PENGARUH OBAT

download PENGARUH OBAT

of 40

description

iweq,mw

Transcript of PENGARUH OBAT

PENGARUH OBAT-OBATAN ANESTESI PADA JANTUNG

OBAT ANESTESI DAN PENGARUHNYA PADA JANTUNG

dr. Erwin Kresnoadi, M.Si.Med, Sp.AnBagian / SMF Anestesi FK Unram / RSU Prov NTBPENDAHULUAN

Jantung memiliki 4 ruang yaitu 2 atrium dan 2 ventrikel. Atrium berfungsi sebagai pompa primer ke ventrikel, tetapi juga berkontraksi lemah untuk memfasilitasi pergerakan darah ke ventrikel. Ventrikel merupakan pompa yang kuat untuk mensuplai tenaga yang mengalirkan darah melalui sirkulasi sistemik dan pulmonal. Sistol merupakan kontraksi yang interval waktunya antara penutupan katup trikuspidal dan mitral dan penutupan katup aorta dan pulmonal. Diastol merupakan periode ralaksasi yang ada antara interval penutupan katup aorta dan pulmonal dan penutupan katup trikuspidal dan mitral. Mekanisme khusus di jantung menjaga ritme kardiak dan mengirimkan potensial aksi melalui otot yang ditandai dengan kontraksi (1).

Otot jantung merupakan sinsitium yang sel-selnya berikatan kuat, yang mana ketika salah satu selnya terangsang, potensial aksinya akan menyebar ke seluruh otot tersebut. Akibatnya, stimulasi tunggal atrium atau sel ventrikel menyebabkan potensial aksi yang menjalar ke seluruh massa otot dimana kontraksi atrium dan ventrikel sebagai unit tunggal. Sinsitium atrium terpisah dari sinsitium ventrikel oleh jaringan ikat fibrosa yang mengelilingi cincin-cincin valvular. Potensial aksi dikonduksikan dari sinsitium atrial ke sinsitium ventricular oleh jalur konduksi khusus yang disebut atrioventricular bundle. Otot jantung, seperti otot skelet, lurik dan berisi filamen aktin dan miosin.

Potensial aksi jantung normal merupakan hasil dari perubahan permeabilitas membran sel otot jantung terhadap ion sodium, potassium, kalsium dan klorida selama fase 0 4 potensial aksi. Potensial istirahat transmembran membrane sel otot jantung normal antara 80 hingga 90 mv dan ditunjukkan fase 4 (tabel 1.1). Depolarisasi dan pembalikan potensial transmembran ditunjukkan pase 0, sedangkan tiga fase repolarisasi adalah 1, 2, 3.(1,2). Membrane sel miokardial normalnya permeabel terhadap K+, tetapi relatif impermeabel terhadap Na+ (2) .

Pada kontras potensial aksi neuron, penghentian potensial aksi kardiak diikuti oleh fase plateu kurang lebih 0,2 0,3 detik. Ketika potensial aksi otot skelet dan saraf akan membukakan secara mendadak saluran sodium cepat didalam membran sel, dibandingkan dalam otot jantung yang akan membukakan kedua saluran sodium cepat (the spike) dan saluran kalsium lambat (the plateu). Depolarisasi juga berhubungan dengan penurunan sementara permeabilitas potassium. Pemulihan selanjutnya permeabilitas normal potassium dan penutupan saluran kalsium dan sodium akhirnya memulihkan potensial membran ke normal.

Tabel 1. Pergerakan ion selama fase potensial aksi jantung2

FaseNamaKejadianPergerakan seluler ion

0UpstrokeAktivasi (pembukaan) saluran Na+ cepatNa+ masuk dan menurunkan permeabilitas K+

1Repolarisasi cepatInaktivasi saluran Na+ dan peningkatan sementara permeabilitas K+K+ keluar

2PlateauAktivasi saluran Ca2+ lambatCa2+ masuk

3Repolarisasi akhirInaktivasi saluran Ca2+ dan peningkatan permeabilitas terhadap ion K+K+ keluar

4Potensial istirahat atau repolarisasi diastolicMemulihkan permeabilitas normal (sel atrial dan ventricular)

Kebocoron intrinsik lambat sodium dan kemungkinan depolarisasi spontan Ca2+ dalam selK+ keluar, Na+ masuk, Ca2+ masuk

MEKANISME PERDARAN DARAH JANTUNG

1. Hukum Starling

Jantung merupakan organ kompleks yang memerlukan pemahaman secara detil, dikarenakan merupakan bagian utama sistem sirkulasi, sehingga kejadian yang terjadi di jantung memerlukan perhatian khusus. Sebagai alat pompa sirkulasi, yang memompakan darah ke sistemik, faktor utamanya yang menentukan jumlah darah yang di pompa oleh jantung setiap menitnya adalah kecepatan aliran darah ke dalam jantung dari vena-vena, yang kemudian lebih dikenal sebagai venous return, dimana setiap jaringan perifer tubuh mengawasi aliran darahnya sendiri dan dalam berbagai keadaan jumlah darah yang mengalir melalui semua jaringan perifer akan kembali ke atrium kanan melalui vena-vena, yang selanjutnya jantung akan memompa darah yang datang tersebut ke dalam sistem arteri dan terus berulang dalam sirkuit. Artinya, jantung harus menyesuaikan dirinya setiap waktu terhadap pemasukan darah yang sangat bervariasi, kadang-kadang turun hingga 2 3 liter permenit dan di waktu lain meningkat hingga 25 liter atau lebih tiap menitnya(3).

Hukum Starling menyatakan bahwa jantung mempunyai kemampuan intrinsik untuk menyesuaikan terhadap perubahan beban darah yang masuk. Pada dasarnya menyatakan bahwa bila jantung makin banyak terisi selama fase diastolik, maka akan semakin besar jumlah darah yang dipompa ke dalam aorta. Dalam batas fisiologisnya dinyatakan bahwa jantung memompa semua darah yang masuk ke dalam jantung tanpa memungkinkan terjadinya bendungan darah yang berlebihan dalam vena, atau dengan kata lain bahwa jantung dapat memompa darah dalam jumlah sedikit ataupun banyak tergantung pada jumlah darah yang mengalir ke dalam jantung dari vena dan secara otomatis menyesuaikan beban yang ada selama jumlah totalnya tidak melebihi batas fisiologis yang dapat dipompa oleh jantung.

Regangan miokard ventrikel berhubungan dengan tekanan dinding ventrikel yang dihubungkan dengan volume ventrikel tertutup atau filling. Filling ventrikel kiri (LV Filling), yang dianggap lebih penting, merupakan kerja ventrikel kiri untuk memompa darah ke sirkulasi sistemik dan yang paling sering terjadi gangguan. LV Filling dikatakan sebagai volume absolut (Left Ventricular End Diastolic Volume / LVEDV), agar mempermudah dalam pengukurannya, maka sering disebut dengan Left Ventricular End Diastolic Pressure (LVEDP), Pulmonary Artery Occlusion Pressure (PAOP), Central Venous Pressure (CVP)(4).

Pemendekan otot ventrikel menyebabkan aliran darah progresif, disebut sebagai output ventrikel atau volume skuncup ventrikel kiri atau cardiac output. Pada gambar memperlihatkan jika LV filling bertambah, maka LV output akan meningkat (hingga pada titik dimana miokardial mengalami peregangan berlebihan dan terjadi kerusakan mekanik). Pada peningkatan status inotropik atau kontraktilitas (terlihat selama latihan atau ketakutan), kurva Starling yang baru akan terbentuk, kira-kira sejajar dengan kurva normal tetapi bergeser ke atas dan ke kiri. Jadi, peningkatan kontraktilitas menyebabkan aliran darah lebih progresif pada volumefilling ventrikel yang rendah. Pada gagal jantung, keadaan ini menjadi terbalik. Gagal pompa miokard sering disebabkan oleh penurunan kontraktilitas intrinsik, dimana pada keadaan ini kurva Starling bergeser ke bawah dan ke kanan. Ini artinya diperlukan volume filling yang lebih tinggi untuk mencapai cardiac output yang sama dibandingkan dengan jantung yang tidak gagal. Hukum Starling yang ekstrem terlihat pada masa perioperatif untuk pasien dengan penyakit kardiovaskuler, oleh karena seringnya dilakukan manipulasi volume ventrikel, sehingga ketika terjadi beban jantung yang berlebihan maka terjadilah overdistensi miokard yang menyebabkan cedera mekanik miofibril yang cepat dan berpotensi menyebabkan gagal jantung (gambar)(4).

2. Venous Return (Aliran Balik Vena)

Aliran balik vena dapat dijalaskan secara sederhana sebagai kembalinya darah ke jantung. Sistem kardiovaskuler terdiri dari jantung dan pembuluh darah. Sehingga sistem vaskuler berperan penting terhadap jumlah darah ke jantung tiap satuan waktu, dikarenakan volume ventrikel menentukan outpu ventrikel (hukum Starling) dan sifat pembuluh darah berperan dalam cardiac output. Resistensi arterial berperan penting menentukan tekanan darah, dimana vena merupakan pembuluh darah kapasitans, sehingga venodilatasi akan menghasilkan pengumpulan darah, yang berpotensi menurunkan kembalnya darah ke jantung untuk dipompa ke seluruh tubuh(3,4).

Pada kegagalan ventrikel, peningkatan volume ventrikel kiri dapat menyebabkan terjadinya oedem paru dan iskemik miokard. Venodilatasi dapat menurunkan dengan cepat volume ventrikel dan menghilangkan gejala oedem paru dan iskemik miokard. Banyak obat-obatan kardiovaskuler yang mempunya efek venodilator dan vasodilator, sehingga efek masing-masing obat terhadap venous return harus diperhatikan. Penurunan venous return yang tidak diharapkan selama pemberian obat-obatan kardiovaskuler yang mempunyai efek vasodilator dapat dicegah dengan pemberian cairan intravena secara bersamaan.

3. Resistensi Vaskuler Sistemik (SVR) dan Inotropik Miokard

Afterload merupakan tekanan dinding ventrikel kiri yang dibutuhkan untuk melawan tahanan terhadap ejeksi darah dari ventrikel kiri yang dibutuhkan untuk melawan tahanan terhadap ejeksi darah dari ventrikel pada saat sistol. Biasanya afterload dianggap sebagai outflow dan dinyatakan sebagai systemic vascular resistance SVR) dengan persamaan :

SVR menunjukkan tonus vaskuler (dilatasi atau kontraksi). Cardiac output yang rendah dapat terjadi karena turunnya status inotropik atau karena peningkatan SVR (peningkatan afterload). Jika peningkatan SVR menyebabkan gagal jantung, maka pengobatan dengan vasodilator arterial harus dititrasi secara benar yang diikuti dengan pemberian cairan intravena agar tetap lebih efektif(4).

Inotropik miokard adalah kemampuan intrinsik sel-sel miokard untuk berkontraksi lebih kuat. Gangguan pada miokard serin berhubungan dengan penurunan status inotropik, termasuk pada saat latihan, serta intervens dengan katekolamin dapat meningkatkan status inotropik. Hal ini dapat dijelaskan dengan hukum Starling, dimana peningkatan status volume akan menghasilkan kontraksi yang lebih efektif. Kenyataannya, perubahan status inotropik secara keseluruhan menghasilkan kurva Starling yang baru (gambar c), dengan peningkatan inotropik menghasilkan kontraktilitas yang lebih besar pada saat tekanan filling ventrikel kiri dibanding pada saat normal. Selanjutnya peningkatan volume ventrikel kiri dapat menghasilkan kontraksi ventrikel yang lebih efektif, termasuk pada gagal jantung (hingga titik tertentu), tetapi derajat keefektifan terapi volume tergantung pada lokasi kurva Starling itu sendiri (hubungan dengan status inotropik harus dikenali). Hal ini merupakan titik kritis untuk pengambilan keputusan intervensi pengobatan selanjutnya(4).

4. Laju Jantung

Cardiac output ditentukan oleh volume sekuncup (jumlah darah yang diejeksi tiap denyut) dikalikan laju jantung. Oleh karena itu, peningkatan laju jantung menyebabkan lebih banyak darah yang diejeksi dari jantung (kecuali jika laju jantung diatas 120x/menit), dimana waktu diastol ventrikel tidak sempurna, dan volume sekuncup mulai menurun). Ketepatan irama juga amat penting, dimana koordinasi atrial (irama sinus) menyebabkan ejeksi ventrikel menghasilkan cardiac output yang optimal. Aritmia atrial dan ventrikel menyebabkan gangguan koordinasi yang akan menyebabkan cardiac output menjadi tidak optimal, sehingga harus dikendalikan dengan obat-obat antiaritmia(4).

OBAT OBATAN ANESTESI YANG SERING DIGUNAKAN

I. ANESTESI NON-INHALASI(1)A. Barbiturat : phenobarbital, thiopentalB. Non Barbiturate : etomidate, propofol, ketaminC. Benzodiazepin : diazepam, midazolamD. Opioid :

Agonis Opioid : morphine, meperidine, fentanyl, tramadol Antagonis Agonis Opioid : naloxoneE. Muscle Relaxant :

Non-Depolarising : pancuronium bromida, atracurium besylate, vecuronium bromida Depolarising : succinylcholine F. Antikholinergik : atropin, glikopirolatG. Antihistamine : diphenhidramineH. NSAID : ketorolakI. Antasida : metokloporamindeJ. Serotonin : ondansetronK. Antikolinesterase : neostigminL. Antidisritmi Jantung : phenitoin, amiodaron, lidocainM. Vasodilator Perifer : nitrogliserin, sodium nitroprusideN. Digitalis : digoxinO. Simpatomimetik :

Katekolamin : epinefrin, norepinefrin, dopamin Sintetik Katekolamin : dobutamin Sintetik Non-Katekolamin : efedrin P. Antihipertensi

Simpatolitik : propranolol, klonidin ACE inhibitor : captopril

Ca-Channel blocker : nifedipine, diltiazem

Diuretik : furosemid, mannitolQ. Anestesi Lokal (amida) : lidokain, bupivakain, ropivakain, II. ANESTESI INHALASI(1) :

A. Nitrous Oxide

B. Halothane

C. Enflurane

D. Isoflurane

E. Sevoflurane

F. Desflurane

I. ANESTESI NON-INHALASI

A. Barbiturat

Barbiturat merupakan turunan dari asam barbiturat, yang mengurangi aktivitas system saraf pusat, merupakan komponen siklik yang didapat dari urea dan asam malonat. Obat golongan ini memiliki kemampuan hipnotik sedatif, karenan memiliki berinteraksi dengan penghambat neurotransmiter GABA pada SSP. Reseptor GABA merupakan reseptor komplek yang berisi hingga 5 subunit glikoprotein. Ketika reseptor ini diaktivasi, maka penghantaran transmembran klorida akan meningkat menghasilkan hiperpolarisasi membran sel post sinap dan menghambat fungsi neuron post sinap. Interaksi barbiturat (dan propofol) dengan komponen membran spesifik receptor GABA menurunkan rerata disosiasi GABA dari reseptornya, kemudian meningkatkan durasi GABA yang diaktivasi oleh terbukanya kanal ion klorida. Barbiturat sendiri mampu meniru aksi GABA dengan secara langsung mengaktivasi kanal klorida.

Barbiturat secara selektif menekan transmisi pada ganglio sistem saraf simpatis pada konsentrasi dimana tidak terdeteksi efeknya pada konduksi saraf. Efek ini mungkin menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik yang menyertai pemberian barbiturat intravena. Pada pemberian barbiturat dosis tinggi, akan menurunkan aktifitas membran post sinap terhadap aksi depolarisasi asetilkolin.

Efek Samping Pada Sistem Kardiovaskuler

Dosis sedatif barbiturat oral tidak menghasilkan efek kardiovaskuler bermakna dari penurunan tekanan darah sistemik dan frekwensinya jarang yang berhubungan dengan tidur fisiologis. Efek hemodinamik dosis yang sama dari methoheksital, thiamylal, dan thiopental diberikan untuk induksi anestesi intravena yang sama. Pada subyek yang normovolemik, thiopental 5 mg/kg intravena akan menghasilkan kurang lebih 20 30 mmHg penurunan tekanan darah yang dikompensasi dengan peningkatan frekwensi jantung sebesar 15 20x/ menit. Dosis thiopental ini menimbulkan depresi miokard yang minimal hingga yang tidak terpengaruh. Penurunan kontraktilitas miokard nampak setelah induksi anestesi dengan barbiturat, besarnya penurunan ini tidak sebesar yang dihasilkan oleh anestetik voltil. Disritmi jantung setelah induksi dengan barbiturat kurang disukai pada ventilasi dan oksigenasi yang tidak adekuat.

Penjelasan yang paling sering untuk takikardi kompensatorik dan kontraktilitas miokard yang tidak berubah berhubungan dengan pemberian thiopental intravena dalah baroreseptor sinus karotis yang diperantarai peningkatan aktifitas sistem saraf perifer.pada saat tidak adanya aktifitas kompensatorik sistem saraf simpatis perifer, misal pada preparat isolasi jantung, efek inotropik negatif barbiturat akan timbul. Depresi miokard secara langsung, berhubungan dengan overdosis barbiturat atau pemberian dosis besar barbiturat yang digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial.

Penurunan ringan atau sedang tekanan darah sistemik yang terjadi pada induksi anestesi dengan barbiturat secara prinsip disebabkan oleh vasodilatasi perifer, depresi pusat vasomotor medulla dan penurunan sistem saraf simpatis dari SSP. Dilatasi pembuluh darah perifer mengakibatkan terkumpulnya darah, penurunan aliran balik vena dan berpotensi untuk menurunkan cardiac output dan tekanan darah. Pengeluaran histamin dapat terjadi pada respon pemberian intravena cepat barbiturat, tetapi hal ini jarana terjadi. Hipotensi mirip reaksi alergi yang disebut proses non-immunologis yang diperantarai oleh pelepasan histamin, dapat dipicu oleh thiopental. Pada model invitro, thiopental dan thiamylal, tetapi bukan methoheksital, dapat memacu pelepasan histamin (Gbr.).

Vasodilatasi pembuluh darah otot skelet dan kulit menimbulkan hilangnya panas dan menurunkan suhu tubuh. Kenyataannya bahwwa tekanan darah dan cardiac output berubah minimal. Induksi anestesi intravena dengan barbiturat menggambarkan respon sinus karotis yang diperantarai reflek baroreseptor untuk menghilangkan efek vasodilatasi perifer. Tidak adanya kompensasi yang diperantarai baroreseptor meningkatkan aktifitas sistem saraf simpatis perifer, terkumpulnya darah di perifer dapat mengakibatkan penurunan venous return, cardiac output, dan tekanan darah. Pada pasien hipovolemik yang tidak dapat mengkompensasi efek vasodilatasi perifer barbiturat, mudah mengalami penurunan tekanan darah sistemik ketika obat ini diberikan secara cepat pada saat induksi intravena. Penatalaksanaan dengan menggunakan antagonis -adrenergik atau obat antihipotensi yang beraksi central secara teori dapat menurunkan tekanan darah yang diakibatkan oleh barbiturat dengan menghalangi aktifitas respon kompensatorik baroreseptor.

Pemberian thiopental intravena secara pelan, lebih disukai untuk menimbulkan respon reflek kompensatorik dan meminimalkan penurunan tekanan darah sistemik dibandingkan dengan injeksi cepat. Hal ini penting pada kejadian hipovolemik. Pemberian intravena cepat atau lambat thiopental terhadap pasien normovolemik mengakibatkan penurunan tekanandarah dan meningkatkan frekwensi jantung (tabel .)(Seltzer et al., 1980). Akhirnya, pemberian pelan 50 mg intravena secara bertahap umtuk mencapai hasil klinis (hilangnya reflek bulu mata) lebih baik daripada dosis tunggal.

B. Non-Barbiturat

Etomidat(5)Merupakan obat hipnotik kuat tanpa efek analgesi, dengan onset yang cepat dan durasi yang singkat. Dosis induksi 0,15 0,3 mg/kg dalam 5 15 detik pasien tidak sadar selama 5 15 menit. Kelarutan dalam lemak tinggi, sehingga mudah terdistribusi dengan cepat ke seluruh organ dan jeringan. Metabolisme di hepar (98%) dan diekskresikan melalui ginjal. Etomidat tidak menyebabkan pelepasan histamin, karena itu, mempunyai efek kardiovaskuler minimal dan respirasi yang minimal, memberikan kestabilan hemodinamik yang lebih besar dibandingkan yang lainnya. Parameter kardiovaskuler, seperti denyut jantung, indeks kardiak, stroke volume, tekanan darah, resistensi vaskuler sistemik dan pulmonal sedikit terpengaruh.

Propofol(1)Pengganti isopropilphenol yang diberikan secara intravena berupa larutan 1% dalam larutan minyak kedelai (10%), gliserol (2,25%), dan fosfatida telur yang disaring (1,2%). Propofol lebih menimbuljkan tekanan darah lebih banyak daripada yang ditimbulkan oleh thiopental dalam dosis yang sebanding. Penurunan tekanan darah ini sering disertai oleh perubahan yang sesuai dengan curah jantung atau tahanan vaskuler sistemik. Efeknya akan semakin berlebihan pada pasien dengan hipovolemik, pasien lanjut usia, dan pasien yang mempunyai penurunan fungs ventrikel kiri yang disebabkan oleh penyakit arteri koroner. Namun, adanya penurunan tekanan darah, sering tidak disertai perubahan denyut jantung, hal ini dispekulasikan adanya efek simpatolitik atau vagotonik dari propofol. Bradikardi dan/atau blok jantung telah ditemukan menyusul induksi dengan propofol, hingga direkomendasikan agar obat-obatan antikolinergik diberikan apabila stimulasi vagus mungkin terjadi berkaitan dengan penggunaan obat ini.

Ketamin(1)Merupakan derivat phenylcyclidine yang menimbulkan anestesi disosiatif, yang merupakan keadaan kataleptik dimana mata tetap terbuka disertai tatapan nistagmik lambat, pasien tidak komunikatif walaupun nampak dalam keadaan sadar. Pada kardiovaskuler, efeknya menyerupai stimulasi sistem saraf simpatik, dimana tekanan darah arteri sistemik dan pulmonalis, denyut jantung, curah jantung, verja jantung, dan kebutuhan oksigen miokard naik. Kenaikan tekanan darah sistolik pada orang dewasa yang menerima ketamin dosis klinis hdala antara 20 40 mmHg, dan kenaikan pada tekanan darah diastolik agak lebih kecil. Efek stimulasi kardiovaskuler pada sirkulasi sistemik dan pulmonal dapat berkurang atau dicegah dengan pemberian anestetik inhalasi secara bersamaan, termasuk nitrous oxida. Diperkirakan bahwa vasokonstriksi yang diinduksikan ketamin dapat memeliharan tekanan darah dengan mengorbankan perfusi jeringan. Efek ketamin terhadap irama jantung tidak meyakinkan. Ketamin meningkatkan aritmogenitas epinefrin, sebaliknya ketamin mungkin menghilangkan disritmia jantung yang diinduksi epinefrin.

Mekanisme efek kardiovaskuler yang ditimbulkan ketamin hdala komplek. Stimulasi langsung atas sistem saraf pusat yang mengakibatkan meningkatnya aliran darah keluar pada sistem saraf simpatik tampaknay merupakan mekanisme yang paling penting. Bukti untuk mekanisme ini adlaah kemampuan anestetik inhalasi, blokade ganglionik, anestesi epidural servikal, dan transeksi medulla spinalis untuk mencegah kenaikan yang diinduksi ketamin pada tekanan darah dan denyut jantung. Selanjutnya, naiknya konsentrasi epinefrin dan norepinefrin dalam plasma terjadi setelah 2 menit pemberian ketamin intravena dan kembali ke level kontrol 15 menit kemudian. Secara in vitro, ketamin menimbulkan depresi miokard langsung, ini menegaskan peran penting yang utuh sistem saraf simpatis akan efek stimulasi jantung dari obat ini. Depresi aktifitas baroreseptor yang mengakibatkan aktivasi sistem saraf simpatis belum dikonfirmasi sebagai mekanisme yang menyebabkan efek kardiovaskuler dari ketamin. Peran inhibisi yang diinduksi ketamin terhadap pengambilan norepinefrin dalam ujung saraf simpatik posganglionik dan peranan peninggian yang berkaitan dengan konsentrasi katekolamin plasma terhadap efek stimulasi jantung dari obat tersebut belum diketahui.

C. Benzodiazepin

Merupakan obat yang memiliki 5 fungsi pokok farmakologis, yaitu : sedasi, anti-anxietas, anti konvulsi, pelumpuh otot dengan mediator susunan saraf spinal, dan menyebabkan amnesia anterograd (pengertian terhadap informasi baru). Golongan ini tidak berpengaruh kuat terhadap relaksasi otot dalam operasi, meskipun pada dosis blok neuromuskuler. Dibandingkan dengan barbiturat, benzodiazepin cenderung menimbulkan ketergantungan dan toleransi yang lebih rendah, memiliki batas aman yang lebih besar, dan jarang menimbulkan efek interaksi yang merugikan. Tidak berpengaruh pada enzim mikrosomal hepar. Lebih aman dalam hal adiksi obat dibandingkan golongan opioid, kokain, amfetamin, atau barbiturat.

Golongan ini menggantikan barbiturat untuk medikasi preoperatif dan produksi sedasi selama perawatan termonitor anestesi. Dalam hal ini, midazolam sebagai benzodiazepin yang lebih sering digunakan untuk menggantikan diazepam dalam periode perioperatif untuk medikasi preoperatif dan sedasi intravena. Sebagai contoh, dalam hal paruh waktu diazepam dan lorazepam memanjang.

Midazolam

Merupakan benzodiazepin yang larut dalam air dengan rantai imidazol yang menyebabkan obat ini stabil dalam larutan cair dan memiliki kemampuan metabolik cepat. Dibandingkan dengan diazepam, kemampuannya lebih poten 2 3 kalinya. Serta memiliki afinitas terhadap reseptor benzodiazepin 2 kali lebih baik daripada diazepam.

Pemberian 0,2 mg/kg intravena untuk induksi, menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik dan meningkatkan frekwensi nadi lebih sering dibandingkan diazepam. Perubahan hemodinamik ini sama dengan perubahan yang disebabkan thiopental 3 4 mg/kg intravena. Cardiac output tidak terpengaruh oleh midazolam, mengesankan bahwa perubahan tekanan darah seharusnya menurun dalam resistensi vaskuler sistemik. Dalam hal ini, mungkin benzodiazepin lebih menguntungkan dalam memperbaiki cardiac output pada gagal jantung kongestif. Pada keadaan hipovolemi, pemberian midazolam mengakibatkan peninggian tekanan darah menurunkan efek yang sama yang dihasilkan oleh obat induksi yang lain. Midazolam tidak dapat mempertahankan denyut jantung dan tekanan darah yang diakibatkan oleh intubasi ET. Pada kenyataannya, stimulasi mekanik ini mungkin mengimbangi efek penurunan tekanan darah pada pemberian dosis besar midazolam intravena. Efek midazolam pada tekanan darah sistemik berhubungan langsung dengan konsentrasi plasma benzodiazepin. Bagaimanapun juga stabilitas konsentrasi plasma nampaknya ada (ceiling effect) terhadap perubahan kecil yang lebih jauh terjadi pada tekanan darah sistemik.

Diazepam(1)Golongan benzodiazepin yang sangat mudah larut dalam lemak dan memiliki durasi yang lebih panjang dibanding midazolam. Terhadap sistem kardiovaskuler, pemberian 0,5 1 mg/kg intravena dapat menimbulokan sedikit depresi pada tekanan darah sistemik, cardiac output, resistensi vaskular sistemik yang sama besar dengan yang diamati pada keadaan tidur normal (10% - 20% menurun). Ada depresi baroreseptor sesaat yang diperantarai oleh respon laju jantung yang lebih kecil dibandingkan depresi yang dibangkitkan oleh anestesi voltil, tetapi pada pasien hipovolemik, terpengaruh dengan optimal perubahan kompensatorik. Pada pasien dengan penurunan tekanan LVED, dosis kecil diazepam secara signifikan menurunkan tekanannya. Diazepam tampaknya tidak beraksi langsung pada susunan saraf pusat, dan tidak menyebabkan hipotensi ortostatik. Kejadian dan besarnya penurunan tekanan darah sistemik yang diakibatkan diazepam nampaknya lebih sedikit dibandingkan yang berhubungan dengan pemberian intravena barbiturat untuk induksi anestesi. Namur, adakalanya, pasien mungkin mengalami hipotensi yang tak terduga dengan dosis kecil diazepam. Penambahan nitrous oxida setelah induksi anestesi dengan diazepam tidak berhubungan dengan sifat perubahan jantung. Bagaimanapun juga, nitrous oxida dapat diberikan pada pemberian diazepam untuk memastikan hilangnya kesadaran pasien selama pembedahan. Ini merupakan perbedaan depresi miokard langsung dan dengan penurunan tekanan darah sistemik yang terjadi ketika nitrous oxida diberikan bersamaan dengan opioid.

Demikian juga, pemberian diazepam sebelumnya, 0.125 0.5 mg/kg intravena, diikuti injeksi fentanyl 50g/kg intravena, berhubungan dengan penurunan resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah sistemik yang tidak menyertai pada pemberian opioid tunggal.

D. Opioid(1)Opium berasal dari bunga candu yang mengandung 20 macam alkaloid yang berbeda-beda dari opium. Opioid memiliki keunikan dalam menghasilkan efek analgesik dengan tanpa disertai hilangnya sensasi perabaan, proprioseptif, ataupun kesadaran. Pengelompokannya meliputi agonis opioid, agonis-antagonis opioid, dan antagonis opioid.

Agonis Opioid

Morfin

Merupakan prototip agonis opioid pembanding dari opioid-opioid lainnya. Pada manusia menghasilkan efek analgesi, euphoria, sedasi dan mengurangi daya konsentrasi. Sensasi lanilla yang ditimbulkan meliputi mual, tubuh terasa hangat, extremitas terasa berat, mulut terasa kering dan pruritus, khususnya pada kulit di sekitar hidung. Penyebab nyeri menetap, tetapi dosis rendah morfin meningkatkan ambang nyeri dan merubah persepsi terhadap stimulasi yang merugikan seperti yang dirasakan bukan sebagai nyeri. Nyeri tumpul yang terus-menerus lebih dapat dikurangi secara efektif dengan pemberian morfin dibandingkan nyeri tajam, nyeri terus-menerus. Berkebalikan dengan analgesik non-opioid, morfin efektif untuk mengatasi nyeri visera yang sama baiknya seperti pada otot skelet, persendian, dan struktur kulit. Analgesi dalah efek morfin yang paling penting yang diberikan sebelum terjadinya stimulus nyeri. Morfin lebih sering menimbulkan disforia.

Pada sistem kardiovaskuler, pemberian morfin dengan dosis besar (1 mg/kg IV) pada pasien normovolemik yang tidur telentang tampaknya menyebabkan depresi miokard secara langsung atau hipotensi. Pada pasien yang sama perubahan posisi dari telentang ke duduk/berdiri, dapat menyebabkan terjadinya hipotensi ortostatik dan sinkop, hal ini diperkirakan menggambarkan adanya gangguan kompensasi sistem saraf simpatis yan diinduksi oleh morfin. Contohnya, morfin menurunkan peran sistem saraf simpatis terhadap tonos vena perifer yang mengakibatkan terjadinya penurunan venous return, cardiac output, dan tekanan darah.

Morfin juga dapat memicu terjadinya penurunan tekanan darah sistemik yang disebabkan oleh bradikardi yang diinduksi oleh obat dan terjadinya pelepasan histamin. Bradikardi yang diinduksi morfin disebabkan peningkatan aktifitas nervus vagus yang kemungkinan menggambarkan stimulus terhadap nukleus-nukleus vagus didalam medulla. Morfin juga memiliki efek depresan langsung pada sinoartrial dan bekerja dengan memperlambat konduksi impuls jantung melalui nodus atrioventrikuler. Ini menjelaskan kemungkinan terjadinya penurunan kerentanan terhadap fibrilasi ventrikel pada pemberian morfin. Pemberian opioid (morfin) pada premedikasi preoperatif atau sebelum dilakukannya induksi anestesi (fentanil) cenderung memperlambat denyut jantung selama terpapar anestesi voltil dengan atau tanpa adanya stimulasi pembedahan.

Pelepasan histamin yang diinduksi opioid dan berkaitan hipotensi merupakan variabel pada inciden ataupun derajatnya. Besarnya pelepasan histamin yang diinduksi morfin dan penurunan tekanandarah sistemik yang terjadi sesudahnya dapat diminimalkan dengan cara : (a) membatasi kecepatan pemberian infus dari morfin menjadi 5 mg/menit IV, (b) mempertahankan pasien agar tetap dalam posisi telentang, dan (c) mengoptimalkan volume cairan intravaskuler. Sebaliknya, pemberian morfin 1 mg/kg IV dalam kurun waktu 10 menit menimbulkan peningkatan yang significan dari konsentrasi histamin plasma yang sebanding dengan terjadinya penurunan darah sistemik yang signifikan.

Morfin tidak mensesitisasi jantung terhadap katekolamin atau menjadi predisposisi timbulnya disritmia jantung sepanjang tidak terjadi hiperkarbia atau hipoksemia arterial yang disebabkan oleh efek depresi pernafasan dari opioid. Takikardi dan hipertensi yang terjadi pada anestesi dengan menggunakan morfin bukan merupakan efek farmakologis dari opioid, tetapi lebih dikarenakan respon terhadap stimulasi nyeri akibat pembedahan yang tidak disupresi oleh morfin. Sistem saraf simpatis dan mekanisme renin-angiotensin berperan pada respon terhadap kardiovaskuler.

Morfin ataupun agonis opioid lainnya dengan dosis besar dapat menurunan kecenderungan terjadinya takikardi dan hipertensi sebagai respon terhadap adanya nyeri, tetapi sekali respon ini timbul, maka pemberian opioid tambahan tempaknya tidak memberikan manfaat. Selama anestesi, agonis opioid biasanya diberikan bersamaan dengan anestesi inhalasi untuk memastikan terjadinya amnesia yang sempurna terhadap rangsang nyeri akibat operasi. Kombinasi agonis opioid seperti morfin atau fentanil dengan nitrous oksida mengakibatkan terjadinya depresi kardiovaskuler (penurunan cardiac output dan tekanan darah sistemik yang ditambah dengan terjadinya peningkatan tekanan pengisian jantung/ cardiac filling pressure), yang tidak akan terjadi bila obat ini hanya diberikan sebagai obat tunggal saja. Adanya penurunan resistensi vaskuler sistemik dan tekanan darah sistemik mungkin pada pemberian kombinasi opioid dengan benzodiazepin, sedangkan obat ini tidak akan terjadi pada pemberian salah satu obat saja.

Meperidin

Merupakan sebuah agonis opioid sintetis pada reseptor mu dan kappa yang diturunkan dari fenilpiperidin. Memiliki efek antispasmodik ringan yang mirip atropin. Potensinya sepersepuluh morfin, dapat diabsorbsi dengan baik di saluran pencernaan. Efek yang dihasilkan berupa sedasi, euforia, mual, muntah, dan depresi nafas yang sama dengan morfin.

Efek pada sistem kardiovaskuler mirip morfin. Pada dosis terapi menimbulkan hipotensi ortostatik. Namun pada kenyataannya, hipotensi yang ditimbulkan setelah injeksi lebih berat daripada morfin. Kejadian hipotensi ortostatik menunjukkan bahw ameperidin sama dengan morfin, mempengaruhi reflek-reflek kompensasi sistem saraf simpatis. Meperidin, berkebalikan dengan morfin, jarana menyebabkan bradikardi tetapi dapat meningkatkan frekwensi denyut jantung, hal ini mencerminkan sifat atropin-like dari obat ini. Pemberian dalam dosis besara dapat menurunkan kontraktilitas miokard.

Fentanyl

Agonis opioid sintetis turunan dari fenilpiperidin, yang memiliki potensi 75 125 kali lebih besar dibandingkan dengan morfin. Pada kardiovaskuler, pemberian dosis besar fentanil tidak menimbulkan pelepasan histamin. Akibatnya, tidak mungkin terjadi dilatasi pembuluh darah vena yang menimbulkan hipotensi. Kontrol reflek baroreseptor sinus karotis penurunannya nyata pada pemberian fentanil 10 g/kg IV pada neonatus. Oleh karena itu, perubahan tekanan darah sistemik yang terjadi selama anestesi fentanyl, harus diberikan secara hati-hati karena cardiac output pada neonatos sangat tergantung pada denyut jantung. Bradikardi lebih menonjol pada fentanil dibandingkan pada morfin dan mungkin sesekali memicu penurunan tekanan darah dan cardiac output.

TramadolMerupakan analgesik yang bekerja central yang afinitasny rendah pada receptor opioid mu tetapi hanya 5 10 kali lebih poten dibandingkan morfin sebagai analgesi. Efek analgesi tramadol mungkin juga menggambarkan kemampuan obat ini untuk mencegah pengambilan neuronal 5-HT (serotonin) dan norepinefrin dan memfasilitasi pelepasan 5-HT. Dalam hal ini, tramadol mungkin mempengaruhi secara langsung jalur katekolamin sentral oleh pencegahan norepinefrin. Pada sukarelawan, antagonis naloxon hanya memperkirakan 30% efek tramadol.

Antagonis Agonis Opioid

Obat-obat golongan ini mengikat reseptor mu, yang menimbulkan pembatasan respon (agonis sebagian) atau tak berefek (antagonis kompetitif). Sebagai tambahan, obat-obat golongan ini sering menekan aksi agonis parsial pada reseptor lain, termasuk reseptor kappa dan delta. Sifat antagonis obat-obatan ini dapat mengurangi manfaat (kemanjuran) pemberian agonis opioid berikutnya. Efek sampingnya sama dengan agionis opioid, dan sebagai tambahan, obat-obatan ini menimbulkan reaksi disforik. Keuntungan antagonis agonis opioid adalah kemampuannya untuk menghasilkan analgesia dengan depresi ventilasi terbatas dan potensinya rendah untuk menghasilkan ketergantungan fisik. Lebih jauh lagi, obat-obatan ini mungkin memiliki ceiling effect seperti peningkatan dosis yang tidak menimbulkan respon tambahan. Ceiling effect pada depresi ventilasi, bagaimanapun juga, sering disertai oleh kemampuan menurunkan kebutuhan anestesi dengan cara yang sama.

Naloxone

Selektif ketika digunakan pada (a) pentalaksanaan opioid yang menyebabkan depresi ventilasi sebagaimana terjadi pada masa pasca operasi, (b) penatalaksanaan opioid yang menyebabkan depresi ventilasi pada neonatus yang ibunya mendapatkan opioid, (c) penatalaksanaan overdosis opioid, dan (d) mendeteksi pasien dengan ketergantungan fisik.

Naloxone 1 4 g/kg IV, mempercepat hilangnya analgesi yang ditimbulkan opioid dan depresi ventilasi. Stimulasi kardiovaskuler setelah pemberian naloxone, bermanifestasi pada peningkatan aktifitas sistem saraf simpatis, diduga menggambarkan pembalikan analgesi secara kasar dan persepsi nyeri secara tiba-tiba. Ini meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis mungkin manifestasinya seperti takikardi, hipertensi, edem paru, dan disritmi jantung. Kejadian fibrilasi ventrikel setelah pemberian naloxone IV dan berhubungan peningkatan mendadak aktifitas sistem saraf simpatis. Naloxone dengan mudah dapat menembus plasenta.

E. Pelumpuh Otot

Efek farmakologi utamanya adalah menghambat impuls saraf di neuromuscular junction. Berdasarkan perbedaan elektrofisiologis dalam mekanisme kerja dan durasinya dibagi dalam golongan depolarisasi (menyerupai aksi asetilkolin) dan non-depolarisasi (mengganggu aksi asetilkolin) yang dibagi lagi menjadi obat dengan masa kerja panjang, intermediate, dan pendek. Obat-obatan penghambat neuromuskuler menimbulkan hambatan pada fase-I, fase-II, atau blokade neuromuskuler non-depolarisasi.

Non Depolarisasi

Obat-obatan ini secara klasik dikenal bekerja bersamaan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa menyebabkan beberapa aktivasi saluran reseptor ion. Secara spesifik, obat-obatan ini dapat bertindak secara kompetitif dengan asetilkolin pada subunit alpha reseptor kolinergik nikotinik postjunctional tanpa menyebabkan perubahan konfigurasi reseptor-reseptor ini. Sebagai tambahan, khususnya pada dosis tinggi, mungkin beraksi memblokade saluran reseptor ion. Obat-obatan golongan ini juga bekerja pada reseptor nikotinik prejunctional, tetapi aksi pada daerah postjunctional adalah yang terpenting.

Obat-obatan non-depolarisasi mungkin menggunakan efek kardiovaskuler melalui pelepasan histamine yang diakibatkan pelepasan histamine atau substansi vasoaktif yang lain (pelepasan prostasiklin dari sel mast), efek pada reseptor muskarinik, atau efeknya pada reseptor nikotinik pada ganglia otonom. Perbedaan jenis yang ada pantas dipertimbangkan karena berkenaan dengan mekanisme yang bertanggung jawab pada efek peredaran obat-obatan blokade neuromuskuler. Efeknya bervariasi pada setiap pasien, tergantung pada aktifitas saraf otonom, premedikasi, obat yang diberikan untuk anestesi dan obat lainnya.

Perbedaan antara dosis yang menimbulkan hambatan neuromuskuler dan efek sirkulatori disebut autonomic margin of safety. Dosis ED95 pancuronium yang menimbulkan blokade neuromuskuler kemungkinan juga menimbulkan perubahan sirkulatori (HR), dan batas otonom keamanannya sempit. Sebaliknya, vecuronium, rocuronium, dan cisatracrium memiliki batas keamanan otonomnya luas karena dosis ED95 perlu untuk menimbulkan blokade neuromuskuler yang lebih sedikit dibandingkan dosis yang memicu perubahan sirkulatori.

Tabel 2. Mekanisme obat blokade neuromuskuler disebabkan efek kardiovaskuler

Pelepasan HistaminReseptor Muskarinik jantungReseptor muskarinik pada ganglia otonom

SuccinylcholineSedikitStimulasi ringanStimulasi ringan

PancuroniumTidak adaBlokade ringanTidak ada

AtracuriumSedikitTidak adaTidak ada

VecuroniumTidak adaTidak adaTidak ada

RocuroniumTidak adaTidak adaTidak ada

Pancuronium

Merupakan obat pelumpuh otot golongan non-depolarisasi yang memiliki durasi yang lama (60 90 menit). Sebelumnya dilaporkan bahwa pancuronium menurunkan kebutuhan anestesi halothan (MAC) yang tidak muncul lagi setelah pemberian dosis paralisi pancuronium, vecuronium, atau atracurium.

Efeknya pada sistem kardiovaskuler secara khusus menimbulkan peningkatan 10% - 15% HR, MAP, dan cardiac output. Efek-efek kardiovaskuler ini berhubungan selektif dengan blokade vagal kardiak (efek atropine-like terbatas pada reseptor muskarinik kardiak) dan aktivasi sistem saraf simpatis. Keduanya melepaskan norepinefrin dari ujung saraf adrenergik dan blokade pengambilan norepinefrin kembali keujung saraf postganglionik dianggap sebagai mekanisme untuk mengaktifkan sistem saraf simpatis oleh pancuronium. Pancuronium mungkin juga bergabung dengan aktifitas reseptor muskarinik yang normalnya menghambat pelepasan norepinefrin. Demikian juga, pancuronium mungkin menimbulkan blokade reseptor muskarinnik yang normalnya melepaskan dopamin, lalu memfasilitasi transmisi melalui ganglia otonom oleh pengaruh inaktivasi inhibitori sel dopaminergik. Peningkatan sirkulasi katekolamin plasma setelah pemberian pancuronium IV membantu aktivasi sistem saraf sim[atis yang dipicu oleh obat.

Secara prinsip, pancuronium meningkatkan HR dengan menghalangi reseptor muskarinik pada nodus sinoatrial yang dibuktikan oleh kemampuan pemberian atropin sebelumnya untuk memblok respon ini. Efek simpatomimetik pancuronium tampaknya berperan kecil ppada respon HR. Sesunggunhnya respon HR yang dipicu oleh pancuronium masih terjadi pada pasien yang diterapi dengan antagonis beta-adrenergik. Besarnya peningkatan HR yang dipicu oleh pancuronium tampaknya lebih tergantung pada HR sebelumnya (hubungan terbalik) dibanding dosis atau rata-rata pemberian pancuronium. Tanda peningkatan HR sebagai respon terhadap pancuronium nampaknya lebih mungkin terjadi ada pasien dengan konduksi atrioventrikuler yang berubah impuls jantung, begitupun yang terjadi pada keadaan atrial fibrilasi.

Peningkatan sedang tekanan darah setelah pemberian pancuronium, menunjukkan efek HR pada cardiac output pada ketiadaan perubahan resistensi vaskuler sistemik. Efek inotropik positif pancuronium tidak nampak. Peningkatan insiden disritmi yang telah diamati setelah pemberian pancuronium, tetapi bukan scholin, pada pasien yang diterapi kronik dengan digitalis. Disritmi kardiak mungkin menunjukkan perubahan mendadak keseimbangan aktivitas sistem saraf otonom sesuai sistem saraf simpatis. Efek stimulasi kardiak pancuronium mungkin juga meningkatkan kejadian iskemik miokard pada pasien dengan penyakit arteri koroner. Pelepasan histamin dan blokade ganglion otonom tidak ditimbulkan oleh pancuronium.

AtracuriumMerupakan obat-obatan blokade neuromuskuler non-depolarisasi dengan masa kerja intermediate (sedang). Dengan ED95 0,2 mg/kg yang onsetnya 3 5 menit dan durasi blokade neuromuskulernya 20 35 menit. Aksinya berada di reseptor presinaptik dan postsinaptik. Obat ini blokade neuromuskuler oleh hambatan langsung dengan jalur ion melalui saluran reseptor kolinergik nikotinik.

Atracurium didesain secara khusus untuk secara spontan menurun secara in vivo (eliminasi Hoffmann) pada temperatur dan pH normal. Perubahan tekanan darah dan HR tidak menyertai pemberian cepat atracurium IV dalam dosis 2xED95 dengan latar belakang anestesi nitrous oksida, fentanyl, halothan, dan isofluran. Selama anestesi nitrous oksida-fentanil, pemberian cepat atracurium 3xED95 menaikkan HR 8,3% dan menurunkan MAP 21,5%. Perubahan sirkulasi ini bersifat sementara selama 60 90 detik dan akan hilang dalam 5 menit. Pemberian cepat dosis tinggi bisa menimbulkan kemerahan pada wajah, sebagai akibat pelepasan histamin yang menyertai perubahan sirkulasi. Sesungguhnya, konsentrasi plasma histamin meningkat sementara dan perubahan paralel HR dan tekanan darah ketika atracurium 0,6 mg/kg diberikan secara cepat. Sebaliknya, pada dosis yang sama pemberian atracurium lebih dari 30 75 detik atau cepat tetapi pasien sebelumnya mendapatkan antagonis reseptor H1 dan H2 tidak menimbulkan perubahan sirkulasi walaupun peningkatan yang sama pada konsentrasi histamin plasma sebagaimana yang diterima pada dosis yang sama tetapi tanpa pemberian terlebih dulu. Pelepasan histamin yang dipicu oleh atracurium dan mivacurium tidak terjadi berulang karena simpanan jaringan histamin tidak diisi beberapa hari. Oleh karena itu, penurunan tekanan darah karena obat yang merangsang pelepasan histamin kemungkinan kecil untuk terjadi sama pada dosis ulangan. Sebelumnya efek kardiovaskuler karena obat-obatan yang melepaskan histamin mungkin menggambarkan pelepasan prostasiklin dan efek vasodilatasi pada pembuluh darah perifer ysng diperantarai oleh reseptor H1 dan H2.

VecuroniumPelumpuh otot dengan dosis sedang dengan ED95 50 g/kg dengan onset 3 5 menit dan durasi blokade neuromuskulernya kurang lebih 20 35 menit. Obat ini secara tipikal tidak memiliki efek sirkulatorik, walaupun diberikan dalam dosis cepat IV 3 x ED95, menekankan efek vagolitik atau pelepasan histamin yang berhubungan dengan pemberian vecuronium. Namun, sesekali peningkatan konsentrasi histamin plasma tanpa berhubungan dengan perubahan tekanan darah muncul setelah pemberian vecuronium. Efek sedang vagotinik vecuronium dikesankan oleh adanya insidensi bradikardi pada pasien yang tidak mendapatkan obat-obatan antikolinergik atau berhubungan dengan injeksi opioid poten seperti sufentanil. Munculnya blok sinus node dan kejadian cardiac arrest pernah dilaporkan berhubungan dengan pemberian vecuronium.

Depolarisasi (Succynylcholin)

SCholin 0,5 1 mg/kg IV dengan onset 30 60 detik dan durasinya 3 5 menit. Pada pasien dewasa, ED90 nya ditentukan setelah pemberian thiopental dan N2O 0,27 mg/kg IV. SCholin memiliki efek samping yang merugikan yang membatasi pemakaiannya.

Obat ini menempati reseptor kolinergik nikotinik sub unit alfa dan bekerja seperti asetilkolin, hingga mendepolarisasi membran postjunctional. Perbandingannya dengan asetilkolin, bahwa hidrolisa scholin lebih lambat, mengakibatkan depolarisasi memanjang (terbuka) saluran reseptor ion. Blokade neuromuskular terjadi karena depolarisasi membran postjunctional tidak dapat merespon untuk melepaskan asetilkolin berikutnya(blokade neuronmuskuler depolarisasi), yang sering disebut blokade fase-I. pemanjangan pembukaan saluran reseptor ion dan mengakibatkan depolarisasi membran postjunctional oleh scolin berhubungan dengan kebocoran potasium dari dalam sel yang cukup untuk menghasilkan peningkatan rata-rata 0,5 mEq/liter konsentrasi serum potasium.

Dosis tunggal scholin (> 2 mg/kg IV), dosis ulangan, atau infus kontinyu prolong, mungkin akan mengakibatkan membran postjunctional tidak merespon asetilkolin secara normal walaupun membran postjunctional menjadi repolarisasi (blokade neuromuskuler desensitisasi), yang mekanismenya tidak diketahui, yang dikenal dengan blokade fase-II. Tampaknya, kombinasi desensitisasi reseptor, blokade saluran ion, dan masuknya scholin ke dalam sitoplasma otot skelet bertanggung jawab pada kejadian yang bermanifestasi pada blokade fase-II.

Efek-efek yang merugikan dari scholin antara lain : disritmia jantung, hiperkalemia, mialgia, mioglobiuria, peningkatan tekanan intragastrik, peningkatan TIO, peningkatan TIK, dan memperpanjang kontraksi otot polos.

Sinus bradikardi, ritmik junctional, dan kejadian arrest pada sinus mungkin diikuti pemberian scholin. Efek-efek pada jantung menggambarkan aksi scholin pada reseptor kolinergik muskarinik dimana efek fisiologinya mirip asetilkolin. Disritmi jantung yang paling sering terjadi ketika dosis kedua scholin diberikan pada 5 menit setelah dosis pertama. Hubungan dengan dosis kedua mengesankan adanya kemungkinan metabolit scholin (succynilmonocholin dan cholin) dalam menimbulkan bradikardi. Pemberian atropin 6 g/kg IV, tidak menghalangi perlambatan HR dalam merespon dosis kedua. Perbedaan aksi reseptor kolinergik muskarinik jantung, efek scholin pada ganglia sistem saraf otonom mungkin menimbulkan stimulasi ganglionik dan berhubungan dengan peningkatan tekanan darah sistemik dan HR. Stimulasi ganglionik menggambarkan efek scholin pada ganglia otonom yang menyerupai efek fisiologis asetilkolin pada daerah ini.

Hiperkalemia mungkin terjadi setelah pemberian scholin pada pasien dengan (a) yang secara klinik tidak dapat mengenali distrofi muskuler, (b) luka bakar derajat tiga yang tidak diterapi, (c) denervasi pada atropi otot skelet, (d) beberapa trauma otot skelet, dan (e) lesi UMN.

F. Antikolinergik

Merupakan obat antikolinergik berefek antagonis kompetitif (parasimpatolitik) pada neurotransmitter asetilkolin pada daerah postganglionik kolinergik yang disebut dengan reseptor muskarinik. Reseptor kolinergik muskarinik ada di jantung, kelenjar ludah, otot halus traktus gastrointestinal dan traktus genitourinary. Asetilkolin juga neurotransmiter pada reseptor nikotinik postganglionik yang berlokasi di persambungan neuromuskuler dan ganglia otonom. Perbedaannya efek pada reseptor muskarinik, biasanya dosis obat antikolinergik sedikit berefek atau tidak berefek pada reseptor kolinergik nikotinik. Dengan demikian, obat-obatan antikolinergik mungkin dipertimbangkan menjadi antimuskarinik yang selektif.

Obat-obatan anticholinergic berkombinasi reversibel dengan reseptor kolinergik muskarinik dan dengan begitu mencegah akses neurotransmiter acethylcholine ke lokasi ini. berlawanan dengan acethylcoline, kombinasi dari suatu obat antikolinergik dengan reseptor muskarinik tidak mengakibatkan perubahan membran sel dan berhubungan penghalangan adenylat cyclase atau perubahan terhadap permeabilitas kalsium yang menimbulkan respon kolinergik. Obat-obatan antikolinergik tidak mencegah pelepasan acethylcholine. Sebagai antagonis kompetitif, efek obat-obatan antikolinergik dapat diatasi dengan terus meningkatkan konsentrasi asethylkolin di area reseptor muskarinik.

Tabel 1.2 Perbandingan Efek Obat Antikolinergik

SedasiAntisialogog HRRelaksasi otot halusMidriasis, sikloplegiaMencegah nausea karena gerakanSekresi ion H gastrikMerubah HR fetal

Atropin++++++++++0

Skopolamin+++++++++++++++?

Glikopirolat0++++++00+0

G. Antihistamin

Histamine memiliki BM rendah, secara alami menjadi endogen amin (autocoid) yang menimbulkan respon fisiologi dan patologis pada beberapa jaringan dan sel dan merupakan mediator kimiawi inflamasi yang penting pada penyakit alergi. Sel mast berlokasi di kulit, paru-paru, dan traktus gastrointestinal yang bersirkulasi sebagai basofil yang berisi sejumlah besar histamine. Histamine tidak mudah menembus sawar darah otak, dan efek pada SSP belum terbukti. Sintesa histamine di jaringan oleh dekarboksilasi dari histidin. Efek histamin diperantarai melalui reseptor histamin dan diklasifikasikan atas H1, H2, dan H3.

Diphenhidramin & Chlorpheniramin

Obat-obatan ini merupakan antagonis reseptor H1 generasi pertama. Memiliki kecenderungan untuk menimbulkan sedasi dan kemingkinan mengaktifkan kolinergik muskarinik, 5HT (serotonin), atau reseptor alpha adrenergik Pada konsentrasi rendah, antagonis resptor H1 merupakan antagonis kompetitif histamin. Efek pada sistem kardiovaskuler yang mungkin ditimbulkan oleh obat-obatan golongan ini antara lain takikardi, pemanjangan interval Q-T, blok jantung, dan terjadinya disritmi jantung.

H. NSAID

Mekanisme utama obat golongan ini adalah menghalangi aktivitas cyclooxygenase dan berakibat penurunan sintesis prostaglandin perifer. Penghambatan sintesis prostaglandin oleh NSAID akan menurunkan respon inflamasi terhadap trauma operasi dan kemudian menurunkan nosisepsi perifer dan persepsi nyeri.

Prostaglandin terhadap kardiovaskuler akan memodulasi tekanan darah sistemik oleh efek baik tonus vaskuler ototh halus arterioler dan mengontrol volume cairan ekstraseluler. Prostaglandin menghilangkan respon terhadap hormon vasokonstriktor dan dapat mempengaruhi keseimbangan sodium sebagai akibat efek natriuretik. Ini memprediksi bahwa NSAID mungkin terpengaruh dengan pengontrolan farmakologi hipertensi, walaupun rata-rata efek obat ini terhadap kontrol tekanan darah relatif kecil (sekitar 5 mmHg). Berkenaan dengan inhibisi aktivitas cyclooxygenase, NSAID dapat menghambat agregasi platelet.

Ketorolac

Merupakan NSAID yang berefek analgesi poten tetapi aktivitas antiiflamasi hanya moderat ketika diberikan IM atau IV. Obat ini berguna untuk analgesi postoperatif sebagai obat dosis tunggal (mengurangi nyeri pada prosedur ambulatori/transpor) dan untuk suplemen opioid. Ketorolac 30 mg IM menghasilkan analgesi setara dengan 10 mg morfin atau 100 mg meperidin. Keuntungan analgesi ketorolak adalah tidak adanya depresi kardiovaskuler dan ventilasi.

Ketorolak menghambat produksi tromboksan platelet dan agregasi platelet oleh inhibisi reversibel sintesis prostaglandin. Waktu perdarahan mungkin memanjang pada pemberian ketorolak IV dosis tunggal pada pasien dengan anestesi spinal (setinggi T6). Pemanjangan waktu perdarahan dan penurunan agregasi platelet akan berakhir ketika obat sudah tereliminasi dari tubuh. Perbedaan antara respon platelet terhadap ketorolak selama GA dibandingkan anestesi spinal mungkin menunjukkan keadaan hiperkoagulasi yang dihasilkan dari respon neuroendokrin terhadap stres pembedahan yang normalnya terjadi selama GA dan bukan spinal anestesi. Secara konseptual, efek respon stres terhadap koagulasi dapat menutupi efek yang ditimbulkan ketorolak terhadap waktu perdarahan, sedangkan tidak adanya efek ini selama anestesi spinal memungkinakan efek ketorolak terhadap agregasi platelet terjadi. Banyaknya kehilangan darah postoperatif yang berhubungan dengan pemberian ketorolak perlu dipertimbangkan, tetapi secara klinis belum terbukti.

I. Antasida

Merupakan obat-obatan yang menetralisir atau menghilangkan keasaman isi gaster. Antasis yang berguna adalah garam aluminium, kalsium, dan magnesium yang bereaksi dengan asam klorida untuk membentuk garam murni, sedikit asam, dan kurang mudah larut. Penambahan pH cairan gaster akibat obat hingga > 5 mengakibatkan inaktivasi pepsin. Netralisasi pH cairan gaster meningkatkan motilitas gaster melalui aksi gastrin (perkecualian aluminium hidroksida) dan meningkatkan tonus esofageal yang lebih rendah oleh mekanisme gastrin yang independen.

Komplikasi dari terapi antacid terbagi atas akibat dari perubahan cairan gaster, pH urin, dan perubahyan statuis asam-basa. Selain itu, efek lain yang potensial adalah (a) acid rebound, (b)milk-alkali syndrome, dan (c) deplesi fosfor.

Acid rebound hanya disebabkan oleh antacid yang berisi kalsium. Tanda-tandanya ada peningkatan sekresi asam gaster yang terjadi beberapa jam setelah netralisasi asam gaster. Kejadian ini kemungkinan berhubungan dengan hiperkalsemia sementara yang terjadi pada pasien yang mendapatkan kalsium karbonat.

Milk-alkali syndrome ditandai oleh hiperkalsemia, peningkatan urea nitrogen darah dan konsentrasi kreatinin plasma, dan alkalosis sistemik yang ditandai oleh tingginya konsentrasi plasma ion bikarbonat. Konsentrasi kalsium fosfat plasma biasanya meningkat. Kemungkinan ditandai penurunan fungsi ginjal dengan kalsifikasi parenkim ginjal. Sindrom ini paling sering berhubungan dengan pemberian dalam jumlah besar kalsium karbonat ditambah > 1.000 ml susu tiap hari.

Deplesi fosfor dapat terjadi pada pasien yang mendapatkan dosis besar garam aluminium karena antacid mengikat ion fosfat dalam traktus gastrointestinal. Efekl ini mungkin berguna pada pasien dengan gangguan ginjal karena dapat menurunkan konsentrasi fosfat plasma.

Metoklopramide

Merupakan antagonis dopamine yang secara struktural mirip prokainamid tetapi tidak memiliki anestetik lokal. Beraktifitas sebagai oabt prokinetik gaster yang meningkatkan kelembutan tonus sphincter esophageal dan stimulasi motilitas traktus gastrointestinal atas pada orang nosrmal dan wanita post partus.

Obat ini menghasilkan stimulasi kolinergik selektif traktus gastrointestinal (efek gastrokinetik) yang terdiri dari (a) peningkatan ketegangan pada sphincter esofagus bawah dan fundus gaster, (b) peningkatan motilitas gaster dan usus halus, dan (c) relaksasi pylorus dan duodenum selama kontraksi perut.

Metoklopramid juga berlaku sebagai antagonis reseptor dopamine, tetapi beberapa efek terhadap dopamine mengakibatkan inhibisi motilitas gastrointestinal tidak perlu dipertimbangkan signifikansinya secara klinis. Pada SSP, obat ini memblok reseptor dopamine. Sebagai akibatnya, mungkin mengakibatkan efek samping ekstrapiramidal. Penggunaan secara klinis termasuk (a) menurunkan cairan gaster preoperative, (b) memproduksi efek antiemetik, (c) penatalaksanaan gastroparesis, dan (d) penatalaksanaan simtomatis refluks gastroesofagus.

J. Serotonin Antagonis

Serotonin [5-hydroxytriptamin (5-HT)] secara luas didistribusikan sebagai substansi vasoaktif endogen (autacoid) yang memicu perubahan kompleks pada sistem kardiovaskuler (vasokonstriksi pembuluh darah serebral, koroner, dan pulmoner) dan berfungsi sebagai neurotransmitter penting pada transmisi emesis dan nyeri. Sekitar 90% tubuh menyimpan serotonin dalam sel enterokromafin traktus gastrointestinal, dengan sisanya di SSP dan platelet. Fungsi serotonin pada platelet belum diketahui tetapi kemungkinan menggambarkan daerah penyimpanan inaktif untuk serotonin yang lepas dari sel, terutama sekali pada traktus gastrointestinal.

Antidepresan trisiklik menghambat pengambilan serotonin kembali ke dalam ujung saraf triptaminergik yang sama dengan efek menekan katekolamin. Derivate asam lisergik merupakan antagonis kompetitif pada reseptor yang normalnya responsive terhadap serotonin.

Ondansetron

Merupakan antagonis 5-HT3. efektifitasnya tinggi dalam pencegahan dan penatalaksanaan mual dan muntah postoperative. Obat ini merupakan derivate karbazolon yang secara struktur berhubungan dengan serotonindan secara spesifik memiliki sifat antagaonis reseptor subtype 5-HT3, tanpa merubah aktifitas reseptor dopamine, histamine, adrenergik, ataupun kolinergik.

Efek yang paling sering dari pemberian ondansetron adalah pusing, diare, dan peningkatan sementara konsentrasi enzim transaminase hepar dalam plasma. Selain itu pernah pula dilaporkan dapat menimbulkan disritmi jantung pemberian ondansetron dan metoklopramid IV.

K. Antikolinesterase

Mekanisme kerja obat-obatan golongan ini antara lain (a) inhibisi enzim, (b) efek presinap, dan (c) efek langsung pada neuromuscular junction (NMJ). Selain itu juga diklasifikasikan berdasarkan mekanismenya terhadap inhibisi asetilkolinesterase, antara lain (a) inhibisi yang reversible, (b) pembentuk karbamil ester, dan (c) inaktivasi irreversible oleh organofosfat.

Neostigmin

Merupakan obat antikoliesterase pembentuk karbamilester yang menghambat asetilkolin di daerah esteratik enzim. Efeknya terhadap sistem kardiovaskuler merupakan akibat dari akumulasi asetilkolin di jantung (efek vagal), pembuluh darah, ganglia otonom, ujung saraf kolinergik postganglionik. Bradikardi dan/ atau bradidisritmi seperti detak ventrikuler dan nodal dan asistol mungkin bisa terjadi. Bradikardi kemungkinan menggambarkan kelambatan konduksi impuls jantung melalui nodus AV. Efek-efek obat antikolinesterase terhadap jantung dapat dikurangi dengan pemberian obat-obatan antikolinergik yang memblokir reseptor muskarinik dan bukan nikotinik. Yang menarik, bradikardi dan/ atau arrest sinus mungkin terjadi ketika obat-obatan antikoliesterase diberikan pada pasien dengan denervasi jantung, seperti yang menyertai transplantasi jantung. Kemungkinan bahwa denervasi hipersensitif mungkin memberikan nodus SA pada pasien transplantasi jantung sensitif ringan terhadap neostigmin meskipun pemberiannya bersamaan dengan obat antikolinergik. Penurunan tekanan darah sistemik mungkin berhubungan dengan akumulasi asetilkolin yang menggambarkan penurunan SVR, walaupun sirkulasi koroner dan pulmoner menunjukkan respon berlawanan.

L. Antidisritmi Jantung

Lidokain

Secara prinsip digunakan untuk menekan disritmi ventrikel, memiliki efek minimal pada takidisritmi supraventrikel. Obat ini terutama sekali efektif dalam menekan reentri disritmi jantung, seperti kontraksi prematur ventrikel dan ventrikel takikardi. Efikasi terapi profilaksis lidokain untuk mencegah ventrikel fibrilasi setelah infark myokard belum terbukti.

Lidokain pada dasarnya meniadakan pada EKG atau sistem kardiovaskuler ketika konsentrasi plasma < 5 g/ml. Lodokain tidak merubah durasi kompleks QRS pada EKG, dan aktivitas sistem saraf simpatis tidak berubah. Lidokain menekan kontraktilitas jantung lebih sedikit dibandingkan obat antidisritmi yang lain yang digunakan untuk menekan disritmi ventrikuler. Konsentrasi toksik plasma lidokai (> 5 10 g/ml) menimbulkan vasodilatasi perifer dan depresi miokard langsung, yang mengakibatkan hipotensi. Sebagai tambahan, kelambatan konduksi impul jantung mungkin menimbukan bradikardi, pada interval P-R yang memanjang, perluasan kompleks QRS pada EKG.

Efek samping utama lidokain yang digunakan untuk terapi disritmi jantung adalah neurologis. Stimulasi SSP terjadi pada dosis dengan cara yang terkait, dengan gejala yang nampak ketika konsentrasi plasma lidokain 5 10 g/ml. Deprasi SSP, apneu, dan cardiac arrest mungkin terjadi ketika konsentrasi lidokain plasma > 10 g/ml. Ambang kejang untuk lidokain menurun selama hipoksemi arterial, hiperkalemia, atau asidosis, menekankan pentingnya monitoring parameter-parameter tersebut selama infus kontinyu lidokain untuk menekan disritmi jantung.

Amiodaron

Merupakan obat antidisritmik poten dengan spektrum luas yang aktivitasnya melawan supraventrikel yang membandel dan takidisritmi ventrikuler. Pemberian oral preoperatif dapat menurunkan kejadian atrial fibrilasi setelah bedah jantung. Juga efektif untuk menekan takidisritmi yang berhubungan sindrom Wolff-Parkinson-White karena menekan konduksi AV node. Amiodaron menurunkan kematian setelah myokard infark.

Efek pada kardivaskulernya adalah memperpanjang interval Q-T pada EKG, yang mungkin merupakan penyebab peningkatan insidensi takidisritmi ventrikuler, termasuk Torsade de Pointes. HR sering melambhat dan resisten terhadap pemberian SA. Responsifitas terhadap aktivitas katekolamin dan sistem saraf simpatis menurun sebagai akibat inhibisi reseptor alpha dan beta adrenergik yang disebabkan olah obat. Efek langsung depresan miokard diperkirakan minimal. Pemberian amiodaron IV mungkin menimbulkan hipotensi, kebanyakan menggambarkan efek vasodilatasi perifer obat ini. Blok AV jantung mungkin juga terjadi ketika obat diberikan IV. Efek antiadrenergik amiodaron mungkin meningkat dengan anestesi umum, yang manifestasinya sinus arrest, blok AV jantung, penurunan cardiac output, atau hipotensi.

M. Vasodilator Perifer

Sodium Nitropruside

Bekerja langsung, vasodilator perifer non-selektif yang menyebabkan relaksasi otot polos arteri dan vena. SNP menguurangi efek penting pada otot polos non-vasculer dan pada otot jantung. Onsetnya segera, dan durasinya sementara, memerlukan pemberian IV kontinyu untuk mempertahankan efek terapinya. Potensi yang ekstrem SNP mengharuskan dosis titrasi yang hati-hati sebagaimana pada infus kontinyu dan pengawasan yang sering pada tekanan darah sistemik, seringnya oleh kateter intraarterial yang berhubungan dengan transduser.

SNP menimbulkan vasodilatasi langsung pada arteri dan vena, yang mengakibatkan penurunan tekanan darah sistemik. SVR menurun sebagai bukti adanya vasodilatasi arterial, sedangkan penurunan venous return diakibatkan vasodilatasi pembuluh darah kapasitans. Nampaknya, penurunan tekanan atrium kanan menggambarkan pengumpulan darah di vena. Baroreseptor yang diperantarai respon reflek terhadap SNP memicu penurunan tekanan darah sistemik dengan manifestasi seperti takikardi dan peningkatan kontraktilitas miokard. Reflek-reflek yang diperantarai oleh respon mungkin bertentangan dengan efek penurunan tekanan darah oleh SNP. Bagaimanapun juga, penurunan venous return akan cenderung untuk menurunkan cardiac output, efek yang menguntungkan sering meningkatkan cardiac output yang berkaitan dengan reflek yang diperantarai peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis perifer yang dikombinasikan dengan penurunan impedansi ejeksi ventrikel kiri. Dengan didasari kegagalan ventrikel kiri, SNP menurunkan SVR, PVR, dan tekanan atrium kanan, sedangkan efeknya pada cardiac output tergantung pada LVEDP awal. Tidak ada bukti bahwa SNP menekan langsung efek inotropik atau kronotropik pada jantung.

SNP menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik mungkin mengakibatkan penurunan fungsi ginjal. Pelepasan renin mungkin menyertai penurunan tekanan darah yang dihasilkan oleh SNP dan menambah tekanan darah secara berlebihan ketika obat dihentikan. Pemberian awal dengan inhibitor kompetitif angiotensin-II akan mencegah kelebihan tekanan darah setelah penghentian SNP, sehingga menegaskan partisipasi sistem renin-angiotensin pada respon ini. Peningkatan konsentrasi katekolamin plasma juga menyertai hipotensi yang diakibatkan SNP.

SNP mungkin meningkatkan area yang rusak yang berkaitan dengan MI. Diperkirakan bahwa SNP menyebabkan pintasan intrakoroner mengalir keluar dari area iskemik oleh vasodilatasi arterial. Pintasan koroner terjadi karena SNP mendilatasi resistensi pembuluh darah pada miokard nin-iskemik, akibatnya pengalihan aliran darah keluar dari daerah dimana pembuluh darah telaj terdilatasi maksimal. Bukti klinis fenomena pintasan koroner ditunjukkan oleh perubahan iskemik pada EKG. Penurunan tekanan darah diastolik oleh SNP mungkin juga memperberat iskemik miokard oleh penurunan perfusi koroner dan berhubungan dengan aliran darah koroner.

Nitrogliserin

Merupakan nitrat organik yang aksi utamanya pada pembuluh darah vena kapasitans (berbeda dengan efek dilatasi arterial dan vena pada SNP) untuk menghasilkan pengumpulan darah perifer dan menurunkan tekanan dinding ventrikel jantung. Ketika dosis NTG ditingkatkan, akan terjadi relaksasi otot polos arteri. Penggunaan yang paling sering adalah sublingual atau IV untuk penatalaksanaan angina pectoris karena atherosklerosis arteri koronaria atau vasospasme intermiten dari pembuluh darah ini. Hipotensi kontrol juga dapat dicapai dengan infus NTG kontinyu.

NTG 2 g/kg/menit IV mengakibatkan dilatasi vena yang lebih besar daripada arteriol. Venodilatasi mengakibatkan penurunan venous return sebagaimana penurunan R dan LVEDP. Pada individu yang normal dan pasien dengan penyakit arteri koroner, tetapi bukan gagal jantung, NTG akan menurunkan cardiac output. Penurunan cardiac output ini menggambarkan penurunan venous return sebagaimana NTG meniadakan efek inotropik langsung pada jantung. HR sering tidak berubah atau hanya sedikit meningkat pada pemberian NTG. NTG memicu penurunan tekanan darah sistemik tergantung pada banyaknya volume darah dibandingkan perubahan tekanan darah yang diakibatkan oleh SNP. Sesunggunhnya hipotensi mungkin adakalanya diikuti pemberian sublingual NTG, khususnya jika pasien berdiri, posisi ini memperbesar pooling vena dan lebih jauh menurunkan cardiac output. Penurunan yang berlebuh tekanan darah diastolik mungkin menurunkan aliran darah koroner. Penurunan tekanan darh diastolik mungkin juga memicu baroreseptor reflek yang diperantarai peningkatan aktifitas sistem saraf simpatis dengan manifestasi takikardi dan peningkatan kontraktilitas miokard. Kombinasi penurunan aliran darah koroner dan perubahan yang meningkatkan kebutuhan oksigen miokard mungkin menimbulkan angina pectoris pada pasien yang mudah terkena.

SVR terkalkulasi biasanya relatif tidak terpengaruh oleh NTG. PVR , bagaimanapun juga, konsisten menurun, namoaknya menggambarkan relaksasi langsung NTG pada pembuluh darah pulmoner. Sesungguhnya, hipertensi pulmoner pada binatang, NTG, tetapi bukan SNP, menurunkan tekanan arteri pulmoner dan PVR.

NTG yang terpenting mendilatasi pembuluh darah konduktansi yang besar pada sirkulasi jantung, sering menyebabkan peningkatan aliran darah koroner ke daerah iskemik subendokardial. Perbedaannya, SNP mungkin menimbulkan fenomena pintasan koroner. NTG menimbulkan pemanjangan waktu perdarahan yang paralel dengan tekanan darah sistemik. Sebagaimana SNP, peningkatan konsentrasi intraseluler cGMP oleh NTG ditunjukkan oleh inhibisi agregasi platelet. Peningkatan waktu perdarahan dapat juga akibat vasodilatasi sekunder terhadap efek langsung NTG pada tonus vaskuler.

N. Digitalis (Digoksin)

Digitalis merupakan istilah yang digunakan untuk glikosida jantung yang terdapat secara alami pada beberapa tanaman. Mekanisme komplek efek inotropik positif dipicu oleh glikosida jantung termasuk efek langsung pada jantung yang mengubah aktifitas elektrik dan mekaniknya dan efek tidak langsung yang dipicu oleh perubahan reflek pada aktivitas sistem saraf otonom. Efek langsung inotropik positif glikosida jantung adalah inhibisi sistem transpor ion Na-K ATP (sodium pump) yang berlokasi di membran sel jantung. Glikosida jantun mengikat ke enzim ATPase ini, mengakibatkan perubahan konformasional yang mengganggu dengan keluarnya transpor ion Na melalui membran sel jantung. Akibatnya peningkatan konsentrasi ion Na di sel jantung yang mengakibatkan penurunan ekstrusi ion Ca oleh mekanisme pompa sodium. Dianggap bahwa penurunan konsentrasi ion Ca intraseluler bertanggungjawab terhadap efek inotropik positif glikosida jantung. Secara konseptual, peningkatan jumlah ion Ca menjadi ada untuk bereaksi dengan protein kontraktil untuk membangkitkan kekuatan yang besar kontraksi miokard. Sesungguhnya, sistem transpor ion ini sangat penting untuk mempertahankan gradien yang normal ion Na dan K yang menentukan karakteristik depolarisasi dan eksitabilitas membran sel jantung.

Pada prinsipnya, efek pemberian glikosida jantung pada pasien dengan gagal jantung adalah dosis yang tergantung pada peningkatan kontraktilitas miokard yang menjadi penting dengan dosis sedikit dibandingkan dosis penuh. Efek inotropik positif bermanifestasi pada peningkatan stroke volume, penurunan ukuran jantung, dan penurunan LVEDP. Sesungguhnya, glikosida jantung dapat menduakalikan stroke volume dari kelemahan dan dilatasi ventrikel kiri. Kurva fungsi ventrikel (kurva Frank-Starling) bergeser ke kiri. Peningkatan perfusi renal berhubungan dengan peningkatan secara keseluruhan cardiac output yang mendorong mobilisasi dan ekskresi cairan udem, penilaian diuresis yang menyertai pemberian glikosida jantung pada pasien gagal jantung. Aktivitas sistem saraf simpatis yang berlebihan yang terjadi sebagai respon kompensasi gagal jantung yang menurun dengan bertambah baiknya sirkulasi yang menyertai pemberian glikosida jantung. Akibatnya penurunan SVR lebih jauh meninggikan stroke volume ventrikel kiri depan.

Sebagai tambahan efek inotropik positif, glikosida jantung meninggikan sistem saraf parasimpatis, mengakibatkan kelambatan konduksi impuls jantung melalui AV node dan menurunkan HR. Besarnya efek kronotropik dan dronotropik negatif ini tergantung pada aktivitas sistem saraf otonom sebelumnya. Peningkatan aktifitas sistem saraf parasimpatis menurunkan kontraktilitas atrium, tetapi efek langsung inotropik positif glikosida jantung lebih banyak dibandingkan mengganti kerugian sistem-sistem saraf ini yang diakibatkan efek inotropik negatif pada ventrikel.

Glikosida jantung juga meningkatkan kontraktilitas jantung bila tidak ada gagal jantung. Namun, berakibat tendensi cardiac output untuk meningkat mungkin ditutupi oleh penurunan HR dan efek vasokonstriksi langsung glikosida jantung pada arteri, dan derajat luas, otot polos vena. Sesunggunhnya, cardiac output sering tidak berubah atau sering menurun ketika glikosida jantung diberikan pada pasien normal.

O. Simpatomimetik

Obat- obatan ini memicu respon fisiologis yang sama dengan yang dihasilkan oleh aktifitas endogen sistem saraf simpatis. Sebagai contoh, efek farmakologi simpatomimetik, walaupun secara kuantitatif berbeda, mungkin termasuk (a) vasokonstriksi, khususnya pada kulit dan sirkulasi renal, (b) vasodilatasi pembuluh darah otot skelet, (c) bronkodilatasi, (d) stimulasi jantung yang ditandai oleh peningkatan HR, peningkatan kontraktilitas miokard, dan mudah terkenanya disritmi jantung, (e) pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, (f) glikogenolisis hepatik, (g) modulasi insulin, renin, dan sekresi hormon pituitari, dan (h) stimulasi SSP.

Katekolamin Alami

Epinefrin

Fungsi alaminya dilepaskan dari medula adrenal termasuk regulasi (a) kontraktilitas miokard, (b) HR, (c) tonus otot polos bronkial dan vaskuler, (d) sekresi kelenjar, (e) proses metabolik seperti lipolisis dan glikogenolisis. Obat ini merupakan aktifator poten reseptor alpha adrenergik, dua hingga sepuluh kali lebih aktif dibandingkan norepinefrin, dan lebih poten 100 kali dibandingkan isoproterenol. Penggunaan klinisnya termasuk (a) penambahan pada anestesi lokal untuk menurunkan absorbsi sistemik dan memperpanjang durasi aksi anestesi, (b) penatalaksanaan reaksi alergi yang mengancam nyawa, (c) selama RJP sebagai obat terapi tunggal yang penting, dan (d) infus kontinyu untuk meningkatkan kontraktilitas miokard.

Efeknya pada kardiovaskuler adalah stimulasi reseptor alpha dan beta adrenergik. Dosis kecil epinefrin (1-2 /menit IV) yang diberikan pada orang dewasa untuk menstimulasi reseptor beta2 pada pembuluh darah perifer. Stimulasi resptor beta1 sedikit terjadi pada dosis besar (4 /menit IV), sedangkan dosis besar epinefrin (10 20 /menit IV) menstimulasi kedua reseptor alfa dan beta adrenergik dengan efek stimulasi alfa menonjol di kebanyakan jaringan vaskuler, termasuk sirkulasi kutan dan renal. Injeksi cepat tunggal epinefrin, 2-8 g IV, menimbulkan stimulasi jantung sementara selama 1 5 menit, biasanya tanpa tekanan darah sistemik atau HR yang berlebihan. Selama infus kontinyu, pemberian bersamaan vasodilator dapat menutupi vasokonstriksi yang diakibatkan epinefrin, khususnya sirkulasi splanknik dan renal.

Epinefrin menstimulasi reseptor beta1 untuk menimbulkan peningkatan tekanan darah sistolik, HR, dan cardiac output. penurunan sedang tekanan darah diastolik, menggambarkan vasodilatasi pembuluh darah otot skelet terhadap stimulasi reseptor beta2. efek yang menguntungkan dari perubahan tekanan daraqh sistemik adalah peningkatan tekanan nadi dan perubahan minimal MAP. Karena MAP tidak berubah terlalu besar, ada sedikit kemungkinan bahwa aktivasi baroreseptor akan menimbulkan reflek bradikardi. Epinefrin meningkatkan HR oleh percepatan depolarisasi spontan fase-IV, yang juga meningkatkan kemungkinan disritmia jantung. Peningkatan reflek cardiac outpun yang dipicu oleh epinefrin meningkatkan HR, kontraktilitas miokard, dan venous return. Dosis ulangan epinefrin menimbulkan efek kardiovaskuler yang sama dibandingkan dengan takifilaksis yang menyertai pemberian non-katekolamin sintetis yang memicu pelepasan norepinefrin.

Epinefrin lebih berpengaruh menstimulasi reseptor alfa1 di kulit, mukosa, dan pembuluh darah hepatorenal, menimbulkan vasokonstriksi yang hebat. Pada pembuluh darah otot skelet, epinefrin terutama menstimulasi reseptor beta2, menimbulkan vasodilatasi. Efek yang menguntungkan dari perubahan vaskuler perifer adalah distribusi istimewa cardiac output pada otot skelet dan menurunkan SVR. Aliran darah renal pada dasarnya diturunkan oleh epinefrin, seiring dengan tiadanya perubahan tekanan darah sistemik. Sesungguhnya, epinefrin diperkirakan menjadi 2-10 kali lebih poten dibandingkan norepinefrin untuk meningkatkan resistensi vaskuler ginjal. Sekresi renin meningkat karena stimulasi yang dipicu epinefrin pada reseptor beta di ginjal. Dosis terapi yang biasa, epinefrin tidak menimbulkan efek vasokonstriktif yang signifikan pada arteriol serebral. Aliran darah koroner ditingkatkan oleh epinefrin, sama dengan dosis yang tidak merubah tekanan darah sistemik.

Peningkatan kronis konsentrasi epinefrin dalam plasma, seperti pasien dengan faeokromositoma, mengakibatkan penurunan volume plasma yang berhubungan dengan kehilangan cairan protein bebas ke ruang ekstrasel. Dinding arteri rusak dan daerah lokal nekrosis jantung mungkin juga menyertai sirkulasi kronis yang berlebihan dari epinefrin. Dosis epinefrin konvensional, bagaimanapun juga, tidak menimbulkan efek-efek tersebut.

Norepinefrin

Pemberian IV dapat mengakibatkan vasokonstriksi yang hebat dalam pembuluh darah otot skelet. Renal, lien, dan kulit. Akibatnya peningkatan SVR akan menurunkan venous return ke jantung dan meningkatkan sistolik, diastolik, dan MAP. Penurunan venous return ka jantung dikombinasikan dengan reflek yang diperantarai baroreseptor menurun pada HR yang akan ditandai peningkatan MAP yang cenderung menurunkan CO meskipun oleh efek beta1 norepinefrin. Vasokonstriksi perifer mungkin menurunkan aliran darah jaringan hingga terjadi asidosis metabolik. Infus kronis norepinefrin atau peningkatan konsentrasi katekolamin dalam sirkulasi, mungkin berhubungan dengan faeokromositoma, menyebabkan vasokonstriksi prekapiler dan hilangnya cairan protein bebas ke ruang ekstrasel.

Dopamin

Meningkatkan CO oleh stimulasi reseptor beta1. peningkatan ini biasanya disertai oleh peningkatan sedang HR, tekanan darah sistolik, dan SVR. Efek inotropik positif dopamin akan menstimulasi pelepasan norepinefrin endogen, yang merupakan predisposisi terjadinya disritmi jantung. Namun, dopamin sedikit disritmogenik dibandingkan epinefrin. Pelepasan epinefrin disebabkan oleh dopamin mungkin merupakan mekanisme yang tidak dapat dipercaya untuk meningkatkan CO ketika simpanan katekolamin jantung habis, sebagaimana pada pasien gagal jantung kronis. Pada pasien sepsis, dopamin yang diberikan untuk menpertahankan MAP, mungkin mengakibatkan peningkatan kebutuhan oksigen lien yang tak seimbang. Penigkatan aliran darah hepatik berkaitan dengan pembalikan anestesi epidural oleh dopamin (5(g/kg/mnt IV).

Efek farmakologi dopamin yang berbeda-beda dan dobutamin membuat penggunaannya secara kombinasi lebih potensial. Sebgai contoh, infus yang mengkombinasikan dopamin dan dobutamin tidak menimbulkan peningkatan CO yang lebih besar, pada dosis yang lebih rendah, dapat dicapai oleh obat lain sendirian. Masing-masing obat mendilatasi jaringan vaskuler yang berbeda pada reduksi afterload oleh kedua obat akan dicapai oleh obat lain sendirian walupun dalam inotropik yang sama. Dopamin dapat mendistribusikan CO ke jaringan vaskuler renal dan mesenterik ketika dobutamin dapat memberikan reduksi afterload tambahan oleh dilatasi jaringan vaskuler kulit dan otot skelet. Terapi kombinasi yang obyektif adalah untuk meningkatkan perfusi koroner dan CO ketika afterload menurun, dengan hasil akhir menyerupai efek yang dicapai oleh pompa balon intraaortik. Pada hewan coba, dopamin dan dobutamin menghasilkan peningkatan resistensi vaskuler pulmoner yang sama, sedangkan respon hipoksia vasokonstriksi pulmoner tidak berubah.

Sintetik Katekolamin

Dobutamin

Beraksi sebagai aginos selektif beta1 adrenergik. Metabolisme cepat dobutamin mengharuskan pemberiannya sebagai infus kontinyu 2-10 g/kg/menit untuk menjaga konsentrasi terapeutik plasma. Seperti dopamin, dobutamin harus diencerkan dalam 5% glukosa dalam air untu k infus dengan tujuan untuk menghindari inaktivasi katekolamin yang mungkin terjadi pada cairan alkali. Digunakan untuk meningkatkan cardiac output pada pasien dengan gagal jantung kongestif, terutama sekali jika HR dan SVR menurun. Kombinasi obat mingkin berguna untuk meningkatkan spektrum aktifitasnya dan meningkatkan distribusi cardiac output. Sebagai contoh, dobutamin mungkin digunakan untuk meningkatkan output, dan dosis rendah dopamin mungkin ditambahkan untuk membantu perfusi renal. Vasodilator mungkin dikombinasikan dengan dobutamin atau dopamin untuk menurunkan afterload untuk mengoptimalkan cardiac output pada peningkatan SVR.

Dobutamin dosis tunggal meningkatkan cardiac output dan menurunkan tekanan pengisian atrium tanpa hubungan yang signifikan dengan peningkatan tekanan darah sistemik dan HR. Peningkatan HR yang kecil dibandingkan dengan isoproterenol menggambarkan derajat efek dobutamin pada SA node. Perbedaannya dengan dopamin, dobutamin secara klinis tidak memiliki efek vasokonstriktor yang penting dan nilai SVR biasanya tidak berubah terlalu besar. Sesungguhnya, mungkin tidak efektif pada pasien yang membutuhkan peningkatan SVR daripada penambahan cardiac output untuk meningkatkan tekanan darah sistemik. Pada pasien dengan peningkatan tekanan arteri pulmoner setelah penggantian katup mitral, infus dobutamin (hingga 10 g/kg/menit) meningkatkan cardiac output dan menurunkan SVR dan PVR. Perubahan ini berhubungan dengan peningkatan pintasan aliran intrapulmoner. Efek minimal dobutamin pada HR dan tekanan darah mengurangi kemungkinan kerugian peningkatan kebutuhan oksigen miokard selama infus obat ini. Tidak seperti dopamin, dobutamin tidak beraksi tidak langsung oleh stimulasi pelepasan norepinefrin endogen dari jantung, tidak juga mengaktifasi katekolamin reseptor dopaminergik untuk meningkatkan aliran darah renal. Aliran darah renal, bagaimanapun juga, sebagai akibat yang dipicu oleh obat meningkatkan cardiac output. Dobutamin bukan dopamin yang merupakan vasodilator arteri koroner. Redistribusi cardiac output dengan adanya dobutamin mungkin menambah peningkatan kehilangan panas kulit yang berakibat menambah penurunan temperatur tubuh.

Dobutamin dosis tinggi (> 10 g/kg/menit IV) mungkin mempengaruhi takikardi pada pasien dan disritmi jantung. Namun, disritmi jantung tidak mungkin terjadi, mungkin disebabkan karena tidak adanya pelepasan katekolamin endogen. Kecepatan konduksi melalui AV node, bagaimanapun juga, meningkat oleh dopamin, menaikkan kemungkinan peningkatan HR yang berlebih yang dapat terjadi pada pasien dengan atrial fibrilasi.

Sintetik Non-Katekolamin

Efedrin

Aksinya tidak langsung, yang menstimulasi reseptor alfa dan beta adrenergik. Efek farmakologi dari obat ini sebagian ada pada pelepasan katekolamin endogen oleh norepinefrin (indirect acting) tetapi obat ini juga berefek stimulan langsung pada reseptor adrenergi (direct acting). Efedrin, tidak seperti epinefrin, tidak menimbulkan hiperglikemia.

10 25 mg IV diberikan pada dewasa, simpatomimetik pilihan pada terapi obat untuk meningkatkan tekanan darah sistemik pada ketiadaan blokade sistem saraf simpatis yang diakibatkan oleh anestesi regional atau hipotensi yang berkenaan dengan anestesi injeksi ataupun inhalasi.

Efek kardiovaskulernya mirip dengan epinefrin, tetapi tekanan darah sistemik responnya meningkat responnya meningkat sedikit hebat dan berakhir 10 kali lebih panjang. Dibutuhkan kira-kira 250 kali efedrin dibandingkan epinefrin untuk menimbulkan respon tekanan darah sistemik yang sepadan. Pemberian efedrin IV mengakibatkan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik, HR, dan cardiac output. Aliran darah renal dan splanknik menurun, sedangkan aliran darah koroner dan otot skelet meningkat. SVR mungkin berubah minimal karena vasokonstriksi pada beberapa jaringan vaskuler yang ditutupi oleh vasodilatasi (stimulasi beta2) di tempat lain. Efek kardiovaskuler ini ada, sebagian, pada vasokonstriksi vena dan arterial yang diperantarai oleh reseptor alfa. Mekanisme utama, bagaimanapun, untuk efek kardiovaskuler yang ditimbulkan oleh efedrin adalah peningkatan kontraktilitas miokard yang berhubungan dengan aktivasi reseptor beta1. adanya blokade beta adrenergik sebelumnya, efek kardiovaskuler mungkin menyerupai respon khas stimulasi reseptor alfa adrenergik. Dosis kedua efedrin menimbulkan respon tekanan darah sistemik yang sedikit hebat dibandingkan yang pertama. Fenomena ini, dikenal sebagai takifilaksis, yang terjadi pada beberapa simpatomimetik dan berhubungan dengan lamanya aksi dari obat. Takifilaksis mungkin menggambarkan blokade reseptor adrenergik yang persisten. Sebagai contoh, aktifasi reseptor adrenergi yang dipicu oleh efedrin masih ada walaupun tekanan darah sistemik sudah kembali mendekati level sebelum diberikan obat oleh perubahan kompensatorik kardiovaskuler yang baik. Ketika efedrin diberikan pada sat ini, lokasi reseptornya masih terisi oleh efedrin yang membatasi lokasi yang tersedia dan respon tekanan darahnya sedikit. Kalau tidak, takifilaksis mungkin menimbulkan deplesi penyimpanan norepinefrin.P. Antihipertensi

Simpatolitik

Propranolol (Beta Adrenergik Blocker)Merupakan antagonis reseptor non-selektif beta adrenergik yang mengurangi aktifitas intrinsik simpatomimetik dan kemudian sebagai antagonis murni. Efek farmakologi yang terpenting dari obat ini adalah pada jantung. Karena blokade reseptor beta1, propranolos menurunkan HR dan kontraktilitas miokard, yang berakibat penurunan cardiac output. Efek-efek ini pada HR dan cardiac output khususnya kelihatan sekali selama latihan atau adanya peningkatan aktifitas sistem saraf simpatis. HR yang melambat karena propranolol tidak terlalu panjang dibandingkan efek inotropik negatif, yang mengesankan kemungkinan subdivisi reseptor beta1. Blokade bersamaan reseptor beta2 oleh propranolol meningkatkan resistensi vaskular perifer, termasuk resistensi vaskuler koroner. Walaupun pemanjangan ejeksi sistolik dan dilatasi ventrikel jantung menyebabkan propranolol meningkatkan kebutuhan oksigen miokard dan kontraktilitas miokard yang menonjol. Akibatnya, propranolol mungkin mengurangi iskemik miokard, sekalipun peningkatan resistensi vaskuler koroner yang dipicu oleh obat berlawanan dengan aliran darah koroner. Retensi sodium berhubungan dengan terapi popranolol yang kemungkinan paling besar akibatnya dari perubahan hemodinamik intrarenal yang menyertai penurunan cardiac output yang dipicu oleh obat..

Klonidin

Merupakan agonis selektif sebagian reseptor alfa2 adrenergik yang beraksi sebagai obat antihipertensi oleh kemampuannya yang baik dalam menurunkan output sistem saraf simpatis dari SSP. Obat ini ternyata efektif terutama sekali pada penatalakasanaan pasien dengan hipertensi berat atau penyakit renin-dependent.

Efeknya pada sistem kardiovaskuler adalah penurunan tekanan darah sistolik yang lebih menonjol dibandingkan penurunan tekanan darah diastolik. Pada pasien dengan penetalaksanaan yang kronis, SVR sedikit terpengaruh, dan cardiac output, yang pada awalnya menurun, kembali pada level predrug. Reflek hemostatik kardiovaskuler terjaga, kemudian menghindari masalah yang berupa hipotensi ortostatik atau hipotensi selama latihan. Kemampuan klonidin untuk menurunkan tekanan darah sistemik tanpa paralisis kompensatorik reflek homeostatik sangatlah memuaskan. Aliran darah renal dan GFR terjaga pada terapi klonidin.

Efek samping klonidin pada kardiovaskuler adalah adanya rebound hipertensi yang terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi klonidin > 1,2 mg/hari, tetapi dihentikan secara tiba-tiba dan muncul dalam 8 jam dan paling lama 36 jam setelah pemberian terakhir. Peningkatan tekanan darah sistemk mungkin berhubungan dengan > 100% peningkatan sirkulasi katekolamin dan vasokonstriksi perifer yang hebat. Gejalanya gelisah, diaforesis, nyeri kepala, nyeri perut, dan takikardi yang sering mendahului peingkatan aktual tekanan darah sistemik. Blokade reseptor beta adrenergik mungkin melebihkan besarnya reboun hipertensi oleh penghalangan beta2 efek vasodilatasi katekolamin dan meninggalkan aksi vasokonstriksi yang tidak terintangi. Demikian juga, terapi antidepresan trisiklik mungkin membesarkan rebound hipertensi yang berhubungan dengan penghentian tiba-tiba terapi klonidin. Sesungguhnya, antidepresan trisiklik dapat mempotensiasi efek penekanan dari epinefrin.

ACE Inhibitor

Captopril

Merupakan obat yang bertindak sebagai inhibitor kompetitif enzim konverting angiotensin-I. enzim ini mengubah angiotensin-I inaktif menjadi angiotensin-II aktif. Angiotensin-II bertanggungjawab untuk stimulasi sekresi aldosteron oleh kortex adrenal. Akibat inhibisi enzim ini oleh kaptopril, diperkirakan menurunkan peredaran konsentrasi plasma angiotensin-II dan aldosteron yang disertai oleh kompensasi peningkatan angiotensin-I dan level renin. Peningkatan konsentrasi renin plasma menggambarkan kontrol normal efek balik negatif yang diberikan oleh angiotensin-II.

Efek antihipertensi captopril berkaitan dengan penurunan SVR sebagai akibat dari penurunan sodium dan retensi air. Penurunan SVR terutama menonjol di ginjal, sedangkan aliran darah serebral dan aliran darah koroner tetap berotoregulasi. Kaptopril menurunkan tekanan darah sistemik tanpa bersamaan dengan perubahan cardiac output atau HR. Hipotensi ortostatik tidak mungkin terjadi karena obat ini tidak mempengaruhi aktifitas sistem saraf simpatis. Tidak adanya reflek kompensasi yang diperantarai peningkatan HR ketika tekanan darah menurun mengesankan bahwa kaptopril mungkin menyebabkan perubahan sensitivitas baroreseptor. Kaptopril mungkin meningkatkan efikasi vasodilator dalam penatalaksanaan gagal jantung kongestif, mungkin blok vasodilator yang dipicu peningkatan output renin. Pembalikan aksi vaskuler dan efek renal dari skleroderma mungkin menyertai pemberian kaptopril.

Ca Channel Blocker

Nifedipine

Merupakan derivat dihidropiridin dengan khasiat vasodilator yang besar pada arteri koroner dan perifer dibandingkan verapamil. Ada efek minimal pada pembuluh darah kapasitans vena. Berbeda dengan verapamil, nifedipine memiliki efek depresan sedikit atau tidak langsung pada aktivitas nodus AV dan SA. Vasodilatasi perifer dan akibat penurunan tekanan darah sistemik yang disebabkan oleh nifedipin mengaktifkan baroreseptor, terutama untuk meningkatkan aktifitas sistem saraf simpatis yang paling sering menunjukkan peningkatan HR. Peningkatan aktifitas sistem saaraf simpatis berlawanan langsung dengan efek inotropik negatif, kronotropik, dan dromotropik dari nifedipin. Walaupun begitu, nifedipin mungkin menimbulkan depresi miokard yang berlebihan, khususnya pada pasien yang sebelumnya memiliki disfungsi ventrikel kiri atau terapi yang bersamaan dengan obat antagonis beta adrenergik. Adanya stenosis aortik nifedipin mungkin juga menimbulkan efek depresi jantung yang berlebihan.

Diltiazem

Seperti verapamil, blokade utamanya pada Ca channel AV node dan oleh karena itu digunakan sebagai medikasi tingkat pertama untuk penatalaksanaan takidisritmi supraventrikel. Mungkin juga digunakan untuk control kronik hipertensi esencial. Efek diltiazem pada SA dan AV node dan khasiat vasodilatasi muncul antara verapamil dan dihidropiridin. Diltiazem menekan efek kardiodepresan secara minimal dan tidak mungkin berinteraksi dengan obat-obatan blokade beta adrenergik untuk menurunkan kontraktilitas miokard.

Diuretik

Furosemide

Digunakan pada (a) mobilissi cairan edema yang berkenaan dengan disfungsi renal, hepatik, atau jantung; (b) penatalaksanaan TIK yang meningkat; (c) diagnosa banding oliguria akut. Loop diuretik sedikit digunakan pada penatalaksanaan kronis hipertensi esensial. Sesungguhnya, efek antihipertensi furosemide seluruhnya berkenaan dengan kemampuannya menurunkan volume cairan intravaskuler, yang jira terjadi secara cepat, mungkin memicu reflek baroreseptor yang diperantarai peningkatan aktifitas sistem saraf simpatis