PENGKAJIANHUKUMTENTANGARBITRASENEGARA-NEGARAASEAN

153

description

BPHN

Transcript of PENGKAJIANHUKUMTENTANGARBITRASENEGARA-NEGARAASEAN

  • PENGKAJIAN HUKUMTENTANG

    ARBITRASE NEGARA-NEGARA ASEAN

    Disusun Oleh TimDi Bawah Pimpinan:

    Dr. Huala Adolf, S.H., LL.M.

    BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONALDEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI

    JAKARTA, 2009

  • PENGKAJIAN HUKUMTENTANG

    ARBITRASE NEGARA-NEGARA ASEAN

    Editor:Ajarotni Nasution, S.H., M.H.

    Mugiyati, S.H., M.H.Theodrik Simorangkir, S.H., M.H.

    BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONALDEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI

  • iv

  • KATA PENGANTAR

    Lazimnya penyelesaian sengketa di kalangan pebisnis diserahkankepada lembaga Arbitrase. Dengan diluncurkannya Asean Free TradeArea (AFTA) di lingkungan negara Asean, tentunya mendorong transaksibisnis antar negara-negara Asean semakin meningkat. Meningkatnyatransaksi bisnis atar pengusaha ini juga sedikit banyak mendorongpeningkatan sengketa bisnis. Penyelesaian sengketa biasanya diaturdalam kontrak dan diserahkan kepada Arbitrase.

    Melihat perkembangan yang ada dan kelaziman pengusahamenyerahkan sengketa bisnis kepada Arbitrase, pada tahun anggaran2007, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) telah melakukankegiatan dengan topik, Pengkajian Hukum tentang Arbitrase Negara-Negara Asean. Kajian dimaksudkan untuk mengidentifikasi berbagaipermasalahan yang berkaitan dengan Arbitrase, khususnya di negaraAsean, sekaligus menemukan perkembangan teori baru mengenaiperjanjian arbitrase dan cara penyelesaiannya.

    Hasil kajian ini diterbitkan dengan maksud untuk memperbanyakjumlah koleksi hukum bisnis khususnya Hukum Arbitrase yang masihrelatif sedikit jumlahnya. BPHN sebagai Pusat Jaringan Dokumentasidan Informasi Hukum Nasional menyebarluaskannya ke InstansiPemerintah di Pusat dan Daerah. Dengan demikian masyarakat akanlebih mudah menemukan, menggunakan dan mengembangkan untukpembinaan hukum nasional.

    Akhirnya, kami ucapkan terima kasih kepada semua anggota timyang dipimpin oleh Prof. Dr. Huala Adolf, S.H., LL.M., yang telahmeluangkan waktu dan bekerja keras dan semua pihak yang berperanserta sehingga buku ini dapat diterbitkan.

    Jakarta, September 2009Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

    Prof. Dr. H. Ahmad M. Ramli, S.H., M.H., FCBArb.

    v

  • vi

  • KATA PENGANTAR

    Dalam rangka kegiatan Tim Pengkajian Hukum tentang ArbitraseNegara-Negara ASEAN sebagai realisasi Surat Keputusan MenteriHukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: G1-PR.164B.PR.09.03 Tahun 2007, tanggal 2 Juli 2007, telah ditetapkanTim Pengkajian Hukum dari Akademisi, Badan Arbitrase NasionalIndonesia (BANI) dan Pengadilan.

    Maksud pengkajian hukum ini adalah untuk mengidentifikasiberbagai aturan yang berkaitan dengan Hukum Arbitrase di Negara-Negara ASEAN, khususnya di negara anggota asli ASEAN, yaituRepublik Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, Philipina, yangnantinya dapat menunjang pembentukan hukum nasional

    Berkat kerja sama dari seluruh anggota, tugas yang dibebankankepada tim dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal yang telahditetapkan.

    Namun demikian, mengingat keterbatasan waktu, dana, dan tenaga,maka pengkajian hukum ini tidak luput dari kekurangannya.

    Harapan kami mudah-mudahan pengkajian hukum yang dihasilkanini dapat memberi sumbangan pemikiran dalam penyelesaian sengketaperdata (perdata internasional), khususnya melalui Arbitrase.

    Akhir kata, tim pengkajian hukum mengucapkan terima kasihkepada pimpinan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yangtelah memberikan kepercayaan kepada tim untuk menyusun pengkajianini.

    Jakarta, Desember 2007Ketua,

    ttdDr. Huala Adolf, S.H., LL.M

    vii

  • viii

  • DAFTAR ISI

    HalamanKATA PENGANTAR ................................................................

    DAFTAR ISI .............................................................................

    BAB I PENDAHULUAN .....................................................A. Latar Belakang ....................................................B. Maksud dan Tujuan ............................................C. Permasalahan .......................................................D. Metode Pengkajian ..............................................

    BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE ...A. Definisi Arbitrase ................................................B. Dasar Hukum Arbitrase ......................................C. Sejarah Arbitrase .................................................D. Objek Arbitrase ...................................................E. Jenis-jenis Arbitrase ............................................F. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase ..............G. Hubungan Arbitrase dan Pengadilan..................H. Pelaksanaan Putusan Arbitrase ...........................

    BAB III PENGATURAN HUKUM ARBITRASE NEGARA-NEGARA ASEAN .....................................................A. Indonesia ..............................................................B. Singapura .............................................................C. Thailand ...............................................................D. Malaysia ...............................................................E. Philippina .............................................................

    BAB IV PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE NEGA-RA-NEGARA ASEAN .............................................A. Indonesia ..............................................................

    ix

    v

    ix

    11677

    99

    10111112131415

    232333354042

    4747

  • xB. Singapura .............................................................C. Thailand ...............................................................D. Malaysia ...............................................................E. Philippina .............................................................

    BAB V PENUTUP ..................................................................A. Kesimpulan ..........................................................B. Saran ....................................................................

    DAFTAR PUSTAKA .................................................................

    LAMPIRAN .............................................................................

    53596062

    656565

    67

    71

  • 1BAB IPENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANGLembaga arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa di bidang

    bisnis sudah semakin berperan penting. Lembaga arbitrase lazimdipandang sebagai suatu badan peradilan para pengusaha atau MerchantsCourt. Bahkan Profesor terkemuka di bidang hukum perdaganganinternasional, Profesor Alexander Goldstajn menyebut arbitrase sebagaisalah satu prinsip dasar dalam hukum perdagangan internasional.1

    Andreas Respondek mengungkapkan bahwa dalam kontrak-kontrakdagang atau bisnis internasional, para pihak sudah sangat lazimmenuangkan klausul arbitrase dalam kontrak mereka. Respondek (2003)mengungkapkan:

    There is hardly any international contract like for instance a JointVenture Agreement, a Technology Transfer Agreement or a Turn-Key Agreement in the construction sector that would not contain anarbitration clause for dispute resolution between the parties.Selanjutnya Respondek mengungkapkan pula bahwa: Approxi-

    mately 80% of all international agreements contain arbitration clauses.Dengan telah diluncurkannya ASEAN FREE TRADE AREA

    (AFTA) di lingkungan negara ASEAN, transaksi di antara negara-negara ini menjadi semakin terbuka. Para pengusaha di antara negaraASEAN diharapkan semakin banyak melakukan transaksi dengan mitrabisnisnya di region Asia Tenggara.

    Semakin meningkatnya hubungan bisnis di kawasan ASEAN sedikitbanyak akan berpengaruh pula terhadap peningkatan sengketa di antara

    1 Lihat: Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: Rajawali pers, cet. 2, 2005,

    hlm. 16.

  • 2para pengusaha ASEAN. Mengingat lembaga arbitrase sudah semakinbanyak dicantumkan dalam kontrak dagang (tersebut di atas), makasudah dipandang penting untuk mengetahui sedikit banyak tentangpengaturan hukum arbitrase di antara negara anggota ASEAN.

    Diharapkan dengan diketahuinya aturan hukum arbitrase di antaranegara anggota ASEAN tersebut, kemudian diupayakan, apabila terdapatperbedaan, pengharmonisasian di bidang hukum di antara negara anggota.Mengapa upaya harmonisasi ini dipandang perlu sedikit banyak karenapengaturan hukum arbitrase yang berbeda-beda (di antara negara anggotaASEAN), hanya akan mengakibatkan terganggunya transaksi bisnisdi kawasan ini.

    Sebagai perbandingan, di awal tahun 1980, UNCITRAL telahmengadakan suatu survei terhadap peraturan hukum arbitrase di dunia.Salah satu temuan atau kesimpulan yang ditarik dari hasil survei tersebutUNCITRAL menyatakan bahwa aturan-aturan arbitrase yang berbedatidak kondusif terhadap kebutuhan dunia bisnis (internasional).

    Perlu pula dicatat bahwa perbedaan hukum arbitrase antar negaramenjadi sumber masalah bagi para pihak dalam arbitrase internasional,karena tidak dipahaminya hukum dan aturan beracara arbitrase nasionalnegara lainnya.

    Dalam salah satu resolusinya tahun 1985 yang dikeluarkansehubungan dengan lahirnya Model Law, UNCITRAL menyatakansebagai berikut:2

    7. Problems and undesired consequences, whether emanating frommandatory or non-mandatory provisions or from a lack of pertinentprovisions, are aggravated by the fact that national laws on arbi-tral procedure differ widely. The differences are a frequent sourceof concern in international arbitration, where at least one of theparties is, and often both parties are, confronted with foreign andunfamiliar provisions and procedures. For such a party it may beexpensive, impractical or impossible to obtain a full and preciseaccount of the law applicable to the arbitration.

    2 A/CN.9/264, para. 7 dan 8.

  • 38. Uncertainty about the local law with the inherent risk of frustra-tion may adversely affect not only the functioning of the arbitralprocess but already the selection of the place of arbitration. A partymay well for those reasons hesitate or refuse to agree to a placewhich otherwise, for practical reasons, would be appropriate in thecase at hand. The choice of places of arbitration would thus bewidened and the smooth functioning of the arbitral proceedingswould be enhanced if States were to adopt the Model Law which iseasily recognisable, meets the specific needs of international com-mercial arbitration and provides an international standard withsolutions acceptable to parties from different States and legalsystems.

    Sebagai perbandingan, di Indonesia misalnya penyelenggaraanarbitrase diberi legalitas dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pertimbangandibuat berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlakupenyelesaian sengketa perdata di samping dapat diajukan ke peradilanumum juga terbukti kemungkinan penyelenggara sengketa tersebut,diajukan melalui Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

    Peraturan Perundang-undangan yang kini berlaku untukmenyelesaikan sengketa melalui Arbitrase sudah tidak perlu lagi denganperkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya.3

    Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitraseberisi aturan antara lain:- Alternatif penyelesaian sengketa.- Syarat arbitrase pengangkatan arbiter dan hak ingkar.- Acara yang berlaku dihadapan majelis arbitrase.- Pelaksanaan putusan arbitrase.- Berakhirnya tugas arbitrase.- Biaya arbitrase.

    Sebelum berlakunya undang-undang yang berlaku selama ini yangdipakai sebagai dasar pemeriksaan Arbitrase di Indonesia adalah pasal

    3 Konsideran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alter-

    native Penyelesaian Sengketa alinea a.b

  • 4615 sampai dengan Pasal 651 Reglernen Acara Perdata (Reglernentop de Rechvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 ReglemenIndonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch ReglemenStaatsblad 1941: 44). Dan pasaI 705 Reglement Acara Untuk DaerahLuar Jawa dan Madura (Rechsretglement Buitengwesten, Staatblad1927:227).

    Tujuan pengaturannya atau hal yang ingin dicapai untukmemberitahukan hak kepada para pihak yang bersengketa menentukanmediator dalam menyelesaikan permasalahannya.

    Di samping itu juga untuk mempercepat proses melalui pemeriksaperadilan yang berbelit-belit. Hal ini juga disebabkan. karena lembagaarbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan,kelebihan tersebut antara lain:a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak.b. Dapat dihindari keterlambatan yang diakibatkan karena hal

    prosedural dan administratif.c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya

    mempunyai pengetahuan pengalaman serta latar belakang yangcukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil.

    d. Para pihak dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan untukmenyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraanarbitrase.

    e. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihakdan dengan melalui tata cara (prosedur sederhana saja ataupunlangsung dapat dilaksanakan).Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya

    benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebihcepat dari pada proses arbitrase.

    Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifatkonfidensialnya karena keputusannya tidak dipublikasikan. Namundemikian penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminatidari pada Litigasi terutama untuk kontrak bisnis bersifat internasional.

  • 5Dengan perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu lintasdi bidang perdagangan baik nasional maupun internasional sertaperkembangan hukum pada umumnya, maka Peraturan yang terdapatdalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechvordering) yangdipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi sehinggaperlu disesuaikan karena pengaturan dagang bersifat internasional sudahmerupakan kebutuhan Condition Sine qua non sedangkan hal tersebuttidak diatur dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op deRechvordering). Bertolak dari kondisi ini perubahan yang mendasarterhadap RV baik secara filosofis maupun substantif sudah saatnyadilaksanakan. Dalam Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999diatur tentang arbitrase internasional, terutama aspek eksekusinya. Akantetapi undang-undang tersebut sama sekali tidak menyebut-nyebuttentang apa yang dimaksud dengan arbitrase internasional itu. Apakahmisalnya setiap putusan arbitrase luar negeri (Negara-Negara ASEAN)dapat dijalankan di Indonesia, termasuk jika putusan tersebut merupakanputusan arbitrase Nasional Negara lain.

    Karena Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 tidakmenyebutkan apa apa, maka hal ini mengindikasikan bahwa Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 tersebut tidak rnelakukan pembatasan-pernbatasan terhadap jenis Arbitrase. Asal syarat-syarat dalam undang-undang tersebut telah dipenuhi, maka putusan arbitrase tersebut sudahdapat dijalankan.

    Jadi arbitrase internasional yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 sebenarnya adalah arbitraseasing. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam New York Convention(10 Juni 1958) yang memang mempersoalkan eksekusi putusan arbitraseasing (foreign arbitral awards), bukan hanya arbitrase Internasional.Bahkan dalam sejarah hukum arbitrase di Indonesia, juga yang dikenaladalah eksekusi putusan arbitrase asing. Hal lni terlihat misalnya denganadanya Keppres Nomor 34 Tahun 1981 yang mengesahkan berlakunyaNew York Convention tersebut, maupun dengan adanya PeraturanMahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1990, tentang Tata CaraPelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.

  • 6Sementara itu, jika kita berbicara dengan arbitrase internasional(dalam arti sempit), yakni yang tidak termasuk arbitrase nasional Negerilain, maka seperti yang dimaksud dalam model hukum arbitraseUNCITRAL baru termasuk arbitrase internasional jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

    (1) Jika pada saat penandatanganan kontrak yang menjadi sengketa,para pihak mempunyai tempat bisnis di negara yang berbeda,atau

    (2) Jika tempat arbitrase sesuai dengan kontrak arbitrase berada diluar tempat bisnis para pihak, atau

    (3) Jika pelaksanaan sebagian besar kewajiban dalam kontrak beradadiluar bisnis para pihak, atau pokok sengketa sangat terkait dengantempat yang berada diluar tempat bisnisnya para pihak, atau

    (4) Para pihak dengan tegas telah menyetujui bahwa pokok persoalandalam kontrak arbitrase berhubungan dengan lebih dari satu negara.Di samping arbitrase yang bersifat nasional seperti BANI, di

    beberapa negara-negara ASEAN terdapat juga arbitrase yang khususdibentuk untuk kasus-kasus internasional.

    Biasanya, arbitrase nasional (seperti BANI) juga menyediakandiri untuk kasus-kasus yang bersifat intemasional, khususnya jika salahsatu pihak dalam sengketa tersebut adalah berasal dari negara di manaarbitrase nasionai tersebut berada.

    Di Indonesia proses penyelesaian perkara diluar peradilan melaluiArbitrase dapat mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperolehizin pemerintah untuk di eksekusi/eksekutor di pengadilan.

    B. MAKSUD DAN TUJUANMaksud dan tujuan dilakukan pengkajian ini adalah untuk

    mengidentifikasi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan Arbitrasekhususnya di Negara-Negara ASEAN (Indonesia, Singapura Thailand,Malaysia, Filiphina) dan sekaligus menemukan perkembangan teori-teori baru mengenai perjanjian Arbitrase dan cara penyelesaiannya.

  • 7C. PERMASALAHANa. Bagaimana Pengaturan Hukum Arbitrase Negara-Negara ASEAN

    khususnya Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, Filiphina.b. Bagaimana Pelaksanaan Putusan Arbitrase Negara-Negara ASEAN

    tersebut.

    D. METODE PENGKAJIANPengkajian hukum tentang Arbitrase Negara-Negara ASEAN ini

    disusun dengan menggunakan metode:a. Metode penelitian kepustakaan, yaitu mempelajari bahan literatur

    yang berkaitan dengan materi yang dikaji.b. Masing-masing anggota tim menulis naskah sesuai dengan topik

    pembagian tugas yang disepakati dan melakukan diskusi dalam(rapat tim).

  • 8

  • 4 Priyatna Abdurrasyid, Pengusaha Indonesia Perlu Meningkatkan Minatnya Terhadap Arbitrase dan

    Alternatif Penyelesaian Sengketa, Suatu Tinjauan, Hukum Bisnis, Vol 21, Oktober - November 2002. hlm.7.

    5 Budhy Budiman, Mencari Model Ideal penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap praktik Peradilan

    Perdata Dan undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.http://www.uika-bogor.ac.id/jur05.htm. Diakses 30Agustus 2006.

    BAB IITINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE

    A. DEFINISI ARBITRASEMenurut Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase

    dalam Pasal 1 angka 1 telah didefinisikan bahwa Arbitrase adalahcara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umumyang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulisoleh para pihak yang bersengketa. Menurut Blacks Law Dictionary:Arbitration. an arrangement for taking an abiding by the judgementof selected persons in some disputed matter, instead of carrying it toestablish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities,the delay, the expense and vexation of ordinary litigation. Sedangkanmenurut Subekti berpendapat bahwa Arbitrase itu adalah penyelesaiansuatu perselisihan (perkara) oleh seorang atau beberapa orang wasit(arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para pihak yang berperkaradengan tidak diselesaikan lewat Pengadilan.4 Pada dasarnya arbitrasedapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk5, yaitu:

    Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulisyang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum decompromitendo); atau Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuatpara pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).

    Sebelum Undang-Undang Arbitrase berlaku, ketentuan mengenaiarbitrase diatur dalam pasal 615 s.d. 651 Reglemen Acara Perdata(Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang

    9

  • 6 Priyatna, Op.Cit, hlm. 14-15.

    Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakimanmenyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasarperdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.B. DASAR HUKUM ARBITRASE

    Dasar hukum arbitrase sebagai salah satu cara penyelesaian sengketadapat ditemukan dalam pasal 33 Piagam PBB. Pasal ini menyebutkanbahwa pihak-pihak yang bersangkutan dalam suatu pertikaian yangjika berlangsung terus menerus mungkin membahayakan pemeliharaanperdamaian dan internasional; pertama-tama harus mencari penyelesaiandengan cara perundingan, penyelidikan dengan mediasi, konsiliasi,arbitrase, penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan ataupengaturan-pengaturan regional, atau dengan cara damai lainnya yangmereka pilih sendiri. Dari pasal tersebut tampak bahwa arbitrase sebagaisalah satu cara penyelesaian sengketa baik nasional maupun internasionaltelah diakui eksistensinya oleh masyarakat internasional, sehingga dapatdisimpulkan bahwa badan ini bisa saja bersifat publik maupun perdata.Yang bersifat publik misalnya Mahkamah Tetap Arbitrase (PermanentCourt Arbitration). Yang bersifat perdata misalnya Dewan ArbitraseICSID/Bank Dunia. Penyelesaian dengan arbitrase dipilih untuk sengketakontraktual (baik yang bersifat sederhana maupun yang kompleks),yang dapat digolongkan menjadi6:1. Quality Arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (ques-

    tion of fact) yang dengan sendirinya memerlukan para arbiterdengan kualifikasi teknis yang tinggi;

    2. Technical Arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan fac-tual, sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalampenyusunan dokumen (construction of document) atau aplikasiketentuan-ketentuan kontrak;

    3. Mixed Arbitration, sengketa baik mengenai permasalahan faktualmaupun hukum (Question of Law).

    10

  • Peranan badan arbitrase komersial di dalam menyelesaian sengketa-sengketa bisnis di bidang perdagangan nasional maupun internasionaldewasa ini menjadi semakin penting. Banyak kontrak nasional daninternasional memasukkan klausul arbitrase. Bagi kalangan bisnis,cara penyelesaian sengketa melalui badan ini memberikan keuntungantersendiri dari pada melalui badan peradilan nasional.

    C. SEJARAH ARBITRASEKeberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian

    sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan.Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainyaReglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene IndonesischReglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karenasemula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of derechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidaklaku lagi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 tahun1999. Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang PokokPokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalampenjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwapenyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian ataumelalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanyamempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintahuntuk dieksekusi dari Pengadilan.

    D. OBJEK ARBITRASEObjek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di

    luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatifpenyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang-UndangNomor 30 tahun 1999 (UU Arbitrase) hanyalah sengketa di bidangperdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturanperundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

    Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain:perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hakmilik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) Undang-undang Arbitrasememberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap

    11

  • 7 Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006),

    hlm. 278 Ibid

    9 Indonesian Banking Restructuring Agency (IBRA). Arbitrase, Pilihan Tanpa Kepastian, http://www.

    gontha.com/view.php?nid=104, diakses 30 Agustus 2007

    tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurutperaturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaiansebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III Bab kedelapan belasPasal 1851 s.d. 1854.

    E. JENIS-JENIS ARBITRASEArbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun

    arbitrase melalui badan permanen (institusi).1. Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang

    sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya Undang-UndangNomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif PenyelesaianSengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnyaarbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yangmenyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedurpelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitraseAd-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase7.

    2. Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelolaoleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang merekatentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yangdikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan ArbitraseNasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti TheRules of Arbitration dari The International Chamber ofCommerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The Inter-national Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) diWashington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistemarbitrase sendiri-sendiri8.BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar

    klausul arbitrase sebagai berikut:9

    12

  • 10 Ibid

    11 Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kali adalah klausul arbitrase.

    Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknya klausul arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akandiselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrasedibuat setelah sengketa timbul, Ibid

    Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikandan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurutperaturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannyamengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalamtingkat pertama dan terakhir.

    Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comissionof International Trade Law) adalah sebagai berikut10:

    Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atausehubungan dengan perjanjian ini, atau wanprestasi, pengakhiran atausah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai denganaturan-aturan UNCITRAL.11

    F. KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN ARBITRASEKeunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum

    Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapakeunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan denganpranata peradilan. Keunggulan itu adalah:1. kerahasiaan sengketa para pihak terjamin;2. keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan ad-

    ministratif dapat dihindari;3. para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki

    latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan,serta jujur dan adil;

    4. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaianmasalahnya;

    5. para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase;6. putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak

    melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.

    13

  • Para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai keunggulanarbitrase. Menurut Prof. Subekti bagi dunia perdagangan atau bisnis,penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyaibeberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, olehpara ahli, dan secara rahasia.

    Sementara HMN Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnyaperadilan wasit (arbitrase) adalah:121. Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat.2. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-

    sengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yangmemuaskan para pihak.

    3. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.4. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak

    mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yangbersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yangdikehendaki oleh para pengusaha.Di samping keunggulan arbitrase seperti tersebut di atas, arbitrase

    juga memiliki kelemahan arbitrase. Dari praktik yang berjalan diIndonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusidari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusanarbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas.G. HUBUNGAN ARBITRASE DAN PENGADILAN

    Lembaga arbitrase masih memiliki keterterkaitan pada pengadilan,misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusanuntuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal inimenunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksaterhadap para pihak untuk menaati putusannya13.

    Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasarUndang-undang Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter

    12 Budhy Budiman, Loc.cit.

    13 Ibid

    14

  • atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal14 (3)) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupuninternasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilanyaitu pendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentikputusan. Bagi arbitrase internasional mengembil tempat di PengadilanNegeri Jakarta Pusat.

    H. PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASEPelaksanaan putusan Arbitrase dapat dijelaskan dalam 2 hal:

    1. Putusan Arbitrase NasionalPelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal

    59-64 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Pada dasarnyapara pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agarputusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebutharus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilannegeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atausalinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanyake panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) harisetelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasionalbersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yangmempunyai kekuatan hukum tetap) sehingga Ketua PengadilanNegeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangandari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksayang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaansecara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkanoleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sebelum memberi perintahpelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusanarbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitraseinternasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeridapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itutidak ada upaya hukum apapun.14

    14 Ibid, hal. 74.

    15

  • 2. Putusan Arbitrase InternasionalSemula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di

    indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, danpemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensitersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayahIndonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatanganiUN Convention on the Recognition and Enforcement of ForeignArbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New Yorktersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkanPeraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang TataCara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengandisahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Permatersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing diIndonesia seharusnya bisa diatasi. Tetapi dalam praktiknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.

    Kewenangan Pengadilan Memeriksa Perkara yang SudahDijatuhkan Putusan Arbitrasenya

    Lembaga Peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrasesebagaimana yang termuat dalam Pasal 3 dan Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30Tahun 1999 menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenanguntuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjianarbitrase.

    Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadilisengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalamsuatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase.Hal tersebut merupakan prinsip limited court involvement15.

    15 Soemartono, Op.Cit, hlm 70-71.

    16

  • Dalam praktiknya masih saja ditemukan pengadilan yang menen-tang, bahkan ketika arbitrase itu sendiri sudah menjatuhkan putusannya.Seperti dalam kasus berikut:

    Dalam kasus Bankers Trust Company dan Bankers Trust Interna-tional PLC (BT) melawan PT Mayora Indah Tbk (Mayora), PN JakartaSelatan tetap menerima gugatan Mayora (walaupun ada klausul arbitrasedi dalamnya) dan menjatuhkan putusan Nomor 46/Pdt.G/1999 tanggal9 Desember 1999, yang memenangkan Mayora. Ketua PN JakartaPusat dalam putusan Nomor 001 dan 002/Pdt/Arb.Int/1999/ PN.JKT.PSTjuncto 02/Pdt.P/2000/PNJKT.PST, tanggal 3 Februari 2000, menolakpermohonan BT bagi pelaksanaan putusan Arbitrase London, denganalasan pelanggaran ketertiban umum, pelanggaran ketertiban umumyang dimaksud adalah bahwa perkara tersebut masih dalam prosesperadilan dan belum memiliki kekuatan hukum tetap. PenolakanPengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut dikuatkan oleh PutusanMahkamah Agung Nomor 02 K/Exr/Arb.Int/Pdt/2000, tanggal 5 Sep-tember 200016.

    Kasus di atas adalah salah satu contoh di mana pengadilanmenentang lembaga arbitrase. Sebelumnya telah jelas bahwa pengadilantidak boleh mencampuri sengketa para pihak yang telah terikat perjanjianarbitrase. Lalu apakah ada alasan-alasan yang dapat membenarkanpengadilan memeriksa perkara para pihak yang sudah terikat denganklausul arbitrase? Dalam jurisprudensi salah satu contoh adalahArrest Artist de Labourer.

    Kasus lain juga terjadi sebagai berikut:Persatuan Kuda Jantan (penggugat) telah mengasuransikan kuda Pejantanbernama Artis de Laboureur terhadap suatu penyakit/cacad tertentu,yang disebut cornage. Ternyata pada suatu pemeriksaan oleh KomisiUndang-Undang Kuda, kuda tersebut dinyatakan diapkir, karenamenderita penyakit cornage. Penggugat menuntut santunan ganti rugidari Perusahaan Asuransi. Di dalam Polis dicantumkan klausula yangmengatakan, bahwa sengketa mengenai Asuransi, dengan menyingkirkan

    16 Ibid, hlm. 73.

    17

  • Pengadilan, akan diputus oleh Dewan Asuransi Perusahaan Asuransi,kecuali Dewan melimpahkan kewenangan tersebut kepada suatuarbitrase. Dewan Asuransi telah memutuskan untuk tidak membayarganti rugi kepada penggugat. Penggugat mengajukan gugatan dimukaPengadilan. Sudah tentu dengan alasan adanya klausula tersebut diatas, maka tergugat membantah dengan mengemukakan, bahwaPengadilan tidak berwenang untuk mengadili perkara ini.

    Pengadilan s Gravenhage a.l. telah mempertimbangkan:Setelah Pengadilan menyatakan dirinya berwenang memeriksa perkaratersebut, maka Pengadilan menyatakan, bahwa keputusan DewanAsuransi harus disingkirkan, karena keputusan tersebut tidak didasarkankepada suatu penyelidikan yang teliti dan bahkan Dewan menganggaptidak perlu mendengar pihak penggugat, sehingga perjanjian itu tidaktelah dilaksanakan dengan iktikad baik. Pengadilan mengabulkan tuntutanuang santunan ganti-rugi sampai sejumlah uang tertentu. Pihak Asuransinaik banding.

    Hof Amsterdam dalam keputusannya a.l. telah mempertimbangkan:Bahwa memang benar, bahwa berdasarkan Polis ybs., para pihak sepakatuntuk menyerahkan sengketa mengenai Asuransi tersebut kepada DewanAsuransi Perusahaan Asuransi. Sekalipun terhadap keputusan Dewan,yang diambil dengan tanpa aturan main yang pasti, dan bersifat mutlak,yang dikeluarkan oleh pihak yang tidak netral, mungkin saja adakeberatan-keberatan, namun para pihak telah membuatnya menjadiundang-undang bagi mereka, karena telah terbentuk melalui kesepakatanpara pihak, yang tidak ternyata bertentangan dengan ketertiban umumatau kesusilaan, sehingga permasalahannya adalah, apakah ketentuanperjanjian itu, oleh Dewan, tidak telah dilaksanakan dengan iktikadbaik, sebagaimana pendapat dari Pengadilan Amsterdam, pertanyaanmana menurut pendapat Hof, karena mengenai pelaksanaan suatuperjanjian, adalah masuk dalam kewenangan Hakim.

    Hof, untuk menjawab permasalahan tersebut, setelah mengemukakanpatokan, bahwa iktikad baik dipersangkakan dan tidak adanya iktikadbaik harus dibuktikan, telah menerima fakta-fakta yang disebutkan

    18

  • dalam keputusan Dewan sebagai benar, antara lain:... bahwa menurutpendapat Hof keputusan tersebut (maksudnya: keputusan Dewan,penj.pen.)... adalah tidak sedemikian rupa, sehingga dapat dianggaptidak telah diberikan dengan iktikad baik, dan bahwa iktikad burukpada pelaksaan perjanjian, sepanjang mengenai pengambilan keputusanoleh Dewan Asuransi, tidak telah dibuktikan atas dasar mana Hofmenyatakan keputusan Dewan Asuransi tidak bisa dibatalkan olehHakim dan karenanya membatalkan keputusan Pengadilan Amsterdam.Persatuan Kuda Jantan naik kasasi.(Arrest HR 9 Februari 1923, NJ. 1923, 676, Arrest Artis de Laboureur(dimuat dalam Hoetink, hal. 262 dsl.)Catatan: Pengadilan menganggap dirinya berwenang untuk menanganiperkara tersebut dan menyatakan keputusan Dewan tidak melanggariktikad baik.

    Pokok pertanyaan dalam pemeriksaan kasasi ini ternyata adalah,apakah maksud ayat ke-3 Pasal 1374 B.W. (Pasal 1338 ayat 3 Ind)dengan iktikad baik dalam pelaksanaan perjanjian harus dinilai denganpatokan, subjektif - suatu sikap batin tertentu dari si pelaksana - atauobjektif - suatu cara pelaksanaan. HR meninjau, apakah isi keputusanDewan Asuransi, sebagai pelaksanaan dari perjanjian Asuransi antaraPenggugat dengan Perusahaan Asuransi, memenuhi tuntutan iktikadbaik, memenuhi kepantasan dan kepatutan menurut ukuran orang normalpada umumnya dalam masyarakat yang bersangkutan. Disini dipakaiukuran iktikad baik yang objektif

    Dalam Arrest Artist de Labourer ini pengadilan menyatakanberwenang memeriksa karena yang diperiksa bukanlah pokok perkaranyamelainkan cara pengambilan keputusannya, apakah Dewan Asuransisudah mengambil keputusan berdasarkan iktikad baik yang sesuaidengan asas kepatutan dan kepantasan. Iktikad baik disini memilikidua kemungkinan yaitu iktikad baik objektif atau subjektif, dimanaHof dan Hoge Raad kemudian menilai bahwa iktikad baik yang objektiflah yang dipakai.

    Berdasarkan pasal 1338 (3) suatu perjanjian harus didasarkanatas asas iktikad baik. Iktikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak

    19

  • dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskan-nya melalui peristiwa-peristiwa di pengadilan. Iktikad baik dalampelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dankepantasan. Perjanjian harus dilaksanakan dengan menafsirkannya agarsesuai dengan kepatutan dan kepantasan, sesuai dengan pasal 1339BW, yang menyatakan bahwa, suatu perjanjian tidak hanya mengikatuntuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya tetapi jugauntuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan olehkepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Iktikad baik dapat dibedakanmenjadi iktikad baik subjektif dan iktikad baik objektif. Iktikad baiksubjektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwatindakannya bertentangan dengan iktikad baik, sedang iktikad baikobjektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yangdemikian adalah bertentangan dengan iktikad baik.

    Dalam kasus Bankers Trust melawan Mayora sungguh aneh karenamengetengahkan ketertiban umum sebagai salah satu alasan. SeharusnyaPengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak untuk memeriksa perkaratersebut karena bukan merupakan kewenangannya, tidak diajukan atasdasar adanya perbuatan melawan hukum, dan dengan Mayoramengajukan perkara tersebut ke pengadilan negeri padahal saat ituarbitrase sedang berjalan, menunjukkan bahwa Mayora tidak beriktikadbaik dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Dalam hal ketertiban umum,yang dimaksud ketertiban umum oleh hakim adalah perkara tersebutsedang dalam proses di pengadilan hukum di pengadilan, alasan sepertiini seharusnya tidak bisa dijadikan alasan ketertiban umum. Apa yangtelah dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah melanggarketentuan Pasal 11 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, dansayangnya Mahkamah Agung justru menguatkan putusan ini17.

    Ketertiban umum dijadikan dalih untuk menolak permohonanarbitrase. Ketertiban umum sendiri adalah suatu sendi-sendi asasidari hukum suatu negara. Undang-undang Arbitrase pada bagian

    17 Pan Mohamad Faiz, Kemungkinan Diajukannya Perkara Dengan Klausul Arbitrase Ke Muka Pengadilan,

    http://jurnalhukum.blogspot.com /2006/09/klausul-arbitrase-dan-pengadilan_18.html, diakses 2 September2007.

    20

  • penjelasannya tidak mendefinisikan atau membatasi ketertiban umum.Akibatnya, definisi ketertiban umum dijadikan legitimasi bagi salahsatu pihak untuk meminta pembatalan eksekusi dari Pengadilan Negeri.Sulit untuk mengklasifikasikan putusan arbitrase yang bertentangandengan ketertiban umum, namun dapat digunakan kriteria sederhanasebagai berikut:18

    1. putusan arbitrase melanggar prosedur arbitrase yang diatur dalamperaturan perundangan negara, misalnya kewajiban untukmendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan setempat tidakdilaksanakan;

    2. putusan arbitrase tidak memuat alasan-alasan, padahal peraturanperundang-undangan negara tersebut mewajibkannya; atau

    3. jika salah satu pihak tidak mendapat kesempatan untuk didengarargumentasinya sebelum putusan arbitrase dijatuhkan.Ketertiban umum yang dijadikan dalih PN Jakarta Selatan untuk

    menolak permohonan Bankers Trust tidak termasuk ketertiban umumyang sudah diuraikan di atas. Pengadilan Jakarta Selatan juga telahmelakukan kesalahan karena memeriksa isi perkara dan bukan sekedarmemeriksa penerapan hukumnya saja seperti dalam arrest Artist deLabourer.

    Pada intinya terhadap perkara yang sudah memiliki klausul arbitrasetidak bisa diajukan ke pengadilan negeri, dan untuk perkara yangsudah dijatuhkan putusan arbitrasenya tidak bisa diajukan lagi kepengadilan, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum, sehinggapihak yang dirugikan bisa menggugat ke pengadilan negeri atas dasarperbuatan melawan hukum dalam hal pengambilan putusan arbitraseyang tidak berdasar iktikad baik.

    Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur pula kemungkin-an pembatalan terhadap putusan arbitrase. Pasal 70 Undang-undangini menyatakan bahwa terhadap putusan arbitrase para pihak dapatmengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut didugamengandung unsur-unsur sebagai berikut:

    18 Soemartono, Ibid., hlm. 66.

    21

  • a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelahputusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;

    b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifatmenentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau

    c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salahsatu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

    22

  • BAB IIIPENGATURAN HUKUM ARBITRASE

    NEGARA-NEGARA ASEAN

    A. INDONESIAPengaturan Hukum Arbitrase Di Indonesia

    1. Pengaturan Hukum Arbitrase Ke Dalam Perundang-undanganPengaturan hukum arbitrase ke dalam perundang-undangan

    mengikuti salah satu dari tiga metode yaitu:(1) Metode Pengaturan Terperinci.(2) Metode Pengaturan Ringkas.(3) Metode Pengaturan Tidak Ringkas tetapi juga Tidak Terperinci.

    Berikut ini penjelasan dari masing-masing metode tersebut ,yaitu sebagai berikut:

    (1) Metode Pengaturan TerperinciMetode pengaturan terperinci ini mensyaratkan pengaturan

    masalah arbitrase ke dalam peraturan perundang-undangansecara terperinci. Metode ini biasanya dilaksanakan secaraevolusioner. Semula pengaturannya kurang terperinci, tetapiseiring dengan perkembangan dalam praktik, peraturanperaturan tentang arbitrase diubah dan dikembangkan terus,bahkan jika mungkin dalam membuat aturan tersebut jugadiantisipasi berbagai kemungkinan yang mungkin akan terjadidimasa yang akan datang. Contoh dari negara yang menganutpaham pengaturan arbitrase secara terperinci adalah apa yangdilakukan di Negara-negara Eropa Barat, seperti Belandadengan hukum arbitrase yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata setelah direvisi.

    23

  • (2) Metode Pengaturan RingkasMetode lain adalah mengatur masalah arbitrase dalam

    suatu peraturan perundang-undangan tetapi yang diaturhanyalah prinsip-prinsipnya saja.

    Sementara bagian terbesar dan detail-detailnya dari masalaharbitrase tersebut diberikan kebebasan untuk diatur sendirioleh para pihak sesuai dengan prinsip kebebasan berkontrak.Metode pengaturan secara ringkas ini dipakai misalnya olehnegara Perancis atau Swiss dalam mengatur arbitraseinternasional.

    (3) Metode Pengaturan Tidak Ringkas tetapi juga Tidak TerperinciKategori ketiga adalah metode pengaturan masalah arbitraseke dalam peraturan Perundang-undangan secara tidak terlaluringkas, tetapi juga tidak terlalu terperinci. Jadi rnemakaijalan tengah di antara dua ujung ekstrem.Metode seperti ini dapat dicontohkan dengan pengaturanarbitrase internasional dalam UNCITRAL. Model Law, yangtelah diadopsi ke dalam beberapa arbitrase nasional maupuninternasional di beberapa negara termasuk yang dilakukan dinegara Jerman.

    2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan PenyelesaianSengketa Alternatif

    Undang-undang ini telah lama dinanti-nantikan oleh banyakkalangan di Indonesia. Pada bulan Agustus 1999, pemerintah In-donesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnyadisebut dengan Undang-Undang Arbitrase). Pada waktu dulu, adabanyak suara yang mendesak pemberlakuan undang-undang inisebagai tanggapan terhadap kebutuhan yang berkembang mengenaipenyelesaian sengketa komersial yang efektif, singkat dan terpercayadi Indonesia.

    Sebelum undang-undang ini disahkan, hukum tentang arbitrasedi Indonesia diatur oleh Pasal 615-651 Reglemen Hukum Acara

    24

  • Perdata (Rv). Sebenarnya, Rv itu sendiri bersumber dari Rv Belanda,dan bukan merupakan hukum dalam arti sebenarnya. MahkamahAgung Indonesia sendiri mempertimbangkan Rv tersebut sebagaipedoman. Rv tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.Dapat dimengerti kemudian jika pada waktu itu pengadilan diIndonesia umumnya memiliki kewenangan yang besar untukmenerapkan dan menafsirkan ketentuan hukum tersebut terhadappraktik arbitrase di Indonesia.

    Usaha-usaha untuk mengeksplorasi kemungkinan pemberlakuanUndang-Undang Arbitrase telah dimulai sejak tahun 1980-an. Padamasa itu, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), mengajukandraf RUU Perdagangan Indonesia yang salah satu bagian didalamnya mengandung pengaturan tentang arbitrase.

    BPHN telah berhasil membuat draf RUU Perdagangan tersebutdan diajukan kepada Sekretariat Negara untuk dipelajari sebelumsecara resmi diajukan kepada DPR. Sayangnya, draf RUU tersebuttidak pernah tersentuh oleh Sekretariat Negara. Draf tersebuthanya tersimpan begitu saja dalam file Sekretariat Negara. Alasanutamanya adalah bahwa Sekretariat Negara juga telah dipenuhioleh draf RUU bidang ekonomi lain yang dirasakan lebih penting.

    Pergantian pemerintahan pada tahun 1997 melahirkan tekananbaru mengenai permintaan dari kalangan masyarakat bisnis untukmemberlakukan Undang-undang Arbitrase. Akhirnya tekanan-tekanan tersebut dapat membuat pemerintah memutuskan untukmengesahkan RUU tersebut.

    Undang-undang tersebut di sana sini tampaknya juga menga-dopsi prinsip dan ketentuan arbitrase dalam the UNCITRAL ModelLaw on Internatinal Commercial Arbitration of 1985 (UNCITRALModel Law). Kebanyakan ketentuan Undang-undang tersebut secaraesensial merupakan perpanjangan dari Rv dan aturan-aturan yangdikembangkan sebelum arbitrase dikenal di Indonesia.

    Dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999,Indonesia untuk pertama kali memiliki Undang-Undang Arbitrase.Mungkin tidak biasa bagi banyak negara bahwa undang-undang

    25

  • itu juga mengandung ketentuan tentang alternatif penyelesaiansengketa (ADR), kendati undang-undang tersebut hanya memilikisatu pasal saja mengenai ADR (yaitu pasal 6) dari keseluruhan 82pasal.

    Sebagai tambahan terhadap undang-undang ini, Indonesia jugaterikat terhadap New York Convention on the Recognition andEnforcement of Foreign Arbitral Awards of 1958 (Konvensi NewYork 1958) sebagaimana telah diratifikasi dengan KeputusanPresiden Nomor 34 Tahun 1981. Indonesia juga merupakan anggotaWashington Convention on the Settlement of Investment Disputesbetween States and National of Other States of 1965 diratifikasidengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968.

    Menelusuri alur-alur ketentuan dalam Undang-UndangArbitrase Nomor 30 Tahun 1999 maka di samping undang-undangtersebut mengatur secara panjang lebar tentang arbitrase, memper-lihatkan kepada kita bahwa sebenarnya undang-undang tersebutjuga menekankan kepada penyelesaian sengketa alternatif berbentukmediasi (dan pemakaian tenaga ahli). Bahkan tidak menutupkemungkinan penyelesaian sengketa melalui alternatif- alternatifyang lain.

    Seperti juga terhadap institusi hukum arbitrase, terhadappenyelesaian alternatif lainnya pun mendapat pengaturan dalamUndang-Undang tentang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999, mengenaipenyelesaian alternatif ini, Undang-Undang Arbitrase Nomor 30Tahun 1999 menentukan sebagai berikut:Pasal 6(1) Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh

    para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yangdidasarkan pada iktikad baik dengan mengenyampingkanpenyelesaian Secara litigasi di pengadilan negeri.

    (2) Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatifpenyelesaian sengketa sebagaimana dalam ayat (1) diselesaikandalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu palinglama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalamsuatu kesepakatan tertulis.

    26

  • (3) Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksuddalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatantertulis para pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikanmelalui seorang atau lebih penasihat ahli maupun melaluiseorang mediator.

    (4) Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14(empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasihatahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapaikata sepakat maka para pihak dapat menghubungi sebuahlembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketauntuk menunjuk seorang mediator.

    (5) Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase ataulembaga alternatif penyelesaian sengketa dalam waktupaling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapatdimulai.

    (6) Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui me-diator sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan memegangteguh kerahasiaan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yangditandatangani oieh sernua pihak yang terkait.

    (7) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secaratertulis adalah final dan para pihak untuk dilaksanakan denganiktikad baik, serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeridalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penanda-tanganan.

    (8) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapatsebagaimana dimaksud ayat (7) wajib selesai dilaksanakandalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.

    (9) Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat tercapai, maka parapihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukanusaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrasead hoc.

    27

  • Dalam bagian penjelasan umum dari Undang-Undang ArbitraseNomor 30 Tahun 1999 ditentukan bahwa alternatif penyelesaiansengketa dilakukan melalui musyawarah para pihak yangbersengketa. Alternatif penyelesaian sengketa ini adalah lembagapenyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yangdisepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengancara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.Dengan demikian, sungguh pun Undang-Undang Arbitrasekelihatannya lebih menekankan kepada penyelesaian sengketaalternatif melalui kesepakatan para pihak sendiri, mediasi, pengguna-an lembaga ahli atau arbitrase, tetapi sebenarnya dimaksudkandengan alternatif penyelesaian sengketa tersebut termasuk semuajenis penyelesaian sengketa di luar badan pengadilan.

    3. Elemen-Elemen Dari Penyelesaian Sengketa AlternatifDari ketentuan dalam Pasal 6 Undang-Undang Arbitrase Nomor

    30 Tahun 1999 dapat ditarik beberapa elemen dari suatu alternatifpenyelesaian sengketa selain Arbitrase yang diinginkan olehUndang-Undang tentang Arbitrase tersebut.Elemen-elemen tersebut adalah sebagai berikut:(1) Penyelesaian sengketa didasarkan pada unsur iktikad baik.(2) Penyelesaian lewat pengadilan dikesampingkan.(3) Penyelesaiannya dilakukan dalam pertemuan langsung oleh

    para pihak (upaya tingkat pertama).(4) Waktu penyelesaian paling lama 14 (empat belas ) hari.(5) Hasil penyelesaiannya dituangkan dalam suatu kesepakatan

    tertulis.(6) Apabila penyelesaian tingkat pertama (secara langsung) tidak

    membuahkan hasil, maka dapat ditempuh upaya tingkat kedua.(7) Upaya tingkat kedua tersebut baik berupa bantuan seorang

    atau lebih penasihat ahli.(8) Upaya tingkat kedua tersebut di samping berupa penasihat

    ahli, maupun berupa upaya melalui seorang mediator.

    28

  • (9) Upaya tingkat kedua tersebut (penasihat ahli atau mediator)ditempuh dengan berlandaskan suatu kesepakatan tertulis,untuk itu dari para pihak.

    (10) Waktu penyelesaian hingga tercapai kata sepakat melaluipenasihat ahli atau mediator tersebut adalah 14 (empat belas)hari.

    (11) Jika upaya tingkat kedua tersebut gagal dalam waktu 14(empat belas) hari, maka ditempuh upaya tingkat ketiga berupapenunjukan seorang mediator oleh lembaga arbitrase ataulembaga altematif penyelesaian sengketa.

    (12) Mediator dalam upaya tingkat ketiga ini harus sudah dilakukanupaya mediasinya dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari.

    (13) Mediator dalam upaya tingkat ketiga ini harus sudah selesaimelaksanakan tugasnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)hari. Maksudnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari tersebutharus sudah tercapai kata sepakat di antara para pihak dalambentuk tertulis.

    (14) Kesepakatan tertulis di antara para pihak tersebut adalahfinal dan mengikat para pihak.

    (15) Kesepakatan tertulis tersebut harus sudah didaftarkan diPengadilan Negeri dalam jangka waku 30 (tiga puluh) hari.

    (16) Jangka waktu pelaksanaan putusan dalam kesepakatan tertulistersebut adalah dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) harisejak pendaftaran di Pengadilan Negeri.

    (17) Apabila tidak tercapai kesepakatan (dalam upaya tingkat satusampai ketiga), maka para pihak dapat menempuh upayatingkat keempat, yaitu upaya penyelesaian melalui lembagaarbitrase atau arbitrase ad hoc.

    (18) Upaya tingkat keempat (arbitrase) tersebut diajukan oleh parapihak melalui kesepakatan secara tertulis.

    (19) Terhadap penyelesaian upaya di tingkat keempat tersebut(arbitrase) berlaku ketentuan-ketentuan dalam Undang-UndangArbitrase Nomor 30 Tahun 1999.

    29

  • (20) Sungguhpun tidak disebut-sebut dengan cara tegas dalamPasal 6 dari Undang-Undang Arbitrase, para pihak tidak harusmengikuti prosedur alternatif penyelesaian sengketa tingkatdemi tingkat sarnpai tingkat keempat tetapi dapat sajamengabaikan tingkat-tingkat tertentu. Hal ini di sebabkan:

    (a) Sifat penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang cepatdan efisien.

    (b) Undang-undang tidak mengharuskan secara tegas untukmengikuti setiap tahap tersebut.

    (c) Masih tercakup dalam kewenangan dan kebebasan parapihak untuk berkontrak, termasuk untuk memilih carapenyelesaian sengketa yang dikehendakinya.

    (d) Untuk kepentingan efektivitas. Maksudnya jika para pihaksudah tidak mau menggunakan salah satu atau lebih tahap-tahap penyelesaian sengketa (di antara empat tahaptersebut), tidak ada gunanya dipaksakan karenakemungkinan besar kata sepakat juga tidak akan tercapai.Dengan demikian. sungguhpun tidak disebutkan denganjelas dalam Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun1999, tahap-tahap penyelesaian sengketa tersebut (empattahap) bukanlah hukum memaksa (dwingend recht)melainkan hanya hukum mengatur. Akan tetapi sekalitahap tersebut sudah disetujui oleh para pihak, maka parapihak tersebut wajib mengikutinya.

    4. Tahap-Tahap Penyelesaian Sengketa AlternatifDengan demikian, tahap-tahap penyelesaian sengketa melalui

    altematif penyelesaian sengketa menurut Undang-Undang ArbitraseNomor 30 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:Tahap Pertama : Pertemuan langsung para pihak.Tahap Kedua : Penunjukan penasihat ahli atau mediator oleh

    para pihak.Tahap Ketiga : Penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase

    atau lembaga penyelesaian sengketa.

    30

  • Tahap Keempat : Penyelesaian oleh lembaga arbitrase atau oleharbitrase ad hoc.

    Tentang bagaimana penyelesaian sengketa alternatif menurutUndang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 tersebut, dapatdilihat dalam diagram berikut ini:

    Diagram Penyelesaian Sengketa Alternatif

    PERTEMUAN LANGSUNGTAHAP I PARA PIHAK 14 HARI

    MENGGUNAKAN PENASIHAT TAHAP II AHLI MEDIATOR 14 HARI

    PENGANGKATAN MEDIATORTAHAP III OLEH LEMBAGA ARBITRASE 14 HARI

    PENGANGKATAN MEDIATORTAHAP IV OLEH LEMBAGA ARBITRASE 14 HARI

    AD HOC

    Dalam rangka menjalankan tugasnya dalam keempat tahapdari penyelesaian sengketa alternatif sebagaimana dimaksud dalamPasal 6 Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 tersebut,terdapat suatu limit waktu untuk masing-masing tahap sebagaimana dilukiskan dalam diagram berikut ini:

    31

  • Limit Waktu Dalam Penyelesaian Sengketa Alternatif

    X X.X X.X X.X XX X....

    TAHAP 1) TAHAP2 TAHAP3 PElAKSANAAN (14 HARI) (14 HARI) (7 HARI + 30 HARI) (30 HARI)

    TAHAP4180 HARI)

    PENDAFTARAN (30 HARI)

    Keterangan DiagramTahap 1 : Pertemuan langsung para pihak. Putusan harus sudah

    diambil dalam jangka waktu 14 (empat belas) harisejak dimulainya penyelesaian sengketa.

    Tahap 2 : Penunjukan dan penyelesaian oleh penasihat ahli ataumediator oleh para pihak. Penasihat ahli atau media-tor ini sudah harus mengambil keputusan 14 (empatbelas) hari sejak penunjukannya.

    Tahap 3 : Penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase ataulembaga penyelesaian sengketa dalam waktu 7 (tujuh)hari setelah penunjukannya, mediator sudah harus mulaibekerja. Putusan dari mediator ini harus sudah diambildalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejakdimulainya pekerjaan mediasi.

    Tahap 4 : Penyelesaian oleh lembaga arbitrase atau oleh arbitrasead hoc. Jangka waktu penyelesaiannya 180 (seratusdelapan puluh) hari sejak arbiter terbentuk (Pasal 48ayat (1).

    Pendaftaran : Merupakan pendaftaran kesepakatan tertulis yang telahdicapai, pendaftarannya dilakukan ke Pengadilan Negeri

    32

  • dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejakpenandatanganan kesepakatan tersebut.

    Pelaksanaan : Merupakan pelaksanaan kesepakatan yang telah dicapai,pelaksanaan tersebut harus sudah dilakukan dalamjangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaranKeputusan di Pengadilan Negeri.

    B. SINGAPURAPengaturan Hukum Arbitrase di SingapuraApabila tempat arbitrase adalah di Singapura, para pihak pada

    umumnya bebas untuk memilih prosedur arbitrase. Apabila tidak terdapatkesepakatan antara para pihak tentang prosedur, majelis arbiter akanmelaksanakan arbitrase dengan cara yang dianggap layak. Baik Arbi-tration Act maupun IAA mewajibkan pengajuan dan penyampaianpernyataan tuntutan dan pembelaan (service of statemens of claim anddefence) dalam jangka waktu yang disetujui atau ditentukan oleh majelis.Apabila SIAC Rules yang diambil dan dalam hal tidak adanya petunjukdari majelis, pihak yang menggugat diharuskan untuk mengajukandan menyampaikan pernyataan kasus (statement of case) dalam jangkawaktu 30 (tiga puluh) hari sejak dibentuknya majelis. Pihak yangdigugat diwajibkan untuk mengajukan dan menyampaikan pernyataanpembelaan (statement of defence) dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)hari sejak diterimanya kasus tersebut.

    Proses beracara lisan umumnya dilakukan di dalam proses arbitraseberdasarkan Arbitration Act kecuali para pihak setuju untuk mengizinkanmajelis arbiter untuk melakukan pemeriksaan dokumen saja. Di dalamarbitrase berdasarkan Arbitration Act, IAA dan/atau SIAC Rules,majelis mempunyai kewenangan untuk menentukan apakah akanmelaksanakan proses beracara lisan untuk pengajuan bukti atau untukargumentasi lisan atau untuk melaksanakan arbitrase berdasarkanpemeriksaan dokumen saja, dengan tunduk pada kesepakatan yangmenyatakan sebaliknya.

    Arbiter di Singapura tidak terikat pada aturan pembuktian dipersidangan pengadilan. Undang-undang tentang bukti (evidence) yang

    33

  • berlaku di semua persidangan pengadilan, secara tegas mengecualikankeberlakuannya pada arbitrase. Aturan-aturan yang misalnya menentangrumor (hearsay), extrince evidence atau bukti yang diperoleh secaratidak sah tidak berlaku di dalam arbitrase. Kekuasaan untuk menentukandapat diterimanya, relevansi, materialitas dan bobot bukti ada padamajelis arbiter.

    Untuk arbitrase berdasarkan Arbitration Act Domestic, para pihakdapat menyetujui kewenangan-kewenangan yang akan dilaksanakanoleh majelis. Arbitration Act memberikan kewenangan tertentu kepadamajelis (tanpa mengurangi kewenangan yang diberikan oleh para pihak)termasuk kekuasaan untuk mengeluarkan perintah atau petunjukpengamanan bagi biaya-biaya (cost, penemuan (discovery), perlindungan(preservation) dan penitipan sementara (interim custody) bukti-buktiuntuk kepentingan proses beracara dan mengatur sumpah (oaths) ataupenegasan (affirmations). Kewenagan-kewenangan yang diberikan olehIAA pada majelis juga serupa. Selain itu, berdasarkan IAA, majelismempunyai kekuasaan untuk memberikan putusan sementara (interiminjunction) atau langkah-langkah sementara lainnya atau untukmengamankan jumlah uang yang dipersengketakan. Jaminan mungkindiberikan dalam bentuk tunai atau dengan pemberian bank garansiatau pernyataan pengacara (solicitors undertakings). Lebih lanjut,arbiter yang bertindak di dalam arbitrase berdasarkan IAA, Arbitra-tion Act atau SIAC Rules telah diberikan kewenangan tertentu untukmemberikan perintah perlindungan sementara (interim preservation),penyimpanan (storage), penitipan (custody), penjualan atau pelepasanlainnya atas barang-barang atau aset yang adalah atau merupakanbagian dari objek permasalahan.

    Perintah atau petunjuk yang dikeluarkan oleh majelis, baikberdasarkan Arbitration Act maupun IAA, dapat dilaksanakan denganizin dari Pengadilan Tinggi (High Court), dengan cara yang samaapabila hal tersebut dikeluarkan oleh pengadilan. Apabila izin dikabulkan,putusan dapat diberikan dalam bentuk perintah atau petunjuk.

    Kewenangan yang diberikan kepada arbiter berdasarkan Arbitra-tion Act dan IAA, dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi (HighCourt). Para pihak karenanya bebas untuk mengajukan permohonan

    34

  • baik ke majelis tribunal ataupun ke pengadilan sesuai kebutuhan. Akantetapi, perintah-perintah tertentu akan lebih tepat apabila dikeluarkanoleh pengadilan, misalnya putusan sela (injunctions).

    Lebih lanjut, sehubungan dengan Arbitration Act, perintahpengadilan yang diberikan berdasarkan Sect. 31 menjadi tidak berlakuapabila majelis arbiter yang mempunyai kewenangan untuk bertindakatas hal terkait, memberikan perintah yang permasalahannya terkaitdengan perintah pengadilan tersebut. Dengan kata lain, perintah arbitrasemengalahkan perintah pengadilan dalam rezim domestik.

    C. THAILANDHukum Arbitrase Thailand

    Seperti halnya hukum arbitrase di negara-negara ASEAN, hukumarbitrase di Thailand relatif masih baru. Undang-undang ArbitraseNegara ini, Undang-undang Arbitrase Thailand B.E. 2545, dipublikasipada tanggal 29 April 2002 yang mulai berlaku pada tanggal 30 April2002. Undang-undang ini mengalami perubahan pada tahun 2003.19

    Undang-Undang Arbitrase Thailand tahun 2002 ini sebenarnyamenggantikan Undang-Undang Arbitrase Thailand sebelumnya tahun1987. Undang-Undang Arbitrase 1987 ini memberikan dasar hukumbagi eksistensi arbitrase di Thailand. Respon atau keinginan politikdari pemerintah Thailand terhadap arbitrase dipandang positif, karenaNegara ini mendukung pembentukan badan arbitrase di Thailand yaituthe Thai Arbitration Institute yang berada di bawah Menteri Kehakiman.

    Pemerintah pun mendorong para pihak (Pengusaha-nya) untukmenggunakan lembaga arbitrase tersebut di dalam menyelesaikansengketa-sengketa dagangnya, termasuk sengketa-sengketa yangmenyangkut pengadaan barang dan jasa pemerintah. Namun dalam

    19 Lihat lebih lanjut: Alastair Henderson, Thailand: The Asia Pacific Arbitration Review 2007, http:/

    /www.globalarbitrationreview.com/handbooks/2/sections/4/chapters/26/ thailand; Chirachai Okanurak andWanchai Yiamsamatha, New Arbitration Act and Administrative Contracts: Conflict is inherent in humanrelations. http://www.pub-law.net/article/ac030146.html

    35

  • perkembangannya kemudian Undang-undang Arbitrase 1987 ini memilikikelemahan.

    Salah satu kelemahan yang menyolok adalah tidak sesuainya aturandalam Undang-undang ini dengan muatan yang terdapat dalamUNCITRAL Model Law mengenai Arbitrase Internasional. Karenaitu, Undang-undang Arbitrase Thailand yang baru berupaya mengadopsiaturan-aturan yang termuat dalam UNCITRAL Model Law.20

    Undang-undang Arbitrase Thailand B.E. 2545 (2002) di atas tidakberdiri sendiri. Peraturan nasional Thailand yang juga mengatur arbitraseadalah Hukum Acara Perdata Thailand dan Undang-undang HukumPerdata Internasional Thailand yaitu Undang-undang (2481) tahun1938. Undang-Undang Arbitrase baru Thailand mengatur berbagai halmengenai arbitrase, kebebasaran para pihak dalam memilih arbitrasedi samping pengadilan.21

    Dengan adanya Undang-undang baru ini, lembaga arbitrase Thai-land, yaitu the Thai Arbitration Institute (TAI) telah pula merevisihukum acara arbitrasenya. Hukum acara yang direvisi ini mulai berlakupada tanggal 2 Mei 2003. Pada tahun yang sama. TAI jugamempublikasikan Code of Ethics for Arbitrators yang baru.

    UU Arbitrase Thailand yang baru memuat 8 bab yang berada dibawah judul berikut:Bab 1 Perjanjian Arbitrase (Pasal 11-16)Bab 2 Peradilan Arbitrase (Pasal 17-23)Bab 3 Kewenangan Peradilan Arbitrase (Pasal 24)Bab 4 Persidangan Arbitrase (Pasal 25-33)Bab 5 Putusan Arbitrase dan Berakhirnya Persidangan Arbitrase (Pasal

    34-39)Bab 6 Pengenyampingan Putusan Arbitrase (Pasal 40)

    20 Andreas Respondek, Respondek, Andreas, Thailands New Arbitration Regulations, [http://www.

    singaporelaw.sg/content/arbitrationIndo. html]21

    Andreas Respondek, Respondek, Andreas, Thailands New Arbitration Regulations, [http://www.singaporelaw.sg/content/arbitrationIndo. html]

    36

  • Bab 7 Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Pasal 41-45)Bab 8 Biaya, Ongkos dan Penghasilan Arbiter (Pasal 46-48).

    Berikut di bawah ini adalah beberapa ketentuan baru yang diaturdalam Undang-Undang Arbitrase Thailand yang baru.

    a. Pengaturan Kontrak Administratif (Administrative Contracts)22Pemerintah Thailand pada tahun 2001 membentuk suatu

    pengadilan khusus yaitu pengadilan administratif (the Adminis-trative Court) untuk menangani sengketa-sengketa yang timbuldari kontrak-kontrak administratif. Yang dimaksud kontrak ad-ministratif menurut hukum Thailand adalah kontrak-kontrak yangsalah satu pihaknya adalah pemerintah dan kontrak yang dibuatpara pihak adalah kontrak-kontrak konsesi atau kontrak-kontrakyang terkait dengan pembangunan untuk umum atau kontrak dibidang pertambangan.

    Sebelumnya sempat muncul permasalahan mengenaikewenangan eksklusif peradilan administratif ini untuk menanganisengketa kontrak administratif yang para pihak sebelumnya telahsepakat untuk menyelesaikan sengketa tersebut kepada arbitrase.Masalah ini sekarang sudah terpecahkan.

    Undang-Undang Thailand yang baru menyatakan bahwaperjanjian arbitrase tersebut adalah berlaku. Karena itu meskipunpokok sengketanya menyangkut kontrak administratif, namun karenapihak pemerintah dengan pihak lainnya sepakat dalam suatuperjanjian arbitrase untuk menyerahkan sengketanya kepadaarbitrase, maka badan arbitrase menjadi memiliki kewenanganuntuk menyelesaikannya.

    b. Tanda Tangan ElektronikUndang-undang Arbitrase Thailand memuat di dalamnya

    ketentuan mengenai perjanjian arbitrase yang dilakukan melalui

    22 Lihat lebih lanjut: Chirachai Okanurak and Wanchai Yiamsamatha, New Arbitration Act and Admin-

    istrative Contracts: Conflict is inherent in human relations. http://www.pub-law.net/article/ac030146.html

    37

  • tanda tangan elektronik (misalnya melalui pertukaran suratelektronik atau email). Berdasarkan Pasal 11 Undang-undangArbitrase ini, tanda tangan eleketronik demikian sekarang diakui.Dalam Undang-undang Arbitrase yang lama, pengaturan demikiantidak ada.

    c. Banding terhadap Putusan Pengadilan (Appeal to Court Order orJudgment)

    Undang-undang Arbitrase baru menyatakan bahwa putusanarbitrase tidak dapat diajukan banding, kecuali untuk hal-hal berikut:(1) putusan arbitrase tersebut melanggar ketertiban umum, moral;(2) putusan arbitrase tersebut melanggar hukum yang terkait dengan

    ketertiban umum;(3) Majelis arbitrase atau arbiter yang memutus sengketa telah

    memberi pendapat yang berbeda (dissenting opinion); atau(4) putusan atau perintah majelis arbiterase berkaitan dengan

    putusan sela (provisional measures) sebelum atau sewaktuberlangsungnya persidangan arbitrase.Upaya banding tersebut harus dimohonkan kepada Mahkamah

    Agung atau Peradilan Administrasi (the Supreme Court or theAdministrative Court). Banding ke Peradilan Administrasi hanyauntuk sengketa yang terkait dengan administrative contracts.

    d. Tindakan Perlindungan Sementara (Temporary Relief)UNCITRAL Model Law mengizinkan arbiter untuk

    memerintahkan suatu pihak untuk mengambil tindakan perlindungan(protective measures) berkaitan dengan pokok sengketa sebelumputusan arbitrase dikeluarkan. Namun undang-undang Thailandmensyaratkan suatu pihak untuk meminta pengadilan apabila pihaktersebut berupaya mendapatkan tindakan sementara (temporaryorder) sewaktu persidangan arbitrase berlangsung (Pasal 169).

    e. Tanggung Jawab ArbiterPasal 23 Undang-undang Arbitrase Thailand yang baru

    menyatakan bahwa arbiter tidak bertanggung jawab terhadap setiapkerugian yang terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan pekerjaannya

    38

  • kecuali kerugian tersebut dilakukan karena tindakan sengaja ataukecerobohannya. Arbiter akan bertanggung jawab atas tindakancriminal dengan ancaman pengurungan maksimal 10 tahun ataudenda maksimum 100,000 THB atau keduanya apabila ia memintasecara tidak sah, menerima atau setuju menerima kekayaan atausetiap keuntungan untuk dirinya atau pihak lain untuk melaksanakanatau tidak melaksanakan kewajibannya.

    Setiap orang yang memberi atau setuju memberi ataumenjanjikan untuk memberi kekayaan atau keuntungan kepadaarbiter untuk mempengaruhi untuk melakukan atau tidak melakukanatau menunda pekerjaan atau kewajibannya juga dapat dikenakanpelanggaran pindana dengan sanksi yang sama seperti halnyadijatuhkan kepada arbiter.

    f. Jumlah ArbiterUndang-Undang Arbitrase Thailand baru menyatakan bahwa

    jumlah arbiter haruslah ganjil (Pasal 17). Apabila para pihakmenyepakati jumlah genap, Undang-undang Arbitrase menyatakanbahwa arbiter yang ditunjuk kedua pihak harus bersama-samamenunjuk arbiter ketiga sebagai ketua Majelis arbitrase (Pasal18). Apabila para pihak gagal mencapai sepakat mengenai jumlaharbiter, maka jumlah arbiternya adalah arbiter tunggal.

    g. Pelaksanaan Persidangan ArbitrasePasal. 27 Arbitrase Thailand baru memberikan 4 keadaan

    yang menunjukkan kapan suatu persidangan arbitrase dianggaptelah dilakukan:(1) suatu permohonan untuk penyelesaian sengketa oleh arbitrase

    diterima oleh suatu pihak kepada pihak lainnya dalam sengketa;atau

    (2) suatu pihak dalam sengketa memberitahukan secara tertuliskepada pihak lainnya untuk penunjukan seorang arbiter; atau

    (3) suatu pihak dalam sengketa memberitahukan secara tertuliskepada majelis arbitrase yang ditunjuk dalam kontrak untukmenyelesaikan sengketa; atau

    39

  • (4) suatu pihak dalam sengketa menyerahkan kepada suatu lembagaarbitrase yang ditunjuk dalam kontrak untuk menyelesaikansengketa.

    h. Putusan Majelis ArbitraseKecuali tidak dinyatakan lain oleh para pihak, putusan majelis

    arbitrase harus didasarkan pada putusan mayoritas dari para arbi-ter dalam majelis arbitrase. Apabila putusan mayoritas tidak tercapai,Undang-Undang Arbitrase Thailand yang baru menyatakan bahwaputusan dibuat oleh ketua majelis arbitrase.

    i. Biaya, Ongkos dan Penghasilan ArbiterKecuali dinyatakan lain oleh para pihak, biaya, ongkos dan

    penghasilan arbiter harus dinyatakan dalam putusan majelis arbitrase.Apabila putusan arbitrase tidak menyatakan demikian, maka suatupihak dapat memohon pengadilan untuk membuat putusan tentangbiaya, ongkos dan penghasilan arbiter. Undang-Undang ArbitraseThailand juga membolehkan lembaga arbitrase yang disebut didalam kontrak untuk menetapkan biaya, ongkos dan penghasilanarbiter dalam suatu persidangan arbitrase.

    D. MALAYSIAPengaturan Hukum Arbitrase di MalaysiaArbitrase komersial di Malaysia diatur oleh Arbitration Act 1952,

    yang mencontoh English Arbitration Act of 1950. Arbitration Act1952 itu kemudian diperbaharui pada tahun 1972 dan diperluaspenggunaannya ke seluruh negara bagian di Malaysia. Pada tahun1980 Arbitration Act 1972 kembali diamandemen dengan tambahansebuah bab yang mengatur mengenai pengurangan kontrol judicialarbitrase internasional, dan tidak memasukkan arbitrase yang diadakanmenurut ketentuan ICSID atau Regional Centre dalam lingkupArbitration Act.23

    23 Lim, P.G, Malaysia, dalam Pryles,Michael (ed):1997, Dispute Resolution in Asia, Kluwer Law Inter-

    national, hal 163

    40

  • Dalam proses berdirinya Kuala Lumpur Regional Centre, dewanlegislasi Malaysia mengamandemen pasal 34 (1) undang-undang arbitrasedi atas yang menyatakan bahwa ketentuan dalam Arbitration Act 1952tidak berlaku terhadap putusan Regional Centre kecuali bila diatursebaliknya, dengan tidak memasukkan putusan semacam itu dalamregistrasi umum dan ketentuan pelaksanaan, dan juga dalam jurisdiksipengawasan Pengadilan Tinggi. Sebaliknya, pasal 34 (2) menyatakanbahwa apabila sebuah putusan dibuat berdasarkan ketentuan KonvensiNew York atau ICSID, maka pelaksanaannya akan dilaksanakan sesuaidengan konvensi-konvensi tersebut.24

    Saat ini Arbitration Act 1952 telah dilengkapi dengan Rules ofthe High Court 1980, meskipun ada undang-undang lain yangberlawanan, undang-undang ini tidak berlaku pada arbitrase yangdiselenggarakan menurut ketentuan Convention on the Settlement ofInsvesment Disputes between States dan National of Other States 1965.Legislasi implementasi untuk arbitrase ICSID adalah Convention onthe Settlement of Insvestment Disputes Act 1966 (direvisi tahun 1989).25

    Dalam perkembangannya kemudian Undang-Undang ArbitraseTahun 1952 ini diamandemen kembali dengan Undang-Undang Tahun2005 (Undang-Undang Arbitrase 2005). Undang-undang baru ini mulaiberlaku pada tanggal 14 Maret 2006. Undang-undang Arbitrase tahun1952 seperti diuraikan di atas sebagian besar mengadopsi UU ArbitraseInggris tahun 1950.

    Undang-undang Arbitrase tahun 2005 berlaku baik untuk arbitrasenasional dan arbitrase internasional.26 Arbitrase internasional diberibatasan sebagai berikut:

    24 Menurut Lim, kekuasaan pengawasan pengadilan terhadap arbitrase internasional yang diadakan di

    bawah peraturan Pusat regional dikecualikan dalam pasal 34 arbitration Act 1952. kasus Klocner Industrie-Anlagen GmbH v Kien Tat Sdn.Bhd.&Anor {(1990)3MLJ 183} adalah contoh dimana prinsip non investasidalam proses Hukum Arbitrase yang diadakan di bawah peraturan Pusat regional ditegakkan, lihat Pryles,Michael (ed): 1997, Dispute resolution in Asia, Kluwer International, Hal 165.

    25 Simmonds, Kenneth R, Hill, Brain H. W.,jarvin, Sigvard (ed): 1987, commercial arbitration Law in

    Asia and the pacific, paris ICC, hal 121; lihat juga Lim, P.G, Malaysia, dalam Pyrles, Michael (ed):1997,Dispute Resolution in Asia, Kluwer International., hlm. 163

    26 Bandingkan dengan Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

    Sengketa yang memuat ketentuan arbitrase nasional dan internasional dalam satu paket Undang-undang.

    41

  • that where one of the parties has its place of business outsideMalaysia, or where the seat of the arbitration is outside Malaysiaor where the substantial part of the obligations of any commer-cial or other relationship is performed outside Malaysia or theplace where the subject matter of the dispute is most closelyconnected with. A domestic arbitration is defined as any arbitra-tion, which is not an international arbitration.Dari batasan di atas tampak bahwa yang dimaksud dengan arbitrase

    internasional adalah:(1) apabila salah satu pihak memiliki tempat usahanya di luar Malay-

    sia; atau(2) di mana tempat arbitrase dilangsungkan di luar Malaysia; atau(3) sebagian besar kewajiban yang timbul dari adanya hubungan bisnis

    dilakukan di luar Malaysia.Sedangkan yang dimaksud dengan arbitrase domestik adalah

    arbitrase yang bukan termasuk dalam ruang lingkup arbitraseinternasional.

    E. PHILIPPINA

    1. PengantarRepublik Philippina adalah salah satu negara yang masih

    relatif baru memiliki peraturan perundang-undangan di bidangarbitrase. Philippina menerbitkan perundangan arbitrasenya di tahun2004. Undang-undang arbitrase negara ini mengadopsi UNCITRALModel Law 1985. Philippina juga anggota Konvensi New York1958 pada tahun 1967. Seperti halnya Negara-negara lain, meskisudah aksesi atau ratifikasi Konvensi New York, Philippina tidakmemiliki Undang-undang khusus yang mengimplementasi arbitrasekhususnya arbitrase komersial internasional.27 Muatan Konvensi

    42

    27 Misalnya, Republik Indonesia meratifikasi Konvensi New York 1958 pada tahun 1981, namun sejak

    saat ini belum ada implementasi peraturan terhadap muatan Konvensi. Keadaan ini sempat menimbulkanmasalah tentang perlu tidaknya implementing legislation terhadap Konvensi New York di akhir tahun 1980-an.

  • New York diintegrasikan ke dalam Undang-undang tahun 2004(tentang arbitrase ini).

    2. Hukum Arbitrase PhilippinaUndang-undang Philippina mengenai arbitrase adalah Republic

    Act 9285 yang dikeluarkan pada tanggal 4 February 2004. Undang-undang ini disahkan oleh Senate dan House of Representatives Philippina.Presiden Gloria Macapagal Arroyo menyetujui Undang-undang tersebutpada tanggal 2 April 2004.

    Undang-undang Philippina tentang arbitrase ini berada di bawahjudul the Alternative Dispute Resolution Act of 2004. Sesuai dengannamanya Undang-undang tersebut mencakup pula pengaturan tentangAlternatif Penyelesaian Sengketa (APS) yang termasuk di dalamnyapengaturan tentang arbitrase komersial internasional.28

    Mukadimah Undang-undang ini menggambarkan Undang-undangini sebagai An Act to institutionalize the use of An AlternativeDispute Resolution system in the Philippines and to establish theOffice for Alternative Dispute Resolution, and for other purposes.

    Pernyataan kebijakan Undang-undang ini termuat dalam Section2 Undang-undang yang memuat suatu Declaration of Policy yangantara lain menyatakan, it is hereby declared the policy of theState to actively promote party autonomy in the resolution of disputes Dinyatakan pula bahwa the State shall encourage andactively promote the use of Alternative Dispute Resolution (ADR) asan important means to achieve speedy and impartial justice.

    Undang-undang tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Mukadimahmenyatakan pula bahwa Undang-undang tersebut mengatur bentuk-bentuk APS yakni mediasi, arbitrase baik nasional maupun internasionaltermasuk arbitrase konstruksi yang berada di bawah pengaturanExecutive Order 1008 yang juga disebut sebagai the ConstructionIndustry Arbitration Law (CIAC).

    43

    28 Cf., Undang-undang Arbitrase Indonesia, Undang-undang Nomor 30 tahun 1999, juga mencantumkan

    kata alternatif penyelesaian sengketa di samping arbitrase.

  • Aturan khusus tentang arbitrase internasional undang-undang initerdapat dalam Bab 4 dan juga khususnya Bab 7 yang mengaturpengakuan dan pelaksanaan arbitrase asing.

    Bab 4 Undang-undang Republik 9285 secara khusus memuat hukumarbitrase komersial internasional. Bab ini memuat di dalamnya filosofidan prinsip-prinsip arbitrase komersial internasional yang terdapat dalamUNCITRAL Model Law. Telah disebut di atas bahwa Philippinamengadopsi sebagian besar ketentuan UNCITRAL Model Law.

    Bab ini diawali dengan Section 19 Undang-undang yangmenyatakan bahwa International commercial arbitration shall begoverned by the Model Law on International Commercial Arbitration(the Model Law) adopted by the United Nations Commission onInternational Trade Law on June 21, 1985.

    Bagian (Section) 21 memberi batasan arbitrase sebagaicommercial yaitu apabila arbitrase tersebut mencakup masalah-masalahyang timbul dari semua hubungan yang sifatnya komersial, apakahsifatnya kontraktual ataupun bukan.

    Bagian (Section) 23 mengatur sifat kerahasiaan dari persidanganarbitrase, termasuk catatan, bukti-bukti dan putusan arbitrase. Bagianini memuat pula pengaturan tentang keadaan-keadaan kapan ataubilamana prinsip cloak of confidentiality (lingkup kerahasiaan) inidapat diangkat.

    Bagian (Section) 24 mewajibkan pengadilan (nasional) untuk stayany action which is the subject matter of an arbitrationagreement29 atas permintaan atas salah satu pihak sehubungan denganadanya penunjukkan pada arbitrase. Ketentuan ini dapat dikesampingkanapabila pengadilan menemukan bahwa perjanjian arbitrase tersebutbatal, tidak berlaku atau tidak dapat dilakukan (null and void,inoperative or incapable of being performed). (Cf. 8 (1) ModelLaw).

    44

    29 Menunda atau memberhentikan persidangan manakala para pihak dalam suatu perjanjian telah terikat

    pada perjanjian arbitrase.

  • Bagian (Section) 25 memberi tekanan dan perhatian yang khususkepada arbitrase. Kalimat pertama dari bagian ini dengan tegasmenyatakan bahwa dalam menafsirkan undang-undang ini pengadilanharus mempertimbangkan kebijakan hukum yang memberi keuntunganatau kedudukan yang lebih besar kepada arbitrase. Pasal 25 inimenyatakan sebagai berikut:

    SEC. 25. Interpretation of the Act. - In interpreting the Act,the court shall have due regard to the policy of the law in favor ofarbitration. Where action is commenced by or against multiple par-ties, one or more of whom are parties who are bound by the arbitra-tion agreement although the civil action may continue as to those whoare not bound by such arbitration agreement.

    Bagian (Section) 26 mengatur tentang the AppointingAuthority. Undang-undang ini memberi batasan the AppointingAuthority sebagai orang atau pihak atau lembaga yang ditunjuk dalamperjanjian arbitrase atau aturan lembaga arbitrase yang disepakatipara pihak. The appointing authority berfungsi memilih (para) arbiterapabila para pihak gagal dalam mencapai kesepakatan mengenaiarbiter-arbiter yang akan duduk dalam majelis arbitrase.

    Dalam hal arbitrase ad hoc yang tidak ada kesepakatan para pihakmengenai siapa yang menjadi the appointing authority, bagian(section) 26 ini menetapkan the National President of the IntegratedBar of the Philippines (IBP) atau kuasanya sebagai the appointingauthority.

    Bagian (Sections) 28 and 29 mengatur ketentuan interim,provisional and conservatory remedies, yang dapat digunakan ataudimanfaatkan para pihak dalam arbitrase komersial internasional.

    Bagian (Section) 30 mengatur tempat arbitrase. Bagian inimenyatakan apabila tidak ada kesepakatan para pihak tentang tempatarbitrase, maka tempat arbitrase adalah Metro Manila. Pasal 30 iniselengkapanya menyatakan:

    SEC. 30. Place of Arbitration. - The parties are free to agreeon the place of arbitration. Failing such agreement, the place ofarbitration shall be in Metro Manila, unless the arbitral tribunal,

    45

  • having regard to the circumstances of the case, including theconvenience of the parties shall decide on a different place ofarbitration.

    The arbitral tribunal may, unless otherwise agreed by the parties,meet at any place it considers appropriate for consultation among itsmembers, for hearing witnesses, experts, or the parties, or forinspection of goods, other property or documents.

    46

  • BAB IVPELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE

    NEGARA-NEGARA ASEAN

    A. INDONESIAPelaksanaan Putusan Arbitrase Di Indonesia

    1. Ketentuan Undang-Undang Tentang Eksekusi Putusan ArbitraseNasional Indonesia

    Dalam hubungan dengan eksekusi atau pelaksanaan putusanarbitrase ini khususnya arbitrase nasional. Undang-Undang ArbitraseNomor 30 Tahun 1999 menentukan sebagai berikut:Pasal 59(1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak

    tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentikputusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter ataukuasanya kepada panitera Pengadilan Negeri.

    (2) Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalamayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatangananpada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh paniteraPengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkandan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran.

    (3) Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembarasli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepadapanitera Pengadilan Negeri.

    (4) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalamayat (1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.

    (5). Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan aktapendaftaran dibebankan kepada para pihak.

    Pasal 60Putusan Arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukumtetap dan mengikat para pihak

    47

  • Penjelasan atas pasal 60Putusan Arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikiantidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali.Pasal 61Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secarasukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketuaPengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yangbersengketa.Pasal 62(1) Perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diberikan

    dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelahpermohonan eksekusi didaftarkan kepada panitera PengadilanNegeri.

    (2) Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksaterlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuanPasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaandan ketertiban umum.

    (3) Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuansebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ketua Pengadilan Negerimenolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadapputusan ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upayahukum apapun.

    (4) Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertim-bangan dari putusan arbitrase.

    Penjelasan atas pasal 62 ayat ( 4 )Tidak diperiksanya alasan atau pertimbangan putusan arbitraseoleh Ketua Pengadilan Negeri agar putusan arbitrase tersebut benar-benar mandiri, final, dan mengikat.Pasal 63Perintah ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dansalinan otentik putusan arbitrase yang dikeluarkan.

    48

  • Pasal 64Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah ketua PengadilanNegeri, dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalamperkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukumtetap.

    2. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional Secara Sukarela DanTindakan Mendeponir Putusan

    Pelaksanaan (eksekusi) putusan arbitrase nasional dapatdilakukan baik secara suka rela atau secara paksa. Eksekusi putusanarbitrase secara sukarela dimaksudkan sebagai pelaksanaan putusanyang tidak rnemerlukan campur tangan dari pihak ketua Pen