Penggunaan Pentoxifylline Dalam Penatalaksanaan ENL
Click here to load reader
-
Upload
marco-handoko -
Category
Documents
-
view
372 -
download
1
Transcript of Penggunaan Pentoxifylline Dalam Penatalaksanaan ENL
Penggunaan Pentoxifylline untuk penatalaksanaan Eritema Nodosum Leprosum
The Use of Pentoxifylline in the treatment of Erythema Nodosum Leprosum
Marco Handoko
SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Marinir Cilandak | Universitas Pelita Harapan
Jl. Raya Cilandak KKO Kompl Marinir Cilandak Timur
Jakarta Selatan, DKI Jakarta, Indonesia 12560
Abstrak
Eritem Nodosum Leprosum merupakan reaksi kusta tipe 2, yaitu reaksi kusta yang
muncul akibat reaksi hipersensitivitas yang menimbulkan gangguan keseimbangan sistem imun
yang telah ada. ENL merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan yang membutuhkan
penanganan yang tepat dan efektif. Talidomid merupakan obat pilihan dalam penatalaksanaan
ENL, namun tidak tersedianya talidomid di Indonesia dan efek teratogenik talidomid menjadi
suatu penyulit dalam penatalaksanaan ENL sehingga dibutuhkan adanya pilihan obat lain yang
dapat digunakan, khususnya pada penderita dengan steroid-dependent. Pentoksifilin merupakan
obat yang telah berhasil secara klinis dalam penatalaksanaan ENL di Indonesia.
Kata kunci: Eritema Nodosum Leprosum, ENL, Reaksi Hipersensitivitas, Pentoksifilin
Abstract
Erythematous Nodosum Leprosum is a type 2 leprosy reactions that arises due to
hypersensitivity reactions that interferes with the body’s humoral immune system.1 ENL is an
emergency condition that requires appropriate and effective treatment. Talidomide is the drug
of choice in ENL treatment, but the unavailability of Thalidomide in Indonesia and the
teratogenic effect of talidomide has become a problem in managing ENL, therefore, an
alternative drug is needed particularly in steroid –dependent patients. Pentoxifylline is a drug
that has shown successful clinical result in Indonesia.
Key words: Erythema Nodosum Leprosum, ENL, Hypersensitivity reaction, Pentoxifylline
1
PENDAHULUAN
Kusta hingga saat ini merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh berbagai faktor penyulit, salah satu di antaranya adalah munculnya reaksi
kusta dan penangannya. Reaksi kusta merupakan suatu reaksi inflamasi akut yang muncul
akibat terjadinya perubahan mendadak dari sistem imun tubuh pada penderita kusta.1
Reaksi kusta dapat berupa reaksi reversal (tipe 1) dan Eritem Nodosum Leprosum (ENL) (tipe
2). Karya tulis ini akan membahas reaksi tipe 2. ENL merupakan reaksi kusta tipe 2, yang
ditemukan pada penderita kusta tipe multibasiler (LL dan terkadang juga pada tipe BL).
Data menunjukan bawa 75% insiden ENL terjadi pada penderita kusta tipe LL, dan 15 %
insiden pada tipe BL.1,2
Patofisiologi munculnya reaksi ENL sendiri masih belum diketahui secara pasti,
namun dalam penelitian terbaru ditemukan bahwa terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap
antigen mikrobakteri bebas yang disertai peningkatan sitokin TNF-α pada penderita ENL dan
diperkirakan hal ini yang menyebabkan proses inflamasi berat pada penderita ENL.,2
Penanganan ENL sampai saat ini adalah dengan menggunakan talidomid dan
steroid.1,3 Talidomid dan steroid merupakan obat pilihan dalam terapi ENL, namun demikian
talidomid tidak tersedia di Indonesia, sedangkan steroid memiliki banyak efek samping
dalam penggunaan jangka panjang dan pasien dengan kondisi steroid-dependent juga
semakin banyak ditemui. Hal-hal tersebut menjadi hambatan dalam penatalaksanaan
penyakit ENL di negara ini.1 Pentoksifilin telah digunakan dalam beberapa kasus ENL dan
memberikan hasil positif dalam pengobatan ENL, namun obat ini belum diakui secara resmi
sebagai bagian dari tata laksana ENL. Hal itu diakibatkan masih kurangnya data akan
efektifitas pentoksifilin sebagai terapi ENL.
Karya tulis ini akan membahas peran dan efektifitas pentosifilin beserta cara
kerjanya dalam penanganan kasus ENL. Diharapkan melalui karya tulis ini, kegunaan
pentoksifilin dalam penanganan kasus ENL dapat lebih jelas diketahui sehingga mampu
menjawab tuntutan akan obat yang efektif untuk penanganan pasien ENL yang steroid-
dependent di Indonesia.
2
Eritema Nodosum Leprosum (ENL)
Eritema Nodosum Leprosum (ENL) atau reaksi kusta tipe 2 merupakan suatu reaksi
akut yang terjadi pada pasien dengan penyakit kusta kronis.2 Eritema Nodosum Leprosum
harus dibedakan dari Eritema Nodosum (EN). ENL sering kali dianggap sebagai suatu EN
yang terjadi pada penyakit kusta, karena ditemukan beberapa gejala yang sama antara En
dan ENL, namun sebenarnya ENL merupakan suatu penyakit yang berbeda. ENL adalah
suatu penyakit yang terjadi akibat munculnya reaksi spesifik yang merupakan salah satu
manifestasi dari penyakit kusta.3 Gejala yang muncul pada pasien ENL dapat meliputi
daerah yang luas termasuk di antaranya, kulit, mata, saraf tepi, sendi dan terkadang dapat
terjadi pada organ dalam.1,2,3
Gambaran klinis pada daerah kutan adalah munculnya lesi eritem yang sakit pada
daerah yang sebelumnya bebas lesi. Lesi dapat berupa papul, vesikel, pustular, ulseratif dan
nekrotik; selain itu gejala sistemik juga dapat ditemukan.3 Lesi terutama ditemukan pada ke
empat ekstrimitas dan wajah.3 Gambaran ekstrakutan pada penderita ENL dapat berupa
neuritis, arthritis, synovitis, iridosiklitis, rinitis, limfadenitis, epistaksis, hepatomegali,
splenomegali dan walaupun jarang ditemukan, glomerulonefritis.4
ENL dapat dibedakan menjadi ENL tunggal akut (satu episode ENL dan sembuh
kurang dari 6 bulan, dan tidak kambuh setelah pemberian steroid di-tapper off), ENL
multipel akut ( terjadi lebih dari satu episode ENL (berulang) dalam waktu 6 bulan, dan ENL
kronis (satu episode ENL yang tidak membaik selama lebih dari 6 bulan).5
Etiologi munculnya reaksi ini belum diketahui dengan jelas, namun beberapa faktor
diperkirakan berperan sebagai pemicu munculnya reaksi ENL terutama munculnya reaksi
hipersensitivitas tubuh dan MDT (multi drug treatment); faktor lainnya adalah kehamilan
dan stres (baik fisik maupun mental).4 Patogenesis ENL terjadi akibat reaksi hipersensitivitas
tipe 3 di mana terjadi penumpukan imun kompleks pada sistem vaskular kulit sehingga
menimbulkan vaskulitis (Arthus reaction) disertai tingginya antibodi humoral dalam sirkulasi.
Imunitas seluler pada patogenesis ENL walaupun diketahui ikut berperan, namun belum
dapat dijelaskan hingga saat ini. Data menunjukan bahwa pada penderita ENL ditemukan
leukositosis, Infiltrasi neutrofil dengan adanya vaskulitis atau panikulitis, CD4 yang
3
meningkat dan ditemukannya sitokin TNF-α dan IL 6 pada serum.6 Data-data yang
didapatkan tersebut menunjukan adanya peran respons imun Th tipe 1, selain itu didapatkan
juga keratinosit 1a dan ICAM-1 pada epidermis penderita ENL yang menunjukan peran
imunitas seluler.6 Sebuah penelitian juga menunjukan bahwa pada netrofil yang diisolasi
dari penderita ENL menghasilkan TNF-α yang mempercepat apoptosis in vitro.7 Penyebab
munculnya reaksi ini diperkirakan akibat pelepasan antigen bakteri dalam jumlah besar lalu
muncul reaksi hipersensitivitas tipe 3 di mana sistem kompleks imun terbentuk terus
menerus dan netrofil mengeluarkan TNF-α, yang merupakan suatu sitokin inflamasi, yang
kemudian berinteraksi dengan sistem komplemen yang teraktivasi dan mempercepat proses
fagositosis dan lisis dari sel.4 Penelitian lainnya dilakukan untuk mengetahui peran TNF-α
pada ENL. Level serum TNF-α pada seorang pasien ENL dimonitor sebelum, selama dan
sesudah dilakukan terapi, dan didapatkan level serum TNF-α pada pasien tersebut menurun
seiring dilakukannya terapi.8 Sebelum diterapi, ditemukan jumlah serum TNF α yang
signifikan pada lesi kulit pasien.8 1 tahun setelah diterapi, didapati perbaikan lesi yang
diiringi menurunnya serum TNF α pada lesi kulit pasien.8 Berdasarkan hasil tersebut, TNF α
dianggap dapat dijadikan indikator diagnostik dan prognostik pada pasien ENL, walaupun
penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan untuk mengetahui dengan pasti patogenesis
ENL.4,5,7
Pentoksifilin
Pentoksifilin ditemukan oleh Hoechst Aktiengesellschaft pada tahun 1974.
Pentoksifilin merupakan turunan dari metyl-xanthine, dimetabolisme di hati dan
diekskresikan melalui ginjal.9 Pentoksifilin digolongkan sebagai obat hemorheological,
pentoksifilin juga memiliki sifat phosphodiesterase inhibitor.9 Pentoksifilin diketahui dapat
menurunkan agregasi platelet dan jumlah fibrinogen; selain itu pentoksifilin juga dapat
menurunkan viskositas darah. Pentoksifilin digunakan pada berbagai penyakit vaskular,
antara lain cerebral-dementia, gangguan aliran darah, retinopati diabetik dan fibrosis.9
Pentoksifilin dapat meningkatkan cyclic adenosine monophosphat (cAMP) dengan
menginhibisi fosfodiesterase. Fosfodiesterase merupakan enzim yang memecah cAMP
menjadi Adenosine Mono Phosphate (AMP), sehingga inhibisi fosfodiesterase menyebabkan
cAMP dalam tubuh tidak dipecah menjadi AMP. Jumlah cAMP intraseluler yang meningkat 4
akan menghambat aktivasi monosit dan limfosit, di mana monosit dan limfosit berperan
dalam produksi sitokin sehingga dengan dihambatnya aktivasi monosit dan limfosit,
produksi sitokin juga akan terhambat. Terhambatnya sitokin akan menurunkan reaksi
inflamasi yang terjadi.9
Penggunaan Pentoksifilin untuk Terapi ENL
Reaksi inflamasi hebat pada penderita ENL disebabkan oleh banyak faktor imun,
salah satunya adalah produksi TNF-α yang berlebihan. TNF-α merupakan suatu sitokin yang
berperan dalam proses inflamasi pada penyakit ENL. Sifat pentoksifilin sebagai inhibitor
fosfodiesterase memungkinkan pentoksifilin untuk digunakan pada kasus ENL.
Pemberian pentoksifilin untuk penatalaksanaan ENL telah memberikan hasil yang
sangat memuaskan di mana 62,5 % pasien menunjukan perbaikan signifikan.10 Efektivitas
pentoxifilin tidak sebaik talidomid, namun pentoksifilin aman digunakan dan jarang
menimbulkan efek samping jika dibandingkan talidomid.10 Penelitian tersebut dilakukan
dengan pemberian pentoksifilin 400 mg t.i.d pada 44 pasien ENL. Hasil penelitian tersebut
menunjukan bahwa setelah 15 hari, 58,3 % pasien mengalami perbaikan partial, 16,7 %
mengalami perbaikan total.10 15 hari selanjutnya (hari ke 16-30) menunjukan sebagian
pasien mengalami perburukan kembali dan sebagian mengalami perbaikan signifikan (29,3%
perbaikan patial dan 33,3% perbaikan total).10
Penelitian lain, dilaporkan 10 dari 11 penderita yang mengalami ENL mengalami
perbaikan signifikan setelah diberikan pentoksifilin 400 mg t.i.d.11 Gejala sistemik dan
neuritis hilang setelah 1 minggu pengobatan, dan setelah 3 minggu, 50 % pasien berhasil
sembuh sedangkan 50 % lainnya mengalami perbaikan klinis yang berarti. Kesembuhan total
terjadi setelah pengobatan selama 27 hari.11 Pemberian obat dihentikan setelah
kesembuhan pada 5 pasien sedangkan 5 pasien yang lain dilakukan tappering-off (selama 4
bulan).11 Hasilnya, 5 orang dengan obat yang dihentikan langsung, mengalami relaps setelah
2-3 bulan paska terapi, sedangkan 5 orang dengan tappering-off, relaps tidak terjadi.
Pentoksifilin tetap efektif pada pasien dengan ENL rekuren ataupun relaps 11
Hasil positif juga diperlihatkan pada penelitian lain di mana didapatkan bahwa
setelah 1 minggu pertama pengobatan dengan pentoksifilin 400 mg t.i.d, 100% pasien tidak 5
lagi memiliki gejala sistemik dan lesi-lesi nodular sembuh total setelah 14 hari pengobatan.
Perburukan kembali terjadi setelah 2 bulan pengobatan pada 20% pasien.
Pentoksifilin terbukti efektif menurunkan level serum TNF-α pada 13 dari 15 pasien
yang diamati oleh Moraes, dkk.5 Jurnal tersebut juga menyebutkan bahwa pentoksifilin
efektif digunakan sebagai terapi alternatif untuk pasien ENL dan aman digunakan pada
pasien ENL dengan steroid-dependent dan ibu hamil.5,10
Dosis pemberian pentoksifilin pada pasien ENL adalah 400 mg t.i.d (1200 mg/hari),
diminum bersama dengan makanan. Obat ini memilki masa paruh 4-6 jam, dengan kadar
plasma puncak tercapai dalam waktu 2 jam.12 Perbaikan akan mulai terlihat setelah
beberapa minggu penggunaan, namun efek maksimal dapat tercapai setelah penggunaan
selama 2-4 bulan.12 Penggunaan pentoksifilin bersama dengan makanan dapat
meningkatkan kadar Pentoksifilin.13 Anak kecil tidak dianjurkan menggunakan obat ini,
karena tingkat keamanannya belum diketahui. 13
Penggunaan pentoksifilin bersama dengan clofazimin juga menunjukan hasil yang
memuaskan, di mana 4 orang pasien diberikan clofazimin 100 mg t.i.d bersama dengan
pentoksifilin 400 mg t.i.d dan dalam 7-10 hari gejala klinis pasien hilang atau membaik. 14
Pentoksifilin berinteraksi dengan cimetidine dan ciprofloxacin (meningkatkan efektifitas dan
dosis obat dalam tubuh).16 Penggunaan pentoksifilin bersama dengan obat pengencer
darah lainnya tidak dianjurkan. Pentoksifilin memilki sedikit efek untuk menurunkan gula
darah dan tekanan darah. 16 Oleh karena itu penggunaannya pada penderita hipertensi dan
diabetes harus diawasi. Pentoksifilin jika digunakan bersama Teofilin dapat meningkatkan
kadar teofilin dalam darah, sehingga tidak dianjurkan, dan penggunaannya bersamaan harus
diawasi ketat. 16
Penggunaan obat ini dikontraindikasikan pada pasien yang hipersensitif terhadap
obat golongan metyl xanthine, pasien dengan kerusakan liver, miokard infark akut, pasien
dengan penyakit pembuluh darah dan pasien peptik ulseratif.13 Pentoksifilin secara umum
dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien; efek samping yang paling sering muncul adalah
nausea dan gejala gastrointestinal lain (3 % dari pengguna). Efek samping yang paling
6
berbahaya adalah infeksi jamur; karena efek inhibitor fosfodiesterase yang dimiliki obat ini,
produksi sitokin inflamasi terhambat, sehingga pasien rentan terhadap infeksi jamur.16
KESIMPULAN
Pentoksifilin merupakan obat yang bersifat inhibitor-fosfodiesterase dan dapat
menghambat produksi sitokin-sitokin inflamasi, termasuk di dalamnya TNF-α. Sifat ini
berguna dalam penanganan penyakit Erythema Nodosum Leprosum. Terhambatnya
produksi TNF-α membantu penyembuhan lesi dengan mengurangi reaksi inflamasi akibat
hipersensitivitas yang terjadi. TNF-α dapat dianggap sebagai indikator penyakit ini, sehingga
kadar TNF-α dapat dikurangi dan dengan demikian sekaligus membantu penyembuhan.
Pentoksifilin merupakan obat yang aman dan tidak memilki efek samping berbahaya
terhadap pasien. Efektivitas pentoksifilin untuk penanganan ENL didapatkan cukup baik
pada pasien walaupun tidak sebaik talidomid. Angka kesembuhan pasien ENL dengan
penggunaan pentoksifilin masih perlu ditelusuri, namun hingga saat ini, pentoksifilin
merupakan salah satu obat yang dapat dijadikan alternatif dalam penanganan penyakit ENL.
Tidak tersedianya talidomid di Indonesia, dan tingginya jumlah penderita ENL yang steroid-
dependent menjadikan pentoksifilin dapat digunakan sebagai obat pilihan dalam tata
laksana ENL di negara ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Martodihardjo S. Susanto SD. Reaksi kusta dan penanganannya. Buku kusta diagnosis
dan penanganannya 2003; 75-81.
2. Smitha P, Shenoi SD, Sathish PB, Sripathi H. Erythema nodosum leprosum as the
presenting feature ini multibacillary leprosy.DOJ 2009; 15 (6):15.
3. Rea HT, Modlin R. Leprosy. In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A,
Leffell D, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th edn. New York:
The McGraw-Hill company; 2008. p 1791-1793
4. Dave S, Thappa DM, Nori AV, Jayanthi S. A rare variant of erythema nodosum
leprosum: A case report. DOJ.2003; 9 (5): 11.
5. Moraes MO, Oliviera EB, Sarno EN, Nery JAC, Sampaio EP, Matos. Pentoxifylline
decreases in vivo and in vitro tumour necrosis factor-alpha (TNF-α) production in
7
lepromatous leprosy patients with erythema nodosum leprosum (ENL).Clin Exp
Imunol 1998; 111 (2): 300-308.
6. Kahawita IP, Lockwood DNJ.Towards understanding the pathology of erythema
nodosum leprosum. Trans R Soc Trop Med Hyg. 2008 Apr;102(4):329-37.
7. Oliviera RB, Moraes MO, Oliviera EB, Sarno EN, Nery JAC, Sampaio EP.Neutrophils
isolated from leprosy patients release TNF α and exhibit accelerated apoptosis in
vitro.JLB 1999; 65 (3): 364-371.
8. Sugita Y, Miyamoto M, Koseki M, Nakajima H.Suppresion of tumor necrosis factor –
alpha expression in leprosy skin lesion during treatment for leprosy. Br J Dermatol
1997; 136(3): 393-7.
9. Magnusson M.Pharmacokinetics and Pharmacodynamics of pentoxifylline and
metabolites in human (dissertation).Lund(Sweden): Lunds Univ; 2009.
10. Sales AM, de Matos HJ, Nery JAC, Duppre NC, Sampaio EP, Sarno EN. Double blind
trial of the efficacy of Pentoxifylline vs Thalidomide for the treatment of type II
reaction in leprosy.chestjournal.chest 2003;12(3):117-22.
11. de Carsalade GY, Achirafi A, Flageul B.Pentoxifylline in the treatment of Erythema
Nodosum Leprosum : result of an open study. Acta Leprol. 2003;12(3):117-22
(abstract)
12. Blackwell V, Dowd PM. Vasoactive snd Antiplatelet Agents. In: Wolverton SE, editors.
Comprehensive dermatologic drug therapy. Philadelphia: W.B Saunders company;
2001. p 379-380
13. Ward A, Clissold SP: Pentoxifylline. A review of its pharmacodynamic and
pharmacokinetic properties, and its therapeutic efficacy. Drugs 1987 , 34:50-97
14. Welsh, O., Gómez, M., Mancias, C., Ibarra-Leal, S. and Millikan, L. E. A new
therapeutic approach to type II leprosy reaction. Int J Dermatol 1999, 38: 931–933.
15. Sanofi Aventis Inc.Product Monograph of Trental (product review). Canada.2008
16. Inoue K, Takano H, Yanasighawa R, Sakurai M. Anti Inflammatory effect of
pentoxifylline.ACCP http://chestjournal.chestpubs.org/content/126/1/321.full.html ;
2004. Accessed 16 Januari 20118
9