PENERAPAN PASAL 158 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 …digilib.unila.ac.id/24059/3/SKRIPSI TANPA BAB...

62
PENERAPAN PASAL 158 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA Skripsi Oleh David Pandapotan Simanjuntak UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016

Transcript of PENERAPAN PASAL 158 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 …digilib.unila.ac.id/24059/3/SKRIPSI TANPA BAB...

PENERAPAN PASAL 158 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN

2015 TENTANG PENETAPAN PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2014

TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

Skripsi

Oleh

David Pandapotan Simanjuntak

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2016

ABSTRAK

PENERAPAN PASAL 158 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN

2015 TENTANG PENETAPAN PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2014

TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

Oleh

David Pandapotan S.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah penerapan dan

implikasi pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015 terhadap pemilihan kepala daerah

secara serentak. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan metode

pendekatan perundang-undangan (Statute Aproach) dan tipe penelitian yuridis

normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pasal 158 UU No. 8

Tahun 2015 dalam pelaksanaan Pilkada serentak pada 9 Desember 2015 yang lalu

membuat tidak semua pihak yang merasa dirugikan dalam pelaksanaan pilkada

serentak dapat mengajukan permohonan pembatalan hasil pilkada melalui MK

dari 147 permohonan hanya terdapat 23 permohonan yang dapat memenuhi syarat

selisih suara untuk dapat diperiksa dalam tingkat persidangan, walaupun secara

keseluruhan terdapat beragam dalil permohonan kepada MK selaku lembaga

peradilan yang diberi wewenang dalam penyelesaian sengketa Pilkada dan

beberapa diantara dalil permohonan tersebut telah secara nyata terbukti

melakukan pelanggaran dalam Pilkada. Implikasi dari penerapan pasal 158 UU

No. 8 Tahun 2015 menghilangkan esensi pembuktian para pencari keadilan yang

merasa dirugikan dalam pelaksanaan Pilkada serentak walaupun telah ada

beberapa pelanggaran yang telah terbukti dilakukan. .

Kata Kunci: Pelanggaran Pilkada, Penyelesaian Sengketa, Ambang Batas.

PENERAPAN PASAL 158 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2015

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN

2015 TENTANG PENETAPAN PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2014

TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

Oleh

David Pandapotan Simanjuntak

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Tata Negara

Fakultas Hukum Universitas Lampung

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2016

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandarlampung pada 7 Mei 1992 dari

pasangan Drs. L. Simanjuntak dan A. Simatupang, dan

merupakan anak pertama dari empat bersaudara.

Penulis mengawali pendidikannya di TK Fransiskus 2

Rawa Laut pada tahun 1996-1998, kemudian pada tahun 1998

melanjutkannya di SD Fransiskus 2 Rawa Laut hingga tahun 2004, SMP

Xaverius 2 Rawa Laut pada tahun 2004-2007, dan pada tahun 2007

melanjutkan jenjang pendidikan di SMAK BPK Penabur Bandarlampung

sampai tahun 2010.

Pada tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan

Tinggi Negeri (SNMPTN). Semasa berkuliah, penulis aktif dalam berbagai

organisasi internal maupun eksternal kampus sebagai anggota aktif di Unit

Kegiatan Mahasiswa Kristen Unila, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas

Hukum Unila, Himpunan Mahasiswa Hukum Tata Negara, Sekretaris

Fungsi Pendidikan Kader GMKI masa bakti 2012-2014, dan hingga saat ini

masih mengemban amanah sebagai ketua Gerakan Mahasiswa Kristen

Indonesia cabang Bandarlampung. Penulis juga pernah menjadi delegasi

dalam mengikuti berbagai kegiatan seperti Generation of Change yang

diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia,

Pelatihan Pengawasan Pemilu bagi Media Massa dan Ormas pada tahun

2013 yang diselenggarakan oleh Bawaslu RI, Pemantau Pemilu KPU RI ,

dan Pelatihan Kewirausahaan bagi pemula dari kementrian Koperasi dan

UKM di Bogor, Jawa Barat serta berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan

lainnya. Penulis melaksanakan pengabdiannya dalam program KKN-

Tematik Universitas Lampung di Desa Bumi Harjo, Kecamatan Buay

Bahuga, Way Kanan.

PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini kupersembahkan sebagai

wujud kasihku kepada:

Bapak ku Drs.L. Simanjuntak dan Mama ku A.Br Simatupang

Adik-adikku Ruth, Natalia, dan Rafael.

Sahabat-sahabat sejatiku dan semua orang yang

memberikan bantuan, semangat, dan senantiasa

menyebut namaku dalam doa

Almamater Tercinta Universitas Lampung

Civitas Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Cabang Bandarlampungg

~Ut Omnes Unum Sint~

MOTTO

Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik,

yang tidak berdiri di jalan orang pendosa, dan yang tidak duduk dalam

kumpulan pencemooh

(Mazmur 1 ayat 1)

Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab

itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan Tulus seperti Merpati.

(Matius 10 ayat 16)

Hari ini Anda adalah orang yang sama dengan Anda lima tahun

mendatang, kecuali dua hal: orang-orang di sekeliling anda dan buku-buku

yang anda baca.

(Charles Jones)

I have not failed. I’ve just found 9.999 ways that won’t work.

(Thomas Alva Edison)

SANWACANA

Puji dan Syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan dan Juru Selamat atas

berkat dan pengasihannya telah menghantarkan penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir perkuliahan di Fakultas

Hukum Universitas Lampung. Adapun judul yang diangkat oleh penulis

dalam skripsi ini adalah PENERAPAN PASAL 158 UNDANG-UNDANG

NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-

UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMILIHAN

GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA.

Dalam penulisan skripsi tentu penulis tidak luput dari bantuan, bimbingan,

petunjuk dan saran dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini

ungkapan terimakasih yang tulus diucapkan kepada:

1. Bapak Armen Yasir, S.H., M.Hum. dan Bapak Ahmad Saleh, S.H.,

M.H. yang senantiasa memberikan bimbingan dalam proses

penulisan skripsi dari awal hingga akhir.

2. Bapak Dr. Budiyono, S.H., M.H. selaku dosen pembahas 1 serta

penguji utama dan Bapak Rudy, S.H., L.LM., L.LD selaku

pembahas 2 yang senantiasa memberikan kritik dan saran yang

membangun selama proses pengerjaan skripsi.

3. Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.Si. selaku Dekan Fakultas Hukum.

4. Bapak Rudy, S.H., L.LM., L.LD. selaku Ketua Jurusan Hukum Tata

Negara.

5. Bapak Ahmad Saleh, S.H.,M.H. selaku pembimbing akademik

selama menjalani masa perkuliahan.

6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum, Universitas Lampung yang

senantiasa memberikan pengajaran, teladan, dan ilmu yang

menambah khasanah berfikir dan wawasan penulis selama

menjalani jenjang perkuliahan.

7. Kedua orangtua, adik-adik, dan keluarga besar yang senantiasa

memberikan doa dan dukungan hingga saat ini.

8. Sahabat seperjuangan dan rekan sejawat Fakultas Hukum 2011

Bram Monang Nugroho, Ferry Kurniawan, Daniel Sitanggang,

Yonathan Hutagalung, Daniel Simbolon, Dimas, Nova, Nico

Silaban, dan semua yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

9. Badan Pengurus Cabang GMKI Bandarlampung Masa Bakti 2012-

2014 Melki Sandro, S.P, Rido Nicholas ,S.T, Andreassa Harianja,

S.T. Bram Monang Nugroho, S.H, Frans Hasiholan Tanjung, S.T,

Maylani Hutasoit, Veronika Pakpahan, S.Tp, Novriyanti

Tanjung,S.T, Melki Sihombing S.Ikom.

10. Badan Pengurus Cabang Masa Bakti 2014-2016 Romario Sihaloho,

Novelin Silalahi, Yonathan Hutagalung, Yunita, Rachel, Dewi

Hanny, Esterlyta, Rico Fritz, Biaton Nardo, Ronni Simanullang,

Derick Huliselan, Sumurung, dan Erland.

11. Komisariat Hukum Ekonomi Sosial Politik Fernandus, Nadia, Gio,

Melki Janni, Dewi dan semua yang tidak dapat saya sebutkan satu

persatu.

12. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia cabang Bandarlampung.

“Persaudaraan Yang Menghidupkan”.

Bandarlampung, 23 Agustus 2016

Penulis

David Pandapotan Simanjuntak

DAFTAR ISI

ABSTRAK

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN

HALAMAN PENGESAHAN

RIWAYAT HIDUP

HALAMAN PERSEMBAHAN

MOTO

SANWACANA

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................................... 1

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Rumusan Masalah ........................................................... 11

2. Ruang Lingkup ............................................................... 12

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan 12

2. Manfaat Penelitian .......................................................... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Demokrasi………………………………………………….. 13

B. PemilihanUmum……………………………………………. 15

C. PemilihanKepala Daerah…………………………………… 17

D. SengketaPilkada……………………………………………. 23

E. LembagaPenyelesaianSengketaPilkada…………………….. 28

1.Mahkamah Konstitusi…………………………………….. 28

2.Badan Peradilan Khusus Pilkada…………………………. 32

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian ...................................................................... 35

B. Pendekatan Masalah .............................................................. 35

C. Sumber Data dan Bahan Hukum…………………………... 35

D. Prosedur Pengumpulan Data danBahanHukum…………… 37

E. Analisis Data danBahanHukum………………………….... 38

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Pelanggaran Pilkada……………………………………...... 39

2. Penyelesaian Sengketa Pilkada……………………………. 50

3. AnalisisPasal 158 Dalam Penyelesaian Sengketa

Pilkada…………………………………………………….. 58

V. PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………………………......... 72

B. Saran ……………………………………………………….. 73

DAFTAR PUSTAKA

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menghasilkan revolusi dalam sistem

pemilihan kepala daerah di Indonesia1. Perubahan kedua pasal 18 ayat (4) UUD 1945

menyatakan bahwa Gubernur, Bupati , dan Walikota masing-masing sebagai kepala

pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal

tersebut menjadi landasan konstitusional dikeluarkannya Undang-Undang (UU)

Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang kemudian menerjemahkan

makna demokratis tersebut ke dalam mekanisme pemilihan kepala daerah secara

langsung oleh rakyat yang disebut dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Penyelenggaraan Pilkada secara langsung menjelama menjadi suatu isu sentral pada

tahun 2014. Hal ini mendorong pemerintah untuk mengusulkan Rancangan Undang-

Undang (RUU) Pilkada. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sidang paripurna 25

September 2014, memutuskan RUU Pilkada usulan pemerintah ini menjadi Undang-

1 Rudy, Hukum Pemerintahan Daerah Perspektif Konstitusionalisme , Bandarlampung: Indepth

Publishing, 2012. hlm.120.

2

Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

UU ini intinya mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi tidak

langsung atau melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), hal tersebut dilatar

belakangi dengan berbagai alasan, antara lain menyebabkan maraknya politik uang,

biaya politik yang tinggi yang menghalangi munculnya calon berkualitas,

memunculkan politik balas budi, dan penghematan anggaran yang cukup signifikan.2

Di tengah polemik pro-kontra pilkada melalui DPRD, Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)

terkait Pilkada pada hari kamis 2 Oktober 2014 yaitu Peppu No.1 Tahun 2014 yang

mencabut berlakunya UU No.22 Tahun 2014 Tetang Pemilihan Gubernur, Bupati,

dan Walikota dikarenakan mendapat penolakan yang luas dari rakyat dan proses

pengambilan keputusannya telah menyebabkan kegentingan yang memaksa sesuai

dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/PUU-VII/2009.

Pada hari selasa, tanggal 20 Januari 2015, melalui rapat paripurna DPR pemerintah

selanjutnya menetapkan Perppu No 1 Tahun 2014 tersebut menjadi Undang-undang

Nomor 1 Tahun 2015 yang mengatur Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

Walikota3. Lahirnya UU No.1 Tahun 2015 yang kemudian dirubah dengan UU No.8

Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 Tentang

Penetapan Perppu N0. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan

2 Nur Rosihin Ana, Pilkada Serentak 2015, dalam Majalah Konstitusi No.103, September 2015. Hlm.

21. 3 Ibid. hlm 21.

3

Walikota menjadi undang-undang menandai dimulainya sejarah baru pemilihan

kepala daerah di Indonesia. Dua hal utama yang baru dalam Undang-Undang terkait

Pilkada ini adalah: pertama, pilkada dilakukan secara langsung dan serentak di

seluruh Indonesia,4 kedua penyelesaian perselisihan hasil penghitungan diselesaikan

oleh sebuah badan peradilan khusus. 5 Berikut adalah tahapan pelaksanaan Pilkada

secara serentak: 6

Tahap Pertama, Desember 2015, untuk kepala daerah yang masa jabatannya

berakhir pada 2015 sampai pada bulan Juni 2016.

Tahap Kedua, Februari 2017, untuk kepala daerah yang masa jabatannya

berakhir pada Juli - Desember 2016 dan 2017.

Tahap Ketiga, Juni 2018, untuk kepala daerah yang jabatannya berakhir pada

2018 dan 2019.

Tahap Keempat, tahun 2020, untuk kepala daerah hasil pemilihan 2015.

Tahap Kelima, pada 2022, untuk kepala daerah hasil pemilihan pada 2017.

Tahap Keenam, pada 2023, untuk kepala daerah hasil pemilihan 2018.

Baru pada Tahap Ketujuh, tahun 2027 Pilkada betul-betul serentak akan dapat

dilaksanakan secara nasional. (Tahun 2027 adalah periode ketiga setelah masa

keanggotaan DPR saat ini 2014-2019, 2019-2024, 2024-2029, meskipun tidak

ada jaminan kepastian hukum jika tahapan itu tidak berubah).

4 Pasal 3 ayat 1 UU No. 8 Tahun 2015

5 Pasal 157 ayat 3 UU No. 8 Tahun 2105.

6 Pasal 201 ayat (1-7) UU No.1/2015 junto UU No. 8 Tahun 2015.

4

Pemungutan suara dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada)

serentak tahap I (Pertama) telah dilaksanakan tanggal 9 Desember 2015 di 264 daerah

(8 Provinsi, 222 Kabupaten, dan 34 Kota) dari yang seharusnya 269 Daerah karena

sempat dilakukan penundaan di 5 Daerah, yaitu Provinsi Kalimantan Tengah,

Kabupaten Fakfak, Kabupaten Simalungun, Kota Pematang Siantar, dan Kota

Manado7. Dalam evaluasi pelaksanaannnya Pilkada serentak 9 Desember 2015 masih

terdapat permasalahan seperti ancaman konflik kekerasan dan logistik yang belum

sampai di tempat pemungutan suara (TPS). Pelanggaran administrasi dan pelanggaran

pidana menjadi persoalan yang paling dominan terjadi dalam pilkada serentak

gelombang pertama tersebut. Pelanggran yang bersifat administrasi adalah

terdapatnya alat peraga yang terpampang menjelang hari pemungutan suara, masih

ada pemilih yang belum dapat surat pemberitahuan C6, adanya pemilih yang belum

terdaftar DPT, sampai dengan ditemuinya pemilih ganda, menjadi pelanggaran

pemilu yang banyak terjadi di 264 daerah. Sedangkan pelanggaran pidana lebih

banyak ditemui dalam wujud politik uang baik dalam bentuk fresh money maupun

barang.8

Beragam permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan Pilkada 2015 menimbulkan

beragam ketidakpuasan para peserta pilkada yang merasa dirugikan baik oleh sesama

7 KPU.go.id diakses pada hari selasa 28 Juni 2016 Pukul. 20.13.

8 Heroik M. Pratama & Debora Blandina Sinambela, Evaluasi Pilkada serentak 2015, sebuah Studi

Mengenai Dinamika Pemungutan Suara di Pilkada 2015 , dalam Jurnal Pemilu dan Demokrasi, edisi April 2016, Jakarta: Yayasan Perludem, hlm. 132.

5

peserta pilkada maupun oleh penyelenggara pemilihan kepala daerah dan jalur

peradilan merupakan jalan untuk penyelesaian sengketa dalam pelaksanaan pilkada.

Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 dinyatakan bahwa perkara perselisihan

hasil pemilihan umum diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus yang akan

dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional, namun sebelum peradilan

khusus tersebut dibentuk perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil

pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahamah Konstitusi9. Pada Pasal 157 ayat (3)

Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1

tahun 2015 tentang Perubahan PERPPU dinyatakan bahwa "perkara perselisihan

penetapan perolehan suara hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh MK sampai

dibentuknya badan peradilan khusus" atau dengan kata lain kembali menyerahkan

sengketa pilkada kepada Mahkamah Konstitusi (MK), Hal ini sebenarnya

bertentangan dengan Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, tanggal 16 Januari 201410

.

Penyelesaian sengketa dalam Pilkada serentak berdasarkan UU No.8 Tahun 2015

menimbulkan kontroversi dengan adanya syarat ambang batas selisih perolehan suara

untuk dapat mengajukan sengketa pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Dalam ketentuan

pasal 158 UU No 8 Tahun 2015 dinyatakan sebagai berikut:

Pasal 158

(1) Peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan

permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan

ketentuan:

9 Pasal 157 UU No. 8 Tahun 2015

10 Ibid. Pasal 157 Ayat 3

6

a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa,

pengajuan perselisihan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling

banyak 2% (dua persen) dari hasil penetapan hasil penghitungan suara oleh

KPU Provinsi;

b. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai

denga 6.000.000 (enam juta) jiwa, pengajuan perselisihan suara dilakukan

jika terdapat perbedaan paling banyak 1,5% (satu koma lima persen) dari

hasil penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU Provinsi;

c. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai

dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan suara

dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak 1% (satu persen) dari hasil

penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU Provinsi;

d. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa,

pengajuan perselisihan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling

banyak 0,5% (nol koma lima persen) dari hasil penetapan hasil penghitungan

suara oleh KPU Provinsi;

(2) Peserta pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota

dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan

suara dengan ketentuan:

a. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus

lima puluh ribu) jiwa, pengajuan perselisihan suara dilakukan jika terdapat

perbedaan paling banyak 2% (dua persen) dari hasil penetapan hasil

penghitungan suara oleh KPU Kabupaten/Kota;

b. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus

lima puluh ribu) jiwa sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa,

pengajuan perselisihan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling

banyak 1,5% (satu koma lima persen) dari hasil penetapan hasil

penghitungan suara oleh KPU Kabupaten/Kota;

c. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 500.000 (lima ratus

ribu) jiwa sampai dengan 1.000.000 (satu juta jiwa), pengajuan perselisihan

suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak 1% (satu persen) dari

hasil penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU Kabupaten/Kota;

d. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta)

jiwa, pengajuan perselisihan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling

7

banyak 0,5% (nol koma lima persen) dari hasil penetapan hasil penghitungan

suara oleh KPU Kabupaten/Kota;11

Ambang batas atau syarat selisih suara yang merupakan aturan baru dalam hukum

acara pilkada serentak untuk menentukan legal standing pemohon. Pasal 158 UU

Nomor 8 Tahun 2015 hanya menyebutkan syarat selisih suara untuk dapat menjadi

pemohon sesuai dengan jumlah penduduk. Tidak terdapat penjelasan lebih lanjut

tentang cara menghitung selisih suara tersebut. Berkenaan dengan hal ini, MK

menafsirkan sendiri cara penghitungannya dan menetapkannya di Peraturan

Mahkamah Konstitusi (PMK). Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Peraturan

Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2015 (PMK No.5 Tahun 2015) Tentang

Perubahan atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2015 Tentang

Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati,

dan, Walikota.

Dalam Pasal 6 PMK No. 5 Tahun 2015 tersebut dinyatakan:

(1) Pemohonan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) huruf a

mengajukan Permohonan kepada Mahkamah dengan ketentuan:

a. Provinsi dengan penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa,

pengajuan permohonan dilakukan jika terdapat perbedaan perolehan suara

paling banyak sebesar 2% (dua persen) antara pemohon dengan pasangan

calon peraih suara terbanyak berdasarkan hasil penghitungan suara oleh

termohon;

b. Provinsi dengan penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai

dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, pengajuan permohonan dilakukan jika

11

Pasal 158 UU No.8 Tahun 2015

8

terdapat perbedaan perolehan suara paling banyak sebesar 1,5% (satu koma

lima persen) antara pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak

berdasarkan hasil penghitungan suara oleh termohon;

c. Provinsi dengan penduduk sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai

dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan permohonan dilakukan

jika terdapat perbedaan perolehan suara paling banyak sebesar 1% (satu

persen) antara pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak

berdasarkan hasil penghitungan suara oleh termohon;

d. Provinsi dengan penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa,

pengajuan permohonan dilakukan jika terdapat perbedaan perolehan suara

paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen) antara pemohon dengan

pasangan calon peraih suara terbanyak berdasarkan hasil penghitungan suara

oleh termohon;

(2) Pemohon sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) huruf b dan c

mengajukan Permohonan kepada Mahkamah dengan ketentuan:

a. Kabupaten/Kota dengan penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima

puluh ribu) jiwa, pengajuan permohonan dilakukan jika terdapat perbedaan

perolehan suara paling banyak sebesar 2% (dua persen) antara pemohon

dengan pasangan calon peraih suara terbanyak berdasarkan hasil

penghitungan suara oleh termohon;

b. Kabupaten/Kota dengan penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima

puluh ribu) jiwa sampai denan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, pengajuan

permohonan dilakukan jika terdapat perbedaan perolehan suara paling

banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen) antara pemohon dengan

pasangan calon peraih suara terbanyak berdasarkan hasil penghitungan suara

oleh termohon;

c. Kabupaten/Kota dengan penduduk sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu)

jiwa sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan permohonan

dilakukan jika terdapat perbedaan perolehan suara paling banyak sebesar

1% (satu persen) antara pemohon dengan pasangan calon peraih suara

terbanyak berdasarkan hasil penghitungan suara oleh termohon;

d. Kabupaten/Kota dengan penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa,

pengajuan permohonan dilakukan jika terdapat perbedaan perolehan suara

paling banyak sebesar 2% (dua persen) antara pemohon dengan pasangan

calon peraih suara terbanyak berdasarkan hasil penghitungan suara oleh

termohon;

9

Pada Pilkada serentak tahap pertama yang dilaksanakan 9 Desember 2015 lalu,

terdapat 264 Daerah yang dijadwalkan untuk menyelenggarakan pemilihan secara

serentak. Dari rencana awal 269 Daerah, proses sengketa pencalonan yang yang

berlarut di lima daerah membuat hanya 264 Daerah yang melaksanakan pemilihan

secara langsung. 264 Daerah tersebut terdiri dari 8 Provinsi, 221 Kabupaten, dan 35

Kota. Dari 264 daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak, terdapat 147

permohonan yang terdaftar di Mahkamah Konstitusi. 147 Permohonan tersebut terdiri

dari 6 daerah provinsi, 115 daerah kabupaten, dan 11 daerah kota 12

Berkaitan dengan cara MK untuk menyidangkan 147 permohonan yang terdaftar,

ternyata terdapat perbedaan di publik utamanya dalam melihat keberadaan pasal 158

UU Pilkada yang mengatur syarat selisih perolehan suara dengan persentase tertentu

untuk dapat mengajukan permohonan sengketa hasil Pilkada di MK sebagai satu-

satunya lembaga peradilan yang dipercayakan menegakkan keadilan substantif tidak

boleh dikekang dengan keberadaan pasal 158 sehingga seyogianya mengutamakan

rasa keadilan masyarakat. Di pihak lain, termohon (KPUD) dan pihak terkait

(Pasangan Calon pemenang sementara) berpendapat Pasal 158 merupakan Undang-

Undang yang masih berlaku dan mengikat seluruh rakyat Indonesia, tidak terkecuali

12

Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif, Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi, Internatiornal Foundatition For Electoral Sistem, Kembalinya Mahkamah Kalkulator, dalam evaluasi atas Penyelesaian Selisih Hasil Pilkada 2015, hlm. 12

10

MK, sehingga dalam melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangannya MK haruslah

berpedoman dengan UUD 1945 dan UU.13

Hadirnya Pasal 158 UU No.8 Tahun 2015 ini menimbulkan polemik dalam hal

penyelesaian sengketa pilkada, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas

Saldi Isra dalam sebuah wawancara dengan media Koran Sindo edisi 23 Desember

2015 menyatakan:

“Sejak semula, saya termasuk yang mendorong ada pembatasan persentase

tertentu untuk dapat mengajukan permohonan sengketa ke MK. Kendati

demikian, pembatasan tersebut tidak dimaksudkan untuk menghilangkan

kesempatan bagi pasangan calon yang merasa dicurangi secara total memilih

jalur ke MK. Artinya, ambang batas masih dapat diterobos melalui

mekanisme pemeriksaan pendahuluan (dismissal process) sepanjang pemohon

mampu menunjukkan bukti-bukti yang sangat kuat telah terjadi pelanggaran

yang bersifat TSM. Bila dalam proses awal bukti-bukti tidak kuat, ambang

batas diperlakukan secara ketat.

Dalam batas penalaran yang wajar, dengan ada pemeriksaan pendahuluan,

ruang menghidupkan terobosan yang telah dilakukan MK dalam memeriksa

permohonan yang mengindikasikan ada pelanggaran yang bersifat TSM tetap

bisa dipertahankan. Misalnya, dalam Putusan No 57/PHPU.D-VI/2008 MK

menyatakan bahwa konstitusi dan Undang-Undang MK yang menempatkan

MK sebagai pengawal konstitusi sehingga berwenang memutus perkara

pelanggaran atas prinsip-prinsip pemilu dan pilkada. Selain itu, MK juga

pernah memutuskan bahwa dalam mengawal konstitusi, MK tak dapat

membiarkan dirinya dipasung oleh keadilan prosedural (procedural justice)

semata-mata, melainkan juga harus mewujudkan keadilan substansial.

Banyak kalangan percaya, ketika PMK No 1/2015 membuka tahapan

pemeriksaan pendahuluan, MK sebetulnya tidak hendak mematikan peluang

pasangan calon yang tidak memenuhi ambang batas. Artinya, dengan ada

pemeriksaan pendahuluan, semua permohonan yang masuk ke MK akan

dinilai terlebih dahulu pada tahapan ini. Sepanjang pemohon dapat

menunjukkan bukti-bukti yang kuat telah terjadi pelanggaran yang bersifat

13

Jurnal Rechts Vinding, volume 5,nomor 1 april 2016, hlm.85.

11

TSM dan bukti-bukti tersebut mampu memberikan keyakinan pada hakim,

ambang batas jangan dijadikan sebagai instrumen untuk membunuh upaya

pencarian keadilan substantif. Bagaimanapun, kepala daerah dan wakil kepala

daerah tidak boleh diisi oleh mereka yang meraih dukungan dengan cara yang

curang. Dalam konteks itu, berarti ambang batas tidak boleh dijadikan sebagai

tameng guna melindungi pelanggaran yang nyata-nyata memenuhi unsur

TSM”.14

Jika diamati dalam proses-proses penyelesaian sengketa pilkada yang telah dilakukan

memang tidak semua pilkada yang disengketakan dapat dibuktikan perbedaan

perolehan suara yang dapat dipahami dan dibuktikan secara logika, namun disisi lain

jika badan peradilan yang dapat dikatakan sebagai jalan terakhir dalam proses

mengkawal demokrasi terjebak dalam formalitas peraturan ambang batas perolehan

suara sebagai syarat untuk mengajukan gugatan, tentunya akan banyak suara rakyat

yang terabaikan oleh cara-cara yang tidak baik.

Besarnya kepentingan yang diperjuangkan dalam pelaksanaan pilkada otomatis

membuat pilkada terus menerus melahirkan suatu permasalahan yang kompleks baik

antara para calon maupun antara calon dengan lembaga penyelenggara pilkada,

Badan peradilan yang merupakan jalan terakhir yang berwenang memutus

perselisihan yang terjadi dalam pilkada sangat diharapkan keadilan dan

profesionalitasnya dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi terjadi tersebut.

Dinamika dalam penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah yang terjadi di

Indonesia bukan hanya sebatas perdebatan terkait dengan tafsir-tafsir konstitusional,

14

Saldi Isra.web,id, diakses pada hari jumat, 5 Februari 2016 pada pukul 1.34.

12

namun juga suatu perjalanan politik panjang yang diwarnai tarik-menarik antara

kepentingan elit politik dan kehendak publik, kepentingan pusat dan daerah, atau

bahkan antara kepentingan nasional, bahkan kepentingan internasional. Dengan

sedemikian besarnya posisi pilkada sebagai bagian dari proses penyaluran suara

rakyat maka penulis tertarik untuk mengangkat skripsi dengan judul “Penerapan

Pasal 158 UU.No. 8 Tahun 2015 Terhadap Sengketa Pemilihan Kepala Daerah

Secara Langsung”

B. Rumusan Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Bagaimanakah penerapan dan implikasi pasal 158 UU No.8 Tahun 2015

terhadap sengketa pemilihan kepala daerah secara serentak?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini yaitu Bidang Hukum Tata Negara Khususnya

mengenai penerapan dan implikasi pasal 158 UU No.8 Tahun 2015 terhadap

sengketa pemilihan kepala daerah secara serentak.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui bagaimanakah penerapan dan implikasi pasal 158

UU.No.8 Tahun 2015 terhadap sengketa pemilihan kepala daerah secara

serentak.

13

2. Manfaat Penulisan

a) Secara teori, penelitian ini diharapkan berguna sebagai sumbangsih

pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum

khususnya di bidang Hukum Tata Negara yang berkaitan dengan

penyelesaian sengketa pilkada di Indonesia.

b) Secara Praktis, dapat lebih memangtapkan fungsi keilmuan yang dipelajari

mahasiswa selama mengikuti program perkuliahan hukum tata Negara

pada Fakultas Hukum Universitas Lampung, sedangkan bagi perguruan

tinggi, hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi dokumen akademik

yang berguna untuk dijadikan acuan bagi civitas akademika Fakultas

Hukum Universitas Lampung.

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Demokrasi

Secara etimologis, kata demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat, dan

cratein yang berarti pemerintahan, maka demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat

dimana kekuasaan tertinggi di tangan rakyat dan dilakukan langsung atau tidak

langsung atas dasar suatu sistem perwakilan. Asas dari demokrasi sebagaimana

terkandung dalam pengertiannya tidak terjadi perubahan dalam sejarah

ketatanegaraan, yaitu sistem pemerintahan dimana dipegang oleh rakyat atau setidak-

tidaknya rakyat diikut sertakan di dalam pembicaraan masalah-masalah pemerintahan

Negara.15

Menurut Huntington, ada tiga tanggapan umum yang melekat dalam konsep

demokrasi. Pertama, demokrasi bukan hanya bentuk pemerintahan yang dapat

diterima, tapi juga merupakan suatu doktrin politik yang akan menguntungkan

15

Didik Sukriono, Menggagas Sistem Pemilihan Umum di Indonesia, dalam Jurnal Konstitusi, vol

II.No.1, Juni, 2009, hlm.15.

15

banyak negara. Kedua, demokrasi sebagai sistem politik dan pemerintahan

mempunyai akar sejarah sejak jaman Yunani Kuno, dan sebagai bentuk “ideal” yang

mampu bertahan selama beberapa abad dalam suasana politik penuh dengan gejolak.

Ketiga, demokrasi dipandang sebagai suatu sistem yang “natural”, dalam arti jika

rakyat di negara manapun bisa memenangkan kebebasannya untuk menentukan

sendiri sistem politiknya, besar kemungkinan mereka akan memilih demokrasi.16

Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Merphin

Panjaitan menyebutkan bahwa kadar demokrasi suatu negara ditentukan oleh:17

a. Seberapa besar peranan masyarakat dalam menentukan siapa dari antara mereka

yang dijadikan pejabat negara. Semakin banyak pejabat negara baik ditingkat

nasional maupun ditingkat daerah yang dipilih langsung oleh rakyat, semakin

tinggi kadar demokrasi dari kadar negara tersebut.

b. Seberapa besar peranan masyarakat dalam menentukan kebijakan publik.

Semakin besar peranan masyarakat dalam penentuan kebijakan publik semakin

tinggi kadar demokrasinya.

Demokrasi sebagai tatanan politik adalah model yang tepat untuk mengelola

kehidupan kenegaraan. Demokrasi memang bukan satu-satunya model yang paling

sempurna dalam mengatur kehidupan manusia. Sejarah menunjukkan bahwa

16

Hertanto. Teori-Teori Politik dan Pemikiran Politik di Indonesia. 2006. Bandarlampung. Universitas

Lampung. Hlm140. 17

Rizky Ariestandi Irmansyah, S.H. Hukum, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi. Graha Ilmu.

Yogyakarta. Hlm.114.

16

demokrasi memiliki peluang paling kecil dalam menistakan kemanusiaan.

Tumbangnya rezim komunisme di Eropa Timur menamah daftar panjang keunggulan

demokrasi atas rezim-rezim politik lain, sehingga kini demokrasi dianut oleh sebagian

besar Negara di dunia ini.18

B. Pemilihan Umum

Pemilihan Umum adalah memilih seorang penguasa, pejabat atau lainnya denga jalan

menuliskan nama yang dipilih dalam secarik kertas atau dengan memberikan

suaranya dalam pemilihan19

. Pemilihan umum juga dapat diartikan sebagai sarana

penyampaian hak-hak demokrasi rakyat. Eksistensi kelembagaan pemilihan umum

sudah diakui Negara-negara yang bersendikan asas kedaulatan rakyat. Inti dari

persoalan pemilihan umum bersumber pada dua masalah pokok yang selalu

dipersoalkan dalam praktek kehidupan ketatanegaraan, yaitu mengenai ajaran

kedaulatan rakyat dan paham demokrasi, dimana demokrasi sebagai perwujudan

kedaulatan rakyat serta pemilihan umum merupakan cerminan daripada demokrasi.20

Dalam undang-undang nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilihan umum anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah. Pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang

dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,jujur, dan adil dalam Negara

18

Ibid. hlm.12 19

Abu Nashar Muhammad Al Iman, Membongkar Dosa-Dosa Pemilu, Prisma Media, Jakarta, 2004,

hlm.29. 20

Ibid. hlm.12

17

Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Pemilih dalam pemilihan umum disebut juga sebagai konstituen, dimana para peserta

pemilu menawarkan janji-janji dalam program-programnya pada masa kampanye.

Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan menjelang hari

pemungutan suara dilakukan, setelah itu barulah proses penghitungan suara

dilakukan. Pemenangan pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan

pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan

disosialisasikan kepada pemilih. Dapat dikatakan bahwa proses pemilihan umum

merupakan bagian dari demokrasi.

Dari pemahaman diatas dapat disimpulkan bahwa pemilu merupakan sarana

demokrasi bagi masyarakat untuk memilih dan menentukan pemimpin suatu daerah

atau Negara yang sesuai dengan kehendak rakyat serta diselenggarakan oleh Negara

dengan bebagai macam ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu.

Indonesia menjadikan pemilu sebagai bagian yang sangat penting dalam kegiatan

bernegara, peraturan tertinggi mengenai pemilu diatur dalam Undang-Undang Dasar

(UUD) 1945 hasil amandemen. Pemilu secara tegas diatur dalam UUD 1945

perubahan III, Bab VIIB tentang pemilihan umum, pasal 22E. Berikut adalah isi pasal

tersebut:

18

1. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,

dan adil setiap lima tahun sekali,

2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah,

3. Peserta pemilihan umum untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Partai Politik,

4. Peserta pemilihan umum untuk memilih Dewan Perwakilan Daerah adalah

perseorangan

5. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang

bersifat nasional, tetap, dan mandiri,

6. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-

undang

C. Pemilihan Kepala Daerah

Pemilihan kepala daearah dan wakil kepala daerah (pilkada) merupakan instrumen

yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, karena disinilah

wujud bahwa. Melalui pilkada, rakyat dapat memilih siapa yang menjadi wakilnya

dalam proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya menentukan arah masa depan

sebuah Negara21

.

21

Yusdianto, Identifikasi potensi Pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah dan Mekanisme

Penyelesaiannya. dalam Jurnal Konstitusi vol.II nomor, November 2010, hlm.44.

19

Berdasarkan pasal (1) ayat (1) peraturan pemerintah nomor 6 tahun 2005 tentang

pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan kepala

daerah juncto peraturan pemerintah nomor 49 tahun 2008 tentang perubahan atas PP

nomor 6 tahun 2005 yang dimaksud dengan pemilihan kepala daerah dan wakil

kepala daerah adalah :”Sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi

dan/atau kabupaten dan/atau kota berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 untuk

memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah”.

Pemilihan sistem kepala daerah merupakan perjalanan politik panjang yang diwarnai

tarik-menarik antara kepentingan elit politik dan kehendak publik, kepentingan pusat

dan daerah, atau bahkan antara kepentingan nasional dan kepentingan internasional.

Sejak kemerdekaan, ketentuan mengenai pemerintahan daerah (termasuk di dalamnya

mekanisme pemilihan kepala daerah) diatur dalam sejumlah UU, yaitu UU No 1

Tahun 1945, UU No.5 tahun 1974, UU No.22 Tahun 1999, dan UU No.5 Tahun 1974

merupakan undang-undang terlama yang berlaku,yaitu pada masa pemerintahan orde

baru22

. Dalam periodisasi tersebut kepala daerah merupakan orang-orang yang

mendapat “restu” dari pusat karena pada saat itu masih mengunakan sistem

sentralistik dalam sistem pemerintahan daerah.

Pergeseran desian institusional dari sentralisasi ke desentralisasi disertai oleh

perwujudan nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

22

Suharizal, Pemilukada Regulasi, Dinamika Dan Konsep Mendatang, PT Raja Grafindo, Jakarta,

2011.hlm.15.

20

daerah.Perwujudan dari proses demokrasi adalah pengembalian kedaulatan rakyat

daerah dalam memilih pemimpin daerah di daerah.

Pasal 18 ayat (4) Perubahan kedua UUD 1945 mengatur bahwa Gubernur,Bupati,dan

Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,kabupaten,dan

kota dipilih secara demokratis. Makna demokratis dari Pasal 18 ayat (4) UUD 1945

memiliki dinamika tersendiri. Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang

pemerintahan daerah menerjemahkan makna demokratis tersebut dalam mekanisme

demokrasi perwakilan dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh

DPRD.Pemahaman ini sejalan dengan pendapat Sri Soemantri 23

yang mengatakan

bahwa demokrasi memiliki dua macam pengertian yaitu formal dan material.Realisasi

pelaksanaan demokrasi dalam arti formal terlihat dalam UUD 1945 yang menganut

paham indirect democracy, yaitu suatu demokrasi dimana pelaksanaan kedaulatan

rakyat tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung melainkan oleh lembaga

perwakilan rakyat.

UUD 1945 khusnya dalam pasal (1) ayat (2) menyatakan bahwa kedaulatan berada

ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal ini

menandakan bahwa kedaulatan tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetapi

berdasarkan ketentuan UUD. Ketetuan ini menimbulkan konsekuensi terhadap

perubahan beberapa peraturan di bidang politik dan pemerintahan. Wujud nyata

kedaulatan rakyat diantaranya dalam pemilihan umum baik memilih anggota DPR,

23

Sri Soemantri, Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Bandung:Alumni, 1971, hlm.26.

21

DPD, DPRD, maupun memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh

rakyat yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang. Hal ini merupakan

perwujudan Negara yang berdasarkan atas hukum dan berdasarkan kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia,karena itu pemilihan daerah dapat juga dilaksanakan

secara langsung oleh rakyat24

.

Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan

daerah dan diderivasi dengan berbagai penjelasan teknisnya oleh PP nomor 6 tahun

2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian kepala

daerah maka dimulailah babak baru rentang sejarah dinamika lokalisme politik di

Indonesia. Persoalan yang dalam kurun waktu satu atau dua dekade lalu seolah hanya

impian saat ini telah menjadi kenyataan. Kepala daerah dan wakil kepala daerah

dipilih secara langsung oleh rakyat. Ini merupakan sebuah ikhtiar demokratisasi yang

makin menunjukkan orientasi yang jelas, yakni penempatan posisi dan kepentingan

rakyat berada diatas berbagai kekuatan politik elit yang selama ini terlampau

mendominasi, bahkan menghegemoni25

.

Dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 tersebut disebutkan bahwa kepala

daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan

secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil

24

Soedarsono, MK Sebagai pengawal demokrasi ,Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MK RI,

hlm.123. 25

Ahmad Nadir, Pilkada langsung dan masa depan demokrasi, Averroes Press, 2005, diakses pada

hari jumat 5 februari 2015, pukul 2.30 wib.

22

dan dilaksanakan secara langsung oleh rakyat yang diajukan oleh partai politik atau

gabungan parpol.

Pada perubahan undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah,

yakni undang-undang nomor 12 tahun 2008 tentang pemerintahan daerah pada pasal

59 ayat 1B, disebutkan bahwa calon kepala daerah dapat juga diajukan dari calon

perseorangan yang didiukung oleh sejumlah orang. Sedangkan pada undang-undang

nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah pada pasal 65 ayat 1 disebutkan

bahwa wakil kepala daerah tidak lagi dipilih secara paket bersama kepala daerah.

Pada pasal 65 ayat 2 undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan

daerah juga memberi wewenang kepada kepala daerah untuk mengambil kebijakan

khusus apabila terjadi kondisi darurat di daerah. Hal ini dikarenakan apabila kepala

daerah dipilih secara paket dengan wakil kepala daerah sering terjadi ketidak cocokan

dalam mengambil kebijakan sehingga wakil kepala daerah banyak yang

mengundurkan diri.

Berkaitan dengan masalah pemilihan kepala daerah, seperti diketahui pada tahun

2014 yang baru saja lewat berbagai polemik tentang pemilihan kepala daerah pada

saat itu begitu menyeruak ke ranah publik dan cukup menyita perhatian yaitu tentang

pemilihan kepala daerah langsng atau melalui DPRD. Hal ini terjadi sebagai lanjutan

euphoria dari pemilihan presiden (Pilpres) yang masih melekat sehingga

menimbulkan dua kubu yaitu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan kubu Koalisi Merah

Putih (KMP). Pertentangan atara KIH dan KMP tersebut akhirnya berimbas pada pro

23

dan kontra pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung maupun melalui

DPRD. Kontroversi pemilihan kepala daerah yang berkepanjagan tersebut tidak saja

terjadi pada terjadi pada perdebatan politisi yang berdebat sebagaimana yang

ditayangkan di televise,juga pro dan kontra masyarakat melalui sosial media.

Melihat hal tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada sekitar bulan

oktober 2014 tentang perubahan atas undang-undang nomor 22 tahun 2014 tentang

pemilihan kepala daerah (Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota) beserta

penjelasannya, kemudian disusul dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (PERPPU) nomor 2 tahun 2014 tentang pemerintahan

daerah dan juga penjelasannya. Masing-masing PERPPU tersebut untuk mencabut

dan atau menambah beberapa ketentuan dalam undang-undang nomor 23 Tahun 2014

tentang pemerintahan Daerah beserta penjelasannya. Masing-masing Perppu tersebut

untuk mencabut dan/atau menambah beberapa ketentuan dalam Undang-undang

Nomor 22 tahun 2014 dan juga Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang

pemerintaha daerah (terutama mencabut kewenangan kepada DPRD untuk memilih

kepala daerah). Akan tetapi PERPPU yang dikeluarkan SBY ini tidak mendapat

dukungan luas dari sebagian masyarakat, sehingga pro dan kontta masih terus

terjadi26

.

26

Diana Yusyanti, Dinamika Hukum Pemilihan Kepala Daerah Menuju Proses Demokrasi Dalam

Otonomi Daerah, dalm Jurnal Recht Vinding BPHN, volume I, Nomor I, April 2015, hlm.87.

24

Setelah terjadinya tarik ulur maupun perdebaan yang panjang ,akhirnnya pada bulan

januari 2015 tentang penetapan PERPPU No.1 tahun 2014 tentang pemilihan

Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang

PERPPU nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Sebagai konsekuensi pemilhan kepala daerah secara langsung tersebut serta untuk

menghilangkan ketidakpastian hukum di masyarakat, maka diterbitkanlah PERPPU

nomor 2 tahun 2014 tentang pemerintaha daerah. PERPPU ini berisi dua hal penting,

yaitu menghapus tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota untuk mengusulkan

pengangkatan dan pemberhentian Bupati/Walikota dan/atau Wakil bupati /wakil

walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubenur sebagai wakil pemerintah

pusat untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian27

.

Sejak diberlakukaunnya undang-undang nomor 32 tahun 2004, mengenai pemilihan

kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, telah banyak menimbulkan

permasalahan, diantaranya waktu yang sangat panjang, sehingga sangat menguras

tenaga dan pikiran, belum lagi biaya yang begitu besar, baik dari segi politik (isu

tentang perpecahan internal parpol, isu tentang money politic, kecurangan yang

melibatkan instansi resmi, disintegrasi social walaupun sementara, black campaign,

perhitungan suara yang salah,KPUD yang bermasalah ) dan lain-lain28

. Guna

menjawab berbagai permasalah seputar pemilihan kepala daerah secara langsung

tersebut maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang

27

Ibid.hlm.94. 28

Ibid. Hlm.97.

25

perubahan atas undang-undang nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan

pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan

Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang atau yang saat ini kita kenal

dengan pemiliha kepala daerah secara serentak.

D.Sengketa Pilkada

Salah satu perwujudan negara yang demokratis adalah diselenggarakannya pilkada

sebagai sarana untuk memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan

Walikota/ Wakil Walikota, hal ini secara jelas dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (4)

UUD 1945 yang menyatakan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing

sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan dipilih secara

demokratis”.

Pemilihan Kepala Daerah merupakan sarana bagi masyarakat lokal dalam suatu

daerah guna menentukan sosok yang pantas untuk memimpin daerah tersebut.

Pemilihan Kepala Daerah juga merupakan suatu perjalanan panjang yang diwarnai

oleh tarik menarik antara kepentingan pusat kota dan daerah, bahkan kepentingan

asing. Dengan sedemikian besarnya kepentingan yang diperjuangkan dalam

pemilihan kepala daerah maka tidak heran jika berbagai cara dilakukan oleh para

calon kepala daerah guna memuluskan langkahnya menjadi pemimpin suatu daerah.

Pelaksanaan Pilkada tidak terlepas dari peranan KPU Provinsi dan KPU

Kabupaten/Kota (KPUD) sebagai salah satu institusi penyelenggara pemilu. KPUD

26

melaksanakan beberapa tahapan penyelenggaraan Pilkada. Tahapan pelaksanaan yang

dilakukan meliputi penetapan daftar pemilih, pendaftaran dan penetapan kepala

daerah/wakil kepala daerah, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara, dan

penetapan pasangan calon29

. Dalam setiap tahapan sebagaimana diatur dalam pasal 5

UU No. 8 Tahun 2015 KPUD dapat mengeluarkan suatu keputusan atau penetapan

yang tentunya berpotensi menimbulkan perselisihan akibat adanya pihak-pihak yang

merasa dirugikan atau berkeberatan oleh putusan KPUD tersebut30

.

Sengketa terjadi karena adannya benturan kepentingan.Oleh karena itu seiring dengan

perkembangan masyarakat muncul hukum yang berusaha meminimalisir berbagai

benturan kepentingan dalam masyarakat. Beberapa abad yang lau seorang ahli filsafat

yang bernama Cicero mengatakan “Ubi Societas Ibi Ius” artinya, dimana ada

masyarakat maka disitu ada hukum.Pernyataan ini sangat tepat sekali karena adanya

hukum itu adalah berfungsi sebagai kaidah atau norma dalam masyarakat. Kaidah

atau norma tersebut adalah patokan-patokan mengenai perilaku yang dianggap

pantas31

. Kaidah berguna untuk menyelaraskan tiap kepentingan anggota masyarakat

sehingga dimasyarakat tidak terjadi benturan kepentingan anatara kepentingan

anggota masyarakat.

29

Titi Anggaraini, Rahmi Sosiowati, dkk ”Menata Kembali Pengaturan Pemilukada”,Jakarta:Perludem. Hlm.85 30

Ibid,hlm 85. 31

Soerjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum, Bandung: Alumni,1986, hlm.9,

27

Menurut Van Kan32

, kepentingan-kepentingan manusia bisa saling bertumbukan

kalau tidak dikendalikan oleh kaidah, sehingga lahirlah kaidah agama,kaidah

kesusilaan dan kaidah kesopanan sebagai usaha manusia untuk menyelaraskan

kepentingan-kepentingan itu.Tetapi ketiga kaidah diatas mempunyai kelemahan:

1) Kaidah Agama, kaidah kesusilaan,dan kaidah kesopanan belum cukup

melindungi kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat sebab ketiga

kaidah ini tidak mempunyai sangsi yang tegas dan dapat dipaksakan.

2) Kaidah Kesusilaan, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum mengatur

secara keseluruhan kepentingan-kepentingan manusia seperti kepentingan

manusia dalam bidang pertanahan, kehutanan, kelautan, udara, dan lain-lain.

Oleh karena itu, diperlukan satu kaidah lagi yang dapat menjawab dua kelemahan

diatas.Kaidah tersebut adalah kaidah hukum.Kaidah hukum memiliki sifat memaksa

,artinya kalau seseorang melanggar kepentingan orang lain maka dia akan dipaksa

oleh hukum untuk ganti rugi atau bahkan dicabut hak kebebasannya dengan jalan

dimasukkan ke penjara agar kepentingan orang lain tidak terganggu. Lain dengan

ketiga kaidah sebelumnya yang tidak mempunyai sanksi yang dapat dipaksakan.

Kaidah hukum juga mengisi ketiga kelemahan kaidah tadi yaitu dengan jalan

berusaha mengatur seluruh peri keidupan yang berhubungan dengan sesame manusia

sebagai anggota masyarakat maupun sebagai individu. Hukum juga mengatur tentang

32

J.Van Kan dan J.H.Bekhuis, Pengantar Ilmu hukum, Jakarta:PT.Pembangunan Ghalia

Indonesia,1982, hlm.7-17

28

kepentingan manusia/masyarakat terhadap tanahnya, kepentingan dari segi

administrasinya, hak-hak dan lain-lain33

.

Dalam masyarakat yang kompleks kepentingannya,maka hukum pun akan turut

mengimbanginya. Dengan demikian pendapat Cicero berabad-abad lalu itu benar,

karena hanya dalam masyarakat hukum itu berada/diperlukan. Dengan demikian

”Sengketa Pilkada” dapat diartikan sebagai suatu benturan kepentingan yang terjadi

antara calon kepala daerah yang satu dengan calon kepala daerah yang lainnya dalam

peristiwa hukum yang bernama ”pemilihan kepala daerah”34

.

Dasar hukum terkait masalah sengketa pilkada dimulai dari pasal 18 ayat (4) UUD

1945 yang berbunyi sebagai berikut: (4) Gubernur, Bupati dan walikota masing-

masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara

demokratis. Dasar hukum selanjutnya adalah Undang-undang nomor 8 tahun 2015

tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dengan ditetapkannya undang-

undang ini, kepala daerah dan wakil kepala daerah memiliki peran yang sangat

strategis dalam rangka mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan

kesejahteraan rakyat, memelihara hubungan yang serasi antara pemerintahan daerah

serta dan antar daerah serta antar daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

33

Nandang Alamasah Deliarnoor, Tinjauan Teoritis Yuridis Sengketa Pemilihan Kepala Daearah

(Pillkada), hlm.2 34

Ibid.Hlm.3

29

Jika mengacu dalam pengertian perdata sengketa memiliki pengertian “Perselisihan

dua pihak atau lebih yang timbul karena adanya penafsiran anatara paha pihak, atau

suatu ketidaksepakatan tertentu, yang berhubungan dengan fakta kegiatan dan

peristiwa, hukum atau kebijakan, dimana suatu pengakuan atau pendapat dari salah

satu pihak mendapatkan penolakan, pengakuan yang berbeda, atau pengindaran dari

pihak lain, yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu35

. Sengketa pemilihan

sebagaimana yang terdapat dalam pasal 142 UU No. 8 Tahun 2015 menyatakan

bahwa sengketa terdiri atas sengketa antar peserta pemilihan dan sengketa antar

peserta pemilihan dengan penyelenggara pemilihan sebagai akibat dikeluarkannya

Keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota36

.

UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemiihan Gubernur, Bupati, dan Walikota tidak

memberikan pengertian yang pasti terkait sengketa dalam pilkada, hanya terdapat

pengertian tentang pelanggaran administrasi pemilihan, yaitu pelanggaran yang

meliputi tata cara, prosedur, mekanisme, yang berkaitan dengan administrasi

pelaksanaan dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan di luar tindak pidana

pemilihan dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan37

, padahal jika dirinci,

sengketa dalam pelaksanaan pilkada tidak saja sebatas pelanggaran administrasi

pemilihan,

35

Topo Santoso, dkk, “Penegakan Hukum Pemilu Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2004, Kalian Pemilu 2009-2014”, Jakarta: USAID-DRSP-Perludem,2006. hlm 52-53 36

Pasal 142 UU No. 8 Tahun 2015 37

Pasal 138 UU No.8 Tahun 2015

30

E.Lembaga Penyelesaian Sengketa Pilkada

1.Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi adalah salah satu lembaga Negara yang melakukan kekuasaan

kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna mengegakkan

hukum dan keadilan dan lembaga peradilan tertinggi yang berperan sebagai penjaga

utama konstitusi (Guardian Of The Constititution).

Keberadaan MK ditegaskan dalam pasal 24 ayat(2) perubahan ketiga UUD 1945 yang

menyatakan, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan peradilan lain yang berada dibawahnya dalam lingkungan perdilan

umum,perdilan agama, lingkungan perdilan militer, lingkungan peradilan tata usaha

negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Ini berarti, berdasarkan rumusan

tersebut, kekuasaan kehakiman menganut sistem bifurkasi (bifurcation system),

dimana kekuasaan kehakiman terbagi dalam 2 (dua) cabang,yaitu cabang peradilan

biasa (ordinary court) yang berpucuk pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan

konstitusi yang mempunyai wewenang untuk melakukan constitutional review atas

produk produk perundang-undangan yang dijalankan Mahkamah Konstitusi38

.

Pembentukan MK dapat dipahami dari dua sisi ,yaitu pertama dari sisi politik

ketatanegaraan, keberadaan MK diperlukan guna mengimbangi kekuasaan

pembentuk Undang-undang yang dimiliki DPR dan Presiden yang dipilih secara

38

Abdul Hakim,G Nusntara dalam Fathkurohman, Dian Aminudin,Sirajuddin, Memahami keberadaan

Mahkamah Konstitusi di Indonesia,Bandung:Citra Aditya Bakti,2004,hlm.4

31

langsung oleh mayoritas rakyat39

, selain itu putusannya bersifat final40

, kedua,

memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang kewenangannya

diberikan oleh UUD, ketiga, memutus pembubaran partai politik, dan keempat,

memutus perselisihan hasil pemilihan umum41

. Sedangkan berkenaan dengan

kewajiban, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat atas dugaan mengenai pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil

Presiden menurut Undang-Undang Dasar 194542

.

Selain itu juga pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah sejalan dengan dianutnya

paham Negara hukum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Dalam Negara hukum harus dijaga paham konstitusional. Artinya, tidak

boleh ada undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Hal tersebut sesuai dengan penegasan

bahwa undang-undang dasar sebagai puncak tata urutan perundang-undangan di

Indonesia. Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar sebagai

puncak dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia. Pengujian undang-

undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

39

Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jendral dan Kepanitraan

Mahkamah Konstitusi,Jakarta,cet.1,2010.hlm.7. 40

Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dan Penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No.8 Tahun 2011 Perubahan UU

no.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 41

Ibid 42

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan pasal 10 Ayat (2) UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi

32

membutuhkan sebuah Mahkamah dalam rangka mewujudkan konstitusionalitas

hukum,MK-lah yang bertugas menjaga konstitusionalitas hukum tersebut 43

.

Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusional yang dimiliki oleh MK

adalah fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Namun fungsi

tersebut belum bersifat spesifik yang berbeda dengan fungsi yang dijalankan oleh

MA. Fungsi MK dapat ditelusuri dari latar belakang pembentukannya, yaitu untuk

menegakkan supremasi konstitusi. Oleh karena itu ukuran keadilan dan hukum yang

ditegakkan dalam peradilan MK adalah konstitusi itu sendiri yang dimaknai tidak

hanya sekedar sebagai kumpulan norma dasar, melainkan juga prinsip moral

konstitusi,antara lai prinsip negara hukum dan demokrasi, perlindungan hak asasi

manusia,serta perlindungan hak konstitusional warga Negara44

.

Ketentuan penjelasan umum MK disebutkan bahwa tugas dan fungsi MK adalah

menangani perkara ketatanegaraan dan perkara konstitusional tertentu dalam rangka

menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan

kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Selain itu, keberadaan MK juga

dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pengalaman ketatanegaraan yang ditimbulkan

oleh tafsir ganda atas konstitusi45

. Fungsi tersebut dijalankan melalaui wewenang

yang dimiliki,yaitu memerikasa,mengadili,dan memutus perkara tertentu berdasarkan

kepentingan konstitusional. Dengan sendirinya setiap putusan MK merupakan

43

Op.Cit. Sekretariat Jendral MPR RI, 2010, hlm.106. 44

Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara…,Op.Cit.,Hlm.10. 45

Ibid.

33

penafsiran terhadap konstitusi. Berdasarkan latar belakang ini setidaknya terdapat

lima (5) fungsi yang melekat pada keberadaan MK dan dilaksanakan melalui

wewenangnya,yaitu

a) Sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution),

b) Penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution),

c) Pelindung hak asasi manusia (the protector human rights),

d) Pelindung hak konstitusional warga Negara (the protector of the citizen’s

constitusional rights),

e) Pelindung demokrasi (the protector of democracy).46

Dalam praktik tidak ada keseragaman di Negara-negara di dunia ini, mengenai

kewenangan MK disesuaikan dengan sejarah dan kebutuhan setiap Negara. Ada

konstitusi Negara yang menyatukan fungsi Mahkamah Konstiusi kedalam Mahkamah

Agung; adapula konstitusi yang memisahkannya sehingga dibentuk dua badan

kekuasaan kehakiman, yaitu MA dan MK. Indonesia menganut paham yang kedua.

Masih berkaitan dengan kewenangan MK ,lembaga Negara ini juga berwenang

memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenagannya diberikan oleh

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lembaga Negara

yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar tahun 1945, antara lain

46

Ibid

34

Presiden, MPR, DPR, DPD, MA, dan BPK. Perbedaan pendapat di dalam MK sendiri

diputuskan melalui mekanisme kerja Internal MK.

Putusan MK untuk menyelesaikan perbedaan pendapat di tubuh MK berdasarkan

pertimbangan komposisi keangotaan hakim konstitusi di MK yang menerapkan

prinsip saling mengawasi dan mengimbangi. Komposisi hakim di MK merupaka

perwujudan47

tiga cabang kekuasaan Negara, yakni legislatif, eksekutif , dan

Yudikatif, yakni Sembilan anggota hakim konstitusi terdiri atas tiga orang yang

diajukan DPR, tiga orang diajukan Presiden,dan tiga orang diajukan MK48

.

2.Badan Peradilan khusus pilkada

Dalam sejarah peradilan di Indonesia, istilah peradilan khusus dipahami sebagai

antonim dari pengertian peradilan pada umumnya yang berjenjang mulai dari

peradilan pertama di Pengadilan Negeri, peradilan tingkat banding di Pengadilan

Tinggi sampai peradilan tingkat kasasi ke Mahkamah Agung. Sebelum Indonesia

merdeka, ketiga jenjang perdilan tersebut bermula dari badan-badan peradilan yang

sudah eksis dalam sistem peradilan tersebut bermula dari peradilan-peradilan yang

sudah eksis dalam badan peradilan Hindia Belanda, yaitu Landraad yang dijadikan

pengadilan negeri, road van justice yang menjadi Pengadilan Tinggi, dan

Hogeraadyang dikembangkan menjadi Mahkamah Agung. Karena itu, semua

pengadilan di luar lingkungan peradilan biasa pada umumnya tersebut diatas disebut

47

Op.Cit.Sekertariat Jendral MPR RI.Hlm.106. 48

Ibid.hlm.107

35

Pengadilan Khusus, seperti pengadilan agama yang berasal dari Priesterraad dan

lain-lain.49

Ide pembentukan peradilan khusus terutama sangat berkembang di masa setelah

reformasi, terutama untuk maksud memenuhi tuntutan perkembangan akan keadilan

yang semakin kompleks dalam masyarakat. Pada akhir masa Orde Baru, dibentuk

satu pengadilan khusus, yaitu pengadilan anak berdasarkan UU. No. 3 Tahun 1997.

Setelah reformasi, desentralisasi pemerintahan dan diversifikasi fungsi-fungsi

kekuasaan negara berkembang luas bersamaan dengan gerakan liberalisasi dan

demokratisasi di segaa bidang kehidupan. Karena itu, lembaga peradilan yang bersifat

khusus semakin banyak didirikan oleh pemerintah. Pada tahun 1998 yang kemudian

disahkan menjadi UU No.4 Tahun 1998, Indonesia mendirikan pengadilan niaga yang

pertama kali. Selanjutnya, pada tahun 2000 dan tahun 2002, Indonesia membentuk

Pengadilan HAM (Hak Asasi Manusia) dengan UU No.26 Tahun 2002, dan

pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan UU No.30 Tahun 200250

.

Sampai sekarang, pengadilan khusus yang sudah ada tercatat lebih dari 10 macam,

yaitu:

Pengadilan Anak51

(Bidang Hukum Pidana),

Pengadilan Niaga 52

(Bidang Hukum Perdata,)

49

Jimly Ashiddiqi, “Putih Hitam Pengadilan Khusus”, 2013. Jakarta:Komisi Yudisial Republik Indonesia. Hlm.5-6 50

Ibid.hlm 11 51

UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak 52

UU No. 4 Tahun 1999 dan Perpu No.1 Tahun 1998

36

Pengadilan HAM53

(Bidang Hukum Pidana),

Pengadilan TIPIKOR54

(Bidang Hukum Pidana),

Pengadilan Hubungan Industrial55

( Bidang Hukum Perdata),

Pengadilan Perikanan56

(Bidang Hukum Pidana),

Pengadilan Pajak57

(Bidang Hukum Tata Usaha Negara),

Mahkamah Pelayaran (Bidang Hukum Perdata),

Mahkamah Syar’iyah di Aceh58

(Bidang Hukum Agama Islam),

Pengadilan Adat di Papua59

(Eksekusi putusannya terkait dengan peradilan

umum),

Pengadilan Tilang,60

dan

Pengadilan khusus Pilkada61

(Bidang Hukum Tata Negara).

Pengadilan khusus pemilu merupakan badan yang independen dalam menjalankan

fungsinya yang memiliki kewenangan membuat putusan akhir atas gugatan hasil

pemilu. Pengadilan khusus pemilu putusannya dapat diajukan banding ke Mahkamah

Agung atau Mahkamah Konstitusi. Keputusan akhir atas gugatan pemilu berada di

53

UU No.26 Tahun 2000. 54

UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 55

UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penelesaian Hubungan Industrial 56

UU No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. 57

UU No. 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak. 58

Pertama kali dibentuk dengan keputusan Presiden No.11 Tahun 2002. 59

Lihat UU tentang Otonomi khusus Papua. 60

Lihat UU tentang Kepolisian Republik Indonesia 61

UU No. 8 Tahun 2015, akan dibentuk pada sebelum pilkada serentak pada tahun 2025.

37

tangan pengadilan umum yang merupakan bagian dari cabang kekuasaan kehakiman

atau di dewan atau Mahkamah Konstitusi62

62

Bissariyadim Anna Triningsih, dkk. Komparasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu di Beberapa Negara Penganut Paham Demokrasi Konstitusional, dalam Jurnal Konstitusi Volume 9 Nomor 3, 2012. Jakarta: Sekertariat Jendral Mahkamah Konstitusi. Hlm. 543.

38

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis

normatif, yaitu penelitian hukum dengan mempelajari,mengkaji dan menafsirkan

peraturan perundang-undangan yang bekaitan dengan pokok bahasan penelitian

dengan memberikan arti, baik tersirat maupun tersurat63

.

B.Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan (statute

approach)64

, yakni pendekatan masalah yang dilakukan dengan cara menganalisis

peraturan perundang-undangan lainnya serta literatur yang berkenaan dengan pokok

bahasan yang akan dibahas.

63

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung,Citra Adiya Bakti, 2004. hlm.67. 64

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo, 1999, hlm 116-117.

39

C.Sumber Data dan Bahan Hukum

Data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari peraturan perundang-

undangan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan penulisan skripsi, yaitu terdiri

dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.65

Sumber data yang dibutuhkan

dalam penelitian ini diperoleh dari perpustakaan dan dokumen-dokumen resmi.

Adapun bahan-bahan penelitian ini ialah:

1)Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat otoritas dan mengikat

serta menjadi landasan utama untuk dipakai dalam rangka penelitian ini.Dalam

rangka penelitian ini,bahan hukum primer yang dimaksud terdiri dari:

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan

Pemilihan Umum

Peraturan Pemerintah Pengganti undang-Undangan Nomor 1 Tahun

2014

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur,

Bupati, dan Walikota

Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur,

Bupati, dan Walikota

65

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2006.hlm. 96.

40

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2015 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2015

Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil

Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 7 Tahun 2015 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2015

tentang Tahapan, Kegiatan, dan Jadwal Penangan Perkara Perselisihan

Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan

dokumen-dokumen publikasi resmi. Publikasi tentang hukum yang meliputi

:Buku-buku yang terkait dengan ilmu hukum; Jurnal Hukum; Pendapat Ahli

hukum atau doktrin hukum; serta hasil penelitian dan lain-lain.

D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data dan Bahan Hukum

Peneliti melakukan penelususran ,mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap

isu yang diangkat.Pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan yakni

dengan membaca,mempelajari,meneliti,mengidentifikasi,dan menganalisis berbagai

bahan-bahan yang tersedia.

Adapun tahap-tahap yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1) Menentukan bahan hukum primer dan sekunder

41

2) Identifikasi bahan hukum yang diperlukan,yaitu proses mencari dan mengenal

bahan-bahan hukum.

3) Inventarisasi bahan hukum dengan cara melakukan pengutipan atau pencatatan

4) Pengkajian yaitu proses pengelolaan bahan hukum yang telah terkumpul

sehingga dapat dikatakan apakah bahan yang sudah terkumpul sesuai dengan isu

yang diangkat.

Data yang diperoleh dari studi pustaka dan dokumentasi kemudian diolah dengan

cara:

1) Proses editing, yaitu memeriksa kelengkapan,kejelasan serta relevansi data yang

diperloleh dai penelitian yang dilakukan

2) Melakukan penyusunan dan penetapan data pada tidap-tiap pokok bahasan

secara sistematis sehingga memudahkan melakukan pembahasan dan penarikan

kesimpulan.

E.Analisis Data dan Bahan Hukum

Analisis yang digunakan adalah analisis preskriptif,yaitu mempelajari tujuan

hukum,nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum,dan

norma-norma hukum66

. Menganalisis dinamika penyelesaian sengketa pemilukada

Indonesia.

66

Soerjono Soekanto dan Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada: Jakarta,

2001, hlm.142.

77

BAB V

PENUTUP

A.Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya terkait dengan penerapan dan

implikasi pasal 158 UU No.8 Tahun 2015, maka penulis menyimpulkan:

Penerapan pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015 terkait syarat minimal selish hasil

dalam pengajuan permohonan pembatalan hasil dalam pilkada membuat tidak

semua pihak yang merasa dirugikan dalam pelaksanaan pilkada serentak dapat

mengajukan permohonan pembatalan hasil pilkada melalui MK. Dari 147

permohonan yang mendaftarkan diri ke MK hanya terdapat 23 permohonan yang

dapat memenuhi syarat selisih suara untuk dapat diperiksa dalam tingkat

persidangan.

Implikasi dari penerapan pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015 ini adalah Pasal 158

UU no. 8 Tahun 2015 ini adalah hilangkan esensi pembuktian para pencari

keadilan yang merasa dirugikan dalam pelaksanaan Pilkada serentak walaupun

telah ada beberapa pelanggaran yang telah terbukti dilakukan.

78

B.Saran

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka penulis menyarankan untuk:

Diperbesarnya persentase ambang batas selisih hasil sebagai syarat

permohonan pembatalan hasil Pilkada.

Disinergikannya tenggat waktu penyelesaian sengketa pilkada antara lembaga

negara yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa Pilkada seperti

Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tata Usaha negara, DKPP,

MA, dan tentunya MK selaku lembaga negara yang memiliki kewenangan

untuk membatalkan hasil pemilihan.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku/ Jurnal.

Advokat dan Penasihat Hukum yang tergabung dalam Lubis-Nasution & Parters

dan Organisasi Advokat Indonesia. 2015. Dalam Permohonan Uji Materiil

pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 2015 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor.1 Tahun 2015

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor.1 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Al Iman, Abu Nashar Muhammad. 2004. Membongkar Dosa-Dosa Pemilu.

Jakarta: Prisma Media.

Ana, Nur Rosihin. 2015. Pilkada Serentak 2015. dalam Majalah Konstitusi

No.103, September 2015. Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral

Mahkamah Konstitusi Republik Indesia.

Anggono, Bayu Dwi. 2016. Pemabatasan Pengajuan Perkara Hasil Pemilihan

Kepala Daerah di Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya Terhadap Jaminan

Keamanan Nasional, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Jember Vol 5 No. 6

April 2016

Bisariyadi, dkk. 2012. Komparasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu di

Beberapa Negara Penganut Paham Demokrasi Konstitusional, Jurnal

Konstitusi Vol. 9. No.3, Sepetmber 2012.

Deliarnoor, Nandang Alamsyah. Tinjauan Teoritis Yuridis Sengketa Pemilihan

Kepala Daearah (Pillkada).

Hakim, Abdul dkk. 2004. Memahami keberadaan Mahkamah Konstitusi di

Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Hertanto. Teori-Teori Politik dan Pemikiran Politik di Indonesia. 2006.

Bandarlampung. Universitas Lampung.

Husein, Harun. Sengketa Pilkada Versus Mahkamah Konstitusi, diakses di

Repblika.co.id, tanggal 23 September 2016.

Jurnal Rechts Vinding, volume 5, nomor 1 april 2016. Jakarta: Pusat Analisis dan

Evaluasi Hukum Nasional.

Kan, J.Van. dan J.H.Bekhuis. 1982. Pengantar Ilmu hukum. Jakarta: PT.

Pembangunan Ghalia Indonesia.

Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif, Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi,

Internatiornal Foundatition For Electoral Sistem. 2016. Kembalinya

Mahkamah Kalkulator, dalam evaluasi atas Penyelesaian Selisih Hasil Pilkada

2015.

Mahkamah Konstitusi. 2010. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat

Jendral dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi.

Mahrus Ali, Irfan Nur Rachman, dkk. 2012. Tafsir Konstitusional Pelanggaran

Pemilukada Yang Bersifat Sistematis,Terstruktur,dan Masif, dalam Jurnal

Konstitusi Volume 9 No. 1, Maret 2012. Jakarta: Kepaniteraan dan

Sekretarian Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Marzuki, Peter Mahmud. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta:Kencana.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra

Adiya Bakti.

Nadir, Ahmad. 2005.Pilkada langsung dan masa depan demokrasi. Averroes

Press.

Pramudya, Kelik. 2015. Mewujudkan Sistem Penyelesaian Hasil Pilakda Yang

Efektf dan Berkeadilan (Manifesting Effective And Fair Resoluution System

and The Local Election Result), Jurnal Rechtvinding Media Pembinaan

Hukum Nasional Vol.4, No. 1, Apri 2015.

Pratama, M. Heroik dan Debora Blandina Sinambela. 2016. Evaluasi Pilkada

serentak 2015, sebuah Studi Mengenai Dinamika Pemungutan Suara di

Pilkada 2015. dalam Jurnal Pemilu dan Demokrasi, edisi April 2016. Jakarta:

Yayasan Perludem.

Rizky Ariestandi Irmansyah, S.H. Hukum, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi.

Graha Ilmu. Yogyakarta.

Rudy. 2012. Hukum Pemerintahan Daerah Perspektif Konstitusionalisme

Indonesia. Bandarlampung: Indepth Publishing.

Santoso, Topo, dkk. 2006. Penegakan Hukum Pemilu Praktik Pemilu 2004,

Kajian Pemilu 2004, Kalian Pemilu 2009-2014”. Jakarta: USAID-DRSP-

Perludem.

Seri Demokrasi Elektoral. 2011. Penenganan Sengketa Pemilu. Kemitraan

Patnership.

Setara Institute. 2015. Laporan Studi Desain Penyelesaian Sengketa Pilkada:

Pembelajaran dari Praktek Peradilan Pilkada Serentak 2015, 15 Maret 2015.

Soedarsono. MK Sebagai pengawal demokrasi. Jakarta: Kepaniteraan dan

Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Soekanto, Soerjono.1986. Mengenal Sosiologi Hukum, Bandung:Alumni.

----------------------- dan Sri mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:

Raja Grafindo Persada.

Soemantri,Sri. 1971. Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Bandung:Alumni.

Suharizal. 2011. Pemilukada Regulasi,Dinamika, Dan Konsep Mendatang,

Jakarta: PT Raja Grafindo.

Sukriono,Didik. 2009. Menggagas Sistem Pemilihan Umum di Indonesia. Jurnal

Konstitusi. Jakarta: Kepaniteraan Dan Sekretaria Jendral Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia.

Sunggono, Bambang. 1999. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja

Grafindo.

Titi Anggaraini, Rahmi Sosiowati, dkk Menata Kembali Pengaturan

Pemilukada,Jakarta:Perludem.

Triningsih, Bissariyadim Anna dkk. 2012. Komparasi Mekanisme Penyelesaian

Sengketa Pemilu di Beberapa Negara Penganut Paham Demokrasi

Konstitusional, dalam Jurnal Konstitusi Volume 9. Jakarta: Sekertariat

Jendral Mahkamah Konstitusi.

Umam, Ahmad. 2010. Ramai-Ramai Membohongi Negara (Kejahatan Moral

Terhadap Pancasila). Jakarta: LK-Press, 2010.

Very Junaidi, Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator, Depok:

Themis Book

Wahid, Abdul. Politik Legislasi Menentukan Demokrasi (Analisis Putusan No.

15/PUU/IX/2011), dalam Jurnal Konstitusi volume 9 nomor 1. 2012. Jakarta:

Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamh Konstitusi.

Yusdianto. 2010. Identifikasi potensi Pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah dan

Mekanisme Penyelesaiannya. Jurnal Konstitusi vol.II nomor 2.

Bandarlampung: Universitas Lampung.

Yusyanti,Diana.2015. Dinamika Hukum Pemilihan Kepala Daerah Menuju

Proses Demokrasi Dalam Otonomi Daerah, Jurnal Recht Vinding BPHN,

volume IV.

B.Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan-Putusan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (Perubahan) tentang Pemerintahan

Daerah

Putusan No. 27/PHPU.D-VIII/2010 Tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum

Kabupaten Lamongan Tahun 2010.

Putusan No. 198/PHPU. D-VIII/2010 Tentang Hasil Pemilihan Umum Kepala

Daerah Kota Jayapura Tahun 2010.

Putusan No.45/PHPU.D-VIII/2010 tentang Sengketa Pemilukada Kabupaten

Kotawaringn Barat (Model 1)

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-XII/2015.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang

pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan

Walikota

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan

Walikota

C.Website

Husni Kamil Manik dalam newsliputan6.com edisi 4 juni 2015

Saldi Isra, www.Saldiisra.web.id , Sewindu Mahkamah Konstitusi yang diakses

pada hari jumat, 5 Februari 2016 dan Ambang Batas Penyelesaian Sengketa

Pilkada pada pukul 1.34.

Jimly Asshidiqi, dalam Tribunnews.com edisi 23 desember 2015 yang diakses

pada hari Jumat, 5 Ferbruari 2015.

KPU.go.id, diakses pada 25 November 2015, pukul 21.30 dan pada hari Jumat, 5

Februari 2016 pukul. 1. 13.