Penerapan Design Thinking Dalam Arsitektur

9
PenerapanDesignThinkingdalamInovasiPembelajaranDesaindan Arsitektur FilipusPriyoSuprobo 1 Abstrak Design thinking sebagai pola pikir, metode, dan perangkat kerja telah memberi warna dalam pembelajaran desain dan arsitektur dengan menerapkan 5 (lima) tahapannya yang terdiri atas discovery, interpretation,ideation,experiment,danevolution. Hal ini juga telah memberikan tingkat keberhasilan tinggi melalui pengukuran selfefficacy atau dorongan diri para mahasiswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Dari sepuluh variabel, semuanya menunjukkan skala antara 3 (hampir tinggi) sampai dengan 4 (sangat tinggi). Analisis menggunakan pendekatan non parametrik dengan instrumen GSE Scale (General SelfEfficacy). Analisis menunjukkan bahwa data diambil dari populasi yang acak(asymp.Sig>0.05),sehinggahasilstatistikdeskriptifnyadianggapmewakili. KataKunci:Designthinking,Pembelajaranarsitektur,Selfefficacy Pendahuluan Banyak pemikir metode desain selalu menyampaikan isu bahwa strategi novasi yang dilakukan oleh suatu konsultan desain, akademisi, dan peneliti ilmiah adalah berbeda (Simons, Gupta, Buchanan, 2011). Di sisi lain Simons dan kawankawan setuju bahwa saat ini sedang berjalan fenomena menarik yang memberi pengaruh dalam proses pekerjaan kreatif di berbagai bidang, termasuk di dunia pendidikanataupembelajaran,yaknidesignthinking. Design thinking adalah pola pikir yang sekarang menjadi fenomena di banyak negara dan di berbagai bidang. Pink(2005) mengungkapkan bahwa di era kreativitas, keterampilan yang berbeda dariera sebelumnya diperlukan. Salah satu kemampuan penting adalah kemampuan desain. Avital dan Boland(2008)menyebutkemampuaninisebagaidesignattitude. Apakah design thinking itu? Tim Brown(2008, 2009) merumuskan design thinking sebagai sebuah metode untuk menciptakan nilai bagi calon pengguna dan peluang pasarsecara keseluruhan, 1 Staf Pengajar dan Peneliti di Program Studi Arsitektur Universitas Widya Kartika Surabaya, email. [email protected].

Transcript of Penerapan Design Thinking Dalam Arsitektur

Page 1: Penerapan Design Thinking Dalam Arsitektur

!"#$%&$'()(#*+$,)#!-".-()$/+!0")#!-*#$1)!#-"+$2"-)*$

3"4!+*)$5*#!6+*7$8$9"+(:($,)#!-".-()$;")<4=*-!$

3()*;*>*?$%@&$9"!$ABCA$

&BD$

Penerapan Design Thinking dalam Inovasi Pembelajaran Desain dan

Arsitektur

Filipus Priyo Suprobo 1

Abstrak

Design thinking sebagai pola pikir, metode, dan perangkat kerja telah memberi warna dalam

pembelajaran desain dan arsitektur dengan menerapkan 5 (lima) tahapannya yang terdiri atas discovery,

interpretation, ideation, experiment, dan evolution.

Hal ini juga telah memberikan tingkat keberhasilan tinggi melalui pengukuran self!efficacy atau dorongan

diri para mahasiswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Dari sepuluh variabel, semuanya menunjukkan

skala antara 3 (hampir tinggi) sampai dengan 4 (sangat tinggi). Analisis menggunakan pendekatan non parametrik

dengan instrumen GSE Scale (General Self!Efficacy). Analisis menunjukkan bahwa data diambil dari populasi yang

acak (asymp. Sig > 0.05), sehingga hasil statistik deskriptifnya dianggap mewakili.

Kata Kunci: Design thinking, Pembelajaran arsitektur, Self!efficacy

Pendahuluan

Banyak pemikir metode desain selalu menyampaikan isu bahwa strategi novasi yang dilakukan

oleh suatu konsultan desain, akademisi, dan peneliti ilmiah adalah berbeda (Simons, Gupta, Buchanan,

2011). Di sisi lain Simons dan kawan!kawan setuju bahwa saat ini sedang berjalan fenomena menarik

yang memberi pengaruh dalam proses pekerjaan kreatif di berbagai bidang, termasuk di dunia

pendidikan atau pembelajaran, yakni design thinking.

Design thinking adalah pola pikir yang sekarang menjadi fenomena di banyak negara dan di

berbagai bidang. Pink (2005) mengungkapkan bahwa di era kreativitas, keterampilan yang berbeda

dari era sebelumnya diperlukan. Salah satu kemampuan penting adalah kemampuan desain. Avital dan

Boland (2008) menyebut kemampuan ini sebagai design attitude.

Apakah design thinking itu? Tim Brown (2008, 2009) merumuskan design thinking sebagai

sebuah metode untuk menciptakan nilai bagi calon pengguna dan peluang pasar secara keseluruhan,

1 Staf Pengajar dan Peneliti di Program Studi Arsitektur ! Universitas Widya Kartika Surabaya, email.

[email protected].

Page 2: Penerapan Design Thinking Dalam Arsitektur

3(=)6;6?$EF$2F

&CB$

bukan hanya berdasarkan penampilan dan fungsi saja. Seluruh sistem didasarkan pada korespondensi

antara keinginan, kelayakan teknologi dan kelangsungan hidup strategi bisnis. Kegiatannya adalah untuk

menerjemahkan hasil observasi menjadi inspirasi yang mendorong ke dalam penciptaan produk, jasa,

proses dan bahkan strategi untuk kualitas hidup yang lebih baik.

Ada beberapa perluasan penerapannya di beberapa bidang seperti untuk desain organisasi,

perencanaan strategis wilayah/ sektor publik, praktek manajemen, penciptaan bisnis baru, inovasi

pendidikan dan bahkan sosial bagi pembangunan masyarakat (Brown, 2008; Wyatt, 2010).

Berdasarkan fenomena dan kebutuhan inovasi di berbagai bidang, maka penelitian ini berfokus

kepada pertanyaan tentang bagaimana jika design thinking ini diterapkan untuk pembenahan di bidang

inovasi pendidikan desain dan arsitektur. Dengan demikian, pendekatan design thinking ini diharapkan

dapat (1) memberikan warna alternatif dalam sistim pembelajaran desain dan arsitektur yang berbasis

solusi , (2) memberikan deskripsi bagaimana implementasi design thinking yang tepat dalam suatu

pembelajaran desain dan arsitektur, (3) memberikan deskripsi keberhasilan melalui pengukuran kinerja

diri siswa dalam pembelajaran desain dan arsitektur.

Telaah Pustaka

Design Thinking

Fenomena gerakan pemikiran kreatif melalui pemikiran desain sudah diprediksi oleh beberapa

ahli. Dr Edward de Bono, salah satu pakar terkemuka pada kreativitas dan cara berpikir, telah

menyarankan bahwa desain sebenarnya berakar pada kemampuan berpikir yang berbeda yang disebut

"design thinking". Cara berpikir tradisional kita terutama didasarkan pada pengenalan pola (misalnya

analisis, penilaian, dan logika). Sementara itu, berbeda dalam kemampuan berpikir desain yang

didasarkan pada pola baru penciptaan. Pola berpikir kreatif (creative thinking) sebagai komponen

penting design thinking sudah seharusnya dilihat untuk menjadi bagian penting pengajaran di semua

sektor seperti halnya critical thinking dan jangan dipandang sebagai pemberian mistik yang tidak dapat

diajarkan De Bono (2000).

Hal inilah yang membedakan bagaimana pola creative thinking atau design thinking selalu

mendasarkan pada persepsi, posibilitis, dan praktek, sementara di critical thinking selalu mendasarkan

pada analisis, fakta temuan, dan justifikasi. Critical thinking adalah cara kerja linier yang kita kenal

sekarang sebagai suatu metode ilmiah, sehingga tidak dipungkiri bahwa hasilnya cenderung bersifat

improvement (perbaikan), bukan inovasi.

Page 3: Penerapan Design Thinking Dalam Arsitektur

3"4!+*)$5*#!6+*7$8$9"+(:($,)#!-".-()$;")<4=*-!$

&CC$

Penerapan Design Thinking dalam Pendidikan

Berdasarkan fenomena ini, ditemukan pentingnya pemikiran desain di segala bidang, termasuk

pendidikan. IDEO (2011), sebuah perusahaan desain dunia secara khusus juga telah

mengimplementasikannya, walaupun di tingkat pendidikan dasar. Dalam pendidikan teknik, cara

berpikir kritis telah lama dikenal tetapi dengan mempelajari pergerakan fenomena yang terjadi, ada

beberapa institusi pendidikan yang menjalankan pembelajaran berbasis pemikiran kreatif (Awang &

Ramly, 2008). Awang dan Ramly (2008) menemukan perbedaan yang signifikan antara metode

pembelajaran berbasis masalah dengan berpikir kreatif dan pendekatan konvensional di kelas

rekayasa.

Awang dan Ramly mengatakan bahwa dalam pendekatan berpikir kreatif melalui pembelajaran

berbasis masalah, siswa belajar untuk bekerja secara mandiri dan kolaboratif. Pendekatan kognitif untuk

memecahkan masalah dalam PBL masih cukup efektif diantara pendekatan lainnya (Abadi, Jahan, &

Shoorcheh, 2011). Karena sifat berpikir kreatif lebih fleksibel, kondisi ini tak lepas dari otonomi pelajar,

regulasi diri, dan metakognisi (Cubukcu, 2009). Disisi lain, Lawanto (2010) menemukan bahwa orientasi

tujuan yang tinggi pada siswa terkait dengan efikasi diri mereka atau kemampuan diri sendiri dalam

menyelesaikan tugas yang diberikan. Ditemukan koefisien korelasi kuat antara intrinsik mahasiswa dan

efikasi dirinya daripada ekstrinsik dan efikasi dirinya. Pada studi Lawanto (2009) dalam hal perubahan

metakognisi ditemukan perbedaan signifikan dalam mahasiswa teknik yang melakukan metode

pendekatan yang berfokus pada solusi. Hal ini didukung oleh studi Case & Gunstone (2002) yang

menyatakan bahwa pendekatan belajar berbasis algorithmic (metode solusi) akan lebih menunjukkan

perubahan metakognisi siswa dibandingkan pendekatan berbasis konsep ataupun informasi.

Studi tentang Awang & Ramly (2008) dan Lawanto (2009, 2010) memberikan rekomendasi

bahwa siswa yang belajar berpikir kreatif atau dengan design thinking dalam memecahkan masalah

harus memiliki regulasi diri yang tinggi, sehingga dapat berdampak pada perubahan metakognisi tinggi.

Metode

a. Partisipan

Penelitian ini melibatkan 6 (enam) tim atau proyek yang terdiri atas 14 mahasiswa di program

studi desain dan arsitektur dari 2 (dua) institusi, yakni Institut Informatika Indonesia dan Universitas

Widya Kartika. Dalam tuntutan metode yang bersifat kolaboratif, maka para mahasiswa ini diminta

untuk bekerja sama secara tim dengan masing!masing tim diminta untuk menyelesaikan sebuah

tantangan desain.

Page 4: Penerapan Design Thinking Dalam Arsitektur

3(=)6;6?$EF$2F

&CA$

b. Instrumen Penelitian

Dengan keterbatasan partisipan yang tidak bersesuaian dengan riset Lawanto (2010), maka

untuk instrumen dalam penelitian ini diserahkan kepada General Self!Efficacy (GSE) Scale oleh Aristi

Born, Ralf Schwarzer & Matthias Jerusalem (1995). Instrumen ini telah memiliki kehandalan yang tinggi

dalam mengukur motivasi diri atas suatu tugas, dari sejak diciptakan pada tahun 1979 hingga saat ini

dengan 10 item pernyataan dan berskala 4 (empat) poin.

c. Pengumpulan Data dan Analisis

Prosedur penelitian dimulai dengan penerapan tahap demi tahap design thinking sampai

dengan solusi proyek dihasilkan. Pengukuran kinerja motivasi diri (self!regulation) dilakukan setelah

para mahasiswa menyelesaikan proyek mereka. Untuk hasil pengukuran dilakukan analisis non

parametrik dengan menggunakan paket statistik SPSS yang digunakan dengan tujuan untuk (1)

memberikan hasil statistik deskriptif dalam menggambarkan hasil temuan empiris dan (2) memberikan

hasil statistik inferensial dalam membuktikan bahwa hasil perhitungan bersesuaian dengan populasinya.

Penerapan Design Thinking

IDEO (2011) mengembangkan tahapan design thinking dalam rumusan langkah Discovery,

Interpretation, Ideation, Experiment, dan Evolution. Dalam penelitian ini, 5 (lima) langkah inilah yang

akan dijalankan dan dapat dilaporkan secara sistematis di bawah ini.

Gambar 1. Tahap Discovery untuk

penetapan masalah.

Sumber: dokumentasi peneliti

Gambar 2. Tahap Discovery dalam

kegiatan observasi menggali inspirasi.

Sumber: dokumentasi peneliti

Page 5: Penerapan Design Thinking Dalam Arsitektur

3"4!+*)$5*#!6+*7$8$9"+(:($,)#!-".-()$;")<4=*-!$

&CG$

a. Tahap Discovery

Dalam tahap ini, tim melakukan proses penetapan masalah, penetapan partisipan yang terlibat

untuk diwawancarai dalam penggalian inspirasi, perencanaan riset dari mulai pembagian kerja, daftar

pertanyaan, rencana tempat, peralatan serta alokasi waktu. Membenamkan diri di dalam konteks/

lingkungan permasalahan, baik saat wawancara maupun observasi selalu dilakukan dengan menanyakan

“bagaimana jika atau bagaimana seandainya?”. Jadi apa yang menjadi temuan adalah sebuah wawasan/

persepsi baru yang akan menjadi inspirasi. dan sebaiknya tercatat sebagai kata kunci yang ringkas dan

jelas, dimana satu kata kunci dicatat di satu post!it.

b. Tahap Interpretation

Inspirasi yang diperoleh selama wawancara dan observasi ini diceritakan di forum “story telling”

yang kemudian ditangkap oleh forum dalam persepsi masing!masing. Dengan demikian, persepsi itu

menjadi inspirasi yang semakin berbuah lebih banyak untuk setiap proyek.

Setelah semua inspirasi tersebut terkumpul, saatnya bagi tim untuk melakukan pengelompokan dan

kategorisasi berdasarkan kesamaan tema/ topik. Pengkajian yang lebih mendalam atas tema!tema yang

ada menjadikan hubungan antar tema menjadi lebih jelas dan menghasilkan suatu kerangka aksi dan

peluang.

Gambar 3. Tahap Interpretation yang

memunculkan Kerangka Aksi dan

Peluang berdasar hubungan antar

tema inspirasi

Sumber: dokumentasi peneliti

Gambar 4. Tahap Ideation dan

Eksperimen yang dilakukan dengan

memunculkan banyak possibilitas

tanpa justifikasi

Sumber: dokumentasi peneliti

Page 6: Penerapan Design Thinking Dalam Arsitektur

3(=)6;6?$EF$2F

&C%$

c. Tahap Ideation dan Experiment

Dalam tahap menghasilkan ide berdasarkan rencana aksi dan peluang ini, tim akan berfokus

pada kuantitas ide dan berpotensi untuk selalu menambahkan ide yang dihasilkan sebelumnya.

Prosesnya juga dapat berbarengan sambil menghasilkan prototipe yang bisa diujicobakan. Pemanfaatan

material seadanya dan menangkap perwujudan ide melalui model skenario, video ataupun roll play

dapat mewakili prototipe juga.

d. Tahap Evolution

Dalam tahap ini, tim memperoleh respon dari para calon penggunanya atas uji coba prototipe

yang dilakukan. Umpan balik ini ditindaklanjuti dengan melakukan perbaikan desain. Tim

mendokumentasikan semua proses dan prototipe karyanya dalam berbagai paket multimedia untuk siap

diwujudkan atau dikembangkan bersama investor.

Analisis dan Pembahasan

Proses pengukuran tingkat keberhasilan penerapan design thinking atas 6 (enam) proyek atau

tim yang melibatkan 14 mahasiswa dilakukan di akhir proyek. Pengukuran mendasarkan pada General

Self!Efficacy (GSE) para mahasiswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. GSE sendiri ditetapkan

ada 10 variabel dengan 4 (empat) skala poin. Tabel 1 menunjukkan hasil olahan paket statistik SPPS dari

hasil pengumpulan data GSE yang disajikan untuk kebutuhan deskriptif dan analisis inferensialnya.

Tabel 1. Hasil analisis deskriptif & inferensial General Self!Efficacy (GSE)

Variabel Self!Efficacy/ Self!Regulation Skala

rata2

Makna P!value

RUN Test

Pemecahan soal!soal yang sulit dalam proyek ini

selalu berhasil bagi saya, kalau saya berusaha. 4

Sangat

Tinggi 0,715

Jika seseorang menghambat tujuan saya, saya

telah dapat mencari cara dan jalan keluar 3

Hampir

Tinggi 1,000

Saya tidak mempunyai kesulitan untuk

melaksanakan niat dan tujuan saya dalam proyek 3

Hampir

Tinggi 0,239

Dalam situasi yang tidak terduga, saya tahu

bagaimana saya harus bertingkah laku/ bertindak. 3

Hampir

Tinggi 1,000

Kalau saya akan berkonfrontasi dengan sesuatu

yang baru, saya sudah tahu bagaimana saya dapat

menanggulanginya.

3 Hampir

Tinggi 0,965

Untuk setiap problem, saya pasti mempunyai

pemecahannya. 3.5

Mendekati

Sangat

Tinggi

0,164

Page 7: Penerapan Design Thinking Dalam Arsitektur

3"4!+*)$5*#!6+*7$8$9"+(:($,)#!-".-()$;")<4=*-!$

&C&$

Variabel Self!Efficacy/ Self!Regulation Skala

rata2 Makna

P!value

RUN Test

Saya dapat menghadapi kesulitan dengan tenang,

karena saya mampu mengandalkan kemampuan

saya.

3.5

Mendekati

Sangat

Tinggi

0,781

Kalau saya menghadapi kesulitan, saya sudah

terbiasa mempunyai banyak ide untuk

mengatasinya.

3 Hampir

Tinggi 0,571

Juga dalam kejadian yang tidak terduga, saya

mampu menangani kejadian dengan baik. 3

Hampir

Tinggi 0,585

Apapun yang terjadi dalam proyek ini, saya sudah

siap menanganinya. 4

Sangat

Tinggi 0,350

Dalam hal analisis inferensial untuk mengetahui apakah hasil deskriptif skala rata!rata dan

makna tersebut dapat digunakan untuk mewakili populasi, digunakan uji runs yang menunjukkan hasil

bahwa hampir semua variabel memberikan nilai Asymp. Sig. adalah > 0.05 (nilai probabilitas error/p!

value) . Dengan demikian hipotesis awal untuk suatu uji runs, yang menunjukkan bahwa data yang

diperoleh bersifat random (acak), dapat diterima. Dengan demikian, hasil sajian deskriptif dari GSE ini

dapat digunakan untuk mewakili populasi.

Berdasarkan pengukuran tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa design thinking ternyata

memberikan tingkat motivasi atau dorongan diri yang besar bagi para mahasiswa partisipan dalam

menyelesaikan tugas yang diberikan. Dan temuan ini berarti mendukung temuan hasil penelitian Awang

& Ramly (2008) dan Lawanto (2009, 2010), sehingga dapat dikembangkan bahwa design thinking ini juga

akan menghasilkan perubahan metakognisi yang tinggi.

Kesimpulan dan Diskusi

Design thinking sebagai pola pikir, metode, dan perangkat kerja telah memberi warna dalam

pembelajaran desain dan arsitektur dengan menerapkan 5 (lima) tahapannya yang terdiri atas discovery,

interpretation, ideation, experiment, dan evolution. Hal ini juga telah memberikan tingkat

keberhasilannya yang tinggi melalui pengukuran self!efficacy atau dorongan diri para mahasiswa dalam

menyelesaikan tugas yang diberikan.

Menjadi diskusi yang menarik untuk mengembangkan riset ini lebih dalam, terutama dalam

kajiannya untuk mendukung perubahan metakognisi atau kemampuan berpikir para mahasiswa.

Sedangkan yang kedua dalam tataran konsep mengapa para mahasiswa memberikan apresiasi yang

Page 8: Penerapan Design Thinking Dalam Arsitektur

3(=)6;6?$EF$2F

&CH$

tinggi pada design thinking dan bukan pada pendekatan lainnya, khususnya di bidang pendidikan desain

dan arsitektur.

Daftar Pustaka

Abadi, Bahramali AGH., Abadi, Mustafa B., Jahan, Zahra VJ. & Soorcheh, RM., (2011), Comparison of the

Effectiveness of the Transactional Analysis, Existential, Cognitive, and Integrated Group

Therapies on Improving Problem!Solving Skill, Psychology, 2, No.4, p.307!311. Scientific

Research.

Awang, H. & Ramly, Ishak., (2008), Creative Thinking Skill Approach Through Problem!Based Learning:

Pedagogy and Practice in the Engineering Classroom, International Journal of Human and Social

Sciences, 3, No.1, p.18!23.

Avital, M. & Boland, RJ., (2008), Managing as Designing with a Positive Lens, Advanced in Appreciative

Inquiry Volume 2: Designing Information and Organizations with a Positive Lens. Elsevier Ltd.

Brown, T. & Wyatt, J., (2010), Design Thinking for Social Innovation. Stanford Social Innovation Review,

winter 2010, Leland Stanford Jr. University.

Brown, T., (2009), Change by Design, New York, Harper Collins

Brown, T., (2008), Design Thinking,Harvard Business Review, June 2008, p. 84 – 92.

Cubukcu, Feryal, (2009), Learner Autonomy, Self Regulation, and Metacognition. International Electronic

Journal of Elementary Education, 2, Issue 1, p.53!64

Case, J., & Gunstone, R., (2002). Metacognitive Development as a Shift in Approach to Learning: an in!

depth study. Studies in Higher Education, 27(4), 459!470.

De Bono, Edward, (2000), New Thinking for the New Millennium, CA, New Millennium Entertainment

IDEO, (2011), Design Thinking for Educators version one, April 2011.

Lawanto, Oenardi, (2010), Understanding the Correlation between Goal Orientation and Self!Efficacy for

Learning and Performance in an Engineering Design Activity in Grade 9!12. Proceedings of the

2010 American Society for Engineering Education Zone IV Conference, p.355!362

Lawanto, Oenardi, (2009), Metacognition Changes during an Engineering Design Project, 39th

ASEE/IEEE

Frontiers in Education Conference T2F!1. Oct 18!21, 2009, San Antonio, TX.

Pink, D.H., (2005), A Whole New Mind: berpindah dari jaman informasi menuju jaman konseptual,

Jakarta, Penerbit Dinastindo

Page 9: Penerapan Design Thinking Dalam Arsitektur

3"4!+*)$5*#!6+*7$8$9"+(:($,)#!-".-()$;")<4=*-!$

&CI$

Simons, T., Gupta, A. & Buchanan, M., (2011), Innovation in R&D: Using design thinking to develop new

models of inventiveness, productivity and collaboration. Journal of Commercial Biotechnology,

17, No. 4, p.301!307.

Schwarzer, R., & Jerusalem, M., (1995), Generalized Self!Efficacy scale. In J. Weinman, S. Wright, & M.

Johnston, Measures in health psychology: A user’s portfolio. Causal and control beliefs (pp. 35!

37). Windsor, UK: NFER!NELSON.

Wang, AY. (2011). Contexts of Creative Thinking: A Comparison on Creative Performance of Student

Teachers in Taiwan and the United States. Journal of International and Cross!Cultural Studies, 2,

Issue 1, p.1!14.