Penggunaan Midazolam Sebagai Adjuvan Pada Anestesi Spinal
-
Upload
preston-mitchell -
Category
Documents
-
view
108 -
download
1
description
Transcript of Penggunaan Midazolam Sebagai Adjuvan Pada Anestesi Spinal
PENDAHULUAN
Anestesi regional secara intratekal merupakan suatu alternatif yang dapat diberikan
untuk analgesia selama tindakan operasi dan periode awal pasca operasi. Anestesi spinal telah
digunakan secara luas dan aman selama kurang lebih 100 tahun, terutama untuk operasi-
operasi pada daerah abdomen bawah, perineum dan ekstremitas bawah(1).
Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subaraknoid) ialah pemberian obat
anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal menimbulkan hambatan
sementara transmisi saraf ruang subaraknoid sebagai hasil penyuntikan obat anestesi lokal ke
dalam cairan serebrospinal. Anestesi spinal dilakukan dengan cara menyuntikkan anestetik
lokal ke dalam ruang subaraknoid tepatnya antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5(2,3).
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mendapatkan efek anestesi spinal yang
optimal, terutama obat anestesi lokal dengan masa kerja panjang dan efek samping minimal,
di antaranya bupivakain. Konsentrasi bupivakain 0,5% hiperbarik adalah obat anestesi lokal
yang paling banyak digunakan untuk anestesi spinal. Berbagai usaha dilakukan untuk
meningkatkan kualitas dan memperpanjang durasi anestesi spinal. Salah satunya dengan
menambahkan obat-obat adjuvan intratekal seperti opioid, ketamin, klonidin, neostigmin dan
midazolam untuk memperpanjang efek analgetik paca operatif. Penggunaan opioid dapat
mengurangi toksisitas dan efek kardiovaskuler dari anestesi lokal, tetapi penggunaannya
dibatasi karena dapat menimbulkan efek samping seperti pruritus, mual, muntah, retensio
urin, gangguan hemodinamik, nistagmus dan depresi pernapasan(4). Sejak awal tahun 1980-
an, telah dilaporkan oleh beberapa peneliti bahwa penggunaan midazolam spinal mempunyai
kerja antinosisepsi dan sebagai obat analgetik yang efektif pada binatang coba dan manusia(1).
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anestesi Regional
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh sementara dengan
hambat impuls saraf sensorik, fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian/seluruhnya(3).
Klasifikasi anestesi regional adalah :
1. Infiltrasi lokal : injeksi obat anestesi lokal langsung ke tempat lesi
2. Neroaxial Block : Spinal dan Epidural
3. Field Block : membentuk dinding analgesia di sekitar lapangan operasi
4. Surface analgesia : obat dioleskan atau disemprotkan (EMLA, Chlorethyl)
5. Intravenous regional anesthesia : injeksi obat anestesi lokal intravena ke ekstrimitas
atas/bawah lalu dilakukan isolasi bagian tersebut dengan tourniquet (BIER BLOCK) (2,3)
Indikasi anestesi spinal adalah :
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Bedah obstetrik-ginekologi
4. Bedah urologi
5. Bedah abdomen bawah (2,3)
Kontraindikasi anestesi spinal adalah :
1. Alergi terhadap obat anestesi
2. Infeksi sistemik
3. Infeksi pada tempat suntikan
4. Hipovolemik berat, syok
5. Tekanan intrakranial meningkat(2,3)
Anestesi spinal memberikan banyak keuntungan, di antaranya onset yang sangat cepat
dan blok neural yang besar, penggunaan obat yang sedikit serta tingkat kegagalan yang
rendah. Sedangkan kerugiannya adalah durasi anestesi yang cepat dan insidensi hipotensi
yang tinggi. Efek samping atau komplikasi dari tindakan anestesi spinal dapat terjadi
hipotensi berat, bradikardi, hipoventilasi, trauma pembuluh darah, trauma saraf, mual-
muntah, gangguan pendengaran dan blok spinal total. Komplikasi pasca tindakan berupa
nyeri pada bekas suntikan, nyeri punggung, nyeri kepala karena kebocoran liquor, retensio
urin, meningitis(2,3,5).
B. Obat Anestesi Spinal
Berat jenis liquor cerebrospinal (LCS) pada suhu 370C ialah 1,003-1,008. Anestetik lokal
dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobarik. Anestetik lokal dengan berat jenis
lebih besar dari LCS disebut hiperbarik. Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari
LCS disebut hipobarik(2,3).
Obat-obat anestesi lokal yang digunakan pada pembedahan harus memenuhi syarat-
syarat yaitu blokade sensorik dan motorik yang adekuat, mula kerja yang cepat, tidak
neurotoksik dan pemulihan blokade motorik yang cepat pasca-operasi sehingga dapat
dilakukan mobilisasi yang lebih cepat dan resiko toksisitas sistemik yang rendah. Selain itu,
larutan yang diinjeksikan ke dalam ruang subaraknoid harus selalu bebas pengawet
(preservative-free) dan diambil dari vial dosis tunggal, bukan dari tempat multidosis(5).
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mendapatkan efek anestesi spinal yang
optimal, terutama obat anestesi lokal dengan masa kerja panjang dan efek samping minimal,
di antaranya bupivakain. Konsentrasi bupivakain 0,5% hiperbarik adalah obat anestesi lokal
yang paling banyak digunakan untuk anestesi spinal. Obat yang bersifat hiperbarik paling
bermanfaat karena memiliki onset cepat dan dapat diprediksi serta biasanya menimbulkan
blok penuh(1,6). Bupivakain merupakan obat anestesi lokal golongan amida dengan masa kerja
yang panjang. Efek analgesia bupivakain dua sampai tiga kali lebih panjang dibanding
lidokain dan mepivakain. Berapapun konsentrasi bupivakain yang digunakan, total massa
(mg) bupivakain yang digunakan yang menentukan batas dosis, yaitu 2-3mg/kgBB.
Berdasarkan penelitian oleh Rahibu, disimpulkan bahwa lama kerja blokade sensorik dan
derajat sedasi pada kelompok bupivacain 15 mg + midazolam 1 mg dan kelompok
bupivakain 15 mg + midazolam 2 mg tidak terdapat perbedaan yang bermakna(7). Walaupun
bupivakain diserap dengan baik dari tempat injeksinya, ikatan bupivakain yang kuat dengan
jaringan menyebabkan tidak segera tercapainya kadar puncak dalam darah dan durasi kerja
yang panjang. Durasi kerja pada ruang epidural kira-kira 2-3 jam (1). Bupivakain dapat
menyebabkan toksisitas sistemik karena kecelakaan penyuntikan intravena anestetika lokal.
Manifestasi yang pertama kali muncul adalah toksisitas terhadap sistem saraf pusat seperti
kejang tonik klonik. Sedangkan kejadian kardiotoksisitas membutuhkan konsentrasi yang
lebih tinggi di dalam plasma, yaitu 4-7 kali dosis yang dapat menyebabkan kejang tonik
klonik(6).
C. Efek Penambahan Midazolam sebagai adjuvan pada anestesi spinal
Kerja golongan benzodiazepine dipengaruhi oleh kerja gamma-aminobutiric acid
(GABA), inhibitor utama pada transmitter SSP. Benzodiazepine meningkatkan efek inhibisi
GABA dengan mengikat sisi khusus pada reseptor GABAa. Hasilnya afinitas reseptor GABA
meningkat untuk inhibisi neurotransmitter. Reseptor ini merupakan ionofor klorida yang pada
saat teraktivasi akan menstabilkan potensial transmembran mendekati potensial istirahat.
Pada neuron, hal ini secara khusus mengakibatkan membran post sinaps menjadi lebih
resisten terhadap eksitasi. Resistensi terhadap eksitasi ini menerangkan mekanisme terjadinya
penurunan derajat kecemasan, sedasi, anti konvulsi, serta efek relaksasi otot. Reseptor
GABAa paling banyak terdapat pada post-sinaps nerve ending pada SSP. Distribusi ini sesuai
dengan kenyataan dimana efek di luar SSP adalah minimal dalam hal depresi sistem
sirkulasi(7). Reseptor GABAa juga banyak tersebar di kornu dorsalis medulla spinalis, dengan
konsentrasi maksimum ditemukan pada lamina II kornu dorsalis, sebuah daerah yang
berperan dalam memproses sinyal nosiseptif dan termoseptif. Pemberian benzodiazepine
eksogen secara intratekal ke dalam CSF sekitar medulla spinalis mencapai reseptor GABA
dalam konsentrasi tinggi dan dapat meningkatkan efek pada aktivitas lokal GABA sehingga
benzodiazepine dapat memperoleh akses ke sistem analgetik dengan dimediasi oleh GABA(8).
Meskipun penggunaan midazolam sudah sejak lama, namun potensi neurotoksik
masih menjadi perhatian(9). Namun, dari studi yang dilakukan oleh Johansen et al. pada
domba dan babi yang diberikan midazolam intratekal secara terus menerus tidak ditemukan
adanya kerusakan neurotoksik(10). Selain itu, penelitian oleh Tucker et al, yang dilakukan
dengan pembagian kuesioner follow-up 1 bulan setelah pasien mendapatkan midazolam
intratekal tidak menunjukkan bukti adanya komplikasi neurologis ataupun urologis(11).
Sebuah meta-analisis dari midazolam intratekal pada pasien perioperatif dan
peripartum menunjukkan penambahan midazolam intratekal pada obat-obatan anestesi spinal
lainnya mengurangi insidensi mual-muntah dan memperlambat waktu pemberian analgetik
pasca operasi, tetapi efeknya berkurang setelah lebih dari 12 jam. Insidensi gejala neurologis
setelah pemberian midazolam intratekal, termasuk jarang (1,8%) dan tidak berbeda dengan
plasebo(12).
Studi lain melaporkan bahwa penggunaan midazolam subaraknoid sendiri untuk
mengatasi nyeri persalinan tidak akan memiliki efek apa-apa, namun justru akan
meningkatkan efek analgetik dari fentanil intratekal yang diberikan secara bersamaan(13).
Dengan mengkombinasikan midazolam intratekal (2mg) dengan bupivakain untuk operasi
sectio caesar terbukti secara signifikan mampu memperpanjang blok anestesi dan mengurangi
mual tanpa efek samping kardiovaskuler atau neurologis(14).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Shadangi, et al. dengan membandingkan
antara bupivacain 0,5% intratekal dengan dan tanpa midazolam (2 mg) disimpulkan bahwa
penambahan midazolam pada bupivakain dalam anestesi spinal dapat memperpanjang efek
analgetik post-operatif (121,3 menit pada kelompok kontrol dibandingkan 221,1, menit pada
kelompok midazolam) tanpa peningkatan durasi blok motoris(15). Hasil tersebut didukung oleh
penelitian lain yang dilakukan Nanjegowda et al, dengan desain yang sama pada pasien yang
menjalani artroskopi lutut menunjukkan durasi total analgesia lebih panjang (399 menit
berbanding 301,60 menit) serta skor nyeri yang lebih rendah pada kelompok dengan
penambahan midazolam, tanpa disertai adanya efek samping yang muncul (4). Penelitian lain
sejenis juga mendapatkan hasil yang sama, yaitu dengan penambahan midazolam 1 mg atau 2
mg intratekal pada pasien yang menjalani hemoroidektomi, dapat memperpanjang efek
analgetik pasca operasi dari bupivakain selama sekitar 2 hingga 4,5 jam. Sebagai tambahan,
pada penelitian tersebut pasien yang diobati dengan midazolam menggunakan analgetik yang
lebih sedikit dalam 24 jam setelah operasi(16). Penelitian yang dilakukan Agrawal, et al.
menunjukkan bahwa penambahan midazolam pada bupivacain intratekal memperpanjang
lama kerja/durasi analgesia pasca operasi secara signifikan. Waktu untuk mendapatkan obat
analgesic pasca operasi pertama kali lebih dari 17 jam pada kelompok yang mendapat
bupivacain dan midazolam, dibandingkan hanya 4 jam pada grup bupivacain(17).
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang penambahan midazolam
sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat memperpanjang efek analgetik pasca operasi
tanpa disertai efek samping sehingga midazolam dapat digunakan sebagai adjuvant pada
anestesi spinal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Naiborhu F. 2009. Perbandingan penambahan midazolam 1mg dan midazolam 2 mg
pada bupivakain 15 mg hiperbarik terhadap lama kerja blokade sensorik anestesi spinal.
Tesis. Departemen Anestesiologi dan Reaminasi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
2. Latief Said A dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta.
3. Muhiman dkk. 1998 Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Indonesia. Jakarta
4. Nanjegowda N, et al. The effects of intrathecal midazolam on the duration of analgesia in
patients undergoing knee arthroscopy. South Afr J Anaesth Analg 2011;17(3):255-259.
5. Kleinman W, Mikhail M. Spinal, caudal and caudal blocks. In : Morgan GE, Mikhail
MS, eds. Clinical Anesthesiology. 4th ed, New York: McGraw-Hill Co; 2004, p.289-323.
6. Bernards CM. Epidural and spinal anesthesia. In : Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK,
eds. Clinical Anesthesia 5th ed, Philadelphia: Lippincott-Williams & Wilkins; 2006, p.
691-717.
7. Susana, Eva PD. 2009. Hubungan kadar midazolam plasma ibu dan bayi dengan kondisi
fisik serta waktu persalinan pada pasien sectio Caesar yang mendapat premedikasi
midazolam intravena. Tesis. Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Biomedik dan
program pendidikan dokter spesialis Anestesiologi Universitas Diponegoro, Semarang.
8. Sanad, H, Tarek Abdelsalam, Mohamad Hamada, et al. 2010. Effects of adding
magnesium sulphate, midazolam, or ketamine to hyperbaric bupivacaine for spinal
anesthesia in lower abdominal and lower extremity surgery. Ain shams journal of
anesthesiology Vol 3-1; Jan 2010.
9. Yaksh TL & Allen JW (2004) Preclinical insights into the implementation of intrathecal
midazolam: a cautionary tale. Anesth Analg 98(6): 1509–11.
10. Johansen MJ, Gradert TL, Satterfield WC et al (2004) Safety of continuous intrathecal
midazolam infusion in the sheep model. Anesth Analg 98(6): 1528–35.
11. Tucker AP, Lai C, Nadeson R et al (2004) Intrathecal midazolam I: a cohort study
investigating safety. Anesth Analg 98(6): 1512–20.
12. Ho KM, Ismail H, Lee KC et al (2005) Use of intrathecal neostigmine as an adjunct to
other spinal medications in perioperative and peripartum analgesia: a meta-analysis.
Anaesth Intensive Care 33(1): 41–53.
13. Tucker AP, Mezzatesta J, Nadeson R et al (2004) Intrathecal midazolam II: combination
with intrathecal fentanyl for labor pain. Anesth Analg 98(6): 1521–7.
14. Prakash S, Joshi N, Gogia AR et al (2006) Analgesic efficacy of two doses of intrathecal
midazolam with bupivacaine in patients undergoing cesarean delivery. Reg Anesth Pain
Med 31(3): 221–6.
15. Shadangi,BK, Garg R, Pandey R, et al. 2011. Effects of intrathecal midazolam in spinal
anesthesia : a prospective randomized case control study. Singapore Med J 2011; 52(6):
432-435
16. Kim, MH, Lee Y.M. 2001. Intrathecal midazolam increases the analgesic effects of
spinal blockade with bupivacaine in patients undergoing hemorrhoidectomy. B J Anesth
86 (1): 77-9.
17. Agrawal N, Usmani A, Sehgal R, et al. Effect of intrathecal midazolam bupivacaine
combination on post operative analgesia. Indian J. Anesth. 2005; 49 (1): 37-39.