pengaruh industri semen terhadap uji fungsi paru

27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri Semen 2.1.1. Proses pembuatan semen Seperti yang ditunjukkan pada diagram proses dibawah, proses pembentukan dapat dibagi menjadi 4 komponen utama berikut : akuisisi bahan baku dan penanganan, persiapan bahan untuk kiln, pyroprocessing, dan grinding semen. Inti dari proses pembentukan ini terletak pada pyroprocessing. 7

description

industri semen mengemisikan partikel debu yang berakibat terhadap penurunan uji fungsi paru melalui pemeriksaan spirometri dengan nilai rasio FEV1/FVC

Transcript of pengaruh industri semen terhadap uji fungsi paru

Page 1: pengaruh industri semen terhadap uji fungsi paru

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Industri Semen

2.1.1. Proses pembuatan semen

Seperti yang ditunjukkan pada diagram proses dibawah, proses

pembentukan dapat dibagi menjadi 4 komponen utama berikut : akuisisi bahan

baku dan penanganan, persiapan bahan untuk kiln, pyroprocessing, dan grinding

semen. Inti dari proses pembentukan ini terletak pada pyroprocessing.

Gambar 2.1

Dari setiap proses diatas digambarkan bahwa dalam setiap proses terdapat

emisi berupa PM (Particulate Matter) dan gas. Partikulat ( PM dan PM10 ),

nitrogen oksida ( NOx ), sulfur dioksida ( SO2 ) , karbon monoksida ( CO ), dan

CO2 adalah emisi utama dalam pembuatan semen. Sejumlah kecil senyawa

7

Page 2: pengaruh industri semen terhadap uji fungsi paru

organik volatil (SOV), amonia ( NH3 ), klorin, dan hidrogen klorida ( HCl ) juga

dapat dipancarkan dalam proses ini (EPA, 2001).

2.1.2 Emisi udara dari pembuatan semen

Terdapat empat bahan emisi utama dari pembuatan semen di udara :

2.1.2.1. PM (Particulate Matter)

Sumber PM di pabrik semen meliputi (1) penggalian dan penghancuran, (2)

penyimpanan bahan baku, (3) penggilingan dan pencampuran (dalam proses

kering saja), (4) produksi klinker, (5) setelah penggilingan dan (6) kemasan dan

pemuatan. Sumber emisi terbesar dari PM dalam pabrik semen adalah sistem

pyroprocessor yang mencakup penumpukan pada kiln dan pendingin klinker.

Seringkali, debu dari kiln dikumpulkan dan didaur ulang menjadi kiln, sehingga

menghasilkan klinker dari debu (EPA, 2001).

Sumber tambahan PM adalah penyimpanan bahan baku tumpukan,

konveyor, silo penyimpanan, dan fasilitas bongkar muat. Aturan untuk emisi dari

pabrik semen portland dibuat pada 17 Agustus 1971 untuk membatasi emisi PM

dari portland kiln semen 0,15 kg / Mg (£ 0,30 / ton) pakan (basis kering), dan

untuk membatasi PM emisi dari klinker pendingin untuk 0.050 kg / Mg (£ 0,10 /

ton) pakan (basis kering) (EPA, 2001).

2.1.2.2. NOX (Nitrogen Oksida)

Nitrogen oxida dihasilkan selama pembakaran melalui oksidasi ikatan kimia

dan fiksasi termal nitrogen di udara pembakaran. Dengan meningkatnya suhu,

jumlah termal yang menghasilkan nitrogen oksida meningkat, begitu juga dengan

NOX yang dihasilkan oleh bahan bakar. Dalam pembuatan semen, NOX

dihasilkan pada zona pembakaran di kiln dan di pipa precalcining. Dalam proses

8

Page 3: pengaruh industri semen terhadap uji fungsi paru

pembakaran di kiln, jenis bahan bakar dan suhu pembakaran mempengaruhi emisi

NOX yang dihasilkan. Jika suhu api tinggi dan bahan bakarnya mengandung

banyak nitrogen, NOX yang dihasilkan lebih sedikit daripada yang menggunakan

batu bara atau minyak tapi suhu api lebih rendah (EPA, 2001).

2.1.2.3. SO2 (Sulfur Dioksida)

Sulfur dioksida dapat dihasilkan melalui bahan baku ataupun melalui bahan

bakar. SO2 ditentukan dari kadar volatile sulfur dalam bahan bakar, dan

diemisikan pada akhir sistem kiln ketika suhu rendah (EEA, 2013).

2.2 PPOK

2.2.1 Definisi

Penyakit paru obstuktif kronis adalah penyakit paru kronik yang ditandai

oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel

atau reversibel parsial. PPOK ditandai dengan adanya emfisema dan bronkitis

kronis. (PDPI, 2003). Sedangkan menurut Global Initiative for Chronic

Obstructive Lung Disease (GOLD, 2013), PPOK adalah penyakit paru yang dapat

dicegah dan diobati, ditandai dengan limitasi aliran udara yang persisten dan

progresif, akibat respons inflamasi kronik pada jalan napas dan parenkim paru

yang disebabkan gas atau partikel beracun. Eksaserbasi dan komorbid

berkontribusi pada beratnya penyakit ini.

2.2.2 Epidemiologi

Data prevalensi PPOK pada populasi dewasa saat ini bervariasi pada setiap

negara di seluruh dunia. Tahun 2000, prevalensi PPOK di Amerika dan Eropa

berkisar 5-9% pada individu usia > 45 tahun (Miller et al, 2005). Data penelitian

lain menunjukkan prevalensi PPOK bervariasi dari 7,8%-32,1% di beberapa kota

9

Page 4: pengaruh industri semen terhadap uji fungsi paru

Amerika Latin. Prevalensi PPOK di Asia Pasifik rata-rata 6,3%, yang terendah

3,5% di Hongkong dan Singapura dan tertinggi 6,7% di Vietnam (GOLD, 2011).

Saat ini PPOK menempati urutan keempat dalam hal penyebab kematian di

seluruh dunia dan WHO memperkirakan pada tahun 2020 PPOK akan menempati

peringkat ketiga penyakit dalam menyebabkan kematian. Hal ini mungkin

disebabkan oleh karena meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya

pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan

kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok

usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan

di tempat kerja (NHLBI, 2009).

Di Indonesia sendiri berdasarkan hasil survey Riskesdas melalui wawancara

pada umur ≥ 30 tahun berdasarkan gejala pada tahun 2013, prevalensi penyakit

PPOK di Indonesia adalah sebanyak 3,7% . Sementara Sumatera Barat menduduki

peringkat ke-3 di Sumatera dengan prevalensi 3% (RISKESDAS,? ). Di poliklinik

Paru RS Dr M Djamil Padang angka kunjungan penderita PPOK mengalami

peningkatan dari tahun ke tahun. Data dari rekam medik menunjukkan pada tahun

2006 jumlah kunjungan kasus baru penderita PPOK sebanyak 38 orang, 2007

sebanyak 68 orang dan tahun 2008 berjumlah 79 orang. Dari data ini terlihat

adanya peningkatan kasus PPOK setiap tahun (Sutan Hasibuan, 2010)

2.2.3 Faktor risiko

Faktor risiko meliputi faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan faktor

lingkungan. Faktor pejamu meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas dan

pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1 antitripsin,

yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga dapat terjadi

10

Page 5: pengaruh industri semen terhadap uji fungsi paru

akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan dengan masa

kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru

akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan

PPOK (UNEP, 2013).

Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi

tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada

perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif

berhubungan dengan angka kematian. Tidak semua perokok akan menderita

PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga dengan faktor genetik. Perokok pasif

dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK. Pada perokok

pasif didapati penurunan FEV1 tahunan yang cukup bermakna pada orang muda

yang bukan perokok. Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan

hubungan dose response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap

hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang

ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada

Indeks Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari dikalikan jumlah

hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus tahun artinya jika

seseorang merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan menderita bronkitis

kronik minimal setelah 10 tahun merokok (WHO, 2008).

Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap

rokok, asap kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan

(outdoor), seperti gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu

jalanan, dan lain-lain, serta polusi di tempat kerja, seperti bahan kimia, debu/zat

iritasi, gas beracun, dan lain-lain. Pajanan yang terus menerus oleh polusi udara

11

Page 6: pengaruh industri semen terhadap uji fungsi paru

merupakan faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan (outdoor polution)

masih belum jelas tapi lebih kecil dibandingkan asap rokok. Polusi dalam ruangan

(indoor polution) yang disebabkan oleh bahan bakar biomassa yang digunakan

untuk keperluan rumah tangga merupakan faktor risiko lainnya. Status

sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk terjadinya PPOK, kemungkinan

berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat pada tempat tinggal, gizi

buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan sosioekonomi (WHO, 2008).

2.2.4 Patogenesis

2.2.4.1. Mekanisme Imunologis

PPOK berhubungan dengan respon inflamasi paru yang abnormal terhadap

partikel atau gas berbahaya, terutama rokok (GOLD, 2011). Menurut Braber et al.

(2012) dalam Vijayan (2013), pasien dengan PPOK dilaporkan mengalami

peningkatan netrofil di sputum, jaringan paru dan bronchoalveolar lavage (BAL)

dan neutrofil berperan penting dalam patogensis PPOK. Level serum

immunoglobulin free light chains (IgLC) meningkat pada PPOK karena rokok.

IgLC mengikat netrofil dan cross-linking IgLC pada netrofil menghasilkan

peningkatan produksi IL8 yang merupakan atraktan selektif untuk netrofil.

Menurut Chauhan et al. (1990) dalam Dolina (2013), sel B juga meningkat pada

pasien PPOK dan sel ini memproduksi IgCL, selain memproduksi IgG dan IgA.

Level serum IgE juga meningkat dan berhubungan dengan merokok (Singh et al,

2010).

2.2.4.2. Keseimbangan Oksidan-antioksidan

Stress oksidatif dapat menggangu vasodilatasi dan pertumbuhan sel endotel.

Ketika oksidan melebihi antioksidan paru maka terjadi modifikasi protein, lemak,

12

Page 7: pengaruh industri semen terhadap uji fungsi paru

karbohidrat, dan DNA terjadi dan menghasilkan kerusakan jaringan. Oksidan

tersebut dapat memodifikasi elastin, sehingga lebih rentan terhadap pembelahan

proteolitik. Merokok dapat menginaktivasi histone deacetylase (HDAC2) dan

menyebabkan transkripsi kemokin/sitokin netrofil (TNF-α dan IL-8) dan MMP

sehingga terjadi degradasi matriks yang mendukung terbentuknya emfisema

(Vijayan, 2013).

2.2.4.3. Inflamasi Sistemik

PPOK juga memiliki manifestasi ekstrapulmomal. Dinyatakan bahwa

inflamasi pulmonal persisten dapat menyebabkan pelepasan kemokin dan sitokin

proinflamasi ke sirkulasi. Mediator ini dapat menstimulasi liver, jaringan adipose

dan sumsum tulang untuk melepaskan sejumlah leukosit, CRP, interleukin (IL)-6,

IL-8, fibrinogen dan TNF-α ke sirkulasi dan menyebabkan inflamasi sistemik

(Tkac et al., 2007). Menurut Thomensen et al. (2012) dalam Vijayan (2013)

inflamasi sistemik dapat memulai atau memperburuk penyakit komorbid, seperti

penyakit jantung iskemik, osteoporosis, anemia normositik, kanker paru, depresi,

dll (Vijayan, 2013).

2.2.4.4. Apoptosis

Studi terbaru menyatakan bahwa apoptosis terlibat dalam perkembangan

PPOK dan telah ditunjukkan adanya peningkatan apoptosis epitel alveolar dan sel

endotel di paru pasien PPOK.Karena tidak diimbangi dengan peningkatan

proliferasi protein struktural, maka hal ini akan berakhir dengan kerusakan

jaringan paru dan emfisema (Vijayan, 2013).

13

Page 8: pengaruh industri semen terhadap uji fungsi paru

2.2.4.5. Perbaikan yang Tidak Efektif

Ada perbaikan yang tidak efektif pada emfisema dan keterbatasan

kemampuan paru dewasa untuk memperbaiki alveolus yang rusak (Vijayan,

2013).

2.2.5 Patofisiologi

Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh PPOK merupakan konsekuensi dari

mekanisme patofisiologi PPOK, diantaranya adalah:

2.2.5.1. Pembatasan Aliran udara dan Udara yang Terjebak

Inflamasi luas, fibrosis dan eksudat lumen pada saluran pernapasan kecil

berhubungan dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC, dan mungkin

dengan percepatan penurunan FEV1 (karakteristik PPOK) (Hogg et al, 2004).

O’Donnel dan Laneveziana (2007) dalam GOLD (2013) menyatakan bahwa

obstruksi saluran napas ini akan menjebak udara saat ekspirasi dan menyebabkan

hiperinflasi. Emfisema juga berperan dalam menjebak udara selama ekspirasi.

Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi demikian juga kapasitas residual

fungsional meningkat, khususnya selama aktivitas, menghasilkan peningkatan

dispnea dan keterbatasan kapasitas saat aktivitas. Hiperinflasi berkembang pada

tahap awal penyakit dan menjadi mekanisme utama dispnea saat aktivitas (?).

2.2.5.2. Abnormalitas Pertukaran Gas

Menurut Rodriguez-Roisin dan MacNee(1998) dalam ATS-ERS (2004)

abnormalitas pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia. Distribusi

abnormal rasio ventilasi-perfusi adalah mekanisme pertukaran gas abnormal pada

PPOK. Rodriguez et al. (2009) dalam GOLD (2013), menyatakan bahwa

umumnya transfer oksigen dan karbon dioksida memburuk selama perjalanan

14

Page 9: pengaruh industri semen terhadap uji fungsi paru

penyakit. Hal ini menyebabkan retensi karbon dioksida saat dikombinasikan

dengan penurunan ventilasi selama kerja pernapasan tinggi karena obstruksi berat

dan hiperinflasi bersamaan dengan gangguan dari otot ventilasi.

2.2.5.3. Hipersekresi Mukus

Hipersekresi mukus adalah abnormalitas fisiologis pertama pada PPOK.

Awalnya adalah stimulasi sekresi dari kelenjar mukus yang membesar. Lama-

kelaman hipersekresi mukus terjadi karena metaplasia epitel skuamosa.

Hipersekresi mukus ini menghasilkan batuk produktif yang kronis. Pasien dengan

hipersekresi mukus adalah bila terjadi peningkatan jumlah sel goblet dan

pembesaran kelenjar submukosa (ATSERS 2004).

2.2.5.4. Hipertensi Pulmonal

Terjadi pada kasus PPOK yang sudah lama, biasanya setelah terjadi

abnormalitas pertukaran gas. Faktor yang berkontribusi menyebabkan hipertensi

pulmonal pada PPOK termasuk vasokonstriksi, disfungsi endotel, dan remodelling

arteri pulmonal. Kombinasi ini mungkin suatu saat menyebabkan pembesaran

ventrikel jantung kanan (ATS-ERS, 2004). Ada respon inflamasi pada pembuluh

darah yang sama dengan yang terjadi pada saluran napas. Emfisema dan

hilangnya capillary bed juga berkontribusi terjadinya peningkatan tekanan di

sirkulasi pulmonal (GOLD, 2013).

2.2.5.5. Gambaran Sistemik

Keterbatasan aliran udara dan khususnya hiperinflasi mempengaruhi fungsi

jantung dan pertukaran gas (Barr et al, 2010). Mediator inflamasi ke sirkulasi

mungkin berkontribusi pada penurunan massa otot skeletal dan kaheksia, dan

mungkin memulai atau memperburuk penyakit komorbid seperti penyakit jantung

15

Page 10: pengaruh industri semen terhadap uji fungsi paru

iskemik, gagal jantung, osteoporosis, anemia normositik, diabetes, sindroma

metabolik, dan depresi (GOLD, 2013). Efek sistemik ini berkontribusi pada

pembatasan kapasitas aktivitas pada pasien dan memperburuk prognosis, tidak

bergantung pada fungsi paru mereka (Postma dan Boezen, 2006).

2.2.6 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pasien PPOK yang masih dini biasanya tidak

menunjukkan kelainan (PDPI, 2011). Seiring dengan perjalanan penyakit,

muncullah beberapa tanda dan gejala yang makin lama akan makin khas menjadi

gejala PPOK. PPOK memberikan tanda berupa gangguan baik pada sistem

pernapasan maupun sistemik.

2.2.6.1. Tanda Pernapasan

Inspeksi : barrel chest, pursed-lips breathing, gerakan tidak normal dari

dada/abdomen dan penggunaan otot-otot pernapasan. Semua ini merupakan tanda

pembatasan aliran udara, hiperinflasi dan gangguan mekanis dari bernapas (ATS-

ERS, 2004)

- Palpasi : ditemukan fremitus melemah pada emfisema

(PDPI, 2011)

- Perkusi : penurunan letak diafragma, suara timpani karena

hiperinflasi, hati dapat teraba (ATS-ERS, 2004)

- Auskultasi : suara napas vesikuler normal, atau melemah,

terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada

ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar jauh

(PDPI, 2011).

2.2.6.2. Tanda Sistemik

16

Page 11: pengaruh industri semen terhadap uji fungsi paru

Distensi vena leher, pembesaran hatidan edema perifer dapat terjadi karena

cor pulmonale atau selama inflasi yang parah. Kehilangan massa otot dan

kelemahan otot perifer yang konsisten dengan malnutrisi dan/atau disfungsi otot

skelet (PDPI, 2011).

2.2.7 Pemeriksaan penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai dalam mendiagnosis

PPOK adalah:

2.2.7.1. Pemeriksaan darah rutin

Untuk melihat nilai Hb, Ht, leukosit, dll. Peningkatan sel darah merah

(eritrositosis), terjadi ketika level oksigen di darah rendah (hipoksemia) dalam

waktu yang lama. Sel darah merah membawa oksigen di darah.

Karena kerusakan paru, pasien PPOK tidak dapat memperoleh cukup udara.

Sehingga reaksi tubuh adalah meningkatkan produksi sel darah merah untuk

meningkatkan jumlah oksigen di darah (Husney, 2010).

2.2.7.2. Pemeriksaan faal paru dengan spirometri

Pemeriksaan faal paru merupakan hal yang esensial untuk diagnosis dan

penilaian keparahan penyakit, dan juga membantu memantau progresnya. Nilai

yang didapat dari pemeriksaan dengan spirometri adalah FVC, FEV1dan FEV1

/FVC. Penurunan nilai dari ketiga parameter diatas menunjukkan adanya

gangguan dalam faal paru. Nilai FEV1 yang didapatkan dari hasil spirometri

adalah indeks yang paling sering digunakan untuk menilai obstruki aliran udara,

menilai beratnya PPOK dan juga untuk memantau perjalanan penyakit.

2.2.7.3. Pemeriksaan Radiologi

17

Page 12: pengaruh industri semen terhadap uji fungsi paru

Harus dilakukan pada semua pasien. Pemeriksaan radiologi memang tidak

sensitif untuk diagnosis, tetapi membantu dalam menyingkirkan penyakit lain

(pneumonia, kanker, efusi pleura, dan pneumotoraks). Umum walaupun tidak

spesifik, tanda emfisema adalah diafragma yang mendatar, radiolusensi paru yang

ireguler. (ATS-ERS, 2004). Bronkitis kronis berhubungan dengan peningkatan

tanda bronkovaskular dan kardiomegali. (Mosenifar, 2013). Dengan komplikasi

hipertensi pulmonal, bayangan vaskular hilus menjadi sering, dengan

kemungkinan adanya pembersaran ventrikular kanan.

2.2.7.4. Analisa Gas Darah Arteri (AGDA)

Analisa gas darah arteri memberikan petunjuk tentang keakutan dan

keparahan eksaserbasi dari penyakit. Pasien PPOK mengalami hipoksemia ringan

sedang tanpa hiperkapnia. Seiring perjalanan penyakit, hipoksemia memburuk dan

hiperkapnia mulai berkembang. Mekanisme paru dan pertukaran gas memburuk

selama eksaserbasi akut. Umumnya ada mekanisme kompensasi ginjal yang

terjadi bahkan saat CO2 yang kronis bertahan dalam tubuh (bronkitis), sehingga

pH biasanya mendekati normal. Biasanya, bila didapati pH dibawah 7,3 dapat

menjadi tanda gangguan akut dari sistem pernapasan (Mosenifar, 2013).

2.2.7.5. Evaluasi Sputum

Pada bronkitis kronis stabil, sputumnya mukoid dan makrofag sangat

banyak. Dengan eksaserbasi, sputum menjad purulen karena adanya neutrofil.

Peningkatan jumlah sputum merupakan tanda eksaserbasi akut (Mosenifar, 2013).

Beberapa organisme yang sering ditemukan dari kultur adalah Streptococcus

pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Moraxella catarrhalis juga sering, dan

Pseudomonas aeruginosa dapat ditemukan pada pasien dengan obstruksi berat.

18

Page 13: pengaruh industri semen terhadap uji fungsi paru

2.2.7.6. Pemeriksaan Alfa-1 Antitripsin

Pasien dengan tingkat AAT rendah, diagnosis definitifnya membutuhkan

penentuan tipe Pi. Hal ini dilakukan dengan fokus isoelektris pada serum yang

mewakili lokus Pi untuk alel umum dan alel Pi lain yang jarang. Molecular

genotyping DNA dapat dilakukan untuk alel Pi yang umum (Reilly, 2010).

Tingkat α1-antitripsinharus diperkirakan pada pasien PPOK muda (dekade 4 atau

5) dan memiliki riwayat keluarga yang kuat. Nilai serum α1-antitripsin <15–20%

dari batas normal merupakan tanda dari defisiensi α1-antitripsin (ATS-ERS,

2004).

2.3 Uji fungsi paru

2.3.1. Definisi

Uji fungsi paru atau lung function test atau disebut juga pulmonary function

test, digunakan untuk mengevaluasi kemampuan paru dan menangani pasien

penyakit paru. Pemeriksaan fungsi paru berguna untuk menentukan adanya

gangguan dan derajat gangguan fungsi paru. Uji fungsi paru yang paling

sederhana adalah ekspirasi paksa (Djojodibroto, 2009). Tes untuk menilai

kemampuan paru dalam menampung udara pernafasan, alat yang digunakan salah

satunya adalah spirometer (Sylvia, 2006).

2.3.2. Prinsip pemeriksaan

Volume ekspirasi paksa (FEV) adalah volume gas yang dikeluarkan dalam

satu detik melalui ekspirasi paksa sesudah inspirasi penuh. Parameter yang

biasanya diperlukan adalah kapasitas vital (KV) atau vital capasity (VC), volume

ekspirastori paksa (VEP) atau FEV pada beberapa interval waktu, misalnya 0,5;

0,75 maupun 1 detik, tetapi paling sering digunakan adalah FEV1 atau VEP1.

19

Page 14: pengaruh industri semen terhadap uji fungsi paru

Pada orang sehat dan normal, nilai VC hampir sama dengan FVC. Pada orang

yang mengalami obstruksi jalan napas, FVC lebih kecil dibandingkan VC.

Adapun nilai VC menurun pada penurunan keregangan paru, perubahan bentuk

dada, kelemahan otot respirasi, dan obstruksi saluran pernapasan (Djojodibroto,

2009).

Gambar 2.2

Dengan demikian dapat diketahui gangguan fungsional ventilasi paru

dengan jenis gangguan digolongkan menjadi 2 bagian yaitu:

1. Gangguan faal paru obstruktif, yaitu hambatan pada aliran udara yang

ditandai dengan penurunan VC dan FEV1/FVC

2. Gangguan faal paru restriktif, adalah hambatan pada pengembangan paru

yang ditandai dengan penurunan pada VC, dan RV (Khumaidah, 2010).

Dari berbagi pemeriksaan faal paru, yang sering dilakukan adalah :

20

Page 15: pengaruh industri semen terhadap uji fungsi paru

a. Vital Capacity (VC)

Adalah volume udara maksimal yang dapat dihembuskan setelah inspirasi

yang maksimal. Ada 2 macam vital capacity berdasarkan cara pengukurannya,

yaitu: 1) Vital Capacity, disini subyek tidak perlu melakukan aktivitas pernapasan

dengan kekuatan penuh dan 2) Forced Vital Capacity. Pemeriksaan dilakukan

dengan kekuatan maksimal. Sedangkan berdasarkan fase yang diukur, ada 2

macam VC yaitu: 1) VC inspirasi, VC diukur hanya fase inspirasi dan 2) VC

ekspirasi, diukur hanya pada fase ekspirasi. Pada orang normal tidak ada

perbedaan antara FVC dan VC, sedangkan pada keadaan kelainan obstruksi

terdapat perbedaan antara VC dan FVC. Vital Capacity merupakan refleksi dari

kemampuan elastisitas atau jaringan paru atau kekakuan pergerakan dinding

toraks. Vital Capacity yang menurun merupakan kekuatan jaringan paru atau

dinding toraks, sehingga dapat dikatakan pemenuhan (compliance) paru atau

dinding toraks mempunyai korelasi dengan penurunan VC. Pada kelainan

obstruksi ringan VC hanya mengalami penurunan sedikit atau mungkin normal.

b. Forced Expiratory Volume in 1 Second (FEV1)

Adalah besarnya volume udara yang dikeluarkan dalam satu detik pertama.

Lama ekspirasi orang normal berkisar antara 4-5 detik dan pada detik pertama

orang normal dapat mengeluarkan udara pernapasan sebesar 80% dari nilai VC.

Fase detik pertama ini dikatakan lebih penting dari fase-fase selanjutnya. Adanya

obstruksi pernapasan didasarkan atas besarnya volume pada detik pertama

tersebut. Interpretasi tidak didasarkan nilai absolutnya tetapi pada perbandingan

dengan FVC-nya. Bila FEV/FVC kurang dari 75 % berarti normal. Penyakit

obstruktif seperti bronkitis kronik atau emfisema terjadi pengurangan FEV lebih

21

Page 16: pengaruh industri semen terhadap uji fungsi paru

besar dibandingkan kapasitas vital (kapasitas vital mungkin normal) sehingga

rasio FEV/FVC kurang 80 %.

2.4 Efek polusi udara akibat emisi semen terhadap uji kapasitas paru

Industri semen adalah salah satu penyumbang terbesar partikel

debu/particulate matter PM terbesar terhadap polusi udara (Lei et al, 2010).

Particulate Matter yang berukuran < 10 (PM10) menyebabkan kerusakan pada

paru. Partikel debu mengandung beberapa komponen metal seperti sulfat, nitrat,

klorida, dan amonium, lalu ada partikel ultra. Yang paling menimbulkan bahaya

terhadap kesehatan adalah partikel ultra yang berukuran <100nm. Penelitian yang

dilakukan pada hewan menunjukkan efek inflamasi yang ditimbulkan partikel

ultra lebih besar dibandingkan partikel halus (McNee, 2003).

Mekanisme efek inflamasi yang ditimbulkan partikel debu terjadi melalui

beberapa cara :

a. Efek pada fagositosis

Fagositosis yang dilakukan oleh makrofag alveolar penting dalam proses

clearance di paru-paru. Partikel debu yang masuk mampu menimbulkan jejas pada

paru. Sementara, partikel ultra mampu melewati sistem fagositosis yang ada di

tubuh sehingga mampu menstimulasi sel epitel dan berkemungkinan melewati

intersisial.

b. Peran stres oksidatif

Eksperimen yang dilakukan menunjukkan bahwa pada paru-paru tikus yang

dipapar dengan PM10 menunjukkan gambaran peradangan, dibuktikan dengan

penurunan kadar glutathion tereduksi. PM10 menyebabkan translokasi NF-Kb

(Nuclear Factor Kappa Beta) dari sitoplasma ke inti di sel epitel paru-paru, yang

22

Page 17: pengaruh industri semen terhadap uji fungsi paru

menyebabkan reaksi radang. NF-KB adalah kompleks protein yang berada dalam

sitoplasma yang mempunyai peran penting dalam regulasi seluler di dalam tubuh

seperti respon imun, respon inflamasi, stres oksidatif, sitokin redikal bebas,

perkembangan bakteri serta proliferasi sel, diferensiasi, serta apoptosis (Ghosh,

1998; Hayden, 2006). NF-KB juga mengontrol transkripsi DNA dan ditemukan

hampir pada semua jenis sel. NF-KB memainkan peranan penting dalam

mengatur respon kekebalan tubuh terhadap infeksi. Kelainan NF-KB telah

dikaitkan dengan kanker, penyakit inflamasi, autoimun, syok septik, infeksi virus,

dan perkembangan kekebalan tubuh yang tidak tepat (Gilmore, 2006; Rudd,

2007).

23