17 BAB II LANDASAN TEORI II. A. Self Disclosure II. A. 1. Pengertian ...
Pengertian self Regulation.docx
description
Transcript of Pengertian self Regulation.docx
Pengertian self-regulated learning adalah sebuah konsep mengenai bagaimana
seseorang peserta didik menjadi regulator atau pengatur bagi belajarnya sendiri
(Zimmerman & Martinez-Pons, dalam Schunk & Zimmerman,1998). Zimmerman (dalam
Woolfolk, 2004) mengatakan bahwa self-regulation merupakan sebuah proses dimana
seseorang peserta didik mengaktifkan dan menopang kognisi, perilaku, dan
perasaannya yang secara sistematis berorientasi pada pencapaian suatu tujuan. Ketika
tujuan tersebut meliputi pengetahuan maka yang dibicarakan adalah self-regulated
learning.
Self-regulated learning dapat berlangsung apabila peserta didik secara
sistematis mengarahkan perilakunya dan kognisinya dengan cara memberi perhatian
pada instruksi-instruksi, tugas-tugas, melakukan proses dan menginterpretasikan
pengetahuan, mengulang-mengulang informasi untuk mengingatnya serta
mengembangkan dan memelihara keyakinan positifnya tentang kemampuan belajar
dan mampu mengantisipasi hasil belajarnya (Schunk, dalam Schunk & Zimmerman,
1998).
Self-regulated learning merupakan proses dimana peserta didik mengaktifkan
pikirannya, perasaan dan tindakan yang diharapkan dapat mencapai tujuan khusus
pendidikan (Zimmerman, Bonner & Kovach, 2003). Selain itu Schunk & Zimmermann
(1998) menegaskan bahwa peserta didik yang bisa dikatakan sebagai self-regulated
learners adalah yang secara metekognisi, motivasional dan behavioral aktif ikut serta
dalam proses belajar. Peserta didik dengan sendirinya memulai usaha belajar secara
langsung untuk memperoleh pengetahuan dan keahlian yang diinginkan tanpa
bergantung pada guru, orang tua, dan orang lain.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian self-regulated
learning adalah proses bagaimana seorang peserta didik mengatur pembelajarannya
sendiri dengan mengaktifkan kognitif, afektif dan perilakunya sehingga tercapai tujuan
belajar.
Vicarious Learning – Consumer Behavior #1
Hi! ini adalah tulisan pertama saya
mengenai major study yang
tengah saya ambil kini di FEUI,
yakni Manajemen. Salah satu
kasus yang sudah pernah saya
dengar cukup lama di tahun 2010,
tepatnya ketika saya masih
menjadi internship di Internal
Communications, PT. Unilever
Indonesia, Tbk. Berikut kisahnya:
http://gugling.com/2010/07/04/
gugat-axe-karena-tidak-bisa-
dapat-pacar/ Pria India Gugat AXE
Karena Tidak Bisa Dapat Pacar!
Apa Hubungannya?
Karena tidak dapat memikat gadis
seorang pun, seorang pria asal
India berusia 26 tahun menjadi
frustasi dan menggugat
perusahaan & distributor HUL
(Hindustan Unilever Limited), yang
memasarkan produk bermerk Axe,
dengan tuduhan telah menipu dan
menyebabkan ‘penderitaan
mental’.
Pemuda itu menyebutkan
kegagalannya untuk menarik
gadis manapun meskipun dia telah
menggunakan produk Axe selama
lebih dari tujuh tahun sampai
sekarang. Iklan Axe menunjukkan
bahwa produk-produk itu
membantu kaum pria untuk bisa
langsung menarik wanita.
Vaibhav Bedi, sang penggugat,
juga menyerahkan semua bukti ke
pengadilan dari semua produk
yang telah digunakan maupun
yang belum terpakai, yang berupa
deodorant sprays, perfume sticks
and roll-ons, anti-perspirants,
aftershaves, body washes,
shampoos, dan hair gels dengan
merek Axe. Penggugat juga
meminta agar semua produk itu
diperiksa di laboratorium.
Vaibhav terpaksa mengambil
langkah ini karena pembantunya
memukulinya dengan sapu ketika
ia mencoba untuk membuatnya
terkesan dengan tampil telanjang
di depannya setelah
menggunakan semua produk Axe.
“Lalu mana Axe Effect-nya? Saya
sudah menunggu selama lebih
dari tujuh tahun. Sejak kuliah
sampai dengan saya bekerja di
kantor, tidak ada satupun gadis
yang mau saya ajak bahkan hanya
untuk minum teh atau kopi
dengan saya, meskipun saya yakin
mereka bisa membaui parfum,
deodorant dan aftershaves yang
saya pakai. Saya selalu
menggunakan produk itu dengan
harapan bisa seperti apa yang
terjadi pada iklan di televisi.
Akhirnya saya berusaha untuk
menarik perhatian pembantu saya
yang telah bertengkar dengan
suaminya dan tinggal sendirian
selama lebih dari setahun. Dan
ternyata saya malah dipukuli
dengan sapu! ” Vaibhav
mengungkapkan keluhannya.
Vaibhav mengklaim bahwa dia
telah menggunakan semua produk
Axe sesuai instruksi yang ada
bahkan sejak dia pertama kali
membelinya. Dia berargumen
bahwa jika dia tidak bisa
mengalami Axe Effect meskipun
telah menggunakan produk sesuai
petunjuk, berarti perusahaan telah
menipu atau menjual produk
palsu.
“Saya selalu menyimpannya di
tempat sejuk dan kering, dan
menjauhkan mereka dari cahaya
matahari langsung atau panas.
Saya selalu menggunakan
penggaris sebelum
menyemprotkan untuk
memastikan bahwa jarak antara
nozzle dan ketiak saya adalah
sekurang-kurangnya 15 cm. Saya
selalu melakukan sesuai petunjuk
pemakaian. Saya bahkan
memukul keponakan saya yang
berusia 5 tahun karena telah
mendekati lemari saya, sesuai
dengan anjuran yang menyatakan
agar menjauhkan dari jangkauan
anak-anak. Namun, akhirnya yang
saya dapatkan adalah pukulan
sapu dari pembantu saya”,
Lanjutnya.
Vaibhav mengklaim bahwa dia
telah mengalami banyak
penderitaan mental dan
penghinaan di depan umum
karena tidak adanya Axe Effect
dan dia ingin agar perusahaan Axe
mengkompensasi dia untuk semua
penderitaan tersebut.
HUL secara resmi telah menolak
berkomentar mengenai kasus
tersebut, tetapi salah satu sumber
menyebutkan bahwa HUL cukup
khawatir atas perkembangan
kasus ini. Perusahaan mungkin
berpendapat bahwa Vaibhav itu
memang tidak berpenampilan
menarik dan tidak memiliki
persyaratan minimal agar Axe
Effect terjadi. HUL secara resmi
memang belum mengeluarkan
pernyataan apapun, namun para
ahli hukum percaya bahwa HUL
akan sulit untuk meyakinkan
pengadilan.
(Intinya adalah…………………
Selanjutnya Terserah Anda… )
Saya masih ingat sekali ketika
membaca berita melalui internet
di PC kantor, sontak saya langsung
berbicara dengan partner samping
saya, yakni Mas Hami. “Ini
beneran ya mas?” dan ia pun
menjawab “Oh, hoax itu, beritanya
juga lama. pernah ada
sebelumnya.”
14 Maret 2012, tepatnya di ruang
A.109. kami sekelompok (Ata,
Chrisna, Intan, dan saya) sedang
mempresentasikan mengenai
Classical Conditioning & Learning
Process juga Influencing Consumer
Behavior, ketika kelompok kami
mendapatkan pertanyaan dari
kelompok penanya mengenai
KASUS ini. Tentu saja pada saat itu
saya tidak bisa menjawab bahwa
itu merupakan artikel hoax, tapi
haruslah dikaitkan dengan sub bab
bahasan kami mengenai Vicarious
Learning. Yang menjadi
pertanyaan adalah: bagaimana
kasus ini dikaitkan dengan
Vicarious Learning? Tentunya ini
menjadi sebuah dampak yang
buruk bagi HUL. Bagaimana sih
sebenarnya sebuah pemodelan
yang baik bagi konsumen? Dan
pada akhirnya bagaimana kita jika
berada di pihak produsen harus
bertindak?
Vicarious Learning merupakan
suatu metode mengikuti perilaku
seseorang atau sering disebut
dengan pemodelan. Seperti
contoh sebuah iklan shampo yang
memberitahu step by step
bagaimana pemakaian shampo
dengan baik dan benar sehingga
rambut menjadi sehat dan kulit
kepala bebas dari ketombe.
Konsumen yang melihat ini
pemodelan ini tentunya akan
mengikuti jika ia melihat
konsekuensinya adalah positif bagi
dirinya.
Yang menarik dari kasus ini adalah
seorang pria India yang sudah
memakai AXE selama 7 tahun
lebih dan ia tidak mendapatkan
seorang wanita pun yang mau jadi
kekasihnya. Padahal jika melihat
dari iklan AXE adalah pria yang
memakai AXE sudah pasti akan
menjadi rebutan para wanita
(bahkan memikat malaikat dalam
varian terbarunya). Jika
pertanyaannya adalah apakah
strategi Vicarious Learning ini
berhasil terhadap konsumen pria
India ini?
Jawabannya adalah YA. Tentu saja.
Pria ini sudah memakai AXE
selama lebih dari 7 tahun dan
mengikuti semua petunjuknya.
AXE telah berhasil meyakinkan
sang konsumennya. Namun
permasalahan berikutnya adalah
konsekuensi yang didapat pria ini
ternyata berbeda dengan yang
ada di iklan. Tentu saja sebagai
konsumen biasa jika ditanya
apakah iklan ini masuk akal maka
kita akan menjawab dengan Tidak.
Terlalu lebay, dibuat-buat,
berlebihan singkat kata. Namun
itulah advertising.
Selanjutnya yang bisa dilakukan
oleh HUL adalah tentunya selama
proses pembuatan materi promo
ini telah dijalankan sejumlah trial
dengan mengajak beberapa orang
untuk diriset tanggapannya
mengenai iklan ini. Dan hasilnya
semua masih dalam batas normal.
Hanya saja kita tidak bisa
memungkiri bahwa selalu saja ada
pengecualian dalam setiap
peristiwa. Anomali yang
membuatnya berbeda dari yang
lainnya. Dan pria India ini
merupakan contoh nyata
pengecualian yang terjadi di
dunia.
Belajar sosial (juga dikenal
sebagai belajar
observasional atau belajar
vicarious atau belajar dari model) adalah
proses belajaryang muncul sebagai fungsi
dari pengamatan, penguasaan dan, dalam
kasus proses belajar imitasi, peniruan
perilaku orang lain. Jenis belajar ini
banyak diasosiasikan dengan
penelitian Albert Bandura, yang membuat
teori belajar sosial. Di dalamnya ada
proses belajar meniru atau menjadikan
model tindakan orang lain melalui
pengamatan terhadap orang tersebut.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan
adanya hubungan antara belajar sosial
dengan belajar melalui pengkondisian
klasik dan operant.[1]
Banyak yang secara salah menyamakan
belajar observasional dengan belajar
melalui imitasi. Kedua istilah ini berbeda
dalam arti bahwa belajar observasional
mengarah pada perubahan perilaku akibat
mengamati model. Ini tidak selalu berarti
bahwa perilaku yang ditunjukkan orang
lain diduplikasi. Bisa saja si pengamat
justru melakukan sesuatu yang sebaliknya
dari yang dilakukan model karena ia telah
mempelajari konsekuensi dari perilaku
tersebut pada si model. Dalam hal ini
adalah belajar untuk tidak melakukan
sesuatu dan ini berarti terjadi belajar
observasional tanpa adanya imitasi.
Walau belajar observasional dapat terjadi
dalam setiap tahapa kehidupan, tapi
terutama terjadi saat pada anak-anak,
karena pada saat itu otoritas dianggap
penting. Penelitian Bandura mengenai
boneka Bobo merupakan demonstrasi dari
belajar observasional dan ditunjukkan
bahwa anak cenderung terlibat dalam
perlakuan yang bengis terhadap boneka
setelah melihat orang dewasa di televisi
melakukan hal tersebut pada boneka yang
sama. Bagimanapun, anak mungkin akan
melakukan peniruan bila perilaku model
mendapat penguatan. Permasalahannya,
seperti diteliti oleh Otto Larson (1968),
bahwa 56% karakter dalam
acara televisi anak mencapai tujuannya
melalui tindakan kekerasan.
About these ads