Pengertian Sar
description
Transcript of Pengertian Sar
PENGERTIAN SAR
Hakekat “Search And Rescue” (SAR) adalah suatu kegiatan kemanusiaan yang dijiwai oleh falsafah Pancasila dan
merupakan kewajiban bagi setiap WNI. Kegiatan tersebut meliputi segala upaya dan usaha pencarian, pemberian
pertolongan, dan penyelamatan jiwa manusia dan harta benda yang bernilai.
VISI :
“ Berhasilnya pelaksanaan operasi SAR pada setiap waktu dan tempat dengan cepat handal dan aman”
MISI
“ Menyelenggrakan kegiatan operasi SAR yang efektif dan efisien melalui upaya tindak awal yang maksimal serta
pengerahan potensi SAR yang didukung oleh sumber daya manusia yang profesional, fasilitas SAR yang memadai,
dan prosedur kerja yang mantap dalam rangka mewujudkan VIsi Badan SAR Nasional”
TUGAS BASARNAS
Badan SAR NAsional mempunyai tugas melaksanakan pembinaan, pengkoordinasian dan pengendalian potensi
SEARH AND RESCUE (SAR) dalam kegiatan SAR terhadap orang dan material yang hilang atau dikhawatirkan
hilang, atau menghadapi bahaya dalam pelayaran dan atau penerbangan, serta memberikan bantuan SAR dalam
penanggulangan bencana dan musibah lainnya sesuai dengan peraturan SAR Nasional dan Internasional.
SEJARAH PERKEMBANGAN SAR DI INDONESIA
1. Tahun 1950
Indonesia masuk sebagai anggota ICAO (International Civil Aviation Organization), dengan masuknya sebagai
anggota ICAO maka Indonesia mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan SAR terhadap musibah
penerbangan yang terjadi di wilayah Indonesia.
2. Tahun 1955
Para pejabat di berbagai instansi penerbangan melakukan koordinasi dan menghasilkan gagasan betapa
pentingnya penanganan tugas-tugas kemanusiaan, maka dibentuklah Panitia SAR berdasarkan PP Nomor 5 Tahun
1955. Panitia SAR atau Panitia Pencari dan Pemberian Pertolongan bila terjadi musibah ini dibentuk oleh Dewan
Penerbangan.Penitia tersebut kemudian mempunyai tugas pokok yaitu:
Membentuk Badan Gabungan SAR
Menentukan Pusat Regional
Membuat anggaran pembiayaan dan material
3. Tahun 1959
Berkenaan tidak adanya tindakan nyata dari Panitia SAR, maka para pejabat penerbangan sipil dan militer
mengadakan pembicaraan kembali, untuk membentuk organisasi SAR Nasional, tetapi usaha inipun tidak menuai
hasil karena :
Tidak tersedianya anggaran pembiayaan dan material.
Adanya perubahan politik dalam negeri.
Adanya perubahan organisasi dalam pemerintahan
4. Tahun 1966
Dengan Keppres Nomor 203 Tahun 1966 negara Indonesia terdaftar sebagai anggota IMCO (Intergovermental
Maritime Consultative Organization), sekarang IMO (International Maritime Organization). Sebagai konsekuensi-nya
Indonesia harus mempunyai organisasi SAR Nasional yang mampu menangani berbagai musibah pelayaran baik
nasional maupun internasional.
5. Tahun 1968
Instansi sipil dan militer sudah mulai melakukan operasi SAR karena mereka telah memiliki berbagai sarana dan
sistem komunikasi, tetapi pelaksanaannya masih dilakukan sendiri-sendiri menyebabkan usaha tersebut tidak
berhasil secara maksimal. Menyadari hal tersebut para pejabat dari beberapa instansi kembali bersepakat untuk
membentuk organisasi SAR Nasional yang terkoordinir dibawah satu komando.
Sehubungan dengan kegiatan SAR di Indonesia yang merupakan salah satu dari 6 proyek dalam South East
Coordinating Committee on Transport and Communication, Indonesia dijadikan Umbrella project untuk Negara Asia
Tenggara, maka telah tiba tim ahli dari US Coast Guard Amerika Serikat untuk melakukan survey. Tim ini bertugas :
Mengumpulkan dan mempelajari data dan informasi dari semua fasilitas dan menyempurnakan kegiatan SAR di
Indonesia. Membantu dan meningkatkan dan menyempurnakan kegiatan SAR di Indonesia.
Meningkatkan koordinasi SAR di Indonesia dengan Negara-negara tetangga.
6. Tahun 1969
Kegiatan SAR di Indonesia mulai menjadi perhatian Negara-negara tetangga, bahkan ada yang bermaksud
memprakarsai pembentukan organisasi SAR Asia Tenggara karena organisasi yang ada masih belum sempurna.
Sebagai anggota ICAO telah ditetapkan bahwa Negara itu harus mempunyai organisasi SAR sendiri atau bila tidak
mampu harus bergabung dengan organisasi SAR yang sudah dibentuk oleh Negara lain.
7. Tahun 1972
Luas wilayah Negara Republik Indonesia, serta adanya perkembangan teknologi dan meningkatnya penggunaan
jasa angkutan laut maupun udara maka dunia internasional mengharapkan jaminan dari pemerintahan Indonesia
bagi keselamatan penerbangan dan pelayaran di wilayah Republik Indonesia. Untuk mencegah kemungkinan yang
kurang menguntungkan di mata dunia internasional maka penyempurnaan kegiatan SAR di Indonesia harus segera
dilakukan. Akhirnya setelah sekian lama mematuhi hukum-hukum dan peraturan internasinal dari ICAO dan SOLAS
(Safery Of Life At Sea) maka dengan Keppres Nomor 11 Tahun 1972 terbentuklah organisasi SAR Nasional
bernama Badan SAR Indonesia yang disingkat BASARI.
BASARI berkedudukan dan bertanggungjawab Kepada Presiden, dimana dalam susunan organisasinya terdiri dari :
Unsur pimpinan
Pusat SAR Nasional ( Pusarnas )
Pusat-pusat Koordinasi Rescue ( PKR )
Sub-Sub Koordinasi Rescue ( SKR )
Unsur-unsur Search and Rescue ( Unsur-unsur SAR )
Pusat koordinasi SAR Nasional dan Pusat Koordinasi Rescue diwilayah merupakan pelaksanaan operasi dalam
kegiatan SAR.
8. Tahun 1973
Sebagai Realisasi Keppres No. 11 Tahun 1972, maka Pusat Koordinasi SAR Nasional yang kemudian dikenal
dengan nama PUSARNAS mulai berfungsi aktif dan dikelola oleh 3 orang personil dengan menggunakan ruangan
pinjam pakai di LEMHAMNAS kemudian ke Mabes TNI-AU.
9. Tahun 1974
Dengan ditetapkannya Keppres No. 44 dan 45 Tahun 74 tentang susunan Organisasi dan Tata kerja Departemen.
PUSARNAS berada di bawah Departemen Perhubungan.
Sebagai pelaksanaan Keppres No. 44 dan 45 Tahun 1974, maka telah dikeluarkan Keputusan Menteri Perhubungan
No. KM 415/U/Phb-75 pada tanggal 2 September 1975. Di dalamnya berisi Susunan Organisasi dan tata kerja
Departemen Perhubungan dan peraturan dalam organisasi.
Dengan adanya perwujudan yang nyata maka NASAR ( National Association of SAR ) yang bermarkas di Amerika,
menerima PUSARNAS resmi menjadi anggota.
Unsur-unsur Departemen Perhubungan yang menyelenggarakan SAR adalah :
Pusat SAR Nasional
Direktorat KPLP- Ditjen Perhubungan laut
Direktorat Keselamatan Penerbangan- Ditjen Hubud
10. Tahun 1976
Upaya peningkatan kemampuan dan eksistensi terus dilakukan pembaruan dengan mengikuti Working Group on
Global Satelite Aided Search and Rescue dari IAF (International Astronautical Federation) yang bermarkas di Paris.
Federasi yang bersifat teknologis dan non governmental ini melakukan kegiatan riset tentang penggunaan satelit
untuk kepentingan kemanusiaan.
11. Tahun 1976
Upaya peningkatan kemampuan dan eksistensi terus dilakukan pembaruan dengan mengikuti Working Group on
Global Satelite Aided Search and Rescue dari IAF (International Astronautical Federation) yang bermarkas di Paris.
Federasi yang bersifat teknologis dan non governmental ini melakukan kegiatan riset tentang penggunaan satelit
untuk kepentingan kemanusiaan.
12. Tahun 1978
Dalam usaha menangani masalah SAR di daerah Menteri Perhubungan selaku ketua BASARI mengeluar-kan
instruksi No. IM.4/KP/Phb-78 untuk membentuk satuan tugas SAR pada KKR (Kantor Koordinasi Rescue).
Kecepatan tindakan dalam setiap operasi SAR selalu diusahakan baik melakukan penataan perangkat lunak maupun
menyiapkan perangkat kerasnya. Hal ini direalisasikan dengan terbitnya Keputusan Menteri Perhubungan selaku
Ketua BASARI No. SK.5/K.104/ Phb-78 yang berisi penunjukan Kepala Pusat SAR Nasional sebagai Kuasa Ketua
BASARI dalam kegiatan operasi SAR di lapangan.
13. Tahun 1979
Untuk menghindari terjadinya permasalahan saat terjadi musibah yang menyangkut dua negara tetangga, maka
pada tahun 1979 telah dilakukan penandatanganan kerjasama SAR antara Indonesia dan Singapura serta
Indonesia-Australia.
Penataan Organisasi pun terus dilakukan guna memaksimalkan kinerja Pusat SAR Nasional dalam operasi
penyelamatan maupun koordinasi. Maka pemerintah memandang perlu untuk meningkatkan eselon PUSARNAS
setingkat lebih tinggi, dengan Keppres 47 Tahun 1979 maka ditetapkan PUSARNAS menjadi BASAR-NAS (Badan
SAR Nasional) eselon I setingkat dengan Dirjen.
12. Tahun 1980
Dengan adanya peningkatan eselonisasi Badan SAR Nasional, maka diatur pula tugas pokok dan fungsinya serta
Unit Pelaksana Teknis, dimana wilayah SAR dibagi menjadi 4 wilayah sesuai FIR (Flight Information Region) yang
ditetapkan ICAO, untuk Kantor Koordinasi Rescue dan 13 unit untuk kantor Sub Koordinasi Rescue, sebagaimana
diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.164/OT.002/ Phb-80
13. Tahun 1987
Dengan bertambahnya personil dan aktifitas yang harus diemban seiring dengan laju perkembangan moda
transportasi baik sarana maupun prasarana dalam mendukung peningkatan ekonomi maka kantor Basarnas yang
menempati eks Direksi Kit Jakarta International Airport di Halim PK dinilai sudah tidak memadai lagi. Oleh sebab itu
Basarnas pindah menempati Gedung 628 Bandara Inter-nasional Soekarno – Hatta Cengkareng.
14. Tahun 1990
Dalam penanganan masalah penanggulangan bencana, pemerintah melihat indikasi perlunya penyempurnaan di
berbagai aspek. Oleh sebab itu pemerintah menerbitkan Keppres No. 43 Tahun 1990 yang mengatur Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (revisi Keppres No. 28 Tahun 1979).
15.Tahun 1993
Dengan bertambahnya kesadaran masyarakat tentang keselamatan jiwa maka semakin tinggi pula permintaan jasa
SAR. Peningkatan ini dibuktikan dengan pedulinya wakil rakyat kita mencantumkan dalam GBHN hasil sidang tahun
1993 yang menyatakan :
“ Pencarian dan penyelamatan manusia sebagai akibat dari musibah, bencana alam, dan bencana lainnya
merupakan tugas nasional, dan harus dilaksanakan secara terkoordinasi oleh berbagai pihak yang perlu
terus dimantapkan melalui peningkatan kemampuan organisasi, kualitas sumber daya manusia, manajemen,
serta sarana dan prasarananya agar mampu menyelenggarakan bantuan penyelamatan dengan cepat dan
tepat “
Dengan pernyataan dalam GBHN ini berarti tugas SAR tidak hanya penerbangan dan pelayaran, namun sudah
lebih luas lagi yaitu bencana dan musibah lainnya.
16. Tahun 1998
Upaya peningkatan kinerja Badan SAR Nasional terus dilaksanakan antara lain dengan menyempurnakan struktur
organisasinya. Dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 80 Tahun 1998 tentang Struktur Organisasi
maupun tugas pokok dan fungsi Badan SAR Nasional kembali mengalami penyempurnaan.
Sedangkan untuk organisasi dan tata kerja Kantor Search and Rescue diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan
Nomor KM 81 Tahun 1998.
17. Tahun 2002
Guna meningkatkan pelayanan jasa SAR Badan SAR Nasional melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 79
Tahun 2002 terdapat penambahan UPT, dari 23 UPT menjadi 24 UPT.
A. KANTOR SAR TIPE A :
1. Kantor SAR Medan
2. Kantor SAR Jakarta
3. Kantor SAR Surabaya
4. Kantor SAR Denpasar
5. Kantor SAR Makasar
6. Kantor SAR Biak
B. KANTOR SAR TIPE B :
1.
1. Kansar Banda Aceh
2. Kansar Padang
3. Kansar Pekanbaru
4. Kansar Tanjung Pinang
5. Kansar Palembang
6. Kansar Semarang
7. Kansar Mataram
8. Kansar Kupang
9. Kansar Pontianak
10. Kansar Balikpapan
11. Kansar Banjarmasin
12. Kansar Kendari
13. Kansar Manado
14. Kansar Ambon
15. Kansar Sorong
16. Kansar Jayapura
17. Kansar Timika
18. Kansar Merauke
Sumber : Materi Gladi Mantap UBALOKA Jateng 2007
ESAR (Explorer Search And Rescue) merupakan salah satu ilmu SAR yang dikembangkan untuk menangani situasi
darurat (tersesat/hilang), atau tertimpa musibah saat melakukan penjelajahan di alam bebas. Atau dengan kata lain
adalah teknik pencarian korban hilang atau tersesat di alam bebas (Hutan/ Gunung). Penekanan ESAR lebih pada
teknik pencarian yang dikerjakan oleh SRU Darat (Ground Unit) sehingga Navigasi Gunung menjadi sesuatu yang
mutlak untuk dikuasai.
ESAR dibagi dalam 5 Mode Pencarian yang merupakan tahapan dalam melaksanakan operasi Explore Search And
Rescue. Lima tahapan atau Mode ESAR antara lain :
1. Preliminary Mode (Pendataan)
Mengumpulkan informasi awal, saat dimulai dari tim pencari dimintai bantuan sampai kedatangan di lokasi, formasi
dan rencana pencarian, Penentuan POD (Probability Of Detection), rute dan peta, data korban, perhitungan-
perhitungan dan kemungkinan-kemungkinan, dll.
2. Confinement Mode (Pembatasan)
Membuat pembatasan pada area pencarian untuk mengurung atau membatasi kemungkinan pergerakan korban
agar tetap dalam area pencarian yang diinginkan. Pemikiran yang melatar belakangi confinement adalah menjebak
Subyek di dalam satu area yang kita ketahui batas-batasnya sampai area itu dapat di sapu oleh tim pencari
(dilakukan pencarian). Di dalam praktek, Confinement mungkin tidak mudah di capai, tetapi untuk daerah pencarian
yang luas, ini akan sangat berharga dan suatu kerja yang ada dasarnya.
Confinement Mode terdiri dari :
TRAIL BLOCK
ROAD BLOCK
LOOK OUT
CAMP IN
TRACK TRAP
STRING LINE
TRAIL BLOCK
Trail Block adalah pemblokiran jalan setapak. Tim kecil harus mencatat / mendata setiap orang yang masuk / keluar
jalan setapak yang sudah diblokir, dan memberitahu orang-orang yang melewati jalan setapak tersebut bahwa ada
orang yang hilang. Tempat ini tidak boleh kosong, minimal pada ujung tertentu ditempatkan satu orang pencari /
petugas.
Trail block harus tetap di awasi sepanjang waktu sampai OSC/SMC memerintahkan dalam bentuk lain. Trail Block di
gunung bisa dilakukan dengan memblokir jalur-jalur setapak yang dijadikan pintu keluar-masuk oleh para pendaki,
dan jalur-jalur setapak yang biasa digunakan oleh warga setempat untuk keluar-masuk hutan saat mencari rumput
ataupun kayu bakar.
Ilustrasi Trail Block
ROAD BLOCK
Atau pemblokiran jalan.Satu kelompok tim pencari diberi tugas memblokir jalan yang diperkirakan dilewati korban.
Tugas ini biasanya diberikan kepada tim pencari dengan mobilitas yang didukung sarana / kendaraan yang
memadai. Jadi pada dasarnya sama dengan Trail Block. Road Block dapat dikerjakan oleh tenaga sukarela dengan
memblokir jalan-jalan desa atau perkebunan dengan maksud apabila Subyek lewat di jalur ini segera dapat
tertangkap oleh tim pencari. Road Block di gunung dapat dilakukan dengan menghadang di jalan lingkar yang
menyabuk di kaki gunung yang dicurigai kemungkinan Subyek melalui jalur tersebut setelah lolos dari hutan.
Ilustrasi Road Block
LOOK OUT
Sering ada tempat-tempat di sekitar batas dari search area yang memberikan pandangan yang luas ke dalam
lembah atau sungai di sebelahnya. Sebuah tim kecil di tempatkan pada posisi itu sehingga dapat mengawasi daerah
sekitarnya dengan teropong, dan ada kemungkinan dapat mendeteksi Subyek bila ia bergerak lewat di sana.
Beberapa bentuk peralatan (asap, bunyi-bunyian, lampu, bendera) dapat di gunakan untuk menarik perhatian
Subyek. Dapat juga dilakukan dengan tetap menempatkan seorang pengamat, sementara tim kecil lain bergerak
memeriksa beberapa lokasi lain dan obyek-obyek mencurigakan yang berada di dalam jarak pandang pengamat.
Ilustrasi Look Out
CAMP IN
Sebuah camp-in dapat juga berbentuk Look Out (pos pengamat), Trail block, radio relay (penghubung radio), atau
situasi lain dimana satu tim kecil menempati lokasi-lokasi tertentu dimana posisinya mempunyai luas pandangan
yang baik, cabang/pertemuan dari jalan-jalan setapak, ataupun pertemuan sungai. Pergunakan alat-alat yang dapat
menarik perhatian Subyek seperti pada Look Out.
Ilustrasi Camp In
TRACK TRAP
Adalah upaya dari tim pencari untuk menjebak Subyek sehingga meninggalkan tanda-tanda apabila lewat di lokasi
ini. Posisi pemasangan track traps harus di informasikan kepada tim pencari di lapangan agar mengetahui lokasi
track traps. Debu atau lumpur dapat dipergunakan untuk mendeteksi jejak sepatu Subyek apabila dia melewatinya,
dan harus diperiksa secara berkala.
STRING LINE
Look out dan camp in akan lebih efektif di daera yang terbuka dimana jarak pandang cukup baik. Jika di daerah yang
lebat dan bersemak, maka perlu penggunaan tali sebagai pembatas area pencarian sekaligus penunjuk arah bagi
pencari dan korban.
3. Detection Mode
Pemeriksaan tempat-tempat yang dicurigai bila dirasa perlu dan pencarian dengan cara menyisir / menyapu yang
diperhitungkan untuk menemukan orang yang hilang atau barang-barang yang tercecer. Detection Mode ada
beberapa Tipe, antara lain:
Pencarian Tipe 1 ( Hurry Searching )
1. Pemeriksaan di daerah spesifik yang dimungkinkan korban berada.
2. Diperoleh data tentang area pencarian.
3. Digunakan pada awal operasi dan atau secara berulang untuk memastikan daerah yang mungkin terlewati /
teridentifikasi.
4. Tim beranggotakan SDM yang bermobilitas tinggi, yang mengenal medan, mampu menyisir semak, sungai, jalan
setapak, gua, gubuk, dll.
Pencarian Tipe 2 ( Open Grid )
1. Pencarian cepat di area yang luas dan tidak ada wilayah yang teridentifikasi
2. Digunakan pada awal operasi, terutama bila korban dikhawatirkan kemampuan bertahannya lemah.
3. Bersifat cepat, praktis dan efisien namun tidak efektif apabila jumlah tim pencari dibandingkan luas area pencarian
tidak sepadan.
Pencarian Tipe 3 ( Close Grid )
1. Pencarian yang cermat atas area yang spesifik / sudah teridentifikasi
2. Digunakan apabila prosentase penemuan korban pada Tipe 2 kecil
3. Area pencarian kecil sedangkan jumlah tim pencari berlebih
4. Pencarian bukti – bukti yang pasti
SIKAP DAN MENTAL PENCARI
Cepat tanggap
Cermat dan teliti
Mandiri
Selalu melihat ke belakang
MARKER
SIFAT
Warna mencolok
Tulisan jelas, singkat, padat
Bentuk sederhana
Ditempatkan pada posisi yang mudah terlihat
MANFAAT MARKER
Penanda area pencarian
Penunjuk arah bagi korban
4. Tracking Mode
Tracking merupakan usaha melacak jejak Subyek, atau tanda-tanda yang ditinggalkan oleh Subyek (catatan:
Tracking diperlukan personil yang terlatih, atau bisa juga digunakan anjing pelacak yang dilatih secara khusus untuk
terlibat dalam operasi pencarian).
5. Evacuation Mode
Usaha memberi perawatan darurat dan memindahkan Subyek ke tempat penampungan yang layak (catatan: untuk
operasi ESAR di gunung sebaiknya disediakan tim khusus untuk Evakuasi Medan Sulit mengingat situasi medan di
gunung).
Dari pengalaman operasi pencarian di gunung, penentuan POD untuk orang hilang di gunung akan lebih efectif dan
relevan dengan membaca peta topografi, dan memperhitungkan analisa kecenderungan pergerakan Subyek
berdasar informasi dari para pendaki yang berpengalaman dengan area dimana telah terjadi musibah orang
tersesat/hilang. Perhitungan matematis untuk penentuan POD hanya sesuai untuk medan datar
Hanya saja sebagai gambaran perlu dipahami bahwa pendaki yang sehat dapat bergerak dengan cepat turun ke
bawah mengikuti kontur sehingga area menjadi melebar ke arah Hilir (Untuk Gunung-gunung tertentu perlu
secepatnya dilakukan pemagaran awal sebelum Subyek bergerak makin jauh terutama di daerah landai/datar setelah
dia menghabiskan kontur hingga kaki gunung)
Ketepatan dan kecepatan nampaknya sudah menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar dalam upaya menemukan
subyek yang hilang di gunung dan harus bertahan untuk tetap hidup, khususnya berjuang melawan hipothermia.
Upaya pemasyarakatan ESAR di Indonesia yang dimulai oleh Wanadri, kemudian juga dari beberapa pengalaman
operasi SAR di Gunung penggunaan sistem ESAR dengan benar akan lebih efectif sehingga ESAR perlu
dikembangkan bagi para penggiat petualang alam bebas, khususnya para pendaki gunung yang sering terlibat dalam
operasi SAR di Gunung.