PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

22
PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI ALTERNATIF PENANGANAN KEJAHATAN INTERNASIONAL Arie Siswanto Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Korespondensi: [email protected] Abstrak Sejak akhir Perang Dunia II, masyarakat internasional menyaksikan meningkatnya upaya serius untuk menanggulangi kejahatan internasional. Selain pengadilan pidana nasional dan mahkamah internasional murni, forum yang baru-baru ini digunakan untuk menangani kejahatan internasional adalah pengadilan hibrida yang telah dibentuk di beberapa negara seperti Kamboja, Sierra Leone dan Timor-Leste. Pengadilan hibrida tersebut dibentuk dengan latar belakang politik berbeda-beda, tetapi sebagai institusi yuridis, pembentukannya seyogianya didasarkan pada instrumen yuridis. Artikel ini mengidentifikasi ada tiga pola dalam pembentukan pengadilan hibrida, yaitu: pembentukan pengadilan hibrida atas dasar perjanjian antara PBB dan negara terkait, pembentukan pengadilan hibrida oleh PBB atau pemerintahan internasional dan pembentukan pengadilan hibrida oleh suatu negara yang kemudian memperoleh dukungan masyarakat internasional. Kata-kata Kunci: Pengadilan Hibrida; Kejahatan Internasional Abstract Since the end of World War II, the international community witnessed the increasingly serious efforts to deal with the international crimes. Besides the domestic criminal courts and purely international tribunals, the forum that is also recently used to handle international crimes is the hybrid courts that have been established in several places such as in Cambodia, Sierra Leone and Timor-Leste. Hybrid courts are established from different political backgrounds, but as a legal institution, its establishment was necessarily based on legal instruments. This paper identifies that there are three patterns in the formation of hybrid court, which are: the establishment of a hybrid court based on an agreement between the UN and the relevant state, the establishment of a hybrid court by the UN or international administration and the establishment of a hybrid court by a country which later gains greater international support. Keywords: Hybrid Courts; International Crimes 33

Transcript of PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

Page 1: PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAIALTERNATIF PENANGANAN

KEJAHATAN INTERNASIONAL

Arie SiswantoStaf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana

Korespondensi: [email protected]

Abstrak

Sejak akhir Perang Dunia II, masyarakat internasional menyaksikan meningkatnya upayaserius untuk menanggulangi kejahatan internasional. Selain pengadilan pidana nasionaldan mahkamah internasional murni, forum yang baru-baru ini digunakan untuk menanganikejahatan internasional adalah pengadilan hibrida yang telah dibentuk di beberapa negaraseperti Kamboja, Sierra Leone dan Timor-Leste. Pengadilan hibrida tersebut dibentukdengan latar belakang politik berbeda-beda, tetapi sebagai institusi yuridis,pembentukannya seyogianya didasarkan pada instrumen yuridis. Artikel inimengidentifikasi ada tiga pola dalam pembentukan pengadilan hibrida, yaitu: pembentukanpengadilan hibrida atas dasar perjanjian antara PBB dan negara terkait, pembentukanpengadilan hibrida oleh PBB atau pemerintahan internasional dan pembentukan pengadilanhibrida oleh suatu negara yang kemudian memperoleh dukungan masyarakat internasional.

Kata-kata Kunci: Pengadilan Hibrida; Kejahatan Internasional

Abstract

Since the end of World War II, the international community witnessed the increasinglyserious efforts to deal with the international crimes. Besides the domestic criminal courtsand purely international tribunals, the forum that is also recently used to handleinternational crimes is the hybrid courts that have been established in several places suchas in Cambodia, Sierra Leone and Timor-Leste. Hybrid courts are established from differentpolitical backgrounds, but as a legal institution, its establishment was necessarily basedon legal instruments. This paper identifies that there are three patterns in the formation ofhybrid court, which are: the establishment of a hybrid court based on an agreement betweenthe UN and the relevant state, the establishment of a hybrid court by the UN or internationaladministration and the establishment of a hybrid court by a country which later gainsgreater international support.

Keywords: Hybrid Courts; International Crimes

33

Page 2: PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

REFLEKSI HUKUM [Vol. 10, No. 1

PENDAHULUAN

Sejak berakhirnya Perang Dunia II,masyarakat internasional menyaksikanupaya-upaya yang semakin serius untukmenangani kejahatan internasional.Bermula dari Mahkamah MiliterInternasional Nurnberg dan Tokyo,gagasan untuk menghapuskanimpunitas bagi pelaku kejahatan-kejahatan internasional semakinmenemukan bentuknya.

Secara tradisional, ada dua forumpengadilan yang bisa diharapkan untukmenangani peristiwa kejahataninternasional, yaitu forum pengadilanpidana nasional dan forum pengadilan/mahkamah pidana yang bersifatinternasional seperti Mahkamah MiliterInternasional Nurnberg dan Tokyo,International Criminal Tribunal for theFormer Yugoslavia (ICTY), InternationalCriminal Tribunal for Rwanda (ICTR) danInternational Criminal Court (ICC).Namun, sejak era tahun 1990-an, duniajuga menyaksikan munculnya sebuahgenre baru pengadilan yang beradadalam ruang peralihan di antarapengadilan pidana domestik denganpengadilan/mahkamah pidana yang

murni bersifat internasional.

Saat ini ada beberapa pengadilanhibrida seperti itu, antara lain di SierraLeone, Kamboja, Timor Leste dan yangterakhir, di Lebanon. Pembentukanpengadilan-pengadilan hibrida tersebuttentu saja tidak lepas dari latar belakangdinamika politik. Namun, sebagaisebuah institusi hukum, pengadilan-pengadilan hibrida itu juga harus

dibentuk berdasarkan dasar-dasarhukum yang pasti. Dalam konteks itulahtulisan ini dimaksudkan untuk mengkajitentang bagaimana pola pembentukanpengadilan-pengadilan hibrida, dilihatdari dasar hukum pembentukannya.

Bagian awal dari tulisan inimengemukakan tentang konsepkejahatan internasional yang masukdalam kategori kewenangan pengadilan-pengadilan hibrida. Selanjutnya, akandikemukakan pula tentang kesulitan-kesulitan penanganan kejahataninternasional melalui mekanismetradisional (pengadilan pidana nasionaldan pengadilan/mahkamah yangbersifat internasional), yang berujungpada relevansi pengadilan hibrida.bagian akhir dari tulisan inimengungkapkan hasil kajian terhadapdokumen-dokumen hukum terkaitdengan pembentukan pengadilan-pengadilan hibrida, yang dimaksudkanuntuk memetakan pola-polapembentukan pengadilan hibrida.

PEMBAHASAN

Pengertian dan Latar BelakangPembentukan “Pengadilan Hibrida”

Sebelum membahas lebih lanjuttentang pengadilan hibrida, perludikemukakan terlebih dahulu uraiantentang kejahatan internasional. Uraianini penting mengingat bahwapengadilan-pengadilan hibrida sejauh inihanya dibentuk untuk menanganiperbuatan-perbuatan yangdikategorikan sebagai kejahataninternasional (international crimes).

34

Page 3: PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

2016] PENGADILAN HIBRIDA

Pengertian “kejahatan internasional”

Salah satu cabang di dalam rumpunhukum internasional publik yangmengalami perkembangan pesat selepasPerang Dunia II adalah hukum pidanainternasional. Perkembangan cabangilmu hukum ini ditandai olehpembentukan mahkamah-mahkamahpidana militer yang bersifat internasionaldi Nurnberg dan di Tokyo. MahkamahMiliter Internasional Nurnberg dibentukberdasarkan Piagam London tanggal 8Agustus 1945 dan dimaksudkan untukmengadili individu-individu yangdianggap paling bertanggungjawab atasterjadinya kejahatan-kejahatan beratyang dilakukan oleh rezim Nazi Jermanmenjelang dan selama berlangsungnyaPerang Dunia II. Sementara itu,Mahkamah Militer Internasional untukTimur Jauh yang dibentuk di Tokyosebagai implemantasi dari DeklarasiPostdam tanggal 26 Juli 1945 jugadilandasi oleh tujuan yang sama, yakniuntuk melakukan proses pemidanaanterhadap individu-individu dalam rezimKekaisaran Jepang yang dianggapbertanggungjawab melakukankejahatan-kejahatan serius dalamPerang Dunia II, khususnya di frontAsia-Pasifik.

Ada pro dan kontra berkaitandengan pembentukan dan aktivitasMahkamah Militer InternasionalNurnberg dan Tokyo. Mereka yang promenyatakan bahwa pembentukan kedualembaga pengadilan yang bersifatinternasional tersebut merupakansebuah langkah progresif untukmemastikan bahwa setiap orang yangdianggap bertanggungjawab melakukan

kejahatan-kejahatan serius yang terkaitdengan Perang Dunia II pada akhirnyamenerima konsekuensi hukum yangsetimpal, berupa penjatuhan pidana.Langkah ini dipandang progresif karenasecara tegas meninggalkan paradigmatradisional di dalam hukuminternasional yang sebelumnyamemfokuskan diri pada negara, bukanindividu, sebagai subyek hukum yangdapat dikenai konsekuensi hukum.Pandangan ini juga dirasa masuk akal,karena ada kesulitan-kesulitan yangdihadapi ketika proses hukum terhadappara pelaku kejahatan serius itu hendakdilakukan secara konservatif melaluimekanisme domestik. Satu hal yangjelas, sistem hukum domestik Jermandan Jepang yang sudah hancur ketikaitu dipandang tidak mungkin bisadimanfaatkan untuk mengadili parapelaku kejahatan berat, sehinggapembentukan sebuah pengadilan ad hocyang bersifat internasional dianggapsebagai langkah yang rasional. Di sisilain, mereka yang kontra terhadapkedua mahkamah tersebutmengemukakan argumen politis bahwakedua pengadilan yang memilikikarakteristik internasional tersebuthanya merupakan forum politis baginegara-negara pemenang perang untukmembalas dendam terhadap musuh-musuh mereka dengan cara yang elegan.bagi mereka yang kontra, proses yangberlangsung di mahkamah MiliterInternasional Nurnberg dan Tokyo tidaklebih dari sekedar sandiwara yang padaakhirnya bermuara pada penerapankeadilan retributif versi pemenangperang (victor’s justice).

35

Page 4: PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

REFLEKSI HUKUM [Vol. 10, No. 1

Terlepas dari pro dan kontra yangmuncul, tidak dapat dipungkiri bahwapembentukan kedua mahkamah militerinternasional di Nurnberg dan Tokyo itutelah memberikan kontribusi yang tidakkecil bagi perkembangan sebuah cabangilmu baru di bawah hukuminternasional, yaitu hukum pidanainternasional. Salah satu fondasi yangdiletakkan secara cukup kokoh olehmahkamah-mahkamah militerinternasional pasca-berakhirnya PerangDunia II tersebut adalah konseptualisasikejahatan internasional (internationalcrimes) sebagai perbuatan pidana yangmenjadi fokus utama hukum pidanainternasional. Pada masa MahkamahNurnberg, pada dasarnya ada tigakategori perbuatan yang digolongkansebagai kejahatan internasional, yaitukejahatan terhadap perdamaian (crimesagainst peace), kejahatan terhadapkemanusiaan (crimes against humanity)dan kejahatan perang (war crimes).Dalam perkembangannya, konsepkejahatan terhadap perdamaianmengerucut pada satu jenis kejahataninternasional yang sekarang disebutsebagai kejahatan agresi (crimes ofaggression), sedangkan kejahatanterhadap kemanusiaan kemudianterpecah menjadi dua kategori, karenagenosida sebagai suatu bentukkejahatan terhadap kemanusiaan yangbersifat khas dipandang sebagai satukategori tersendiri. Istilah ‘genosida’sendiri tidak ditemukan di dalam PiagamLondon 1945, karena istilah tersebutbaru ditemukan dan dipublikasikan

beberapa saat sebelumnya, yaitu padatahun 1944 oleh seorang ahli hukumberkebangsaan Yahudi Polandia yangbernama Raphael Lemkin.

Cakupan konsep kejahataninternasional perlu ditegaskan untukmembedakannya dengan kejahatantransnasional (transnational crimes) yangsekarang lebih sering dipakai untukmerujuk pada kejahatan menuruthukum pidana domestik yang memilikiaspek lintas-batas negara. Meskipunbeberapa sarjana pada awalnyamenganggap bahwa dua istilah tersebut(‘kejahatan internasional’ dan ‘kejahatantransnasional’) sama dan bisa salingmenggantikan, seiring dengankristalisasi konsep kejahataninternasional dalam kerangkaperkembangan disiplin hukum pidanainternasional kini istilah ‘kejahataninternasional’ sudah terdefinisikansecara lebih spesifik dan dibedakan dari‘kejahatan transnasional.’ Fenomena iniantara lain dikemukakan oleh RobertCryer yang mengatakan:

Until the establishment of theinternational courts and tribunals in the1990s, the concept of internationalcriminal law tended to be used to refer tothose parts of a state’s domestic criminallaw which deal with transnational crimes,that is, crimes with actual or potentialtransborder effects.1

Pembedaan antara hukum yangmengatur kejahatan transnasional danhukum yang mengatur kejahataninternasional ternyata juga tercermin

36

1 Robert Cryer, et.al., An Introduction to International Criminal Law and Procedure (CambridgeUniversity Press 2010) 5-6.

Page 5: PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

2016] PENGADILAN HIBRIDA

dalam istilah-istilah berbeda yangdipergunakan di berbagai negara.Sebagai contoh, dalam bahasa Jermandikenal istilah ‘völkerstrafrecht’ yangberbeda dari ‘internationales strafrecht’.Istilah ‘völkerstrafrecht’ dipergunakanuntuk makna yang sempit dari hukumpidana internasional, yang mencakupkejahatan-kejahatan berikut: (a) derVölkermord (genosida); (b) die Verbrechengegen die Menschlichkeit (kejahatanterhadap kemanusiaan); (c) dieKriegsverbrechen (kejahatan perang);dan (d) das Verbrechen der Aggresion(kejahatan agresi).2 Paralel dengan itu,dalam bahasa Perancis dikenal istilah‘droit international pénal’ yang berbedadari ‘droit pénal international’, dan dalambahasa Spanyol dikenal istilah ‘derechointernacional penal’ yang tidak samadengan ‘derecho penal internacional.’3

Sekarang, khususnya setelah tahun1990-an saat dua mahkamah kejahataninternasional ad hoc pasca-Nurnberg-Tokyo dibentuk (ICTY untuk bekasYugoslavia dan ICTR untuk Rwanda),konsep kejahatan internasionaldipahami secara luas mencakup empatjenis perbuatan, yaitu: genosida(genocide); kejahatan terhadapkemanusiaan (crimes against humanity);kejahatan perang (war crimes); kejahatanagresi (crimes of aggression). Keempatjenis perbuatan tersebut dikategorikansebagai kejahatan internasional karenasumber hukum bagi pengaturanterhadap perbuatan-perbuatan itu lebihdidominasi oleh sumber-sumber hukum

internasional, terutama perjanjianinternasional (international treaties),daripada sumber-sumber hukumnasional.

Meski demikian, kecuali untukkejahatan agresi, sesungguhnya inti darigenosida, kejahatan terhadapkemanusiaan dan kejahatan perang jugadapat ditemukan dalam sumber-sumberhukum nasional, khususnya dalamketentuan-ketentuan hukum pidanadomestik yang mengatur tentangpembunuhan dan penganiayaan. Tetapi,pembunuhan atau penganiayaan yangdilakukan dalam konteks kejahataninternasional harus dipandang sebagaikejahatan luar biasa (extra-ordinarycrimes) yang terkadang tidak memadaiuntuk ditangani oleh infrastrukturhukum nasional.

Penanganan Kejahatan Internasional

Hukum pidana nasional maupunhukum pidana internasional yangberfokus pada kejahatan internasionalsesungguhnya memiliki kesamaandalam hal keduanya menjadikanindividu sebagai subjek hukum yangdapat dimintai pertanggungjawabanatas perbuatan pidana yang dilakukan.Lebih lanjut, kalau individu menjadisubjek hukum pidana nasional danhukum pidana internasional, forummanakah yang kemudian berwenangmengadili seorang pelaku kejahataninternasional? Hal ini menjadi lebihrumit karena sebagian besar kejahataninternasional sebenarnya juga tercakup

37

2 Christina Möller, ‘Gerhard Werle, Völkerstrafrecht (International Criminal Law): Book Review’(2004) 5 German Law Journal 425, 427.

3 Robert Cryer, et.al., Op.Cit. 6.

Page 6: PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

REFLEKSI HUKUM [Vol. 10, No. 1

dalam pengaturan hukum pidananasional, baik melalui ratifikasi atasinstrumen hukum internasional yangrelevan, atau murni mucul dari ranahnorma hukum pidana domestik. Sebagaimisal, salah satu wujud dari genosidaadalah pembunuhan terhadapsekelompok orang atas dasar alasankesukuan, ras, agama atau kebangsaan.

Meski memiliki atribut elemen yangkhas, tindakan seseorang membunuhorang lain pada dasarnya sudahterakomodasi di dalam hukum pidanadomestik negara-negara dalam kategoritindak pidana pembunuhan (murder).Baik tindak pidana pembunuhandengan genosida yang berwujudpembunuhan atas sekelompok orangpada intinya memiliki elemen yangsama: penghilangan nyawa orang lain.Jika demikian, dapatkah pelakugenosida dalam bentuk pembunuhanterhadap sekelompok orang diadili didepan pengadilan nasional dan bukandi forum pengadilan internasional?

Pada dasarnya tidak tertutupkemungkinan bagi kejahataninternasional untuk diadili di depanpengadilan nasional. Namun, beberapacatatan penting perlu dikemukakan.Genosida, kejahatan terhadapkemanusiaan, kejahatan perang dankejahatan agresi dikategorikan sebagaikejahatan internasional karenakejahatan-kejahatan tersebut dianggapsebagai kejahatan yang paling serius,sehingga memerlukan langkah seriusdan luar biasa juga untuk mencegah danmenindak. Posisi ini tercermin secarajelas dalam konsiderans mukadimah

Statuta Roma 1998 yang menyebutkan:“…the most serious crimes of concern tothe international community as a wholemust not go unpunished and that theireffective prosecution must be ensured bytaking measures at the national level andby enhancing international cooperation.”Kutipan tersebut menunjukkan secarajelas bahwa penindakan terhadapkejahatan internasional dapat dilakukanpada ranah nasional, namun diperlukanjuga kerjasama internasional.

Dalam praktik, terkadang tidakmudah untuk mengandalkanmekanisme dan lembaga hukumnasional untuk menangani situasikejahatan internasional. Kejahataninternasional dapat dilakukan olehindividu yang secara politik memilikikekuasaan di suatu negara, sehinggapengadilan nasional yang diharapkanmenindak dan menangani kejahataninternasional yang dilakukan bisaberada dalam situasi tidak mampumelakukan fungsi yang diharapkan(expected role) yang semestinya. Kalauini dibiarkan, pelaku kejahataninternasional tentu saja akan menikmatikebebasan dari jangkauan hukum, yangdalam diskursus tentang Hak AsasiManusia dikenal dengan istilahimpunitas (impunity). Ketika hal tersebutterjadi, mekanisme internasionaldiperlukan guna memastikan agarpelaku kejahatan internasional tidakdibiarkan bebas tanpa tersentuhhukum.

Untuk membahas persoalan apakahnorma-norma hukum pidanainternasional (khususnya yang

38

Page 7: PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

2016] PENGADILAN HIBRIDA

berkaitan dengan kejahataninternasional), dapat diadili di forumpengadilan pidana nasional suatunegara, terlebih dahulu perludikemukakan apakah norma-normahukum pidana internasional terdapat didalam sistem norma hukum pidananasional dan dapat diterapkan olehpengadilan nasional. Pada dasarnya adadua kemungkinan terkait dengankeberadaan norma-norma hukumpidana internasional di dalam hukumnasional. Kemungkinan pertama,norma-norma hukum pidanainternasional ada dan menjadi bagiandari sistem hukum pidana nasional,karena suatu negara sudah meratifikasiinstrumen hukum internasional yangmengatur tentang kejahataninternasional. Kemungkinan kedua,tanpa secara formal meratifikasiperjanjian internasional, hukumnasional suatu negara mengembangkansendiri norma-norma hukum pidanainternasional.

Norma-norma hukum pidanainternasional dapat menjadi bagian darisistem norma hukum pidana nasionalnegara-negara melalui proses ratifikasi.Ratifikasi sendiri pada dasarnya adalahtindakan formal dari suatu negara untukmengikatkan diri pada sebuahperjanjian internasional. Melaluiratifikasi, suatu negara menunjukkanitikadnya untuk tunduk padakewajiban-kewajiban yang digariskandalam perjanjian internasional yangdiratifikasi. Dengan demikian, ketikasebuah perjanjian internasionalmenghendaki pemberlakuan norma-norma tertentu dalam lingkup jurisdiksihukum nasional negara yang telah

mengikatkan diri terhadap perjanjianinternasional, negara tersebut memilikikewajiban hukum untukmemberlakukan norma-norma hukumyang terkandung di dalam perjanjianinternasional. Oleh karena itu, ketikasuatu negara meratifikasi Statuta Roma1998, secara prinsip ia terikat padasubstansi norma-norma yang ada didalam Statuta Roma. Demikian jugahalnya dengan perjanjian-perjanjianinternasional lain yang berkaitan dengankejahatan internasional, sepertiGenocide Convention 1948 dan GenevaConventions 1949.

Di antara keempat jenis kejahataninternasional, genosida dan kejahatanperang yang sudah cukup baikterkodifikasi dalam perjanjianinternasional yang dapat diratifikasi olehnegara-negara. Sementara itu,kejahatan terhadap kemanusiaan dankejahatan agresi belum banyakterakomodasikan dalam instrumenhukum internasional yang memilikikekuatan mengikat. Hal ini wajar,mengingat bahwa genosida dankejahatan perang relatif telah mencapaikematangan konseptual dibandingkejahatan terhadap kemanusiaan dankejahatan agresi yang perkembangankonsepnya cenderung lambat.

Saat ini sudah ada 142 negara yangmenyatakan mengikatkan diri terhadapKonvensi Genosida 1948. Artikel 4Konvensi Genosida 1948 memuatketentuan bahwa setiap orang yangmelakukan genosida harus dihukum,biarpun mereka adalah pemimpin yangsecara konstitusional bertanggung

39

Page 8: PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

REFLEKSI HUKUM [Vol. 10, No. 1

jawab, pejabat publik ataupun individu.Melengkapi Artikel 4, Artikel 5 darikonvensi tersebut mewajibkan negara-negara pihak Konvensi Genosida 1948untuk membuat legislasi nasional yangdiperlukan untuk melaksanakanketentuan-ketentuan konvensi,khususnya untuk menghukum pelakugenosida. Ketentuan ini yang menjadipintu masuk bagi norma-norma hukumpidana internasional yang terdapat didalam perjanjian internasional untukmasuk ke dalam sistem norma hukumpidana nasional negara-negara yangterikat pada Konvensi Genosida 1948.Sebagian besar didorong oleh kewajibankonvensi, saat ini ada lebih dari 80negara yang sudah memiliki pengaturantentang genosida di dalam sistemhukum nasional mereka.4

Hal yang sama juga terjadi dengankejahatan perang yang sebagian besarbersumber dari Konvensi-konvensiJenewa 1949. Konvensi-konvensiJenewa 1949 antara lain memuatkewajiban agar negara-negara pihak darikonvensi-konvensi ini membuat legislasinasional guna memastikan bahwapelaku pelanggaran berat (gravebreaches) terhadap ketentuan-ketentuankonvensi dihukum atau diserahkankepada negara lain yang berwenang

mengadili dan menghukum.5 Ketentuaninilah yang menjadi titik-taut antaranorma hukum pidana internasional yangterkandung di dalam konvensiinternasional (Konvensi-konvensiJenewa 1949) dengan sistem hukumdomestik negara-negara.

Selain melalui ratifikasi atauinstrumen pengikatan diri lain,substansi norma-norma hukum pidanainternasional juga dapat terkandung didalam sistem norma hukum pidananasional karena hal lain. Suatu negaramemiliki kebebasan untukmengembangkan substansi normatifdalam sistem hukum nasional mereka,termasuk mengadopsi norma-normahukum negara lain atau norma hukuminternasional tanpa perlu meratifikasiinstrumen hukum internasional. Hal inimisalnya terjadi dengan Indonesia, yangdi satu sisi (ketika tulisan ini disusun)belum mengikatkan diri pada StatutaRoma 1998, namun di sisi lain sudahmemasukkan sebagian substansiStatuta Roma 1998 ke dalam hukumnasionalnya, yaitu dalam Pasal 8 danPasal 9 Undang-Undang No. 26 Tahun2000 tentang Pengadilan Hak AsasiManusia.6

Joseph Rikhof, penasehat seniorpada Crimes against Humanity and War

40

4 Anonim, ‘Implementing the Genocide Convention in Domestic Law’ <http://www.preventgenocide.org/law/domestic/> diakses 5 Agustus 2015.

5 Lihat Artikel 49 Konvensi Jenewa I, Artikel 50 Konvensi Jenewa II, Artikel 129 Konvensi JenewaIII, dan Artikel 146 Konvensi Jenewa IV. Secara konseptual sebenarnya ada perbedaan antara“kejahatan perang” dengan “pelanggaran berat terhadap Konvensi-konvensi Jenewa 1949.”Kejahatan perang sejak awal muncul dalam ranah norma-norma hukum internasional,sementara “pelanggaran berat” cenderung diserahkan kepada jurisdiksi nasional berdasarkanKonvensi-konvensi Jenewa 1949. Namun, dalam Artikel 85 (5) Protokol Tambahan I (1977),ditegaskan bahwa pelanggaran berat termasuk kejahatan perang. Lihat Marko Divac Öberg,‘The Absorption of Grave Breaches Into War Crimes Law’ (2009) 91 International Review of theRed Cross 163, 163 dan 167.

Page 9: PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

2016] PENGADILAN HIBRIDA

Section Departemen Kehakiman Kanadamengemukakan ada 4 pola dalampraktik negara-negara untukmenerapkan jurisdiksinya terhadapindividu-individu yang dianggapmelakukan pelanggaran berat, termasukkejahatan internasional. Pertama, suatunegara dapat menerapkan prinsipjurisdiksi ekstrateritorial yangdigabungkan dengan norma substantiftindak pidana umum (misalnyapembunuhan, penganiayaan) dankemudian disertai dengan pemidanaanyang diperberat. Jadi, dalam polapertama ini negara mengandalkannorma hukum pidana nasional umumyang dikombinasikan denganpemberatan pidana untuk diterapkanpada kejahatan internasional. Sebagaicontoh, terhadap pelaku genosida dapatditerapkan pasal hukum pidana umumtentang pembunuhan, yang kemudiandisertai dengan penjatuhan pidana yanglebih berat daripada sekedarpembunuhan biasa. Pola ini antara laindipergunakan oleh Denmark danNorwegia.7

Pola kedua disebut sebagai“implementasi statis.” Menurut pola ini,norma hukum nasional mengutip ulangrumusan kejahatan internasional yangada di dalam instrumen hukuminternasional (Statuta Roma 1998). Ada3 variasi untuk pola ini. Pertama, hukumnasional mengutip secara persisrumusan yang ada di dalam instrumenhukum internasional (Inggris, Malta,

Yordania). Kedua, hukum nasional tidaksecara lengkap mengutip formulasiredaksional instrumen hukuminternasional, melainkan hanya merujukpada instrumen hukum internasionalyang relevan (Selandia Baru, AfrikaSelatan, Uganda, Kenya). Ketiga, hukumnasional tidak hanya mengutipketentuan yang ada di dalam instrumenhukum internasional, melainkanmengutip pula penjelasan yang lebihrinci yang ada di dalam dokumenpelengkap instrumen hukuminternasional, misalnya dokumen“Element of Crimes” yang melengkapiStatuta Roma 1998 (Australia).

Pola ketiga, yang oleh Joseph Rikhofdisebut sebagai “model dinamis,”merujuk pada mekanisme di manaketentuan-ketentuan yang ada di dalaminstrumen hukum internasionaldiformulasikan ulang dalam sistemhukum pidana nasional dengan tujuanuntuk memperjelas konsep-konsepdalam instrumen hukum internasionalyang dianggap kabur. Pola ini antara lainditerapkan oleh Jerman, Belanda,Uruguay, Argentina dan Ekuador.

Pola keempat, yang juga disebutsebagai “model hibrida” antara laindianut oleh Kanada, Costa Rica danFinlandia. Berdasarkan pola ini, hukumpidana nasional menguraikan sebagiantindak pidana yang termasuk kejahataninternasional, namun untuk sebagian

41

6 Pasal 8 mengatur tentang genosida, sedangkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun2000 tentang Pengadilan HAM mengatur tentang kejahatan terhadap kemanusiaan.

7 Joseph Rikhof, ‘Fewer Places to Hide? The Impact of Domestic War Crimes Prosecutions onInternational Impunity’ (unpublished paper, ttp., tth.) 9.

Page 10: PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

REFLEKSI HUKUM [Vol. 10, No. 1

lagi hukum pidana nasional hanyamerujuk pada instrumen hukuminternasional.8

Dengan pola-pola seperti itu, padadasarnya pengadilan nasional negara-negara memiliki kapabilitas untukmenangani perkara-perkara yangbersubstansi kejahatan internasional.Meskipun demikian, sulit untukmemungkiri kenyataan bahwa dalamkasus-kasus tertentu, penegakannorma-norma hukum pidanainternasional melalui forum pengadilannasional terkadang mengalamihambatan yang tidak mudah,khususnya kalau kejahatan itudilakukan oleh figur-figur yang secarafaktual masih memiliki kekuasaanpolitik atau militer, atau terafiliasidengan kekuasaan politik atau militerdi suatu negara. Ketika penegakanhukum di forum pengadilan nasionalmenghadapi situasi seperti itu, adaberbagai pertimbangan (terutamapertimbangan politik) yang kemudianbermuara pada ketidakmampuan(inability) atau ketidakmauan(unwillingness) pengadilan nasional.Hambatan ini bisa berupa kekuatirantentang independensi hakim, kesulitanuntuk mendapatkan saksi dan bukti,sampai bayang-bayang kerusuhan danperang saudara.

Pada saat tulisan ini disusun, terjadisebuah perkara hukum yang menarikdi Guatemala, yang bisa membantumemberikan ilustrasi yang lebih jelastentang kendala-kendala legal maupunekstra legal yang dapat menghambat

penegakan hukum terhadap pelakukejahatan internasional denganmenggunakan sistem hukum nasional.Perkara tersebut melibatkan EfrainRioss Mont, mantan presidenGuatemala. Rios Montt adalah seorangjenderal angkatan darat Guatemala yangmenjadi penguasa Guatemala melaluikudeta militer pada tanggal 23 Maret1982. Untuk menghadapi kelompokgerilyawan yang menentangnya, RiosMontt menggunakan kekerasan danmenerapkan prinsip Frijoles y Fusiles(secara harafiah berarti “senapan dankacang.” Berdasarkan prinsip ini, Monttakan memberikan makanan bagikelompok masyarakat yangmembantunya melawan pemberontak,dan akan menindas kelompok yangmembantu gerilyawan. Kelompok IndianMaya Ixil secara khusus mengalamipenindasan secara kejam karenakelompok ini disangka seringmemberikan perlindungan dan bantuanbagi gerilyawan. Operasi militer melawangerilyawan ini menyebabkan hancurnyaratusan desa, dan bahkan dalam satukejadian, kurang lebih 250 warga sipiltewas. Secara keseluruhan, ribuanpenduduk sipil tewas semasa Monttmemegang kekuasaan de facto diGuatemala. Satu tahun berikutnya, iaganti dikudeta oleh Óscar HumbertoMejía Victores, Menteri Pertahanannyasendiri.

Sejak tahun 2007 Montt menjadianggota kongres Guatemala dan karenajabatannya itu ia menikmati kekebalanhukum. Ketika jabatannya sebagai

42

8 Ibid. 9-11.

Page 11: PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

2016] PENGADILAN HIBRIDA

anggota kongres berakhir pada tanggal14 januari 2012, ia juga kehilanganimunitas hukumnya. Pada tanggal 26Januari 2012 ia secara resmi didakwamelakukan genosida dan kejahatanterhadap kemanusiaan yang terjadi saatia memegang kekuasaan pada tahun1982-1983.9 Selanjutnya pemeriksaan dipengadilan mulai diselenggarakan padatanggal 19 Maret 2013, namun padatanggal 19 April 2013 Mahkamah AgungGuatemala mengeluarkan perintah agarpemeriksaan pengadilan ditunda.Perintah tersebut dikeluarkan atas dasarpermintaan Otto Perez Molina, PresidenGuatemala petahana, setelah namanyadisebut-sebut dalam kesaksianpengadilan sebagai orang yang jugaturut serta dalam kekejaman yangdilakukan rezim Rios Montt. Mengingatsebagai presiden petahana Otto PerezMolina memiliki kekebalan (imunitas),hakim memerintahkan agar prosespersidangan diulangi lagi dari prosesyang sudah terjadi pada bulan November2011, tanpa melibatkan Molina.

Pada tanggal 10 Mei 2013, RiosMontt dinyatakan bersalah melakukangenosida serta kejahatan terhadapkemanusiaan dan dijatuhi pidanapenjara selama 80 tahun. Ia menjadimantan kepala negara pertama yangdijatuhi pidana di negaranya sendirikarena dakwaan genosida. Namun, padatanggal 20 Mei 2013 MahkamahKonstitusi Guatemala membatalkanputusan tersebut. Mahkamah KonstitusiGuatemala membatalkan putusan itu

terkait dengan ketidaksepakatan diantara para hakim pada bulan April2013 tentang forum pengadilan yangberwenang mengadili perkara Montt.10

Putusan Mahkamah KonstitusiGuatemala ini menuai banyak kritikpedas dari pihak-pihak yangmenganggap bahwa putusan tersebuthanyalah upaya untuk meloloskanMontt dari jerat pidana.

Perkara Rios Montt jelas memilikiimplikasi politik. Ketika tindakan yangdidakwakan kepada Rios Montt terjadi,Presiden Guatemala petahana, OttoPerez Molina, adalah seorang mayorangkatan darat di wilayah Indian MayaIxil. Posisi ini tentu memunculkan isupolitik yang kental. Bagaimanapun,selain masih menikmati kekebalansementara sebagai presiden, Otto PerezMolina sendiri selaku purnawirawanperwira tinggi angkatan bersenjataGuatemala masih memiliki kekuasaandan pengaruh yang kuat dalam politikGuatemala. Dalam kaitan ini, NaomiRoht-Arriaza, seorang guru besarhukum dari University of Californiamencatat bahwa pendakwaan atas RiosMontt telah menimbulkan polarisasipolitik di Guatemala. Kelompokpurnawirawan perwira militerGuatemala menuduh bahwa dakwaantersebut merupakan hasil konspirasipolitik gereja, pemerintah AS dannegara-negara Eropa. Tuduhan tersebutjuga diikuti ancaman dari organisasi-organisasi swasta yang menentang

43

9 Kate Doyle, ‘Justice in Guatemala’ (2012) 45 NACLA Report on the Americas 37, 37.10 ‘Guatemala’s Top Court Annuls Rios Montt Genocide Conviction’ (Reuters, 21 Mei 2013).

Page 12: PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

proses hukum terhadap Montt untukmelumpuhkan pemerintah.11

Kasus Guatemala di atas secara jelasmenunjukkan bahwa dalam situasitertentu pengadilan nasional tidak dapatdiandalkan untuk menegakkan norma-norma hukum pidana internasional.Perangkat hukum dan pengadilannasional juga dapat terjebak dalamsituasi ketidakmampuan (unability),misalnya dalam kasus di mana suatunegara mengalami kehancuraninstitusional yang juga merusakkaninstitusi-institusi penegak hukumnya.Situasi seperti ini misalnya terjadidengan Jerman setelah negara inimengalami kehancuran dalam PerangDunia II.

Selain ketidakmampuan yangbersifat objektif, pengadilan nasionalsuatu negara juga secara subjektif dapatmerefleksikan keengganan atau bahkanketidakmauan (unwillingness) untukmengadili pelaku kejahataninternasional. Kasus Rios Montt dapatdikategorikan dalam kondisi ini, karenameskipun proses pengadilan digelar,namun di dalamnya ada manuver-manuver hukum yang merefleksikankeengganan pengadilan untukmemeriksa dan menjatuhkan pidanaterhadap tersangka. Keenggananpengadilan nasional untuk mengadilidapat tampak dari absennya inisiatifnegara (aparat penegak hukum) untukmemulai prosekusi. Namun, ada pulabentuk lain keengganan pengadilanuntuk mengadili pelaku kejahatan

internasional, yakni dengan melakukanposes pengadilan “setengah hati” yangtidak benar-benar dimaksudkan untukmenghasilkan keadilan, melainkanhanya untuk membangun citra positifpemerintah.

Kekurangan dalan pengadilannasional yang berupa inability maupununwillingness ini yang juga menjadialasan bagi munculnya penegakanhukum pidana internasional alternatif,yaitu melalui pengadilan-pengadilanhibrida dan pengadilan internasional.Namun, harus diakui bahwapembentukan pengadilan/mahkamahyang murni memiliki karakteristikinternasional tidaklah mudah. Selainmembutuhkan biaya yang tidak sedikit,konstelasi politik internasional juga bisamenjadi hambatan serius bagiterwujudnya mahkamah kejahatan yangbersifat internasional. Oleh karena itu,pembentukan pengadilan-pengadilanhibrida merupakan sebuah alternatifyang sebenarnya juga bisa ditempuhuntuk menegakkan hukum dalamkasus-kasus kejahatan internasional.

Dasar Pembentukan “PengadilanHibrida”

Pengertian Pengadilan Hibrida

Pada akhir dasawarsa 1990-andunia menyaksikan munculnyalembaga-lembaga pengadilan kriminalyang dikategorikan sebagai pengadilanhibrida (hybrid courts), yang disebutsebagai pengadilan internasionalgenerasi ketiga setelah Mahkamah

REFLEKSI HUKUM [Vol. 10, No. 144

11 American Society of International Law – ASIL, ‘Genocide and War Crimes in National Courts:the Conviction of Rios Montt in Guatemala and its Aftermath’ (2013) 17 Insight.

Page 13: PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

Militer Internasional Nurnberg danTokyo (generasi pertama) serta ICTY danICTR (generasi kedua).

Istilah “pengadilan hibrida”dipergunakan untuk menunjuk padalembaga-lembaga pengadilan yangmelibatkan unsur-unsur nasionalmaupun internasional di dalampenyusunan, struktur dan fungsinyaserta dalam penerapan hukum danprosedur pengadilan.12 Pengadilanhibrida jelas berbeda dari pengadilannasional, karena secara eksplisit iamengandung elemen internasional yangbisa berada pada struktur ataufungsinya. Ia juga berbeda daripengadilan-pengadilan internasionalkarena ia mengakomodasikan elemen-elemen hukum atau struktur hukumnasional di dalamnya. Hingga saat inisetidaknya ada 6 pengadilan yang dapatdigolongkan sebagai pengadilan hibrida,yaitu:

a. The Serious Crimes Panels of theDistrict Court of Dili (Timor Leste).

b. War Crimes Chamber in the StateCourt of Bosnia and Herzegovina),(Bosnia-Herzegovina).

c. “Regulation 64” Panels in the Courtsof Kosovo (Kosovo).

d. The Extraordinary Chambers in theCourts of Cambodia (Kamboja).

e. The Special Court for Sierra Leone(Sierra Leone).

f. Special Tribunal for Lebanon(Lebanon).

Ada beberapa faktor yangmelatarbelakangi pembentukanpengadilan-pengadilan hibrida. Pertama-tama, kebutuhan pembentukanpengadilan-pengadilan hibrida pastidilatarbelakangi oleh situasi yangmemunculkan anggapan bahwapengadilan nasional tidak dapatberfungsi secara ideal dalam kontekspenegakan norma-norma hukum pidanainternasional. Hal ini logis, mengingatbahwa ketika mekanisme hukumnasional dapat menjalankan fungsinyasecara baik di dalam meresponskejahatan internasional dalam cakupanjurisdiksi mereka, pastilah forumpenegakan hukum lain sepertipengadilan hibrida tidak diperlukan.

Seperti sudah dikemukakan, dalamkeadaan tertentu pengadilan nasionaltidak dapat diandalkan untukmerespons kejahatan internasionalsecara patut. Ada kalanya pengadilannasional mengalami ketidakmampuanberfungsi ketika ia mengalamikerusakan struktur dan sistem.Kerusakan struktur dan sistempengadilan nasional dapat terjadi pascasuatu negara dilanda konflik yangserius. Konflik bersenjata yangmengikuti peristiwa pecahnya(dismemberment) negara Yugoslaviapada paruh pertama dekade 1990-anmerupakan salah satu contoh yangmenunjukkan bagaimana strukturpengadilan nasional tidak dapat lagidiandalkan. Demikian juga halnya

2016] PENGADILAN HIBRIDA 45

12 Kai Ambos dan Mohammed Othman, dikutip dalam Eileen Skinnider, ‘Experiences and Lessonsfrom “Hybrid” Tribunals: Sierra Leone, East Timor and Cambodia’ (Symposium on theInternational Criminal Court, Beijing, Pebruari 2007) 1.

Page 14: PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

dengan situasi perang saudara diRwanda yang mengakibatkan tidakdapat berfungsinya pengadilan nasional.Hal yang sama juga terjadi dengan SierraLeone dan Timor Leste yang pengadilannasionalnya tidak mampu menjalankanfungsi sebagaimana mestinya karenakeruntuhan struktur dan sistemnya.

Struktur dan sistem yang masihrelatif utuh pun tidak selalu menjaminbahwa pengadilan nasional akanmenjalankan fungsi sebagaimanadiharapkan di dalam meresponskejahatan internasional. Kondisiketidakmauan (unwillingness) ini dapat

terjadi ketika pelaku kejahataninternasional yan harus diproses secarahukum di pengadilan nasional adalahfigur yang berkuasa, baik secara politikmaupun secara militer. Untuk keadaanseperti ini prosekusi pelaku kejahataninternasional oleh pengadilan nasionalsebenarnya dimungkinkan, namunpengadilan nasional secara subjektifmemilih untuk tidak melakukanprosekusi karena alasan-alasan tertentuyang umumnya berkaitan dengan faktor

politik.

Dalam keadaan di mana sistempengadilan nasional tidak dapatdiandalkan untuk melakukanpenegakan hukum terhadap pelakukejahatan internasional, salah satualternatif yang dapat ditempuh untukmencegah terjadinya impunitas adalahdengan membentuk pengadilan kriminalyang bersifat internasional sepertihalnya Mahkamah Militer Internasional

Nurnberg, Mahkamah MiliterInternasional Tokyo, ICTY dan ICTR.Namun, pembentukan mahkamah-mahkamah yang bersifat internasionaltersebut juga membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu. Secara praktis,pembentukan dan operasionalisasimahkamah yang bersifat internasionalmerupakan sebuah pekerjaan besaryang tidak selalu dapat dilakukandengan mudah. Tentang ini Cryermengatakan:

There are various reasons for avoidingresort to a new international tribunal.International institutions like the ICTYand the ICTR tend to be large andexpensive; calls for similar tribunals havebeen unsuccessful. Their capacity islimited to a few cases and they havehitherto ben located away from the Statein question for security or otherreasons.13 13

Selain kesulitan yang bersifat praktis,pembentukan mahkamah yang bersifatinternasional juga dapat memunculkankesan bahwa pengadilan nasional tidakdianggap berkepentingan dengan prosesprosekusi pelaku kejahataninternasional. Penjatuhan pidana yangdilakukan oleh mahkamah pidana yangbersifat internasional bisa jadi justruakan dianggap sebagai putusan yangarbitrer.

Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut, salah satu alternatiflain yang dapat diambil adalahmembentuk pengadilan hibrida, yangmenggabungkan aspek-aspek positif

REFLEKSI HUKUM [Vol. 10, No. 146

13 Robert Cryer, et.al., Op.Cit. 181.

Page 15: PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

dari pengadilan pidana nasional danpengadilan pidana internasional. Atasdasar itu, tujuan utama yang hendakdicapai oleh pengadilan-pengadilanhibrida pada hakikatnya adalahmewujudkan perdamaian dan keadilanberdasarkan standar hukuminternasional dengan cara mengakhiriimpunitas bagi pelaku kejahataninternasional, melalui keterlibatankomponen-komponen hukum nasional.Tujuan tersebut antara lain tercerminsecara cukup jelas dalam konsideransResolusi Dewan Keamanan PBB No.1315 (2000) yang memandatkanpembentukan pengadilan hibrida diSierra Leone, yang pada satu bagianberbunyi:

… Recognizing that, in the particularcircumstances of Sierra Leone, a crediblesystem of justice and accountability forthe very serious crimes committed therewould end impunity and would contributeto the process of national reconciliationand to the restoration and maintenanceof peace…

Dengan kalimat yang berbeda, Martin-Ortega & Herman mengatakan bahwa:

[h]ybrid tribunals fulfil one of the mostimportant goals of transitional justice; toachieve justice after conflict through theprosecution of the perpetrators of the mostserious violations of human rights. Theyalso have the potential to interact withpeacebuilding activities, particularly thepromotion of rule of law and reform of thejudicial sector and the justice system asa whole.14

Memang, khususnya di daerah-daerahyang baru berada dalam masa transisipasca-konflik, ada kebutuhan yang unik

di dalam merespons kejahatan-kejahatan berat yang terjadi semasakonflik masih berkecamuk. Di satu sisi,ada kebutuhan untuk mempertahankansituasi damai yang sudah terwujud. Disisi yang lain, ada pula kebutuhanuntuk mewujudkan keadilan melaluiprosekusi terhadap mereka yangmelakukan kejahatan-kejahatan beratsemasa terjadi konflik.

Dua kepentingan yang berbeda initidak selalu dapat berjalan beriringan.Kebutuhan untuk menjaga perdamaianpasca-konflik sering kali dapat dipenuhihanya dengan mengabaikan keadilandan melupakan pemidanaan terhadappara pelaku kejahatan erat di masa lalu,karena penegakan hukum terhadapmereka mengandung risiko meletupnyakembali konflik yang sudah mereda.Sebaliknya, pengutamaan keadilanmelalui penegakan hukum terhadappara pelaku kejahatan berat juga dapatmengorbankan kondisi damai yangbarang kali berhasil dicapai dengan carayang tidak mudah.

Situasi yang dikenal dengan istilah“peace – justice dilemma” ini memangtidak menghendaki pendekatan yangterlalu kaku dan didominasi oleh salahsatu kepentingan. Situasi seperti inimemerlukan penanganan komprehensifyang umumnya dikemas dalam upaya-upaya “peacebuilding”. Dalam kerangkainilah, pengadilan hibrida memilikikarakteristik yang kompatibel denganupaya-upaya peacebuilding karenabeberapa alasan. Pertama, pengadilan

2016] PENGADILAN HIBRIDA 47

14 Olga Martin-Ortega dan Johanna Herman, ‘Hybrid Tribunals & the Rule of Law: Notes fromBosnia & Herzegovina & Cambodia’ (2010) 7 JAD-PbP Working Paper Series 6.

Page 16: PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

hibrida jelas pada dasarnya memberikanperan bagi sistem hukum nasionalnegara untuk ikut andil dalam prosesmewujudkan keadilan. Keterlibatankomponen sistem hukum nasionaldalam aktivitas penegakan hukum padagilirannya akan mengembalikankepercayaan diri dan kewibawaan sistemhukum nasional yang mengarah padapenguatan sistem hukum yangbersangkutan. Kedua, dalam situasitransisional pasca-konflik, tidak jarangpengadilan nasional terseret ke dalampusaran politik yang dapat mendistorsifungsi pengadilan selaku pemberikeadilan (justice dispenser). Ia bisaterdeviasi pada dua kutub pilihan yangberbeda, yakni menghukum ringanpelaku kejahatan berat (atau bahkanmembebaskan tersangka pelaku), atausebaliknya, ia juga bisa berubah menjadiajang balas dendam terhadap merekayang pernah melakukan kejahatan beratsemasa konflik. Dalam dua situasi iniobjektivitas pengadilan lah yang menjadiisu sentral. Namun, objektivitaspengadilan akan lebih dapat dijagamanakala ada komponen internasionalyang turut terlibat dalam prosespenegakan hukum dalam wujudpengadilan hibrida.

Pola-pola Pembentukan PengadilanHibrida

Meskipun pada intinya dalam setiappengadilan hibrida dapat ditemukancampuran antara elemen sistempengadilan nasional dan elemen sistempengadilan internasional, latar belakangdan dasar hukum pembentukanpengadilan-pengadilan hibrida berbeda.

Dari sisi latar belakang, beberapapengadilan hibrida muncul dari situasikonflik sipil yang disertai olehpenindasan oleh penguasa, seperti diSierra Leone dan Kamboja. Sementaraitu, pengadilan hibrida di Bosnia-Herzegovina, Kosovo dan Timor Lestedilatarbelakangi oleh konflik untukmemerdekakan diri, dan pengadilanhibrida di Lebanon dibentuk sebagairespons atas pembunuhan politik yangberpotensi mengganggu keamanan danperdamaian regional.

Selain latar belakang politik yangberbeda-beda, dasar hukum bagipembentukan pengadilan-pengadilanhibrida juga berlainan. Dilihat dari dasarhukum pembentukannya, dapatdiidentifikasi adanya tiga kategoripengadilan hibrida, yaitu pengadilanhibrida yang dibentuk berdasarkanperjanjian antara PBB dengan negara,pengadilan hibrida yang dibentuk olehPBB atau pemerintahan internasional(international administration) di suatunegara, dan pengadilan hibrida yangdibentuk oleh suatu negara namunmendapatkan dukungan internasional.

Pengadilan Hibrida yang DibentukBerdasarkan Perjanjian antara PBBdengan Negara

Salah satu dasar hukumpembentukan pengadilan hibrida adalahperjanjian antara PBB dengan negaratertentu. Ada tiga pengadilan hibridayang dibentuk dengan dasar perjanjianinternasional semacam ini, yaitu theExtraordinary Chambers in the Courts ofCambodia, Special Court for Sierra Leone,dan Special Tribunal for Lebanon.

REFLEKSI HUKUM [Vol. 10, No. 148

Page 17: PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

The Extraordinary Chambers in theCourts of Cambodia dibentukberdasarkan perjanjian antarapemerintah Kerajaan Kamboja denganPBB pada tanggal 6 Juni 2003.Kesepakatan itu merupakan ujung dariproses panjang yang dimulai pada tahun1997 ketika Perdana Menteri BersamaKamboja mengirimkan surat kepadaSekjen PBB untuk meminta bantuan didalam membentuk sebuah pengadilanyang untuk mengadili pemimpin-pemimpin Khmer Merah yang dianggapbertanggungjawab atas berbagaikekejaman yang dilakukan selamaKhmer Merah memegang kekuasaan dinegara itu antara 1975-1979. Padabulan Maret tahun 2006, Sekjen PBBmenunjuk 7 orang hakim untukmenjalankan fungsi mengadili pucukpimpinan tertinggi rezim Khmer Merah.Dua bulan berikutnya pemerintahKamboja memberitahukan bahwalembaga judisial negara itu telahmenyetujui penunjukan 30 hakimKamboja dan hakim PBB untuk yangkemudian diambil sumpahnya padabulan Juli 2006.

Hingga kini the ExtraordinaryChambers in the Courts of Cambodiatelah memeriksa dan mengadili limapetinggi Khmer Merah yang didakwamelakukan berbagai kejahataninternasional (genosida, kejahatanterhadap kemanusiaan dan kejahatanperang) dan juga tindak pidanaberdasarkan hukum Kamboja, yaituKang Kek Iew, Nuon Chea, KhieuShampan, Ieng Sary dan Ieng Thirith.

Special Court for Sierra Leonedibentuk untuk merespons pelanggaranHAM berat dan kejahatan internasionalyang terjadi di Sierre Leone (Afrika Barat)sejak awal dekade 1990-an. Ketika itu,Sierra Leone dilanda perang saudaraketika pemberontak Revolutionary UnitedFront (RUF) yang antipemerintah masukke Sierra Leone dari negara tetangganya,Liberia. Pelanggaran-pelanggaran seriusdilakukan oleh pihak-pihak yangbertikai, namun salah satu karakteristikyang menonjol dari perang saudara diSierra Leone ini adalah maraknyapenggunaan tentara anak-anak dantindakan mutilasi terhadap penduduksipil. Perang saudara itu sendiridinyatakan resmi berakhir pada tahun2002 setelah Inggris dan pasukan PBBmelakukan intervensi.

Pada tanggal 12 Juni tahun 2000,Presiden Sierra Leone, Ahmad TejanKabbah bersurat kepada Sekjen PBBsaat itu, Kofi Annan, untuk memintaagar masyarakat internasionalmembantu mengadili mereka yangdisangka melakukan berbagaikekejaman selama berlangsungnyaperang saudara di Liberia. Sebagaitindak lanjut dari proses tersebut, padabulan Agustus tahun 2000 DewanKeamanan PBB mengeluarkan ResolusiNo. 1315 (2000) yang antara lainmemberikan mandat kepada Sekjen PBBuntuk memulai pembicaraan tentangpembentukan pengadilan khusus gunamenangani kejahatan internasional diSierra Leone khususnya yang berupakejahatan kemanusiaan, kejahatanperang dan pelanggaran berat terhadaphukum humaniter internasional dan

2016] PENGADILAN HIBRIDA 49

Page 18: PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

juga kejahatan lain di bawah hukumSierra Leone, yang dilakukan di wilayahSierra Leone.15

Pada tanggal 16 Januari 2002,Sekjen PBB dan pemerintah Sierra Leonemenandatangani perjanjianpembentukan pengadilan khusus untukSierra Leone. Oleh Sekjen PBB SpecialCourt for Sierra Leone itu disebut sebagai“a treaty-based sui generis court of mixedjurisdiction and composition.”16 Sesuaidengan sistem ketatanegaraan SierraLeone, negara itu kemudian meratifikasiperjanjian internasional tersebut danSpecial Court for Sierra Leone mulaiberoperasi sejak Juli 2002.

Pada tanggal 14 Pebruari 2005 RafiqHariri, Perdana menteri Lebanon saatitu, tewas terbunuh. Terhadap peristiwatersebut Dewan Keamanan PBBmembentuk sebuah komisi untukmembantu pemerintah Lebanonmengusut pembunuhan tersebut,termasuk mengungkap dugaanketerlibatan Syria, negara tetanggaLebanon. Lebanon kemudian memohonagar dientuk pengadilan internasional,dan Sekjen PBB ditugasi oleh DewanKeamanan untuk berunding denganLebanon tentang kemungkinanpembentukan sebuah pengadilan yangmemiliki sifat internasional. Sekjen PBBkemudian menyiapkan sebuahrancangan naskah perjanjianpembentukan pengadilan sebagaimanadimaksud, yang dilengkapi denganstatutanya. Meskipun pengadilan

khusus untuk Lebanon ini dibentukdengan cara yang hampir sama denganpengadilan hibrida di Sierra Leone danKamboja, perlu dikemukakan bahwa iatidak memiliki jurisdiksi atas kejahataninternasional (international crimes),melainkan hanya memiliki jurisdiksiyang terfokus pada peristiwapembunuhan Hariri dan peristiwaserupa yang berkaitan. Oleh karena itu,pengadilan hibrida Lebanon ini tidakterlalu relevan dengan pembahasantentang penegakan hukum pidanainternasional.

Pengadilan Hibrida yang Dibentuk olehPBB atau Pemerintahan Internasional(International Administration)

Selain dibentuk berdasarkanperjanjian internasional antara PBBdengan negara, pengadilan hibrida jugadapat dibentuk tanpa terlalu banyakmelibatkan negara di mana pengadilanhibrida tersebut relevan. Langkah iniditempuh mengingat bahwa negara yangbersangkutan mengalami konflik yangsedemikian parah, sehinggamemerlukan kehadiran organinternasional untuk menjalankan fungsipemerintahan sementara. Hal inimisalnya terjadi di Kosovo, Timor Lestedan Bosnia-Herzegovina.

Kosovo adalah nama sebuah daerahotonom yang berada di bawah RepublikSerbia, salah satu negara bagianRepublik Federasi Yugoslavia. Meskiberada di bawah Republik Serbia,mayoritas etnis di Kosovo adalah Albania

REFLEKSI HUKUM [Vol. 10, No. 150

15 UN Security Council No.S/RES/1315 (2000), butir 1 & 2.16 UN Secretary General Report on the Establishment of a Special Court for Sierra Leone, UN Doc.

S/2000/915 (4 Oktober 2000) par. 9.

Page 19: PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

(sekitar 90%). Ketegangan etnis,khususnya antara etnis Albania yangdimotori oleh Kosovo Liberation Army(KLA) dan pihak Yugoslavia beberapakali terjadi di wilayah ini, termasukketika Perang Kosovo meletus padatahun 1998. Setelah NATO melancarkanintervensi kemanusiaan mengikutikegagalan perundingan dengan pihakYugoslavia, perang di Kosovo dapatdihentikan dan pihak Yugoslaviamenyerahkan pemerintahan di Kosovokepada PBB sampai status yang definitifdisepakati. Berdasarkan Resolusi DewanKeamanan PBB No. 1244 (1999), PBBdiberi kewenangan untukmenyelenggarakan pemerintahansementara (interim administration) diKosovo. Untuk itu, PBB kemudianmembentuk UNMIK (United NationsInterim Administration Mission in Kosovo)dengan fungsi menjalankan kekuasaaneksekutif, legislatif dan juga kewenanganuntuk menyelenggarakan peradilan.Pada saat UNMIK mulai menjalankanmandatnya di Kosovo, wilayah tersebutmengalami kehancuran infrastrukturdan masih dibayang-bayangi keteganganantar etnik. Selain itu, Kosovo juga tidakmemiliki tenaga legal yang memadaiuntuk menjalankan administrasiperadilan.

Di sisi lain, sepanjang berkaitandengan kejahatan internasional, padasaat itu juga sudah ada ICTY, yangwilayah jurisdiksinya juga menjangkauKosovo. Namun, prioritas penegakanhukum di Kosovo tampaknya berbedadari fungsi yang diemban ICTY.

Karakteristik konflik di Kosovo dianggapberbeda dari wilayah lain di bekasYugoslavia, sehingga tujuan yanghendak dicapai melalui penegakanhukum pun tidak sama dengan yangdiharapkan dari ICTY.

Kebutuhan utama di Kosovo bukansemata-mata penegakan hukum yangtegas terhadap pelaku kejahataninternasional, melainkan lebihdiarahkan pada terwujudnya hubungandamai di antara beragai kelompok yangbertikai, dan juga untuk mengupayakanpenegakan hukum yang lebih luascakupannya, tidak terbatas padakejahatan internasional sebagaimanadicakup oleh ICTY.17

Pada awalnya yang digagasadalah pembentukan sebuah pengadilankhusus yang diberi sebutan Kosovo Warand Ethnic Crimes Court yang berisihakim-hakim internasional dannasional. Namun, belakangan inisiatifini dianggap terlampau mahal dansensitif secara politik, sehingga akhirnyatidak direalisasikan. Sebagai gantinya,dibentuk sebuah pengadilan khususyang diintegrasikan dalam sistempengadilan biasa dengan komponenhakim dan penuntut internasionaluntuk menjaga ojektivitas pengadilan.Pengadilan khusus yang terintegrasidengan pengadilan biasa itu dikenaldengan nama “Regulation 64 Panels”,menunjuk pada instrumen hukum yangmendasari pembentukannya.

2016] PENGADILAN HIBRIDA 51

17 Robert Cryer, et.al., Op.Cit. 189.

Page 20: PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

Pada bulan Pebruari 2008, RepublikKosovo menyatakan kemerdekaan, dansebagian fungsi UNMIK kemudiandigantikan oleh institusi bentukan UniEropa, yaitu Eulex. Hampir samaseperti pengadilan hibrida Kosovo,pengadilan hibrida di Timor Leste jugadibentuk oleh administrasi sementaraPBB pasca negara itu memilihmemerdekakan diri dari Indonesia.Referendum yang menunjukkankehendak mayoritas rakyat Timor Leste(saat itu masih bernama Timor Timur)untuk merdeka segera diikuti olehkerusuhan yang melibatkan milisiantikemerdekaan. Kondisi itu memaksaDewan Keamanan PBB mengambillangkah interventif melalui pengirimanpasukan Interfet (International Force forEast Timor). Untuk menyelenggarakanpemerintahan sementara di Timor Leste,PBB membentuk UN TransitionalAdministration in East Timor (UNTAET)dengan mandat yang hampir samadengan UNMIK di Kosovo. Untukmenjalankan fungsi pengadilan,khususnya terhadap kasus-kasuskejahatan serius yang terjadi pada tahun1999, UNTAET membentuk the SeriousCrimes Panels of the District Court of Diliberdasarkan UNTAET Regulation No.2000/15 on the Establishment of Panelswith Exclusive Jurisdiction over SeriousCriminal Offences. Menurut RegulationNo. 2000/15, kejahatan yang menjadi

jurisdiksi Serious Crimes Panels adalah:(a) Genosida; (b) Kejahatan Perang; (c)Kejahatan terhadap Kemanusiaan; (d)Pembunuhan; (e) Kejahatan Seksual;dan (f) Penyiksaan.18

Sama seperti di Kosovo, di dalamSerious Crimes Panels terdapat hakimnasional dan hakim internasional.Menurut ketentuan Bagian 22 paragraf22.1, majelis dalam Serious CrimesPanels terdiri dari 3 hakim dengankomposisi 2 hakim merupakan hakiminternasional dan 1 hakim merupakanhakim nasional. Komposisi yang samajuga berlaku untuk tingkat banding.

Pengadilan hibrida lain yang dasarpembentukannya mirip denganpengadilan hibrida di Kosovo dan TimorLeste adalah War Crimes Chamber in theState Court of Bosnia & Herzegovina.Sama seperti Kosovo, wilayah Bosnia-Herzegovina sebenarnya secara teritorialdicakup juga oleh jurisdiksi ICTY.Namun, dipahami bahwa ICTY terutamadibentuk dalam situasi genting dan lebihdifokuskan pada prosekusi terhadaptokoh-tokoh kunci dalam konflikYugoslavia. Dengan demikian, di luarICTY masih terdapat banyak pelakukejahatan internasional yang belumterjangkau oleh hukum. Oleh karena itu,untuk membantu fungsi ICTY, sebuahpengadilan hibrida kemudian dibentukdi Bosnia-Herzegovina.19 Sama seperti di

REFLEKSI HUKUM [Vol. 10, No. 152

18 UNTAET Regulation No. 2000/15, Section 1 paragraf 1.3.19 Pembentukan War Crimes Chamber juga didorong oleh kebutuhan ICTY yang dibatasi oleh

tenggat waktu yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB untuk menyelesaikan tugasnya,sehingga transfer perkara kepada War Crimes Chamber dianggap sebagai salah satu solusiseraya memperkuat kapasitas pengadilan nasional Bosnia-Herzegovina untuk mengadilikejahatan internasional dengan standar internasional pula. Lihat Bogdan Ivaniševiæ, ‘The WarCrimes Chamber in Bosnia and Herzegovina: From Hybrid to Domestic Court’ (InternationalCenter for Transitional Justice 2008) 6.

Page 21: PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

Kosovo dan Timor Leste, pengadilanhibrida ini juga diintegrasikan ke dalampengadilan reguler Bosnia-Herzegovinadengan nama War Crimes Chamber.Pengadilan hibrida ini secara formalmulai beroperasi sejak tanggal 9 Maret2005.

Pengadilan Hibrida yang Dibentuk olehSuatu Negara namun MendapatkanDukungan Internasional

Selain kedua kategori yang telahdiuraikan, ada pula kategori pengadilanhibrida yang sebenarnya dibentuk olehsuatu negara, kemudian mendapatkanasistensi dari masyarakat internasional.Namun, karena dibentuk oleh suatunegara, karakter hibridanyapun jauhlebih terbatas jika dibandingkan dengandua kategori yang telah dibahas.Pengadilan yang masuk dalam kategoriini adalah War Crimes Chamber padaPengadilan Distrik Beograd, Serbia. WarCrimes Chamber yang menjadi satudengan Pengadilan Distrik Beograd inididirikan pada tahun 2003 denganjurisdiksi mengadili kejahatan-kejahatan yang terjadi di bekas wilayahYugoslavia. Pengadilan ini mulaiberfungsi pada bulan Maret 2004.Kontribusi internasional dari pengadilanini hanya terbatas pada dukungan yangdiberikan oleh Amerika Serikat danICTY.

Manapun pola yang diterapkan,pada hakikatnya pengadilan hibridamerupakan gabungan antara komponendomestik pengadilan suatu negaradengan komponen internasional. Kondisiini membuat pengadilan hibridaterpapar pada satu kelemahan yang

tidak didapati dalam pengadilan/mahkamah yang murni bersifatinternasional, yaitu ketergantunganpada kehendak negara di manapengadilan hibrida akan dibentuk.Pengadilan hibrida tidak akan mungkindibentuk tanpa kehendak dankerjasama negara terkait.

PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, dapatdikatakan bahwa secara umumpengadilan hibrida bisa menjadialternatif penanganan kejahataninternasional, karena iamengakomodasikan dua kepentinganyang berbeda, yakni kepentingandomestik dan kepentingan internasional.Komponen internasional yang ada didalam pengadilan hibrida dapatdiharapkan mampu mengurangi bebanpengadilan nasional, baik beban historismaupun beban politis, sehinggakomponen pengadilan hibrida dapatmenjalankan fungsi secara lebih baiksebagaimana diharapkan.

Secara umum ada tiga pola yangditerapkan dalam pembentukanpengadilan-pengadilan hibrida, yaitupengadilan hibrida yang dibentukberdasarkan perjanjian antara PBBdengan negara, pengadilan hibrida yangdibentuk oleh PBB atau pemerintahaninternasional (internationaladministration) dan pengadilan hibridayang dibentuk oleh suatu negara namunmendapatkan dukungan internasional.Dengan melihat pola-pola pembentukanpengadilan hibrida tersebut, tampakbahwa kehendak dan kerjasama darinegara di mana sebuah pengadilan

2016] PENGADILAN HIBRIDA 53

Page 22: PENGADILAN HIBRIDA (HYBRID COURT) SEBAGAI …

hibrida hendak dibentuk tetapmerupakan komponen yang sangatpenting. Tanpa itu, mustahil sebuahpengadilan hibrida dapat terwujud.

DAFTAR BACAAN

Buku

Cryer, Robert, et.al., An Introduction toInternational Criminal Law andProcedure (Cambridge UniversityPress 2010).

Ivaniševiæ, Bogdan, ‘The War CrimesChamber in Bosnia and Herzegovina:From Hybrid to Domestic Court’(International Center for TransitionalJustice 2008).

Jurnal dan Kertas Kerja

American Society of International Law –ASIL, ‘Genocide and War Crimes inNational Courts: the Conviction ofRios Montt in Guatemala and itsAftermath’ (2013) 17 Insight.

Doyle, Kate, ‘Justice in Guatemala’(2012) 45 NACLA Report on theAmericas 37.

Öberg, Marko Divac, ‘The absorption ofgrave breaches into war crimes law’(2009) 91 International Review of theRed Cross 163.

Martin-Ortega, Olga, dan JohannaHerman, ‘Hybrid Tribunals & theRule of Law: Notes from Bosnia &

Herzegovina & Cambodia’ (2010) 7JAD-PbP Working Paper Series 6.

Möller, Christina, ‘Gerhard Werle:Völkerstrafrecht (InternationalCriminal Law): Book Review,’ (2004)5 German Law Journal 425.

Rikhof, Joseph, ‘Fewer Places to Hide?The Impact of Domestic War CrimesProsecutions on InternationalImpunity’ unpublished paper, ttp.,tth.

Seminar

Skinnider, Eileen, ‘Experiences andLessons from “Hybrid” Tribunals:Sierra Leone, East Timor andCambodia’ (Symposium on theInternational Criminal Court,Beijing, Pebruari 2007).

REFLEKSI HUKUM [Vol. 10, No. 154