21 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Cedera kepala Cedera kepala ...
Penggunaan Manitol Pada Cedera Kepala
description
Transcript of Penggunaan Manitol Pada Cedera Kepala
I. Pendahuluan
Data dari Health Interview Survey menunjukkan bahwa sekitar
seperlima trauma kepada masuk kategori moderate sampai parah. Hanya
15% dari total trauma kepala di populasi yang dirawat di Rumah Sakit, dan
hanya 9,6% dari yang masuk rumah sakit mempunyai GCS antara 3-11.
Angka kematian trauma kepala di Amerika Serikat berkisar antara 14-
30 per 100.000 penduduk. Angka kematian dari pasien yang masuk rumah
sakit berkisar sangat lebar antara 4 – 25%. Lebih dari 60% kematian terjadi
sebelum pasien masuk rumah sakit.
Sekitar 40% pasien yang datang yang tidak sadar setelah cedera
kepala mempunyai TIK yang meninggi (Miller, 1977). Pada 50% dari yang
mati, peninggian TIK adalah penyebab utama. Makin tinggi TIK, makin besar
mortalitas. Pada beberapa pasien peninggian TIK mungkin secara sederhana
menggambarkan beratnya cedera otak primer. Dilain pihak cedera otak
primer mempunyai potensi untuk pulih dan pada kelompok ini tindakan aktif
merupakan penyelamat hidup. Hingga saat ini belum ada metoda yang
tersedia yang membedakan kedua kelompok pada awalnya.
Peninggian tekanan intrakranial (TIK/ICP, Intracranial Pressure)
merupakan bencana sejak masa awal bedah saraf, dan tetap merupakan
penyebab kematian paling sering pada penderita bedah saraf. Ini terjadi pada
penderita cedera kepala, stroke hemoragik dan trombotik, serta lesi desak
ruang seperti tumor otak. Massa intrakranial bersama pembengkakan otak
meninggikan TIK dan mendistorsikan otak. Cara untuk mengurangi TIK
dengan cairan hipertonik yang mendehidrasi otak, menjadi bagian penting
pada tindakan bedah saraf. Beberapa proses patologi yang mengenai otak
dapat menimbulkan peninggian tekanan intrakranial. Sebaliknya hipertensi
intrakranial mempunyai konsekuensi yang buruk terhadap outcome pasien.
Jadi peninggian TIK tidak hanya menunjukkan adanya masalah, namun
sering bertanggung jawab terhadapnya.
Walau hubungan antara pembengkakan otak dengan hipertensi
intrakranial dan tanda tanda neurologi yang umum terjadi pada herniasi
tentorial, hingga saat ini sedikit informasi langsung tentang kejadian, derajat
1
dan tanda klinik yang jelas dari peninggian TIK. Sebabnya adalah bahwa
tekanan jarang yang langsung diukur intrakranial. Untuk itu, pengukuran
dilakukan pada rongga subarakhnoid lumbar dan hanya kadang-kadang
dicatat serta pada waktu yang singkat pula. Pungsi lumbar tidak hanya
memacu herniasi tentorial atau tonsilar, namun juga tekanan yang terbaca
lebih rendah dari yang sebenarnya.
II. Anatomi, Fisiologi, dan Patofisiologi
Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen : otak,
cairan serebrospinal dan darah. Kranium hanya mempunyai sebuah lubang
keluar utama yaitu foramen magnum. Ia juga memiliki tentorium kaku yang
memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Otak tengah terletak pada
hiatus dari tentorium.
Cairan serebrospinal atau cerebrospinal fluid atau liquor
cerebrospinalis adalah merupakan cairan jernih yang diproduksi di dalam
ventrikel otak. Cairan ini mengisi ruangan subarachnoid di dalam otak (ruang
antara skull dan kortek cerebral) atau secara lebih spesifik adalah mengisi
ruangan antara arachnoid dan lapisan pia meninges. CSS adalah cairan
bersifat basa dan berperan sebagai cushion atau buffer kortek termasuk otak
dan spinal cord dan untuk merendami sistem syaraf pusat (central nervous
system / CNS) di dalam milieu cair yang dinamis
Total volume CSS pada manusia adalah sekitar 140 ml, 23 ml dari total
volume CSS tersebut mengisi sistem ventrikel dan sisanya terdistribusi di
antara ruang subarachnoid yang melingkupi otak dan spinal cord dan ruang
interstitial yang melingkupi elemen-elemen CNS. Permukaan ventrikel atau
ependymal, bersifat permiabel terhadap CSS maupun molekul-molekul
berukuran besar lainnya. Sebaliknya, kompartemen vaskular otak terpisahkan
dari ruang CSS oleh endotel kapiler khusus, dan dapat berperan untuk
mencegah mengalirnya molekul yang berdiameter lebih besar dari 20
angstrom. Lapisan ependyma adalah pembentuk anatomi dasar dari blood-
brain barrier.
Rate produksi CSS pada manusia adalah sekitar 0,3-0,4 ml/menit.
Sehingga volume CSS diperbaharui setiap 5-7 jam. Sekitar 70 % CSS
diproduksi oleh pleksus koroid, dan sisanya terbentuk sebagai hasil dari
2
aktivitas metabolik otak dan spinal chord parenchyma. Produksi CSS oleh
pleksus koroid berawal sebagai darah kemudian disaring melalui
fenestrations kapiler koroid. Ultrafiltrat yang dihasilkan kaya dengan protein
masuk menuju stroma pleksus koroid dan berpindah menuju clefts sel-sel
epitil koroid. Pada tahap ini terjadi bermacam-macam tahapan proses,
natrium dipisahkan menuju ventrikel digantikan oleh kalium melalui pompa
sodium-potassium-adenosine triphospahte (Na+-K+-ATPase), yang diatur
oleh sel epitel. Ion-ion klorida dan bikarbonat berpindah secara pasif menuju
CSS sebagai akibat adanya aktivitas anhidrase karbonat pada sel epitil.
Protein selanjutnya menuju sistem ventrikel melalui dua mekanisme yang
memungkikan; pinocytosis dan melalui pori-pori yang kecil. Pemisahan air
dari epitie koroid menuju ventrikel terjadi akibat perbedaan tekanan osmotik
pada sekresi natrium, pemisahan ini lebih dikenal sebagai migrasi pasif. Di
samping itu juga dikenal adanya produksi CSS ekstra koroid (Extrachoroidal),
sekitar 30 % CSS terjadi pada CNS parenchyma.
Setelah dibentuk oleh pleksus khoroid, cairan bersirkulasi pada sistem
ventrikuler, dari ventrikel lateral melalui foramen Monro (foramen
interventrikuler) ke ventrikel tiga, akuaduktus dan ventrikel keempat. Dari sini
keluar melalui foramina diatap ventrikel keempat ke sisterna magna. Sirkulasi
Subarakhnoid Sebagian cairan menuju rongga subarakhnoid spinal, namun
kebanyakan melalui pintu tentorial (pada sisterna ambien) sekeliling otak
tengah untuk mencapai rongga subarakhnoid diatas konveksitas hemisfer
serebral.
Cairan selanjutnya diabsorpsi ke sistem vena melalui villi arakhnoid.
Villa arakhnoid adalah evaginasi penting rongga subarakhnoid kesinus
venosus dural dan vena epidural; mereka berbentuk tubuli mikro, jadi tidak
ada membran yang terletak antara CSS dan darah vena pada villi. Villi
merupakan katup yang sensitif tekanan hingga aliran padanya adalah satu
arah. Bila tekanan CSS melebihi tekanan vena, katup terbuka, sedang bila
lebih rendah dari tekanan vena maka katup akan menutup sehingga
mencegah berbaliknya darah dari sinus kerongga subarakhnoid. Secara
keseluruhan, kebanyakan CSS dibentuk di ventrikel lateral dan ventrikel
keempat dan kebanyakan diabsorpsi di sinus sagittal. Dalam keadaan normal,
3
terdapat keseimbangan antara pembentukan dan absorpsi CSS. Derajat
absorpsi adalah tergantung tekanan dan bertambah bila tekanan CSS
meningkat. Sebagai tambahan, tahanan terhadap aliran tampaknya
berkurang pada tekanan CSS yang lebih tinggi dibanding tekanan normal. Ini
membantu untuk mengkompensasi peninggian TIK dengan meningkatkan
aliran dan absorpsi CSS. Hampir dapat dipastikan bahwa jalur absorptif
adalah bagian dari villi arakhnoid, seperti juga lapisan ependima ventrikel dan
selaput saraf spinal; dan kepentingan relatifnya mungkin bervariasi
tergantung pada TIK dan patensi dari jalur CSS secara keseluruhan. Sebagai
tambahan atas jalur utama aliran CSS, terdapat aliran CSS melalui otak, mirip
dengan cara cairan limfe. Cara ini kompleks dan mungkin berperan dalam
pergerakan dan pembuangan cairan edem serebral pada keadaan patologis.
CSS mempunyai banyak peran mencakup perlindungan mekanik otak,
distribusi faktor-faktor neuroendokrin dan memfasilitasi aliran darah pada
otak. Aliran CSS mengikuti ekspansi dan kontraksi arteri yang menyerupai
pergerakan airmancur yang dapat mencegah perubahan aliran darah
intrakranial. Bila terjadi gangguan aliran CSS, maka tidak hanya berpengaruh
pada aliran CSS itu sendiri, tetapi juga berpengaruh pada aliran darah
intrakranial yang sudah pasti akan berpengaruh pada gangguan fungsi
neuron dan glial. Dalam kesetimbangan ini juga sangat dipengaruhi oleh
sistem vena.
Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak
(ADO) stabil bila tekanan darah rata-rata 50-160 mmHg (untuk pasien
normotensif, dan bergeser kekanan pada pasien hipertensif dan sebaliknya).
Dibawah 50 mmHg ADO berkurang bertahap, dan diatas 160 mmHg terjadi
dilatasi pasif pembuluh otak dengan akibat peninggian tekanan intrakranial.
Tekanan Garis Dasar (Baseline Pressure) Batas atas normal TIK untuk
sementara bertambah setiap saat pasien batuk atau menggeliat, dan setiap
peningkatan dapat mencapai tingkat yang ekstrem (100 mmHg). Ini menjadi
penting hanya bila peninggian bertahan semenit atau lebih. Lundberg
menganjurkan bahwa tingkat rata-rata diatas 20 mmHg harus diingat sebagai
peninggian sedang dan tingkat diatas 40 mmHg sebagai peninggian berat.
4
Tingkat normal 0-10 mmHg
TIK abnormal diatas 15 mmHg
Peninggian sedang 21-40 mmHg
Peninggian berat diatas 40 mmHg
Peninggian menetap TIK garis dasar adalah penting, namun makna
klinik tergantung pada keadaan patologi yang mendasarinya. Pasien dengan
lesi intrakranial yang meluas, peninggian TIK sedang dalam daerah 15-20
mmHg mungkin dapat ditolerasi dengan baik namun peninggian diatas 40
mmHg biasanya berhubungan dengan penurunan aktifitas listrik serebral dan
tanda klinik dari iskemia serebral.
Pengukuran TIK yang sinambung menjadi prosedur klinik standar sejak
dipelopori Guillaume dan Janny (1951) dan Lundberg (1960). Gunanya untuk:
1. sebagai penuntun terapeutik dalam pengobatan peninggian TIK pada
cedera kepala atau,
2. sebagai tes diagnostik pada kelainan sirkulasi CSS.
Karena sutura tengkorak telah mengalami fusi, volume intra kranial
total tetap konstan. Isi intrakranial utama adalah otak, darah dan CSS yang
masing-masing tak dapat diperas. Karenanya bila volume salah satu
bertambah akan menyebabkan peninggian TIK kecuali terjadi reduksi yang
bersamaan dan ekual volume lainnya. TIK normal pada keadaan istirahat
adalah 10 mmHg (136 mmH2O). Sebagai pegangan , tekanan diatas 20
mmHg adalah abnormal, dan diatas 40 mmHg dikategorikan sebagai
peninggian yang parah. Semakin tinggi TIK pada cedera kepala, semakin
buruk outcomenya. Bila timbul massa yang baru didalam kranium seperti
tumor, abses atau bekuan darah, pertama-tama ia akan menggeser isi
intrakranial normal.
5
Otoregulasi dapat terganggu pada cedera otak dengan akibat ADO
tergantung secara linear terhadap tekanan darah. Oleh karena hal-hal
tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau hipertensi (perhatikan
tekanan darah pasien sebelum cedera). Volume total intrakranial harus tetap
konstan ( Doktrin Monro-Kellie : K = V otak + V css + V darah + V massa ).
Kompensasi atas terbentuknya lessi intrakranial adalah digesernya css dan
darah vena hingga batas kompensasi, untuk selanjutnya tekanan intrakranial
akan naik secara tajam. Pada lesi yang membesar cepat seperti hematoma,
perjalanan klinik dapat diprediksi. Bila fase kompensasi terlewati, tekanan
intrakranial meningkat.
CSS dapat dipaksa dari rongga ventrikel dan subarakhnoid kerongga
subarakhnoid spinal melalui foramen magnum. Rongga subarakhnoid spinal
bersifat distensibel dan mudah menerima CSS ekstra. Namun kemampuan ini
terbatas oleh volume CSS yang telah ada dan oleh kecenderungan jalur CSS
untuk mengalami obstruksi. Sekali hal ini terjadi, produksi CSS diatas
bendungan yang tetap berlangsung akan menambah peninggian TIK. Jalur
subarakhnoid mungkin terbendung di tentorium atau foramen magnum. Jalur
CSS intraventrikular mungkin terbendung pada ventrikel tiga atau akuaduktus
yang akan menyebabkan temuan yang khas pada sken CT dimana ventrikel
lateral kolaps pada sisi massa, sedangkan ventrikel lateral disisi berlawanan
akan tampak distensi. Pada banyak keadaan klinis, perubahan volume sangat
kompleks. Ini terutama pada cedera kepala dimana mungkin terdapat bekuan
darah, edema otak serta gangguan absorpsi CSS akibat perdarahan
subarakhnoid atau perdarahan intraventrikuler.
Pasien nyeri kepala yang memburuk oleh hal yang meninggikan TIK
seperti batuk, membungkuk dan terlentang, kemudian mulai mengantuk.
Kompresi atau pergeseran batang otak berakibat peninggian tekanan darah,
sedang denyut nadi dan respirasi menjadi lambat. Pupil sisi massa
berdilatasi, bisa dengan hemiparesisi sisikontralateral massa. Selanjutnya
pasien jadi tidak responsif, pupil tidak bereaksi dan berdilatasi, serta refleks
batang otak hilang. Akhirnya fungsi batang otak berhenti, tekanan darah
merosot, nadi lambat, respirasi lambat dan tidak teratur untuk akhirnya
berhenti. Penyebab akhir kegagalan otak adalah iskemia. Peninggian TIK
6
mempengaruhi ADO akibat kompresi arterial, regangan atau robekan arteria
dan vena batang otak serta gangguan perfusi. ADO konstan 50 ml/100
gr/menit pada otoregulasi normal. Jadi ADO dipengaruhi oleh tekanan darah
arterial, tekanan intrakranial, otoregulasi, stimulasi metabolik serta distorsi
atau kompresi pembuluh darah oleh massa atau herniasi.
Pada kenyataannya, banyak dari akibat klinis dari peninggian TIK adalah
akibat pergeseran otak dibanding tingkat TIK sendiri.
Transtentorial
Lateral
Massa yang terletak lebih kelateral menyebabkan pergeseran bagian medial
lobus temporal (unkus) melalui hiatus tentorial serta akan menekan batang
otak secara transversal. Saraf ketiga terkompresi menyebabkan dilatasi pupil
ipsilateral. Penekanan pedunkel serebral menyebabkan hemiparesis
kontralateral. Pergeseran selanjutnya menekan pedunkel serebral yang
berseberangan terhadap tepi tentorial menyebabkan hemiparesis ipsilateral
hingga terjadi kuadriparesis. Sebagai tambahan, pergeseran pedunkel yang
berseberangan pada tepi tentorial sebagai efek yang pertama akan
menyebabkan hemiparesis ipsilateral. Indentasi pedunkel serebral
ini disebut ‘Kernohan’s notch’. Arteria serebral posterior mungkin tertekan
pada tepi tentorial, menyebabkan infark lobus oksipital dengan akibat
hemianopia.
Sentral
Bila ekspansi terletak lebih disentral seperti tumor bifrontal, masing-masing
lobus temporal mungkin menekan batang otak. Kompresi tektum berakibat
paresis upward gaze dan ptosis bilateral.
Tonsilar
Mungkin merupakan tahap akhir kompresi otak supra-tentorial progresif, dan
menampakkan tahap akhir dari kegagalan batang otak. Kadang-kadang pada
tumor fossa posterior, herniasi tonsilar berdiri sendiri, menyebabkan tortikolis,
suatu refleks dalam usaha mengurangi tekanan pada medulla. Kesadaran
mungkin tidak terganggu, namun gangguan respirasi terjadi berat dan cepat.
7
Subfalsin
Pergeseran permukaan medial hemisfer (girus singulata) didekat falks
mungkin menekan arteria serebral anterior menimbulkan paralisis tungkai
kontralateral. Ini jarang ditemukan berdiri sendiri. Pergeseran kebawah terus
bertambah berat dan dipercepat oleh pungsi lumbar; CSS keluar melalui luka
pungsi dural dalam jumlah yang besar untuk beberapa hari, tidak peduli
berapa banyak atau berapa sedikit CSS diambil untuk analisis.
Edema otak yang terjadi oleh sebab apapun akan meninggikan TIK
yang berakibat gangguan ADO yang berakibat memperberat edema sehingga
merupakan lingkaran setan. TIK lebih dari 15 mm Hg harus ditindak. Triad
klasik nyeri kepala, edema papil dan muntah ditemukan pada duapertiga
pasien. Sisanya hanya dua gejala. Tidak satupun khas untuk peninggian TIK,
kecuali edema papil, namun memerlukan waktu yang lama untuk timbulnya.
Simtom lebih banyak tergantung penyebab dari pada tingkat tekanan. Tidak
ada korelasi konsisten antara tingkat tekanan dengan beratnya gejala.
Penurunan kesadaran adalah ciri cedera otak. Dua jenis cedera otak yaitu
cedera korteks bilateral serta cedera pada sistem pengaktif retikuler batang
otak disamping peninggian TIK dan penurunan ADO dapat menurunkan
tingkat kesadaran.
Edema otak didefinisikan sebagai peningkatan volume otak
diakibatkan bertambahnya kandung air jaringan. Istilah ‘pembengkakan otak’
juga umum, dimana volume bertambah mungkin pada air jaringan (edema
otak), atau pada volume intravaskular (pembengkakkan otak kongestif).
Istilah-istilah ini tak seluruhnya dapat dipertukarkan. Kandung air otak normal
adalah 80 % dari berat bersih pada substansi kelabu, dan 68 % berat bersih
substansi putih. Pada otak yang edema, nilainya adalah 77 % pada substansi
putih dan 82 % pada substansi kelabu. Jadi kebanyakan peningkatan jumlah
air adalah pada substansi putih, yang kini dapat dipastikan in vivo dengan CT
dan MRI. Ada beberapa jenis edema otak; vasogenik, sitotoksik, hidrostatik,
hipo-osmolar dan interstitial. Pada konteks bedah saraf, jenis terpenting
adalah edema vasogenik yang khas dengan penambahan permeabilitas sel
kapiler otak. Penambahan utama tekanan intravaskular intrakranial
8
dihantarkan pada bed kapiler yang tak terlindung, dan cairan merembes ke
rongga ekstraselular. Penjelasan lain pembentukan pembengkakan otak
adalah bendungan karena hilangnya autoregulasi dan ekspansi VDS.
Efek merusak edema otak digambarkan melalui tiga mekanisme yang saling
berhubungan. Pertama adalah peninggian TIK yang terjadi bila volume air
yang mengalami ekstravasasi melebihi batas kompensasi spasial. Akhirnya
terjadi pengurangan ADS, menyebabkan iskemia. Kedua, akumulasi air akan
menambah tahanan serebrovaskuler karena distorsi atau kompresi bed
vaskuler, dan ini akan mengurangi juga ADS regional. Akhirnya efek massa
daerah edema memperparah distorsi dan pergeseran otak. Karena iskemi
serebral sendiri menyebabkan edema otak, mudah untuk melihat bagaimana
siklus visius dapat timbul, dimana edema dan iskemi otak menjadi progresif.
Tingkat TIK dan Mortalitas pada Penderita Cedera Kepala Berat (Miller,
1983).
Kurang dari 20 mmHg 18%
Lebih dari 20 mmHg 45%
Lebih dari 40 mmHg 74%
Lebih dari 60 mmHg 100%
III. Patofisiologi Cedera Kepala
Cedera kepala merupakan proses yang dinamis dan memiliki variabel-
variabel yang saling berkaitan, tergantung pada cedera awal dan kerusakan
otak sekunder. Cedera otak dapat kita bedakan atas kerusakan primer dan
sekunder. Kerusakan primer yaitu kerusakan otak yang timbul pada saat
cedera, sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang mneyebabkan deformasi
jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal ataupun difus. Kerusakan fokal
yang timbul dapat berupa:
9
- kontusio serebri, diartikan sebagai kerusakan jaringan otak tanpa
disertai robeknya piamater.
- Laserasi, jika kerusakan tersebut disertai dengan robeknya piamater.
- Perdarahan intracranial, mencakup perdarahan ekstradural dan intra
dural.
Target dari penanganan trauma kepala adalah mencegah kerusakan
sekunder karena komplikasi intrakranial dan ektrakranial; dan menyediakan
kondisi fisiologi yang optimal bagi otak untuk memaksimalkan proses
penyembuhan. Penyebab kematian dari ekstrakranial yang paling umum
adalah hipoksia dan syok, sedangkan dari intrakranial tersering adalah salah
diagnosa atau penundaan diagnosa perdarahan intrakranial. Manajemen
emergency room diarahkan untuk memberikan oksigenasi dan perfusi otak
yang optimal dan diagnosa intrakranial yang tepat.
69% pasien dengan kontusi serebral tidak memerlukan operasi.
Selanjutnya TIK tetap meninggi pada lebih dari setengah pasien dengan
cedera kepala berat, bahkan setelah lesi massanya dibuang (Miller, 1981).
CT scan abnormal mungkin menunjukan bahwa TIK meninggi atau akan
meninggi (Klauber, 1984). Tanda CT spesifik termasuk pembengkakan otak
difus, pergeseran garis tengah, obliterasi sisterna ambient, dilatasi ventrikel
berlawanan dan klot kecil multipel intraserebral. Pasien dengan tanda CT
demikian harus diawasi ketat. Setiap perburukan pada tingkat kesadaran
menunjukkan akan perlunya tindakan mengurangi TIK dengan bimbingan
pengamatan TIK.
1. Perdarahan Ekstradural
Perdarahan ekstra dura (hematoma ekstradura), lebih lazim disebut
epidural hematoma (EDH), diartikan sebagai adanya penumpukan darah
diantara dura dan tabula interna. Paling sering terletak pada daerah temporal
dan frontal. Pada pemeriksaan CT scan kepala akan terlihat sebagai massa
hiperdens berbentuk bikonveks.
10
Sumber perdarahan biasanya dari laserasi cabang arteri meningea oleh
fraktur tulang, walaupun kadang-kadang dapat berasal dari vena atau diploe.
Darah pada EDH membeku (clotting), berbentuk bikonveks.
Perjalanan klinisnya dapat mengikuti salah satu dari yang disebutkan sbb:
1. Tetap sadar
2. Tetap tidak sadar
3. Mula-mula sadar lalu menjadi tidak sadar
4. Mula-mula tidak sadar lalu menjadi sadar
5. Mula-mula tidak sadar, lalu menjadi sadar (lucid interval) dan akhirnya
menjadi tidak sadar. Lucid interval tidak patognomonik untuk EDH dan
hanya terjadi pada sepertiga kasus.
2. Perdarahan Intradural
Perdarahan intradural mencakup perdarahan subdural, subarachnoid,
intraserebral, intraserebelar, basal ganglia dan intraventrikuler.
Perdarahan subdural, lebih lazim dengan sebutan subdural hematoma (SDH).
Diartikan sebagai penumpukan darah diantara dura dan arachnoid.
Lesi ini lebih sering ditemukan daripada EDH. Dengan mortalitas 60-70%.
Terjadi karena laserasi arteri/vena kortikal pada saat berlangsungnya
akselerasi dan deselerasi. Pada anak dan usia lanjut sering disebabkan oleh
robekan ‘bridging vein’ yang menghubungkan permukaan korteks dengan
sinus vena.
Berdasarkan waktu perkembangan dibedakan atas:
1. Akut, gejala timbul dalam 3 hari pertama setelah cedera. Pada
gambaran CT scan, terdapat daerah hiperdens berbentuk bulan sabit.
2. Subakut, gejala timbul antara hari ke-4 sampai hari ke-20. Gambaran
CT berupa campuran hiper, iso dan hipodens.
3. Kronis, jika gejala timbul setelah 3 minggu.
Perdarahan subarachnoid traumatika, paling sering ditemukan pada
cedera kepala, umumnya menyertai lesi lain. Perdarahan terletak di antara
arachnoid dan piamater, mengisi ruang subarachnoid.
Perdarahan intraserebral, atau lebih dikenal dengan intraserebral
hematoma (ICH), diartikan sebagai hematoma yang terbentuk pada jaringan
11
otak (parenkim) sebagai akibat dari adanya robekan pembuluh darah. Pada
CT scan akan memberikan gambaran daerah hiperdens yang homogen dan
berbatas tegas. Disekitar lesi akan disertai dengan edema perifokal. Jika
massa hiperdens tersebut berdiameter kurang dari 2/3 diameter lesi, maka
keadaan ini disebut kontusio. Jika ICH ini disertai dengan SDH dan kontusio
atau laserasi pada daerah yang sama, maka disebut ‘burst lobe’.
Berdasarkan hasil pemeriksaan CT scan, Fukamachi dkk, tahun 1985
membagi ICH atas:
1. tipe 1, hematoma sudah terlihat pada CT scan awal
2. tipe 2, hematoma berukuran kecil sampai sedang pada CT awal,
kemudian membesar pada CT selanjutnya
3. tipe 3, hematoma terbentuk pada daerah yang normal pada CT awal
4. tipe 4, hematom berkembang pada daerah yang abnormal sejak awal
(salt and pepper)
klasifikasi Diffuse brain injury berdasarkan CT kepala dibedakan atas:
1. grade 1: tidak terdapat kelainan patologi yang terlihat pada CT
2. grade 2: cisterna masih tampak, midline shift d” 5 mm, tidak terdapat
lesi berdensitas tinggi atau campuran yang >25 ml
3. grade 3: cisterna kompres atau hilang, midline shift d” 5mm, tidak
terdapt lesi berdensitas tinggi atau campuran yang >25 ml
4. grade 4: cisterna kompres atau hilang, midline shift >5 mm
Prognosa diffuse injury:
1. grade I (normal CT scan): mortality 9,6%
2. grade II (cistern present, shift < 5mm: mortality 13,5%
3. grade III (cistern compressed/ absent. Shift < 5 mm): mortality: 34%
4. grade IV: shift >5 mm: mortality 56,2%
Diffuse axonal injury (DAI) yaitu: adanya kerusakan axon yang difus
dalam hemisfer serebri, corpus callosum, batang otak dan serebrum
(pedunculus)
berdasrakan luasnya kerusakan yang timbul, DAI dapat dikelompokkan atas:
1. grade 1, tanpa lesi fokal
12
2. grade 2, dengan lesi fokal pada corpus callosum
3. grade 3, yaitu grade 2 + lesi fokal pada kuadran dorsolateral rostral
batang otak
Pembengkakan otak menyeluruh (diffuse brain swelling), terjadi karena
peningkatan kandungan air dalam jaringan otak atau peningkatan volume
darah (intravaskuler), atau kombinasi keduanya. Pada diffuse brain swelling,
sebenarnya belum jelas patogenesisnya, diperkirakan sebagai jenis kongestif
karena kehilangan tonus vasomotor.
Bermacam-macam edema otak:
- Vasogenic edema, adanya gangguan BBB (Blood brain barrier)
menyebabkan penumpukan cairan tinggi protein pada ruang ekstrasel.
Edema ini terjadi disekitar tumor maupun infeksi.
- Cytotoxic edema, berhubungan dengan hipoksik-iskemik, terjadi
gangguan gradient ion yang menyebabkan penumpukan cairan
intrasel. Edema ini terjadi pada trauma.
- Hydrostatic edema, akibat peningkatan mendadak tekanan darah pada
vascular bed yang utuh, terjadi penumpukan cairan rendah protein
pada ekstrasel. Edema ini terjadi pada intoksikasi air
- Osmotic brain edema, penurunanosmolaritas serum yang berakibat
pada peningkatan cairan intrasel. Edema ini terjadi pada hiponatremia
- Interstitial brain edema, ekstravasasi air pada periventrikuler terjadi
karena tingginya tekanan akibat hidrosefalus obstruktif.
Pembengkakan oleh kongesti karena hilangnya tonus vasomotor
sementara setelah cedera kepala merupakan suatu keadaan yang ‘tidak
mengancam nyawa sedangkan edema otak adalah suatu keadaan ‘yang
mengancam nyawa. Oleh sebab itu, kongesti tidak memerlukan intervensi.
Pada edema otak harus segera diintervensi sesuai dengan penyebabnya
agar tidak terjadi herniasi otak, misalnya dengan pemberian manitol.
13
IV. Penggunaan Manitol pada Cedera Kepala
Kegunaan mannitol secara teoritis berkenaan dengan penanganan
hipertensi intrakranial pada neurotrauma dan efeknya dalam mengurangi
viskositas dan akhirnya meningkatkan cerebral blood flow (CBF) daripada
secara spesifik menurunkan tekanan intracranial (ICP) akibat dehidrasi
osmotik serebral. Penggunaan manitol yang tidak tepat dapat berakibat
keadaan hiperosmolal, hipovolemia dan hiperviskositas yang dapat
menegatifkan semua efek manfaatnya.
Manitol merupakan suatu molekul gula monosa yang memiliki enam
karbon dengan enam ikatan alkohol. Molekul ini memiliki berat molekul 182,
dengan sifat osmotic diuretic yang kuat sehingga mampu menarik molekul air
ke dalam pembuluh darah dari impermeable terhadap sawar darah otak
(Blood Brain Barrier). Sifat tersebut digunakan untuk menurunkan tekanan
tinggi intrakranial pada cedera kepala. Efek tersebut diperoleh melalui
peningkatan volume darah sirkulasi dan pengenceran viskositas darah.
Jika autoregulasi masih baik, manitol dapat menurunkan tekanan intrakranial
(ICP = intracranial Pressure) sebesar 27,2 persen tanpa mempengaruhi aliran
darah otak (CBF = Cerebral Blood Flow). Tetapi jika autoregulasi terganggu,
penurunan ICP hanya sekitar 4,7 persen dan CBF menigkat.
Cara Kerja manitol
Manitol diperkirakan memiliki paling sedikit tiga mekanisme kerja yang
saling melengkapi yaitu meningkatkan tekanan darah, memperbaiki aspek
rheologik sirkulasi, dan dehidrasi serebral. Bell dan rekan-rekan melakukan
pengamatan MRI dan menyimpulkan bahwa manitol menurunkan kandungan
air pada jaringan otak yag edema, tetapi tidak pada jaringan yang sehat.
Gradien konsentrasi yang timbul akibat pemberian manitol akan
menarik molekul air ke dalam system vaskuler, volume intravaskuler
meningkat sehingga terjadi peningkatan tekanan darah sesuai hukum Starling
pada jantung. Dengan demikian MABP (Mean Arterial Blood Pressure) juga
meningkat sehingga CPP (Cerebral Perfusion Pressure) meningkat.
Hubungan ini diperlihatkan dengan: CPP = MABP – ICP. Gradient ini dicapai
14
dalam 15-30 menit, berlangsung selama 1,5 – 6 jam, bergantung kepada
keadaaan klinis.
Cairan yang masuk ke intravaskuler akan mengencerkan fibrinogen dan
hemoglobin sehingga viskositas darah menurun. Sesuai dengan hukum
Poiseulle, aliran adarah akan tetap walaupun diameter pembuluh darah lebih
kecil (vasokonstriksi), maka terjadi penurunan ICP. Penurunan ICP ini mulai
terjadi dalam beberapa menit, dan paling nyata pada penderita dengan CPP
<70 mmHg. Untuk memperoleh respons tersebut, lebih baik dengan
pemberian bolus daripada infusan lambat. Sedangkan penurunan ICP
selnjutnya, dipengaruhi oleh efek osmotic diuretic.
Manitol dapat mengurangi kekakuan eritrosit, sehingga lebih mudah melalui
pembuluh darah kecil dan penghantaran oksigen ke jaringan otak lebih baik.
Manitol juga mampu mengangkut radikal bebas yang terbentuk akibat iskemia
otak. Disamping itu secara eksperimental, Tagaki dan rekan-rekan telah
membuktikan bahwa pemberian manitol menyebabkan penurunan volume
CSS.
Dosis Manitol
Sediaan manitol yang digunakan biasanya 15 dan 20 persen. Pemberian
bolus dapat mengurangi kemungkinan terjadinya hemokonsentrasi dan
memperpanjang efek yang diinginkan. Manitol diberikan bolus 0,25-0,5 g/ kg
BB dalam 10-2- menit dan dapat diulangi setiap 6 jam. Menurut Marshall dan
rekan-rekan, bahwa dosis sebesar 0,25 g/kgBB memberikan efek penurunan
ICP sama baiknya dengan dosis 1 g/kgBB, tetapi pada dosis kecil
memberikan efek lebih singkat.
Indikasi pemberian manitol
- Manitol dapat diberikan sebelum dilakukan pengukuran ICP, yaitu jika
terdapat tanda-tanda herniasi transtentorial atau adanya perburukan
keadaan neurologis yang tidak disebabkan oleh keadaan sistemik
seperti hipovolemia, dll.
15
- Saat ini manitol menjadi pilihan utama untuk resusitasi awal pasien
cedera kepala yang disertai dengan hipotensi, dikenal sebagai ‘small
volume resuscitation fluid’.
Cara pemberian manitol
a. sebelum pemberian manitol harus dilakukan pemeriksaan darah rutin,
fungsi ginjal, gula darah dan elektrolit darah. Sebaiknya dilakukan
perhitungan osmolaritas darah sebelum dilakukan pemberian manitol
agar terdapat gambaran osmolaritas awal, sehingga dapat diperkirakan
gradient osmolaritas yang dicapai dengan pemberian sejumlah manitol.
Osmolaritas = 2 (Na + K) + Glukosa/18 + BUN /2,8
Formula ini tidak berlaku jika telah diberikan manitol, koloid atau
sejenisnya seperti HES
b. Harus terpasang foley kateter, untuk mengukur diuresis yang terjadi,
sehingga dapat dilakukan penggantian cairan yang keluar. Sedapat
mungkin penderita dalam keadaan euvolemia, jika dapat dilakukan
pemasangan CVP lebih baik. Osmolaritas darah tidak boleh melebihi
320 mOsm/L karena dapat menyebabkan gagal ginjal akut, sebab
manitol sepenuhnya dieksresi melalui urin.
c. Jika osmolaritas darah terus meningkat, viskositas darah juga
meningkat, sehingga CPP akan menurun. Sebagai kompensasinya,
akan terjadi vasodilatasi yang menyebabkan ICP meningkat. Hal ini
akan terjadi jika diuresis yang dicapai tidak diimbangi dengan balans
cairan masuk yang memadai
d. Manitol dalam darah sebagian akan masuk ke ruang interstitial
melewati sawar darah otak pada saat terjadinya peregangan ‘tight
junction’ endotel kapitel di otak akibat ekspansi volume yang terjadi.
Sebagian yang lain akan masuk melewati sawar yang rusak akibat
cedera kepala. Hal inilah menurut Kauffmann dan Carsodo, merupakan
penyebab terjadinya ‘phenomena rebound’. Efek ini dapat dikurangi
16
dengan pemberian bolus, dan penghentian manitol sebaiknya
dilakukan secara bertahap.
e. Manitol tidak boleh diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid dan
phenytoin karena dapat menyebabkan keadaan nonketotik
hiperosmolar yang banyak menyebabkan kematian
f. Gabungan manitol dengan duretika (furosemide) hanya diberikan pada
keadaan tertentu seperti overhidrasi, penderita dengan gagal janutng,
dan sebagainya.
Komplikasi pemberian manitol
a. gagal ginjal prerenal hiperosmotik. Beberapa hal yang dapat
memperberat komplikasi ini antara lain, penggunaan obat-obatan
nefrotoksik, sepsis, atau penyakit ginjal yang sudah ada.
b. Gangguan elektrolit. Setelah penggunaan manitol selama beberapa
hari, dapat terjadi hypokalemia
c. Dehidrasi dan hipotensi. Diuresis yang tidak diimbangi dengan balans
cairan masuk yang memadai akan menyebabkan hipotensi dan
dehidrasi. Suatu lingkaran setan yang akan memperberat iskemia otak
karena penurunan CPP. Resiko ini terutama dijumpai pada penderita
multiple injury, usia lanjut, dan penyakit jantung.
d. Perdarahan intrakranial menjadi berkembang karena efek tampon yang
ada akan berkurang akibat penciutan otak yang terjadi. Tetapi
maneuver ini diperlukan jika kita membutuhkan efek segera misalnya
dalam persiapan operasi, agar terdapat waktu lebih lama sebelum
herniasi menyebabkan kematian.
V. Kesimpulan
Sekitar 40% pasien yang datang yang tidak sadar setelah cedera
kepala mempunyai TIK yang meninggi (Miller, 1977). Pada 50% dari yang
mati, peninggian TIK adalah penyebab utama. Makin tinggi TIK, makin besar
mortalitas.
Peninggian menetap TIK garis dasar adalah penting, namun makna
klinik tergantung pada keadaan patologi yang mendasarinya. Pasien dengan
17
lesi intrakranial yang meluas, peninggian TIK sedang dalam daerah 15-20
mmHg mungkin dapat ditolerasi dengan baik namun peninggian diatas 40
mmHg biasanya berhubungan dengan penurunan aktifitas listrik serebral dan
tanda klinik dari iskemia serebral.
Kompresi atau pergeseran batang otak berakibat peninggian tekanan
darah, sedang denyut nadi dan respirasi menjadi lambat. Pupil sisi massa
berdilatasi, bisa dengan hemiparesisi sisikontralateral massa. Selanjutnya
pasien jadi tidak responsif, pupil tidak bereaksi dan berdilatasi, serta refleks
batang otak hilang. Akhirnya fungsi batang otak berhenti, tekanan darah
merosot, nadi lambat, respirasi lambat dan tidak teratur untuk akhirnya
berhenti.
Edema otak adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa. Pada
edema otak harus segera diintervensi sesuai dengan penyebabnya agar tidak
terjadi herniasi otak, misalnya dengan pemberian manitol. Manitol
diperkirakan memiliki paling sedikit tiga mekanisme kerja yang saling
melengkapi yaitu meningkatkan tekanan darah, memperbaiki aspek rheologik
sirkulasi, dan dehidrasi serebral. Manitol diberikan bolus 0,25-0,5 g/ kg BB
dalam 10-2- menit dan dapat diulangi setiap 6 jam. Menurut Marshall dan
rekan-rekan, bahwa dosis sebesar 0,25 g/kgBB memberikan efek penurunan
ICP sama baiknya dengan dosis 1 g/kg BB.
Kegunaan mannitol berkenaan dengan penanganan hipertensi
intrakranial pada neurotrauma dan efeknya dalam mengurangi viskositas dan
akhirnya meningkatkan cerebral blood flow (CBF) daripada secara spesifik
menurunkan tekanan intracranial (ICP) akibat dehidrasi osmotik serebral.
Komplikasi dari pemberian manitol dapat berupa gagal ginjal praprenal
hiperosmotik, gangguan elektrolit, dehidrasi dan hipotensi, serta perdarahan
intrakranial yang meluas akibat penciutan otak yang terjadi.
18
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Thomsons, G. Cerebrospinal Fluid from World of Anatomy and Physiology.
Thompson Corporation. USA: 2006.
A joint project of the Brain Trauma Fondation – American Association of
Neurological Surgeons, Joint Section on Neurotrauma and Critical Care.
Management and Prognosis of severe traumatic head injury. Part I :
Guidelines for the Management of Severe Traumatic Brain Injury. Brain
Trauma Fondation. 2000
Kelly, FD, Nikas, DL and Becker, DP. Diagnosis and Treatment of Moderate
and Severe Head Injuries in Adult. In : Youmans, ed. Neurological Surgery.
Philadelphia : WB Saunders, 1996. 1618-1718
Sakowitz, OW, Stofer, JF. Effects of Mannitol Bolus Administration on
Intracranial Pressure, Cerebral Extracellular Metabolites, and Tissue
Oxygenation in Severely Head-Injured Patients, J Trauma. 2007;62:292–298
19