PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan...
Transcript of PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan...
PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSES
THERMOPRESSING PADA PENGEMBANGAN
BIODEGRADABLE FOAM BERBASIS TAPIOKA DAN α-
SELULOSA KULIT SINGKONG
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I
pada Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik
Oleh:
MAHARNI PUTRI PARAMITA
D500140093
PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2019
i
ii
iii
1
PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSES
THERMOPRESSING PADA PENGEMBANGAN BIODEGRADABLE
FOAM BERBASIS TAPIOKA DAN α -SELULOSA KULIT SINGKONG
Abstrak
Styrofoam terbuat dari campuran 90-95% polystyrene dan 5-10% gas seperti n-
butana atau n-pentana serta CFC (Freon) sebagai blowing agent. Untuk saat ini
alternatif pengganti styrofoam adalah biodegradable foam. Percobaan yang akan
dilakukan pada penelitian ini adalah membuat pengembangan biodegradable foam
dari α-selulosa kulit singkong. Variasi suhu yang digunakan adalah 150, 160, 170
dan 175oC. Variasi waktu yang digunakan adalah 30, 40, 50 dan 60 menit.
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh waktu dan suhu proses
thermopressing pada penampakan visual biodegradable foam berbasis tapioka dan
α-selulosa kulit singkong, mengetahui karakteristik sifat fisik biodegradable foam
dari campuran tapioka dan α-selulosa kulit singkong yang dihasilkan dan
mengetahui kemampuan biodegradabilitas biodegradable foam yang dihasilkan.
Kondisi operasi terbaik pada penelitian ini adalah biofoam yang diproses pada
suhu 175oC selama 60 menit dengan penampakan visual putih kecoklatan dan
tekstur keras. Sedangkan, sifat fisik pada biofoam terbaik tersebut adalah
memiliki nilai daya serap air sebesar 54,2763%, nilai kadar air sebesar 5,9773%,
densitas sebesar 4,4465 g/cm3 dan memiliki kemampuan biodegradabilitas selama
36 hari.
Kata Kunci : biodegradable foam, α-selulosa, penampakan visual, sifat fisik,
biodegradabilitas
Abstract
Styrofoam is made from a mixture of 90-95% polystyrene and 5-10% gas such as
n-butane or n-pentane and CFC (Freon) as a blowing agent. For now, alternative
substitutes for styrofoam are biodegradable foam. The experiment that will be
carried out in this study is to make the development of biodegradable foam from
α-cellulose cassava skin. The temperature variations used are 150, 160, 170 and
175oC. The time variations used are 30, 40, 50 and 60 minutes. This study aims to
determine the effect of the time and temperature of the thermopressing process on
visual appearance of biodegradable tapioca-based foam and α-cellulose cassava
skin, knowing the physical characteristics of biodegradable foam from tapioca
mixture and α-cellulose cassava skin produced and knowing the biodegradability
of biodegradable foam produced. The best operating conditions in this study were
biofoam which was processed at 175oC for 60 minutes with a brownish-white
visual appearance and hard texture. Meanwhile, the physical properties of the best
biofoam have a value of 54.2763% of water absorption, moisture content of
5.9773%, density of 4.4465 g/cm3 and have biodegradability capability for 36
days.
Keywords : biodegradable foam, α-cellulose, visual appearance, physical
properties, biodegradability
2
1. PENDAHULUAN
Inovasi kemasan pangan dianggap mampu menarik minat konsumen.
Kemasan pangan yang biasa digunakan para produsen untuk mengemas
produk pangan adalah kemasan berbahan plastik sintetik. Penggunaan
kemasan tersebut dimaksudkan selain untuk melindungi kualitas pangan,
kemasan plastik juga memiliki beberapa keunggulan dan keuntungan. Salah
satu jenis kemasan plastik sintetik yang sering digunakan dalam industri
pangan adalah polistirena foam atau biasa disebut styrofoam.
Styrofoam terbentuk dari 90-95% polystyrene dan 5-10% gas seperti
n-butana atau n-pentana serta CFC (Freon) sebagai blowing agent. Bahan
tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl
stearate digunakan sebagai zat pemlastis. Monomer stirena sebagai bahan
utama pembuat styrofoam dapat bermigrasi pada pangan dan dapat
menimbulkan gangguan kesehatan seperti gangguan pada sistem syaraf,
anemia, meningkatnya resiko leukemia dan menyebabkan kanker. Karena
sulit terurai di alam dan sulit didaur ulang sehingga styrofoam dapat
memyebabkan masalah pada lingkungan (BPOM, 2008).
Seperti yang dilansir dari Kompas.com (Utomo, 2016), sejumlah kota
besar dunia seperti London dan New York telah melarang penggunaan
styrofoam. Kota Bandung merupakan kota pertama di Indonesia yang
melarang penggunaan styrofoam sebagai kemasan makanan dan minuman.
Menurut Walikota Bandung Ridwan Kamil, hasil riset yang dilakukan Badan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung menyebutkan bahwa
jenis sampah plastik dan styrofoam diindikasikan sebagai penyebab
penyumbatan aliran sungai yang mengakibatkan banjir. Larangan penggunaan
styrofoam sebagai kemasan makanan dan minuman tersebut diberlakukan per
tanggal 1 November 2016. Untuk pengganti kemasan styrofoam sendiri masih
dikaji lebih lanjut oleh pihak terkait.
Untuk saat ini alternatif pengganti styrofoam adalah biodegradable
foam. Dalam pembuatan biodegradable foam bahan yang banyak digunakan
adalah pati karena memiliki sifat biodegrabilitas yang tinggi, murah, densitas
rendah, tidak toksik dan ketersediaannya berlimpah, akan tetapi
3
biodegraadable foam yang terbentuk dari pati murni tidak memberikan sifat
fisik dan sifat mekanik yang baik dan mudah larut air. Untuk memperbaiki
sifat-sifat biodegraadable foam dari pati bisa dilakukan dengan memodifikasi
pati (selulosa), penambahan zat pemlastis, polimer, serat, dan beberapa bahan
tambahan lainnya (Fang and Hanna, 2001; Salgado et al., 2008; Kaisangsri et
al., 2012). Pemanfaatan limbah pertanian sebagai sumber serat sekaligus
sumber pati belum dimanfaatkan secara maksimal. Salah satu limbah
pertanian yang potensial untuk dikembangkan yaitu kulit singkong. Menurut
Rukmana (1997), kandungan pati di dalam kulit singkong berkisar 44-59%.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian bertujuan untuk mengetahui
pengaruh variasi waktu dan suhu proses pencetakan pada pengembangan
produk biodegradable foam (biofoam) dari modifikasi selulosa kulit singkong
sehingga menghasilkan produk dengan tampilan visual terbaik. Beberapa
penelitian sebelumnya membuat biofoam menggunakan pati yang
ditambahkan serat alami diantaranya serat jerami (Srithongkham et al., 2012),
serat singkong (Boonchaisuriya and Chungsiriporn, 2011), serat ekaliptus
(Schmidt and Laurindo, 2010), serat tebu (Debiagi et al., 2011), serat ampok
jagung (Warsiki et al., 2012), (Iriani, 2013), (Rahmatunisa, 2015), dan serat
dari limbah lokal pertanian (Rusliana et al., 2014). Namun untuk penggunaan
serat modifikasi pada pembuatan biofoam masih jarang dilakukan, salah
satunya modifikasi serat tandan kosong sawit (Etikaningrum, 2017). Metode
thermopressing digunakan untuk mencetak adonan yaitu dengan diberi
tekanan tertentu dan dipanaskan dengan temperatur dan waktu yang telah
ditentukan.
2. METODE
2.1 Pembuatan Tepung Kulit Singkong
Tahap awal penelitian ini dilakukan dengan pembuatan tepung kulit
singkong (Akhadiarto, 2010):
Bhana utama pada penelitian ini menggunakan kulit singkong bagian
dalam. Pembuatan tepung kulit singkong dilakukan dengan cara sebagai
berikut, yaitu pertama kulit bagian dalam singkong dibersihkan menggunakan
air. Selanjutnya kulit singkong dijemur di bawah sinar matahari sampai
4
kering dan siap untuk digunakan. Kemudian kulit singkong yang telah kering
dihaluskan menggunakan blender hingga halus. Selanjutnya tepung kulit
singkong diayak dengan ukuran ayakan -80 mesh.
2.2 Isolasi α Selulosa Kulit Singkong dengan metode Pulping Process
Tahap kedua adalah dengan membuat isolasi α-selulosa kulit singkong
(Sumada and Puspita, 2011):
Tepung kulit singkong yang lolos ayakan kemudian diambil sebanyak 10
gram dan ditambahkan 100 ml aquadest aduk hingga homogen. Kemudian
larutan sampel dimasukkan ke dalam microwave selama 1 jam dengan suhu
100oC. Setelah itu, larutan sampel disaring dan ditambahkan larutan NaOH
10% dalam 100 ml aquades. Kemudian dimasukkan kembali ke dalam
microwave selama 30 menit dengan suhu 100oC. Bahan yang tidak larut di
dalam larutan adalah bahan utama yang ingin didapatkan yaitu α-selulosa. α-
selulosa dipisahkan dari larutan menggunakan kain saring. Selanjutnya,
dilakukan pencucian α-selulosa dengan air dengan suhu dibawah 50oC,
pencucian dilakukan beberapa kali agar serbuk yang didapatkan memiliki
kondisi netral.
Selanjutnya, serbuk sampel dimasukkan ke dalam larutan H2O2 10%
dalam 100 ml aquades dan didiamkan selama 45 menit hingga berubah warna
menjadi putih kekuningan. Kemudian larutan disaring kembali dengan air
hingga diperoleh serbuk yang memiliki pH netral. Setelah itu, serbuk sempel
yang didapatkan dikeringkan menggunakan oven hingga kering. Selanjutnya
serbuk sampel yang telah kering dihaluskan menggunakan blender.
2.3 Pembuatan Biodegradable Foam
Pembuatan biofoam menggunakan metode rujukan dari Iriani et al.,
(2013). Pertama, menimbang dan mencampur bahan-bahan seperti serat
selulosa, pati tapioka, PVA 15%, Mg stearat 15% lalu ditambahkan air dan
diaduk sampai kalis. Selanjutnya adonan dicetak kemudian dimasukkan
kedalam oven dengan suhu (150, 160, 170 dan 175oC) selama waktu tertentu
(30, 40, 50 dan 60 menit) (massa adonan ±50 gram untuk satu cetakan
biofoam) untuk menghilangkan kadar air. Kemudian biofoam dikeluarkan dari
oven dan didinginkan pada suhu ruang selama 1 hari.
5
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Biodegradable Foam
Metode thermopressing digunakan untuk mencetak adonan yaitu dengan
diberi tekanan tertentu dan dipanaskan dengan temperatur dan waktu yang
telah ditentukan. Proses thermopressing dipilih karena pada penggunaan
proses tersebut dapat disesuaikan dengan bentuk dan ukuran yang
dibutuhkan. Pada pembuatan biofoam, tidak dapat diterapkan proses
termoplastisasi karena proses foaming akan terhambat. Menurut Iriani (2013),
penentuan suhu proses dilakukan pada suhu antara 140-180oC dipilih
berdasarkan sifat termal bahan baku yang umumnya berada dikisaran 95-
150oC, sedangkan melting point dari PVA berkisar 138
oC. Sehingga,.
Sedangkan, jumlah adonan yang dimasukkan ke dalam cetakan sekitar 50
gram karena bila berat adonan kurang maka biofoam yang terbentuk kurang
sempurna atau biofoam akan mengalami ekspansi secara maksimal sehingga
produk tidak terbentuk akibat retak atau pecah apabila adonan terlalu banyak
karena tekanan di dalam cetakan terlalu besar sehingga (Rusliana et al.,
2014). Pembuatan biodegradable foam ini dilakukan dengan komposisi
sebagai berikut:
Rasio padatan : cairan = 60 : 40
Rasio tapioka : selulosa = 3 : 1
Magnesium stearat = 4,5 gram
PVA = 4,5 gram
Topika = 15,75 gram
Seluosa = 5,25 gram
Aquades = 20 ml
Suhu = 150, 160, 170 dan 175oC
Waktu = 30, 40, 50 dan 60 menit
Pada penelitian yang telah dilakukan, dihasilkan biodegradable foam
yang secara visual dapat diamati penampakan visual biofoam. Adapun hasil
pengamatan tersebut seperti berikut :
6
Tabel 1. Kenampakan Visual Biofoam dengan Suhu Proses Berbeda
Suhu Proses (oC) Kenampakan Visual Biofoam
150 Warna putih kekuningan, tekstur lunak
160 Warna putih kekuningan, tekstur agak keras
170 Warna putih kecoklatan, tekstur cukup keras
175 Warna putih kecoklatan, tekstur keras
175 (75 menit) Warna coklat tua, tekstur keras
Kenampakan visual biofoam dapat dilihat pada Tabel 3.1. pada suhu
proses yang rendah, produk yang dihasilkan berwarna putih kekuning tetapi
memiliki kandungan air yang cukup tinggi. Untuk itu, dibutuhkan waktu
pencetakan dan pengeringan yang lebih lama serta belum semua bahan lumer
sehingga proses pencampuran tidak berjalan sempurna dan akan menghambat
proses foaming. Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa semakin tinggi suhu
proses yang digunakan maka warna biofoam yang dihasilkan semakin gelap
namun tekstur biofoam semakin keras. Sedangkan, semakin tinggi suhu
proses yang digunakan maka waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan juga
semakin cepat. Menurut Iriani (2013), terjadinya burned effect merupakan
pengaruh dari penggunaan suhu yang terlalu tinggi.
3.2 Karakteristik Sifat Fisik dan Biodegradabelitas Biodegradable Foam
Karakteristik yang diamati pada penelitian ini adalah parameter sifat fisik
yang meliputi daya serat air, kadar air dan densitas serta kemampuan
biodegradabilitas produk biofoam.
3.2.1 Uji Daya Serap Air
Daya serap air atau Water Absorption Index (WAI) merupakan
parameter yang penting bagi biofoam sebagai bahan kemasan pangan karena
sangat berpengaruh pada produk yang akan dikemas. Di bawah ini
merupakan data dari uji daya serap air produk biofoam pada berbagai variasi
waktu dan suhu proses yang diperoleh dari hasil penelitian.
7
0
10
20
30
40
50
60
150 160 170 175
WA
I (%
)
Suhu (oC)
30 menit
40 menit
50 menit
60 menit
75 menit
Tabel 2. Data Uji Daya Serap Air Produk Biofoam Pada Berbagai Variasi Waktu
dan Suhu Proses
T (oC) t (menit) Berat Awal (gr) Berat Akhir (gr) ∆W WAI
150
30 6,048 8,209 2,161 35,7308
40 6,751 9,05 2,299 34,0542
50 6,957 9,168 2,211 31,7809
60 6,902 9,536 2,634 38,1628
160
30 5,175 7,072 1,897 36,6570
40 5,060 7,018 1,958 38,6956
50 5,832 8,065 2,233 38,2887
60 5,096 7,387 2,291 44,9568
170
30 5,055 7,502 2,447 48,4075
40 5,117 7,583 2,466 48,1923
50 5,878 8,783 2,905 49,4215
60 5,734 8,624 2,890 50,4011
175
30 5,305 7,808 2,503 47,1819
40 5,052 7,626 2,574 50,9501
50 5,868 8,867 2,999 51,1077
60 5,203 8,027 2,824 54,2763
75 5,537 8,572 3,035 54,8130
Gambar 1. Grafik Pengaruh Suhu dan Waktu Terhadap Daya Serap Air Biofoam
Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa semakin tinggi suhu
proses yang digunakan maka daya serap air produk semakin tinggi,
sedangkan semakin lama waktu proses yang digunakan maka daya serap air
8
produk juga semakin tinggi. Nilai daya serap air biofoam pada penelitian
yang telah dilakukan berkisar antara 31,78-54,81%. Jika dibandingkan
dengan penelitian Iriani (2013) yang menghasilkan biofoam dari tapioka
murni dengan nilai daya serap air sebesar 26,05-59,48% maka nilainya
masih tidak jauh berbeda. Namun, jika dibandingkan dengan penelitian
Rahmatunisa (2015) yaitu sekitar 53,20-59,64% maka nilai daya serap air
pada penelitian ini masih lebih rendah. Tetapi, masih lebih tinggi dari
penelitian Etikaningrum (2017) yaitu sekitar 23,40-45,54% dan styrofoam
yang berkisar 26%.
Biofoam berbasis pati memiliki sifat higroskopis sehingga sangat
rentan terhadap air. Ikatan hidrogen pati dapat melemah dan menurunkan
sifat fungsional dari biofoam karena adanya molekul air (Kaisangsri et al.,
2014). Untuk meningkatkan sifat hidrofobisitas biofoam maka perlu
penambahan polimer sintetik. Menurut Boonchaisuriya and Chungsiriporn
(2011), daya serap air pada foam dapat menurun karena PVA bersifat
kristalin. Daya serap air foam turun hingga 25% akibat penambahan PVA
sebesar 30% namun kurang berpengaruh pada foam dengan kadar serat yang
tinggi. Hal itu terjadi karena sebagian air yang ditambahkan pada adonan
tidak hanya terikat pada PVA tetapi juga pada serat (Iriani, 2013).
Penggunaan polimer sintetik PVA yang juga mengandung gugus
hidroksil menyebabkan penyerapan air pada produk biofoam tersebut tetap
tinggi. Shogren et al., (1998), menyatakan bahwa dalam konsentrasi tinggi
penambahan PVOH baru dapat meningkatkan ketahanan foam terhadap
kontak langsung dengan air.
3.2.2 Kadar Air (AOAC 2012)
Pada penelitian yang telah dilakukan diperoleh data persentase kadar
air biofoam pada berbagai variasi waktu dan suhu proses.
9
0
2
4
6
8
10
12
150 160 170 175
Kad
ar a
ir (
%)
Suhu (oC)
30 menit
40 menit
50 menit
60 menit
75 menit
Tabel 3. Data Persentase Kadar Air Biofoam Pada Berbagai Variasi Waktu dan
Suhu Proses
T (oC) t (menit) Berat Awal (gr) Berat Akhir (gr) Kadar air
150
30 6,048 5,329 11,88823
40 6,751 5,974 11,50941
50 6,957 6,125 11,95918
60 6,902 6,086 11,82266
160
30 5,175 4,612 10,87923
40 5,060 4,496 11,14625
50 5,832 5,205 10,75103
60 5,096 4,563 10,45918
170
30 5,055 4,652 7,972305
40 5,117 4,712 7,914794
50 5,878 5,418 7,825791
60 5,734 5,346 6,766655
175
30 5,305 4,939 6,899152
40 5,052 4,734 6,294537
50 5,868 5,508 6,134969
60 5,203 4,892 5,977321
75 5,537 5,257 5,056890
Gambar 2. Grafik Pengaruh Suhu dan Waktu Terhadap Kadar Air Biofoam
Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa semakin tinggi suhu
proses maka kadar air dalam produk semakin rendah, sedangkan semakin
10
lama waktu proses yang digunakan maka kadar air dalam produk juga
semakin rendah. Kadar air biofoam pada penelitian ini berkisar antara
5,056-11,959%. Jika dibandingkan dengan nilai kadar air biofoam pada
penelitian Iriani (2013) yang terbuat dari tapioka murni sebesar 6,21-8,40%,
Rahmatunisa (2015) sekitar 4,53-7,65% dan Etikaningrum (2017) sekitar
5,32-8,19% maka nilai kadar air pada penelitian ini masih lebih tinggi
namun tergolong wajar. Hal ini dikarenakan tapioka bersifat hidrofilik
sehingga dapat menyerap banyak air dan menyebabkan kadar air biofoam
tinggi dibandingkan dengan kadar air polistiren foam.
Kadar air biofoam berbasis pati umumnya adalah bahan alami yang
bersifat higroskopis dan dapat menyerap kelembaban dari lingkungan
(Glenn and Hsu 1997; Soykeabkaew et al., 2004). Hal ini yang
menyebabkan nilai kadar air biofoam jauh lebih tinggi dari kadar air
styrofoam (1,11%) (Kaisangsri et al., 2012).
Selain itu, menurut Salgado et al., (2008) nilai kadar air pada biofoam
juga dipengaruhi oleh penambahan polimer sintetik, protein dan serat. Hal
ini kemungkinan besar disebabkan karena PVOH bersifat lebih hidrofobik
dibandingkan pati. Hal ini didukung penelitian Cinelli et al., (2006) yang
menyatakan bahwa penambahan PVA 10-30% pada campuran pati kentang
dapat meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan terhadap air dari biofoam.
3.2.3 Densitas
Untuk dapat mengurangi biaya transport maka diinginkan agar
densitas yang rendah (Lee et al., 2008). Dari penelitian yang telah dilakukan
diperoleh data densitas dari produk biofoam pada berbagai variasi waktu
dan suhu proses.
11
0
1
2
3
4
5
6
7
150 160 170 175
De
nsi
tas
(g/c
m3)
Suhu (oC)
30 menit
40 menit
50 menit
60 menit
75 menit
Tabel 4. Data Densitas Dari Produk Biofoam Pada Berbagai Variasi Waktu dan
Suhu Proses
T (oC) t (menit) Massa (gram) Tebal (cm) Volume (cm
3) Densitas
150
30 3,259 0,0572 0,5148 6,3306
40 3,135 0,0573 0,5157 6,0791
50 3,296 0,0572 0,5148 6,4024
60 3,115 0,0578 0,5202 5,9880
160
30 2,806 0,052 0,468 5,9957
40 2,137 0,055 0,495 4,3171
50 2,404 0,053 0,477 5,0398
60 2,495 0,054 0,486 5,1337
170
30 2,855 0,056 0,504 5,6646
40 2,779 0,053 0,477 5,8260
50 2,492 0,054 0,486 5,1275
60 2,039 0,054 0,486 4,1954
175
30 2,318 0,051 0,459 5,0501
40 2,253 0,053 0,477 4,7232
50 2,275 0,054 0,486 4,6810
60 2,081 0,052 0,468 4,4465
75 2,048 0,052 0,468 4,3761
Gambar 3. Grafik Pengaruh Suhu dan Waktu Terhadap Densitas Biofoam
Berdasarkan grafik, dapat diketahui bahwa semakin tinggi suhu proses
maka densitas produk semakin rendah, sedangkan semakin lama waktu
proses yang digunakan maka densitas produk juga semakin rendah. Biofoam
12
memiliki berat yang kecil ditandai dengan nilai densitas yang kecil pula
(Warsiki et al., 2012). Nilai densitas biofoam pada penelitian ini berkisar
antara 4,1955-6,4025 g/cm3. Jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu,
nilai densitas pada penelitian ini jauh lebih besar, diantaranya Iriani (2013)
menghasilkan nilai densitas sebesar 0,26-0,45 g/cm3, penelitian
Rahmatunisa (2015) menghasilkan nilai densitas sebesar 0,20-0,38 g/cm3
dan Etikaningrum (2017) menghasilkan nilai densitas sekitar 0,16- 0,28
g/cm3. Densitas biofoam pada penelitian ini juga masih lebih tinggi bila
dibandingkan dengan densitas styrofoam sebesar 0,035 g/cm3.
Nilai densitas yang kecil menandakan foam memiliki berat yang kecil
(Warsiki et al., 2012). Biofoam dengan densitas yang rendah dapat diperoleh
dari struktur dengan ukuran rongga yang besar dan banyak. Densitas juga
berpengaruh terhadap beberapa parameter lainnya yaitu daya serap air.
Menurut Iriani (2013), semakin tinggi densitas biofoam maka daya serap
airnya akan semakin rendah. Iriani (2013) juga berpendapat bahwa
penambahan serat dan PVA dapat meningkatkan densitas karena akan
menyerap sebagian besar air pada adonan sehingga menghambat
kemampuan ekaspasi.
3.2.4 Uji Biodegradabilitas
Metode uji biodegradabilitas diperlukan untuk mengetahui
kemampuan biodegradabilitas secara alami pada bioplastik. Pada penelitian
yang telah dilakukan diperoleh data uji biodegradabilitas produk biofoam
pada berbagai variasi waktu dan suhu proses.
13
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
150 160 170 175
Ke
mam
pu
an B
iod
egr
adab
ilita
s (h
ari k
e-)
Suhu (oC)
30 menit
40 menit
50 menit
60 menit
75 menit
Tabel 5. Data Uji Biodegradabilitas Produk Biofoam Pada Berbagai Variasi
Waktu dan Suhu Proses
T(oC) t (menit) Kemampuan biodegradabilitas (hari ke-)
150
30 15
40 15
50 18
60 18
160
30 18
40 24
50 21
60 27
170
30 24
40 24
50 27
60 30
175
30 27
40 33
50 30
60 36
75 48
Gambar 4. Grafik Pengaruh Suhu dan Waktu Terhadap Kemampuan
Biodegradabilitas Biofoam
Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa semakin tinggi suhu
proses maka kemampuan biodegrabilitas produk semakin tinggi, sedangkan
14
semakin lama waktu proses yang digunakan maka kemampuan
biodegrabilitas produk juga semakin tinggi. Kemampuan biodegrabilitas
produk biofoam yang dihasilkan dapat terdegradasi sempurna setelah 36 hari
atau kurang lebih 5 minggu menggunakan metode composting. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Hidayati et al., (2015) yang
mengatakan bahwa biodegradable film dari Nata de casava dapat
terdegradasi sempurna selama 5 minggu menggunakan metode composting.
Sedangkan, pada penelitian Iriani (2013) mengatakan bahwa sampel
biofoam dari campuran tapioka, ampok dan PVOH telah ditumbuhi kapang
pada hari ke-5 dan terdegradasi sempurna setelah 2 minggu dengan
menggunakan media PDA (potato dextrose agar). Sebagai pembanding,
berdasarkan penelitian Etikaningrum (2017) pengujian terhadap sampel
styrofoam komersil menggunakan media PDA (potato dextrose agar)
diperoleh hasil bahwa pengamatan selama 15 hari menunjukkan tidak
ditemukan bercak hitam pada styrofoam. Hal ini menandakan bahwa sampel
styrofoam komersil tidak dapat terdegradasi oleh kapang Aspergilus niger.
4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diambil adalah: Pertama, semakin tinggi suhu proses yang
digunakan maka warna biofoam yang dihasilkan semakin gelap namun
tekstur biofoam semakin keras. Sedangkan, semakin tinggi suhu proses yang
digunakan maka waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan juga semakin
cepat. Kedua, semakin tinggi suhu dan waktu proses yang digunakan maka
daya serap air dan kemampuan biodegrabilitas produk semakin tinggi. Ketiga,
semakin tinggi suhu dan waktu proses yang digunakan maka kadar air dan
densitas produk semakin rendah. Keempat, kondisi operasi terbaik adalah
biofoam yang diproses pada suhu 175oC selama 60 menit dengan
penampakan visual putih kecoklatan dan tekstur keras. Sifat fisik pada
biofoam terbaik adalah memiliki nilai daya serap air sebesar 54,2763%, nilai
kadar air sebesar 5,9773%, densitas sebesar 4,4465 g/cm3 dan memiliki
kemampuan biodegradabilitas selama 36 hari.
15
4.2 Saran
Perlu adanya penelitian lanjutan menggunakan alat yang tidak manual
sehingga hasil biofoam lebih stabil dan untuk mendapatkan produk biofoam
yang dapat digunakan untuk wadah pangan dengan kadar air dan suhu yang
tinggi.
PERSANTUNAN
Terima kasih kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya. Saya ingin
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Eni Budiyati, S.T., M.Eng., atas bimbingan
selama ini diberikan, bapak dan ibu, serta teman-teman yang senantiasa
memberikan dukungan. Saya benar-benar bersyukur.
DAFTAR PUSTAKA
Akhadiarto, S. (2010) „Pengaruh pemanfaatan limbah kulit singkong dalam
pembuatan pelet ransum unggas‟, Teknik Lingkungan, 11(1), pp. 127–138.
Boonchaisuriya, A. and Chungsiriporn, J. (2011) „Biodegradable foams based on
cassava starch by compression‟, The 5th PSu-UNS International Conference
on Engineering and Technology (ICET-2011), pp. 71–74.
BPOM (2008) „InfoPOM‟, Kemasan Polistirena Foam (Styrofoam), 9(5), pp. 1–
12.
Cinelli, P., Chiellini, E., Lawton, J. W. and Imam, S. H. (2006) „Foamed articles
based on potato starch, corn fibers and poly(vinylalcohol)‟, Polym Degrad
Stabil, 91, pp. 1147-1155.
Debiagi, F., Mali, S., Grossmann, M. V. E. and Yamashita, F. (2011)
„Biodegradable foams based on starch, polyvinyl alcohol, chitosan and
sugarcane fibers obtained by extrusion‟, Brazilian Archives of Biology and
Technology, 54(5), pp. 1043–1052. doi: 10.1590/S1516-
89132011000500023.
Etikaningrum (2017) „Pengembangan Berbagai Modifikasi Serat Tandan Kosong
Sawit Pada Pembuatan Biofoam [Tesis]‟, Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Fang, Q. and Hanna, M. (2001) „Characterisitics of biodegradable Mater-Bi starch
base foams as affected by ingredient formulation‟, Ind. Crop Prod, 13, pp.
16
219.
Glenn, G. M. and Hsu, J. (1997) „Compression-formed starch-based plastic‟, Ind
Crops Prod, 7, pp. 37–44.
Hidayati, S., Zuidar, A.S., Ardiani, A. (2015) „Aplikasi Sorbitol pada Produksi
Biodegradable film dari Nata de Cassava. 2015‟, Reaktor Jurnal Teknik
Kimia, 15(3), pp. 196-204, doi: 10.14710/reaktor.15.3.195-203.
Iriani, E. V. I. S. (2013) „Pengembangan Produk Biodegradable Foam Berbahan
Baku Campuran Tapioka Dan Ampok [Disertasi]‟, Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Iriani Evi Savitri, Sunarti Titi C. and Richana Nur (2011) „Pengembangan
Biodegradable Foam Berbahan Baku Pati‟, Buletin Teknologi Pascapanen
Pertanian, 7(1), pp. 30–40.
Kaisangsri, N., Kerdchoechuen, O. and Laohakunjit, N. (2012) „Biodegradable
Foam Tray From Cassava Starch Blended With Natural Fiber And
Chitosan‟, Journal industrial Crops, 37(2012), pp. 542-546.
doi:10.1016/j.indcrop.2011.07.034.
Kaisangsri, N., Kerdchoechuen, O. and Laohakunji, N. (2014) „Characterization
of cassavastarch based foam blended with plant, proteins, kraft fiber, and
palm oil‟, Carbohydrate Polymers, 110, pp. 70-77, doi:
10.1016/j.carbpol.2014.03.067.
Lee, S. Y., Chen, H. and Hanna, M. A. (2008) „Preparation and characterization of
tapioca starch-poly(lactid acid)nanocomposite foams by melt intercalation
based on clay type‟, Industrial Crop and Products, 28(1), pp. 95-106,
doi:10.1016/j.indcrop.008.01.009.
Rahmatunisa, R. (2015) „Pengaruh Penambahan Nanopartikel ZNo dan Etilen
Glikol Pada Sifat Fungsional Kemasan Biodegradable Foam Dari Tapioka
Dan Ampok Jagung [Tesis]‟, Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rukmana, R. (1997) „Ubi Kayu, Budidaya dan Pascapanen‟. Jakarta : Penerbit
Kanisius.
Rusliana, E., Saleh, M. and Assagaf, M. (2014) „Penentuan Kodisi Proses Terbaik
Pembuatan Biofoam Dari Limbah Pertanian Lokal Maluku Utara‟, Seminar
Nasional Sains dan Teknologi 2014 Fakultas Teknik Universitas
17
Muhammadiyah Jakarta, (November), pp. 10–13.
Salgado, P. R., Schmidt, V. C., Ortiz, S. E. M., Mauri, A. N. and Laurindo, J. B.
(2008) „Biodegradable Foams Based On Cassava Starch, Sunflower Proteins
And Cellulose Fiber Obtained By A Baking Process‟, Journal of Food
Engineering, 85(3), pp. 435-443. doi:10.1016/j.jfoodeng.2007.08.005.
Schmidt, V. C. and Laurindo, J. B. (2010) „Characterization Of Foam Obtained
From Cassava Starch, Cellulose Fiber And Dolomitic Limestone By A
Thermopressing Process‟, Brazilian Archives of Biology Technology, 53(1),
pp. 185-192. http://dx.doi.org/10.1590/S1516-89132010000100023.
Shogren, R. L., Lawton, J. W., Doane, W. M., Tiefenbacher, K. F. (1998)
„Structure and morphology of baked starch foams‟, Polym, 39(25), pp.
6649-6655.
Soykeabkaew, N., Supaphol, P., Rujiravanit, R. (2004) „Preparation and
characterization of jute and flax reinforced starch-based composite foams‟,
Carbohydr Polym, 58, pp. 53-63.
Srithongkham, S., Vivitchanont, L. and Krongtaew, C. (2012) „Starch/Cellulose
Biocomposites Prepared by High-Shear Homogenization/Compression
Molding‟, Journal of Materials Science and Engineering B, 2(4), pp. 213–
222.
Sumada, K. and Puspita Erka Tamara. (2011) „Kajian Proses Isolasi α-Selulosa
Dari Limbah Batang Tanaman Manihot Esculenta Crantz Yang Efisien‟,
Jurnal Teknik Kimia, 5(2), pp. 434–438.
Utomo, Y. W. (2016) „Bandung Larang Penggunaan “Styrofoam” mulai 1
November 2016‟, Kompas.com.
Warsiki E, Iriani ES, Swandaru R. (2012) „Physical characteristics of microwave
assisted moulded foam cassava starch-corn hominy‟, Jurnal Teknik kimia
Indonesia, 10(2):108-115.