PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E
Transcript of PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E
PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E TERHADAP KADAR HORMON ESTROGEN DAN GAMBARAN
HISTOPATOLOGI TULANG ALVEOLAR MENCIT (Mus musculus L.) YANG MELAKUKAN LATIHAN FISIK MAKSIMAL
TESIS
Oleh
KESUMA WARDANI 087008010/BM
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2011
Universitas Sumatera Utara
PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E TERHADAP KADAR HORMON ESTROGEN DAN GAMBARAN
HISTOPATOLOGI TULANG ALVEOLAR MENCIT (Mus musculus L.) YANG MELAKUKAN LATIHAN FISIK MAKSIMAL
TESIS
Diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh Gelar Magister Biomedik pada Program Studi Magister Ilmu Biomedik
di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Oleh
KESUMA WARDANI
087008010/BM
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2011
Universitas Sumatera Utara
Judul Tesis : PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E TERHADAP KADAR HORMON ESTROGEN DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGI TULANG ALVEOLAR MENCIT (Mus musculus L.) YANG MELAKUKAN LATIHAN FISIK MAKSIMAL Nama Mahasiswa : KESUMA WARDANI Nomor Pokok : 087008010 Program Studi : BIOMEDIK
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Em. dr. Yasmeini Yazir) (Prof. Dr. drs. Syafruddin Ilyas, M.Biomed) Ketua Anggota
Ketua Program Studi Biomedik, Dekan (dr. Yahwardiah Siregar, PhD) (Prof. dr. Gontar A.Siregar, SpPD, KGEH) NIP.19540220 198011 1 001
Universitas Sumatera Utara
Tanggal lulus : 15 Juli 2011
Telah diuji pada tanggal : 15 Juli 2011
Panitia Penguji Tesis
Ketua : Prof. Em. dr. Yasmeini Yazir
Anggota : 1. Prof. Dr. drs. Syafruddin Ilyas, M.Biomed
2. Prof.dr.Gusbakti Rusip, M.Sc, PKK, AIFM
3. drg.Pitu Wulandari, S.Psi, Sp.Perio
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Radikal bebas merupakan suatu atom atau molekul yang tidak mempunyai pasangan elektron dan dapat merusak molekul-molekul penting bagi fungsi seluler. Pada kondisi stress oksidatif, radikal bebas akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel dan merusak organisasi membran sel. Pemberian asupan antioksidan berupa vitamin E diusulkan dapat menurunkan efek radikal bebas dalam tubuh. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada pengaruh pemberian vitamin E terhadap kadar estrogen dan terhadap stuktur tulang alveolar mencit akibat radikal bebas. Pada mencit (Mus musculus L.) betina dibagi dalam 6 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 5 ekor, P0= tidak diberi perlakuan (kelompok kontrol); P1= latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari; P2= vitamin E selama 30 hari; P3= latihan fisik maksimal selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi vitamin E; P4= vitamin E selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi latihan fisik maksimal; P5= latihan fisik maksimal dan vitamin E selama 30 hari. Pada akhir perlakuan sesuai dengan kelompok, maka dilakukan pemeriksaan terhadap kadar estrogen dan terhadap stuktur tulang alveolar mencit. Hasil penelitian ini menunjukkan vitamin E berpengaruh terhadap kadar hormon estrogen mencit (Mus musculus L.) betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal secara nyata (p<0,05). Vitamin E berpengaruh terhadap stuktur tulang alveolar mencit (Mus musculus L.) betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal secara nyata (p<0,05). Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan penambahan dosis vitamin E dan lama pemberian. Kata Kunci: Estrogen, Vitamin E, Radikal Bebas, Latihan Fisik Maksimal, Mencit.
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT Free radicals are an atom or molecule that has no pairs of electrons and can damage the molecules essential for cellular function. In conditions of oxidative stress, free radicals will cause lipid peroxidation of cell membranes and damage the cell membrane organization. Giving intake of antioxidants in the form of vitamin E is proposed to reduce the effects of free radicals in the body. The aim of this study was to see whether there are effects of vitamin E on the level of estrogen and of the alveolar bone structure of mice caused by free radicals. In mice (Mus musculus L.) females were divided into 6 groups, each group consisted of 5 repetition: P0 = given no treatment (control group); P1 = maximal physical exercise every day for 30 days; P2 = vitamin E for 30 days; P3 = maximum physical exercise for 15 days, then 15 days more vitamin E, P4 = vitamin E for 15 days, then 15 days again maximal physical exercise; P5 = maximal physical exercise and vitamin E for 30 days. At the end of treatment according to the group, then by checking on the level of estrogen and of the alveolar bone structure of mice. The results of this study shows vitamin E levels of the hormone estrogen effect on mice (Mus musculus L.) adult females who perform maximal physical exercise significantly (p<0.05). Vitamin E effect on alveolar bone structure of mice (Mus musculus L.) adult females who perform maximal physical exercise significantly (p<0.05). For further research needs to be additional doses of vitamin E and long delivery. Keywords: Estrogen, Alveolar bone structure, Vitamin E, Maximum physical exercise, Mice
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Bismillaahir rohmaanir rohiim
Dengan rahmat dan hidayah Allah Subhanahu Wa Ta’ala penulis akhirnya
dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul,” Pengaruh Pemberian Vitamin
E Terhadap Kadar Hormon Estrogen dan Gambaran Histopatologi Tulang
Alveolar Mencit (Mus musculus L.) yang Melakukan Latihan Fisik Maksimal”.
Tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister
Ilmu Biomedik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dengan selesainya tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,
M.Sc (CTM), Sp.A(K), dan seluruh jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Ilmu
Biomedik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar
A.Siregar, Sp.PD, KGEH dan Ketua Program Studi Biomedik, dr. Yahwardiah
Siregar, Ph.D, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan Program Magister Ilmu Biomedik di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Rasa terima kasih penulis yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada yang mulia Prof. Em. dr. Yasmeini Yazir (sebagai ketua komisi
pembimbing) dan Prof. Dr. drs. Syafruddin Ilyas, M.Biomed (anggota komisi
pembimbing), yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah mengorbankan
Universitas Sumatera Utara
waktu untuk memberikan dorongan, bimbingan, semangat, bantuan serta saran-
saran yang bermanfaat kepada penulis mulai dari persiapan penelitian sampai
pada penyelesaian tesis ini.
Kepada yang terhormat komisi pembanding Prof. dr. Gusbakti Rusip, M.Sc,
PKK, dan drg. Pitu Wulandari, S.Psi, Sp.Perio atas perhatian dan saran yang
bermanfaat kepada penulis dalam menguji dan menyempurnakan tesis ini.
Demikian juga ucapan terima kasih penulis kepada seluruh Staf Pengajar yang
telah membimbing penulis selama mengikuti program studi ini.
Kepada yang terhormat Prof. drg. Haslinda Z.Tamin, M.Kes., Sp.Pros (K) dan
drg. Lisna Unita Rasyid, M.Kes, yang telah merekomendasikan penulis untuk
melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Sumatera Utara Medan.
Kepada Dekan FK-UISU, beserta jajarannya yang telah memberikan dana
penelitian kepada penulis untuk kelangsungan pendidikan Program Studi Magister
Ilmu Biomedik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Penulis tak lupa menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga
kepada yang mulia Ayahanda (alm). drs. H.Sabaruddin Ahmad dan Ibunda (almh)
Hj. Mariana Sulun tercinta yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan
penuh kasih sayang, walaupun telah tiada namun rasa sayang dan cinta kasih
yang Ayahanda dan Ibunda curahkan, memberi semangat serta dorongan kepada
penulis untuk menyelesaikan program studi ini. Semoga Allah Subhanahu Wa
Ta’ala menempatkan Ayahanda dan Ibunda di tempat yang sebaik-baiknya, dan
yang sebagus-bagusnya, Amin ya rabbil ‘aalamiin.
Universitas Sumatera Utara
Tak kurang pula ucapan terima kasih penulis atas bantuan dan do’a abang,
kakak, adik, seluruh keluarga yang penulis cintai, dan teman sejawat serta adik-
adik yang budiman dalam menyelesaikan tesis ini.
Akhirul kalam sebagai hamba-Nya yang dhaif, penulis mengucapkan syukur
Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang telah
mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan dan semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.
Penulis,
Kesuma Wardani
Universitas Sumatera Utara
RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Kesuma Wardani.
2. Tempat /Tanggal Lahir : Medan/23 Desember 1968.
3. Agama : Islam.
4. Alamat : Jl. Rahmadsyah no.179/107 Medan.
5. Telepon/ Hp : 061-7363431 / 088261687996.
6. Pendidikan
SD : SD Swasta Al’Ulum Medan Tamat : 1980.
SMP : SMP Swasta Al’Ulum Medan Tamat : 1983.
SMA : SMA Negeri 6 Medan Tamat : 1986.
Strata-1 : FKG USU Medan Tamat : 1995.
Profesi : FKG USU Medan Tamat : 1995.
Strata-2 : Program Studi Magister Ilmu Biomedik
Fakultas Kedokteran USU Medan Tamat : 2011.
7. Pekerjaan
1996-1999 : Dokter PTT di Rumah Sakit Haji Mina Medan.
2000-2002 : Dokter PTT di Puskesmas Gunung Meriah Kabupaten Deli
Serdang Propinsi Sumatera Utara.
2003-2004 : Dokter PTT di Rumah Sakit Haji Mina Medan.
2008-sekarang : Staf Pengajar Bagian Ilmu Kedokteran Gigi dan Mulut di
Fakultas Kedokteran UISU Medan.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK.............................................................................................. i
ABSTRACT............................................................................................ ii
KATA PENGANTAR............................................................................ iii
RIWAYAT HIDUP................................................................................ vi
DAFTAR ISI .......................................................................................... vii
DAFTAR TABEL.................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR.............................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang……………………………………………….... 1
1.2. Perumusan Masalah………………………………….………… 3
1.3. Kerangka Teori………………………………………..……….. 3
1.4. Tujuan Penelitian......................................................................... 4
1.5. Hipotesis...................................................................................... 5
1.6. Manfaat Penelitian....................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Latihan Fisik................................................................................ 6
2.1.1. Defenisi............................................................................. 6 2.1.2. Respon fisiologis terhadap latihan fisik............................. 6
2.1.3. Intensitas latihan fisik........................................................ 7 2.1.4. Durasi sesi latihan fisik...................................................... 8
Universitas Sumatera Utara
2.1.5. Frekuensi sesi latihan fisik................................................. 9 2.1.6. Durasi program latihan fisik.............................................. 9 2.1.7. Produksi radikal bebas akibat latihan fisik........................ 9 2.2. Radikal Bebas.............................................................................. 10 2.2.1. Kimia radikal bebas........................................................... 10 2.2.2. Kerusakan sel akibat reaksi radikal bebas.......................... 11 2.3. Vitamin E.................................................................................... 13 2.3.1. Kimiawi dan Metabolisme Vitamin E............................... 13 2.3.2. Fungsi Vitamin E............................................................... 14 2.4. Estrogen....................................................................................... 16 2.4.1. Kimiawi Estrogen.............................................................. 16 2.4.2. Peranan Estrogen dalam Pertumbuhan Tulang.................. 17 2.4.3. Menopause......................................................................... 17 2.5. Tulang.......................................................................................... 18
2.6. Tulang Alveolar............................................................................ 18
2.7. Osteoporosis................................................................................. 20
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian...................................................... 22
3.2.
Variabel Penelitian....................................................................... 22
3.2.1. Variabel independent......................................................... 22 3.2.2. Variabel dependent............................................................ 22
3.3.
Defenisi Operasional.................................................................... 22
3.4.
Bahan dan Alat Penelitian .......................................................... 23
3.4.1. Bahan penelitian................................................................. 23
Universitas Sumatera Utara
3.4.2. Peralatan utama penelitian................................................. 25 3.5.
Desain Penelitian.......................................................................... 26
3.6.
Pelaksanaan Penelitian................................................................. 27
3.6.1. Pemeliharan hewan percobaan........................................... 27 3.6.2. Pemberian latihan fisik maksimal...................................... 27 3.6.3. Pemberian vitamin E.......................................................... 28 3.6.4. Pengamatan ....................................................................... 28 a. Pengamatan kadar estrogen........................................... 28 b. Pengamatan gambaran histolopatologi tulang alveolar mandibula...................................................................... 29
3.7.
Analisis Data dan Pengujian Hipotesis………………..……….. 32
3.8.
Jadwal Penelitian ……………………………………................ 33
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian............................................................................ 34
4.1.1. Kadar estrogen (estradiol)………………………………. 34 4.1.2. Gambaran histopatologi tulang alveolar (jarak dari Cementum Enamel Junction/CEJ ke Alveolar Crest/AC).. 36 4.2. Pembahasan ................................................................................ 38 4.2.1. Kadar Estrogen (Estradiol) darah mencit betina dewasa.. 38 4.2.2. Jarak CEJ ke AC mencit betina dewasa............................ 39 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ................................................................................. 42
5.2. Saran ........................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA 44
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Jadwal Penelitian…....................................................................... 33
2. Data Kadar Estrogen pada berbagai perlakuan penelitian (pg/mL) 47
3. Data Jarak CEJ ke AC pada berbagai perlakuan penelitian (μm) 56
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1. Kerangka teori…...................................................................... 4
2. RRR-α-Tokoferol………………………………………….… 13
3. Alur biosintetis estrogen………………………………….…. 17
4. Bagian rahang manusia dengan gigi di dalamnya…….…. 20
5. Kadar estrogen dalam darah (pg/mL)...................................... 35
6. Jarak dari cementum enamel junction ke alveolar crest
(puncak alveolar) (μm)……………………………………… 37
7. Gambar jarak dari cementum enamel junction (CEJ) ke
alveolar crest /AC (puncak alveolar) (μm)…………………. 37
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Output analisis data kadar estrogen (pg/mL)
menggunakan software SPSS 18……………………….…… 47
2. Output analisis data Jarak CEJ ke AC (μm)
menggunakan software SPSS 18………………………......... 56
3. Pengamatan tulang alveolar di laboratorium Biomedik USU. 59
4. Surat Rekomendasi Persetujuan Etik Penelitian Kesehatan.... 60
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Radikal bebas merupakan suatu atom atau molekul yang tidak mempunyai pasangan elektron dan dapat merusak molekul-molekul penting bagi fungsi seluler. Pada kondisi stress oksidatif, radikal bebas akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel dan merusak organisasi membran sel. Pemberian asupan antioksidan berupa vitamin E diusulkan dapat menurunkan efek radikal bebas dalam tubuh. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah ada pengaruh pemberian vitamin E terhadap kadar estrogen dan terhadap stuktur tulang alveolar mencit akibat radikal bebas. Pada mencit (Mus musculus L.) betina dibagi dalam 6 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 5 ekor, P0= tidak diberi perlakuan (kelompok kontrol); P1= latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari; P2= vitamin E selama 30 hari; P3= latihan fisik maksimal selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi vitamin E; P4= vitamin E selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi latihan fisik maksimal; P5= latihan fisik maksimal dan vitamin E selama 30 hari. Pada akhir perlakuan sesuai dengan kelompok, maka dilakukan pemeriksaan terhadap kadar estrogen dan terhadap stuktur tulang alveolar mencit. Hasil penelitian ini menunjukkan vitamin E berpengaruh terhadap kadar hormon estrogen mencit (Mus musculus L.) betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal secara nyata (p<0,05). Vitamin E berpengaruh terhadap stuktur tulang alveolar mencit (Mus musculus L.) betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal secara nyata (p<0,05). Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan penambahan dosis vitamin E dan lama pemberian. Kata Kunci: Estrogen, Vitamin E, Radikal Bebas, Latihan Fisik Maksimal, Mencit.
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT Free radicals are an atom or molecule that has no pairs of electrons and can damage the molecules essential for cellular function. In conditions of oxidative stress, free radicals will cause lipid peroxidation of cell membranes and damage the cell membrane organization. Giving intake of antioxidants in the form of vitamin E is proposed to reduce the effects of free radicals in the body. The aim of this study was to see whether there are effects of vitamin E on the level of estrogen and of the alveolar bone structure of mice caused by free radicals. In mice (Mus musculus L.) females were divided into 6 groups, each group consisted of 5 repetition: P0 = given no treatment (control group); P1 = maximal physical exercise every day for 30 days; P2 = vitamin E for 30 days; P3 = maximum physical exercise for 15 days, then 15 days more vitamin E, P4 = vitamin E for 15 days, then 15 days again maximal physical exercise; P5 = maximal physical exercise and vitamin E for 30 days. At the end of treatment according to the group, then by checking on the level of estrogen and of the alveolar bone structure of mice. The results of this study shows vitamin E levels of the hormone estrogen effect on mice (Mus musculus L.) adult females who perform maximal physical exercise significantly (p<0.05). Vitamin E effect on alveolar bone structure of mice (Mus musculus L.) adult females who perform maximal physical exercise significantly (p<0.05). For further research needs to be additional doses of vitamin E and long delivery. Keywords: Estrogen, Alveolar bone structure, Vitamin E, Maximum physical exercise, Mice
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Latihan fisik yang secara teratur memberikan banyak manfaat bagi kesehatan
termasuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis, dan penyakit
diabetes. Sedangkan latihan fisik maksimal dapat menyebabkan terjadinya stres
oksidatif pada tikus (Senturk et al., 2001) dan manusia (Sonneborn and Barbee,
1998, Pedersen and Hoffman-Goetz, 2000, Senturk et al., 2005) sehingga terjadi
kerusakan membran sel (Singh, 1992). Latihan fisik maksimal juga dapat
mengurangi kadar estrogen, yang akhirnya mengakibatkan osteoporosis (Power
SK and Howley ET, 2007)
Pada keadaan stres oksidatif, radikal bebas akan menyebabkan terjadinya
peroksidasi lipid membran sel dan merusak organisasi membran sel. Membran sel
ini sangat penting bagi fungsi reseptor dan fungsi enzim, karena terjadinya
peroksidasi lipid membran sel oleh radikal bebas, dapat mengakibatkan hilangnya
fungsi seluler secara total (Evans, 2000, Singh, 1992). Radikal bebas merupakan
atom atau molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan (Clarkson and
Thompson, 2000, Slater, 1984), dan stres oksidatif adalah suatu keadaan produksi
radikal bebas melebihi antioksidan sistem pertahanan seluler ( Evans, 2000,
Halliwell dan Whiteman, 2004).
Peningkatan radikal bebas (ROS) menyebabkan rusaknya sel-sel pembentuk
estrogen melalui peroksidasi lipid pada membran selnya. Sehingga estrogen yang
Universitas Sumatera Utara
dihasilkannya juga menjadi berkurang. Menurut Kierszenbaum (2007), estrogen
dibentuk di sel-sel granulosa folikel dan sel lutein korpus luteum ovarium.
Sehingga rusaknya sel pembentuk estrogen menyebabkan kadar estrogen menjadi
sangat rendah. Kekurangan estrogen ini akan menyebabkan meningkatnya
aktivitas osteoklastik pada tulang, berkurangnya matriks tulang, dan berkurangnya
deposit kalsium dan fosfat tulang. Pada beberapa wanita, efek ini sangat hebat
sehingga menyebabkan osteoporosis (Guyton, A.C., Hall, J.E., 2007).
Di dalam sel terdapat berbagai antioksidan non-ezimatik dan enzimatik yang
berfungsi sebagai sistem pertahanan bagi organel-organel sel dari efek reaksi
radikal bebas. Kandungan antioksidan ini bisa bersumber dari diet berupa vitamin
dan mineral antioksidan. Vitamin E merupakan salah satu vitamin antioksidan
yang utama. Selain dari diet, senyawa antioksidan juga diproduksi secara endogen
oleh tubuh seperti glutation (Evans, 2000, Clarkson and Thompson, 2000). Belum
sepenuhnya diketahui apakah antioksidan natural tubuh yang berperan sebagai
sistem pertahanan dapat mengatasi peningkatan radikal bebas pada saat exercise
atau apakah diperlukan suplemen tambahan (Clarkson and Thompson, 2000).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latihan fisik maksimal
dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Oleh karena antioksidan berupa
vitamin E diharapkan dapat mengurangi aktivitas radikal bebas, maka akan
dilakukan penelitian tentang pengaruh pemberian vitamin E terhadap kadar
hormon estrogen dan stuktur tulang alveolar mencit betina dewasa yang
melakukan latihan fisik maksimal.
Universitas Sumatera Utara
1.2. Perumusan Masalah
Bagaimana pengaruh pemberian vitamin E terhadap kadar hormon estrogen
dan stuktur tulang alveolar mencit betina dewasa yang melakukan latihan fisik
maksimal.
1.3. Kerangka Teori
Latihan fisik maksimal dapat menyebabkan timbulnya radikal bebas yang
lebih besar daripada sistem antioksidan tubuh sehingga terjadi stres oksidatif.
Stres oksidatif akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid dan penurunan
kadar estrogen, yang akan mengakibatkan penurunan struktur tulang alveolar.
Vitamin E sebagai antioksidan akan dapat mencegah terjadinya stress oksidatif
sehingga hal di atas tidak terjadi, seperti skema kerangka teori pada Gambar 1 di
bawah ini:
Universitas Sumatera Utara
Latihan fisik maksimal Latihan fisik maksimal
Radikal bebas (Stress oksidatif)
Radikal bebas (Stress oksidatif)
Peroksidasi lipid
Kadar estrogen
Kerusakan struktur tulang alveolar
Peroksidasi lipid
Kadar estrogen
Kerusakan struktur tulang alveolar
Vitamin E secara oral
Gambar 1. Kerangka teori
1.4. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pemberian vitamin E terhadap kadar
hormon estrogen dan stuktur tulang alveolar mencit betina dewasa yang
melakukan latihan fisik maksimal.
Universitas Sumatera Utara
1.5. Hipotesis
a. Vitamin E mempunyai pengaruh terhadap kadar hormon estrogen mencit
betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal.
b. Vitamin E mempunyai pengaruh terhadap stuktur tulang alveolar mencit
betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal.
1.6. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi ilmiah bagi ilmu
olahraga tentang manfaat pemberian vitamin E pada atlit perempuan menopause
yang melakukan latihan fisik maksimal dalam rangka meningkatkan prestasinya.
Bagi ilmu kedokteran, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu acuan
untuk menjaga status kesehatan dan mencegah atau mengurangi efek negatif
pengaruh latihan fisik maksimal terhadap osteoporosis.
Universitas Sumatera Utara
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Latihan Fisik
2.1.1. Definisi
Menurut Caspersen,C.J. (1985) istilah " latihan fisik" telah digunakan secara
bergantian dengan "aktivitas fisik" dan pada kenyataannya memiliki sejumlah
elemen umum. Sebagai contoh, aktivitas fisik dan latihan fisik keduanya
melibatkan gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang mengeluarkan
energi, yang diukur oleh kilokalori secara terus-menerus mulai dari rendah ke
tinggi, dan berkorelasi positif dengan kebugaran fisik seperti intensitas, durasi,
dan frekuensi gerakan meningkat. Latihan fisik, bagaimanapun tidak identik
dengan aktivitas fisik, karena latihan fisik subkategori dari aktivitas fisik. Latihan
fisik adalah aktivitas fisik yang direncanakan, terstruktur, berulang, dan
bermanfaat dalam arti untuk perbaikan atau pemeliharaan dari satu atau lebih
komponen kebugaran fisik pada seseorang.
2.1.2. Respon fisiologis terhadap latihan fisik
Atlit yang melakukan latihan fisik pada tingkat yang lebih tinggi akan
mencapai suatu titik transport oksigen menuju otot tidak lagi meningkat dan
seluruh konsumsi oksigen tubuh maksimal (VO2max) tidak bisa lagi meningkat.
Setelah masa tersebut akan terjadi kelelahan (Casaburi, 1992).
Universitas Sumatera Utara
Latihan fisik aerobik dapat meningkatkan VO2max. Peningkatan VO2max ini
disebabkan oleh bertambahnya kandungan O2 di dalam arteri dan vena, serta
meningkatnya cardiac output maksimal. Meningkatnya VO2max akan
meningkatkan toleransi terhadap latihan fisik. Hal ini berhubungan dengan fakta
bahwa dengan meningkatkan kapasitas aerobik akan menurunkan terjadinya
matebolisme anaerob (ambang batas anaerob menjadi lebih tinggi). Sisa
metabolisme anaerob berupa asam laktat, mempunyai efek yang tidak
menguntungkan bagi tubuh. Kebutuhan oksigen meningkat sejalan dengan
peningkatan level kerja, sehingga produksi CO2 akan meningkat. Peningkatan
produksi CO2 ini terjadi karena proses buffer oleh natrium bikarbonat terhadap
asam laktat dan menghasilkan CO2. Ventilasi akan terangsang untuk
membersihkan kelebihan CO2 dan asidosis metabolik secara langsung merangsang
badan karotis (Casaburi, 1992).
Apabila melakukan latihan fisik maksimal secara teratur, maka produksi asam
laktat menjadi lebih sedikit pada saat melakukan latihan fisik maksimal. Selain
itu, respon fisiologis tubuh juga mengalami perubahan saat melakukan latihan
fisik maksimal, perubahan tersebut antara lain komsumsi oksigen dan produksi
CO2 menjadi lebih sedikit, ventilasi secara dramatis menurun. Walaupun ventilasi
menurun, PCO2 dan pH arteri tetap normal (Casaburi, 1992).
2.1.3. Intensitas latihan fisik
Intensitas latihan fisik memiliki dua prinsip utama. Pertama, intensitas latihan
fisik mempunyai ambang batas, artinya latihan fisik tidak akan mempunyai efek
Universitas Sumatera Utara
latihan lagi walaupun frekuensi dan durasi latihan fisik itu ditingkatkan. Kedua,
bila intensitas latihan fisik dilakukan melebihi ambang batas, jumlah total kerja
per sesi merupakan determinan yang penting bagi respon latihan fisik. Artinya,
latihan fisik intensitas tinggi dalam waktu singkat sama efektifnya dengan latihan
fisik intensitas sedang dalam waktu yang lebih lama (Casaburi, 1992).
Terdapat tiga variabel fisiologis yang dapat digunakan untuk menentukan
intensitas latihan fisik, yaitu frekuensi denyut jantung, konsumsi oksigen, dan
level laktat darah. Menggunakan frekuensi denyut jantung untuk mengukur
intensitas latihan fisik merupakan hal yang mudah dilakukan. Akan tetapi, karena
frekuensi denyut jantung mempunyai hubungan yang jauh terhadap kondisi otot
yang melakukan latihan, maka teori dasar yang menggunakan frekuensi denyut
jantung untuk menentukan intensitas latihan fisik dianggap masih lemah. Hal
yang paling banyak dipakai untuk menentukan intensitas latihan fisik adalah
konsumsi oksigen tubuh maksimal (VO2max). Penggunaan level laktat untuk
menentukan intensitas latihan fisik dianjurkan juga oleh beberapa peneliti
(Casaburi, 1992).
2.1.4. Durasi sesi latihan fisik
Hasil latihan fisik intensitas sedang selama 30–60 menit lebih efektif
dibandingkan dengan selama 10–15 menit. Latihan fisik intensitas tinggi dapat
menyebabkan injuri otot, sehingga tidak dianjurkan untuk melakukan latihan fisik
intensitas tinggi jangka waktu singkat. Durasi latihan fisik yang dianjurkan paling
Universitas Sumatera Utara
sedikit selama 20 menit, dan akan lebih efektif bila dilakukan selama 30–60 menit
(Casaburi, 1992).
2.1.5. Frekuensi sesi latihan fisik
Ada konsensus yang menganjurkan latihan fisik dilakukan dengan frekuensi
3–5 kali seminggu. Walaupun frekuensi 2 kali seminggu dapat meningkatkan
kebugaran aerobik, tapi keuntungan yang diperoleh lebih sedikit. Hanya sedikit
bukti yang menunjukkan bahwa latihan fisik 5–7 kali seminggu memberikan
keuntungan bagi kebugaran, dan latihan fisik setiap hari jarang bisa dilakukan
(Casaburi, 1992).
2.1.6. Durasi program latihan fisik
Durasi program latihan fisik dapat dilakukan selama 3–4 minggu, karena
setelah waktu tersebut tidak akan ada lagi peningkatan VO2max, atau penurunan
frekuensi denyut jantung, asam laktat, dan epinefrin. Akan tetapi kebanyakan
peneliti menganjurkan program latihan fisik pada rentang 5–10 minggu, karena
pada rentang waktu tersebut sudah tercapi efek latihan fisik yang substansial
secara fisiologis. Meningkatkan VO2max dapat dicapai dengan cara meningkatkan
intensitas latihan fisik (Casaburi, 1992).
2.1.7. Produksi radikal bebas akibat latihan fisik
Radikal bebas dapat terbentuk selama dan setelah latihan oleh otot yang
berkontraksi serta jaringan yang mengalami iskemik-reperfusi (Chevion et al.,
Universitas Sumatera Utara
2003). Pembentukan radikal bebas terutama dihasilkan oleh otot rangka yang
berkontraksi (Jackson, 2005). Selama melakukan latihan fisik maksimal,
konsumsi oksigen tubuh meningkat dengan cepat. Penggunaan oksigen oleh otot
selama latihan fisik maksimal dapat meningkat sekitar 100–200 kali dibandingkan
saat istirahat (Chevion et al., 2003). Saat fosforilasi oksidatif di dalam
mitokondria, oksigen direduksi oleh sistem transport elektron mitokondria untuk
membentuk adenosin trifosfat (ATP) dan air. Selama proses fosforilasi oksidatif
ini sekitar 2% molekul oksigen dapat berikatan dengan elektron tunggal yang
bocor dari karier elektron pada rantai pernafasan, sehingga membentuk radikal
superoksida (O2.). Radikal superoksida yang terbentuk ini akan membentuk
hidrogen peroksida (H2O2) dan hiroksil reaktif (OH.) dengan cara berinteraksi
dengan logam transisi reaktif seperti tembaga dan besi (Singh, 1992). Secara
lengkap proses reduksi oksigen diperlihatkan pada persamaan berikut ini
(Clarkson dan Thompson, 2000):
O2 + e- O2-. superoxide radical
O2-. + H2O H2O
. + OH- hydroperoxyl radical
H2O. + e- + H H2O2 hydrogen peroxyde
H2O2 + e- .OH + OH- hydroxyl radical.
4.1. Radikal Bebas
2.2.1. Kimia radikal bebas
Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mempunyai elektron yang tidak
berpasangan pada orbital terluarnya dan dapat berdiri sendiri (Clarkson and
Universitas Sumatera Utara
Thompson, 2000, Slater, 1984). Kebanyakan radikal bebas bereaksi secara cepat
dengan atom lain untuk mengisi orbital yang tidak berpasangan, sehingga radikal
bebas normalnya berdiri sendiri hanya dalam periode waktu yang singkat sebelum
menyatu dengan atom lain. Simbol untuk radikal bebas adalah sebuah titik (R·),
yang berada di dekat simbol atom. Radikal bebas mempunyai peran dalam fungsi
normal dan abnormal tubuh. Radikal bebas yang penting secara biologis antara
lain anion superoksida (O2·-), radikal hidroksil (OH·), dan nitric oxide (NO·)
(Vander et al., 2001). Bentuk radikal bebas yang lain adalah hydroperoxyl (HO2·),
peroxyl (RO2·), alkoxyl (RO·), carbonate (CO3
·-), carbon dioxide (CO2·-), atomic
chlorine (Cl·), nitrogen dioxide (NO2·) (Halliwell and Whiteman, 2004). Radikal
bebas bisa bermuatan negatif, bermuatan positif, dan juga bermuatan netral
(Slater, 1984, Vander et al., 2001).
2.2.2. Kerusakan sel akibat reaksi radikal bebas
Penelitian yang ekstensif dengan menggunakan sitem model dan dengan
material biologis in vitro, secara jelas menunjukkan bahwa radikal bebas dapat
menimbulkan perubahan kimia dan kerusakan terhadap protein, lemak,
karbohidrat, dan nukleotida. Bila radikal bebas diproduksi in vivo, atau in vitro di
dalam sel melebihi mekanisme pertahanan normal, maka akan terjadi berbagai
gangguan metabolik dan seluler. Jika posisi radikal bebas yang terbentuk dekat
dengan DNA, maka bisa menyebabkan perubahan struktur DNA sehingga bisa
terjadi mutasi atau sitotoksisitas. Radikal bebas juga bisa bereaksi dengan
nukleotida sehingga menyebabkan perubahan yang signifikan pada komponen
Universitas Sumatera Utara
biologi sel. Bila radikal bebas merusak grup thiol maka akan terjadi perubahan
aktivitas enzim. Radikal bebas dapat merusak sel dengan cara merusak membran
sel tersebut. Kerusakan pada membran sel ini dapat terjadi dengan cara: (a)
radikal bebas berikatan secara kovalen dengan enzim dan/atau reseptor yang
berada di membran sel, sehingga merubah aktivitas komponen-komponen yang
terdapat pada membran sel tersebut; (b) radikal bebas berikatan secara kovalen
dengan komponen membran sel, sehingga merubah struktur membran dan
mengakibatkan perubahan fungsi membran dan/atau mengubah karakter membran
menjadi seperti antigen; (c) radikal bebas mengganggu sistem transport membran
sel melalui ikatan kovalen, mengoksidasi kelompok thiol, atau dengan merubah
asam lemak polyaunsaturated; (d) radikal bebas menginisiasi peroksidasi lipid
secara langsung terhadap asam lemak polyaunsaturated dinding sel. Peroksidasi
ini akan mempengaruhi fluiditas membran, cross-linking membran, serta struktur
dan fungsi membran (Slater, 1984).
Tubuh mempunyai sistem pertahanan terhadap radikal bebas agar radikal
bebas tidak menyebabkan efek yang merusak. Sistem pertahan ini antara lain
enzim superoxide dismutase yang terdapat di mitokondria dan sitosol, enzim
catalase, dan enzim glutahtion peroxidase (Jackson, 2005, Singh, 1992). Sebagai
tambahan bagi sistem pertahanan yang berbentuk enzim, sel juga dapat
meningkatkan produksi stress proteins atau disebut juga heat shock proteins
(HSPs) untuk melindungi sel dari stres oksidatif dan bentuk stres yang lain
(Khassaf et al., 2003). Selain itu terdapat juga sistem pertahanan yang secara
Universitas Sumatera Utara
langsung dapat merubah radikal bebas menjadi senyawa yang kurang reaktif
seperti vitamin C (Jackson, 2005, Singh, 1992).
2.3. Vitamin E
2.3.1. Kimiawi dan metabolisme vitamin E
Vitamin ini diisolasi oleh Evans dan kawan-kawan (1936) dari wheat-germ
oil. Delapan senyawa tokoferol yang terbentuk di alam yang memiliki aktivitas
vitamin E kini telah diketahui. Bentuk yang paling aktif secara biologi adalah
RRR-α-tokoferol (Gambar 2), yang merupakan kira-kira 90% tokoferol dalam
jaringan hewan dan menunjukkan aktivitas biologis tertinggi dalam sebagian
besar sistem bioasai.
Salah satu sifat kimia tokoferol yang penting adalah bahwa senyawa-senyawa
ini merupakan senyawa redoks yang bekerja sebagai antioksidan dalam beberapa
kondisi tertentu, dalam hal ini tampaknya merupakan dasar untuk sebagian besar,
tetapi mungkin tidak semua, efek vitamin E. Senyawa tokoferol rusak secara
perlahan jika terpajan udara atau sinar ultraviolet (Marcus, R., and Coulston,
A.M., 2007).
Gambar 2. RRR-α-Tokoferol (dari Goodman & Gilman : Dasar Farmakologi Terapi, edisi 10, Jakarta: EGC, 2007)
Universitas Sumatera Utara
2.3.2.Fungsi vitamin E
Sifat-sifat antioksidan vitamin E memperbaiki kerusakan membran biologis
akibat radikal bebas. Vitamin E melindungi asam-asam lemak tak jenuh ganda
(polyunsaturated fatty acid, PUFA) dalam membran fosfolipid dan dalam
lipoprotein bersikulasi (Burton et al., 1983). Radikal-radikal peroksil (ROO •)
bereaksi 1000 kali lebih cepat dengan vitamin E dibandingkan dengan PUFA,
membentuk hydrogen peroksida organik yang sesuai dan radikal tokoferoksil
(vitamin E-O •). Selanjutnya radikal tokoferoksil berinteraksi dengan antioksidan
lain seperti vitamin C, yang akan membentuk kembali tokoferol (Marcus, R., and
Coulston, A.M., 2007).
Vitamin E penting untuk melindungi membran sel darah merah yang kaya
akan asam lemak tidak jenuh ganda dari kerusakan akibat oksidasi. Selain itu
vitamin E melindungi lipoprotein dalam sirkulasi LDL teroksidasi yang ternyata
memegang peranan penting dalam menyebabkan aterosklerosis. Vitamin E dosis
besar (1600 mg/hari) melindungi LDL dari oksidasi. Meskipun masih
kontradiktif, beberapa hasil penelitian epidemiologik mengatakan bahwa vitamin
E dapat memproteksi penyakit kardiovaskuler, namun mekanisme kerjanya tidak
jelas. Vitamin E mengatur proliferasi sel otot polos pembuluh darah,
menyebabkan vasodilatasi dan menghambat baik aktivasi trombosit maupun
adhesi lekosit. Vitamin E juga melindungi β-karoten dari oksidasi (Dewoto, H.R.,
2007).
Semakin tinggi asupan vitamin E, semakin tinggi kadar tokoferol dalam tubuh
seseorang. Namun demikian, kadar tokoferol dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh
Universitas Sumatera Utara
aktivitas tubuh. Selama aktivitas olah raga, vitamin E menunjukkan respon yang
bervariasi (Winarsi,H., 2007).
Pada penelitian Rokitzki, et al (1994) memberikan 300 mg α-tokoferol/hari
selama 5 bulan pada subjek yang melakukan olah raga berat. Dari penelitian ini
ternyata kadar MDA dan keratin kinase meningkat, meski hanya sedikit. Diduga
integritas membran kompromi dengan stress oksidatif, yang menunjukkan melalui
pengukuran keratin kinase dalam serum. Kreatin kinase merupakan protein
intramuskuler yang bocor setelahkerusakan membran, kemudian memasuki serum
(Clarkson, et al., 1988). Temuan ini juga membuktikan bahwa vitamin E
memberikan efek proteksi terhadap stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan
otot karena olah raga.
Pada penelitian Cohen, M.C dan Meyer, D.M (1993) efek dari suplementasi
terhadap kerusakan tulang (jarak dari cementum enamel junction ke alveolar crest
diukur pada garis tengah di bagian lingual dari masing-masing akar molar
mandibula) yang diteliti pada tikus yang tidak distreskan atau distreskan pada
perangkat rotasi selama 90 hari. Pada penelitian pertama, baik kondisi yang diberi
vitamin E maupun stres secara statistik memberi efek yang signifikan tapi ada
substansial dan variabilitas kerusakan tulang pada semua kelompok. Sebelum
dimulainya penelitian kedua, untuk mengurangi perbedaan kerusakan tulang yang
dinyatakan mungkin ada, sebelum pengenalan perlakuan, tikus menerima
antibiotik dalam air minum mereka. Selain itu diperkenalkan stress rotasi lebih
tiba-tiba dari penelitian pertama untuk mengurangi kemungkinan adaptasi.
Kerusakan tulang dan variabilitasnya secara substansial berkurang pada penelitian
Universitas Sumatera Utara
kedua. Analisis data menunjukkan bahwa suplemen vitamin E memiliki efek
protektif yang signifikan secara statistik, yang paling menonjol di lokasi yang
paling rentan terhadap kerusakan. Pada subjek yang stress cenderung terjadi
kerusakan tulang alveolar lebih banyak, tetapi efek ini tidak signifikan.
Penemuaan ini menunjukkan peran vitamin E dalam menjaga kesehatan
periodontal, tetapi juga kepekaan terhadap efek terhadap status periodontal awal.
2.4.Estrogen
2.4.1.Kimiawi Estrogen
Aktivitas estrogenik dimiliki oleh banyak senyawa steroid dan nonsteroid.
Estrogen alami dalam tubuh manusia yang paling kuat adalah 17β-estradiol,
diikuti dengan estron dan estriol (Gambar 3). Tiap molekul ini merupakan suatu
steroid dengan 18 atom karbon yang mengandung satu cincin A fenolik (cincin
aromatik dengan gugus hidroksil pada karbon 3) dan gugus β-hidroksil atau keton
di posisi 17 cincin D. Cincin A merupakan struktur dasar yang bertanggung jawab
terhadap ikatannya yang selektif dan berafinitas tinggi dengan reseptor estrogen.
Sebagian besar substitusi alkil pada cincin A fenolik merusak ikatan tersebut,
tetapi substitusi pada cincin C atau D masih dapat ditoleransi (Loose,
D.S.,Mitchell and Stancel,G.M, 2007)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3.Alur biosintetis estrogen (dari Goodman & Gilman: Dasar Farmakologi Terapi, edisi 10, Jakarta: EGC, 2007)
2.4.2.Peranan estrogen dalam pertumbuhan tulang
Estrogen menghambat aktivitas osteoklas dan dengan sendirinya mengambat
resorpsi tulang dan secara bersamaan estrogen mengaktifkan osteoblas, sehingga
laju pergantian tulang menjadi normal. Estrogen bekerja baik secara langsung
melalui reseptor yang berada di tulang maupun secara tidak langsung dengan
bantuan sitokin dan faktor pertumbuhan. Pada proses pemugaran tulang juga
berperan faktor-faktor lain yang juga berada di bawah pengaruh estrogen (Baziad
Ali, 2003).
2.4.3. Menopauase
Menopause merupakan proses fisiologis pada wanita yang biasa terjadi pada
usia 47-55 tahun, ditandai dengan berhentinya menstruasi sebagai akibat
berhentinya produksi hormon estrogen oleh ovarium (Joenes H, dkk. 2007).
Pada saat menopause, sering kali terjadinya perubahan fisiologis yang
bermakna pada fungsi tubuh, temasuk rasa panas (hot flushes) dengan kemerahan
Universitas Sumatera Utara
kulit yang ekstrem, sensasi psikis dispnea, gelisah, letih, ansietas dan kadang-
kadang keadaan psikotik yang bermacam-macam, serta penurunan kekuatan dan
kalsifikasi tulang di seluruh tubuh. Kira-kira pada 15 persen wanita, gejala-gejala
ini cukup berat sehingga membutuhkan perawatan (Guyton,A.C., and Hall,J.E.,
2007).
Defisiensi estrogen dan osteoporosis dibuktikan oleh Payne, J.B, dkk (1997)
sebagai faktor resiko berkurangnya kepadatan tulang alveolar.
2.5. Tulang
Tulang adalah jaringan ikat khusus yang terdiri atas materi intersel yang
mengapur, yaitu matriks tulang, dan 3 jenis sel : osteosit yang terdapat dalam
rongga (lakuna) di dalam matriks; osteoblas yang membentuk komponen organik
dari matriks; dan osteoklas yang merupakan sel raksasa berinti banyak yang
berperan pada resorpsi dan pembentukan kembali jaringan tulang (Junqueira, L.C,
1997).
2.6. Tulang alveolar
Tulang alveolar (alveolar process) adalah bagian dari maksila dan mandibula
yang membentuk dan mendukung soket gigi (alveoli). Tulang ini terbentuk
sewaktu gigi erupsi untuk memberikan tempat perlekatan bagi ligament
periodontal yang akan terbentuk, namun akan hilang secara bertahap apabila gigi
dicabut.
Universitas Sumatera Utara
Tulang alveolar terdiri atas:
1.Plat eksternal dari tulang kortikal (cortical bone) yang dibentuk oleh tulang
haversian dan lamella tulang kompak.
2.Dinding soket sebelah dalam yang berupa tulang kompak (compact bone) yang
tipis, yang dinamakan tulang alveolar utama (alveolar bone proper). Pada gambar
foto ronsen bagian tulang ini sebagai lamina dura. Secara histologis bagian tulang
ini mengandung lubang-lubang seperti tapis (cribriform plate) melalui bundel-
bundel neurovascular menghubungkan ligament periodontal dengan tulang
kanselous (cancellous bone) yang merupakan bagian tengah tulang alveolar.
3.Trabekula kanselous, yang berada diantara kedua lapisan tulang kompak
tersebut di atas, yang berperan sebagai tulang alveolar pendukung (supporting
alveolar bone). Septum interdental terdiri atas tulang kanselous pendukung yang
dikelilingi oleh tulang kompak.
Selain bagian-bagian tersebut di atas, tulang rahang juga mencakup tulang
basal (basal bone), yaitu bagian tulang rahang yang berada dibagian apikal tetapi
tidak berhubungan dengan gigi (Gambar 4).
Meskipun atas dasar anatomis tulang alveolar dapat dibedakan atas beberapa
bagian, namun kesemuanya secara bersama-sama berfungsi sebagai suatu
kesatuan dalam mendukung gigi (Fiorellini JP, Kirn DM and Ishikawa SO, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Tulang spongy
Plat tulang vestibular
Mandibular canal
Tulang alveolar pendukung
Septum interdental
Tulang basal
Tulang alveolar utama
Gambar 4. Bagian rahang manusia dengan gigi di dalamnya, garis putus-putus menunjukkan pemisahan antara tulang basal dan tulang alveolar (dari Ten Cate AR : Oral histology : development, structure, and function, ed 4, St.Louis, 1994, Mosby)
2.7. Osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu kondisi massa tulang yang rendah dan kerusakan
mikrostruktur yang dengan sedikit saja trauma dapat mengakibatkan fraktur.
Lokasi khas fraktur mencakup badan vertebral, radius distal, dan femur proksimal,
tetapi pasien osteoporosis umumnya mengalami kerapuhan kerangka tulang.
Fraktur di lokasi lain seperti tulang iga dan tulang panjang, juga umum terjadi.
Osteoporosis umumnya terdiri dari dua golongan; osteoporosis primer dan
sekunder. Osteoporosis primer menggambarkan dua keadaan yang secara
mendasar saling berbeda :
Universitas Sumatera Utara
Osteoporosis tipe I, adalah hilangnya tulang trabekula akibat
kekurangan estrogen saat menopause.
Osteoporosis tipe II, adalah hilangnya tulang korteks dan trabekula pada
pria dan wanita akibat tidak efisiennya remodeling pada jangka panjang,
gizi tidak mencukupi, dan aktivasi sumbu paratiroid seiring usia.
Osteoporosis sekunder adalah akibat penyakit sistemik atau dari obat-obatan
seperti glukokortikoid atau fenitoin (Loose, D.S., Mitchell and Stancel,G.M,
2007).
Lee, B.D.,dan. White, S.C (2005) meneliti pada 37 perempuan dan 29 laki-laki
terhadap densitas mineral tulang (BMD), tulang belakang lumbal dan proksimal
femur diukur dengan dual-energy x-ray absorptiometri. variabel klinis termasuk
usia, tinggi dan berat subjek. Kepadatan optik dan morfologi wajah subjek
diukur dari posterior rahang atas dan rahang bawah. Ditemukan adanya hubungan
yang signifikan pada rahang atas dan rahang bawah dengan BMD lumbal
femoralis.
Osteoporosis akan mengakibatkan ketidakseimbangan antara proses resorbsi
tulang dan proses pembentukan tulang. Osteoporosis terjadi karena berkurangnya
hormon estrogen sehingga akan berpengaruhi pada berkurangnya massa dan
kepadatan mineral tulang alveolar. Wanita kehilangan 1-5% massa tulang selama
tahun pertama di awal menopause, kemudian massa tulang hilang secara perlahan.
(Barunawati,S.B, 2006).
Universitas Sumatera Utara
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi FMIPA USU Medan,
Laboratorium Klinik Pramitha Medan, dan Laboratorium Biomedik FK USU
Medan. Penelitian dilakukan pada bulan Januari – bulan Mei 2011.
3.2. Variabel Penelitian
3.2.1. Variabel independent
Latihan fisik maksimal.
Vitamin E.
3.2.2. Variabel dependent
Kadar estrogen (estradiol) dalam darah.
Gambaran histopatologi tulang alveolar.
3.3. Definisi operasional
a. Latihan fisik maksimal : mencit melakukan aktivitas fisik berenang sampai
letih ± selama 20 menit.
b. Vitamin E : 0,4mg α-tokoferol asetat.
c. Kadar estrogen (estradiol) : jumlah estradiol dalam piko gram yang
terdapat dalam 1 ml darah.
Universitas Sumatera Utara
d. Gambaran histopatologi tulang alveolar : kerusakan tulang alveolar dilihat
secara vertikal.
3.4. Bahan dan Alat Penelitian
3.4.1. Bahan penelitian
Bahan biologis. Bahan biologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
mencit betina (Mus musculus L.) yang berumur 12 bulan dengan berat badan 30-
45 gram yang diperoleh dari FMIPA Biologi Universitas Sumatera Utara. Jumlah
hewan uji perkelompok ditentukan dengan rumus (t-1)(n-1) ≥ 15 (Federer., 1963).
Jika t adalah jumlah perlakuan (dalam penelitian ini ada 6 kelompok perlakuan)
dan n adalah jumlah ulangan perkelompok, maka jumlah n yang diharapkan
secara teoritis adalah 4 sehingga di dapat jumlah keseluruhan hewan coba yang
dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 50 ekor yang dipilih dari hasil pembiakan
untuk keperluan penelitian.
Bahan kimia. Bahan kimia yang dibutuhkan pada penelitian ini terdiri dari :
a. Vitamin E cair (DL-α-tokoferol asetat, produksi Merck, Germany), aquadest.
b. Reagensia jenis estradiol strip yang terdiri dari 10 bagian siap pakai dengan
urutan sebagai berikut :
(1) Sampel well
(2), (3), (4) Well kosong
(5) Konjugat (Alkaline phospatase berlabel derivate estradiol + 0,9 gr/l
sodium azide (400µl).
(6) Well kosong.
Universitas Sumatera Utara
(7), (8) : Wash buffer : Tris NaCl (0,05 mol/l) pH 9 + 1 gr/l sodium azide
(600µl).
(9) Wash buffer : diethanolamine (DEA) (1,1 mol/l, pH 9,8) + 1gr/l sodium
azide (600µl).
(10) Cuvette dengan substrate 4-Methyl Umbeliferyl-Phospat (0,6 mmol/l)
diethanolamine (DEA) (0,62 mol/l atau 6,6 %, pH 9,2) + 1gr/l sodium
azide (300µl).
c. Estradiol Solid Phase Receptacle.
Siap pakai, pada bagian ujungnya telah dilekati dengan polyclonal anti –
Estradiol immunoglobulin (mencit).
d. Bahan untuk pemeriksaan histologi tulang :
1. Netral Buffer formalin 10 % (Fiksasi).
2. Asam formik 5% (dekalsifikasi).
3. Aceton.
4. Toluena merck.
5. Parafin blok (keras).
6. Haematoxylin mayer.
7. Eosin 1 %.
8. Acid Alkohol 1 %.
9. Lithium carbonat 1 %.
10. Alkohol 70%, 80 %, 90 %, 96%.
11. Alkohol Absolute.
12. Xylol.
Universitas Sumatera Utara
13. Entelin.
14. Balsem kanada.
3.4.2. Peralatan utama penelitian
Alat utama yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas :
a. Jarum oval (Gavage).
b. Spuit 1 ml.
c. Timbangan.
d. MINI VIDAS.
e. Mikropipet 50-200 µl.
f. Bak bedah dan dissecting set.
g. Cawan petri.
h. Mikrotom.
i. Waterbath.
j. Hot plate.
k. Freezer.
l. Staining jar.
m. Pensil Diamond.
n. Pengukur waktu.
o. Kaca objek.
p. Kaca penutup.
q. Mikroskop cahaya Olympus CX 21.
r. Bak untuk berenang.
Universitas Sumatera Utara
3.5. Disain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental yang didisain mengikuti
Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian ini terdiri dari 6 kelompok
perlakuan, yaitu :
a. Kelompok I (P0) = terdiri dari 8 ekor mencit betina dewasa yang tidak diberi
perlakuan (kelompok kontrol).
b. Kelompok II (P1) = terdiri dari 8 ekor mencit betina dewasa yang diberi
perlakuan latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari.
c. Kelompok III (P2) = terdiri dari 8 ekor mencit betina dewasa yang diberi
vitamin E selama 30 hari.
d. Kelompok IV (P3) = terdiri dari 8 ekor mencit betina dewasa yang diberi
perlakuan latihan fisik maksimal selama 15 hari, selanjutnya 15 hari berikutnya
diberi vitamin E.
e. Kelompok V (P4) = terdiri dari 8 ekor mencit betina dewasa yang diberi
vitamin E selama 15 hari, selanjutnya 15 hari berikutnya diberi perlakuan
latihan fisik maksimal.
f. Kelompok VI (P5) = terdiri dari 8 ekor mencit betina dewasa yang diberi
perlakuan latihan fisik maksimal dan vitamin E selama 30 hari.
Mencit ditempatkan ke dalam kelompok secara random.
Universitas Sumatera Utara
P0 kelompok kontrol
P1 latihan fisik maksimal selama 30 hari
P2 diberi vitamin E selama 30 hari.
P3 latihan fisik maksimal 15 hari, diberi vitamin E selama 15 hari
P4 diberi vitamin E selama 15 hari latihan fisik maksimal 15 hari
P5 latihan fisik maksimal dan vitamin E selama 30 hari
0 15 30 (hari)
3.6. Pelaksanaan Penelitian
3.6.1. Pemeliharaan hewan percobaan
Mencit betina dewasa ditempatkan di dalam kandang yang terbuat dari bahan
plastik (ukuran 30x20x10cm) yang ditutup dengan kawat kasa. Dasar kandang
dilapisi dengan sekam padi setebal 0,5-1 cm dan diganti setiap tiga hari. Cahaya
ruangan dikontrol selama 12 jam terang (pukul 06.00 sampai dengan pukul
18.00), dan 12 jam gelap (pukul 18.00 sampai dengan pukul 06.00), sedangkan
suhu dan kelembaban ruangan dibiarkan berada pada kisaran alamiah. Pakan
(pelet komersial) dan air minum (air PAM) disuplai setiap hari secara berlebih.
Ethical clearance diperoleh dari Komisi Penelitian Hewan Biologi FMIPA
Universitas Sumatera Utara Medan.
3.6.2. Pemberian latihan fisik maksimal
Latihan fisik maksimal dilakukan dengan cara berenang sampai kelelahan
(Laksmi, 2010; Jawi et al., 2008; Yu et al., 2006; Leeuwenburgh and Li, 1998).
Universitas Sumatera Utara
Mencit berenang di dalam wadah kaca (ukuran 100 x 50 x 80 cm) yang diisi
dengan air setinggi 60 cm, tidak ada jalan keluar. Sebagai usaha untuk keluar dari
wadah, tikus akan berenang, menyelam dan memanjat dinding wadah dengan
sekuat tenaga. Saat mencit menghentikan segala gerakannya, kecuali gerakan
untuk bertahan hidup (mempertahankan kepala tetap berada di permukaan air), hal
ini dianggap mencit sudah melakukan latihan fisik maksimal. Segera setelah itu,
keluarkan mencit dari wadah, keringkan dengan handuk kering, dan kembalikan
ke dalam kandang.
3.6.3. Pemberian vitamin E
Vitamin E yang diberikan adalah DL-α-tokoferol asetat yang dilarutkan dalam
aquadest. Dosis vitamin E yang diberikan adalah 0,4mg/hari per oral. Dosis
tersebut hasil dari konversi dosis manusia ke mencit yang merupakan metode
modifikasi dari Ilyas, S.( 2007).
3.6.4. Pengamatan
Setelah 30 hari perlakuan, masing-masing hewan coba dikorbankan dengan
cara dislokasi leher dan selanjutnya dibedah. Setelah itu dilakukan pengamatan
sebagai berikut :
a. Pengamatan kadar estrogen (estradiol)
Pengamatan dilakukan pada hari ke 30 pada semua kelompok baik kelompok
kontrol maupun kelompok perlakuan. Kadar estrogen (estradiol) diperiksa dengan
metode ELFA (Enzyme Linked Fluorescent Assay). Solid Phase Receptacle (SPR)
Universitas Sumatera Utara
yang digunakan pada pemeriksaan ini merupakan fase solid seperti pipet.
Reagensia pada pemeriksaan ini siap pakai dan tersimpan dalam satu bungkus
reagensia strip. Semua tahap pemeriksaan ini dilakukan secara otomatis di dalam
alat.
Sampel dimasukkan ke dalam well yang berisi Alkaline phospatase berlabel
Estradiol (Konjugat). Sampel dan konjugat dicampur masuk dan keluar SPR pada
waktu tertentu dan kecepatan reaksi tertentu.
Komponen yang tidak terikat akan dihilangkan pada saat pencucian. Pada
langkah akhir reaksi substrate (4 - Methyl – umbelliferyl phospat) akan berputar
masuk dan keluar SPR. Enzym konjugat katalisator akan menghidrolisa substrate
menjadi product flourescent (4 – Methyl – umbelliferone). Flouresensi ini diukur
pada panjang gelombang 450 nm. Intensitasnya sebanding dengan konsentrasi
Estrogen (estradiol) dalam serum. (Biomerieux® SA, 2008)
b.Pengamatan gambaran histopatologi tulang alveolar mandibula
Pengamatan gambaran histopatologi tulang alveolar mandibula mencit, dibuat
sediaan histologis menurut Hoeber,P.B (1950) dengan metode parafin,
menggunakan pewarnaan HE (Hematoksilin Eosin). Sesuai dengan cara yang
lazim dikerjakan dalam pembuatan sediaan histologis yaitu: fiksasi, dekalsifikasi,
pencucian, dehidrasi, penjernihan, infiltrasi parafin, penanaman, pengirisan,
penempelan, deparafinasi, pewarnaan, penutupan dan pemberian label.
Universitas Sumatera Utara
Fikasasi
Jaringan tulang mandibula diambil, kemudian difiksasi dalam larutan
netral buffer formalin 10 % selama 2-10 jam.
Dekalsifikasi
Dekalsifikasi adalah menghilangkan bahan anorganik dari jaringan tulang.
Hasil akhir dari dekalsifikasi adalah semua material anorganik sudah tidak ada
pada tulang, sehingga dapat ditanam pada parafin atau celoidin. Mekanisme dari
dekalsifikasi adalah dengan merendam spesimen tulang mandibula pada larutan
asam formik 5%.
Pencucian
Setelah proses fiksasi dilakukan pencucian dengan alkohol 70%.
Dehidrasi
Dilakukan secara bertahap, dengan alkohol 70% selama 10 menit, alkohol
80%, 90%, 96%, masing-masing selama 60 menit, kemudian dengan alkohol
absolut 30 menit.
Penjernihan
Dilakukan segera setelah proses dehidrasi dengan menggunakan toluena
murni.
Infiltrasi
Proses infiltasi parafin dilakukan di dalam oven dengan suhu 56ºC. Organ
tulang mandibula dimasukkan kedalam campuran toluena-parafin dengan
perbandingan 1:1 selama 30 menit. Kemudian berturut dimasukkan kedalam:
Parafin murni I selama 1 jam.
Universitas Sumatera Utara
Parafin murni II selama 1 jam.
Parafin murni III selama 1 jam.
Penanaman
Sediaan dari parafin murni III dimasukkan ke dalam kaset cetakan yang telah
berisi parafin cair, dan dibiarkan sampai parafin mengeras.
Pengirisan
Blok parafin tulang mandibula yang telah mengeras ditempelkan pada holder
dengan menggunakan spatula, letakkan holder beserta blok parafin pada
tempatnya di mikrotom. Pengirisan dilakukan dengan ketebalan 6µm.
Penempelan
Jaringan yang sudah diiris dimasukkan ke dalam water bath agar parafin
hilang/larut. Kemudian jaringan diambil dan ditempel pada kaca objek, lalu
dianginkan/dikeringkan.
Pewarnaan
Pewarnaan dengan hematoxylin-Eosin (H-E) melalui tahapan:
Deparafinisasi preparat dengan xylol sampai bebas parafin.
Hidrasi dengan alkohol 96%, 90%, 80%, 70%, 50%, 30%, akuades.
Inkubasi dalam larutan haematoxylin Erlich selama 30 menit.
Cuci dengan air mengalir ± 10 menit.
Dicelupkan kedalam akuades.
Dimasukkan alkohol 30%, 50%, 70%.
Kemudian dimasukkan kedalam larutan Eosin 0,5% selama 3 menit.
Dehidrasi dengan alkohol mulai dari 70%, 80%, 90% dan alkohol absolut.
Universitas Sumatera Utara
Dikeringkan dengan kertas penghisap.
Inkubasi dengan xylol selama 1 malam.
Penutup
Preparat ditutup dengan gelas penutup setelah ditetesi dengan balsem kanada
terlebih dahulu, lalu diberi label. Pewarnaan dengan hematoksilin-eosin (HE)
yang akan menyebabkan inti berwarna hitam kebiru-biruan dan sitoplasma
berwarna merah. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan histopatologis dengan
menggunakan mikroskop cahaya. Pengamatan gambaran kerusakan tulang
alveolar mandibula dengan pembesaran 400x .
3.7. Analisis Data dan Pengujian Hipotesis
Data dipresentasikan dalam bentuk rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ±
SD). Dilakukan uji normalitas dan homogenitas data. Jika data berdistribusi
normal dan homogen maka dilakukan uji ANOVA. Bila terdapat perbedaan
dilakukan dengan uji Post Hoc untuk melihat perbedaan antar kelompok kontrol
dan masing-masing perlakuan.
Jika distribusi data tidak normal dan atau tidak homogen, maka dilakukan
transformasi data. Kemudian diuji lagi normalitas dan homogenitas data. Apabila
data masih tidak normal distribusinya atau tidak homogen maka diuji dengan uji
Kruskal-Wallis. Untuk melihat perbedaan antar kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan mengunakan uji Mann Whitney. Semua analisis data dilakukan dengan
menggunakan SPSS 18,0. Dalam penelitian ini, hanya perbedaan rata-rata pada
p ≤ 0,05 yang dianggap bermakna (signifikan).
Universitas Sumatera Utara
3.8. Jadwal Penelitian
Keseluruhan kegiatan penelitian ini dari persiapan sampai pada penulisan hasil
penelitian adalah lebih kurang 21 minggu. Urutan kegiatan dan jadwal
pelaksanaan secara lengkap dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Jadwal Penelitian
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
Pada BAB IV ini ditunjukkan beberapa grafik histogram dari rata-rata data
hasil analisis yang berdasarkan pada hipotesis dan tujuan dari penelitian yang
dilakukan selama 30 hari. Urutan tampilan hasil dan pembahasan dari penelitian
ini adalah; (1) Kadar estrogen (estradiol) dalam darah, (2) Gambaran
histopatologi tulang alveolar (jarak dari Cementum Enamel Junction/CEJ ke
Alveolar Crest/AC).
4.1.1. Kadar estrogen (estradiol)
Data pengukuran kadar estrogen dalam darah tiap-tiap mencit betina dewasa
ditunjukkan pada Lampiran 1, Tabel 1. Rata-rata hasil analisis data kadar estrogen
dalam darah mencit betina (Mus musculus L.) ditunjukkan pada Gambar 5. Hasil
analisis distribusi data dan homogenitas variansi adalah sebagai berikut; semua
data kadar estrogen dalam darah distribusinya tidak normal dan variansi datanya
juga tidak homogen. Hasil ini tidak memenuhi asumsi untuk dapat dilakukan uji
parametrik. Kemudian dilakukan transformasi data dan didapatkan data yang tidak
normal dan variansinya tetap tidak homogen. Oleh sebab itu dilakukan uji non
parametrik Kruskal Wallis, dan ditemukan adanya perbedaan yang nyata antara
masing-masing perlakuan penelitian (p<0,05; Lampiran 1, Tabel 1). Selanjutnya
dilakukan uji Mann Whitney untuk melihat perbedaan masing-masing kelompok
Universitas Sumatera Utara
perlakuan.
Hasil uji didapatkan bahwa kadar estrogen yang tertinggi terdapat pada P3
(46,01±2,52 pg/mL), yang berbeda nyata (p<0,05) dengan P0 (31,41±27,51
pg/mL) dan P1 (20,39±5,44 pg/mL), tetapi tidak berbeda nyata dengan P2
(42,94±19,79 pg/mL), P4 (34,42±12,05 pg/mL) dan P5 (38,22±8,64 pg/mL).
Kadar estrogen terendah terdapat pada P1 (20,39±5,44 pg/mL), yang berbeda
nyata dengan P2, P3, dan P5, tetapi tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan P0 dan
P4.
b abb
b
a
a
Gambar 5. Kadar estrogen dalam darah (pg/mL). Keterangan; Grafik histogram pada perlakuan berbeda yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbe- da tidak nyata pada taraf uji 5%. P0= tidak diberi perlakuan (kelompok kontrol); P1= latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari; P2= vi- tamin E selama 30 hari; P3 = latihan fisik maksimal selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi vitamin E; P4 = vitamin E selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi latihan fisik maksimal; P5 = latihan fisik maksimal dan vitamin E selama 30 hari; ┬ = standar deviasi (SD).
Universitas Sumatera Utara
4.1.2. Gambaran histopatologi tulang alveolar (jarak dari Cementum Enamel
Junction/CEJ ke Alveolar Crest/AC)
Hasil pengukuran jarak dari Cementum Enamel Junction ke Alveolar Crest
pada mencit betina dewasa ditunjukkan pada Lampiran 1, Tabel 2. Rata-rata hasil
analisis datanya ditunjukkan pada Gambar 6 dan gambaran histopatologi tulang
alveolar pada Gambar 7. Hasil analisis distribusi data dan homogenitas variansi
adalah sebagai berikut; semua data jarak CEJ ke AC distribusinya normal dan
variansi datanya homogen. Hasil ini memenuhi asumsi untuk dapat dilakukan uji
parametrik. Kemudian dilakukan uji ANOVA pada taraf 5%. dan ditemukan
adanya perbedaan yang nyata antara masing-masing perlakuan penelitian (p<0,05;
Lampiran 1). Oleh sebab itu dilakukan Post Hoc test - Bonferroni untuk melihat
ada/tidaknya perbedaan rata-rata jarak CEJ ke AC antara masing-masing
kelompok perlakuan (P0-P5).
Hasil uji terhadap jarak CEJ ke AC yang terpanjang / terjauh terdapat pada P1
(78,14±10,15 μm), yang berbeda nyata (p<0,05) dengan P3 (40,13±22,64 μm),
tetapi tidak berbeda nyata (p>0,5) dengan P0 (49,48±17,94), P2 (47,56±11,66
μm), P4 (64,53±25,83 μm)dan P5(54,77±14,03 μm). Sedangkan jarak CEJ ke AC
terendah / terdekat terdapat pada P3 (40,13±22,64 μm), yang berbeda nyata
(p<0,05) dengan P1 dan P4, tetapi tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan P0, P2
dan P5.
Universitas Sumatera Utara
ab
b
ab a
b
ab
Gambar 6. Jarak dari cementum enamel junction ke alveolar crest (puncak alveolar). Keterangan; Grafik histogram pada perlakuan berbeda yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata pada taraf uji 5%. P0= tidak diberi perlakuan (kelompok kontrol); P1= latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari; P2 = vitamin E selama 30 hari; P3= latihan fisik maksimal selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi di- beri vitamin E; P4= vitamin E selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi latihan fisik maksimal; P5 = latihan fisik maksimal dan vitamin E selama 30 hari; ┬ = standar deviasi (SD). Gambar 7. Gambar jarak dari cementum enamel junction (CEJ) ke alveolar crest / AC (puncak alveolar) (μm). P0 = tidak diberi perlakuan (kelompok kontrol); P1= latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari; P2= vitamin E selama 30 hari; P3= latihan fisik maksimal selama 15 hari, selanjutnya 15 hari lagi diberi vitamin E; P4= vitamin E selama 15 hari selanjutnya 15 hari lagi latihan fisik maksimal; P5 = latihan fisik maksimal dan vitamin E selama 30 hari. Pembesaran 400x.
CEJ
CEJ
CEJ CEJ
AC
CEJ
AC
AC AC AC
CEJ
ACAC
Universitas Sumatera Utara
4.2. PEMBAHASAN
4.2.1. Kadar Estrogen (Estradiol) darah mencit betina dewasa
Tingginya kadar estrogen pada P3 (latihan fisik maksimal selama 15 hari,
selanjutnya 15 hari lagi vitamin E) (Gambar 5), mungkin disebabkan oleh adanya
pemberian vitamin E yang dapat menekan oksidan (ROS/Reactive Oxygen
Species) yang timbul setelah latihan fisik maksimal. Hal ini terbukti ketika
dibandingkan dengan kadar estrogen yang didapatkan pada P1 atau latihan fisik
maksimal setiap hari selama 30 hari, yang lebih rendah secara nyata (p<0,05)
dibandingkan dengan P3. Pengaruh vitamin E terhadap kadar estrogen mencit
betina terlihat jelas jika dilihat pada perlakuan lainnya yang ada penambahan
vitamin E (P2, P4 dan P5). Menurut Powers and Jackson (2008), latihan fisik
dapat meningkatkan pembentukan ROS dalam otot rangka. Verma et al., (2001)
menyatakan, bahwa pemberian vitamin E 2 mg/hari per oral selama 45 hari
mampu meningkatkan aktivitas enzim superoxide dismutase, glutathione
peroxidase, dan catalase, serta menurunkan kadar MDA testis mencit yang
dipaparkan aflatoksin 25 g/hari per oral selama 45 hari. Senturk et al., (2001)
menyebutkan, latihan fisik maksimal dapat menyebabkan terjadinya stres
oksidatif pada tikus. Ditambahkan oleh Ji (1999), selama latihan fisik maksimal,
konsumsi oksigen seluruh tubuh meningkat 20 kali, sedangkan konsumsi oksigen
pada serabut otot di perkirakan meningkat 100 kali lipat. Peningkatan konsumsi
oksigen ini mengakibatkan meningkatnya produksi radikal bebas yang dapat
menyebabkan kerusakan sel.
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan radikal bebas (ROS) menyebabkan rusaknya sel-sel pembentuk
estrogen melalui peroksidasi lipid pada membran selnya, sehingga estrogen yang
dihasilkannya juga menjadi berkurang. Menurut Kierszenbaum (2007), estrogen
dibentuk di sel-sel granulosa folikel dan sel lutein korpus luteum ovarium.
Rusaknya sel pembentuk estrogen pada kelompok P1 menyebabkan kadar
estrogen menjadi sangat rendah (p<0,05) dibanding dengan latihan fisik maksimal
yang diberi asupan vitamin E (P2-P5). Menurut Leeuwenburgh and Heinecke
(2001), peningkatan metabolisme aerobik selama latihan merupakan sumber
potensial stres oksidatif. Menurut Murdoch and Martinchicky (2004), bahwa sel
permukaan ovarium dapat terkena inflamasi bahan kimia atau radikal bebas.
Folikel menjadi pecah sehingga jadi rusak dan tidak dapat diperbaiki serta
mengalami apoptosis. Kemudian dikatakannya, bahwa penggunaan vitamin E
dapat mencegah kerusakan epitel ovarium domba oleh adanya oksidan.
4.2.2. Jarak CEJ ke AC mencit betina dewasa
Gambaran histopatologi tulang alveolar ditentukan dengan mengukur jarak
dari Cementum Enamel Junction/CEJ ke Alveolar Crest/AC). Jarak yang semakin
jauh, cenderung memperparah patologinya, begitu juga sebaliknya, atau dengan
kata lain semakin kurang tulang alveolarnya. Jarak CEJ ke AC yang paling tinggi
terdapat pada P1 (78,14±10,15 μm) karena aktifitas fisik maksimal yang
dilakukan dan tidak diberi asupan vitamin E. Selain timbulnya radikal
bebas/oksidan yang memperparah kerusakan ovarium (sumber utama estrogen),
juga tidak adanya antioksidan yang ditambahkan (vitamin E). Akibatnya kadar
Universitas Sumatera Utara
estrogen rendah (Gambar 5) dan berdampak pada tingginya jumlah osteoklas dari
pada osteoblas. Hal ini menyebabkan tingginya histopatologi tulang alveolar.
Pada penelitian Shuid et al., (2001) dinyatakan bahwa, vitamin E dapat menahan
laju peningkatan stres oksidatif (radikal bebas) sehingga berfungsi dalam menjaga
kerusakan tulang pada pria dewasa. Misalnya osteoarthritis dan osteoporosis yang
dapat membatasi pergerakan serta meningkatkan peluang untuk patah tulang dan
komplikasi kondisi lain yang berpotensi mengancam.
Pendeknya jarak antara CEJ ke AC menandakan semakin kuatnya kondisi gigi
atau makin panjangnya tulang alveolar tempat gigi tertanam (Gambar 7). Seperti
pada P3 (40,13±22,64 μm) dilakukan latihan fisik maksimal awalnya dan
kemudian diberi asupan asupan vitamin E. Penambahan vitamin ini memicu
bertambahnya estrogen dan menghalangi radikal bebas hasil latihan fisik
maksimal yang merusak ovarium pembentuk utama estrogen. Vitamin E sebagai
antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron
yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari
pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stres oksidatif. Peningkatan
penghasilan estrogen inilah yang dapat memicu pertumbuhan tulang alveolar atau
memperpendek jarak antara AC ke CEJ. Baziad Ali (2003) menyatakan bahwa,
estrogen menghambat aktivitas osteoklas dan dengan sendirinya mengambat
resorpsi tulang dan secara bersamaan estrogen mengaktifkan osteoblas, sehingga
laju pergantian tulang menjadi normal. Estrogen bekerja baik secara langsung
melalui reseptor yang berada di tulang maupun secara tidak langsung dengan
bantuan sitokin dan faktor pertumbuhan. Pada proses pemugaran tulang juga
Universitas Sumatera Utara
berperan faktor-faktor lain yang berada di bawah pengaruh estrogen. Shuid et al.,
(2001) dan Haflah et al., (2009) berpendapat bahwa, suplemen vitamin E dapat
meningkatkan struktur tulang sehingga tulang menjadi kuat. Oleh karena itu,
vitamin E berpotensi digunakan sebagai bahan untuk mengobati osteoporosis atau
sebagai suplemen tulang pada orang dewasa muda dalam mencegah osteoporosis
dikemudian hari.
Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian tentang Pengaruh Pemberian
Vitamin E Terhadap Kadar Hormon Estrogen dan Gambaran Histopatologi
Tulang Alveolar Mencit (Mus musculus L.) Yang Melakukan Latihan Fisik
Maksimal, dapat disimpulkan;
a. Vitamin E berpengaruh terhadap kadar hormon estrogen mencit (Mus
musculus L.) betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal secara
nyata (p<0,05).
b. Vitamin E berpengaruh terhadap stuktur tulang alveolar mencit (Mus musculus
L.) betina dewasa yang melakukan latihan fisik maksimal secara nyata
(p<0,05).
5.2. Saran
a. Disarankan adanya penelitian lanjutan dengan memeriksa kadar hormon lain
seperti progesteron, LH, dan FSH.
b. Adanya penelitian pada tingkat molekuler untuk mempelajari makanisme
molekuler dari latihan fisik maksimal terhadap histologis ovarium.
c. Adanya penelitian terhadap MDA darah, GSH, enzim Q10, SOD, dan
katalase.
d. Adanya penelitian terhadap pemeriksaan jumlah osteoblas dan osteoklas pada
tulang alveolar.
Universitas Sumatera Utara
e. Membandingkan vitamin E dengan antioksidan lain seperti vitamin C dan beta
karotin dalam menekan oksidan (radikal bebas) yang diakibatkan oleh latihan
fisik maksimal pada mencit betina dewasa.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Barunawati, S.B., (2006) Pengaruh osteoporosis terhadap tulang alveolar. Majalah Ceril, 9, 92-7.
Baziad, A. (2003) Menopause dan andropause. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 81.
Biomerieux® SA. (2008) Vidas et SPR sont des marques utilisees, REF 30 431, France, 1-4
Burton, G.W., Joyce, A., and Ingold, K.U., (1983) Is vitamin E the only lipid-soluble, chain-breaking antioxidant in human blood plasma and erythrocyte membrane? Arch. Biochem. Biophys., 221, 281-290.
Casaburi, R. (1992) Principles of exercise training. American College of Chest Physicians, 101, 263-267.
Caspersen, C.J., Powell, K.E., Christenson, G.M. (1985) Physical activity, exercise, and physical fitness : definitions and distinctions for health-related research. Public Health Reports, 126-31.
Chevion, S., Moran, D. S., Heled, Y., Shani, Y., Regev, G., Abbou, B., Berenshtein, E., Stadtman, E. R., Epstein, Y. (2003) Plasma antioxidant status and cell injury after severe physical exercise. Proc Natl Acad Sci U S A, 100, 5119-23.
Clarkson, P.M., and Tremblay, I. (1988) Rapid adaptation to exercise induced muscle damage. Journal of Applied Physiology, 65, 1-6.
Clarkson, P. M. and Thompson, H. S. (2000) Antioxidants: what role do they play in physical activity and health? Am J Clin Nutr, 72, 637S-46S.
Cohen, M.E., and Meyer, D.M. (1993) Effect of dietary vitamin E supplementation and rotational stress on alveolar bone loss in rice rats. Arch, oral Biol 38(7), 7, 601-6
Dewoto, H.R.(2007) Vitamin dan mineral, di dalam Farmakologi dan Terapi, Ed.5, Jakarta, 786-7.
Evans, W. J. (2000) Vitamin E, vitamin C, and exercise. Am J Clin Nutr, 72, 647S-52S.
Federer, W. (1963) Experimental design, theory and application, New York, Mac Millan.
Fiorellini, J.P., Kirn, D.M., and Ishikawa, S.O., (2006) The tooth supporting structures, in: Newman, M.G., Takei, H.H., Klokkevold, P.R., and Carranza, F.A., (eds), Clinical Periodontology, ed 10, St Louis, Saunders Elsevier, 79-80.
Gusty dan Reni Prima (2007). Efek Pemberian Berulang Epinefrin Dosis Terapeutik Maksimal Pada Jumlah Folikel Ovarium Mencit (Mus musculus) Betina. Theses Master. Airlangga University Library. Surabaya Guyton, A. C. and Hall, J. E. (2007) Textbook of medical physiology,
Philadelphia, Elsevier saunders.
Universitas Sumatera Utara
Haflah NH, Jaarin K, Abdullah S, Omar M. (2009), Palm vitamin E and glucosamine sulphate in the treatment of osteoarthritis of the knee. Saudi Med J.;30(11):1432-8. Halliwell, B. and Whiteman, M. (2004) Measuring reactive species and oxidative
damage in vivo and in cell culture: how should you do it and what do the results mean? Br J Pharmacol, 142, 231-55.
Hoeber, P.B. (1950) Technique for decalcifying bone. Microscopical Techique, 271-2.
Ilyas, S. (2007) Azoospermia Dan Pemulihannya Melalui Regulasi Apoptosis Sel Spermatogenik Tikus (Rattus sp.) Pada Penyuntikan Kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) Dan Depot Medroksiprogesteron Asetat (DMPA), Disertasi Program Doktor Ilmu Biomedik Fak. Kedokteran Univ. Indonesia. Jakarta, 71.
Jackson, M. J. (2005) Reactive oxygen species and redox-regulation of skeletal muscle adaptations to exercise. Philos Trans R Soc Lond B Biol Sci, 360, 2285-91.
Jawi, I.M., Suprapta, D.N., Subawa, A.A.N. (2008) Ubi Jalar Ungu menurunkan Kadar MDA dalam Darah dan Hati Mencit setelah Aktivitas Fisik Maksimal. Jurnal Veteriner, 9(2), 65-72.
Ji.L.L. (1999). Antioxidant Enzyme Response to Exercise and Aging. Med Scient Sport Exercise, 25, 225-231. Joenes, H., Fatma, D., Gultom, F., Djamal, N (2007) Aktivitas enzim peroksidase
saliva pada wanita sebelum dan sesudah menopause. Dentika Dental Journal, 12, 10-13
Junqueira, L.C.,Carneiro, J., Kelley, R.O. (1997) Histologi dasar, Ed.8, Jakarta :EGC, 136.
Khassaf, M., Mcardle, A., Esanu, C., Vasilaki, A., Mcardle, F., Griffiths, R. D., Brodie, D. A. & Jackson, M. J. (2003) Effect of vitamin C supplements on antioxidant defence and stress proteins in human lymphocytes and skeletal muscle. J Physiol, 549, 645-52.
Kierszenbaum, AL. (2007). Histology and cell biology: an introduction to pathology. Paperback, Older Edition, 1, Book, ISBN: 0323016391. p.572
Laksmi, D.N.D.I (2010) Glutathion meningkatkan kualitas tubulus seminiferus pada mencit yang menerima pelatihan fisik berlebih. Buletin Veteriner Udayana, 3, 719-21.
Lee, B.D., and White, S. C., (2005) Age and trabecular features of alveolar bone associated with osteoporosis, Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 100, 92-8. Leeuwenburgh, C., Ji, L.L. (1998) Glutathione and Glutathione Ethyl Ester
Supplementation of Mice Alter Glutathione Homeostasis during Exercise. The Journal of Nutrition, 128, 2420-26.
Leeuwenburgh, C and J. W. Heinecke.( 2001) Oxidative Stress and Antioxidants in Exercise. Current Medicinal Chemistry, 8, 829-838 829 Loose, D.S., Mitchell, and Stancel, G.M. (2007) Estrogen dan Progestin, dalam
Goodman & Gilman, Dasar Farmakologi Terapi, Ed.10, Jakarta : EGC, 1569.
Universitas Sumatera Utara
Marcus, R., and Coulston, A.M. (2007) Vitamin E, di dalam Goodman dan Gilman Dasar Farmakologi Terapi, Ed.10, Jakarta : EGC, 1753-4.
Murdoch, W.J. and J.F. Martinchicky (2004). Oxidative Damage to DNA of Ovarian Surface Epithelial Cells Affected by Ovulation: arcinogenic Implication and Chemoprevention Exp. Biol. Med. 229: 546–552, 2004 Payne, J.B., Zach, N.R., Reinhardt, R.A., Nummikoski, P.V., Patil, K.(1997) The
association between estrogen status and alveolar bone density change in postmenopausal women with a history of periodontitis. J Periodontol, 68, 24-31.
Pedersen, B. K. and Hoffman-Goetz, L. (2000) Exercise and the immune system: regulation, integration, and adaptation. Physiol Rev, 80, 1055-81.
Power, S.K. and Howley, E.T. (2007) Exercise Physiology : Theory and Application to Fitness and Performance. Mc Graw Hill International Edition, 87-9.
Powers SK and Jackson MJ (2008) Exercise-induced oxidative stress: Cellular mechanisms and impact on muscle force production. Physiol Rev 88:1243–1276.
Rokitzki, L.E, Logemann, A.N., Sagredos, M. Murphy,W. Wetzel-Roth, dan J. Keul (1994) Lipid Peroxidation and Antioxidative Vitamins Under Extreme Endurance Stress. Acta Physiologia of Scandinavian, 151, 149-158.
Senturk, U. K., Gunduz, F., Kuru, O., Aktekin, M. R., Kipmen, D., Yalcin, O., Bor-Kucukatay, M., Yesilkaya, A. & Baskurt, O. K. (2001) Exercise-induced oxidative stress affects erythrocytes in sedentary rats but not exercise-trained rats. J Appl Physiol, 91, 1999-2004.
Senturk, U. K., Gunduz, F., Kuru, O., Kocer, G., Ozkaya, Y. G., Yesilkaya, A., Bor-Kucukatay, M., Uyuklu, M., Yalcin, O. & Baskurt, O. K. (2005) Exercise-induced oxidative stress leads hemolysis in sedentary but not trained humans. J Appl Physiol, 99, 1434-41.
Singh, V. S. (1992) A Current Perspective on Nutrition and Exercise. J Nutr, 122, 760-65.
Slater, T. F. (1984) Free-radical mechanisms in tissue injury. Biochem J, 222, 1-15.
Sonneborn, J. S. and Barbee, S. A. (1998) Exercise-induced stress response as an adaptive tolerance strategy. Environ Health Perspect, 106 Suppl 1, 325-30.
Vander, A. J., Sherman, J. H. & Luciano, D. S. (2001) Human physiology:the mechanism of body function, Boston, McGraw-Hill.
Verma, R.J., Nair, A. (2001) Ameliorative effect of vitamin E on aflatoxin- induced lipid peroxidation in the testis of mice. Asian J Androl, 3, 217-21 Winarsi, H. (2007) Antioksidan Alami dan Radikal Bebas: Potensi dan
Aplikasinya dalam Kesehatan. Kanisius, Yogyakarta, 153.
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 1. Analisis Data Kadar Estrogen atau Estradiol Tabel 1. Data Kadar Estrogen pada berbagai perlakuan penelitian (pg/mL) Perlakuan
Ulangan P0 P1 P2 P3 P4 P5 1 16,17 19,23 57,52 47,20 36,77 40,78 2 16,32 18,20 62,00 47,23 13,74 31,14 3 19,75 17,51 51,97 44,95 36,57 51,82 4 24,55 30,00 21,26 42,14 40,00 30,88 5 80,24 17,00 21,97 48,52 45,00 36,48
Rata-rata 31,41 20,39 42,94 46,01 34,42 38,22 SD 27,51 5,44 19,79 2,52 12,05 8,64
Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Data Kadar Estrogen
Tests of Normality
.398 5 .009 .656 5 .003
.384 5 .015 .693 5 .008
.276 5 .200* .811 5 .100
.282 5 .200* .907 5 .450
.371 5 .023 .804 5 .087
.198 5 .200* .884 5 .327
KelompokP0
P1
P2
P3
P4
P5
EstrogenStatistic df Sig. Statistic df Sig.
Kolmogorov-Smirnova
Shapiro-Wilk
This is a lower bound of the true significance.*.
Lilliefors Significance Correctiona.
Test of Homogeneity of Variance
2.914 5 24 .034
.913 5 24 .489
.913 5 12.978 .503
2.435 5 24 .064
Based on Mean
Based on Median
Based on Median andwith adjusted df
Based on trimmed mean
Estrogen
LeveneStatistic df1 df2 Sig.
Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Lampiran 1 NPar Tests Kruskal-Wallis Test
Ranks
5 10.80
5 6.80
5 20.60
5 22.60
5 14.80
5 17.40
30
KelompokP0
P1
P2
P3
P4
P5
Total
EstrogenN Mean Rank
Test Statisticsa,b
11.503
5
.042
Chi-Square
df
Asymp. Sig.
Estrogen
Kruskal Wallis Testa.
Grouping Variable: Kelompokb.
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
5 5.60 28.00
5 5.40 27.00
10
KelompokP0
P1
Total
EstrogenN Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
12.000
27.000
-.104
.917
1.000a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailedSig.)]
Estrogen
Not corrected for ties.a.
Grouping Variable: Kelompokb.
Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Lampiran 1 NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
5 4.40 22.00
5 6.60 33.00
10
KelompokP0
P2
Total
EstrogenN Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
7.000
22.000
-1.149
.251
.310a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailedSig.)]
Estrogen
Not corrected for ties.a.
Grouping Variable: Kelompokb.
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
5 4.00 20.00
5 7.00 35.00
10
KelompokP0
P3
Total
EstrogenN Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
5.000
20.000
-1.567
.117
.151a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailedSig.)]
Estrogen
Not corrected for ties.a.
Grouping Variable: Kelompokb.
Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Lampiran 1 NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
5 4.80 24.00
5 6.20 31.00
10
KelompokP0
P4
Total
EstrogenN Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
9.000
24.000
-.731
.465
.548a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailedSig.)]
Estrogen
Not corrected for ties.a.
Grouping Variable: Kelompokb.
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
5 4.00 20.00
5 7.00 35.00
10
KelompokP0
P5
Total
EstrogenN Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
5.000
20.000
-1.567
.117
.151a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailedSig.)]
Estrogen
Not corrected for ties.a.
Grouping Variable: Kelompokb.
Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Lampiran 1 NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
5 3.40 17.00
5 7.60 38.00
10
KelompokP1
P2
Total
EstrogenN Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
2.000
17.000
-2.193
.028
.032a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailedSig.)]
Estrogen
Not corrected for ties.a.
Grouping Variable: Kelompokb.
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
5 3.00 15.00
5 8.00 40.00
10
KelompokP1
P3
Total
EstrogenN Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
.000
15.000
-2.611
.009
.008a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailedSig.)]
Estrogen
Not corrected for ties.a.
Grouping Variable: Kelompokb.
Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Lampiran 1 NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
5 4.00 20.00
5 7.00 35.00
10
KelompokP1
P4
Total
EstrogenN Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
5.000
20.000
-1.567
.117
.151a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailedSig.)]
Estrogen
Not corrected for ties.a.
Grouping Variable: Kelompokb.
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
5 3.00 15.00
5 8.00 40.00
10
KelompokP1
P5
Total
EstrogenN Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
.000
15.000
-2.611
.009
.008a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailedSig.)]
Estrogen
Not corrected for ties.a.
Grouping Variable: Kelompokb.
Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Lampiran 1 NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
5 6.00 30.00
5 5.00 25.00
10
KelompokP2
P3
Total
EstrogenN Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
10.000
25.000
-.522
.602
.690a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailedSig.)]
Estrogen
Not corrected for ties.a.
Grouping Variable: Kelompokb.
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
5 6.40 32.00
5 4.60 23.00
10
KelompokP2
P4
Total
EstrogenN Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
8.000
23.000
-.940
.347
.421a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailedSig.)]
Estrogen
Not corrected for ties.a.
Grouping Variable: Kelompokb.
Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Lampiran 1 NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
5 6.00 30.00
5 5.00 25.00
10
KelompokP2
P5
Total
EstrogenN Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
10.000
25.000
-.522
.602
.690a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailedSig.)]
Estrogen
Not corrected for ties.a.
Grouping Variable: Kelompokb.
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
5 7.60 38.00
5 3.40 17.00
10
KelompokP3
P4
Total
EstrogenN Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
2.000
17.000
-2.193
.028
.032a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailedSig.)]
Estrogen
Not corrected for ties.a.
Grouping Variable: Kelompokb.
Lanjutan Lampiran 1
Universitas Sumatera Utara
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
5 7.00 35.00
5 4.00 20.00
10
KelompokP3
P5
Total
EstrogenN Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
5.000
20.000
-1.567
.117
.151a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailedSig.)]
Estrogen
Not corrected for ties.a.
Grouping Variable: Kelompokb.
NPar Tests Mann-Whitney Test
Ranks
5 5.60 28.00
5 5.40 27.00
10
KelompokP4
P5
Total
EstrogenN Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsb
12.000
27.000
-.104
.917
1.000a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailedSig.)]
Estrogen
Not corrected for ties.a.
Grouping Variable: Kelompokb.
Lampiran 2.
Universitas Sumatera Utara
Analisis Data Jarak CEJ ke AC Tabel 2. Data Jarak CEJ ke AC pada berbagai perlakuan penelitian (μm) Perlakuan
Ulangan P0 P1 P2 P3 P4 P5 1 33,16 65,65 63,78 58,86 36,83 39,43 2 36,65 69,03 44,08 66,33 38,63 76,72 3 41,64 84,54 40,00 11,71 68,94 54,83 4 75,44 82,85 35,02 26,01 88,45 46,53 5 60,50 88,63 54,93 37,72 89,82 56,33
Rata-rata 49,48 78,14 47,56 40,13 64,53 54,77 SD 17,94 10,15 11,66 22,64 25,83 14,03
Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Data Jarak CEJ ke AC
Tests of Normality
.269 5 .200* .890 5 .358
.279 5 .200* .877 5 .298
.217 5 .200* .949 5 .729
.196 5 .200* .954 5 .768
.242 5 .200* .836 5 .155
.256 5 .200* .936 5 .638
KelompokP0
P1
P2
P3
P4
P5
Jarak_CEJ_ke_ACStatistic df Sig. Statistic df Sig.
Kolmogorov-Smirnova
Shapiro-Wilk
This is a lower bound of the true significance.*.
Lilliefors Significance Correctiona.
Test of Homogeneity of Variance
2.295 5 24 .077
1.206 5 24 .336
1.206 5 20.127 .342
2.259 5 24 .081
Based on Mean
Based on Median
Based on Median andwith adjusted df
Based on trimmed mean
Jarak_CEJ_ke_AC
LeveneStatistic df1 df2 Sig.
Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Lampiran 2 Anova - Jarak CEJ ke AC Oneway
ANOVA
Jarak_CEJ_ke_AC
4649.619 5 929.924 2.879 .036
7750.759 24 322.948
12400.378 29
Between Groups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Lampiran 2 Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Jarak_CEJ_ke_AC
Bonferroni
-28.66200 11.36571 .281 -65.6958 8.3718
1.91600 11.36571 1.000 -35.1178 38.9498
9.35200 11.36571 1.000 -27.6818 46.3858
-15.05600 11.36571 1.000 -52.0898 21.9778
-5.29000 11.36571 1.000 -42.3238 31.7438
28.66200 11.36571 .281 -8.3718 65.6958
30.57800 11.36571 .192 -6.4558 67.6118
38.01400* 11.36571 .041 .9802 75.0478
13.60600 11.36571 1.000 -23.4278 50.6398
23.37200 11.36571 .762 -13.6618 60.4058
-1.91600 11.36571 1.000 -38.9498 35.1178
-30.57800 11.36571 .192 -67.6118 6.4558
7.43600 11.36571 1.000 -29.5978 44.4698
-16.97200 11.36571 1.000 -54.0058 20.0618
-7.20600 11.36571 1.000 -44.2398 29.8278
-9.35200 11.36571 1.000 -46.3858 27.6818
-38.01400* 11.36571 .041 -75.0478 -.9802
-7.43600 11.36571 1.000 -44.4698 29.5978
-24.40800 11.36571 .631 -61.4418 12.6258
-14.64200 11.36571 1.000 -51.6758 22.3918
15.05600 11.36571 1.000 -21.9778 52.0898
-13.60600 11.36571 1.000 -50.6398 23.4278
16.97200 11.36571 1.000 -20.0618 54.0058
24.40800 11.36571 .631 -12.6258 61.4418
9.76600 11.36571 1.000 -27.2678 46.7998
5.29000 11.36571 1.000 -31.7438 42.3238
-23.37200 11.36571 .762 -60.4058 13.6618
7.20600 11.36571 1.000 -29.8278 44.2398
14.64200 11.36571 1.000 -22.3918 51.6758
-9.76600 11.36571 1.000 -46.7998 27.2678
(J) KelompokP1
P2
P3
P4
P5
P0
P2
P3
P4
P5
P0
P1
P3
P4
P5
P0
P1
P2
P4
P5
P0
P1
P2
P3
P5
P0
P1
P2
P3
P4
(I) KelompokP0
P1
P2
P3
P4
P5
MeanDifference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
The mean difference is significant at the .05 level.*.
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 3 Pengamatan tulang alveolar di laboratorium Biomedik USU
(1) (2)
(3) (4)
Keterangan Gambar :
1. Melihat preparat di mikroskop. 2. Gambar gigi yang di bawah
mikroskop.
(5)
CEJ 3. Gambar gigi di monitor. 4. Gambar tulang alveolar yang mau
diukur. 5. Gambar hasil pengukuran jarak
CEJ ke AC. CEJ : Cemento Enamel Junction,
36,65 µm
AC
AC : Alveolar Crest
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 4. Surat Rekomendasi Persetujuan Etik Penelitian Kesehatan
Universitas Sumatera Utara