Pengelolaan Pesisir Pasca Bencana Tsunami

18
Pengelolaan Pesisir Pasca Bencana Tsunami BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah yang sangat berarti bagi kehidupan manusia di bumi. Sebagai wilayah peralihan darat dan laut yang memiliki keunikan ekosistem, dunia memiliki kepedulian terhadap wilayah ini, khususnya di bidang lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Secara historis, kota- kota penting dunia bertempat tidak jauh dari laut. Alasannya, kawasan ini memiliki potensi sumber daya kelautan dan perikanan, serta memudahkan terjadinya pedagangan antar daerah, pulau dan benua. Selain itu, wilayah pesisir juga merupakan daerah penghambat masuknya gelombang besar air laut ke darat, yaitu dengan keberadaan hutan mangrove. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketebalan mangrove selebar 200 m dengan kerapatan 30 pohon/100 m2 dengan diameter batang 15 cm dapat meredam sekitar 50% energi gelombang tsunami (Harada dan Fumihiko, 2003 sebagaimana dikutip oleh Anwar dan Gunawan, 2006). Gelombang laut setinggi 1,09 m di Teluk Grajagan, Banyuwangi dengan energi gelombang sebesar 1.493,33 Joule tereduksi gelombangnya oleh hutan mangrove menjadi 0,73 m. Namun, data LIPI (2008) menyebutkan, laju kerusakan hutan bakau sekitar 200.000 hektar per tahun, yakni terjadi di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Jawa. Luas hutan bakau di seluruh Tanah Air kini diperkirakan hanya tinggal 1,2 juta hektar karena sebagian sudah beralih menjadi tambak, permukiman, dan

description

yes

Transcript of Pengelolaan Pesisir Pasca Bencana Tsunami

Page 1: Pengelolaan Pesisir Pasca Bencana Tsunami

Pengelolaan Pesisir Pasca Bencana Tsunami

BAB I PENDAHULUANA. Latar BelakangPesisir merupakan wilayah yang sangat berarti bagi kehidupan manusia di bumi.Sebagai wilayah peralihan darat dan laut yang memiliki keunikan ekosistem, duniamemiliki kepedulian terhadap wilayah ini, khususnya di bidang lingkungan dalamkonteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Secara historis,kota- kota penting dunia bertempat tidak jauh dari laut. Alasannya, kawasan inimemiliki potensi sumber daya kelautan dan perikanan, serta memudahkan terjadinyapedagangan antar daerah, pulau dan benua. Selain itu, wilayah pesisir jugamerupakan daerah penghambat masuknya gelombang besar air laut ke darat, yaitudengan keberadaan hutan mangrove. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketebalanmangrove selebar 200 m dengan kerapatan 30 pohon/100 m2 dengan diameterbatang 15 cm dapat meredam sekitar 50% energi gelombang tsunami (Harada danFumihiko, 2003 sebagaimana dikutip oleh Anwar dan Gunawan, 2006). Gelombanglaut setinggi 1,09 m di Teluk Grajagan, Banyuwangi dengan energi gelombangsebesar 1.493,33 Joule tereduksi gelombangnya oleh hutan mangrove menjadi 0,73m. Namun, data LIPI (2008) menyebutkan, laju kerusakan hutan bakau sekitar200.000 hektar per tahun, yakni terjadi di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, danJawa. Luas hutan bakau di seluruh Tanah Air kini diperkirakan hanya tinggal 1,2juta hektar karena sebagian sudah beralih menjadi tambak, permukiman, dankawasan industri. Padahal, luas wilayah pesisir Indonesia dua pertiga dari luasdaratan dan garis pantainya 95.161 kilometer atau terpanjang kedua di dunia. Padamasa Orde Baru, pengaturan wilayah pesisir dan laut lebih banyak dilakukan olehpemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat pada UU nomor 24 tahun 1992 tentangPenataan Ruang pasal 9 ayat 2 dimana dinyatakan bahwa wilayah lautan danwilayah udara diatur secara terpusat menurut undang-undang. Namun di masareformasi, dengan kelahiran UU Nomor 22 tahun 1999 tentang PemerintahanDaerah, Kabupaten/Kota memiliki kewenangan mengatur wilayah perairan yang adadi wilayahnya sejauh 4 mil dari garis pantai. Selain itu juga diterbitkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulaukecil. Sebagai negara kepulauan, wilayah pesisir dimiliki oleh seluruh propinsi yangada di Indonesia. Berdasarkan data jumlah Kabupaten/kota yang ada di Indonesiapada tahun 2002, sebanyak 219 kabupaten/kota (68%) diantaranya memiliki wilayahpesisir. Kabupaten/kota di Indonesia masing-masing memiliki karakteristik fisikwilayah pesisir yang satu sama lain berbeda. Disamping itu masing-masingkabupaten/kota juga memiliki perhatian yang berbeda di dalam pengelolaan wilayahpesisir. Konsekuensi dari perbedaan perhatian tersebut menghasilkan kebijakan daninstrumen kelembagaan yang berbeda satu sama lain dalam mengelola wilayahpesisirnya. Akan tetapi, hingga akhir tahun 2004, perencanaan dan pengelolaanwilayah pesisir baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah lebih banyak bersifatsektoral. Pemerintah Daerah kabupaten/kota umumnya tidak membedakan secarakhusus kawasan pesisir dengan kawasan lainnya. Bencana tsunami pada tanggal 26Desember 2004, merubah pandangan banyak pihak mengenai pentingnyapengelolaaan pesisir dan laut yang memperhatikan aspek disaster management sertaperlunya konsistensi penerapan kebijakan pesisir dan lautan dalam rangka3pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Tragedi bencana gempa dan

Page 2: Pengelolaan Pesisir Pasca Bencana Tsunami

tsunami adalah sejarah paling kelam di provinsi Aceh. Sebagian besar wilayahpesisir tersapu dengan menelan ratusan ribu jiwa. Infrastruktur, permukiman dansarana sosial hancur. Bencana ini tak hanya menimbulkan pengaruh fisik tapi jugapsikologis masyarakat Aceh yang trauma akibat kehilangan keluarga dan harta.B. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang tersebut, dapat dilihat pentingnya wilayah pesisir sebagaibagian terluas di Indonesia yang memiliki potensi sumber daya alam dan ekonomiyang sangat besar. Namun, besarnya pengaruh bencana tsunami Desember 2004menunjukkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia belummemperhatikan aspek disaster management serta perlunya konsistensi penerapankebijakan pesisir dan lautan. Padahal, pengelolaan daerah pantai harus mampumemberikan perlindungan kualitas lingkungan dan sekaligus memenuhi kebutuhanekonomi bagi kehidupan masyarakat setempat. Oleh karena itu, permasalahan yangakan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:1) Bagaimana konsep pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan ?2) Bagaimana penerapan pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan di Acehpasca tsunami?C. Tujuan PenulisanDari rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan penulisanmakalah ini adalah sebagai berikut :1) Mendeskripsikan konsep pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan.2) Menjelaskan penerapan pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan di Acehpasca tsunami.D. Manfaat PenulisanPenulisan makalah ini diharapkan mampu memberikan manfaat antara lain :1) Manfaat Praktis Makalah ini diharapkan dapat menambah informasi mengenaistrategi pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan yang sebaiknya diterapkandi Indonesia.2) Manfaat Teoritis Bagi mahasiswa, makalah ini diharapkan dapat memperkayadan memberikan sumbangan konseptual bagi pengembangan kajian perencanaanpembangunan yang berkelanjutan, khususnya yang berhubungan dengan wilayahpesisir serta sumber daya kelautan dan perikanan.4BAB II PEMBAHASANA. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan Pesisir adalah jalur yangsempit dimana terjadi interaksi darat dan laut. Artinya, kawasan pesisir meliputikawasan darat yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut (gelombang, pasangsurut) dan kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses- proses alami danaktivitas manusia di daratan (sedimentasi, pencemaran). Wilayah pesisir dalamgeografi dunia merupakan tempat yang sangat unik, karena di tempat ini air tawardan air asin bercampur dan menjadikan wilayah ini sangat produktif serta kaya akanekosistem yang memiliki keaneka ragaman lingkungan laut. Pesisir tidak samadengan pantai, karena pantai merupakan bagian dari pesisir.Ekosistem PesisirPotensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir secara garis besar terdiri daritiga kelompok :1) Sumber daya dapat pulih (renewable resources) Hutan mangrove, ekosistemterumbu karang, rumput laut, sumber daya perikanan laut, merupakan ekosistemutama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Selain mempunyaifungsi ekologis sebagai penyedia _utrient bagi biota perairan, tempat pemijahan danasuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan amukan angin taufan dantsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya, SumberDaya Pulih yang terdapat di pesisir juga mempunyai fungsi ekonomis seperti

Page 3: Pengelolaan Pesisir Pasca Bencana Tsunami

penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan lain-lain2) Sumber daya tak dapat pulih (non-renewable resources) Sumber daya yang tidakdapat pulih terdiri dari seluruh mineral dan geologi, antara lain minyak gas, granit,emas, timah, Bouksit, tanah liat, pasir, dan Kaolin.3) Jasa-jasa lingkungan (environmental services). Jasa-jasa lingkungan yangdimaksud meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi danparawisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikandan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim,kawasan lindung, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi fisiologis lainnya.Konsep “pengelolaan wilayah pesisir” berbeda dengan konsep “pengelolaansumberdaya di wilayah pesisir” yang mengelola semua orang dan segala sesuatuyang ada di wilayah pesisir. Contoh dari pengelolaan yang berbeda denganpengelolaan wilayah pesisir adalah; pengelolaan perikanan, pengelolaan hutanpantai, pendidikan dan kesehatan dimana contoh-contoh tersebut tidak melihatwilayah pesisir sebagai target. Yang paling utama dari konsep pengelolaan wilayahpesisir adalah fokus pada karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri, dimana intidari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah kombinasi dari pembangunanadaptif, terintegrasi, lingkungan, ekonomi dan sistem sosial. Strategi dan kebijakanyang diambil didasarkan pada karakteristik pantai, sumberdaya, dan kebutuhanpemanfaatannya. Oleh karena itu didalam proses perencanaan wilayah pesisir,dimungkinkan pengambilan keputusan akan diarahkan pada pemeliharaan untukgenerasi yang akan datang (pembangunan berkelanjutan). Idealnya, dalam sebuahproses pengelolaan kawasan pesisir yang meliputi perencanaan, implementasi danevaluasi, harus melibatkan minimal tiga unsur ,yaitu ilmuwan , pemerintah, danmasyarakat. Proses alam lingkungan pesisir dan perubahan ekologi hanya dapatdipahami oleh ilmuwan dan kemudian pemahaman tersebut menjadi basis5pertimbangan bagi pemerintah untuk melaksanakan program pembangunan yangmenempatkan masyarakat pesisir sebagai pelaku dengan tujuan meningkatkankeadaan sosial ekonomi kawasan. Program-program itu pun memerlukan partisipasimasyarakat dalam pelestarian tradisi yang selaras dengan alam dan pelaksanaankebijakan pemerintah Rekayasa Ilmu Teknologi Manajemen pengetahuan (Sosial-Ekonomi) alam Ilmuwan Budaya Sasaran Pembangunan Kebutuhan PengelolaanPesisir Dunia secara Terpadu Internasional Masyarakat Pemerintah Unsur-Unsurdalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu Perencanan pembangunanpesisir secara terpadu tersebut harus memperhatikan tiga prinsip pembangunanberkelanjutan untuk pengelolaan wilayah pesisir yang dapat diuraikan sebagaiberikut :1) Instrumen ekonomi lingkungan telah menjadi bagian dari pengambilan keputusan,yang memasukkan parameter lingkungan untuk melihat analisis biaya manfaat (costbenefit analysis). Misalnya pembangunan pabrik di wilayah pesisir harusmemperhitungkan tingkat pencemarannya terhadap laut, perlunya pengolahanlimbah ikan di Tempat Pelelangan Ikan, dan lain lain.2) Isu lingkungan seperti konservasi keanekaragaman hayati menjadi perhatianutama dalam pengambilan keputusan;3) Pembangunan berkelanjutan sangat memperhatikan kualitas hidup manusia padasaat sekarang dan masa yang akan datang, termasuk di dalamnya adalah saranapendidikan bagi masyarakat pesisir, penyediaan fasilitas kesehatan dan sanitasi yangmemadai, dan mitigasi bencana. Lebih lanjut, prinsip-prinsip tersebut dapatdituangkan dalam konsep pengelolaan wilayah pesisir sebagai berikut:RekayasaIlmu Teknologi Manajemen pengetahuan (Sosial-Ekonomi) alam PerencanaanResearch & pembangunan Pengabdian Ilmuwan Budaya Sasaran Pembangunan

Page 4: Pengelolaan Pesisir Pasca Bencana Tsunami

Kebutuhan Dunia Internasional Masyarakat Pemerintah Regulasi dan Partisipasi -Ekosistem Pesisir - Parameter Lingkungan - Konservasi - Kualitas Hidup ManusiaKonsep Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan Strategi pengelolaantersebut merupakan upaya-upaya pemecahan masalah-masalah wilayah pesisir yangharus dipecahkan melalui program-program pembangunan. Lebih lanjut lagi, dapatdisimpulkan bahwa faktor-faktor yang harus diperhatikan berkenaan denganprogram-program pengelolaan wilayah pesisir yaitu:1) Pemerintah harus memiliki inisiatif dalam menanggapi berbagai permasalahandegradasi sumberdaya yang terjadi dan konflik yang melibatkan banyakkepentingan.2) Batas wilayah hukum secara geografis harus ditetapkan (meliputi wilayahperairan dan wilayah daratan)3) Dicirikan dengan integrasi dua atau lebih sektor, didasarkan pada pengakuan alamdan sistem pelayanan umum yang saling berhubungan dalam penggunaan pesisir danlingkungan.B. Penerapan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan di Aceh PascaTsunami Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terletak di ujung barat6Indonesia, secara geografis di kelilingi oleh laut yaitu Selat Malaka, SamuderaHindia dan pantai utaranya berbatasan dengan Selat Benggala. Wilayah pesisirnyamemiliki panjang garis pantai 1.660 km dengan luas wilayah perairan laut seluas295.370 km² terdiri dari laut wilayah (perairan teritorial dan perairan kepulauan)56.563 km² dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 238.807 km². Wilayah pantai danlautnya secara umum di pengaruhi oleh persimpangan arus dan gerakan SamuderaHindia, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang berinteraksi dengan daratan pulauSumatera, Semenanjung Malaka, Kepulauan Andaman dan Nicobar, sehinggaekosistem laut di sepanjang pesisir Aceh sangant sesuai bagi kehidupan biota laut.Kondisi ini sangat strategis untuk usaha perikanan, khususnya penangkapan ikan dilaut dan budidaya tambak. Di Nanggroe Aceh Darussalam terdapat gugusan pulaupulaubesar dan kecil sebanyak 119 buah serta 73 buah sungai penting yangmengalir hingga ke muara. Kondisi wilayah tersebut di atas menjadikan Provinsi inisebagai salah satu wilayah yang memiliki potensi besar di sekitar kelautan danperikanan. Dengan sentuhan teknologi yang lebih modern dan tepat gunamenggantikan teknologi sederhana/tradisional yang masih ada, maka sektor inimempunyai peluang besar dan dapat menjadi sektor dominan dan andalan yangdapat mengangkat serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakatAceh di masa depan. Sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004, perikananmerupakan salah satu pilar ekonomi lokal di Nanggroe Aceh Darussalam,menyumbangkan 6,5 persen dari Pendapatan Daerah Bruto (PDB) senilai 1,59 triliunpada tahun 2004 (Dinas Perikanan dan Kelautan NAD, 2005). Potensi produksiperikanan tangkap mencapai 120.209 ton/tahun sementara perikanan budidayamencapai 15.454 ton/tahun pada tahun 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan NAD2004). Industri perikanan menyediakan lebih dari 100.000 lapangan kerja, 87 persen(87.783) di sub sektor perikanan tangkap dan sisanya (14.461) di sub sektorperikanan budidaya. Sekitar 53.100 orang menjadikan perikanan sebagai matapencaharian utama. Namun demikian, 60 persen adalah nelayan kecil menggunakanperahu berukuran kecil. Dari sekitar 18.800 unit perahu/kapal ikan di Aceh, hanya7.700 unit yang mampu melaut ke lepas pantai. Armada perikanan tangkap berskalabesar kebanyakan beroperasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Barat danAceh Selatan. Nelayan Aceh sebagian besar menggunakan alat tangkap pancing(hook and line). Alat tangkap lain adalah pukat, jaring cincin (purse seine), pukatdarat, jaring insang, jaring payang, jaring dasar, jala dan lain-lain. Infrastruktur

Page 5: Pengelolaan Pesisir Pasca Bencana Tsunami

penunjang industri ini meliputi satu pelabuhan perikanan besar di Banda Aceh, 10pelabuhan pelelangan ikan (PPI) utama di 7 kabupaten/kota dan sejumlah tempatpelelangan ikan (TPI) kecil di 18 kabupaten/kota. Selain itu terdapat 36.600 hektartambak, sebagian besar tambak semi intensif yang dimiliki petambak bermodalkecil. Tambak-tambak ini tersebar di Aceh Utara, Pidie, Bireuen dan Aceh Timur.Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia mengelola sebuah pusatpendidikan dan latihan (Pusdiklat) budidaya, sebuah pusat penelitian danpengembangan (Puslitbang) budidaya, sebuah laboratorium uji mutu perikanan dansebuah kapal latih. Di tiap kabupaten/kota, terdapat dinas perikanan dan kelautan.Total aset di sektor perikanan pra-tsunami mencapai sekitar Rp 1,9 triliun. Pascatsunami, Bappenas (2005) memperkirakan 9563 unit perahu hancur atau tenggelam,termasuk 3969 (41,5%) perahu tanpa motor, 2369 (24,8%) perahu bermotor dan3225 (33,7%) kapal motor besar (5-50 ton). Selain itu, 38 unit TPI rusak berat dan14.523 hektar tambak di 11 kabupaten/kota rusak berat. Diperkirakan total kerugianlangsung akibat bencana tsunami mencapai Rp 944.492.000 (50% dari nilai total7aset), sedangkan total nilai kerugian tak langsung mencapai Rp 3,8 milyar. Sebagianbesar kerugian berasal dari kerusakan tambak. Kerusakan tambak budidaya tersebarmerata. Bahkan di daerah yang tidak terlalu parah dampak tsunaminya (misalnya diAceh Selatan), tambak-tambak yang tergenang tidaklah mudah diperbaiki dandigunakan kembali. Total kerugian mencapai Rp 466 milyar, sekitar 50 persen daritotal kerugian sektor perikanan. Kerugian ekonomi akibat tsunami paling besarberasal dari hilangnya pendapatan dari sektor perikanan. Kondisi ini menunjukkanpentingnya pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan di Aceh. Di Aceh,kawasan pesisir meliputi daratan yang digenangi air laut pada saat tsunami.Jangkauan pasang surut pasca tsunami yang merambah lebih dalam ke daratan jugadapat menjadi kriteria penentuan batas fisik daerah pesisir. Maka, dalam konteksAceh, pengelolaan kawasan pesisir setidaknya harus mampu mengakomodasi tigapermasalahan pokok yaitu mitigasi bencana, pengembangan ekonomi kawasan danperlindungan ekosistem. Keterpaduan dari tiga faktor ini diharapkan berujung padasebuah pembangunan kawasan pesisir yang berkelanjutan. Mitigasi BencanaPembangunan Pesisir yang Berkelanjutan Pengembangan Perlindungan Ekonomi.Integrasi Tiga Faktor Pengelolaan Kawasan Pesisir di Aceh 11Fungsi mitigasibencana dalam pengelolaan kawasan pesisir Aceh tidak lepas dari kondisi geologisprovinsi ini. Aceh berada di sekitar zona subduksi atau pertemuan lempeng besardunia yaitu lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Tumbukan lempeng Indo-Australiayang bergerak ke utara dengan kecepatan rata-rata 52 mm pertahun menyebabkanrangkaian gempa yang tidak pernah berhenti. Gempa yang kekuatannya di atas 6,5skala Richter (SR) dan terjadi di laut bisa berpotensi menghasilkan kembali tsunamidi pesisir Aceh. Kenaikan muka air laut akibat pasang ataupun pemanasan globaljuga menjadi ancaman karena beberapa daerah di Aceh sangat landai contohnyaBanda Aceh. Mitigasi bencana dalam pengelolaan kawasan pesisir dapat dilakukandengan beberapa cara. Spatial planning atau tata ruang adalah kebijakan palingmendasar dalam pengelolaan pesisir. Tata ruang pesisir yang baik dapatmemperkecil resiko kerusakan dari bencana yang berasal dari laut seperti tsunamidan badai tropis. Karakteristik pesisir Aceh yang rawan gempa dan tsunami sudahseharusnya dielaborasi dalam kebijakan tata ruang pesisir dengan memberikan ruangkhusus untuk penyangga (buffer zone). Kebijakan coastal setback ini bertujuanuntuk menjauhkan masyarakat dari limpasan langsung gelombang besar maupunangin badai. Kawasan penyangga ini bisa diperuntukkan sebagai kawasan mangrove,hutan produksi atau hutan pantai lainnya sehingga akan mempunyai nilai ekologidan ekonomi yang penting bagi kesehatan ekosistem pesisir dan berbagai mata

Page 6: Pengelolaan Pesisir Pasca Bencana Tsunami

pencaharian masyarakat. Konsep tata ruang yang terdapat di dalam blue printrehabilitasi dan rekonstruksi Aceh sudah memasukkan konsep coastal setback. Tataruang tersebut sebenarnya adalah tata ruang ideal dan seharusnya dilaksanakan dikawasan pesisir Aceh. Namun penetapan buffer zone mempunyai konsekuensibahwa ruang tersebut harus bebas dari kegiatan konstruksi. Padahal, banyak daerahyang akan dijadikan ruang penyangga merupakan kawasan pemukiman sebelumtsunami. Selain itu, keinginan sebagian korban untuk kembali ke rumahnya sepertisediakala. Pemerintah juga kesulitan untuk merelokasi penghuni pesisir korbantsunami ke tempat yang lebih aman karena alasan ketersediaan lahan dan dana.Kondisi ini memunculkan ide penataan desa yang menempatkan mitigasi tsunamisebagai pertimbangan. Village planning atau perencanaan desa menghasilkan sebuahtata desa sedemikian rupa sehingga apabila terjadi tsunami warga desa dapatmenyelamatkan dirinya melalui jalan-jalan (escape route) yang mempermudah8mencapai sebuah tempat yang aman (escape hill). Perencanaan desa inimensyaratkan partisipasi aktif dari warga setempat. Terkadang warga harusmengorbankan sebagian tanahnya untuk membuat fasilitas umum seperti jalan dandrainase. Perencanaan desa yang menata sistem drainase, air bersih, penghijauan danpengolahan sampah/limbah guna peningkatan kualitas hidup dan lingkungan desamempunyai efek positif bagi kesehatan lingkungan pesisir karena akan mengurangitekanan polusi dari pemukiman ke perairan pesisir. Perencanaan pembangunan dipesisir memerlukan peraturan daerah tentang tata ruang pesisir yang memasukkanprinsip coastal setback dalam pembangunan baru di wilayah pesisir. Sebagai contoh,Perancis mempunyai sebuah undang-undang pesisir yang melarang pembangunandalam jarak 100 m dari bibir pantai kecuali bagi bangunan yang sudah adasebelumnya atau untuk keperluan ilmu pengetahuan, industri pelabuhan dan militer.Pelarangan ini terkait dengan usaha reduksi tekanan terhadap lingkungan pesisir darikegiatan manusia dan juga melindungi kegiatan manusia dari limpasan gelombang(storm surge) pada saat terjadi badai (tempête). Coastal setback atau penyangga jugaditerapkan di beberapa negara lainnya seperti Amerika Serikat dan negara-negara diKepulauan Karibia. Disamping itu, penetapan beberapa kawasan konservasi pantaidan laut (Marine and Coastal Protected Areas) juga perlu dilakukan untukmeningkatkan kapasitas pesisir untuk perlindungan pantai dan mendukungkerberlanjutan perikanan. Selain kebijakan tata ruang, kesiapan warga dan informasiyang diterima warga pesisir tentang bencana tsunami memainkan peran paling besardalam mereduksi korban jiwa. Karena itu, sistem pendeteksian dini (early warningsystem) yang telah di set-up di Banda Aceh perlu dikembangkan lagi, misalnyaperingatan tersebut dapat langsung diterima dari setiap telepon genggam (HP) wargadengan waktu cepat sehingga warga masih mempunyai waktu sebelum tsunamimencapai pantai. Pengembangan ekonomi di kawasan pesisir tidak dapat dilepaskandari pemulihan lingkungan. Sejak dulu lingkungan pesisir telah menjadi sumbermata pencaharian bagi masyarakat setempat seperti nelayan dan petambak.Lingkungan pesisir Aceh yang rusak akibat tsunami harus dipulihkan. Selainkegiatan restorasi dan rehabilitasi mangrove dan terumbu karang, kegiatan-kegiatanyang memberikan tekanan (stress) bagi kedua ekosistem tersebut harus dihentikansehingga laju pemulihannya lebih cepat. Pembangunan infrastruktur yangmenghambat suplai air tawar ke kawasan penanaman kembali mangrove ataupenebangan hutan yang meningkatkan sedimentasi di perairan pesisir harusdihentikan. Pengembangan ekonomi dengan mengabaikan daya dukung lingkunganpesisir akan menyebabkan rapuhnya keberlanjutan kesejahteraan (sustainablelivelihood) masyarakat pesisir. Pemberian bantuan boat nelayan yang berlebihandapat membahayakan keberlangsungan profesi nelayan itu sendiri. Daya dukung

Page 7: Pengelolaan Pesisir Pasca Bencana Tsunami

mangrove di Aceh mencapai titik nadir akan menurunkan ketersediaan ikan diperairan pantai, terutama ketersediaan ikan yang bergantung langsung denganmangrove. Untuk menghindari hal yang tersebut, perlu adanya pengurangan tekananyang bersifat eksploitatif. Misalnya pembangunan armada boat kecil dikurangi danlebih berfokus pada pembangunan boat besar untuk menangkap ikan migrasi besardi laut lepas yang tidak terlalu tergantung terhadap ekosistem mangrove, tunamisalnya. Di sisi angkatan kerja, konversi pekerjaan juga dapat dilakukan untukmengurangi tekanan tersebut. Industri perikanan dapat menampung tenaga kerjayang dulunya berprofesi sebagai nelayan sehingga tekanan terhadap ketersediaanikan berkurang. Industri perikanan juga memberikan nilai tambah pada produkperikanan dan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Disamping kegiatan9penangkapan ikan, pemanfaatan dan pengelolaan Sumber Daya Pulih juga dapatdilakukan dengan pembudidayaan daerah pesisir dan laut. Pembudidayaan itu jugaharus dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan ekosistem, antara lain melaluibudidaya tambak dengan pola Silvofishery System. Teknologi budidaya tambakdengan pola silvofishery system oleh masyarakat dilakukan terlebih dahulu denganmenanam bakau di wilayah pesisir. Setelah bakau- bakau tersebut besar, bakaunya ditebang dan tanah yang timbul dari kegiatan penanaman bakau tersebut dibuat jaditambak. Setelah terbentuk tambak, pada pematang tambak ditanami lagi denganbibit bakau dan masyarakat bisa memelihara ikan bandeng (Channos channos),udang windu (Penaeus monodon) dan rumput laut (Gracillaria) di dalam tambaktersebut. Dengan model silvofishery system tersebut, aspek ekonomi masyarakatterpenuhi dari kegiatan budidaya ikan, udang dan rumput laut dalam tambak,sedangkan aspek perlindungan pantai dan konservasi bakau dilakukan dengan tetapmenjaga bakau- bakau di pematang tambak dan bagian terluar dari tambak yangterbentuk dengan greenbelt sekitar 100-200 meter. Kegiatan penanaman bakau danpembuatan tambak dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat walaupun tanpa bantuanpemerintah, sehingga konsep social forestry atau community forestry terciptadengan sendirinya di wilayah pesisir tersebut. Saat ini, pembangunan kawasanpesisir di Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu kegiatan utamarehabilitasi dan rekonstruksi. Berbagai aktor turut serta dalam proses ini. Dalampengelolaan pembangunan ini, mutlak diperlukan komunikasi intensif antarastakeholder pesisir Aceh. Pelibatan masyarakat dan ilmuwan sangat penting gunamewujudkan pembangunan pesisir berkelanjutan, berbasis pada daya dukunglingkungan. Pemda, BRR dan NGO sebagai aktor utama pembangunan kembalipesisir harus mempunyai koordinasi padu sehingga tercipta visi yang sama tentangkemana arah pembangunan pesisir Aceh. Karena penerapan berbagai standarkonstruksi dan atau program bantuan yang berbeda dalam berbagai sektor berpotensimenghambat pelaksanaan rehabilitasi rekonstruksi terutama dalam pengembanganwilayah pesisir di NAD. Maka, visi tersebut perlu diterjemahkan ke dalam programdan kegiatan yang tidak akan tumpang tindih, melainkan program dan kegiatantersebut berjalan seiring dan saling melengkapi.10BAB III PENUTUPA. Kesimpulan1) Konsep pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan berfokus padakarakteristik ekosistem pesisir yang bersangkutan, yang dikelola denganmemperhatikan aspek parameter lingkungan, konservasi, dan kualitas hidupmasyarakat, yang selanjutnya diidentifikasi secara komprehensif dan terpadu melaluikerjasama Masyarakat, Ilmuwan, dan Pemerintah, untuk menemukan strategistrategipengelolaan pesisir yang tepat.

Page 8: Pengelolaan Pesisir Pasca Bencana Tsunami

2) Pengelolaan wilayah pesisir di Aceh pasca tsunami diharapkan dapatmengakomodasi tiga permasalahan pokok berdasarkan karakteristik pesisir Aceh,yaitu mitigasi bencana, perlindungan ekosistem, dan pembangunan ekonomikawasan. Hal ini dapat dicapai antara lain melalui strategi Coastal Setback, VillagePlanning, Early Warning System, restorasi dan rehabilitasi mangrove dan terumbukarang, berbagai upaya mengurangi tekanan eksploitasi terhadap ekosistem, sertabudidaya tambak dengan pola silvofishery system.B. Saran1) Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai parameter lingkungan di wilayahpesisir.2) Diperlukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya partisipasimasyarakat pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan.3) Di wilayah Indonesia yang secara geologis rentan bencana alam, mitigasi bencanaperlu menjadi prioritas pemerintah daerah.11DAFTAR PUSTAKAAmri, Andi. 2006. Arahan Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan danPerikanan di Kepulauan Spermonde. www.google.com Anonim. PembangunanBidang Kelautan dan Peirkanan. www.google.com [diakses pada 08/05/2009].Anonim. 2007. Pengelolaan Terpadu Kawasan Pesisir Aceh (Pasca Tsunami).http://kaifamart.multiply.com/journal/item/7/Pengelolaan_Pesisir_Pasca_Tsunami_2472006 [diakses pada 08/05/2009]. Anonim. Nanggroe AcehDarussalam. http://www.ksacc.com/ [diakses pada 08/05/2009]. Anonim. 2008.Pengelolaan Pesisir dan Laut. www.google.com [diakses pada 19/05/2009] Anonim.2008. Pengelolaan Pesisir Tidak Terarah Setiap Tahun 200.000 Hektar Hutan BakauRusak. www.indonesia.go.id [diakses pada 19/05/2009] Anwar, Chairil, dan HendraGunawan. 2006. Peranan Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan Mangrove dalamMendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. Makalah Utama pada Ekspose HasilhasilPenelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20September 2006 Dartoyo, A. Ari. 2004. Model Pengelolaan Wilayah PesisirKabupaten Berbasis Digital (Studi Kasus: Kabupaten Cilacap Provinsi JawaTengah). Disampaikan dalam Temu Alumni MPKD 9-11 September 2004.Kusumastanto, Tridoyo. 2007. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan WilayahNanggroe Aceh Darussalam Pasca Bencana Tsunami.http://tridoyo.blogspot.com/2007/09/pengelolaan-wilayah-pesisir-dan- lautan.html[diakses pada 08/05/2009] Vebry, Muamar, dkk. 2006. Kajian 12 Bulan PertamaKegiatan Rekonstruksi Dan Rehabilitasi Perrumahan Di Aceh Paska Gempa BumiDan Tsunami. The Aceh Institute. Yuniarti. 2007. Pengelolaan Wilayah Pesisir diIndonesia (Studi Kasus: Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat diKepulauan Riau). Jatinangor: Universitas Pajajaran. 1712