penggunaan kinesiotape selama tiga hari tidak berbeda dengan ...
Transcript of penggunaan kinesiotape selama tiga hari tidak berbeda dengan ...
TESIS
PENGGUNAAN KINESIOTAPE SELAMA TIGA HARI
TIDAK BERBEDA DENGAN PEREKAT PLASEBO
DALAM MENGURANGI RESIKO CEDERA
BERULANG DAN DERAJAT Q-ANGLE PADA
PENDERITA PATELLOFEMORAL PAIN SYNDROME
ABDURRASYID
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
TESIS
PENGGUNAAN KINESIOTAPE SELAMA TIGA HARI
TIDAK BERBEDA DENGAN PEREKAT PLASEBO
DALAM MENGURANGI RESIKO CEDERA
BERULANG DAN DERAJAT Q-ANGLE PADA
PENDERITA PATELLOFEMORAL PAIN SYNDROME
ABDURRASYID
NIM 1190361008
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA-FISIOTERAPI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
ii
PENGGUNAAN KINESIOTAPE SELAMA TIGA HARI
TIDAK BERBEDA DENGAN PEREKAT PLASEBO
DALAM MENGURANGI RESIKO CEDERA
BERULANG DAN DERAJAT Q-ANGLE PADA
PENDERITA PATELLOFEMORAL PAIN SYNDROME
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister Program Studi Fisiologi Olah Raga Konsentrasi
Fisioterapi,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
ABDURRASYID
NIM 1190361008
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA-FISIOTERAPI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
iii
Lembar Pengesahan Pembimbing
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL SEPTEMBER 2013
Mengetahui,
Ketua Program Studi Fisiologi Olahraga – Fisioterapi
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof.DR.dr.J.Alex Pangkahila,M.Sc,Sp.And
NIP. 19440201 196409 1 001
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi,Sp.S(K)
NIP. 195902151985102001
iv
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 3 Oktober 2013
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No.: 1815/UN.14.4/HK/2013, Tanggal 25 September 2013
Ketua : Prof. dr. Dewa Putu Sutjana, PFK, M.Erg
Anggota :
1. Muhammad Irfan, SKM, S.Ft, M.Fis
2. Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro
3. Syahmirza Indra Lesmana, SKM, S.Ft, M.OR
4. DR. dr. I Made Jawi, M.Kes
v
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS UDAYANA
Kampus Bukit Jimbaran
Telepon (036021-701812), 701954, 703138, 703139, Fax.(0361)-701907, 702442
Laman: www.unud.ac.id
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Abdurrasyid
Nim : 1190361008
Program Studi : Magister Fisiologi Olahraga Konsentrasi Fisioterapi
Judul Tesis : Penggunaan Kinesiotape Selama Tiga Hari Tidak Berbeda
Dengan Perekat Plasebo Dalam Mengurangi Resiko
Cedera Berulang dan Derajat Q-Angle Pada Penderita
Patellofemoral Pain Syndrome.
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No . 17 tahun 2010 dan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 3 Oktober 2013
Pembuat pernyataan
Abdurrasyid
Nim: 1090361008
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama, penulis panjatkan puji syukur kepada Allah SWT atas segala
nikmat dan ilmu yang diberikan, Agar menjadi manfaat, baik sebagai salah satu
bentuk ibadah dalam pencarian ilmu dan menjadi manfaat yang berguna bagi
penulis dan sesama manusia. Berkat rizki-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis
ini dengan lancar.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. dr. Dewa Putu Sutjana,
PFK, M. Erg selaku pembimbing I, yang telah membimbing penulis untuk dapat
memahami dan menyelesaikan tesis ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada
Muhammad Irfan, SKM, S.Ft, M.Fis yang telah memberikan semangat kepada
penulis untuk terus belajar memahami dan membimbing penulis agar dapat
menyelesaikan tesis ini. Berkat jasa mereka, penulis dapat terus memperjuangkan
penelitian ini. Selain itu, mereka juga sebagai motivator yang dapat dicontoh
dalam pengaplikasian ilmu.
Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. Ketut Suastika,Sp.PD,KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan
Program Magister Di Universitas Udayana. Ucapan terimakasih ini juga ditujukan
kepada Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi,Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada
penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pasca Sarjana
Universitas Udayana. Tidak lupa pula penulis ucapkana terimakasih kepada
Prof.Dr.dr.J.Alex Pangkahila,M.Sc,Sp.And selaku Ketua Program Studi
vii
Pascasarjana Fisiologi Olahraga Konsentrasi Fisioterapi Universitas Udayana atas
ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Studi
Pascasarjana Fisiologi Olahraga Konsentrasi Fisioterapi Universitas Udayana.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis, Dr.
dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro, Syahmirza Indra Lesmana, SKM, S.Ft,
M.OR, Muhammadn Irfan, SKM,S. FT, M.Fis, DR. dr. I Made Jawi, M.Kes
yang telah memberikan masukan, saran, bimbingan, sanggahan dan koreksi
sehingga tesis ini dapat terwujud menjadi lebih baik.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staff dosen
pengajar dan staff pengelola Program Studi Fisiologi Olahraga Konsentrasi
Fisioterapi Pascasarjana Universitas Udayana yang telah membantu dan memberi
dukungan bagi penulis sebagai mahasiswa. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada Bapak dan Ibu tercinta, Idrus Jus’at, Phd, dan Childa Maisni,
M. Kes beserta seluruh keluarga yang telah menjadi inspirasi bagi penulis untuk
menyelesaikan tesis ini. Tidak lupa pula sahabat dan kekasih, Ayu Rahma Aisyah,
S.Ft yang selalu mendukung dalam proses penyelesaian tesis ini. Selain itu
Kepada rekan Indonesia Sport Medicine Centre (ISMC), Sport and Wellness
Centre Universitas Pelita Harapan, Jong Physiotherapy Project (JPP) dan ARA
Physiotherapy Clinic yang telah memberikan kesempatan dan waktu bagi penulis
untuk menyelesaikan Program Pascasarjana Fisiologi Olahraga Konsentrasi
Fisioterapi Universitas Udayana. Tak lupa pula saya hanturkan rasa terima kasih
kepada rekan Magister Fisiologi Olahraga 2011/2012 seperti Fadhil, Kak Medi,
viii
Pak Sudayanto, dan lain-lain yang selalu memberikan dukungan dalam
penyelesaian tesis ini.
Semoga penulis dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat dan
profesi setelah menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Fisiologi
Olahraga Konsentrasi Fisioterapi Universitas Udayana.
Semoga Allah SWT selalu menuntun dan melimpahkan rahmatnya kepada
penulis dan memberikan rahmat kepada semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan tesis ini. AMIN.
Denpasar, 3 Oktober 2013
Hormat Saya,
Penulis
ix
ABSTRAK
PENGGUNAAN KINESIOTAPE SELAMA TIGA HARI TIDAK
BERBEDA DENGAN PEREKAT PLASEBO DALAM MENGURANGI
RESIKO CEDERA BERULANG DAN DERAJAT Q-ANGLE PADA
PENDERITA PATELLOFEMORAL PAIN SYNDROME
Abdurrasyid
Banyaknya atlet yang menderita Patellofemoral Pain Syndrome (PFPS)
menggunakan kinesiotape saat bertanding atau dalam waktu kurang dari dua
minggu, menjadi sebuah pertanyaan apakah ada efektifitasnya saat digunakan
ketika bertanding dan berlatih. Tujuan penelitian ini untuk memastikan
penggunaan kinesiotape selama tiga hari tidak berbeda dengan perekat plasebo
dalam mengurangi resiko cedera berulang dan menurunkan q-angle pada
penderita patellofemoral pain syndrome (PFPS). Metode penelitian ini
eksperimental dengan rancangan randomized clinical trial design. Sampel
sebanyak 17 atlit yang menderita PFPS dan waktu observasi selama tiga hari.
Kelompok dibagi menjadi dua, yaitu kelompok kinesiotape (n=9) sebagai
perlakuan dan kelompok plasebo (n=8) sebagai kontrol. Instrumen pengukuran
yang digunakan adalah functional movement screening (FMS) dan q-angle.
Hasil yang didapat dari penelitian ini didapatkan kelompok kinesiotape
mampu mengurangi resiko cedera berulang p = 0,002 (p < 0,05). Begitu pula
dengan kelompok plasebo juga mampu mengurangi resiko cedera berulang p =
0,01 (p < 0,05). Kinesiotape mampu menurunkan derajat q-angle dengan p =
0,004 (p < 0,05). Begitu pula dengan kelompok plasebo juga mampu mengurangi
derajat q-angle dengan p = 0,008 (p < 0,05). Uji beda pada pengukuran FMS
menggunakan independent-t test didapatkan p = 0,777 (p > 0,05), dan uji beda
dengan pengukuran q-angle menggunakan mann-whitney test didapatkan p = 0,63
(p > 0,05).
Kesimpulan yang didapat bahwa penggunaan kinesiotape dan perekat plasebo
mampu mengurangi resiko cedera berulang dan derajat q-angle selama tiga hari.
Hal ini menjelaskan bahwa menggunakan kinesiotape memiliki efektifitas yang
sama dengan perekat plasebo yang tidak elastis saat digunakan ketika bertanding
dan berlatih.
Kata kunci : kinesiotape, resiko cedera berulang, q-angle, patellofemoral pain
syndrome, functional movement screening.
x
ABSTRACT
KINESIOTAPE USE FOR THREE DAYS WAS NO DIFFERENT FROM
PLACEBO TO REDUCE THE RISK OF REPETITIVE INJURY AND Q-
DEGREE ANGLE ON PAIN SYNDROME PATIENTS
PATELLOFEMORAL PAIN SYNDROME
Abdurrasyid
Many athletes who suffer Patellofemoral Pain Syndrome (PFPS), they
using kinesiotape while playing or less than two weeks, this condition make a
question of there are efficacy when used kinesiotape while playing and practicing.
The purpose of this study to ensure the use of kinesiotape for three days did not
differ with adhesive placebo in reducing the risk of repetitive injury and q-angle in
patients with patellofemoral pain syndrome (PFPS). The experimental research
method to design randomized clinical trial design. Sample of 17 athletes who
suffer from PFPS and time of observation for three days. Divided into two groups,
kinesiotape groups (n = 9) as the treatment and placebo groups (n = 8) as a
control. Measurement instruments used were Functional Movement Screening
(FMS) and Q-angle.
The results of this study, kinesiotape group able to reduce the risk of
repetitive injury with p = 0.002 (p <0,05). Placebo group was also able to reduce
the risk of repetitive injury p = 0.01 (p <0,05). Kinesiotape able to decrease q-
angle with p = 0.004 (p <0,05). Placebo group was also able to reduce the q-angle
with p = 0.008 (p <0,05). At different test measurements FMS using independent
t-test p = 0.777 (p> 0.05), and a different test with q-angle measurements using
the Mann-Whitney test p = 0.63 (p> 0,05).
The conclusion that the use of kinesiotape and adhesives placebo can
reduce the risk of recurrent injury and the degree of q-angle for three days. It is
clear that using kinesiotape have the same effectiveness with placebo were not
elastic adhesive while playing a game and practicing.
Key Words : kinesiotape, repeated injury, q-angle, patellofemoral pain syndrome,
functional movement screening.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM………………………………………………………………
PRASYARAT GELAR MAGISTER......………………………………………..
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………………...
LEMBAR PENETAPAN PENGUJI…………………………………………….
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT…………………………………..
UCAPAN TERIMA KASIH…………………………………………………….
ABSTRAK …………………...………………………………………………….
ABSTRACT……………………………………………………………………...
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..
DAFTAR GAMBAR...…………………………………………………………..
DAFTAR TABEL………………………………………………………………..
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………….
DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA………………………………………
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………..
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………...
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………..
1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………………
1.3.1 Tujuan Umum…………………………………………………….
1.3.2 Tujuan Khusus……………………………………………………
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………….
BAB II KAJIAN PUSTAKA…………………………………………………….
2.1 Patellofemoral Pain Syndrome………………………………………………..
2.1.1 Pengertian………………………………………………………...
2.1.2 Anatomi dan Biomekanik………………………………………..
2.1.2.1 Anatomi Patela………………………………………………...
2.1.2.2 Gaya vektor Otot Quadriceps…………………………………
2.1.2.3 Sudut Quadricep (Q-angle).…………………………………..
2.1.2.4 Reseptor Saraf Sensoris……………………………………….
2.1.2.5 Rantai Kinetik…………………………………………………
2.1.3 Etiologi Patellofemoral Pain Syndrome………………………….
2.1.4 Patofisiologi Patellofemoral Pain Syndrome……………………
2.1.4.1 Faktor Neuromuskular………………………………………...
2.1.4.2 Faktor Biomekanika…………………………………………..
2.1.5 Pemeriksaan Spesifik pada PFPS………………………………...
2.1.5.1 Pemeriksaan Manual Ortopedi………………………………..
2.1.5.2 Mengukur Q-angle…………………………………………….
2.1.5.3 Antropometri Quadriceps…………………………………….
2.1.6 Penanganan Patellofemoral Pain Syndrome……………………..
2.2 Kinesiotape……………………………………………………………….
2.2.1 Pengertian………………………………………………………...
2.2.2 Pengaruh Fisiologi……………………………………………….
i
ii
iii
iv
v
vi
ix
x
xi
xiv
xvi
xvii
xviii
1
1
4
4
5
5
6
7
7
7
7
7
8
11
13
14
16
16
18
19
21
22
23
23
24
24
24
26
xii
2.2.3 Pengaruh Neuromuskular………………………………………...
2.2.4 Pengaruh Biomekanika…………………………………………..
2.3 Resiko Cedera……………………………………………………………
2.3.1 Pengertian………………………………………………………..
2.3.2 Prediktor Resiko Cedera…………………………………………
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS……………...
3.1 Kerangka Berpkir ………………………………………………………..
3.2 Kerangka Konsep………………………………………………………...
3.3 Hipotesis………………………………………………………………….
BAB IV METODE PENELITIAN………………………………………………
4.1 Rancangan Penelitian…………………………………………………….
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………………………..
4.3 Penentuan Sumber Data………………………………………………….
4.3.1 Populasi…………………………………………………………..
4.3.2 Sampel……………………………………………………………
4.3.2.1 Kriteria Inklusi………………………………………………….
4.3.2.2 Kriteria Eksklusi………………………………………………..
4.3.3 Besar Sampel……………………………………………………..
4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel…………………………………….
4.4 Variabel Penelitian………………………………………………………
4.4.1 Variabel Bebas…………………………………………………..
4.4.2 Variabel Tergantung…………………………………………….
4.4.3 Definisi Operasional……………………………………………..
4.5 Pengukuran Q-Angle……………………………………………………
4.6 Instrumen Penelitian……………………………………………………..
4.7 Prosedur Penelitian……………………………………………………….
4.7.1 Tahap Persiapan………………………………………………….
4.7.2 Pengambilan Data Awal………………………………………..
4.7.3 Tahap Pemilihan dan Penentuan Sampel………………………
4.7.4 Tahap Pelaksanaan Penelitian……………………………………
4.7.5 Alur Penelitian……………………………………………………
4.8 Analisis Data……………………………………………………………..
BAB V HASIL PENELITIAN………………………………………………….
5.1 Deskripsi Karakteristik Subjek Penelitian.……………………………….
5.2 Uji normalitas dan homogenitas data…...…………………………….….
5.3 Uji Peningkatan nilai FMS pada kelompok Kinesiotape………………
5.4 Uji peningkatan nilai FMS pada kelompok plasebo……………………..
5.5 Uji penurunan q-angle pada kelompok kinesiotape……………………...
5.6 Uji Penurunan q-angle pada kelompok plasebo………………………….
5.7 Uji Kompatibilitas………………………..…………………………….
5.8 Uji Hipotesis Peningkatan Kemampuan Functional Movement
Screening Antara Kedua Kelompok Perlakuan .…………………………
5.9 Uji Hipotesis Penurunan Q-angle Antara Kedua Kelompok Perlakuan.
26
28
29
29
32
36
36
38
39
40
40
41
41
41
41
41
42
42
43
44
44
44
44
59
59
59
59
60
60
61
62
63
67
67
68
70
71
71
72
72
74
75
xiii
BAB VI PEMBAHASAN……………………………………………………….
6.1 Penggunaan Kinesiotape Selama Tiga Hari Tidak Berbeda Dengan
Perekat Plasebo Dalam Resiko Cedera Berulang pada penderita
Patellofemoral Pain Syndrome…………………………………………..
6.2 Penggunaan Kinesiotape Selama Tiga Hari Tidak Berbeda Dengan
Perekat Plasebo Dalam Menurunkan Q-angle pada penderita
Patellofemoral Pain Syndrome…………………………………………..
6.3 Kelemahan dan Upaya Penelitian.………………………………………
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN..…………………………………………
7.1 Simpulan…………..……………………………………………………
7.2 Saran……………………………………………………………………...
.
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………
LAMPIRAN……………………………………………………………………..
77
77
79
81
83
83
83
85
93
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Posisi Normal Patela Medial (Ym) dan Lateral (Yn)……………………...
2.2 Sudut tekanan pada sendi patellofemoral…………………………………
2.3 Perlekatan Iliotibial band dan tractus iliotibial di tuberculum Gerdys’s…
2.4 Gambaran dari pengukuran Q-angle………………………………………
2.5 Saraf Sensoris Sensi Lutut………………………………………………
2.6 Ilustrasi Patela tilt ke lateral akibat tidak stabilnya sisi medial…………
2.7 Grafik perbedaan Q-angle antara yang tidak cedera dengan yang cedera...
2.8 A. Sendi Patellofemoral dalam posisi normal. B. (lihat dari atas ke
bawah) Patela bergeser ke lateral, patella terangkat ke lateral, dan patela
internal rotasi…………………………………………………………………..
2.9 Patellar Apprehension Test………………………………………………..
2.10 Pengukuran Q-angle……………………………………………………
2.11 Pengaruh Kinesiotape Pada Jaringan Lunak……………………………
2.12 Grafik Observasi EMG Perubahan Aktivitas Otot dengan Menggunakan
Kinesiotape……………………………………………………………………
2.13 Piramida hubungan aktifitas fisik terhadap resiko cedera………………
2.14 Komponen kemampuan fungsional……………………………………
2.15 Grafik linear hubungan antara nilai FMS dengan resiko cedera…………
3.1 Bagan Kerangka Konsep…………………………………………………
4.1 Rancangan Penelitian……………………………………………………
4.2 Aplikasi Kinesiotape pada Otot Vastus Medialis Oblique………………
4.3 Aplikasi Kinesiotape pada Patela…………………………………………
4.4 Aplikasi Kinesiotape pada Otot Vastus Lateralis dan Iliotibial Band……
4.5 Aplikasi Kinesiotape Koreksi Facia Iliotibial Band dan Vastus Lateralis.
4.6 Aplikasi Perekat Placebo…………………………………………………
4.7 Gerakan Deep Squat…………………………………………………………
4.8 Gerakan Hurdle Step………………………………………………………
4.9 Gerakan In Line Lunges…………………………………………………
4.10 Active Straight Leg Raise…………...……………………………………
8
9
11
12
14
19
20
21
22
23
27
28
29
31
34
38
40
45
46
47
48
48
50
52
54
55
xv
4.11 Rotary Stability…………………………………………………………
4.12 Trunk Stability Push Up…………………………………………………
4.13 Bagan Alur Prosedur Penelitian…………………………………………
6.1 Grafik rerata Peningkatan FMS Pada kedua kelompok perlakuan………
6.2 Grafik rerata penurunan Q-angle pada kedua kelompok…………………
56
57
62
78
80
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1 Orientasi Resultan otot Quadriceps………………………………………
2.2 Etiologi PFPS menurut beberapa pendapat………………………………..
2.3 Kemampuan Uluran Kinesiotape……………………………………….
2.4 Potensi Faktor Resiko Cedera……………………………………………
2.5 Nilai Kappa dalam perbandingan nilai rata-rata penilai amatir dengan
penilai berpengalaman…………………………………………………………
4.1 Formulir Penilaian FMS…………….……………………………………
4.2 Penilaian Functional Movement Screening………………………………
4.3 Instrumen Penelitian yang digunakan……………………………………
5.1 Data Numerik Karakteristik Subjek Penelitian……………………………
5.2 Data kategorik Umum Karakteristik Subjek Penelitian…………………
5.3 Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Data instrument Hasil Penelitian …
5.4 Uji Peningkatan nilai FMS pada kelompok kinesiotape dengan t-test
related…………………………………………………………………………………
5.5 Uji Peningkatan nilai FMS pada kelompok plasebo dengan t-test related..
5.6 Uji penurunan Q-angle pada kelompok kinesiotape dengan Wilcoxon
Sign Rank test………………………………………………………………….
5.7 Uji penurunan Q-angle pada kelompok plasebo dengan Wilcoxon Sign
Rank test……………………………………………………………………...
5.8Uji Kompatibilitas sebelum perlakuan kedua kelompok variabel FMS…..
5.9 Uji Kompatibilitas sebelum perlakuan kedua kelompok variabel Q-
angle…………………………………………………………………………
5.10 Uji Hipotesis kemampuan Functional Movement Screening Antara
kedua kelompok perlakuan dengan Independent T-test………………………
5.11 Uji Hipotesis Penurunan Q-angle Antara Kedua Kelompok Perlakuan
dengan Mann-Whitney test…………………………………………………
10
17
26
30
35
56
58
59
67
68
69
70
71
71
72
73
73
74
75
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Protokol Penelitian…………………………………………………
Lampiran 2. Surat Persetujuan Sampel………………………………………….
Lampiran 3. Lembar Evaluasi………………...………………………………..
Lampiran 4.Uji Statistik…………….…………………………………………
92
104
105
107
xviii
DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA
SINGKATAN
PFPS
VMO
VL
Q-Angle
FMS
SIAS
VI
RF
VML
VLL
VLO
ITB
MPFL
MPML
MPTL
ASIS
PAN
LAN
MAN
PCL
ACL
OKC
CKC
CSA
MRI
KT
EMG
PNF
cm
: Patello Femoral Pain Syndrome
: Vastus Medialis Oblique
: Vastus Lateralis
: Quadriceps Angle
: Functional Movement Screening
: Superios Illiac Anterior Spine
: Vastus Intermedius
: Rectus Femoris
: Vastus Medialis Longus
: Vastus Lateralis Longus
: Vastus Lateralis Obilque
: Illio-tibial Band
: Medial Patello-femoral Ligament
: Medial Patello-Meniscal Ligament
: Medial Patello-tibial Ligament
: Anterior Superilliac Spine
: Posterior Articular Nerve
: Lateral Articular Nerve
: Medial Articular Nerve
: Posterior Cruciate Ligament
: Anterior Cruciate Ligament
: Open Kinetic Chain
: Closed Kinetic Chain
: Cross Sectional Area
: Magnetic Resonance Imaging
: Kinesiotape
: Electromyography
: Propioceptive Neuromuscular Facilitation
: Centimeter
xix
kg
n
Min
Maks
≥
o
±
%
<
>
=
α
p
: Kilogram
: Banyaknya Responden
: Minimal
: Maksimal
: Lebih dari sama dengan
: Derajat
: Kurang Lebih
: Persen
: Kurang dari
: Lebih dari
: Sama Dengan
: Alpha
: Probabilitas
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan alat bantu kesehatan untuk atlet yang sedang mengalami
cedera kini sudah sangat banyak jenisnya, salah satunya kinesiotape. Atlet
biasanya menggunakan kinesiotape hanya saat bertanding dan berlatih, namun
saat ini belum ada yang dapat menjelaskan efektifitas kinesiotape dalam
penggunaan saat bertanding atau dalam waktu yang singkat. Menurut beberapa
pendapat, kinesiotape yang digunakan saat bertanding bertujuan untuk
mengurangi gejala nyeri yang terjadi dan mengurangi resiko cedera berulang
(Mostavafifar et al. 2012; Mo-An et al. 2012). Kinesiotape merupakan perekat
elastis yang diaplikasikan di atas kulit untuk mengurangi rasa nyeri, mengurangi
bengkak, menurunkan spasme, dan membantu kinerja otot-otot saat melakukan
aktifitas olahraga (Cheng-Fu et al. 2008). Perekat ini sangat elastis dan dapat
diulur hingga 100%, sehingga saat digunakan tidak membatasi gerak sendi dan
membantu kinerja otot khususnya (Kase et al.2003).
Salah satu cedera yang sering dialami oleh atlet adalah Patellofemoral Pain
Syndrome (PFPS) yaitu gangguan pada persendian patela dengan adanya nyeri
lutut bagian depan (Aminaka et al. 2005; Wayasz et al. 2008). Patellofemoral
pain syndrome ini ditandai dengan adanya bengkak, ketegangan otot quadriceps,
kelemahan kelompok otot quadriceps, ketegangan otot illiotibial band, posisi
lutut valgus, dan bentuk telapak kaki yang datar. Umumnya, PFPS disebabkan
oleh karena penurunan kekuatan dan penurunan aktivitas fungsional pada otot
2
vastus medialis oblique (VMO) yang sebagai stabilisator dinamis sisi medial
tulang patella (Powers et al. 2010). Sampai saat ini data prevalensi PFPS di
Indonesia belum ada. Namun, melihat prevalensi di Iran pada atlit wanita berkisar
16,74% lebih kecil dibandingkan di negara Amerika yang angkanya mencapai
25% (Nejati et al. 2011).
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadi cedera berulang pada
penderita patellofemoral pain syndrome, yaitu faktor biomekanika, faktor
neuromuskular, dan faktor psikologis. Faktor psikologis sebagai alat prediksi
cedera ada empat faktor yang memungkinkan terjadinya cedera pada atlet, yaitu
sifat kecemasan somatik, sifat kecemasan psikis, rentan timbulnya stress, dan sifat
mudah marah (Ivarsson dan Johnson. 2010).
Selain itu, faktor biomekanika dan neuromuskular merupakan faktor yang
saling berhubungan satu dengan yang lainnya, kedua faktor tersebut
mempengaruhi kinerja gerakan fungsional untuk mendapatkan performa olahraga
yang optimal. Faktor biomekanika mempengaruhi dari luas gerak sendi dan posisi
postur tubuh. Sedangkan faktor neuromuskular mengarahkan gerakan fungsional
karena adanya aktivitas kinerja dari saraf yang akan mempengaruhi gerakan otot
dan sendi menjadi satu kesatuan kinerja yang kompleks (Samuel et al. 2012).
Untuk memastikan metode kinesiotape yang digunakan saat pertandingan
(dalam waktu singkat) berhasil atau tidak, tentunya memerlukan alat untuk
mengukur terkait dalam mengurangi resiko cedera berulang dan menurunkan q-
angle pada penderita PFPS pada saat bertanding atau berlatih. Resiko cedera dapat
diprediksi dengan cara mengobservasi setiap gerakan fungsional dalam aktivitas
3
olahraga. Observasi tersebut menilai ada tidaknya gerakan kompensasi ataupun
kehilangan keseimbangan dalam gerakan fungsional yang dijadikan sebagai
pemeriksaan. Penilaian tersebut dengan Functional Movement Screening (FMS)
(Cook et al. 2006).
FMS digunakan untuk mengidentifikasi faktor resiko yang potensial untuk
melihat resiko cedera muskuloskeletal yang mungkin akan terjadi. FMS dapat
digunakan sebagai program awal dalam menyusun program latihan pencegahan
cedera. FMS menggunakan observasi gerakan fungsional sebagai tolak ukur
dalam memprediksi resiko cedera. Gerakan fungsional merupakan gerakan dasar
dalam olahraga yang memerlukan kekuatan otot, kelenturan, luas gerak sendi,
koordinasi, keseimbangan, dan propiosepsi (Schneider et al. 2011).
Pengukuran q-angle ialah mengukur sudut kemiringan dari otot quadriceps
terhadap tulang panggul sisi depan (superior illiac anterior spine (SIAS) dan
tuberositas tibia dengan menggunakan goniometer. Hal tersebut untuk melihat
posisi tulang patela yang mengalami pergeseran ke lateral pada penderita PFPS.
Berdasarkan penjelasan di atas atlet yang menderita PFPS memerlukan
penanganan agar atlit dapat melakukan latihan dan bertanding, sehingga dapat
mengurangi resiko cedera berulang ataupun memperburuk kondisi cedera PFPS
yang saat ini dialaminya. Maka dari itu, peneliti ingin membuktikan pengaruh dari
pemberian kinesiotape dalam mengurangi resiko cedera berulang dan menurunkan
q-angle pada penderita PFPS dengan memberikan pembanding menggunakan
perekat tidak elastis sebagai plasebo yang di aplikasikan dengan tujuan yang sama
pada kinesiotape.
4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.2.1 Apakah penggunaan kinesiotape selama tiga hari dapat mengurangi resiko
cedera berulang pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome?
1.2.2 Apakah penggunaan perekat plasebo selama tiga hari dapat mengurangi
resiko cedera berulang pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome?
1.2.3 Apakah penggunaan kinesiotape selama tiga hari dapat mengurangi derajat
Q-angle pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome?
1.2.4 Apakah penggunaan perekat plasebo selama tiga hari dapat mengurangi
derajat Q-angle pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome?
1.2.5 Apakah penggunaan kinesiotape selama tiga hari tidak berbeda dengan
perekat plasebo dalam mengurangi resiko cedera berulang pada penderita
Patellofemoral Pain Syndrome?
1.2.6 Apakah penggunaan kinesiotape selama tiga hari tidak berbeda dengan
perekat plasebo dalam mengurangi derajat Q-angle pada penderita
Patellofemoral Pain Syndrome?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, penelitian ini
bertujuan sebagai berikut:
5
1.3.1 Tujuan Umum
1.3.1.1 Untuk mengetahui tidak adanya perbedaan penggunaan kinesiotape
dengan perekat plasebo selama tiga hari dalam mengurangi cedera
berulang pada penderita patellofemoral pain syndrome.
1.3.1.2 Untuk mengetahui tidak adanya perbedaan penggunaan kinesiotape
dengan perekat plasebo selama tiga hari dalam mengurangi derajat Q-
angle pada penderita patellofemoral pain syndrome.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Untuk mengetahui penggunaan kinesiotape selama tiga hari dapat
mengurangi resiko cedera berulang pada penderita Patellofemoral Pain
Syndrome.
1.3.2.2 Untuk mengetahui penggunaan perekat plasebo selama tiga hari dapat
mengurangi resiko cedera berulang pada penderita Patellofemoral Pain
Syndrome.
1.3.2.3 Untuk mengetahui penggunaan kinesiotape selama tiga hari dapat
mengurangi derajat Q-angle pada penderita Patellofemoral Pain
Syndrome.
1.3.2.4 Untuk mengetahui penggunaan perekat plasebo selama tiga hari dapat
mengurangi derajat Q-angle pada penderita Patellofemoral Pain
Syndrome.
6
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan yang telah disebutkan di atas. Saya sebagai peneliti
mengharapkan dari hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi:
1.4.1 Peneliti
Dapat mengetahui tidak adanya perbedaan penggunaan kinesiotape dengan
perekat plasebo selama tiga hari pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome
(PFPS) dalam mencegah resiko cedera ulang dan mengurangi derajat q-angle
dapat memberi tahukan kepada antar peneliti dan praktisi.
1.4.2 Fisioterapi
Untuk dapat mengaplikasikan kinesiotape, serta mampu mengevaluasi resiko
cedera yang mungkin akan terjadi dengan menggunakan Functional Movement
Screening (FMS) pada atlit.
1.4.3 Atlit
Untuk dapat mengaplikasikan pemasangan kinesiotape secara mandiri jika
tidak ada fisioterapis yang mendampingi.
1.4.4 Pelatih Fisik
Untuk dapat mengaplikasikan Functional Movement Screening (FMS) untuk
melihat resiko cedera atlit pada pre-season.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Patellofemoral Pain Syndrome (PFPS)
2.1.1 Pengertian
Permasalahan Patellofemoral pain syndrome (PFPS) ini tepatnya mengalami
kelainan pada komponen sendi lutut, yaitu pada sendi patellofemoral. PFPS
merupakan salah satu permasalahan pada sendi lutut yang sering dialami oleh
masyarakat dan atlet, selain dari kesobekan pada ligamen sendi lutut (Heintjes et
al. 2003; Lankhorst et al. 2012). PFPS merupakan istilah untuk kumpulan gejala
dari patologi atau kelainan anatomi yang mengarah pada nyeri lutut depan seperti
chondromalasia patella, jumper’s knee, intra-artcular patella chondropathy,
patella arthralgia, runner’s knee (Witvrouw et al. 2005; Waryasz et al. 2008).
Beberapa literatur menyatakan bahwa angka kejadian PFPS pada wanita lebih
sering dibandingkan pria (Lankhorst et al. 2012). Nyeri tersebut dirasakan ketika
melakukan aktivitas naik-turun tangga, squat, jogging, dan lompat (Hafez et al.
2012; Boonkerd. 2012).
2.1.2 Anatomi dan Biomekanik
2.1.2.1 Anatomi Patela
Melihat dari letaknya, posisi tulang patela melayang dan melekat insersi
tendon quadriceps dan tendon patela. Serta berada di jalur trochlea femur, dimana
tulang patela harus bergerak pada jalur tersebut untuk menghindari pergesekan
8
atau kontak langsung antar tulang patela dan femur yang dapat mempengaruhi
dari ketidakseimbangan posisi dari tulang patela. Posisi tersebut dapat dilihat
menggunakan foto sinar X dengan posisi sendi lutut fleksi 45o
pada bidang aksial
(Waryasz et al. 2008). Hasil foto pada posisi tersebut dapat kita lihat sudut
kemiringan dan pergeseran ataupun stabilitas posisi tulang patella terhadap
trochlea.
Gambar 2.1 Posisi Normal Patela Medial (Ym) dan Lateral (Yn) (Peterson et al.
2008)
2.1.2.2 Gaya Vektor Otot Quadriceps
Normalnya, sendi lutut pada posisi ekstensi posisi patela berada pada jalur
trochlea dan saat sendi lutut posisi fleksi atau menekuk patela bergeser ke arah
posterolateral. Penyebabnya, karena adanya ketegangan dari otot quadriceps dan
tendon patela yang menghasilkan vektor gaya resultan yang dapat menggeser dan
menekan patella ke arah posterolateral, namun saat sendi lutut diekstensikan
tekanan tersebut berkurang dan patela kembali ke posisi normal (Amis. 2007).
9
Gambar 2.2 Sudut tekanan pada sendi patellofemoral (Reinold. 2009)
Gambar di atas menjelaskan gaya resultan yang menyebabkan pergeseran
tulang patela ke sisi lateral saat sendi lutut difleksikan. Gaya resultan quadriceps
berorientasi pada kekuatan otot vastus lateralis (VL), vastus intermedius (VI),
rectus femoris (RF), dan vastus medialis (VM). Otot vastus lateralis disusun oleh
dua komponen yang membentuk garis vektor, yaitu vastus lateralis longus (VLL)
dan vastus lateralis oblique (VLO). Begitu pula dengan vastus medialis juga
disusun dua komponen yang membentuk vektor, yaitu vastus medialis longus
(VML) dan vastus medialis oblique (VMO). Jika dilihat dari bidang koronal,
tekanan vektor otot quadriceps di tarik oleh VLO pada posisi 35o dan VLL pada
sudut 14o ke arah lateral, oleh VI dan RF pada posisi 0
o, dan pada sisi medial
ditarik oleh VMO pada sudut 47o dan VML pada sudut 15
o (Waryasz dan
McDermott. 2008). Menurut Brotzman et al (2011), serabut otot VMO bekerja
pada sudut 50o-55
o dan serabut otot VLO bekerja pada sudut 30
o-40
o sepanjang
garis tulang femur pada bidang coronal. Secara keseluruhan kemampuan otot
10
quadriceps adalah untuk menarik patella kearah posterior sagital untuk tetap
menjaga posisi patella terhadap trochlea femur.
Tabel 2.1
Orientasi Resultan otot Quadriceps
Sumber VMO VLO
Brotzman et al. 2011 50o-55
o 30
o-40
o
Waryasz dan McDermott. 2008 47o 35
o
Patela memerlukan jaringan lunak untuk dapat menstabilkan posisinya
terhadap trochlea, jaringan tersebut terdiri dari medial dan lateral retinaculum.
Pada retinaculum lateral terdiri dari dua lapisan; superficial oblique retinaculum
dan deep tranverse retinaculum. Superficial oblique retinaculum merupakan
puncak akhir dari perlekatan tendon patella, group otot vastus lateralis, dan
illiotibial band (Waryasz dan McDermott. 2008). Illio-tibial band (ITB) berorigo
pada tensor facia lata dan gluteus maximus. Berinsersi pada tuberculum gerdy’s
dan melekat pada tendon patela, serta lapisannya melekat pada sisi lateral tulang
patela (Amis. 2007). Berdasarkan letak melekatnya, insersi tendon ITB juga
dapat menarik patela ke lateral saat sendi lutut fleksi dan meningkatkan gesekan
antara patela dengan femur (Herrington et al. 2006).
Deep tranverse retinaculum terdiri dari tiga struktur; epicondylopatellar band
atau lateral patellofemoral ligament, midportion, dan patellotibial band.
Epicondylopatellar band menahan tulang patela pada sisi superolateral,
midportion menahan pada posisi lateral dan patellotibial band mempertahankan
posisi patela pada posisi inferolateral. Midportion berorigo dari ITB dan
berinsersi pada sisi lateral patela (Waryasz dan McDermott. 2008).
11
Gambar 2.3 Perlekatan Iliotibial band dan tractus iliotibial di tuberculum Gerdys’s
(Donnatelli dan Wooden. 2010)
Retinaculum sisi medial lebih tipis dibandingkan dengan sisi lateral dan
terdiri dari tiga ligament yang mendukungnya; medial patellofemoral ligament
(MPFL), medial patellomeniscal ligament (MPML), dan medial patellotibial
ligament (MPTL) (Waryasz dan McDermott. 2008). MPFL menyatu dengan
tendon VMO untuk dapat mempertahankan posisi patela ke medial agar tidak
terjadi deviasi tulang patela ke lateral, terutama pada saat sendi lutut bergerak
ekstensi dari posisi fleksi. Struktur jaringan ini memiliki kontribusi besar dalam
mempertahankan posisi patela agar tidak terlalu bergeser atau dislokasi ke lateral
sebesar 50%-60% saat fleksi 0-20o (Amis, 2007). Berdasarkan pemeriksaan in
vitro menemukan kekuatan ligamen ini rata-rata 208 N (Amis et al. 2003).
2.1.2.3 Sudut Quadriceps (Q-angle)
Garis tegak lurus (alignment) anggota gerak bawah sangat mempengaruhi
dari problem patellofemoral pain syndrome. Dimana telah dijelaskan di atas
Illiotibial band
Illiotibial tract
Gerdy’s Tubercle
12
bahwa terdapat gaya resultan pada sendi lutut terkait dengan ketegangan dari
kelompok otot quadriceps. Gaya resultan tersebut juga dipengaruhi oleh sudut
dari panjangnya otot quadriceps terhadap sendi lutut dan gerak dari sendi
patellofemoral. Sudut tersebut biasa disebut dengan Q-angle. Q-angle ini dilihat
dengan menarik garis maya lurus dari anterior super iliac spine (ASIS) ke titik
tengah dari tulang patela dan dari titik tengah patela ke tuberositas tibia
(Jaiyesimi et al. 2009; Omololu et al. 2009). Sudut ini dapat diukur dengan
menggunakan goniometer.
Gambar 2.4 Gambaran dari pengukuran Q-angle (Jaiyesimi et al. 2009)
13
Menurut Grelsamer et al (2005), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
tidak ada perbedaan sudut q-angle antara pria dan wanita. Namun akan
mengalami perbedaan jika salah satu dari pria atau wanita dengan tinggi badan
yang berbeda. Karena pada tubuh dengan tinggi 168 sentimeter sudut q-angle
berbeda 2 derajat dibandingkan dengan tubuh yang tingginya lebih dari 168
sentimeter.
2.1.2.4 Reseptor Saraf Sensoris
Reseptor saraf sensoris pada sendi patelofemoral terdiri dari ujung saraf bare,
pacini, ruffini, golgi tendon organ, dan muscle spindle. Saraf sensoris utama yang
mensuplai rangsangan sensoris sendi lutut adalah posterior articular nerve (PAN),
lateral articular (LAN), medial articular (MAN), intramuskular, dan saraf otot.
PAN adalah percabangan dari saraf tibialis yang didistribusikan ke posterior
cruciate ligament (PCL), anterior cruciate ligament (ACL), posterior oblique
ligament, insersi dari annular ligament pada meniskus mediolateral, posterior
patela, kapsul posterior patela, ligamen kolateral fibular, dan ligament kolateral
tibial. LAN adalah percabangan umum dari saraf peroneus yang mempersarafi
kapsul sendi tibiofibula dan jaringan lunak sendi lutut sisi lateral. MAN adalah
percabangan dari saraf saphenous yang mendistribusikan rangsangan ke kapsul
sendi sisi anterior dan medial, meniskus medial, ligament kolateral tibia, kapsul
posterior, permukaan patela, dan tendon patela. Intramuskular dan saraf otot
termasuk dalam golgi tendon organ dan muscle spindle yang didistribusikan oleh
14
percabangan saraf femoralis, obturator, atau saraf sciatic tergantung dari posisi
myotome (Waryasz dan McDermott. 2008).
Gambar 2.5 Saraf Sensoris Sendi Lutut (Jensen. 2008)
2.1.2.5 Rantai Kinetik
Kalau kita perhatikan dalam komponen rantai kinetik (kinetic chain) sendi
lutut yaitu gerak fleksi dan ekstensi yang berhubungan dengan fungsi gerak dasar
sendi lutut. Berdasarkan hal tersebut biomekanika dari sendi lutut dibagi menjadi
dua komponen rantai kinetik, yaitu open kinetic chain (OKC) dan closed kinetic
chain (CKC). Rantai kinetik ditujukan untuk melihat kinerja otot pada angota
gerak bawah, yang memungkinkan untuk memberikan kekuatan, stabilisasi
anggota gerak bawah, dan memberikan tekanan berkelanjutan mulai dari bagian
distal pada akhir rantai kinetik (Nobre. 2012).
15
Open kinetic chain (OKC) merupakan suatu gerakan yang mentitik beratkan
pada satu sendi saja, digerakkan oleh satu atau kelompok otot, melawan gravitasi
bumi, dan tidak bertumpu pada tubuh. Sedangkan closed kinetic chain (CKC)
merupakan suatu gerakan yang menggunakan lebih dari satu sendi yang bergerak
dengan bertumpu pada berat tubuh untuk memberikan pembebanan pada lebih
dari satu kelompok otot yang bekerja dalam waktu yang sama, baik agonis
maupun antagonis dan meningkatkan aktifasi dari propiosepsi angota gerak bawah
(Karandika et al. 2011; Nobre. 2012).
Berdasarkan konsep rantai kinetik tersebut, akan mempengaruhi dari gerak
sendi patellofemoral. Saat gerakan OKC hanya ada kinerja dari otot quadriceps
dan meningkatkan tekanan pada sendi patellofemoral. Karena titik gravitasi
berada di depan sendi lutut dan jika dilakukan pada posisi 90 derajat fleksi ke
ekstensi akan meningkatkan tekanan antara patela dengan trochlea. Saat gerakan
dengan bentuk rantai kinetik CKC, akan meningkatkan stabilitas sendi
patellofemoral dan meningkatkan aktivitas fungsional (Witvrouw et al. 2004 ;
Nobre. 2012). Sendi patela ini ditujukan untuk mengatur gerak dari sendi lutut,
yaitu untuk membantu gerak dari fleksi ke ekstensi dan sebagai lengan ayun yang
membantu kinerja otot quadriceps pada posisi fleksi 20o-60
o (Power et al. 2010).
Tendon quadriceps yang melekat pada tulang patela disebut dengan tendon
patela. Tendon patela ini merupakan komponen dari mekanisme gerak ekstensi
dari sendi lutut. Tendon patela ini dapat menahan beban ketika posisi lutut fleksi
saat gerakan closed kinetic chain (DeFrate et al. 2007).
16
2.1.3 Etiologi Patellofemoral Pain Syndrome
Berdasarkan pengertian yang sudah dijelaskan bahwa PFPS perupakan
gangguan fungsi dari tulang patela terhadap letaknya pada trochlea tulang femur.
Tentunya ada beberapa penyebab yang mengakibatkan adanya nyeri di sekitar
tulang patela khususnya pada atlet. Dari beberapa studi mengatakan bahwa
penyebab PFPS yang utama adalah adanya penurunan fungsi dari otot quadriceps.
Menurut MacLean (2004), PFPS disebabkan oleh adanya ketidakstabilan tulang
patela terhadap femur yang bergeser ke sisi lateral akibat dari kelemahan otot
vastus medialis oblique (VMO). Bahkan otot VMO bisa menjadi atrofi sehingga
kontrol kerja otot menurun (Jensen. 2008) (Tabel 2.2).
Otot VMO yang atrofi tersebut dibuktikan pula oleh Petty et al (2011),
menyebutkan bahwa penyebab dari PFPS itu diakibatkan oleh adanya pengecilan
otot (atrofi) vastus medialis sehingga terjadinya ketidakseimbangan kinerja dari
grup otot quadriceps yang menjadikan kontrol motorik fungsional anggota gerak
bawah menjadi berubah dan membentuk gerak kompensasi. Dalam penelitiannya,
pada penderita PFPS terjadi penurunan cross sectional area dari otot VMO
dengan pebedaan kurang lebih dua sentimeter (± 2 cm) dengan yang bukan
penderita PFPS.
2.1.4 Patofisiologi Patellofemoral Pain Syndrome
PFPS merupakan kasus non trauma, melihat etiologi yang sudah dijelaskan di
atas, tentunya ada proses yang menjadikan patellofemoral pain syndrome
mengganggu aktifitas fisik atlet. Oleh karena adanya pergeseran dari posisi patela
17
terhadap trochlea yang dapat menimbulkan gesekan dan merusak dari kapsul
sendi patellofemoral sehingga menimbulkan iritasi pada badan tulang patella sisi
posterior dan tulang femur. Tentunya adanya iritasi tersebut menimbulkan rasa
nyeri pada lutut sebagai tanda-tanda dari peradangan, seperti adanya bengkak dan
suhu sendi lutut lebih hangat dibandingkan dengan kaki yang normal. Namun
pada penderita PFPS yang sudah kronis akan ditemukan adanya atrofi grup otot
quadriceps terutama pada otot vastus medialis oblique (Petty et al. 2011).
Patofisiologi PFPS dapat disimpulkan menjadi dua faktor, yaitu faktor
neuromuskular dan biomekanika.
Tabel 2.2
Etiologi PFPS menurut beberapa pendapat
Sumber Etiologi PFPS
Lankhorst et al. 2013 Besarnya Q-angle
Besarnya sudut sulcus & Patella Tilt
Lemahnya otot Abduktor sendi panggul
Terbatasnya gerak eksternal rotasi sendi panggul
Bolgla & Boling. 2011 Quadriceps lemah,
Kerja otot quadriceps tidak seimbang,
Ketegang jaringan lunak sendi lutut,
Meningkatnya Q-angle,
Otot sendi panggul lemah,
Perubahan posisi/bentuk kaki
Jensen. 2008 Substance-P meningkat,
Posisi sendi lutut abnormal,
Reflex Simpathetic Dystrophy (RSD),
Menurunnya kekuatan quadriceps
MacLean. 2004 Lemah VMO,
Maltracking patella,
Joint Stress
Juhn. 1999 Overuse & overload,
Problem biomekanika & penurunan fungsi otot (pes planus, pes
cavus, q-angle, quadriceps lemah, tight ITB & hamstring).
18
2.1.4.1 Faktor Neuromuskular
Quadriceps merupakan otot penggerak utama dan stabilisator dinamis tulang
patella. Pada penderita PFPS ditemukan penurunan kekuatan ekstensor lutut
(Pappas et al. 2012) dan ketidakseimbangan kerja otot (muscle imbalance) dari
quadriceps yaitu kinerja otot vastus medial oblique (VMO) lebih lambat
dibandingkan dengan otot vastus latelaris (VLO dan VLL) (Van Tiggelen et al.
2009). Selain adanya kelemahan dari otot VMO, tentu adanya penurunan masa
otot (atrofi) dari otot VMO. Atrofi otot tersebut meninhibisi dari sistem
neuromuskular dan menyebabkan kontrol motorik otot VMO menurun (Bolgla et
al. 2008; Page et al. 2010). Inhibisi tersebut membuat stabilisasi patella sisi
medial menjadi menurun, sehingga ligamen patellofemoral sisi medial (MPFL)
bekerja terus menerus untuk dapat mempertahankan posisi patella. Melihat dari
letaknya, MPFL yang melekat dengan tendon otot VMO memiliki hubungan
cross sectional area (CSA) dalam memberikan kemampuan stabilisasi pada tulang
patella. Maka dari itu stabilisator patella sisi lateral akan menarik patella lebih ke
arah lateral dan menyebabkan tulang patella bergesakan dengan tulang femur pada
trochlea. Setelah dilakukan observasi ternyata onset kinerja otot VMO pada
penderita PFPS menurun lima millisecond (5 ms) (Fagan dan Delahunt. 2008)
Seiring dengan aktifitas fungsional olahraga yang memerlukan kekuatan dari
grup otot quadriceps. Otot quadriceps memerlukan otot lain untuk tetap dapat
melakukan gerak fungsional. Oleh karena itu otot vastus lateralis dan illiotibial
band akan terus-menerus bekerja untuk dapat menstabilkan patela hingga
menimbulkan ketegangan otot dan juga dapat meningkatkan tarikan patela ke
19
lateral yang dapat menekan patella terhadap trochlea femur (Pecina dan Bojanic.
2004). Tidak simetrisnya rotasi dari sendi panggul (hip joint) ke arah internal
rotasi menyebabkan gerak kompensasi dari sendi lutut untuk dapat menstabilkan
posisi patella ke sisi medial yang ditujukan untuk dapat mengurangi nyeri pada
sendi lutut (Cibulka et al. 2005). Menurut Page et al (2010), ketegangan otot-otot
stabilisator patela sisi lateral dikarenakan adanya pemendekan facia dari
stabilisator lateral patella dan illiotibial band sisi distal karena adanya kelemahan
dari otot gluteus medius.
Gambar 2.6 Ilustrasi Patela tilt ke lateral akibat tidak stabilnya sisi medial (Pecina
dan Bojanic. 2004)
2.1.4.2 Faktor Biomekanika
Melihat gangguan pada sistem neuromuskular grup otot quadriceps terhadap
pergeseran tulang patella ke lateral akibat dari ketidakseimbangnya fungsi otot
quadriceps. Pergeseran patella menjadi mekanika penyebab dari kasus PFPS ini.
Pergeseran patella tersebut dapat meningkatkan sudut dari grup otot quadriceps
(q-angle). Sudut normal dari q-angle kurang dari 15o. Jika lebih maka akan
mengakibatkan kerusakan pada badan facet patela sisi lateral dengan trochlea
(Bolgla dan Boling. 2011).
20
Postur anggota gerak bawah akan mempengaruhi dari q-angle. Dimana tulang
tibia yang mengalami perputaran (torsion) ke arah eksternal rotasi saat sendi lutut
bergerak ektensi penuh yang disebut dengan screw home mechanism (Amis.
2007). Sudut resultan yang meningkat berakibat tarikan otot quadriceps
meningkat, sehingga dapat menarik patella ke proximal-lateral saat ekstensi.
Sudut Q-angle lutut yang tidak normal sebesar ≥ 15o-20
o. Karena perubahan dari
sudut q-angle menyebabkan patella tertarik ke arah lateral (Aminaka et al. 2005;
Sheehan et al. 2010). Namun, beberapa pendapat mengatakan PFPS dikarenakan
oleh adanya postur anggota gerak bawah atlet membentuk huruf X atau disebut
dengan valgus postur. hal tersebut dapat dijadikan indikator khusus pada kasus
PFPS (Tallay et al. 2004; Santos. 2006).
Gambar 2.7 Grafik perbedaan Q-angle antara yang tidak cedera
dengan yang cedera (Herrington. 2012)
21
Pergeseran tulang patella ada yang hanya bergeser ke lateral saja, tulang
patela mengalami perputaran diagonal, dan bahkan sisi medial patella terangkat
(patellar tilt) sehingga sisi lateral patella dengan femur saling bergesekan.
Gambar 2.8 A. Sendi Patellofemoral dalam posisi normal. B. (lihat dari atas ke
bawah) Patela bergeser ke lateral, patella terangkat ke lateral, dan patella internal
rotasi (Aminaka et al. 2005)
2.1.5 Pemeriksaan Spesifik pada PFPS
Untuk dapat memastikan suatu atlit tersebut mengalami patellofemoral pain
syndrome memerlukan pemeriksaan spesifik yang akurat. Pemeriksaan spesifik
22
yang dapat dilakukan adalah dengan menggunaan pemeriksaan ortopedi khusus
patella, magnetic resonance imaging (MRI), X-ray, dan musculoskeletal
ultrasound diagnostic. Dalam penelitian ini menggunakan tehnik pemeriksaan
ortopedi secara manual dengan cara memprovokasi rasa nyeri, mengukur q-angle,
dan antropometri quadriceps.
2.1.5.1 Pemeriksaan manual ortopedi
Pemeriksaan manual ortopedi dilakukan dengan cara observasi dan
memprovokasi nyeri pada patella. Dengan menggunakan tehnik patellar
apprehension test. Patela apprehension test adalah pemeriksaan untuk melihat
reaksi nyeri yang terjadi saat patela di geser ke lateral. Caranya dengan
memposisikan pasien tidur terlentang dengan sendi lutut ditekuk 30 derajat.
Dalam posisi tersebut pemeriksa menarik patella ke lateral dan secara perlahan
pemeriksa meluruskan kaki pasien hingga ekstensi penuh (Nijs-jo et al. 2006).
Pemeriksaan ini tingkat akurasinya mencapai 94,1 % jika dilakukan dengan benar
( Ahmad et al. 2009).
Gambar 2.9 Patellar Apprehension Test (Nijs-jo et al. 2006)
23
2.1.5.2 Mengukur Q-angle
Mengukur q-angle dengan menggunakan goniometer adalah dengan
memposisikan pasien tidur terlentang dan menarik garis dengan titik poros di titik
tengah tulang patela. Kemudian menarik garis superior iliac anterior spine (SIAS)
ke patela dan tuberositas tibia ke patella. Agar hasilnya akurat posisi tulang patella
di posisikan ke tengah dari trochlea dengan menekuk sendi lutut 30 derajat
(Madani et al. 2010).
Gambar 2.10 Pengukuran Q-angle (Madani et al. 2010)
2.1.5.3 Antropometri Quadriceps
Untuk mengukur besar masa otot vastus medialis oblique diperlukan
pengukuran lingkar paha dengan menggunakan pita ukur. Dengan pengukuran di
mulai dari titik tengah patela, dan titik tengah tulang paha (10 sentimeter ke atas
24
dari titik tengah patela dan 20 sentimeter dari titik tengah patela) (Petty et al.
2011) .
2.1.6 Penanganan Patellofemoral Pain Syndrome
Berdasarkan problem-problem yang dialami oleh penderita PFPS dan telah
kita ketahui beberapa faktor penyebabnya yang menjadikan PFPS ini kasus yang
sering terjadi dan dialami oleh beberapa atlit. Oleh karena itu adapun tujuan
penanganan konservatif berupa pengembalian fungsi dari otot VMO dan
mengontrol postur anggota gerak bawah menjadi prioritas utama. Program
konservatif tersebut dengan menggunakan terapi latihan dan menggunakan
tambahan taping atau perekat sebagai koreksi dari posisi patella dan kinesiotaping
untuk memfasilitasi kinerja otot vastus medialis oblique untuk menstabilkan
posisi patella ke posisi normal, serta menginhibisi vastus lateral oblique dan
vastus lateralis longus juga sangat efektif untuk mengurangi tarikan patela ke
lateral dan nyeri saat dilakukannya program terapi latihan (Chi-Chen et al. 2007;
Slupik et al. 2007).
2.2 Kinesiotape
2.2.1 Pengertian
Kinesiotape (KT) merupakan salah satu perekat yang digunakan oleh
fisioterapis, dokter, sport medicine, & personal trainer untuk membantu
pemulihan dan menopang otot yang sedang mengalami cedera. KT ini ditemukan
oleh seorang chiropractor, Kase et al (2003), di Jepang dan sangat sering
25
digunakan di Eropa dan Asia, namun sangat popular di United States.
Kinesiotape ini berbeda dengan taping/perekat yang sering digunakan untuk
menyokong atau menahan sendi, melainkan perekat yang dibuat hampir
menyerupai dengan kulit dan ketebalannya seperti epidermis kulit tubuh manusia,
serta dapat diregangkan hingga 140% dari panjang normal sebelum di aplikasikan
ke kulit, sehingga memberikan ketegangan yang kuat saat di aplikasikan pada
kulit (Thelen. 2008; Prentice. 2011).
Metode kinesiotape ini dikembangkan berdasarkan struktur jaringan otot yang
sebagai penggerak utama tubuh manusia. Pemasangan diawali dengan mengukur
lembar kinesiotape mulai dari 2 inci dibawah origo atau 2 inci diatas insersi otot.
Pemasangannya tentu diharuskan untuk menyesuaikan bentuk dari posisi anatomi
tubuh manusia. dasar dari pemasangan kinesiotape ini selalu di awali dan diakhiri
tanpa adanya tegangan dari kinesiotaping. Hal tersebut dikarenakan untuk
meminimalisir rasa yang kurang nyaman dari aplikasi kinesiotape ini (Kase et al.
2003).
Ketika menggunakan aplikasi ini perlu mengetahui derajat dari tegangan atau
uluran yang diperlukan pada area yang menjadi target. Jika terlalu banyak uluran
atau tegangan, maka tidak akan ada pengaruh apapun di bawah kulit. Jadi lebih
baik jangan memberikan aplikasi ini dengan uluran yang terlalu panjang. Karena
tegangan atau uluran pada kinesiotape akan mempengaruhi keberhasilan yang
diharapkan. Dalam pengaplikasiannya, tehnik yang diperlukan hanya sebesar
25%, Namun pengukuran persentase penguluran tersebut sangatlah deskriptif dan
26
tergantung dari kemampuan feeling dan pengalaman dalam mengulur taping
tersebut (Kase et al. 2003).
Tabel 2.3
Kemampuan Uluran Kinesiotape
Tarikan Kinesiotape Persentase
Penuh = 100%
Berat = 75%
Sedang = 50%
Ringan (ketika kertas dilepas) = 15-25%
Sangat ringan = 0-15%
Tidak diulur = 0%
Sumber Kase et al. 2003
2.2.2 Pengaruh Fisiologi
Kinesiotape ini merangsang atau memfasilitasi beberapa proses fisiologi
tubuh manusia, seperti melancarkan aktivitas sistem limfatik, dan mekanisme
analgesic endogen serta meningkatkan mikrosirkulasi. Kinesiotape memiliki
pangaruh recoil yang dapat mengangkat kulit dan memberikan ruang pemisah
antara kulit dengan otot, sehingga dapat melancarkan sirkulasi limfatik dan darah
dengan adanya gerakan otot (Hendrick. 2010). Serta meningkatkan aktivitas
propiosepsi melalui kulit untuk menormalisasikan tonus otot, mengurangi nyeri,
mengkoreksi ketidaksesuaian posisi jaringan dan menstimulus atau merangsang
mekanoreseptor di kulit (Slupik et al. 2007; Akbas. 2011; Prentice. 2011).
2.2.3 Pengaruh Neuromuskular
Kinesiotape melalui reseptor di cutaneous dapat memberikan rangsangan
kepada sistem neuromuskular dalam mengaktifasi kinerja saraf dan otot saat
melakukan suatu gerak fungsional (Yasukawa et al. 2006). Selain itu juga
kinesiotape dapat menurunkan tonus otot yang mengalami ketegangan yang
27
berlebih akibat adanya kontrol neuromuskular yang kurang baik. Kinesiotape akan
memfasilitasi melalui mekanoreseptor yang berada pada kulit untuk mengarahkan
gerakan yang diinginkan dan akan memberikan rasa nyaman pada area yang
dipasangkan KT ini (Kase et al. 2003). Pada praktiknya, kinesiotape dapat
memfasilitasi suatu gerakan karena adanya tarikan atau penguluran dari
kinesiotape itu sendiri baik dari sisi distal ke proksimal dan dari sisi proksimal ke
distal, ataupun diberikan ke arah gerakan yang diinginkan.
Gambar 2.11 Pengaruh Kinesiotape Pada Jaringan Lunak (Graham dan
Howey.2011)
Dalam sebuah penelitian, KT secara klinis akan meningkatkan kemampuan
bioelektrik otot dengan menggunakan electromyography (EMG) setelah 24 jam
pemasangan KT dan akan menurun fungsinya setelah empat hari pemakaian. Hal
tersebut dapat menjelaskan bahwa pemberian kinesiotape cukup sampai dengan
tiga hari karena puncak pengaruh dari kinesiotape setelah 24 jam akan
memfasilitasi motor unit untuk dapat melakukan kontraksi dan setelah 72 jam
Kinesiotape
28
tonus otot menurun, sehingga untuk mengurangi dari tonus otot yang berlebih
disarankan pemasangan cukup sampai dengan tiga hari (Kase et al. 2003; Slupik
et al. 2007).
Gambar 2.12 Grafik Observasi EMG Perubahan Aktivitas Otot dengan
Menggunakan Kinesiotape (Slupik et al. 2007)
2.2.4 Pengaruh Biomekanika
Setelah melihat aktifitas motor unit setelah menggunakan kinesiotaping
dengan menggunakan EMG setelah 24 jam terjadi peningkatan yang sangat
signifikan. Oleh karena itu aktifitas dari motor unit untuk dapat menggerakkan
sendi tentu akan mempermudah gerakan menjadi lebih terbantu dan efisien. Hal
tersebut dapat kita lihat dari penelitian oleh Hsu et al. (2009), bahwa kinesiotape
memliki pengaruh positif terhadap perubahan gerak scapula pada kasus
impingement sendi bahu.
29
2.3 Resiko Cedera
2.3.1 Pengertian
Setiap aktivitas fisik dalam kegiatan olahraga, baik itu sebagai olahraga
rekreasi dan olahraga prestasi tentunya memiliki resiko cedera. Resiko cedera
tersebut tergantung dari tingkat kesulitan atau beban olahraga itu sendiri. Jika
aktivitas olahraga itu ringan atau tidak dilakukan dengan ada kontak tubuh
ataupun dengan kecepatan tinggi, resiko cedera yang mungkin terjadipun ringan,
begitu pula sebaliknya.
Gambar 2.13 Piramida hubungan aktifitas fisik terhadap resiko cedera
(Simunovic. 2002)
Cedera olahraga adalah cedera pada sistem integument, otot dan rangka yang
disebabkan oleh kegiatan olahraga. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
cedera, antara lain kesalahan metode latihan, kelainan struktural, kelemahan otot
dan penopang sendi (Bahr et al. 2003). Resiko terjadinya cedera dibagi menjadi
dua faktor, yaitu faktor internal atlit sendiri (intrinsik) yang berhubungan dengan
faktor resiko dan faktor lingkungan (ektrinsik).
30
Faktor intrinsik terdiri dari komponen yang dimiliki oleh atlit (kekuatan,
umur, riwayat cedera, dll). Dimana komponen tersebut mempengaruhi dari
performa atlit ketika berlatih dan bertanding. Faktor resiko cedera intrinsik ini
dapat diminimalisir untuk terjadinya resiko cedera. Faktor ekstrinsik merupakan
faktor dari lingkungan luar tubuh atlit yang mempengaruhi terjadinya resiko
cedera (Meeuwise et al. 2007). Potensi faktor resiko cedera dibagi menjadi dua,
yaitu potensi yang tidak dapat dimodifikasi dan potensi yang dapat di modifikasi
(Habelt et al. 2011). Hal tersebut berkaitan dengan faktor intrinsik dan ekstrinsik
yang dimiliki dan dialami oleh atlit itu sendiri.
Tabel 2.4
Potensi Faktor Resiko Cedera
Faktor Ekstrinsik Faktor Intrinsik
Potensi yang tidak dapat
dimodifikasi
Tipe Olahraga Umur
Tingkat Olahraga
(pro/amatir)
Cedera Sebelumnya
Posisi Jenis Kelamin
Waktu Musim Pertandinga
Cuaca
Potensi yang dapat dimodifikasi Peralatan Koordinasi
Permukaan Lapangan Tingkat Kebugaran
Waktu Pertandingan Kelenturan
Peraturan Propiosepsi
Kekuatan
Bentuk Pelatihan
Fisik
Faktor Psikologis
Sumber Habelt et al. 2011
Pada era saat ini banyak peneliti mencari suatu alat ukur untuk mengetahui
resiko cedera pada atlit atau olahragawan. Dimana alat ukur tersebut
mempengaruhi dari faktor intrinsik yang dimiliki oleh atlit. Terkait dengan
gerakan fungsional dalam aktifitas olahraga.
31
Pentingnya kita mengetahui dari kemampuan gerak fungsional pada setiap
individu pada atlit ataupun pemain adalah untuk memberikan informasi yang
dibutuhkan oleh fisioterapis, pelatih, dokter, fisiologi olahraga, dan ahli olahraga
lainnya terkait dengan kemampuan fungsional atlit. Kemampuan fungsional
merupakan kombinasi dari performa otot, daya tahan otot, fleksibilitas,
koordinasi, stabilitas, dan keseimbangan (Kisner et al. 2007). Jika seluruh
kemampuan tersebut sudah dimiliki dalam tubuh individu, maka kemampuan
fungsional atlit sudah siap untuk melakukan gerakan-gerakan yang memerlukan
tenaga, daya ledak, kecepatan, dan kelincahan pada permainan dalam cabang
olahraga yang ditekuninya. Dan jika salah satu komponen dalam fungsional tidak
dimiliki oleh atlit, akan dapat mempengaruhi komponen lainnya.
Gambar 2.14 Komponen kemampuan fungsional (Kisner et al. 2007)
Ada sebuah sistem yang dibuat oleh Gray Cook dan Lee Burton (2006), yaitu
Functional Movement Screening (FMS) atau pemeriksaan gerakan fungsional.
32
FMS ini dapat dijadikan sebagai alat evaluasi yang kuantitatif. Dimana terdapat
tiga penilaian yang diberikan untuk mengetahui kemampuan gerak fungsional
individu. Dan tujuh gerakan fungsional terdiri dari kemampuan fungsional
anggota gerak atas dan anggota gerak bawah (Mo-An et al. 2012).
FMS berbeda dengan pemeriksaan fisik lainnya yang selalu mengukur
banyaknya repetisi dalam waktu yang telah ditentukan ataupun lamanya waktu
yang dapat dilakukan sampai atlit tersebut berhenti. FMS mengukur dari sisi
pendekatan fungsional dengan prinsip propioceptive neuromuscular facilitation
(PNF), sinergi kinerja otot dan pembelajaran motorik (motor learning) (Cook et
al. 2006).
2.3.2 Prediktor Resiko Cedera
Banyak program latihan yang diberikan oleh beberapa pelatih dan fisioterapis
terkait dengan program preventif untuk memperkecil resiko terjadinya cedera.
Namun program-program latihan yang diberikan belum tentu efektif jika tidak
diuji menggunakan alat evaluasi yang sesuai. Resiko terjadi cedera diakibatkan
oleh karena adanya gerak kompensasi yang seharusnya tidak ada. Gerak
kompensasi merupakan gerakan diluar dari satu pola gerak fungsional, namun
gerakan kompensasi tersebut ditujukan untuk mencapai satu pola gerak fungsional
tertentu (Cook et al. 2006).
Berdasarkan penjelasan di atas kita telah mengetahui bahwa FMS ini
berhubungan dengan gerakan-gerakan fungsional dalam olahraga. Sehingga FMS
33
dapat dijadikan sebagai alat ukur prediktor resiko cedera dan alat evaluasi
program latihan preventif.
Beberapa hasil penelitian menyatakan FMS sangat cocok untuk mengukur
kemampuan fungsional dalam mengurangi resiko cedera. Total dari nilai
pengukuran FMS ini 21 jika setiap pemeriksaan mendapat nilai tiga, dan jika total
nilai kurang dari 14 (< 14) dapat disimpulkan resiko cedera tinggi (Kiesel et al.
2007; Chorba et al. 2010). Secara statistik tidak ada perbedaan nilai FMS antara
pria dan wanita (Schneiders et al. 2011).
Ketidaksimetrisan dan keterbatasan gerak dalam FMS sudah dihubngkan
dengan peningkatan resiko cedera. Ketidakmampuan untuk melakukan gerakan
fungsional ini menghasilkan gerak kompesasi yang tidak efisien. Kompensasi ini
menyebabkan tingginya resiko cedera, bahkan jika dilakukan pada tingkat
performa yang tinggi (Mo-An et al. 2012).
Berdasarkan penelitian Chorba et al. (2010), gerak kompensasi pada aktivitas
fungsional dapat mempengaruhi resiko terjadinya cedera terutama pada anggota
gerak bawah, 69% dari 38 sampel penelitiannya mendapatkan nilai kurang dari
sama dengan 14 dan mengalami cedera sepanjang musim pertandingan. Dapat
disimpulkan bahwa nilai dari FMS memiliki korelasi terhadap resiko cedera yang
mungkin akan terjadi saat musim pertandingan.
Evaluasi menggunakan FMS tentunya memerlukan penilai yang mampu
mengobservasi setiap gerakan fungsional dalam pemeriksaan ini. Dengan
mengetahui gerakan normal dan gerakan kompensasi yang akan terjadi saat
34
pemeriksaan dilakukan. Releabilitas FMS ini, jika diuji oleh dua orang penguji
yang berbeda (Interrater) maka hasilnya akan tetap sama.
Gambar 2.15 Grafik linear hubungan antara nilai FMS dengan resiko cedera
(Chorba et al. 2010)
Hal tersebut dibuktikan bahwa FMS memiliki reabilitas interrater yang
tinggi dan dapat digunakan oleh siapapun yang sudah diberi pelatihan FMS
sebelum melakukan skrining pada atlet (Minick et al. 2010; Smith et al. 2012;
Onate et al. 2012; Teyhen et al. 2012). Hal tersebut di uji dengan statistik kappa
untuk melihat hasil pemeriksaan oleh pemeriksa amatir dibandingkan dengan
pemeriksa yang berpengalaman.
Gerakan yang digunakan dalam FMS terdiri dari Deep Squat, Hurdle Step, In
Line Lunge, Shoulder Mobility, Active Straight Leg Raise, Trunk Stability Push
Up,dan Rotary Stabilty. Namun pada penelitian ini berfokus pada anggota gerak
bawah terkait dengan kasus patellofemoral pain syndrome. Dengan mengambil
35
enam dari tujuh gerakan FMS berupa gerakan Active Straight Leg Raise, Trunk
Stability Push Up, Rotary Stabilty, Deep Squat, Hurdle Step, dan In Line Lunge.
Tabel 2.5
Nilai Kappa dalam perbandingan nilai rata-rata penilai amatir dengan
penilai berpengalaman (L=Kiri, R=Kanan; n=39)
Sumber : Minick et al. 2010; Schneiders et al. 2011
36
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir
Pada individu atau atlit yang memiliki permasalahan patellofemoral pain
syndrome akan mengalami beberapa problema seperti nyeri di sekitar lutut bagian
depan saat squat, naik-turun tangga, dll. PFPS memiliki permasalahan pada
stabilisator medial patela yaitu kelemahan otot vastus medialis oblique yang
berkontribusi besar pada gerak sendi lutut baik pada open chain kinetic dan closed
kinetic chain. Permasalahan tersebut disebabkan oleh perpindahan posisi tulang
patela ke arah lateral dan menghasilkan rasa nyeri di sisi depan sendi lutut.
Terdapat kinerja otot quadriceps yang tidak seimbang, dimana aktifitas otot
vastus lateralis terus meningkat untuk tetap dapat melakukan aktifitas fungsional.
Beberapa literatur mengatakan bahwa penderita PFPS perlu mengaktifasi atau
meningkatkan kinerja dari otot vastus medialis oblique yang ditujukan untuk
dapat mereposisi dan menstabilkan posisi dari tulang patella yang mengalami
kesalahan posisi (maltracking), baik patella tersebut mengalami rotasi ke lateral
(internal rotation), bergeser ke lateral, dan terangkat ke lateral.
Namun melihat kondisi kompetisi yang harus dilakukan oleh atlit yang
mengalami patellofemoral pain syndrome memerlukan penanganan yang tepat
untuk mengurangi gejala dan mencegah cedera berulang atau memperburuk
kondisi. Saat ini banyak perkembangan alat bantu yang dapat digunakan seperti
kinesiotape.
37
Pada PFPS penggunaan kinesiotape ditujukan untuk memfasilitasi kinerja
otot vastus medialis oblique untuk meningkatkan kinerja neuromuskular anggota
gerak bawah dan mengontrol posisi patella. Reposisi patela ke medial ditujukan
untuk mengurangi gesekan antar tulang patela dan femur sehingga rasa nyeri dan
bengkak dapat berkurang. Serta menginhibisi otot vastus lateralis dalam
mengurangi gesekan dari patela ke arah lateral terhadap femur.
Untuk mengetahui manfaat kinesiotape pada penderita PFPS dalam mencegah
resiko cedera berulang, memerlukan evaluasi berupa skrining kemampuan
fungsional atlit dalam mendeteksi resiko cedera yang mungkin akan terjadi.
Functional Movement Screening (FMS) merupakan salah satu skrining yang dapat
dilakukan kepada atlet. Sebagai tolak ukur posisi patela yang sudah di reposisi
menggunakan kinesiotape dapat diberikan evaluasi dengan mengukur sudut q-
angle menggunakan goniometer. Berdasarkan manfaat penggunaan kinesiotape,
observasi pengukuran ini dilakukan selama tiga hari.
38
3.2 Kerangka Konsep
Berdasarkan analisis dan sintesis dari teori di atas yang menjadi landasan
berpikir peneliti dalam penelitian ini, peneliti menggambarkan konsep penelitian
sebagai berikut:
Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep
Faktor Eksternal
a. Gerakan Sendi
b. Waktu Pertandingan
c. Performa
Penggunaan Kinesiotaping
a. Fasilitasi VMO
b. Reposisi Patela
c. Inhibisi VL & ITB
Menurunkan Resiko
Cedera berulang PFPS
dan derajat Q-Angle
Faktor Internal
a. Usia
b. Riwayat PFPS
c. Anatomi
Patellofemoral Pain
Syndrome (PFPS)
39
3.3 Hipotesis
Berdasarkan hal tersebut peneliti membuat hipotesis yang berkaitan dengan
kerangka berpikir dan konsep tersebut diatas, sebagai berikut:
3.3.1 Penggunaan kinesiotape selama tiga hari tidak berbeda dengan perekat
plasebo dalam mengurangi resiko cedera berulang pada penderita
patellofemoral pain syndrome.
3.3.2 Penggunaan Kinesiotape selama tiga hari tidak berbeda dengan perekat
plasebo dalam mengurangi derajat Q-angle pada penderita patellofemoral
pain syndrome.
3.3.3 Penggunaan kinesiotape selama tiga hari dapat mengurangi resiko cedera
berulang pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome.
3.3.4 Penggunaan perekat plasebo selama tiga hari dapat mengurangi resiko
cedera berulang pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome.
3.3.5 Penggunaan kinesiotape selama tiga hari dapat mengurangi derajat Q-
angle pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome.
3.3.6 Penggunaan perekat plasebo selama tiga hari dapat mengurangi derajat Q-
angle pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome.
40
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan penelitian
yang digunakan adalah Randomized Clinical Trial Design. 9 Responden untuk
kelompok kinesiotape (perlakuan) dan 8 responden untuk kelompok plasebo
(kontrol). Semua kelompok di ukur kemampuan fungsional dengan Functional
Movement Screening (FMS) dan derajat Q-angle dengan menggunakan
goniometer antara perlakuan Kinesiotape dan perlakuan kontrol plasebo diberikan
intervensi secara bersamaan, kemudian masing-masing perlakuan diobservasi.
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
Keterangan
P : Populasi
S : Sampel
R : Randomisasi
RA : Randomisasi Alokasi
P0 : Kelompok Kinesiotape
P2 : Kelompok Plasebo
O1 : Observasi data awal FMS dan Q-angle kelompok KT
O2 : Observasi data akhir FMS dan Q-angle kelompok KT
O3 : Observasi data awal FMS dan Q-angle kelompok Plasebo
O4 : Observasi data awal FMS dan Q-angle kelompok Plasebo
P S R
O
3 O4
O2 O
1
RA
A
P0
P1
41
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Tempat : Klinik Fisioterapi JPP
Waktu Penelitian : tiga bulan (bulan April sampai Juni 2013).
Waktu Observasi : tiga hari per responden
4.3 Penentuan Sumber Data
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah klien yang terindikasi Patellofemoral
Pain Syndrome dengan criteria sebagai berikut :
4.3.1.1 Adanya nyeri saat dilakukan apprehension test.
4.3.1.2 Adanya nyeri saat Squat dan Single Leg Step Box
4.3.1.3 Adanya atrofi otot VMO unilateral.
4.3.1.4 Adanya taut band di Lateral Retinacullum.
4.3.1.5 Q-angle lebih dari 15o
4.3.2 Sampel
Sampel penelitian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi sebagai berikut:
4.3.2.1 Kriteria inklusi
Terdiri dari :
4.3.2.1.1 Responden yang aktif melakukan olahraga baik atlit professional
maupun amatir.
4.3.2.1.2 Terindikasi adanya Patellofemoral Pain Syndrome dengan
dilakukannya pemeriksaan khusus.
42
4.3.2.1.3 Tidak memiliki gangguan sensibilitas kulit, terutama area otot
quadriceps.
4.3.2.1.4 Tidak terinfeksi karena luka terbuka pada area sendi lutut.
4.3.2.2 Kriteria Eksklusi
Terdiri dari :
4.3.2.2.1 Memiliki cedera lain selain PFPS seperti, meniscus, dan kesobekan
ligament sendi lutut.
4.3.2.2.2 Responden tidak bersedia dan tidak bisa bekerja sama dalam mengkuti
penelitian.
4.3.3 Besar sampel
Besar sampel ditentukan berdasarkan penelitian pendahuluan, untuk
mengetahui hasil FMS terkait dengan resiko cedera. Perhitungan sampel dengan
menggunakan rumus pocock .Dengan mengambil data dari penelitian sebelumnya yaitu
penelitian yang disusun oleh Mo-An et al (2012), di Amerika didapatkan nilai rerata
FMS kelompok kontrol µ1=2,05 dan standar deviasi = 0,52, dengan estimasi perubahan
36% sehingga µ2=2,79. Dengan demikian dapat dihitung besaran sampel tiap kelompok
adalah:
n = 2 ∫ (.)
(µ2- µ12)2
= 2 x (0,52)2 x 7,9
(2,79-2,05)2
= 0,54 x 7,9
0,55
= 7,7 dibulatkan (8)
43
Keterangan:
= Standar deviasi kelompok kontrol
µ1 = Rerata/mean kelompok kontrol yang diberi plasebo
µ2 = Rerata/mean kelompok perlakuan yang diberi kinesiotape
α = Tingkat kesalahan I (ditetapkan 0,05);
interval kepercayaan (1-0,05) = 0,95
β = Tingkat kesalahan II (ditetapkan 0,20)
tingkat kekuatan uji (power of test) 0,80
∫( α ,β) = interval kepercayaan 7,9 (sesuai tabel pocock)
Jadi, berdasarkan hasil perhitungan sampel di atas diperoleh jumlah sampel
sebanyak ditambah kenaikan 10% menjadi 8,8 dengan pembulatan menjadi 9
responden setiap kelompoknya. Sehingga total sampel sebanyak 18 responden.
4.3.4 Teknik pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara sebagai berikut:
4.3.4.1 Melakukan pemilihan sejumlah sampel dari seluruh populasi di klinik
JPP yang terindikasi PFPS.
4.3.4.2 Jumlah sampel yang terpilih, diseleksi berdasarkan kriteria inklusi.
4.3.4.3 Mengadakan pemilihan besar sampel sebanyak 18 responden subjek yang
memenuhi kriteria inklusi diberi nomor urut yang berbeda sebanyak 18
responden.
4.3.4.4 Melakukan pembagian kelompok menjadi dua kelompok masing-masing
kelompok sejumlah 9 responden. Pembagian kelompok dilakukan
dengan cara acak sederhana. Selanjutnya kelompok-1 akan diberikan
kinesiotape pada otot quadriceps dan patella dan kelompok-2 akan
menerima perekat plasebo.
44
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Variabel bebas
Variable bebas dalam penelitian ini adalah Kinesiotape dan perekat
plasebo.
4.4.2 Variabel tergantung
Variable tergantung yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah
resiko cedera berulang dan q-angle penderita patellofemoral pain
syndrome.
4.4.3 Definisi Operasional
4.4.3.1 Patellofemoral pain syndrome (PFPS) merupakan kondisi cedera yang
dikarenakan oleh adanya kesalahan gerak patella (maltracking) ke sisi
lateral, yang didiagnosis oleh fisioterapis berdasarkan pemeriksaan
Patellar Apprehension Test, Pengukuran Q-angle, dan Antropometri
Quadriceps.
4.4.3.2 Kinesiotape adalah perekat elastis yang digunakan dalam penelitian ini
untuk memfasilitasi otot vastus medialis oblique, meresposisi patella ke
medial dan mengurangi ketegangan (tightness) pada otot illiotibial band
dan vastus lateralis. Pemberian kinesiotape ini di pasangkan selama tiga
hari untuk mengetahui efektifitas dari kinesiotape itu sendiri. Tehnik
pemasangan kinesiotape sebagai berikut :
4.4.3.2.1 Pertama berikan fasilitasi pada otot vastus medialis oblique dengan
menggunakan kinesiotape (KT) kurang lebih panjangnya 20 cm dan
berikan potongan pada sisi tengah (potongan huruf Y) dan sisakan 5 cm
45
sebagai jangkar. Fleksikan kaki kira-kira 30o dan letakkan jangkar pada
origo VMO. Kemudian potongan taping diletakkan melingkari VMO
dengan tarikan 25-50%.
Gambar 4.2 Aplikasi Kinesiotape pada Otot Vastus Medialis Oblique, A. palpasi
otot VMO, B. Pengukuran kinesiotape sesuai panjang otot VMO, C. Perekatan
kinesiotape Y shape yang ditarik dari proksimal ke distal dan kedua cabang
KTmelingkari otot VMO, D. HAsil akhir fasilitasi VMO.
(Sumber Dokumentasi Pribadi)
4.4.3.2.2 Untuk koreksi posisi patella, dengan posisi lutut yang sama, ambil 17
cm KT dan potong membentuk huruf Y berikan 5 cm sebagai jangkar.
Letakkan jangkar tepat di atas epikondilus medial tulang femur. Lalu
lingkari patella dengan potongan KT tersebut dengan tarikan 25%.
A. B.
D. C.
46
Gambar 4.3 Aplikasi Kinesiotape pada Patela, A. aplikasi kinesiotape Y shape
dari sisi medial ke lateral dengan melingkari tulang patella pada posisi sendi lutut
30o, B. Aplikasi kinesiotape yang melingkari patella, C. Hasil akhir koreksi
patella.
(Sumber Dokumentasi Pribadi)
4.4.3.2.3 Untuk menginhibisi otot vastus lateralis dan illiotibial band posisikan
pasien tidur miring dengan target kaki yang akan diberikan KT berada
di atas. Kemudian pasien diminta untuk menekukkan kaki yang menjadi
target, lalu panggul hiperekestensikan dan adduksikan. Hal tersebut
untuk mengulur otot vastus lateralis dan illiotibial band. Dengan posisi
tersebut berikan taping sepanjang otot vastus lateralis tanpa dipotong
sisi tengahnya (bentuk huruf I) berikan jangkar 5 cm yang diletakkan di
tuberositas tibia dan berikan tarikan ke proksimal 25%.
A. B. C.
47
Gambar 4.4 Aplikasi Kinesiotape pada Otot Vastus Lateralis dan Iliotibial Band,
A. penguluran otot Vastus Lateralis dan ITB, B. perekatan jangkar pada
tuberositas tibia, C. Perekatan kinesiotape dari distal ke proksimal dalam posisi
penguluran, D. hasil akhir perekatan kinesiotape.
(Sumber Dokumentasi Pribadi)
4.4.3.2.4 Untuk mengurangi ketegangan otot vastus lateralis dan illiotibial band
posisikan pasien duduk dengan kaki lurus. Kemudian aplikasikan tehnik
koreksi facia pada otot vastus lateralis dan illiotibial band dengan
bentuk Y berikan jangkar 7 cm yang diletakkan sisi lateral tepat di atas
bagian otot yang mengalami ketegangan dan berikan tarikan ke medial
25%.
A. B.
D. C.
48
Gambar 4.5 Aplikasi Kinesiotape Koreksi Facia Iliotibial Band dan Vastus
Lateralis, A. Rekatkan jangkar tranversal dari otot Vastus Lateralis dan ITB, B
dan C Lingkarkan potongan kinesiotape di sepanjang otot tersebut, D. Hasil akhir
koreksi facia.
(Sumber Dokumentasi Pribadi)
4.4.3.3 Perekat plasebo adalah suatu perekat tidak elastic dengan metode
pemasangan sama dengan kinesiotape dan dipasangkan selama tiga hari.
Gambar 4.6 Aplikasi Perekat Plasebo, A. Facilitasi VMO, B. Koreksi Patela, C.
Inhibisi ITB dan Vastus Lateralis, D. Koreksi facia
Sumber Dokumentasi Pribadi
4.4.3.3.1 Resiko cedera berulang merupakan suatu kerusakan muskuloskeletal
yang di akibatkan oleh aktivitas olahraga, untuk mengetahui resiko
cedera berulang tersebut dapat dinilai dengan mengobservasi gerak
kompensasi pada gerakan fungsional olahraga dengan penilaian FMS.
A. B. C. D.
A. B.
D. C.
49
Dalam penelitian ini hanya mengambil tiga gerakan fungsional
anggota gerak bawah dari total tujuh gerakan dalam FMS. Dengan
memberikan penilaian terbesar tiga, yang terdiri dari nilai 0 gerakan
tidak dapat dilakukan karena nyeri, nilai 1 tidak bisa menyelesaikan
gerakan, nilai 2 dapat menyelesaikan gerakan dengan kompensasi, dan
nilai 3 dapat menyelesaikan gerakan dengan baik. Tiga gerakan
tersebut terdiri dari Deep Squat, Hurdle Step, In Line Lunges, Active
Straight Leg Raise, Rotary Stability, dan Trunk Stability Push Up
dengan penjelasan sebagai berikut :
4.4.3.3.2 Deep Squat
Deep squat adalah pemeriksaan yang ditujukan untuk menantang mekanika
total tubuh bila dilakukan dengan benar. Tujuan deep squat adalah gerakan dasar
yang diperlukan dalam selruh aktifitas olahraga. Ini adalah posisi yang diperlukan
untuk gerakan yang melibatkan ekstremitas bawah. Deep squat digunakan untuk
menilaii bilateral, simetris, mobilitas fungsional dari sendi pinggul, lutut, dan
pergelangan kaki. Batang kayu dipegang di atas kepala untuk menilai bilateral,
mobilitas simetris bahu serta tulang belakang dada (Cook et al. 2006).
Posisi awalan dengan menempatkan kaki kurang lebih selebar bahu dan kaki
sejajar pada bidang sagital. Kemudian tangan menyesuaikan dengan panjang
batang kayu dan dimulai dari sudut siku 90 derajat ekstensikan siku hingga batang
kayu berada di atas kepala. Kemudian responden diinstruksikan untuk melakukan
squat perlahan-lahan. Posisi squat harus diasumsikan dengan tumpuan tepat pada
kedua tumit, lutut tidak melewati garis sagital dari ibu jari kaki, badan tegak
50
dengan pandangan lurus ke depan. Lakukan sebanyak tiga kali pengulangan. Jika
kriteria skor III tidak tercapai, kemudian individu diminta untuk melakukan tes
dengan menggunakan balok di bawah tumit mereka. Tips untuk pengujian jika
responden ragu, nilai menjadi rendah, tidak menafsirkan nilai saat uji coba,
pastikan pemeriksa melakukan observasi gerakan dari samping.
Gambar 4.7 Gerakan Deep Squat, A. Nilai 3, B. Nilai 2, C. Nilai 1
(Cook et al. 2006)
C.
B.
A.
51
4.4.3.3.3 Hurdle Step
Tujuan hurdle step ini dirancang untuk melihat mekanika tubuh selama gerak
melangkah melewati pita pembatas. Gerakan ini membutuhkan koordinasi yang
tepat dan stabilitas antara pinggul dan tulang belakang selama gerak melangkah
serta stabilitas satu sisi kaki. Langkah rintangan menilai mobilitas fungsional
bilateral dan stabilitas pinggul, lutut, dan pergelangan kaki (Cook et al. 2006).
Posisi awal dengan terlebih dahulu menempatkan kaki bersama-sama dan
menyelaraskan jari-jari kaki menyentuh dasar halang rintang. Pita pembatas
disesuaikan dengan ketinggian tuberositas tibialis responden. Batang kayu
diletakkan di pundak bawah leher. Kemudian responden diminta untuk
melangkahi pita pembatas dan menyentuh tumit mereka ke lantai sambil
mempertahankan sikap kaki yang menjadi tumpuan dalam posisi ekstensi. Hurdle
step harus dilakukan perlahan dan sebanyak tiga kali secara bergantian. Jika satu
pengulangan selesai dan memenuhi kriteria maka diberikan nilai tiga. Tips untuk
pengujian, nilailah kaki yang melangkah melewati rintangan, pastikan responden
mempertahankan tubuh dengan stabil, katakan ke responden untuk tidak
mengunci sendi lutut selama tes, menjaga keselarasan dengan pita pembatas dan
tuberositas tibialis, ketika responden ragu berikan nilai rendah, tidak menafsirkan
skor saat pengujian.
52
Gambar 4.8 Gerakan Hurdle Step, A. Nilai 3, B. Nilai 2, C. Nilai 1
(Cook et.al, 2006)
4.4.3.3.4 In Line Lunges
In-line lunge adalah tes yang menempatkan ekstremitas bawah dalam posisi
gaya menggunting yang memberikan kinerja lebih pada trunk dan ekstremitas
untuk melawan gerak rotasi dan menjaga keselarasan. Tes ini menilai mobilitas
C.
B.
A.
53
pinggul dan pergelangan kaki dan stabilitas, fleksibilitas paha depan, dan stabilitas
lutut (Cook et al. 2006).
Penguji mengukur panjang tulang tibia dari lantai ke tuberositas tibialis atau
memperolehnya dari ketinggian pita pembatas selama uji hurdle step. Responden
diminta untuk menempatkan ujung tumit mereka pada ujung papan atau pita
pengukur ditempelkan ke lantai. Panjang tulang tibia diterapkan dari ujung jari-
jari kaki di papan FMS dan dibuat tanda. Batang kayu ditempatkan di belakang
punggung menyentuh kepala, tulang belakang, dan sacrum. Posisi tangan untuk
kaki depan harus memegang batang kayu di belakang leher. Tangan sisi lain
menggenggam batang kayu pada tulang belakang lumbal. Responden
melangkahkan kaki depannya dengan tumit menyentuh garis yang sebagai tanda
di papan FMS. Kemudian responden menurunkan kembali lutut kaki belakang
hingga menyentuh permukaan belakang tumit kaki depan dan kemudian kembali
ke posisi awal. lunge ini dilakukan sampai tiga kali secara bergantian dan
dilakukan perlahan-lahan. Jika salah satu pengulangan berhasil diselesaikan maka
diberikan nilai tiga untuk ekstremitas (kanan atau kiri). Tips untuk pengujian kaki
depan mengidentifikasi sisi yang dinilai, batang kayu tetap menyentuh kepala,
tulang belakang, dan sakrum selama pemeriksaan, tumit kaki depan tetap
menyentuh permukaan papan, jika responden ragu diberikan nilai rendah,
perhatikan kehilangan keseimbangan yang terjadi, penguji tetap dekat dengan
responden khususnya pada kasus yang gangguan keseimbangan.
54
Gambar 4.9 Gerakan In Line Lunges, A. Nilai 3, B. Nilai 2, C. Nilai 1
(Cook et.al, 2006)
4.4.3.3.5 Active Straight Leg Raise
Active Straight Leg Raise merupakan pemeriksaan untuk melihat kemampuan
anggota gerak bawah terhadap stabilitas tubuh. Selain itu juga memeriksa
fleksibilitas dari otot hamstring dan gastroc-soleus dengan mempertahankan
posisi pelvis (Cook et al. 2006).
C.
B.
A.
55
Pertama posisikan responden tidur terlentang dengan tangan posisi anatomi
dan kepala datar dengan lantai. Pemeriksa meletakkan tongkat berada di tengah-
tengah tulang paha antara SIAS dan patella. Saat pemeriksaan kedua lutut, tumit
dan kepala menempel dengan lantai. Kemudian responden diperintahkan untuk
meluruskan lutut dan menggerakkan pergelangan kaki dorsi fleksi. Setelah itu
dalam posisi tersebut responden diperintahkan untuk mengangkat kakinya (fleksi
panggul) lurus ke atas hingga sejajar atau melebih tongkat.
Gambar 4.10 Active Straight Leg Raise, A. Nilai 3, B. Nilai 2, C. Nilai 1
(Cook et.al, 2006)
4.4.3.3.6 Rotary Stability
Rotary stability merupakan gerakan yang kompleks membutuhkan koordinasi
neuromuskular dan kekuatan dari satu segmen tubuh ke sisi yang lain.
C. B. A.
56
Pemeriksaan ini untuk melihat kemampuan stabilitas tulang belakang
dikombinasikan dengan gerakan ekstremitas atas dan bawah (Cook et al. 2006).
Posisikan responden quadruped dengan bahu, panggul dan sendi lutut 90
derajat dari tulang belakang. Kemudian bahu dan panggul diluruskan lalu
gerakkan tangan dan kaki hingga siku dan lutut saling bersentuhan. Lakukan
sebanyak tiga repetisi, dan jika tidak bisa melakukannya dapat dilakukan dengan
cara diagonal.
Gambar 4.11 Rotary Stability A. Nilai 3, B. Nilai 2, C. Nilai 1
(Cook et.al, 2006)
C.
B.
A.
57
4.4.3.3.7 Trunk Stability Push Up
Trunk Stability Push up pemeriksaan untuk melihat stabilitas tulang belakang
saat gerakan closed kinetic chain ekstremitas atas. Pemeriksaan stabilitas tulang
belakang pada bidang sagital saat gerakan ekstremitas atas bergerak simetris
(Cook et al. 2006).
Responden dalam posisi tidur tengkurap dengan kaki rapat. Tangan
diletakkan sejajar dengan bahu dan diletakkan sesuai dnegan criteria penilaian.
Kemudian responden melakukan push up pada posisi tersebut. Gerakan dilakukan
secara bersamaan dan simetris.
Gambar 4.12 Trunk Stability Push Up A. Nilai 3, B. Nilai 2, C. Nilai 1
(Cook et.al, 2006)
C. B. A.
58
4.4.3.3.8 Formulir penilaian FMS
Tabel 4.1
Formulir penilaian FMS
Test Nilai Catatan
Deep Squat
Hurdle Step Ka
Ki
Inline Lunge Ka
Ki
Active Straight Leg Raise Ka
Ki
Rotary Stability Ka
Ki
Trunk Stability Push Up
Total
4.4.3.3.9 Kriteria Penilaian FMS
Tabel 4.2
Penilaian Functional Movement Screening
Nilai Kriteria Penilaian
0 Nyeri Saat Bergerak
1 Tidak bisa menyelesaikan gerakan
2 Menyelesaikan gerakan dengan kompensasi
3 Menyelesaikan gerakan dengan baik
Sumber : Mo-An et al. 2012
59
4.5 Pengukuran Q-Angle
4.5.1 Posisikan pasien berdiri.
4.5.2 Letakkan poros goniometer di titik tengah tulang patella.
4.5.3 Kemudian menarik garis superior iliac anterior spine (SIAS) ke patela dan
tuberositas tibia ke patella.
4.5.4 Lihat derajat yang tertera pada goniometer.
4.6 Instrumen Penelitian
Tabel 4.3
Instrumen Penelitian yang digunakan
No Jenis Alat
1.
2.
Kinesiotape
Perekat plasebo
3. Lembar Penilaian FMS
4. Alat dokumentasi untuk merekam jalannya penelitian
5.
6.
Papan FMS
Goniometer
4.7 Prosedur Penelitian
4.7.1 Tahap Persiapan
Tahap persiapan menyangkut:
4.6.1.1 Studi kepustakaan dari buku, jurnal, proseding, internet dan lain-lain yang
relevan dengan topik penelitian.
4.6.1.2 Mengurus surat-surat penelitian persetujuan penelitian kepada Klinik
Fisioterapi JPP Tangerang.
4.6.1.3 Membuat jadwal pelaksanaan penelitian.
60
4.6.1.4 Menyiapkan alat-alat ukur yang baku dan punya ketelitian yang dapat
dipercaya dan diakui secara ilmiah.
4.6.1.5 Melakukan penentuan sampel secara acak sederhana dengan cara undian,
berdasarkan metode dan kriteria yang telah ditentukan.
4.6.1.6 Mengadakan pelatihan pengukuran dengan teman-teman yang membantu
dalam pelaksanaan penelitian.
4.6.2 Tahap Pengambilan Data Awal
4.6.2.1 Melakukan pemeriksaan pendahuluan dengan memberikan pemeriksaan
FMS dan Q-angle pada atlit PFPS sebelum diberikan kinesiotape dan
perekat plasebo. Dengan skor tertinggi tiga disetiap gerakan pada FMS.
4.6.2.2 Melakukan penelitian perbandingan antara perekat plasebo dengan
kinesiotape terhadap cedera berulang pada atlit yang mengalami PFPS
dengan menggunakan FMS dan Q-angle.
4.6.2.3 Mengolah hasil penelitian pendahuluan untuk menentukan besar sampel
dalam penelitian selanjutnya.
4.6.3 Tahap pemilihan dan penentuan sampel
Prosedur pemilihan dan penentuan sampel menyangkut:
4.6.3.1 Semua responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai
sampel diberikan nomor urut yang berbeda.
4.6.3.2 Selanjutnya sampel dipilih secara acak sederhana dengan menggunakan
teknik undian genap dan ganjil. Jika genap masuk dalam kelompok
kinesiotape dan jika ganjil masuk dalam kelompok plasebo dengan
masing-masing kelompok terdapat 9 responden.
61
4.6.4 Tahap Pelaksanaan Penelitian
Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan
penelitian ini adalah sebagi berikut:
4.6.4.1 Sebelum pelaksanaan penelitian responden diberikan penjelasan tentang
tujuan dan manfaat penelitian, jadwal dan tempat penelitian, tatalaksana
penelitian, dan hak-hak subjek dalam pelaksanaan penelitian.
4.6.4.2 Dilakukan pemeriksaan spesifik untuk mendiagnosa PFPS sesuia dengan
kriteria inklusi dan eksklusi.
4.6.4.3 Melakukan pemeriksaan FMS dan Q-angle sebelum intervensi.
4.6.4.4 Memberikan aplikasi kinesiotape pada otot vastus medialis oblique untuk
memfasilitasi, untuk mereposisi patella pada mid-position, dan
menurunkan tegangan dari otot vastus lateralis dan illiotibial band.
Aplikasi kinesiotape dipasangkan selama tiga hari, tidak di lepas atau
digantikan dengan yang baru. Kemudian melakukan observasi FMS dan
Q-angle dari hari pertama sampai dengan hari ketiga.
4.6.4.5 Memberikan aplikasi perekat plasebo pada otot Vastus medialis oblique
dan patela. Aplikasi perekat plasebo tetap dipasangkan selama tiga hari,
tidak di lepas atau digantikan dengan yang baru. Kemudian melakukan
observasi FMS dan Q-angle dari hari pertama sampai dengan hari ketiga.
62
4.6.5 Alur Penelitian
Gambar 4.13 Bagan Alur Prosedur Penelitian
63
4.7 Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan perangkat lunak SPSS dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
4.7.1 Statistik deskriptif untuk menganalisis umur, jenis kelamin, dan aktivitas
olahraga yang datanya diambil sebelum dilakukan intervensi awal.
4.7.2 Uji normalitas data dengan Saphiro Wilk Test, bertujuan untuk mengetahui
distribusi data masing-masing kelompok. Batas kemaknaan yang
digunakan adalah α = 0,05. Jika hasilnya p > 0,05 maka dikatakan bahwa
data berdistribusi normal dan apabila p < 0,05 menunjukkan bahwa data
tidak berdistribusi normal.
4.7.3 Uji homogenitas data dengan Levene Test, bertujuan untuk mengetahui
variasi data awal sampel dimulai dari kondisi yang sama. Batas
kemaknaan yang digunakan adalah α = 0,05. Dengan pengujian hipotesa
Ho bila nilai p > 0,05 maka data homogen dan Ho ditolak bilai nilai p <
0,05 berarti data tidak homogen.
Ho: Tidak ada perbedaan resiko cedera dan q-angle sebelum perlakuan
antara kelompok kinesiotape dan kelompok plasebo.
Ha: Ada ada perbedaan resiko cedera dan q-angle sebelum perlakuan
antara kelompok kinesiotape dan kelompok plasebo.
4.7.4 Untuk menguji signifikan dua sampel yang saling berpasangan pada
kelompok kinesiotape melihat hasil FMS terkait dengan resiko cedera
berulang menggunakan uji T- test Related. Dengan pengujian hipotesa H0
64
diterima bila nilai P> nilai (0,05), sedangkan H0 ditolak bila nilai P<
nilai (0,05).
H0 : Tidak ada perbedaan resiko cedera berulang sebelum dan sesudah
diberikan kinesiotape pada patellofemoral pain syndrome.
Ha : Ada perbedaan resiko cedera berulang sebelum dan sesudah
diberikan kinesiotape pada patellofemoral pain syndrome.
4.7.5 Untuk menguji signifikan dua sampel yang saling berpasangan pada
kelompok kinesiotape melihat hasil Q-angle menggunakan uji Wilcoxon
Two Signed Rank test. Dengan pengujian hipotesa H0 diterima bila nilai
P> nilai (0,05), sedangkan H0 ditolak bila nilai P< nilai (0,05).
H0 : Tidak ada perbedaan derajat Q-angle sebelum dan sesudah diberikan
kinesiotape pada patellofemoral pain syndrome.
Ha : Ada perbedaan derajat Q-angle sebelum dan sesudah diberikan
kinesiotape pada patellofemoral pain syndrome.
4.7.6 Untuk menguji signifikan dua sampel yang saling berpasangan pada
kelompok plasebo melihat hasil FMS terkait dengan resiko cedera
berulang menggunakan uji T- test Related. Dengan pengujian hipotesa H0
diterima bila nilai P> nilai (0,05), sedangkan H0 ditolak bila nilai P<
nilai (0,05).
H0 : Tidak ada perbedaan resiko cedera berulang sebelum dan sesudah
diberikan kinesiotape pada patellofemoral pain syndrome.
Ha : Ada perbedaan resiko cedera berulang sebelum dan sesudah
diberikan kinesiotape pada patellofemoral pain syndrome.
65
4.7.7 Untuk menguji signifikan dua sampel yang saling berpasangan pada
kelompok plasebo melihat hasil Q-angle menggunakan uji Wilcoxon Two
Signed Rank test. Dengan pengujian hipotesa H0 diterima bila nilai P>
nilai (0,05), sedangkan H0 ditolak bila nilai P< nilai (0,05).
H0 : Tidak ada perbedaan derajat Q-angle sebelum dan sesudah diberikan
kinesiotape pada patellofemoral pain syndrome.
Ha : Ada perbedaan derajat Q-angle sebelum dan sesudah diberikan
kinesiotape pada patellofemoral pain syndrome.
4.7.8 Untuk menguji signifikan dua sample yang tidak berpasangan pada
kelompok kinesiotape dan kelompok plasebo melihat hasil FMS terkait
dengan resiko cedera berulang menggunakan independent-t test. Dengan
pengujian hipotesa Ho diterima bila nilai P> nilai (0,05), sedangkan H0
ditolak bila nilai P< nilai (0,05).
Ho : Tidak ada perbedaan resiko cedera berulang pada kelompok
kinesiotape dan kelompok plasebo pada patellofemoral pain syndrome.
Ha : Ada perbedaan resiko cedera berulang pada kelompok kinesiotape
dan kelompok plasebo pada patellofemoral pain syndrome.
4.7.9 Untuk menguji signifikan dua sample yang tidak berpasangan pada
kelompok kinesiotape dan kelompok plasebo melihat hasil derajat Q-angle
menggunakan Mann-Whitney test. Dengan pengujian hipotesa Ho diterima
bila nilai P> nilai (0,05), sedangkan H0 ditolak bila nilai P< nilai
(0,05).
66
Ho : Tidak ada perbedaan derajat Q-angle pada kelompok kinesiotape dan
kelompok plasebo pada patellofemoral pain syndrome.
Ha : Ada perbedaan derajat Q-angle pada kelompok kinesiotape dan
kelompok plasebo pada patellofemoral pain syndrome.
67
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Deskripsi karakteristik subjek penelitian
Karakteristik subjek penelitian yang termasuk data numerik yaitu variabel
usia, tinggi badan dan berat badan. Tabel 5.1 menunjukkan bahwa pada variabel
usia rata-rata usia kelompok perlakuan lebih muda 0,02 tahun dari pada kelompok
kontrol, dengan selisih usia termuda adalah 1 tahun dan selisih usia maksimal
adalah 5 tahun. Rata-rata pada variabel tinggi badan kelompok perlakuan lebih
besar dari pada kelompok kontrol dengan selisih rata-rata tinggi 5,76 cm. Terdapat
perbedaan 2 cm pada tinggi badan dan 6 cm pada tinggi badan maksimal. Pada
variabel berat badan menunjukkan bahwa kelompok perlakuan lebih berat 2,01 kg
dari pada kelompok kontrol.
Tabel 5.1
Data Numerik Karakteristik Subjek Penelitian
Variabel
Subjek
Kinesiotape ± Plasebo
(n=9) (n=8) Selisih
Rata-rata Min
Maks Rata-rata
Min
Maks
Usia (tahun) 22,11 ± 22,13 19 ± 20
30 ± 25 0,02
1
5
Tinggi badan
(cm) 176,89 ± 171,13
163 ± 165
183 ± 170 5,76
2
6
Berat Badan
(kg) 70,89 ± 68,88
65 ±54
86 ± 89 2,01
11
3
Keterangan:
n = Jumlah Sampel
Min = Minimal
Maks = Maksimal
Perlakuan = Kelompok perlakuan kinesiotaping
Kontrol = Kelompok perlakuan plasebo
68
Pada tabel 5.2 menjelaskan karakteristik subjek penelitian yang termasuk data
katagorik umum yaitu jenis kelamin, cabang olahraga, dan region PFPS
menunjukkan bahwa pada variabel jenis kelamin keseluruhan sampel pada
kategori laki-laki lebih banyak (88,2%) dibandingkan kategori perempuan
(11,8%), begitu pula pada masing-masing kelompok. Pada variabel cabang
olahraga kategori basket dalam penelitian ini merupakan kategori yang paling
banyak (64,7%) dibandingkan dengan ketiga cabang olahraga lainnya. Dalam
penelitian ini variabel regio PFPS sisi kanan merupakan kategori yang paling
banyak (64,7%) dibandingkan dengan sisi kiri (35,3%).
Tabel 5.2
Data Katagorik Umum Karakteristik Subjek Penelitian
Variabel Kategori
Perlakuan
(KT)
Kontrol
(Plasebo)
Keseluruhan
sampel
% % %
Jenis Kelamin Laki-laki 88,9 87,5 88,2
Perempuan 11,1 12,5 11,8
Cabang
Olahraga Basket 77,8 50 64,7
Sepak Bola 11,1 12,5 11,8
Badminton 0 12,5 5,9
Voli 11,1 25 17,6
Regio PFPS Kanan 77.8 50 64,7
Kiri 22,2 50 35,3
5.2 Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Data Instrumen Hasil Penelitian
Untuk menentukan jenis uji statistik komparasi yang akan digunakan untuk
membandingkan hasil pre test dan post test antara kedua kelompok perlakuan dan
kontrol maka terlebih dahulu dilakukan uji normalitas distribusi data dengan
menggunakan uji Saphiro Wilk Test, sedangkan uji homogenitas varian data
69
dengan menggunakan uji Levene’s Test yang akan disajikan pada tabel 5.3 sebagai
berikut:
Tabel 5.3
Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Data Instrumen Hasil Penelitian
Variabel
p. Uji Normalitas
(Shapiro-Wilk Test)
p. Uji Homogenitas
Perlakuan
(n=9)
Kontrol
(n=8)
Keterangan (Levene’s Test)
FMS Pre Test 0,290 0,319 Normal 0,807
Post Test 0,222 0,385 Normal 0,873
Q-ANGLE Pre Test 0,000 0,000 Tidak Normal 0,765
Post Test 0,000 0,000 Tidak Normal 0,401
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa hasil penelitian dengan instrument Functional
Movement Screening didapatkan hasil uji normalitas dengan menggunakan Uji
Shapiro Wilk Test pada semua variabel pre test dan post test pada kedua
kelompok data adalah berdistribusi normal (p > 0,05) dan uji homogenitas dengan
menggunakan uji Levene’s Test of varian pada semua variabel pre test dan post
test pada kedua kelompok data adalah homogen (p > 0,05). Dengan demikian
pada pengolahan data berikutnya dilakukan uji kompatibilitas sebelum (pre)
kelompok kinesiotape dan plasebo menggunakan independent t-test. Hal tersebut
ditujukan untuk mengetahui uji hipotesis pertama dengan menggunakan data
sesudah perlakuan atau menggunakan data selisih sebelum dan sesudah perlakuan
variabel FMS.
Selain itu juga pada tabel menunjukkan bahwa hasil penelitian dengan
instrument Q-angle didapatkan hasil uji normalitas dengan menggunakan Uji
Shapiro Wilk Test pada semua variabel pre test dan post test pada kedua
kelompok data adalah tidak berdistribusi normal (p < 0,05) dan uji homogenitas
70
dengan menggunakan uji Levene’s Test of varian pada semua variabel pre test dan
post test pada kedua kelompok data adalah homogen (p > 0,05). Dengan demikian
pada pengolahan data berikutnya dilakukan uji kompatibilitas sebelum (pre)
kelompok kinesiotape dan plasebo menggunakan Mann-Whitney test. Hal tersebut
ditujukan untuk mengetahui uji hipotesis kedua dengan menggunakan data
sesudah perlakuan atau menggunakan data selisih sebelum dan sesudah perlakuan
variabel q-angle.
5.3 Uji peningkatan nilai FMS pada kelompok kinesiotape.
Uji ini untuk mengetahui peningkatan nilai FMS sebelum dan sesudah
perlakuan pada kelompok kinesiotape dengan menggunakan T-test Related yang
disajikan pada tabel 5.4 sebagai berikut:
Tabel 5.4
Uji peningkatan nilai FMS pada kelompok kinesiotape dengan T-test Related
Variabel
(n=9) Rerata ± sd t p
Kinesiotape_FMS_Pre
Kinesiotape_FMS_Post
10,22±1,56
15,22±2,54 4,685 0,002
Tabel 5.4 di atas menunjukkan bahwa kelompok kinesiotape rerata FMS
sebelum perlakuan sebesar 12,7 poin dan sesudah 15,22 poin. Terjadi peningkatan
rerata pada kelompok kinesiotape variabel FMS adanya perbedaan yang signifikan
p = 0,002 (p < 0,05).
71
5.4 Uji peningkatan nilai FMS pada kelompok pada kelompok plasebo.
Uji ini untuk mengetahui peningkatan nilai FMS sebelum dan sesudah
perlakuan pada kelompok plasebo dengan menggunakan T-test Related yang
disajikan pada tabel 5.5 sebagai berikut:
Tabel 5.5
Uji peningkatan nilai FMS pada kelompok pada kelompok plasebo
dengan T-test Related
Variabel
(n=8) Rerata ± sd t p
Plasebo_FMS_Pre
Plasebo_FMS_Post
10±1,6
13,5±2,27 3,5 0.01
Tabel 5.5 di atas menunjukkan bahwa kelompok plasebo rerata FMS sebelum
perlakuan sebesar 10 poin dan sesudah 10,6 poin. Terjadi peningkatan rerata yang
signifikan pada kelompok plasebo variabel FMS sebesar p = 0,01 (p < 0,05).
5.5 Uji Penurunan Q-angle pada kelompok kinesiotape.
Uji ini untuk mengetahui penurunan derajat q-angle sebelum dan sesudah
perlakuan pada kelompok kinesiotape dengan menggunakan wilcoxon sign rank
test yang disajikan pada tabel 5.6 sebagai berikut:
Tabel 5.6
Uji penurunan Q-angle pada kelompok kinesiotape
dengan Wilcoxon Sign Rank Test
Variabel
(n=9)
z p
Kinesiotape_Q-angle Pre & Post
(n=9)
2,887 0.004
72
Tabel 5.6 di atas menunjukkan bahwa adanya penurunan derajat q-angle yang
signifikan pada kelompok kinesiotape dengan nilai p = 0,004 (p < 0,05) terhadap
penderita patellofemoral pain syndrome.
5.6 Uji Penurunan Q-angle pada kelompok plasebo.
Uji ini untuk mengetahui penurunan derajat q-angle sebelum dan sesudah
perlakuan pada kelompok plasebo dengan menggunakan wilcoxon sign rank test
yang disajikan pada tabel 5.7 sebagai berikut:
Tabel 5.7
Uji penurunan Q-angle pada kelompok plasebo dengan Wilcoxon Sign
Rank Test
Variabel z p
Plasebo_Q-angle
Pre & Post
(n=8)
2,64 0.008
Tabel 5.7 di atas menunjukkan bahwa adanya penurunan derajat q-angle yang
signifikan pada kelompok plasebo dengan nilai p = 0,008 (p < 0,05) terhadap
penderita patellofemoral pain syndrome.
5.7 Uji Kompatibilitas Data Variabel Functional Movement Screening dan Q-
angle Sebelum Perlakuan Kedua Kelompok
Uji ini untuk mengetahui perbedaan rerata kemampuan fungsional sebelum
perlakuan pada masing-masing kelompok kinesiotape dan kelompok placebo.
Serta untuk mengetahui signifikansi perbedaan kemampuan fungsional sebelum
perlakuan pada masing-masing kelompok kinesiotape dan kelompok plasebo
73
maka dilakukan uji independent t-test yang disajikan pada tabel 5.8 sebagai
berikut:
Tabel 5.8
Uji Kompatibilitas Sebelum Perlakuan Kedua Kelompok Variabel FMS
Variabel Pre Test
Kelompok
Kinesiotape
(n=9)
Kelompok
Plasebo
(n=8)
t p
FMS
(independent
t-test)
Rerata ±
sd 10,22 ± 1,56 10 ± 1,6 0,289 0,777
Tabel 5.8 diatas menunjukkan bahwa pada kelompok kinesiotape rerata FMS
sebelum perlakuan kinesiotape dan plasebo menunjukkan tidak adanya perbedaan
yang signifikan p = 0,777 (p > 0,05). Dengan demikian data yang di uji pada
hipotesis pertama menggunakan data sesudah perlakuan kedua kelompok. Pada
tabel 5.3 telah dijelaskan bahwa data sesudah perlakuan variabel FMS terdistribusi
normal, maka pengujian menggunakan uji hipotesis pertama dengan
menggunakan independent t-test.
Tabel 5.9
Uji Kompatibilitas Sebelum Perlakuan Kedua Kelompok Variabel Q-angle
Variabel Pre Test
Kelompok
Kinesiotape
(n=9)
Kelompok
Plasebo
(n=8)
z p
Q-angle
(Mann-
Whitney test)
Rerata ±
sd 16,67 ± 3,54 16,88± 2,6 0,482 0,63
Tabel 5.9 diatas menunjukkan bahwa pada kelompok kinesiotape rerata Q-
angle sebelum perlakuan kinesiotape dan plasebo menunjukkan tidak adanya
perbedaan yang signifikan p = 0,63 (p > 0,05). Dengan demikian data yang di uji
74
pada hipotesis kedua menggunakan data sesudah perlakuan kedua kelompok. Pada
tabel 5.3 telah dijelaskan bahwa data sesudah perlakuan variabel Q-angle tidak
terdistribusi normal, maka pengujian menggunakan uji hipotesis kedua dengan
menggunakan Mann-Whitney test.
5.8 Uji Beda Peningkatan Nilai Kemampuan Functional Movement
Screening Antara Kedua Kelompok Perlakuan
Untuk mengetahui perbedaan rerata dari selisih peningkatan kemampuan
functional movement screening kelompok kinesiotape dan kelompok plasebo saat
sesudah perlakuan dan untuk mengetahui signifikansi perbedaan peningkatan
kemampuan functional movement screening kedua kelompok perlakuan sesudah
perlakuan maka dilakukan uji t-tidak berpasangan (independent t-test) yang
disajikan pada tabel 5.10 sebagai berikut:
Tabel 5.10
Uji Hipotesis Kemampuan Functional Movement Screening Antara Kedua
Kelompok Perlakuan dengan Independent T-Test
Perlakuan Rerata ± sd t p
Kelompok Kinesiotape
(n=9) 15,22 ± 2,54
1,47 0,163 Kelompok Plasebo
(n=8) 13,5 ± 2,27
Tabel 5.10 diatas menunjukkan bahwa nilai rerata sesudah perlakukan
kelompok kinesiotape 15,22 ± 2,54 sedangkan kelompok plasebo 13,5 ± 2,27.
Analisis uji kemaknaan independent t-test menunjukkan nilai t = 1,47 dengan nilai
p = 0,163 lebih dari alpha (p > 0,05). Hal tersebut menjelaskan bahwa
75
peningkatan kemampuan fungsional kedua kelompok menunjukkan tidak adanya
perbedaan yang signifikan.
5.9 Uji Beda Penurunan Derajat Q-angle Antara Kedua Kelompok
Perlakuan
Untuk mengetahui perbedaan rerata dari selisih penurunan q-angle kelompok
kinesiotape dan kelompok plasebo saat sesudah perlakuan untuk mengetahui
signifikansi perbedaan penurunan q-angle kedua kelompok perlakuan sesudah
perlakuan maka dilakukan uji Mann-Whitney test yang disajikan pada tabel 5.11
sebagai berikut:
Tabel 5.11
Uji Hipotesis Penurunan Derajat Q-angle Antara Kedua Kelompok
Perlakuan dengan Mann-Whitney test
Perlakuan Rerata ± sd z p
Kelompok Kinesiotape
(n=9) 11,11 ± 3,33
0 1,000 Kelompok Plasebo
(n=8) 10,62 ± 1,77
Tabel 5.11 diatas menunjukkan bahwa nilai rerata sesudah perlakukan
kelompok kinesiotape 11,11, sedangkan kelompok plasebo 10,62. Analisis uji
kemaknaan Mann-Whitney test dengan nilai p = 1. Hal tersebut menjelaskan
bahwa penurunan q-angle kedua kelompok menunjukkan tidak adanya perbedaan
yang signifikan (p > 0,05).
76
Melihat hasil uji beda berpasangan didapatkan simpulan data sebagai berikut :
1. Berdasarkan uji beda pre dan post FMS, dinyatakan bahwa kinesiotape dapat
mencegah resiko berulang pada penderita PFPS.
2. Berdasarkan uji beda pre dan post FMS, dinyatakan bahwa perekat plasebo
tidak memberikan peningkatan nilai FMS yang signifikan pada penderita
PFPS.
3. Berdasarkan uji beda pre dan post Q-angle, dinyatakan bahwa kinesiotape
dapat menurunkan derajat Q -angle pada penderita PFPS.
4. Berdasarkan uji beda pre dan post Q-angle, dinyatakan bahwa perekat
plasebo dapat menurunkan derajat Q -angle pada penderita PFPS.
5. Berdasarkan uji Independent-t test, bahwa penggunaan kinesiotape tidak
berbeda dengan perekat plasebo dalam mengurangi resiko cedera berulang
pada penderita patellofemoral pain syndrome.
6. Berdasarkan uji Mann-Whitney, bahwa penggunaan kinesiotape tidak berbeda
dengan perekat plasebo dalam menurunkan derajat Q-angle pada penderita
patellofemoral pain syndrome.
77
77
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Penggunaan Kinesiotape Selama Tiga Hari Tidak Berbeda Dengan
Perekat Plasebo Dalam Mengurangi Resiko Cedera Berulang pada
penderita Patellofemoral Pain Syndrome
Pada kelompok kinesiotape nilai rerata FMS sebelum perlakuan sebesar 10,22
poin menjelaskan bahwa penderita PFPS mengalami kompensasi dan kurangnya
stabilitas otot quadriceps terhadap tulang patela saat melakukan aktiifitas
olahraga. Seperti kita ketahui bahwa nilai FMS kurang dari sama dengan 14 poin
(FMS ≤ 14), atlet terdeteksi resiko cedera berulang. Namun setelah pemasangan
kinesiotape nilai rerata meningkat sebesar 15,22 poin dengan nilai p = 0,002 (p <
0,05) dan selisih peningkatan rerata sebesar 5 poin atau sebesar 49 %. Hal ini
dapat dikatakan bahwa kinesiotape membantu mengurangi resiko cedera berulang
dengan nilai FMS lebih dari 14 poin (FMS > 14).
Berdasarkan hal tersebut, kinesiotape memberikan rangsangan kepada
nociceptor dan propioceptif untuk dapat menerima informasi untuk dapat di urai
dalam bentuk perbaikan atau re-edukasi kinerja otot vastus medialis dan
menurunkan ketegangan otot vastus lateralis dan illiotibial band. Jika sudah
bekerja seperti itu, kompensasi gerak fungsional fungsional akan menurun dan
berada pada posisi fungsional yang benar dan stabil. Selain itu juga, kinesiotape
dapat melebarkan sirkulasi yang membawa oksigen ke otot, sehingga otot dapat
berkontraksi maksimal dibandingkan tidak menggunakan kinesiotape.
78
Pada kelompok plasebo juga mengalami peningkatan nilai rerata FMS sebesar
3.5 poin atau sebesar 35 % dari rerata sebelum 10 poin dan sesudah perlakuan
sebesar 13,5 poin dengan nilai p = 0.01 (p < 0,05). Peningkatan rerata tersebut
sangat kecil dibandingkan dengan kelompok kinesiotape. Peningkatan ini
disebabkan oleh perekat plasebo yang tidak elastis mempermudah patela
terkoreksi. Selain itu, luas gerak sendi lutut tidak akan terbatas atau terhambat
karena posisi patela yang ke lateral. Jika dilihat dari nilai peningkatan pada
kinesiotape dan plasebo, hasil dari pengunaan kinesiotape lebih besar
dibandingkan dengan perekat plasebo. Hal tersebut dikarenakan, observasi pada
perekat plasebo membatasi gerak sendi lutut saat pemeriksaan FMS dilakukan,
sehingga dapat mempengaruhi dari hasil FMS. pada kelompok kinesiotape dapat
diprediksikan jika penggunaannya dilakukan berulang-ulang dalam waktu lebih
dari dua minggu, peningkatan yang terjadi melebihi dari kelompok perekat
plasebo (Olivera et al. 2013)
Gambar 6.1. Grafik rerata Peningkatan FMS Pada kedua kelompok perlakuan
10.22
15.22
10
13,5
sebelum sesudah
kinesiotape plasebo
79
Melihat gambar 6.1 kelompok kinesiotape dan kelompok plasebo sama-sama
memberikan peningkatan nilai FMS. Hal tersebut senada dengan hasil uji t-tidak
berpasangan (independent-t), diketahui bahwa nilai probabilitas uji kemaknaan
didapatkan sebesar p = 0,163 lebih besar dari alpha (p > 0,05). Berdasarkan data
tersebut, dapat disimpulkan bahwa kinesiotape tidak memiliki perbedaan yang
signifikan dengan perekat plasebo dalam mengurangi resiko cedera berulang pada
patellofemoral pain syndrome.
6.2 Penggunaan Kinesiotape selama tiga hari Tidak Berbeda Dengan
Perekat Plasebo Dalam Menurunkan Q-angle pada penderita
Patellofemoral Pain Syndrome
Berdasarkan uji statistik non parametrik berpasangan (wilcoxon sign rank
test) terhadap hasil penelitian terdapat perbedaan hasil nilai q-angle dari sebelum
dan sesudah perlakuan. Dimana nilai pada kelompok kinesiotape rerata sebelum
pemasangan kinesiotape sebesar 16,66 derajat. Hal tersebut menjelaskan bahwa
penderita PFPS mengalami sudut quadriceps (q-angle) lebih besar dari 15 derajat.
Seperti pernyataan Bolgla dan Boling (2011), bahwa sudut normal dari q-angle
kurang dari 15 derajat, jika lebih atau sama dengan 15 derajat maka akan
mengakibatkan kerusakan pada badan facet patela sisi lateral dengan trochlea.
Setelah dipasangkan kinesiotape nilai rerata menurun menjadi 11,11 derajat
dengan selisih 5,55 derajat atau penurunan sebesar 67% dari sebelum aplikasi,
dengan nilai p = 0,004 (p < 0,05). Namun, q-angle pada kelompok plasebo juga
mengalami penurunan lebih besar dengan selisih rerata sebelum dan sesudah
80
perlakuan sebesar 6,3 derajat dengan persentase penurunan sebesar 63 %, dengan
nilai p = 0,008 (p < 0,05).
Fenomena penurunan q-angle pada perekat plasebo memang lebih besar
nilainya dibandingkan dengan kinesiotape. Perekat plasebo berifat tidak elastis,
maka perekat ini lebih mampu mempertahankan posisi atau mereposisi patela
lebih kuat dibandingkan kinesiotape yang bersifat elastis.
Gambar 6.2. Grafik rerata penurunan Q-angle pada kedua kelompok
Melihat persamaan penurunan antara kedua kelompok, pemasangan dua
metode tersebut memiliki manfaat yang positif dalam mereposisi patela. Hal ini
diperkuat dengan uji statistik tidak berpasangan non parametrik (Mann-Whitney
test) menunjukkan nilai p = 1 lebih besar dari alpha (p > 0,05). Dapat disimpulkan
bahwa kinesiotape tidak berbeda denga perekat plasebo dalam mengurangi derajat
Q-angle pada penderita patellofemoral pain syndrome. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Montalvo et al (2013) bahwa tidak ada perbedaan kinesiotape dengan
perekat tidak elastis yang bertujuan untuk mereposisi patela ke arah medial.
Hasil akhir penelitian ini telah membuktikan bahwa pemberian kinesiotape
selama tiga hari tidak berbeda dengan perekat plasebo dalam mengurangi resiko
16.66
11.11
16.88
10.62
sebelum sesudah
Kinseiotape plasebo
81
cedera berulang dan derajat quadriceps (q-angle) pada penderita patellofemoral
pain syndrome (PFPS). Rentang waktu observasi selama tiga hari telah
memberikan adaptasi tubuh untuk menerima stimulus kinesiotape. Fisiologi tubuh
manusia membutuhkan rentang waktu lebih dari dua minggu untuk dapat
beradaptasi terhadap stimulus yang diberikan. Melihat dari angka peningkatan
rerata pada pengukuran FMS, kinesiotape memiliki peran yang besar dalam
mengkoreksi kompensasi gerak sehingga resiko cedera berulang dapat menurun.
Jika diperhatikan kembali, penulis perkirakan penggunaan kinesiotape dalam
jangka waktu lebih dari dua minggu akan lebih bermakna dibandingkan
penggunaan dalam waktu yang singkat (Chen et al. 2008).
Dibandingkan dengan peningkatan FMS yang berbeda dengan perekat
plasebo, kinesiotape juga memiliki manfaat yang sama dengan perekat plasebo
dalam menurunkan derajat q-angle. Kinesiotape memiliki sifat yang elastis, dapat
diulur hingga 100 %, dimana saat terulur penuh sifat kinesiotape berubah menjadi
tidak elastis dan sama seperti perekat plasebo .
Penulis berharap penelitian ini dapat berlanjut yang dilakukan oleh penulis
sendiri ataupun peneliti lainnya. Hal tersebut ditujukan agar dapat melengkapi dan
mengkonfirmasi penelitian ini pada masa yang akan datang.
6.5 Kelemahan dan Upaya Penelitian
Dengan keterbatasan dan hambatan yang dijumpai dalam penelitian yang
akan dilakukan selanjutnya, penelitian ini memiliki beberapa kelemahan sebagai
berikut :
82
6.5.1 Kelemahan
Adapun kelemahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
6.5.1.1 Waktu observasi FMS dan q-angle yang terlalu singkat.
6.5.1.2 Tidak mengendalikan variabel pada satu bidang olahraga yang sama.
6.5.2 Upaya
Beberapa upaya untuk mengatasi kelemahan penelitian ini sebagai berikut:
6.5.2.1 Berupaya menambahkan rentang waktu observasi
6.5.2.2 Berupaya mengontrol aktifitas olahraga di luar waktu penelitian.
83
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarakan hasil analisis penelitian yang telah dilakukan maka dapat
disimpulkan bahwa:
7.1.1 Penggunaan kinesiotape selama tiga hari dapat mengurangi resiko
cedera berulang pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome.
7.1.2 Penggunaan perekat plasebo selama tiga hari dapat mengurangi resiko
cedera berulang pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome.
7.1.3 Penggunaan kinesiotape selama tiga hari dapat mengurangi derajat Q-
angle pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome.
7.1.4 Penggunaan perekat plasebo selama tiga hari dapat mengurangi derajat
Q-angle pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome.
7.1.5 Penggunaan Kinesiotape selama tiga hari tidak berbeda dengan perekat
plasebo dalam mengurangi resiko cedera berulang pada penderita
patellofemoral pain syndrome.
7.1.6 Penggunaan Kinesiotape selama tiga hari tidak berbeda dengan perekat
plasebo menurunkan derajat Q-angle pada penderita patellofemoral
pain syndrome.
7.2 Saran
Beberapa saran yang dapat diajukan berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan dalam penelitian ini adalah:
84
1. Penggunaan Kinesiotape dalam mengurangi resiko cedera berulang
memerlukan observasi dalam bentuk olahraga langsung dan melakukan
pengukuran functional movement screening dalam waktu yang lebih lama
dari tiga hari.
2. Penggunaan Kinesiotape dalam menurunkan q-angle tulang patela
memerlukan observasi visual berupa X-Ray atau MRI secara langsung
untuk lebih mengetahui posisi patella setelah perlakuan.
3. Masih perlu dilakukan penelitian lain sebagai lanjutan dari penelitian ini
guna melengkapi dan mengkonfirmasi hasil temuan dari penelitian ini
dimasa yang akan datang.
85
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, C.S McCarthy, M. Gomez, J.A. Shubein-Stein, B.E. 2009. The moving
patellar apprehension test for lateral patellar instability. New York.
The America Journal of Sport Medicine. 37(4(:791-6. Available from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19193601.
Akbaş, E. Atay, A.O. Yüksel, I. 2011. The effects of additional kinesio taping
over exercise in the treatment of patellofemoral pain syndrome.
Turkey. Institute of Health Sciences, Universitas Hacettepe. (di
unduh: 8/11/2012). Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 22032998.
Aminaka, N. Gribble, Philip A. 2005 A Systematic Review of the Effects of
Therapeutic Taping on Patellofemoral Pain Syndrome. Toledo.
Journal Of Athletic Training., (di unduh 19 Oktober 2012). Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1323297/.
Amis, A.A. 2007. Current concept on anatomy and biomechanics of patellar
stability. United Kingdom. Sport Medicine Arthroscopy Review
15:48-56.
Amis, A.A. Firer, P. Mountney J. Senavongse, W. Thomas, N.P. 2003. Anatomy
and biomechanics of the medial patellofemoral ligament. United
Kingdom. The Knee. 10(3):215-220. (cited 15 febuari 2013).
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12893142.
Arovah, N.I. t,t. Diagnosis dan manajemen cedera olahraga. Yogyakarta,
Universitas Negeri Yogyakarta. (di unduh 19 Oktober 2012).
Available from: http://goo.gl/Tzyto.
Bahr, R. Holme, I. 2003. Risk factor for sport injuries-a methodological approach.
Norwaygia. British Journal Sport Medicine 27:384-392. (di unduh 14
Febuari 2013). Available from: http://bjsm.bmj.com/content/37/5
/384. full.pdf+html.
Bakta, I. M. 1997. Diktat Mata Kuliah Metodelogi Penelitian. Denpasar: Program
Studi Ergonomi dan Fisiologi Olahraga Universitas Udayana.
Bolgla, L.A. Boling, M.C. 2011. An Update For The Conservative Management
Of Patellofemoral Pain Syndrome. A Systematic Review Of The
Literature From 2000 to 2010. USA. The International Journal Of
Sports Physical Therapy June; 6(2): 112–125. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3109895/.
Boonkerd, C. 2012. Conservative Treatment in People with Patellofemoral Pain
Syndrome. Thailand. Thammasat Medical Journal. Available from: http://goo.gl/WZMfO.
Brotzman, S.B. Manske, R.C. 2011. Clinical orthopaedic rehabilitation; an
evidence-based approach. Filadelfia. Elsevier. P.269.
86
Chen, P.L. Hong, W.H. Lin, C.H. Chen, W.C. 2008, Biomechanics effects of
kinesio taping for persons with patellofemoral pain syndrome during
stair climbing. Taiwan. IFMBE Proceeding Vol.21.
Cheng Fu, T. Wong, A.M.K. Pei, Y.C. Wu, K.P. Chou, S.W. Lin, Y.C. 2008.
Effect pf kinesio taping on muscle strength in athletes-a pilot study.
Taiwan. Journal of Science and Medicine in Sport. 11,198-201.
Cho-Chen, W. Hesien-Hong, W. Fen-Huang, T. Chaung-Hsu, H. Effect kinesio
taping on the timing and ratio of vastus medialis obliquus and vastus
lateralis muscle for person with patellofemoral pain. Taiwan. Journal
of Biomechanics. 40(S2).
Chorba, R.S. Chorba, D.J. Bouillon, L.E. Overmyer, C.A, Landis, J.A. 2010. Use
of a functional movement screening tool to determine injury risk in
female collegiate athletes. Amerika. North American Journal of Sport
Physical Therapy 5(2):47-54. (di unduh 24 Oktober 2012). Available
from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2953387/pdf/najspt-
05-047.pdf.
Cibulka, M.T. Watkins, J.T. 2005. Patellofemoral Pain and Asymmetrical Hip
Rotation. Amerika. Journal of the American Physical Therapy
Association. (di unduh 18 September 2012). Available from:
http://ptjournal.apta.org/content/85/11/1201.
Cook, G. Burton. L, Hoogenboom. 2006. Pre-participation screening: the use of
fundamental movements as an assessment of function-part 1.
Amerika. North Journal Sport Physical Therapy. Vol.1, No. 2.
DeFrate, L.E. Nha, K.W. Papannagari, R. Moses,Jeremy M. Gill, Thomas J.
Guoan Li. 2007. The Biomechanical Function of the Patellar Tendon
During In-Vivo Weight Bearing Flexion. Boston. National Institute of
Health, Journal Biomechanic 40(8): 1716–1722. (di unduh 7 Januari
2013). Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1945 121/.
De Oliveira, V.M.A. Batista, L.S.P. Pitangui, Ana. C.R. Araujo, R. C. 2013,
Effectiveness of Kinesio Taping in pain and scapular dyskinesis in
athletes with shoulder impingement syndrome. Petrolina. Rev Dor.
São Paulo jan-mar;14(1):27-30.
Dixit, S. Difiori, J.P. Burton, M. Mines, B. 2007. Management of patellofemoral
pain syndrome. Amerika. American Family Physican 75:194-202,
204. (di unduh 13 Januari 2013). Available from:
http://www.aafp.org/afp/ 2007/0115/p194.html.
Donatelli, R. Wooden, M. 2010 Orthopaedic Physical Therapy 4th
edition.
Amerika. Churchill Livingstone Elsevier. hal. 502.
87
Fagan, V. Delahunt, E. 2008. Patellofemoral pain syndrome: a review on the
associated neuromuscular deficits and current treatment options.
Irlandia. British Jorunal Sport Medicine 42:789-795
Felicio, L.R. Baffa, A Do Prado. Liporacci, R.F. Saad, M.C. De Oliveira, A.S.
Grossi, D.B. 2011. Analysis of patellar stabilizers muscles and patella
kinematics in anterior knee pain subjects. Brazil. Journal of
electromyography and kinesiology 148–153, Elsevier. (di unduh 7
Januari 2013). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
pubmed/20932775.
Graham, M. Howey, J. 2011. Introduction to Leukotape-K Neuro-Propioceptive
Taping (persentasi). BSN. Toronto.
Grelsamer, R.P. Dubey, A. Weinstein, C.H. 2005. Men and women have similar q
angles; a clinical and trigonometric evaluation. New York. The
Journal of Bone & Joint Surgery. 87-B:14598-501.
Habelt, S. Hasler, C.C. Steinbruck, K. Majewski, M. 2011. Sport Injuries in
Adolescents. Jerman. Orthopedic Reviews vol.3:e18.
Hafez. A.R, Zakaria. A, Brugadda. S. 2012. Eccentric versus concentric
contraction of quadriceps muscle in treatment of chondromalacia
patella. Riyadh. World journal of medical science 7 (3): 197-203. (di
unduh 7 Januari 2013). Available from:
http://www.idosi.org/wjms/7(3)12/11.pdf.
Heintjes, E, Berger, M.Y. Bierma-Zeinstra, S.M. Bernsen, R.M. Verhaar, J.A,
Koes, B.W. 2003. Exercise therapy for patellofemoral pain syndrome.
Netherlands. Cochrane Database Syst Rev. (4):CD003472. (di unduh
7 Januari 2013). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
pubmed/14583980.
Hendrick, C.R. 2010. The Therapeutic Effects Of Kinesio™ Tape On A Grade I
Lateral Ankle Sprain (Disertasi). Virginia. Virginia Polytechnic
Institute and State University.
Herrington, L. 2006. The relationship between patella position and length of the
iliotibial band as assessed using Ober’s test.. United Kingdom.
Manual Therapy 11 182–186.
Herrington, L. Rivett, N. Munro, S. 2012. Does the change in q-angle magnitude
in unilateral stance differ when comparing asymptomatic individuals
to those with patellofemoral pain?. United Kingdom. Elsevier. (di
unduh 7 Januari 2013). Available from:
http://www.sciencedirect.com/science /article/pii/S1466853X120001
44 .
Hsu, Y.H. Chen W.Y. Lin, H.C. Shih, Y.F. 2009. The effect on scapular
kinematic and muscle performance in baseball player with shoulder
impingement syndrome. Taiwan. Journal Electromyography and
Kinesiology Dec;19(6):1092-9.
88
Ivarsson, A. Johnson, U. 2010. Physicological factors as predictors of injuries
among senior soccer players, a prospective study. Swedia. Journal of
Sport Science and Medicine. (di unduh 12 Desember 2012). Available
from: http://www.jssm.org/vol9/n2/26/v9n2-26text.php.
Jaiyesimi, A.Q. Jegede, O.O. 2009. Influence of gender and leg dominance on q-
angle among young adult Nigerians. Nigeria. AJPARS vol.1, no.1, p.
18-23. (di unduh 14 Januari 2013). Available from:
http://www.ajol.info/ index.php/ajprs/article/download/51309/39972.
Jensen, R. 2008. “Patellofemoral pain syndrome: studies on a treatment modality,
somatosensory function, pain, and psychological parameters” (tesis).
Norwaygia. University of Bergen.
Juhn, M.S. 1999. Patellofemoral pain syndrome: a review and guidelines for
treatment. Seattle. American Familty Physician. 1;60(7):2012-2018.
Available from http://www.aafp.org/afp/1999/1101/p2012.html.
Kase, K. Wallis, J. Kase, T. 2003. Clinical therapeutic applications of the
kinesiotaping method 2nd
edition. Jepang. Ken Ikai Co.
Karandikar, N. Ortiz-Vargas, O.O. 2011. Kinetic chain: a revies of the concept
and its clinical applications. America. The American Academy of
Physical Medicine and Rehabilitation ;3:739-745.
Kisner, C. Colby, L.A. 2007. Therapeutic Exercise, Foundation and Technique 5th
edition. Amerika. F.A Davis Company. p.2.
Kiesel, K. Plisky, P.J. Voigth, M.L. 2007. Can serious injury in professional
football be predicted by a preseason functional movement screen?.
Evansville. NAJSPT. Vol.2, No.3.
Lankhorst, N.E. Zeinstra, Sita M.A.B. Van Middelkoop, M. 2012. Risk factor for
patellofemoral pain syndrome: a systematic review. Netherland.
JOSPT doi:10.2519/jospt.2012.3803. Available from:
http://www.jospt.org/mem bers/getfile.asp?i d=5541.
Lankhorst, N.E. Zeinstra, Sita M.A.B. Van Middelkoop, M. 2013. Factor
associated with patellofemoral pain syndrome: a systematic review.
Netherland. British Journal of Sport Medicine. 47:193-206 Available
from: http://bjsm.bmj.com/content/47/4/193.abstract.
Lins, C.A. Neto, F.L. Amorim, A.B. Macedo, L.D. Brasileiro, J.S. 2012. Kinesio
Taping(®) does not alter neuromuscular performance of femoral
quadriceps or lower limb function in healthy subjects: Randomized,
blind, controlled, clinical trial. Brazil. Manual Therapy. Feb;18(1):41-
5 Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22796389.
MacLean, E. 2004. A theoretical review of patella-femoral pain syndrome
etiology and an 12-week rehabilitation based exercise prescription.
Australia. Journal of Strength and Conditioning Research. 18(4): 703-
707.
89
Meeuwise, W.H. Tyreman, H. Hagel, B. Emery, C. 2007. A dynamic model of
etiology in sport injury: the recursive nature of risk and causation.
Kanada. Clinical Journal Sport Medicine 17:215-219. (di unduh 10
Januari 2013). Available from: http://goo.gl/2xFB1.
Minick, K.I. Kiesel, K.B. Burton, L. Taylor, A. Plisky, P. Butler, R.J. 2010.
Interrater reliability of the functional movement screen. Indiana.
Journal of Strength and Conditioning Research.
Mo-An, H. Miller, C. Mcelveen, M. Lynch, J. 2012. The effect of kinesiotape on
lower extremity functional movement screen scores. Amerika.
International Journal of Exercise Science 5(3):196-204.
Montalvo, A.M. Buckley, W. E. Sebastianelli, W. Vairo, G.L. 2013. An
Evidence-Based Practice Approach ti the Efficacy of Kinesio Taping
for Improving Pain and Quadriceps Performance in Physically-Active
Patellofemoral Pain Syndrome Patients. USA. Journal of Novel
Physiotherapies. doi:10.4172/2165-7025.1000151.
Mostafavifar, M. Wertz, J. Borchers, J. 2012. A systematic review of the
effectiveness of kinesio taping for musculoskeletal injury. Columbus.
The Physician and Sport Medicine. 2012 Nov;40(4):33-40. Available
from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23306413.
Nejati, P. Forogh, B. Moeineddin, R. Baradaran, H.R. Nejati M. 2011.
Patellofemoral Pain Syndromes in Iran Female Athletes. Iran. Acta
Medica Irania 2011; 49(3): 169-172. (di unduh 10 Januari 2013).
Available from: http://journals.tums.ac.ir/upload_files/pdf/18266.pdf.
Nijs-Jo. Van-Geel, C. Van der-auwera, C. Van de-Velde, B. 2006. Diagnostic
value of five clinical test in patellofemoral pain syndrome. Belgia.
Manual Therapy. 11:69-77.
Nobre, T.L. 2012. Comparison of exercise open kinetic chain dan closed kinetic
chain in the rehabilitation of patellofemoral dysfunction: an update
revision. Brazil. Clinical Medicine and Diagnosis. 2(3):7-11.
Omololu, B.B. Ogunlade, O.S. Gopaldasani, V.K. 2009. Normal Q-angle in an
adult Nigerian population. Nigeria. Springer. Clin Orthop Relat Res
467:2073–2076. (di unduh 14 Januari 2013). Available from:
http://www .ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2706335/.
Onate, J.A. Dewey, T. Kllock, R.O. Thomas, K.S. Van Lunen, B.L. Demaio, M.
Ringleb, SI. 2012. Real-time intersession and iterrater reliability of the
functional movement screen. USA. Journal Strength and Condtioning
Research 26(2):408-15. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
pubmed/22266547.
Page, P. Frank, C.C. Lardner, R. 2010. Assessment and Treatment of Muscle
Imbalance, the Janda Approach. Chicago. Human Kinetics. hal. 236-
237.
90
Pappas, E. Wong-Tom, W.M. 2012. Prospective predictors of patellofemoral pain
syndrome: a systematic review with meta analysis. New York. Sport
Health Mar;4(2):115-20. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov /pubmed/23016077.
Pecina, M. M. Bojanic, I. 2004. Overuse Injuries of the musculoskeletal system
2nd
edition. London. CRC Press. p. 189-207.
Peterson, D.R. Bronzio, J.D. 2008. Biomechanics principle and applications.
USA. Taylor & Francis Group. p.9.
Petty, E. Verdonk, P. Steyaert, A. Bossche, L.V. Van den Boecke, W. Thijs, Y.
Witvouw, E. 2011. Vastus medialis obliquus atrophy: does it exist in
patellofemoral pain syndrome?. Belgia. American Journal of Sport
Medicine. 39:1450.
Pocock, 2007. Clinical Trial, A Practical Approach. New York: A Willey
Medical Publication.
Power, C.M. Chen, Y.J. Scher, I.S, Lee, T.Q. 2010. Multiplane Loading of the
extensor mechanism alters the patellar ligament force/quadriceps force
ratio. USA. J Biomech Eng Feb;132(2):024503. doi:
10.1115/1.4000852. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20370249.
Prentice, William E. 2011. Principle of Athletic Training : a Competency-Based
Approach 14th
Edition .New York. The McGraw-Hill. p.232-233.
Reinold, M. 2009. Biomechanic of patellofemoral rehabilitation. Amerika.
Mikereinold.com. Available from:
http://www.mikereinold.com/2009/06/ biomechanics-of-
patellofemoral.html
Santos, R.B. 2006. The co-incidence of q-angle asymmetry and patellofemoral
pain syndromes among female collage athletes. Filipina. Available
from: http://www.docstoc.com/?doc_id=107663766&download=1
Samuel, D. Rowe, P. Hood, V. Nicol, A. 2012. The relationship between muscle
strength, biomechanical functional moments and health-related quality
of life in non-elite older adults. United Kingdom. Age and Ageing.
Mar;41(2):224-30. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubm ed/22126987.
Schneiders, A.G. Davidsson, A. Horman, E. Sullivan, S.J. 2011. Functional
movement screen normative values in a young, active population.
New Zealand. IJSPT. Vol.6, No.2, p.75.
Sheehan, F.T. Derasari, A. Fine, Kenneth M. Brindle, T.J. Alter. K.E. 2010. Q-
angle & J-sign Indicative of maltracking subgroups in patellofemoral
pain. Springer. Clinical Orthopaedic and Related Research, 468(1):
266–275. (di unduh 19 September 2012). Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2795830/.
91
Simunovic, Z. 2002. Sport injuries can be successfully managed with low level
laser therapy. Switzerland. (di unduh 13/2/2013). Available from:
http://www.healinglightseminars.com/laser-research-library/sports-
injuries/
Slupik, A. Dwornik, M. Bialoszewski, D. Zych, E. 2007. Effect of Kinesio Taping
on Bioelectrical Activity of vastus medialis muscle. Preliminary
report. Ortopedia Traumatologi Rehabilitica. (di unduh: 8/11/2012).
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18227756
Smith, C.A. Chimera, N.J. Wright, N. Warren M. 2012. Interrater and intrarater
reliability of the functional movement screen. New York. Journal
Strength and Condtioning Research. (di unduh: 8/11/2012). Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22692121.
Supartono, B. 2010. Indonesia Belum Punya Data Epidemiologi Cedera
Olahraga. Jakarta. Jurnas.com. Available from: http://goo.gl/AAY8w
Suratman, T. 2012. KONI akan kembangkan olahraga jadi industri. Jakarta.
Antaranews.com. Available from: http://goo.gl/6p50T
Tallay, A. Kynsburg, A. Toth, S. Szendi, P. Pavlik, A. Balogh, E. Halasi, T.
Berkes, I. 2004. Prevalence of patellofemoral pain syndrome.
Evaluation of the role of biomechanical malalignments and the role of
sport activity. Hungaria. Orvosi Hetilap Oct 10;145(41):2093-101. (di
unduh: 8/11/2012). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
pubmed/15586584
Teyhen, D.S. Shaffer, S.W. Lorenson, C.L. Halfpap, J.P. Donofry, D.F. Walker,
M.J. Dugan, J.L. Childs, J.D. 2012. The functional movement screen:
a reliability study. USA. JOSPT 42(6):530-40. (di unduh: 8/11/2012).
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22585621.
Thelen, M.D. Stoneman, P.D, Dauber ,J.A. 2008. The Clinical Efficacy of Kinesio
Tape for Shoulder Pain: A Randomized, Double-Blinded, Clinical
Trial. United States. Journal of Orthopaedic & Sport Physical
Therapy. DOI: 10.2519/jospt.2008.2791. (di unduh 28 September
2012). Available from:
http://www.jospt.org/issues/articleID.1422,type.14/article_detail.asp
Van Tiggelen, D. Cowan, S. Coorevits, P. Duvigneaud, N. Witvrouw, E. 2009.
Delayed vastus medialis obliquus to vastus lateralis onset timing
contributes to the development of patellofemoral pain in previously
healthy men: a prospective study. Belgia. America Journal Sports
Medicine Jun;37(6):1099-105. (di unduh 28 September 2012).
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19282508.
Waryasz. G.R, McDermott, A.Y. 2008. Patellofemoral pain syndrome (PFPS): a
systematic review of anatomy and potentials risk factors. USA.
Dynamic Medicine. (di unduh 10 Januari 2013). Available from:
http://goo.gl/oE33w.
92
Williams, S. Whatman, C. Hume, P.A. Sheerin, K. 2012. Kinesio taping in
treatment and prevention of sports injuries: a meta-analysis of the
evidence for its effectiveness. New Zealand. Sports Medicine. Feb
1;42(2):153-64. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22124445
Witvrouw, E. Werner, S. Mikkelsen, C. Van-Tiggelen, D. Vanden Berge, L.
Cerulli, G. 2005. Clinical classification of petllofemoral pain
syndrome: guidelines for non operative treatment. Belgia. Springer-
Verlag. . (di unduh 8 Januari 2013). Available from:
http://www.prdupl02.ynet.co.il/.. ./11244924.pdf.
Witvrouw, E. Daneel, L. Van-Tiggelen, D. Willems, T.M. Cambier. D. 2004.
Open versus closed kinetic chain exercise in patellofemoral pain
syndrome. Belgia. The American Journal of Sport Medicine. DOI 10.
1177/03635403262187.
Yasukawa, A. Patel, P. Sisung, C. 2006. Pilot study: Investigating the effect of
kinesio taping in acute pedriatic rehabilitation setting. Chicago.
American Journal of Occupational Therapy, 60, 104–110.
93
Lampiran 1
Protokol Penelitian
A. Dua Rencana Penelitian
1. Randomized Control Trial : Penggunaan kinesiotape dapat mencegah resiko
cedera berulang dan Derajat Sudut Quadriceps (Q-Angle) pada PFPS
2. Evaluasi Functional Movement Screening pada kelompok atlit dengan kasus
patellofemoral pain syndrome.
B. Sampling
1. sampling diacak (random) hanya pada atlit yang mengalami PFPS total sampel
18 (9 sampel kelompok KTape & 9 sampel kelompok Taping Plasebo)
C. Pengukuran
1. Menggunakan Functional Movemenst Screening dan Q-angle dengan
goniometer sebelum dan sesudah diberika kinesiotape dan taping placebo.
D. Assessment PFPS
1. Patellar Apprehension Test :
a. Posisikan pasien tidur terlentang dan fleksikan lutut 30o
b. FT menarik patella ke lateral & pasien diperintahakn menggerakkan lututnya
lurus (ekstensi)
c. Jika Nyeri (+) PFPS, Jika Tidak Nyeri (-) PFPS (diikuti pemeriksaan
berikutnya)
2. Quadriceps Antropometri
a. Posisikan pasien tidur terlentang dan lutut ekstensi (relax)
b. Tentukan titik pengukuran (mid patella, 10cm above mid patella, & 20 cm
above mid patella)
c. Ukur dengan meter line, catat angkanya, dan bandingkan dengan kaki sisi
lainnya.
3. Q-angle
a. Posisikan pasien berdiri (posisi anatomi)
b. Letakkan fulcrum goniometer tepat di mid patella lutut yg bermasalah
c. Arahkan goniometer ke titik SIAS dan Tuberositas Tibialis
d. Hitung derajatnya
E. Pengukuran Functional Movement Screening (FMS)
1. FMS untuk memprediksi resiko cedera yang mungkin akan terjadi
2. Yang diperhatikan dalam tes ini :
a. Tidak menggunakan alas kaki
b. Perhatikan Keseimbangan
c. Perhatikan Ketepatan pola gerakan
d. Gerak kompensasi dalam bergerak
e. Kestabilan posisi dari awal hingga akhir gerakan
f. fleksibilitas
g. Hasil ≤ 14 : resiko cedera tinggi, > 14: resiko cedera rendah
94
3. Penilaian yang diberikan
Nilai Kriteria Penilaian
0 Nyeri Saat Bergerak
1 Tidak bisa menyelesaikan gerakan
2 Menyelesaikan gerakan dengan kompensasi
3 Menyelesaikan gerakan dengan baik dan tepat
4. Formulir Penilaian
Test Nilai Catatan
Deep Squat
Hurdle Step Ka
Ki
Inline Lunge Ka
Ki
Active Straight Leg Raise Ka
Ki
Rotary Stability Ka
Ki
Trunk Stability Push Up
Total
95
5. Gerakan
a. Deep Squat
b. Hurdle Step
*sesuaikan pita pada tuberositas tibia dan ukur panjang dari telapak kaki-
tuberositas tibia
96
97
c. In Line Lunges
98
d. Active Straigth Leg Raise
99
e. Rotary Stability
100
f. Trunk Stability Push Up
g. Shoulder Mobility
1. Ukur panjang telapak tangan terlebih dahulu
101
F. Penggunaan Kinesiotape & Plasebo
1. Kinesiotaping
a. Fasilitasi VMO
Pertama berikan fasilitasi pada otot vastus medialis oblique dengan menggunakan kinesiotape
(KT) kurang lebih panjangnya 20 cm dan berikan potongan pada sisi tengah (potongan huruf Y)
dan sisakan 5 cm sebagai jangkar. Fleksikan kaki kira-kira 30o dan letakkan jangkar pada origo
VMO. Kemudian potongan taping diletakkan melingkari VMO dengan tarikan 25-50%.
b. Koreksi Patella
Untuk koreksi posisi patella, dengan posisi lutut yang sama, ambil 17 cm KT dan potong
membentuk huruf Y berikan 5 cm sebagai jangkar. Letakkan jangkar tepat di atas
epikondilus medial tulang femur. Lalu lingkari patella dengan potongan KT tersebut
dengan tarikan 25%
102
c. Inhibisi ITB
Untuk menginhibisi otot vastus lateralis dan illiotibial band posisikan pasien tidur miring
dengan target kaki yang akan diberikan KT berada di atas. Kemudian pasien diminta
untuk menekukkan kaki yang menjadi target, lalu panggul hiperekestensikan dan
adduksikan. Hal tersebut untuk mengulur otot vastus lateralis dan illiotibial band.
Dengan posisi tersebut berikan taping sepanjang otot vastus lateralis tanpa dipotong sisi
tengahnya (bentuk huruf I) berikan jangkar 5 cm yang diletakkan di tuberositas tibia dan
berikan tarikan ke proksimal 25%.
d. Myofacial Release
Untuk mengurangi ketegangan otot vastus lateralis dan illiotibial band posisikan pasien
duduk dengan kaki lurus. Kemudian aplikasikan tehnik koreksi facia pada otot vastus
lateralis dan illiotibial band dengan bentuk Y berikan jangkar 7 cm yang diletakkan sisi
lateral tepat di atas bagian otot yang mengalami ketegangan dan berikan tarikan ke medial
25%.
103
2. Plasebo
Perekat plasebo adalah suatu perekat yang menyerupai kinesiotape namun tidak memiliki
kelenturan seperti kinesiotape. Dengan metode pemasangan sama dengan kinesiotape dan
dipasangkan selama tiga hari.
G. Organisasi & Key Performance
1. FMS Scorer
a. Menganalisa (dari sisi depan dan samping) dan memberikan nilai
fungsional pada Form FMS
b. Menunjukkan gerakan pada FMS dengan benar
c. Memerintahkan pasien untuk melakukan gerakan tersebut
d. Tidak boleh membetulkan gerakan yang sedang dilakukan oleh pasien
2. Examiner
a. Memeriksa kondisi lutut apakah masuk dalam kriteria Inklusi & eksklusi
PFPS
b. Mencatat hasil pemeriksaan
c. Memberikan Kinesiotaping & taping placebo pada sampel yang telah di
acak sederhana, jika ganjil (1,3,5,7,9,11,13,15,17,19,21) masuk grup
Kinesiotape, jika genap (2,4,6,8,10,12,14,16,18,20,22) masuk grup
Taping Placebo
3. Data Analyzer
a. Memasukkan data dalam computer
b. Menganalisa data dan menarasikan hasil penelitian
c. Menguji statistic dengan SPSS
H. Perlengkapan
1. FMS Tools
104
2. Meteran standar
3. Inform Consent/pernyataan
4. Laptop & Monitor besar
5. Kabel listrik
6. Meja
7. 2 papan jalan
8. Alat Tulis
9. Goniometer
10. Kinesiotape & Taping Plasebo
105
Lampiran 2
Surat Persetujuan Sampel
(Informed Consent)
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Umur :
Alamat :
No. telp :
CabOr :
Menyatakan bahwa :
1. Saya telah mendapatkan penjelasan segala sesuatu mengenai penelitian “Penggunaan
Kinesiotaping dapat mengurangi resiko cedera berulang dan Q-Angle pada penderita
Patellofemoral Pain Syndrome”.
2. Setelah saya memahami penjelasan tersebut, dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan
dari siapapun, bersedia ikut serta dalam penelitian ini dengan kondisi:
a. Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dijaga kerahasiaanya dan hanya
dipergunakan untuk kepentingan ilmiah.
b. Apabila saya inginkan, saya boleh memutuskan untuk keluar/tidak berpartisipasi lagi
dalam penelitian ini dengan menginformasikannya kepada peneliti atas keputusannya
tanpa harus menyampaikan alasan apapun.
Saksi Tangerang,
Yang Membuat Pernyataan
(……………………………...)
(……………………………...)
106
Lampiran 3
Lembar evaluasi
107
108
Lampiran 4
Uji statistik
Deskriptif
Data numeric dari subjek penelitian
Statistics
Umur_GrupKT Umur_GrupPl TB_GrupKT TB_GrupPl BB_GrupKT BB_GrupPl
N Valid 9 8 9 8 9 8
Missing 8 9 8 9 8 9
Mean 22.11 22.13 176.89 171.13 70.89 68.88
Std. Error of Mean 1.338 .789 2.058 1.260 2.324 3.497
Median 20.00 21.50 180.00 171.00 68.00 68.00
Mode 19 20 180 170a 65
a 68
Std. Deviation 4.014 2.232 6.173 3.563 6.972 9.891
Variance 16.111 4.982 38.111 12.696 48.611 97.839
Range 11 5 20 10 21 35
Minimum 19 20 163 165 65 54
Maximum 30 25 183 175 86 89
Sum 199 177 1592 1369 638 551
a. Multiple modes exist. The smallest value is shown
Tests of Normality
GRUP
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
UMUR KT .256 9 .091 .810 9 .027
PLASEBO .204 8 .200* .825 8 .053
TB KT .248 9 .116 .826 9 .041
PLASEBO .165 8 .200* .927 8 .492
BB KT .216 9 .200* .829 9 .044
PLASEBO .213 8 .200* .905 8 .322
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
109
Uji homogenitas data numerik
Levene's Test for Equality of
Variances
F Sig.
UMUR Equal variances assumed 2.975 .105
Equal variances not
assumed
TB Equal variances assumed 1.360 .262
Equal variances not
assumed
BB Equal variances assumed .109 .746
Equal variances not
assumed
Uji frekuensi kelompok kategori
JK_KT
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid LAKI-LAKI 8 47.1 88.9 88.9
PEREMPUAN 1 5.9 11.1 100.0
Total 9 52.9 100.0
Missing System 8 47.1
Total 17 100.0
JK_PL
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid LAKI-LAKI 7 41.2 87.5 87.5
PEREMPUAN 1 5.9 12.5 100.0
Total 8 47.1 100.0
Missing System 9 52.9
Total 17 100.0
110
JK
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid LAKI-LAKI 15 88.2 88.2 88.2
PEREMPUAN 2 11.8 11.8 100.0
Total 17 100.0 100.0
REG_KT
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid KANAN 7 41.2 77.8 77.8
KIRI 2 11.8 22.2 100.0
Total 9 52.9 100.0
Missing System 8 47.1
Total 17 100.0
REG_PL
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid KANAN 4 23.5 50.0 50.0
KIRI 4 23.5 50.0 100.0
Total 8 47.1 100.0
Missing System 9 52.9
Total 17 100.0
REGIO
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid KANAN 11 64.7 64.7 64.7
KIRI 6 35.3 35.3 100.0
Total 17 100.0 100.0
111
CAB_KT
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid BASKET 7 41.2 77.8 77.8
SEPAK BOLA 1 5.9 11.1 88.9
VOLI 1 5.9 11.1 100.0
Total 9 52.9 100.0
Missing System 8 47.1
Total 17 100.0
CAB_PL
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid BASKET 4 23.5 50.0 50.0
SEPAK BOLA 1 5.9 12.5 62.5
BADMINTON 1 5.9 12.5 75.0
VOLI 2 11.8 25.0 100.0
Total 8 47.1 100.0
Missing System 9 52.9
Total 17 100.0
CABOR
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid BASKET 11 64.7 64.7 64.7
SEPAK BOLA 2 11.8 11.8 76.5
BADMINTON 1 5.9 5.9 82.4
VOLI 3 17.6 17.6 100.0
Total 17 100.0 100.0
112
Uji normalitas data pre & post test
Tests of Normality
GRUP
Shapiro-Wilk
Statistic df Sig.
PRE_FMS KT .906 9 .290
PLASEBO .905 8 .319
FMS_DAY3 KT .895 9 .222
PLASEBO .914 8 .385
PRE_Q KT .564 9 .000
PLASEBO .641 8 .000
Q_DAY3 KT .390 9 .000
PLASEBO .418 8 .000
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Uji hogenitas (levene test)
Levene's Test for Equality of
Variances
F Sig.
PRE_FMS Equal variances assumed .062 .807
Equal variances not
assumed
FMS_DAY3 Equal variances assumed .026 .873
Equal variances not
assumed
PRE_Q Equal variances assumed .093 .765
Equal variances not
assumed
Q_DAY3 Equal variances assumed .747 .401
Equal variances not
assumed
113
Uji Peningkatan nilai FMS Kelompok Kinesiotape dan Plasebo
Dengan t-test related
Paired Samples Statistics
Mean N
Std.
Deviation
Std. Error
Mean
Pair 1 FMS_Grup_
KT
10.22 9 1.563 .521
FMSKT_3 15.22 9 2.539 .846
Pair 2 FMS_Grup_
Plasebo
10.00 8 1.604 .567
FMSPL_3 13.50 8 2.268 .802
Paired Samples Test
t df
Sig. (2-
tailed)
Pair 1 FMS_Grup_KT -
FMSKT_3
-4.685 8 .002
Pair 2 FMS_Grup_Plasebo
- FMSPL_3
-3,500 7 .010
114
Uji Penurunan Q-angle kelompok kinesiotape dan plasebo dengan wilcoxon
sign rank test
Ranks
N
Mean
Rank
Sum of
Ranks
QKT_3 -
Q_Grup_KT
Negative
Ranks
9a 5.00 45.00
Positive
Ranks
0b .00 .00
Ties 0c
Total 9
QPL_3 -
Q_Grup_Plasebo
Negative
Ranks
8d 4.50 36.00
Positive
Ranks
0e .00 .00
Ties 0f
Total 8
a. QKT_3 < Q_Grup_KT
b. QKT_3 > Q_Grup_KT
c. QKT_3 = Q_Grup_KT
d. QPL_3 < Q_Grup_Plasebo
e. QPL_3 > Q_Grup_Plasebo
f. QPL_3 = Q_Grup_Plasebo
Test Statisticsb
QKT_3 -
Q_Grup_KT
QPL_3 -
Q_Grup_Plaseb
o
Z -2.887a -2.640
a
Asymp. Sig.
(2-tailed)
.004 .008
a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
115
Uji Beda Rerata dan Uji Komparasi Data Peningkatan Functional Movement
Screening Antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 FMSKT_3 15.22 9 2.539 .846
FMS_Grup_KT 10.22 9 1.563 .521
Pair 2 FMSPL_3 10.63 8 1.768 .625
FMS_Grup_Plasebo 10.00 8 1.604 .567
Paired Samples Test
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed) Mean
Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 FMSKT_3 -
FMS_Grup_K
T
5.000 3.202 1.067 2.539 7.461 4.685 8 .002
Pair 2 FMSPL_3 -
FMS_Grup_P
lasebo
.625 1.685 .596 -.784 2.034 1.049 7 .329
Uji Beda Rerata dan Uji Komparasi Selisih Data Peningkatan Kemampuan
Functional Movement Screening Antara Kedua Kelompok Perlakuan
Group Statistics
GRUP N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
SLHFMS KT 9 5.00 3.202 1.067
PLASEBO 8 3.50 2.828 1.000
116
Independent Samples Test
Levene's Test
for Equality of
Variances
F Sig. t df
Sig. (2-
tailed)
SLHFMS Equal
variances
assumed
.008 .931 1.018 15 .325
Equal
variances not
assumed
1.026 15.00
0
.321
Uji Beda Rerata dan Uji Komparasi Data Penurunan Q-angle Antara
Sebelum dan Sesudah Perlakuan
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Q_Grup_KT - QKT_3 Negative Ranks 0a .00 .00
Positive Ranks 9b 5.00 45.00
Ties 0c
Total 9
Q_Grup_Plasebo - QPL_3 Negative Ranks 0d .00 .00
Positive Ranks 8e 4.50 36.00
Ties 0f
Total 8
a. Q_Grup_KT < QKT_3
b. Q_Grup_KT > QKT_3
c. Q_Grup_KT = QKT_3
d. Q_Grup_Plasebo < QPL_3
e. Q_Grup_Plasebo > QPL_3
f. Q_Grup_Plasebo = QPL_3
117
Test Statisticsb
Q_Grup_KT -
QKT_3
Q_Grup_Plaseb
o - QPL_3
Z -2.887a -2.640
a
Asymp. Sig. (2-tailed) .004 .008
a. Based on negative ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Uji Beda Rerata dan Uji Komparasi Selisih Data Penurunan Q-angle Antara
Kedua Kelompok Perlakuan
Mann-Whitney Test
Ranks
GRUP N Mean Rank Sum of Ranks
SLHQA KT 9 8.44 76.00
PLASEBO 8 9.63 77.00
Total 17
Test Statisticsb
SLHQA
Mann-Whitney U 31.000
Wilcoxon W 76.000
Z -.727
Asymp. Sig. (2-tailed) .467
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .673a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: GRUP