Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Pemutihan Karang

11
PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PEMUTIHAN KARANG (CORAL BLEACHING) DI PERAIRAN TROPIS Oleh: Laily Agustina Rahmawati Program Study Ilmu Lingkungan, Sekolah pasca Sarjana UGM Abstrak Pemanasan global mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan iklim, dan berdampak langsung terhadap kenaikan suhu permukaan air laut. Naiknya suhu permukaan air laut mengancam keberadaan ekosistem terumbu karang, dan memicu terjadinya coral bleaching atau pemutihan karang. Bleaching merupakan gambaran kondisi yang berkaitan dengan kepadatan rendah simbion karang dan ganggang kompleks, akibat gangguan simbiosis antara karang host dengan fotosintetik microalgae endosymbionts (zooxanthellae), sebagai respon terhadap tekanan panas. Kenaikan suhu direspon positif oleh virus, bakteri dan jamur karang sehingga karang lebih rentan terserang penyakit dan ikut memicu terjadinya bleaching. Kenaikan suhu permukaan air laut diprediksi akan terus meningkat dari waktu ke waktu. Ini berarti terdapat ancaman besar terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang di masa yang akan datang. Oleh karena itu dilakukan upaya perlindungan atau konservasi ekosistem terumbu karang, misalnya dengan manajemen Marine Protected Area (MPA). Namun dalam pelaksanaannya, manajemen MPA yang dilaksanakan pemerintah sering mengalami kegagalan, antara lain karena alasan keterbatasan dana dan kurangnya keterlibatan masyarakat. Hal tersebut dapat diatasi dengan menjalin kerjasama dengan pihak swasta untuk menutup kekurangan biaya konservasi dan melibatkan masyarakat dalam melaksanakan konservasi terumbu karang. Dengan demikian kelestarian terumbu karang akan tetap terjaga. Kata Kunci: perubahan iklim, coral bleaching, manajemen Marine Protected Area (MPA) Pendahuluan

description

Biotropika

Transcript of Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Pemutihan Karang

Page 1: Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Pemutihan Karang

PENGARUH PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PEMUTIHAN KARANG (CORAL BLEACHING) DI PERAIRAN TROPIS

Oleh: Laily Agustina RahmawatiProgram Study Ilmu Lingkungan, Sekolah pasca Sarjana UGM

Abstrak

Pemanasan global mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan iklim, dan berdampak

langsung terhadap kenaikan suhu permukaan air laut. Naiknya suhu permukaan air laut mengancam

keberadaan ekosistem terumbu karang, dan memicu terjadinya coral bleaching atau pemutihan

karang. Bleaching merupakan gambaran kondisi yang berkaitan dengan kepadatan rendah simbion

karang dan ganggang kompleks, akibat gangguan simbiosis antara karang host dengan fotosintetik

microalgae endosymbionts  (zooxanthellae), sebagai respon terhadap tekanan panas. Kenaikan suhu

direspon positif oleh virus, bakteri dan jamur karang sehingga karang lebih rentan terserang penyakit

dan ikut memicu terjadinya bleaching. Kenaikan suhu permukaan air laut diprediksi akan terus

meningkat dari waktu ke waktu. Ini berarti terdapat ancaman besar terhadap kelestarian ekosistem

terumbu karang di masa yang akan datang. Oleh karena itu dilakukan upaya perlindungan atau

konservasi ekosistem terumbu karang, misalnya dengan manajemen Marine Protected Area (MPA).

Namun dalam pelaksanaannya, manajemen MPA yang dilaksanakan pemerintah sering mengalami

kegagalan, antara lain karena alasan keterbatasan dana dan kurangnya keterlibatan masyarakat. Hal

tersebut dapat diatasi dengan menjalin kerjasama dengan pihak swasta untuk menutup kekurangan

biaya konservasi dan melibatkan masyarakat dalam melaksanakan konservasi terumbu karang.

Dengan demikian kelestarian terumbu karang akan tetap terjaga.

Kata Kunci: perubahan iklim, coral bleaching, manajemen Marine Protected Area (MPA)

PendahuluanIsu pemanasan global merupakan isu penting di abad 21. Pemanasan global mempunyai

pengaruh besar terhadap perubahan iklim, dan berdampak langsung terhadap kenaikan suhu

permukaan air laut (Keller et al. 2009). Naiknya suhu permukaan air laut mengancam keberadaan

ekosistem terumbu karang, dan memicu terjadinya bleaching atau pemutihan karang (Keller, et al.

2009; Guldberg 2009; Banin et al. 2000; Fit et al 2001; Barton et al 2005; Oxenford 2007).

Antara tahun 1961-2003 telah terjadi kenaikan suhu air laut sebesar 0,1 ºC (Bindoff 2007 dalam

Keller et al 2009), dan diprediksi seratus tahun yang akan datang (sekitar tahun 2099) suhu

permukaan air laut meningkat hingga 4 ºC. Padahal kenaikan suhu 1-3 ºC sudah menyebakan

terumbu karang mengalami bleaching, yang berlanjut kematian massal pada terumbu karang (Keller

et al. 2009). Jika degradasi terumbu karang terus terjadi, maka 30 tahun mendatang terumbu karang

diprediksi akan hilang dari muka bumi (Lydia et al, 2007). Ini berarti, ada ancaman yang sangat besar

terhadap keberlangsungan ekosistem terumbu karang dimasa yang akan datang.

Page 2: Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Pemutihan Karang

Kerusakan ekosistem terumbu karang berdampak pada penurunan fungsi ekosistem karang

bagi biota laut. Ikan-ikan terumbu karang yang menggantungkan hidupnya pada terumbu karang,

akan kehilangan tempat mencari makan dan berlindung (Keller et al. 2009). Kerusakan terumbu

karang harus dicegah dengan melakukan menejemen pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian

terumbu karang (Keller et al. 2009) yang pelaksanaannya dapat bekerjasama dengan pihak swasta

maupun dengan melibatkan masyarakat sekitar (Lydia et al, 2007; Camargo et al. 2008).

Tujuan penulisan paper ini adalah untuk mempelajari pengaruh perubahan iklim  (Climate

Change) terhadap pemutihan karang (Coral Bleaching). Berdasarkan jurnal yang ditulis Keller et al.

2009; Guldberg 2009; Banin et al. 2000; Fit et al 2001; Barton et al 2005; Oxenford 2007, peristiwa

pemutihan karang terkait erat dengan perubahan iklim. Selain itu juga untuk mengetahui bagaimana

proses terjadinya Coral Bleaching, apakah perubahan iklim menjadi satu-satunya faktor penyebab

peristiwa bleaching, atau kah ada faktor lain yang ikut berperan dalam peristiwa tersebut ( Banin et al.

2000; Fit et al. 2001; Keller et al. 2009). Dan upaya apa yang dapat dilakukan untuk mencegah

terjadinya Coral Bleaching (Keller et al. 2009; Lydia et al. 2007; Camargo et al. 2008), mengingat

peran ekosistem terumbu karang sangat penting.

Tulisan ini membahas proses terjadinya Coral Bleaching dan faktor-faktor yang berpengaruh,

terutama pengaruh perubahan iklim. Menurut Keller et al. 2009, perubahan iklim menyebabkan suhu

permukaan air laut dan tingkat keasaman air laut meningkat, sehingga memicu terjadinya Coral

Bleaching. Seperti yang terjadi di perairan Karibia pada akhir musim panas 2005, sebanyak 70,6 %

terumbu karang mengalami bleaching akibat perubahan iklim (Oxenford 2007). Untuk melihat

keterkaitan antara kenaikan suhu air laut dengan terjadinya Coral Bleaching, Barton, 2005,

menggunakan data historis Sea Suface Temperature (SST). Kenaikan suhu permukaan air laut,

menurut Cossins dan Browler 1987 dalam Fitt 2001, dapat menyebakan pemutusan proses enzimatik

dan disfungsi metabolik pada organisme penyusun karang. Dan secara tidak langsung akan

meningkatkan virulensi bakteri penyerang karang, seperti yang diungkapkan Banin et al. 2000,

sehingga memicu terjadinya bleaching.

Tulisan ini juga membahas mengenai ancaman keberlangsungan ekosistem terumbu karang

dimasa mendatang, mengingat suhu permukaan air laut akan terus meningkat karena perubahan

iklim (Keller et al. 2009; Guldberg 2009). Selain itu dibahas pula upaya perlindungan ekosistem

terumbu karang dengan menerapkan manajemen Marine Protected Area (MPA) berdasarkan Keller et

al. 2009. Manajemen MPA dilakukan untuk menekan terjadinya pemutihan karang dan menjaga

keberlangsungan fungsi ekosistem terumbu karang. Dalam pelaksanaannya, upaya perlindungan

dapat melibatkan pihak swasta dan masyarakat sekitar (Lydia et al, 2007; Camargo et al. 2008).

Pembahasan

Perubahan iklim merupakan ancaman terbesar terhadap kelestarian terumbu karang (Guldberg

2009, Barton et al. 2005). Habitat seperti terumbu karang sangat rentan terhadap perubahan iklim,

yang dibuktikan dengan terjadinya pemutihan masal selama 2 dekade (Keller et al. 2009). Perubahan

iklim juga menyebabkan ekosistem laut berubah, seperti meningkatnya suhu permukaan air laut,

meningkatnya keasaman air laut, kenaikan permukaan air laut, mengubah pola sirkulasi,

meningkatnya keparahan badai, dan mengubah influx air tawar. Sejak revolusi industri pH air laut

Page 3: Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Pemutihan Karang

turun 0,1 unit tiap tahun, dan  selama 100 tahun terakhir, permukaan aire laut naik 1 – 2 mm per

tahun (Keller et al. 2009).

Pemanasan suhu permukaan air laut banyak ditemukan di daerah tropis, terutama dibelahan

bumi bagian utara. Menurut Fit et al. 2001, tercatat pada abad yang lalu, rata-rata kenaikan suhu air

laut antara 0,07 – 0,5 °C tiap dekade. Menurut Keller et al. 2009 telah terjadi kenaikan suhu sebesar

0,1 °C pada kedalaman 0-700 meter dibawah permukaan air laut antara tahun 1961 – 2003. Menurut

Barton et al. 2005 suhu permukaan air laut global meningkat 0,4 – 0,8 °C sejak akhir abad-19 dan

diprediksi akan terus meningkat dimasa mendatang.

Selama 20 tahun, banyak literatur meyakinkan bahwa tingginya suhu permukaan air laut

merupakan penyebab utama terjadinya bleaching (Fit et al. 2001; Keller et al. 2009). Peningkatan

suhu 1 – 3 °C, sering menyebabkan peristiwa pemutihan terumbu karang yang cukup parah yang

berlanjut pada kematian karang yang semakin meluas, kecuali terjadi adaptasi termal atau

aklimatisasi karang (Keller et al. 2009). Menurut Guldberg 2009, program ”Hotspot” di National

Atmospheric Administration secara akurat memprediksi bahwa terumbu karang sudah akan

mengalami pemutihan jika suhu air laut meningkat 1 °C di atas suhu jangka panjang air laut pada

musim panas. Lebih dari itu peningkatan suhu air laut sebesar 2 °C selama 4 minggu menyebabkan

sebagian besar jenis karang memutih. Jenis karang Arcopora dan Stylopora akan mengalami

bleaching pertamakali jika suhu permukaan air laut naik 1 °C, sedang karang yang lain seperti Porites

lebih toleran terhadap kenaikan suhu permuakaan air laut, biasanya lebih dari 1-2 °C.

Peningkatan suhu air laut mempengaruhi proses fisiologi organisme dan mempengaruhi

proses-proses ekologi seperti mencari makan, pertumbuhan, penyebaran dan durasi larva, serta pada

rentang geografi spesies. Kenaikan suhu juga direspon positif oleh virus, bakteri dan jamur karang,

selama masih pada batas fisologis mereka. Kenaikan suhu menyebabkan karang lebih rentan

terserang penyakit, seperti penyakit white-band yang ikut memicu terjadinya bleaching (Keller et al.

2009).

Fit et al. 2001 mengatakan bahwa bleaching merupakan gambaran kondisi yang berkaitan

dengan kepadatan rendah simbion karang dan ganggang kompleks, sebagai respon terhadap

tekanan panas. Bleaching didefinisikan hilangnya simbion alga dengan pigmennya atau tidak,

sebagai respon klasik pada simbiosis karang tropis terhadap berbagai tekanan lingkungan termasuk

kenaikan suhu air laut. Fit et al. 2001 mengelompokkan bleaching karang akibat tekanan suhu tinggi

menjadi 3 jenis, yaitu:

1). Physiological bleaching, merupakan peristiwa pemutihan karang yang terjadi akibat gangguan

fisiologis sebagai respon terhadap suhu yang lebih tinggi dari pada suhu normal.

2). Algal-stress bleaching, meliputi disfungsi simbiosis alga pada pencahayaan yang tinggi atau pada

suhu yang tinggi.

3). Animal-stress bleaching, dimana sel-sel koral yang mengandung alga simbiotik terlepas dari lapisan

gastrodermal akibat tekanan suhu tinggi.

Menurut Banin et al. 2000, bleaching terjadi akibat gangguan simbiosis antara karang host

dengan fotosintetik microalgae endosymbionts (zooxanthellae). Gangguan bisa disebabkan karena

Page 4: Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Pemutihan Karang

bakteri patogen. Misalnya pemutihan karang Oculina patagonica di laut Mediterania disebabkan oleh

bakteri Vibrio shiloi. Ketika suhu air laut naik dan memungkinkan bakteri menjadi virulen.

Banin et al. 2000 membagi tahapan infeksi Vibrio shiloi terhadap karang Oculina patagonica,

menjadi 4 tahap: 1). Adhesi pada permukaan karang, 2). Penetrasi pada jaringan karang, 3). Bakteri

mengganda di dalam jaringan, 4). Produksi toxin. Bakteri yang virulen menginfeksi pada permukaan

karang, kemudian menembus jaringan karang dan menghasilkan material ekstraseluler yang

menghambat fotosintesis algae dan membuat algae memutih kemudian lisis. Suhu yang tinggi

menginduksi berbagai faktor mematikan dalam agen infeksi penyakit, V. shiloi. Pada suhu yang lebih

tinggi, toxin menjadi lebih aktif dan kemampuan menghalangi proses fotosintesis pun menjadi lebih

besar.

Tekanan panas juga menyebabkan kerusakan / gangguan pada jalur enzimatik, yang

menyebabkan disfungsi biokimia dan metabolik. Tingkat tekanan tergantung pada suhu absolut,

panjang penyinaran, dan keberadaan faktor lingkungan lain (salinitas, cahaya, dan pergerakan air)

(Fit et al. 2001).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fit et al. 2001 karang akan mati jika: 1). dihadapkan

pada suhu yang tinggi dalam jangka waktu yang lama, 2). dihadapkan pada lethal temperature (suhu

yang menyebabkan kematian) meskipun dalam jangka waktu pendek, 3). dihadapkan pada sublethal

temperature dalam waktu paparan yang panjang. Paparan sinar matahari yang panjang dengan suhu

yang tinggi mengakibatkan kepadatan simbion alga, jaringan protein karang, konsentrasi alga

berklorofil, dan abnormalitas histologi mengalami penurunan dari waktu ke waktu seiring dengan

kenaikan suhu. 

Coral bleaching menyebabkan hilangnya kehidupan karang dan penurunan fungsi ekosistem

terumbu karang (Barton et al. 2005). Dalam konteks klimatologi, untuk mencegah coral bleaching

dalam skala yang lebih besar dimasa yang akan datang akibat kenaikan suhu,  Barton et al. 2005

menggunakan data Sea Surface Temperature (SST). Data ini dapat membantu mengetahui

keterkaitan antara coral bleaching dengan kondisi thermal (suhu). Data SST menyediakan rekaman

suhu secara historis dalam ekosistem terumbu karang dan dapat menunjukkan terjadinya coral

bleaching dan penyimpangan suhu yang terjadi hampir diseluruh dunia pada sepuluh tahun terakhir.

Peristiwa pemutihan karang terparah dan terluas terjadi pada tahun 1997-1998 yang meliputi

42 negara, antara lain: di bagian selatan Jepang, Sri Lanka, India, Indopasifik, kenya, dan dibeberapa

negara tropis lain. Kejadian coral bleaching dalam skala besar terkait dengan tekanan suhu. Ini dapat

dilihat bahwa bleaching terparah terjadi di musim yang paling panas (Fit et al. 2001).

Kenaikan suhu berkaitan dengan peningkatan konsentrasi gas karbon dioksida dan gas rumah

kaca lainnya di atmosfer (Fit et al. 2001). Konsentrasi karbon yang berlipat ganda di atmosfer,

menyebabkan perubahan besar terhadap lingkungan laut, khususnya pada organisme yang

membangun skeletal (kerangka) dari kalsium karbonat (CaCO3). Perairan menyerap sekitar 1/3

karbon di udara yang dihasilkan oleh aktifitas manusia (Keller et al. 2009). Tingginya kandungan CO2

terlarut dalam air yang lebih dingin, menyebabkan perkembangan terumbu karang di latitudinal

margin menunjukkan respon yang cepat dan dramatis terhadap perubahan pH. Beradasarkan hasil

study yang dilakukan Keller et al. 2009, diketahui bahwa peningkatan keasaman air laut secara

Page 5: Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Pemutihan Karang

signifikan mengurangi kemampuan terumbu karang untuk membangun kerangkanya, mempengaruhi

pertumbuhan individu karang dan membuat karang lebih rentan terhadap erosi.

Konsep ambang batas termal digunakan untuk membantu memahami peristiwa bleaching dan

membantu meprediksi frekuensi dan intensitas terjadinya bleaching. Ambang batas termal ditetapkan

dengan mengetahui batas suhu masing-masing spesies terumbu karang. Data “Hot-Spot” yang

menunjukkan secara detail tentang anomali suhu secara global bersamaan dengan indeks  “Degree

Heating Weeks”, yang menunjukkan keterkaitan durasi dan besarnya hot-spot terhadap waktu

bleaching, digunakan sebagai alarm penanda terjadinya bleaching (Fit et al. 2001).

Banyak penelitian telah dilakukan secara hati-hati untuk memantau dan memprediksi dalam

jangka panjang, meyakinkan bahwa ekosistem terumbu karang akan terus menghadapi tantangan

terutama dari peningkatan suhu dan keasamaan air laut. Kelestarian terumbu karang kedepan

diragukan, jika suhu dan keasaman air laut meningkat secara kontinyu hingga pada tingkat yang

belum pernah terjadi sebelumnya (Guldberg 2009). Hingga pada tahun 2090 – 2099, sebagaimana

prediksi IPPC dalam Keller et al. 2009, akan terjadi peningkatan rata-rata suhu permukaan air laut 1,8

– 4 °C, yang utamanya disebabkan karena peningkatan CO2 di atmosfer.

Oxenford et al. 2007 menyatakan bahwa pada akhir musim panas tahun 2005, terjadi bleaching

masal terumbu karang di perairan Karibia. Rata-rata 70,6 % dari seluruh koloni terumbu karang di

hampir semua habitat dan taxa, mengalami  bleaching.  Terumbu karang dekat pantai (di kedalaman

< 10 m) terkena dampak bleaching yang lebih berat yaitu dengan rata-rata bleaching sebesar 80,6 %,

jika dibandingkan dengan terumbu karang yang ada di lepas pantai (di kedalaman >15 m) yang

mengalami rata-rata bleaching sebesar 60,5 %. Dari total variasi inter-species, >90% koloni karang

mengalami bleaching. Indikasi bleaching pada terumbu karang akan terus berlangsung selama kurun

waktu tertentu di masa mendatang. Kejadian tersebut menggambarkan episode pemutihan terumbu

karang terparah di Barbados dan tekanan kerentanannya terhadap peristiwa bleaching, yang

berkaitan erat dengan kenaikan suhu permukaan air laut sebagai dampak dari perubahan iklim global.

Ancaman kerusakan ekosistem terumbu karang yang sangat parah di masa yang akan datang

harus ditekan dengan melakukan upaya perlindungan atau konservasi, misalnya dengan menerapkan

manajemen Marine Protected Area (MPA). Menurut Keller et al. 2009, manajemen Marine Protected

Area (MPA) dilakukan untuk menekan terjadinya pemutihan karang dan menjaga keberlangsungan

fungsi ekosistem terumbu karang. Jaringan MPA secara potensial dianggap merupakan manajemen

efektif untuk konservasi biodiversitas yang ada di laut. Manajemen MPA menggunakan pendekatan

berbasis ekologi untuk menjaga keberlangsungan ekosistem karang dimasa mendatang.

Berdasarkan Keller et al. 2009, ada 4 manajemen pilihan yang diterapkan dalam MPA adalah:

1). Memperbaiki daerah-daerah yang mengalami tekanan, misalnya dengan mengurangi dampak tekanan

berskala lokal maupun regional seperti, pengambilan ikan berlebih, input nutrien ke laut, sedimentasi

dan polusi serta penurunan kualitas air laut

2). Melindungi daerah yang berpotensi untuk bertahan. Ada 2 tipe terumbu karang yang memiliki potensi

bertahan terhadap tekanan, yaitu terumbu karang selamat dari bleaching dan terumbu karang yang

tidak terpapar oleh kenaikan suhu permukaan air laut (karena terletak di daerah yang terekspose

upwelling atau daerah yang memiliki arus yang lebih dingin);

Page 6: Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Pemutihan Karang

3). Mengembangkan jaringan MPA. Desaign jaringan MPA ditujukan untuk mengatasi dampak perubahan

iklim;

4). Mengintegrasikan perubahan iklim dalam perencanaan, manajemen, dan evaluasi MPA. Penelitian

lebih jauh dibutuhkan untuk mengetahui dampak tingginya konsentrasi CO2 di laut, kemungkinan

aklimatisasi atau evolusi organisme dalam merespon perubahan air laut, dan bagaimana respon

manajemen.

Dalam pelaksanaan manajemen MPA, manager dan ilmuwan harus bekerjasama dengan

stakeholder untuk menangani dampak perubahan iklim, dan respon ekosistem, serta dalam

menentukan manajemen respon yang paling baik yang didasarkan pada ilmu pengetahuan. Dengan

demikian diharapkan coral bleaching dapat ditekan.

Namun dalam kenyataannya, pelaksanaan manajemen MPA seringkali mengalami kegagalan,

seperti yang diungkap Lydia et al. 2007. Menurut Lydia et al. 2007 banyak MPA yang diterapkan di

negara berkembang mengalami kegagalan karena kekurangan biaya untuk pelaksanaan dan

monitoring konservasi. Investasi dan manajemen swasta dalam MPA menawarkan solusi potensial

dan telah diaplikasikan dengan hasil yang positif di Sugud Island Marine Conservation Area (SIMCA)

di Sabah, Malaysia. Biaya konservasi diambil dari pengunjung daerah wisata dive (selam) Lankayan,

yang masih termasuk dalam wilayah konservasi SIMCA. Dalam pelaksanaannya, sistem manajemen

tersebut telah membangkitkan sumber keuangan yang berkelanjutan untuk menutup biaya

manajemen daerah konservasi, yang secara terpisah dikelola oleh organisasi swasta yang disebut

Reef Guardian. Ketersediaan biaya yang memadai memungkinkan Reef Guardian berinvestasi

dengan memberi pelatihan kepada pegawai, dan menggunakan teknologi untuk mengawasi

pelaksanaan peraturan dan perundang-undangan di area konservasi. Manajemen swasta dapat

mengkonservasi secara efektif biodiversitas yang ada di MPA, dan berjalan dengan sukses di lokasi-

lokasi yang sesuai.

Kegagalan manajemen MPA biasanya juga disebabkan karena kurangnya keterlibatan

masyarakat dalam pelaksanaan konservasi (Camargo at al. 2008). Camargo at al. 2008 memberi

contoh kasus yang terjadi di MPA Cartagena, Colombia, dimana sumberdaya alam di daerah lindung

tersebut mengalami penurunan secara konstan. Penutupan terumbu karang di dalam maupun diluar

MPA juga semakin sedikit, dan menunjukkan telah terjadi degradasi habitat terumbu karang.

Ketidakberhasilan manajemen MPA di Cartagena, Colombia, ternyata disebabkan oleh tingkat

pendapatan yang rendah dan sedikitnya kesempatan masyararakat yang tinggal di dalam maupun di

sekitar kawasan lindung untuk ikut berpartisipasi dalam upaya konservasi, serta lemahnya

komunikasi antara steakholder dengan penguasa. Akibatnya, masalah-masalah yang timbul di area

tersebut adalah masalah-masalah yang terkait erat dengan eksploitasi sumberdaya alam. Masyarakat

tidak mau mematuhi aturan di area konservasi.

Hal di atas menunjukkan bahwa pendirian kawasan lindung adalah perlu, akan tetapi tidak

cukup menjamin tercapainya tujuan konservasi. Mengabaikan peran masyarakat local hanya akan

memperburuk masalah yang terkait dengan sumber daya alam. Keterlibatan masyarakat dalam

pengelolaan ekosistem strategis tampaknya menjadi suatu keharusan untuk meningkatkan

keefektifan kawasan lindung. Dan strategi partisipatif, seperti co-management, akan memberi

Page 7: Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Pemutihan Karang

kesempatan kepada masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan MPA (Camargo at al.

2008).

Kesimpulan

Perubahan iklim berpengaruh besar terhadap naiknya suhu permukaan air laut yang

merupakan penyebab utama coral bleaching. Suhu permukaan air laut yang tinggi, menyebabkan

simbiosis antara karang host dan fotosintetik microalgae (zooxantella) terganggu. Naiknya suhu

permukaan air laut juga direspon positif oleh virus, bakteri dan jamur karang, sehingga karang lebih

rentan terserang penyakit dan ikut memicu terjadinya bleaching. Peningkatan suhu permukaan yang

terjadi terus-menerus meberikan ancaman terhadap kelestarian terumbu karang di masa mendatang.

Sehingga upaya perlindungan diperlukan untuk menjaga kelestarian terumbu karang, misalnya

dengan manajemen Marine Protected Area (MPA). Dalam pelaksanaanya, manajemen MPA dapat

melibatkan pihak swasta dan masyarakat supaya upaya konservasi berlangsung secara efektif dan

efisien. Pelibatan pihak swasta dapat membantu mengatasi kekurangan biaya konservasi. Sedang

pelibatan masyarakat dapat menekan terjadinya kerusakan ekosistem karang akibat eksploitasi oleh

masyarakat sekitar.

Referensi

Banin E, Ben-Haim Y, Israely T, Loya Y, Rosenberg E (2000) Effect of The Environtment on The Bacterial Bleching of Coral. Water, Air, and Soil Pollution 123: 337–352

Barton AD, Casey AS (2005) Climatological context for large-scale coral bleaching. Coral Reefs (2005) 24: 536–554. DOI 10.1007/s00338-005-0017-1

Camargo C, Maldonado JH, Alvarado E,  Sánchez  RM, Mendoza S, Manrique N, Mogollón A, Osorio JD, Grajales A, Sánchez JA (2008) Community involvement in management for maintaining coral reef resilience and biodiversity in southern Caribbean marine protected areas. Biodivers Conserv (2009). DOI 10.1007/s10531-008-9555-5

Fitt WK, Brown BE, Warner ME, Dunne RP (2001) Coral Bleaching: Interpretation of Thermal Tolerance Limits and Thermal Thresholds in Tropical Corals. Coral Reefs 20: 51-65. DOI 10.1007/s003380100146

Guldberg OH (2009) Climate change and coral reefs: Trojan horse or false prophecy? A response to Maynard et al, 2008. Coral Reefs 28:569–575. DOI 10.1007/s00338-009-0508-6

Keller BD, Gleason DF, McLeod E, Woodley CM, Airame S, Causey BD, Friedlander AM, Dunsmore RG, Johnson JE, Miller SL, Steneck RS (2009) Climate Change, Coral Reef Ecosystems, and Management Options for Marine Protected Areas. Environmental Management. DOI 10.1007/s00267-009-9346-0

Lydia, Louise, Chung FC (2007) A private management approach to coral reef conservation in Sabah, Malaysia. Biodivers Conserv (2008). DOI 10.1007/s10531-007-9266-3

Oxenford HA, Roach R, Brathwaite A, Nurse L, Goodridge R, Hinds F, Baldwin K, Finney C (2007) Quantitative observations of a major coral bleaching event in Barbados, Southeastern Caribbean. Climatic Change (2008) 87:435–449. DOI 10.1007/s10584-007-9311-y