PENGELOLAAN ALOKASI DANA DESA (ADD) DI DESA...
Transcript of PENGELOLAAN ALOKASI DANA DESA (ADD) DI DESA...
PENGELOLAAN ALOKASI DANA DESA (ADD) DI DESA TOAPAYA KECAMATAN TOAPAYA KABUPATEN BINTAN TAHUN 2014
NASKAH PUBLIKASI
Oleh
ROSNIATI NIM. 110565201175
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG
2016
ROSNIATI Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, FISIP, UMRAH
Abstrak
Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) harus menyatu di dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), sehingga prinsip pengelolaan ADD sama persis dengan pengelolaan APBDes yang harus mengikuti prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Dimana ada 3 prinsip dasar yang harus diterapkan oleh pemerintah desa dalam mengelola APBDes, yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses pengelolaan Alokasi Dana Desa di Desa Toapaya menurut asas-asas pengelolaan keuangan desa. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan format desain bersifat deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi dan dokumentasi. Informan dalam penelitian ini berjumlah 15 orang.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pengelolaan ADD di Desa Toapaya berdasarkan asas-asas pengelolaan keuangan desa sudah berjalan dengan baik. Hal ini ditandai dengan adanya proses transparansi yang diberikan oleh Pemerintah Desa Toapaya dalam bentuk mempublikasikan setiap pembangunan fisik dan penggunaan anggaran, meskipun tidak semuanya dapat dipublikasikan. Sedangkan untuk akuntabilitas Pemerintah Desa Toapaya membuat laporan pertanggungjawaban dan setiap pembangunan disesuaikan dengan apa yang direncanakan diawal. Dan untuk partisipasi masyarakat juga berjalan dengan baik dimana masyarakat terlibat dalam musyawarah pembangunan baik secara langsung maupun melalui perwakilan mereka.
Kata kunci : Pengelolaan Alokasi Dana Desa, asas-asas pengelolaan keuangan desa
ROSNIATI Student of Government Science, FISIP, UMRAH
Abstract
The management of the village Fund Allocation (ADD) should be incorporated in the management of budget revenue and expenditure of the village (APBDes), so the principles are exactly the same add-on management to the management of APBDes should follow the principle of good governance. Where are the 3 basic principles that must be applied by Governments in managing village APBDes, namely transparency, accountability, and participatory.
The purpose of this research is to know the process of managing the allocation of Funds in the village of Toapaya, according to the principles of financial management. This research is qualitative research design formats are descriptive. The technique of data collection is done with the interview, observation and documentation. Informants in this study amounted to 15 people.
From the results of the study showed that in the add-on management in the village of Toapaya based on the principles of village financial management is already well underway. It is characterized by the existence of the process of transparency provided by the Government of the village of Toapaya in the form of publicizing any physical development and the use of the budget, though not all of it can be published. As for the accountability of the Government accountability report Toapaya Village and every development are adapted to what was planned in advance. And for public participation also goes well where communities are involved in the deliberation of the development, either directly or through their representatives.
Keywords: Management of the allocation of the village Fund, the financial management principles of the village
1
PENGELOLAAN ALOKASI DANA DESA (ADD) DI DESA TOAPAYA KECAMATAN TOAPAYA KABUPATEN BINTAN TAHUN 2014
A. Latar Belakang
Pada masa orde baru sistem pemerintahan bersifat sentralisasi. Dimana
setiap kebijakan ditentukan oleh pemerintah pusat. Pasca Orde Baru dan
beralih kemasa reformasi memberikan ruang yang lebih besar bagi daerah
dalam menjalankan pemerintahannya, karena otonomi daerah mulai
dicanangkan hingga akhirnya dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan desentralisasi
di tingkat kabupaten. Hal ini juga berdampak bagi otonomi ditingkat desa.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
akhirnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah karena dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan dan penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah mengatur lebih jelas mengenai desa dan
mengakui adanya otonomi asli atas desa yang artinya desa memiliki hak untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Namun, pada prinsipnya
desa tetap masih menjalankan kewenangan yang diberikan oleh
kabupaten/kota.
Selain hal tersebut dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah pemerintah mulai memperbaiki konsep
yang sebelumnya desa hanya mendapat bantuan menjadi bagian. Yang artinya
bahwa desa memiliki hak atas bagian dari keuangan negara yang melalui dana
2
perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota,
yang kemudian disebut dengan Alokasi Dana Desa (ADD). Tujuan dari
pengalokasian dana desa adalah dalam rangka meningkatkan pemberdayaan,
kesejahteraan dan pemerataan pembangunan di desa. Ketegasan mengenai
konsep ADD dipertegas dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
tentang Desa yang terkandung dalam pasal 68 ayat 1 huruf c.
Sadu Wasistiono, menyatakan bahwa pembiayaan atau keuangan
merupakan faktor essensial dalam mendukung penyelenggaraan otonomi desa,
sebagaimana juga pada penyelenggaraan otonomi daerah. Konsep ADD
sebenarnya bermula dari sebuah refleksi terhadap model bantuan desa yang
diberikan oleh pemerintah pusat bersamaan dengan agenda pembangunan
desa1.
Dalam pasal 1 ayat 11 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
tentang Desa dijelaskan bahwa ADD adalah dana yang dialokasikan oleh
Pemerintah kabupaten/kota untuk desa, yang bersumber dari bagian dana
perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota.
Selanjutnya, anggaran ADD tersebut akan digunakan sebagai penunjang
kegiatan otonomi desa agar dapat maksimal dalam memberikan pelayanan,
pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat ditingkat pedesaan. Oleh
karena itu, jika anggaran tersebut dikelola secara baik dan jujur maka hasil
kegiatan otonomi desa, khususnya pemberdayaan masyarakat akan terlihat
jelas.
1 Sadu Wasistiono, Etin Indrayani,dan Andi Pitono, Memahami Asas Tugas Pembantuan Melalui Pandangan Teoretik,
Legalistik, dan Implementasi, (Bandung: Fokusmedia 2006), 107.
3
Desa merupakan subyek hukum yang memiliki otonomi dalam
melakukan tindakan-tindakan hukum. Dalam konteks pengelolaan keuangan,
desa bisa melakukan pengelolaan keuangan secara mandiri dengan tetap
mematuhi kerangka regulasi yang terkait dengan tata kelola keuangan desa.
Pengelolaan keuangan desa tidak dapat dilepaskan dari rangkaian
proses perencanaan desa tahunan yang biasa disebut Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang) Desa. Keluaran dari Musrenbangdes yaitu
dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Basis utama
penyusunan APBDes yaitu dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Desa (RPJMDes) dan Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDes).
Pengelolaan keuangan desa merupakan satu kesatuan yang melekat
dalam implementasi otonomi desa menuju desa yang mandiri. Pengelolaan
keuangan desa bertujuan menciptakan dan memperkuat sistem tata
pemeintahan desa yang jelas dan efektif sehingga terwujud
pertanggungjawaban yang baik dalam pelaksanaan pemerintahan.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam pelaksanaan pengelolaan ADD
peran serta masyarakat juga menjadi hal yang penting terutama dalam proses
pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan yang menyangkut kebutuhan
masyarakat desa. Selain itu, diperlukan juga adanya kerjasama yang baik antara
aparatur desa dengan masyarakat dalam setiap tahapan-tahapan pengelolaan
ADD. Jika hal tersebut berjalan dengan baik maka besar kemungkinan
masyarakat dapat lebih mengembangkan diri untuk mencapai kemajuan
bersama seperti yang diharapkan dari program ini yaitu terciptanya masyarakat
4
yang lebih berdaya. Selain melibatkan masyarakat, kegiatan pengelolaan ADD
juga turut melibatkan beberapa stakeholders seperti karang taruna, tim
penggerak PKK, serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Stakeholders
tersebut diharapkan mampu untuk saling bekerja sama dalam pelaksanaan
pengelolaan ADD.
Apabila keuangan desa tidak dikelola berdasarkan ketentuan peraturan
perundanagn maka dapat menimbulkan tindakan-tindakan yang mengarah pada
penyalahgunaan keuangan, baik secara pribadi maupun kelompok. Ini akan
berdampak pada hilangnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah
desa. Pembangunan pun tidak akan berjalan dengan baik dan berpotensi
berhadapan dengan hukum.
Kemudian pada tahun 2007 dikeluarkanlah Peraturan Menteri Dalam
Negeri (Permendagri) Nomor 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Desa. Dalam Permendagri Bab IX tersebut telah cukup dijelaskan
mulai tujuan ADD tata cara penghitungan besaran anggaran per Desa,
mekanisme penyaluran, penggunaan dana sampai dengan
pertanggungjawabannya.
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 tahun 2007 pasal 19
dijelaskan bahwa tujuan ADD adalah menanggulangi kemiskinan dan
mengurangi kesenjangan meningkatkan perencanaan dan penganggaran
pembangunan di tingkat desa dan pemberdayaan masyarakat, meningkatkan
pembangunan infrastruktur perdesaan, meningkatkan pengamalan nilai-nilai
keagamaan, sosial budaya dalam rangka mewujudkan peningkatan sosial,
5
meningkatkan ketentraman dan ketertiban masyarakat, meningkatkan
pelayanan pada masyarakat desa dalam rangka pengembangan kegiatan sosial
dan ekonomi masyarakat, mendorong peningkatan keswadayaan dan gotong
royong masyarakat, meningkatkan pendapatan desa dan masyarakat desa
melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa).
Untuk menjalankan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
2005 tentang Desa mengenai ADD, maka pada tahun 2009 Kabupaten Bintan
mulai menjalankan amanat tersebut dengan memberikan hak desa yang melalui
dana perimbangan pusat dan daerah yang kemudian disebut ADD. Dengan
tujuan mempercepat pelaksanaan otonomi desa dengan memberikan sumber
keuangan desa untuk operasional desa dan pembangunan desa. Dimana yang
besaran dananya dihitung dengan menggunakan nilai bobot masing-masing
desa, sehingga masing masing desa menerima besaran yang berbeda.
Peraturan Bupati Bintan Nomor 11 Tahun 2011 tentang Dana Alokasi
Umum Desa dijelaskan penggunaan Dana Alokasi Umum Desa adalah untuk :
”Akumulasi Dana yang diterima oleh Desa (Dana Alokasi Umum Desa)
digunakan oleh Pemerintah Desa sebagai berikut :
(1). 30% ( tiga puluh persen ) untuk biaya aparatur, biaya administrasi dan
biaya operasional Pemerintahan Desa.
(2) 70% ( tujuh puluh persen ) untuk pembiayaan pelayanan Publik dan
pemberdayaan masyarakat, diantaranya ;
a. Biaya perbaikan sarana Publik dalam skala kecil. b. Penyertaan modal usaha masyarakat melalui BUMDesa. c. Biaya untuk pengadaan ketahanan pangan. d. Perbaikan lingkungan dan pemukiman.
6
e. Penanggulangan Kemiskinan. f. Perbaikan kesehatan dan pendidikan. g. Pengembangan sosial budaya. h. dan sebagainya yang dianggap penting.
Berdasarkan pasal 9 ayat 1 dan ayat 2 maka dalam praktek penggunaan
Dana Alokasi Umum Desa digunakan untuk membiayai Belanja Tidak
Langsung berupa insentif atau tunjangan perangkat desa, Insentif BPD serta
Operasional BPD sedangkan Belanja Langsung digunakan pemerintah desa
untuk membiayai operasional desa dan belanja pemberdayaan masyarakat.
Dibawah ini merupakan rincian pengelolaan ADD di Desa Toapaya:
7
Tabel I.1
Rincian Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa Toapaya
No. Rincian Penggunaan ADD/Tahun
2013 (Rp 338.309.116)
2014 (Rp 353.309.116)
1. Belanja operasional Pemerintah Desa: a. Program pelayanan
administrasi perkantoran b. Program peningkatan
sarana dan prasarana aparatur
c. Program peningkatan disiplin aparatur
d. Program peningkatan pengembangan sistem pelaporan capaian kinerja dan keuangan
e. Gaji pokok aparatur desa f. Tunjangan anggota BPD
Rp 300.046.432 Rp 82.921.432 Rp 47.630.000 Rp 18. 395.000 Rp 2.300.000 Rp 130.800.000 Rp 18.000.000
Rp 260.354.650 Rp 68.118.450 Rp 39.186.200 Rp 1.950.000 Rp 2.300.000 Rp 130.800.000 Rp 18.000.000
2. Belanja operasional BPD Rp 20.000.000 Rp 20.000.000
3. Belanja pemberdayaan masyarakat/publik Rp 20.310.000 Rp 74. 369.767
Total Rp 340. 356.432 Rp 354.724.417 Sumber: Data olahan peneliti 20152
Bedasarkan tabel diatas pada tahun 2013 ADD Desa Toapaya sebesar
Rp 338.309.116 dengan penggunaan Rp 340.356.432 dan dananya digunakan
untuk biaya operasional kantor desa sebesar Rp 300.046.432 dan biaya
operasional BPD sebesar Rp 20.000.000, dan untuk belanja pemberdayaan
sebesar Rp 20.310.000.
Sedangkan pada tahun 2014 jumlah ADD sebesar Rp 353.309.116
dengan penggunaan Rp 354.724.417. Dengan rincian biaya operasional kantor
2 Diambil dari perincian Peraturan Desa Dan Peraturan Kepala Desa Tentang APBDes Toapaya Tahun 2013 dan 2014.
8
sebesar Rp 260.354.650 dan biaya operasional BPD tetap Rp 20.000.000,
sedangkan untuk belanja pemberdayaan mengalami kenaikan menjadi Rp
74.369.767.
Dalam Permendagri Nomor 37 Tahun 2007 Pasal 20 ayat satu (1)
menjelaskan bahwa pengelolaan ADD satu kesatuan dengan pengelolaan
keuangan desa. Dalam Muhammad Arif (2007)3 yang senada juga dengan
Permendagri Nomor 37 Tahun 2007, proses pengelolaan keuangan desa
meliputi:
a) Perencanaan, dalam Murtiono dan Wulandari (2007)4 yang dimaksud
dengan perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa
depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber
daya yang tersedia. Dalam tahap ini pemerintah desa menyusun rancangan dan
dalam proses perencanaan harus mengikut sertakan masyarakat desa, yang
biasanya dilakukan melalui musyawarah desa.
b) Penganggaran, dalam Murtiono dan Wulandari (2007)5 yang dimaksud
dengan penganggaran adalah suatu proses menyusun kerangka kebijakan
publik yang memuat hak dan kewajiban pemerintah desa dan masyarakat yang
tercermin dalam pendapatan, belanja, dan pembiayaan, dengan menggunakan
prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, disiplin, keadailan. efesiensi, dan
efektivitas anggaran.
3 Muhammad Arif, Tata Cara Pengelolaan Keuangan Desa Dan Pengelolaan Kekayaan Desa, ( Pekanbaru: Red Post
Press, 2007) 32. 4 Yusuf Murtiono dan Wulandari, Buku Pintar: Perencanaan dan Penganggaran Desa, (Yogyakarta: FPPD, 2014) 6. 5 Ibid., 51.
9
c) Penatausahaan. Dalam Dina Mariana dan Suci Handayani (2014),
penatausahaan merupakan proses dari rangkaian kegiatan mencatat dan
membukukan semua penerimaan dan pengeluaran dalam transaksi yang
dilakukan oleh pemeintah desa6.
d) Pelaporan merupakan proses menyampaikan laporan realisasi pelaksanaan
APBDes oleh pemerintah desa kepada Bupati/Walikota.
e) Pertanggungjawaban. Dalam Dina Mariana dan Suci Handayani (2014)
pertanggungjawaban ialah proses penyampaian laporan kegiatan keuangan
desa, baik itu penerimaan, pengeluaran, pembiayaan, maupun penggunaan
uang milik desa selama satu tahun anggaran7.
Desa Toapaya mulai menerima ADD sejak tahun 2009, setelah
diberlakukannya Peraturan Bupati Bintan Nomor 19 Tahun 2008 tentang Dana
Alokasi Umum Desa. Namun, berdasarkan data yang diperoleh dalam proses
perencanaan dan penganggaran tidak sesuai dengan asas-asas pengelolaan
ADD. Dimana seharusnya dalam proses musrenbang harus adanya partisipasi
masyarakat. Hal ini terlihat dari daftar hadir musyawarah desa yang hanya
dihadiri para elit desa saja. Padahal seharusnya harus melibatkan masyarakat
secara umum seperti masyarakat miskin dan marjinal serta kaum perempuan
harus diikutsertakan.
Selain hal tersebut diatas jika dilihat dari rincian penggunaan ADD di
Desa Toapaya belum maksimalnya penggunaan ADD untuk kepentingan
masyarakat secara umum hal ini terlihat dari rincian pengelolaan ADD yang 6 Dina Mariana dan Suci Handayani, Buku Pintar: Pengelolaan & Pertanggungjawaban Keuangan desa, (Yogyakarta:
FPPD, 2014) 45. 7 Ibid., 59.
10
digunakan untuk pemberdayaan masyarakat belum sesuai dengan aturan yang
ada. Dimana 30% ADD adalah untuk biaya operasional pemerintah desa dan
BPD, sedangkan 70% ADD untuk pemebrdayaan masyarakat. Namun, yang
terjadi adalah dimana biaya operasional pemerintah desa melebihi dari
akumulasi anggaran yang telah ditentukan baik berdasarkan Peraturan Bupati
Bintan Nomor 11 tahun 2011 maupun Permendagri Nomor 37 Tahun 2007.
Berdasarkan paparan di atas maka penulis ingin menganalisis kedalam
sebuah usulan penelitian yang berjudul: “Pengelolaan Alokasi Dana Desa
(ADD) di Desa Toapaya Kecamatan Toapaya Kabupaten Bintan Tahun
2014”.
B. Tinjauan Pustaka
1. Prinsip dan Asas-Asas Pengelolaan Alokasi Dana Desa
Pada dasarnya prinsip pengelolaan keuangan desa sama dengan
prinsip pengelolaan keuangan daerah. Yang mengadopsi prinsip good
governance dalam pengelolaannya. Agar tercipta pemerintahan yang baik.
Menurut UNDP dalam Krina (2003) merekomendasikan beberapa
karakteristik governance, yaitu legitimasi politik, kerjasama dengan institusi
masyarakat sipil, kebebasan berasosiasi dan berpartisipasi, akuntabilitas
birokratis dan keuangan (financial), manajemen sektor publik yang efisien,
kebebasan informasi dan ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dapat
dipercaya. Sedangkan World Bank mengungkapkan sejumlah karakteristik
good governance adalah masyarakat sispil yang kuat dan partisipatoris,
11
terbuka, pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi, eksekutif yang
bertanggung jawab, birokrasi yang profesional dan aturan hukum8.
Jelas bahwa jumlah komponen atau pun prinsip yang melandasi tata
pemerintahan yang baik sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi lain,
dari satu pakar ke pakar lainnya. Namun paling tidak ada sejumlah prinsip
yang dianggap sebagai prinsip-prinsip utama yang melandasi good
governance, yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat.
Berikut ini adalah pembahasan mendalam dari ketiga prinsip tersebut
disertai dengan indikatornya masing-masing:9
a. Transparansi
Dalam Krina transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau
kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang
penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses
pembuatan dan pelaksanaanya, serta hasil-hasil yang dicapai. Transparansi
dapat diketahui banyak pihak mengenai pengelolaan keuangan daerah
dengan kata lain segala tindakan dan kebijakan harus selalu dilaksanakan
secara terbuka dan diketahui oleh umum. Menurut Meutiah dalam Krina
Transparansi yakni adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan. Sedangkan
yang dimaksud dengan informasi adalah informasi mengenai setiap aspek
kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau oleh publik. Keterbukaan
8 Loina Lalolo Krina P., Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi, (Jakarta: Sekretariat
Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2003, (https://mfile.narotama.ac.id, diakses Rabu, 13 Januari 2016)
9 Ibid,.
12
informasi diharapkan akan menghasilkan persaingan politik yang sehat,
toleran, dan kebijakan dibuat berdasarkan pada preferensi publik.
Prinsip transparasi paling tidak dapat dilihat melalui sejumlah
indikator seperti :
1. Mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi dari
semua proses-proses pelayanan publik;
2. Mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang
berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses
didalam sektor publik;
3. Mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran
informasi maupun penyimpangan tindakan aparat publik didalam
kegiatan melayani.
b. Akuntabilitas
Menurut Krina akuntabilitas adalah prinsip yang menjamin setiap
kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan
secara terbuka oleh pelaku kepada pihak yang terkena dampak penerapan
kebijakan.
Menurut Teguh Kurniawan dalam Krina (2003)10 akuntabilitas
dalam penyelenggaraan pemerintahan terdiri dari beberapa elemen antara
lain :
1. Adanya akses publik terhadap laporan yang telah dibuat;
2. Penjelasan dan pembenaran terhadap tindakan pemerintah;
10 Ibid,.17
13
3. Penjelasan harus dilakukan dalam sebuah forum terbuka;
4. Aktor harus memiliki kewajiban untuk hadir.
Adapun indikator yang bisa digunakan dalam akuntabilitas menurut
Krina adalah:
1. Proses pembuatan sebuah keputusan yang dibuat secara tertulis,
tersedia bagi warga yang membutuhkan, dengan setiap keputusan
yang diambil sudah memenuhi standar etika dan nilai-nilai yang
berlaku, dan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar;
2. Akurasi dan kelengkapan informasi yang berhubungan dengan cara-
cara mencapai sasaran suatu program;
3. Kejelasan dari sasaran kebijakan yang telah diambil dan
dikomunikasikan;
4. Kelayakan dan konsistensi dari target operasional maupun prioritas;
5. Penyebarluasan informasi mengenai suatu keputusan melalui media
massa;
6. Akses publik pada informasi atas suatu keputusan setelah keputusan
dibuat dan mekanisme pengaduan masyarakat;
7. Sistem informasi manajemen dan monitoring hasil.
c. Partisipasi Masyarakat
Prinsip bahwa setiap orang memiliki hak untuk terlibat dalam
pengambilan keputusan di setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.
Keterlibatan dalam pengambilan keputusan dapat dilakukan secara langsung
atau secara tidak langsung.
14
Sedangakan Sutoro Eko memaknai partisipasi (participation) adalah
persamaan hak dalam mengambil semua keputusan, baik langsung maupun
tidak langsung yaitu melalui lembaga perwakilan yang sah untuk
mewakilkan kepentingan mereka. Kata kunci dalam pembangunan
demokratis adalah partisipasi masyarakat. Secara teoritis, partisipasi adalah
keterlibatan secara terbuka (inclusion) dan keikutsertaan (involvement).
Keduanya mengandung kesamaan tetapi berbeda pada titik tekannya.
Inclusion menyangkut siapa saja yang terlibat, sedangakan involvement
berbicara bagaimana masyarakat terlibat. Keterlibatan berarti memberi
ruang bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses pembangunan, terutama
kelompok-kelompok masyarakat minoritas, miskin, rakyat kecil dan
perempuan11.
Adapun menurut Krina indikator dari prinsip partisipasai adalah:
1. Keterlibatan aparat melalui terciptanya nilai dan komitmen diantara
aparat;
2. Adanya forum untuk menampung partisipasi masyarakat yang
representatif, jelas arahnya dan dapat dikontrol bersifat terbuka dan
inklusif, harus ditempatkan sebagai mimbar masyarakat mengekspresikan
keinginannya;
3. Kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam proses pembuatan
keputusan;
11Sutoro Eko,“Meletakkan Desa dalam Desentralisasi dan Demokrasi, Pengantar Tentang Partisipasi”
(http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Rural&Village/ pdf, diakses Selasa, 8 Maret 2016)
15
4. Fokus pemerintah adalah pada memberikan arah dan mengundang
orang lain untuk berpartisipasi;
5. Visi dan pengembangan berdasarkan pada konsensus antara
pemerintah dan masyarakat;
6. Akses bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat dalam proses
pengambilan keputusan.
Menurut Mardiasmo (2002) ada tiga prinsip utama yang mendasari
pengelolaan keuangan daerah , yaitu12:
Pertama, prinsip transparansi atau keterbukaan. Transparansi di sini
memberikan arti bahwa anggota masyarakat memiliki hak dan akses yang
sama untuk mengetahui proses anggaran karena menyangkut aspirasi dan
kepentingan masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup
masyarakat banyak.
Kedua, prinsip akuntabilitas. Akuntabilitas adalah prinsip
pertanggungjawaban publik yang berarti bahwa proses penganggaran mulai
dari perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan harus benar-benar dapat
dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat.
Masyarakat tidak hanya memiliki hak untuk mengetahui anggaran tersebut
tetapi juga berhak untuk menuntut pertanggungjawaban atas rencana
ataupun pelaksanaan anggaran tersebut.
Akuntabilitas adalah kewajiban pihak pemegang amanah (agent)
untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan
12 Mardiasmo, “Otonomi & Manajemen Keuangan daerah”, (Yogyakarta: ANDI, 2002) 105.
16
mengungkapkan segala aktifitas dan kegiatan yang menjadi tanggung
jawabnya kepada pihak pemberi amanah (prinscipal) yang memiliki hak dan
kewenangan untuk meminta pertanggung jawaban tersebut.
Ketiga, prinsip value for money. Prinsip ini berarti diterapkannya
tiga pokok dalam proses penganggaran yaitu ekonomis, efisiensi, dan
efektif. Ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya
dalam jumlah dan kualitas tertentu pada harga yang murah. Efisiensi berarti
bahwa penggunaan dana masyarakat tersebut dapat menghasilkan ouput
yang maksimal (berdaya guna). Efektifitas berarti bahwa penggunaan
anggaran tersebut harus mencapai target-target atau tujuan kepentingan
publik.
Dalam Gregorius Sahdan, dkk (2008) juga disebutkan bahwa
pengelolaan ADD harus menyatu di dalam pengelolaan APBDes, sehingga
prinsip pengelolaan ADD sama persis dengan pengelolaan APBDes, yang
harus mengikuti prinsip-prinsip good governance (tata kelola pemerintahan
yang yang baik)13. Artinya, pengelolaan keuangan desa harus memegang
asas transparansi, akuntabel, partisipatif, serta dilakukan dengan tertib dan
disiplin anggaran.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat 1 Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 37 tahun 2007 disebutkan bahwa pengelolaan ADD satu
kesatuan dengan pengelolaan keuangan desa. Yaitu menggunakan asas-asas
transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin
13 Gregorius Sahdan, Paramita Iswari dan Sunaji Zamroni, ADD Untuk Kesejahteraan Rakyat Desa, (Yogyakarta: FPPD,
2008) 23.
17
anggaran yang juga harus mengikuti prinsip-prinsip good governance,
dengan uraian sebagai berikut14:
1. Transparan yaitu prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat
untuk mengetahui dan mendapat akses informasi seluas-luasnya tentang
keuangan desa. Asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan pemerintahan desa dengan tetap memperhatikan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
2. Akuntabel yaitu perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan
pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang
dipercayakan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Asas
akuntabel yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan desa harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
3. Partisipatif yaitu penyelenggaraan pemerintahan desa yang
mengikutsertakan kelembagaan desa dan unsur masyarakat desa;
4. Tertib dan disiplin anggaran yaitu pengelolaan keuangan desa harus
mengacu pada aturan atau pedoman yang melandasinya. Keuangan Desa
yang tertib dan disiplin anggaran mempunyai pengertian bahwa seluruh
anggaran desa harus dilaksanakan secara konsisten, dan dilakukan
14 BPKP, “Petunjuk Pelaksanaan Bimbingan & Konsultasi Pengelolaan Keuangan Desa”, (http://www.bpkp.go.id,
diakses Kamis, 3 Maret 2016)
18
percatatan atas penggunaannya yang sesuai dengan prinsip akuntansi
keuangan di desa.
Dalam perwujudan keuangan desa yang tertib dan disiplin anggaran,
maka pengelolaan dana desa harus taat hukum, harus tepat waktu, harus
tepat jumlah, dan sesuai dengan prosedur yang ada. Teratur sesuai dengan
aturan perundangan yang berlaku, termasuk belanja yang sesuai dengan
nomenklatur anggaran. Tujuannya untuk menghindari penyimpangan, dan
meningkatkan profesionalitas pengelolaannya.
Beberapa disiplin anggaran yang perlu diperhatikan dalam
Pengelolaan Keuangan Desa yaitu:
a. Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara
rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan
belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja;
b. Pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya
penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan
kegiatan yang belum tersedia atau tidak mencukupi kredit anggarannya
dalam APBDesa/Perubahan APBDesa;
c. Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang
bersangkutan harus dimasukan dalam APBDesa dan dilakukan melalui
Rekening Kas Desa.
Dalam Pasal 19 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Keuangan Desa tujuan ADD adalah:
a. Menanggulangi kemiskinan dan mengurangi kesenjangan;
19
b. Meningkatkan perencanaan dan penganggaran pembangunan di tingkat
desa dan pemberdayaan masyarakat;
c. Meningkatkan pembangunan infrastruktur perdesaan;
d. Meningkatkan pengamalan nilai-nilai keagamaan, sosial budaya dalam
rangka mewujudkan peningkatan sosial;
e. Meningkatkan ketentraman dan ketertiban masyarakat;
f. Meningkatkan pelayanan pada masyarakat desa dalam rangka
pengembangan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat;
g. Mendorong peningkatan keswadayaan dan gotong royong masyarakat;
h. Meningkatkan pendapatan desa dan masyarakat desa melalui Badan
Usaha Milik Desa (BUMDesa).
Berdasarkan prinsip-prinsip dan asas-asas pengelolaan keuangan
daerah tersebut diatas maka peneliti merangkumnya ke dalam bentuk tabel
untuk membandingkan prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan
keuangan daerah/desa yang nantinya akan digunakan guna membahas
permasalahan yang berkaitan dengan penelitian, sebagai berikut:
Tabel I.2
Perbandingan Prinsip-prinsip Pengelolaan Keuangan Daerah/Desa
No. Krina Mardiasmo Permendagri No. 37 Tahun 2007
1. a. Transparansi b. Akuntabilitas c. Partsisipatif
a. Transparansi b. Akuntanbilitas c. Value for money
a. Transparansi b. Akuntabilitas c. Partisipatif d. Tertib dan disiplin
anggaran Sumber: Data olahan peneliti 2015.
20
C. Hasil Penelitian
Proses pengelolaan ADD di Desa Toapaya maka dapat dilihat dari
beberapa asas dibawah ini:
A. Transparansi
Transparansi berarti keterbukaan (openness) pemerintah daerah
dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan
sumber daya daerah kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi.
1. Transparansi yang dilakukan oleh Pemerintah Desa Toapaya dalam
penggunaan anggaran
Pemerintah Desa Toapaya dalam mewujudkan transparansi dimulai
dari tingkat bawah (masyarakat) dengan mempublikasikan setiap
pembangunan fisik dengan pemasangan plang proyek dan penempelan
penggunaan anggaran dan capaiannya di papan informasi agar masyarakat
dapat mengetahui. Pemerintah Desa Toapaya juga pernah memakai jasa
media massa (HaluanKepri) untuk sekedar menyampaikan penggunaan
anggaran desa, namun hal itu sudah tidak dilakukan karena dirasa agak
berlebihan dan terbentur masalah anggaran.
Selain menempelkan pengumuman di papan informasi dan di
warung-warung juga perwakilan desa akan menyampaikan kepada
masyarakat mengenai hasil dari musrenbang dan penggunaan anggaran.
Walaupun begitu tidak bisa semuanya dipublikasikan.
Namun, informan masyarakat umumnya mengatakan bahwa mereka
tidak mengetahui dan tidak memahami apa yang tertulis di papan
21
pengumuman dan juga untuk melihat penggunaan anggaran harus ke kantor
desa. Hal ini bukan tanpa alasan karena kebanyakan masyarakat Desa
Toapaya adalah petani dengan tingkat pendidikan yang masih rendah
sehingga hal ini bisa menjadi faktor yang mempengaruhi tingkat
pemahaman dan sikap partisipasi mereka.
B. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah prinsip pertanggungjawaban publik yang berarti
bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan dan
pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan
dipertanggungjawabkan.
1. Bentuk pertanggungjawaban pemerintah desa dalam penggunaan ADD
yang dilihat dari proses pelaporan
Berdasarkan wawancara dengan informan bentuk
pertanggunjawaban atas pengelolaan ADD dilakukan oleh kepala desa
selaku pemegang kekuasaan keuangan desa melalui LKPJ setiap akhir tahun
anggaran berjalan dan diakhir masa jabatan Kepala Desa. Dan disampaikan
kepada BPD melalui rapat bersama BPD.
Untuk mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada
Bupati, Pemerintah Desa Toapaya membuat Laporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa (LPPD) dan Surat Pertanggungjawaban (SPJ)
pengelolaan keuangan desa. SPJ juga sebagai syarat untuk pencairan
anggaran triwulan berikutnya .
22
Untuk mewujudkan akuntabilitas dibutuhkan pula transparansi
keseluruhan proses penggunaan ADD, mulai dari usulan peruntukkannya,
pelaksanaan sampai dengan pencapaian hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan di depan seluruh pihak terutama masyarakat desa.
2. Kesesuaian antara perencanaan dengan hasil
Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di desa Toapaya pada
tahun 2014 adalah disesuaikan dengan Rencana Kerja Pembangunan Desa
(RKPDes) tahun 2014 yang dimusyawarahkan melalui Musrenbangdes pada
tahun sebelumnya dan juga Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
(RPJMDes).
Namun tidak semua apa yang diusulkan dapat direalisasikan hal ini
dikarenakan harus menyesuaikan dengan anggaran dan prioritas
pembangunan. Oleh karena itu, pihak Pemerintah Desa Toapaya akan
melakukan peninjauan ulang apa yang sudah terealisai dan apa yang belum
terealisasi. Untuk yang belum terealisasi kemudian akan diusulkan kembali
di tahun anggaran berikutnya berdasarkan musyawarah dengan masyarakat
dan berdasarkan apakah hal tersebut masih dibutuhkan atau tidak. Untuk
pembangunan fisik tahun 2014 bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK)
. Dan ADD yang bersumber dari DAU digunakan untuk pelayanan publik
termasuk juga operasional pemerintah desa dan pemberdayaan masyarakat.
C. Partisipatif
1. Keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan menentukan
suatu pembangunan dalam proses perencanaan
23
Dalam proses perencanaan Pemerintah Desa Toapaya selalu
melibatkan masyarakat, karena masyarakatlah yang mengetahui apa yang
mereka butuhkan. Dan untuk musrenbang yang di tingkat kantor desa
masyarakat tidak ikut terlibat karena sudah ada perwakilan masyarakat yang
menghadiri dan menyampaikan aspirasi mereka. Berdasar wawancara
dengan beberapa informan masyarakat dapat dikatakan bahwa, sebenarnya
sudah ada undangan atau ajakan untuk terlibat dalam musyawarah bersama.
Namun, ada yang tidak bisa hadir karena beberapa alasan seperti karena
pekerjaan, kondisi fisik dan karena ketidakpahaman. Sehingga hal ini
menyebabkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi masih kurang.
Keterlibatan kaum perempuan atau ibu-ibu di Desa Toapaya bisa
dikatakan mereka cukup aktif hal ini dikarenakan ada wadah khusus bagi
mereka yaitu kelompok PKK. Partisipasi atau keterlibatan masyarakat disini
diwujudkan di tingkat RT. Hal ini menandakan bahwa ada akses bagi
masyarakat untuk menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan
keputusan.
Sedangkan menurut Mardiasmo bahwa partisipasi adalah
keterlibatan masyarakat dalam membuat keputusan baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat
menyalurkan aspirasinya.
2. Partisipasi masyarakat dalam pengawasan penggunaan anggaran
Desa Toapaya bahwa pemerintah desa terbuka dengan kritikan
masyarakat baik mengenai pelayanan maupun pembangunan yang dilakukan
24
oleh pemerintah desa. Masyarakat bisa menyampaikan langsung baik
kepada BPD ataupun pihak Pemerintah Desa Toapaya dalam artian kepala
desa. Karena partisipasi tidak hanya diindikasikan oleh kahadiran secara
fisik atau mobilisasi masyarakat, tetapi menekankan pada partisipasi untuk
bersuara, mengontrol pembuatan dan pelaksanaan kebijakan di desa.
D. Penutup
1. Kesimpulan
Setelah meakukan penelitian dan analisis terhadap proses Pengelolaan
Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa Toapaya Kecamatan Toapaya Kabupaten
Bintan Tahun 2014, maka dilakukan penarikan kesimpulan yang disesuaikan
dengan indikator penelitian, sebagai berikut:
a. Transparansi
Pemerintah Desa Toapaya sudah mengupayakan keterbukaan informasi
kepada masyarakat mulai dari proses penyusunan, pelaksanaan, dan
pertanggungjawaban. Untuk mewujudkan transparansi Pemerintah Desa
Toapaya mempublikasikan penggunaan anggaran melalui papan informasi di
kantor desa dan menempelkan di warung-warung serta perwakilan desa juga
akan menyampaikan kepada masyarakat mengenai hasil musrenbang dan
penggunaan angggaran.
b. Akuntabilitas
Akuntabilitas erat kaitannya dengan transparansi. Oleh karena itu
bentuk pertanggungjawaban Pemerintah Desa Toapaya adalah dengan
membuat Laporan Keterangan Pertanggungjawaban kepala Desa (LKPJ) yang
25
dilakukan setiap akhir tahun anggaran atau di akhir Januari atau diawal
Februari di tahun berikutnya. LKPJ ini dibuat dua kali yaitu diakhir tahun
anggaran dan diakhir masa jabatan Kepala Desa yang akan disampaikan
kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Selain LKPJ, Pemerintah Desa
Toapaya juga membuat Surat Pertanggungjawaban (SPJ) untuk dilaporkan
kepada Pemerintah Kabupaten Bintan yang dilakukan 3 (tiga) bulan sekali.
Pemerintah Desa Toapaya juga mengupayakan mewujudkan
akuntabilitas dengan membangun apa yang telah diusulkan masyarakat dalam
proses perencanaan dan tentunya disesuaikan dengan pagu anggaran dan
prioritas pembangunan. Dan ketika apa yang diusulkan masyarakat belum
terealisasi maka Pemerintah Desa Toapaya akan mengajukan kembali usulan
tersebut di tahun anggaran berikutnya berdasarkan musyawarah dengan
masyarakat dan pertimbangan pembangunan.
c. Partisipatif
Untuk menjalankan prinsip partisipasi, Pemerintah Desa Toapaya
melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan. Proses
perencanaan pembangunan atau yang dikenal dengan musrenbang dimulai di
tingkat RT yang dihadiri oleh tokoh masyarakat dan masyarakat setempat.
Setelah menampung aspirasi masyarakat di tingkat RT, kemudian dilanjutkan
dengan musyawarah dusun yang dihadiri oleh anggota BPD.
Partisipasi bukan hanya sekedar ikut terlibat dalam proses perencanaan
pembangunan akan tetapi termasuk partisipasi dalam pengawasan penggunaan
anggaran terhadap hasil dari proses perencanaan tersebut. Disini Pemerintah
26
Desa Toapaya membuka ruang bagi masyarakat untuk melakukan pengawasan
dalam pelayanan maupun pembangunan. Masyarakat bisa menyampaikan
langsung kepada Pemerintah Desa Toapaya dengan langsung datang ke kantor
desa ataupun lewat lembaga perwakilan masyarakat yaitu BPD.
2. Saran
Adapun saran yang dapat peneliti berikan berdasarkan kesimpulan
diatas adalah sebagai berikut:
1. Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas seharusnya Pemerintah
Desa Toapaya rutin melakukan pertemuan atau musyawarah dalam rangka
membicarakan penyelenggaraan pemerintah dan pertanggungjawaban
kegiatan dan keuangan desa baik dengan perangkat desa, BPD, RT/RW,
kepala dusun, PKK, LPM, karang taruna, kader posyandu pertemuan atau
musyawarah bisa dilakukan sebulan sekali dengan penentuan tanggal tetap.
2. Sedangkan untuk mewujudkan transparansi dan pertanggungjawaban kepada
masyarakat pemerintah desa bisa menempelkan pertanggungjawaban
keuangan desa dan penyelenggaraan pemerintahan di posyandu, polindes,
serta tempat ibadah seperti mushola atau masjid. Dengan cara ini lebih
mudah masyarakat untuk melihat karena tempat-tempat ini lebih sering dan
mudah didatangi.
3. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemerintah
Desa Toapaya sebaiknya membuka ruang pengaduan yang bisa dilakukan
ketika kegiatan keagamaan seperti sebelum atau setelah dilaksanakannya
sholat Jumat, majelis taklim, dan atau ketika hari besar seperti hari raya
27
lebaran atau 17 Agustus. Hal ini bisa mendorong pemerintah desa dapat
menjalankan fungsinya lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Arif, Muhammad.2007. Tata Cara Pengelolaan Keuangan Desa Dan Pengelolaan Kekayaan Desa. Pekanbaru: Red Post Press.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Awang, Azam. 2010. Implementasi Pemberdayaan Pemerintahan Desa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mardiasmo. 2002. Otonomi & Manajemen Keuangan daerah. Yogyakarta: ANDI.
Mariana, Dina dan Suci Handayani. 2014. Buku Pintar: Pengelolaan & Pertanggungjawaban Keuangan Desa. Yogyakarta: FPPD.
Murtiono, Yusuf dan Wulandari. 2014. Buku Pintar: Perencanaan dan Penganggaran Desa. Yogyakarta: FPPD.
Nurcholis, Hanif. 2011. Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Jakarta : Erlangga.
Patilima, Hamid. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Rozaki, Abdur. 2005. Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa. Yogyakarta: IRE Press.
Sahdan, Gregorius, Paramita Iswari dan Sunaji Zamroni. 2008. ADD Untuk Kesejahteraan Rakyat Desa. Yogyakarta: FPPD.
Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian sosial: Buku sumber Untuk Penelitian Kualitaif, Edisi kedua Yogyakarta: Tiara Wacana.
Soleh, Chabib dan Heru Rochmansjah, 2010. “Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah”. Bandung: Fokusmedia.
Soemantri, Bambang Trisantoso. 2010. Pedoman Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Bandung: Fokusmedia.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2011. Metode Pnelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana.
Syafrudin, Ateng dan Na’a, Suprin. 2010. Pergulatan Hukum Tradisional dan Hukum Moderen Dalam Desain Otonomi Desa. Bandung: PT. Alumni.
Tim FPPD. 2007. Alokasi Dana Desa: Cermin Komitmen Kabupaten/Kota pada Otonomi desa (Hasil Studi penerapan Kebijakan ADD di 6 Kabupaten). Yogyakarta: FPPD.
Wahjudin, Sumpeno. 2011. Perencanaan Desa Terpadu. Banda Aceh, Reinforcement Action and Development.
Wasistiono, Sadu, Etin Indrayani,dan Andi Pitono. 2006. Memahami Asas Tugas Pembantuan Melalui Pandangan Teoretik, Legalistik, dan Implementasi, Bandung: Fokusmedia.
Wasistiono, Sadu dan M. Irwan Tahir. 2007. Prospek Pengembangan Desa. Bandung: Fokusmedia.
Widjaja, Haw. 2010. Otonomi Desa. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Internet
BPKP. 2015. “Petunjuk Pelaksanaan Bimbingan & Konsultasi Pengelolaan Keuangan Desa”, (http://www.bpkp.go.id, diakses Kamis, 3 Maret 2016)
Eko, Sutoro. “Meletakan Desa dalam Desentralisasi dan Demokrasi, Pengantar Tentang Partisipasi” (http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/ Rural&Village/pdf, diakses Selasa, 8 Maret 2016)
Krina P., Loila Lalolo. 2003. Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi. Jakarta: Sekretariat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, (https://mfile.narotama.ac.id, diakses Rabu, 13 Januari 2016)
Peraturan Undang-undangan
Undang-undang Nomor 06 Tahun 2014 Tentang Desa
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa
Peraturan Bupati Bintan Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Dana Alokasi Umum Desa
Peraturan Desa Dan Peraturan Kepala Desa Toapaya Kecamatan Toapaya Kabupaten Bintan Tahun 2014
Dokumen
Dokumen Pelaksanaan Anggaran Desa Toapaya Tahun 2013
Dokumen Pelaksanaan Anggaran Desa Toapaya Tahun 2014
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Desa Toapaya Tahun 2014
Surat Pertanggungjawaban Desa Toapaya Triwulan III