PENGARUH PEMBUANGAN LIMBAH DETERJEN TERHADAP KERAGAMAN HAYATI MIKROBIA

download PENGARUH PEMBUANGAN LIMBAH  DETERJEN TERHADAP KERAGAMAN HAYATI MIKROBIA

of 15

Transcript of PENGARUH PEMBUANGAN LIMBAH DETERJEN TERHADAP KERAGAMAN HAYATI MIKROBIA

PENGARUH PEMBUANGAN LIMBAH DETERJEN TERHADAP KERAGAMAN HAYATI MIKROBIA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Deterjen sangat berbahaya bagi lingkungan karena memiliki kemampuan untuk melarutkan bahan dan bersifat karsinogen, misalnya 3,4 Benzonpyrene, selain gangguan terhadap masalah kesehatan, kandungan deterjen dalam air minum akan menimbulkan bau dan rasa tidak enak. Deterjen kationik memiliki sifat racun jika tertelan dalam tubuh, bila dibanding deterjen jenis lain (anionik ataupun non-ionik). Dalam pengolahan limbah konvensional, ABS tidak dapat terurai, sekitar 50% bahan aktif ABS lolos dari pengolahan dan masuk dalam sistem pembuangan. Hal ini dapat menimbulkan masalah keracunan pada biota air dan penurunan kualitas air. LAS mempunyai karakteristik lebih baik, meskipun belum dapat dikatakan ramah lingkungan. LAS mempunyai gugus alkil lurus/ tidak bercabang yang dengan mudah dapat diurai oleh mikrobia. LAS relatif mudah didegradasi oleh mikrobia bila dibandingkan dengan ABS. LAS bisa terdegradasi sampai 90 persen. Akan tetapi prorsesnya sangat lambat, karena dalam memecah bagian ujung rantai kimianya khususnya ikatan o-mega harus diputus dan butuh proses beta oksidasi. Menurut penelitian, mikrobia membutuhkan waktu sembilan hari untuk mengurai LAS. Itu pun hanya sampai 50 persen. Kerugian lain dari penggunaan deterjen adalah terjadinya proses eutrofikasi di perairan. Ini terjadi karena penggunaan deterjen dengan kandungan fosfat tinggi. Eutrofikasi menimbulkan pertumbuhan tak terkendali bagi algae dan menyebabkan pendangkalan sungai. Sebaliknya deterjen dengan rendah fosfat beresiko menyebabkan iritasi pada tangan dan kaustik. Karena diketahui lebih bersifat alkalis. Tingkat keasamannya (pH) antara 10 12.

1.2 Tujuan Diperlukan adanya penelitian-penelitian untuk mengetahui keanekaragaman hayati mikrobia pada limbah deterjen. Hal ini bertujuan agar ditemukan mikrobia-mikrobia yang dengan efektif dalam mendegradasi limbah deterjen.

1

II. KARAKTERISTIK LIMBAH DETERJEN

2.1 Pengertian Deterjen Sejak ratusan tahun lalu telah dikenal sabun, yakni persenyawaan antara minyak atau lemak dan basa. Berbagai usaha perbaikan pada kualitas dan proses pembuatan sabun telah dilakukan, semua sabun hingga kini mempunyai satu kekurangan utama yakni akan bergabung dengan mineral-mineral yang terlarut dalam air membentuk senyawa yang sering disebut lime soap (sabun-kapur), membentuk bercak kekuningan di kain atau mesin pencuci. Akibatnya kini orang mulai meninggalkan sabun untuk mencuci seiring dengan meningkatnya popularitas deterjen. Deterjen ialah media pembersih sintetik yang terdiri dari senyawa-senyawa yang mampu melepaskan kotoran, minyak dan membunuh bakteri yang berguna serta mendorong pertumbuhan alga jika terdapat dalam limbah yang masuk ke badan air (Pankratz, 2001). Sebenarnya ada perbedaan antara sabun dan deterjen serta bahan pembersih lainnya. Sabun berasal dari asam lemak (stearat, palmitat atau oleat) yang direaksikan dengan basa Na(OH) atau K(OH), berdasarkan reaksi kimia berikut ini : C17H35COOH + Na(OH) C17H35COONa + H2O Asam stearat basa sabun

Sabun natron (sabun keras) adalah garam natrium asam lemak seperti pada contoh reaksi di atas. Sedangkan sabun lunak adalah garam kalium asam lemak yang diperoleh dari reaksi asam lemak dengan basa K(OH). Sabun lemak diberi pewarna yang menarik dan pewangi (parfum) yang enak serta bahan antiseptik seperti pada sabun mandi. Beberapa sifat sabun antara lain adalah sebagai berikut (warlina, 2004) : a. Larutan sabun mempunyai sifat membersihkan karena dapat mengemulsikan kotoran yang melekat pada badan atau pakaian b. Sabun dengan air sadah tidak dapat membentuk busa, tapi akan membentuk endapan (C17H35COO)2Ca) dengan reaksi: 2 (C17H35COONa) + CaSO4 (C17H35COO)2Ca + Na2SO4 c. Larutan sabun bereaksi basa karena terjadi hidrolisis sebagian. Sedangkan deterjen adalah juga bahan pembersih sepeti halnya sabun, akan tetapi dibuat dari senyawa petrokimia. Deterjen mempunyai kelebihan dibandingkan dengan sabun, karena dapat bekerja pada air sadah. Bahan deterjen yang umum digunakan adalah

2

dedocylbenzensulfonat. Deterjen dalam air akan mengalami ionisasi membentuk komponen bipolar aktif yang akan mengikat ion Ca dan/atau ion Mg pada air sadah. Komponen bipolar aktif terbentuk pada ujung dodecylbenzen-sulfonat. Untuk dapat membersihkan kotoran dengan baik, deterjen diberi bahan pembentuk yang bersifat alkalis. Contoh bahan pembentuk yang bersifat alkalis adalah natrium tripoliposfat. Bahan buangan berupa sabun dan deterjen di dalam air lingkungan akan mengganggu karena alasan berikut (Warlina, 2004): a. Larutan sabun akan menaikkan pH air sehingga dapat mengganggu kehidupan organisme di dalam air. Deterjen yang menggunakan bahan non-Fosfat akan menaikkan pH air sampai sekitar 10,5-11 b. Bahan antiseptik yang ditambahkan ke dalam sabun/deterjen juga mengganggu kehidupan mikroorganisme di dalam air, bahkan dapat mematikan c. Ada sebagian bahan sabun atau deterjen yang tidak dapat dipecah (didegradasi) oleh mikroorganisme yang ada di dalam air. Keadaan ini sudah barang tentu akan merugikan lingkungan. Namun akhir-akhir ini mulai banyak digunakan bahan sabun/deterjen yang dapat didegradsi oleh mikroorganisme Deterjen sintetik yang pertama dikembangkan oleh Jerman pada waktu Perang Dunia II, dengan tujuan agar lemak dan minyak dapat digunakan untuk keperluan lainnya. Pada saat ini ada lebih 1000 macam deterjen sintetik yang ada di pasaran. Fritz Gunther, ilmuwan Jerman, biasa disebut sebagai penemu surfactant sintetis dalam deterjen tahun 1916. Namun, baru tahun 1933 deterjen untuk rumah tangga diluncurkan pertama kali di AS. Kelebihan deterjen, mampu lebih efektif membersihkan kotoran meski dalam air yang mengandung mineral. Tapi, ia pun menimbulkan masalah. Sebelum tahun 1965, deterjen menghasilkan limbah busa di sungai dan danau. Ini karena umumnya deterjen mengandung alkylbenzene sulphonate yang sulit terurai. Setelah 10 tahun dilakukan penelitian (1965), ditemukan linear alkylbenzene sulphonate (LAS) yang lebih ramah lingkungan. Deterjen merupakan campuran berbagai bahan, yang digunakan untuk membantu pembersihan dan terbuat dari hasil samping penyulingan minyak bumi, ditambah dengan bahan kimia lainnya seperti fosfat, silikat, bahan pewarna, dan bahan pewangi. Sedangkan deterjency adalah perpindahan material luar dari permukaan padatan oleh agen pengemulsi. Produk yang disebut deterjen ini merupakan pembersih sintetis yang

3

terbuat dari bahan-bahan turunan minyak bumi. Dibanding dengan produk terdahulu yaitu sabun, deterjen mempunyai keunggulan antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta tidak terpengaruh oleh kesadahan air. Semua sabun adalah deterjen, semua deterjen adalah surfaktan. Deterjen adalah Surfaktant anionik dengan gugus alkil (umumnya C9 C15) atau garam dari sulfonat atau sulfat berantai panjang dari Natrium (RSO3- Na+ dan ROSO3- Na+) yang berasal dari derivat minyak nabati atau minyak bumi (fraksi parafin dan olefin). Menurut kandungan gugus aktifnya maka deterjen diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Deterjen jenis keras Deterjen jenis keras sukar dirusak oleh mikroorganisme meskipun bahan tersebut dibuang akibatnya zat tersebut masih aktif. Jenis inilah yang menyebabkan pencemaran air. Contoh: Alkil Benzena Sulfonat (ABS). Proses pembuatan ABS ini adalah dengan mereaksikan Alkil Benzena dengan Belerang Trioksida, asam Sulfat pekat atau Oleum. Reaksi ini menghasilkan Alkil Benzena Sulfonat. Jika dipakai Dodekil Benzena maka persamaan reaksinya adalah : C6H5C12H25 + SO3 C6H4C12H25SO3H (Dodekil Benzena Sulfonat) Reaksi selanjutnya adalah netralisasi dengan NaOH sehingga dihasilkan Natrium Dodekil Benzena Sulfonat. 2. Deterjen jenis lunak Deterjen jenis lunak, bahan penurun tegangan permukaannya mudah dirusak oleh mikroorganisme, sehingga tidak aktif lagi setelah dipakai. Contoh: Lauril Sulfat atau Lauril Alkil Sulfonat (LAS). Proses pembuatan (LAS) adalah dengan mereaksikan Lauril Alkohol dengan asam Sulfat pekat menghasilkan asam Lauril Sulfat dengan reaksi: C12H25OH + H2SO4 C12H25OSO3H + H2O

Asam Lauril Sulfat yang terjadi dinetralisasikan dengan larutan NaOH sehingga dihasilkan Natrium Lauril Sulfat.

2.2. Penerapan Pada Kehidupan Sehari-hari Dan Pada Industri Penerapan deterjency pada kehidupan sehari-hari yaitu proses pencucian,

contohnya pada pencucian pakaian, pencucian alat-alat rumah tangga, pembersihan pada bahan, dll. Disini adalah aplikasi dari deterjen : 1. Personal cleaning product, sebagai produk pembersih diri seperti sampo, sabun cuci tangan, dll. 4

2. Pencuci pakaian, merupakan produk deterjen yang paling populer di masyarakat. 3. Dishwashing product, sebagai pencuci alat-alat rumah tangga baik untuk penggunaan manual maupun mesin pencuci piring. 4. Household cleaner, sebagai pembersih rumah seperti pembersih lantai, pembersih bahan-bahan porselen, plastik, metal, gelas, dll Penerapan deterjency pada industri : Pada industri di pertamina penerapan

deterjency berfungsi sebagai membersihkan injektor (keep clean and clean up), mencegah korosi pada bagian mesin yang dilalui bahan bakar serta membantu menyempurnakan pembakaran karena memecah molekul bahan bakar menjadi lebih kecil. Selain itu penerapan deterjency pada indutri pembuatan oli yaitu untuk membersihkan saluransaluran maupun bagian-bagian dari mesin yang dilalui minyak pelumas, sehingga tidak terjadi penyumbatan. Serta sebagai bahan pencampuran pada pelumas untuk memperbaiki minyak pelumas.

2.3. Mekanisme Deterjency Penerapan deterjency pada kehidupan sehari-hari mekanismenya diperkirakan sama karena fungsi dari deterjen tersebut untuk menghilangkan kotoran. Tiga jenis energi yang dibutuhkan dalam proses pencucian : Energi kimia yang dihasilkan dari sabun atau deterjen Energi panas yang dihasilkan dari air panas dan air dingin Energi mekanik yang dihasilkan oleh mesin atau tangan Reaksi yang terjadi pada proses pencucian : R C-O- + H2O R C-OH + OH-

Mekanismenya yaitu R- (non polar dan Hidrofob) akan membelah molekul minyak dan kotoran menjadi partikel yang lebih kecil sehingga air mudah membentuk emulsi dengan kotoran dan mudah dipisahkan. Sedangkan -C-O- (polar dan Hidrofil) akan larut dalam air membentuk buih dan mengikat partikel partikel kotoran sehingga terbentuk emulsi. Suatu gambaran dari stearat terdiri dari ion karboksil sebagai kepala dengan hidrokarbon yang panjang sebagai ekor : HHHHHHHHHHHHHHHHH O H C-C-C-C-C-C-C-C-C-C-C-C-C-C-C-C-C-C-O HHHHHHHHHHHHHHHHH Dengan adanya minyak, lemak, dan bahan organik tidak larut dalam air lainnya,

5

kecenderungan untuk ekor dan anion melarut dalam bahan organik, sedangkan bagian kepala tetap tinggal dalam larutan air. Oleh karena itu sabun mengemulsi atau mensuspensi bahan organik dalam air. Dalam proses ini, anion-anion membentuk partikelpartikel koloid micelle. Proses deterjency secara adsorbsi dimana proses itu kotoran dijerap agar terbawa oleh air. Deterjen dalam kerjanya dipengaruhi beberapa hal, yang terpenting adalah jenis kotoran yang akan dihilangkan dan air yang digunakan. Dalam hal ini dijelaskan mekanisme secara kimia. Deterjen, khususnya surfaktannya, memiliki kemampuan yang unik untuk mengangkat kotoran, baik yang larut dalam air maupun yang tak larut dalam air. Salah satu ujung dari molekul surfaktan (ekor) bersifat lebih suka minyak atau tidak suka air (hidrophobik) akibatnya bagian ini mempenetrasi kotoran yang berminyak. Ujung molekul surfaktan satunya (kepala) lebih suka air (hidrpfilik) yang disimbolkan dengan bundaran, bagian inilah yang berperan mengendorkan kotoran dari kain dan mendispersikan kotoran, sehingga tidak kembali menempel ke kain. Akibatnya warna kain akan dapat dipertahankan. 2.4 Bahan bahan Yang Terdapat Dalam Deterjen

Adapun bahan-bahan yang terdapat dalam deterjen yaitu: 1. Surfaktan (Surface active agent) Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang mempunyai ujung berbeda yaitu hidrofilik (suka air) dan hidrophobik ( tidak suka air). Merupakan bahan utama pembentuk deterjen, bahan aktif ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan atau untuk mngikat lemak dan membasahi permukaan. Secara garis besar, terdapat empat kategori surfaktan yaitu : a) Anionik : Alkyl Benzene Sulfonate (ABS), Linier Alkyl Benzene Sulfonate (LAS), Alpha Olein Sulfonate (AOS) b) Kationik : Garam Ammonium c) Non ionik : Nonyl phenol polyethoxyle d) Amphoterik : Acyl Ethylenediamines Kandungan surfaktan didalam suatu produk deterjen biasanya sebanyak 8-18%. 2. Pengisi (Filler)

6

Adalah

bahan

tambahan

deterjen

yang

tidak

mempunyai

kemampuan

meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas. Contoh bahan yang digunakan ialah Sodium sulfate (Borax) dan Anti-Foaming Agents, yang memberikan gerak bebas pada deterjen dalam bentuk padat bereaksi secara bebas di air serta Anti-Foaming Agents berfungsi sebagai pereduksi jumlah busa. Sodium Silicate juga digunakan sebagai bahan penghambat korosi pada mesin cuci. Umumnya bahan Pengisi terkandung didalam deterjen sebanyak 5-45%. 3. Bahan Tambahan (Additives) Bahan tambahan ini biasanya ditambahkan sebagai pelengkap dan tidak berhubungan langsung dengan daya cuci deterjen, misalnya pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dan lain-lain. Bahan Additives ditambahkan lebih dimaksudkan untuk komersialisasi. Contoh bahan yang sering ditambahkan yaitu Sodium Percarbonate dan Sodium Perborate, suatu bahan tambahan yang memiliki daya pemutih. Bahan lainnya yaitu Enzyme, yang berfungsi sebagai penghilang nodanoda yang besifat biologis seperti darah. Enzim, Boraks, Sodium klorida., Carboxyl Methyl Cellulose (CMC) dipakai agar kotoran yang telah dibawa oleh deterjent ke dalam larutan tidak kembali ke bahan cucian pada waktu mencuci (anti Redeposisi). Wangi wangian atau parfum dipakai agar cucian berbau harum, sedangkan air sebagai bahan pengikat. Persentase banyak bahan tambahan yang ada di dalam suatu deterjen sebanyak 15-30%. (Zoller, 2004) 4. Pembentuk (Builder) Berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan cara menonaktifkan mineral penyebab kesadahan air. Secara umum kadar bahan pembentuk sebanyak 20-45%. Contoh bahan builder yang terdapat dalam deterjen antara ialah Fosfat : Sodium Tri Poly Phosphate (STPP) Asetat : Nitril Tri Acetat (NTA), Ethylene Diamine Tetra Acetat (EDTA) Silikat : Zeolit Sitrat : Asam Sitrat Surfaktan merupakan bahan utama deterjen, sejak tahun 1960 surfaktan Alkyl Benzene Sulfonate (ABS) digunakan sebagai formula didalam deterjen. Pada deterjen ini, jenis muatan yang dibawa surfaktan adalah anionik. Kadang ditambahkan surfaktan kationik sebagai bakterisida (pembunuh bakteri). Fungsi surfaktan anionik adalah sebagai zat pembasah yang akan menyusup ke dalam ikatan antara kotoran dan serat kain. Hal ini 7

akan membuat kotoran menggulung, lama kelamaan menjadi besar, kemudian lepas ke dalam air cucian dalam bentuk butiran. Konsentrasi surfaktan di air permukaan dengan gas (udara), padatan (kotoran), dan cair (minyak) dapat menyebabkan pembasahan dan menjadi media pembersih yang sangat baik. Ini dikarenakan surfaktan memiliki struktur amphiphilic, dimana salah satu bagian dari molekul tergolong ionik atau polar dengan kekuatan tarik menarik pada air, dan pada bagian lain termasuk golongan hydrocarbon dengan sifat menolak air. Jenis struktur yang ditunjukan dibawah ini ialah struktur surfaktant Alkyl Benzene Sulfonate (ABS). Deterjen anionik atau surfaktan anionik adalah semua garam sodium dan ion yang menghasilkan Na serta muatan negatif. Pada umumnya adalah sulfat dan sulfonat. Alkohol berantai panjang bereaksi dengan asam sulfur menghasilkan sulfat (ester anorganik) dengan surface active. Dedocyl atau laury alkohol pada umumnya digunakan. C12H25OH + H2SO4 C12H25 SO3H+H2O Laury alcohol Alkohol sulfate dinetralisir dengan sodium hidroksida untuk menghasilkan surfactant. C12H25 O SO3H + NaOH C12H25 O SO3Na + H2O Sodium Laury sulfat Alkohol sulfat digunakan dalam kombinasi dengan deterjen sintetis untuk menghasilkan campuran sesuai yang diinginkan (McCarty, 2003). Prinsip sulfonat di peroleh dari ester, amides dan alkyl benzen. Ester dan amid merupakan asam organik dengan 16 atau 18 atom karbon. Alkyl benzene sulfonat sebagian besar berasal dari polymer propylene dan golongan alkil, yang mempunyai 12 atom karbon bercabang. Deterjen non-ionik tidak mengionisasi dan hanya bergantung pada kelompok molekul soluble (dapat larut). Semuanya tergantung pada polymer ethylene oxide (C2H4O) (polyehoxylates) sebagai persyaratannya. Deterjen kationik merupakan garam yang berantai empat ammonium, surfaktan jenis ini bias bersifat toksik jika terjadi kontak dengan bahan-bahan lain, sebagai contoh apabila ia bereaksi pada saat proses klorinasi, maka akan terbentuk senyawa Chlorobenzene yang merupakan senyawa kimia yang bersifat beracun dan berbahaya bagi kesehatan (Zoller, 2004).

8

Pada awalnya surfaktan jenis Alkyl Benzen Sulfonat (ABS) banyak digunakan oleh industri deterjen sebagai bahan baku pembuat produk deterjen. Karena ditemukannya bukti bukti dan dari laporan hasil penelitian yang menerangkan bahwa ABS mempunyai risiko tinggi terhadap lingkungan, maka bahan ini sekarang digantikan dengan Linear Alkyl Sulfonate (LAS) yang memiliki karakteristik lebih baik dari ABS meskipun belum dapat dikatakan ramah lingkungan. Bila ditinjau dari daya urai (biodegradable), ABS didalam lingkungan mempunyai tingkat biodegradable sangat rendah, sehingga deterjen ini tergolong non-biodegradable, dalam pengolahan limbah secara konvensional sekitar 50% dari ABS lolos dari system pengolahan. Berbeda dengan LAS yang mempunyai struktur gugus alkil lurus/tidak bercabang yang relative dengan mudah dapat diurai oleh mikroorganisme (Manahan, 2000)

2.5. Dampak penggunaan deterjen Peranan dan manfaat deterjen sebagai media pembersih sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Namun tanpa mengurangi makna manfaat deterjen, Harus diakui bahwa bahan kimia yang digunakan pada deterjen dapat menimbulkan dampak negative baik terhadap kesehatan maupun lingkungan. Dua bahan terpenting dari pembentuk deterjen yakni surfaktan dan builder, diidentifikasi mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap manusia dan lingkungannya. Surfaktan Surfaktan dapat menyebabkan permukaan kulit kasar, hilangnya kelembaban alami yang ada pada permukan kulit dan meningkatkan permeabilitas permukaan luar. Dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa kulit manusia hanya mampu memiliki toleransi kontak dengan bahan kimia dengan kandungan 1 % LAS dan AOS, dengan akibat iritasi sedang pada kulit. Surfaktan kationik bersifat toksik jika tertelan dibandingkan dengan surfaktan anionik dan non-ionik. Builder Builders, salah satu yang paling banyak dimanfaatkan didalam deterjen adalah phosphate. Phosphate memegang peranan penting dalam suatu produk deterjen, sebagai softener air. Bahan ini mampu menurunkan kesadahan air dengan cara mengikat ion kalsium dan magnesium. Dari proses itu, efektivitas dari daya cuci deterjen meningkat. Phosphate yang biasa dijumpai pada umumnya berbentuk Sodium Tri Poly Phosphate

9

(STPP). Phosphate tidak memiliki daya racun, bahkan sebaliknya merupakan salah satu nutrisi penting yang dibutuhkan mahluk hidup. Tetapi dalam jumlah yang terlalu banyak, phosphate dapat menyebabkan pengkayaan unsur hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan air, sehingga badan air kekurangan oksigen akibat dari pertumbuhan algae (phytoplankton) yang berlebihan yang merupakan makanan bakteri. Populasi bakteri yang berlebihan akan menggunakan oksigen yang terdapat dalam air sampai suatu saat terjadi kekurangan oksigen di badan air dan pada akhirnya justru membahayakan kehidupan mahluk air dan sekitarnya. Disamping itu, keberadaan deterjen berlebih di dalam badan air dapat merusak insang dan organ pernafasan ikan yang mengakibatkan toleransi ikan terhadap badan air yang kandungan oksigennya rendah menjadi menurun. Keberadaan busa-busa di permukaan air menjadi salah satu penyebab kontak udara dan air terbatas sehingga menurunkan oksigen terlarut (Manahan, 2000).

III.

PENGOLAHAN LIMBAH DETERJEN

3.1. Pengolahan Limbah Deterjen Menggunakan Biosand Filter (Aerob) Proses biokimia yang terjadi ialah pendegradasian polutan didalam limbah oleh organisme yang terakumulasi pada lapisan Schmutzdecke atau biofilm (Huisman, 1974). Proses biokimia terjadi akibat adanya penguraian mikroorganisme/bakteri aerob yang menggunakan oksigen untuk mengurai pencemar (Metcalf & Eddy, 2003) seperti ditunjukan pada reaksi dibawah ini. Senyawa organik + O2+ mikroba + N + P mikroba baru + H2O + CO2 + NH3 Menurut Suharjono et al (2007) pertumbuhan mikroorganisme dan berkurangnya konsentrasi LAS sebagai bahan formulasi deterjen, mengindikasikan bahwa mikroorganisme/mikroba mampu mendegradasi dan memanfaatkan LAS sebagai sumber karbon, energi atau belerang untuk pertumbuhannya. Schberl (1988) menjelaskan mekanisme sederhana degradasi LAS secara aerob, dimana terjadi beberapa tahap yaitu meliputi oksidasi 2 kelompok methyl yang ada pada rantai alkyl menjadi kelompok carboxyl (oksidasi-), lalu proses oksidasi pemendekan rantai alkyl yang meliputi pemendekan 2 atom karbon pada rantai alkyl yang memiliki atom karbon sepanjang 12-14 sampai atom karbon pada rantai alkyl tersisa menjadi 4-5 atom karbon (oksidasi-). Setelah rantai alkil memiliki atom karbon sebanyak 4 atau < 4, maka proses yang terjadi diantaranya perombakan cicin benzen dimana terjadi proses pemecahan gugus molekul

10

sulphonate didalam linear alkil sulphonate atau alkil benzene sulphonate (desulfonolisis) pada proses metabolisme oleh mikroba dengan hasil akhir diantaranya CO2, H2O serta materi lainnya. Penurunan rata-rata konsentrasi deterjen dengan biosand filter relative kecil yaitu < 50 %. Hal ini dapat disebabkan oleh rusaknya lapisan biofilm yang mengakumulasi mikroorganisme didalam lapisan biofilm, ini disebabkan oleh bahan penyusun deterjen yang tergolong keras atau nonbiodegradable seperti ABS (Alkil Benzene Sulfonat), meski ABS telah lama dilarang untuk digunakan sebagai bahan dasar deterjen dan sekarang telah diganti LAS (Linear Alkil Sulfonat) yang relatif degradable, tetapi LAS juga memiliki sifat yang nonbiodegradable meskipun tergolong lebih aman dari ABS (Zoller, 2004). Menurut Zhang et al (2005) pada tahun 1986 Falbe melaporkan bahwa konsentrasi deterjen pada 1-5 mg/L dapat membunuh mikroorganisme dan pada konsentrasi rendah 0,5 mg/L dapat menimbulkan busa serta menimbulkan masalah pada sistem pengolahan limbah. Fluktuasi konsentrasi deterjen yang masuk pada reaktor biosand filter menjadi salah satu faktor kerusakan lapisan biofilm. Peningkatan konsentrasi LAS yang melampaui kapasitas kemampuan sel akan menyebabkan terganggunya metabolisme sel. Hal tersebut akan menyebabkan menurunnya degradasi LAS dan bahkan dapat menyebabkan kematian sel (Sudiana, 2004). Disamping itu, meski pemberian oksigen dengan bubble aerator telah diberikan pada reaktor biosand filter untuk supply oksigen, kepekatan deterjen yang tinggi dapat menghalangi masuknya oksigen ke larutan uji (limbah deterjen) yang berdampak kematian pada mikroorganisme karena porsi oksigen untuk kebutuhan metabolisme berkurang (Halang, 2004). Hasil penelitian Suharjono et al (2007) menyatakan bahwa beberapa strain mikroba seperti Pseudomonas memiliki kemampuan pertumbuhan dan potensi biodegradasinya terhadap LAS berkurang setelah terjadi inkubasi selama kurang lebih 72 jam, meskipun redisu LAS masih ada. Zoller (2004) menerangkan bahwa pada tahun 1999 Gorelik et al menyatakan pengolahan secara biologis surfaktan anionik dapat lebih cepat dan efisien jika dilakukan secara batch dibandingkan dengan pengolahan dengan aliran kontinu. Penelitian menggunakan reaktor biosand filter dan karbon aktif ini menggunakan sistem aliran kontinu (continuous flow) pada saat pengujian dan sistem batch dilakukan hanya pada saat proses pertumbuhan mikrobia pada reaktor biosand filter. Berdasarkan analisa peniliti, hal ini dapat menjadi faktor tidak efisiennya pendegradasian yang terjadi pada reaktor biosand filter yang disebabkan oleh ketidak seragaman sistem

11

aliran dan berakibat penumbuhan bakteri yang akan mengakumulasi menjadi biofilm menjadi terhambat. 3.2 Pengolahan Limbah Deterjen Menggunakan Lumpur Aktif

Dasarnya sistem lumpur aktif terdiri atas dua unit proses utama, yaitu bioreaktor (tangki aerasi) dan tangki sedimentasi. Dalam sistem lumpur aktif, limbah cair dan biomassa dicampur secara sempurna dalam suatu reaktor dan diaerasi. Pada umumnya, aerasi ini juga berfungsi sebagai sarana pengadukan suspensi tersebut. Suspensi biomassa dalam limbah cair kemudian dialirkan ke tangki sedimentasi dimana biomassa dipisahkan dari air yang telah diolah (Wenas, 2002). Sebagian biomassa yang terendapkan dikembalikan ke bioreaktor, dan air yang telah terolah dibuang ke lingkungan. Agar konsentrasi biomassa di dalam reaktor konstan, sebagian biomassa dikeluarkan dari sistem. tersebut sebagai excess sludge. Skema proses dasar sistem lumpur aktif dapat dilihat pada Gambar 1.Gambar 1. Skema dasar sistem lumpur aktif

Pada metode activated sludge, limbah cair disalurkan ke sebuah tangki dan di dalamnya limbah dicampur dengan lumpur yang kaya akan bakteri aerob. Proses degradasi berlangsung di dalam tangki tersebut selama beberapa jam, dibantu dengan pemberian gelembung udara untuk aerasi (pemberian oksigen). Aerasi dapat mempercepat kerja bakteri dalam mendegradasi limbah. Selanjutnya, limbah disalurkan ke tangki pengendapan untuk mengalami proses pengendapan, sementara lumpur yang mengandung bakteri disalurkan kembali ke tangki aerasi (Sugiharto, 1987). Mekanisme degradasi deterjen oleh mikrobia

12

Degradasi LAS dan BAS melibatkan beberapa enzim yang terdapat dalam sel. Proses degradasi melibatkan beta-oksidasi rantai hidrokarbon paling ujung, yang menghasilkan asam karboksilat. Hasil antara proses degradasi tersebut dapat berupa alkohol dan aldehida. Kedua senyawa tersebut merupakan metabolit yang tidak mudah larut. Proses degradasi selanjutnya melibatkan oksidasi oleh molekul oksigen yang diaktifkan oleh enzim sitokrom 450 dengan Fe sebagai kofaktor. Residu asam sulfonat selanjutnya dihidrolisis aleh bakteri akuatik. Proses oksidasi dan hidrolisis juga melibatkan lisosom yang memiliki berbagai jenis enzim penghidrolisis dan pengoksidasi. Hasil degradasi kemudian dikeluarkan dari sel mealui lisosom yang bergerak menuju dinding plasmolema, yang selanjutnya vesikula akan bersatu dengan plasmolema. Proses selanjutnya metabolit hasil degradasi dikeluarkan dari sel. Komunitas mikrobia lumpur aktif yang didominasi oleh bakteria gram negatif, merupakan kelompok bakteri yang aktif menggunakan deterjen (LAS,BAS) sebagai sumber karbon utama. Beberapa mikroorganisme yang mampu proses metabolismenya yaitu (Abayomi, 2008): Mikrobia aerob : Pseudomonas fluorescens, P. aeruginosa, P.putida, Staphylococcus aureus, S. epidermis, E.coli, Azotobacter chrococcum, Corynebacterium bovis Mikrobia Anaerob : Clostridium botulinum, Bacteroides fragilis, Peptostreptococcus Mikrobia Fakultatif Anaerob : Aeromonas caviae, Enterobacter cloacae, Klebsiella ozaenae, Pasterurella multocida, Serratia liquifaciens. memanfaatkan limbah deterjen untuk

13

DAFTAR PUSTAKA Abayomi, O and Benjamin, A.O. 2008. Isolation and characterization of synthetic deterjentdegraders from wastewater. African Journal of Biotechnology Vol. 7 (20), University of Ibadan, Nigeria. Huisman, L. 1974. Slow Sand Filtration. World Health Organization. Geneva. Manahan, S. 2000. Environmental Chemistry 7th edition. Lewis Publisher CRC. Florida. McCarty, P.L . 2003. Chemistry for Environmental Engineering and Science. McGrawHill, Singapore. Pankratz, T. 2001. Environmental Engineering Dictionary and Directory. CRC Press LCC, Bocar Raton. Florida. Schberl, P. 1988. Alkylbenzene Sulphonate (LAS). Intenational Status Seminar in Aachen/FRG Nov. 9th-10th, 1988. Tenside Surfactants Deterjents. Sudiana, I.M. 2004. Peran Komunitas Mikroba Lumpur Aktif Dalam Perombakan Deterjen Alkil Sulfonat Linear dan Benzena Alkil Sulfonat. Jurnal Penelitian Hayati: 10 (7580). Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Bogor. Sugiharto. 1987. Dasar-dasar pengolahan air limbah. UI Press. Jakarta Suharjono J, et al. 2007. Pengaruh Konsentrasi Nitrogen dan Fosfor Terhadap Potensi Pseudomonas Pendegradasi Alkil benzen Sulfonat Liniar (LAS). Jurnal Penelitian Hayati: 12 (107113). Universitas Brawijaya, Malang. Warlina, L. 2004. Pencemaran Air : Sumber, Dampak, dan Penanggulangannya. Makalah Pribadi. Sekolah Pasca Sarjana, ITB, Bogor. Wenas, R.I.F, Sunaryo, dan Styasmi, S. 2002. Comperative Study on Characteristics of Tannery, "Kerupuk Kulit", "Tahu-Tempe" and Tapioca Waste Water and the Altemative of Treatment. Environmental Technology. Ad. Manag. Seminar, Bandung, January 9-10, 2003 p. Pos 5-1 - pos 5-8. Zoller, U .2004. Handbook of Deterjents Part B : Environmental impact. Marcell Dekker, New York.

14

15