Pengembangan Model Perminataan Energi Sektor Industri Semen, Baja Dan Kertas

89
UNIVERSITAS INDONESIA PENGEMBANGAN MODEL PERMINTAAN ENERGI SEKTOR INDUSTRI SEMEN, INDUSTRI BAJA, INDUSTRI PULP DAN KERTAS DENGAN PENDEKATAN ENGINEERING-ECONOMIC MODEL TESIS DENNY SUKMA LAKSANA (0906651334) FAKULTAS TEKNIK DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA DEPOK JULI 2012 Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

description

Modelling

Transcript of Pengembangan Model Perminataan Energi Sektor Industri Semen, Baja Dan Kertas

  • UNIVERSITAS INDONESIA

    PENGEMBANGAN MODEL PERMINTAAN ENERGI SEKTOR

    INDUSTRI SEMEN, INDUSTRI BAJA, INDUSTRI PULP DAN

    KERTAS DENGAN PENDEKATAN ENGINEERING-ECONOMIC

    MODEL

    TESIS

    DENNY SUKMA LAKSANA

    (0906651334)

    FAKULTAS TEKNIK

    DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA

    DEPOK

    JULI 2012

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • ii

    UNIVERSITAS INDONESIA

    PENGEMBANGAN MODEL PERMINTAAN ENERGI SEKTOR

    INDUSTRI SEMEN, INDUSTRI BAJA, INDUSTRI PULP DAN

    KERTAS DENGAN PENDEKATAN ENGINEERING-ECONOMIC

    MODEL

    TESIS

    Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Teknik

    DENNY SUKMA LAKSANA

    (0906651334)

    FAKULTAS TEKNIK

    DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA

    DEPOK

    JULI 2012

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • iii

    Universitas Indonesia

    HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

    Penelitian Ini Adalah Hasil Karya Saya Sendiri,

    Dan Semua Sumber Baik Yang Dikutip Maupun Dirujuk

    Telah Saya Nyatakan Dengan Benar

    Nama

    NPM

    Tanda Tangan

    Tanggal

    :

    :

    :

    :

    Denny Sukma Laksana

    0906651334

    04 Juli 2012

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • iv

    Universitas Indonesia

    HALAMAN PENGESAHAN

    Tesis ini diajukan oleh :

    Nama : Denny Sukma Laksana

    NPM : 0906651334

    Program Studi : Teknik Kimia

    Judul Tesis : Pengembangan Model Permintaan Energi Sektor

    Industri Semen, Industri Baja, Industri Pulp Dan

    Kertas Dengan Pendekatan Engineering-

    Economic Model

    Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima

    sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar

    Magister Teknik pada Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik

    Universitas Indonesia.

    DEWAN PENGUJI

    Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Widodo Wahyu Purwanto, DEA ()

    Pembimbing : Dr. Hariyanto ()

    Penguji : Kamarza Mulia, PhD ()

    Penguji : Dr. Ir. Asep Handaya Saputra, M.Eng ()

    Penguji : Dr. rer.nat Ir. Yuswan Muharam, MT ()

    Ditetapkan di : Depok

    Tanggal : 04 Juli 2012

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • v

    Universitas Indonesia

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat,

    nikmat, pertolongan, serta karuniaNya yang tak pernah putus sedetik pun, juga

    shalawat serta salam penulis panjatkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW.

    dan diiringi dengan usaha dan doa, akhirnya Tesis ini dapat diselesaikan tepat

    pada waktunya.

    Makalah tesis dengan judul Pengembangan Model Permintaan Energi

    Sektor Industri Semen, Industri Baja, Industri Pulp Dan Kertas Dengan

    Pendekatan Engineering-Economic Model disusun untuk melengkapi

    persyaratan untuk meraih gelar Magiter Teknik di Departemen Teknik Kimia

    FTUI.

    Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

    semua pihak yang telah membantu selama proses penulisan:

    - Bapak Dr. Ir. Widodo W. Purwanto, DEA. Dan Bapak Dr. Hariyanto

    selaku pembimbing seminar atas bimbingan, ilmu, diskusi dan

    nasehatnya dalam pembuatan tesis ini

    - Bapak Mahmud Sudibandriyo, PhD selaku pembimbing akademis

    - Para dosen Departemen Teknik Kimia FTUI yang telah membimbing

    dan memberikan ilmu yang sangat berguna bagi penulis.

    - Sahabat seperjuangan penulis di S2 Teknik Kimia UI angkatan 2009 &

    2010.

    - Seluruh pihak yang secara langsung maupun tidak langsung turut

    berkontribusi dalam penyusunan tesis ini.

    Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam tesis

    ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun tetap penulis harapkan

    untuk lebih menyempurnakan tesis ini.

    Depok Juli 2012

    Penulis

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • vi

    Universitas Indonesia

    HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

    TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

    Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda

    tangan di bawah ini :

    Nama : Denny Sukma Laksana

    NPM : 0906651334

    Program Studi : Magster Teknik Nimia

    Departemen : Teknik Kimia

    Fakultas : Teknik

    Jenis karya : Tesis

    Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan

    kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive

    Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

    PENGEMBANGAN MODEL PERMINTAAN ENERGI SEKTOR

    INDUSTRI SEMEN, INDUSTRI BAJA, INDUSTRI PULP DAN KERTAS

    DENGAN PENDEKATAN ENGINEERING-ECONOMIC MODEL

    Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

    Non-eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/

    format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan

    memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai

    penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

    Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

    Dibuat di : Depok

    Pada tanggal : 04 Juli 2012

    Yang menyatakan

    (Denny Sukma Laksana)

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • vii

    Universitas Indonesia

    ABSTRAK

    Nama : Denny Sukma Laksana

    Program Studi : Teknik Kimia

    Judul : Pengembangan Model Permintaan Energi Sektor Industri Semen,

    Industri Baja, Industri Pulp Dan Kertas Pendekatan Engineering-

    Economic Model

    Sektor energi mempunyai peran vital bagi pertumbuhan sektor ekonomi

    terutama untuk sektor produksi seperti sektor industri manufaktur. Berbeda

    dengan Negara maju, intensitas energi sektor industri Indonesia lebih tinggi

    dibanding intensitas rata-rata nasional yang menunjukkan ketidakefisienan

    penggunaan energi. Penelitian ini bertujuan mengembangkan model permintaan

    energi pada industri semen, baja dan pulp dan kertas dengan pendekatan

    engineering-economic model. Tahapan penelitian ini yaitu pengumpulan data,

    penentuan variabel, analisis data, pemodelan, dan simulasi dengan skenario

    konservasi dan dasar. Penelitian ini mendapatkan bahwa data untuk memetakan

    konsumsi energi dan intensitas energi pada industri manufaktur tidak konsisten

    sehingga gambaran konsumsi energi, intensitas energi dan intensitas emisi secara

    nasional tidak didapatkan. Dengan skenario konservasi industri semen dapat

    menghematan sebesar 150 juta GJ dan industri baja 111 juta GJ di tahun 2020.

    Kata Kunci: pemintaan energi, Engineering-Economic Model, industri

    manufaktur, industri semen, industri baja, industri pulp dan kertas.

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • viii

    Universitas Indonesia

    ABSTRACT

    Name : Denny Sukma Laksana

    Study Program : Chemical Engineering

    Title : Development of Industrial Sector Energy Demand Model of

    Cement Industry, Steel Industry, Pulp and Paper Industry with

    Engineering-Economic Model Approach.

    The energy sector has a vital role for the growth of economy sectors

    especially for production sectors such as the manufacturing industry. In contrast to

    developed countries, energy intensity of industrial sectors in Indonesia is higher

    than national average intensity which shows inefficient energy use. This research

    aims to develop a model of energy demand in cement, steel and pulp and paper

    industries with engineering - economic model approach. The methodologies are

    data collection, data analysis, variable determination, modeling, and simulation

    with conservation and basic scenarios. This research gets that data to mapping the

    energy consumption and energy intensity in the manufacturing industry is not

    consistent so the profile of energy consumption, energy intensity and emissions

    intensity is not obtained. With conservation scenarios the cement industry can

    save 150 million GJ and the steel industries 111 million GJ in 2020

    Keywords: energy demand, Engineering-Economic Model, manufacturing

    industry, cement industry, steel industry, pulp and paper industry.

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • ix

    Universitas Indonesia

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii

    HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iii

    HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv

    KATA PENGANTAR ........................................................................................... v

    HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS

    AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .................................... vi

    ABSTRAK ........................................................................................................... vii

    ABSTRACT ........................................................................................................ viii

    DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix

    DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii

    DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii

    BAB 1 PENDAHULUAn ...................................................................................... 1

    1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1

    1.2 Perumusan Masalah ................................................................................... 3

    1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 3

    1.4 Batasan Masalah ........................................................................................ 3

    BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4

    2.1 Penelitian Terkait Dengan Permintaan Energi di Indonesia ...................... 4

    2.2 Penelitian Terkait Dengan Permodelan Permintaan Energi ...................... 4

    2.3 Penelitian Terkait Dengan Sektor Industri Manufaktur ............................ 5

    2.4 Model Permintaan Energi .......................................................................... 7

    2.4.1 Pendekatan Ekonometrik ..................................................................... 8

    2.4.2 Pendekatan End-Use. ......................................................................... 10

    2.4.3 Pendekatan Input-Output ................................................................... 13

    2.4.4 Pendekatan skenario .......................................................................... 15

    2.4.5 Pendekatan hibrid .............................................................................. 16

    2.5 Energy Footprint ..................................................................................... 17

    2.6 Industri Semen ......................................................................................... 18

    2.6.1 Unit Raw Mill .................................................................................... 19

    2.6.2 Unit Coal Mill .................................................................................... 19

    2.6.3 Unit Burning (kiln) ............................................................................ 19

    2.6.4 Unit Finish Mill ................................................................................. 21

    2.6.5 Unit Packing ...................................................................................... 21

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • x

    Universitas Indonesia

    2.6.6 Energi Yang Digunakan Dalam Industri Semen ............................... 22

    2.7 Industri Baja ............................................................................................ 23

    2.7.1 Pengolahan Bijih Besi ....................................................................... 24

    2.7.2 Proses Peleburan ................................................................................ 25

    2.7.3 Kebutuhan Energi Dalam Industri Baja ............................................. 26

    2.8 Industri Pulp dan Kertas .......................................................................... 28

    2.9 Statistik Energi Indonesia ........................................................................ 32

    2.10 PowerSim Studio ..................................................................................... 34

    BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 36

    3.1 Pola Pikir Penelitian ................................................................................ 36

    3.2 Pengumpulan Data dan Analisis Data ..................................................... 36

    3.3 Penentuan Variabel .................................................................................. 37

    3.4 Pemodelan Permintaan Energi ................................................................. 38

    3.4.1 Persamaan Matematis ........................................................................ 38

    3.4.2 Asumsi ............................................................................................... 40

    3.5 Simulasi Model Permintaan Energi ......................................................... 43

    BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 44

    4.1 Industri Semen ......................................................................................... 44

    4.1.1 Konsumsi Energi dan Produksi Industri Semen ................................ 44

    4.1.2 Intensitas Energi Industri Semen ....................................................... 45

    4.1.3 Intensitas Emisi CO2 Industri Semen ................................................. 46

    4.1.4 Benchmark Intensitas Energi Industri Semen ................................... 47

    4.1.5 Energy Footprint Industri Semen ...................................................... 48

    4.1.6 Simulasi Model Permintaan Energi Industri Semen .......................... 50

    4.2 Industri Baja ............................................................................................ 53

    4.2.1 Konsumsi Energi dan Produksi Industri Baja.................................... 53

    4.2.2 Intensitas Energi Industri Baja .......................................................... 54

    4.2.3 Intensitas Emisi CO2 Industri Baja .................................................... 55

    4.2.4 Benchmark Intensitas Energi Industri Baja ....................................... 55

    4.2.5 Energi Footprint Industri Baja Indonesia .......................................... 56

    4.2.6 Simulasi Model Permintaan Energi Industri Baja ............................. 58

    4.3 Industri Pulp dan Kertas. ......................................................................... 61

    4.3.1 Konsumsi Energi dan Produksi Industri Pulp dan Kertas ................. 61

    4.3.2 Intensitas Energi Industri Pulp dan Kertas ........................................ 63

    4.3.3 Intensitas Emisi CO2 Industri Pulp dan Kertas .................................. 65

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • xi

    Universitas Indonesia

    4.3.4 Benchmark Intensitas Energi Industri Pulp dan Kertas ..................... 66

    4.3.5 Energy Footprint Industri Pulp dan Kertas Indonesia ....................... 67

    BAB 5 KESIMPULAN ....................................................................................... 71

    5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 71

    5.2 Saran ........................................................................................................ 71

    DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 72

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • xii

    Universitas Indonesia

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 2. 1 Siklus Kebijakan ................................................................................ 8 Gambar 2. 2 Langkah Umum Pendekatan End-Use Pada Model Energi Listrik .. 12 Gambar 2. 3 Estimasi Permintaan Energi Sektor Industri .................................... 12 Gambar 2. 4 Energy Footprints sektor manufaktur di Amerika Serikat ............... 18 Gambar 2. 5 Alur energi pada proses produksi semen.......................................... 22 Gambar 2. 6 Industri Hulu Pengolahan Logam .................................................... 23 Gambar 2. 7 Industri Antara Pengolahan Logam.................................................. 23 Gambar 2. 8 Industri Hilir Pengolahan Logam ..................................................... 24

    Gambar 2. 9 Diagram Alir Teknologi Proses Produksi Pulp dan Kertas .............. 29 Gambar 2. 10 Sistem Penyediaan Dan Kebutuhan Energi .................................... 33

    Gambar 3. 1 Diagram alir penelitian ..................................................................... 36

    Gambar 4. 1 Produksi Semen dan Konsumsi Energi Industri Semen ................... 44 Gambar 4. 2 Intensitas Energi Industri Semen Indonesia ..................................... 46 Gambar 4. 3 Intensitas Emisi CO2 Industri Semen Tahun 2001 - 2007 ............... 46 Gambar 4. 4 Intensitas Energi Industri Semen dibeberapa Negara Tahun 2008 .. 47 Gambar 4. 5 Energi Footprint dan Emisi CO2 Industri Semen tahun 2007 .......... 49 Gambar 4. 6 Proyeksi Konsumsi Energi dan Produksi Industri Semen ................ 50 Gambar 4. 7 Perbandingan Konsumsi Energi Intensitas Berubah dengan

    Konsumsi Energi Intensitas Tetap .......................................................... 51 Gambar 4. 8 Emisi Industri Semen 2008 2020 .................................................. 52 Gambar 4. 9 Intensitas CO2 Industri Semen Tahun 2008 - 2020 .......................... 52

    Gambar 4. 10 Produksi Baja dan Konsumsi Energi Industri Baja ........................ 53 Gambar 4. 11 Intensitas Energi Industri Baja Indonesia ....................................... 54 Gambar 4. 12 Intensitas Emisi CO2 Industri Baja Tahun 2001 - 2007 ................ 55 Gambar 4. 13 Intensitas Energi Industri baja dibeberapa Negara Tahun 2008 .... 56 Gambar 4. 14 Energi Footprint dan Emisi CO2 Industri Baja tahun 2007 ............ 57 Gambar 4. 15 Proyeksi Konsumsi Energi dan Produksi Industri Baja ................. 59 Gambar 4. 16 Perbandingan Konsumsi Energi Intensitas Berubah dengan

    Konsumsi Energi Intensitas Tetap .......................................................... 60 Gambar 4. 17 Emisi Industri Baja 2008 2020 .................................................... 60 Gambar 4. 18 Intensitas CO2 Industri Baja Tahun 2008 2020 ........................... 61 Gambar 4. 19 Produksi Pulp dan Konsumsi Energi Industri Pulp ........................ 62 Gambar 4. 20 Produksi Kertas dan Konsumsi Energi Industri Kertas .................. 62

    Gambar 4. 21 Intensitas Energi Industri Pulp Indonesia ....................................... 64

    Gambar 4. 22 Intensitas Energi Industri Kertas Indonesia ................................... 64

    Gambar 4. 23 Intensitas Emisi CO2 Industri Pulp Tahun 2001 2007 ................ 65 Gambar 4. 24 Intensitas Emisi CO2 Industri Kertas Tahun 2001 2007............. 65 Gambar 4. 25 Intensitas Energi Industri Pulp dibeberapa Negara Tahun 2008 .... 66 Gambar 4. 26 Intensitas Energi Industri Kertas dibeberapa Negara Tahun 2008 . 66 Gambar 4. 27 Energi Footprint dan Emisi CO2 Industri Pulp tahun 2007 ............ 69

    Gambar 4. 28 Energi Footprint dan Emisi CO2 Industri Kertas tahun 2007......... 70

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • xiii

    Universitas Indonesia

    DAFTAR TABEL

    Tabel 2. 1 Statistik penyediaan energi primer nasional ........................................ 33 Tabel 2. 2 Statistik Konsumsi Energi Nasional .................................................... 33 Tabel 2. 3 Statistik Konsumsi Energi Per Sektor (included biomass). ................. 34 Tabel 2. 4 Simbol-Simbol yang Digunakan Dalam Powersim Studio .................. 35

    Tabel 3. 1 Asumsi Laju PDB yang Digunakan ..................................................... 41 Tabel 3. 2 Faktor Emisi untuk Tiap Jenis Bahan Bakar ........................................ 42

    Tabel 4. 1 Konsumsi Energi PT. X Tahun 2008 ................................................... 45 Tabel 4. 2 Intensitas Energi Industri Baja untuk Setiap Jenis Proses ................... 54

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 1

    Universitas Indonesia

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Kebijakan Energi Nasional (KEN) saat ini mengalami pergeseran dari

    supply side management menuju demand side management dimana penggunaan

    energi di Indonesia masih belum bisa dikatakan efisien (masih boros energi). Hal

    ini ditunjukkan oleh parameter intensitas energi atau sering disebut energy

    productivity (rasio permintaan energi/PDB) pada tahun 2008 sebesar 17,125

    MBtu/US$ yang masih lebih tinggi dibanding negara-negara Asia seperti Philipina

    11,185, Malaysia 15,064, dan Jepang 4,651 (EIA, 2010). Walaupun permintaan

    energi per kapita Indonesia lebih rendah dibandingkan negara maju, namun hal ini

    hanya menunjukkan akses energi komersial dan aktivitas untuk kegiatan produktif

    masih rendah terbukti dari masih seringnya terjadi kelangkaan energi dibeberapa

    tempat.

    Penggunaan energi yang tidak efisien antara lain disebabkan produktivitas

    sektoral yang masih rendah karena kurang handalnya pasokan energi terutama

    sektor industri manufaktur sehingga beroperasi dibawah kapasitas. Selain itu,

    teknologi yang digunakan sektor pengguna energi pada umumnya sudah tua

    sehingga boros energi. Untuk sektor transportasi, terbatasnya moda transportasi

    massal yang efisien, keterbatasan infrastruktur, dan kurang sinkronnya kebijakan

    sektor energi dan sektor otomotif menyebabkan kemacetan lalu lintas yang

    mengakibatkan pemborosan energi. Di lain pihak, peralatan hemat energi yang

    banyak ditawarkan belakangan ini masih dinilai mahal dan dianggap sebagai

    barang mewah serta belum adanya budaya hemat energi.

    Sektor industri manufaktur merupakan sektor yang mengkonsumsi energi

    terbesar diantara semua sektor pengguna energi (transportasi, listrik, rumah tangga

    dan komersial) namun demikian intensitas energinya hampir dua kali lipat

    intensitas energi rata-rata nasional (Suehiro, 2007). Pertumbuhan input sektor

    industri terutama energi lebih tinggi dibanding pertumbuhan ouput (PDB sektor)

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 2

    Universitas Indonesia

    industri. Hal ini diduga terjadi deindustrialisasi yang antara lain disebabkan

    kekurangan pasokan energi terutama gas bumi dan listrik dan teknologi

    permesinan yang sudah tua dan boros energi dan faktor ekternal selain energi.

    Sektor industri manufaktur dapat dibagi dalam kelompok padat energi

    (Energy Intensive Industry) dan kelompok yang tidak padat energi. Menurut

    Badan Pusat Statistik (BPS) data konsumsi energi pada setiap subsektor industri

    manufaktur menunjukkan bahwa hanya 6 (enam) subsektor yang mengkonsumsi

    sekitar 80% dari total pasokan energi, sedangkan 20% pasokan energi diserap oleh

    17 subsektor industry manufaktur. Enam subsektor yang masuk ke dalam

    subsektor padat energi adalah; subsektor Kimia, Logam, Makanan dan Minuman,

    Semen dan Keramik (galian bukan logam), Tekstil dan Pengolahan Kertas.

    Dalam konteks kebijakan, pemerintah telah mengeluarkan PP No. 70

    Tahun 2009 tentang konservasi energi yang mengatur antara lain kewajiban

    pengguna energi dengan jumlah tertentu (setara 6,000 TOE 252.000 GJ atau

    lebih) untuk melaksanakan manajemen energi dan audit energi; pemberian

    insentif, disinsentif bagi pelaku konservasi yang berhasil atau gagal, namun

    demikian belum terlihat hasilnya.

    Model energi nasional telah dikembangkan sejak tahun 1997 oleh

    Pengkajian Energi Universitas Indonesia (PEUI) dengan nama Indonesia Energy

    Outlook by System Dynamic (INOSYD), terdiri dari model suplai energi dan

    permintaan energi (refference energy system), model makroekonomi (SAM/I-O)

    dan model lingkungan. Model INOSYD bersifat bottom-up (detail di bagian

    sistem energi suplai) dan optimisasi parsial serta demand driven (Purwanto,

    2006). Model permintaan energi INOSYD masih menggunakan model

    ekonometrik berdasarkan teori ekonomi dan empiris, belum didasarkan pada end

    used/engineering model sehingga belum bisa dikaitkan dengan kebijakan demand

    side management yaitu konservasi dan efisiensi energi. Penelitian ini memodelkan

    subsektor padat energi industri manufaktur yakni, Semen, Logam, dan Pulp dan

    Kertas.

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 3

    Universitas Indonesia

    1.2 Perumusan Masalah

    Subsektor Industri Kimia, Logam, Makanan dan Minuman, Semen dan

    Keramik (galian bukan logam), Tekstil dan Pengolahan Kertas merupakan

    subsektor yang padat energi pada industri manufaktur yang masih boros energi.

    Masalah yang akan dibahas pada penelitian ini adalah seperti apa peta konsumsi

    energi dan intensitas energi pada subsektor-subsektor industri manufaktur di

    Indonesia. Dengan memodelkan subsektor-subsektor ini akan dapat diketahui

    intensitas energi dan peluang konservasi energi pada subsektor-subsektor yang

    dibahas.

    1.3 Tujuan Penelitian

    Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan model permintaan

    energi yang berbasis engineering-economic model pada subsektor industri

    manufaktur yang akan diintegrasikan pada model INOSYD sehingga dapat:

    - Memetakan dan memprediksikan kebutuhan energi dan carbon footprint pada

    keenam subsektor industri tersebut.

    - Memprediksikan intensitas dan serta intesitas karbon dioksida pada subsektor

    industri.

    1.4 Batasan Masalah

    Batasan masalah pada penelitian ini adalah sebagi berikut:

    - Analisis kebutuhan energi hanya pada industri Logam, Semen, dan Pulp dan

    Kertas.

    - Kebutuhan energi yang dimaksud yaitu energi yang digunakan selama proses

    produksi tidak termasuk listrik untuk perkantoran dan transportasi pada

    industri.

    - Intensitas energi dinyatakan dalam satuan Giga Joule (GJ)/ton produk untuk

    memudahkan pemodelan.

    - Pemetaan Energi Footprint dilakukan dengan menggambarkan aliran pasokan

    energi dan kebutuhan energi di pabrik manufaktur.

    - Emisi CO2 dihitung hanya yang berasal dari proses pembakaran bahan bakar.

    - Permodelan yang akan dilakukan berdasarkan kebijakan yang seragam untuk

    kurun waktu sampai dengan tahun 2020.

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 4

    Universitas Indonesia

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Penelitian Terkait Dengan Permintaan Energi di Indonesia

    Beberapa penelitian tentang sisi permintaan energi di Indonesia telah

    dilakukan oleh M.M. Pitt (1985), Sasmojo dan Tasrif (1991) yang mengulas sisi

    permintaan untuk Bahan Bakar Minyak khususnya kerosene, penelitian lain

    dilakukan oleh Ooi (1986) yang lebih fokus pada daerah rural. Schipper dan

    Meyers (1991) juga melakukan penelitian pada sisi permintaan energi dengan

    penekanan kepada efisiensi peralatan listrik rumah tangga.

    Penelitian dalam skala regional, dimana Indonesia menjadi salah satu

    objek penelitian dilakukan oleh Ishguro M, dan T. Akiyama (1995) yang meneliti

    permintaan energi di negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia pada tingkat

    agregat dengan menggunakan model ekonometrik, dan fokus penelitian adalah

    untuk melihat dampak dari kebijakan energi terhadap pertumbuhan permintaan.

    Sedangkan Dahl, dan Kurtubi (1997) melakukan penelitian terhadap perkiraan

    permintaan BBM dengan model cointegration. Penelitian tentang permintaan

    BBM yang dilakukan Saad S. (2009) adalah untuk memperkirakan elastisitas

    harga dan pendapatan terhadap harga. Penelitian yang dilakukan oleh Shrestha

    dan Marpaung (1999) yaitu dari sisi permintaan listrik dan terkait carbon tax.

    Sun (2003) melakukan analisa terhadap intensitas energi pada sektor

    manufaktur di banyak negara di dunia. Dalam penelitiannya Sun membahas

    penurunan intensitas energi di sektor manufaktur di Indonesia dan beberapa

    negara berkembang lainnya yang disebakan oleh perhitungan total pasokan energi

    primer (Total Primary Energy Supply) dan juga memasukkan pasokan energi

    terbarukan.

    2.2 Penelitian Terkait Dengan Permodelan Permintaan Energi

    Permodelan energi membantu dalam memahami hubungan dan interaksi

    antara energi dengan faktor lainnya (misalnya ekonomi, teknologi dan lain-lain).

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 5

    Universitas Indonesia

    Hal ini membantu para perencana kebijakan energi untuk memperkirakan dan

    merencanakan dampak kebijakan di masa depan. Permodelan energi dapat

    digunakan untuk landasan dalam memformulasi kebijakan yang sesuai dengan

    keadaan dan situasi yang terjadi. Publikasi dalam negeri yang terkait dengan

    kebijakan energi dan permodelan adalah yang diterbitkan oleh Pengkajian Energi

    Universitas Indonesia (PEUI), buku ini mempunyai cakupan luas tentang

    permodelan energi serta memberi panduan untuk setiap konsep dan formulasi.

    Jebaraja dan Iniyan (2004) telah melakukan paper review terhadap

    berbagai topic yang berkembang dan berhubungan dengan permodelan energi.

    Perbedaan jenis permodelan yang dicatat dalam penelitiannya adalah energy

    planning models permodelan energi untuk perencanaan, energy supply-demand

    models permodelan energi untuk pasokan-permintaan, forecasting models

    permodelan untuk melakukan perkiraan, renewable energy models permodelan

    untuk energi terbarukan, emission reduction models permodelan untuk

    pengurangan emisi, dan model untuk optimalisasi. Selain mengulas jenis-jenis

    permodelan, mereka juga mengulas permodelan berdasarkan neural network dan

    fuzzy theory yang dapat digunakan untuk melakukan perkiraan.

    Bhattacharyya dan Timilsilna (2009) secara kritis mengulas beberapa

    metodologi permodelan energi dalam rangka mendapatkan model yang tepat

    untuk memasukkan hal-hal yang khusus yang terdapat di negara-negara

    berkembang. Kemudian mereka menyimpulkan bahwa secara umum permodelan

    permintaan energi yang telah dilakukan dapat dikelompokkan ke dalam dua

    pendekatan, yaitu econometric models dan end-use energy accounting.

    Pendekatan end-use energy accounting di negara-negara berkembang terdapat

    masalah dengan ketersediaan data, padahal model ini membutuhkan data yang

    detail untuk mewakili setiap sub sektor dalam membuat proyeksi/prediksi ke

    depan yang realistik dibandingkan dengan pendekatan ekonometrik.

    2.3 Penelitian Terkait Dengan Sektor Industri Manufaktur

    Beberapa penelitian untuk menganalisa performa intensitas energi pada

    industri manufaktur dilakukan dilakukan dengan perbandingan antar negara atau

    terfokus pada satu negara tertentu. Miketa (2001) menggunakan metodologi Panel

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 6

    Universitas Indonesia

    Analisis untuk menganalisa sektor industri manufaktur di negara-negara

    berkembang dan negara-negara industri maju yang meliputi negara anggota

    OECD, negara-negara di Asia dan di Amerika latin. Penelitian ini melihat

    perubahan index intensitas energi dan bukan melihat nilai intensitas energi di

    negara-negara tersebut. Salah satu pertanyaan dari kajian ini adalah; berapa besar

    industri yang mampu mempengaruhi intensitas energi. Variabel yang dianalisa

    terutama adalah a.) aktivitas ekonomi sektoral dan b.) sektor investasi.

    Kesimpulan dari penelitian ini adalah, secara umum investasi tidak memiliki

    natural force untuk membawa kearah penurunan intensitas energi.Seangkan

    jawaban bagi salah satu pertanyaan penelitian ini, seperti disebutkan di atas,

    adalah semakin besar industri tumbuh, maka semakin banyak energi yang

    diperlukan.

    Silveria dan Luken (2008) melakukan penelitian terhadap intensitas sektor

    industri manufaktur secara global. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk

    melihat dan pada subsektor manufaktur dan negara mana yang memiliki potensi

    untuk penurunan penggunaan energi. Metodologi yang digunakan berbeda dengan

    Miketa, dimana Silveria dan Luken menggunakan metodelogi decoupling.

    Metoda ini adalah untuk melihat pertumbuhan relatif dari parameter-parameter

    terkait dengan lingkungan hidup (misalnya, Energi) dengan pertumbuhan

    parameter ekonomi (misalnya, pertumbuhan output industri).

    Penelitian Silveria dan Luken dilakukan terhadap industri padat energi

    yang terdiri dari; Kimia dan Petrokimia, Pulp and Paper, Makanan/Minuman dan

    Rokok, serta Tekstil dan Kulit.

    Penelitian yang fokus terhadap satu negara terhadap sektor industri

    manufaktur yang lain adalah sperti yang dilakukan oleh Worrell dan Price (2001)

    untuk wilayah Amerika Serikat, atau oleh Mongia, dan Sathaye (2001), yang

    melihat hubungan antara kebijakan teknologi proses dan kondisi produksi

    terhadap produktivitas serta pertumbuhan diukur dengan angka pertumbuhan dan

    kemudian dilakukan analisa dekomposisi dengan Divisia Index dengan metode

    yang digunakan adalah Additive LMDI pada sektor industri padat energi.

    Meskpiun penelitian yang dilakukan oleh Mongia, dan Sathaye memiliki

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 7

    Universitas Indonesia

    kesamaan objek industri manufaktur serta pada pendekatan analisa Dekomposisi

    dengan metode Additive Divisia Index. Namun demikian Mongia, dan Sathaye

    tidak melakukan pemetaan Energy Foorprint dalam melakukan analisanya.

    Penelitian yang menarik dilakukan oleh Dyer (2008) untuk melihat State-

    of-science hingga 2050, serta melakukan teknologi assessment untuk menekan

    permintaan energi dan penurunan emisi CO2. Hasil utama dari penelitian ini

    adalah mengidentifikasi karakter industri di UK, acuan dalam melakukan

    teknologi assessment, identifikasi perkebangan teknologi saat ini dan arah

    perkembangan ke depan serta mengidentifikasi pemicu dan hambatan pada

    industri dalam menggunakan teknologi yang hemat energi serta ramah

    lingkungan. Dyer melihat bahwa pemicu utama bagi industri untuk melakukan

    perubahan adalah Biaya dan Peraturan Pemerintah.

    Penelitian yang dilakukan pada wilayah ASEAN antara lain dilakukan

    oleh Bhattacharyyaa dan Ussanarassameeb (2005) yang meneliti perubahan

    intensitas energi pada sektor industri di Thailand antara tahun 1981 and 2000

    dengan menggunakan pendekatan decomposition analysis.

    Di Indonesia penelitian tentang sektor manufaktur telah dilakukan oleh

    Sriyadi (2011) industri baja, industi pulp dan kertas, industri semen dan tekstil dan

    Karunia (2010) industri semen dan tekstil. Keduanya membahas tentang

    hubungan intensitas energi dengan penambahan kapasitas pada industri dan

    tambahan pada konsumsi energi dengan menggunakan model permintaan energi.

    2.4 Model Permintaan Energi

    Pengambilan sebuah kebijakan didasarkan pada sebuah tujuan untuk apa

    kebijakan tersebut, dengan mempertimbangkan keadaan ekonomi, keadaan sosial

    dsb pada saat itu. Setelah sebuah kebijakan dibuat, kemudian kebijakan tersebut

    diaplikasikan. Dampak dari pengaplikasian kebijakan tersebut kemudian menjadi

    feedback untuk membuat sebuah kebijakan baru yang mensuport kebijakan lama.

    Hal ini berlangsung terus hingga menjadi sebuah siklus. Gambar 2.1

    menunjukkan siklus kebijakan yang dimaksud.

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 8

    Universitas Indonesia

    Gambar 2. 1 Siklus Kebijakan

    Model permintaan energi merupakan model yang menitikberatkan pada

    kebutuhan energi untuk memenuhi berbagai kebutuhan lainnya, dengan model ini

    akan didapatkan indikator-indikator kinerja utama yang dapat dibandingkan

    dengan target-target yang telah ditetapkan melalui kebijakan yang diambil. Salah

    satu indikator adalah intensitas energi.

    Beberapa pendekatan yang biasa digunakan dalam model permintaan

    energi adalah sebagai berikut:

    2.4.1 Pendekatan Ekonometrik

    Pendekatan ini merupakan pendekatan standar yang umum digunakan

    dalam energi modeling, pendekatan ini menggunakan hubungan antara variabel

    terikat dengan variabel bebas tertentu berdasarkan analisis statistik dari data

    historis. Hubungan antar variabel ini kemudian digunakan untuk memproyeksi

    variabel terikat dengan mengubah variabel bebas dan menentukan efeknya

    terhadap variabel terikat.

    Pendekatan ini memiliki hubungan yang sangat dekat dengan teori

    konsumsi dan teori produksi. Variabel penting yang akan digunakan didalam

    model dapat diambil dari teori yang sesuai dan pengaruh dari variabel ini

    dievaluasi secara statistik. Biasanya hasil analisis statistik dari faktor-faktor yang

    relevan akan dipertimbangkan dan digunakan dalam fungsi untuk mengestimasi

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 9

    Universitas Indonesia

    kebutuhan. Fungsi-fungsi alternatif lain juga dapat diuji untuk mendapatkan

    hubungan antar variabel yang paling sesuai, tetapi saat jumlah variabel bebas

    bertambah, maka kombinasi untuk mencari hubungan antar variabel akan

    meningkat secar eksponen dan membuat pemilihan fungsi menjadi sulit.

    Tingkat kerumitan pendekatan ekonometrik bervariasi, sebuah persamaan

    diturunkan dari dari bentuk dasar analisis. Pendekatan market share juga

    digunakan dalam beberapa kasus tertentu, khususnya untuk bahan bakar di sektor

    transportasi. Pada kasus seperti ini total permintaan/kebutuhan diestimasi secara

    bersamaan melalui sebuah persamaan dan market share setiap jenis bahan bakar,

    baru kemudian diestimasi secara terpisah dengan menggunakan beberapa

    persamaan yang lain lagi. Estimasi kompleks berdasarkan persamaan pengeluaran

    yang simultan juga digunakan dalam pendekatan ini. Pendekatan ekonometrik ini

    telah diaplikasikan pada total agregrat permintaan energi seperti pada permintaan

    energi per sektor (industri, transportasi, komerisial, rumah tangga, dan

    pembangkitan). Bahkan pendekatan ini telah digunakan didalam keseluruhan

    energi sistim dengan menggunakan framework kestimbangan energi.

    Pendekatan ekonometrik ini telah berkembang secara signifikan dalam 30

    tahun terakhir, Pada tahun 1970-an tujuan utamanya adalah untuk mengerti

    hubungan antara energi dengan berbagai variabel ekonomi. Seperti yang

    dinyatakan oleh Pindyck (1979) sebagai berikut:

    Pengertian terhadap respon permintaan energi dalam jangka panjang

    akibat perubahan harga dan pendapatan masih sangat kurang dan ini berakibat

    pada sulitnya membuat sebuah disain kebijakan energi dan ekonomi. Dengan

    menggunakan model energi yang berbeda dan mengestimasi menggunakan data

    internasional, kita mendapatkan pengertian yang lebih baik tentang struktur

    permintaan energi jangka panjang dan hubungannya dengan pertumbuhan

    ekonomi.

    Hartman (1979) merangkum perkembangan pendekatan ekonometrik pada

    periode 1970-an sebagai berikut:

    Banyak pendekatan dini pada sektor rumah tangga, komersial dan/atau

    industri di model permintaan adalah kumulatif (secara total), menggunakan

    persamaan tunggal, dan berfokus pada satu bahan bakar. Model seperti ini, secara

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 10

    Universitas Indonesia

    umum hanya menggunalan harga bahan bakar sebagai decision variable, tidak

    memberikan perhatian lebih pada karakteristik pembakaran bahan bakar pada

    peralatan dan perbedaan antara permintaan jangka panjang dan permintaan jangka

    pendek. Model kesimbangan energi memberikan kedinamisan model demand

    untuk sebuah bahan bakar dan kemudian merambat ke interfuel dan inter-faktor

    model untuk permintaan energi di sektor rumah tangga, komersial dan/atau

    industri

    Griffin (1993) telah mengidentifikasi tiga metode yang berkembang pesat

    sejak tahun 1970-an, yaitu trans-log revolution, panel data dan discrete choice.

    Wirl dan Szirucsek (1990) menyatakan bahwa fungsi trans-log tampil sebagai

    metode yang banyak dipakai karena memiliki fleksibilitas. Ini mengakomodir

    investigasi kapital energi, substitutabilitas dan perubhan teknologi. Analisis panel

    data mengakomodasi variasi interregional yang dapat digunakan untuk

    menggambarkan perubahan jangka panjang yang digambarkan pada time series

    data. Sementara itu metode discrete data bergantung pada stok dan utilitas untuk

    menentukan permintaan

    2.4.2 Pendekatan End-Use.

    Pendekatan end-use atau pendekatan engineering-economic yang juga

    dikenal dengan pendekatan bottom-up adalah pendekatan yang juga digunakan

    secara luas pada prakiraan permintaan energi yang berfokus pada kebutuhan final

    energi. Pendekatan ini digunakan pada International Institute of Applied Systems

    Analysis (IIASA), International Atomic Energy Agency (IAEA), Lawrence

    Berkeley Laboratory (LBL) dan tempat-tempat lainnya. Wilson dan Swisher

    (1993) menyarankan metode ini digunakan untuk menjawab pertanyaan dimana

    dan seberapa banyak energi digunakan pada sektor tertentu. Pendekatan ini

    menyediakan kacamata yang berbeda pada realisasi pertumbuhan ekonomi dan

    kualitas hidup yang baik dengan suplai energi yang terbatas.

    Worrel et.al (2004) berpendapat bahwa walaupun harga sangat

    mempengaruhi penggunaan energi, tetapi juga terdapat faktor lain seperti

    kebijakan dan interkasi antar industri yang mempengaruihi penggunaan energi di

    level konsumen akhir.

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 11

    Universitas Indonesia

    a comprehensive assessment of policy impacts and program effects,

    effectiveness, and efficiency. The variety also means that the standard neoclassic

    economic framework is insufficient for energy models aiming to explore the

    different dimensions of potential policy impacts.

    Model bottom-up menyediakan alternatif lain dalam menganalisis sebuah

    kebijakan secara lebih dekat. Model ini memiliki beberapa langkah umum sebagai

    berikut (IAEA, 2006):

    - Pembagian total permintaan energi kedalam kategori per sektor.

    - Analisis sistematik faktor-faktor sosial, ekonom dan teknologi

    Untuk mendapatkan evolusi jangka penjang

    Indentifikasi interrelationship

    - Menbuat struktur hierarki

    - Formulaisasi struktur kedalam bentuk matematika.

    - Snap-shot view dari tahun yan menjadi refrensi

    Dasar dari proyeksi energi

    Pembangunan data yang relevan dan hubungan matematis

    Tahun refrensi adalah tahun terakhir dari data historis yang tersedia.

    - Mendisain skenario untuk proyeksi

    - Proyeksi kuantitatif menggunakan hubungan matematis dan skenario.

    Contoh pendekatan end-use yang diaplikasikan pada model energi listrik

    dapat dilihat Gambar 2. 2.

    Variasi model yang berdasarkan pendekatan ini telah banyak

    dipublikasikan, perbedaannya terletak pada tingkat disagregasi

    (pembagian/pemisahan), representasi teknologi, pemilihan teknologi, tujuan

    model dan integrasi ekonomi makro. Secara umum, model end-use menggunakan

    simulasi atau optimisasi, sementara representasi teknologi dibuat eksplisit. Model

    makro ekonomi lebih sering dijadikan sebagai driver dari variabel yang

    digunakan, tetapi juga ada beberapa model yang di drive dari makro model yang

    berbeda yang mengambil hubungan dari model makro ekonomi. Gambar 2. 3

    berikut menyatakan cara estimasi permintaan energi sektor industri secara umum.

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 12

    Universitas Indonesia

    Sumber: Swisher et al, 1997

    Gambar 2. 2 Langkah Umum Pendekatan End-Use Pada Model Energi Listrik

    Sebagian besar model end-use muncul setelah kenaikan harga minyak

    pertama pada tahun 1970-an, dan banyak mengalami perubahan sampai mencapai

    keadaan saat ini. Sebagai contoh representasi teknologi didalam MARKAL yang

    didukung oleh data yang mendetail. Saat ini sebagaian besar model yang

    dijalankan di komputer pribadi dan dapat diopersikan dengan basis stand-alone.

    Sumber: UN, 2001

    Gambar 2. 3 Estimasi Permintaan Energi Sektor Industri

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 13

    Universitas Indonesia

    Model ini juga dapat memasukkan pembagian desa-kota dan mencakup

    aktivitas informal. Selain itu model ini juga dapat memperlihatkan keberagaman

    proses aktual dan teknologi konversi energi dan penggunaannya, dan tidak

    bergantung pada agregat total dan satu era teknologi. Oleh karena tidak juga

    bergantung pada sejarah evolusi masa lalu, model ini dapat memperlihatkan

    perubahan struktural dan perkembangan teknologi ini yang menjadi kelebihan dari

    perndekatan end-use model. Dari berbagai skenario yang dikembangkan, model

    ini mencoba memproyeksi perkembangan jalur dan pengaruh kebijakan terhadap

    perkembangan ekonomi. Walaupun begitu model jenis ini sangat kurang untuk

    dapat mengertahui pengaruh harga terhadap hasil yang akan dikeluarkan, ini

    menyebabkan kurang efektifnya analisis pada kebijakan-kebijakan tertentu.

    2.4.3 Pendekatan Input-Output

    Metoda ini merupakan teknik yang diperkenalkan oleh Prof. Wassily W.

    Leontief tahun 1951. Teknik ini dipergunakan untuk mengetahui hubungan antar

    industri agar dapat memahami saling ketergantungan dan kompleksitas

    perekonomian. Banyak negara yang menggunakan pendekatan ini sebagai dasar

    dari model energi, walaupun terdapat beberapa asumsi atau batasan pada

    pendekatan ini

    Tabel input output adalah suatu matriks yang menggambarkan transaksi

    penggunaan barang dan jasa antar berbagai kegiatan ekonomi. Tabel input output

    memberikan gambaran menyeluruh tentang:

    - Struktur perekonomian negara/wilayah yang mencakup output dan nilai

    tambah masing-masing sektor.

    - Struktur input antara, yaitu transaksi penggunaan barang dan jasa antara sektor

    produksi.

    - Struktur penyediaan barang dan jasa baik berupa produksi dalam negeri

    maupun barang impor.

    - Struktur permintaan barang dan jasa, baik permintaan oleh berbagai sektor

    produksi maupun permintaan untuk konsumsi, investasi dan ekspor.

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 14

    Universitas Indonesia

    Dari uraian di atas, dapat dijabarkan kegunaan tabel input output adalah

    sebagai berikut :

    - Menyediakan informasi yang lengkap mengenai struktur penggunaan barang

    dan jasa di tiap sektor ekonomi serta pola distribusi produksi yang dihasilkan.

    - Sebagai dasar berbagai perencanaan dan analisis ekonomi makro terutama

    berkaitan dengan produksi, konsumsi, pembentukan modal, ekspor dan impor.

    - Sebagai kerangka model untuk studi kuantitatif seperti analisis dampak dan

    keterkaitan antar sektor, proyeksi ekonomi dan ketenagakerjaan, serta studi

    khusus lainnya.

    - Menguji dan mengevaluasi konsistensi data sektoral antar sumber, sehingga

    berguna untuk perbaikan dan penyempurnaan sistem penyediaan data statisitik

    perekonomian.

    - Memberi petunjuk mengenai sektor-sektor yang mempunyai pengaruh terkuat

    dalam petumbuhan ekonomi serta sektor yang peka terhadap pertumbuhan

    perekonomian wilayah.

    Tabel input output yang digunakan untuk analisis ekonomi bersifat tetap

    karena berkaitan dengan asumsi dasar penyusunannya. Asumsi yang digunakan

    antara lain (Harry W. Richardson, 1979):

    - Keseragaman, yang mensyaratkan bahwa setiap sektor memproduksi suatu

    output tunggal dengan struktur input tunggal dan tidak ada subtitusi otomatis

    terhadap input dari output sektor yang berbeda-beda.

    - Kesebandingan, yang menyatakan hubungan antara input dan output dalam

    tiap sektor merupakan fungsi linier yaitu jumlah tiap jenis input yang diserap

    oleh sektor tertentu naik atau turun sebanding dengan kenaikan atau

    penurunan sektor tersebut.

    - Keterbatasan di atas berpengaruh terhadap penggunaan tabel koefisien input

    untuk kegunaan analisis. Koefisien input yang disebutkan juga koefisien

    teknis dianggap konstan sepanjang periode, sehingga diasumsikan tidak ada

    perubahan teknologi.

    - Perubahan kuantitas dan harga input sebanding dengan perubahan kuantitas

    dan harga output.

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 15

    Universitas Indonesia

    - Tidak ada eksternalitas ekonomi dan disekonomi, biasanya total output

    merupakan penjumlahan dari individual output.

    2.4.4 Pendekatan skenario

    Pendekatan ini banyak digunakan pada model untuk memperoleh

    kebijakan perubahan iklim dan efisiensi energi (Ghanadan dan Koomey, 2005).

    Pendekatan skenario berasal dari managemen strategis yang telah digunakan sejak

    tahun 1960. Pada energi dan area perubahan iklim, skenario yang digunakan oleh

    Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCC) telah menjadi isu yang

    penting pada penentuan kebijakan bersama. Pendekatan skenario bukan

    merupakan pendekatan baru dalam analisis energi, ia merupakan integrasi dari

    pendekatan ens-use.

    Sebuah skenario adalah sebuah cerita/pengandaian yang menggambarkan

    tentang kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang (shell,2003). Skenario

    mengarah pada sebuah jalur yang dibuat untuk mengetahui bagaimana damaknya

    terhadap masa depan. (Ghanadan dan Koomey, 2005). Dan merupakan

    pendekatan yang tepat untuk dunia yang selalu berubah dan tidak pasti (Leydon et

    al, 1996).

    Scenarios give the analyst the opportunity to highlight different

    combinations of various influences, so that alternative future contexts can be

    sketched out, and the energy implications examined (Leydon et al. 1996)

    Kelebihan dari pendekatan skenario ini adalah kemampuan model untuk

    menangkap perunbahan struktur secara eksplisit dengan mempertimbangkan

    perubahan arah pembangunan secara tiba-tiba. Tingkat pembagian aktual agregat

    dan pemasukkan energi tradisional dan aktivitas sektor informal tergantung dari

    pembuat model dan implementasinya. Berdasarkan teori, dimungkinkan untuk

    memasukkan faktor-faktor tersebut, tetapi pada aplikasi nyatanya tidak diketahui

    secara pasti seberapa banyak faktor-faktor tersebut dapat dimsukan kedalam

    model. Sebagai tambahan, perkembangan dari pendekatan ini yang dapat

    mengakomodir perubahan struktural, kemunculan atau penghilangan aktivitas

    ekonomi bukanlah hal yang mudah.

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 16

    Universitas Indonesia

    2.4.5 Pendekatan hibrid

    Pendekatan ini seperti namanya, merupakan kombinasi dari dua atau lebih

    pendekatan yang telah dijelaskan diatas untuk dapat menghasilkan model yang

    lebih baik. Pendekatan hibrid muncul untuk mengatasi batasan yang muncul pada

    sebuah pendekatan. Model jenis ini telah berkembang luas dan tidak dapat

    diklasifikasikan secara spesifik berdasarkan kategori yang ada saat ini. Sebagai

    contoh, model ekonometrik ada yang telah mengadopsi pemisahan representatif

    aktivitas ekonomi yang lebih mendetai. Sama halnya seperti model end-use yang

    menggunakan pendekatan ekonometrik pada level disagregatisasi/pemisahan yang

    merupakan keunggulan dari pendekatan ekonometrik.

    Penggunaan pendekatan ini berkembang karena beberapa hal berikut:

    - Untuk menyatukan gap efisiensi yang ada pada model top-down dan

    bottom-up, model dengan struktur top-down menggunakan informasi bottom-

    up untuk mengestimasi parameter. (Koopman dan te Velde, 2001)

    - Untuk mendapatkan detail teknologi dari model bottom-up dan detail mikro,

    dan makro-ekonomi dari pendekatan yang diadopsi. NEMS (National Energy

    Model System) yang dikembangkan oleh U.S. Department of Energy (DOE)

    masuk kedalam kategori ini. NEMS dikembangkan untuk Annual Energy

    Outlook yang diterbitkan oleh DOE. NEMS menggunakan detail yang ada

    pada model engineering-economic (end-use) dengan memperthankan analisis

    perilaku yang didapat dari model top-down. Contoh lain model seperti ini

    adalah CIMS.

    - Untuk meninkatkan kemampuan pengaruh harga pada model bottom-up,

    informasi harga disisipkan pada struktur model bottom-up. Contoh model

    yang menggunakan hal ini adalah POLES yang banyak digunakan di Uni

    Eropa untuk analisis kebijakan energi jangka panjang.

    Pendekatan ini telah dikembangkan lebih jauh dari sekedar analisis

    permintaan dan proyeksi permintaan yang menyertakan interaksi energi-ekonomi,

    dan bahkan menyertakan masuknya energi terbarukan dan pemilihan teknologi.

    Jelas sudah tujuan dari model dengan pendekatan seperti ini (hibrid)

    adalah untuk meningkatkan interaksi diantara paradigma model yang ada untuk

    mendapatkan hasil yang lebih baik. Jadi model hibrid menggabungkan detail pada

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 17

    Universitas Indonesia

    keberagaman teknologi dengan konsistensi asumsi model yang digunakan pada

    makro-ekonomi. Pada prinsipnya, dimungkinkan untuk menambahkan energi

    tradisional dan aktivitas ekonomi informal ke dalam model. Dan juga

    dimungkinakan untuk memasukkan pembagian desa-kota dengan menggunakan

    pendekatan spatially differentiated. Tetapi pada aplikasinya implementasi model

    ini sangat bervariasi tergantung dari tujuan dibuatnya model.

    2.5 Energy Footprint

    Penelitian tentang Energi Footprint pada sektor industri manufaktur,

    terutama di Indonesia belum banyak ditemukan pada saat kajian putaka ini

    dipersiapkan. Ferng (2002) mengusulkan kerangka kerja yang memasukan

    hubungan antara 1.) estimasi Energy Footprints yang terkandung dalam barang

    dan jasa yang dikonsumsi oleh populasi dan 2.) membangun skenario dan simulasi

    kebijakan untuk mengurangi Energy Footprints. Konsep tersebut kemudian

    diaplikasikan dalam penelitian di wilayah Taiwan.

    Dacombe, Banks, Krivtsov, Heaven menggunakan analisa Energy

    Footprints untuk mendapatkan opsi yang terbaik dalam mengelola sisa pecahan

    kaca/gelas dari rumah tangga sampai pengolahan kembali. Untuk mendapatkan

    gambaran konsumsi energi yang dibutuhkan, sisa pecahan tersebut diikuti mulai

    dari rumah tangga sampai pengelolan kembali limbah kaca tersebut.

    Tan dan Foo

    mengadaptasi metoda Carbon Emission Pinch Analysis

    (CEPA) digunakan untuk membuat Energy Footprints. Metoda ini digunakan

    untuk analisa batasan potensi karbon emisi dalam energi. Metoda ini berangkat

    dari asumsi bahwa dalam suatu sistem terdapat sumber energi, dimana sumber

    energi tersebut memiliki karakteristik intensitas karbon dari bahan bakar (energi)

    atau teknologi yang digunakan. Dan pada saat yang sama sistem tersebut juga

    mengandung permintaan energi, dimana permintaan tersebut tentunya juga

    memiliki potensi emisi karbon. Tetapi konsep ini memiliki asumsi bahwa semua

    bentuk energi dapat saling bertukar (interchangable), sehingga sulit digunakan

    pada lebel industri.

    Penjelasan dari Energy Footprints pada sektor industri manufaktur

    diuraikan oleh US Dept of Energy bahwa Energy Footprints memetakan aliran

    pasokan energi, permintaan, dan energi hilang (losses) pada industri manufaktur.

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 18

    Universitas Indonesia

    Identifikasi sumber energi dan penggunaan energi akan membantu untuk

    mendapatkan area yang berpotensi untuk penghematan energi, dan memberikan

    acuan dalam menghitung manfaat dari peningkatan efisiensi energi.

    Gambar 2.2 berikut adalah contoh dari Energy Footprints pada sektor

    manufaktur di Amerika Serikat pada tahun 2002.

    Sumber: http://www1.eere.energy.gov

    Gambar 2. 4 Energy Footprints sektor manufaktur di Amerika Serikat

    2.6 Industri Semen

    Semen (cement) adalah hasil industri dari paduan bahan baku: batu

    kapur/gamping sebagai bahan utama dan lempung / tanah liat atau bahan

    pengganti lainnya dengan hasil akhir berupa padatan berbentuk bubuk/bulk, tanpa

    memandang proses pembuatannya, yang mengeras atau membatu pada

    pencampuran dengan air. Secara garis besar untuk proses pembuatan semen

    adalah sebagai berikut:

    - Pengeringan dan penggilingan bahan baku (Unit Raw Mill)

    - Penyediaan dan persiapan bahan bakar (Unit Coal Mill)

    - Pembakaran tepung baku dan pendinginan clinker (Unit Burning)

    - Penggilingan akhir (Unit Finish Mill)

    - Pengantongan semen (Unit Packing)

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 19

    Universitas Indonesia

    2.6.1 Unit Raw Mill

    Bahan baku tersebut harus melalui proses penggilingan dan pengeringan

    sebelum ke kiln. Hal ini dimaksudkan untuk:

    - Mengeringkan bahan baku hingga kadar airnya 50

    mm) dan akan dihancurkan. Pada unit crusher terjadi proses pengeringan,

    penggilingan, dan pemisahan.

    2.6.3 Unit Burning (kiln)

    Pada unit ini, bahan baku (batu kapur, pasir silica, tanah liat, dan pasir

    besi) direaksikan hingga membentuk clinker dengan kandungan C2S, C3S, C3A,

    dan C4AF.

    Umpan tepung baku dari storage silo (kiln feed) dialirkan air slide

    conveyor ke feed tank (tempat penampungan sementara dan kemudian dikeluarkan

    menuju weighing feeder. Setelah itu laju aliran material menuju bucket elevator

    dan kemudian dimasukkan ke suspension preheater.

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 20

    Universitas Indonesia

    Tepung baku masuk ke sistem suspension preheater yang terdiri dari

    cyclone yang berhubungan satu dengan yang lain secara bertingkat. Gas panas

    keluar karena hisapan suspension preheater fan dan digunakan kembali untuk

    pengeringan dan penggilingan di raw mill. Begitu seterusnya sampai semua

    cyclone dilewati, kemudian tepung baku masuk ke kiln. Keuntungan unit ini:

    - Gas panas dari suspension preheater sebagai pemanas raw mill dan coal mill.

    - Rotary kiln menjadi lebih pendek.

    - Penghematan bahan bakar.

    Unit suspension preheater dilengkapi dengan kalsinasi awal yang

    berfungsi untuk menaikkan derajat material sebelum masuk ke kiln. Gas untuk

    pemanasan material berasal dari pemanasan gas panas yang dihasilkan oleh

    batubara yang disuplai ke KSV dan sisa panas dari kiln. Jumlah total konversi

    kalsinasi dari suspension preheater adalah 75-85%.

    Setelah keluar dari cylone pertama, tepung baku akan masuk ke dalam

    rotary kiln melalui kiln inlet pada suhu 900-1000 oC. Di dalam kiln terjadi

    kontak antara gas panas dan material secara kontinu dengan arah counter current

    sehingga terjadi reaksi dan perpindahan panas yang menyebabkan perubahan

    fisika dan kimia material sepanjang kiln.

    Di rotary kiln, bahan bakar dialirkan ke alat pembakar (burner). Batubara

    dibakar dengan bantuan udara primer (primary air) dari udara bebas dengan

    bantuan primary fan blower dan udara sekunder (secondary air) dari cooler. Hasil

    pembakaran yang berupa gas panas juga digunakan untuk pemanasan di

    suspension preheater, raw mill, dan coal mill. Rotary kiln sebagai ruang

    pembakaran utama terbagi dalam lima daerah (zona), yaitu:

    - Zona kalsinasi lanjutan

    - Zona safety

    - Zona transisi

    - Zona sintering

    - Zona cooling

    Clinker yang terbentuk pada proses pembakaran mengalami pendinginan

    pada grate cooler untuk:

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 21

    Universitas Indonesia

    - Menghindari terurainya C3S menjadi C2S yang dapat menyebabkan clinker

    menjadi terlalu keras.

    - Menjaga keawetan peralatan transportasi dan penyimpanan karena material

    dengan temperatur tinggi dapat merusak alat.

    - Clinker panas dapat menyebabkan terjadinya penguraian gypsum yang

    ditambahkan pada proses penggilingan akhir.

    - Mencegah pembentukan kristal long periclase yang dapat menurunkan

    kualitas semen.

    - Panas sensibel yang terkandung pada clinker dapat dimanfaatkan kembali

    untuk secondary air (membantu pembakaran di main burner) dan tertiary air

    (membantu pembakaran di suspension preheater).

    Proses pendinginan dalam cooler dilakukan secara tiba-tiba agar

    komposisi clinker tidak berubah karena laju pendinginan clinker mempengaruhi

    perbandingan kandungan kristal dan fase cair dalam clinker. Pendinginan yang

    lambat mendorong pertumbuhan mineral clinker.

    2.6.4 Unit Finish Mill

    Unit penggilingan akhir dilakukan untuk mendapatkan semen dengan

    kehalusan yang diinginkan. Partikel akan keluar dari alat penggiling (mill)

    kemudan akan melewati separator untuk menghasilkan produk dengan ukuran

    30m (400 mesh). Clinker dari clinker silo, dibawa keluar melalui appron

    conveyor menuju hopper clinker dengan bucket elevator. Jumlahnya ditentukan

    dengan weighing feeder, lalu clinker tersebut dibawa ke finish mill.

    Gyspum dan bahan tambahan aditif lainnya (seperti limestone, fly ash,

    trash, dan slag) dari storage diangkut dengan belt conveyor menuju hopper

    gypsum. Pembakaran batubara di coal mill menghasilkan ash yang akan bereaksi

    dengan clinker dari raw mill. Pada finsih mill, clinker dan gypsum digiling

    menggunakan steel ball.

    2.6.5 Unit Packing

    Produk yang keluar dari penyimpanan semen diangkut menggunakan air

    slide conveyor menuju bucket elevator kemudian dimasukkan ke dalam vibrating

    screen untuk memisahkan material yang halus dengan yang kasar. Material yang

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 22

    Universitas Indonesia

    kasar dan pengotor dibuang dengan corong vibrating screen di bagian atas,

    sedangkan material yang halus langsung masuk ke dalam cement bin. Kemudian

    dari bin dialirkan ke dalam in line packer. Jika bin tersebut telah penuh, maka

    semen akan bersikulasi, yaitu dijatuhkan kembali ke dalam bucket elevator lalu

    kembali ke vibrating screen dan seterusnya.

    2.6.6 Energi Yang Digunakan Dalam Industri Semen

    Macam energi pokok yang digunakan untuk pabrik semen ini adalah

    energi listrik dan energi panas, yang biasanya berasal dari dua bahan bakar dasar

    yaitu minyak solar dan batubara. Energi Listrik digunakan dihampir semua alat

    proses pada pabik semen sebagai penggerak motor-motor yang ada pada alat-alat

    proses produksi semen. Energi panas yang dihasilkan dari pembakaran bahan

    bakar digunakan pada kiln untuk melelehkan bahan mentah sehingga dapat

    bereaksi. Gambar 2. 5 merupakan alur energi pada proses pembuatan semen.

    Sumber: http://www.energyefficiencyasia.org/docs/IndustrySectorsCement_draftMay05.pdf

    Gambar 2. 5 Alur energi pada proses produksi semen

    Unit Crushing

    Unit Raw Mill

    Unit Pre-Calcination

    Unit Pyro Processing

    Unit Clinker Cooling

    Unit Cement

    Grinding

    Unit Packing

    Unit Coal Milling

    Energi listrik untuk

    menggerakan mill dan fan

    Energi panas daribahan

    bakar/aliran udara dariunit

    Clinker Cooling

    Energi listrik untuk crusher

    Energi listrik untuk

    menggerakkan mill dan fan

    Energi panas darikeluaran

    kiln

    Energi panas daribahan

    bakar

    Energi panas daribahan

    bakar

    Energi listrik untuk

    menggerakkan pemecah

    klinker dan fan

    Energi listrik untuk

    menggerakkan kiln, fan dan

    ESP

    Energi listrik untuk

    menggerakkan mill

    Energi listrik untuk

    menggerakkan mesin

    packing

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 23

    Universitas Indonesia

    2.7 Industri Baja

    Proses pengolahan logam secara garis besar dibagi atas 3 bagian pokok

    yaitu :

    - Industri hulu : industri yang mengolah bahan tambang berupa biji logam

    menjadi logam dasar melalui proses pemurnian dan proses reduksi/peleburan.

    Bijih Logam ProsesPemurnian

    ProsesReduksi/

    Peleburan

    Logam Dasar(Ingot Primeratau Logam

    Cair

    Gambar 2. 6 Industri Hulu Pengolahan Logam

    - Industri antara : industri yang mengolah logam dasar baik yang berbentuk

    ingot primer atau masih berupa logam cair menjadi produk antara seperti

    billet, slab, bloom, rod atau ingot paduan untuk industri pengecoran.

    Logam Dasar(Ingot Primeratau Logam

    Cair)

    -Produk IndustriHulu-

    ProsesPeleburan

    ProdukAntara :

    - Billet- Slab- Bloom- Rod- Alloy

    Gambar 2. 7 Industri Antara Pengolahan Logam

    - Industri hilir : industri yang mengolah lebih lanjut produk industri antara

    menjadi produk setengah jadi dan selanjutnya melalui proses pabrikasi dan

    pengerjaan akhir menjadi produk jadi.

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 24

    Universitas Indonesia

    ProdukAntara :

    - Billet- Slab- Bloom- Rod- Alloy

    ProsesPembentukanSecara Plastis

    - Forging- Rolling- Extrusion- Drawing- dll

    Produk Mill

    (Produk jadi)

    - Pelat- Profil- Batang- Kawat- Pipa- dll

    Proses Fabrikasidan Pengerjaan

    Akhir

    - Sheet MetalForming- Heat treating- Hachining- Surface treating- Welding- dll

    ProsesPengecoran

    ProdukCor

    Gambar 2. 8 Industri Hilir Pengolahan Logam

    2.7.1 Pengolahan Bijih Besi

    Bahan baku awal dalam pembuatan besi dan baja adalah biji besi (iron

    core). Biji besi yang didapatkan dari alam umumnya merupakan senyawa besi

    dengan oksigen seperti hematite (Fe2O3); magnetite (Fe3O4); limonite (Fe2O3);

    atau siderite (Fe2CO3). Pembentukan senyawa besi oksida tersebut sebagai proses

    alam yang terjadi selama beribu-ribu tahun.

    Bijih besi hasil penambangan didapatkan dalam bentuk senyawa dan

    bercampur dengan kotoran-kotoran lainnya maka sebelum dilakukan peleburan

    biji besi tersebut terlebih dahulu harus dilakukan pemurnian untuk mendapatkan

    konsentrasi biji yang lebih tinggi (25 - 40%). Proses pemurnian ini dilakukan

    dengan metode : crushing, screening, dan washing (pencucian). Untuk

    meningkatkan kemurnian menjadi lebih tinggi (60 - 65%) serta memudahkan

    dalam penanganan berikutnya, dilakukan proses agglomerasi dengan langkah-

    langkah sebagai berikut :

    - Biji besi dihancurkan menjadi partikel-partikel halus (serbuk).

    - Partikel-partikel biji besi kemudian dipisahkan dari kotoran-kotoran dengan

    cara pemisahan magnet (magnetic separator) atau metode lainnya.

    - Serbuk biji besi selanjutnya dibentuk menjadi pellet berupa bola-bola kecil

    berdiameter antara 12,5 - 20 mm.

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 25

    Universitas Indonesia

    - Terakhir, pellet biji besi dipanaskan melalui proses sinter/pemanasan hingga

    temperatur 1300oC agar pellet tersebut menjadi keras dan kuat sehingga tidak

    mudah rontok.

    2.7.2 Proses Peleburan

    Proses peleburan dilakukan dengan menggunakan tungku pelebur yang

    disebut juga tanur tinggi (blast furnace). Biji besi hasil penambangan dimasukkan

    ke dalam tanur tinggi tersebut dan didalam tanur tinggi dilakukan proses reduksi

    tidak langsung yang cara kerjanya sebagai berikut :

    Bahan bakar yang digunakan untuk tanur tinggi ini adalah batubara yang

    telah dikeringkan (kokas). Kokas dengan kandungan karbon (C) diatas 80%, tidak

    hanya berfungsi sebagai bahan bakar, tetapi juga berfungis sebagai pembentuk gas

    CO yang berfungsi sebagai reduktor. Untuk menimbulkan proses pembakaran

    maka ke dalam tanur tersebut ditiupkan udara dengan menggunakan blower

    sehingga terjadi proses oksidasi sebagai berikut :

    2C + O2 2CO + Panas

    Gas CO yang terjadi dapat menimbulkan reaksi reduksi terhadap biji yang

    dimasukkan ke dalam tanur tersebut. Sedangkan panas yang ditimbulkan berguna

    untuk mencairkan besi yang telah tereduksi tersebut.

    Untuk mengurangi kotoran-kotoran (impurity) dari logam cair, ke dalam

    tanur biasanya ditambahkan sejumlah batu kapur (limestone). Batu kapur tersebut

    akan membentuk terak (slag) dan dapat mengikat kotoran-kotoran yang ada

    didalam logam cair. Karena berat jenis terak lebih rendah dari berat jenis cairan

    besi maka terak tersebut berada dipermukaan logam cair sehingga dapat

    dikeluarkan melalui lubang terak.

    Terak tersebut ditampung secara terpisah dan diolah menjadi berbagai

    bahan bangunan jalan. Dengan menambahkan kapur yang diberikan pada bijih

    besi dan kokas maka didapatkan terak yang bermutu baik. Besi yang cair/disebut

    bsei kasar yang terkumpul pada bagian terbawah tanur tinggi tersebut

    mengandung cukup banyak karbon ( 4%) dan pencemar lain setelah masa

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 26

    Universitas Indonesia

    pendinginan menyebabkan besi kasar rapuh. Oleh sebab itu besi kasar belum

    dapat ditempa atau digiling.

    Besi yang mengnadung karbon kurang dari 2%, dinamakan baja. Sebagian

    besar besi kasar yang dihasilkan dari tungku tanur tinggi diubah menjadi baja di

    pabrik baja dengan cara menurunkan kadar karbonnya. Penurunan kadar karbon

    terjadi di dalam sebuah tabung reaksi atau di dalam tungku. Di dalam tabung

    rekasi (converter) kadar karbon diturunkan tanpa diberikan pemanasan dari luar.

    Muatannya dibentuk dari cairan bijih kasar. Kadang-kadang ditambahkan dengan

    besi tua dan bijih besi supaya suhu dapat dikendalikan.

    Untuk mengurangi kadar karbon, dipakai juga metode dengan meniupkan

    panas dari luar tungku. Dengan cara ini bisa diolah lebih banyak lagi baja bekas

    (besi tua) dan besi mentah yang padat, proses ini lebih mudah dikendalikan karena

    lebih lambat kerjanya. Pada proses Siemnes-Martin digunakan minyak atau gas

    sebagai bahan bakar, pada pemakaian tungku listrik, maka listriklah yang

    memanaska. Dengan menggunakan tungku listrik, komposisi baja dapat diatur

    dengang teliti, sehingga biasanya dipakai untuk pembuatan baja khusus.

    Produk spesial seperti pipa tanpa sambungan dibuat berdasarkan metode

    penggilingan khusus. Kawat baja tipis dibuat dengan cara menekan-nekan dan

    menarik-narik baja itu melalui lubang-lubang khusus. Penggarapan seperti ini

    biasanya dilakukan di pabrik khusus.

    2.7.3 Kebutuhan Energi Dalam Industri Baja

    - Proses Blast Furnace (BF) Basic Oxygen Furnace (BOF)

    Pada proses ini, bahan baku (bijih besi) dipersiapkan dalam bentuk pellet atau

    sinter. Panas dari gas yang berasal dari Coke Oven dan Tanur harus dapat

    diambil atau di daur ulang., serta isian untuk converter (BOF/LD) diharuskan

    berupa campuran besi mentah (76%) dan skrap (24%).

    Saat ini, pabrik besi dan baja terpadu lebih banyak menggunakan metode

    pembuatan besi mentah yang memanfaatkan kokas sebagai sumber energi

    utamanya, dan apabila diperhitungkan mengenai penggunaan/daur ulang dari

    surplus energi yang ada, konsumsi energi per ton besi mentah yang dihasilkan

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 27

    Universitas Indonesia

    dapat diperkirakan sebesar 3,5 Gkal. Lebih jauh lagi, mengingat penggunaan

    kembali energi (dalam bentuk kalor atau panas) serta pemanfaatan besi panas

    dalam bnetuk cair dengan pencampuran skrap, maka kebutuhan energi per ton

    baja adalah 3,3 Gkal.

    - Proses Corex Smelting Reduction (SR) Basic Oxygen Furnace (BOF)

    Pada metode ini, tenaga listrik dihasilkan melalui pemanfaatan gas sisa proses

    yang keluar dari tanur smelting untuk memenuhi kebutuhan energi listrik bagi

    proses produksi dan menyuplai kelebihan energi listrik ke sistem lainnya.

    Kebutuhan spesifik per unit ton besi mentah adalah sebesar 4,15 Gkal.

    Konsumsi energi spesifik, per unit ton besi mentah padat lebih tinggi 0,8 Gkal

    dibandingkan dengan proses tanur tinggi (BF).

    - Proses Coal Based Direct Reduction (DR) Electric Arc Furnace (EAF)

    Pada proses pembuatan besi mentah dengan rotar kiln, campuran bijih besi

    dan batubara non-kokas diproses dalam tanur. Tetapi bila dibandingkan

    dengan proses reduksi langsung berbasis gas alam pada shaft furnace, proses

    ini memiliki laju reaksi yang lebih lambat berkenaan dengan proses reaksinya

    yang memanfaatkan gasifikasi batubara non-koas padat menjadi gas CO

    langsung di dalam tanur. Karena perpindahan kalor reaksi yang rendah,

    mengakibatkan efisiensi reaksi yang rendah, dengan konsumsi energi sebesar

    4,19 Gkal (normal) per unit ton besi mentah. Dari konsumsi energi ini,

    konsumsi untuk tenaga listrik adalah sebesar 0,2 Gkal, dan kelebihan energi

    selebihnya disuplai oleh batubara non-kokas granular.

    Batubara granular dimasukkan ke dalam tanur sebagai sumber utama gas

    reduktan dan batubara serbuk (pulverized coal) digunakan untuk menambah

    jumlah gas CO yang dihasilkan dari reaksi pembakaran dalam sisi-sisi burner

    tanur.

    Kebutuhan energi untuk tungku busur listrik sedikit berbeda dibandingkan

    dengan yang ada untuk proses lanjut besi mentah padat hasil reduksi langsung

    berbasis gas, dengan asumsi menggunakan jenis dan tipe bijih besi yang sama.

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 28

    Universitas Indonesia

    - Proses Gas Based Direct Reduction (DR) Electric Arc Furnace (EAF)

    Gas alam yang digunakan sebagai bahan bakar dalam proses reduksi langsung

    shaft furnace. Total kebutuhan gas alam untuk proses ini sebanyak 300 Nm3

    (Normal meter kubik), dimana sebanyak 182 Nm3 terurai oleh gas reformer

    menjadi gas CO dan H2. Meskipun gas sisa yang terdiri dari gas-gas hasil

    reaksi proses (CO2 dan H2O) serta reduktan yang tidak tereaksi (CO dan H2),

    hanya sebanyak 65% yang digunakan sebagai reforming gas untuk

    menghasilkan kembali gas-gas reduktan. Konsumsi energi listrik untuk blower

    yang berfungsi sebagai sirkulator gas dalam sistem cukup banyak, sebesar 120

    kWh per unit ton besi mentah padat. Dan konsumsi energi sebesar 2,99 Gkal

    per unit ton besi mentah padat.

    Produksi baja cair pada tungku busur listrik dilakukan dengan peleburan dan

    oksidasi bahan baku besi mentah padat (77%) dan skrap baja (23%).

    Konsumsi energi keseluruhan sebesar 4,02 Gkal per unit ton baja cair.

    Kebutuhan energi per unit produk output yang paling rendah dimiliki oleh

    proses BF-BOF, kemudian diikuti gas based DR-EA, proses SR-BOF dan yang

    paling banyak mengkomsumsi energi adalah coal based DR-EAF.

    2.8 Industri Pulp dan Kertas

    Di Indonesia terdapat 84 perusahaan yang bergerak di dalam industri pulp

    dan kertas ini. 10 diantaranya adalah perusahaan yang terintegrasi, 71 perusahaan

    hanya memproduksi kertas, dan 3 sisanya hanya memproduksi pulp. (APKI, 2007)

    Industri pulp dan kertas mengubah bahan baku serat menjadi pulp, kertas

    dan kardus. Urutan proses pembuatannya adalah persiapan bahan baku,

    pembuatan pulp (secara kimia, semikimia, mekanik atau limbah kertas),

    pemutihan, pengambilan kembali bahan kimia, pengeringan pulp dan pembuatan

    kertas. Skema diagram prosesnya terlihat pada Gambar 2. 9 dibawah ini. Proses

    yang membutuhkan energi paling tinggi adalah proses pembuatan pulp dan proses

    pengeringan kertas.

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 29

    Universitas Indonesia

    PembuatanPulp Pencucian Pemurnian

    Pengeringan Pengepresan Pembentukan

    CalenderStack Pope Reel

    Gambar 2. 9 Diagram Alir Teknologi Proses Produksi Pulp dan Kertas

    Tahapan utama dan proses sederhana dalam pembuatan pulp dan kertas

    adalah sebagai berikut :

    - Pembuatan pulp

    Dalam tanki pencampur, pulp dicampur dengan air menjadi slurry. Slurry

    kemudian dibersihkan lebih lanjut dan dikirimkan ke mesin kertas. Bahan

    baku dimasukkan kedalam Pulper untuk defiberization dan mempercepat

    beating serta fibrillation dikarenakan pemekaran serat. Pembuatan pulp ini

    secara umum menggunakan salah satu dari tiga metode, yaitu metode kimia,

    semikimia dan mekanik

    - Pemutihan

    Proses pemutihan untuk tipe pulp Kraft dilakukan dalam beberapa menara

    dimana pulp dicampur dengan berbagai bahan kimia, kemudian bahan kimia

    diambil kembali dan pulp dicuci.

    - Pemurnian

    Pulp dilewatkan plat yang berputar pada alat pemurnian bentuk disk. Pada

    proses mekanis ini terjadi penguraian serat pada dinding selnya, sehingga

    serat menjadi lebih lentur. Tingkat pemurnian pada proses ini mempengaruhi

    kualitas kertas yang dihasilkan.

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 30

    Universitas Indonesia

    - Pembentukan

    Selanjutnya, proses dilanjutkan dengan proses sizing dan pewarnaan untuk

    menghasilkan spesifikasi kertas yang diinginkan. Sizing dilakukan untuk

    meningkatkan kehalusan permukaan kertas; pada saat pewarnaan

    ditambahkan pigmen, pewarna dan bahan pengisi. Proses dilanjutkan dengan

    pembentukan lembaran kertas yang dimulai pada headbox, dimana serat

    basah ditebarkan pada saringan berjalan.

    - Pengepresan

    Lembaran kertas kering dihasilkan dengan cara mengepres lembaran diantara

    silinder pada calendar stack.

    - Pengeringan

    Sebagian besar air yang terkandung didalam lembaran kertas dikeringkan

    dengan melewatkan lembaran pada silinder yang berpemanas uap air.

    - Calender Stack

    Tahap akhir dari proses pembuatan kertas dilakukan pada calendar Stack,

    yang terdiri dari beberapa pasangan silinder dengan jarak tertentu untuk

    mengontol ketebalan dan kehalusan hasil akhir kertas.

    - Pope Reel

    Bagian ini merupakan tahap akhir dari proses pembuatan kertas yaitu

    pemotongan kertas dari gulungannya. Pada bagian ini, kertas yang digulung

    dalam gulungan besar, dibelah pada ketebalan yang diinginkan, dipotong

    menjadi lembaran, dirapikan kemudian dikemas.

    - Penggunaan Energi di Industri Pulp dan Kertas

    Karakteristik teknologi energi yang digunakan untuk industri pulp dan kertas

    tergantung dari jenis proses yang digunakan. Secara garis besar proses di

    industri ini dibagi menjadi empat kelompok, yaitu: pembuatan pulp dengan

    proses kimia dan termokimia, pembuatan pulp secara mekanik, produksi

    kertas, pembutan kertas secara recycle. Setiap proses memerlukan energi

    tertentu yang bisa menggunakan bahan bakar seperti batubara, gas dan

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 31

    Universitas Indonesia

    minyak maupun menggunakan energi listrik. Bahan bakar tersebut terutama

    digunakan untuk pembangkitan uap. Sedangkan alat pengguna listrik yang

    utama di industri ini adalah motor listrik.

    Kayu dan serat diubah menjadi pulp yang kemudian dibentuk menjadi

    lembaran kertas dengan proses pengeringan. Pembuatan pulp secara mekanik,

    misalnya untuk membuat kertas koran dilakukan melalui proses

    penggergajian kayu secara mekanik. Pulp mempunyai kandungan lignin yang

    tidak berwarna putih murni serta mempunyai kekuatan yang terbatas.

    Pembuatan pulp dengan proses kimiawi dan termo-kimia dilakukan dengan

    memisahkan lignin dari serat dengan proses memasak. Dalam proses ini

    biasanya digunakan bahan kimia sulfat dan menghasilkan produk yang

    disebut sulphate pulp.

    Pembuatan pulp secara mekanik memerlukan energi listrik yang cukup besar.

    Sedangkan pembuatan pulp secara kimiawi menghasilkan produk sampingan

    berupa black liquor. Produk sampingan ini bisa dimanfaatkan dalam

    incinerator untuk membangkitkan uap dan listrik. Black liquor dapat

    menghasilkan energi sebesar 22 GJ per ton produksi pulp. Tergantung dari

    efisiensi dan konfigurasi proses yang digunakan dalam pabrik pulp kimiawi

    dapat menghasilkan surplus energi. Karena berbasis pada penggunaan

    bioenergi maka emisi CO2 yang dihasilkan sangat rendah sehingga potensi

    untuk pengurangan emisi CO2 di industri pulp dan kertas sangat terbatas.

    Sedangkan penggunaan bioenergi secara lebih efisien masih mungkin

    dilakukan sehingga kelebihan bioenergi tersebut dapat digunakan untuk

    substitusi bahan bakar fosil di tempat lain.

    Pabrik pulp biasanya berada di dekat sumber bahan baku yang seringkali

    berada di wilayah terpencil di sekitar hutan. Dengan kondisi ini maka

    memungkinkan untuk membuat pabrik pulp dan kertas yang terintegrasi.

    Meskipun demikian, pabrik yang terintegrasi ini masih memerlukan pasokan

    energi listrik dan bahan bakar tambahan. Beberapa pabril pulp yang modern

    dapat mencukupi kebutuhan energinya dengan menggunakan bioenergi dari

    hasil sampingan.

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 32

    Universitas Indonesia

    Separuh dari produksi kertas dunia berasal dari limbah kertas melalui proses

    recycle. Pabrik kertas recycle lebih kecil dari pada pabrik kertas primer dan

    energi yang dibutuhkan relatif lebih besar. Namun energi yang hilang karena

    proses pembuatan pulp dapat dihemat kerena dengan recycle, proses tersebut

    sudah tidak diperlukan.

    2.9 Statistik Energi Indonesia

    Penyediaan energi di masa depan merupakan permasalahan yang

    senantiasa menjadi perhatian semua bangsa karena bagaimanapun juga

    kesejahteraan manusia dalam kehidupan modern sangat terkait dengan jumlah dan

    mutu energi yang dimanfaatkan. Bagi Indonesia yang merupakan salah satu

    negara sedang berkembang, penyediaan energi merupakan faktor yang sangat

    penting dalam mendorong pembangunan. Seiring dengan meningkatnya

    pembangunan terutama pembangunan di sektor industri, pertumbuhan ekonomi

    dan pertumbuhan penduduk,kebutuhan akan energi terus meningkat. Sampai saat

    ini, minyak bumi masih merupakan sumber energi yang utama dalam memenuhi

    kebutuhan di dalam negeri. Selain untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam

    negeri, minyak bumi juga berperan sebagai komoditi penghasil penerimaan negara

    dan devisa.

    Peranan minyak bumi yang besar tersebut terus berlanjut, sedangkan

    cadangan semakin menipis. Di lain pihak harga minyak bumi sangat sulit untuk

    diperkirakan, sebagai akibat banyaknya faktor tak menentu yang berpengaruh.

    Selain itu, produksi BBM yang dilakukan melalui teknologi transformasi di dalam

    negeri, tidak mencukupi kebutuhannya.

    Sistem penyediaan kebutuhan energi, baik sebelum maupun setelah

    melalui teknologi tranformasi sampai ke pemakai akhir dapat diperlihatkan pada

    Gambar 2. 10.

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 33

    Universitas Indonesia

    Sumber: KESDM, 1996

    Gambar 2. 10 Sistem Penyediaan Dan Kebutuhan Energi

    Tabel 2. 1 Statistik penyediaan energi primer nasional

    (Ribu SBM)

    Tahun Coal Crude Oil

    & Product

    Natural Gas &

    Product

    Hydro

    Power Geothermal Biomass Total

    2000 93.831 433.360 164.649 25.248 9.596 269.054 995.741

    2001 119.125 441.731 172.083 29.380 9.960 268.970 1.041.252

    2002 122.879 452.817 188.822 25.038 10.248 270.230 1.070.035

    2003 164.950 456.647 204.142 22.937 10.375 272.005 1.131.058

    2004 151.543 498.117 187.553 24.385 11.077 271.806 1.144.483

    2005 173.673 493.636 191.189 27.034 10.910 270.042 1.166.487

    2006 205.779 459.333 196.599 24.256 11.182 276.335 1.173.487

    2007 258.174 474.042 183.623 28.450 11.421 275.199 1.230.913

    2008 322.934 455.612 193.352 29.060 13.423 277.962 1.292.344

    Sumber: KESDM, 2009

    Tabel 2. 2 Statistik Konsumsi Energi Nasional

    (Ribu SBM)

    Tahun Biomassa Batubara Gas

    Alam BBM

    Produk Minyak

    Lainnya Briket LPG Listrik TOTAL

    2000 269.042 36.060 87.214 315.272 13.435 85 8.261 48.555 777.924

    2001 268.953 37.021 82.235 328.203 25.712 78 8.280 51.841 802.323

    2002 270.207 38.598 80.885 325.202 22.688 83 8.744 53.418 799.825

    2003 271.974 58.264 90.277 321.384 23.555 77 8.756 55.473 829.760

    2004 271.765 55.344 85.459 354.317 37.716 80 9.187 51.393 865.261

    2005 270.043 65.744 86.634 338.375 29.614 94 8.453 55.544 854.501

    2006 276.271 89.043 83.221 311.913 40.922 94 9.414 59.071 869.949

    2007 275.126 121.904 80.178 314.248 30.873 89 10.925 74.376 907.719

    2008 277.874 169.138 91.457 312.190 88.099 153 15.719 79.138 1.033.768

    Sumber: KESDM, 2009

    Transformasi

    Industri

    Transportasi

    Rumah Tangga &

    Komersial

    lainnya

    Pengembangan model..., Denny Sukma Laksana, FT UI, 2012

  • 34

    Universitas Indonesia

    Tabel 2. 3 Statistik Konsumsi Energi Per Sektor (included biomass).

    (BOE)

    Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

    Industri 252.158.714 245.108.900 275.308.517 263.294.377 262.687.070 280.187.757 300.675.120 360.688.169

    Rumah