Pengembangan Sistem Pertanian Bioindustri Berkelanjutan

9
1 PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN BIOINDUSTRI BERKELANJUTAN * Robert Manurung Anggota Tim Perumus dan Tim Diseminasi Strategi Induk Pembangunn Pertanian (SIPP) 2013 2045 A. Pendahuluan. Sistem kemasyarakatan dan pertaniannya merupakan suatu sistem hayati dengan struktur dan genetika penyusunnya yang sangat beragam. Produktivitas, stabilitas dan dampak suatu sistem pertanian terhadap lingkungan sangat terkait dengan keragaman hayati dan terutama organisasinya: bagaimana pertanian tersebut distrukturkan. Karena sistem pertanian dikelola oleh manusia, strukturnya ditentukan oleh landasan falsafah dan pandangan hidup (paradigma) manusia tentang lingkungan dan ekosistem. Ekosistem yang harmonis harus dilestarikan agar dapat menjaga kesinambungan efektifitas fungsi ekosistem dalam menyediakan jasa ekosistem yaitu jasa daya dukung (Supporting Services) bagi kehidupan diantaranya berupa: kemampuan pemenuhan produk primer bagi kehidupan, daur ulang nutrisi, dan pembentukan tanah atau media pertumbuhankehidupan. Kemajuan sains dan pertumbuhan aktifitas ekonomi telah berhasil meningkatkan ketersediaan dan sekaligus menurunkan harga riil komoditas pertanian selama 50 tahun yang lalu untuk memenuhi kebutuhan jumlah penduduk yang bertambah dengan pesat selama rentang waktu tersebut. Namun dalam usaha peningkatan ketersediaan komoditas pertanian, praktek pertanian (khusunya penggunaan pupuk mineral dan pestisida yang berlebihan) telah turut mereduksi efektivitas fungsi ekosistem. Keberlanjutan didefinisikan sebagai pemanfaatan lingkungan dan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa membahayakan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan mereka (Sustainability is use of the environment and resources to meet the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their needs)– WCED, 1987Brundtland Report: Our common future. Pertanian berkelanjutan menyangkut kemampuan agroekosistem untuk tetap produktif pada rentang waktu yang lama. Keberlanjutan lazim dikelompokkan menjadi: lingkungan, ekonomi dan sosial berkelanjutan (ecological or environmental, economic and social sustainability). Lingkungan berkelanjutan difefinisikan sebagai pemeliharaan ekosistem global atau ‘kapital alam’ baik sebagai ‘sumber’ dari input maupun sebagai ‘resapan’ bagi limbah (Environmental sustainability is define as the maintenance of the global ecosystem or of ‘natural capital’ both as a ‘source’ of inputs and as a ‘sink’ for waste) Goodland, 1995. Dimensi keberlanjutan lingkungan merupakan dasar dan landasan bagi keseluruhan dimensi keberlanjutan atau dengan kata lain pewujudan lingkungan berkelanjutan merupakan prasyarat bagi pewujudan ekonomi dan sosial berkelanjutan. *Disampaikan pada acara : “Sosialisasi Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) 20132045”, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP), Medan, 13 November 2013.

description

seminar strategi induk pembangunan pertanian

Transcript of Pengembangan Sistem Pertanian Bioindustri Berkelanjutan

Page 1: Pengembangan Sistem Pertanian Bioindustri Berkelanjutan

 

PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN ‐ BIOINDUSTRI BERKELANJUTAN *   

Robert Manurung Anggota Tim Perumus dan Tim Diseminasi  

Strategi Induk Pembangunn Pertanian (SIPP) 2013 ‐2045  A. Pendahuluan. 

 Sistem  kemasyarakatan dan pertaniannya merupakan  suatu  sistem hayati dengan  struktur dan genetika penyusunnya   yang sangat beragam. Produktivitas, stabilitas dan dampak suatu sistem pertanian  terhadap  lingkungan  sangat  terkait  dengan  keragaman  hayati  dan  terutama organisasinya:  bagaimana  pertanian  tersebut  distrukturkan.      Karena  sistem pertanian dikelola oleh manusia, strukturnya ditentukan oleh  landasan  falsafah dan pandangan hidup  (paradigma)  manusia  tentang  lingkungan  dan  ekosistem.    Ekosistem  yang harmonis  harus  dilestarikan  agar dapat menjaga  kesinambungan efektifitas  fungsi ekosistem dalam menyediakan  jasa ekosistem yaitu  jasa  daya dukung  (Supporting  Services)  bagi  kehidupan  diantaranya  berupa:  kemampuan pemenuhan  produk  primer  bagi  kehidupan,  daur  ulang  nutrisi,  dan  pembentukan  tanah  atau media pertumbuhan‐kehidupan.   Kemajuan  sains  dan  pertumbuhan  aktifitas  ekonomi  telah  berhasil meningkatkan  ketersediaan dan  sekaligus menurunkan  harga  riil  komoditas  pertanian      selama  50  tahun  yang  lalu  untuk memenuhi  kebutuhan  jumlah  penduduk  yang  bertambah  dengan  pesat  selama  rentang waktu tersebut.  Namun dalam usaha peningkatan ketersediaan komoditas pertanian, praktek pertanian (khusunya  penggunaan  pupuk mineral  dan  pestisida  yang  berlebihan)    telah  turut mereduksi efektivitas fungsi ekosistem.   Keberlanjutan didefinisikan sebagai pemanfaatan lingkungan dan sumber daya  untuk memenuhi kebutuhan  saat  ini  tanpa membahayakan  kemampuan  generasi masa  depan  untuk memenuhi kebutuhan mereka  (Sustainability  is use of the environment and resources to meet the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their needs) – WCED, 1987‐Brundtland Report: Our common future.  Pertanian berkelanjutan  menyangkut kemampuan agroekosistem  untuk  tetap  produktif  pada  rentang  waktu  yang  lama.    Keberlanjutan  lazim dikelompokkan  menjadi:  lingkungan,  ekonomi  dan  sosial  berkelanjutan  (ecological  or environmental,  economic  and  social  sustainability).  Lingkungan  berkelanjutan  difefinisikan sebagai  pemeliharaan  ekosistem  global  atau  ‘kapital  alam’  baik  sebagai  ‘sumber’  dari  input  maupun    sebagai  ‘resapan’  bagi  limbah    (Environmental  sustainability  is  define  as  the maintenance of the global ecosystem or of ‘natural capital’ both as a ‘source’ of  inputs and as a ‘sink’  for  waste)  ‐  Goodland,  1995.  Dimensi  keberlanjutan  lingkungan   merupakan  dasar  dan landasan bagi  keseluruhan dimensi keberlanjutan atau dengan kata  lain pewujudan  lingkungan berkelanjutan merupakan prasyarat bagi pewujudan ekonomi dan sosial berkelanjutan.      *Disampaikan  pada acara  : “Sosialisasi Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) 2013‐2045”, Sekolah Tinggi       Penyuluhan Pertanian (STPP), Medan, 13 November 2013.   

Page 2: Pengembangan Sistem Pertanian Bioindustri Berkelanjutan

 

Esensi  pertanian  adalah  mewadahi  berlangsungnya  proses  fotosintesis  atau  memanfaatkan (harness)  transformasi  energi  elektromagnetik  sinar matahari menjadi  energi  kimiawi  didalam biomassa  tanaman  pertanian.  Oleh  karenanya    budidaya  pertanian  dan  pengolahannya  seyogyanya meminimalkan penggunaan  input eksternal dari sumber    lain yang   ketersediaannya terbatas (fossil), tapi sebaliknya mengembalikan peran tanaman sebagai produser utama (primary producer) sumber daya hayati yang dapat digunakan sebagai  bahan baku pangan, bio‐produk non pangan dan bio‐energi secara berkelanjutan.   Oleh  karena  itu  pertanian  berkelanjutan  pada masa  depan    harus mampu mencapai  sasaran  memaksimalkan manfaat  yang  dapat  diperoleh  secara  bersamaan  dari  produk  pertanian  bagi pemenuhan  kebutuhan  produk  primer  (consumptive)  dan  dari        jasa  eksosistem  (non‐consumptive). Untuk mencapai kedua manfaat  tersebut secara bersamaan  harus dikembangkan pertanian akurat  (precision agriculture  ) melalui penerapan beragam  innovasi   yang   didasarkan pada  pengetahuan tentang ekosistem, budaya dan kearifan lokal dari setiap hamparan pertanian disuatu wilayah   dan dilandasi  sains yang mampu mengungkap pemahaman mendasar  tentang agroekologi, proses dan siklus biogeokimia, transformasi tenaga surya,   effisiensi nutrisi dan air, pemuliaan benih, pengendalian hama dan penyakit dan lainnya.                  B. Pertanian dan Lingkungan Berkelanjutan  Untuk menjaga  lingkungan berkelanjutan yang diwujudkan melalui pemeliharaan ekosistem agar tetap berfungsi  baik sebagai ‘sumber’ dari input  maupun  sebagai ‘resapan’ bagi limbah, terlebih dahulu perlu dicermati dan dipahami pengertian   mendasar dari ekosistem seperti   definisi dan ciri  ekosistem  berikut  ini.  Ekosistem  adalah  sistem  ekologi,  saling  ketergantungan  komunitas makhluk hidup yang berperan mendaur ulang zat sewaktu energi mengalir melalui suatu  luasan tertentu yaitu  lingkungan alam di sekitarnya. Sementara ciri utama dari suatu ekosistem adalah: ekosistem terdiri dari organisme hidup (biotik) dan bagian tidak hidup (abiotik); energi mengalir (bertransformasi)  melalui  organisme  didalam  ekosistem;  zat  didaur  ulang  oleh  ekosistem; ekosistem yang stabil memenuhi keseimbangan diantara populasinya; ekosistem selalu dinamik, tidak menetap tetapi berubah dengan waktu.      Dari definisi dan ciri diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ekosistem yang  harmonis akan lestari  apabila komunitas biologis (produser, konsumer dan dekomposer)   yang beragam dan seimbang  dapat hadir secara bersamaan dan berinteraksi serta saling terhubungkan dan saling bergantung  satu  sama  lain  sehingga  dimungkinkan  terjadi  daur  ulang  zat  saat  aliran  (transformasi)  energi berlangsung melalui organisme didalam hamparan alam suatu ekosistem.    Mekanisme transformasi energi dari sumber utama (matahari) ke organisme, melalui komunitas organisme  didalam  ekosistem,    dan  dari  dalam    ke  luar  eksositem  masih  relatif    kurang diperhatikan  dan  dikaji    di  banding  replikasi  genetika.  Kajian  tentang  trasformasi  energi  sama pentingnya dengan kajian genetika, karena pada hakikatnya: kehidupan harus dipandang, pada tingkat  yang  paling  mendasar,  sebagai  fenomena  transformasi  energi  yang  sama  pentingnya dengan fenomena replikasi genetika, (“Life must be regarded, at the deepest level, as a matter as much of energy transformation as of genetic replication)”‐ Wicken, 1987.   Secara  lebih  umum  sosok  sistem  pertanian  yang  berkelanjutan    bergantung  pada  jasa  daya dukung  (Supporting  Services)  ekosistem  yang  terdiri  dari:  Jasa  Provisi  Hayati  (Provisioning Services), Jasa Pengendalian Siklus Alam (Regulating Services) dan Jasa Kultural (Cultural Services). Ketiga komponen  jasa daya dukung tersebut   berperan saling terkait dengan tingkat sumbangan yang  berbeda    bagi  pemenuhan  unsur  pokok    kesejahteraan  masyarakat.  Kecenderungan 

Page 3: Pengembangan Sistem Pertanian Bioindustri Berkelanjutan

 

perubahan komponen  jasa daya dukung tersebut perlu dicermati sebagai  landasan membangun dan    mengevaluasi  sosok  pertanian  yang  mampu  menyediakan  secara  bersamaan  produk pertanian  untuk  memenuhi  kebutuhan  produk  primer  (  food,  feed,  fibre,  fuels)  dan      jasa eksosistem lainnya.     C. Prinsip dan Interaksi Hayati dalam menjaga Keberlanjutan Produktivitas Sistem Pertanian.  

 1. Struktur Hayati dalam Sistem Pertanian  Struktur  hayati  dalam  sistem  pertanian    adalah    cara  dimana  organisme    ‐  tanaman  dan hewan ‐ yang dikelola dengan tujuan  untuk menghasilkan keluaran bernilai ekonomik  ditata berkenaan  (interaksi)      satu  dengan  lainnya  dan  dengan  biota  lain  di  lingkungan mereka (Biological  structure  is  the  way  in  which  organisms  ‐  plants  and  animals  –  that  are purposefully managed  for economic output are arranged with respect to each   other and to other biota in their environment) ‐ Richard R. Harwood, 1992.  Keberlanjutan  tingkat  produktivitas  pertanian  sangat  tergantung  pada  penataan  atau pengaturan  struktur  organisme  dalam  kaitan  interkasi  satu  dengan  lainnya  dan  khususnya dengan biota di  lingkungan  lahan pertanian tersebut. Karena sistem pertanian dikelola oleh manusia,  strukturnya  ditentukan oleh  landasan  falsafah dan pandangan  hidup  (paradigma)  manusia  tentang  lingkungan dan ekosistem. Skala atau  tingkat    interaksi    sangat bervariasi,  namun  struktur  satu  hamparan  pertanian  merupakan    skala  utama  dan  dominan  bagi berlangsungnya  interaksi hayati   karena kegiatan  sosial dan ekonomi   pada  satu hamparan pertanian   berlangsung secara  intensif. Dengan demikian keberlanjutan tingkat produktivitas pertanian disuatu wilayah ditentukan oleh bagaiaman keharmonisan   ekosistem dari  setiap hamparan pertanian yang ada diwilayah tersebut dapat distrukturkan oleh pengelolanya.   Meski    sangat  jelas  dan  mudah  dipahami  peran  strategis  interaksi  hayati  dalam  suatu hamparan  dalam    menciptakan  sistem  pertanian  yang  berkelanjutan,  namun    karena kompleksitas  interaksi  hayati  itu  sendiri  dan  dampak  positif  yang  diberikannya  melintasi rentang waktu yang panjang dan ruang yang  luas yang sering diluar  jangkauan kemampuan dan  perhatian  para  pelaku  usaha  tani,  penerapannya memerlukan:  strategi,    tahapan  dan keterlibatan banyak pihak – terutama oleh peneliti dan perekayasa.  

 2. Menstrukturkan Proses Hayati (Biological Structuring).   Untuk membangun pertanian  yang berkelanjutan pada masa mendatang,      sangat penting belajar  dari  cara  pandang  dan  pemikiran  masa  lalu.  Pemahaman  cara  pandang  keadaan diawal 1900 tentang ‘reductionism’ dengan  industri sebagai model melawan ‘holism’ dengan alam raya sebagai model masih sangat relevan dengan keadaan masa kini. Meski pendekatan  ‘reductionist’ dengan cara pemusatan dan penghimpunan usaha pada komoditi tunggal atau spesifik  (‘specialization’)  telah  menghasilkan    kenaikan  produksi,  namun  pendekatan  ini sangat  lemah  dalam mendukung  interaksi  komponen  hayati  dan memberi  dampak  sangat negatif  pada  lingkungan  dan  sosial.  Pada  rentang  tahun  1970  ‐  1990:  filsafat,  tubuh  teori keilmuan dan pengalaman lapangan dari sistem pertanian, telah menuntun  pijakan bersama keilmuan  yang mendasari  pendekatan  struktur  pertanian  berkelanjutan  yang  didalamanya termasuk:  pola pengelolaan ‘insect‐pest’ dengan ‘pest‐predator’ yang dinamis dan seimbang,  pendekatan  ‘farming  systems’  sistem  pertanian  dengan  wujud  ‘agroecology’,  ‘natural‐farming’,  ‘alternative  agriculture’.  Pola  pendektan  tersebut  pada  hakikatnya    adalah 

Page 4: Pengembangan Sistem Pertanian Bioindustri Berkelanjutan

 

pendekatan  penstrukturan  proses  hayati  dalam  suatu  eksosistim  yang  harmonis  seperti diuraikan sebelumnya. 

 3. Pola Interaksi Hayati dalam Pertanian   Perkembangan pertanian korporasi dengan lahan yang relatif luas membawa kecenderungan kembali ke pemusatan dan penghimpunan usaha pada  satu komoditi  (‘specialization’) yang  secara berarti mengurangi keragaman pada struktur dan  interaksi hayati dan mengandalkan perlindungan dan pasokan nutrisi pada input external pestisida dan pupuk kimia sintetik.    Untuk mencapai kestabilan hayati   dimasa depan, pola sistem produksi tunggal hanya boleh diterapkan pada daerah  tertentu dengan  fraksi  luasan yang  terbatas. Mosaik   berbagai  tipe  pemanfaatan  lahan    landsekap  dengan  keragaman  spesies  tanaman  dan  hewan  dan membentuk agroecosystem   merupakan  suatu keharusan. Kehadiran pertanian dengan  tipe yang  beragam  akan  menciptakan  interaksi  yang  tinggi    didalam  sistem  dan menciptakan kompetisi  untuk  memaksimalkan  pemanfatan  sumber  daya  alam  seperti  cahaya,  ruang, nutrisi dan air. Sampai sejauh mana sumber alam yang tersedia dapat secara bersama dibagi untuk  sistem pertanian  (terutama antara  tanaman dan hewan) akan menentukan effisiensi hayati dari sistem.  Peran rotasi spesifik tanaman, kombinasi tanaman selang, dan perbatasan bidang  lahan  jenis tanaman sangat kritis dalam menegakkan   usaha pemeliharaan stabilisasi hayati.  Penstrukturan  seperti  ini  memungkinkan  mendapatkan:  produktivitas  yang  tinggi, penggunaan  sumber  alam  yang  lebih  efisien,  stabilitas pengendalian hama  yang  lebih baik melalui pembatasan pemakaian pestisida, siklus nutrisi dengan efisiensi yang lebih tinggi  atau kombinasi dari keseluruhan manfaat   tersebut. Pola pertanian yang kembali   selaras dengan siklus biologis rantai pasok makanan akan menciptakan sistem kesehatan tanah pertanian dan harus menjadi acuan   dan pangkal pengembangan produksi pertanian berkelanjutan.   Sosok    pertanian  suatu  negara  agar  belangsung  secara  berkelanjutan  pada  akhirnya  akan terdiri  dari  banyak  pola  sistem  pertanian  lokal,  masing‐masing  memiliki  variasi  yang  tak terhitung jumlahnya menyesuaikan kondisi spesifik lokasi. Masing‐masing pola harus, didalam diri dan lokasinya sendiri, menjadi berkelanjutan didalam konteks dirinya dan didalam proses berevolusi yang memberi karakteristik pada perubahan pertanian nasional dan global.    

 D. Sistem Pertanian‐Energi Terpadu (SPET)  

 Ketersediaan  bahan  bakar  fossil  yang murah    di  Indonesia  pada  beberapa  dekade  lalu  telah mengantikan  bahan  bakar  biomassa  yang  telah  digunakan  selama  ratusan  tahun  dalam pengolahan produk perkebunan  (teh, gula, karet, coklat, kopi, dan  lainnya). Pupuk sintetis yang berasal dari bahan  baku fossil  hampir  menggantikan keseluruhan pemakaian pupuk alami yang juga  sebelumnya  telah  lama  didaya    gunakan  dalam  usaha  pertanian.  Dari  neraca  input  dan output energi disektor pertanian di Eropa dan   Amerika diperoleh angka pemakaian energi fossil lebih dari 10 kali dari energi yang terkandung pada produk pangan hasil panen. Energi fossil yang digunakan pada penangkapan ikan bahkan melebihi 20 kali dari kandungan energi dari ikan yang ditangkap. Kenaikan harga bahan bakar fossil   akan memberi pengaruh    langsung pada kenaikan  harga produk pertanian yang tinggi.   Pengalihan  sedini mungkin  ketergatungan pada bahan  fossil menjadi berbasiskan  sumber daya hayati  yang  terbarukan  (renewable  resources)  pada  sektor  pertanian  sangat  penting  untuk mengurangi dampak negatif   terhadap   ekonomi dan sosial bagi   masyarakat dan negara dimasa 

Page 5: Pengembangan Sistem Pertanian Bioindustri Berkelanjutan

 

yang akan datang. Disamping mengurangi dampak negatif, pengalihan tersebut  juga merupakan kesempatan  meningkatkan  nilai  tambah  produk  utama  (  karena  mendapat  green  label)  dan menjadi cara ampuh sebagai pembangkit pendapatan  (income generation) dari produk samping pertanian  (limbah biomassa) bagi pelaku usaha  tani.  Pengalihan  tersebut, diluar pertimbangan manfaat  ekonomi  dan  sosial,  pada  jangka  panjang  akan  memberi  dampak  positif    terhadap lingkungan  karena  dapat  menyokong  terciptanya  daur  ulang  biogeokimiawi  yang  baik  dan memberi    jaminan  keberlanjutan  produktifitas  lahan  dan  kesehatan  tanah  dimasa mendatang sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.     Pemanfaatan  lahan marginal untuk  tujuan  produksi biomassa  sebagai bahan baku non‐pangan bernilai  tinggi  khusunya  bio‐energi  memungkinkan  diwujudkan  optimasi  pemanfaatan  lahan marginal secara bertahap.  Sebagai contoh melalui budidaya  tanaman  rumput gajah atau switch grass  yang  tidak  membutuhkan  persyaratan  budidaya  yang  ketat  (yang  produktivitasnya mencapai  200  –  300  Ton/hektar/tahun  ditanah  yang    subur)  sangat  potensial  untuk dibudidayakan dilahan marginal  karena walau produktivitasnya pada tahap awal hanya  40 – 50 ton saja jumlah tersebut masih sangat ekonomis untuk digunakan sebagai bahan baku bioindustri (bio‐produk dan bio‐energi). Dengan menyertakan teknologi rehabilitasi lahan dan menjaga daur ulang  mineral  nutrisi  tanaman  secara    sinambung,      restorasi    lahan  marginal  tersebut dimungkinkan  dicapai  setelah  berlangsung  pada  rentang waktu    beberapa  tahun  dan menjadi lebih subur sehingga dimungkinkan   digunakan untuk budidaya tanaman yang  lebih menjanjikan secara komersial.     Dengan  pola  ini,    pemanfatan  lahan  marginal  yang  cukup  luas  di  Indonesia  dapat  menjadi pendorong tumbuhnya bio‐industri non‐pangan khususnya bioenergi dan berlangsungnya proses restorasi lahan marginal  secara bersamaan. 

 E. Sistem Pertanian – Bioindustri Terpadu Berkelanjutan.    Pemanfatan produk pertanian untuk konsumsi  (pangan, pakan, bahan baku  industri dan energi) secara  berkelanjutan  hanya  dapat  terwujud  jika  pemanfatan  tersebut  tidak  mengabaikan   kesehatan lahan dimana tanaman tersebut berasal.   Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang   memungkinkan    keseluruhan  komponen  biomassa  dengan  cermat  dapat  dimanfatakan untuk konsumsi sementara  mineral dan bahan‐bahan organik yang esensial bagi tanaman dapat didaur ulang merupakan  keharusan untuk menjaga  pertanian  berkelanjutan. Dengan  kata  lain, pengertian  pertanian  berkelanjutan  seperti  disebutkan  di  atas  mengandung  makna meningkatkann  effisiensi  penggunaan  nutrisi  (increasing  nutrient  use  efficiency)  dan  meminimalkan penggunaan  input eksternal khususnya bahan dan energi fosil disektor pertanian (net‐zero consumption of fossil energy in agricultural sector).   

1. Peningkatan pendapatan pelaku usaha tani   Dimasa  mendatang  disamping  menjadi  penghasil  utama  bahan  pangan,  pertanian  dalam artian luas juga  dituntut menjadi sektor  penghasil bahan baku  non‐pangan  pengganti bahan baku hidro‐karbon yang berasal dari fossil untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi khususnya  bioenergi.  Pembangunan  bio‐industri  yang  dekat  dengan  sumber  biomassa merupakan  langkah awal  strategis meningkatkan nilai  tambah hasil pertanian dan sekaligus mengurangi  ketergantungan  pengolahan  hasil  pertanian  pada    energi  fossil      melalui pemanfaatan  ‘limbah’  pertanian  sebagai  sumber  energi  untuk  pengolahan  serta memudahkan  siklus  unsur  hara  budidaya  pertanian  yang  dapat  mengurangi  biaya  untuk pengadaan input nutrisi eksternal. 

Page 6: Pengembangan Sistem Pertanian Bioindustri Berkelanjutan

 

 Peningkatan  pendapatan  pelaku  usaha  tani  sangat  penting  sebagai  landasan membangun pemahaman  dan  keyakinan  pelaku  usaha  tani  tentang  peran  strategis  dan  dampak  positif yang diberikan interaksi hayati dalam menciptakan sistem pertanian yang berkelanjutan.   2. Biorefinery  dan Siklus Biogeokimiawi (Biogeochemical Cycles)   Biomassa terdiri dari kumpulan makromolekul (karbohidrat, lipid, protein, dan asam nukleat) dan bagian lignoselulosik yang sering dianggap sebagai limbah pertanian.  Skema inovatif dan strategis yang harus diterapkan dalam menopang keberlanjutan pertanian‐bioindustri adalah pengolahan  produk  utama  hasil  pertanian  (yang  mengandung  makro  molekul)  untuk menghasilkan  berbagai  bioproduk  (material  dan  energi)  dengan  nilai  tambah  yang  tinggi sementara  pengolahan  produk  samping  lignoselulosa    dilakukan  dengan mempersyaratkan pengembalian unsur nutrisi  tanaman ke lahan pertanian asal biomassa. Pengembalian unsur nutrisi  ke  lahan  pertanian  dapat meningkatkan  produktivitas  lahan  dan menurunkan  input unsur  hara  external  serta  menjaga  keselarasan  interaksi  tanaman  dengan  lingkungan khususnya  dengan  komunitas  organisme  yang  menunjang  keberlanjutan  sistem  ekologi disekitar pertanian tersebut.   Pengolahan  biomassa  terpadu    untuk  menghasilkan  berbagai  produk  yang  memiliki  nilai tambah  tinggi  dan  merupakan  landasan  mewujudkan  keberhasilan  pengembangan  bio‐industri  dilakukan  dengan  penerapan  konsep  biorefinery.  Biorefinery  adalah  suatu  konsep proses  pengolahan  keseluruhan  biomassa  untuk  menghasilkan  berbagai  komponen  bio‐produk  dengan  input  energi  dan  bahan  eksternal  yang  serendah  mungkin  dan      secara menyeluruh memberi nilai tambah  maksimal bagi biomassa yang diolah.  

 3. Bioindustri (material dan energi) : Primary processing dan secondary processing  Selain  keterpaduan  yang  diuraikan  diatas,  keberhasilan  bio‐industri  berkelanjutan  juga ditentukan keterpaduan antara primary dan secondary processing, yang dapat berskala kecil ataupun  besar.  Primary  processing  merupakan  pengolahan  biomassa  hasil  panen  sampai menjadi  produk  antara  berupa    komponen  kasar  makromolekul.  Sedangkan  secondary processing  kemudian  akan memurnikan  atau mengolah  lanjut  produk  Primary  processing menjadi  produk makro molekul  yang memenuhi  karakteristik  dan  spesifikasi  tertentu  atau menjadikannya menjadi bio‐produk bernilai tambah tinggi. Secondary processing   sebaiknya dikelola  pelaku  yang  memiliki  akses  pada  pasar  sehingga  menjadi  mitra  yang  memberi kepastian  bagi    produk  Primary  processing,  dan  selanjutanya  Primary  processing menjadi mitra yang memberi kepastian bagi produk hasil pertanian. Kemitraan seperti ini belum lazim diterapkan  di  Indonesia,  namun  seperti  diuraikan  sebelumnya  keberlanjutan  produktivitas  pertanian sangat tergantung dari peran  interaksi beragam makhluk hidup yang sangat tinggi dilahan  pertanian.  Demikian  juga  semestinya    berlaku    bagi  usaha  pengolahan  berbasis biomassa  yang harus menjaga dan menjamin keterlibatan dan interaksi beragam para pelaku usaha untuk menjamin keberlangsungan  rantai pasok. 

 Untuk menjamin  keberlangsungan    dan  keberhasilan  usaha  bio‐industri,  keterlibatan  dan interaksi para pelaku usaha rantai pasok dapat diwujudkan melalui  integrasi antara primary processing  yang  relatif  berskala  kecil    dan  secondary  processing  dengan  skala  relatif  lebih besar.  Memadukan  industri  kecil  dan  besar  dapat  meminimalisir  kelemahan  dan memaksimalkan kekuatan masing‐masing.        Indusri kecil dapat diwujudkan dengan  industri yang menetap  (fixed)  tapi  juga  dapat  diwujudkan  dengan  indusri  yang  bergerak  (mobile). 

Page 7: Pengembangan Sistem Pertanian Bioindustri Berkelanjutan

 

Keterpaduan  industri  kecil  dan  besar  dapat  dalam  berbagai  bentuk  usaha  kerjasama  dan disesuaikan dengan kekhususan lokasi dan bahan bioindustri.   

 4.   Peta Jalan menuju Sistem Pertanian – Bioindustri berkelanjutan   di Indonesia         Dalam payung   umum platform biorefinery,   beberapa kemungkinan platform  spesifik yang dapat  ditempuh menuju  pertanian‐bioindustri    terpadu  adalah:  “sugar  platform”,  “biogas platform”,  “carbon‐rich  chain  platform”,  dan    “thermochemical  platform”  serta  “plant products platform”.  Peta  jalan  system  pertanian‐bioindustri  berkelanjutan    untuk  Indonesia  sebaiknya  dimulai dengan  “sugar  platform”  yaitu  industri  berbasis  pati, melalui  pengembangan  industri  yang sudah ada dan  tersebar diberbagai daerah di pulau Jawa dan Sumatera. Keterpaduan antara pertanian penghasil pati dan bioindustri “sugar platform”, yang dirangkai dengan keterlibatan  “biogas platform” sebagai penghasil sumber energi dari dekomposisi limbah biomasssa, akan dapat  meningkatkan  perekonomian  dan  keberlanjutan  usaha  ini  dan  pertanian pendukungnya.   Paralel  dengan  alur  pengembangan  “sugar  platform”,  pengembangan  industri  alur  proses “carbon‐rich  chain  platform”  juga  sudah  harus  diperluas.  Carbon‐rich  chain  platform  menggunakan minyak nabati alami (lipida) seperti minyak sawit, kedelai, jagung, kanola, jarak dan alga sebagai bahan baku dan sudah digunakan  sebagai platform chemicals dalam proses biorefinery untuk menghasilkan berbagai turunan di negara maju. Meningkatkan keragaman sumber  lipida  dari  berbagai  jenis  tanaman  secara  bertahap  dan  berjenjang  juga  harus dilakukan secara parallel dengan peningkatan produktivitas kelapa sawit rakyat.    Alur proses “thermochemical platform” yang mengkonversi bahan dari dua alur platform yang disebut  sebelumnya  (produk  antara)  dapat  dimulai  sedini  mungkin  sejak  jumlah  produk antara  tersebut memadai memasok  kebutuhan  bahan  baku  industri  hilir  “thermochemical platform” yang umumnya memilki skalanya yang relatif  besar.    Alur  proses    “plant  products  platform”  ditempuh  melalui  rekayasa  genetika  atau pengendalian lingkungan, sehingga varietas tanaman tertentu dapat memproduksi metabolit sekunder  (secondary metabolit) meskipun  secara  alami mungkin  tidak  diproduksi.  Hal  ini mempermudah dan mempersingkat alur proses konsep   biorefinery karena proses  tersebut terjadi pada  tanaman  itu sendiri, bukan di suatu pabrik  industri.   Peta  jalan pengembangan alur ini tidak tergantung dari tiga alur platform yang telah disebutkan sebelumnya, sebaliknya  pengembangan dan  keberhasilan  sedini mungkin melalui  alur  ini  akan memberi  kontrubusi yang  sangat  besar  bagi  pengembangan  bio‐industri  karena  mempermudah  dan mempersingkat produksi bioproduk yang diinginkan.   

F. Sains dan Innovasi Pertanian‐Bioindustri  Berkelanjutan    Prasyarat  dan  kunci  pendorong  utama  keberhasilan    pengembangan  pertanian‐bioindustri  berkelanjutan di berbagai Negara, khususnya Brazilia, adalah Komitmen Pemeritah dan Kebijakan Publik  (Government  commitment  and  public  policies).  Rumusan  Strategi  Induk  Pembangunan Pertanian  2013‐2045  (dimana  Penulis  turut  sebagai  anggota  perumus)  diharapkan  dapat digunakan  menjadi  landasan  komitmen  pemerintah  dan      kebijakan  publik  pengembangan bioindustri di Indonesia dimasa depan.    

Page 8: Pengembangan Sistem Pertanian Bioindustri Berkelanjutan

 

 Prasyarat  dan  kunci  pendorong  kedua  adalah  pengembangan  pertanian  tropikal  berbasis  sains dan  rekayasa hayati  ( Development of bio‐science and  ‐engineering based  tropical agriculture), melalui tahapan:  

i. Organizing effort, ii. Integrating Competence and Infrastructure, iii. Inducing Research Nets and Projects. 

pemangku kepentingan dan penggiat pengembangan pertanian‐bioindustri.  Pertanian  yang  ada  saat  ini  yang    mayoritas  merupakan    lahan  kecil  perlu  dikelola  dalam organisasi  sehingga  menjadi  skala  budidaya  yang  memungkinkan  bio‐industri  layak  dibangun secara ekonomis.       Penelitian  terpadu dari berbagai disiplin melalui  suatu Program Aksi perlu diperkenalkan dan dilaksanakan untuk  mengembangkan pertanian tradisional menjadi pertanian yang  berbasis  ilmu  pengetahuan.  Program  aksi  yang  dilakukan  harus menjadi  contoh  teladan penerapan    ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  dalam   membangun  sistem  pertanian‐bioindustri dan  bio‐eknomi  pada  suatu  kawasan  pertanian.  Dari  program  aksi  tersebut,  keunikan  dari beragam  jenis    tanaman  tidak  saja  diidentifikasi  prospeknya  sebagai  bahan  baku  bio‐industri  untuk  menghasilkan  bioproduk  bernilai  tinggi  namun  juga  sebagai  fondasi  pengembangan  pertanian bermartabat  yang memberi  kemakmuran dan  keadilan bagi  pelaku usaha pertanian. Paradigma    yang   memandang  peran  penting manusia  pelaku  usaha  tani maupun  pelaku  bio‐industri dalam menjaga keberlanjutan ketersediaan produk konsumtif (bioproduk) maupun non‐konsumtif (jasa lingkungan) pertanian perlu terus dimaknai oleh semua pihak.   Tantangan ilmiah dan kebijakan yang harus dipenuhi untuk mempertahankan dan meningkatkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dari  intensifikasi   pemanfaatan  lahan pertanian adalah konservasi:  sumber  daya  tanah  dan  air,    biodiversitas  dan  habitatnya,  kualitas  udara,  dan landsekap.    Persoalan  yang  dihadapi  sistim  pertanian masa  depan  kemungkinan  akan  sangat kompleks  dan  oleh  karenanya  solusi  yang  teruji  tidak  akan mungkin  diutarakan  pada  saat  ini.   Namun  usaha  mempertahankan  lahan  yang  sehat  melalui  penstrukturan  hayati  seperti  yang diutarakan sebelumnya merupakan landasan yang harus dipenuhi dan untuk itu prasyarat utama yang  harus  dijaga  adalah    konservasi  sumber  daya  air.  Konservasi  air melalui  langkah‐langkah seperti pengendalian laju erosi tanah, dan stabilisasi daerah tepian sungai pada hakikatnya dapat dicapai  melalui  penstrukturan  hayati  dengan  pedoman  (kriteria)  mempertahankan  interaksi berbagai organisme dilahan pertanian  sebagaimana diuraikan sebelumnya.  Pemeliharaan wujud fisik dan keragaman hayati yang dikandung  landsekap khususnya yang berbukit dan bergunung‐gunung memiliki  potensi  yang  sangat  besar  untuk  konservasi  air,    karena  elevasi  dan  floranya berperan  dalam  daur  hidrologi.      Perekayasaan  daur  hidrologi  ini  disamping  untuk  kebutuhan pertanian  juga  sangat berpotensi dimanfatakan  sebagai   pembangkit energi    tenaga  air  (hydro power) yang selama ini belum banyak dieksploitasi.   Tantangan  ilmiah  yang  lebih  spesifik  dan  perlu  dikaji  secara  rinci  pada  pengembangan  sistim pertanian‐bioindustri  adalah:  penyelarasan    manfaat  jangka  pendek  dan  keberlanjutan, penyelarasan nilai ekonomi dan jasa ekosistem, pengelolaan lahan global, penyelarasan produksi bahan pangan dan non pangan terhadap biaya lingkungan (pengendalian konversi ekositem alam menjadi lahan pertanian), peningkatan lanjut produktivitas lahan pertanian,  peningkatan efisiensi penggunaan  nutrisi,  peningkatan  effisiensi  penggunaan  air,  mempertahankan  dan  restorasi  kesuburan  lahan,    pengendalian  hama  dan  penyakit,  keberlanjutan  produksi  sumber  protein hewani,  penerapan praktek pertanian keberlanjutan. 

  

Page 9: Pengembangan Sistem Pertanian Bioindustri Berkelanjutan

 

G. Penutup  

Kesempatan dan  tantangan terkait penggunakan hasil pertanian   sebagai sumber bioenergi dan bioproduk  datang  dari  sisi  ekonomi  dan  lingkungan. Dari  segi  ekonomi,  penggunaan  bioenergi dipandang  sebagai  salah  satu  langkah penting menuju  keberlanjutan produksi energi,  sehingga menurunkan  tingkat  ketergantungan  dunia  terhadap  bahan  bakar  fosil.  Penggunaan  bioenergi juga  dapat  mempercepat  pertumbuhan  ekonomi  khususnya  pada  daerah  perdesaan. Pembangunan   sistem pertanian–bioindustri berkelanjutan   berbasis hayati dapat meningkatkan keberlanjutan ekonomi sektor pertanian dan sektor‐sektor terkait  lainnya, dan  jika dilaksanakan dengan  bijaksana  dapat  memperbaiki  serta  menyeimbangkan  ekosistem  untuk  memperbaiki lingkungan.  Bioindustri  dengan  pengolahan  yang  efisien  dan  efektif  disamping  dapat meningkatkan  nilai  tambah  hasil  pertanian,  dan  oleh  karenanya    peningkatan  kesejahteraan petani, juga menjadi motor penggerak sektor ekonomi lainnya (yang meningkatkan PDB Nasional) dan  terutama  menjadi  sektor  yang  dapat  penampung  tenaga  kerja  yang  melimpah  disektor pertanian saat ini.           Innovasi berbasis sains    terkait agroekologi, proses dan  siklus biogeokimia,  transformasi  tenaga surya  menjadi  energi  kimiawi  ,  effisiensi  nutrisi  dan  air,  pemuliaan  benih  dan  pemanfaatan keragaman hayati, pengendalian hama dan penyakit, penginderaan  jarak  jauh dan  teknik‐teknik pendukung  lainnya  masih  sangat    diperlukan  untuk  pengembangan  pertanian–bioindustri berkelanjutan. Persoalan terkait penanganan material biomassa juga perlu dicermati, mulai dari: saat panen (tata cara pemanenan, pengumpulan, penyimpanan), saat pasca panen (pengeringan dan penyimpanan), saat pengolahan (transportasi, reduksi ukuran, pengeringan, dan pengolahan awal lain yang terkait), transportasi dan sistem rantai pasok produk. Sisi yang harus dikaji tersebut mungkin  menjadi  batu  sandungan  pengembangan  pertanian‐bioindustri  terpadu,  namun  bila dapat ditangani dengan baik akan  menjadi sektor jasa pendukung bioindustri yang juga menjadi kegiatan yang memberi kesempatan lapangan kerja dan peningkatan eknomi diperdesaan.    Referensi: 1. Jefferson  Costa, ‘Development of a Science‐Based, Advanced Tropical Agriculture in Brazil’ , Embrapa 

Brazil, April 2012.  

2.  ‘Business and Ecosystems’, World Business Council for Sustainable Development, 2007. 3. John Reid and James Boyd, ‘Economics and Conservation in the Tropics: A Strategic Dialogue’,  2008 4. ‘Developing Future Ecosystem Service Payments in China: Lessons Learned from International  

Experience’,  Forest Trends, 2006. 5. Richard R. Harwood , ‘Biological Principles and Interactions  in Sustaining Long‐Term Agricultural 

Productivity’, in ‘Proceedings of the Workshop on Sustainable Development’, ADB, June 1992.  6. David Tilman, Kenneth G. Cassman, Pamela A. Matson, Rosamond Naylor and  Stephen Polasky, 

‘Agricultural sustainability and intensive production practices’, Nature, Vol 418, August 2002.  7. Hayo M.G. van der Werf , Jean Petit, ‘Evaluation of the environmental impact of agriculture 

at the farm level: a comparison and analysis of 12 indicator‐based methods Agriculture’, Ecosystems and Environment 93 (2002) 131–145. 

8. Terry Chapin,  Science and Technology Needs for a Sustainability Transition, University of Alaska Fairbanks, 2011.  

9. ‘Science, Technology, and Sustainability: Building a Research Agenda’, National Science Foundation Supported Workshop,  September, 2008. 

10. ‘Ministerial Round table on: Science, Technology and Innovation for Sustainable Development: The Role of UNESCO’, October 2007.  

11. Goodland, R., 1995. The concept of environmental sustainability. Annu. Rev. Ecol. Syst. 26, 1–24. 12. Eric D. Schneider and Dorion Sagan,’Into the Cool: Energy Flow Thermodynamics and Life’, The 

University of Chicago Press, 2005.