PENGALAMAN KESEHARIAN GURU-GURU DI JAGOI … · Saya ucapkan terima kasih yang tidak terhingga...
Transcript of PENGALAMAN KESEHARIAN GURU-GURU DI JAGOI … · Saya ucapkan terima kasih yang tidak terhingga...
PENGALAMAN KESEHARIAN GURU-GURU DI JAGOIBABANG: NEGOSIASI ATAS WACANA TAPAL BATAS
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humiora(M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata
Dharma
Oleh :
Ervina Panduwinata Rete
136322010
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYAUNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
PENGALAMAN KESEHARIAN GURU-GURU DI JAGOIBABANG: NEGOSIASI ATAS WACANA TAPAL BATAS
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humiora(M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata
Dharma
Oleh :
Ervina Panduwinata Rete
136322010
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYAUNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PERSBTUJUAI{ FEMBIIIBING
TESIS
PENGALAMAN KESEHARIAN GI'RU-GI]RU DI JAGOI BABAI{G:
NEGOSIASI ATAS WACANA TAPAL BATAS
4-txuna ,?, ?ctc
...ffi..{4.!4..{t!!!g]Eg
fanggal 14 Juli 2017
)
ja-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
l3
HALAMAI\I PENGESAHAN
PENGALAMAN KESEHARIAI{ G[}RU.GI'RU DI JAGOI BABANG:NEGOSIASI ATAS WACANA TAPAL BATAS
Oleh:
Ervina Panduwinata Rete
3. Prof, D,r. A. Supratiknya
ilt
Pada Tdnssll 24 JulifrlT
Yogyakarta, 24 Juli 2017
tm
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PER}IYATAATI KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul : Pengalaman Keseharian Guru-guru di Jagoi Babang: Negosiasi Atas Wacana Tapal Batas merupakan hasil karya
dan penelitian saya pribadi. Di dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk merirperoleh gelar kesarjanaan' di suatu perguruan tinggi.Pemakaian dan peminjaman karya dari peneliti lain adalah semata-mata untukkeperluan ilmiah sebagaimana diacu secara tertulis di dalam catatan tubuh dan
catatan kaki serta daftar pustaka.
Yogyakarta, 08 Agustu s 2017
Yang me,mbuat pernyataan
Ervina Panduwinata Rete
tv
1v3..
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAA}I PERSETUJUAI\ PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUKKEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nim :136322010
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya rnemberikan kepada perpustakaanUniversitas Sanata Dharma karyailmiah saya yang berjudul:
PENGALAMAN KESEIIARIAN GURU.GURU DI JAGOI BABANG:NEGOSIASI ATAS WACANA TAPAL BATAS
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demii<ian saya memberikankepada Perpustakaan universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalandata, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya diinternet ataumedia lain untuk kepentingan akadernis tanpa perlu meminta ijin dari sayamaupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama sayasebagai penulis.
Dernikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 08 Agustus 2017
Yang menyatakan
Ervina Panduwinata Rete
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
To survive the Borderlands: you must live sin fronteras, be acrossroads.
Gloria Anzaldua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
KATA PENGANTAR
Tesis ini adalah bagian dari proses saya menuju pendewasaan secara
intelektual. Sebuah perjalanan untuk memberi makna pada lingkungan di
mana saya dilahirkan dan tumbuh-berkembang. Meski tesis ini tidak
berupaya memberi jawaban atas persoalan yang dihadapi oleh masyarakat
perbatasan, tetapi saya yakin tesis ini menyumbangkan pemahaman yang
lain dalam memaknai pengalaman guru di perbatasan sehingga membuka
perspektif yang lebih beragam.
Dalam penyusunan tesis ini tidaklah mulus. Ada tantangan yang
silih berganti. Oleh sebab itu, lewat kesempatan ini saya mau berterima
kasih kepada semua pihak yang sudah banyak membantu dan mendukung
saya selama proses penyusunan tesis ini. Pertama-tama, saya menghaturkan
terima kasih kepada Pak Praktik selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran serta
masukan selama penyusunan tesis ini. Dan juga saya ucapkan terima kasih
kepada seluruh dosen IRB yang dengan caranya masing-masing telah
berperan, baik dalam proses penyusunan tesis ini maupun selama proses
belajar saya di IRB. Tidak lupa juga saya ucapkan terima kasih atas Mbak
Desy selaku Sekretariat IRB yang diandalkan dalam urusan administrasi dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
Mbak Dita yang menginformasikan jadwal bimbingan, serta Pak Mul yang
diandalkan dalam urusan logistik di IRB.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Pak Anton Haryono,
karena merekomendasikan untuk melanjutkan studi di pasca sarjana di IRB.
Dan juga saya berterima kasih kepada seluruh guru Jagoi Babang yang
bersedia menjadi narasumber dalam penelitian ini, baik guru di SDN 1 Jagoi
Babang, SMPN 1 Jagoi Babang dan SMAN 1 Jagoi Babang serta Pak Viktor
selaku Kepala UPT Pendidikan Jagoi Babang yang telah mengijinkan saya
untuk mewawancarai guru-guru di Jagoi Babang. Terima kasih juga untuk
staf dari Kantor Imigrasi Jagoi Babang dan Bea Cukai yang sudah
mendukung dalam pengambilan data di Jagoi Babang. Tak lupa, saya
berterima kasih kepada teman-teman IRB, terutama untuk angkatan 2013;
Anne, teman diskusi baik dalam penyusunan tesis ini maupun selama saya
berproses belajar di IRB, Daeng Umar yang telah memberi masukan untuk
tesis ini dan teman ngopi dikala pikiran sedang buntu, Hans teman diskusi
dan memberi kesempatan saya untuk mengakses internet di kostnya.
Felomena, teman curhat dan yang menemani saya saat ngelembur. Mas
Noel, yang juga banyak membantu saya selama belajar di IRB terutama
untuk referensi yang berbahasa asing dan persoalan yang berkaitan dengan
media dan teknologi. Romo Koko, teman ngopi, diskusi, dan kadang
nasehatnya bikin saya bersemangat. Padmo, teman diskusi dan ide-idenya
yang menginspirasi saya. Cahyo, teman yang baik hati, serta semua
angkatan 2013 yang dengan caranya masing-masing berperan selama proses
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
saya belajar di IRB; Mas Antok, Umi, Kak Jolni, Mas Andre, Kak Phomat,
Lukas, Pak Riwi, Pak Alfons, dan Pak Efraim. Terima kasih juga untuk
kelompok belajar Jangkrik dan teman-teman lintas angkatan yang tidak
dapat saya sebut satu persatu tapi kalian selalu membuat saya bersemangat
untuk ke kampus. Lalu, terima kasih untuk dek Windi yang telah membantu
dan meluangkan waktu bersama saya selama di Jogja.
Saya ucapkan terima kasih yang tidak terhingga untuk orang-orang
yang berharga dalam hidup saya, terutama kedua orang tua saya yaitu;
Lambertus Rete dan Teresia serta ketiga kakak tercinta saya; Yuliana,
Valentina, dan Paulina yang tidak pernah lelah mendukung dan mendoakan
jalan apapun yang saya pilih meski itu terkadang aneh. Saya percaya dengan
terselesainya tesis ini juga karena doa-doa mereka. Saya juga berterima
kasih untuk Uyus dan keluarga yang setia mendukung dan menyemangati
saya untuk menyelesaikan tesis ini. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih
kepada Yesus Kristus atas konspirasi canggihnya.
Yogyakarta, 13 Juli 2017
Ervina Panduwinata Rete
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
ABSTRAK
Permasalahan masyarakat perbatasan adalah persoalan ikatan yangmelampaui batas. Karena ikatan itu pula mereka kerap diberi label gandaoleh masyarakat lainnya. Pengalaman semacam itu yang dihadapi oleh guru-guru di Jagoi Babang. Sebagai guru, mereka wajib menumbuhkan rasasolidaritas nasional dan sebagai bagian dari masyarakat lokal, merekamemiliki ikatan melampaui batas. Paralel dengan nalar Edwards Soja,penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu; material, wacana, dan praktikkeseharian. Hasilnya, keterkaitan antara Jagoi Babang dengan Serawaksampai pada fase simbolik. Masyarakat lokal mengakui keterkaitan kulturalyang melampaui batas sebagaimana yang ditunjukkan lewat material RumahAdat suku Dayak Bedayuh dan barang-barang yang berlabel ganda (Rupiahdan Ringgit). Sedangkan dari sisi wacana, Jagoi Babang digambarkansebagai area tapal batas yang kaku dan harus dijaga ketat, diawasi, hinggaorang-orangnya pun pantas dicurigai. Dari sisi praktik keseharian, aktivitasmelintas batas adalah ruang ketiga, yang menegosiasikan ikatan keluarga,kultural, dan ekonomi yang melampui batas. Dengan kata lain, dalamaktivitas melintas batas itulah ruang ketiga ditemui. Dalam kasus ini,menjadi guru di Jagoi Babang berarti menjadi guru yang melintas batasyang mau tak mau harus bernegosiasi atas wacana tapal batas.
Kata kunci: Negosiasi; Guru; Jagoi Babang; Melintas Batas; Ruang Ketiga;Wacana Tapal Batas;
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
ABSTRACT
The problem faced by people living on the borderline is their social bond thatoverrides the borderline itself. Thus the bond engenders double labeling attachedto them. These conditions experienced by the teachers in Jago Babang. Asteachers, they have to nurture national solidarity, at the same time being part ofthe local society whose bonds that override the borderline. In accordance withEdward Soja’s the way of thinking, this research divided into three spaces, i.e.material, discourses, and daily practice. Furthermore, the relation between JagoiBabang and Serawak reach the symbolic phase. In the material space, local peopleacknowledge cultural tie that overrides the borderline as shown on Rumah Adat ofDayak Bedayuh tribe and other materials with double labels (e.g. Rupiah andRinggit, Indonesian and Malaysian currency). While from the discourse side,Jagoi Babang described as a rigid borderline area, which must be closely guarded,watched, controlled, thus the cross border people deserved suspicion. In terms ofdaily practice, cross-border activity can be considered as the third space, whichnegotiates family, cultural, and economic ties beyond the boundaries. In otherwords, the third space can be found in the crossing-border activity. In this case,being a teacher in Jagoi Babang means to be a crossing-border teacher thatinevitably negotiate over the boundary discourse.
Keywords: negotiation; teacher; Jagoi Babang; cross-border, third space,boundary discourse
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
HALAM AN PERSETUJUAN PEMBIMBING.......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN......................................................................... iv
PERNYATAAN PUBLIKASI........................................................................ v
HALAMAN PERSEMBAHAN...................................................................... vi
KATA PENGANTAR..................................................................................... vii
ABSTRAK........................................................................................................ x
ABSTRACT...................................................................................................... xi
DAFTAR ISI.................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL............................................................................................ xv
BAB I: PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A. Latar Belakang................................................................................ 1
B. Tema Penelitian.............................................................................. 7
C. Rumusan Masalah.......................................................................... 7
D. Tujuan Penelitian............................................................................ 7
E. Pentingnya Penelitian..................................................................... 8
F. Kajian Pustaka................................................................................ 10
G. Kerangka Teori............................................................................... 17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
H. Metode Penelitian........................................................................... 23
I. Sistematika Penulisan..................................................................... 26
BAB II: KONDISI MATERIAL DI JAGOI BABANG.............................. 27
A. Pengantar........................................................................................ 27
B. Gambaran Umum Jagoi Babang..................................................... 28
C. Jagoi Babang di Mata Guru-guru................................................... 42
BAB III: WACANA TAPAL BATAS DI JAGOI BABANG .................... 50
A. Pengantar.............................................................................................. 50
B. Tapal Batas dari Masa ke Masa............................................................. 51
C. Tapal Batas Pasca Reformasi................................................................ 64
D. Jagoi Babang sebagai Tapal Batas........................................................ 66
BAB IV: NEGOSIASI MELALUI AKTIVITAS MELINTAS
BATAS............................................................................................................ 73
A. Pengantar............................................................................................... 73
B. Jagoi Babang: Titik Temu Antara Area di era Modern Padat dan
Cair........................................................................................................ 74
C. Aktivitas Keseharian Guru-guru di Jagoi Babang.................................
D. Negosiasi Guru-guru di Jagoi Babang..................................................
77
86
BAB V: PENUTUP.......................................................................................... 93
A. Kesimpulan............................................................................................ 93
B. Saran...................................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 97
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Peta Jagoi Babang............................................................... 28
Gambar 2 Letak geografi Jagoi Babang............................................... 29
Gambar 3 Tugu Bung Kupuak............................................................. 32
Gambar 4 Rumah Adat Sebujit............................................................ 33
Gambar 5 Kebun Sawit........................................................................ 34
Gambar 6 Papan Iklan Bank-Kalbar.................................................... 37
Gambar 7 Pasar Serikin........................................................................ 39
Gambar 8 Tugu Perbatasan Jagoi Babang........................................... 41
Gambar 9
Gambar 10
Gambar 11
Pos Terpadu Jagoi Babang..................................................
Kepala Sekolah dan murid-murid SDN I di Jagoi Babang........
Surat penghargaan atas penangkapan PGRS dan Paraku....
41
44
58
Gambar 12 Surat pernyataan kepatuhan................................................ 59
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Pengumpulan Data................................................................ 26
Tabel 2 Piramida Penduduk Kecamatan Jagoi Babang Tahun 2015.. 31
Tabel 3
Tabel 4
Perkebunan di Jagoi Babang.................................................
Rasio murid terhadap guru...........................................................
35
42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat di perbatasan sering diberi label ganda (identitas ganda,
loyalitas ganda, sampai berkewargaan ganda) oleh media. Mereka
digambarkan sedemikian rupa karena memiliki ikatan yang melampaui
batas teritorial. Gambaran semacam ini dapat kita lihat dari fenomena warga
perbatasan di Nunukan, Kalimantan Utara, yang dikabarkan berpindah
kewargaan di akhir tahun 2014 lalu. Berbagai media massa mewacana
fenomena tersebut mulai dari antaranews.com1, liputan6.com2,
merdeka.com3, okezone.com4, beritasatu.com5, republika.com6,
kompas.com7, detik.com8, suara.com9.
1 http://www.antaranews.com/berita/464085/warga-perbatasan-pindah-ke-malaysia-karena-ekonomi, diakses 20162 http://news.liputan6.com/read/2134244/1-dusun-pindah-kewarganegaraan-malaysia-ini-tanggapan-jk, diakses 20163 http://www.merdeka.com/peristiwa/derita-warga-perbatasan-sampai-pindah-kewarganegaraan-malaysia.html, diakses 20164 http://news.okezone.com/read/2014/11/13/340/1064994/miskin-warga-nunukan-pindah-kewarganegaraan-malaysia, diakses 20165 http://www.beritasatu.com/nasional/225861-3-penyebab-sejumlah-warga-di-nunukan-pindah-ke-malaysia.html, diakses 20166 http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/11/13/neyyz7-tni-warga-tiga-desa-di-perbatasan-pindah-ke-malaysia, diakses 20167http://regional.kompas.com/read/2014/10/21/11162361/.Janji.Manis.Malaysia.Goda.Warga.Long.Apari.untuk.Pindah.Negara, diakses 20168http://news.detik.com/berita/2747297/sedih-satu-desa-di-nunukan-seluruh-warganya-pindah-kewarganegaraan-malaysia, diakses 20169 http://www.suara.com/news/2014/11/19/111332/tiga-desa-kosong-warganya-pindah-ke-malaysia, diakses 2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Berita dari media itu pun menuliskan bahwa tingkat kemiskinan
yang tinggi, keterbatasan infrastruktur dan pelayanan publik yang tidak
maksimal membuat warga di perbatasan mudah tergiur “janji manis” negara
lain. Pandangan ini kemudian menuai polemik dan menjadi perdebatan di
masyarakat. Seperti yang terjadi dalam pembicaraan kaskus.co.id (diakses,
2016) dengan topik “setuju nggak kalo daerah perbatasan pindah negara?”.
Alih-alih menerima ada ikatan yang melampaui batas, pembicaraan tersebut
justru terbelah antara yang pro dan kontra. Pihak yang pro, cenderung
melihat warga perbatasan itu miskin, kurang perhatian pemerintah sehingga
wajar bila mereka pindah warganegara. Sedangkan pihak yang kontra
merasa warga perbatasan kurang sabar dalam menunggu pembangunan dari
pemerintah. Pemberian label ganda itu tidak hanya terjadi lewat berita di
surat kabar, tetapi juga lewat beberapa film seperti, Batas dan Tanah Surga
Katanya. Kedua film itu merepresentasikan kondisi masyarakat perbatasan
yang mengalami krisis solidaritas nasional. Fenomena di atas
memperlihatkan pandangan dominan orang dalam membicarakan
masyarakat di perbatasan. Masyarakat di perbatasan dengan mudah diberi
atribut ganda tanpa melihat kembali kondisi macam apa yang mereka hadapi
sehari-hari. Karena lahir dan tumbuh di perbatasan, tepatnya di Kecamatan
Seluas, Kabupaten Bengkayang,10 saya terbiasa melihat orang di perbatasan
melintas batas. Karena mereka memiliki ikatan-ikatan yang melampaui
batas. Melintas batas di dua negara yang pernah berperang di era Soekarno
10Lihat peta.http://www.batasnegeri.com/potret-camar-bulan-dusun-terluar-indonesia-di-sempadan-kalbar-serawak/ diakses 23 Januari 2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
dan kerap bersengketa karena masalah batas teritorial, olahraga, TKI,
hingga produk budaya. Meski hubungan politis kedua negara naik turun,
orang perbatasan tetap berinteraksi. Interaksi itu mewujud lewat kebiasaan
mendengar siaran radio, menonton siaran tv, mengkonsumsi barang-barang,
sampai hapal lagu kebangsaan negeri jiran itu. Bahkan memiliki saudara
yang menetap di Serawak.
Secara kultural, Serawak hampir tidak ada bedanya dengan daerah-
daerah di Kalimantan Barat. Persamaan itu karena ikatan nenek moyang
(bdk. Eilenberg, 2012:25, Arifin, 2014:168). Ikatan suku Dayak yang
mendiami demarkasi sepanjang 2.004 km sampai hari ini masih kita jumpai
ada dari mereka yang sebahasa. Mereka serumpun berbeda batang yang
dipisahkan kolonial lewat pembentukan garis 4°10” Lintang Utara yang
bermula dari Pantai Timur Kalimantan ditarik ke arah Barat sampai Tanjung
Datu telah membagi Borneo menjadi milik Inggris dan Belanda (Arifin,
2014:101). Batas yang dibagi-bagi kolonial tersebut diwarisi oleh Indonesia
dan Malaysia.
Pembentukan tapal batas membuat pergaulan mereka tidak leluasa
misalnya, untuk berjumpa mereka harus melalui proses interogasi berkali-
kali dan harus melapor di setiap pos penjagaan. Pembatasan atas tubuh itu
dibuat demi menjaga kedaulatan negara yang kehadiran negara di tapal
batas masih sering dipertanyakan. Wacana tentang tapal batas mewarisi
narasi kolonial yang membentuk batas untuk menghadapi migrasi yang
dianggap sebagai penganggu dan karena itu batas harus diawasi, dijaga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
ketat, sampai orang-orangnya pun pantas dicurigai. Narasi kolonial itu pula
tampak pada wacana dominan dalam membayangkan tapal batas yang
cenderung kaku sebagaimana yang tergambarkan lewat kartografi (tetap dan
kaku). Model pembayangan itu pula yang memposisikan orang-orang yang
punya ikatan melampui batas seolah-olah menjadi anak haram. Dan karena
itu, mereka yang kemudian menjadi lahan subur untuk proyek yang
bertemakan nasionalisme. Pendekatan top down semacam itu paling mudah
kita lihat dari pembangunan material yang mewujud lewat pos-pos imigrasi,
tugu perbatasan, patok-patok batas yang disakralkan. Material itu
memperlihatkan seperti apa negara mencerna daerah perbatasan dan
memperlakukan masyarakatnya.
Namun apa yang dibayangkan oleh negara tidak melulu semakna
dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat di perbatasan. Pembentukan
tapal batas tidak berarti melunturkan keterikatan masyarakat yang
melampaui batas. Pengalaman ini persis seperti yang dialami oleh suku
Melayu yang berada di Batam (Dedees,2015). Meski mereka tersebar di tiga
negara yaitu, Indonesia, Malaysia, dan Singapura, namun tidak sertamerta
melunturkan ikatan kemelayuan. Pengalaman hidup orang Melayu di Batam
yang berdektan dengan dua negara lainnya turut memengaruhi mereka
dalam membayangkan menjadi Indonesia. Bahwa orang Melayu di
Kepulauan Batam mengaku mencintai dan membela Indonesia dengan
kondisi yang “terbelah”, karena pada saat yang bersamaan juga beririsan
dengan kemelayuan yang sifatnya lintas negara. Atas nama ikatan kultural
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
itu pula membawa konsekuensi pada rasa nasionalisme yang “terbelah”.
Dengan kata lain, pengalaman kesejarahan sebagai warganegara Indonesia
dan ikatan kultural yang melampaui batas menjadi keunikan orang Melayu
di Batam dalam membayangkan menjadi Indonesia.
Kasus di atas memperlihatkan ikatan politis dibayang-bayangi oleh
ikatan kultural. Meski berbeda negara, ikatan kultural di antara orang
Melayu tidak benar-benar luntur. Yang itu artinya persoalan tentang tapal
batas tidak benar-benar selesai. Kondisi itu menunjukkan apa yang
diwacanakan oleh negara belum tentu semakna dengan apa yang dilakukan
oleh masyarakat perbatasan dan itu kemudian yang memotivasi saya untuk
melihat ruang negosiasi macam apa yang dilakukan oleh masyarakat
perbatasan ketika berhadapan dengan wacana dominan tentang tapal batas.
Dengan kata lain, daya negosiasi itu hadir lewat praktik sehari-hari
masyarakat di perbatasan.
Sepakat dengan gagasan Soja (1996) tentang ruang ketiga
(Thirdspace). Soja melampaui ruang yang sering kali didefinisi secara biner
(firstspace dan secondspace) dengan membuka perspektif yang baru atau
yang disebut dengan ruang ketiga. Ruang pertama yang dimaksud oleh Soja
adalah material (real), ruang kedua adalah interpretasi atas ruang pertama
(imagined), di antara real dan imagined itu pula ada ruang yang lain atau
disebut dengan ruang ketiga (praktik keseharian). Ruang ketiga sebagai
strategi menghadapi ruang yang tampak biner tersebut. Ketiga sisi itu saling
mempengaruhi dan oleh karena itu ruang terasa kontekstual, tidak dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
diseragamkan. Dengan mengikuti gagasan Soja, saya mengidentifikasi
negosiasi yang dilakukan oleh masyarakat perbatasan yang berada pada
tataran praktik sehari-hari.
Penelusuran tentang negosiasi masyarakat di perbatasan, tepatnya
di Kecamatan Jagoi Babang. Jagoi Babang berbatasan langsung dengan
Serikin, Serawak yang masyakaratnya pun masih memiliki ikatan nenek
moyang (Siagian,1995). Saya melihat persoalan itu dari pengalaman
keseharian guru-guru di Kecamatan Jagoi Babang. Berprofesi sebagai guru,
otomatis orang memiliki tanggungjawab untuk mengenalkan keindonesiaan
kepada peserta didik, yang itu artinya, ia harus tunduk pada wacana
dominan dalam membayangkan tapal batas (ikatan politis) sedangkan dalam
kehidupan sehari-hari, guru memiliki ikatan-ikatan yang melampaui batas.
Oleh karena itu menjadi penting untuk melihat negosiasi macam apa yang
dilakukan oleh guru di Kecamatan Jagoi Babang.
Penelitian yang diberi judul Pengalaman Keseharian Guru-guru di
Jagoi Babang: Negosiasi Atas Wacana Tapal Batas, berbicara mengenai
negosiasi yang dilakukan guru di tengah wacana dominan tentang tapal
batas yang erat kaitannya dengan ikatan politis di tengah ikatan yang
melampaui batas. Penelitian ini terbatas pada pengalaman keseharian guru
dalam memaknai diri agar tidak bertambah asing di tengah kenyataan
persoalannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
B. Tema Penelitian
Negosiasi guru Jagoi Babang sebagai ruang ketiga atas wacana tapal batas.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, Jagoi Babang adalah salah satu
kecamatan di Kabupaten Bengkayang, yang masyarakatnya memiliki ikatan
melampui batas. Sedangkan berprofesi sebagai guru, orang mau tak mau
tunduk pada wacana dominan dalam membayangkan Jagoi Babang sebagai
tapal batas. Di tengah kondisi tersebut, lantas negosiasi macam apa yang
dilakukan guru? Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Seperti apa kondisi material di Jagoi Babang?
2. Wacana apa yang mendominasi dalam membayangkan Jagoi Babang?
3. Negosiasi macam apa yang dilakukan oleh guru-guru di Jagoi Babang
atas wacana tapal batas?
D. Tujuan Penelitian
1. Melihat kondisi material di Jagoi Babang.
2. Membaca wacana yang mendominasi dalam membayangkan Jagoi
Babang
3. Mengidentifikasi negosiasi yang dilakukan oleh guru-guru di Jagoi
Babang atas wacana tapal batas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
E. Pentingnya Penelitian
Pentingnya penelitian ini sebagai berikut:
1. Pengembangan Ilmu Pengetahuan Humaniora
Penelitian ini untuk menambah ilmu pengetahuan kita dalam
melihat masyarakat di tapal batas. Berangkat dari pandangan dominan yang
memberi label ganda pada masyarakat di tapal batas tanpa memeriksa
terlebih dahulu kondisi macam apa yang dihadapi oleh orang di perbatasan.
Untuk menghadapi pandangan tersebut, saya mengidentifikasi negosiasi
yang dilakukan oleh guru-guru di Jagoi Babang sebagai ruang ketiga atas
kondisi material dan wacana tapal batas. Penelitian ini melalui tiga tahapan
yaitu; material, interpetasi atas material, dan negosiasi. Dengan
mengidentifikasi negosiasi yag dilakukan oleh guru-guru di Jagoi Babang,
membuka perspektif yang lebih beragam dalam melihat masyarakat di
perbatasan.
2. Penulis
Penelitian ini sebagai salah satu cara bagi saya untuk
mendewasakan diri secara intelektual. Dengan mempelajari ilmu humaniora
yang lintas disiplin, saya belajar membaca fenomena di lingkungan sekitar
dengan perspektif kajian budaya. Seperti dalam kasus ini, saya sebagai
orang yang lahir dan tumbuh di perbatasan mencoba melihat kembali
fenomena masyarakat perbatasan yang kerap diberi label ganda, namun kali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
ini saya melihat dengan kacamata kajian budaya yang lintas disiplin. Dalam
kasus ini, saya mengkombinasikan pandangan Edwards Soja dan Zygmunt
Bauman untuk mengidentifikasi negosiasi masyarakat perbatasan lewat
pengalaman keseharian guru Jagoi Babang. Penelitian ini juga sebagai salah
satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi pasca
sarjana di program Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
3. Guru dan Pemerhati Perbatasan
Untuk guru di perbatasan penelitian ini adalah refleksi atas
tindakannya sehari-hari. Dengan memahami apa yang mereka lakukan
sehari-hari diharapkan guru tidak bertambah asing di tengah kenyataan
persoalannya dan berposisi atas pandangan yang dominan tentang tapal
batas.
Untuk pemerhati perbatasan, penelitian ini mencoba melihat
pandangan masyarakat setempat dalam mendefinisikan diri di tengah
pandangan yang cenderung top-down. Lewat penelitian ini, saya
mengidentifikasi negosiasi guru-guru di Jagoi Babang di antara kondisi
material dan bayangan tentang Jagoi Babang. Negosiasi ini dapat dijadikan
referensi untuk membicarakan masyarakat di tapal batas dan sebagai upaya
menghadapi pandangan dominan yang tampak banal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
F. Kajian Pustaka
Penelitian tentang masyarakat di perbatasan sudah pernah dilakukan
oleh salah satu mahasiswi Ilmu Religi dan Budaya yaitu Novelina Laleba
(2010). Tesis dengan judul, Identitas Kebangsaan Masyarakat Pulau
Miangas Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara yang berbatasan dengan
Filipina Selatan. Lewat penelitian ini, ia menyatakan bahwa Miangas
sebagai ruang liminal di mana warga beridentitas ambivalen dan resistensi.
Hal ini, terkait dengan resistensi terhadap pendudukan negara Filipina dan
di satu sisi juga resistensi dengan NKRI sehingga terjadi tarik menarik
antara identitas lokal dan nasional (NKRI), yang kemudian muncul
kontestasi antara identitas lokal Miangas dengan identitas yang dibawa oleh
NKRI. Menurutnya, warga Miangas berada sebagai in-between citizenship.
Novelina menggunakan pendekatan pascakolonial dan sensitif
terhadap pengalaman warga Miangas dalam mengidentifikasi diri. Akan
tetapi, konteks perbatasan antara Miangas dan Filipina agak berbeda dengan
perbatasan Kalimantan-Malaysia yang cenderung cair. Di sini, saya akan
mengapresiasi tulisan yang relevan untuk membicarakan perbatasan
Malaysia-Indonesia di pulau Borneo.
1. Keterkaitan Masyarakat di Perbatasan
Kata serumpun berbeda batang tampak relevan untuk membicarakan
masyarakat di tapal batas. Semula ini adalah judul buku dari penelitian yang
dilakukan oleh Patji (2002). Buku itu merupakan penelitian etnografi pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
masyarakat pulau Sebatik. Sebatik terletak di sebelah timur laut Kalimantan.
Secara administratif, Sebatik bagian dari Provinsi Kalimantan Utara. Pulau
ini terbagi menjadi dua, sebelah utara milik Malaysia dan sebelah selatan
milik Indonesia. Pulau ini dibagi atas konvensi yang pertama (1891) kali
antara Inggris dan Belanda dalam menentukan batas-batas kekuasaan
mereka di pulau Borneo.
Masyarakat Sebatik sering melintas batas ke Tawau (Sabah,
Malaysia). Di Sebatik, melintas batas sudah menjadi kebiasaan sehari-hari
mereka. Ada dua alasan yang memotivasi mereka melintas batas yaitu;
ekonomi dan kultural. Meski demikian, motif ekonomi lebih mendominasi
daripada kultural. Pertama, untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga,
seperti tabung gas, pupuk, alat elektronik, minyak goreng, dan sebagainya.
Di mata orang Sebatik, barang-barang yang mereka peroleh dari Tawau
(Sabah) lebih terjamin kualitasnya dibandingkan dengan barang-barang
produk lokal yang terasa lebih mahal dan tidak sebanding dengan
kualitasnya, kedua, sebagian besar petani di Sebatik menjual hasil pertanian,
perkebunan (kelapa Sawit) dan hutan mereka ke Tawau (Sabah) karena
mengingat pasar di sana lebih potensial dibandingkan kota-kota lokal seperti
Nunukan dan Tarakan, ketiga, untuk mencari pekerjaan. Peluang kerja di
negeri jiran lebih terbuka dengan tingkat kemajuan kota tersebut. Tidak
hanya orang lokal yang melintas batas untuk mencari kerja tetapi juga warga
dari daerah lain seperti Bugis dan Nusa Tengara Timur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Aktivitas melintas batas tercatat sejak tahun 1960-an. Seperti yang
kita ketahui di tahun itu terjadi konfrontasi antara Indonesia-Malaysia.
Meski demikian, orang-orang yang tinggal di area tersebut sampai saat ini
masih saling berinteraksi dan tetap melintas batas. Kondisi Tawau yang
lebih maju daripada Sebatik membuat orang-orang berduyun-duyun
mengais rezeki di negeri jiran. Banyak dari mereka yang menjadi TKI dan
ada pula yang menetap menjadi warga Malaysia. Selain karena pekerjaan,
masyarakat Sebatik pun digambarkan sangat bergantung dengan produk-
produk Malaysia bahkan mereka juga menggunakan dua mata uang
sekaligus.
Bila di pulau Sebatik, orang melintas batas lebih didominsi oleh
motivasi ekonomi, penelitian yang dilakukan oleh Eilenberg (2012) yang
mengkaji Dayak Iban yang menetap di perbatasan antara Kabupaten Kapuas
Hulu di Kalimantan Barat dengan Serawak menunjukkan fenomena
melintas batas karena motivasi kultural. Secara etnis, Dayak Iban di
Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, masih memiliki ikatan nenek
moyang dengan Dayak di Serawak. Ikatan kultural ini pula yang turut
berkontribusi pada pembentukan relasi yang cair antar masyarakat di
perbatasan. Menurut Eilenberg (2012), keterikatan ini turut andil dalam
mempengaruhi identitas Dayak Iban yang tampak memiliki loyalitas
melampaui batas-batas teritorialnya. Namun, dapat pula menimbulkan
kebangkitan lokal yang disebabkan loyalitas nasional yang kuat. Lewat
situasi yang sedemikian dikatakan oleh Eilenberg bahwa perbatasan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Kalimantan Barat-Sarawak adalah perbatasan yang cair dan fluktuaktif
(Eilenberg, 2012: ). Penelitian Eilenberg (2012) tampak sensitif terhadap
kehidupan warga di perbatasan. Ia memperlihatkan dinamika di perbatasan
itu yang naik-turun sebagai konsekuensi perjalanan historis yang
membentuk area tersebut. Seperti yang ia paparkan bahwa kolonial yang
awal mula membentuk batas-batas di wilayah tersebut dan kemudian
dipertegaskan oleh negara yang mewarisi yaitu; Malaysia dan Indonesia.
Sejak pembentukan awal tapal batas, masyarakat lokal tidak
diikutkan serta (Arifin, 2014). Sejarah mencatat, pembagian wilayah Borneo
dibagi atas dasar kesepakatan antara Inggris dan Belanda dengan melalui
tiga tahap konvensi yaitu; menentukan titik koordinat di peta, di air, dan di
gunung. Penentuan tapal batas yang terkesan semena-mena ini membawa
konsekuensi, seperti yang dikatakan oleh Dave Lumenta (2015), orang yang
menetap di tapal batas (Indonesia-Malaysia) cenderung moderat dan terbuka
terhadap perubahan. Mereka yang lebih banyak melakukan aktivitas
ekonomi di wilayah Sarawak, nasionalisme menjadi urusan yang semu, dan
dalam berbagai sisi, tidak relevan. Orang di tapal batas cenderung memiliki
ikatan melampaui batas teritorialnya. Batas yang mereka pahami tidak sama
dengan apa yang dimaknai oleh negara yang melihat batas-batas itu secara
kaku sedangkan bagi masyarakat lokal justru sebaliknya.
Konteks di atas memperlihatkan bahwa batas yang kita kenal saat ini
adalah batas yang mengikuti narasi kolonial dan semakin dipertegas oleh
negara pewaris (Indonesia-Malaysia). Batas-batas itu dibuat secara top-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
down untuk membedakan antara kekuasaan Inggris dan Belanda. Dengan
mengikuti narasi kolonial, batas yang kita kenal saat ini adalah buatan
kolonial yang belum tentu semakna dengan batas yang dipahami oleh
masyarakat lokal yang telah mendiami wilayah itu secara turun temurun.
Seperti yang dipaparkan oleh Eilenberg (2012), Dayak Iban di perbatasan
Kapuas Hulu-Serawak memiliki ikatan primordial. Yang itu artinya batas
yang mereka pahami belum tentu sama dengan batas yang kita pahami saat
ini. Atasnama itu, pengalaman melintas batas dapat dikatakan sebagai cara
mereka hidup.
2. Model Interaksi Antar Masyarakat di Perbatasan
Menurut Arifin (2014) keterkaitan perbatasan antara Kalimantan
Barat-Serawak meliputi berbagai aspek mulai dari ekonomi, kultural, jalan
raya, jaringan informasi dan saat ini yang sedang berjalan adalah impor
listrik dari Malaysia dengan membangun Sutet di sepanjang perbatasan di
Kalimantan Barat. Ada lima kabupaten di Kalimantan Barat yang
berbatasan langsung dengan Serawak yaitu, Sambas, Bengkayang, Sanggau
Kapuas, Sintang, dan Kapuas Hulu. Akan tetapi, diantara itu yang paling
dekat menghubungkan antara Pontianak dan Kuching adalah Jagoi Babang
yang terletak di Kabupaten Bengkayang. Kabupaten Bengkayang sendiri
memiliki dua pintu selain Kecamatan Jagoi Babang, yaitu Siding dan
Separan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
Interaksi masyarakat di perbatasan Kalimantan Barat-Serawak
menurut Arifin (2014) mendekati kategori Coexistent Borderland yaitu,
interaksi penduduk perbatasan dapat diposisikan pada level on atau off oleh
negaranya masing-masing. Dengan kata lain, penduduk menerima interaksi
yang binasional (ganda) dengan terbatas. Selain itu, model interaksi mereka
mendekati kategori Interdependent Borderlands, di mana interaksi saling
terkait satu dengan yang lain dan saling membutuhkan. Dengan kata lain,
kedua wilayah saling melengkapi.
Kedua kategori di atas mengikuti gagasan Martinez (1994) dalam
membaca dinamika di perbatasan antara USA-Meksiko yang terdiri dari
empat tipe. Selain yang sudah disebutkan di atas, terdapat dua lagi yaitu;
Alienated Borderland, adalah perbatasan yang tegang dan tertutup. Interaksi
di perbatasan sama sekali tidak terjadi. Penduduk diantara dua sisi negara
itu saling mengasingkan. Integrated Borderland, perbatasan yang kuat dan
permanen dan memiliki integrasi ekonomi. Interaksi yang tidak terbatas dan
penduduk perbatasan mengganggap mereka adalah anggota yang sama
dengan satu sistem sosial.
Berdasarkan kategori di atas, tampak model interaksi masyarakat di
perbatasan Kalimanan Barat-Serawak terkait satu dengan yang lain, terbuka
dan saling menopang, misalnya Serawak sebagai kota yang lebih maju,
membuka peluang kerja yang menjadi kesempatan orang lokal di perbatasan
Kalimantan Barat untuk mendapatkan pekerjaan dan menjual hasil pertanian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
dan hutan di pasar Serawak. Mereka pun merayakan upacara adat secara
bersama-sama.
Dari paparan di atas, semakin memperjelas posisi penelitian saya.
Bahwa masyarakat lokal cenderung memperlakukan batas dengan cair
karena memiliki ikatan yang melampaui batas. Namun, wacana dominan
cenderung membatasi pergaulan mereka. Apa yang tergambarkan oleh
wacana tersebut mengikuti narasi kolonial yang membagi batas untuk
kepentingan kekuasaan dan strategi menghadapi orang-orang yang mereka
anggap sebagai penganggu alias yang melakukan migrasi (Eilenberg, 2012).
Warisan kolonial ini semakin dipertegas oleh sejarah Indonesia dan
Malaysia yang pernah terlibat konfrontasi pada tahun 1960-an dan sampai
saat ini, pengawasan al a militer menjadi dominan di kawasan ini.
Lewat kajian pustaka ini, semakin menunjukkan bahwa mereka
memiliki ikatan yang melampaui batas. Ikatan ini pula yang mewujud lewat
kondisi material meski di sisi lain mereka berhadapan dengan pandangan
dominan yang cenderung membatasi pergerakan. Menyadari kondisi itu
pula, saya mengidentifikasi negosiasi yang mereka lakukan lewat praktik
keseharian guru-guru di Jagoi Babang. Penelusuran negosiasi tersebut
sebagai upaya untuk menghadapi pandangan banal yang dengan mudah
melabel masyarakat perbatasan dengan atribut ganda tanpa melihat lebih
dalam kondisi macam apa yang mereka hadapi sehari-hari.
Berangkat dari situasi itu, penelitian ini melihat praktik keseharian
masyarakat perbatasan lewat pengalaman guru-guru di Jagoi Babang untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
mengidentifikasi negosiasi macam apa yang mereka lakukan di antara
kondisi material dan wacana tapal batas. Penelitian ini mengikuti gagasan
Edwards Soja tentang ruang ketiga.
G. Kerangka Teori
Penelitian ini mengidentifikasi pengalaman guru-guru di Jagoi Babang
sebagai negosiasi atas wacana tapal batas. Untuk menjelaskan persoalan di
atas, saya merujuk pada gagasan Zygmunt Bauman tentang Liquid
Modernity dan Edwards Soja tentang Thirdspace.
1. Tapal Batas
Menurut Wadley (2005) batas teritorial yang dibayangkan antara
komunitas lokal dengan negara tidak selalu sama. Komunitas lokal
cenderung mendefinisikan batas berdasarkan landscape fisik seperti,
pepohonan, gunung, batu besar, dan sungai, sedangkan di mata negara, batas
adalah patok yang didirikan di sepanjang garis demarkasi dan biasanya
diperlakukan dengan pengawasan militer 24 jam. Dengan kata lain, batas
yang dimaknai oleh masyarakat lokal cenderung lebih fleksibel sedangkan
wacana politis cenderung melihat persoalan tapal batas itu sudah selesai,
persis yang digambarkan lewat kartografi. Area perbatasan diperlakukan
secara kaku dan ketat. Dengan batas, orang-orang dikategorikan secara
hitam dan putih, mereka dan kita, legal dan ilegal. Pos-pos penjagaan yang
dibangun semakin menegaskan area tersebut adalah border. Perbedaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
dalam memaknai batas ini dapat kita jelaskan dengan mengikuti gagasan
dari Zygmunt Bauman (2000) yang membedakan gambaran area di era
Modern Padat (Solid) dan Cair (Liquid).
“Nowadays we are all on the move” kata Bauman (1998) bahwa
orang-orang bebas bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang
lain. Di tengah kondisi tersebut, Bauman (2000) membedakan antara era
Modern Padat dan Cair. Gagasan tentang era Modern Cair dimulai sejak era
Modern Padat mengalami keterbatasan dalam menamai konsekuensi-
konsekuensi yang dibawanya (Blackshaw, 2005). Modern Cair adalah
Modern Padat yang datang dengan segala konsekuensinya. Pada era Modern
Cair, hampir keseluruhan aspek menuju proses pencairan; tidak menetap,
mudah berubah-ubah, dan fleksibel tanpa terkecuali batas teritorial
(Bauman, 2003). Sedangkan era Modern Padat, adalah di mana negara
memiliki kekuasaan untuk membuat orang patuh, menahan diri dari
perlawanan, dan terobsesi pada size dan berat. Semakin banyak area yang
dapat ditaklukan maka semakin berkuasa. Teritorial sebagai salah satu
penentu kekuasaan. Pada era ini, orang-orang tidak bebas bergerak. Ini
adalah era face-to-face antara masyarakat dengan negara yang berlaku
secara top-down. Singkat kata, ini adalah era dari engagement. Era yang
terobsesi pada tatanan yang fixed sehingga terobsesi untuk mengkategorikan
dan mengklasifikasikan segala sesuatu yang dianggap berserakan.
Gambaran area di era Modern Padat, itu fixed dan rigid, sebaliknya di area
dari era Modern Cair, tampak fleksibel dan mobilitas adalah gejala dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
teritorial yang batas-batasnya tidak otomatis mendefinisikan warga yang
menempatinya. Kondisi ini ditandai dengan orang bebas untuk berpindah-
pindah dari wilayah ke wilayah lain. Ini adalah masa di mana batas-batas
teritorial menuju cair.
Mengikuti gagasan Bauman, pandangan dominan cenderung
memperlakukan area batas secara tetap dan kaku dapat ditempatkan sebagai
gambaran dari area di era Modern Padat, di mana negara memegang kontrol
yang kuat untuk membatasi pergerakan warganya. Akan tetapi di daerah
perbatasan antara Kalimantan Barat dan Serawak, kita justru menjumpai
masyarakat yang memiliki ikatan yang melampaui batas teritorial.
Pengalaman tersebut kita tempatkan sebagai gambaran dari area di era
Modern Cair, yang mana batas teritorial tidak dapat mendefinisikan warga
yang menempatinya.
Di tapal batas, kedua pandangan yang tampak bertentangan itu
bertemu. Dengan kata lain, tapal batas yang kita pahami dari penelitian ini
adalah titik temu antara gambaran area di era Modern Padat dan Modern
Cair. Berangkat dari pendapat ini, negosiasi macam apa yang dilakukan oleh
guru-guru di Jagoi Babang tersebut. Untuk menelusuri negosiasi itu dapat
merujuk pada gagasan Edwards Soja (1996) tentang ruang ketiga.
2. Negosiasi Sebagai Ruang Ketiga
Secara harfiah, negosiasi adalah proses tawar menawar dengan jalan
berunding guna mencapai kesepakatan bersama. Situasi negosiasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
menunjukkan ada pandangan yang tampak bertentangan. Sebagaimana yang
dijelaskan di atas, pertentangan di tapal batas dalam kasus ini disebabkan
pertemuan pandangan dari era Modern Padat dan Modern Cair.
Konsekuensi orang yang tinggal di area tersebut sebagaimana yang dialami
oleh guru-guru di Jagoi Babang mau tak mau harus bernegosiasi. Jalan
negosiasi itu sebagai ruang ketiga.
Ruang ketiga yang dimaksudkan di sini erat kaitannya dengan
praktik spasial di tapal batas sebagaimana gagasan Soja. Gagasan Soja
(1996) tentang ruang ketiga hadir dalam kerangka konseptual trialectics
yaitu, ruang pertama, ruang kedua, dan ruang ketiga, yang ketiganya saling
memengaruhi satu dengan yang lain. Ruang ketiga dalam Soja diasosiasikan
sebagai strategi untuk menghadapi dominasi ruang pertama dan kedua.
Sekilas gagasan Soja (1996) punya kemiripan dengan konsep Lefebvre
tentang produksi ruang yang terdiri dari tiga pilar yaitu; praktik spasial,
representasi ruang, dan ruang representasional (perceived, conceived, live
space). Diakui oleh Soja (1996), konsep Lefebvre tersebut memberi denyut
atas konsep ruang ketiga hanya saja memiliki porsi dan tujuan yang
berbeda. Lefebvre dan Soja sama-sama memberi penekanan terhadap ruang
pertama yang adalah praktik spasial, namun porsi spasial bagi Lefebvre
sebagai panggung dari praktik sosial yang merupakan kekhasannya dengan
berlatar berlakang seorang sosiologi, sedangkan Soja melihat praktik spasial
adalah bagian yang tak terpisahkan dari praktik keseharian. Dengan kata
lain, kondisi spasial turut mempengaruhi tindakan orang dalam kehidupan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
sehari-hari yang kemudian mempertegas posisi Soja yang berlatar belakang
geografi. Untuk ruang kedua, Lefebvre cenderung melihat wacana yang
dipakai untuk menggambarkan suatu ruang, sedangkan bagi Soja, ruang
kedua adalah interpretasi atas ruang pertama. Dengan kata lain, bila ruang
pertama memberi gambaran material secara umum, natural, dan terkesan
objektif, diruang kedua justru terkesan subkjetif. Sementara ruang ketiga
dari Lefebvre adalah live space yang berisi praktik keseharian, sementara
Soja memperlakukan ruang ketiga sebagai upaya strategi menghadapi
pandangan biner atas ruang (ruang pertama dan kedua). Dalam tataran ini,
ruang ketiga dijadikan kesempatan untuk membuka perspektif yang lebih
beragam atas ruang. Pembacaan ruang ketiga semacam itu seolah-olah mau
mengaburkan persoalan, “either/not but rather about both/and also”
(Soja,1996).
Dalam analisis Soja (1996), ruang pertama atau praktik spasial berisi
data-data kuantitatif yang bisa dibaca ke dalam dua level yaitu, penjelasan
yang terfokus pada apa yang terlihat atau indigenous mode of spatial
analysis dan exogenous mode of spatial analysis atau penjelasan secara
umum tentang suatu ruang. Model penjelasan yang kedua dibutuhkan untuk
melampaui penjelasan data-data kuantitatif tersebut. Sebagaimana ruang
pertama, ruang kedua diinterpretasikan dengan mendalam ke dalam dua
level yaitu, introverted (indigenous) dan extroverted (exogenous).
Interpretasi pertama merupakan pembacaan atas kondisi internal dari ruang
dan interpretasi kedua adalah sisi eksternal. Singkatnya, ruang kedua yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
dibayangkan itu sedang diklaim seolah-olah adalah kondisi real atau kondisi
dari ruang pertama. Sementara ruang ketiga hadir sebagai upaya
menghadapi ruang pertama dan kedua. Dengan kata lain, ruang ketiga hadir
di antara yang real (ruang pertama) dan imagined (ruang kedua) sebagai
Thirding-as-Othering atau strategi menghadapi ruang real dan imagined
yang cenderung biner. Penjelasan ruang dalam pandangan Soja tampak
berakar pada persoalan spatiality, historicality, dan sociality.
Ruang ketiga dalam definisi Soja terbuka atas pemaknaan dan
penafsiran yang lebih beragam dan karena itu relevan dengan apa yang
ditelusuri lewat penelitian ini untuk mengidentifikasi negosiasi guru-guru di
Jagoi Babang sebagai upaya menghadapi pandangan banal yang mudah
melabeli atribut ganda terhadap masyarakat perbatasan. Pembacaan kembali
atas fenomena tersebut dengan meminjam gagasan Soja. Penjelasan ruang
pertama merupakan kondisi material di Jagoi Babang yang saya
kombinasikan dengan pengalaman peneliti dan guru-guru di Jagoi Babang.
Pada tataran ini, saya sedikit berbeda dari Soja yang memperlakukan ruang
pertama seolah-olah objektif, sebaliknya dari ruang pertama saya telah
mengambil posisi subjektif atas kondisi material yang saya lihat di Jagoi
Babang. Sedangkan di ruang kedua merupakan pembacaan saya atas kondisi
material Jagoi Babang dengan merujuk pula pada pengalaman historis tapal
batas. Sementara pada ruang ketiga adalah pengalaman keseharian
masyarakat perbatasan yang dibaca lewat pengalaman keseharian guru-guru
di Jagoi Babang. Pada tataran ini, pengalaman keseharian guru-guru di Jagoi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
Babang sebagai negosiasi atau ruang ketiga untuk menghadapi kondisi
material dan wacana tapal batas.
H. Metode Penelitian
Secara metodologis (Saukko, 2003:56 ) ruang ketiga menurut Soja
adalah pendekatan dengan multiperspektif untuk subjek yang sama.
Pendekatan ini terdiri dari ruang pertama, kedua, dan ketiga yang saling
memengaruhi. Lewat metode ini, kita diajak untuk memahami kondisi
material yang memfasilitasi tindakan kita sehari-hari. Dengan kata lain,
kondisi material tidak diperlakukan hanya sebagai panggung tetapi turut
berkontribusi pada tindakan kita. Mengikuti gagasan Soja di atas, langkah
pertama, saya melakukan pengamatan langsung ke Jagoi Babang untuk
melihat kondisi material, kedua, membaca wacana yang mendominasi di
Jagoi Babang, dan ketiga, berjumpa dengan guru-guru di Jagoi Babang.
Untuk itu, pendekatan ruang ketiga akan dikombinasikan dengan metode
etnografi baru untuk mengidentifikasi negosiasi guru Jagoi Babang atas
wacana tapal batas.
Metode etnografi baru merupakan salah satu model penelitian
sosial yang menerima subjektivitas liyan dan memperhatikan sensitif
terhadap latar belakang dan komitmen si peneliti dalam merefleksikan
pengalaman masyarakat yang ditelitinya. Dalam proses pengambilan data,
si peneliti memperhatikan suara-suara yang berbeda atau polyvocality. Apa
yang ditawarkan oleh metode etnografi baru, saya gunakan untuk menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
rambu-rambu dalam memaknai pengalaman guru-guru di Jagoi Babang.
Bahwa saya sadar akan latar berlakang yang juga berasal dari kawasan
perbatasan dan mengambil posisi untuk mendengarkan suara-suara guru di
tapal batas dalam memaknai pengalaman keseharian mereka yang melintas
batas.
1. Strategi pendekatan Etnografi Baru
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa pendekatan ini
memiliki fokus pada tiga strategi yang meliputi:
a. Collaboration
Kolaborasi dibutuhkan untuk meningkatkan kedekatan antara si peneliti
dengan realitas yang diteliti. Saya berasal dari kawasan perbatasan. Lebih
tepatnya, saya dari kecamatan Seluas Kabupaten Bengkayang di mana
letaknya bersebelahan dengan kecamatan Jagoi Babang. Kolaborasi ini
tampak dari pengalaman saya dan pengalaman guru-guru di Jagoi Babang.
b. Self-reflexivity
Refleksi peneliti pada diri sendiri agar dapat memediasi antara pemahaman
peneliti tentang kehidupan sendiri dan pemahaman dengan kehidupan
orang lain. Meski sama-sama berasal dari perbatasan di Kabupaten
Bengkayang dan berlatar pendidikan guru namun saya belum punya
pengalaman menjadi guru tapal batas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
c. Polyvocality
Peneliti memperhatikan bahwa pengalaman itu beragam. Oleh karena itu
keharusan peneliti untuk terbuka pada berbagai macam perspektif atau
suara. Lewat gambaran dari perspektif yang berbeda itu pula maka tampak
struktur sosial yang berbeda pula. Analisis ini kemudian dikaitkan dengan
ketidaksamaan struktur dan konteks sosial, bahwa apa yang diwacanakan
oleh struktur tidak selalu semakna dengan praktik sehari-hari guru di
perbatasan.
2. Lokasi Penelitian
Pengambilan data dimulai pada bulan Juli-Agustus 2015 di kota kecamatan
Jagoi Babang. Kecamatan Jagoi Babang merupakan kecamatan yang
terletak paling utara dari kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan
Barat.
3. Sumber data
Sumber data penelitian ini terdiri dari tiga bagian yaitu; pertama sumber
data berasal dari observasi langsung ke Jagoi Babang, kedua, studi pustaka
dan ketiga adalah hasil wawancara dengan guru-guru di Jagoi Babang. Data
wawancara diperoleh dengan cara wawancara dan dokumentasi. Wawancara
dilakukan pada lima belas orang guru yang terdiri dari, lima guru SD, lima
guru SMP, dan lima guru SMA. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat dari
Tabel 1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Tabel 1: Tabel Pengumpulan Data
Kategori data Sumber data Teknik pengumpulandata
Ruang Pertama material Jagoi Babang Dokumentasi, wawancara,dan studi pustaka
Ruang Kedua wacana tapal batas Studi pustaka, dokumentasidan wawancara
Ruang Ketiga pengalaman keseharianguru Jagoi Babang
Wawancara dandokumentasi
I. Sistematika Penulisan
Secara garis besar penelitian ini dipaparkan secara sistematis dalam lima
bab yaitu sebagai berikut:
Bab pertama : latar belakang penelitian, tema, rumusan masalah, tujuan,
pentingnya penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua : kondisi material di Jagoi Babang
Bab ketiga : wacana tapal batas di Jagoi Babang
Bab keempat : negosiasi guru atas wacana tapal batas
Bab kelima : penutup yang berisi kesimpulan dan saran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
BAB II
KONDISI MATERIAL DI JAGOI BABANG
A. Pengantar
Bab ini merupakan paparan dari kondisi material di Kecamatan
Jagoi Babang. Pemaparan bab ini mengikuti gagasan Soja tentang ruang
pertama. Menurut Soja (1996), ruang pertama merupakan praktik spasial
yang dipaparkan ke dalam dua level yaitu; indigenous mode of spatial
analysis dan exogenous mode of spatial analysis. Analisis indigenous
terletak atas pengalaman melihat material di Jagoi Babang sedangkan
exogenous adalah paparan umum atas material Jagoi Babang. Keduanya
saya kombinasikan untuk menjelaskan kondisi material di Jagoi Babang.
Meski Soja menjelaskan ruang pertama seolah-olah objektif
dengan menampilkan senatural mungkin lewat kondisi geografis dan data
kuantitatif, akan tetapi saya tidak dapat mengklaim bab ini sebagaimana
kerangka kerja Soja tersebut namun saya justru mengambil posisi dalam
menjelaskan ruang pertama yang adalah kolaborasi antara data-data
kuantitatif dan pengalaman guru-guru dalam melihat kondisi material di
Jagoi Babang. Dengan kata lain, subjektivitas sudah muncul di ruang
pertama. Bab ini terdiri dari dua sub-bab yaitu; gambaran umum Kecamatan
Jagoi Babang dan Jagoi Babang di mata guru-guru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
B. Gambaran Umum Jagoi Babang
Sumber: http://www.borneoskycam.com/images/peta/kertas%20A3.jpg
Menurut data dari badan statistik (2016), Jagoi Babang adalah
kecamatan paling utara dari Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.
Secara geografis, kecamatan Jagoi Babang terletak di 1°15’16” Lintang
Utara-1°30’00” Lintang Utara dan 109°33’95” Bujur Timur-110°10’00”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Bujur Timur. Sedangkan secara administratif, di sebelah utara berbatasan
dengan Serawak, Malaysia Timur, di sebelah selatan berbatasan dengan
Kecamatan Seluas, di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Siding,
dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sambas. Luas wilayah
Jagoi Babang mencapai 655,00 km² dan terbagi dalam 6 desa yaitu, desa
Jagoi, Kumba, Sinar Baru, Gersik, Semunying Jaya, Jagoi Sekida.
Gambar 2: Letak Geografis Jagoi Babang
Sumber: Arifin, 2014
Kecamatan Jagoi Babang dihuni oleh 9.591 jiwa dengan kepadatan
penduduk sebesar 15 jiwa per km². Sedangkan menurut jenis kelaminnya,
jumlah penduduk laki-laki sebanyak 5.341 jiwa dan penduduk perempuan
sebanyak 4.250 jiwa seperti tabel 2.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
Tabel 2: Piramida Penduduk Kecamatan Jagoi Babang Tahun 2015
Sumber: BPS Jagoi Babang 2016
Berdasarkan tabel 2, rasio jenis kelamin Kecamatan Jagoi Babang
pada tahun 2015 adalah 126, yang itu artinya setiap 126 penduduk laki-laki
terdapat 100 penduduk perempuan. Sementara itu, desa yang memiliki
tingkat kepadatan paling tinggi adalah Desa Jagoi. Dengan kepadatan
penduduk sebesar 45 jiwa per kilometer persegi. Penduduk dari desa Jagoi
Babang, didominasi oleh dayak (Bedayuh). Meski demikian ada pula sub-
suku dayak lainnya, Jawa, Melayu, Bugis dan seterusnya. Dari data di atas,
kita dapat melihat kondisi di Jagoi Babang, meski tergolong kota kecil
namun tampak beragam karena dihuni oleh bermacam-macam suku. Meski
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
demikian, masyarakat di Jagoi Babang didominasi oleh Dayak Bedayuh.
Dayak Bedayuh menyebar di berbagai tempat, ada yang di Serawak, ada
yang di kecamatan Jagoi, Siding, dan Seluas. Mereka yang menetap di Jagoi
menyebut diri sebagai Bijagoi. Bijagoi merupakan sub dari dayak Bedayuh.
Meski tersebar di berbagai tempat, mereka sadar betul masih memiliki
kesatuan nenek moyang (Siagian,1995). Kesadaran sebagai Bijagoi,
Bidoyoh, Bidayuh yang mengikat mereka secara emosional sehingga mereka
merasa sah-sah saja merayakan upacara adat bersama-sama. Perayaan adat
secara bersama-sama ini dapat kita lihat lewat dua upacara adat yaitu:
Gawai dan Nyobeng.
Gawai adalah syukuran setelah musim panen padi. Biasanya orang
Dayak merayakan sebagai ungkap syukur terhadap Jubata (Pencipta) yang
telah menganugerahi makanan dan memelihara ladang padi mereka. Gawai
dilaksanakan dengan sangat meriah bahkan lebih meriah daripada perayaan
hari besar keagamaan. Bahkan untuk keperluan Gawai, orang dayak siap
memperbaiki dan mendirikan rumah adat baru demi memaksimalkan
perayaan ini. Dengan kata lain, Gawai adalah hari besar bagi orang dayak
yang biasanya dimeriahkan dengan tari-tarian, musik, sampai makan-minum
secara bersama-sama. Gawai kerap dijadikan acara kumpul keluarga besar
yang saling mengunjungi dari rumah ke rumah. Bagi orang Jagoi, Gawai
dilaksanakan setiap tanggal 1 Juni sebagaimana orang dayak Bedayuh di
Serawak merayakannya. Gawai yang dilaksanakan secara serentak ini pun
menjadi ajang temu keluarga besar yang mau tak mau mereka harus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
melintas batas. Upacara ini dipusatkan di rumah adat dan untuk kasus orang
Jagoi, mereka memilih tempat di Bung Jagoi, sebuah bukit tempat
didirikaknnya tugu Bung Kupuak yang menunjukkan ikatan nenek moyang
orang Dayak Bedayuh baik yang ada Serawak maupun di Kalimantan Barat.
Meski mereka berbeda negara, namun tidak turut serta melunturkan
ikatan kultural diantara mereka. Bahkan dengan sadar mereka memilih
memusatkan tempat perayaan di Tugu Bung Kupuak (gambar 5) yang
menjadi simbol ikatan nenek moyang mereka sebagai orang Bedayuh. Tidak
hanya Gawai, tetapi juga upacara adat Nyobeng. Nyobeng adalah upacara
pemandian tengkorak hasil kayau nenek moyang dan upacara ini masih
menjadi rangkaian dari Gawai.
Gambar 3: Tugu Bung Kupak
Sumber: https://jagoibabang.wordpress.com/author/onakpot2012/page/2/diunduh 11 Mei 2016
Sebagaimana Gawai, upacara adat Nyobeng juga dirayakan
bersama-sama antar negara. Upacara Nyobeng dimaknai sebagai ungkapan
perdamaian atas perang masa lampau atau yang disebut dengan kayau.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Selain itu, juga sebagai ungkapan penghormatan kepada nenek moyang.
Tidak seperti Gawai yang dilaksanakan di Bung Jagoi, upacara adat
Nyobeng dilakukan di rumah adat Sebujit yang terletak di Kecamatan
Siding.
Meski berbeda kecamatan, orang Sebujit merupakan bagian dari
dayak Bedayuh, mengingat mereka masih serumpun. Sadar atas penyebaran
ini, di rumah adat Sebujit dihiasi oleh dua bendera, yaitu; Malaysia dan
Indonesia. Kesadaran primordial tumbuh subur diantara orang Bedayuh
yang mengesankan batas-batas yang dibuat oleh negara tidak dapat
membatasi ikatan nenek moyang diantara mereka. Singkatnya, menjadi
Bijagoi berarti memiliki keterkaitan secara kultural dengan dayak Bedayuh
yang berada di Malaysia.
Gambar 4: Rumat Adat Sebujit
Sumber: http://fotokita.net/foto/134919094210_0012580/rumah-adat-sebujit
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Dari gambar di atas, menunjukkan dua bendera yang tepat di
pasang di depan pintu rumah adat. Kedua bendera itu pun menjadi simbol
dari dua warganegara yang menjadi tumpuan dari rumah adat tersebut.
Perayaan di rumah adat ini pula dilakukan selang beberapa hari setelah
gawai. Mereka secara bersama-sama merayakan Nyobeng yang menjadi
bagian dari warisan nenek moyang.
Perkebunan kelapa sawit mendominasi pandangan kita selama
dalam perjalanan. Seperti yang dicatat oleh BPS (2016), perkebunan
kelapa sawit di Jagoi Babang memakan lahan penduduk dan hutan dengan
luas yang mencapai 89.758 ha dari luas wilayah Jagoi Babang sebesar
655,00 km². Yang itu artinya, hampir separuh tanaman yang diberdayakan
di Jagoi Babang adalah kelapa sawit. Adapun perbandingannya dengan
jenis-jenis tanaman lainnya dapat dilihat dari tabel statistik.
Gambar 5: Perkebunan Kelapa Sawit di Jalan Dwikora
Sumber: dokumentasi pribadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
Tabel 3: Perkebunan di Jagoi BabangJenis Tanaman Luas Tanaman
(Ha)Produksi
(Ton)
Karet 52. 420 23.073Kelapa Dalam 4.270 2.613Kelapa Hibrida 104 32Kopi 412 68Cengkeh 826 425Lada 2.826 1.293Coklat 2.050 549Kelapa Sawit 89.758 74.618
Sumber: data BPS Jagoi Babang tahun 2016
Perkebunan kelapa sawit tersebut dikelola oleh perusahaan secara
langsung dan tidak langsung. Yang tidak langsung karena bekerjasama
dengan petani. Adapun perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang bercokol
di Jagoi Babang yaitu; PT DJI, PT Led Lestari, PT Wirata, PT Aset Pasifik
Internasional, PT WKN, dan PT Ceria Prima. Perusahaan tersebut ada yang
dikelola oleh nasional dan ada pula yang lintas modal atau lintas negara.
Dengan kata lain, ada investasi asing yang ditanamkan di perkebunan sawit
tersebut. Hasil produksi sawit menduduki peringkat paling atas sebanyak
74.618 ton sementara tanaman karet hanya memproduksi sebanyak 23.703
ton. Dari data BPS tahun 2016, sumber pencaharian masyarakat Jagoi
Babang berasal dari perkebunan kelapa sawit.
Tingkat produksi dari kebun kelapa sawit tidak berbanding lurus
dengan pengembangan sumber daya manusia di Jagoi Babang. Seperti yang
dicatat oleh BPS (2016) jumlah penduduk Jagoi Babang sebesar 9.591 jiwa
dengan kepadatan penduduk sebesar 15 jiwa per km² memiliki angka anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
putus sekolah cukup tinggi. Sehingga bisa dibayangkan ada anak yang
memilih bekerja untuk membantu perekonomian keluarga termasuk sebagai
buruh dari perkebunan kelapa sawit.
Kondisi di Jagoi Babang tidak hanya ditunjukkan oleh luasnya
perkebunan kelapa sawit, tetapi juga dari kendaraan mereka. Kendaraan-
kendaraan dengan plat asing berlalu lalang di sepanjang jalan Dwikora. Plat
asal Sarawak itu dengan leluasa mondar-mandir. Walau plat asing tapi
belum tentu si pengendaranya juga warga asing. Mengapa? Jual-beli
kendaraan gelap atau istilah orang Serawak disebut kendaraan gusdur sangat
marak. Gelap karena biasanya itu adalah kendaraan hasil curian yang tidak
punya surat menyurat resmi. Kendaraan gelap ini biasanya dijual dengan
harga miring sehingga laris dibeli oleh masyarakat dengan kemampuan
ekonomi menengah ke bawah. Bahkan karena kendaraan-kendaraan tersebut
secara kualitas masih bagus, tidak jarang juga dibeli oleh orang dengan
kemampuan ekonomi menengah ke atas.
Kendaraan-kendaraan asal negara tetangga cenderung lebih kuat
dengan persoalan jalan di Jagoi Babang yang sebagian masih tanah kuning,
berbatu-batu dan berlumpur bila musim penghujan. Biasanya, kendaraan
gelap, terutama roda dua dipakai warga untuk ke kebun karena jarak tempuh
kebun dengan rumah mereka biasanya jauh. Selain itu, juga digunakan
untuk mengangkut pupuk dan hasil produksi pertanian. Akan tetapi,
kendaraan itu tidak mereka gunakan untuk menjangkau daerah-daerah yang
jauh seperti kota Bengkayang, dan untuk ke sana mereka biasanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
menggunakan kendaraan umum atau kendaraan yang punya surat-surat
resmi. Meski demikian, setidaknya kendaraan gelap tersebut dapat
membantu mereka melakukan aktivitas sehari-hari, seperti ke kebun,
mencari makanan ternak, dan mengangkut hasil panen, petisida, dan pupuk.
Dalam perjalanan ke Jagoi Babang, kita akan berjumpa dengan
papan iklan seperti gambar 3. Papan iklan itu berdiri, tepat di pinggir jalan
Dwikora dari kota kecamatan Jagoi Babang. Iklan tersebut milik Bank
Kalbar.
Gambar 6: Papan Iklan Bank Kal-Bar
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sekilas hampir tidak ada yang aneh dari iklan tersebut dan baru
kita sadari ada apa-apanya sampai kita berbelanja barang di pasar Jagoi
Babang. Di pasar kita akan disuguhi pertanyaan oleh si pemilik toko dengan
kalimat, mau beli pakai ringgit atau rupiah? Barang-barang yang kita
temukan di pasar sampai warung-warung kelontong memiliki label ganda,
yaitu ringgit dan rupiah. Membeli dengan uang ringgit satuan harganya
lebih kecil daripada membeli dengan rupiah. Karena barang-barang banyak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
yang berasal dari Serawak, maka masyarakat lokal mau tak mau harus
menyediakan ringgit.
Selain barang-barang yang berlabel ganda, ada pula pasar yang
menyatukan antara Jagoi Babang dan Serawak, yaitu pasar Serikin. Pasar ini
terletak di Serikin, Serawak. Namun biasanya yang berjualan adalah
masyarakat lokal Jagoi Babang dan sekitarnya. Pasar ini buka setiap sabtu
dan minggu. Produk-produk yang dijual oleh orang Jagoi Babang biasanya,
berupa kerajinan tangan, sayur-mayur, makanan, hingga kain. Menurut
catatan dari Kantor Bea Cukai Jagoi Babang, barang-barang yang keluar
dari Indonesia biasanya lebih berupa bahan-bahan mentah atau setengah
jadi, sedangkan yang berasal dari Malaysia justru barang-barang siap pakai.1
Adapun tarif yang dikenai pada barang-barang yang masuk maupun keluar
jumlahnya tidak melebihi RM 600 per bulan atau kurang lebih satu juta lima
ratus ribu rupiah. Barang-barang dari Malaysia yang siap jadi membanjiri
pasar Jagoi Babang.
Sampai hari ini, pasar Serikin masih aktif sebagai tempat berjualan
antar masyarakat lokal di perbatasan (gambar 4). Kondisi ini semakin
dipermudah dengan pembangunan jalan darat yang menghubungkan antara
Jagoi Babang dengan Serawak. Proyek jalan raya lintas negara hingga saat
ini masih berjalan. Dengan terbukanya jalan lintas negara tersebut maka
berpotensi menambah ramainya lalu lintas antar negara.
1Hasil wawancara di kantor Bea Cukai Jagoi Babang /28/07/ 2015. JagoiBabang:Kalimantan Barat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
Gambar 7: Pasar Serikin
Sumber:https://www.tripadvisor.co.id
Jalan yang tersedia saat ini dapat dilalui oleh sepeda motor dan
mobil walaupun di sana sini, masih ditemukan jalan berlubang dan jembatan
kayu yang rapuh sehingga untuk melewatinya orang harus mengantri.
Kondisi jalan menuju Serawak terbilang aman bila musim kemarau tapi
jangan ditanyakan musim penghujan, karena kita akan berjumpa dengan
kubangan air dan tanah kuning yang becek.
Di samping jalan darat, mereka juga dihubungkan oleh jaringan
informasi seperti jaringan seluler, radio dan tv. Menjadi masayarakat Jagoi
Babang, kita dengan mudah menonton TV Malaysia; TV 1, TV 2, dan TV 3.
Bila masyarakat Jagoi Babang dengan mudah menonton saluran Malaysia,
sebaliknya untuk menonton saluran asal Indonesia, mereka harus membeli
perangkat seperti; Parabola dan TV Kabel. Bila tidak memakai perangkat-
perangkat semacam itu mereka otomatis tidak dapat menyaksikan saluran
asal Indonesia. Saluran radio asal Malaysia juga mendominasi seperti; radio
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Muzik, sedangkan untuk RRI dibutuhkan lokasi-lokasi yang tepat baru
terdengar. Selain itu, dengan adanya jaringan seluler semakin memperlancar
komunikasi diantara mereka sehingga komunikasi tidak terbatas pada
perjumpaan fisik tetapi juga lewat virtual.
Setelah melewati kota Jagoi Babang, kita pun disambut dengan barisan
pos-pos jaga, tugu perbatasan dan patok batas yang terletak kurang lebih 4
km dari garis sempadan. Di area ini, terdapat barisan pos-pos jaga; Imigrasi,
Bea Cukai, Polisi, dan TNI. Material itu menjadi simbol kecamatan Jagoi
Babang sebagai area tapal batas yang dimaksudkan untuk menandai
kedaulatan negara atas teritorialnya.
Kabupaten Bengkayang memiliki tiga pintu perbatasan; Jagoi
Babang, Siding, dan Separan. Namun, secara geografis kecamatan Jagoi
Babang paling dekat untuk menghubungkan antara Pontianak dan Kucing,
Serawak. Meski demikian, pos lintas batas di Jagoi Babang baru didirikan
atas hasil pembicaraan lewat forum Sosek Malindo pada tanggal 18 Juni
2008 di Pontianak. Sampai saat ini, Jagoi Babang masih berstatus PLB,
yang berarti hanya diperkenankan untuk masyarakat lokal yang hendak
melintas batas dengan menggunakan pas lintas batas (PLB) dengan
konsekuensi tidak melebihi 5 km ke dalam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
Gambar 8: Tugu Perbatasan Jagoi Babang
Sumber: dokumentasi pribadi
Gambar 9: Pos Terpadu di Jagoi Babang
Sumber: Kompasiana.com
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
C. Jagoi Babang di Mata Guru-guru
Meski Jagoi Babang adalah kawasan perbatasan, namun sekolah di
kota Kecamatan Jagoi Babang dapat dikatakan lengkap. Di kota Kecamatan
Jagoi Babang tersedia 2 unit TK, 16 unit SD, 4 Unit SMP, dan 2 unit SMA.
Adapun tenaga guru dan jumlah murid di Jagoi Babang perbandingannya
pada tahun 2015 dapat dilihat dari tabel 3.
Tabel 4: Rasio murid terhadap guru
Sumber: Kecamatan Jagoi Babang Dalam Angka 2016
Di tingkat SD dengan murid 1.916, jumlah guru sebanyak 211
orang, SMP dengan jumlah murid 482, tenaga guru yang ada 92 orang, dan
untuk SMA dengan murid 281, jumlah guru 42 orang. Berdasarkan tabel
rasio di atas tampak, rasio murid terhadap guru untuk SD, menurun dari 15
tahun 2013 menjadi 14 di tahun 2015. Rasio guru untuk SMP meningkat
dari 9 menjadi 10 dan jenjang SMA juga meningkat dari 9 menjadi 10.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Meski ada peningkatan rasio guru pada jenjang SMP dan SMA namun
angka putus sekolah masih tinggi. Seperti yang dinyatakan oleh Viktor2,
bahwa angka putus sekolah yang masih tinggi karena dipicu juga oleh
tingkat kemiskinan, sehingga anak-anak memilih bekerja ke Malaysia untuk
membantu perekonomian keluarga. Tidak hanya murid-murid yang putus
sekolah dan memilih bekerja ke Malaysia, tetapi adapula guru-guru yang
sesuai mengajar, bekerja sebagai tukang ojek ke perbatasan. Menurut
Viktor, kondisi tersebut sah-sah aja sselama tidak menganggu proses belajar
mengajar. Apalagi mengingat tidak semua guru mendapatkan tunjangan
khusus perbatasan, ucapnya. Sedangkan terkait dengan persoalan
kurikulum, diakui oleh Viktor, meski daerah ini khusus, namun konsep
pendidikannya tidak ada yang khusus. Itu artinya, apa yang diajarkan di
tempat lain, diajarkan juga di daerah ini. Walaupun masyarakat Jagoi
Babang memiliki ikatan kultural dengan masyarakat di Serawak. Seperti
yang diungkapkan oleh Viktor sebagai berikut:
Bagi masyarakat di sini, Malaysia dan Indonesia sama saja.Karena mereka merasa sebahasa dan sesuku. Jadi banyaklahkekeluargaanya.
Menurut Viktor, orang Jagoi menganggap mereka berasal dari
Malaysia seperti yang ditunjukkan oleh rumah adat mereka yang memiliki
gambar dua burung. Dari dua burung itu ada yang menghadap ke Malaysia
yang menunjukkan nenek moyang mereka berasal dari Sarawak. Karena
ikatan itu pula, mereka sering melintas batas, ucapnya. Meski Viktor, adalah
2 Viktor. 29 Juli 2015. Wawancara. Kalimantan Barat: Kepala UPT Dinas PendidikanJagoi Babang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
suku pendatang, tepatnya berasal dari Nusa Tenggara Timus, ia pun sering
melintas batas. Ia melintas batas dengan motif ekonomi, apalagi di Jagoi
Babang, barang-barang didominasi dari negeri jiran. Oleh karena, tinggal di
Jagoi Babang mau tak mau harus memiliki persediaan mata uang Ringgit.
Tinggal di Jagoi Babang, orang mau tak mau harus melintas batas. Seperti
yang dialami oleh guru-guru di Jagoi Babang.
Gambar 10: Kepala Sekolah dan murid-murid SDN I di Jagoi Babang
(dokumentasi pribadi.2015)
Lewat wawancara saya dengan guru-guru, saya mendapati mereka
pernah melintas batas dengan beragam motivasi, ada yang sekedar jalan-
jalan dan ada pula untuk bertemu saudara. Dari pengalaman melintas batas
itu, mereka melihat Serawak lebih maju dan bersih. Seperti yang ditutur
oleh Dollah berikut ini:3
3 Dollah. 11/08/2015. Wawancara. Kalimantan Barat: Guru SMPN 1 Jagoi Babang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
“di sudut-sudut kota, kita lebih banyak menemukan peringatanuntuk tidak membuang sampah, berbeda dengan di sini, kita akanlebih banyak berjumpa dengan iklan rokok”.
Menurutnya, kota Serawak tidak hanya maju, dan bersih tetapi juga
tertib. Di jalan-jalan raya, kita lebih banyak bertemu pengendara roda
empat dibandingkan roda dua. Bisa dikatakan, orang yang mengendarai
roda dua itu TKI, ungkapnya. Pengendara mobil-mobil di Serawak lebih
teratur, tidak seperti di Jagoi Babang yang pengendaranya sering ngebut-
ngebutan dan menyalip pengendara lain. Selain itu, angkutan umum, di
Serawak lebih tepat waktu, sedangkan di Jagoi Babang, harus menunggu
bus penuh terlebih dahulu.
Meski demikian, bukan berati Serawak selalu unggul, ungkap
Ashadi.4 Menurutnya, di Jagoi Babang hampir setiap kampung ada listrik
dan jalan raya. Sedangkan di sana (Malaysia) hanya daerah-daerah tertentu
yang dialiri listrik dan jalan raya. Kadang ada kampung-kampung yang
tidak dialiri listrik dan hanya disediakan Genset untuk mereka mengurus
sendiri. Sementara di Jagoi Babang hampir semua kampung menjadi
perhatian. Kalau “di sana” tidak semua tempat itu dibangun, melainkan
tempat-tempat yang menguntungkan secara “ekonomi”. Ia merasa hampir
tidak ada masyarakat Jagoi Babang yang berniat menjadi warga Malaysia.
Mengingat Jagoi Babang termasuk daerah perbatasan yang maju
sedangkan orang-orang yang pindah kewargaan, biasanya karena kondisi
kampung mereka lebih sulit.
4 Ashadi. 11/08/2015. Wawancara. Kalimantan Barat: Guru SMPN 1 Jagoi Babang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
“Kalau dilihat dari gaji, siapa yang gak mau jadi guru di sana”,
ucap Riska.5 Menjadi guru di Serawak memang lebih sejahtera, misalnya
menjadi guru TK saja, sudah mempunya mobil dan para guru rata-rata
memiliki pembantu rumah tangga. Sementara guru di Jagoi Babang belum
semua mendapatkan tunjangan perbatasan yang dianggap dapat
meningkatkan kualitas hidup guru. “Jadi kadang sedih juga mendengar ada
murid yang bilang ke gurunya ”guru kok ngojek” ucap Dollah.6 Meski
demikian, ia tetap mengingatkan bahwa tugas guru adalah menjadi contoh
kalau sekolah itu ada gunanya. Karena lewat sekolah, anak-anak dapat
menjadi guru, mandor, atau polisi dan manajer di perusahaan,
sambungnya. Namun dari kehidupan seperti itu kadang ia merasa bingung,
ketika ada murid yang bertanya, “kenapa kita tidak jadi orang Malaysia
saja?” Bahkan tidak jarang para orang tua murid pun berpendapat
demikian, tutur Dollah.7
Harus diakui, guru-guru di Malaysia gajinya lebih tinggi. Karena
mereka rata-rata digaji sekitar tujuh ribu ringgit atau setara tujuh juta lebih
per bulan, itu pun untuk gaji guru yang paling rendah, ungkap Mijen.
Meski secara gaji mereka memang lebih unggul, namun bukan berarti di
sini tidak punya kelebihan. Setidaknya menurut Mijen, ada tiga aspek yang
tidak mereka miliki yaitu; pertama tentang hak tanah, di sana tanah adalah
milik negara, sehingga untuk mendirikan rumah atau usaha, status kita
5Riska. 07/08.2015. Wawancara. Kalimantan Barat:Guru SDN 1 Jagoi Babang6 Dollah. 11/08/2015. Wawancara. Kalimantan Barat: Guru SMPN 1 Jagoi Babang7 idem
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
adalah penyewa. Kedua, di sana orang serba kredit bahkan untuk
keperluan rumah tangga. Aturan ini terutama untuk para pekerja kerajaan.
Dengan kata lain, mereka tidak diperkenankan untuk membayar tunai.
Ketiga tentang pajak, di sana mereka dikenai pajak lebih banyak seperti
ada pajak hewan. 8
Bagi Riska, Serawak adalah rumah.9 Rumah tidak hanya fisik
tetapi juga suami dan anaknya. Pengalaman Riska yang hidup diantara dua
negara menjadi contoh yang ekstrem dari keterkaitan kedua wilayah.
Dalam wawancara saya dengan Riska, ia tidak mencoba memberikan garis
yang tegas antara Jagoi Babang dan Serawak. Bahkan ketika saya bertanya
tentang pengalamannya mengajar, ia berkata, “mengenalkan Indonesia
sesuai kondisi di sini, namun tetap menekankan lebih mencintai
Indonesia”. Namun tambahnya, “untunglah saya mengajar SD kelas tiga,
jadi anak-anak tidak nanya kenapa saya bolak-balik batas tiap hari”. 10
Tidak hanya Riska yang memiliki relasi darah dengan warga
Malaysia, sebagian besar keluarga Mijen adalah warga Malaysia. Menurut
Mijen, ia mengaggumi Serawak dari segi tingkat kesejahteraan
msyarakatnya saja sementara tetap memilih menjadi Indonesia, seperti
yang ia katakan, “di sini kita boleh punya tanah”.11 Apa yang dimaksud
oleh Mijen ini berkaitan dengan adaknya pengakuan negara terhadap hak
8Mijen. 11/08/2015. Wawancara. Kalimantan Barat: Guru SMPN 1 Jagoi Babang9 Riska. 07/08.2015. Wawancara. Kalimantan Barat:Guru SDN 1 Jagoi Babang10 idem11Mijen. 11/08/2015. Wawancara. Kalimantan Barat: Guru SMPN 1 Jagoi Babang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
milik perseorangan atas tanah.. Terkait dengan pengalamannya menjadi
guru, ia pun berkata:12
“Kita melatih anak-anak supaya mengenal Indonesiatidak seperti yang dikatakan orang ya, orang mengatakanketinggalan ini itu, kalo tahun 50an, 60an, 70an,80an,mungkin iya kita memang ketinggalan, tapi kalau mulaidari tahun 2000 ke atas, di sini sudah menikmatipembangunan dari pemerintah, jalan, air bersih, sekolah”.
Lewat penjelasan di atas tampak guru-guru memiliki ikatan darah
dan kultural dengan Sarawak. Seperti yang dialami oleh Dollah. Meski
memiliki keluarga di Malaysia namun baginya menjadi guru itu panggilan
hidup dan tantangan mengajar di perbatasan menurutnya, adalah
pandangan orang tua murid yang lebih memilih anak-anak mereka untuk
bekerja ke Malaysia demi membantu perekonomian keluarga. Namun
menurut Dollah, saat ini kondisi Jagoi Babang sudah mulai ada
pembangunan. Paling tidak, saat ini sudah ada puskesmas sehingga ia
merasa untuk berobat tidak melulu ke Malaysia, dia juga tidak perlu lagi
cuci motor setiap hari karena jalan raya sudah di bangun, dan ia sudah
menikmati listrik walaupun sering padam. Menghadapi kondisi tersebut,
Dollah mengakui tetap mengajarkan murid-muridnya untuk melanjutkan
sekolah daripada harus bekerja ke Malaysia.
“Keadaan Indonesia dan Malaysia tidak jauh beda. Namun
untungnya mereka (Malaysia) karena nilai tukar mata uangnya lebih
12 idem
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
tinggi”ungkap Margono.13 Bagi Margono, Jagoi Babang termasuk daerah
perbatasan yang maju dan karena itu ia merasa hampir tidak ada orang-
orang yang melakukan eksodus pindah kewargaan ke Malaysia karena
biasanya yang melakukan itu kondisi kampungnya pasti lebih sulit.
Meski memiliki keluarga di Serawak, namun apa yang dialami oleh
Ashadi berbeda dengan Riska, Mijen, dan Margono. Ashadi merasa
tinggal di negara yang berbeda justru membuat hubungannya dengan
paman, bibi di Serawak menjadi renggang. Di mata Ashadi, Indonesia itu
bisa makmur cuma salah atur. Ia merasa semakin banyak penududuk dari
luar pulau datang ke daerahnya dan banyak tanah-tanah penduduk
dirampas oleh penguasa. “Syukurnya masyarakat Jagoi Babang tidak
menjual tanah mereka ke perusahaan sawit. Karena kalau sudah merasa
kemiskinan, ya wajar saja mereka lari ke Malaysia” tuturnya.
Lewat wawancara terhadap guru-guru di tapal batas itu,
menunjukkan mobilitas mereka yang beragam dan mempengaruhi
pandangan mereka terhadap Jagoi Babang. Sementara pandangan mereka
tentang Jagoi Babang yang beragam erat kaitannya dengan relasi mereka
dengan Serawak. Meski sebagian besar guru-guru memiliki ikatan
kekeluargaan dengan warga Malaysia, namun mereka tetap memilih
menjadi warga Indonesia.
13 Margono. 07/08.2015. Wawancara. Kalimantan Barat:Guru SDN 1 Jagoi Babang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
BAB III
WACANA TAPAL BATAS DI JAGOI BABANG
A. Pengantar
Paparan bab ini mengikuti gagasan Soja tentang ruang kedua yang
adalah interpretasi atas kondisi material atau ruang pertama dari Jagoi
Babang. Bab ini dipaparkan dengan mengikuti model interpretasi ruang
kedua yang terdiri introverted (indigenous) dan extroverted (exogenous).
Interpretasi pertama merupakan interpretasi kondisi internal dari ruang dan
yang kedua adalah eksternal.
Dari uraian bab II atau ruang pertama, kita melihat ada keterkaitan
material Jagoi Babang dengan Serawak seperti dalam wujud jalan raya,
perkebunan kelapa sawit, rumah adat, sampai barang-barang yang berlabel
ganda. Namun di tengah keterkaitan itu, saya juga menjumpai pos-pos jaga,
patok batas, sampai tugu perbatasan yang membedakan teritorial Indonesia-
Malaysia. Adapun kondisi material semacam itu yang turut mempengaruhi
guru-guru di Jagoi Babang sehingga mereka mau tak mau harus melintas
batas.
Ruang kedua memaparkan wacana yang mendominasi dalam
membayangkan (material) Jagoi Babang. Paparan ini dimulai dengan
penjelasan dari extroverted atau wacana tentang Jagoi Babang secara top-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
down ke penjelasan introverted atas kondisi material Jagoi Babang. Bab ini
terdiri dari tiga subbab yaitu; tapal batas dari masa ke masa, tapal batas
pasca reformasi, Jagoi Babang sebagai area tapal batas.
B. Tapal Batas dari Masa ke Masa
Mendengarkan kata negara bangsa, apa yang terlintas dalam bayangan
kita? Menurut Anderson (2002) apa yang kita bayangkan tentang negara-
bangsa itu terbatas pada wilayah. Ada batas-batas teritorial yang
membedakan negara yang satu dengan yang lain. Misalnya, ketika
membayangkan Indonesia, orang akan diarahkan untuk membayangkan
gambaran geografis yang terbentang dari Sabang-Merauke, Miangas sampai
Pulau Rote. Yang itu tentu tidak memasukkan Malaysia, Singapura, Papua
Nugini, dan Filipina.
Salah satu ciri dari negara modern (Pierson, 1996) adalah teritorial
yang jelas batas-batas teritorialnya. Dengan teritorial yang jelas, suatu
negara dapat mengetahui seberapa luas jangkauan kedaulatannya. Perjanjian
Wesphalia tahun 1648 menjadi pondasi dari bangunan negara modern yang
kedaulatannya diletakkan atas wilayah. Akan tetapi perjanjian itu belum
mengeksplisitkan definisi jelas yang dimaksud dengan wilayah (Arifin,
2014) atau yang kemudian lebih kita kenal dengan sebutan teritorial.
Teritorial adalah wilayah suatu negara yang sudah didefinisi secara hukum,
di mana batas-batas yang membedakan negara yang satu dengan negara
yang lain jelas dan legal dimata hukum. Teritorial mengasumsikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
persoalan ruang sudah selesai. Bahwa ruang dilihat secara hitam dan putih,
legal dan illegal sebagaimana yang digambarkan oleh Wadley (2005)
teritorialitas adalah kondisi di mana individu atau kelompok mengontrol
orang-orang, relasi, dan menegaskan kembali area geografi lewat batas-
batas yang mereka ciptakan. Mengingat pentingnya teritorial, maka
seringkali batas-batas diperlakukan dengan sakral.
Menelusuri pembentukan batas-batas teritorial itu seperti
menelusuri sejarah pembentukan suatu negara. Bahwa nusantara dibentuk
oleh pemerintahan Hindia Belanda. Di mana pemerintah kolonial Belanda
memegang kendali secara politis atasnya termasuk membuat batas-batas
teritorial dengan pemerintahan kolonial lainnya. Seperti yang kita bahas
selanjutnya tentang perjanjian antara Inggris dan Belanda dalam
menentukan batas kekuasaan mereka di pulau Borneo.
1. Pembentukan Tapal Batas
Pembagian pulau Borneo, Brunei, Malaysia (Sabah-Sarawak) dan
Indonesia (Kalimantan) kental campur tangan kolonial. Bahkan kolonial
yang menjadi arsitek dari pembagian tersebut. Perbatasan sepanjang 2.004
km antara Indonesia dengan Malaysia secara historis adalah ciptaan,
penguasa kolonial Belanda-Inggris. Seperti yang dikemukakan oleh
Eilenberg (2012:83) bahwa batas-batas nasional adalah konstruksi politis,
proyeksi yang dibayangkan dari penguasa teritorial; gambaran mental dari
politisi, pengacara, dan intelektual. Berangkat dari definisi itu maka wajar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
saja bila masyarakat lokal tidak diikutsertakan dalam menentukan batas
yang kelak melegalkan tindakan mereka.
Ada tiga konvensi yang dibuat oleh Belanda dan Inggris dalam
menentukan batas teritorial di pulau Borneo yaitu, konvensi tahun 1891,
1915, dan 1918. Lahirnya ketiga konvensi tersebut tidak dapat dilepaskan
dari kesepakatan sebelumnya.1 Terutama, Traktat London yang
mempertemukan raja Inggris dan raja Belanda pada tanggal 24 Maret tahun
1824 di London. Kesepakatan ini menghasilkan dua belas kesepakatan
mengenai batas teritorial dan perdagangan di East Indies. Salah satunya
berimplikasi pada nasib pulau Borneo yang sebagian besar menjadi wilayah
Belanda (Graham, 1955:62). Sedangkan Borneo Utara masih menjadi
kekuasaan Sultan Brunei dan Sulu. Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama
karena masuknya pengaruh Inggris (James Brooke) di Borneo Utara. Di satu
sisi, Belanda semakin memperkuat pengaruhnya di Borneo Barat, Selatan,
Tengah, dan Timur. Belanda dan Inggris menegaskan batas-batas teritorial
mereka di pulau Borneo sebagai jalan untuk memisahkan kekuasaan mereka
dan mengendalikan elemen-elemen yang dianggap undesirable seperti;
penyelundupan, migrasi dan mendefinisikan kewargaan untuk kepentingan
perpajakan dan pembangunan (Eilenberg, 2012).
Seperti yang dipaparkan Arifin (2014) ketiga konvensi yang
dilakukan antara Inggris-Belanda itu dimulai tahun 1891 untuk menentukan
1Konvensi antara Inggris dan Belanda yaitu; 1814, 1818, dan kemudian menghasilkanTreaty 1824 atau yang lebih dikenal dengan Traktat London. Traktat London menjadilandasan hukum yang membagi batas teritorial Inggris dan Belanda di nusantarakemudian hari (Arifin, 2014).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
titik-titik koordinat di peta. Pertama, menyepakati garis 4°10” Lintang
Utara yang bermula dari Pantai Timur Kalimantan yang selanjutnya akan
ditarik ke arah Barat, garis ini membagi pulau Sebatik di sebelah utara milik
Inggris dan sebelah selatan milik Belanda, kedua, setelah menentukan titik
koordinat perbatasan, Inggris dan Belanda dalam menentukan batas-
batasnya sepakat untuk menindaklanjuti konvensi, ketiga, tentang hak dan
kewajiban yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak dalam soal lalu
lintas penduduk lokal diberikan kebebasan bea dan pajak hanya sampai lima
belas tahun sejak ditandatangani konvensi ini, sedangkan untuk angkutan
material perang dikenai bea dan pajak. Kemudian konvensi tahun 1915
adalah mendirikan patok batas di sepanjang garis yang sudah ditentukan
namun berfokus pada batas air. Konvensi tahun 1918 mulai mendirikan
patok batas di pegunungan. Termasuk ke dalam proses ini didirikan patok
batas di gunung Poko Payong di Jagoi Babang.
Rumusan tapal batas di atas menjadi pijakan bagi Indonesia-
Malaysia, yang mewarisi dari Belanda dan Inggris. Bahwa kesepakatan
yang telah dibuat oleh kolonial itu diterima secara final dan dianggap fakta
historis yang tidak dapat diganggu gugat. Berdasarkan prinsip Uti Possidetis
Juris maka ketiga konvensi yang dilakukan antara Inggris dan Belanda
tersebut menjadi landasan hukum dalam penetapan delimitasi dan demarkasi
antara Indonesia-Malaysia.2 Narasi kolonial itu membentuk imaji kita
2 Hukum internasional dikenal dengan asas Uti Possidetis yang berarti wilayah negarayang merdeka dari penjajahan sama dengan wilayah yang dikuasai oleh penjajahannyadi wilayah tersebut (Arifin, 2014)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
mengenai tapal batas rentan dengan elemen-elemen yang dianggap
penganggu yang harus dijaga ketat, diawasi, hingga orang-orangnya pun
pantas dicurigai.
2. Masa Konfrontasi
Sejak awal hubungan antara Indonesia dengan Malaysia tidak berjalan
harmonis. Keberatan Indonesia terhadap pembentukan Federasi Malaysia
yang memasukkan wilayah Sabah, Brunei, dan Sarawak berbuah
konfrontasi. Pembentukan federasi ini dipandang oleh Presiden Soekarno
tidak lebih sebagai Nekolim (Neo-Colonialist-Imperialist). Konfrontasi
berjalan dari tahun 1962-1966 dengan slogan terkenalnya, “Ganyang
Malaysia”. Konfrontasi ini pula menyebabkan warga dari Kalimantan Utara
yang tidak setuju dengan pembentukan Federasi Malaysia melakukan
mobilitas ke perbatasan Kalimantan Barat, salah satunya yang menjadi
tempat tujuan mereka adalah Bengkayang.
Bengkayang tidak hanya menjadi saksi bisu dari peristiwa berdarah itu
(konfrontasi)3 tetapi juga sebagai tempat perekrutan PGRS (Pasukan Gerilya
Rakyat Sarawak) dan PARAKU (Pasukan Rakyat Kalimantan Utara)
berlangsung. Pada Mei dan Juni tahun 1964, PGRS/PARAKU diberi latihan
militer oleh Kodam Tanjungpura yang kemudian dibina oleh Resimen
3Van Der Kroef, Justus M. The Sarawak—Indonesian Border Insurgency. Modern AsianStudies,Vol 2, No 3 (1968), pp. 245-265.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Pasukan Komando Angkatan Darat atau RPKAD di Bengkayang.4 Asal-usul
PGRS/PARAKU tidak terlepas dari situasi yang memanas akibat dari
pembentukan federasi Malaysia yang mau memasukkan Sabah, Brunei, dan
Sarawak menjadi bagian negaranya dan campur tangan Inggris.
Bermula dari gerakan sekelompok orang yang menolak pembentukan
federasi Malaysia dengan membentuk Negara Nasional Kalimantan Utara
(NKKU) dan Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) pada tanggal 8
Desember 1962. Gerakan ini dipimpin oleh Syekh A.M Azahari dari partai
rakyat Brunei. Bila Inggris dan sekutunya melihat gerakan itu sebagai
pemberontakan, sebaliknya Indonesia di bawah Soekarno justru
memandangnya sebagai gerakan nasionalisme yang menentang
Imperialisme dan Kolonialisme. Dukungan dari Indonesia pada masa itu
membuat orang-orang yang disingkirkan dari Serawak melintas batas ke
Kalimantan Barat, di mana mereka kelak dibina dan difasilitasi untuk
melanjutkan perjuangan merebut Kucing. Tidak hanya orang-orang yang
berasal dari Sarawak yang tergabung dalam PGRS/PARAKU dan Sukwan
(Sukarelawan Dwikora) juga terdapat penduduk lokal Kalimantan Barat.
Mereka ini terdiri dari etnis Tionghoa, Melayu, dan Dayak. Dengan adanya
dukungan dari pemerintah, TNI, BPI (Badan Pusat Intelijen),
PGRS/PARAKU serta Sukwan menjadi bagian dari perjalanan konfrontasi
terhadap tentara gabungan Inggris, New Zealand, dan Australia. Bila PGRS
4https://www.usd.ac.id/lembaga/lppm/f1l3/Jurnal%20Historia%20Vitae/vol22no1april2008/KEBIJAKAN%20%20PEMERINTAH%20%20REPUBLIK%20%20INDONESIA%20mithcel%20vinco.pdf. Diakses, 3 september 2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
ditempatkan di kawasan perbatasan mulai dari Pantai Barat di Sambas
sampai Sungkung di Bengkayang, sedangkan PARAKU ditempatkan mulai
dari Sungkung sampai Benua Martinus di Kapuas Hulu (Kroef, 1968). Pada
masa konfrontasi, mobilitas yang terjadi didorong dengan motif politis yang
mana warga Kalimantan Utara yang mau membentuk Negara Nasional
Kalimantan Utara meminta dukungan dari Indonesia.
Akan tetapi, dukungan itu tidak berjalan lama berkat perubahan
cuaca politik di ibukota. Pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1966 diadakan
perundingan antara Menteri Luar Negeri Indonesia yaitu Adam Malik dan
Menteri Luar Negeri Malaysia Tun Abdul Razak di Bangkok, perundingan
yang menghasilkan prinsip-prinsip untuk penyelesaian konfrontasi.
Puncaknya yaitu dengan ditandatangani Jakarta Accord pada tanggal 11
Agustus 1966 di Jakarta. Pasal 1 berbunyi pengakuan Indonesia terhadap
Federasi Malaysia. Sebagai respon terhadap Jakarta Accord, KOLAGA
(Komando Mandala Siaga) mengeluarkan instruksi untuk menghentikan
operasi-operasi.
Kemudian pada tanggal 17 Februari 1967 berdasarkan surat rahasia
Pangkolaga no 12-33/1967 wewenang pengendalian operasi dialihkan dari
Kopur IV/Mandau kepada Kodam XII/Tanjungpura yang kemudian
melancarkan operasi yang dikenal dengan Operasi Sapu Bersih sedangkan
di Malaysia dilakukan Operasi Sri Aman. Operasi Sapu Bersih pertama
mulai dilaksanakan pada tanggal 1 April-Juli 1967 dan Operasi kedua pada
Agustus 1967 sampai Februari 1969. Pada operasi kali ini Kodam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
XII/Tanjungpura mendapat bantuan dari RPKAD, Siliwangi, Kospagat
AURI, dan KKO serta mengikutsertakan warga lokal (Dayak). Pada tanggal
14 Oktober 1967 terjadi peristiwa berdarah yang merupakan bagian dari
pembasmian PGRS/PARAKU yaitu, peristiwa Mangkok Merah atau
demonstrasi Suku Dayak akan tetapi sikap anti PGRS/PARAKU berujung
menjadi sikap anti etnis Tionghoa yang diidentikkan dengan
PGRS/PARAKU. Peristiwa ini mengakibatkan pengungsian besar-besaran
etnis Tionghoa dari daerah pedalaman ke kota.
Dalam menumpas PGRS dan PARAKU, masyarakat lokal di
perbatasan diikutsertakan oleh negara yang berada di bawah pimpinan
Soeharto. Bahkan bagi masyarakat yang dapat menangkap orang-orang yang
dicap PGRS dan PARAKU diberi surat penghargaan seperti gambar 9.
Gambar 11: surat penghargaan atas penangkapan PGRS dan Paraku
Sumber: Eilenberg, 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Gambar 12: surat pernyataan kepatuhan
Sumber: Eilenberg, 2012
Pernyataan (gambar 10) di atas menunjukkan, masyarakat lokal yang
berada di perbatasan di Kalimantan Barat, dimintai kepatuhannya untuk
tunduk terhadap negara dan mereka harus siap menerima sanksi bila
didapati tidak setia. Dari lembaran itu kita dapat membaca seperti apa posisi
masyarakat lokal dalam situasi masa konfrontasi. Di masa Soekarno mereka
menjadi saksi dari keberpihakan negara terhadap PGRS/PARAKU tetapi di
bawah Soeharto mereka itu pula yang dijadikan buronan. Dan sekali lagi
masyarakat di perbatasan dilibatkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Hubungan yang berbuah konfrontasi di awal tahun 1960-an antara
Indonesia-Malaysia, diakhiri dengan pengukuhan praktik melintas batas
yang disepakati oleh pemerintahan Indonesia di bawah Soeharto dan
Malaysia. Aturan praktik melintas batas itu kemudian semakin memperjelas
makna perbatasan yang selalu dijaga ketat, diawasi, hingga dicurigai tanpa
memperhitungkan ikatan etnis yang jauh lebih tua dari usia kedua negara
tersebut.
3. Penetapan Praktik Melintas Batas
Bila di perbatasan Kalimantan Barat sedang dilaksanakan
pembasmian terhadap PGRS/PARAKU, di ibukota justru sedang
melakukan pertemuan dengan Malaysia untuk mengatur praktik melintas
batas. Pertemuan yang berlangsung pada tanggal 12 Mei 1967 itu
kemudian menghasilkan Border Arrangement on Border Crossing5 yaitu;
kesepakatan yang menjadi cikal bakal munculnya sistem PLB atau Pas
Lintas Batas bagi warga lokal. Namun, melintas batas dengan
menggunakan PLB hanya diperkenankan sejauh 5 km dari garis sempadan.
Pasca konfrontasi, pendekatan yang dipakai untuk melihat
perbatasan adalah keamanan. Sejak kesepakatan tahun 1967, kedua negara
lebih banyak mengedepankan soal kemananan di perbatasan terutama
untuk mengakrabkan antar militer yang terlibat konfrontasi dan
menghadapi PGRS (Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak) dan PARAKU
5Kesepakatan ini kemudian diperhabarui kembali pada tahun 1984.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
(Pasukan Rakyat Kalimantan Utara) yang dianggap beraliran Komunis.
Pendekatan itu misalnya dengan mendirikan GBC atau General Border
Committe untuk memfasilitasi pertemuan antara Indonesia-Malaysia.
Sebagai lembaga adhoc, GBC secara struktural diketuai oleh Panglima
TNI dari kedua negara. Lewat salah satu badan khusus dari GBC yaitu,
Joint Indonesia Malaysia Boundary (JIMBC) membicarakan langkah-
langkah dalam penetapan garis di perbatasan, namun sampai saat ini
penetapan patok batas di Jagoi Babang masih menjadi persoalan (Arifin,
2014).
Perjanjian yang berlatar belakang keamanan direvisi lagi tahun
1970, dan pada tahun 1984 diperluas untuk menjawab persoalan yang
lebih kompleks yaitu ideologi, politik, sosial, budaya, dan ekonomi,
pertemuan ini pun menjadi cikal bakal dari terbentuknya kerja sama Sosek
Malindo. Sosek Malindo mulai terfokus pada bidang sosial dan ekonomi
di daerah perbatasan (Noveria,2017). Kerja sama ini pun baru hadir
ditingkat daerah Kalimantan Barat-Serawak tahun 1985. Dari kesepakatan
ini, PLB mulai diberlakukan yaitu; Pas Lintas Batas yang digunakan
warga lokal untuk melintas batas. Lewat kesepakatan ini pula, didirikan
Pos Lintas Batas di Jagoi Babang. Dengan PLB, melintas batas di Jagoi
Babang hanya boleh lima km dari garis simpadan. Selain mengatur
mengatur praktik melintas batas, di tahun yang sama Indonesia-Malaysia
menandatangani perjanjian Border Trade Agreement (BTA) yang secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
khusus mengatur sistem perdagangan di perbatasan. Dalam kententuan
Pasal 2 perjanjian tersebut menjelaskan sebagai berikut:
1) Daerah-daerah perbatasan dari kedua negara, antara atau di dalam
mana perdaganan lintas batas di daratan dapat dilakukan adalah
daerah-daerah sebagaimana disebut di dalam Basic Arrangement
on Border Crossing yang ditandatangani pada tanggal 2 Mei 1967.
2) Setiap arus barang yang keluar masuk suatu daerah lintas batas
Malaysia harus melalui suatu Pos Pengawasan Lintas Batas
(PPLB) Indonesia yang didirikan sesuai dengan Basic
Arrangement on Border Crossing pada sub ayat (1).
3) Nilai barang-barang yang dibawa atau diangkut untuk maksud
perdagangan lintas batas di daerah setiap orang seperti yang
dimaksud pada Pasal 1 ayat (3) tidak diperbolehkan melebihi
jumlah enam ratus ringgit Malaysia (RM .600) setiap bulannya
atau setara kurang lebih satu juta delapan ratus ribu rupiah (Arifin,
2014:174).
Apa yang disepakati oleh kedua negara tersebut berimplikasi pada
mobilitas warga di perbatasan. Dengan ada aturan ini, Siagian (1995)
mencatat mobilitas warga di perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak,
termasuk Jagoi Babang dapat dikategorikan menjadi empat karakteristik,
sebagai berikut yaitu, pertama, mobilitas ulang-alik atau commuting,
penduduk meninggalkan desa selama delapan jam sampai tiga hari. Hal ini
karena pelintas batas bermalam di tengah perjalanan atau desa Serawak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
karena jarak tempuh antar desa cukup jauh dengan berjalan kaki. Biasanya
tujuan pelintas ulang alik menjual hasil produksi dan membeli barang
kebutuhan sehari-hari. Kedua, mobilitas menginap, penduduk
meninggalkan desa dan bermalam di tempat tujuan selama empat hari
sampai satu bulan. Tujuannya untuk melakukan kunjungan keluarga,
mengikuti upacara adat istiadat dan melancong. Ketiga, mobilitas sirkuler,
penduduk meninggalkan desa selama sebulan sampai satu tahun atau lebih,
kemudian kembali ke desa asal. Mobilitas sirkuler banyak dilakukan kaum
muda untuk bekerja di Serawak. Mobilitas dengan tujuan bekerja di
Serawak jarang dilakukan penduduk yang sudah kawin. Keempat,
mobilitas permanen, penduduk meninggalkan desa dan menetap di
Serawak. Mobilitas permanen terjadi karena perkawinan campuran,
biasanya pengantin perempuan berasal dari desa perbatasan Kalimantan
Barat, menetap di Sarawak dan menjadi warga Malaysia. Di samping itu,
ada mobilitas permanen yang dilakukan dengan tidak sengaja. Penduduk
berladang jauh dari desa dan menetap serta membentuk perkampungan
baru di sekitar ladang yang diolah. Setelah penentuan tapal batas oleh
kedua pemerintah negara, desa tersebut masuk wilayah Serawak dan
mereka menjadi warga Malaysia walaupun sebagian besar keluarga
mereka di desa perbatasan Kalimantan Barat.
Pada masa pengawasan yang ketat dan terkesan kaku ini, mobilitas
warga di perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak tetap berjalan, baik itu
dikarenakan motif ekonomi maupun kultural. Bahkan dikatakan pula oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Siagian (1995:81) gerak grup etnis yang sama dalam melintas batas kerap
menimbulkan persoalan bagi pemerintah karena kondisi kultural mereka
yang serupa sehingga sulit mengolongkan mereka adalah WNI atau WNA.
C. Tapal Batas Pasca Reformasi
Dari paparan sebelumnya kita melihat geliat di tapal batas kental
dengan pendekatan keamanan. Pada masa Orde Baru, aturan praktik
melintas batas dikukuhkan dan pada masa yang sama pula masyarakat
tergantung dengan pasar Serawak. Seperti yang dicatat oleh Siagian (1995)
mereka harus ulang-alik ke Serawak untuk sekedar memenuhi kebutuhan
rumah tangga.
Minimnya pembangunan di tapal batas bukanlah persoalan baru. Era
sebelumnya berorientasi ke dalam sehingga wilayah-wilayah yang berada
jauh dari pusat pemerintahan tampak terlantarkan. Daerah-daerah itu
seolah-olah halaman belakang yang minim pembangunan dan sulit
diakses. Atasnama pembangunan yang timpang ini pula sejumlah
kebijakan di era pasca reformasi mulai menggeser pandangan dari yang
yang semula tampak sebagai halaman belakang menuju halaman depan.
Pasca reformasi diikuti dengan pemberlakuan otonomi daerah lewat
UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah. Pemerintahan yang
semula sentralisasi menjadi desentralisasi. Di tahun yang sama pula, lahir
Kabupaten Bengkayang yang merupakan pemekaran dari Kabupaten
Sambas. Sebagai kabupaten baru pada masa itu, terjadi pemekaran atas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
wilayah Bengkayang, salah satunya adalah kecamatan Jagoi Babang yang
sebelumnya bagian dari kecamatan Seluas.
Pada periode ini pembangunan di perbatasan mulai mendapatkan
perhatian meskipun bila dibandingkan dengan wilayah lain di pulau Jawa
menunjukkan kesenjangan yang signifikan dan karena itu Kabupaten
Bengkayang masih dikategorikan sebagai daerah tertinggal bersamaan
dengan wilayah-wilayah lainnya. Kesenjangan ini pula tidak hanya datang
dari dalam tetapi juga dari luar (Serawak). Bahwa daerah-daerah Serawak
yang berbatasan dengan Kalimantan Barat cenderung lebih maju. Seperti
yang tampak kondisi jalan raya antara Jagoi Babang dan Serikin,
ketergantungan masyarakat terhadap pasar, radio, televisi dari Serawak
yang berjalan puluhan tahun, dan saat ini pemerintah juga mengimpor
listrik dari Serawak untuk mencukupi kebutuhan listrik di wilayah
perbatasan Kalimantan Barat. Bahkan saat ini keterkaitan antara
Kalimantan Barat-Sarawak sudah meliputi berbagai dimensi (Arifin, 2014)
seperti, fisik (jalan dan transportasi), ekonomi (pasar, bahan baku,
produksi, dan konsumsi), pergerakan penduduk (migrasi permanen dan
temporer), teknologi (jaringan seluler, TV, dan radio), interaksi sosial
(kekerabatan dan kegiatan ritual adat istiadat), dan pelayanan jasa (listrik,
kesehatan, dan pelayanan transportasi).
Bila dibandingkan periode sebelumnya yang mengutamakan soal
keamanan, saat ini pendekatan pembangunan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di perbatasan mulai tampak. Komitmen itu pula
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
yang diwujudkan dengan pembentukan lembaga khusus yang mengurusi
perbatasan yaitu, Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) tahun
2010. Pembentukan lembaga itu berdasarkan UU No. 43 Tahun 2008
tentang wilayah negara dan peraturan presiden No. 12 Tahun 2010.
Sebagai lembaga manajerial, BNPP memiliki empat fungsi; menetapkan
kebijakan program pembangunan, menetapkan rencana kebutuhan
anggaran, mengkoordinasikan pelaksanaan, dan melaksanakan evaluasi
dan pengawasan. Selain lewat BNPP, pemerintah juga membuka
kerjasama dengan negara tetangga dalam mengelola perbatasan, dalam
rangka menuju masyarakat ekonomi ASEAN yang diberlakukan tahun
2015. AEC bertujuan menciptakan aliran bebas barang, jasa, dan tenaga
kerja terlatih serta investasi. Dengan pemberlakuan aturan ini
menunjukkan peran daerah perbatasan menjadi kian strategis mengingat
sebagai pintu masuk aliran barang, jasa, dan manusia (Noveria,2017).
D. Jagoi Babang Sebagai Area Tapal Batas
Berangkat dari paparan di atas, tampak wacana dominan tentang
tapal batas mengalami pergeseran dari yang semulanya kental pada
persoalan keamanan berkembang ke arah pembangunan di era pasca
Reformasi. Dalam implementasinya, pendekatan negara atas tapal batas
seperti mendua. Atasnama ekonomi, negara membuka kerjasama dengan
negara tetangga yang berimplikasi pada ketergantungan masyarakat
perbatasan terhadap pasar negara tetangga sedangkan atasnama keamanan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
sebagai upaya menjaga kedaulatan wilayah, negara justru terkesan hati-
hati terhadap pengaruh asing. Elemen-elemen itu adalah; TNI (Tentara
Nasional Indonesia), Polri (Kepolisian Republik Indonesia), Sekolah, dan
BNPP (Badan Nasional Pengelola Perbatasan) (Noveria, 2017). Dari
paparan historis, yang pertama-tama memegang peranan di kawasan
perbatasan adalah TNI. Sebagai lembaga yang punya wewenang untuk
menjaga ketahanan NKRI, kehadiran TNI di tapal batas dapat diklasifikasi
menjadi peran militer dan nirmiliter. Dalam peran nirmiliter erat kaitannya
dengan pembinaan teritorial dalam menghadapi ATGH (Ancaman,
Tantangan, Hambatan dan Gangguan) di tapal batas. Lewat pembinaan ini,
TNI berkewajiban untuk membina rasa kebangsaan dan mengawasi
potensi ideologi asing. UU No.34 tahun 2004 menjadi pijakan legal atas
peran TNI di perbatasan yang dalam kapasitasnya untuk menyuburkan
semangat kebangsaan, misalnya dalam kehidupan sehari-hari, memberi
pelajaran baris berbaris, wawasan kebangsaan di sekolah-sekolah dan turut
berpartisipasi dalam hari-hari besar nasional.
Di samping TNI, ada Polri (Kepolisian Republik Indonesia) yang
turut serta menjaga kedaulatan di perbatasan dengan mengupayakan
pemeliharaan rasa kebangsaan dan penyebaran nilai-nilai kebangsaan.
Secara normatif peran Polri didasarkan atas UU No. 2 tahun 2001 untuk
menjaga ketertiban dan keamanan di masyarakat. Oleh karena itu, di
wilayah perbatasan mereka melakukan patroli, menjaga keamanan, dan
ketertiban dan ikut serta dalam pembinaan masyarakat termasuk soal rasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
kebangsaan. Pemerintah juga mendirikan BNPP yang secara khusus untuk
membangun wilayah perbatasan. Selain mengurusi pembangunan, BNPP
juga mengedepankan fungsi ideologi yang dalam arti ini adalah turut
memelihara rasa kebangsaan, misalnya melakukan kegiatan bela negara di
desa-desa perbatasan yang melibatkan perangkat desa dan masyarakat
yang menitikberatkan pada sosialisasi nilai-nilai kebangsaan. Peran
Sekolah dari SD-SMA juga dianggap sebagai penyangga yang tidak
tergantikan dalam upaya menumbuhkan dan memelihara nilai-nilai
kebangsaan terutama lewat mata pelajaran; PKN (Pendidikan
Kewarganegaraan), Sejarah, Geografi, Bahasa Indonesia, hingga aktivitas
upacara bendera, baris berbaris dan peringatan hari-hari besar nasional
(Noveria,2017). Sekolah sebagai sarana untuk memperkenalkan
keindonesiaan kepada peserta didik di tapal batas.
Kondisi di atas persis apa yang dikatakan oleh Apple (1993) bahwa
teks-teks pelajaran yang sampai ke tangan guru dan siswa di kelas tidak
terlepas dari proses pemilihan yang dilakukan oleh penguasa. Dengan kata
lain, kurikulum nasional bukanlah pengetahuan yang netral, karena
dibelakangnya berkelindan ideologi penguasa. Paling tidak, perjalanan
pendidikan di Indonesia mengambarkan seperti apa interaksi antara
pendidikan dan kekuasaan. Pada era Soekarno, upaya meng-Indonesia
tercermin lewat arah pendidikan yang mau membentuk nation and
character building. Pada masa ini ditetapkan mata pelajaran civic yang
mempelajari hak-hak dan kewajiban menjadi warga negara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
(Darmaningtyas, 2004). Sedangkan materinya tidak hanya berasal dari
Pancasila dan UUD 1945, tetapi juga pandangan politik penguasa pada
masa itu yang sedang mengisi kemerdekaan dan konfrontasi.
Pergantian dari pemerintahan Soekarno ke Soeharto turut
mengubah wajah Kurilukum Nasional. Di era Soeharto tampak
mementingkan pembentukan manusia-manusia Pancasilais. Nilai-nilai
pancasila dan nasionalisme diinternalisasikan lewat jalur pendidikan
formal. Perubahan ini berdampak pada pergantian mata pelajaran civic
menjadi PKN (Pendidikan Kewargakegaraan) yang berisi materi Pancasila
dan UUD 1945. Tidak sampai di situ, pada Kurikulum tahun 1975, mata
pelajaran PKN berganti nama menjadi PMP atau Pendidikan Moral
Pancasila (Darmaningtyas, 2004).
Mata pelajaran PMP meninggalkan kesan ambisi penguasa pada
masa itu untuk menginternalisasikan nilai-nilai pancasila. Ambisi ini
semakin memuncak dengan dikeluarkannya P4 atau Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang diterapkan secara luas.
Dengan kata lain, aturan tersebut diwajibkan dari Taman Kanak-kanak
sampai Perguruan Tinggi dan segenap lapisan masyarakat. Sejak tahun
1983-1997 penataran P4 menjadi kewajiban yang harus diikuti oleh setiap
murid baru dan sekaligus menjadi proyek bagi para pengampu mata
pelajaran Pancasila (Darmaningtyas, 2004). P4 ini pula menjadi landasan
bagi mata pelajaran PMP pada Kurikulum 1984 dan terutama mata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
pelajaran PPKn atau Pendidikan Pancasila dan Kewargaegaraan pada
Kurikulum 1994 (Maftuh, 2008).
Tidak hanya mata pelajaran PPKn yang dijadikan alat indoktrinasi,
mata pelajaran sejarah pun tidak luput. Seperti yang diterangkan oleh
Darmanintyas (2004) bahwa materi-materi mata pelajaran sejarah terutama
pada peristiwa 1965-1966 dibuat seolah-olah membangun citra penguasa
Orde Baru. Kampanye anti PKI lewat materi pelajaran sejarah pun
menjadi sah-sah saja. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nugroho
Notosusanto menambahkan mata pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa) pada Kurikulum 1984. Materi ini pun dipandang oleh
sebagian sejarahwan termasuk Sartono Kartodirjo tidak lain sebagai
kendaraan politis Orde Baru karena dirasa bertumpang tindih dengan
materi pelajaran Sejarah Nasional yang sudah ada.
Era Reformasi turut membawa pembaharuan terutama terhadap
materi warisan Orde Baru yang terobsesi pada pembentukan manusia
pancasilais. Lewat proses ini mata pelajaran PPkn berganti nama menjadi
PKN (Maftuh, 2008). Berkaca pada model pendidikan sebelumnya, tiga
kurikulum berikut yang lahir dengan semangat otonomi daerah mulai
sensitif terhadap pengalaman masyarakat lokal yang tidak dapat
diseragamkan.
Bila Kurikulum 2004 masih terkesan terpusat, di mana
pemerintahan daerah dan sekolah hanya menjadi pelaksana, Kurikulum
2006 justru memberi otonomi pada sekolah untuk mengembangkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
pengetahuan yang sesuai dengan kondisi masyarakat di daerah. Masih
dengan semangat otonomi, Kurikulum 2013 hadir dan menekankan pada
kemandirian guru. Meski Kurikulum 2006 dan 2013 tampak memberi
perhatian pada otonomi guru, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih
terkesan “keseragaman” (Rohandi, 2015).
Pendekatan negara atas tapal batas yang terkesan mendua itu dapat
kita lihat dari material-material yang ada di Jagoi Babang. Di satu sisi kita
akan berjumpa dengan modal asing lewat perkebunan kelapa sawit dan
barang-barang berlabel ganda, namun di saat yang bersamaan pula kita
berjumpa barisan pos-pos jaga, patok batas, dan tugu perbatasan. Di
tengah ikatan ekonomi yang melampaui batas yang adalah implikasi dari
kerjasama bilateral Indonesia-Malaysia, di Jagoi Babang kita pun
berjumpa dengan material masyarakat lokal yang menunjukkan
keterkaitan di antara orang Bedayuh yang bermukim di Serawak dan di
Jagoi Babang. Karena mereka merasa masih dari satu nenek moyang yang
sama sehingga merasa sah-sah saja merayakan upacara adat bersama-sama
di bukit Bung Jagoi dan Rumah Adat Sebujit.
Meski kondisi material menunjukkan ada ikatan ekonomi dan
kultural yang melampaui batas, kebijakan negara atas Jagoi Babang dari
sejak didirikan sampai saat ini (2017) masih berstatus PLB yang
berimplikasi pada aturan hanya boleh melintas batas sejauh 5km dari garis
sempadan. Status ini menunjukkan keterbatasan gerak masyarakat lokal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
dan oleh karena itu pula, di Jagoi Babang, kita lebih banyak berjumpa
dengan elemen-elemen yang mengedepankan sisi keamanan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
BAB IV
NEGOSIASI MELALUI AKTIVITAS MELINTAS BATAS
A. Pengantar
Dari ruang kedua, terlihat kondisi material Jagoi Babang yang
memiliki ikatan melampaui batas dalam soal kultural, sedangkan dari ruang
ketiga menunjukkan wacana yang mendominasi dalam membayangkan
Jagoi Babang. Lewat pembacaan tersebut, tapal batas dimaknai sebagai
area border yang mengedepankan sisi keamanan. Pandangan tentang tapal
batas semacam ini memengaruhi pendekatan negara atas area perbatasan
yang dalam kasus Jagoi Babang lebih mengedepankan sisi keamanan lewat
peran TNI, Polri, BNPP sampai lembaga pendidikan. Lembaga-lembaga itu
memperlakukan tapal batas cenderung kaku dan tetap.
Bab ini merupakan negosiasi yang dilakukan oleh guru-guru di
Jagoi Babang atas wacana tapal batas. Ruang negosiasi ini didefinisi sebagai
ruang ketiga yang dalam pandangan Soja sebagai strategi menghadapi
dominasi ruang pertama dan kedua. Pembacaan kembali atas ruang pertama
dan kedua dibutuhkan untuk membuka perspektif yang baru dan
kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih beragam, dalam kasus ini adalah
masyarakat perbatasan. Bab ini terdiri dari tiga subbab yaitu; pertama, Jagoi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Babang sebagai titik temu antara area di era Mondern Padat dan Modern
Cair, kedua, pengalaman keseharian guru, dan ketiga, negosiasi guru.
B. Jagoi Babang: Titik Temu Antara Area di Era Modern Padat dan
Modern Cair
Menurut Wadley (2005) batas teritorial yang dibayangkan antara
komunitas lokal dengan negara tidak selalu sama. Batas yang dimaksudkan
oleh masyarakat lokal adalah batas-batas alam seperti, sungai, batu, dan
hutan. Sedangkan bagi negara yang dimaksud dengan batas adalah
bangunan; patok, tembok, sampai tugu yang didirikan di zero point dan
biasanya diperlakukan dengan pengawasan militer 24 jam. Perbedaan
makna dan perlakuan batas antara masyarakat lokal yang fleksibel dengan
negara yang kaku dapat kita jelaskan dengan mengikuti konsep Zygmunt
Bauman (2003) yang membedakan area di Era Modern Padat dan Cair.
Era Modern Padat adalah ketika kekuasaan berarti memaksa atau
membujuk orang lain untuk patuh dan tidak melawan. Negara memiliki
otoritas yang penuh untuk menentukan nasib warganya termasuk
menentukan batas-batas teritorial dari wilayah kekuasaannya. Ini adalah
masa di mana kekuasaan dilihat berdasarkan wilayah taklukan. Batas-batas
dibuat dan diperlakukan seolah-olah sudah selesai. Warga tidak dapat bebas
bergerak. Obsesi negara pada wilayah semakin tampak lewat pengawasan
langsung (face to face) yang berjalan dari atas ke bawah (top to bottom).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
Gambaran area di Era Modern Padat adalah gambaran dari
pandangan dominan dalam membayangkan teritorialnya. Di mana, batas-
batas teritorial itu tetap, kaku dan persis seperti yang digambarkan lewat
kartografi. Batas-batas yang dibangun diandaikan mampu membatasi gerak
warga. Gambaran area di Era Modern Cair justru sebaliknya. Batas yang
jelas tidak dapat mendefinisikan warga yang menempatinya. Orang-orang
bebas bergerak dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Ini adalah era di
mana batas-batas teritorial menjadi usang dan beralih menjadi pertemuan
orang asing.
Batas yang dimaknai oleh masyarakat lokal Jagoi Babang, saya
tempatkan sebagai area di Era Modern Cair. Mereka mengakui dan
merayakan ikatan yang melampaui batas. Lewat praktik masyarakat lokal
tersebut, tampak batas diperlakukan dengan cair. Kondisi yang dimaksud di
sini tidak melulu hubungan konsumsi sebagaimana kecenderungan Bauman
dan orang-orang yang melintas batas tidak melulu adalah orang asing tetapi
ada hubungan kekeluargaan dan kultural. Dengan kata lain, batas yang
dipahami oleh masyarakat lokal tidak sekaku sebagaimana yang
dibayangkan oleh pandangan dominan.
Seperti yang dijelaskan pada bab III, wacana yang mendominasi
cenderung membayangkan tapal batas dengan mengikuti narasi kolonial
yang adalah gambaran mental dari politisi, intelektual, dan pengacara
(Eilenberg, 2012). Oleh karena itu, praktik melintas batas seolah-olah
haram. Kondisi ini yang kita jumpai di Jagoi Babang, di sana-sini kita
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
berjumpa dengan pos-pos yang selalu siap siaga. Tidak hanya pos penjagaan
tetapi juga tugu dan patok batas turut mengonarmen kota Jagoi Babang.
Macam-macam rupa material yang dibangun oleh negara itu menyiratkan
seperti apa Jagoi Babang dibayangkan. Dengan menempatkan pos-pos dan
patok batas semakin jelas posisi daerah tersebut sebagai border area yang
dengan pengawasan ketat untuk mengontrol pergerakan masyarakat lokal.
Sementara masyarakat lokal yang mengakui ikatan nenek moyang
dan hubungan darah dengan Serawak mau tak mau harus melintas batas.
Seperti identifikasi Siagian (1995) yang memotret empat karakteristik
melintas batas masyarakat di perbatasan Kalimantan Barat-Serawak yaitu:
ulang alik yang bertujuan untuk menjual hasil produksi dan membeli barang
kebutuhan sehari-hari, menginap, bertujuan untuk melakukan kunjungan
keluarga, mengikuti upacara adat, dan melancong, sirkuler biasanya
dilakukan oleh anak muda yang belum menikah untuk mencari lapangan
pekerjaan, dan permanen, yang dikarenakan menikah dengan warga
Sarawak dan juga karena ada sebagian warga yang membuat ladang dan
tidak mengenal tapal batas sehingga menjadi penduduk Sarawak walaupun
keluarga besar berada di Kalimantan Barat.
Dari paparan di atas, kita melihat seperti apa kondisi yang dihadapi
oleh guru di Jagoi Babang. Secara material mereka memiliki keterkaitan
dengan Serawak, namun wacana tapal batas justru mendikte mereka dengan
narasi kolonial yang menempatkan kawasan itu sebagai border area.
Penting bagi kita untuk melihat negosiasi macam apa yang dilakukan oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
guru yang sekaligus adalah masyarakat di Jagoi Babang. Ruang pertama
menunjukkan area di era modern Cair karena ada ikatan-ikatan yang
melampaui batas sedangkan di ruang kedua lewat wacana tapal batas kita
berjumpa dengan gambaran area di era modern Padat, di mana batas
teritorial didefinisikan untuk membatasi pergerakan tubuh masyarakat
perbatasan. Pertentangan ini kemudian yang membawa saya untuk
menelusuri pengalaman guru Jagoi Babang.
C. Aktivitas Keseharian Guru-guru di Jagoi Babang
Adapun pengalaman guru yang melintas batas itu dikarenakan tiga
motivasi yaitu sebagai berikut:
1. Motivasi Keluarga
Letak geografis Jagoi Babang yang berhadapan langsung dengan
Sarawak menjadi potensi adanya pernikahan beda negara. Seperti yang
diakui oleh guru-guru bahwa mereka memiliki keluarga di Serawak. Ada
yang anak dan suami berkewargaan Malaysia, ibu atau ayahnya berasal dari
Serawak dan keluarga besar mereka ada di sana. Karena ikatan darah ini
pula mereka mau tak mau melintas batas.
Perkenalan saya dengan Riska di SDN I Jagoi Babang. Saat itu, dia
baru saja menyelesaikan jam mengajarnya di kelas tiga. Riska menceritakan
sebelum menjadi guru, dia adalah TKW demi membantu perekonomian
keluarga. Di Sarawak, Riska sempat berkerja di sebuah Restoran. Pekerjaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
itu dijalaninya selama dua tahun sebelum akhirnya ia memutuskan untuk
berhenti, dan kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Terbuka di
Kecamatan Seluas. Ia memilih menjadi guru karena merasa profesi itu
memiliki jaminan masa depan. Tahun 2014, Riska diangkat sebagai guru
PNS di SDN 1 Jagoi Babang. Riska memang berasal dari Jagoi Babang, ia
pun memiliki keluarga yang menetap di Serawak. Tidak hanya keluarga
besar tetapi juga keluarga inti. Ya, dia memiliki suami dan anak yang
berkewargaan Malaysia. Rumah mereka pun terletak di sana (Serikin).
Seperti penuturannya berikut ini; 1
Suami dan anak saya warga Malaysia. Rumah saya pun diMalaysia, jadi kalau saya berangkat ngajar, tiap-tiap hari harusmelintas batas. Dari waktu kami nikah, saya dan suami berbedakewargaan. Sempat sulit waktu itu urus nikah beda negara diIndonesia tapi kalau di Malaysia lebih cepat ngurusnya.
Riska sadar betul apa yang sedang dihadapinya, mengingat di satu sisi
ia adalah guru di Jagoi Babang dan di sisi lain, suami dan anaknya
berkewargaan asing yang menetap di Serikin. Untuk itulah Riska melintas
batas setiap hari. Ia pun berharap murid-muridnya tidak bertanya mengapa
dia harus melintas batas setiap hari, karena ia sadar sebagai guru dia punya
tanggungjawab untuk menarasikan tapal batas sebagaimana yang
dinarasikan oleh wacana dominan; orang-orang yang di luar batas teritorial
adalah “mereka” sedangkan rumahnya (suami dan anak) berada di luar batas
teritorial tersebut. Berada di posisi ini, Riska mau tak mau melintas batas
sebagai konsekuensi karena menikah beda negara dan tinggal di antara dua
1Riska.07/08.2015. Wawancara. Kalimantan Barat:Guru SDN 1 Jagoi Babang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
negara. Meski Riska merasa tidak dapat memperlakukan batas sebagaimana
narasi dominan, namun bukan berarti Riska juga menjadi cair seperti
pandangan masyarakat lokal. Seperti Riska yang merasa kagum dengan
kemajuan dan jaminan kesejahteraan negara suami dan anaknya namun
Riska belum berpikir untuk pindah kewargaan. Karena bisa saja sewaktu
menikah dia pindah kewargaan namun itu tidak dilakukannya dan Riska
justru memutuskan untuk menjadi guru yang otomatis bertentangan dengan
pengalaman kesehariannya. Bagi Riska, Serawak dan Jagoi Babang adalah
rumah. Jagoi Babang adalah rumah di mana ia dilahirkan dan kini menjadi
tempat mengajar sementara Serawak adalah rumah di mana keluarga intinya
berada. Lewat wawancara dengan Riska, saya melihat ia tidak
memperlakukan batas secara kaku dan di satu sisi ia juga tidak secair
masyarakat lokal karena ikatan profesi dan tanah kelahirannya, Jagoi
Babang. Namun Riska justru memilih untuk melintas batas. Yang itu
artinya, dia tidak membebek begitu saja pada wacana dominan, namun tidak
menerima begitu saja pandangan masyarakat lokal yang cair. Karena Riska
masih merasa menjadi bagian dari Indonesia yang disadarinya sejak ia
memilih menjadi guru dan tetap mempertahankan kewargaannya.
2. Motivasi Kultural
Tidak dapat disangkal bahwa orang Bedayuh di Jagoi Babang
memiliki ikatan kultural dengan Bedayuh di Serawak. Burung Enggang di
rumah adat Jagoi Babang menghadap ke arah Serawak yang mengandung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
makna mereka memiliki ikatan nenek moyang dengan Serawak. Meski
berbeda negara, mereka merayakan upacara adat secara bersama-sama di
rumah adat ini.
Sebagian besar keluarga Mijen berada di Serawak karena kakeknya
berasal dari sana.2 Perjumpaan saya dengan Mijen berlangsung di SMPN 1
Jagoi Babang. Seperti masyarakat lokal yang lain, Mijen mengunjungi
keluarganya di Serawak terutama setiap Gawai (upacara adat setelah panen
padi). Gawai di Jagoi Babang dirayakan secara bersama-sama dengan
Serawak yang jatuh setiap tanggal 1 juni. Mereka merayakan Gawai di
Bung Jagoi yang adalah sebuah bukit tempat rumah adat mereka didirikan.
Bukit ini diyakini sebagai tempat tinggal dari nenek moyang mereka.
Seperti yang diakui oleh Mijen, seharusnya Jagoi bagian dari
Serawak karena batas teritorial yang dipahami oleh nenek moyang mereka
adalah sungai kumba yang membatasi antara orang Bedayuh dengan Bekati.
Akan tetapi, batas yang dipahami oleh kolonial dan kini diwarisi oleh
Indonesia dan Malaysia, justru di Poko Payong, salah satu bukit di Jagoi
Babang yang otomatis menandai Jagoi sebagai teritorial kolonial Belanda
dan kini adalah Indonesia. Perbedaan pemaknaan ini muncul di masayarkat
yang menganggap mereka dengan orang Serawak tidak ada bedanya.
Mijen sadar betul bahwa mereka memiliki ikatan kultural dengan
masyarakat Serawak namun bukan berarti dia serta merta merasa menjadi
bagian dari warga Malaysia. Bahkan berpindah kewargaan belum
2 Mijen. 11/08/2015. Wawancara. Kalimantan Barat: Guru SMPN 1 Jagoi Babang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
terpikirkan. Ia mengakui menjadi warga Indonesia lebih untung karena
boleh punya tanah, sedangkan di Serawak tanah adalah milik negara
sehingga untuk mendirikan rumah atau usaha, status kita adalah penyewa.
Di sana orang serba kredit bahkan untuk keperluan rumah tangga sekalipun.
Aturan ini terutama untuk para pekerja kerajaan. Dengan kata lain, mereka
tidak diperkenankan untuk membayar tunai dan persoalan pajak, di sana
mereka dikenai pajak lebih bervariasi. Selain itu, ia pun terlibat dengan
komunitas perbatasan dari tahun 2007-20103 yang melawan dominasi
saluran radio dari Serawak, dengan mendirikan saluran radio perbatasan.
Mijen pun ikut merintis sekolah yang kini dikenal dengan SMP N 1
Jagoi Babang. Ia merasa prihatin terhadap nasib anak-anak Jagoi yang tamat
SD harus bersekolah ke Seluas dengan jarak yang cukup jauh dan
transportasi pada masa itu belum selancar sekarang. Belum lagi banyak
anak-anak dari Jagoi yang tidak lolos saat mendaftar karena kebanjiran
murid-murid di Seluas. Merasa prihatin atas kondisi itu, ia bersama rekan-
rekannya mulai merintis sekolah sejak tahun 2001 untuk menampung anak-
anak yang tidak lolos tersebut. Awalnya mereka menumpang di gedung SD
selama dua tahun sampai akhirnya punya gedung sendiri.
Lewat keikutsertaannya dalam komunitas perbatasan dan ikut
merintis SMPN 1 Jagoi Babang, menunjukkan Mijen memperlakukan batas
tidak secair masyarakat lokal yang punya ikatan kultural dan tidak pula
3 Komunitas perbatasan yang bergerak dalam bidang komunikasi dan informasi yakni,radio. Pendirian Radio tersebut sebagai respon terhadap radio-radio dari Sarawak yangmendominasi di perbatasan. Namun saat ini komunitas tersebut sedang mati suri karenaada kendala teknis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
sekaku wacana dominan yang membedakan secara kaku karena ia masih
merasa punya ikatan kultural dengan keluarga besarnya di Serawak. Mereka
pun masih merayakan upacara adat secara bersama-sama. Dan setiap Gawai,
Mijen akan berkunjung ke rumah keluarganya. Dari pengalaman ini tampak
Mijen mau tak mau melintas batas.
3. Motivasi Ekonomi
Seperti yang sudah dipaparkan di bab II, barang-barang di Jagoi
Babang berlabel dua harga. Yang itu artinya kondisi ekonomi mereka
bergantung dari pasar Serawak. Seperti di sana ada pasar Serikin yang
langsung menemukan dua masyarakat di perbatasan. Seperti penuturan
beberapa guru yang saya jumpai mereka rata-rata bergantung pada barang-
barang Malaysia dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya itu ada pula
yang ikut berbisnis ke Serawak selepas pulang mengajar.
“Keadaan Indonesia dan Malaysia tidak jauh beda. Namun
untungnya mereka (Malaysia) karena nilai tukar mata uangnya lebih tinggi”,
ungkap Margono.4 Margono adalah guru olahraga SDN I Jagoi Babang. Ia
menjadi guru sejak tahun 1992 dan mengajar di SDN I Jagoi Babang sejak
tahun 1997. Margono berasal dari Jagoi Babang dan memiliki ibu yang
sebelumnya berkewargaan Malaysia. Ia pun memiliki keluarga yang
menetap di Sarawak.
4Margono.07/08.2015. Wawancara. Kalimantan Barat:Guru SDN 1 Jagoi Babang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Melintas batas sudah menjadi aktivitasnya sehari-hari dan biasanya
dimanfaatkan untuk menjual babi dan ayam. Kadang juga setelah pulang
sekolah, ia menjadi tukang ojek bagi orang-orang yang hendak melintas
batas. Di matanya, Malaysia dan Indonesia sama saja. Menjadi guru di
Malaysia dan membeli di pasar Malaysia dengan Ringgit sama saja dengan
menjadi guru di Indonesia dan membeli di pasar Indonesia dengan Rupiah.
Yang untungnya, adalah menjadi guru di Malaysia, lalu belanjanya di
Indonesia. Sementara ruginya, menjadi guru di Indonesia tapi belanjanya di
Malaysia karena nilai tukar Ringgit lebih tinggi dari Rupiah.
Apa yang dikatakan Margono berdasarkan pengalamannya yang
sering bisnis ke Malaysia. Bahkan dia merasa guru yang merangkap menjadi
tukang ojek ke Malaysia, sah-sah saja karena mengingat biaya hidup di
Jagoi Babang dengan mengharapkan gaji guru saja tidak mencukupi apalagi
guru-guru yang honorer. Sementara guru-guru yang mendapat sertifikasi
juga diantaranya masih bisnis ke Malaysia. Memang bila kita ke pasar Jagoi
Babang, banyak barang yang berlabel RM (Ringit Malayasia) sehingga
mereka mau tak mau memiliki persediaan Ringgit.
Perjumpaan saya dengan Eko berlangsung di SMA N 1 Jagoi
Babang5 semakin memperjelas posisi Margono di atas. Tidak seperti
Margono, Eko bukan berasal dari Jagoi Babang, lebih tepatnya ia lahir di
Solo, Jawa Tengah. Ia mengajar di SMA N 1 Jagoi Babang mulai tahun
5Eko.12/08/2015. Wawancara. Kalimantan Barat: Guru SMA N 1 Jagoi Babang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
2005, namun sampai saat ini tinggal di Kecamatan Ledo yang berjarak dua
kecamatan dari Jagoi Babang.
Eko tidak memiliki saudara dan bahkan merasa tidak memiliki ikatan
kultural dengan Serawak, tetapi ia tetap melintas batas. Seperti
penuturannya, saat pertama kali menginjakkan kaki ke Jagoi Babang, Eko
merasa risih melihat kiblat masyarakat Jagoi Babang yang lebih banyak
mengarah ke Malaysia. Tidak hanya itu, Eko pun menemukan bahwa murid-
muridnya lebih hapal lagu kebangsaan Malaysia dibandingkan lagu-lagu
nasional. Sebagai guru yang mengampu pelajaran sejarah, Eko sadar
tanggungjawabnya untuk menumbuhkan rasa solidaritas nasional ke pada
peserta didik akan tetapi lingkungan sehari-hari para murid, justru berbicara
sebaliknya. Kondisi inilah yang menghantui pikiran Eko. Ia sadar bahwa
tanggungjawab itu tidak semudah yang dibayangkan sebelumnya. Pernah
sekali, Eko mendengar salah satu muridnya menyanyikan lagu kebangsaan
Malaysia di kantin sekolah, meski itu bukan acara resmi, Eko merasa perlu
untuk menegur murid tersebut dengan mengatakan, “lagu itu bukan punya
anda, lagu anda adalah Indonesia Raya”. Sejak saat itu, Eko bertekad untuk
mengarahkan murid-muridnya agar sadar mereka adalah warga negara
Indonesia.
Lewat mata pelajaran yang diampunya, Eko menegaskan pada
murid-murid untuk tidak merasa kecil karena menjadi orang Indonesia.
Meski di sini (Jagoi Babang) tingkat kesenjangan ekonomi dan infrastruktur
yang masih ketinggalan jauh dibandingkan Malaysia, namun secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
keseluruhan, ia menjelaskan Indonesia adalah negeri yang besar dan kaya.
Sedangkan Malaysia adalah negara yang sering kali mengklaim budaya dan
wilayah Indonesia. Tidak hanya itu, Eko juga memaknai konsep “ganyang
Malaysia” bukan berati fisik namun intelektual. Menurutnya, Indonesia
sudah mengganyang Malaysia lewat tenaga ahli sampai buruh kasar yang
rata-rata adalah orang Indonesia. Yang apabila tenaga kerja itu ditarik
pulang maka Malaysia akan lumpuh. Itulah konsep ganyang yang ia
tularkan kepada murid-muridnya.
Di sekolah, Eko tidak hanya menjadi guru mata pelajaran sejarah
tetapi juga pembina kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. Lewat Pramuka, Eko
memupuk kesadaran murid untuk terus melatunkan yel-yel; “NKRI harga
mati dan merah putih tetap di hati” sebagai kegiatan wajib. Upaya-upaya
yang dilakukan Eko semakin menemukan bentuknya dengan terpilihnya
sebagai guru yang berdedikasi tingkat nasional di Jakarta tahun 2013. Eko
menjadi perwakilan guru dari Kalimantan Barat. Lewat kegiatan yang
diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Eko menekankan
pentingnya wacana nasionalisme di perbatasan sehingga menempatkannya
sebagai sepuluh guru yang berdedikasi di tahun 2013.
Meski terpilih menjadi guru yang berdedikasi di tahun 2013, bukan
berarti Eko merasa alergi untuk melintas batas. Seperti yang diakuinya, ia
tetap melintas batas untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dalam
tataran ini, kita bisa melihat apa yang dilakukan oleh Eko di sekolah dan
sepulang sekolah menjadi berjarak. Eko pun menekankan bahwa rasa cinta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
terhadap tanah air tidak separalel dengan menggunakan produk berlabel
nasional. Alasannya, sulit membayangkan masyarakat Jagoi Babang tidak
menggunakan produk-produk Malaysia. Ia mengambarkan dengan kasus
gula yang menurutnya di Indonesia kewalahan untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri. Bahkan ia berani bertaruh bahwa produk-produk asal
Indonesia paling hanya mencapai kota Bengkayang, sementara untuk
daerah-daerah pinggiran mau tidak mau tergantung pada produk-produk
Malaysia.
Dalam praktik keseharian Eko pun melintas batas untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Meski di satu sisi ia sangat merong-rong murid untuk
lebih mencintai Indonesia tapi di sisi lain, ia sadar bahwa sulit
membayangkan masyarakat Jagoi Babang tidak mengkonsumsi produk-
produk Malaysia. Pengalaman Eko ini semakin memperjelas bahwa wacana
tapal batas hanya relevan selama berada di lingkungan sekolah.
D. Negosiasi Guru-guru di Jagoi Babang
Seperti yang dipaparkan lewat bab-bab sebelumnya menunjukkan
pandangan masyarakat lokal tidak selalu sepaham dengan wacana tapal
batas yang memperlakukan batas secara kaku. Wacana tapal batas berlaku
secara top down memisahkan antara relasi keluarga dan kultural. Akan
tetapi, dari pengalaman keseharian guru-guru di Jagoi Babang,
menunjukkan mereka tetap melintas batas. Melintas batas adalah ruang
negosiasi dari praktik keseharian guru Jagoi Babang yang menegosiasikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
ikatan keluarga, kultural, dan ekonomi yang melampui batas. Dengan kata
lain, dalam aktivitas melintas batas itulah ruang ketiga ditemui. Dalam
kasus ini, menjadi guru Jagoi Babang berarti menjadi guru yang melintas
batas yang mau tak mau harus bernegosiasi atas wacana tapal batas.
Negosiasi ini yang tampak dari pengalaman guru yang
mengatasnamakan ikatan darah seperti yang dialami oleh Riska. Riska
memang seorang guru tapi bukan berati ia membebek pada wacana dominan
yang ada karena dia memiliki keluarga inti di Serawak namun tidak pula
secair sebagaimana pandangan masyarakat lokal karena Riska tetap merasa
Jagoi Babang tetaplah rumah di mana ia dilahirkan. Seperti yang diakuinya
meski berbeda kewargaan dengan suami dan anaknya di Serawak, Riska
belum terlintas untuk menggantikan kewargaan bahkan ia tetap
mempertahankan pekerjaannya sebagai guru di SDN 1 Jagoi Babang. Dan
karena itu, ia lebih memilih untuk melintas batas setiap hari.
Pengalaman melintas batas juga dipilih oleh Mijen. Ia sadar betul
ada ikatan nenek moyang dengan Serawak dan kini keluarga besarnya
berada di Serawak. Mijen sepahaman dengan pandangan nenek moyang
yang melihat batas teritorial terletak di sungai Kumba yang membagi Jagoi
dan Seluas, Bedayuh dan Bekati. Dengan mengakui batas alami ini maka
otomatis ia merasa Jagoi Babang seharusnya bagian dari Serawak. Namun
karena kolonial dan kemudian dipertegaskan oleh Indonesia-Malaysia,
mereka yang sekampung menjadi berbeda negara. Meski demikian bukan
berarti Mijen menutup mata dan bersikap acuh tak acuh terhadap nasib
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
masyarakat Jagoi Babang. Bersama-sama teman-temannya, Mijen ikut
terlibat dalam komunitas perbatasan yang bergerak dibidang komunikasi
dan ikut merintis sekolah yang saat ini bernama SMP N 1 Jagoi Babang.
Lewat praktik tersebut, Mijen menunjukkan ia tidak secair sebagaimana
pandangan masyarakat lokal juga tidak sekaku wacana dominan. Mijen mau
tidak mau melintas batas untuk menghubungkan kedua aspek yang mewujud
di dalam dirinya.
Tidak hanya ikatan darah dan kultural, tetapi juga karena aliran
barang-barang yang berasal dari seberang membuat mereka mau tak mau
melintas batas. Persis seperti yang dialami oleh Eko. Sebagai guru
pendatang yang kental dengan wacana dominan yang memperlakukan batas
secara kaku namun dalam kehidupan sehari-hari, Eko tetap melintas batas.
Bahkan tampak antara apa yang dilakukannya di sekolah dan sepulang
sekolah menjadi bertentangan. Ia menyadari konsekuensi tinggal di Jagoi
Babang rasanya sulit untuk tidak mengkonsumsi produk-produk Malaysia
sehingga mau tak mau ia bernegosiasi antara apa yang dihidupi oleh wacana
dominan dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat lokal. Sebagai guru
pendatang ia tidak memperlakukan batas sekaku sebagaimana wacana
dominan karena ia pun mengakui masih tergantung dengan produk-produk
Malaysia, di sisi lain ia pun tidak secair masyarakat lokal, karena di sekolah
Eko tetap berhasrat agar murid-muridnya lebih beorientasi ke Indonesia
dengan memadahkan yel-yel NKRI harga mati.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
Ketiga pengalaman di atas, menggambarkan seperti apa
konsekuensi menjadi guru di tapal batas. Bahwa mereka mau tak mau
bernegosiasi dengan material dan wacana yang ada. Menjadi guru di area ini
mau tak mau harus melintas batas. Pengalaman melintas batas ini adalah
ruang ketiga dimana mereka menegosiasikan ikatan keluarga, kultural, dan
ekonomi. Dengan kata lain, kondisi material dan praktik keseharian guru
menunjukkan apa yang dibayangkan oleh wacana dominan tidak selalu
semakna dengan apa yang terjadi di tataran tindakan masyarakat. Ruang-
ruang negosiasi di atas menandai kondisi tersebut. Bahwa atasnama
hubungan darah, ikatan kultural, dan ekonomi merong-rong guru baik guru
lokal maupun pendatang menjadikan pengalaman melintas batas sebagai
cara hidup mereka.
Pengalaman tinggal di Jagoi Babang ini melahirkan pengalaman
melintas batas. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, praktik melintas
batas diatur oleh kedua negara sejak kesepakatan tahun 1967. Akan tetapi,
melintas batas yang dibayangkan oleh negara dengan apa yang dilakukan
oleh masyarakat lokal tidak selalu semakna. Bahwa negara menetapkan ada
batas km tertentu dan dalam batas waktu yang tertentu saat melintas batas.
Namun bagi bagi guru yang juga bagian dari masyarakat perbatasan, mereka
memiliki keluarga, kultural, dan kepentingan ekonomi sehingga pertemuan
mereka dan lama waktu mereka melintas batas lebih lama dan jauh dari
yang dibayangkan oleh negara. Dengan kata lain, ketatnya peraturan di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
perbatasan dalam kasus ini tidak justru membuat mereka membebek begitu
saja.
Pengalaman keseharian guru yang mengajar di Jagoi Babang di
atas memperlihatkan kedekatan mereka dengan pengalaman melintas batas.
Mereka yang melakukan lintas batas tidak hanya atas hubungan darah,
kultural tetapi juga pasar. Ketiga aspek itu menjadi kantong-kantong
negosiasi di tengah wacana dominan yang memperlakukan batas secara
kaku. Bahwa batas yang harus dijaga ketat, diawasi selama 24 jam, dan
orang-orang yang melewati area tersebut sepertinya pantas untuk dicurigai
menjadi fleksibel dalam satu sisi, karena keterkaitan mereka dengan
Serawak, namun di sisi lain menjadi tampak kaku. Meski pandangan
masyarakat lokal Jagoi Babang dalam kasus ini digambarkan sebagai area
dari era Modern yang cair dan wacana dominan yang membayangkan Jagoi
Babang sebagai area di Era Modern Padat tampak berhadap-hadapan namun
dalam aktivitas melintas batas mereka bernegosiasi.
Berangkat dari kondisi di atas, membicarakan guru di tapal batas
dengan berpatokan pada dimensi second space rasanya tidak cukup tanpa
melihat sisi first space dan third space. Karena dengan mengabaikan kedua
dimensi itu, kita cenderung membicarakan guru lewat wacana yang seolah-
olah mencabut guru dari eksistensinya sehari-hari yang tidak hanya
berprofesi sebagai guru tetapi juga bagian dari masyarakat lokal. Untuk
kasus ini, membicarakan guru di Jagoi Babang tapi tidak membicarakan
pengalaman mereka yang melintas batas sama saja omong kosong. Karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
dengan begitu kita belum menyentuh dimensi material dan praktik
keseharian mereka yang kemudian membawa kita negosiasi atas wacana
tapal batas.
Pembahasan dengan melihat dari ketiga dimensi ruang yang
membicarakan guru di tapal batas, saya sepakat dengan Soja bahwa ruang
itu kontekstual. Menjadi guru di Jagoi Babang berarti mau tidak mau harus
melintas batas dengan mengakui pengalaman tersebut, guru tidak bertambah
asing di tengah wacana yang ada. Pengalaman tinggal di ruang semacam ini
yang membedakan pengalaman guru di tempat lain.
Sadar terhadap pengalaman meruang yang dalam kasus ini hidup
dengan cara melintas batas, membentuk pandangan guru-guru di Jagoi
Babang tentang Indonesia. Dari ruang lintas batas, mereka membayangkan
Indonesia tidak sebagaimana mereka yang tidak berasal dari perbatasan.
Akan tetapi, bukan berarti karena tinggal di perbatasan mereka begitu saja
dapat diberi label ganda dan menjadi lahan subur dari proyek-proyek yang
bertemakan nasionalisme tetapi dari penelitian ini menunjukkan negosiasi
mereka terhadap wacana dominan cenderung kaku dan pandangan
masyarakat lokal yang cenderung cair. Lewat praktik melintas batas mereka
menegosiasikan ikatan keluarga, kultural, sampai ekonomi. Yang itu
menunjukkan bahwa mereka menjadi Indonesia tapi melintas batas. Dengan
kata lain, mereka adalah warga negara Indonesia namun secara bersamaan
juga mengakui ikatan darah dan merayakan upacara adat bersama serta
ketergantungan dari pasar yang lintas negara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
Memaksakan second space yang dominan pada mereka itu sama
saja kita tidak mengakui eksistensi mereka. Membicarakan guru di tapal
batas harus dibarengi dengan mengunjungi kondisi material dan praktik
keseharian mereka. Dengan demikian, kita tidak dapat mendikte cara hidup
mereka dengan logika dari ruang di mana kita tinggal. Seperti yang
diutarakan oleh Soja, setiap ruang ada logika dan kurikulumnya sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masyarakat di perbatasan kerap diberi label ganda karena memiliki
ikatan yang melampaui batas. Pandangan itu pula yang memotivasi saya
untuk mengunjungi kembali fenomena tersebut dengan menelusuri kondisi
pengalaman keseharian guru-guru di Jagoi Babang. Saya sepakat dengan
Soja yang melihat ruang dari tiga sisi yaitu, material, wacana, dan praktik
keseharian. Ketiga sisi itu saling memengaruhi.
Seperti yang telah saya uraikan di bab II, kondisi material di Jagoi
Babang tampak mendua, di satu sisi seolah-olah menerima ikatan yang
melampaui batas tapi di sisi lain seolah-olah itu adalah tindakan haram
sehingga harus dijaga ketat. Sementara bagi guru-guru di Jagoi Babang,
mereka tetap melintas batas. Mereka melintas batas karena motivasi
kultural, ekonomi, dan keluarga. Akan tetapi, tindakan itu tampak
berseberangan dengan apa yang diwacanakan oleh negara. Wacana dominan
tentang tapal batas, memposisikan Jagoi Babang sebagai area tapal batas
yang harus diawasi dan dijaga ketat. Wacana yang mengedepankan sisi
keamanan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Akan tetapi, lewat aktivitas melintas batas guru-guru di Jagoi Babang
menunjukkan ada negosiasi atas wacana tapal batas yang terkesan kaku.
Sejak semula, pedekatan yang dipakai untuk membicarakan orang-
orang di tapal batas mengikuti narasi kolonial yang memperlakukan area
tersebut sebagai medan pertempuran daripada tempat kediaman. Bayangan
semacam ini semakin menguat dengan adanya konfrontasi antara Indonesia
dan Malaysia tahun 1960-an di perbatasan. Berakhirnya konfrontasi
bersamaan dengan pengakuan federasi Malaysia oleh pemerintah Indonesia
di bawah orde Baru melahirkan praktik lintas batas. Aturan itu kemudian
yang menjadi pijakan dari aturan lintas batas masyarakat lokal di
perbatasan. Pada masa ini, area perbatasan kental dengan pendekatan
keamanan di mana mereka kerap diperlakukan sebagai orang yang pantas di
curigai.
Kentalnya pendekatan keamanan di perbatasan tidak diikuti pula
dengan pembangunan di daerah tersebut. Itulah kenapa pasca reformasi
dengan semangat otonomi daerah, pembangunan wilayah perbatasan mulai
digalakkan. Pandangan dari menempatkan perbatasan sebagai beranda
belakang saat ini menjadi beranda terdepan dan kemudian mempengaruhi
kebijakan negara yang mulai membangun dari pinggiran. Perhatian negara
ini paling tampak lewat pembentukan BNPP tahun 2010 dan dalam upaya
untuk menghadapi masyarakat ekonomi Asean yang aliran barang, orang,
dan modal menjadi bebas. Namun pendekatan dengan mengedepankan sisi
keamanan masih mendominasi di Jagoi Babang dengan statusnya sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
PLB yang hanya memperbolehkan masyarakat lokal melintas batas sejauh 5
km dari garis sempadan.
Pemaparan pengalaman melintas batas, guru-guru di Jagoi Babang
pada bab IV menunjukkan guru tidak dengan begitu saja membebek pada
wacana tapal batas yang dibuat oleh negara. Bahwa guru di Jagoi Babang
mau tak mau bernegosiasi dengan kondisi yang ada. Mereka dalam hal ini
ikut melintas batas. Negosiasi yang dilakukan oleh guru itu dengan
mengatasnamakan ikatan keluarga, kultural, dan pasar. Ada guru-guru yang
mau tak mau melintas batas setiap hari untuk berjumpa dengan suami dan
anak mereka. Ada pula guru-guru yang memang tergantung dengan pasar
Malaysia, baik itu produk-produk dan juga mencari uang tambahan dengan
mengojek ke tapal batas. Pengalaman mereka yang melintas batas itu turut
mempengaruhi mereka dalam melihat Indonesia. Pandangan guru atas
Indonesia dipengaruhi oleh praktik keseharian mereka yang melintas batas.
Walaupun mereka tetap memilih menjadi Indonesia.
Fenomena di atas menunjukkan kondisi ruang memengaruhi
pandangan seseorang. Dalam kasus ini pandangan guru Jagoi Babang
dipengaruhi oleh kondisi di mana ia tinggal dan pengalaman mereka tidak
dapat disamakan dengan pengalaman guru-guru di tempat lain. Lantas dari
kondisi tersebut ruang macam apa yang mereka tinggali? Seperti yang kita
lihat dari paparan bab IV, saya mengidentifikasi Jagoi Babang sebagai titik
temu dari area Era Modern Cair dan Padat sebagaimana pandangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
Zygmunt Bauman. Mereka tinggal di area yang mana batas-batas teritorial
tidak dapat mendefinisikan warga yang menempatinyaa.
Guru mengakui ikatan yang melampaui batas dan tidak membebek
begitu saja pada wacana tapal batas. Guru-guru di Jagoi Babang, mengakui
dimensi keterkaitan material sehingga menegosiasikan wacana tapal batas
lewat praktik hidupnya sehari-hari yang melintas batas. Dan oleh karena itu,
bila negara memaksakan obsesinya terhadap guru di tapal batas maka sama
saja negara mencabut eksistensi mereka sehari-hari yang melintas batas.
B. Saran
Lewat penelitian ini saya mau mengajukan bahwa memposisikan
guru di tapal batas tidak cukup dengan melihat mereka mengajar di kelas
namun lebih jauh lagi dengan mengekpslorasi pengalaman keseharian
mereka. Lewat penelitian ini, menunjukkan pengalaman di luar sekolah
turut mempengaruhi guru dalam melihat Indonesia. Memposisikan guru
berdasarkan wacana yang dibuat oleh negara tanpa memperhitungkan
dimensi material, saya menduga kita sedang mengamputasi mereka dari
kehidupan sehari-harinya. Oleh karena itu, penelitian ini mau membuka
ruang ketiga dalam melihat fenomena guru di tapal batas yang juga adalah
masyarakat perbatasan, memiliki ikatan yang melampaui batas. Ruang
ketiga ditunjukkan lewat praktik keseharian mereka menegosiasikan ikatan
kultural, keluarga, dan ekonomi yang melampaui batas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Arifin, S.2014. Hukum Perbatasan Darat Antarnegara. Jakarta: Sinar
Grafika
Anderson, Benedict.2002. Imagined Communities: Komunitas-Komunitas
Terbayang. Yogyakarta: Insist Press
Bauman, Zygmunt. 1998. Globalization: The Human Consequences. UK:
Blackwell
------------------------. 2000. Liquid Modernity. UK: Blackwell
Blackshaw, Tony. 2005. Zygmunt Bauman. USA: Routledge.
Eilenberg, Michael. 2012. At the Edges of State in the Indonesian
Borderlands. Leiden: KITLV Press
Mita Noveria dkk. 2017. Kedaulatan Indonesia di Wilayah Perbatasan:
Peskpektif Multidimensi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Nordholt, Henk Schulte & Klinken van Gerry. 2007. Politik Lokal di
Indonesia. Jakarta: KITLV
Patji, Abdul Racman,dkk.2002. Serumpun Berbeda Batang: Studi Etnografi
Masyarakat Pulau Perbatasan Sebatik. Jakarta:Valia Pustaka
Rohandi. 2015. Pedagogi Transformatif: Membuka Hati dan Pikiran untuk
Merawat Kehidupan. Naskah Pidato Ilmiah dalam Dies Nataslis ke-
60 Universitas Sanata Dharma.
Saukko, Paula. 2003. Doing Research in Cultural Studies: An Introduction
to Classical and New Methodological Approaches. London: SAGE
Schofield, Clive H (ed). 2002. Global Baundaries: World Baundaries
Volume I. London: Routledge
Soja, Edward. 1989. Postmodern Georaphies: The Reassertion of Space
in Critical Theory. London: Verso
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
...........................1996. Thirdspace: Journeys to Los Angeles and Other
Real-and-Imagined Places. USA: Blackwell
Pierson, Christopher. 1996. The Modern State: Second Edition. London:
Routledge
Wardaya. T. Baskara. 2008. Indonesia Melawan Amerika Konflik Perang
Dunia 1953-1963. Yogyakarta: Galang Press
2. Artikel
Allen, Rick. What Space Makes of Us: Thirdspace, Identity,Politics, and
Multiculturalism. Paper dipresentasikan di American Educational
Research Association Conference Chicago, Illinois March 28, 1997.
Bauman, Zygmunt. City of Fears, City of Hopes. Goldsmiths College
University of London, New Cross, Tahun 2003.
Dedees, Adek Risma. Melayu di Atas Tiga Bendera: Konstruksi Identitas
Nasionalisme Masyarakat Perbatasan di Kepulauan Batam, Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 19, Nomor 2, November Tahun
2015.
Lumenta, Dave. Tapal Batas Nan Gamang. Majalah National Geographic,
Edisi Maret Tahun 2015
Siagian, James. Mobilitas Penduduk Lintas Perbatasan: Kalimantan Barat
Serawak. Prisma No 1 Tahun XXIV Januri 1995.
Van Der Kroef, Justus M. The Sarawak—Indonesian Border Insurgency.
Modern Asian Studies, Vol 2, No 3 Tahun 1968.
3. Data Statistik
Stastistik Bea Cukai Kecamatan Jagoi Babang Tahun 2015
Statistik Daerah Kecamatan Jagoi Babang Tahun 2016
Statistik Imigrasi Kecamatan Jagoi Babang Tahun 2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
4. Tesis
Novelina Laheba. 2010. Ambivalensi Identitas dan Loyalitas di Gerbang
Utara: Suatu Kajian Identitas Kebangsaan Masyarakat Pulau Miangas
Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara. Tesis Ilmu Religi & Budaya
Universitas Sanata Dharma
5. Internet
http://www.antaranews.com/berita/464085/warga-perbatasan-pindah-ke-
malaysia-karena-ekonomi. Diakses September tahun 2016
http://news.liputan6.com/read/2134244/1-dusun-pindah-kewarganegaraan-
malaysia-ini-tanggapan-jk, diakes September tahun 2016
http://www.merdeka.com/peristiwa/derita-warga-perbatasan-sampai-pindah-
kewarganegaraan-malaysia.html, diakses September tahun 2016
http://news.okezone.com/read/2014/11/13/340/1064994/miskin-warga-
nunukan-pindah-kewarganegaraan-malaysia, diakses September tahun 2016
http://www.beritasatu.com/nasional/225861-3-penyebab-sejumlah-warga-
di-nunukan-pindah-ke-malaysia.html, diakses September tahun 2016
http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/11/13/neyyz7-tni-
warga-tiga-desa-di-perbatasan-pindah-ke-malaysia, diakses September
tahun 2016
http://regional.kompas.com/read/2014/10/21/11162361/.Janji.Manis.Malays
ia.Goda.Warga.Long.Apari.untuk.Pindah.Negara, diakses September tahun
2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
http://news.detik.com/berita/2747297/sedih-satu-desa-di-nunukan-seluruh-
warganya-pindah-kewarganegaraan-malaysia, diakses Septembertahun
2016
http://m.kaskus.co.id/thread/54699787c1cb1774208b4574/setujunggak-
kalo-daerah-perbatasan-pindah-ke-negara-yang-mengurusnya/?ref=postlist-
21&med=recommended_for_you, diakses September tahun 2016
http://www.batasnegeri.com/potret-camar-bulan-dusun-terluar-indonesia-di-
sempadan-kalbar-serawak/, diakses September tahun 2016
https://www.usd.ac.id/lembaga/lppm/f1l3/Jurnal%20Historia%20Vitae/vol2
2no1april2008/KEBIJAKAN%20%20PEMERINTAH%20%20REPUBLIK
%20%20INDONESIA%20mithcel%20vinco.pdf. , diakses Maret 2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI