Pengolahan Dan Pengapalan

23
Pengolahan dan Pengapalan Tata cara pengolahan yang dilaksanakan merupakan suatu proses penimbunan dan perubahan bentuk dan/atau ukuran batubara dengan menggunakan peralatan mekanis, yaitu crushing machine. Hal ini berdasar pada : 1. Kualitas batubara yang diproduksi telah bersih dari unsur pengotor. 2. Nilai kalori batubara cukup bervariasi, dalam kisaran 5800 ~ 7000 Cal/kg (dipengaruhi oleh level seamnya). 3. Mempermudah penyediaan stock batubara dengan spesifikasi yang diperlukan oleh pembeli/pasar. Adapun mesin crusher yang digunakan berkapasitas 350 MT/jam

description

pengapalan

Transcript of Pengolahan Dan Pengapalan

Page 1: Pengolahan Dan Pengapalan

Pengolahan dan Pengapalan

Tata cara pengolahan yang dilaksanakan merupakan suatu proses penimbunan dan perubahan

bentuk dan/atau ukuran batubara dengan menggunakan peralatan mekanis, yaitu crushing

machine.

 

 

Hal ini berdasar pada :

1. Kualitas batubara yang diproduksi telah bersih dari unsur pengotor.

2. Nilai kalori batubara cukup bervariasi, dalam kisaran 5800 ~ 7000 Cal/kg (dipengaruhi

oleh level seamnya).

3. Mempermudah penyediaan stock batubara dengan spesifikasi yang diperlukan oleh

pembeli/pasar.

Adapun mesin crusher yang digunakan berkapasitas 350 MT/jam dengan keluaran berupa 3

(tiga) macam ukuran batubara, berkisar antara 1mm ~ 50mm.

Sedangkan unit pendukung operasional mesin crusher ini meliputi :

1. Unit excavator, bertugas sebagai pemberi umpan batubara asalan ke hoper mesin crusher.

2. Unit wheel loader, bertugas sebagai alat penimbun kembali batubara masak di beberapa

titik penimbunan, yaitu sesuai dengan spesifikasinya.

Page 2: Pengolahan Dan Pengapalan

Tahapan proses pengolahan batubara ini mulai dari batubara asalan (berbentuk tidak beraturan)

hingga menjadi batubara masak atau siap jual (berbentuk butiran yang seragam) dapat diuraikan

sebagai berikut :

1. Penimbunan batubara asalan secara terpisah dan berdasarkan seamnya.

2. Pembentukan ukuran batubara tertentu melalui proses crushing untuk setiap jenis seam

batubara atau penyatuan beberapa seam batubara yang mempunyai spesifikasi hampir

sama.

3. Penimbunan kembali batubara masak hasil proses crushing secara terpisah dan

berdasarkan spesifikasinya.

Stock batubara masak dari hasil pengolahan berupa beberapa stock penimbunan batubara yang

dibedakan berdasarkan bentuk/ukuran dan spesifikasi kualitasnya. Sehingga saat ada permintaan

pasar terhadap pengiriman batubara dengan kualifikasi tertentu, maka akan dapat dipenuhi

dengan melakukan proses pencampuran (blending) antar beberapa stock batubara yang telah ada.

Proses pencampuran batubara yang akan dikirim ke pasar dilakukan berdasarkan perbandingan

tertentu, yaitu disesuaikan dengan kualifikasi untuk setiap permintaan yang ada. Sehingga

produk akhir berupa stock batubara berkalori tinggi dengan spesifikasi detail yang berbeda-beda.

Page 3: Pengolahan Dan Pengapalan

Kegiatan pengapalan batubara masak dilakukan dengan menggunakan system conveyor, yaitu

stock batubara masak diambil (sesuai spesifikasi permintaan pasar) dan diangkut oleh unit dump

truck dan didump ke hopper conveyor, untuk selanjutnya belt conveyor mengangkut batubara

hingga ke ujung jetty dan menuangkan batubara ke tongkang yang telah tersandar secara aman.

Jika kebetulan system conveyor ini mengalami kendala teknis, maka system pengapalan

penggantinya berupa system trucking, yaitu unit dump truck membawa muatan batubara dari

stockpile pelsus menuju ujung jetty dan naik masuk ke dalam tongkang dan menurunkan

muatannya. Demikian seterusnya secara berulang-ulang hingga kapasitas muat tongkang

terpenuhi, yaitu sekitar lebih kurang 6.000 MT.

baru

1. Tujuan proses pengolahan

Dikaitannya dengan rencana pemasaran dan operasi penambangan batubara, maka pengadaan

proses pengolahan batubara (coal Processing plant /CCP) bertujuan untuk mengolah batubara

menjadi produk batubara ( product area ) yang sesuai dengan permintaan pasar. Dengan

mempertimbangkan beberapa hal, misalnya kualitas atau mutu cadangan batubara, metode

penambangan yang terpilih, serta kualitas permintaan pasar, maka proses pengolahan batubara,

meliputi ruang lingkup proses sebagai berikut:

a. Melakukan reduksi ukuran (size reduction) melalui penggerusan (crushing)

Page 4: Pengolahan Dan Pengapalan

b. Melakukan pemisahan (clasification) melalui pengayakan (screening)

c. Melakukan pencampuran (blending) batubara

d. Melakukan penimbunan/penumpukan batubara (sitockpilling)

e. Melakukan penanganan limbah air (water pollution treatment).

2. Desain pengolahan batubara

Dalam upaya mengolah batubara menjadi produk akhir yang diminati konsumen perlu rancangan

pengolahan yang komprehensif agar pelayanannya memuaskan. Rancang bangun unit

pengolahan didasarkan pada faktor-faktor antara lain: target atau permintaan pasar rata-rata,

kualitas batubara dari tambang (raw coal), spesifikasi produk akhir yang diminta, ketersediaan

lahan untuk area pengolahan termasuk tempat penimbunan (stockpile) dan ketersediaan air

disekitar area pengolahan. Semua f aktor tersebut diatas akan menentukan jenis, dimensi dan

kapasitas peralatan atau mesin pengolahan yang dibutuhkan serta flowsheet pengolahan yang

sesuai dengan memperhatikan unsur keselamatan kerja.

2.1 Kapasitas produksi

Kapasitas produksi pengolahan batubara harus mampu mencapai atau memenuhi target produksi

optimum yang direncanakan misal, yaitu 2.000.000 ton per tahun dengan kapasitas stockpile

sebesar 200.000 ton/2 bulan. Berdasarkan target tahunan tersebut dapat dihitung kapasitas unit

pengolahan yang beroperasi 2 shift/hari (8 jam/shift), 28 hari/bulan dan efisiensi kerja 80%

sebagai berikut:

T = 0,80 x 16 jam/hari x 28 hari/bulan x 12 bulan/tahun = 4300 jam/tahun

2.000.000 ton/tahun

K = -------------------- = 465 ton/jam

4300 jam/tahun

Loses factor = 8% = 0,08 x 465 = 37 ton/jam

Kterpasang = 465 + 37 = 502 ton/jam

Page 5: Pengolahan Dan Pengapalan

Di mana T dan K masing-masing adalah waktu produksi dan kapasitas produksi. Dengan loses

factor sebesar 8% akan diperoleh kapasitas terpasang sekitar 500 ton/jam.

2.2 Kualitas produksi

Kualitas produksi hasil proses pengolahan batubara harus dapat me menuhi persyaratan yang

diinginkan pasar. Berdasarkan survey pasar dapat disimpulkan bahwa kualitas batubara yang

harus dihasilkan proses pengolahan seperti terlihat pada Tabel berikut :

2.3 Prosedur pengolahan batubara

Prosedur pengolahan memperlihatkan tahapan proses pengolahan batubara mulai dari

penimbunan raw coal di lokasi pabrik pengolahan sampai produk akhir. Gambar 1 adalah

diagram alir (flowsheet) proses pengolahan yang merupakan gambaran dari prosedur pengolahan

batubara.

a. Persiapan pengumpanan (feeding)

Sebagai umpan (feed) awal proses pengolahan adalah batubara dari tambang atau ROM atau raw

coal yang ditumpuk di stockpile di lokasi pengolahan. Ukuran maksimum umpan awal ini

direncanakan 300 mm, sedangkan terhadap umpan yang lebih besar d ari 300 mm akan

dilakukan pengecilan secara manual menggunakan hammer breaker. Baik umpan batubara dari

tambang maupun hasil pengecilan ulang semuanya dimasukkan ke hopper menggunakan wheel

loader untuk dilanjutkan ke proses reduksi dan pengayakan sampai diperoleh produkta akhir

yang siap jual.

b. Pengay akan dengan Grizzly

Grizzly berfungsi memisahkan fraksi batubara berukuran +300 mm dengan -300 mm dan

posisinya terletak tepat di bawah hopper. Lubang bukaan (opening) grizzly berukuran 300 mm x

300 mm. Undersize grizzly -300 mm diangkut belt conveyor untuk u mpan crusher primer.

Sedangkan fraksi +300 mm di kembalikan ke tumpukan untuk dire duksi ulang menggunakan

hammer breaker. Hasil reduksi ulang dikembalikan lagi ke grizzly untuk pemisahan atau

pengayakan ulang. Proses ini berlangsung terus menerus selama shift kerja berlangsung.

c. Peremukan tahap awal (primary crusher)

Proses peremukan awal bertujuan untuk mereduksi ukuran fraksi batubara -300 mm menjadi

Page 6: Pengolahan Dan Pengapalan

ukuran rata-rata 150 mm. Dengan demikian nisbah reduksi (reduction ratio) pada tahap primer

ini adalah 2. Alat yang digunakan adala h roll crusher yang berkapasitas 50 0 ton/jam. Untuk

menaksir power atau energi (hp) crusher digunakan rumus Bond Crusher Work Index Equation

seperti terlihat berikut ini.

Written by Boss Tambang Friday, 22 January 2010 15:42

di mana:

Wi = Indeks kerja (work index) yang diperoleh dari hasil uji kemampu-gerusan (grindability) di

lab, untuk batubara sekitar 11,37

C = konstanta dari pabrik pembuat unit crusher, biasanya di atas 10 tergantung jenis bahan metal

pembentuk crusher tersebut. Untuk batubara diambil 10

F = diameter umpan yang 80% lolos (hasil uji analisis ayak di lab),

P = diameter produkta yang 80% lolos (hasil uji analisis ayak di lab),

Faktor = konstanta jenis crusher, untuk primer = 0,75 dan sekunder = 1

Hasil perhitungan untuk menaksir kebutuhan energi crusher primer dengan menggunakan

persamaan (1) dan (2) hasilnya sebagai berikut:

F = dijamin konsisten berukuran -300 mm (300.000) sebanyak 80%

P = dijamin konsisten berukuran -150 mm (150.000) sebanyak 80%

faktor = 0,75 (crusher primer)

d. Pengayakan (screening) tahap-1

Proses pengayakan adalah salah satu proses yang bertujuan untuk mengelompokan ukuran fraksi

batubara, sehingga disebut juga dengan proses classification. Alat yang dipakai untuk

pengayakan biasanya ayakan getar (vibrating screen). Pada pengolahan batubara ini proses

pengayakan tahap awal menggunakan vibrating screen-1 untuk memisahkan fraksi ukuran +150

mm dan -150 mm. Fraksi -150 mm adalah umpan secondary crusher, sedangkan + 150 mm

diresirkulasi sebagai umpan crusher primer untuk diremuk ulang. Produkta dari proses

pengayakan harus selalu dijaga konsistensi laju kapasitasnya sebanyak 500 ton/jam. Untuk itu

Page 7: Pengolahan Dan Pengapalan

perlu dilakukan penaksiran dimensi (panjang dan lebar) dari ayakan (screen) yang harus

dipasang.

Terdapat beberapa metoda untuk menentukan dimensi screen dan cara yang dipakai dalam

rancangan unit screen dalam studi ini adalah cara grafis dengan beberapa rangkuman konstanta

(faktor) yang diperlukan seperti terlihat pada Tabel 2. Konstanta tersebut merupakan faktor yang

telah disesuaikan dengan kondisi di lapangan yang umumnya digunakan untuk pengayakan

batubara. Gambar 2.a adalah kurva untuk menghitung produkta hasil pengayakan (ton/jam/ft²)

dan Gambar 2.b hubungan antara lebar ayakan dengan laju produkta per inci bed depth

(ketebalan lapisan aggregate batubara di atas ayakan) dengan kecepatan 1 ft/sec. Kapasitas

screen dirumuskan sebagai berikut:

K = P x E x D x F x W x T x B (3)

di mana:

K = kapasitas, ton/jam/sqft

P = produksi, ton/jam/sqft

E, D, F, W, T dan B adalah faktor seperti terlihat pada Tabel 2

Tabel 1. Faktor dan konstanta pengukuran luas screen

Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan batubara

Gambar 2. Pengestimasi laju produkta dan bed depth

Hubungan Antara Produksi (ton/jam/cuft) dengan ukuran produkta dan Hubungan Antara Lebar

Ayakan dengan Bed depth pada Kecepatan Alir 1 ft/sec

Page 8: Pengolahan Dan Pengapalan

Berikut adalah tahapan perhitungan dimensi vibrating screen-1 untuk mengayak batubara 150

mm.

(1) Asumsi kondisi proses (sesuai konstanta atau scoring pada Tabel 2)

Posisi deck paling atas dengan opening 150 mm 6 inci; D = 1,00

Diasumsikan umpan bermuatan 60% berukuran -3 inci; F = 1,40

Spesifikasi oversize hasil pengayakan masih mengandung 10% berukuran -6 inci; E = 1,25

Bentuk lubang bukaan bujursangkar (square) berukuran 6¼” x 6¼”; T =1,00

Densitas aggregate batubara 60 lbs/cuft (dibandingkan dengan densitas batubara berbasis 60

lbs/cuft, sesuai kurva pada Gambar 2.a); B = 60

60 = 1,00

Tidak dilakukan penyemprotan di atas screen; W = tidak ada skor

Laju pengumpanan 625 ton/jam dengan kandungan -6 ” = 80%, jadi kemungkinan produkta lolos

= 0,8 x 625 = 500 ton/jam.

(2) Luas screen yang diperlukan

Dari kurva pada Gambar 2.a diperoleh 4 ton/jam per sqft

Kapasitas (pers. 3) = 4 x 1,25 x 1 x 1,4 x 1x 1 = 7 ton/jam per sqft

Laju produksi = 0,8 x 625 = 500 ton/jam

Luas screen yang diperlukan = 500 / 7 = 71,43 sqft

(3) Perhitungan bed depth

Digunakan kurva pada Gambar 2.b dengan kemiringan screen 18º

Dipertimbangkan pengurangan lebar screen total akibat diameter kawat ayakan sekitar 6”.

Kemudian dicoba lebar screen 5 ft (lebar bersih 4 ft-6”)

Dari Gambar 2.b diestimasi laju produksi terbaca 40 ton/jam per inci ketebalan aggregate

batubara pada kecepatan 1 ft/sec = 60 ft/men (densitas aa ggregat 60 lbs/cuft dan lebar efektif

screen 4 ft-6”)

Bila kecepatan aliran batubara pada kemiringan 18º = 55 ft/men, maka laju aggregate per inci

bed depth = 40 x 55 / 60 = 37 ton/jam per inci bed depth

Oversize = (0,20 x 625) + (0,10 x 500) = 175 ton/jam

Page 9: Pengolahan Dan Pengapalan

Jadi bed depth = 175 / 37 = 5”

Bila dibandingkan bed depth (5”) dengan ukuran fraksi batubara yang diayak rata-rata 6”, maka

akan terbentuk hanya satu layer di atas permukaan screen. Untuk memperoleh efisiensi

pengayakan yang tinggi perlu dilaku kan simulasi dengan mengubah sudut screen.

Dari perhitungan luas screen diatas, yaitu 71,43 sqft, kemudian disesuaikan dengan spesifikasi

unit screen dari pabrik pembuatnya. Sebagai contoh screen buatan NORDBERG seri RS yang

berukuran 5 x 16 ft, yaitu TY516RS dapat digunakan. Luas screen TY516RS adalah 80 sqft

berarti lebih besar dari perhitungan dan power yang diperlukan antara 15–20 HP (11–15 kW).

Pemilihan screen tersebut didasari oleh tidak adanya di mensi screen yang sesuai persis dengan

hitungan dan screen dengan seri tersebut yang paling mendekati. Disamping itu screen jenis ini

dimanfaatkan untuk pemisahan partikel kasar maupun halus serta material yang bersifat lembab

dan lengket, jadi cocok untuk pengayakan batubara. Keuntungan lainnya adalah kapasitas

pengayakan dapat ditambah.

e. Peremukan sekunder (secondary crushing)

Proses peremukan sekunder bertujuan untuk mereduksi ukuran fraksi batubara -150 mm menjadi

ukuran rata-rata 50 mm, dengan demikian nisbah reduksi pada tahap sekunder ini adalah 3. Alat

yang digunakan sama seperti peremuk primer, yaitu roll crusher berkapasitas 500 ton/jam.

Dilihat dari besarnya nisbah reduksi, yang lebih besar dibanding peremuk primer, maka dapat

diperkirakan bahwa energi yang diperlukan akan lebih besar pula. Taksiran energi tersebut

dihitung sebagai berikut:

F = dijamin konsisten berukuran -150 mm (150.000 ) sebanyak 80%

P = dijamin konsisten berukuran -50 mm (50.000 ) sebanyak 80%

faktor = 1,00 (crusher sekunder)

e. Pengayakan tahap-2

Jenis alat yang dipakai adalah vibrating screen yang digunakan untuk memisahkan fraksi

berukuran -50 mm. Umpan yang masuk adalah hasil peremukan dari crusher sekunder berukuran

-150 mm. Agar memperoleh kapasitas sesuai dengan target, maka perhitungan dimensi ayakan

pada tahap-2 ini sama seperti yang telah diuraikan pada perhitungan dimensi ayakan tahap-1.

Page 10: Pengolahan Dan Pengapalan

Download : PDF | Doc

Search More Related To This Page :

Email Subscription

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Related Articles

• Batubara Sebagai Bahan Bakar PLTU

• Rekayasa

• Sifat Umum

• Batubara Dalam Industri Semen

• Lingkungan Hidup

• Rencana Bahan Galian Industri

• Kualitas

• Cara Terbentuknya

• Coal

• Gambut

(1) Asumsi kondisi proses (sesuai konstanta atau scoring pada Tabel 2)

Posisi deck paling atas dengan opening 50 mm ---> 2 inci; D = 1,00

Diasumsikan umpan bermuatan 60% berukuran -1 inci; F = 1,40

Spesifikasi oversize hasil pengayakan masih mengandung 10% berukuran -2 in ci; E = 1,25

Bentuk lubang bukaan bujursangkar (square) berukuran 2¼” x 2¼”; T =1,00

Densitas aggregate batubara 60 lbs/cuft (dibandingkan dengan densitas batubara berbasis 60

lbs/cuft, sesuai kurva pada Gambar 2.a); B = 60/60 = 1,00

Tidak dilakukan penyemprotan di atas screen; W = tidak ada skor

Laju pengumpanan 625 ton/jam dengan ka ndungan -2 ” = 80%, jadi kemungkinan produkta

lolos = 0,8 x 625 = 500 ton/jam.

Page 11: Pengolahan Dan Pengapalan

(2) Luas screen yang diperlukan

Dari kurva pada Gambar 2.a diperoleh 2,9 ton/jam per sqft

Kapasitas (pers. 3) = 2,9 x 1,25 x 1 x 1,4 x 1x 1 = 5,10 ton/jam per sqft

Laju produksi = 0,8 x 625 = 500 ton/jam

Luas screen yang diperlukan = 500 / 5,1 = 98,04 sqft

(3) Perhitungan bed depth

Digunakan kurva pada Gambar 2.b dengan kemiringan screen 18º

Dipertimbangkan pengurangan lebar screen total akibat diameter kawat ayakan sekitar 6”.

Kemudian dicoba lebar screen 5 ft (lebar bersih 4 ft-6”)

Dari Gambar 2.b diestimasi laju produksi terbaca 40 ton/jam per inci ketebalan aggregate

batubara pada kecepatan 1 ft/sec = 60 ft/men (densitas a ggregat 60 lbs/cuft dan lebar efektif

screen 4 ft-6”)

Bila kecepatan aliran batubara pada kemiringan 18º = 55 ft/men, maka laju aggregate per inci

bed depth = 40 x 55/60 = 37 ton/jam per inci bed depth

Oversize = (0,20 x 625) + (0,10 x 500) = 175 ton/jam

Jadi bed depth = 175 / 37 = 5”

Bila dibandingkan bed depth (5”) dengan ukuran fraksi batubara yang diayak rata-rata 2”, maka

akan terbentuk hanya dua layer di atas permukaan screen. Untuk memperoleh efisiensi

pengayakan yang tinggi perlu dilakukan simulasi dengan mengubah sudut screen. Dari

perhitungan luas screen di ata s, yaitu 98.04 sqft, ke mudian disesuaikan den gan spesifikasi unit

screen dari pabrik pembuatnya. Sebagai contoh screen buatan NORDBERG seri RS yang

berukuran 6 x 20 ft, yaitu TY620RS dapat digunakan. Luas screen TY620RS adalah 120 sqft

berarti lebih besar dari perhitungan yang mempunyai keuntungan bahwa kapasitas pengayakan

dapat ditambah. Atau dengan pesanan khusus agar dimensi screen sesuai dengan hasil

perhitungan. Power yang diperlukan oleh seri screen di atas antara 20-40HP (15-30 kW).

3. Proses penyampuran batubara (blending)

Hasil pengolahan terhadap batubara dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu batubara

high grade dan low grade. Untuk mendapatkan kualitas batubara yang sesuai dengan permintaan

Page 12: Pengolahan Dan Pengapalan

pasar dilakukan blending batubara high dan low grade dengan perbandingan tertentu. Faktor

penting yang harus diperhatikan dalam proses blending adalah:

a. Kuantitas batubara yang ada di stockpile

b. Parameter apa yang menjadi tolok ukur blending, biasanya kalori

c. Variasi parameter batubara yang akan di blending

d. Peralatan blending yang memadai

e. Kapasitas stockpile harus mencukupi

Apabila permintaan pasar sesuai de ngan kualitas batubara yang ada di stockpile, maka tidak

perlu dilakukan blending.

Persamaan umum yang digunakan untuk blending sebagai berikut:

dimana:

Qb = Kualitas blending

Qn = Kualitas variasi tumpukan batubara-1, 2, 3, …, n

Nn = Berat batubara yang diambil dari tumpukan batubara-1, 2, 3,…,n

Terdapat dua cara melakukan blending, yaitu menggunakan system stacking conveyor (stacker)

dan melalui bin yang dilengkapi conveyor feeder seperti sketsa pada Gambar 3 dan Gambar 4.

Dengan menggunakan stacker conveyor harus dilakukan proses penimbunan yang menghasilkan

perlapisan teratur agar diperoleh ratio campuran yang relatif memadai. Oleh sebab itu terdapat 3

model blending, yaitu chevron, windrow dan chevron-windrow, yang menghasilkan berbagai

perlapisan seperti terlihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Timbunan blending batubara menggunakan stacker conveyor

Blending menggunakan sistem control melalui bin dan feeders den gan kecepatan bervariasi

biasanya menghasilkan blending yang lebih baik dibanding menggunakan stacker conveyor. Hal

ini disebabkan adanya pengontrolan sebagai berikut:

a. Kecepatan feeder dari setiap bin da pat divariasikan, sehingga tonase yang diproduksi setiap

Page 13: Pengolahan Dan Pengapalan

feeder bervariasi juga sesuai dengan yang telah ditetapkan;

b. Umpan yang masuk bin dan yang keluar dari setiap feeder dapat diko ntrol menggunakan alat

Ratio Unit;

c. Pemantauan tonage produksi blending dilakukan oleh alat kontrol belt weighter;

d. Distribusi hasil blending pada tumpukan akhir relatif lebih merata.

4. Kolam pengendap (settling pond)

Kolam pengendap perlu direncanakan dibangun di lokasi pengolahan batubara. Air hujan yang

melewati tumpukan batubara di areal stockpile berpeluang mencemarkan lingkungan, baik secara

fisik maupun kimia. Secara fisik terjadi ketika aliran air hujan yang melewati tumpukan batu

bara akan membawa partikel batubara halus keluar dari tumpukan yang membuat aliran air

tersebut menjadi berwarna hitam. Apabila aliran air yang keluar dari tumpukan batubara masuk

ke sungai, maka dapat menimbulkan pencemaran secara fisik terhadap sungai. Secara kimia

terjadi ketika air hujan bereaksi den gan unsur-unsur kimia y ang terkandung dalam mineral yang

berasosiasi dengan batubara, misalnya pyrite dan marcasite. Reaksi kimia ini berupa reaksi

oksidasi yang dapat menjadikan air hujan bersifat asam seperti ditunjukkan oleh persamaan

reaksi berikut ini.

2 FeS2 + 7O2 + 2 H2O -------------> 2 FeSO4 + 2 H2SO4

Dengan adanya kolam pengendap, maka partikel halus didalam air limbah atau buangan yang

keluar dari lokasi pengolahan batubara akan diendapkan dan sekaligus dinetralkan kembali

menggunakan gamping (lime). Air limbah yang sudah diolah (treatment) dapat dialirkan ke

sungai. Diharapkan kolam pengendap ini menjadi solusi untuk mengurangi dampak negatif

lingkungan akibat aliran air kotor dari tumpukan batubara . Kolam pengendap dibuat pada

topografi paling rendah yang biasanya dekat dengan sungai, sehingga jarak pengaliran air bersih

ke sungai menjadi pendek.

Dimensi kolam disesuaikan dengan debit aliran air kotor yang keluar, namun ukuran panjang x

lebar x dalam sekitar 25 m x 25 m x 2,5 m dapat dibuat sebagai standard. Apabila kurang, maka

dapat dibuat beberapa kolam dengan ukuran yang sama.

5. Tata letak diunit pengolahan dan sekitarnya

Page 14: Pengolahan Dan Pengapalan

Pada prinsipnya unit pengolahan harus selalu dekat dengan sungai karena kaitannya dengan

pekerjaan pembersihan unit-unit pengolahan, aktifitas penyaliran dan sarana transportasi

pengiriman produk akhir ke konsumen. Untuk mendapatkan luas lahan minimum bagi lokasi

pengolahan dan sekitarnya perlu dipertimbangkan beberapa faktor antara lain:

a. Jumlah dan luas stockpile untuk timbunan raw batubara agar memenuhi target;

b. Jumlah dan luas produk akhir (finished product) batubara yang siap diangkut ke konsumen;

c. Luas pabrik pengolahan atau processing area;

d. Luas perkantoran dan sekitarnya;

e. Sarana penunjang lain, misalnya jalan angkut , panjang konveyor, area maneuver alat muat

(loader) dan water treatment.

a. Geometri dan luas raw coal stockpile

Untuk memenuhi target produksi yang direncanakan sebesar 2.000.000 ton/tahun diperlukan

cadangan raw coal stockpile yang mampu menampung sekitar 200.0 00 ton/2 bulan. Berdasarkan

cadangan raw coal tersebut perlu diketahui bentuk bangun timbunan batubara, sehingga dapat

dipersiapkan luas lahannya dengan perhitungan sebagai berikut :

Bentuk bangun timbunan batubara adalah limas terpancung (lihat Gambar 6) yang volumenya

adalah 1/3 t x (B + A + VB + A), di mana B, A dan t masing-masing adalah luas bidang bawah,

luas bidang atas dan tinggi;

Gambar 6. Bentuk bangun dan geometri raw coal stockpile

Diambil panjang dan lebar alas timbunan 200 m, Tinggi 4 m dan sudut kemiringan lereng

timbunan 35º.

LB = panjang atau lebar sisi alas = 200 m, LA dicari sebagai berikut:

Dengan estimasi densitas raw coal = 1,6 Ton/m³, maka berat (W) timbunan raw coal = 241.685

ton/timbunan

Dibandingkan dengan target 200.000 ton/2 bulan/timbunan, maka estimasi dimensi timbunan

batubara seperti pada Gambar 6 di atas dapat diterima.

Page 15: Pengolahan Dan Pengapalan

b. Geometri dan luas product coal stockpile

Stockpile ini digunakan untuk menampung sementara batubara hasil pengolahan. Timbunan

batubara terbentuk dari curahan belt conveyor, sehingga bentuknya adalah kerucut (lihat Gambar

7). Kapasitas timbunan 100.000 ton/bulan, maka dimensinya dihitung sebagai berikut:

*). Diestimasi diameter lingkaran bawah = 100 m, sudut kemiringan timbunan batubara 35º dan

tinggi tumpukan maksimum 10 m, maka diameter lingkar an atas =

= 71,4 m

Gambar 7. Bentuk bangun dan geometri product coal stockpile

Volume dihitung dengan rumus 1/3 ∏ h (R2 + r2 + Rr), di mana h, R dan r masing-masing

adalah tinggi kerucut, jari-jari lingkaran bawah dan jari-jari lingkaran atas.

V = 1/3 ∏ 10 (102 + 35,72 + (10 x 35,7)) = 58.220 m³

Dengan estimasi densitas produk batubara 1,8 Ton/m³, maka berat (W) timbunan produk akhir

batubara = 104.800 ton/timbunan

Dibandingkan dengan target 100.000 ton/bulan/timbunan, maka estimasi dimensi timbunan

batubara seperti pada Gambar 7 di atas dapat diterima.

c. Dampak timbunan batubara terhadap subsidence

Pembebanan dari stockpile batubara dapat menyebabkan lapisan dibawahnya mengalami

pemampatan. Pemampatan tersebut disebabkan oleh adanya deformasi partikel tanah, keluarnya

air atau udara dari dalam pori-pori tanah dan getaran crusher serta alat-alat pengolahan lainnya.

Secara umum penurunan tanah tersebut dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1) penurunan

konsolidasi dan (2) penurunan segera:

(1) Penurunan “konsolidasi” terjadi akibat berubahnya volume tanah jenuh air akibat keluarnya

air dari pori-pori tanah tersebut. Biasanya peristiwa ini memakan waktu lama.

(2) Penurunan “segera” terjadi setelah terjadi penambahan tegangan akibat beban timbunan

batubara diatasnya dan tidak berpengaruh terhadap kadar air tanah. Timbunan batubara

Page 16: Pengolahan Dan Pengapalan

menimbulkan penyebaran tegangan pada lapisan tanah di bawahnya yang dapat dianalisis dengan

cara pendekatan.

Penurunan “segera” tidak diperhitungkan karena penuruannya kecil sekali dibanding penurunan

“konsolidasi” dan juga karena terbatasnya parameter yang dibutuhkan. Sementara penurunan

konsolidasi diasumsikan terjadi dengan merembesnya air ke dua arah (double drainage), yaitu

keatas dan kebawah. Karena umur tambang batubara diperkirakan hanya sekitar 5 tahun, maka

pengaruh penurunan konsolidasi ini pun kurang begitu signifikan. Estimasi penurunan tanah

akibat timbunan batubara untuk jangka waktu 5 tahun ± 0,5 m sedangkan penurunan yang

diijinkan ± 3 m.