga
dan
2. Menyelenggarakan komunikasi informasi dan edukasi tentang kekersan dalam
rumah tangga
3. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah
tangga dan
4. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitive gender dan isu
kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan setandar dan akreditasi
pelayanan yang sensitif
31 Ibid.
68
Ayat (2) ketentuan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh mentri sedangkan dalam Ayat (3) mentri dapat melakukan kordinasi dengan
instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagai dimaksud pada ayat (2).
Dan dalam Pasal 13 Untuk penyelenggaraan pelanyanan terhadap korban
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan pungsi dan tugas masing-
masing dapat melakukan upaya32
1. Penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian
2. Penyediaan aparat tenaga kesehatan pekerja social dan pembingbing rhani
3. Pembuatan dan pengembangan system dan mekanisme kerja sama program
pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban dan
4. Memberikan perlindungan bagi pendamping saksi keluarga dan teman korban
Namun dalam Pasal 14 menjelaskan “untuk menyenggarakan upaya
sebagai mana dimaksud dalam pasal 13 pemerintahan dan pemerintah daerah
sesuai dengan pungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan kerja sama
dengan masyarakat atau lembaga sosial lain”. Dan dalam Pasal 15 Setiap orang
yang melihat, mendengar, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuan untuk:
1. Mencegah berlangsungnya tindak pidana
2. Memberikan perlindungan kepada korban
3. Memberikan pertolongan darurat
4. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan
32 Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN PERADILAN AGAMA DEPOK
A. Prosedur Penyelesaian Perkara Cerai Dan Data Cerai Di Pengadilan Agama
Depok
Perkara cerai gugat adalah perkara perceraian dimana pihak yang
mengajukan atau pihak yang menghendaki perceraian adalah pihak istri, adapun
langkah-langkah yang harus ditempuh oleh pemohon dalam perkara ini sebgai
berikut:
1. Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama (pasal
118 HIR jo pasal 73 undang-undang nomor: 7 tahun 1989 yang direvisi
dengan undang-undang nomor: 3 tahun 2006)
2. Gugatan tersebut diajukan kepada pengadilan agama:
a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat
b. Bila penggugat meninggalkan tempat kediaman bersama tampa izin
penggugat, maka gugatan harus diajukan kepada pengadilan agama yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugar(pasal 73 ayat (1)
undang-undang nomor: 7 tahun 1989 jo. Pasal 32 ayat (2) undang-undang
nomor: 1 tahun 1974)
c. Bila penggugat berkediaman diluar negri, maka gugatan diajukan kepada
pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
tergugat (pasal 73 ayat (2) undang-undang nomot: 7 tahun 1989)
68
69
d. Bila penggugat dan tergugat berkediaman diluar negri maka permohonan
diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi
tempat dilangsungkan perkawinan atau pengadilan agama Jakarta pusat
(pasal 73 ayat (3) undang-undang nomor: 7 tahun 1989
3. Gugatan tersebut memuat:
a. Nama, umur, pekara, dan tempat kediaman pemohon dan termohon
b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum)
c. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita)
4. Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama
dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau sesudah
ikrar talak diucapan (pasal 86 ayat (1) undang-undang nomor: 7 tahun 1989)
5. Membanyar perkara (pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R. Bg. Jo. Pasal 89
undang-undang nomor: 7 tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat
berperkara secara Cuma-Cuma (prodeo) (pasal 237 HIR, 273 R. Bg).
6. Penggugat dan tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan bardasarkan
panggilan pengadila agama (pasal 121, 124 dan 125 HIR, 145 R. Bg)
Proses penyelesaian perkara cerai gugat:
a) Penggugat mendaftarkan gugatan cerai gugat kepengadilan agama.
b) Penggugat dan tergugat diapnggil oleh pengadilan agama untuk menghadiri
siding pemeriksaan.
c) Tahapan pemeriksaan:
70
1) Pada pemeriksaan siding pertama, hakim berusaha mendamaikan
keduabelah pihak dan suami istri harus dating secara pribadi (pasal 82
undang-undang nomor: 7 tahun 1989 yang direfisi dengan undang-undang
nomor: 3 tahun 2006)
2) Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah
pihak agar terlebih dahulu menempuh mediasi (pasal 3 ayat (1) PERMA
nomor: 2 tahun 2003)
3) Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dialnjutkan
dengan membacakan surat gugatan, jawaban, jawab menjawab,
pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum
pembuktaian) tergugat dapat mengajukan gugatan rekonpensi atau gugat
balik (pasal 132 a HIR)
Setelah putusan memperoleh kekutan hukum tetap, maka panitera
pengadilan agama berkewajiban. Mempersiapkan akta cerai untuk diserahkan
kepada para pihak sebagai bukti cerai selambat-lambatnya tujuh hari semenjak
putusan terebut memperoleh kekuatan hukum tetap.
B. Putusan Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (studi kasus
putusan nomor 607 / pdt. G / PA. Depok Jawa Barat)
Merujuk pada surat permohonan yang diajukan oleh pemohon pada
tanggal 28 april 2009 yang kemudian terdaftar dalam registrasi sebagai perkara
nomor 607/Pdt. G/2009/PA. dpk. Telah memenuhi syarat-syarat baik formil
71
maupun substansi yang sesuai dengan prosedur permohonan yang berlaku di
Pengadilan Agam Depok setelah membaca surat-surat dan salinan sah lainnya
yang dilampirkan pada surat permohonan tersebut maka hakim memberikan
pertimbangan sebagai berikut:
1. Duduk perkara
a. Tentang para pihak, putusan ini bernomor perkara 607 / Pdt. G / PA. Dpk.
Penggugat adala istri yang berumur 32 tahun beragama Islam, pendidikan
SMK, pekerjaan wiraswasta, tempat tinggal di jalan Nuri 2, Rt 04, Rw 08
No. 105, kelurahan Depok Jaya, kecamatan Pancoran Mas, kota Depok
selanjutnya disebut penggugat. Tergugat adalan suami yang berusia 39
tahun, agama islam pendidikan STM, pekerjaan swasta, tempat tinggal di
jalan kp Pitara Rt 01, Rw 06, No.02, kelurahan Pancoran Mas kecamatan
Pancoran Mas, kota Depok selanjutnya disebut tergugat.
b. Tentang Posita / Duduk Perkara
1) Bahwa penggugat adalah istri sah tergugat, yang pernikahannya di
laksanakan pada tanggal 25 februari 2004, di Pancoran Mas kota
Depok Jawa Barat, kutipan akta nikah nomor 350 / 238 / II / 2004
tanggal 25 februari 2004, yang dikeluarkan oleh KUA kecamatan
Pancoran Mas, kota Depok Jawa Barat.
2) Selama berumah tangga telah dikaruniai satu orang anak yang berusia
4 tahun.
72
3) Semula rumah tangga antara penggugat dan tergugat rukun dan
harmonis, tapi sejak juli 2005 sanpai sekarang antara penggugat dan
tergugat sering terjadi perselisihan, adapun sebab terjadi pertengkaran
antara keduanya diantaranya:
a) Tergugat melakukan perselingkuhan dengan wanita lain.
b) Tergugat sering melakukan tindak kekerasan kepda penggugat
seperti mencekik leher, menendang dan memukul badan dan muka
penggugat dan lain sebagainya.
c) Tergugat apabila terjadi keributan dengan penggugat, selalu pulang
kerumah orang tuanya sampai berminggu-minggu bahkan
berbulan-bulan tanpa menghiraukan keberadaan penggugat dan
anak.
4) Bahwa sejak bulan maret 2009 penggugat dan tergugat telah pisah
rumah dan masing-masing berdomisili pada alamat tersebut diatas.
5) Sejak maret 2009 sampai sekarang tergugat tidak pernah memberikan
nafkah lagi kepada penggugat tergugat sudah tidak bertanggunga jwab
lagi sebagi mana layaknya seorang suami.
6) Bahwa keluarga penggugat dan tergugat telah berupanya
mendamaikan penggugat dan tergugat agar kembali rukun dalam
membina rumah tangga namun upaya tersebut tidak membuahkan
hasil.
73
7) Bahwa dengan beberapa kejadian tersebut diatas rumah tangga antara
penggugat dan tergugat sudah tidak dapat dibina dengan baik lagi
sehingga rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahman tidak
tercapi penggugat merasa menderita lahir batin dan sudah tidak
mungkin lagi untuk meneruskan rumah tangga dengan tergugat serta
tidak ada jalan terbaik kecuali perceraian.
8) Bahwa anak-anak penggugat dan tergugat sebagai mana tersebut diatas
penggugat mohon anak-anak tersebut diasuh dan dipelihara penggugat
mengingat
a) Penggugat sanggup mengasuh dan memelihara serta mendidik
anak tersebut hingga dewasa atau mandiri
b) Anak tersebut belum berusia 12 tahun.
c) Bahwa sekarang ini penggugat dalam keadaan sehat jasmani dan
rohani sesuai dengan ketentuan dan perundang-undang yang
berlaku yang berhak untuk memelihara dan mengasuh anak
tersebut adalah penggugat sebagai ibunya.
9) Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut cukup beralasan secara
hukum anak tersebut diasuh dan dipelihara (hadhanah) oleh penggugat
untuk itu mohon hak hadhanah ditetapkan terhadap penggugat.
10) Bahwa untuk memenuhi kebutuhan anak penggugat dan tergugat
tergugat sebagai ayahnya mempunya kewajiban untuk memenuhi
nafkah anak tersebut penggugat menuntut agar terguggat memenuhi
74
nafkah anak tersebut minimal sebesar Rp 1.500.000,- perbulan diluar
biaya pendidikan dan kesehatan.
C. Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara
Adapun tentang pertimbangan hukumnya, bahwa maksud dan tujuan
perkawian tidak terwujud. Pada pokonya gugatan penggugat memuat hal-hal
sebagai berikut: (1) antara penggugat dan tergugat terdapat ikatan perkawinan
yang sah sejak tanggal 25 februari 2004 dengan bukti kutipan akta nikah dengan
nomor 350 / 238 / II / 2004 di KUA kecamatan Pancoran Mas, (2) rumah tangga
penggugat dan tergugat sudah sudah tidak harmonis lagi dan tidak dapat
dipertahankan lagi, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang berakibat
kekerasan fisik dan fsikis yang dialami oleh penggugat, (3) majelis telah
mendengarkan keterangan para saksi dari kedua belah pihak yang menyatakan
bahwa tergugat sering melakukan penganiayaan kepada penggugat.
Berdasarkan keterangan yang sudah di sampaikan baik itu oleh penggugat
dan para saksi-saksi dari kedua belah pihak maka hakim berkesimpulan bahwa
yang menjadi tujuan dari rumah tangga yakni untuk membentuk keluarga yang
sakinah mawaddah dan waruhmah, sebagai mana yang di jelaskan dalam suara Ar
Rum ayat 21
☯
75
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q. S. Ar rum: 21)
Dan undang-uandang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 jo
kompilasi hukum Islam (KHI) pasal (3) itu tidak dapat terwujud dikarenakan
berbagai faktor yang mengakibatkan perceraian atau putusnya tali suami istri.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka gugatan penggugat dapat
dikabulkan berdasarkan pasal 19 huruf (f) PP No. 9 tahun 1975 tentang
pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 116 huruf (d) dan
huruf (f) kompilasi hukum Islam (KHI). Dalam hal ini istri selaku penggugat atau
korban dari kekerasan rumah tangga, sedangkan dalam gugatan tersebut ada
beberapa faktor yang menyebabkan penggugat harus melaporkan perkara ini
kepada pengadilan agama depok selaku wilayah hukum. Salah satu gugatan yang
diperkarakan oleh istri dalam hal ini penggugat adalah: bahwa dari bulan juli
2005 penggugat dengan tergugat sering berselisih dan bertengkar, bahwa tergugat
sering melakukan tindak kekerasan terhadap penggugat, bahwa dari maret 2009
penggugat dengan tergugat berpisah tempat tinggal.
Adapun pertimbangan hakim mengabulkan gugatan penggugat untuk
bercerai kepada suaminya, karena penggugat bersih keras terhadap pendiriannya
76
untuk tetap bercerai dengan tergugat (suaminya), selain itu banyak hal yang
menyebabkan penggugat (istri) ingin bercerai, salah satunya adalah suami
melakukan perselingkuhan dengan wanita lain, dan sering melakukan tindak
kekerasan terhadap penggugat (istri), hal ini lah yang menyebabkan ketidak
harmonisan dalam membangun rumah tangga, selain sering terjadi percekcokan
yang terus terjadi dan sering meninggalkan kewajibannya selaku kepala keluarga
dalam membina dan meberi nafkah terhadap anak istrinya.
Pertimbangan lainnya adalah adanya kesaksian dari dua orang saksi yang
kedua-duanya kenal kepada penggugat dan tergugat ini menjadi dalil untuk
memjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan gugatannya. Dan hal ini telah
dilakukan mediasi secara kekeluargaan antara kedua belah pihak namun tidak
mendapatkan hasil untuk menjalankan rumah tangga antara penggugat dengan
tergugat, dengan demikian majelis hakim menilai gugatan penggugat telah
memenuhi ketentuan yang tertuang didalam pasal 116 (d) dalam kompilasi hukum
Islam (KHI) yang berbunyi “salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain” dan juga tertuang dalam
poin (b) dinyatakan bahwa “antara suami dan istri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga”
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas cukup alasan bagi majelis hakim untuk menjatuhkan talak satu bain sughra
tergugat terhadap penggugat. Dengan demikian majelis hakim berpendapat bahwa
77
gugatan penggugat telah diajukan berdasarkan hukum sesuai ketentuan pasal 19
huruf (d dan f) PP Nomor 9 tahun 1975 jo pasal 116 huruf (d dan f) kompilasi
hukum islam dan oleh karenanya gugatan penggugat untuk bercerai dapat
dikabulkan.
D. Analisis Penulisan Hasil Penelitan
Kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau
sejumlah orang yang berposisi kuat (merasa kuat) kepada seseorang atau sejumlah
orang yang berposisi lemah (dipandang lemah/dilemahkan), yang dengan sarana
kekuatannya, baik secara fisik ataupun non fisik dengan segaja dilakukan untuk
meninbulkan penderitaan kepada obyek kekerasan.1 Dengan kata lain kekerasan
secara umum didefinisikan sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk melukai
seseorang atau merusak barang. Dalam hal ini segala bentuk ancaman, cemoohan,
penghinaan, pengucapan kata-kata kasar. Juga diartikan sebagai penggunaan
kekuatan fisik untuk melukai manusia atau merusak barang, serta mencakup
ancaman pemaksaan terhadap kekerasan indifidu.2
Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan kekerasan
dalam rumah tangga adalah sebuah perbuatan seseorang atau sekelompok orang
yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan
1 Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, Mufidah Ch, (Malang: UIN Malang:
2008)cet-ke1, h, 267. 2Deklarasi PPB Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, (Jakarta: Buletin LBH APIK,
2003), h. 3.
78
fisik atau barang orang lain. Sedangkan rumah tangga dalam kamus besar bahasa
Indonesia adalah suatu yang berkenaan dengan masalah kehidupan di
rumah.3Dengan demikian penulis dapat menyimpulkan bahwasannya kekersan
dalam rumah tangga merupakan suatu tindak penindasan, kesombongan,
kerusakan, dan menghilangkan hak-hak dasar manusia yang bertentangan dengan
nilai-nilai islam. Kalau kita pahami islam dan dipahami dan diamalkan tetapi
mencedrai pesan-pesan ideal islam, sama saja prilaku itu akan menghancurkan
citra islam, dan jauh dari sunnah Rasulullah karena sesungguhnya tindakan
seperti itu senyatanya telah keluar dari rambu-rambu etika Islam.
Islam menghendaki seseorang tidak boleh melakukan kekerasan kepada
siapapun (menjadi pelaku), dan memerintahkan untuk tidak menjadi korban .
karena itu pelaku kekersan harus ditindak tegas, demikian pula perlindungan
terhadap korban kekerasan harus dilakukan sebagai bentuk keberpihakan kepada
perempuan atau anak korban kekerasan untuk pulih dan bisa hidup normal. Dalam
hadis yang diriwayatkan oleh Al Turmudzi yang artinya”ingatlah aku berpesan
agar kalian berbuat baik terhadap perempuan karena mereka sering menjadi
sasaran pelecehan diantara kalian, padahal sedikitpun kalian tidak berhak
memperlakukan mereka, kecuali untuk kebaikan itu”. Dengan demikian jauh
sebelumnya Rasulullah telah memprediksi bahwa problem relasi gender akan
terjadi sepanjang sejarah kehidupan manusia, untuk itu pesan beliau
3 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kanus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka), cet-ke2, h.429.
79
mengisaratkan bahwa laki-laki memiliki potensi untuk melakukan kekerasan dan
ketidak adilan terhadap perempuan, disisi lain Rasulullah mengisyaratkan bahwa
perempuan berhak memperoleh perlindungan dan terbebas dari berbagai
penindasan. Kekerasan terhadap istri merupakan masalah sosial yang kurang
mendapatkan tanggapan yang serius dari masyarakat karena: Pertama, memiliki
ruang lingkup yang relatif tertutup (pribadi) dan terjaga ketat privacinya karena
persoalannya terjadi dalam keluarga. Kedua, sering dianggap “wajar” karena
diyakini bahwa memperlakukan istri sekehendak suami merupakan hak suami
sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Ketiga, terjadi dalam lembaga-
lembaga yaitu dalam perkawinan. Pada undang-undang nomor 23 tahun 2004
tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT), adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga,
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.4
Kalau kita perhatikan tujuan dari pernikahan pada mulanya untuk
menciptakan keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah sebagai mana yang
dicantumkan dalam kompilasi hukum islam (KHI)5 dan ini merupakan cita-cita
setiap insan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Akan tetapi tidak semua
4 Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Pasal 1. 5 Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 3.
80
orang mencapai cita-cita tersebut dengan mudah, karena dalam perjalanannya
sering sekali bahtera rumah tangga kandas ditengah jalan. Dan tidak semudah
yang mereka bayangkan seperti membalikan telapak tangan. Bahkan tidak jarang
perselisihan tersebut berakhir dengan kekerasan, baik fisik, psikologis, ekonomi,
atau bentuk kekerasan lainnya yang mengakibatkan istri terluka baik jasmani
ataupun rohaninya, akan tetapai pada perkembangannya kaum perempuan mulai
berani melakukan perlawanan dengan kondisi yang memojokkan tersebut.
Dengan adanya undang-undang penghapusan kekerasam dalam rumah rangga
nomor 23 tahun 2004, berarti perlindungan terhadap perempuan mulai
diperhatikan dalam masyarakat, sedangkan dalam ruang lingkup keluarga
perempuan mulai berani melakukan upaya-upaya hukum dalam menyelesaikan
perselisihan yang disertai dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Kekerasan yang terjadi di masyarakat yang disebabkan banyakna factor
yang menyebabkan terjadinya keretakan dalam menjalani bahtera rumah tangga,
antara lain dari factor dalam diri seseorang yaitu sikap bawaan dari diri seseorang,
sikap kedewasaan yang mana masing-masing pasangan tidak bisa memahami
keadaan pasangannya, lalu factor ekonomi yang sering mendominasi penyebab
awal mulanya terjadi keretakan rumah tangga menjadi tidak harmonis, selain
factor interen ada junga factor eksteren yang menyebabkan terjadinya keretakan
dalam rumah tangga salah satunya adanya wanita idaman lain, ini yang
menyebabkan ketidak harmonisan dalam rumah tangga karena ada pihak ketiga
81
dalam hal ini adalah orang yang mengganggu ketenangan dan kerukunan perasaan
pasangan suami istri.
Dari bentuk-bentuk kekerasan tersebut, dalam putusan perkara nomor 607
/ Pdt. G / 2009 / PA. DEPOK. Terdapat beberapa kekerasan berupa kekerasan
fisik ataupun fisikis.
Maka disini penulis akan mencoba menganalisis masalah perceraian atau
cerai gugat akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diputuskan oleh
pengadilan agama depok. Perkara ini diperiksa oelh pengadilan agama depok
yang mengambil sumber hukum undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974,
PP No. 9 Tahun 1975 serta inpres tahun 1991 kompilasi hukum islam, dimana
ketiga perundang-undangan ini adalah sebagai rujukan pada peradilan agama
diseluruh Indonesia.
Dari putusan yang penulis dapatkan, kekerasan rumah tangga yang
dijadikan alasan putusnya perkawinan (alasan perceraian) padahal dalam
kompilasi hukom islam serta PP nomor 9 tahun 1975 tentang pelak sanaan
undang-uandang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawian tidak menyebutkan
kekerasan dalam rumah tangga tidak menjadi alasan putusnya perkawinan
(perceraian). Dan mengapa hakim dalam putusannya tidak mencantumkan pasal
dalam undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
nomor 23 tahun 2004.
Kalau kita analisis, maka ada kata-kata kekejaman dan penganiayaan berat
pada isi kompilasi hukum islam (KHI) pada pasal 116 poin (d) yang memang
82
tidak menyebutkan secara gamblang bahwa kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) itu sebagai alasan perceraian. Namun, kalau kita tafsirkan lagi maka
kata-kata kekejaman dan penganiayaan berarti itu mengarah kepada objek berupa
fisik atautubuh. Dimana pada undang-undang nomor 23 tahun 2004 pada pasal
lima disebutkan bahwa “setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam
rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengna cara (a)
kekerasan fisik, (b) kekerasan fisikis, (c) kekerasan seksual, (d) penelantaran
rumah tangga” jadai dapat dikatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga dan
penelantara rumah tangga menjadi alasan hakim untuk memutuskan perkawinan
atau penyebab perceraian.
Didalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 pada pasal 39 ayat 2
menyebutkan “ untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa
antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri” adapun salah
satu alasan perceraian akibat kekerasan dalam rumah tangga yang memang tidak
diuaraikan secara gamlang, ini terdapat dalam kompilasi hukum islam (KHI) pada
pasal 116 poin (d) “salah satu pihak melakukan kekejaman dan penganiayaan
berat yang membahanyakan pihak lain” kalu kita lihat melalui undang-undang ini
istri bisa mengajukan kepada pengadilan untuk bercerai yang diakibatkan oleh
factor kekersan dlam rumah tangga.
Kalau kita tinjau dari hukum positif, putusan hakim tidak semena-mena
untuk mengabulkan gugatan cerai yang diajukan istri karena majelis hakim telah
melalui beberapa tahap mulai dari mediasi, perundingan (musyawarah tingkat
83
keluarga) sudah dilakukan guna merajut kembali rumah tangganya tetap hidup
rukun, damai dan sejahtra sesuai dengan tujuan perkawinan. Dengan demikian
kalau kita melihat dari perkara yang diputus oleh pengadilan agama depok telah
memberikan gugatan kepada penggugat untuk menceraikan suaminya (tergugat),
karena dalil yang diajukan penggugat dalah dalil yang benar dan telah dilengkapi
dengan dalil-dalil dan bukti-bukti dan saksi-saksi yang sah menurut hukum. Dan
mengabulkan kepada penggugat untuk memiliki hak hadhanah terhadap anak
karena masih dibawah usia 12 tahun maka hak hadhonah diberikan kepada
penggugat dalam hal ini istri, ini sesuai dengan pasal 105 Kompilasi Hukum
Islam (KHI) poin (a) “pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau yang belum
berusia 12 tahun adalah hak ibunya”
Akan tetapi hakim Pengadilan Agama Depok dalam putusan ini tidak
merujuk kedalam undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) nomor 23 tahun 2004, dengan pertimbangan hakim cukup menggunakan
undang-undang dalam pasal 116 poin (d) dalam Kompilasi Hukum Islam.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian dan menganalisa putusan Pengadilan Agama
Depok dengan nomor perkara 607 / Pdt. G / PA. Depok. Tentang kasus cerai
gugat yang disebabkan tindak kekerasan dalam rumah tangga dapat disimpulkan
bahwa:
1. Setelah dilakukan analisa putusan maka permasalahan idiologi atau perbedaan
prinsip antar individu, ekonomi, kurangnya pemahaman terhadap ajaran
agama, tidak adanya keharmonisan dalam keluarga dan kurang kesadaran
terhadap hukum menjadi faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam
rumah tangga yang sering terjadi di pengadilan agama Depok, bentuk
kekerasan tersebut cenderung pada kekerasan fisik dan psikis karena melihat
korban yang mengalami keluhan fisik dan batinnya, ini menunjukan
terjadinya kekerasan secara fisik maupun psikis.
2. Dalam Islam mendidik istri dan anak-anak, bisa saja terpaksa dilakukan
dengan “pukulan”, dalam kontek pendidikan atau ta’dib ini dibolehkan
dengan batasan-batasan dan kaidah tertentu yang jelas. Kaidah itu antara lain:
pertama pukulan yang diberikan bukan pukulan yang menyakitkan, apalagi
sampai mematikan, kedua, pukulan hanya diberikan jika tidak ada jalan lain
(aturan semua cara telah ditempuh) untuk memberikan hukuman pengertian,
84
85
ketiga, tidak boleh memukul ketika dalam keadaan marah sekali (Karena
dikhawatirkan akan membahayakan), keempat, tidak memukul pada bagian-
bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada, kelima, tidak boleh
memukul lebih dari tiga kali pukulan (kecuali dalam amat terpaksa dan tidak
melebihi sepuluh kali pukulan), keenam, tidak boleh memukul anak dibawah
usia 10 tahun, ke tujuh, jika kesalahan baru pertama kali dilakukan, maka
diberi kesempatan bertobat dan minta maaf atas perbutannya.
Dalam hukum positif kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam undang-
undang nomor 23 tahun 2004 ini menunjukan akan keseriusan pemerintah
dalam melindungi kaum perempuan yang sering menjadi korban tindak
kekerasan dalam rumah tangga khususnya dan dalam kompilasi hukum islam
(KHI) juga disenutkan dalam pasal 116 poin (d) yang berbunyi ” salah satu
pihak melakukan kekejaman dan penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain”
3. Walaupun hakim tidak menggunakan undang-undang tentang penghapusan
tindak kekerasan dalam rumah tangga nomor 23 tahun 2004, tapi
pertimbangan hakim terhadap perkara yang diputus ini sangat tepat, walaupun
hakim tidak memasukan dalam putusannya tentang undang-undang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga nomor 23 tahun 2004. Ini sesuai
dengan ketentuan pasal 10 huruf (f) peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975
jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatakan
antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
86
tidak ada harapan akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga dan diikuti
dengan pembuktian dari keterangan para saksi yang saling bersesuaian satu
sama lainnya.
B. Saran
Penulis berpendapat bahwa kekerasan dalam rumah tangga suatu hal yang
tidak boleh dianggap sebagai hal yang sepele, ini karena setiap terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga maka rusaklah sebuah institusi keluarga dalam
masyarakat. Maka berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan penulis
memberikan beberapa saran sebagai langkah untuk memberantas kekerasan dalam
rumah tangga:
1. Perwujudan pelaksanaan hukum islam yang baik sangat tergantung pada tiga
pilar hukum pertama, pelaku atau penegak hukum itu sendiri, kedua
peratuaran hukum, ketiga kesadaran hukum masyarakat. Ketiga pilar hukum
tersebut harus tegak secara baik bukan hanya mendesain peratuaran hukum
tetapi menggalakannya.
2. Sebagai warga masyarakat hendaknya kita saling menasehati antara saudara
terdekat mulai dari lingkunga keluarga, tetangga. Ini kita lakukan supanya
tidak terjadi atau meminimalisir tindak kekerasan dalam lingkungan
masyarakat.
3. Kita berharap kepada siapapun yang ingin melakukan pernikahan, hendaknya
memahami dan mengerti terhadap pasangan kita dan memiliki kemampuan,
87
keilmuan baik secara agama hukum dan tujuan dari pernikahan supaya tidak
terjadi perselisihan ditengah perjalanan dalam keluarga yang mengakibatkan
terjadinya perceraian.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an Al Karim
Abdurrahman, H., S.H., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1995, cet. ke 2.
Abiding, Slamet, Drs., dan Aminuddin H., Drs., Fiqih Munakahat, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, cet. ke-1. jilid 1dan 2.
Bakry, Sidi Nazar, Kunci Keutuhan Rumah Tangga; Keluarga Yang Sakinah, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2001
Bulletin LBH APIK, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: LBH APIK, 2002
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtra Baru Van Hoeve, 1997
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 2001
Departemen Agama, Ilmu Fiqih; jilid 2, Jakarta: Proyek Prasarana Dan Sarana Pengadilan Tinggi Agama atau IAIN di Jakarta, 1985
Ghazaly, abdulrahman. Fiqih munakahat. Bogor: kencana, 2003. Cet. Ke-1.
Haikal, Abduttawab, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW; Poligami Dalam Islam Versus Monogamy Barat, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988
Hasan ayyub, syaikh. Fiqih keluarga, Jakarta: pustaka al kautsar, 2001. Cet. Ke-1.
Harahap, M., Yahya, SH., Kedudukan, Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama; UU No. 7 tahun 1989, Jakarta: Pustaka Kartini, 1997
Himpunan Undang-Undang HAM, Jakarta: Badan Kesatuan Bangsa Provinsi DKI Jakarta, 2007
Manna, Abdul, Drs., H., SH., S.ip., M. Hum., Penerapan Hokum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 2000
Mughniyah, Muhammad, Jawad, Fiqih Lima Mazhab: Dar Al Jawad, Beirut, Jakarta: Lentera, 2007 cet. Ke-20.
88
89
Meiyanti, Sri, Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga, Yogyakarta: kerjasama ford Foundation Dengan Pusat Penelitian Kependudukan UGM, 1999
Mufidah. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Yogyakarta: UIN Malang Press, 2006, cet, ke-1.
Muhammad ‘uwaidah, kamil. Fiqih wanita. Jakarta: pustaka al kautdar. 2004. Cet. Ke-13.
Undang-Undang Peradilan Agama No. 7 tahun 1989, Jakarta: Sinar Grafika, 1990
Nasution, Harun, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambaran, 1992
Zain, Muhammad, dan Al Shodiq, Mukhtar, Memebangun Keluarga Harmonis, Jakarta: Graha Cipta, 2005.
Raman Ghazaly, Abd, Dr., H., M.A. Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006, cet, 2.
Ridwan. Kekerasan berbasis gender. Yogyakarta: 2006. Cet. Ke-2.
Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: 2007. Cet, ke-2.
PROFIL PENGADILAN AGAMA DEPOK
1. Peta Yuridiksi Pengadilan Agama Depok
Secara geografis kota Depok terletak pada kordinat 6o 19’00”- 6o 28’ 00”
lintang selatan dan 106o 43’-106o 55’-30” bujur timur, secara geografis kota
Depok berbatasan langsung dengan kota Jakarta atau berada dalam lingkungan
jadebotabek. Bentangan alam kota Depok dari selatan ke utara merupakan daerah
rendah perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50-140 meter
diatas permukaan air laut kemiringan lerengnya kurang dari 15%. Kota Depok
sebagai wilayah termuda di Jawa Barat mempunyai luas wilayah sekitar 200,29
km2. Kondisi geografisnya dialiri sugai-sugai besar yaitu oleh sugai Ciliwung dan
Cimareme serta 13 sub satuan wilayah aliran sugai. Disamping itu terdapat pula
25 situ, dan luas situ pada tahun 2005 sebesar 169,68 Ha, dengan kualitas air
buruk akibat tercemar.1
Pengadilan agama Depok kelas IB beralamat dijalan boulevard sector
anggerk komplek perkantoran kota kembang Grand Depok City Depok dan
beroperasi pada alamat tersebut setelah diresmikannya gedung pengadilan Agama
Depok bersamaan dengan diresmikannya gedung pengadilan tinggi Agama
Bandung pada tanggal 20 Februari tahun 2007 oleh Prof.Dr.H.Bagir
Manan,SH,M.CL.,di jalan Soekarno Hatta 714 Bandung. Pengadilan agama
Depok dibentuk berdasarkan keputusan presiden republic Indonesia nomor 62
1 http/www.pa-depok.go.id/portal/yuridiksi-pa (ambil pada tanggal 25 mei 2010 jam 13.15
WIB)
tahun 2002 tanggal 28 agustus 2002 yang peresmian oprasionalnya dilakukan
oleh wali kota Depok di gedung balai Depok pada tanggal 25 juni 2003 dan mulai
menjalankan pungsi peradilan sejak tanggal 1 juli 2003, dijalan bahagia raya
No.11 Depok dengan menyewa rumah penduduk sebagai gedung oprasionalnya.2
Daerah hukum peradilan agama Depok meliputi pemerintahan kota Depok
sesuai dengan pasal 4 ayat (1) UU nomor 7 tahun 1989 tentang batas wilayah,
yang dalam keputusan presiden republik Indonesia nomor 62 tahun 2002 pasal 2
ayat (5) tersebut bahwa “daerah hukum pengadilan agama Depok meliputi
wilayah pemerintahan kota Depok Propinsi Jawa Barat”. Pengadilan Agama
Depok yang daerah hukumnya meliputi wilayah pemerintahan kota Depok yang
terdiri dari ( sebelum pemekaran adalah 6 kecamatan dengan 60 kelurahan) 11
kecamatan 64 kelurahan dengan mayoritas penduduk beragam Islam, dengan
beban kerja rata-rata tiap bulan 162 perkara, dalam melaksanakan tugasnya
Pengadilan Agama Depok didukung dengan kekuatan pengawai sebayak 38 orang
dan secara formal pelaksanaan tugas Pengadilan Agama Depok harus
dipertanggung jawabkan dalam bentuk laporan kepengadilan tinggi agama
Bandung selaku atasan. 3
Pengadilan Agama Depok sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan
amanat undang-undang No 4 tahun 2004 tentang ketentuan pokok kekeuasaan
kehakiman, dalam melaksanaakn tugasnya guna menegakan hukum dan keadilan
harus memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang selau menghendaki
2 Op, cit. 3 Op, cit, h.
peradilan yang sederhana , cepat, tepat, dan biaya ringan. Hal mana pengadilan
agama Depok sebagai pelaksana visi dan misi mahkamah agung RI yang
menjabarkan oleh direktorat jenderal badan peradilan agama, yaitu: visi
“terwujudnya ptusunan yang adail dan berwibawa, sehingga kehidupan
bermasyarakat menjadi tenang, tertib dan damai dibawah lindungan Allah SWT “
dan misi: “menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara-perkara
yang diajukan oleh umat Islam Indonesia di bidang perkawinan, warisan dan
wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodakoh dan ekonomi syari’ah, secara cepat,
sederhana, dan biaya ringan”.
2. Visi Dan Misi Pengadilan Agama Depok
a. Visi adalah suatu gambaran yang menantang tentang suatu keadaan masa
depan, berisikan cita dan citra yang ingin diwujudkan oleh suatu institusi
b. Misi adalah sesuatu yang harus di emban atau dilaksanakan oleh suatu
institusi sesuai visi yang ditetapkan agar tujuan lembaga dapat terlaksana dan
berhasil dengan baik.
Pengadilan agama Depok sebagai underbow mahkamah agung RI
memiliki komitmen dan kewajiban yang sama untuk mengusung terwujudnya
peradilan yang baik dan benar serta dicintai masyarakat. Atas dasar itu maka
pengadilan agama Depok menjabarkan visi dan misinya yaitu :
Visi pengadilan agama Depok adalah mewujudkan peradilan yang
berwibawa dan bermartabat serta terhormat dalam menegakan hukum untuk
menjamin keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum yang mampu
memberikan pengayoman kepada masyarakat.
Hal ini mengandung makna bahwa peradilan agama Depok siap bersama-
sama peradilan lainnya meningkatkan kinerja yang lebih baik demi menjaga
kehormatan dan martabat serta wibawa peradilan yang didediksikan dalam bentuk
Misi pengadilan agama Depok yaitu:4
a. Meningkatakan pelayanan penerimaan perkara
b. Membuka akses publik seluas luasnya
c. Mewujudkan proses pemeriksaaan perkara yang dermawan, cepat dan dengan
biaya ringan.
d. Menjadikan putusan/penetapan yang memenuhi rasa keadilan, kepastian
hukum dan dapat dikasanakan.
e. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat
f. Melaksanakan pelaksanaan pengawasan terhadap kinerja dan perilaku aparat
pengadilan agar berlaku jujur dan berwibawa serta agar peradilan
diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.
3. Struktur Kepengurusan Peradilan Agama Depok
Ketua : Dra. Nia Nurhamidah R, M.H.
Wakil Ketua : Drs. H. Toha Mansyur, S.H.M.H.
Panitra Skretaris : Drs. H. Asop Ridwan. M.H.
4 http/www.pa-depok.go.id/portal/yuridiksi-pa (ambil pada tanggal 25 mei 2010 jam 13.15
WIB)
Hakim : Drs. Agus Abdullah. M.H.
Drs. Hj. Siti Nadirah
Drs. H.A. Baiodhowi, M.H.
Dra. Nurmiwati
Drs. Azid Izuddin, M.H.
Dra. Taslimah, M.H.
Drs. Sarnoto, M.H.
Drs. Sulkh Harwiayanti. S.H.
Wakil Panitra : Ending Ridwan, S.Ag.
Panitra Muda Gugatan : M. Ali Afriddy. S.H.
Panitra Muda Permohonan : Mumu, S.H. M.H.
Panitra Muda Hukum : Drs. E.Arifudin
Panitra Pengganti : Hj. Inti Khobijati
Defrialdi. S.H.
M. Thamrin, S.Ag.
Wakil Sekretaris : H. Supjadin, S.Ag.
Kaur Keuangan : Siti Aisah, S.H.
Kaur Kepegawaian : Indraari Stiwan, S.H.
Kaur Umum : Mataris, S.H.
Juru Sita : Pepen, S. Ag.
Didin Jamaluddin, S.H. M.H.
Samsudin, S.Ag.
Jurusita Pengganti : Bahrun Kustiawan
Totih Ramahana, S.H.
Arifin, S.H. M. Ag.
M. Tasdik
Wiji Piningit
Novia Husen5
5 http/www.pa-depok.go.id/portal/struktur-pa (di akses pada tanggal 25 Mei 2010, jam 13.15
WIB)