PENGARUH JENIS MEDIA DAN KONSENTRASI...
Transcript of PENGARUH JENIS MEDIA DAN KONSENTRASI...
PENGARUH JENIS MEDIA DAN KONSENTRASI
THIDIAZURON TERHADAP PERTUMBUHAN PLB
(Protocorm like bodies) ANGGREK VANDA TRICOLOR
SECARA IN VITRO
Usulan Penelitian
Diajukan oleh :
Sri Wahyuni
20140210014
Program Studi Agroteknologi
Kepada
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2018
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia termasuk dalam negara yang memiliki potensi besar untuk
pengembangan anggrek, karena diketahui Indonesia memiliki sekitar 5000 spesies
dari sekitar 30.000 spesies anggrek di dunia (Irawati, 2002). Menurut data yang
diperoleh dari Badan Pusat Statistik (2016), menunjukkan bahwa produksi anggrek
dari tahun 2012 adalah 20.727.891 tangkai, pada tahun 2013 adalah 20.277.672
tangkai, tahun 2014 adalah 19.739.627 tangkai, tahun 2015 adalah 21.513.280
tangkai, dan tahun 2016 adalah 11.523.610 tangkai (Kementan, 2016).
Salah satu varietas lokal anggrek di Indonesia adalah anggrek Vanda
tricolor. Anggrek ini merupakan anggrek endemik Gunung Merapi, yang banyak
tumbuh liar di pohon dadap, angsana dan pohon-pohon tahunan lainnya.
Namun, spesies V. tricolor di habitat asalnya dilaporkan mulai menurun, hal
ini diakibatkan oleh bencana semburan awan panas yang terjadi pada tahun 1994
yang telah menghanguskan 80 % habitat asli anggrek ini. Kerusakan alam akibat
aktivitas gunung Merapi ini juga terjadi pada tahun 2002 dan 2006 yang semakin
mengancam keberadaan anggrek Vanda tricolor. Berdasarkan hasil inventarisasi
Balai TNGM pada tahun 2010, dari 70 spesies anggrek yang hidup di lereng
Merapi, tersisa kurang dari 50 spesies, termasuk didalamnya spesies Vanda tricolor.
Selain itu, faktor lain dari berkurangnya populasi anggrek ini adalah banyaknya
masyarakat sekitar yang mengambil kemudian mengkoleksi dan menjual anggrek-
anggrek ini tanpa adanya perbanyakan kembali (Metusala, 2006). Oleh karena itu,
usaha konservasi untuk menyelamatkan tanaman anggrek V. tricolor dari
kepunahan perlu dilakukan.
Wujud upaya pelestarian yang telah dilakukan BKSDA dalam
meningkatkan populasi Vanda tricolor adalah melaksanakan usaha penangkaran
dengan membentuk 5 kelompok tani konservasi dari 3 Kecamatan di Lereng Selatan
Gunung Merapi. Upaya budidaya yang dilakukan kelima kelompok tani tersebut
dinilai masih kurang optimal karena ketidaktepatan teknik budidaya yang
2
dilakukan, sehingga berdampak pada lambatnya pertumbuhan dan
perkembangbiakan anggrek Vanda tricolor (Metusala, 2006).
Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk melestarikan
keanekaragaman anggrek adalah dengan cara melakukan perbanyakan melalui
kultur in vitro. Menurut Rindang, dkk. (2012), perbanyakan melalui kultur in vitro
merupakan metode perbanyakan yang sangat bermanfaat bagi spesies tanaman
langka untuk tujuan konservasi.
Penelitian perbanyakan anggrek Vanda tricolor dengan kultur in vitro telah
dilakukan oleh Rineksane dan Sukarjan (2015), dalam penelitian ini, digunakan dua
medium yaitu ½ MS dan NDM dengan penambahan zat pengatur tumbuh berupa
TDZ (Thidiazuron), BAP serta NAA. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
medium NDM dengan penambahan 0,5 mg/l Thidiazuron mampu menghasilkan
kalus dan merupakan perlakuan terbaik dalam menginduksi kalus anggrek Vanda
tricolor dari eksplan daun in vitro. Penelitian tersebut hanya menggunakan dua
jenis media kultur yang mana penggunaan media NDM menghasilkan perlakuan
terbaik. Selain itu, eksplan yang digunakan hanya satu jenis yaitu potongan daun,
sehingga belum diketahui media maupun eksplan lain yang dapat digunakan dalam
memperbanyak anggrek Vanda tricolor. Diketahui bahwa jenis eksplan yang
digunakan berpengaruh dalam keberhasilan kultur in vitro. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Dwiyani (2013), menyimpulkan bahwa untuk pembentukan kalus
pada V. tricolor, eksplan batang (yang mengandung bakal tunas atau meristem
apikal) memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan eksplan daun. Dengan
demikian, diperlukan penelitian lanjutan untuk meneliti berbagai macam media
tumbuh dan eksplan lain yang dapat digunakan.
Protocorm like bodies (PLB) merupakan suatu struktur berbentuk bulatan-
bulatan yang dibentuk oleh jaringan eksplan dan atau kalus in vitro (Morel, 1960
dalam Wijayani, dkk., 2006). PLB ini akan membentuk pucuk dan akar sebagai
awal perkecambahan pada biji yang tidak mempunyai endosperm. PLB pada
anggrek berwarna kuning kehijauan yang mana menunjukkan bahwa biji anggrek
yang disemai telah berkecambah.
3
Medium yang digunakan merupakan salah satu faktor yang sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan subkultur. Medium tumbuh yang biasa
digunakan untuk perkecambahan anggrek adalah media Murashige dan Skoog
(MS), Vacin and Went (VW) (Bey et al., 2006), dan New Dougashima Medium
(NDM). Penelitian dengan menggunakan media MS untuk anggrek telah dilakukan
oleh Pasanda (2016). Penelitian ini menunjukkan hasil respon anggrek hibrida
Phalaenopsis Sogo Yokidian #F1442 di terbaik adalah pada media MS. Media VW
pernah digunakan sebagai media kultur dalam penelitian anggrek vanda yang
dilakukan oleh Rupawan dkk. (2014). Penelitian ini menujukkan bahwa VW yang
ditambahkan 2 ppm Giberelin dan 250 ml air kelapa per liter media merupakam
perlakuan yang sesuai untuk pertumbuhan anggrek bulan. Sedangkan penelitian
dengan menggunakan media NDM dilakukan oleh Sukarjan (2015) pada tanaman
anggrek Vanda tricolor. Perlakuan media NDM dengan penambahan 0,5
thidiazuron merupakan perlakuan terbaik.
Selain medium, ZPT juga akan mempengaruhi pertumbuhan eksplan
anggrek. Peran ZPT dalam kultur in vitro sangat penting, antara lain mengatur
kecepatan pertumbuhan dari masing-masing jaringan dan mengintegrasikan
bagian-bagian tersebut guna menghasilkan bentuk yang kita kenal sebagai tanaman.
Zat pengatur tumbuh pada kultur in vitro terdiri dari golongan sitokinin dan auksin
(Lestari, 2011). NAA merupakan ZPT golongan auksin, sedang TDZ merupakan
ZPT golongan sitokinin. Penelitian dengan menggunakan ZPT Thidiazuron telah
banyak dilakukan, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Rineksane
dan Sukarjan (2015), penambahan Thidiazuron sebanyak 0,5 mg/l dalam media
NDM menghasilkan induksi kalus terbaik pada kultur anggrek in vitro.
Penelitian ini akan menguji berbagai jenis media dan konsentrasi
Thidiazuron untuk menginduksi pertumbuhan PLB (protocorm like bodies)
anggrek Vanda tricolor.
4
B. Perumusan Masalah
1. Jenis media yang tepat untuk pertumbuhan anggrek Vanda tricolor dengan
kultur in vitro?
2. Bagaimana pengaruh berbagai konsentrasi TDZ terhadap anggrek Vanda
tricolor ?
C. Tujuan
1. Mengetahui interaksi antar macam media dengan ZPT Thidiazuron.
2. Mendapatkan media terbaik untuk pertumbuhan PLB (protocorm like
bodies) anggrek Vanda tricolor secara in vitro.
3. Mendapatkan konsentrasi Thidiazuron terbaik terhadap pertumbuhan PLB
(protocorm like bodies) anggrek Vanda tricolor secara in vitro
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anggrek Vanda tricolor
Anggrek genus vanda merupakan anggrek dengan variasi bentuk dan warna
yang banyak. Dengan demikian, anggrek ini diklasifikasikan menjadi 40 spesies
yang keberadaannya tersebar mulai dari India bagian timur, Sri Langka, Myanmar,
Thailand, Indochina, Filipina, Malaysia, Papua Nugini, Indonesia hingga Australia.
Dari ke-40 spesies yang ada, sekitar 20 spesies berada di kepulauan Indonesia yang
menyebar di hutan-hutan tropis di Pulau Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Maluku
dan Papua (Hardjo, 2017).
Anggrek Vanda tricolor merupakan spesies anggrek endemik di kawasan
lereng Gunung Merapi. DiIndonesia sendiri, anggrek Vanda tricolor dapat tumbuh
baik pada ketinggian 800-1.700 mdpl, khususnya di hutan yang cukup terbuka.
Namun demikian, spesies ini mampu beradaptasi baik seperti pada saat fase
berbunga dengan sempurna pada ketinggian 200-300 mdpl (Anonim, 2016).
Anggrek Vanda tricolor memiliki batang bundar, panjang dan kokoh.
Tinggi tanaman dapat mencapai 2 m, daun berbentuk pita agak melengkung dengan
ujung daun rumpang bersudut tajam dengan lebar sekitar kurang lebih 3 cm dan
panjang mencapai 45 cm yang tersusun saling bergantian pada batang yang tumbuh
tegak. Tandan bunga dapat mencapai ukuran 50 cm yang menyangga 10 – 20
kuntum bunga, dimana kuntum – kuntum bunga ini tumbuh dari ketiak daun. Sepal
dan petal bunga anggrek Vanda tricolor memiliki warna dasar antara putih dan
kuning dengan corak totol berwarna coklat hingga kuning, dengan totol-totol merah
keunguan. Bunga anggrek Vanda tricolor berbau harum, aroma harum ini sangat di
pengaruhi oleh ketinggian tempat hidupnya, di dataran tinggi aromanya sangat kuat
dan semakin turun ke dataran rendah aromanya akan semakin berkurang. Diameter
bunga anggrek Vanda tricolor dapat mencapai ukuran 10 cm, serta bunga dapat
bertahan hingga 20-25 hari (Metusala, 2006).
Secara umum, klasifikasi anggrek Vanda tricolor Lindl. var. suavis menurut
Dressler dan Dodson (1960) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi :
Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo :
6
Orchidales Familia : Orchidaceae Genus : Vanda Spesies : Vanda tricolor Lindl.
var. Suavis.
Perbanyakan tanaman anggrek sendiri sebenarnya dapat dilakukan secara
generatif maupun vegetatif. Perbanyakan secara vegetatif dilakukan dengan
repotting (pemisahan rumpun) dan kultur in vitro, sedangkan perbanyakan secara
generatif yaitu dengan menggunakan biji. Namun, perkembangbiakan secara
generatif membutuhkan waktu yang lama karena embrio atau biji anggrek bukan
merupakan biji yang sempurna dan tidak mempunyai cadangan makanan untuk
pertumbuhan embrionya. Oleh karena itu untuk mengecambahkan atau
menumbuhkan biji anggrek mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi (Susilo, 1990)
dalam Handayani dan Isnawan, (2015). Dengan demikian, perbanyakan tanaman
anggrek melalui kultur in vitro merupakan teknik perbanyakan yang lebih tepat.
B. Kultur In vitro
Kultur in vitro sendiri merupakan teknik mengisolasi bagian tanaman,
kemudian menumbuhkannya dalam media buatan yang mengandung nutrisi
lengkap di lingkungan yang steril sehingga bagian tanaman tersebut tumbuh
menjadi tanaman sempurna (George, 1993).
Menurut Nursyami (2010), perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan ini
mempunyai keunggulan seperti: (a) tingginya homogenitas tanaman, (b) tingginya
vigor tanaman, dan (c) memiliki genetik yang sama dengan induknya. Penggunaan
bibit hasil kultur jaringan juga akan mengurangi biaya pemeliharaan seperti
penyulaman dan umur produksinya lebih singkat.
Namun, teknik kultur jaringan juga mempunyai beberapa kelemahan
misalnya munculnya variasi somaklonal yang akan menyebabkan penyimpangan
fenotip dari sifat genetik tanaman induknya. Hal ini terjadi karena subkultur yang
berlebihan serta organogenesis tidak langsung (perbanyakan dari kalus) serta
konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan terlalu tinggi (Mariska et al.,
1992). Masalah lain yang banyak dihadapi dalam aplikasi teknik kultur jaringan
khususnya di Indonesia adalah modal investasi awal yang cukup besar dan masih
7
terbatasnya sumberdaya manusia yang menguasai dan terampil dalam bidang kultur
in vitro.
Keberhasilan kultur in vitro sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti
bahan tanam (eksplan), medium tumbuh, dan Zat Pengatur Tumbuh. Bahan tanam
dalam kultur in vitro biasa disebut eksplan, yaitu bagian dari tanaman yang
digunakan sebagai bahan untuk inisiasi suatu kultur (Vidyasagar, 2006). Dalam
teknik kultur in vitro, semua bagian tanaman yang bebas mikroorganisme dapat
dicoba sebagai eksplan, walaupun demikian tidak semua jaringan tanaman mudah
ditumbuhkan (Wareing dan Phillips, 1976).
Menurut Hartmann et al., (1990), hal yang harus diperhatikan dalam
memilih bahan eksplan untuk kultur adalah ukuran eksplan, umur fisiologinya, dan
organ yang menjadi sumber bahan tanaman. Ukuran eksplan ini akan
mempengaruhi keberhasilan pertumbuhan planlet. Tunas dengan ukuran besar lebih
tahan pada saat dipindahkan ke dalam kondisi kultur, pertumbuhannya lebih cepat
serta menghasilkan lebih banyak mata tunas. Adapun kelemahan dari penggunaan
eksplan yang berukuran besar adalah sulit mendapatkan kultur yang aseptik serta
akan memerlukan bahan tanaman yang lebih banyak.
Medium tumbuh sangat mempengaruhi keberhasilan dalam kultur in vitro.
Unsur hara esensial adalah unsur hara yang diperlukan oleh tanaman untuk
menyelesaikan siklus hidupnya, yang mana fungsi unsur hara tersebut tidak dapat
digantikan oleh unsur yang lain dan diperlukan dalam proses metabolisme tanaman
sebagai komponen molekul anorganik atau sebagai kofaktor dalam reaksi enzim
(Orcutt and Nilsen, 2000).
Faktor terakhir yang mempengaruhi keberhasilan kultur in vitro adalah
ZPT. Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik yang dalam konsentrasi rendah
mampu mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan
dan perkembangan tanaman. Gunawan (1988) mengatakan bahwa dalam kultur
jaringan, dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting adalah sitokinin
dan auksin.
8
Menurut Nursyami (2010), tahapan dalam perbanyakan dengan kultur in
vitro meliputi :
1. Tahap inisiasi, adalah tahap awal kultur yang bertujuan untuk
mendapatkan eksplan yang bebas mikroorganisme serta inisiasi
pertumbuhan baru.
2. Tahap multiplikasi atau biasa disebut tahap perbanyakan, tunas tunas yang
tumbuh dari hasil induksi diperbanyak dengan cara memotong setiap ruas
dan menanamnya pada media perbanyakan.
3. Tahap perakaran, yang memiliki tujuan untuk pembentukan akar dan
pembentukan plantlet yang mandiri serta pucuk tanaman yang cukup kuat
hingga dapat bertahan hidup sampai saat dipindahkan dari lingkungan in-
vitro ke lingkungan alamiahnya. Tunas-tunas hasil multiplikasi yang
belum mempunyai akar dipindahkan ke media yang mengandung lebih
banyak auksin.
4. Tahap aklimatisasi, yang merupakan tahap akhir dari kultur jaringan
tanaman adalah tahap aklimatisasi. Aklimatisasi dapat didefinisikan
sebagai proses penyesuaian suatu organisme untuk beradaptasi pada
lingkungan yang baru. Proses aklimatisasi sangat penting karena akan
menentukan apakah tanaman yang berasal dari in vitro dapat beradaptasi
atau tidak pada kondisi in-vivo.
C. Media Kultur In Vitro
Keberhasilan perbanyakan maupun perkembangbiakan tanaman dengan
metode kultur in vitro secara umum sangat tergantung pada jenis medium yang
digunakan. Menurut Gunawan (1992), ada tiga penggolongan medium tumbuh,
yaitu medium padat, semi padat dan cair. Unsur-unsur hara yang terkandung dalam
ketiga media tersebut sama, namun yang membedakan adalah penggunaan pemadat
berupa agar pada media padat dan semi padat.
Pemilihan media kultur in vitro ini tergantung pada spesies tanaman,
jaringan atau organ yang akan digunakan dan tujuan dilakukannya kultur in vitro
tanaman. Pada proses perakaran, akan lebih baik dilakukan pada media padat.
9
Pembentukan bagian tanaman (morfogenesis) langsung maupun tidak langsung
juga akan tergantung pada jenis dan konsentrasi yang tepat dari senyawa organik,
anorganik dan zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam suatu media kultur.
Sedangkan media cair umumnya digunakan untuk keperluan suspensi sel,
keperluan isolasi dan fusi protoplas.
Komposisi medium yang digunakan dalam kultur in vitro dapat berbeda.
Perbedaan komposisi medium ini dapat mengakibatkan perbedaan pertumbuhan
dan perkembangan eksplan. Beberapa media yang biasa digunakan dalam kultur in
vitro adalah Murashige dan Skoog (MS), Vacin and Went, dan Dougashima
Medium (NDM).
1. Media MS
Media Murashige & Skoog (MS) merupakan perbaikan komposisi
media Skoog, terutama kebutuhan garam anorganik yang mendukung
pertumbuhan optimum pada kultur jaringan tembakau. Media MS mengandung
40 mM N dan 29 mM N dalam bentuk NH4+. Kandungan lainnya berupa Kalium
20 mM dan P 1,25 mM (Erwin dalam Sutriani, 2014). Pertama kali unsur-unsur
makro dalam media MS dibuat untuk kultur kalus tembakau, namun komposisi
pada media MS ini sudah umum digunakan untuk kultur jaringan jenis tanaman
lain, termasuk anggrek.
Seperti dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Pasanda, (2016).
Penelitian ini menggunakan anak semai anggrek hibrida Phalaenopsis Sogo
Yokidian #F1442, yang dilakukan secara in vitro. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa media MS memberikan respon terbaik terhadap
pertumbuhan tinggi anak semai, panjang daun, panjang akar, jumlah daun,
jumlah akar, dan berat segar individu anggrek hibrida Phalaenopsis
dibandingkan dengan media Knudson C.
2. Media VW
Knudson (1922), menemukan penambahan 7,6 mM NH4+ disamping 8,5
mM NO3-, sangat baik untuk perkecambahan dan pertumbuhan biji anggrek.
Penambahan NH4+ ternyata dibutuhkan untuk perkembangan protocorm. Selain
10
itu, Bey dkk (2006) melaporkan bahwa penggunaan media VW yang
ditambahkan ZPT jenis giberelin dapat mempercepat pembentukan Protocorm
Like Bodies (PLB) pada tanaman anggrek.
Penelitian pada kultur in vitro anggrek dengan menggunakan media VW
telah banyak dilakukan. Salah satu contohnya adalah penelitian oleh Rupawan,
dkk,. (2014), yang menggunakan planlet anggrek dengan perlakuan media MS
dan VW serta ZPT giberelin yang dikombinasi dengan air kelapa. Hasil
penelitian menunjukkan komposisi media VW yang ditambahkan 2 ppm
giberelin dan 250 mL air kelapa per liter media lebih sesuai bagi pertumbuhan
anggrek bulan. Rata-rata tinggi planlet, jumlah tunas, jumlah daun dan jumlah
akar anggrek bulan yang tumbuh pada komposisi media tersebut masing-masing
1,82 cm, 2,55 tunas, 2,00 helai daun dan 2,25 helai akar per planlet.
3. Media NDM
Media NDM merupakan medium yang mengandung banyak komponen
organik. Penelitian mengenai media NDM sebagai media untuk kultur in vitro
sebelumnya telah dilakukan oleh Tokuhara dan Mii (1993). Dari hasil
penelitian, didapatkan lebih dari 10.000 PLB pada anggrek Phalaeonopsis dan
Doritaenopsis selama 1 tahun dengan mengkulturkan eksplan potongan pucuk.
Peneltian anggrek Vanda tricolor dengan menggunakan media NDM
secara kultur in vitro telah dilakukan oleh Sukarjan (2015). Penelitian ini
menggunakan medium yaitu ½ MS dan NDM dengan penambahan thidiazuron
dengan konsentrasi 0 mg/l, 0,5 mg/l serta 1 mg/l. Hasil penelitian Sukarjan
(2015) ini menunjukkan bahwa medium NDM dengan penambahan
Thidiazuron mampu menghasilkan kalus anggrek Merapi. Medium NDM
dengan penambahan 0,5 mg/l Thidiazuron merupakan perlakuan terbaik dalam
menginduksi kalus anggrek Vanda tricolor.
D. Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik bukan hara, yang dalam
jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat dan dapat merubah proses fisiologis
tumbuhan (Abidin, 1990). Zat pengatur tumbuh dalam teknik kultur jaringan
11
memberikan pengaruh sangat nyata. Zurkarnain (2009) menyatakan bahwa sangat
sulit untuk menerapkan teknik kultur jaringan pada upaya perbanyakan tanaman
tanpa melibatkan zat pengatur tumbuh. Dalam kultur in vitro dua golongan zat
pengatur tumbuh yang sangat penting adalah sitokinin dan auksin.
1. Sitokinin (Thidiazuron)
Sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang mempengaruhi dan
mendorong pembelahan sel dan memperlambat proses penghancuran butir-buitr
klorofil pada daun yang terlepas dari tanaman. Sitokinin juga berperan sebagai
perkembangan dominasi apikal, perkembangan tunas adventif dan diferensial
tunas.
Thidiazuron atau yang sering disingkat menjadi TDZ merupakan salah
satu contoh ZPT golongan sitokinin. TDZ merupakan senyawa yang dapat
diserap secara langsung dari medium oleh eksplan atau tanaman in vitro. Oleh
karena pengaruhnya yang sangat kuat, hormon ini digunakan dalam konsentrasi
yang rendah dibanding jenis sitokinin yang lain. Selain itu penelitian lainnya
membuktikan bahwa TDZ sebagai salah satu senyawa Phenylurea sintetik
(Hamidah et al., 1997), yang mana ZPT ini banyak menentukan dalam inisiasi
kalus (Singh dan Syamal, 2001).
Thidiazuron pertama kali diperkenalkan pada tahun 1976 Oleh
Schering. Thidiazuron berpotensi memacu frekuensi regenerasi pada kacang
tanah (Arachis hipogaea) secara in vitro, dan memacu pembentukan tunas
adventif pada beberapa jenis tumbuhan (Huetterman dan Prece, 1993) karena
dapat menginduksi proses pembelahan sel secara cepat pada kumpulan sel
meristem sehingga terbentuk primordia tunas (George dan Sherington, 1993).
Thomas dan Katterman (1986) juga menduga bahwa TDZ mempunyai
kemampuan memacu sintesis sitokinin endogen atau menghambat perombakan
sitokinin. Murthy et al. (1998) menyatakan bahwa aktivitas TDZ berhubungan
erat dengan metabolisme purin sebagai rantai dasar sitokinin dan auksin.
Menurut Sukarjan (2015), Thidiazuron merupakan senyawa kimia yang
mempunyai sifat termolabil, yaitu senyawa yang bekerja pada suhu tertentu dan
12
akan mengalami penurunan kualitas bahkan rusak pada suhu tinggi, sehingga
penggunaan Thidiazuron sebaiknya dilakukan menggunakan milipore agar
cendawan penyebab kontaminasi tersaring dan aplikasinya dapat dilakukan di
LAF.
Fungsi sitokinin dalam kultur in vitro adalah mendorong pembelahan
sel-sel. Perbandingan konsentrasi sitokinin yang lebih tinggi daripada auksin
akan merangsang pertumbuhan dan pembentukan tunas, akan tetapi jika auksin
lebih tinggi daripada sitokinin akan merangsang pertumbuhan dan
pembentukan akar. Bila sitokinin dan auksin memiliki konsentrasi yang sama,
maka akan merangsang pertumbuhan dan pembentukan kalus.
Sitokinin mendorong pembelahan dengan cara meningkatkan peralihan
G2 ke mitosis, dan dalam hal ini sitokinin juga meningkatkan laju sintesis
protein. Bererapa protein itu adalah protein pembangun atau erzim yang
dibutuhkan untuk mitosis. Sitokinin juga dapat memperpendek fase S yaitu
dengan cara mengaktifkan DNA, sehingga ukuran salinan DNA menjadi dua
kali lebih besar, kemudian terjadi sintesis DNA (Dwiyati, 2016).
2. Auksin (NAA)
Auksin merupakan salah satu hormon tumbuh yang tidak terlepas dari
proses pertumbuhan dan perkembangan suatu tanaman. Auksin berpengaruh
terhadap perkembangan sel yang menunjukkan adanya indikasi bahwa auksin
dapat menaikkan tekanan osmotik, meningkatkan sintesa protein, meningkatkan
permeabilitas sel terhadap air, dan melunakkan dinding sel yang diikuti
menurunnya tekanan dinding sel sehingga air dapat masuk ke dalam sel yang
disertai dengan kenaikan volume sel (Hendaryono, dkk. 1994).
Salah satu jenis auksin yang biasa digunakan dalam kultur in vitro
adalah NAA (Naphthalene Acetic Acid). Menurut Salisbury dan Ross (1995)
bahwa NAA merupakan hormon tiruan dari IAA (Indol Acetic Acid) dan tidak
dihasilkan oleh tanaman tetapi memiliki daya kerja seperti auksin. NAA juga
lebih sering digunakan daripada IAA karena NAA tidak terurai oleh enzim IAA
oksidase atau enzim yang dikeluarkan oleh sel saat proses sterilisasi melalui
13
pemanasan. Dengan kata lain, NAA mempunyai sifat lebih stabil dari pada IAA
(Fitrianti, 2006).
Menurut Dwiyati (2016), secara umum sistem kerja hormon auksin
yaitu menginisiasi pemanjangan dan pembesaran sel serta memacu protein
tertentu yg ada di membran plasma sel untuk memompa ion H+ ke dinding sel.
Ion H+ akan mengaktifkan enzim tertentu sehingga memutuskan beberapa
ikatan silang hidrogen dengan rantai molekul selulosa penyusun dinding sel. Sel
tumbuhan kemudian memanjang akibat air yang masuk secara osmosis melalui
dinding sel.
E. Hipotesis
Diduga hasil pertumbuhan PLB terbaik pada anggrek Vanda tricolor yaitu
media NDM dengan konsentrasi TDZ 0,5 mg/l + NAA 0,5 mg/l.
14
III. TATACARA PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan di Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium
Kultur In vitro Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta..
Penelitian akan dilaksanakan mulai bulan Februari 2018 sampai dengan April 2018.
B. Alat dan Bahan Penelitian
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah PLB anggrek
Vanda tricolor. PLB ini berasal dari biji anggrek Vanda tricolor yang sebelumnya
telah dikulturkan. Medium persemaian yang digunakan adalah medium MS padat
yang dikombinasikan dengan ZPT BAP dosis 0,2 mg/L dan NAA dosis 0,5 mg/L.
Bahan lain yang digunakan adalah media MS, VW dan NDM, Zat Pengatur
Tumbuh (TDZ dan NAA), Plant Preservatif Mixture (PPM), arang aktif, Phytagel,
sukrosa, alkohol, alumunium foil, kertas payung, karet, HCl, KOH, plastik wrap,
spirtus dan aquades steril.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi botol kultur,
erlenmeyer, petridish, gelas ukur, dissecting kits, pH meter, timbangan analitik,
stirer, millipore, pipet tetes, pembagi media, sendok, bunsen, cawan timbang,
autoklaf, dan Laminar Air Flow.
C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental yang
disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial (3x3) dengan 2 faktor.
Faktor pertama adalah medium tumbuh yang terdiri dari 3 aras yaitu media MS
(M1), media VW (M2), dan media NDM (M3). Faktor kedua adalah konsentrasi
ZPT TDZ yang terdiri dari 3 aras yaitu 0 mg/l (T1), 0,5 mg/l (T2) dan 1 mg/l (T3)
disertai dengan penambahan NAA sebanyak 0,5 mg/l dan arang aktif sebanyak 0,2
g/liter pada setiap media. Jumlah eksplan perbotol adalah 1 buah eksplan. Setiap
kombinasi perlakuan diulang sebanyak 10 kali. PLB anggrek yang dibutuhkan
sebanyak 90 buah. Kombinasi perlakuannya yaitu :
15
ZPT T1 T2 T3
MEDIA TDZ 0 mg/l TDZ 0,5 mg/l TDZ 1 mg/l
MS (M1) M1T1 M1T2 M1T3
VW (M2) M2T1 M2T2 M2T3
NDM (M3) M3T1 M3T2 M3T3
Keterangan :
M1 = Media MS
M2 = Media VW
M3 = Media NDM
T1 = TDZ konsentrasi 0 mg/l
T2 = TDZ konsentrasi 0,5 mg/l
T3 = TDZ konsentrasi 1 mg/l
D. Cara Penelitian
1. Sterilisasi
Sterilisasi dilakukan dengan dua cara, yaitu sterilisasi basah dan sterilisasi
bakar. Sterilisasi basah dilakukan dengan memasukkan alat-alat yang telah
dibungkus dengan kertas payung di autoklaf pada suhu 121⁰C tekanan 1 atm selama
1 jam. Sterilisasi basah dilakukan pada alat – alat seperti botol kultur, pinset,
scalpel, alumunium foil, petridish, dan erlenmeyer. Selain itu, sterilisasi basah juga
dilakukan untuk mensterilkan media yang sudah dibuat dan aquades yang telah di
suling.
Sedangkan sterilisasi bakar dilakukan menggunakan spirtus. Sterilisasi ini
dilakukan di dalam LAF. Caranya adalah dengan mencelupkan alat terlebih dahulu
ke cairan alkohol 70%, kemudian membakar pada bunsen yang terisi larutan siprtus.
Strerilisasi bakar dilakukan pada alat – alat seperti pinset dan scalpel yang
digunakan saat penanaman eksplan. Sebelum digunakan, LAF juga harus
disterilisasi terlebih dahulu. Sterilisasi LAF ini dilakukan dengan menyemprotkan
alkohol 70% pada seluruh permukaan, kemudian di lap dengan tissu kering,
kemudian lampu UV dapat dinyalakan selama 15 menit sebelum LAF digunakan.
2. Pembuatan Media
1. Medium MS
16
Medium MS dibuat sebanyak 600 ml untuk 3 perlakuan, setiap perlakuan
sebanyak 200 ml, masing – masing perlakuan digunakan 10 botol kultur. Setiap
botol kultur diisi sebanyak 20 ml larutan medium MS.
Bahan bahan yang dibutuhkan untuk membuat 200 ml media MS adalah
media MS bubuk = 0,88 g; sukrosa = 6 g; Phytagel = 0,5 g; PPM = 0,1 ml; arang
aktif 0,04 g; NAA 0,5 mg/l (1 ml/200 ml larutan), aquades, serta Thidiazuron
sesuai perlakuan, yaitu 0 (tanpa Thidiazuron), 0,5 mg/l (1 ml/200ml larutan), dan
1 mg/l (2 ml/200 ml larutan). Pemberian Thidiazuron dilakukan didalam LAF
dengan menggunakan millipore steril untuk mencegah terjadinya kontaminasi.
2. Medium VW
Medium VW dibuat sebanyak 600 ml untuk 3 perlakuan, setiap perlakuan
sebanyak 200 ml, masing – masing perlakuan digunakan 10 botol kultur. Setiap
botol kultur diisi sebanyak 20 ml larutan medium VW.
Bahan bahan yang dibtuhkan untuk membuat 200 ml media VW adalah
media VW bubuk = 0,334 g; sukrosa = 6 g; Phytagel = 0,5 g; PPM = 0,1 ml; arang
aktif 0,04 g; NAA 0,5 mg/l (1 ml/200 ml larutan), aquades, serta Thidiazuron sesuai
perlakuan, yaitu 0 (tanpa Thidiazuron), 0,5 mg/l (1 ml/200ml larutan), dan 1 mg/l
(2 ml/200 ml larutan). Pemberian Thidiazuron dilakukan didalam LAF dengan
menggunakan millipore steril untuk mencegah terjadinya kontaminasi.
3. Medium NDM
Medium NDM dibuat sebanyak 600 ml untuk 3 perlakuan, setiap perlakuan
sebanyak 200 ml, masing – masing perlakuan digunakan 10 botol kultur. Setiap
botol kultur diisi sebanyak 20 ml larutan medium NDM.
Bahan bahan yang dibutuhkan untuk membuat 200 ml media NDM adalah
media NDM bubuk = 0,2 g; sukrosa = 6 g; Phytagel = 0,5 g; PPM = 0,1 ml; arang
aktif 0,04 g; NAA 0,5 mg/l (1 ml/200 ml larutan), aquades, serta Thidiazuron sesuai
perlakuan, yaitu 0 (tanpa Thidiazuron), 0,5 mg/l (1 ml/200ml larutan), dan 1 mg/l
(2 ml/200 ml larutan). Pemberian Thidiazuron dilakukan didalam LAF dengan
menggunakan millipore steril untuk mencegah terjadinya kontaminasi.
17
3. Persiapan Thidiazuron
Thidiazuron merupakan senyawa kimia yang mempunyai sifat termolabil,
yaitu senyawa yang mampu bekerja pada suhu tertentu dan akan mengalami
penurunan kualitas dan rusak pada suhu tinggi, sehingga penggunaan Thidiazuron
sebaiknya dilakukan menggunakan millipore agar cendawan penyebab kontaminasi
tersaring dan aplikasinya dilakukan di LAF.
Untuk mendapatkan konsentrasi TDZ sesuai dengan perlakuan, maka harus
dilakukan pengenceran terlebih dahulu. Rumus dasar yang biasa digunakan dalam
mengencerkan TDZ adalah 10 mg TDZ dilarutkan dalam 100 ml aquades steril,
sehingga rumus kebutuhan untuk setiap ulangan adalah :
𝐾𝑒𝑏𝑢𝑡𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑇𝐷𝑍 =𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 (𝑚𝑙)
1000 𝑚𝑙 𝑎𝑞𝑢𝑎𝑑𝑒𝑠𝑡 × 𝑇𝐷𝑍 (𝑚𝑙)
4. Perlakuan
Perlakuan untuk menentukan total bahan yang dibutuhkan dilakukan
dengan menghitung kebutuhan per ulangan. Sehingga untuk satu erlenmeyer diisi
dengan larutan sebanyak 200ml, yang telah berisi media, sukrosa, vitamin,
Phytagel, ppm, NAA, TDZ, arang aktif dan aquades. Larutan yang telah tercampur
kemudian di masukkan kedalam botol, masing – masing botol berisi 20 ml larutan.
Berikut merupakan perlakuan yang akan dilakukan :
a. M1T1
Aquades 50 ml (untuk melarutkan) + media MS + sukrosa +
NAA, cek dan sesuaikan pH (pH normal = 6) + arang aktif +
PPM + Phytagel + aquades hingga volume larutan menjadi 200
ml + 0 ml TDZ. Kemudian digunakan untuk satu kali ulangan
(10 botol).
b. M1T2
Aquades 50 ml (untuk melarutkan) + media MS + sukrosa +
NAA, cek dan sesuaikan pH (pH normal = 6) + arang aktif +
PPM + Phytagel + aquades hingga volume larutan menjadi 199
18
ml + 1 ml TDZ. Kemudian digunakan untuk satu kali ulangan
(10 botol).
c. M1T3
Aquades 50 ml (untuk melarutkan) + media MS + sukrosa +
NAA, cek dan sesuaikan pH (pH normal = 6) + arang aktif +
PPM + Phytagel + aquades hingga volume larutan menjadi 198
ml + 2 ml TDZ. Kemudian digunakan untuk satu kali ulangan
(10 botol).
d. M2T1
Aquades 50 ml (untuk melarutkan) + media VW + sukrosa +
NAA, cek dan sesuaikan pH (pH normal = 6) + arang aktif +
PPM + Phytagel + aquades hingga volume larutan menjadi
200 ml + 0 ml TDZ. Kemudian digunakan untuk satu kali
ulangan (10 botol).
e. M2T2
Aquades 50 ml (untuk melarutkan) + media vw + sukrosa +
NAA, cek dan sesuaikan pH (pH normal = 6) + arang aktif +
PPM + Phytagel + aquades hingga volume larutan menjadi
199 ml + 1 ml TDZ. Kemudian digunakan untuk satu kali
ulangan (10 botol).
f. M2T3
Aquades 50 ml (untuk melarutkan) + media VW + sukrosa +
NAA, cek dan sesuaikan pH (pH normal = 6) + arang aktif +
PPM ++ Phytagel aquades hingga volume larutan menjadi 198
ml + 2 ml TDZ. Kemudian digunakan untuk satu kali ulangan
(10 botol).
19
g. M3T1
Aquades 50 ml (untuk melarutkan) + media NDM + sukrosa +
NAA, cek dan sesuaikan pH (pH normal = 6) + arang aktif +
PPM + Phytagel + aquades hingga volume larutan menjadi 200
ml + 0 ml TDZ. Kemudian digunakan untuk satu kali ulangan
(10 botol).
h. M3T2
Aquades 50 ml (untuk melarutkan) + media NDM + sukrosa
+ NAA, cek dan sesuaikan pH (pH normal = 6) + arang aktif
+ PPM + Phytagel + aquades hingga volume larutan menjadi
199 ml + 1 ml TDZ. Kemudian digunakan untuk satu kali
ulangan (10 botol).
i. M3T3
Aquades 50 ml (untuk melarutkan) + media NDM + sukrosa +
NAA, cek dan sesuaikan pH (pH normal = 6) + arang aktif +
PPM + Phytagel + aquades hingga volume larutan menjadi 198
ml + 2 ml TDZ. Kemudian digunakan untuk satu kali ulangan
(10 botol).
5. Penanaman
Penanaman eksplan dilakukan dalam Laminar Air Flow (LAF). Peralatan
tanam yang akan digunakan disemprot terlebih dahulu menggunakan alkohol 70%,
termasuk botol media. Penanaman eksplan dilakukan dengan cara mengambil PLB
dari botol semai yang tersedia, kemudian ditanam pada medium kultur yang telah
dipersiapkan menggunakan pinset steril. Setiap satu botol diisi dengan satu buah
PLB anggrek. Botol yang sudah ditanami eksplan selanjutnya ditutup dengan
alumunium foil, dikencangkan menggunakan karet gelang, dan dilapisi kembali
dengan plastic wrap.
6. Inkubasi
Pada proses inkubasi, botol-botol yang sudah dilabeli dan ditanami segera
diletakkan di rak-rak ruang inkubasi. Ruang inkubasi ini dilengkapi lampu neon
20
(TL) dengan kekuatan 40 watt yang dinyalakan selama 24 jam sebagai pengganti
sinar matahari. Suhu ruang inkubasi ini diatur menggunakan AC dengan suhu rata
– rata 20-28⁰C. Sebelumnya, rak-rak yang berada di ruang inkubasi harus
dibersihkan dengan menyemprotkan alkohol 70%. Inkubasi diakukan selama 8
minggu dimulai setelah inokulasi selesai.
7. Pengamatan
Pengamatan dilakukan dari awal penanaman sampai dengan minggu ke 8
setelah tanam. Parameter pengamatan yang diamati meliputi : diameter PLB,
persentase hidup (%), persentase browning (%), waktu muncul tunas, persentase
eksplan bertunas (%), jumlah tunas, waktu muncul akar, persentase eksplan berakar
(%) dan jumlah akar.
E. Parameter yang Diamati
1. Diameter PLB
Diameter PLB diukur pada setiap minggunya. Cara pengukurannya yaitu
menempelkan penggaris ke permukaan botol eksplan sebanyak tiga kali ulangan,
kemudian diambil rata - ratanya. Diameter PLB diukur untuk mengetahui pengaruh
dari media serta ZPT yang diberikan terhadap pertumbuhan ukuran eksplan.
2. Persentase Hidup (%)
Persentase eksplan hidup dilihat dari jumlah eksplan yang hidup oleh dan
dihitung setiap minggunya. Pengamatan dilakukan dengan cara melihat eksplan
yang hidup (eksplan yang tidak terkontaminasi dan tidak mengalami pencoklatan
atau browning >80%). Persentase eksplan hidup dinyatakan dalam persen untuk
melihat tingkat adaptasi dari eksplan terhadap medium yang diberikan, dengan
rumus:
𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 (%) =∑ 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑙𝑎𝑛 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝
∑ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑙𝑎𝑛 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑝𝑒𝑟𝑙𝑎𝑘𝑢𝑎𝑛 × 100%
21
3. Persentase Browning (%)
Eksplan yang mengalami browning ditunjukan dengan warna kecoklatan
dengan skala >50% pada eksplan. Eksplan yang mengalami browning atau
pencoklatan setiap minggu dihitung dengan rumus :
𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑏𝑟𝑜𝑤𝑛𝑖𝑛𝑔 (%) =∑ 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑙𝑎𝑛 𝑏𝑟𝑜𝑤𝑛𝑖𝑛𝑔
∑ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑙𝑎𝑛 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑝𝑒𝑟𝑙𝑎𝑘𝑢𝑎𝑛 × 100%
4. Waktu Muncul Tunas
Waktu muncul tunas merupakan salah satu indikator pertumbuhan yang
memperlihatkan sejauh mana eksplan responsif terhadap perlakukan yang
diberikan. Waktu muncul tunas diamati setiap minggu. Penentuannya dengan
menghitung dari minggu pertama sejak awal penanaman hingga muncul tunas
pertama.
5. Persentase Eksplan Bertunas (%)
Persentase eksplan bertunas dihitung setiap minggu. Perhitungan dilakukan
dengan melihat pertambahan tunas baru pada eksplan dan dinyatakan dalam persen
untuk mengetahui pengaruh medium terhadap pertumbuhan tunas baru pada
eksplan, dengan rumus:
Persentase 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑙𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑡𝑢𝑛𝑎𝑠 (%) =∑ 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑙𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑡𝑢𝑛𝑎𝑠
∑ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑙𝑎𝑛 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑝𝑒𝑟𝑙𝑎𝑘𝑢𝑎𝑛 × 100%
6. Jumlah Tunas per PLB
Jumlah tunas ini sangat penting diamati karena semakin banyak tunas yang
terbentuk akan berpeluang mendapatkan bibit yang banyak pula. Jumlah tunas
merupakan salah satu parameter penting yang dapat menunjukkan pengaruh
perlakuan. Pada penelitian ini, jumlah tunas diamati pada setiap minggunya, dengan
cara menghitung jumlah tunas yang muncul pada setiap plantet.
22
7. Waktu Muncul Akar
Waktu muncul akar diamati setiap minggu. Penentuannya dengan
menghitung dari minggu pertama sejak awal penanaman hingga muncul akar
pertama.
8. Persentase Eksplan Berakar (%)
Persentase eksplan berakar dihitung pada setiap minggunya. Perhitungan
dilakukan dengan melihat jumlah eksplan yang berakar dinyatakan dalam persen,
dengan rumus:
𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠e 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑙𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑘𝑎𝑟 (%) =∑ 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑙𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑘𝑎𝑟
∑ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑙𝑎𝑛 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑝𝑒𝑟𝑙𝑎𝑘𝑢𝑎𝑛 × 100%
9. Jumlah akar
Pada penelitian ini, jumlah akar diamati pada setiap minggunya.
Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah akar yang muncul pada setiap
eksplan.
F. Analisis Data
Hasil pengamatan kuantitatif dianalisis menggunakan sidik ragam atau
analysis of variance (Annova) . Apabila ada pengaruh beda nyata antar perlakuan
yang diujikan maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Duncan’s Range
Test (DMRT). Hasil penelitian dari berbagai perlakuan disajikan dalam bentuk
grafik dan histogram.
23
G. Jadual Kegiatan
No Kegiatan Februari Maret April
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
1 Sterilisasi alat
2 Pembuatan media
3
Persiapan TDZ dan
perlakuan
4 Persiapan eksplan
5 Penanaman eksplan
6 Diameter PLB
7 Persentase tunas hidup
8 Persentase tunas browning
9 Waktu muncul tunas
10
Presentase eksplan
bertunas
12 Jumlah tunas
14 Waktu muncul akar
15 Presentase eksplan berakar
16 Jumlah akar
17 Analisis data
24
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 1990. Dasar Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh.
Angkasa. Bandung. 85 hlm.
Astuti, Agung, Supangkat, G. dan Rineksane, I. A. 2017. Rekayasa Perbanyakan
dan Budidaya Anggrek Vanda tricolor In Vitro Dan Ex Vitro untuk
Konservasi di Kawasan Terdampak Erupsi Merapi.
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/14046/InnakaAge
ngRineksane_Laporan%20Kemajuan_Agst2017.pdf?sequence=1&isAllow
ed=y. Diakses tanggal 24 Desember 2017.
Bey, Y., W. Syafii, dan Sutrisna. 2006. Pengaruh Pemberian Giberelin (GA3) dan
Air Kelapa terhadap Perkecambahan Bahan Biji Anggrek Bulan
(Phalaenopsis amabilis BL) secara In vitro. Jurnal Biogenesis. 2 (2): 41-46.
Bey, Y., W. Syafii, dan N. Ngatifah. 2006. Pengaruh Pemberian Giberelin pada
media Vacint dan Went terhadap perkecambahan Biji Anggrek Bulan
(Phalaenopsis amabilis BL) secara In Vitro. Jurnal Biogenesis. 14 (1) : 15-
21.
Capelle, S.C., D.W.S Mok, S.C. Kirchner, and M.C Mok. 1983. Effect of
Thidiazuron on Cytokinin Autonomy and the Metabolism of N6-(A3 –
Isopentenyl 8-14C) Adenosine in Callus Tissue of Phaseolus Lunatus L.
Plant Physiol. 73(3): 796-802.
Dressler and Dodson. 1960. Classificatin and Phylogeny in The Orchidaceae.
Annals Of The Missouri Botanical Garden 47: 25-68.
Dwiyani. 2013. Induksi Kalus pada Tanaman Anggrek Vanda tricolor Lindl. Var.
Suavis, Upaya Penyediaan Target Transformasi Melalui Agrobacterium
tumefaciens. Jurnal Agrotropika 18(2): 73-76.
Dwiyani, R. Purwantoro, A., Indrianto, A. dan Semiarti, E. 2012. Peranan Vitamin
C dan Acetosyringone pada Transformasi genetik anggrek Vanda
tricolor Lindl. var. suavis melalui Agrobacterium tumefaciens. Bionatura
Jurnal Ilmu Hayati dan Fisik14(3): 215-220.
Dwiyati, M. 2016. Peran Zat Pengafur Tumbuh Auksin dan Sitokinin terhadap
Pertumbuhan Semai Anggrek Phalaenopsis.
http://bio.unsoed.ac.id/sites/default/files/Peran%20Zat%20Pengatur%20Tu
mbuh%20Auksin%20dan%20Sitokinin%20terhadap%20pertumbuhan%20
semai%20anggrek%20phalaenopsis.pdf. Diakses tanggal 03 Juni 2017.
Fitrianti, A. 2006. Efektivits Asam 2,4-Diklororofenoksiasetat (2,4-D) dan Kinetin
pada Medium MS dalam Induksi Kalus Sambiloto dengan Eksplan
Potongan Daun. Skripsi. Biologi FMIPA UNS. Semarang. 64 hlm.
25
Gardiner, L.M. 2007. “Vanda tricolor Lindl. Conservation in Java, Indonesia:
Genetic and GeographicStructure and History”. Lankesteriana, 7. 272-280.
George, E.F. 1993. Plant Propagation by Tissue Culture Part 1: The Technology.
2nd edition. Exegetics Limited, England. 574p.
Hamidah, M., A.G.A. Karim and P. Debergh. 1997. Somatic Embryogenesis and
Plant Regeneration in Anhthurium andreanum L. hybrids. Plant Cell Tissue
and Organ Culture. 48:183-193.
Handayani, E. dan Isnawan, Bambang Heri. 2015. Substitusi Medium Sintetik
dengan Pupuk Daun, Air Kelapa dan Ekstrak Nabati pada Subkultur
Anggrek Cattleya pastoral Innocence secara In Vitro. Planta Tropika
Journal of Agro Science 2 (2). DOI 10.18196/pt.2014.031.115-124
Hardjo, P. H. 2017. Proliferasi PLBs Vanda tricolor Lindl. var. Pallida.
http://fmipa.unesa.ac.id/biologi/wp-content/uploads/2017/03/25_Popy-
Hartatie-Hardjo_129-131.pdf. Diakses tanggal 27 Juli 2017.
Hartmann, H.T., D.E. Kester, and F.T. Davies. 1990. Plant Propagation and
Principles Practices. Prentice-Hall Inc. New Jersey. 14 p.
Hendaryono, Daisy P. Sriyanti dan Wijayani, Ari. 1994. Teknik Kultur Jaringan.
Penerbit Kanisus, Yogyakarta. Hal. 17.
Huetterman, C.A. and J.E. Preece. 1993. Thidiazuron a potent cytokinin for woody
plant tissue culture. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 33:1050119.
Irawati. 2002. Konservasi Anggrek Spesies di Indonesia. Proseding Seminar
Anggrek Indonesia, Yogyakarta, 20 Oktober 2002.
Karjadi, A.K. dan Buchory A. 2008. Pengaruh Komposisi Media Dasar,
Penambahan BAP, dan Pikloram terhadap Induksi Tunas Bawang Merah.
Jurnal Holtikultura 18 (1) : 1-9.
Kementan. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Anggrek. Badan
Litbang Pertanian. Jakarta Selatan. 39 hlm.
Kementan. 2016. Produksi Anggrek Menurut Provinsi, Tahun 2012-2016.
http://www.pertanian.go.id/Data5tahun/HortiASEM2016(pdf)/Produksi%2
0Angrek.pdf. Diakses tanggal 20 Mei 2017.
Lestari, Endang G. 2011. Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam Perbanyakan
Tanaman melalui Kultur Jaringan. Jurnal AgroBiogen. VII (1) : 63-68.
Mariska, I, Hobir dan Sukmadjaja D. 1992. Usaha pengadaan bahan tanaman
melalui bioteknologi kultur jaringan. Pros. Temu Usaha Pengembangan
Hasil Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Puslitbangtri, Balittro dan
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Agribisnis. Jakarta, 2-3 Des 1992.
26
Metusala, D. 2006. Melirik Konservasi Anggrek Vanda tricolor di Merapi.
http://anggrek.org/melirik-konservasi-anggrek-vanda-tricolor-di-merapi-
2.html. Dikses tanggal 23 Mei 2017.
Murthy, B.N.S., S.J. Murch, and P.K. Saxena. 1998. Thidiazuron: A potent
regulator of in vitro plant morphogenesis. In vitro Cell Dev. Biol-Plant
34(4): 267-275.
Nursyami. 2010. Teknik Kultur Jaringan Sebagai Alternatif Perbanyakan Tanaman
untuk Mendukung Rehabilitasi Lahan. Balai Penelitian Kehutanan
Makassar. Makassar. Hal 93-94.
Orcutt, D.M. and E.T. Nilsen. 2000. Physiology of Plants Under Stress. Soil and
Biotic Factors. John Willey and Sons, Inc. Canada. 696 p.
Pasanda, A. A. 2016. Pertumbuhan Anak Semai Anggrek Hibrida Phalaenopsis
pada Media Ms, Knudson dan Media Knudson Modifikasi Secara In vitro.
Skripsi. Universitas Sultan Hasanudin. Makassar.
Republika. 2014. Upaya Melestarikan Anggrek Lereng Merapi yang Kian Langka.
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/10/14/of123g384-
upaya-melestarikan-anggrek-lereng-merapi-yang-kian-langka. Diakses
tanggal 4 Juni 2017.
Rindang, D.,dkk. 2012. Konservasi Anggrek Alam Indonesia Vanda tricolor Lindl.
varietas suavis Melalui Kultur Embrio Secara In-Vitro. Jurnal Bumi Lestari,
12 (1) : 93-98.
Rineksane, I., A. dan Sukarjan, M. 2015. Regenerasi Anggrek Vanda tricolor Pasca
Erupsi Merapi. Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta.
Yogyakarta. Hal 378-384.
Rupawan, M. I, Basri, Z. Dan Bustami, M. 2014. Pertumbuhan Anggrek Vanda
(Vanda sp) pada Berbagai Komposisi Media Secara In vitro. E-jurnal
Agrotekbis. 2 (5) : 488-494
Sabran, A. Krismawati, Y.R. Galingging, dan M.A. Firmansyah. 2015. Eksplorasi
dan Karakterisasi Tanaman Anggrek di Kalimantan Tengah. Buletin Plasma
Nutfah 19 (1).
Singh, S.K. and M.M. Syamal. 2001. A short pre-culture soak in thidiazuron of
forchorfenuron improves axillary shoot proliferation in rose
micropropogation. Hortscience. 91:169-177.
Sukarjan, M. 2015. Pengaruh Jenis Medium dengan Kombinasi Thidiazuron
Terhadap Perumbuhan Kalus Anggrek Merapi (Vanda tricolor Lindl.)
Varietas Suavis Secara In Vitro. Skripsi. Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta. Yogyakarta. 51 hlm.
27
Sutriani E. 2014. Pengaruh Perlakuan Beberapa Konsentrasi 2,4-D yang
dikombinasikan dengan Air Kelapa Terhadap Pertumbuhan dan Kandungan
Klorofil Total Kalus Alfalfa (Medicago sativa L.) pada Media MS. Skripsi.
Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim. Malang. Hal 27.
Thomas, J.C. and F.R. Katterman. 1986. Cytokin Activity Induced by Thidiazuron.
Plant Physiol. 81 (2): 681-683.
Tokuhara, K. And M. Mii. 1993. Micropropagation of Phalaenopsis and
Doritaenopsis by culturing shoot tips of flower stalk buds. Plant Cell
Reports 13:7- 11.
Vidyasagar, K. 2006. National Conference on Plant Biotechnology, Lady Doak
College, Madurai. Retrieved from
http://en.wikipedia.org/wiki/Plant_Tissue_Culture. Diakses 24 Mei 2017.
Wang, B.S.P., P.J. Charest, and B. Downie. 1993. Ex-situ Storage of Seeds, Pollen
and In-vitro Cultures of Perennial Woody Plant Species. FAO. Rome. P.41-
57.
Wareing, P.F. and I.D.J. Phillips. 1976. The Control of Growth and Differentiation
in Plants. Pergamon Press. New York-Sidney-Paris-Frankfurt. 313 p.
Wijayani, Y., Solichatun dan Mudyantini, W. 2006. Pertumbuhan Tunas dan
Struktur Anatomi Protocorm like bodies Anggrek Grammatophyllum
scriptum (Lindl.) Bl. dengan Pemberian Kinetin dan NAA. Bioteknologi, 4
(2): 33-40.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman; Solusi Perbanyakan Tanaman Budi
Daya. Penerbit Bumi Aksara, Jakarta. 272 hlm.
28
Lampiran 1. Kandungan Medium MS, VW dan NDM
Unsur Komponen Medium
MS
(mg/liter)
VW
(mg/liter)
NDM
(mg/liter)
Unsur Makro KNO3 1.900 80 200
NH4NO3 1.650 - 480
(NH4)2 SO4 - - -
NH4H2PO4 - - -
MgSO47H2O 370 740 250
Na2SO4 - 200 -
CaCl2 2H2O 440 - -
KH2 PO4 170 - 550
Ca(NO3)24H2O - 285 470
KCl - 65 150
NaH2PO4 H2O - 16,5 -
Unsur Mikro Na2 EDTA 37,3 - -
FeSO4 7H2O 27,8 - -
MnSO4.4H2O 16,9 7 3
ZnSO4.7H2O 8,6 2,67 0,5
H3BO3 6,2 1,5 0,5
KI 0,83 0,75 -
NaMoO4.2H2O 0,25 - 0,025
CuSO4 5H2O 0,025 0,01 0,025
Fe2(SO4)3 - 2,5 -
CoCl2 6H2O 0,025 - 0,025
NaMoO3 - 0,001 -
Komponen
Organik Myo-inositol 100 - 100
Glicyne 100 3 -
Asam nicotinic 0,5 0,5 -
Pyridoxine HCl 0,5 0,1 1
Thiamine HCl 1 0,1 1
d-Biotin - - 0,1
Niacin - - 1
Calcium
pantothenate - - 1
Adenine - - 1
i-Cystein - - 1
Fe-EDTA - - 21
29
Lampiran 2. Layout Penelitian
M3T3
10
M2T3
1
M1T2
1
M3T1
8
M3T3
9
M3T1
1
M3T3
8
M3T3
1
M2T1
7
M2T2
7
M2T2
9
M1T3
9
M2T3
9
M3T3
5
M3T1
6
M2T1
10
M2T1
2
M3T2
9
M1T3
8
M2T1
8
M3T1
9
M3T2
4
M1T2
8
M1T3
4
M1T1
9
M1T1
7
M1T1
1
M1T2
4
M1T1
10
M3T3
3
M3T1
5
M1T2
2
M2T2
4
M3T1
2
M1T1
2
M2T3
4
M3T2
8
M3T1
10
M1T1
8
M2T2
1
M2T2
10
M2T2
8
M3T1
3
M1T3
3
M2T1
1
M2T3
6
M1T1
5
M1T1
6
M2T2
5
M1T2
5
M2T3
7
M3T2
10
M3T2
3
M2T3
2
M3T2
1
M3T2
5
M3T2
7
M1T3
6
M2T1
6
M3T3
2
M2T2
2
M1T2
7
M3T2
2
M1T3
1
M1T2
9
M1T2
10
M1T2
6
M1T1
3
M3T3
6
M1T3
10
M2T1
3
M1T3
2
M2T2
6
M3T3
4
M3T3
7
M2T1
4
M2T3
8
M1T3
7
M1T3
5
M1T2
3
M3T1
4
M3T2
6
M2T1
9
M2T1
5
M3T1
7
M2T3
3
M1T1
4
M2T2
3
M2T3
5
M2T3
10
Keterangan :
M1 = Media MS
M2 = Media VW
M3 = Media NDM
T1 = TDZ 0 mg/l + 0,5 NAA
T2 = TDZ 0,5 mg/l + 0,5 NAA
T3 = TDZ 1 mg/l + 0,5 NAA
30
Lampiran 3. Perhitungan Medium
a. Hasil perhitungan medium MS
Stok Kebutuhan
1 liter 200 ml
MS 4,43 g 0,88 mg
Sukrosa 30 g 6 g
Phytagel 2,5 g 0,5 g
Arang aktif 0,2 g 0,04 g
PPM 0,5 ml 0,1 ml
b. Hasil perhitungan medium VW
Stok Kebutuhan
1 liter 200 ml
VW 1,67 g 0, 334 g
Sukrosa 30 g 6 g
Phytagel 3 g 0,6 g
Arang aktif 0,2 g 0,04 g
PPM 0,5 ml 0,1 ml
c. Hasil perhitungan medium NDM
Stok Kebutuhan
1 liter 200 ml
NDM 1,96 g 0,392 g
Sukrosa 30 g 6 g
Phytagel 2,5 g 0,5 g
Arang aktif 0,2 g 0,04 g
PPM 0,5 ml 0,1 ml