PENGALAMAN FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS SAAT …eprints.ums.ac.id/68424/18/NASKAH PUBLIKASI.pdf ·...

13
PENGALAMAN FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS SAAT MENDAPATKAN TERAPI ECT PADA PASIEN GANGGUAN JIWA Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Program Studi Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Oleh: Bagus Susilo J 210.140.057 PROGRAM STUDI KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2018

Transcript of PENGALAMAN FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS SAAT …eprints.ums.ac.id/68424/18/NASKAH PUBLIKASI.pdf ·...

Page 1: PENGALAMAN FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS SAAT …eprints.ums.ac.id/68424/18/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Sampel

1

PENGALAMAN FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS

SAAT MENDAPATKAN TERAPI ECT PADA PASIEN

GANGGUAN JIWA

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I

pada Program Studi Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan

Oleh:

Bagus Susilo

J 210.140.057

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2018

Page 2: PENGALAMAN FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS SAAT …eprints.ums.ac.id/68424/18/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Sampel

2

Page 3: PENGALAMAN FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS SAAT …eprints.ums.ac.id/68424/18/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Sampel

3

Page 4: PENGALAMAN FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS SAAT …eprints.ums.ac.id/68424/18/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Sampel

4

Page 5: PENGALAMAN FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS SAAT …eprints.ums.ac.id/68424/18/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Sampel

5

PENGALAMAN FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS

SAAT MENDAPATKAN TERAPI ECT PADA PASIEN

GANGGUAN JIWA

Abstrak

Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan salah satu pengobatan yang sudah

digunakan sejak lama untuk mengobati berbagai gangguan jiwa. Untuk mencapai

manfaat maksimal dengan risiko minimal, terapi ini berkembang jauh lebih baik

dengan pemberian anestesi dan aliran arus listrik terkendali yang telah

diperhitungkan secara medis. Setiap pasien yang mendapatkan terapi tentu

memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Pengalaman tersebut berupa pengalaman

fisiologis dan psikologis. Tujuan penelitian ini yaitu menganalisis pengalaman

fisiologis dan psikologis sebelum, saat, dan sesudah mendapatkan terapi pada

pasien gangguan jiwa. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan

pendekatan fenomenologi. Sampel penelitian ini berjumlah lima responden

menggunakan sampling Non-probability Sampling dengan teknik Purposive

Sampling. Kesimpulan penelitian ini sebagai berikut. 1) Pengalaman fisiologis dan

psikologis sebelum pasien gangguan jiwa mendapatkan terapi yaitu sudah terbiasa

sehingga tidak takut dan cemas, disuruh puasa, merasa tubuhnya disiksa, gelisah,

takut, dan cemas. 2) Pengalaman fisiologis pasien gangguan jiwa pada saat

mendapatkan terapi yaitu kejang otot yang berlangsung 2-3 detik, memberontak,

ingin melepas alat, ingin muntah, mengeluarkan air mata, dan terlihat sedih serta

gelisah. 3) Pengalaman fisiologis dan psikologis sesudah pasien gangguan jiwa

mendapatkan terapi yaitu lemas, mual, merasa kantuk, gelisah, pusing, bingung,

dan takut.

Kata kunci: pengalaman, fisiologis, psikologis, terapi ECT

Abstract

Electroconvulsive Therapy (ECT) is one treatment that has been used for a long

time to treat various mental disorders. To achieve maximum benefits with minimum

risk, this therapy is develops much better by administering anesthesia and

controlled electric current flow that has been medically calculated. Every patient

who gets therapy certainly has different experiences. This experience is in the form

of physiological and psychological experience. The purpose of this study is to

analyze physiological and psychological experience before, during, and after

therapy in patients with mental disorders. This type of research is qualitative

research with a phenomenological approach. The sample of this study amounted to

five respondents using Non-probability Sampling with purposive sampling

technique. The conclusion of this study is as follows. 1) Physiological and

1

Page 6: PENGALAMAN FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS SAAT …eprints.ums.ac.id/68424/18/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Sampel

6

psychological experience before psychiatric patients get therapy, namely already

accustomed to not being afraid and anxious, told to fast, felt his body tortured,

restless, scared, and anxious. 2) Physiological experience of mental patients during

therapy, namely muscle spasms lasting 2-3 seconds, rebel, want to take off the tool,

want to throw up, tear, and look sad, and restless. 3) Physiological and

psychological experience after psychiatric patients get therapy, namely limp,

nausea, feel sleepy, restless, dizzy, confused, and scared.

Keywords: experience, physiological, psychological, ECT therapy

1. PENDAHULUAN

Permasalahan gangguan jiwa di Indonesia dianggap sebagai penyakit yang kronis

dan akut. Jumlah penderita gangguan jiwa meningkat setiap tahunnya (Pratiwi dan

Enita, 2016). Permasalahan kesehatan jiwa tersebut perlu mendapatkan penanganan

yang tepat. Dunia kesehatan telah menemukan terapi yang cukup efektif untuk

pasien penderita masalah kejiwaan. Terapi tersebut yakni Electroconvulsive

Therapy (ECT).

ECT sebelumnya dikenal sebagai terapi kejut listrik. ECT diperkenalkan pertama

kali oleh Carleti dan Bini pada tahun 1937, menggunakan aliran listrik yang

menimbulkan kejang. (Dewi, dkk). Efek samping yang ditimbulkan setelah

dilakukan terapi ECT sangat beraneka ragam seperti konvusi, delirium, gangguan

daya ingat, dan aritmia jantung ringan. Sehingga terapi ECT banyak mengundang

kontroversi yang dikarenakan efek samping yang ditimbulkan, (Nandinanti, dkk.,

2015).

Hingga saat ini ECT masih dipandang sebagai suatu yang kontroversi walaupun

kehadirannya sudah lebih dari 70 tahun, namun sesungguhnya ECT merupakan

perawatan cepat dan aman serta dalam beberapa kasus merupakan penyelamat

hidup pasien dengan gangguan jiwa (Anindita, 2010). Selain itu, setiap pasien yang

baru pertama kali mendapatkan ECT dan berulang mendapat ECT, mereka akan

mengalami penurunan tingkat kecemasan (Maramis, dalam Dewi, dkk.).

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas dan observasi selama satu bulan

kepada 10 pasien di RSDJ Surakarta yang menjalani Electroconvulsive Therapy

(ECT) memiliki pengalaman fisiologis dan psikologis yang berbeda-beda. Untuk

2

Page 7: PENGALAMAN FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS SAAT …eprints.ums.ac.id/68424/18/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Sampel

7

itu, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang “Pengalaman Fisiologis dan

Psikologis Saat Mendapatkan Terapi Electroconvulsive Therapy (ECT) pada Pasien

Gangguan Jiwa”.

2. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan narrative inquiry.

Menurut Lindsay & Schwid (2016) pendekatan narrative inquiry adalah sebuah

pendekatan yang menggunakan cerita responden sebagai data dan sarana dalam

memahami pengalaman yang dialami dan diceritakan. Pengalaman yang

diceritakan responden dalam penelitian ini adalah pengalaman responden sebelum,

saat, dan sesudah mendapat terapi ECT.

Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien gangguan jiwa yang mendapatkan

terapi ECT di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Sampel penelitian ini berjumlah

lima responden yang dipilih dengan menggunakan metode Non-probability

Sampling dengan teknik Purposive Sampling.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi partisipatif, wawancara, dan

triangulasi. Kemudian, analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Interpretative Phenomenology Analysis (IPA). Menganalisis bahan kualitatif

dengan menggunakan kerangka kerja IPA, bisa menjadi aktivitas yang

menginspirasi, meski kompleks dan menyita waktu (Pietkiewicz & Smith, 2014).

Uji keabsahan data sangatlah penting dalam suatu penelitian dikarenakan kualitas

suatu penelitian ditentukan dari hasil pengumpulan data yang valid antara data yang

sebenarnya terjadi pada objek penelitian dengan hasil data yang dilaporkan oleh

peneliti. Pengujian keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik

triangulasi, lebih tepatnya yakni teknik triangulasi wawancara dan observasi

dilakukan secara langsung dengan partisipan untuk mengetahui bagaimana kondisi

saat partisipan akan mendapatkan terapi ECT.

3

Page 8: PENGALAMAN FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS SAAT …eprints.ums.ac.id/68424/18/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Sampel

8

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini berjumlah lima orang

dengan nama responden R1, R2, R3, R4, dan R5. Berikut karakteristik responden.

Usia Diag-

nosa

Agama Alamat Pendi-

dikan

Pekerjaan ECT yang

ke-

R1 (L) 31 Skizo-

afektif

Islam Grobogan MTs - 2

R2 (L) 32 F20.3 Islam Sragen SMP - 8

R3 (L) 38 F20.8 Islam Klaten SD Tani 3

R4 (P) 29 F3.8 Islam Boyolali SMA Konveksi 27

R5 (P) 46 F20.3 Islam Karang-

anyar

SD IRT 1

3.1 Tema dari Pengalaman Responden Sebelum Mendapatkan Terapi ECT.

3.1.1 Sudah Terbiasa sehingga Tidak Merasa Takut dan Cemas

Tema yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pasien gangguan jiwa sebelum

mendapatkan terapi ECT adalah sudah terbiasa sehingga tidak merasa takut dan

cemas. Selaras dengan mode adaptasi yang dikembangkan Roy bahwa mode

adaptasi meliputi fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan interdependensi. Salah

satu mode adaptasi tersebut mode konsep diri the physical self yaitu bagaimana

seseorang memandang dirinya berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan

gambaran tubuhnya (Roy, 2009). Pada area ini pasien sudah beberapa kali

menjalani terapi ECT, sehingga sudah terbiasa, tidak merasa takut dan cemas.

3.1.2 Disuruh Puasa, Lapar

Tema lainnya yang diperoleh adalah pasien disuruh puasa dan merasa lapar. Selaras

dengan teori yang menyatakan bahwa sebelum ECT dilakukan pasien harus puasa

minimal 6 jam sebelum mendapatkan terapi ECT (Zaeni, dkk., 2015). Jadi, pasien

4

Page 9: PENGALAMAN FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS SAAT …eprints.ums.ac.id/68424/18/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Sampel

9

yang akan mendapatkan terapi ECT harus berpuasa, sehingga untuk beberapa

pasien, puasa membuat mereka merasa lapar.

3.1.3 Merasa Tubuhnya Disiksa

Tema lainnya yang diperoleh adalah pasien merasa tubuhnya disiksa. Selaras

dengan mode adaptasi yang dikembangkan Roy bahwa mode adaptasi meliputi

fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan interdependensi. Salah satu mode adaptasi

tersebut mode konsep diri the physical self yaitu bagaimana seseorang memandang

dirinya berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya (Roy,

2009). Kesulitan pada area ini sering terlihat pada saat pasien merasa tubuhnya

disiksa sesudah melakukan beberapa kali terapi ECT.

3.1.4 Gelisah

Tema lainnya yang diperoleh adalah pasien merasa gelisah. Hal ini selaras dengan

Teori Adaptasi Calissta Roy yang menyatakan bahwa stimulus residual adalah ciri-

ciri tambahan yang ada dan relevan dengan situasi yang ada, tetapi sukar untuk

diobservasi. Meliputi kepercayaan, sikap, sifat individu berkembang sesuai

pengalaman yang lalu. Hal ini memberi proses belajar untuk toleransi (Roy, 2009).

Misalnya, pengalaman sesudah terapi (mual, muntah, nyeri, pusing, lemas) ada

yang toleransi, tetapi ada yang tidak toleransi sehingga membuat pasien merasa

gelisah untuk melakukan terapi kembali.

3.1.5 Takut dan Cemas

Tema lainnya adalah pasien merasa takut dan cemas. Selaras dengan mode adaptasi

yang dikembangkan Roy bahwa mode adaptasi meliputi fisiologis, konsep diri,

fungsi peran, dan interdependensi. Salah satu mode adaptasi tersebut mode konsep

diri the personal self yaitu berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, moral-etik,

dan spiritual diri orang tersebut. Perasaan cemas, takut merupakan hal yang berat

dalam area ini (Roy, 2009). Sesuai dengan teori tersebut, pasien yang akan

mendapatkan terapi ECT akan merasa cemas dan takut.

5

Page 10: PENGALAMAN FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS SAAT …eprints.ums.ac.id/68424/18/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Sampel

10

3.2 Pengalaman Fisiologis Responden Saat Mendapatkan Terapi ECT.

Pengalaman fisiologis responden saat mendapatkan terapi ECT diperoleh peneliti

berdasarkan hasil observasi. Peneliti melihat secara langsung proses berlangsung

terapi ECT selama 5-10 menit yang diberikan pada R1 dan R3. Setelah R1 dan R3

lemas hingga tidak sadar, perawat memasang alat ECT. Kemudian dokter,

memberikan aliran listrik.

Seketika itu, R1 mengalami kejang selama 2 detik. Sekitar 2 menit kemudian,

dengan keadaan tidak sadar, R1 seperti memberontak dan ingin melepas alat yang

terpasang. Selain itu, R1 juga memberikan respons fisiologis dengan memiringkan

badan, serta diikuti dengan gerakan ingin muntah. Setelah itu, responden didiamkan

selama 2-3 menit. Lalu, perawat melepas alat yang terpasang pada responden.

Kemudian responden dibangunkan dengan cara tubuh responden digoyang-goyang

dan diberi rangsangan nyeri hingga sadar. R3 juga mengalami kejang selama

kurang lebih 2-3 detik. Setelah mengalami kejang, R3 tampak sedih dan

mengeluarkan air mata seperti menangis. Setelah 2 menit, R3 tampak ingin muntah

dan sedikit gelisah.

3.3 Tema dari Pengalaman Responden Sesudah Mendapatkan Terapi ECT.

3.3.1 Lemas, Pusing, dan Takut

Tema yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pasien gangguan jiwa sesudah

mendapatkan terapi ECT adalah mereka merasa tubuhnya lemas. Selaras dengan

teori yang menyatakan bahwa salah satu risiko efek samping pengobatan ECT

adalah risiko kesehatan dan fisik, termasuk reaksi negatif terhadap obat anestesi dan

obat relaksasi otot, komplikasi kardiovaskular, trauma fsik, nyeri,

ketidaknyamanan, kejang berkepanjangan dan kematian (Lawrence dalam Hapsari

dan Yitnamurti). Efek obat anestesi dan obat relaksasi otot menyebabkan tubuh

menjadi mual, muntah, lemas, merasa kantuk, sakit kepala, atau nyeri.

3.3.2 Mual

Tema lain yang diperoleh adalah mereka merasa mual. Selaras dengan teori yang

menyatakan bahwa terdapat berbagai efek samping sesudah pengobatan ECT. Salah

6

Page 11: PENGALAMAN FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS SAAT …eprints.ums.ac.id/68424/18/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Sampel

11

satunya efek samping ringan, seperti mual, muntah, sakit kepala, sakit rahang, sakit

otot, atau kejang otot. Hal tersebut biasanya tidak berbahaya jika dipantau secara

ketat (NAMI).

3.3.3 Merasa Kantuk dan Gelisah

Tema lainnya adalah mereka merasa kantuk. Selaras dengan teori yang menyatakan

bahwa pengawasan pasca ECT juga penting dilakukan karena pasien biasanya

masih belum sadar penuh. Kondisi vital akan kembali seperti semula yang

menyebabkan pasien merasa kantuk dan tertidur. Kadang-kadang pasien juga

menjadi gelisah (Zaeni, dkk, 2015).

3.3.4 Bingung

Tema lainnya adalah pasien merasa bingung. Menurut NAMI, efek samping yang

diakibatkan pengobatan ECT di antaranya kebingungan dan kehilangan memori

jangka pendek. Hal tersebut juga selaras dengan teori yang menyatakan bahwa

pasca ECT pasien biasanya bingung dan mengalami disorientasi bahkan amnesia.

Perlu distimulus dengan cara mengajak berkomunikasi sehingga membantu

memulihkan orientasi dan ingatan secara bertahap (Zaeni, dkk., 2015).

4. PENUTUP

4.1 Simpulan

Pengalaman fisiologis dan psikologis sebelum pasien gangguan jiwa mendapatkan

terapi Electroconvulsive Therapy (ECT) yaitu sudah terbiasa sehingga tidak takut

dan cemas, disuruh puasa, merasa tubuhnya disiksa, gelisah, takut, dan cemas.

Pengalaman fisiologis pasien gangguan jiwa pada saat mendapatkan terapi

Electroconvulsive Therapy (ECT) yaitu kejang otot yang berlangsung 2-3 detik.

Selain itu, pengalaman fisiologis yang dialami setiap pasien berbeda-beda, di

antaranya memberontak, ingin melepas alat, ingin muntah, mengeluarkan air mata,

dan terlihat sedih serta gelisah. Pengalaman fisiologis dan psikologis sesudah

pasien gangguan jiwa mendapatkan terapi Electroconvulsive Therapy (ECT) yaitu

lemas, mual, merasa kantuk, gelisah, pusing, bingung, dan takut.

7

Page 12: PENGALAMAN FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS SAAT …eprints.ums.ac.id/68424/18/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Sampel

12

4.2 Saran

Bagi tenaga kesehatan, sebaiknya tenaga kesehatan mengetahui secara spesifik

mengenai pengalaman fisiologis dan psikologis pada pasien gangguan jiwa

sebelum, saat, dan sesudah mendapatkan terapi Electroconvulsive Therapy (ECT).

Dengan demikian, tenaga kesehatan dapat mengetahui perasaan pasien serta dapat

memberikan rasa tenang dan nyaman kepada pasien sebelum, saat, dan sesudah

mendapatkan terapi ECT.

Bagi peneliti selanjutnya, sebaiknya dilakukan penelitian yang lebih lanjut dan

memperluas daerah penelitian, sehingga memperoleh informasi yang lebih luas dan

beraneka ragam, serta lebih spesifik.

DAFTAR PUSTAKA

Anindita. 2010. “Electro Convulsive Therapy”.

http://wwws.scribd.com/doc/37699083 /ECT, diunduh pada 15 Januari

2018, 20.05 WIB.

Dewi, Juwita, dkk. Jurnal. “Hubungan Frekuensi Pemberian Electro Convulsive

Therapy (ECT) terhadap Tingkat Kecemasan Pasien dengan Skizofrenia di

RS Jiwa Provinsi Bali.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/coping/article/download/ 5600/4250,

diunduh pada 15 Januari 2018, 19.00 WIB.

Hapsari, Dian Sita dan Suksmi Yitnamurti. Jurnal. “Terapi Elektro Konvulsi

(TEK)”. http://jornal.unair.ac.id/download-fullpapers-

psikiatrice993a721afull.pdf, diunduh pada 7 Februari 2018, 12.07 WIB.

Herdiansyah, H. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial.

Jakarta: Salemba Medika.

Lindsay & Schwind. 2016. “Arts-informed narrative inquiry as a practice

development methodology in mental health”. Canadian Journal of Nursing

Research, 48 (1), 14-20. https://doi.org/10.1177%2F0844562116652230,

diunduh pada 31 Oktober 2018, 08.06 WIB.

NAMI. 2011. Electroconvulsive Therapy (ECT). www.namihelps.org/

Electroconvulsive-Therapy.pdf, diunduh pada 7 Februari 2018, 20.30 WIB.

8

Page 13: PENGALAMAN FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS SAAT …eprints.ums.ac.id/68424/18/NASKAH PUBLIKASI.pdf · Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Sampel

13

Nandinanti, Ikky Nabila, Yaslinda Yaunin, dan Siti Nurhajjah. Jurnal. “Efek

Electro Convulsive Therapy (ECT) terhadap Daya Ingat Pasien Skizofrenia

di RSJ Prof. HB. Sa’anin Padang. Volume 4, Nomor 3.

journal.fk.unand.ac.id/index. php/jka/article/view/381, diunduh pada 16

Januari 2018, 15.30 WIB.

Roy, Sr. C. 2009. The Roy Adaptation Model. Upper Saddle River. NJ: Pearson

Pietkiewicz, I., & Smith, J. A. (2014). A practical guide to using interpretative

phenomenological analysis in qualitative research psychology. Czasopismo

Psychologiczne-Psychological Journal, 20, 1, 2014, 7-14.

DOI:10.14691/CPPJ.20.1.7.

Pratiwi, Arum dan Enita Dewi. 2016. Jurnal. “Reality Orientation Model for

Mental Disorder Patients Who Experienced Auditory Hallucinations”.

Jurnal INJEC Vol. 1 No. 1 Juni 2016: 82–89. Universitas Muhammadiyah

Surakarta.

Zaeni, Dimas M., dkk. 2015. Referat. “ECT (Electroconvulsive Therapy)”. SMF

Ilmu Kedokteran Jiwa RSUD Kota Subang, Fakultas Kesehatan Universitas

Yarsi.

9