Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

16
Policy Paper Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua Dian Aulia Tim Penyusun: Heru Cahyono Afadlal Mardyanto Wahyu Tryatmoko Nyimas Latifah Letty Aziz Penguatan

Transcript of Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

Page 1: Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

Policy Paper

Peran Lembaga Khususdi Aceh dan Papua

Dian Aulia

Tim Penyusun:

Heru Cahyono

Afadlal

Mardyanto Wahyu Tryatmoko

Nyimas Latifah Letty Aziz

Penguatan

Page 2: Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

Policy Paper

PENGUATAN PERAN LEMBAGA KHUSUS DI ACEH DAN PAPUA

Tim Penyusun:

Nyimas Latifah Letty AzizHeru Cahyono

Dian AuliaAfadlal

Mardyanto Wahyu Tryatmoko

Pusat Penelitian Politik (P2 Politik) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Jakarta, 2019

Editor:

Nyimas Latifah Letty Aziz

Page 3: Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

Diterbitkan oleh:

Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2Politik - LIPI) Gedung Widya Graha LIPI, Lt. XI dan IIIJl. Jend. Gatot Subroto KAV-10, Jakarta 12710 - INDONESIATlp./fax : 021 - 520 7118 | Website: www.politik.lipi.go.id Twitter: @PolitikLIPI

ISBN: 978-602-5991-18-9

Desain Cover dan Isi: Anggih Tangkas Wibowo

iv + 10 hlm; 21 x 29,7 cm | Cetakan I, 2019

© Pusat Penelitian Politik - LIPI, 2019

Policy Paper

PENGUATAN PERAN LEMBAGA KHUSUS

DI ACEH DAN PAPUA

Tim Penyusun:

Nyimas Latifah Letty Aziz Heru CahyonoDian AuliaAfadlalMardyanto Wahyu Tryatmoko

Editor:

Nyimas Latifah Letty Aziz

Page 4: Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

iiiPolicy Paper - Daftar Isi

DAFTAR ISI

Policy Paper

PENGUATAN PERAN LEMBAGA KHUSUS DI ACEH DAN PAPUA

Daftar Isi ............................................................................................................ iii

Kata Pengantar ................................................................................................. iv

Pendahuluan ..................................................................................................... 1

Kondisi Existing dan Problematika .......….………....................................... 3

Rekomendasi Kebijakan ................................................................................ 8

Page 5: Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

Policy Paper - Kata Pengantariv

KATA PENGANTAR

Pada hakikatnya, lembaga khusus di Aceh dan Papua merupakan ciri sekaligus pembeda sehingga kedua daerah ini dapat dikatakan ‘khusus’, berbeda dengan daerah otonomi pada umumnya. Namun, secara historis, baik de yure maupun de facto pembentukan

lembaga khusus di Aceh dan Papua mengalami dinamika politik, baik di tingkat lokal (antar elit lokal) maupun tingkat nasional (hubungan lokal dan pusat). Sehingga, dinamika yang terjadi berdampak pada peran lembaga khusus yang seidealnya untuk mempercepat tujuan otonomi khusus, namun faktanya justru menimbulkan persoalan yang menghambat implementasi dari otonomi khusus itu sendiri.

Oleh karena itu, policy paper ini menjadi penting dalam mengkaji penguatan peran lembaga khusus Aceh dan Papua dalam bingkai politik. Penguatan peran lembaga khusus dalam di Aceh dan Papua sebagai bentuk implementasi kebijakan otonomi khusus secara utuh dan keseluruhan, sehingga dampaknya mendekatkan pada kesejahteraan rakyat atau justru sebaliknya.

Semoga kehadiran policy paper ini bisa menjadi sumbangsih saran yang dapat dipertimbangkan sebagai upaya perbaikan ke depan bagi penguatan peran lembaga-lembaga khusus yang ada di Aceh dan Papua sehingga apa yang dicita-citakan dari tujuan otonomi khusus dapat terimplementasi dengan maksimal.

Jakarta, Januari 2019

Editor

Page 6: Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

1Policy Paper - Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

A. PENDAHULUAN

Otonomi khusus di Aceh dan Papua memiliki desain struktur pemerintahan yang berbeda

dengan daerah-daerah otonom pada umumnya. Salah satu kekhususan tersebut dengan adanya lembaga-lembaga khusus di Aceh dan Papua. Keberadaan lembaga-lembaga khusus ini pada intinya tidak lain untuk menjawab tujuan diberikannya otonomi khusus yakni meningkatkan demokrasi dan kesejahteraan masyarakat lokal.

Namun, realitanya keberadaan lembaga-lembaga khusus di Aceh dan Papua masih belum mampu memenuhi tujuan otonomi khusus dalam meningkatkan demokrasi lokal dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini terjadi karena adanya tarik ulur kepentingan antara pemerintah pusat ( Jakarta) dan pemerintah daerah (Papua dan Aceh). Selain itu proses pembentukan lembaga-lembaga khusus tersebut sangat sarat dengan kepentingan politik sehingga keberadaan lembaga tersebut menjadi hilang maknanya dan pada akhirnya menjadi tidak efektif dan tidak efisien baik dalam pelaksanaan tugas maupun penggunaan anggaran.

Pembentukan lembaga-lembaga khusus di Aceh dan Papua sangat sarat dengan kepentingan politik.

Pembentukan lembaga-lembaga khusus di Aceh dalam kajian ini adalah Lembaga Wali Nanggroe, Majelis Adat Aceh (MAA), Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), dan partai politik lokal. Sementara lembaga-lembaga khusus di Papua yakni MRP/PB (Majelis Rakyat Papua/Papua Barat) dan DPRP/PB (Dewan Perwakilan Rakyat Papua/Papua Barat).

Proses pembentukan lembaga-lembaga khusus di Aceh seperti yang dimaksud diatas, khususnya Lembaga Wali Nanggroe adalah untuk mengakomodir nota kesepahaman/Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki antara pihak GAM dengan pemerintah RI. Desain awal Partai Aceh (PA) mengenai pembentukan Lembaga Wali Nanggroe adalah menempatkan posisi Wali Nanggroe lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan posisi gubernur. Dengan kedudukan diatas gubenur maka Wali Nanggroe bisa memecat gubernur dan membubarkan parlemen. Namun, hal ini mendapat penolakan yang tegas dari pemerintah pusat karena berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dijelaskan bahwa Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan

Policy Paper

PENGUATAN PERAN LEMBAGA KHUSUS DI ACEH DAN PAPUA

Page 7: Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

Policy Paper - Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua 2

lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya. Dengan demikian, kewenangan Lembaga Wali Nanggroe ini hanyalah sebatas persoalan adat istiadat dan tidak masuk ke ranah politik.

Selain Lembaga Wali Nanggroe terdapat pula lembaga adat lainnya yang dikenal dengan nama MAA. Tugas MAA adalah mengurusi masalah adat istiadat di Aceh. MAA ini sudah ada sejak tahun 1959 yang dulunya bernama LAKA (Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh). Namun, sejak orde baru terjadi penyeragaman kebijakan sehingga peran adat dan institusinya mengalami perubahan. Meski demikian, kegiatan MAA/LAKA masih tetap berjalan walaupun tidak sepenuhnya. Pada era otonomi daerah 1999, lembaga-lembaga adat mulai difungsikan kembali untuk menyelesaikan persengketaan/perselisihan adat yang selama orde baru penyelesaiannya diserahkan kepada polisi. Namun, masih banyak masyarakat yang belum memahami mekanisme penyelesaian persoalan adat ke MAA sehingga dalam hal ini MAA mulai mensosialisasikan kembali program-program kegiatannya.

Selain kedua lembaga khusus diatas, fokus kajian lembaga khusus lainnya di Aceh adalah MPU yang berafiliasi ke MUI. MPU penting dibahas karena di Aceh muncul lembaga tandingannya yang didirikan oleh PA dikenal dengan MUNA. Namun secara kelembagaan, MUNA hanyalah organisasi ulama underbow dari PA dan hanya ada di level kabupaten/kota. Herannya justru

Lembaga Wali Nanggroe lebih mengakui eksistensi MUNA ketimbang MPU. Hal ini ditegaskan dalam Qanun No. 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe pada Pasal 4 bahwa MUNA merupakan salah satu majelis fungsional yang berada di bawah koordinasi Wali Nanggroe. Dikhawatirkan bahwa keberadaan MUNA akan tumpang tindih dengan peran MPU yang sudah lebih dulu ada di Aceh.

Partai politik lokal, seperti Partai Aceh (PA) merupakan partai yang memiliki dominasi kuat di Aceh saat ini. Meskipun pada saat ini jumlah komposisi keanggotaan PA mulai seimbang dengan jumlah komposisi keanggotaan DPRA dari non PA, namun peran yang dimilikinya masih memiliki pengaruh yang sangat kuat, bahkan dalam hal pengambilan keputusan pembagian anggaran bagi Lembaga Wali Nanggroe, MAA, dan MPU. Selain itu dalam hal pengesahan qanun pun, PA memiliki dominasi yang tinggi dan mengurangi fungsi dari peran keanggotaan DPRA dari partai non PA. Sebagai contoh, pembagian anggaran bagi Lembaga Wali Nanggroe lebih besar dibandinngkan MAA dan MPU, sehingga dengan berkurangnya anggaran tersebut maka MAA terpaksa mengurangi jumlah keanggotaan (pemangku adat), dan program-program kegiatannya yang sebenarnya diperlukan masyarakat untuk melestarikan adat dan budaya Aceh. Dengan demikian dapat dikatakan meskipun komposisi keanggotaan PA dan non PA di DPRA mulai seimbang, namun DPRA seolah-olah “lumpuh” fungsi karena masih kuatnya dominasi PA.

Page 8: Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

3Policy Paper - Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

menempatkan posisi Wali Nanggroe lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan posisi gubernur sehingga memiliki kewenangan memecat gubernur dan membubarkan parlemen (DPRA). Keinginan pihak PA tidak terwujud karena mendapatkan penolakan tegas dari pemerintah pusat. Berdasarkan UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh bahwa Lembaga Wali Nanggroe hanyalah lembaga pemersatu masyarakat adat di Aceh dan tidak masuk ke ranah politik.

Berdasarkan temuan tim pada tahun 2015 bahwa proses pembentukan lembaga khusus di Aceh seperti Lembaga Wali Nanggroe sangat sarat dengan kepentingan politik sehingga mengabaikan tujuan pelaksanaan otonomi khusus yang seharusnya menyejahterahkan masyarakat. Tugas dan fungsi Wali Nanggroe yang seharusnya menjadi pemersatu masyarakat Aceh belum berfungsi sebagaimana mestinya. Bahkan, fungsinya sebagai lembaga yang seharusnya menjalankan peran adat dan adat istiadat di Aceh pun belum menunjukkan perannya.

Kritik terhadap pembentukan Lembaga Wali Nanggroe sebagai berikut bahwa 1) Lembaga Wali Nanggroe mendapat tentangan dari pihak ALA dan ABAS, 2) peryaratan kelanjutan dari ‘trah’ Hasan Tiro, 3) persyaratan penggunaan bahasa Aceh, 4) organisasi yang terlalu ‘gemuk’, dan 5) tumpang tindihnya pelaksanaan peran Lembaga Wali Nanggroe dengan MAA.

Keberadaan Lembaga Wali Nanggroe di Aceh yang disahkan akhir

Selain lembaga-lembaga khusus di Aceh maka dikaji pula lembaga-lembaga khusus di Papua dan Papua Barat yakni MRP/PB dan DPRP/PB. Kedua lembaga ini menjadi fokus kajian karena keduanya saling terkait tidak hanya dalam proses pembentukannya tetapi juga dalam proses pelaksanaan tugasnya.

Tidak berbeda dengan Lembaga Wali Nanggroe, MRP merupakan lembaga yang pada awalnya didesain memiliki kekuatan politik untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat asli Papua. Namun, realitanya kewenangan MRP hanyalah sebatas lembaga penasihat yang sama sekali tidak memiliki hak legislasi dan budgeting. Sementara DPRP/PB yang memiliki kedudukan sejajar dengan MRP dan merupakan pilar pemerintahan di Papua justru menafikkan keberadaan MRP dengan tidak mengindahkan pertimbangan MRP/PB dalam pengambilan keputusannya bersama dengan pemerintah Papua.

B. KONDISI EXISTING DAN PROBLEMATIKAKondisi existing dan problematika yang terjadi berkenaan dengan lembaga-lembaga khusus baik yang ada di Aceh dan Papua ialah tentang tumpang tindih kewenangan dan keterbatasan anggaran. Keberadaan lembaga khusus yang paling banyak ada di Aceh. Proses pembentukan lembaga-lembaga khusus di Aceh seperti yang dimaksud, khususnya Lembaga Wali Nanggroe adalah untuk mengakomodir nota kesepahaman (MoU) Helsinki antara pihak GAM dengan pemerintah RI. Desain awal (Partai Aceh/PA)

Page 9: Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

Policy Paper - Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua 4

2013 masih menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat Aceh sendiri. Ada dua versi yang mempersoalkan mengenai keberadaan Wali Nanggroe dan persyaratan menjadi Wali Nanggroe. Versi PA, bahwa Wali Nanggroe adalah merupakan keturunan Tengku Chik Hasan Di Tiro, dan persyaratan menjadi Wali Nanggroe haruslah bisa berbahasa Aceh—sementara tidak semua orang Aceh bisa berbahasa Aceh. Versi lainnya dari ALA dan ABAS bahwa Wali Nanggroe belum pernah ada, kalaupun ada dulu namanya Wali Negara. Sementara persyaratan mengenai Wali Nanggroe dari pihak PA bukanlah persyaratan mutlak, karena akan menutup kemungkinan bagi pejuang-pejuang Aceh lainnya yang bukan merupakan keturunan Hasan di Tiro.

Selain Lembaga Wali Nanggroe terdapat pula lembaga adat lainnya yang dikenal dengan nama MAA. Tugas MAA adalah mengurusi penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat. MAA ini sudah ada sejak tahun 1959 yang dulunya bernama LAKA (Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh). Sejak orde baru terjadi penyeragaman kebijakan sehingga peran adat dan institusinya mengalami perubahan. Meski demikian, kegiatan MAA/LAKA masih tetap berjalan walaupun tidak sepenuhnya. Pada awal era otonomi daerah (1999), lembaga-lembaga adat mulai difungsikan kembali untuk menyelesaikan persengketaan/perselisihan adat yang selama orde baru penyelesaiannya diserahkan kepada polisi. Namun pasca orde baru, masih banyak masyarakat yang belum memahami mekanisme penyelesaian persoalan adat ke MAA sehingga dalam hal ini MAA mulai

mensosialisasikan kembali program-program kegiatannya. Sayangnya, fungsi MAA kini kurang mendapat dukungan dana dari pemerintah karena keberadaan Lembaga Wali Nanggroe yang telah ‘menyedot’ anggaran yang tidak sedikit.

Dibandingkan dengan MAA, peran Lembaga Wali Nanggroe sebagai pemersatu masyarakat Aceh tidak tampak, misalnya dalam penyelesaian peristiwa yang baru terjadi mengenai pemberontakan Din Minimi. Dalam hal ini, Wali Nanggroe terkesan mendiamkan dan membiarkan saja. Wali Nanggroe lebih menyerahkan urusan ini kepada aparat keamanan. Sementara dari sisi anggaran, keberadaan Lembaga Wali Nanggroe telah menambah beban APBD karena pembangunan infrastruktur seperti bangunan/gedung bagi Lembaga Wali Naggroe menghabiskan biaya tidak sedikit. Selain itu terjadi pemborosan biaya gaji yang mana sebagian besar tenaga sekretariatnya berasal dari SKPD.

Sementara MAA menghadapi masalah keterbatasan dana dengan kehadiran Lembaga Wali Nanggroe. Berkurangnya jumlah dana tersebut berdampak pada perampingan struktur organisasi dengan mengurangi jumlah pemangku adat dari semula 40 orang menjadi tinggal 20 orang. Selain itu MAA juga mengurangi kegiatan-kegiatan yang sebelumnya telah direncanakan.

Apabila dilihat dari stuktur dan kedudukannya, Lembaga Wali Nanggroe terdiri atas satu orang Wali Nanggroe, satu orang Katibul Wali, lima kabag, dan tiga puluh dua (32) PNS. MAA terdiri atas ketua, dua orang wakil ketua, lima bidang,

Page 10: Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

5Policy Paper - Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

dua puluh sembilan (29) pemangku adat, dan sekretariat yang berasal dari PNS. Lembaga ini bersifat semi pemerintahan dan kedudukannya di bawah Lembaga Wali Nanggroe.

Lebih lanjut apabila ditinjau dari sisi kapasitas SDM Lembaga Wali Nanggroe masih sangat minim karena tidak memiliki tenaga ahli yang sesuai, khususnya di bidang adat istiadat. Sementara MAA memilki kapasitas SDM yang handal di bidangnya dan berpendidikan tinggi seperti para pemangku adat yang berasal dari tenaga pengajar di Universitas. Begitu pula dengan MPU yang memiliki kapasitas SDM yang memadai dengan keterwakilan cendekiawan muslim yang juga berafiliasi ke MUI.

Selain Lembaga Wali Nanggroe dan MAA, lembaga khusus lainnya di Aceh adalah MPU. MPU ini juga merupakan lembaga semi pemerintahan yang terdiri atas pimpinan, badan pekerja, komisi, panitia khusus, dan sekretariat yang berasal dari PNS. MPU merupakan afiliasi dari MUI yang berada di level nasional. MPU berdiri sejak tahun 1965. Saat ini MPU mendapat tandingan dengan berdirinya MUNA sebagai lembaga bentukan PA yang berada di level kabupaten.

MPU bertugas memberi fatwa baik diminta atau tidak terhadap persoalan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi, dan memberi arahan terhadap perbedaan pendapat di masyarakat dalam masalah keagamaan. Namun, kini MPU mendapatkan tandingan dengan keberadaan MUNA yang merupakan lembaga bentukan dari Partai Aceh (PA). Kelebihan MPU bahwa

para ulama yang ada di MPU merupakan ulama-ulama yang memang sudah di kenal di Aceh.

Tidak jauh berbeda dengan MAA, persoalan keterbatasan anggaran juga dihadapi oleh MPU. Namun, kendala anggaran ini lebih kepada pembagian prosentasi anggaran karena banyaknya lembaga-lembaga yang ada di dalam struktur pemerintahan Aceh sendiri.

Selain Aceh, lembaga khusus yang menjadi perdebatan antara pemerintah pusat dengan pemerintah Papua adalah MRP. Persoalan muncul setelah pembentukan provinsi Papua Barat dimana MRP dipecah menjadi dua yakni MRP dan MRPB. Alasan MRP dipecah menjadi dua (Papua dan Papua barat) didasarkan pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2008 perubahan atas Undang-Undang No. 21 Tahun 2001. Namun hal ini dipertanyakan karena isi Undang-Undang ini hanya merubah Pasal 1 yang menyebutkan pemisahan Papua dan Papua Barat. Perubahan berikutnya pada Pasal 7 pemilihan gubernur dan wakil gubernur dilakukan secara langsung karena di Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 pemilihannya melalui DPRP. Ini tidak pas untuk dijadikan dasar pembentukan MRP, penambahan DPRP, pengalokasian dana otsus ke Papua Barat sebesar 30 persen. Hal ini sangat menyederhanakan dengan mengadopsi semua pengaturan di Papua yang diterapkan juga di Papua Barat. Ini semua bermula pada Inpres No. 1 Tahun 2003, Undang-Undang No. 45 Tahun 1999 yang membagi Papua menjadi tiga. Namun, di dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tidak satu

Page 11: Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

Policy Paper - Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua 6

pun pasal yang mengakui hadirnya provinsi lain yang merupakan pecahan dari Papua (Papua barat dan tengah). Malahan disebutkan bahwa Papua terdiri dari 12 kabupaten dan 2 kota. Praktis, Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 mengalahkan Undang-Undang No. 45 Tahun 1999. Tetapi Inpres mengaktifkan kembali Papua Barat. Ini berarti ada kekacauan hukum.

Perdebatan mengenai keberadaan MRP semakin mencuat setelah Provinsi Papua Barat secara resmi terbentuk. Apakah MRP akan ada di dua provinsi ataukah cukup satu MRP di Papua dan berapa jumlah anggota MRP yang baru merupakan hal-hal yang menjadi bahan perdebatan serius pada waktu itu. Dalam dinamikanya, pemerintah Papua dan Papua Barat membentuk panitia bersama untuk merekrut anggota MRP yang baru periode 2011-2016. Hasilnya, Kemendagri melantik 73 anggota MRP yang baru pada 2011.

Anggota MRP juga termasuk dalam anggota DPRP. Pada Pemilu 2004, amanat Pasal 6 Undang-Undang Otsus tersebut telah diimplementasikan. Tidak banyak pihak yang menyadari bahwa KPU telah ‘mengangkat” 11 orang anggota DPRP tambahan meskipun bukan berasal dari musyawarah adat tetapi masih tetap dari partai politik. Diakui oleh mantan anggota KPU provinsi pada waktu itu bahwa sebenarnya KPU sendiri bingung untuk menggunakan dasar apa yang dipakai untuk mengangkat 11 orang Papua di DPRP. Oleh sebab itu mereka memutuskan untuk memilih anggota DPRP tambahan dengan melihat dan

mengutamakan calon dari partai politik yang memasang lebih banyak orang asli Papua.

Kemudian pada periode 2009-2014, KPU mengangkat lagi 11 kursi tambahan di DPRP tetapi tetap melalui pemilu legislatif. Hal inilah yang ditolak oleh kelompok Barisan Merah-Putih. Mereka menolak jika mekanisme pengisian anggota tambahan DPRP diangkat dari partai politik. Mereka berpendapat bahwa kursi tambahan itu harus melalui mekanisme pemilihan dari adat. Gugatan Barisan Merah-Putih diterima oleh MK dan diputuskan untuk memilih sebelas lagi yang sifatnya enmalige (einmalig = sekali terjadi). Namun demikian, Gubernur Barnabas Suebu tidak bersedia menjalankan putusan MK tersebut.

Ketika masuk pemilu 2014-2019, masyarakat masih mempersoalkan kursi tambahan tersebut. Di Papua Barat, penambahan 11 kursi untuk DPRP Barat sudah dilakukan melalui mekanisme adat. Sementara di Provinsi Papua, penambahan 14 kursi di DPRP masih menjadi perdebatan yang panjang dan serius terutama antara yang setuju dan yang tidak setuju. Di dalam DPRP sendiri pun suara mendukung kursi tambahan ini terbelah menjadi dua. Mereka yang tidak setuju dengan kursi tambahan ini tetap bersikeras, bahkan akan mengajukan judicial review ke MA jika kebijakan ini benar-benar dieksekusi oleh Pemda.

Tidak berbeda dengan Lembaga Wali Nanggroe, MRP merupakan lembaga yang pada awalnya didesain memiliki kekuatan politik untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat asli Papua. Namun, realitanya

Page 12: Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

7Policy Paper - Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

kewenangan MRP hanyalah sebatas lembaga penasihat yang sama sekali tidak memiliki hak legislasi dan budgeting. Bahkan keberadaan MRP di Papua yang telah cukup lama berdiri dari tahun 2005 dianggap masih belum mampu berperan baik dalam menjalankan fungsinya untuk membela kepentingan hak-hak asli orang Papua terutama peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal di Papua. Keberadaan lembaga ini dinilai sebagai tempat berbagi “kekuasaan”.

Selain MRP/PB, sejak otonomi khusus Papua ditinjau dari sisi keterwakilan masyarakat di lembaga pemerintahan lokal melalui lembaga perwakilan rakyat daerah (DPRP/PB) turut pula mengalami perubahan. Pada pemilu 1999, komposisi jumlah politisi asli Papua masih di bawah 50 persen dari total anggota DPRD Papua. Namun, dari hasil pemilu 2014 jumlah anggota yang didominasi oleh masyarakat asli Papua telah mencapai 90 persen. Dengan demikian dalam hal kuantitas, jumlah anggota yang berasal dari masyarakat asli Papua di DPRP sudah cukup memadai, namun dari sisi kualitas masih dipertanyakan.

Lain halnya dengan kelembagaan khusus di Papua yang mana desain kelembagaan beserta seluruh mekanisme yang berlaku di dalam MRP merupakan desain pemerintah pusat, meskipun pemikiran awal pembentukan MRP ini murni dari masyarakat Papua. MRP (representasi kultural orang asli Papua) memiliki kedudukan yang sejajar dengan Gubernur (eksekutif ) dan DPRP/PB (legislatif ). MRP terdiri dari pimpinan,

anggota, dan sekretariat yang berasal dari PNS. Anggota MRP yang baru periode 2011-2016 berjumlah 73 orang (2011).

Sementara DPRP/PB merupakan DPRD yang berubah namanya. Lembaga ini memiliki kursi khusus bagi masyarakat asli Papua yang diperoleh dari hasil pemilihan dan pengangkatan berdasarkan perundang-undangan. DPRP/PB memiliki kedudukan yang sejajar dengan Gubernur dan MRP. DPRP terdiri atas pimpinan, anggota, komisi, badan, dan sekretariat.

Dalam pelaksanaan perannya, MRP bertugas memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap pasangan calon gubernur dan wakilnya atas pengusulan DPRD, memberikan persetujuan dan pertimbangan atas rancangan perdasus yang diusulkan DPRP bersama-sama dengan gubernur. Namun, realitanya perdasus yang disusun oleh DPRP dan gubernur pengesahannya tidak perlu mendapatkan persetujuan MRP. Disini terjadi penafikan atas peran dan fungsi MRP. Realitanya DPRP/PB masih ‘meremehkan’ peran dan fungsi MRP.

Apabila ditinjau dari sisi anggaran besaran dana yang dikucurkan untuk keberlangsungan MRP sebagai wadah aspirasi orang asli Papua cukup besar. Namun sampai dengan saat ini kinerja yang dihasilkan belum dapat memenuhi kepentingan-kepentingan orang asli Papua dalam peningkatan kesejahteraan ekonomi. Begitu pula pemberian anggaran bagi anggota DPRP dapat dikatakan cukup besar. Namun, sampai dengan pelaksanaan otsus di Papua, DPRP belum secara maksimal

Page 13: Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

Policy Paper - Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua 8

berfungsi melaksanakan tugasnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua.

Berdasarkan uraian di atas maka ditinjau dari sisi kinerja lembaga-lembaga khusus yang ada di Aceh dan Papua belumlah maksimal. Lembaga Wali Nanggroe, khususnya Wali Nanggroe belum melaksanakan fungsinya. Lembaga Wali Nanggroe hanya sebagai lembaga simbolis. Sebagai contoh, Wali Nanggroe hanya mendampingi gubernur untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat seremonial belaka. Hal penting yang seharusnya dilakukan oleh Wali Nanggroe untuk mempersatukan dan mendamaikan masyarakat Aceh tidak berjalan, seperti kejadian pemberontakan Din Minimi yang mana Wali Nanggroe tidak mengambil peran untuk membantu menyelesaikan persoalan tersebut.

Sementara MAA telah menjalankan fungsinya sejak lama, namun terkendala masalah dana karena kehadiran Lembaga Wali Nanggroe sehingga membatasi program-program kegiatan adat yang telah direncanakan. Sedangkan MPU dapat dikatakan telah berjalan sebagaimana mestinya karena pada prinsipnya Aceh memang menganut prinsip Syariat Islam.

Keberadaan lembaga khusus di Papua, secara kinerja juga belum dapat dikatakan maksimal. Apabila dibandingkan kinerja MRP di Papua bahwa kinerja MRP Jilid I lebih baik ketimbang MRP Jilid II karena menghasilkan lebih banyak perdasus (14 perdasus). Namun secara general belum mampu menjalankan fungsinya secara maksimal. Sementara DPRP/PB secara kinerja masih belum maksimal

menjalankan fungsinya terutama dalam fungsi penganggaran dan pengawasan.

C. REKOMENDASI Atas dasar berbagai persoalan yang muncul tidak hanya mulai dari proses pembentukan lembaga khusus, namun sampai dengan implementasinya yang masih memiliki banyak kelemahan, maka tim merekomendasikan rumusan struktur dan kedudukan yang ideal untuk pembenahan keberadaan lembaga-lembaga khusus.

Daerah

a. Secara umum, keberadaan lembaga khusus baik di Aceh dan Papua harus memaksimalkan peran dan fungsinya untuk meningkatkan demokrasi dan kesejahteraan masyarakat lokal.

b. Pembentukan begitu banyak lembaga khusus di Aceh merupakan suatu pemborosan anggaran yang luar biasa. Ditinjau dari tugas dan fungsi, pembentukan lembaga khusus yang terlalu banyak menyebabkan tumpang tindih (overlapping) dalam implementasinya sehingga manfaat yang didapat masyarakat menjadi berkurang bahkan tidak ada sama sekali. Oleh karena itu jumlah lembaga khusus yang ada perlu dirampingkan kembali.

c. Keberadaan Lembaga Wali Nanggroe kalau ingin tetap dipertahankan karena merupakan amanat MoU Helsinki maka harus ada dua syarat yakni :

Page 14: Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

9Policy Paper - Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

1. Tidak mengambil alih peran dan fungsi yang selama ini telah dimainkan oleh MAA.

2. Organisasi Lembaga Wali Nanggroe tidak boleh terlalu ‘gemuk’ karena menyebabkan pemborosan anggaran dan mengurangi anggaran MAA karena tersedot dengan keberadaan Lembaga Wali Nanggroe.

d. Dengan mempertimbangkan komposisi keterwakilan orang asli Papua di DPRP yang sudah lebih dari 90 persen, maka kehadiran anggota yang diangkat perlu dipertimbangkan. Pengisian anggota DPRP melalui pengangkatan terkesan mendelegitimasi lembaga ini sebagai lembaga perwakilan yang dihasilkan dari pemilu. Jika ingin menambahkan keterwakilan orang asli Papua ke dalam DPRP, parpol lokal hendaknya segera dibentuk melalui revisi Undang-Undang Otsus.

e. Ditinjau dari sisi anggaran bahwa pembentukan lembaga-lembaga khusus, utamanya di Aceh telah menambah beban APBA. Pembentukan lembaga khusus membutuhkan biaya tidak sedikit yakni biaya infrastrukturnya (gedung/bangunan) dan operasionalnya (meliputi gaji, fasilitas kendaraan, rumah, dll.) Sebaiknya biaya yang dikeluarkan tersebut dapat dialokasikan untuk meningkatkan biaya pendidikan, kesehatan, dan perumahan

bagi masyarakat tidak mampu. Sementara di Papua, perlunya peningkatan peran MRP/PB untuk menyuarakan kebutuhan masyarakat asli Papua dan peningkatan peran DPRP/PB dalam monitoring dan budgeting sehingga kebutuhan masyarakat Papua akan pendidikan, kesehatan, dan perumahan dapat tercukupi.

f. Perlunya memperhatikan keterwakilan adat dan perempuan yang ada di lembaga-lembaga khusus. Khusus Papua, perlu memperhatikan juga soal keterwakilan adat dan perempuan di MRP dan peningkatan kapasitas dan kapabilitas anggota MRP sehingga mampu menyuarakan kepentingan orang asli Papua.

g. Perlu diadakan fit and proper test berdasarkan konteks khusus untuk merekrut keanggotaan lembaga khusus sehingga memiliki legitimasi yang kuat tidak hanya di pemerintahan tetapi juga di masyarakat. Untuk Aceh, mengingat dominasi kekuatan eks GAM di eksekutif maupun legslatif yang telah membuat penempatan personalia dan jabatan menjadi tidak bisa dikontrol maka disarankan untuk diadakan fit and proper test. Khususnya di Papua, selama ini rekrutmen anggota MRP dan DPRP yang diangkat difasilitasi oleh Kesbangpolinmas di daerah sehingga independensi atau keberpihakannya menjadi pertanyaan serius di kalangan masyarakat Papua.

Page 15: Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

Policy Paper - Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua 10

Pusat

a. Pemerintah perlu melakukan evaluasi berkala terhadap keberadaan otonomi khusus di Aceh dan Papua dan mempublikasikan hasilnya secara luas baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal.

b. Pemerintah pusat perlu melakukan evaluasi berkala terhadap keberadaan lembaga-lembaga khusus apakah fungsinya sudah berjalan sehingga tidak tumpang tindih dengan lembaga khusus lainnya.

c. Mencermati penambahan lembaga khusus yang terus bertambah di daerah khusus, terutama di Aceh, maka pemerintahan pusat hendaknya tidak selalu menyetujui penambahan tersebut.

d. Pemerintah pusat secara persuasif melakukan pendekatan kepada daerah dalam rangka mencari kesesuaian kesepahaman antara keinginan dan kebutuhan daerah.

Policy paper ini disarikan dari Nyimas Latifah Letty Aziz & Dian Aulia (eds). 2016. Peran Lembaga Khusus dalam Politik Aceh dan Papua. Tangerang: Mahara Publishing.

Page 16: Penguatan Peran Lembaga Khusus di Aceh dan Papua

Pusat Penelitian Politik (P2 Politik) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Gedung Widya Graha LIPI, Lt. XIJl. Jend. Gatot Subroto KAV-10, Jakarta 12710 - INDONESIATlp. / fax : 021 - 520 7118 | Website: www.politik.lipi.go.id Twitter: @PolitikLIPI

Diterbitkan oleh:

Policy Paper Penguatan Peran Lembaga Khususdi Aceh dan Papua