Pengurangan Risiko Bencana

11
DPPM & MTS UII Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 28 PENGURANGAN RESIKO BENCANA MELALUI ANALISIS KERENTANAN DAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA Didik Rinan Sumekto Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Widya Dharma Jl. Ki Hajar Dewantara, Klaten Utara, Klaten 57401 Jawa Tengah E-mail: [email protected], [email protected] ABSTRACT Recently, the disaster risk reduction program which had been firmly enrolled by the Indonesian government, should have been a major priority and hopefully increased, either in relating with the human resource, technology, regulation, donor society or government intervention itself as the implementation-cares towards the human life. The ne reduction involved to the scaffolding by inserting the natural disaster risk consideration to the organization structures and middle-to-long strategic plans, to the nation strategy and policy and the sectoral-base program even to the project design of vulnerable countries to disaster impacts. The efforts of disaster risk mainstreaming should cover an analysis how the risk potency could manage the policy performance, project and program. This analysis should be followed up by taking the necessary actions to reduce the vulnerability, by putting the risk reduction integrally as of the development process and by no means to the goals itself. The disaster would be a marginal thing if the community members had the capability and capacity of anticipating the impacts well. The greater capacity the community members had in managing disasters, the smaller lost impacts infected. The Mount Merapi disaster reduction was done as a dynamic process, integrated and sustainable plans to increase the quality of steps in touching with its handling that included (1) prevention, covered all efforts of disappearing and/or reducing any threats from disasters; (2) mitigation, covered all efforts of reducing or minimizing the disasters impacts; (3 ) preparedness , meant any supporting activities which might anticipate the disasters; (4) emergency response, related to the series of activity and providing aids to the survivals immediately in order to handle the damaged impacts; (5) recovery, referred to the process of assisting the survivals in order to redefine the daily roles ; and (6) reconstruction, connected to the rebuilding programs of all damaged infrastructures by increasing the condition of life and the community members livelihoods sources better. Key words: Disaster risk reduction, vulnerability, capacity, and community. PENDAHULUAN Erupsi Gunung Merapi pada 25 Oktober-7 Nopember 2010 termasuk erupsi yang paling dahsyat dan cukup lama dibandingkan dengan beberapa erupsi sebelumnya dalam periode 50 tahun terakhir. Kerugian material yang ditimbulkan selama erupsi Merapi itu mencapai Rp 5 trilyun dengan korban lebih dari 250 jiwa, ribuan ternak (sapi, kamping, ayam) hangus terbakar, lebih dari 3500 rumah tersapu oleh material awan panas dan adanya dampak parah akibat hujan pasir kerikil, lebih dari 2.5 juta hektar tanaman perkebunan salak dan pertanian di 4 kabupaten (Magelang, Sleman, Klaten, Boyolali) mengalami rusak berat sampai gagal panen, dampak kerusakan lingkungan dan infrastruktur sosial lainnya yang belum bisa didata secara rinci. Untuk perencanaan jangka panjang wilayah hunian manusia yang dekat dengan Kawasan Rawan Bencana Merapi menjadi prioritas yang sangat penting bagi masyarakat terkait dengan pemahaman akan bahaya Gunung Merapi. Lewat informasi peta kawasan rawan bencana Gunung Merapi dan pengalaman kejadian letusan Merapi di masa lalu, maka dapat merencanakan zona hunian dan zona budidaya di kawasan Merapi di Kabupaten Sleman, Magelang, Klaten, dan Boyolali. Kejadian bencana merupakan kondisi yang

description

Pengurangan risiko bencana

Transcript of Pengurangan Risiko Bencana

Page 1: Pengurangan Risiko Bencana

DPPM & MTS UII

Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 28

PENGURANGAN RESIKO BENCANA MELALUI ANALISIS KERENTANANDAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM MENGHADAPI BENCANA

Didik Rinan SumektoProgram Studi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Widya Dharma

Jl. Ki Hajar Dewantara, Klaten Utara, Klaten 57401 Jawa TengahE-mail: [email protected], [email protected]

ABSTRACT

Recently, the disaster risk reduction program which had been firmly enrolled by the Indonesiangovernment, should have been a major priority and hopefully increased, either in relating withthe human resource, technology, regulation, donor society or government intervention itself asthe implementation-cares towards the human life. The nereduction involved to the scaffolding by inserting the natural disaster risk consideration to theorganization structures and middle-to-long strategic plans, to the nation strategy and policyand the sectoral-base program even to the project design of vulnerable countries to disasterimpacts. The efforts of disaster risk mainstreaming should cover an analysis how the riskpotency could manage the policy performance, project and program. This analysis should befollowed up by taking the necessary actions to reduce the vulnerability, by putting the riskreduction integrally as of the development process and by no means to the goals itself. Thedisaster would be a marginal thing if the community members had the capability and capacityof anticipating the impacts well. The greater capacity the community members had in managingdisasters, the smaller lost impacts infected. The Mount Merapi disaster reduction was done as adynamic process, integrated and sustainable plans to increase the quality of steps in touchingwith its handling that included (1) prevention, covered all efforts of disappearing and/orreducing any threats from disasters; (2) mitigation, covered all efforts of reducing orminimizing the disasters impacts; (3) preparedness, meant any supporting activities whichmight anticipate the disasters; (4) emergency response, related to the series of activity andproviding aids to the survivals immediately in order to handle the damaged impacts; (5)recovery, referred to the process of assisting the survivals in order to redefine the daily roles;and (6) reconstruction, connected to the rebuilding programs of all damaged infrastructures byincreasing the condition of life and the community members livelihoods sources better.

Key words: Disaster risk reduction, vulnerability, capacity, and community.

PENDAHULUAN

Erupsi Gunung Merapi pada 25 Oktober-7 Nopember 2010 termasuk erupsi yang palingdahsyat dan cukup lama dibandingkan dengan beberapa erupsi sebelumnya dalamperiode 50 tahun terakhir. Kerugian material yang ditimbulkan selama erupsi Merapi itumencapai Rp 5 trilyun dengan korban lebih dari 250 jiwa, ribuan ternak (sapi, kamping,ayam) hangus terbakar, lebih dari 3500 rumah tersapu oleh material awan panas danadanya dampak parah akibat hujan pasir kerikil, lebih dari 2.5 juta hektar tanamanperkebunan salak dan pertanian di 4 kabupaten (Magelang, Sleman, Klaten, Boyolali)mengalami rusak berat sampai gagal panen, dampak kerusakan lingkungan daninfrastruktur sosial lainnya yang belum bisa didata secara rinci. Untuk perencanaanjangka panjang wilayah hunian manusia yang dekat dengan Kawasan Rawan BencanaMerapi menjadi prioritas yang sangat penting bagi masyarakat terkait denganpemahaman akan bahaya Gunung Merapi. Lewat informasi peta kawasan rawanbencana Gunung Merapi dan pengalaman kejadian letusan Merapi di masa lalu, makadapat merencanakan zona hunian dan zona budidaya di kawasan Merapi di KabupatenSleman, Magelang, Klaten, dan Boyolali. Kejadian bencana merupakan kondisi yang

Page 2: Pengurangan Risiko Bencana

DPPM & MTS UII

Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 29

tidak normal dengan dampak yang dirasakan merugikan. Suatu kejadian dapatdikategorikan sebagai bencana apabila terdapat kondisi dengan ancaman besar,kerentanan tinggi dan kapasitas masyarakat rendah. Bencana dapat disebabkan olehfaktor alam, atau non-alam dan faktor manusia. Sedangkan jenis ancaman bencanadapat dikelompokkan menjadi bencana alam, bencana non-alam dan bencana sosial.

Gunung berapi merupakan lubang kepundan/rekahan pada kerak bumi tempat keluarnyamagma, gas atau cairan lainnya ke permukaan bumi. Bencana gunung meletusdisebabkan oleh aktifnya gunung berapi sehingga menghasilkan letusan. Bahaya letusangunung berapi dapat berpengaruh secara langsung (primer) dan tidak langsung(sekunder). Bahaya yang langsung oleh letusan gunung berapi adalah lelehan lava,aliran piroklastik (awan panas), jatuhan piroklastik, dan gas vulkanik beracun. Bahayasekunder adalah ancaman yang terjadi setelah atau saat gunung berapi aktif seperti lahardingin, dan longsoran material vulkanik. Gunung Merapi adalah salah satu gunungberapi di perbatasan Jateng dan DIY, termasuk di wilayah bagian hulu KabupatenKlaten yang masih sangat aktif hingga saat ini. Sejak tahun 1548, gunung ini sudahmeletus sebanyak 69 kali. Letusan kecil terjadi tiap 2-3 tahun dan letusan yang lebihbesar sekitar 5-7 tahun sekali. Letusan Merapi yang dampaknya besar terjadi pada tahun1006, 1786, 1822, 1872, 1930 dan 2010. Letusan tahun 1006 mengakibatkantertutupnya tengah Pulau Jawa oleh abu gunungapi. Letusan tahun 1930 menghancurkan13 desa dan menewaskan 1400 orang. Letusan tahun 1994 menyebabkan luncuran awanpanas yang menjangkau beberapa desa dan mengakibatkan korban jiwa (AgusHendratno, 2010: 1 - 3).

Unsur kerentanan Provinsi DIY adalah kerentanan terhadap risiko bencana karenadidasari pada strata ekonomi masyarakat yang sebagian belum baik dan memilikisumber daya terbatas untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi bencana dan untukdapat dengan cepat memulihkan diri setelah terjadi bencana. Tantangan lain yang jugacukup serius adalah masih kurangnya kesadaran akan dan pengetahuan tentang konsepdan aksi pengurangan risiko bencana di kalangan pemerintah dan warga Provinsi DIY.Di balik kerentanan di atas, provinsi DIY juga memiliki kekuatan-kekuatan. Salah satukekuatan utama Provinsi DIY adalah adanya keterbukaan dari pihak pemerintah daerahterhadap peran masyarakat sipil dan pemangku-pemangku kepentingan lainnya dalampenyelenggaraan urusan yang secara konvensional menjadi urusan eksklusifpemerintah. Dalam berbagai dokumen sudah dinyatakan bahwa pemerintah daerah akanlebih berfungsi sebagai regulator, fasilitator dan pelayan publik. Ini merupakanundangan bagi masyarakat sipil, LSM, dunia usaha dan para pemangku kepentinganlainnya untuk berpartisipasi dalam upaya pengurangan risiko bencana. Dari segimasyarakat sendiri, masih hidupnya nilai-nilai guyub, kerukunan, kerjasama dan gotongroyong merupakan suatu kekuatan tersendiri dalam menghadapi risiko bencana yangperlu terus ditumbuhkembangkan (Renstra PB - DIY, 2007: 5 - 6).

Terhadap permasalahan potensi bencana alam inilah sejak akhir dekade 1990-an banyak

dalam pembangunan yakni memasukkan pertimbangan-pertimbangan risiko bencanaalam ke dalam kerangka strategis jangka menengah dan struktur-struktur kelembagaan,ke dalam kebijakan dan strategi negara dan sektoral serta ke dalam perancangan proyekdi negara-negara yang rawan terhadap bahaya. Upaya pengarusutamaan risiko bencanaharus mencakup analisis bagaimana potensi bahaya dapat mempengaruhi kinerjakebijakan, program dan proyek, dan analisis bagaimana kebijakan, program dan proyek

Page 3: Pengurangan Risiko Bencana

DPPM & MTS UII

Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 30

tersebut berdampak pada kerentanan terhadap bahaya alam. Analisis ini harusditindaklanjuti dengan mengambil tindakan yang perlu untuk mengurangi kerentanan,dengan menempatkan pengurangan risiko sebagai bagian tak terpisahkan dari prosespembangunan dan bukan sebagai tujuan itu sendiri.

Kian besarnya perhatian pada upaya pengarusutamaan risiko juga dipengaruhi oleh terusmeningkatnya kerugian yang ditimbulkan oleh bencana, yang terutama diakibatkan olehmeningkatnya kerentanan aset ekonomi dan sosial serta kesejahteraan dan penghidupanmasyarakat terhadap bahaya alam. Oleh karenanya, perlu ditemukan penyelesaian yangsama-sama menguntungkan (win-win solution) untuk mempertahankan pembangunanberkelanjutan, menanggulangi kemiskinan dan memperkuat ketangguhan terhadapbahaya, terutama karena perubahan iklim tampaknya akan semakin meningkatkankejadian kemarau panjang, banjir dan badai yang besar. Cara terbaik untukmendapatkan penyelesaian semacam ini adalah dengan memadukan strategi danprogram-program pengurangan risiko bencana ke dalam keseluruhan kerangkapembangunan, dengan melihat pengurangan risiko bencana sebagai bagian terpadu dariproses pembangunan dan bukan tujuan itu sendiri. Sebaliknya, isu-isu yangberhubungan dengan bahaya harus menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaanpembangunan nasional dan sektoral, penyusunan program di tingkat negara dan dalamperancangan semua proyek pembangunan di negara-negara yang rawan terhadapbahaya. Hal itu perlu dilakukan demi melindungi investasi pembangunan itu sendiri daribahaya alam dan demi memperkuat ketangguhan masyarakat dalam menghadapibahaya.

Dengan latar belakang ini, sejumlah lembaga yang bergerak dalam bidangpembangunan telah memulai upaya untuk mengarusutamakan pengurangan risikobencana ke dalam kerja mereka, dengan mengadakan berbagai perubahan kelembagaan,kebijakan dan prosedur-prosedur yang berkaitan. Dalam hal perubahan kelembagaan,misalnya, pasca proses pembaruan PBB tahun 1997-1998, tanggung jawab atas mitigasi,

Koordinasi Urusan Kemanusiaan (Office for the Coordination of HumanitarianAffairs/OCHA), yang tugas pokoknya mencakup tanggap darurat pascabencana, keProgram Pembangunan PBB (United Nations Development Programme/UNDP), badanPBB yang mengurusi pembangunan. Pada tahun 1998 Bank Dunia membentuk FasilitasManajemen Bencana (Disaster Management Facility), sekarang telah berganti namamenjadi tim Manajemen Risiko Bahaya (Hazard Risk Management), untukmeningkatkan kerja-kerjanya dalam bidang pencegahan dan peredaman bencana sertatanggap darurat.

Pemerintah negara-negara dengan rawan bencana juga telah menyatakan komitmenmereka terhadap berbagai mandat untuk mengintegrasikan pengurangan risiko bencanake dalam pembangunan. Banyak negara juga telah menandatangani Kerangka AksiHyogo tahun 2005. Lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang pembangunan telahmendukung pemerintah-pemerintah dalam proses pengarusutamaan ini, misalnya: UniAfrika (African Union /AU)/Kemitraan Baru untuk Pembangunan Afrika (New

D), Bank Pembangunan Afrika (AfricanDevelopment Bank/AfDB) dan Strategi Internasional PBB untuk Pengurangan Bencana(United Nations International Strategy for Disaster Reduction/UN-ISDR) untuk Afrikatelah bekerja bersama sejak awal tahun 2003 untuk mencari cara-cara guna memberikanpanduan dan arah strategis bagi para pengambil keputusan di wilayah itu dalam

Page 4: Pengurangan Risiko Bencana

DPPM & MTS UII

Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 31

mengarusutamakan pengurangan risiko bencana ke dalam pembangunan (Benson,Twigg, dan Rossetto, 2007: 7 - 11).

KERENTANAN DAN KAPASITAS MASYARAKAT

Kerentanan MasyarakatKeberadaan bencana pada dasarnya tidak diharapkan oleh pihak manapun. Akan tetapiketika bencana merupakan hal yang mungkin terjadi, maka tindakan yang dapatdilakukan adalah dengan meningkatkan kesigapan ketika terjadi bencana dankesiapsiagaan ketika tidak atau belum terjadi bencana. Hal tersebut didasarkan padakenyataan bahwa bencana datang dengan tanpa dapat diperkirakan sebelumnya. Modelatau perkiraan terhadap bencana susulan hanya dapat dilakukan bila pernah terjadikejadian sebelumnya. Dalam menghadapi ancaman bencana tersebut, terdapat berbagaikelompok masyarakat dalam menanggapinya. Di sebagian masyarakat terdapatkelompok yang menyikapi dengan tindakan yang sesuai dengan prosedur keselamatanyang telah ditetapkan. Namun di sebagian lain terdapat kelompok masyarakat yangbelum siap dan sigap ketika terjadi bencana. Hal tersebut merupakan kerentanan dimana kondisi masyarakat mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalammenghadapi ancaman bencana. Beberapa analisis kerentanan yang ada di masyarakat,antara lain: (1) Kerentanan fisik. Kerentanan fisik (infrastruktur) menggambarkanperkiraan tingkat kerusakan terhadap fisik (infrastruktur) bila ada faktor berbahaya(hazard) tertentu. Berbagai indikator yang merupakan sumber kerentanan fisik adalahsebagai berikut: persentase kawasan terbangun; kepadatan bangunan; persentasebangunan konstruksi darurat; jaringan listrik; rasio panjang jalan; jaringantelekomunikasi; jaringan PDAM; dan jalan KA, maka permukiman yang berada dikawasan bahaya alam (gempa bumi tektonik dan kawasan Merapi) dapat dikatakanberada pada kondisi yang sangat rentan karena persentase kawasan terbangun,kepadatan bangunan, sementara di lain pihak persentase jaringan listrik, rasio panjangjalan, jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM masih rendah. (2) Kerentananekonomi. Kerentanan ekonomi menggambarkan besarnya kerugian atau rusaknyakegiatan ekonomi (proses ekonomi) yang terjadi bila terjadi ancaman bahaya. Indikatoryang dapat kita lihat menunjukkan tingginya tingkat kerentanan ini misalnya adalahpersentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan (sektor jasa dan distribusi) danpersentase rumah tangga miskin di daerah rentan gempa bumi tektonik dan kawasanMerapi. (3) Kerentanan sosial. Kerentanan sosial menunjukkan perkiraan tingkatkerentanan terhadap keselamatan jiwa penduduk apabila ada bahaya. Dari beberapaindikator antara lain kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentasependuduk usia tua-balita dan penduduk wanita, maka kawasan rawan bencana Merapimemiliki kerentanan sosial yang tinggi. Belum lagi jika kita melihat kondisi sosial saatini yang semakin rentan terhadap bencana non-alam (man-made disasters), sepertirentannya kondisi sosial masyarakat terhadap dampak penambangan pasir Merapikarena tingginya angka pengangguran juga tekanan ekonomi. (4) Kerentananlingkungan. Kerentanan lingkungan menggambarkan kondisi suatu wilayah yangrawan bencana. Kondisi geografis dan geologis suatu wilayah serta data statistikkebencanaan merupakan indikator kebencanaan. Kabupaten Sleman termasuk salah satuwilayah yang memiliki kerentanan lingkungan cukup tinggi. Indikasi suatu daerahmerupakan lingkungan yang rawan adalah dekat dengan sumber ancaman dengankapasitas masyarakat yang masih rendah dalam menghadapi bencana.

Page 5: Pengurangan Risiko Bencana

DPPM & MTS UII

Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 32

Adanya kerentanan masyarakat dan ancaman bencana menjadikan kapasitas masyarakatmutlak untuk dikembangkan. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa bencanaakan menjadi sebuah hal yang marjin ketika masyarakat mempunyai kemampuan dankapasitas untuk mengantisipasi dampaknya dengan baik. Semakin besar kemampuanmasyarakat dalam mengelola bencana maka akan semakin kecil dampak kerugian yangditimbulkannya. Hal seperti itulah yang dirintis dalam pengurangan resiko bencana.Secara struktural penanggulangan bencana pada saat ini masih bersifat sentralistik.Meskipun struktur kelembagaan seperti ini masih tetap berlaku, namun seiring denganadanya reformasi dan otonomi daerah hal tersebut mulai bergeser dengan berubahnyaparadigma politik dan pemerintahan. Hal tersebut juga semakin bergeser sejalan denganmenguatnya paradigma pengurangan resiko kebencanaan.

Dari segi mekanisme dan prosedur, penanggulangan bencana mengacu pada pedomanumum pada tingkat yang lebih tinggi. Hal tersebut mestinya dibenahi agar pedomantersebut dapat diterjemahkan dalam bentuk petunjuk teknis operasional. Lebih lanjutdari itu pedoman yang dibuat hendaknya sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Maka,mengacu pada hal-hal di atas dan kondisi riil kebencanaan di empat wilayah rawanbencana (Sleman, Magelang, Klaten, dan Boyolali), terdapat beberapa permasalahandan tantangan yang masih dihadapi dalam rangka mitigasi dan penanganan daerahrawan bencana di empat Kabupaten tersebut ke depan dengan mempertimbangkan hal-hal berikut: (1) belum optimalnya apresiasi early warning system dan sistem mitigasibencana dalam penataan ruang wilayah; (2) belum sinerginya penanganan korbanbencana, yang selama ini masih terlihat bersifat sektoral; (3) belum berjalannya denganbaik program pemberdayaan masyarakat korban bencana maupun pemberdayaanmasyarakat di daerah rawan bencana; dan (4) belum optimalnya fungsi dan pelayananinfrastruktur utama di wilayah pasca bencana.

Oleh karena itu diperlukan penataan wilayah secara terpadu, terintegrasi, transparan,efektif dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif danberkelanjutan. Tujuan utama penataan ruang adalah untuk mengurangi kerentananlingkungan dengan memperhatikan keharmonisan antara lingkungan alam dan buatan,keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan buatan, perlindungan fungsiruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan.

Rencana pengurangan resiko bencana gunung merapiMitigasi (pengurangan resiko) bencana merupakan salah satu fungsi pemerintahbekerjasama dengan segenap unsur masyarakat dan swasta dengan mengoptimalkansarana prasana yang tersedia dengan menempatkan pemerintah sebagaipenanggungjawab utama. Pengurangan bencana Merapi dilakukan sebagai suatu prosesyang dinamis, terpadu dan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas langkah-langkahyang berhubungan dengan penanganan bencana Merapi, meliputi rangkaian: (1)pencegahan: upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman dari suatubencana; (2) mitigasi: upaya untuk mengurangi atau meminimalkan resiko bencana; (3)kesiapsiagaan: kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana; (4) tanggapdarurat: serangkaian kegiatan dan upaya pemberian bantuan kepada korban bencanayang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampakburuk yang ditimbulkan; (5) pemulihan: proses untuk membantu korban bencana agardapat berfungsi kembali; dan (6) rekonstruksi: pembangunan kembali semua saranadan prasarana yang dilakukan untuk meningkatkan keadaan kehidupan dan penghidupanmasyarakat yang rusak akibat bencana sehingga menjadi lebih baik.

Page 6: Pengurangan Risiko Bencana

DPPM & MTS UII

Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 33

Untuk mendukung upaya tersebut diperlukan serangkaian data dan informasikebencanaan Gunung Merapi bagi ke empat wilayah rawan bencana tersebut yangmeliputi: (1) analisis bahaya (hazards) untuk mengidentifikasi daerah rawan bencanamelalui pemahaman Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Merapi; (2) analisis tingkatkerentanan (vulnerability) untuk mengidentifikasi dampak terjadinya bencana melaluipemahaman aspek-aspek kerentanan masyarakat di Peta KRB Merapi, baik dari sisipenggunaan lahan, ases ekonomi, aset sosial, aset budaya dan lingkungan; dan (3)analisis tingkat ketahanan untuk mengidentifikasi kemampuan pemerintah sertamasyarakat dalam merespon bencana melalui persiapan semua unit dan unsur dalammenggerakan proses tanggap darurat.

Bedasarkan analisis dari ketiga hal tersebut di atas maka dapat diperkirakan resikobencana yang mungkin muncul guna merencanakan program kegiatan mitigasi bencana.Rencana program kegiatan yang baik harus meliputi unsur spesifik (specific), terjangkau(achievable), terukur (measureable), relevan (relevant) dan memiliki jangka waktu(time-bound). Beberapa ketentuan dasar dalam menyusun rencana, antara lain: (1)mendefinisikan berbagai aktivitas yang harus dilakukan; (2) menetapkan tolok ukuruntuk menilai pencapaian suatu aktivitas; (3) menyusun antisipasi faktor-faktor yangpaling beresikodan usaha-usaha menguranginya bila mungkin; (4) membangun jaringankerja pada pihak dalam pengurangan resiko bencana Merapi; (5) melakukan estimasiwaktu yang dibutuhkan untuk setiap aktivitas; dan (6) membuat jadwal dengan cermatdan sistematis bagi seluruh kegiatan. Analisis kebencanaan pada saat ini cenderungdiulas dari sisi ilmu pengetahuan (science), di mana dimensi sosial dan ekonomidiabaikan. Hal ini mungkin karena begitu kompleksnya tinjauan dari sisi sosial,ekonomi, budaya, dan biologi terhadap alam dalam hubungannya dengan kemanusiaan.Keadaan inilah yang menyebabkan analisis yang ada tidak dapat menjelaskan faktamengapa bencana memberikan dampak yang diskriminatif. Kaum marjinal denganpenghasilan rendah dan masyarakat tradisional paling banyak mengalami dampak baikdari sisi kematian maupun penderitaan.

Dalam merencanakan program kegiatan perlu dipahami bahwa bencana, sealamiahapapun sebuah ancaman (hazard), resiko yang ditimbulkan sangat berkaitan erat dengankonstruksi sosial yang ada. Perbedaan kelas sosial-ekonomi dan jender akan semakinterlihat mencolok pasca bencana. Struktur dan kondisi sosial pra-bencana akan sangatmenentukan dampak bencana. Pendekatan komprehensif, multi hazard, diperlukandalam upaya membangun kerangka infrastruktur sosial (manusia, kelembagaan, danpolitik) dan juga infrastruktur teknis dan keilmiahan guna mengolah resiko. Terdapat 3(tiga) komponen utama dalam menetapkan rencana mitigasi bencana, yaitu: (1) faktorancaman; (2) faktor kerentanan; dan (3) penguatan kapasitas (Agus Hendratno, 2010: 7- 11).

Program mitigasi bencana berbasis masyarakat haruslah menghasilkan tindakan-tindakan yang merespon kebutuhan riil dan mendasar masyarakat dan untuk mengambilbagian dalam pembangunan masyarakat, kesadarannya akan bahaya yang merekahadapi serta kemampuan masyarakat untuk melindungi diri di masa mendatang,meskipun secara teknis sarana infastruktur masih kurang efektif dibandingkan denganprogram mitigasi yang berskala lebih besar. Pendekatan ini juga cenderungmemaksimalkan penggunaan sumber-sumber daya lokal, seperti: tenaga kerja, material,dan organisasi (Coburn, Spence, dan Pomonis, 1994: 34). Pemerintah kabupaten dankota perlu mempunyai suatu kebijakan mitigasi bencana dengan mengikuti pedoman

Page 7: Pengurangan Risiko Bencana

DPPM & MTS UII

Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 34

atau arahan kebijaksanaan mitigasi bencana yang diharapkan dapat digunakan sebagaititik tolak untuk mengembangkan dan memadukan berbagai program pembangunanyang berwawasan keamanan dan keselamatan masyarakat dari bencana yang mungkinterjadi sekaligus menjaga keberlanjutan pembangunan. Salah satu sebab pentingnyapenyusunan kebijaksanaan mitigasi ini, disamping mengurangi dampak dari bencana itusendiri adalah juga untuk menyiapkan masyarakat 'membiasakan diri' hidup bersamadengan bencana, khususnya untuk lingkungan yang sudah (terlanjur) terbangun, yaitudengan mengembangkan sistem peringatan dini (early warning system) danmemberikan pedoman bagaimana mempersiapkan diri dalam menghadapi bencana yangbiasa terjadi, sehingga masyarakat dapat merasakan keamanan serta kenyamanan dalamkehidupannya. Secara umum, dalam prakteknya mitigasi dapat dikelompokkan kedalam mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural berhubungandengan usaha-usaha pembangunan konstruksi fisik, sementara mitigasi non strukturalantara lain meliputi perencanaan tata guna lahan disesuaikan dengan kerentananwilayahnya dan memberlakukan peraturan (law enforcement) pembangunan. Dalamkaitan itu pula, kebijakan nasional harus lebih memberikan keleluasan secarasubstansial kepada daerah daerah untuk mengembangkan sistem mitigasi bencana yangdianggap paling tepat dan paling efektif-efisien untuk daerahnya (Bakornas PBP, 2002:4 - 6).

Analisis kerentanan bencana sebagai satu proses dinamis, berkelanjutan dari pihak-pihak (individu dan organisasi) yang mampu menilai bahaya dan resiko yang merekahadapi dan menentukan apa yang seharusnya dilakukan terhadap bahaya dan resikonya.Pengkajian kerentanan juga mencakup suatu sarana pengumpulan data yang terstrukturyang diarahkan untuk pemahaman tingkat potensi ancaman, kebutuhan, dan sumberdaya yang dapat segera terpenuhi. Pengkajian tersebut mencakup dua kategori informasiumum. Pertama, informasi infrastruktur yang relatif statis yang memberikan dasar-dasaruntuk menentukan tingkat pembangunan, tipe-tipe keuntungan dan kerugian fisik yangdihadapi oleh masyarakat yang bertempat tinggal di suatu wilayah dan suatu petabencana dari struktur yang tersedia, seperti: jalan dan rumah sakit yang bermanfaat padasaat tanggap darurat. Kedua, mencakup data sosio-ekonomi yang relatif dinamis yangmenunjukkan sebab dan tingkat kerentanan, perubahan demografi dan tipe-tipe aktivitasekonomi. Ada tiga alasan utama mengapa penilaian (assessment) kerentanan itu begitupenting bagi kesiapsiagaan bencana (disaster preparedness). Pertama, penilaiankerentanan yang akurat berfungsi sebagai suatu sarana untuk menginformasikan kepadapara pembuat keputusan tentang kegunaan dari pendekatan tingkat lokal dan nasionalterhadap kesiapan bencana. Kedua, para pembuat keputusan seharusnya sadar akanpotensi-potensi bencana di negara masing-masing. Sedangkan pada dimensi ancamanbencana dan tingkat kesiapsiagaan atau ketidaksiapsiagaan perlu dipahami secara

bersifat berkelanjutan (sustainable habits) memonitor gejala-gejala dari kondisiinfrastruktur, sosio-ekonomi, dan fisik di negara-negara yang rawan terhadap bencana.Dengan pemahaman ini, upaya awal untuk mengembangkan suatu data dasar melaluipengkajian kerentanan harus menjadi landasan bagi perawatan dan perbaikan mediainformasi penting demi tujuan perencanaan pembangunan (Kent, 1994: 16 - 17).

Peningkatan Kapasitas MasyarakatDalam menyusun program pengembangan masyarakat, langkah awal yang pentingdalam upaya bersama masyarakat untuk mengenali potensi dan permasalahan yangdihadapi merupakan titik berangkat yang akan menentukan proses selanjutnya.

Page 8: Pengurangan Risiko Bencana

DPPM & MTS UII

Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 35

Pentingnya mencermati dan manganalisis permasalahan dan kebutuhan memerlukanpengetahuan dan ketrampilan baik oleh seorang petugas lapangan maupun sebagaipemimpin (Yayasan Indonesia Sejahtera, 2005: 12).

Peningkatan kapasitas masyarakat yang bermukim di KRB Merapi, bertujuan untuk

akan bahaya-bahaya yang mereka hadapi, mengetahui bagaimana melindungi dirimereka, dan akan mendukung upaya-upaya perlindungan terhadap orang lain danmasyarakat secara keseluruhan. Hal terpenting dalam rangka peningkatan kapasitas iniadalah memandang masyarakat sebagai subyek dan bukan sebagai obyek penangananbencana dalam proses pembangunan, untuk itu perlu dikembangkan upaya sebagaiberikut: (1) pendidikan bencana. Melalui program pendidikan informal atau formal,pelatihan dan pembangunan institusi untuk memberikan pengetahuan profesional dankompetensi yang diperlukan; (2) sosialisasi pengetahuan. Kegunungapian Merapi danbidang mitigasi bencana yang sedang berkembang dengan cepat kepada masyarakatbaik tentang bahaya-bahaya maupun sarana untuk memerangi bahaya tersebut yangdapat menjadikan program-program implementasi menjadi lebih efektif; dan (3)pelatihan simulasi. Dalam rangka memahamkan resiko bencana kepada masyarakatyang ditimbulkan baik dari bencana alam maupun bencana yang dikarenakan ulahmanusia

Page 9: Pengurangan Risiko Bencana

DPPM & MTS UII

Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 36

Tabel 1 Penerapan Kerangka Kerja Aksi Hyogo (2005: 2)Aktivitas-Aktivitas Kunci

1. Memastikan bahwa penguranganresiko bencana (PRB) merupakanprioritas nasional dan lokal dengandasar kelembagaan yang kuat

2. Mengidentifikasi, menjajagidan memonitor resiko-resikobencana dan meningkatkanperingatan dini

3. Menggunakan pengetahuan,inovasi dan pendidikan untukmembangun sebuah budayakeselamatan dan ketahanan disemua tingkat

4. Mengurangi faktor-faktorresiko yang mendasar

5. Memperkuatkesiapsiagaan terhadapbencana untuk responyang efektif di semuatingkat

Kerangka kerja kelembagaan (flatformnasional) untuk PRB; penunjukkantanggung jawabPRB menjadi bagian kebijakan danperencanaan pembangunan per sektordan multi sektorPeraturan perundangan mendukung PRBDesentralisasi tanggung jawab dansumber dayaMendorong komitmen politisPartisipasi masyarakat

Penjajagan dan peta resiko, multiresiko; penjabaran dan diseminasiIndikator PRB dan kerentananData dan informasi statistik tentangkerugianPeringatan dini: perpusat padamasyarakat; sistem informasi;kebijakan publikPerkembangan ilmiah dan teknologi;pertukaran data, pengamatan bumiberbasis wahana antariksa,pemodelan dan peramalan iklim;peringatan diniResiko regional yang muncul

Pertukaran informasi dan kerjasamaJejaring antar disiplin dan wilayah;dialogPenggunaan standar dalamterminologi PRBPRB dimasukkan dalam kurikulumsekolah, pendidikan formal daninformalPelatihan dan pembelajaran tentangPRB: tingkat komunitas, pihakberwenang di tingkat lokal; aksesyang setaraKapasitas penelitian: multi-resiko;sosial ekonomi; implementasiKesadaran publik dan media

Pengelolaan ekosistem danlingkungan yang berkelanjutanStrategi-strategi PRB terintegrasidengan adaptasi terhadapperubahan iklimKedaulatan pangan untuk ketahananPRB terintegrasikan ke dalam sektorkesehatan dan rumah sakit yangamanPerlindungan fasilitas umum yangpentingProgram pemulihan dan jaringanpengaman sosialPengurangan kerentanan denganpilihan diversifikasi penghasilanMekanisme berbagi resiko finansialKemitraan publik-swastaPerencanaan penggunaan lahan danaturan pendirian bangunanRencana pembangunan pedesaandan PRB

Kapasitas pengelolaanbencana; kapasitas kebijakan,teknis dan kelembagaanDialog, koordinasi danpertukaran informasi antarapara pengelola bencana dansektor pembangunanPendekatan regional terhadaprespon bencana, dengan fokuspengurangan bencanaTinjauan dan melaksanakankesiapsiagaan dan rencanacontigency exerciseAmggaran untuk keadaandaruratSemangat suka rela danpartisipasi

Isu Lintas Sektor

Pendekatan multi bahaya Perspektif jender dankeragaman budaya

Partisipasi masyarakat dantenaga sukarelawan

Peningkatan kapasitas dantransfer teknologi

Page 10: Pengurangan Risiko Bencana

DPPM & MTS UII

Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 37

KESIMPULAN

Langkah pengurangan resiko bencana tentunya tetap memperhatikan kondisi riilkebencanaan di empat wilayah rawan bencana yang ada, seperti: Kabupaten Sleman,Magelang, Klaten, dan Boyolali dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: (1)optimalisasi sistem peringatan dini (early warning system) dan sistem mitigasi bencanadalam penataan ruang wilayah; (2) mensinergikan penanganan korban bencana yangselama ini masih terlihat bersifat sektoral; (3) melaksanakan dengan baik programpemberdayaan masyarakat korban bencana maupun pemberdayaan masyarakat didaerah rawan bencana; dan (4) mengoptimalkan fungsi dan pelayanan infrastrukturutama sebagai pendukung dalam penanganan di wilayah pasca bencana. Di sampingitu, perlunya penerapan dengan sungguh-sungguh kerangka kerja aksi Hyogo 2005 -2015 yang meliputi: (1) memastikan bahwa pengurangan resiko bencana (PRB)merupakan prioritas nasional dan lokal dengan dasar kelembagaan yang kuat; (2)mengidentifikasi, menjajagi, dan memonitor resiko-resiko bencana serta meningkatkanperingatan dini; (3) menggunakan pengetahuan, inovasi, dan pendidikan untukmembangun sebuah budaya keselamatan dan ketahanan di semua tingkat; (4)mengurangi faktor-faktor resiko yang mendasar dalam penanganan bencana; dan (5)memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana untuk respon yang efektif di semua tingkatdalam rangka mengurangi resiko bencana ke depan.

Sedangkan hal terpenting dalam rangka peningkatan kapasitas ini adalah denganmemberikan peran kepada masyarakat sebagai subyek dan bukan sebagai obyekpenanganan bencana dalam proses pembangunan, untuk mengupayakan langkahtersebut sudah waktunya dijalankan dan dikembangkan secara sungguh-sungguhprogram: (1) pendidikan bencana. Melalui program pendidikan informal atau formal,pelatihan dan pembangunan institusi untuk memberikan pengetahuan profesional dankompetensi yang diperlukan; (2) sosialisasi pengetahuan. Menjelaskan bagaimana sifatkegunungapian Merapi dan bidang mitigasi bencana yang sedang berkembang dengancepat kepada masyarakat baik tentang bahaya maupun sarana untuk memerangi bahayatersebut yang dapat menjadikan program implementasi menjadi lebih efektif; dan (3)pelatihan simulasi menghadapi bencana, baik melalui sekolah-sekolah formal maupundengan menumbuhsadarkan di tengah-tengah masyarakat.

Artinya bahwa diperlukan penataan wilayah secara terpadu, terintegrasi, transparan,efektif dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif danberkelanjutan. Tujuan utama penataan ruang ini adalah untuk mengurangi kerentananlingkungan dengan memperhatikan keharmonisan antara lingkungan alam dan buatan,keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan buatan, perlindungan fungsiruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan yang semakin besar.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Hendratno. (2010). Pengurangan Resiko Bencana dan Penanganan BencanaErupsi Merapi. Makalah disajikan dalam Seminar Rekonstruksi PenangananErupsi Merapi, pada Dies Natalis ke-41 Universitas Widya Dharma Klaten.

Bakornas PBP. (2002). Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia,Jakarta.

Benson, C., Twigg, J., & Rossetto, T. (2007). Perangkat untuk MengarusutamakanPengurangan Resiko Bencana: Catatan Panduan bagi Lembaga-Lembaga yang

Page 11: Pengurangan Risiko Bencana

DPPM & MTS UII

Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi : Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana - 38

Bergerak dalam Bidang Pembangunan. (Terjemahan Laurentia & ValentinusIrawan): ProVention Consortium Secretariat, Geneva. (Buku Asli diterbitkantahun 2007)

Coburn, A.W., Spence, R.J.S., & Pomonis, A. (1994). Mitigasi Bencana (Edisi ke-2):Cambridge Architectural Research Limited, Cambridge.

Kent, R. (1994). Kesiapan Bencana (Edisi ke-2): Pusat Manajemen Bencana UniversitasWisconsin, New York.

Rencana Strategis Daerah Penanggulangan Bencana Propinsi Daerah IstimewaYogyakarta 2008 - 2013. (2007). Renstra Penanggulangan Bencana DIY.

Ringkasan Kerangka Kerja Aksi Hyogo 2005 - 2015. (18 - 22 Januari 2005).Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas terhadap Bencana. Makalahdisajikan dalam Seminar Internasional (World Conference on Disaster Reduction):Hyogo, Kobe, Jepang.

Yayasan Indonesia Sejahtera. (2007). Modul Project Design Training for CWS andPartner. Makalah disajikan dalam Pelatihan Rencana Proyek, di Hotel QualitySolo.