Penggunaan obat rasional
-
Upload
yunita-manurung -
Category
Documents
-
view
123 -
download
6
Transcript of Penggunaan obat rasional
PENGGUNAAN OBAT RASIONAL SALAH SATU UPAYA MENUJU
MASYARAKAT INDONESIA YANG SEHAT
By : Ayonni Rizal
Dalam pelayanan kesehatan penggunaan obat merupakan hal yang sangat krusial
dalam pengobatan penyakit. Oleh karena itu obat obat mesti diberikan dengan tepat, baik
tepat penyakit, tepat obat, tepat dosis, tepat cara pakai, tepat pasien, kalau tidak obat tidak
akan memberikan efek yang diharapkan dan bahkan bisa memberikan efek keracunan
yang membahayakan jiwa pasien. Pemakaian obat yang tepat ini lazim disebut dengan
penggunaan obat rasional.
Di pusat-pusat pelayanan kesehatan terutama Puskesmas ketidakrasionalan
peresepan dan penggunaan obat sering terjadi dan umumnya tidak disadari oleh petugas
kesehatan yang ada. Ketidakrasionalan peresepan yang sering didapati seperti;
polifarmasi pada penyakit ISPA, diare, dan mialgia, penggunaan antibiotik untuk ISPA
non Pneumonia, penggunaan injeksi untuk mialgia.
Bagaimana pengertiannya Penggunaan obat Rasional ?. Penggunaan obat dikatakan
rasional jika tepat secara medis dan memenuhi persyaratan tertentu. Menurut WHO;
Penggunaan obat dikatakan rasional bila :
- Pasien menerima obt sesuai kebtuhannya.
- Untuk periode waktu yg adekuat
- Dg harga yg paling murah utknya dan masyarakat.
Secara praktis penggunaan obat dikatakan rasional bila memenuhi kriteria :
1. Sesuai dg indikasi penyakit.
Penggunaan obat dikatakan rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat.
Jika diagnosa tidak ditegakkan dengan benar maka pemilihan obat akan mengacu
pada diagnosa yang keliru. Akibatnya obat yang diberikan tidak akan sesuai
dengan indikasi seharusnya.
2. Tepat pemilihan obat.
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan
dengan benar. Dengan demikian obat yang dipilih haruslah yang memiliki efek
terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
3. Tepat dosis
Dosis sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang
berlebihan , khususnya untuk obat dengan rentang terapi sempit (Narrow
therapeutic margin) misalnya teofilin, digitalis, akan sangat berisiko untuk
timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin
tercapainya kadar terapi yang diharapkan.
4. Tepat cara pemberian
Cara pemberian yang tidak tepat akan mengurangi ketersediaan obat dalam tubuh
pasien sehingga efek yang diharapkan tidak terjadi. Sebagai contoh ampisilin
mesti diminum 30 menit sebelum makan.
5. Tepat interval waktu pemberian
Interval waktu pemberian hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis
agar mudah ditaati oleh pasien.
6. Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai dengan penyakitnya.. Sebagai contoh
untu Tuberkulosis lama pemberian obat paling singkat 6 bulan. Lama pemberian
kloramfenikol adalah 10-14 hari.
7. Waspada terhadap efek samping.
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping yaitu efek yang tidak
diinginkan yang timbuk akibat pemberian obat dengan dosis terapi. Sebagai
Cotoh : Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12
tahun, karena menimbulkan kelain pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.
8. Tepat penilaian kondisi pasien.
Respon induvidu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat
pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada penderita
kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindari karena resiko
terjadinya nefrotoksik pada kelompok ini meningkat secara bermakna.
9. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin.
Untuk memberikan hasil yang optimal obat harus efektif dan aman dengan mutu
terjamin. Karena itu mutu obat mesti terjamin dengan mendapatkannya dari
sumber yang tepat, karena saat ini banyak obat palsu dan kadaluarsa yang beredar
di pasaran yang tentunya akan merugikan pasien.
`
10. Tersedia setiap saat dengan harga terjangkau.
Untuk memberikan kesinambungan pengobatan terutama sekali untuk
pengobatan jangka panjang, obat yang diberikan harus tersedia setiap saat dan
harganya terjangkau oleh pasien yang menggunakan.
11. Tepat Informasi.
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam
menunjang keberhasilan terapi. Contohnya dalam penggunaan obat rifampisin
akan mengakibatkan urine bewarna merah. Jika hal ini tidak diinformasikan
kepada penderita kemungkinan besar dia akan menghentikan minum obat karena
menduga obat tersebut menyebabkan kencing disertai darah. Padahal untuk
penderita tuberkulosis terapi dengan rifampisin harus diberikan dalam jangka
panjang.
12. Tepat tindak lanjut (follow up).
Pada saat memutuskan pemberian terapi harus sudah dipertimbangkan upaya
tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasein tidak sembuh atau mengalami
efek samping.Sebagai contoh, terapi dengan teofilin sering memberikan gejala
takhikardi. Jika hal ini terjadi maka dosis obat perlu ditinjau ulang atau bisa saja
obatnya diganti. Demikian pula dalam penatalaksanaan syok anafilaksis,
pemberian injeksi adrenalin yang kedua perlu segera dilakukan, jika pada
pemberian pertama respons sirkulasi kardiovaskuler belum seperti yang
diharapkan.
13. Tepat penyerahan obat (dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan
pasien sendiri sebagai konsumen.
Pada saat resep dibawa ke apotik atau tempat penyerahan obat di Puskesmas,
apoteker / asisten apoteker / petugas penyerah obat akan melaksanakan perintah
dokter / peresep yang ditulis pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada
pasien.
Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat agar pasien
mendapatkan obat sebagaimanan seharusnya. Karena bila petugas salah
menimbang obat atau salah membaca resep, dapat berakibat fatal.
14. Pasien patuh terhadap pengobatan yg diberikan.
Kepatuhan pasien terhadap pengobatan sangat menentukan hasil yang dicapai
dalam pengobatan.
Ketidaktaatan pasien dalam meminum obat umumnya terjadi pada kedaan berikut:
Jenis atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak.
Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering.
Jenis sediaan obat terlalu beragam (misalnya pada saat bersamaan pasien
mendapat, tablet, tablet hisap, sirup dan obat inhalasi).
Pemberian obat dalam jangka panjang
Pasien tidak mendapat informasi/penjelasan yang cukup mengenai cara
minum/menggunakan obat,
Timbul efek samping misalnya ruam kulit dan nyeri lambung) atau efek
ikutan (urine jadi merah karena minum rifampisin).
Pemberian obat dalam jangka lama tanpa informasi/supervisi tentu saja akan
menurunkan ketaatan penderita. Kegagalan pengobata tuberkulosis secara
nasional menjadi salah satu bukti bahwa terapi jangka panjang tanpa disertai
informasi / supervisi yang memadai tidak akan pernah memberikan hasil seperti
yang diharapkan.
.
Dampak Penggunaan Obat yang tidak rasional :
Dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional sangat beragam dan bervariasi
tergantung dari jenis ketidakrasionalan penggunaannya. Dampak negatif ini dapat saja
hanya dialami oleh pasien (efek samping dan biaya yang mahal) maupun oleh populasi
yang lebih luas seperti resistensi kuman terhadap antibiotik tertentu, dan mutu pelayanan
pengobatan secara umum.
a. Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan.
Salah satu dampak penggunaan obat yang tidak rasional adalah peningkatan
angka morbiditas dan mortalitas penyakit. Contohnya pada penderita diare akut
non spesifik umumnya sering mendapat antibiotik dan obat injeksi, sementara
pemberian oralit yang lebih dianjurkan, umumnya kurang dilakukan. Padahal
diketahui bahwa resiko terjadinya dehidrasi pada anak yang diare dapat
membahayakan keselamatan jiwa anak yang bersangkutan. Hal yang sama juga
terjadi pada penderita ISPA non pneumonia pada anak yang umumnya
mendapatkan antibiotik yang sebenarnya tidak diperlukan. Sementara itu pada
anak yang jelas menderita pneumonia akhirnya justru tidak mendapatkan terapi
yang adekuat, karena antibiotik yang ada telah habis digunakan untuk mereka
yang tidak memerlukannya. Dengan demikian tidaklah mengherankan apabila
hingga saat ini angka kematian bayi dan balita akibat ISPA dan diare masih cukup
tinggi di Indonesia.
b. Dampak terhadap biaya pengobatan.
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas, atau pemberian obat untuk keadaan
yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat, jelas merupakan pemborosan dan
sangat membebankan pasien. Di sini termasuk pula peresepan obat yang mahal
padahal alternatif obat yang lain dengan manfaat dan keamanan sama dan harga
lebih murah tersedia. Contohnya ketidakrasionalan seperti ini adalah pemberian
antibiotik pada ISFA non pneumonia. Dari studi yang dilakukan oleh PPSDK-F
(Proyek Pengkajian Sumber Daya Kesehatan- Komponen Farmasi) di 2 provinsi
di Indonesia tahun 1992-1994 dijumpai bahwa lebih dari separuh biaya obat yang
dikonsumsi pasien puskesmas adalah untuk antibiotik. Tingginya konsumsi
antibiotik (terutama untuk kasus-kasus ISPA non Pneumonia) tentui saja
mempengaruhi anggaran obat yang tersedia.
Peresepan antibiotik bukannya keliru, tetapi sebaiknya memproritaskan
pemberiannya untuk penyakit-penyakit yang benar-benar memerlukannya (yang
jelas terbukti sebagai infeksi bakteri) akan sangat berarti dalam menurunkan
morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi. Oleh karena itu jika pemberiannya
selektif, maka pemborosan anggaran dapat dicegah dan dapat direalokasikan
untuk penyakit atau intervensi lain yang lebih prioritas. Dengan demikian mutu
pelayanan kesehatan dapat lebih dijamin.
Disamping itu pnggunaan obat rasional akan berdampak pada
pengurangan anggaran terhadap obat di sarana pelayanan kesehatan dasar.
Seandainya praktek penggunaan penggunaan obat rasional dilaksanakan secara
sistematis dan konsisten diperkirakan anggaran untuk pembelian obat disarana
kesehatan dasar bisa dikurangi sampai 30 %.
c. Dampak terhadap kemungkinan efek samping dan efek lain yang tidak
diharapkan.
Dampak lain dari ketidakrasionalan penggunaan obat adalah meningkatnya resiko
terjadinya efek samping dan efek lain yang tidak diharapkan, baik untuk pasien
maupun untuk masyarakat.
Bebersapa data berikut mewakili dampak negatif yang terjadi akibat penggunaan
obat yang tidak rasional :
Kebiasaan memberikan obat dalam bentuk injeksi akan meningkatkan
resiko terjadinya syok anafilaksis.
Resiko terjadinya efek samping onbat meningkat secara konsisten dengan
makin banyaknya jenis obat yang diberikan kepada pasien. Keadaan ini
semakin nyata pada usia lanjut. Pada kelompok umur ini kejadian efek
samping dialami oleh 1 (satu) diantara 6 penderita usia lanjut yang dirawat
di rumah sakit.
Terjadinya resistensi kuman terhadap antibiotik merupakan salah satu
akibat dari pemakaian antibiotik yang berlebihan (over prescribing),
maupun pemberian yang bukan indikasi (misalnya infeksi yang
disebabkan oleh virus).
d. Dampak terhadap mutu keterediaan obat.
Dari studi data yang dilakukanoleh Bagian Farmakologi FK UGM bekerjasama
dengan Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan Depkes RI pada tahun 1997-
1998ditemukan bahwa leboih dari 80% pasien dengan keluhan demam,batuk dan
pilek mendapatkan antibiotik untuk rata-rata 3 hari pemberian,.Dari praktek
pengobatan tersebut tidaklah mengherankan bahwa yang sering dikeluhkan di
puskesmas adalah tidak cukupnya ketersediaan antibiotik. Akibatnya jika suatu saat
ditemukan pasien yang benar-benar menderita infeksi bakter, antibiotik yang
dibutuhkan sudah tidak tersedia lagi. Yang terjadi selanjutnya adalah pasien terpaksa
diberikan antibiotik lain yang bukan obat pilihan utama (drug of choice) dari infeksi
tersebut.
Disini terdapat 2 masalah utama.
Pertama, seolah-olah mutu ketersediaan obat sangat jauh dari memadai. Padahal
yang terjadi adalah antibiotik telah terbagi rata ke semua pasien yang sebenarnya tidak
memerlukan.
Kedua, dengan mengganti jenis antibiotikmaka akan berdampak pada tidak sembuhnya
pasien (karena antibiotik yang diberikan mungkin tidak memiliki spektrum antibakteri
untuk penyakit tersebut, misalnya pneumonia diberi metronidazol) Atau penyakit
menjadi lebih parah dan pasien kemudian meninggal.
Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari-hari.
Peresepan obat tanpa indikasi yang jelas, penentuan dosis, cara dan lama pemberian
yang keliru, serta peresepan obat yang mahal merupakan sebagian contoh dari
ketidakrasionalan peresepan. Hal ini jelas yang paling dirugikan adalah masyarakat
luas sebagai pasien.
Untuk mencapai masyarakat Indonesia yang sehat Penggunaan Obat Rasional
hendaknya menjadi pradigma baru yang perlu dihayati oleh insan kesehatan seperti
dokter, apoteker, perawat, bidan dan sebagainya sehingga upaya mensejahteraan
masyarakat yang berdampak pada penibgkatan SDM akan lebih optimal