Penggunaan obat rasional

11
PENGGUNAAN OBAT RASIONAL SALAH SATU UPAYA MENUJU MASYARAKAT INDONESIA YANG SEHAT By : Ayonni Rizal Dalam pelayanan kesehatan penggunaan obat merupakan hal yang sangat krusial dalam pengobatan penyakit. Oleh karena itu obat obat mesti diberikan dengan tepat, baik tepat penyakit, tepat obat, tepat dosis, tepat cara pakai, tepat pasien, kalau tidak obat tidak akan memberikan efek yang diharapkan dan bahkan bisa memberikan efek keracunan yang membahayakan jiwa pasien. Pemakaian obat yang tepat ini lazim disebut dengan penggunaan obat rasional. Di pusat-pusat pelayanan kesehatan terutama Puskesmas ketidakrasionalan peresepan dan penggunaan obat sering terjadi dan umumnya tidak disadari oleh petugas kesehatan yang ada. Ketidakrasionalan peresepan yang sering didapati seperti; polifarmasi pada penyakit ISPA, diare, dan mialgia, penggunaan antibiotik untuk ISPA non Pneumonia, penggunaan injeksi untuk mialgia. Bagaimana pengertiannya Penggunaan obat Rasional ?. Penggunaan obat dikatakan rasional jika tepat secara medis dan memenuhi persyaratan tertentu. Menurut WHO; Penggunaan obat dikatakan rasional bila : - Pasien menerima obt sesuai kebtuhannya. - Untuk periode waktu yg adekuat - Dg harga yg paling murah utknya dan masyarakat.

Transcript of Penggunaan obat rasional

Page 1: Penggunaan obat rasional

PENGGUNAAN OBAT RASIONAL SALAH SATU UPAYA MENUJU

MASYARAKAT INDONESIA YANG SEHAT

By : Ayonni Rizal

Dalam pelayanan kesehatan penggunaan obat merupakan hal yang sangat krusial

dalam pengobatan penyakit. Oleh karena itu obat obat mesti diberikan dengan tepat, baik

tepat penyakit, tepat obat, tepat dosis, tepat cara pakai, tepat pasien, kalau tidak obat tidak

akan memberikan efek yang diharapkan dan bahkan bisa memberikan efek keracunan

yang membahayakan jiwa pasien. Pemakaian obat yang tepat ini lazim disebut dengan

penggunaan obat rasional.

Di pusat-pusat pelayanan kesehatan terutama Puskesmas ketidakrasionalan

peresepan dan penggunaan obat sering terjadi dan umumnya tidak disadari oleh petugas

kesehatan yang ada. Ketidakrasionalan peresepan yang sering didapati seperti;

polifarmasi pada penyakit ISPA, diare, dan mialgia, penggunaan antibiotik untuk ISPA

non Pneumonia, penggunaan injeksi untuk mialgia.

Bagaimana pengertiannya Penggunaan obat Rasional ?. Penggunaan obat dikatakan

rasional jika tepat secara medis dan memenuhi persyaratan tertentu. Menurut WHO;

Penggunaan obat dikatakan rasional bila :

- Pasien menerima obt sesuai kebtuhannya.

- Untuk periode waktu yg adekuat

- Dg harga yg paling murah utknya dan masyarakat.

Secara praktis penggunaan obat dikatakan rasional bila memenuhi kriteria :

1. Sesuai dg indikasi penyakit.

Penggunaan obat dikatakan rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat.

Jika diagnosa tidak ditegakkan dengan benar maka pemilihan obat akan mengacu

pada diagnosa yang keliru. Akibatnya obat yang diberikan tidak akan sesuai

dengan indikasi seharusnya.

2. Tepat pemilihan obat.

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan

dengan benar. Dengan demikian obat yang dipilih haruslah yang memiliki efek

terapi sesuai dengan spektrum penyakit.

Page 2: Penggunaan obat rasional

3. Tepat dosis

Dosis sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang

berlebihan , khususnya untuk obat dengan rentang terapi sempit (Narrow

therapeutic margin) misalnya teofilin, digitalis, akan sangat berisiko untuk

timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin

tercapainya kadar terapi yang diharapkan.

4. Tepat cara pemberian

Cara pemberian yang tidak tepat akan mengurangi ketersediaan obat dalam tubuh

pasien sehingga efek yang diharapkan tidak terjadi. Sebagai contoh ampisilin

mesti diminum 30 menit sebelum makan.

5. Tepat interval waktu pemberian

Interval waktu pemberian hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis

agar mudah ditaati oleh pasien.

6. Tepat lama pemberian

Lama pemberian obat harus tepat sesuai dengan penyakitnya.. Sebagai contoh

untu Tuberkulosis lama pemberian obat paling singkat 6 bulan. Lama pemberian

kloramfenikol adalah 10-14 hari.

7. Waspada terhadap efek samping.

Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping yaitu efek yang tidak

diinginkan yang timbuk akibat pemberian obat dengan dosis terapi. Sebagai

Cotoh : Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12

tahun, karena menimbulkan kelain pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.

8. Tepat penilaian kondisi pasien.

Respon induvidu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat

pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada penderita

kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindari karena resiko

terjadinya nefrotoksik pada kelompok ini meningkat secara bermakna.

9. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin.

Untuk memberikan hasil yang optimal obat harus efektif dan aman dengan mutu

terjamin. Karena itu mutu obat mesti terjamin dengan mendapatkannya dari

Page 3: Penggunaan obat rasional

sumber yang tepat, karena saat ini banyak obat palsu dan kadaluarsa yang beredar

di pasaran yang tentunya akan merugikan pasien.

`

10. Tersedia setiap saat dengan harga terjangkau.

Untuk memberikan kesinambungan pengobatan terutama sekali untuk

pengobatan jangka panjang, obat yang diberikan harus tersedia setiap saat dan

harganya terjangkau oleh pasien yang menggunakan.

11. Tepat Informasi.

Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam

menunjang keberhasilan terapi. Contohnya dalam penggunaan obat rifampisin

akan mengakibatkan urine bewarna merah. Jika hal ini tidak diinformasikan

kepada penderita kemungkinan besar dia akan menghentikan minum obat karena

menduga obat tersebut menyebabkan kencing disertai darah. Padahal untuk

penderita tuberkulosis terapi dengan rifampisin harus diberikan dalam jangka

panjang.

12. Tepat tindak lanjut (follow up).

Pada saat memutuskan pemberian terapi harus sudah dipertimbangkan upaya

tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasein tidak sembuh atau mengalami

efek samping.Sebagai contoh, terapi dengan teofilin sering memberikan gejala

takhikardi. Jika hal ini terjadi maka dosis obat perlu ditinjau ulang atau bisa saja

obatnya diganti. Demikian pula dalam penatalaksanaan syok anafilaksis,

pemberian injeksi adrenalin yang kedua perlu segera dilakukan, jika pada

pemberian pertama respons sirkulasi kardiovaskuler belum seperti yang

diharapkan.

13. Tepat penyerahan obat (dispensing)

Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan

pasien sendiri sebagai konsumen.

Pada saat resep dibawa ke apotik atau tempat penyerahan obat di Puskesmas,

apoteker / asisten apoteker / petugas penyerah obat akan melaksanakan perintah

Page 4: Penggunaan obat rasional

dokter / peresep yang ditulis pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada

pasien.

Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat agar pasien

mendapatkan obat sebagaimanan seharusnya. Karena bila petugas salah

menimbang obat atau salah membaca resep, dapat berakibat fatal.

14. Pasien patuh terhadap pengobatan yg diberikan.

Kepatuhan pasien terhadap pengobatan sangat menentukan hasil yang dicapai

dalam pengobatan.

Ketidaktaatan pasien dalam meminum obat umumnya terjadi pada kedaan berikut:

Jenis atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak.

Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering.

Jenis sediaan obat terlalu beragam (misalnya pada saat bersamaan pasien

mendapat, tablet, tablet hisap, sirup dan obat inhalasi).

Pemberian obat dalam jangka panjang

Pasien tidak mendapat informasi/penjelasan yang cukup mengenai cara

minum/menggunakan obat,

Timbul efek samping misalnya ruam kulit dan nyeri lambung) atau efek

ikutan (urine jadi merah karena minum rifampisin).

Pemberian obat dalam jangka lama tanpa informasi/supervisi tentu saja akan

menurunkan ketaatan penderita. Kegagalan pengobata tuberkulosis secara

nasional menjadi salah satu bukti bahwa terapi jangka panjang tanpa disertai

informasi / supervisi yang memadai tidak akan pernah memberikan hasil seperti

yang diharapkan.

.

Dampak Penggunaan Obat yang tidak rasional :

Dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional sangat beragam dan bervariasi

tergantung dari jenis ketidakrasionalan penggunaannya. Dampak negatif ini dapat saja

hanya dialami oleh pasien (efek samping dan biaya yang mahal) maupun oleh populasi

Page 5: Penggunaan obat rasional

yang lebih luas seperti resistensi kuman terhadap antibiotik tertentu, dan mutu pelayanan

pengobatan secara umum.

a. Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan.

Salah satu dampak penggunaan obat yang tidak rasional adalah peningkatan

angka morbiditas dan mortalitas penyakit. Contohnya pada penderita diare akut

non spesifik umumnya sering mendapat antibiotik dan obat injeksi, sementara

pemberian oralit yang lebih dianjurkan, umumnya kurang dilakukan. Padahal

diketahui bahwa resiko terjadinya dehidrasi pada anak yang diare dapat

membahayakan keselamatan jiwa anak yang bersangkutan. Hal yang sama juga

terjadi pada penderita ISPA non pneumonia pada anak yang umumnya

mendapatkan antibiotik yang sebenarnya tidak diperlukan. Sementara itu pada

anak yang jelas menderita pneumonia akhirnya justru tidak mendapatkan terapi

yang adekuat, karena antibiotik yang ada telah habis digunakan untuk mereka

yang tidak memerlukannya. Dengan demikian tidaklah mengherankan apabila

hingga saat ini angka kematian bayi dan balita akibat ISPA dan diare masih cukup

tinggi di Indonesia.

b. Dampak terhadap biaya pengobatan.

Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas, atau pemberian obat untuk keadaan

yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat, jelas merupakan pemborosan dan

sangat membebankan pasien. Di sini termasuk pula peresepan obat yang mahal

padahal alternatif obat yang lain dengan manfaat dan keamanan sama dan harga

lebih murah tersedia. Contohnya ketidakrasionalan seperti ini adalah pemberian

antibiotik pada ISFA non pneumonia. Dari studi yang dilakukan oleh PPSDK-F

(Proyek Pengkajian Sumber Daya Kesehatan- Komponen Farmasi) di 2 provinsi

di Indonesia tahun 1992-1994 dijumpai bahwa lebih dari separuh biaya obat yang

dikonsumsi pasien puskesmas adalah untuk antibiotik. Tingginya konsumsi

antibiotik (terutama untuk kasus-kasus ISPA non Pneumonia) tentui saja

mempengaruhi anggaran obat yang tersedia.

Page 6: Penggunaan obat rasional

Peresepan antibiotik bukannya keliru, tetapi sebaiknya memproritaskan

pemberiannya untuk penyakit-penyakit yang benar-benar memerlukannya (yang

jelas terbukti sebagai infeksi bakteri) akan sangat berarti dalam menurunkan

morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi. Oleh karena itu jika pemberiannya

selektif, maka pemborosan anggaran dapat dicegah dan dapat direalokasikan

untuk penyakit atau intervensi lain yang lebih prioritas. Dengan demikian mutu

pelayanan kesehatan dapat lebih dijamin.

Disamping itu pnggunaan obat rasional akan berdampak pada

pengurangan anggaran terhadap obat di sarana pelayanan kesehatan dasar.

Seandainya praktek penggunaan penggunaan obat rasional dilaksanakan secara

sistematis dan konsisten diperkirakan anggaran untuk pembelian obat disarana

kesehatan dasar bisa dikurangi sampai 30 %.

c. Dampak terhadap kemungkinan efek samping dan efek lain yang tidak

diharapkan.

Dampak lain dari ketidakrasionalan penggunaan obat adalah meningkatnya resiko

terjadinya efek samping dan efek lain yang tidak diharapkan, baik untuk pasien

maupun untuk masyarakat.

Bebersapa data berikut mewakili dampak negatif yang terjadi akibat penggunaan

obat yang tidak rasional :

Kebiasaan memberikan obat dalam bentuk injeksi akan meningkatkan

resiko terjadinya syok anafilaksis.

Resiko terjadinya efek samping onbat meningkat secara konsisten dengan

makin banyaknya jenis obat yang diberikan kepada pasien. Keadaan ini

semakin nyata pada usia lanjut. Pada kelompok umur ini kejadian efek

samping dialami oleh 1 (satu) diantara 6 penderita usia lanjut yang dirawat

di rumah sakit.

Terjadinya resistensi kuman terhadap antibiotik merupakan salah satu

akibat dari pemakaian antibiotik yang berlebihan (over prescribing),

maupun pemberian yang bukan indikasi (misalnya infeksi yang

disebabkan oleh virus).

d. Dampak terhadap mutu keterediaan obat.

Page 7: Penggunaan obat rasional

Dari studi data yang dilakukanoleh Bagian Farmakologi FK UGM bekerjasama

dengan Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan Depkes RI pada tahun 1997-

1998ditemukan bahwa leboih dari 80% pasien dengan keluhan demam,batuk dan

pilek mendapatkan antibiotik untuk rata-rata 3 hari pemberian,.Dari praktek

pengobatan tersebut tidaklah mengherankan bahwa yang sering dikeluhkan di

puskesmas adalah tidak cukupnya ketersediaan antibiotik. Akibatnya jika suatu saat

ditemukan pasien yang benar-benar menderita infeksi bakter, antibiotik yang

dibutuhkan sudah tidak tersedia lagi. Yang terjadi selanjutnya adalah pasien terpaksa

diberikan antibiotik lain yang bukan obat pilihan utama (drug of choice) dari infeksi

tersebut.

Disini terdapat 2 masalah utama.

Pertama, seolah-olah mutu ketersediaan obat sangat jauh dari memadai. Padahal

yang terjadi adalah antibiotik telah terbagi rata ke semua pasien yang sebenarnya tidak

memerlukan.

Kedua, dengan mengganti jenis antibiotikmaka akan berdampak pada tidak sembuhnya

pasien (karena antibiotik yang diberikan mungkin tidak memiliki spektrum antibakteri

untuk penyakit tersebut, misalnya pneumonia diberi metronidazol) Atau penyakit

menjadi lebih parah dan pasien kemudian meninggal.

Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari-hari.

Peresepan obat tanpa indikasi yang jelas, penentuan dosis, cara dan lama pemberian

yang keliru, serta peresepan obat yang mahal merupakan sebagian contoh dari

ketidakrasionalan peresepan. Hal ini jelas yang paling dirugikan adalah masyarakat

luas sebagai pasien.

Untuk mencapai masyarakat Indonesia yang sehat Penggunaan Obat Rasional

hendaknya menjadi pradigma baru yang perlu dihayati oleh insan kesehatan seperti

dokter, apoteker, perawat, bidan dan sebagainya sehingga upaya mensejahteraan

masyarakat yang berdampak pada penibgkatan SDM akan lebih optimal