Pengaruh penambahan asam lemak pada pakan terhadap rasio dha
-
Upload
lisa-ruliaty-631971 -
Category
Technology
-
view
349 -
download
2
Transcript of Pengaruh penambahan asam lemak pada pakan terhadap rasio dha
PENGARUH PENAMBAHAN ASAM LEMAK PADA PAKAN TERHADAP RASIO
EPA/DHA TELUR IKAN BANDENG.
Oleh:
Lisa Ruliaty, M.Rizal dan Agus Basyar
ABSTRAK
Kegiatan pengujian pengaruh penambahan asam lemak pada pakan terhadap rasio EPA/DHA
telur ikan bandeng telah dilakukan di BBPBAP Jepara. Pengujian ini dilakukan dengan mengambil nilai
rasio EPA/DHA pada telur bandeng yang telah di perkaya dan larvanya. Pendekatan nilai rasio
EPA/DHA tersebut dilakukan dengan memperkaya pakan pellet induk bandeng. Di harapkan dengan
pendekatan ini dapat meningkatkan mutu induk bandeng yang terlihat dari keragaan pemijahan dan
kualitas nener yang di hasilkan.
Pengkayaan pellet induk (perlakuan B) dengan bahan telur bebek, madu, vitamin C dan vitamin
E meningkatkan nilai EPA maupun DHA pada pellet bandeng secara signifikan. Kandungan EPA dan
DHA pada telur bandeng pada perlakuan B meningkat 2 kali lipatnya bila dibandingkan dengan telur
bandeng pada perlakuan A. Pengkayaan pellet induk bandeng dengan bahan tinggi asam lemak tidak
memberikan pengaruh terhadap jumlah telur yang di hasilkan maupun pada nilai produktifitas induk
bandeng yang di ujikan. Namun terjadi peningkatan terhadap kualitas telur yang di hasilkan yang di
tandai dengan meningkatnya nilai derajat pembuahan serta hatching rate telur bandeng.
Kata Kunci : rasio epa/dha, fekunditas, ikan bandeng.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Upaya untuk meningkatkan mutu induk tidak terlepas dari faktor nutrisi dari calon induk
dimana telah dibuktikan bahwa nutrisi bagi calon induk berperan dalam meningkatkan laju
kematangan gonad, frekuensi pemijahan, fekunditas, daya tetas telur, tingkat kelangsungan hidup
dan kualitas larva yang dihasilkan (Harrison dalam Djunaidah, 2001). Asam lemak tak jenuh
rantai panjang (HUFA) biasanya sangat dibutuhkan oleh ikan, karena tidak dapat disintesa
sendiri didalam tubuh ikan sehingga harus dipasok dari luar melalui pakan. Asam lemak tersebut
antara lain asam linoleat, asam linilenat, asam arachidonat, asam eicosapenataenoat (EPA) dan
asam docosahaexanoat (DHA). Asam lemak esensial juga sangat dibutuhkan oleh ikan karena
kemampuannya yang terbatas dalam melakukan biosintesis PUFA sehingga PUFA tersebut
harus terdapat dalam pakannya (Sunyoto, 1996). Kanazawa et al dalam Furuita et al (1996),
mengatakan bahwa EPA lebih superior pengaruhnya dibandingkan dengan DHA. DHA
berfungsi untuk memperbaiki pertumbuhan sedangkan EPA efektif untuk kelangsungan hidup.
Pakan pertama-tama akan dimanfaatkan oleh organisme untuk mempertahankan kelangsungan
hidup, apabila ada kelebihan baru dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Kekurangan EPA dapat
mengurangi kemampuan penglihatan dan terjadinya pigmentasi abnormal. EPA sangat berguna
untuk mengembangkan otak dan retina larva ikan, karena ikan tergantung pada mata dan otak
untuk mengidentifikasi sesuatu, untuk berburu dan untuk memangsa pakan hidup.
Kandungan EPA dan DHA pada telur maupun larva ikan bandeng lebih tinggi bila di
bandingkan pada ikan bandeng dewasa. Pada bandeng laut dewasa kandungan EPA dan DHA
sebesar 1.76 dan 1.39 (g/100 g edible portion), dan pada bandeng dewasa tambak, yaitu masing-
masing 1.44 EPA dan 0.44 DHA (Rachmansyah dkk, 2002 dalam Rachmansyah, 2004).
Asam lemak tidak hanya berperan untuk larva ikan, tetapi juga sangat penting bagi
reproduksi (Izquierdo, 2005). Nutrisi mempunyai dampak yang nyata terhadap perkembangan
ovari, jumlah telur dan perkembangan larva (Mazorra et al.2003), namun nutrisi untuk induk
masih memerlukan studi yang mendalam (Izquierdo et al., 2001). Lipida yang dimaksud di atas
terutama golongan PUFA seperti eicosapentaenoic acid (20:5 n-3; EPA) dan docosahexaenoic
acid (22:6 n-3; DHA) telah terbukti berhubungan erat dengan keberhasilan reproduksi ikan
(Watanabe & Vassallo-Agius, 2003; Li et al., 2005). Beberapa studi menunjukkan kebutuhan
lipida justru tertinggi saat vitellogenesis (pembentukan kuning telur). Kebutuhan akan EPA
dimulai pada periode previtellogenesis sampai kepada proses ovulasi. Dengan demikian EPA dan
DHA penting sekali ditambahkan sebagai zat tambahan dalam pakan induk untuk pertumbuhan
dan perkembangan larva yang normal. Penambahan asam lemak esensial dalam pakan induk
dapat dilakukan melalui pemberian pakan hidup yang telah dikayakan ataupun pakan komersial
yang sudah ditentukan formulanya (Sargent et al. 2002; Lane & Kohler, 2006). Kombinasi yang
tepat antara DHA dan AA ditemukan juga dapat mempercepat tingkat pemijahan serta laju
penetasan; juga meningkatkan ketahanan hidup larva (Furuita et al., 2003; Place & Harel, 2006;
Sawanboonchun, 2009).
Ikan air tawar tidak membutuhkan asam lemak tidak jenuh (HUFA) rantai panjang, tetapi
asam lemak jenis C18 n-3 yaitu asam linolenat (18:3-n-3) dengan konsentrasi berkisar antara 0,5
– 1,5 % dalam pakan (Craig & Helfrich, 2002). Asam lemak ini tidak dapat diproduksi dalam
tubuh dan harus diperoleh dari pakan, kemudian dengan bantuan enzim diubah menjadi rantai
hidrokarbon yang panjang. Pembentukan ikatan ganda membentuk HUFA, EPA dan DHA
sangat penting untuk fungsi metabolik dan komponen dalam membran sel (Craig & Helfrich,
2002; Lall et al., 2002). Ikan laut tidak memiliki sistim enzim seperti yang ada pada ikan air
tawar, sehingga ikan laut sangat membutuhkan HUFA rantai panjang n-3 dan n-6 dari pakan
untuk pertumbuhan yang optimum (Ibeas et al., 2000; Yildiz, 2008). Asam lemak esensial yang
sangat dibutuhkan ini adalah asam eikosapenta-noat (EPA) (20:4n–6) dan asam dokosa-
heksaenoat (DHA) (22:6n–3) juga asam arakidonat (AA) (20:4n–6) (Higgs & Dong, 2000;
Seiffert et al., 2001; Tocher, 2003)
Biasanya asam lemak tidak jenuh ini disintesis dari asam lemak C-18. EPA dan DHA
dibutuhkan untuk fungsi membran sel, sedangkan DHA sangat penting untuk membran sel dari
jaringan saraf dan sebagai prekursor untuk pembentukan eikosanoat yaitu beberapa macam
hormon (Tocher, 2003). Kekurangan asam lemak esensial akan menyebabkan gangguan pada
kesehatan ikan termasuk di dalamnya berkurangnya fekunditas dan kemampuan membentuk
embrio, kematian larva dan pertumbuhan abnormal, pigmentasi yang salah, penglihatan yang
cacat, ketidak-mampuan untuk makan pada intensitas ca-haya yang rendah, tingkah laku yang
ab-normal dan menurunnya fungsi membran pada suhu yang rendah (Tocher, 2003). Kebutuhan
asam lemak esensial bagi spesis ikan laut berkisar antara 0,5-2% dari berat pakan kering (NRC,
1993). Kebutuh-an ini juga sangat tergantung pada kemam-puan ikan secara alami dalam
menguraikan asam lemak esensial baik secara anabolis maupun katabolis (Sargent et al., 2002).
Produksi larva yang masih berukuran sangat kecil dengan masa pertumbuhan yang cepat
serta stadia hidup yang masih rentan merupakan masalah dalam akuakultur secara komersil pada
kebanyakan spesis ikan laut. Isu utama dalam pengembangan akuakultur berkelanjutan adalah
menghasilkan telur-telur yang berkualitas baik dan penyediaan pakan larvanya (Sargent et al.,
2002; Brown et al., 2003). Pada pemeliharaan larva setelah masa penyerapan kuning telur
selesai, pemberian pakan hidup dengan nutrisi yang tepat sangat perlu bagi pertumbuhan larva.
Larva membutuhkan HUFA rantai panjang (C ≥ 20 dengan ikatan ganda ≥ 3) (Izquierdo et al.,
2000). Kebutuhan HUFA untuk ukuran juvenil berkisar antara 0,5 – 1,0 % berat kering pakan;
namun kebutuhan pada larva stadia awal lebih. tinggi lagi yaitu > 4% (Leger et al, 1986). Larva
membutuhkannya karena pertumbuhan yang cepat serta untuk pembentukkan awal dari sel dan
jaringan. Meningkatnya kandungan PUFA, khususnya DHA (docosahexaenoic) dan AA
(arachidonic acid) juga ditemukan pada ikan guppy (Poecilia reticulata) dan bandeng (Chanos
chanos) saat salinitas meningkat, menunjukkan pentingnya peran asam lemak tersebut di atas
terhadap pengaturan osmoregulasi serta ketahanan terhadap stres (Lall, 2000; Balfry & Higgs,
2001; Place & Harel, 2006). Larva ikan saat makan sangat membutuhkan visual yang optimal.
Dengan demikian perkembangan penglihatan pada ikan-ikan sangat penting. Seperti halnya pada
gilthead seabream dan red porgy (Roo et al., 1999), perkembangan struktur penglihatan terjadi
pada stadia embrio; alat penerima cahaya sangat penting untuk melihat dengan tepat meskipun
pada intensitas cahaya yang rendah (pada gilthead seabream organ mata terbentuk 18 hari setelah
menetas). Asam lemak esensial terutama DHA berperan sangat penting dalam pembentukkan
jaringan retina dan saraf. Studi menunjukkan kandungan DHA dan EPA yang tinggi pada
gilthead seabream dapat meningkatkan diameter bola mata gilthead seabream, meningkatnya
jumlah fotoreseptor, sehingga memperbaiki ketepatan penglihatan (Izquierdo et al., 2000).
1.2. Tujuan
Meningkatkan rasio EPA/DHA pada telur bandeng dengan penambahan asam lemak
sehingga dapat meningkatkan fekunditas induk ikan bandeng (Chanos chanos).
II. METODA
2.1. Bahan dan Alat
Bahan yang diperlukan pada pengujian ini antara lain : induk ikan bandeng, bahan
pengkaya, pellet induk ikan bandeng dengan kandungan protein >40%, telur ikan bandeng, larva
ikan bandeng dan air laut. Sedangkan untuk peralatan yang diperlukan antara lain: bak induk
ikan bandeng, sarana aerasi, pompa dan pressure sand filter, mesin blender, ember, gayung dan
plastik.
2.2. Metode
Kegiatan ini dilakukan dengan mengambil nilai rasio EPA/DHA pada telur bandeng yang
telah di perkaya. Pendekatan nilai rasio EPA/DHA tersebut dilakukan dengan memperkaya
pakan pellet induk bandeng. Di harapkan dengan pendekatan ini dapat meningkatkan mutu induk
bandeng yang terlihat dari keragaan pemijahan dan kualitas nener yang di hasilkan.
Induk di pelihara pada bak beton dengan kedalaman ± 2 m dan di lengkapi dengan aerasi
kuat sampai dasar bak serta di tutup dengan jarring. Pergantian air minimal 200 % setiap hari
dan sisa makanan disiphon setiap minggu. Pemberian pakan diberikan 2~3 % dari bobot biomas
per hari diberikan 2 kali per hari yaitu pagi dan sore hari. Pakan yang diberikan telah di perkaya
dengan bahan pengkaya dengan cara mencampurkannya pada pakan. Bahan pengkaya pellet
berupa campuran 10 butir telur bebek, 100 ml madu, 6 g vitamin C dan 3 g vitamin E yang di
blender menjadi satu hingga menjadi emulsi. Bahan tersebut kemudian di campurkan untuk 10
kg pellet menggunakan alat semprot sehingga merata ke permukaan pellet.
Kepadatan induk tidak lebih dari satu induk per 2-4 m3 air. Pemijahan umumnya pada
malam hari. Induk jantan mengeluarkan sperma dan induk betina mengeluarkan telur sehingga
fertilisasi terjadi secara eksternal. Induk Bandeng memijah pada malam hari. Telurnya bersifat
melayang dan akan terkumpul di egg colector yang telah diberi saringan ukuran 500 µm.
Pemanenan telur dilakukan pada pagi hari sebelum sinar matahari panas atau sebelum pukul 7
pagi. Selanjutnya telur diseleksi, telur yang baik akan mengapung dan yang jelek akan
mengendap. Telur hasil seleksi lalu di tebar di bak larva yang sudah dipersiapkan. Untuk
penebaran telur pada bak ukuran 10 m3
dengan ketinggian air 75 cm sebanyak 100.000 – 150.000
butir telur. Setelah 18 – 21 jam telur akan menetas.
Pengamatan
Dilakukan pengamatan terhadap rasio EPA/DHA pada telur bandeng yang tidak di
perkaya pakannya, rasio EPA/DHA terhadap terlur bandeng yang diperkaya pakan, dan keragaan
pemijahan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Analisa asam lemak
Pengkayaan pellet induk (perlakuan B) dengan bahan telur bebek, madu, vitamin C dan
vitamin E meningkatkan nilai EPA maupun DHA pada pellet bandeng secara signifikan. Selain
itu, dengan pengkayaan selain EPA dan DHA juga terdeteksi 4 jenis asam lemak lain pada pellet
yang di perkaya tersebut (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil analisa asam lemak pada pellet induk ikan bandeng
No. Perlakuan Asam Lemak (mg/100 g b/b) Keterangan
EPA DHA
1. Tanpa pengkayaan
(Perlakuan A)
0 0 Tidak terdeteksi
asam lemak lain
2. Diperkaya madu + telur
bebek + vit C + vit E
(Perlakuan B)
63,86 170,32 Terdeteksi 4 jenis
asam lemak lain
Telur bandeng pada perlakuan A sudah memiliki kandungan EPA dan DHA, berdasarkan
hasil analisa di dapatkan nilai EPA sebesar 8,4197 mg/100 g b/b dan DHA sebesar 16,2679
mg/100 g b/b. Kandungan EPA dan DHA pada telur bandeng pada perlakuan B meningkat 2
kali lipatnya bila dibandingkan dengan telur bandeng pada perlakuan A. Nilai EPA pada
perlakuan B sebesar 28,6600 mg/100 g b/b dan nilai DHA sebesar 26,0420 mg/100 g b/b.
Peningkatan kandungan EPA dan DHA pada perlakuan B memberikan pengaruh terhadap rasio
EPA/DHA. Dimana rasio EPA/DHA pada perlakuan B memberikan nilai sebesar 1,1005
sedangkan pada perlakuan A hanya sebesar 0,5176 (Tabel 2 dan Grafik 1).
Tabel 2. Hasil analisa asam lemak pada telur ikan bandeng dan rasio EPA/DHA
NO Perlakuan Asam Lemak (mg/100 g b/b) Rasio
EPA/DHA EPA DHA
1. Telur Perlakuan A 8,4197 16,2679 0,5176
2. Telur Perlakuan B 28,660 26,042 1,1005
Grafik 1. Rasio EPA/DHA pada telur bandeng
Kandungan EPA dan DHA pada telur maupun larva ikan bandeng lebih tinggi bila di
bandingkan pada ikan bandeng dewasa. Pada bandeng laut dewasa kandungan EPA dan DHA
sebesar 1.76 dan 1.39 (g/100 g edible portion), dan pada bandeng dewasa tambak, yaitu masing-
masing 1.44 EPA dan 0.44 DHA (Rachmansyah dkk, 2002 dalam Rachmansyah, 2004). Upaya
untuk meningkatkan mutu induk tidak terlepas dari faktor nutrisi dari calon induk dimana telah
dibuktikan bahwa nutrisi bagi calon induk berperan dalam meningkatkan laju kematangan gonad,
frekuensi pemijahan, fekunditas, daya tetas telur, tingkat kelangsungan hidup dan kualitas larva
yang dihasilkan (Harrison dalam Djunaidah, 2001). Asam lemak tak jenuh rantai panjang
(HUFA) biasanya sangat dibutuhkan oleh ikan, karena tidak dapat disintesa sendiri didalam
tubuh ikan sehingga harus dipasok dari luar melalui pakan. Asam lemak tersebut antara lain
asam linoleat, asam linilenat, asam arachidonat, asam eicosapenataenoat (EPA) dan asam
docosahaexanoat (DHA). Asam lemak esensial juga sangat dibutuhkan oleh ikan karena
kemampuannya yang terbatas dalam melakukan biosintesis PUFA sehingga PUFA tersebut
harus terdapat dalam pakannya (Sunyoto, 1996). Kanazawa et al dalam Furuita et al (1996),
mengatakan bahwa EPA lebih superior pengaruhnya dibandingkan dengan DHA. DHA
berfungsi untuk memperbaiki pertumbuhan sedangkan EPA efektif untuk kelangsungan hidup.
Pakan pertama-tama akan dimanfaatkan oleh organisme untuk mempertahankan kelangsungan
hidup, apabila ada kelebihan baru dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Kekurangan EPA dapat
mengurangi kemampuan penglihatan dan terjadinya pigmentasi abnormal. EPA sangat berguna
untuk mengembangkan otak dan retina larva ikan, karena ikan tergantung pada mata dan otak
untuk mengidentifikasi sesuatu, untuk berburu dan untuk memangsa pakan hidup.
2. Keragaan pemijahan
Pengkayaan pellet induk bandeng dengan bahan tinggi asam lemak tidak memberikan
pengaruh terhadap jumlah telur yang di hasilkan maupun pada nilai produktifitas induk bandeng
yang di ujikan. Namun terjadi peningkatan terhadap kualitas telur yang di hasilkan yang di
tandai dengan meningkatnya nilai derajat pembuahan serta hatching rate telur bandeng pada
perlakuan B dengan pengkayaan pellet induk bandeng dengan bahan tinggi asam lemak (Tabel 3
dan Grafik 3).
Tabel 3. Jumlah Telur (butir), Produktifitas (butir/hari) dan Derajat Pembuahan (%)
Perlakuan Jumlah telur Produktivitas Derajat Pembuahan
(butir) (butir/hari) (%)
Perlakuan A
Bulan 1 3.107.380 388.423 ± 109.248 75,0 ± 5,7
Bulan 2 926.288 463.144 ±21.208 69,8 ±2,2
Perlakuan B
Bulan 1 1.522.700 217.529 ± 35.756 97,2 ± 8,9
Bulan 2 1.262.613 252.523 ± 71.399 98,3 ± 4,1
Pengkayaan pellet induk bandeng dengan bahan tinggi asam lemak memberikan pengaruh
nyata terhadap derajat pembuahan pada telur bandeng. Nilai rerata Derajat pembuahan pada
perlakuan B sebesar 97,7 % ± 0,39 sedangkan pada perlakuan A sebesar 72,4 % ± 1,8 (Grafik
2).
Grafik 2. Derajat pembuahan (%) pada pengujian
Demikian juga terhadap hatching rate telur bandeng dengan pengkayaan pellet induk
memberikan pengaruh yang nyata. Nilai hatching Rate pada perlakuan A adalah sebesar 68,1 %
± 1, dan pada perlakuan B sebesar 84,9 % ± 2,5 (Grafik 3).
Grafik 3. Hatching Rate (%) telur bandeng pada pengujian
Asam lemak tidak hanya berperan untuk larva ikan, tetapi juga sangat penting bagi
reproduksi (Izquierdo, 2005). Nutrisi mempunyai dampak yang nyata terhadap perkembangan
ovari, jumlah telur dan perkembangan larva (Mazorra et al.2003), namun nutrisi untuk induk
masih memerlukan studi yang mendalam (Izquierdo et al., 2001). Lipida yang dimaksud di atas
terutama golongan PUFA seperti eicosapentaenoic acid (20:5 n-3; EPA) dan docosahexaenoic
acid (22:6 n-3; DHA) telah terbukti berhubungan erat dengan keberhasilan reproduksi ikan
(Watanabe & Vassallo-Agius, 2003; Li et al., 2005). Beberapa studi menunjukkan kebutuhan
lipida justru tertinggi saat vitellogenesis (pembentukan kuning telur). Kebutuhan akan EPA
dimulai pada periode previtellogenesis sampai kepada proses ovulasi. Dengan demikian EPA dan
DHA penting sekali ditambahkan sebagai zat tambahan dalam pakan induk untuk pertumbuhan
dan perkembangan larva yang normal. Penambahan asam lemak esensial dalam pakan induk
dapat dilakukan melalui pemberian pakan hidup yang telah dikayakan ataupun pakan komersial
yang sudah ditentukan formulanya (Sargent et al. 2002; Lane & Kohler, 2006). Kombinasi yang
tepat antara DHA dan AA ditemukan juga dapat mempercepat tingkat pemijahan serta laju
penetasan; juga meningkatkan ketahanan hidup larva (Furuita et al., 2003; Place & Harel, 2006;
Sawanboonchun, 2009).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Pengkayaan pellet induk (perlakuan B) dengan bahan telur bebek, madu, vitamin C dan
vitamin E meningkatkan nilai EPA maupun DHA pada pellet bandeng secara signifikan.
Kandungan EPA dan DHA pada telur bandeng pada perlakuan B meningkat 2 kali
lipatnya bila dibandingkan dengan telur bandeng pada perlakuan A.
Pengkayaan pellet induk bandeng dengan bahan tinggi asam lemak tidak memberikan
pengaruh terhadap jumlah telur yang di hasilkan maupun pada nilai produktifitas induk
bandeng yang di ujikan. Namun terjadi peningkatan terhadap kualitas telur yang di
hasilkan yang di tandai dengan meningkatnya nilai derajat pembuahan serta hatching rate
telur bandeng.
4.2. Saran
Pengkayaan pellet induk dengan bahan tinggi asam lemak harus terus dilakukan untuk
dapat meningkatkan kualitas dan mutu telur bandeng yang di hasilkan sehingga dapat
meningkatkan hasil produksi.
DAFTAR PUSTAKA
Budji, R.G. 2010. Skrining senyawa antibakteri dari Caulerpa racemosa dan Caulerpa
sartularioides asal perairan Pulau Lae-Lae Makassar. Skripsi Fakultas MIPA Jurusan
Biologi Universitas Hasanuddin. Makassar
Brown, J.A., Minkoff, G. & Puvanendran, V., 2003. Larviculture of Atlantic cod (Gadus
morhua): progress, protocols and problems. Aquaculture, 227, 357 – 372.
Craig, S. & Helfrich, L.A., 2002. Understanding Fish Nutrition, Feeds, and Feeding. Virginia
Polytechnic Institute and State University. 18 p.
Djunaidah,I.S dkk. 2001. Penampilan Reproduksi dan Kualitas Larva Kepiting Bakau Scylla
paramamosain Yang Diberi Pakan Biomasa Artemia. Makalah pada Seminar Akuakultur
Indonesia. Semarang. 30 – 31 Oktober 2001.
De Val, A.G., G. Platas, A. Basilio, A. Cabello, J. Gorrochategui, I. Suay, F. Vicente, E.
Portilllo, M.J. del Rio, G.G. Reina, F. Peláez. 2001. Screening of antimicrobial activities in
red, green and brown macroalgae from Gran Canaria (Canary Islands, Spain). Int.
Microbiol. 4: 35-40.
Furuita, H., Yamamoto, T., Shima, T., Suzuki, N., & Takeuchi, T., 2003. Effect of arachidonic
acid levels in broodstock diet on larval and egg quality of Japanese flounder Paralichthys
olivaceus. Aquaculture, 220, 725 – 735.
Furuita,H, Takeuchi,Watanabe,Fujimoto,H.Sehiya,s and Imazuki,K. 1996. Requirements of
Larva Yellowtail for Eicosapentaenoic Acid, Decosahexaenoic Acid and ω 3 Highly
Unsaturated Fatty Acid. Fisheries Science. Vol.63. pp 372 – 379.
Higgs, D.A. and Dong, F. M., 2000. Lipids and fatty acids. In: Encyclopedia of Aquaculture (ed.
R.R. Stickney), John Wiley and Sons, Inc., New York, 476 – 496.
Hutabarat, S. 2000. Produktivitas Perairan dan Plankton Telaah terhadap Ilmu Perikanan dan
kelautan. Badan Penerbit UNDIP, Semarang.
Ibeas, C., Rodriguez, C., Badia, P., Cejas, J.R., Santamaria, F.J., Lorenzo, A., 2000. Efficacy of
dietary methyl esters of n-3 HUFA vs. triacylglycerols of n-3 HUFA by gilthead seabream
(Sparus aurata L.) juveniles. Aquaculture, 190, 273 – 287.
Izquierdo, M. S., Fernandez-Palacios, H., and Tacon, A. G. J., 2001. Effect of aquaculture. Rev.
Fish. Sci., 16, 73 – 94.
Izquierdo, M., 2005. Essential fatty acid requirements in Mediterranean fish species. Cahiers
Options Mediterraneennes, 63, 91 – 102.
Kandhasamy, M. and K.D. Arunachalam. 2008. Evaluation of in vitro antibacterial property of
seaweeds of southeast coast of India. African Journal of Biotechnology 7(12): 1958-1961.
Lane, R.L. and Kohler, C.C., 2006. Comparative Fatty Acid Composition of Eggs from White
Bass Fed Live Food or Commercial Feed. North American Journal of Aquaculture, 69, 11
– 15.
Lall, S.P., Milley, J.E., Higgs, D.A., and Balfry, S.K., 2002. Dietary lipids, immune function and
pathogenesis of disease in fish. http://www-heb.pac.dfo-mpo.gc.ca/congress/2002
/Biochem/Lall.pdf. diambil tanggal 18 Maret 2014, Jam 11.10 wib.
Leger, P., Bengston, D.A., Simpson, K.L. and Sorgeloos, P., 1986. The use and nutritional value
of artemia as a food source. Oceanog. Mar. Biol.. Ann. Rev., 24, 521 – 624.
Li, Y.Y., Chen, W.Z., Sun, Z.W., Chen, J.H. and Wu, K.G., 2005. Effects of n-3 HUFA content
in broodstock diet on spawning performance and fatty acid composition of eggs and larvae
in Plectorhynchus cinctus. Aquaculture,
Lindequist, U. and T. Schweder. 2001. Marine biotechnology. In: Rehm, H.J., Reed, G. (Eds.),
Biotechnology, vol. 10. Wiley-VCH, Weinheim, pp. 441–484.
Mahasneh, I., M. Jamal, M. Kashashneh, M. Zibdeh. 1995. Antibiotic activity of marine algae
against multiantibiotic resistant bacteria. Microbios 83: 23–26.
Manilal, A., S. Sujith, J. Selvin, G.S. Kiran, C. Shakir, A.P. Lipton. 2010. Antimicrobial
potential of marine organisms collected from the southwest coast of India against
multiresistant human and shrimp patogens. Scientia Marina 74(2): 287-296.
Mayer, A.M.S. and M.T. Hamann. 2002. Marine pharmacology in 1999: compounds with
antibacterial, anticoagulant, antifungal, anthelmintic, anti-inflammatory, antiplatelet,
antiprotozoal and antiviral activities affecting the cardiovascular, endocrine, immune and
nervous systems, and other miscellaneous mechanism of action. Comp. Biochem. Physiol.,
Part C 132, 315–339.
Mazorra, C., Bruce M., Bell J. G., Davie A., Alorend E., Jordan, N., Rees J., Papanikos N.,
Porter M. and Bromage N., 2003. Dietary lipid enhancement of broodstock reproductive
performance and egg and larval quality in Atlantic halibut (Hippoglossus hippoglossus).
Aquaculture, 227, 21 – 33.
Mtolera, M.S.P.and A.K. Semesi. 1996. Antimicrobial activity of extraxts from six green algae
from Tanzania. Curr. Trends Mar. Bot. Res. East Afr.Reg. pp. 211-217.
Newman, D.J., G.M. Cragg, K.M. Snader. 2003. Natural products as source of new drugs over
the period 1981–2002. J. Nat. Prod. 66: 1022–1037
NRC (National Research Council), 1993. Nutrient Requirements of Fish. National Acad. Press,
Washington, DC. 114 p.
Place, A.R. and Harel, M., 2006. Use of arachidonic acid for enhanced culturing of fish larvae
and broodstock. University of Maryland Biotechnology Institute (Baltimore, MD, US).
Rachmansyah. 2004. Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Awarange Kabupaten
Barru Sulawesi Selatan bagi Pengembangan Budidaya Bandeng dalam Keramba Jaring
Apung [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor
Rao, P.S. and K.S. Parekh. 1981. Antibacterial activity of Indian seaweed extracts. Botanica
Marina 24: 577-582.
Roo, F., Socorro, J., Izquierdo, M.S., Caballero, M.J., Hernandez-Cruz, C.M., Fernandez, A. and
Fernandez-Palacios, H., 1999. Development of red porgy Pagrus pagrus visual system in
relation with changes in the digestive tract and aquaculture. Aquaculture Research, 31, 703
– 711.
Sachithananthan, K. and A. Sivapalan. 1975. Antibacterial properties of some marine algae of Sri
Lanka. Bulletin of Fisheries Research Station, Sri Lanka. 26: 5-9.
Saptasari, M. 2010. Variasi ciri morfologi dan potensi makroalga jenis Caulerpa di pantai
Kondang Merak Kabupaten Malang. Malang. Variasi Ciri Morfologi (19-22).
Sargent, J.R., Tocher, D.R., Bell, J.G., 2002. The lipids, In: Halver, J.E., Hardy, R.W. (Eds.),
Fish Nutrition, 3rd edition. Academic Press, San Diego, 181–257.
Sawanboonchun, J., 2009. Atlantic Cod (Gadus morhua L.) Broodstock Nutrition: The Role Of
Arachidonic Acid And Astaxanthin As Determinants Of Egg Quality. Institute of
Aquaculture, University of Stirling, Scotland. Doctoral Thesis, 212 p.
Serkedjieva, J. 2004. Antiviral activity of the red marine alga Ceramium rubrum. Phytotherapy
Research, 18(6): 480-483.
Seiffert, M.E.B., Cerqueira, V.R. and Madureira, L.A.S., 2001. Effect of dietary (n−3) highly
unsaturated fatty acids on growth and survival of fat snook (Centropomus parallelus,
Pisces: Centropomidae) larvae during first feeding. Brazilian Journal of Medical and
Biological Research, 34, 645 – 651.
Siddhanta, A.K, K.H. Mody, B.K. Ramavat, V.D. Chauhan, H.S. Garg, A.K. Goel, M. Jinandra
Doss, M.N. Srivastava, G.K. Patnaik, V.P. Kamboj. 1997. Bioactivity of marine
organisms: Part VIII-Screening of some marine flora of Western coast of India. Indian
Journal Experimental Biology 35: 638-643.
Sridhar, K.R. and N. Vidyavathi. 1991. Antimicrobial activity of seaweeds. Acta Hydrochim.
Hydrobiol. 5: 455-496.
Sunyoto, P, Waspada dan Mustahal. 1996. Peningkatan Gizi Nauplius Artemia Salina untuk
Larva Ikan Laut dengan Pengkayaan Menggunakan Emulsi Lemak Scott’s Emulsion.
Skripsi. Undip Semarang (tidak dipublikasikan). 67 hal.
Tuney, I., B.H. Cadirci, D. Unal, A. Sukatar. 2006. Antimicrobial activities of the extracts of
marine algae from the coast of Urla (zmir, Turkey). Turk. J. Biol. 30: 1-5
Tocher, D.R., 2003. Metabolism and functions of lipids and fatty acids in teleost fish. Rev. Fish
Sci., 11, 107 – 184.
Watanabe, T., and Vassallo-Agius, R., 2003. Broodstock nutrition research on marine finfish in
Japan. Aquaculture, 227, 35 – 61.
Yildiz, M., 2008. Fatty Acid Composition of Some Commercial Marine Fish Feeds Available in
Turkey. Turk. J. Vet. Anim. Sci, 32, 3, 151 – 158.
Zainuddin, E.N. 2010. Antibacterial potential of marine algae collected from South
Sulawesi coast against human patogens. Proceedings of International Conference and Talkshow
on Medicinal Plants. BPPT, Jakarta, Indonesia. ISBN 978-602-95911-1-8.