PENERAPAN AUDIT PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN …
Transcript of PENERAPAN AUDIT PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN …
i
PENERAPAN AUDIT PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN
NEGARA DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI
TESIS
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh Gelar Magister Hukum pada
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin Makassar
OLEH :
LA BARIA
NIM : P0900215017
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
PENERAPAN AUDIT PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN
NEGARA DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI
OLEH :
LA BARIA
NIM : P0900215017
Telah Diperiksa dan Disetujui Untuk Mengikuti Ujian Tesis Pada Program Studi Ilmu
Hukum Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin Makassar
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. M. Djafar Saidi, S.H., M.H. Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, S.H., M.H.
Mengetahui :
Plt. Ketua Program Studi S2 Ilmu Hukum
Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum.
iii
ABSTRAK
LA BARIA. Penerapan Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN)
Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi (Studi Dugaan Tindak Pidana Korupsi
Penyalahgunaan Dana Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Khusus Pada
Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe Utara Tahun Anggaran 2015). (dibimbing
oleh M. DJAFAR SAIDI dan AMINUDDIN ILMAR).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan (1)
penerapan audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara dan (2) kekuatan
pembuktian audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) atas dugaan
tindak pidana korupsi di Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe Utara.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan kasus. Pengumpulan data menggunakan
metode studi dokumen atau bahan purtaka dan studi lapangan yang berkaitan
dengan Audit BPKP dalam rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara.
Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) penerapan audit Penghitungan
Kerugian Keuangan Negara dalam penangangan kasus dugaan tindak pidana
korupsi dana Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Khusus (DAK)
pada Dinas Kehutanan Kab. Konut dan (2) kekuatan pembuktian audit PKKN atas
kasus tersebut yakni sebagai alat bukti surat karena kasus tersebut belum masuk
ranah pengadilan, namun kasus tersebut mengacu pada data yang ada di BPKP
bahwa semua hasil audit PKKN yang dilakukan oleh BPKP perwakilan daerah
Sultra pada ranah pengadilan selalu dibutuhkan keterangan Ahli dari BPKP.
Demikian halnya dengan audit PKKN atas dugaan tindak pidana korupsi tersebut,
keterangan Ahli dari BPKP dapat member pengaruh keyakinan Hakim dalam
menjatuhkan putusan.
Kata kunci : Keuangan Negara, Perhitungan Kerugian, Audit, Tindak Pidana
Korupsi, Pembuktian.
iv
ABSTACT
LA BARIA. Implementation Of State Budget Loss Audit (PKKN) in Handling of
Corruption Crime (Study of Alleged Crime Of Corruption Misuse of Local Original
Income Fund and Special Allocation Fund at North Konawe Forestry Service Office of
Fiscal Year 2015). (Guided by M. DJAFAR SAIDI and AMINUDDIN ILMAR).
This study aims to identify and explain (1) the implementation ot the audit of
State Financial losses and (2) the strength of audit evidence of the State Financial
Losses (PKKN) on the alleged corruption crime in the North Konawe District Forestry
Office.
This research uses normative juridical method with approach of legislation and
case approach. Data collection using document study method or materials of purtaka
and field study related to BPKP Audit in order to Calculate State Financial Losses.
The result of the research shows that (1) the implementation of audit of State
Financial Losses in the handling of cases of alleged corruption of local revenue (PAD)
and Special Allocation Fund (DAK) at the Forestry Service of Kab. Konut and (2) the
strength of the verification of the PKKN audit on the case as a proof of letter because
the case has not yet entered the court domain, but the case refers to the data contained in
BPKP that all PKKN audit results conducted by BPKP regional representatives of
Southeast Sulawesi in the realm of the court Always needed information from BPKP
Expert. Similarly, with the PKKN audit of alleged corruption, the expert's statement
from BPKP can influence the Judge's confidence in deciding the verdict.
Keywords : State Finance, Loss Calculation, Audit, Corruption, Proof.
v
DAFTAR SINGKATAN
PKKN Penghitungan Kerugian Keuangan Negara.
BPKP Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan.
BPK Badan Pemeriksa Keuangan.
PAD Pendapatan Asli Daerah.
DAK Dana Alokasi Khusus.
LHA Laporan Hasil Audit.
APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
UUKN
KUHP
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara.
Kita Undang-Undang Hukum Pidana.
KUHAP Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
UU BPK
BUMN
BUMD
HPS
APIP
KPA
PPK
PP
Perpres
Kepres
LHPKKN
MK
SKKNI
KKA
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan.
Badan Usaha Milik Negara.
Badan Usaha Milik Daerah.
Harga Perkiraan Sendiri.
Aparat Pengawasan Internal Pemerintah.
Kuasa Pengguna Anggaran.
Pejabat Pembuat Komitmen.
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah.
Peraturan Presiden Nomor 192 tahun 2014 tentang BPKP yang
menggantikan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001
beserta perubahannya.
Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang kedudukan,
tugas, Fungsi, Pengawasan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Pemerintah Non - Departemen .
Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara.
Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 tanggal 23
Oktober 2012.
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia.
Kertas Kerja Audit
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas
anugerahNya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini yang merupakan salah
satu persyaratan akademik guna memperoleh gelar magister di bidang ilmu hukum pada
Program Studi IlmuHukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar Propinsi
Sulawesi Selatan.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan
karena keterbatasan yang dimiliki oleh penulis. Oleh karena itu, sangat diharapkan
berbagai masukan dan saran dari para penguji maupun peneliti-peneliti lain untuk
kesempurnaannya.
Selama dalam penyelesaian penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat
bimbingan, arahan, petunjuk dan saran dari beberapa pihak, khususnya yang amat
terpelajar tim pembimbing dan tim penguji. Maka pada kesempatan ini, penulis
menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Prof. Dr. M. Djafar Saidi, S.H., M.H. selaku Pembimbing I, yang begitu banyak
meluangkan waktunya membimbing dan memberi petunjuk kepada penulis.
2. Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, S.H., M.H. Selaku Pembimbing II yang selalu
dengan ikhlas meluangkan waktunya membimbing dan memberi petunjuk
kepada penulis.
3. Prof. Dr. Marthen Arie, S.H., M.H., Prof. Dr. Achmad Ruslan, S.H., M.H., dan
Dr. Muhammad Hasrul, S.H., M.H., masing-masing selaku komisi penguji, yang
telah banyak memberikan masukan, petunjuk dan saran untuk kesempurnaan
penulisan tesis ini.
vii
4. Rektor Universitas Hassanuddin, Prof. Dr. Dwia Aries Tina, MA. yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pascasarjana
di Universitas Hasanuddin.
5. Dekan Fakultas Hukum Unhas Prof. Dr. Farida Patitingi, S.H., M.Hum. yang
memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan magister pada
program studi ilmu hukum.
6. Para Pembantu Dekan, staf pengajar dan pegawai Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin yang telah banyak membantu penulis selama menempuh pendidikan
magister pada program studi ilmu hukum.
7. Dosen S2 Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin yang
memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan magister pada
program studi ilmu hukum.
Pada kesempatan ini pula, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya, kepada:
1. Kapolda Sultra Bapak Brigjend Pol. Andap Budhi Revianto, S.IK yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan magister
pada program studi ilmu hukum.
2. Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sultra Bapak Kombes Pol. Wira Satya
Triputra, S.IK, M.H.
3. Kasubdit III Tipidkor Polda Sultra Bapak AKBP Honesto Ruddy Dasinglolo,
S.Sos
4. Koordinator Pengawasan Bidang Investigasi BPKP Perwakilan Provinsi
Sulawesi Tenggara Bapak Lindung Saut Maruli Sirait, SE., Ak., M.Si., CFE.,
CA., CFrA.
viii
5. Teman-teman seperjuangan Kelas Program Pascasarjana S2 program studi ilmu
hukum Universitas Hasanuddin Angkatan 2015.
6. Pimpinan-pimpinan Lembaga/Instansi di tempat penulis meniliti, yang telah
banyak memberi data-data, masukan dan petunjuk kepada penulis dalam
menyusun penelitian tesis ini.
7. Secara khusus tesis ini kupersembahkan buat yang tercinta Ayahanda Alm. La
Hali dan Ibunda Wa Kombihu.
8. Keluarga Kecil saya yang kukasihi Istri tercinta Wa Ode Trisnasiswaty, SE, dan
yang tersayang anakku Zalfa Kirana Al-Iffah dan Muh. Zaldi Al-Fariza, berkat
doa dan dukungannya yang terus-menerus serta dengan penuh kesabaran,
pengharapan kepada penulis selama menempuh pendidikan pada Program
Pascasarjana S2 program studi ilmu hukum Universitas Hasanuddin.
9. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu penulis, diucapkan banyak terima kasih atas semua dukungannya,
baik moril maupun materil selama penulis menempuh pendidikan S2 ini.
Semoga Allah Yang Maha Kuasa, senantiasa memberikan bimbingan kepada kita semua
sehingga tesis ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN ..…………………………....................................
ABSTRAK ………………………………………………………………...........
ABSTRACK ………………………………………………………………...........
DAFTAR SINGKATAN …………………………………………………...........
UCAPAN TERIMA KASIH ………………………………………….…............
ii
iii
iv
v
vi
DAFTAR ISI ………………………………………….......................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. 1.1. Latar Belakang ……………………………................................ 1
B. Rumusan Masalah …………………………............................... 6
C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Kerugian Keuangan Negara ............... 8
1.1. Pengertian Keuangan Negara ............................................. 8
1.2. Pengertian Kerugian Keuangan Negara ............................. 11
1.3. Ruang Lingkup Kerugian Keuangan Negara ...................... 13
1.4. Penetapan Kerugian Keuangan Negara ............................... 16
1.5. Timbulnya Kerugian Keuangan Negara ….......................... 18
1.6. Tahap-Tahap Perhitungan Kerugian Negara ....................... 20
1.7. Metode Penghitungan Kerugian Negara ............................. 21
B. Tinjauan Umum Tentang Korupsi ............................................... 26
2.1. Pengertian Korupsi ............................................................. 26
x
2.2. Tindak Pidana Korupsi ....................................................... 27
C. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian ......................................... 31
3.1. Pengertian Pembuktian ....................................................... 31
3.2. Sistem Pembuktian .............................................................. 34
3.3. Alat Bukti dalam KUHAP .................................................. 36
D.
E.
Kerangka Pemikiran ............................................................
Bagan Kerangka Pikir ..................................................................
41
43
F. Definisi Operasional .................................................................... 44
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian ............................................................................. 46
B. Lokasi Penelitian .......................................................................... 46
C. Jenis dan Sumber Data ................................................................. 47
D. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 48
E. Analisis Data ................................................................................ 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kasus Posisi Dugaan Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten
Konawe Utara ............................................................................. 50
B. Penerapan Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara
dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten
Konawe Utara ............................................................................. 53
1. Lembaga yang Berwenang dalam Audit PKKN .................... 53
2. Langkah-Langkah Yang digunakan dalam Audit PKKN ...... 62
3. Metode Yang Digunakan dalam Audit PKKN ...................... 74
C. Kekuatan Pembuktian Audit Penghitungan Kerugian Keuangan
Negara dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi di
xi
Kabupaten Konawe Utara ........................................................... 78
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................. 87
B. Saran ............................................................................................................ 88
DAF TAR PUSTAKA ……………………..............…………………………..... 90
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 adalah negara hukum, hal ini secara tegas
menyatakan bahwa Negara Indonesia merupakan negara hukum. Salah satu ciri dari
negara hukum adalah menjunjung tinggi hukum dengan tidak ada kecualinya
(equality before the law).
Tujuan dari negara yang menganut sistem negara hukum adalah untuk
mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur bagi warganya, yang berdasar
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan tersebut dapat tercapai apabila masalah
hukum ditempatkan pada kedudukan yang sesungguhnya, sesuai dengan aturan
yang berlaku dalam negara. Di negara Indonesia hukum dijadikan suatu aturan,
kaidah atau norma yang telah disepakati bersama dan karenanya harus
dipertahankan dan ditaati bersama pula, baik oleh pemerintah maupun masyarakat
dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban masing-masing.
Proses penegakan hukum di Indonesia berkaitan erat dengan proses
pembangunan negara, karena pembangunan negara disamping dapat menimbulkan
kemajuan dalam kehidupan masyarakat, dapat juga mengakibatkan perubahan
kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, terutama
menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat.
Untuk itu diperlukan penegakan hukum. Salah satu tindak pidana yang cukup
fenomenal adalah korupsi. Karena tindak pidana ini tidak hanya merugikan
2
keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat 1.
Pasca Krisis Moneter tahun 1997 yang membuat perekonomian menjadi
lesu dan menghancurkan rezim orde baru yang berkuasa berimbas ke berbagai
aspek dari ekonomi, politik, hukum dan tata negara, Sistem perekonomian yang
dibangun orde baru dengan kekuasaan sekelompok elit politik dan didukung militer
telah menampakkan kebobrokannya, dimana faktor kolusi, korupsi dan nepotisme
menjadi sebab utama mengapa negara ini tidak mampu bertahan dari krisis bahkan
dampaknya masih terasa hingga sekarang.
Reformasi yang dilakukan pemerintah setelah orde baru memberikan
harapan akan adanya perubahan dari sisi demokrasi kepempimpinan melalui
pemilihan umum langsung dan pemilihan kepala daerah, distribusi perekonomian
dengan lebih merata dengan diberlakukannya otonomi daerah maupun transparansi
dan akuntabilitas pemerintah yaitu dengan diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan yang bebas Kolusi Korupsi dan
Nepotisme (KKN), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Namun
harapan tersebut seakan jauh dari kenyataan.
Kasus korupsi di Indonesia seakan semakin berkembang dengan metode
baru yang lebih canggih. Pemberantasan korupsi dilakukan selama ini kurang
memberikan efek jera yang diharapkan timbul dari terpidananya pelaku koruptor.
1Evi Hartanti. 2006. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika, hal.1
3
Fenomena tersebut terjadi sejak bergulirnya Undang-Undang Pemerintahan Daerah
yaitu dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 sampai Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana sistem pemerintahan
mengalami pergeseran dari sistem pemerintahan sentralistik ke sistem pemerintahan
yang desentralisasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa
sebanyak 361 kepala daerah di Indonesia terlibat kasus korupsi. Menurut catatan
Kementerian Dalam Negeri, sebanyak 343 bupati/walikota dan 18 gubernur
tersandung korupsi, dari 343 kasus yang menjerat bupati/walikota, 50 kasus di
antaranya ditangani KPK. Sementara sisanya ditangani oleh aparat penegak hukum
yakni kejaksaan dan kepolisian serta dari 18 kasus yang menjerat gubernur, 16
kasus ditangani oleh KPK dan dua kasus tersisa ditangani oleh kejaksaan2.
Desentralisasi Pemerintahan seakan-akan menjadi kambing hitam penyebab
kondisi tersebut padahal tidaklah demikian adanya, tujuan utama dari desentralisasi
atau otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat seperti apa yang
menjadi cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Dengan demikian korupsi dilakukan di tingkat pusat dan daerah-daerah dari
tingkat tinggi ke tingkat yang rendah. Salah satu contoh korupsi yang masuk
kedalam lingkup birokrasi pemerintahan dengan adanya kedua undang-undang
tersebut yaitu dalam kasus korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) baik tingkat kabupaten/kota maupun provinsi dari seluruh daerah di tanah
air.
2http://www.suara.com/news/2016/08/11/054655/kpk-sebanyak-361-kepala-daerah-terlibat-korupsi,
diaskses tanggal 20 Januari 2017 pada pukul 20.45 wita.
4
Salah satu yang mendorong terjadinya pelanggaran hukum oleh pejabat
negara ini adalah tabiat mereka yang serakah, mungkin juga sikap itu dilandasi rasa
takut bercampur malu kepada oknum pejabat tinggi dan pengusaha kuat yang
berkolusi, rasa berkuasa itulah yang sering membuat seseorang memandang remeh
orang lain dan berani bertindak apa saja, keserakahan ini tumbuh subur karena
lemahnya penegakan hukum serta manajemen yang tidak rapi sehingga kebocoran
tidak bisa segera diketahui dan dikendalikan3.
Berbagai macam kesulitan dihadapi oleh aparat yang berwenang untuk
menyeret pelaku korupsi tersebut. Hambatan tersebut bisa disebabkan karena ada
tekanan politis yang berasal dari campur tangan eksekutif maupun legislatif, atau
dikarenakan oleh rumitnya birokrasi di peradilan. Tidak hanya itu, tidak jarang
aparat penegak hukum juga ikut “bermain” dalam melindungi pelaku korupsi. Hal
inilah yang menjadi salah satu penyebab kasus korupsi sulit untuk diberantas4.
Salah satu pendekatan yang digunakan untuk mengungkap kasus korupsi
adalah dengan Audit Penghitungan Kerugiaan Keuangan Negara (PKKN).
Pendekatan audit Audit Penghitungan Kerugiaan Keuangan Negara dipandang
dapat membantu dalam menganalisis berbagai kasus korupsi di Indonesia
khususnya di pemerintah daerah yang berkaitan dengan korupsi sistemik yang
dilakukan melalui konspirasi yang telah dipersiapkan dengan dukungan dokumen
legal oleh para pelakunya. Di Indonesia, kasus-kasus korupsi yang makin banyak
terungkap dan semakin beragam jenisnya dan belum terlihat ada kecenderungan
penurunan juga pada hakekatnya membuktikan saat ini dan di masa datang makin
3Baharudin Lopa, artikel, Bisnis Indonesia, 21/11/1998.diakses pada tanggal 20 Januari 2017 pada pukul
20.00 wita. 4http://www.antikorupsi.org. Indonesian Court Monitoring. 2004.diaksespadatanggal 20 Januari 2017
padapukul20.00 wita.
5
diperlukan keahlian dibidang audit. Di Indonesia terlihat peran-peran auditor,
seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) yang diberi kewenangan untuk menghitung kerugian
keuangan negara dalam dugaan tindak pidana korupsi.
Salah satunya adalah laporan hasil audit Audit Penghitungan Kerugiaan
Keuangan Negara yang dilakukan oleh BPKP Perwakilan Provinsi Sulawesi
Tenggara terkait kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten Konawe Utara pada
Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe Utara Tahun Anggaran 2015 dengan nilai
anggaran total sebesar Rp. 1.502.505.500,- (satu miliyar lima ratus dua juta lima
ratus lima ribu lima ratus rupiah) yang terdiri dari beberapa item pekerjaan yang
bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Khusus (DAK),
yakni:5
1. Kegiatan yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu kegiatan
pengadaan bahan kelengkapan dan bibit (bibit eboni dan bayam) dengan
anggaran sebesar Rp. 294.250.000,- (dua ratus sembilan puluh empat juta dua
ratus lima puluh ribu rupiah).
2. Kegiatan yang berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK) yaitu Kegiatan
perencanaan penanaman hutan rakyat (jati) dengan anggaran sebesar Rp.
235.300.500,- (dua ratus tiga puluh lima juta tiga ratus ribu lima ratus rupiah),
kegiatan pelaksanaan pengadaan/penanaman hutan rakyat (jati) dengan
anggaran sebesar Rp. 878.010.000,- (delapan ratus tujuh puluh delapan juta
sepuluh ribu rupiah) dan kegiatan pemeliharaan penanaman hutan rakyat (jati)
5 Data Subdit III Tipikor Polda Sultra pada tanggal 15 Desember 2016
6
dengan anggaran sebesar Rp. 98.945.000,- (sembilan puluh delapan juta
sembilan ratus empat puluh lima ribu rupiah).
Berdasarkan Laporan Hasil Audit (LHA) dalam rangka Penghitungan
Kerugian Keuangan Negara yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan Perwakilan Provinsi Sulawesi Tenggara, negara mengalami kerugian
sebesar Rp. 935.662.500,- (sembilan ratus tiga puluh lima juta enam ratus enam
puluh dua ribu lima ratus rupiah). Berangkat dari latar belakang tersebut peneliti
tertarik untuk menyusun tesis dengan judul “Penerapan Audit Penghitungan
Kerugian Keuangan Negara dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi (Studi
Laporan Hasil Audit BPKP Atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan
Dana Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Pada Dinas
Kehutanan Kabupaten Konawe Utara Tahun Anggaran 2015)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan penjelasan diatas, maka peneliti merumuskan
permasalahannya sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas
dugaan tindak pidana korupsi di Kabupaten Konawe Utara ?
2. Bagaimana kekuatan pembuktian Audit Penghitungan Kerugian Keuangan
Negara atas dugaan tindak pidana korupsi di Kabupaten Konawe Utara ?
7
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan penerapan Audit Penghitungan Kerugian
Keuangan Negara atas dugaan tindak pidana korupsi di Kabupaten Konawe
Utara.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan kekuatan pembuktian Audit Penghitungan
Kerugian Keuangan Negara atas dugaan tindak pidana korupsi di Kabupaten
Konawe Utara.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan gambaran tentang penerapan dan kekuatan pembuktian Audit
Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas dugaan tindak pidana
korupsi di Kabupaten Konawe Utara.
b. Memberikan kontribusi untuk pengembangan ilmu dibidang audit dan
hukum pembuktian dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan informasi kepada masyarakat Indonesia secara umum dan
terkhusus masyarakat Kabupaten Konawe Utara tentang Audit
Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas dugaan tindak pidana
korupsi di Kabupaten Konawe Utara.
b. Memberikan pedoman praktis dan sebagai dasar pertimbangan bagi aparat
penegak hukum dan pejabat daerah yang berkaitan dengan Audit
Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas dugaan tindak pidana
korupsi.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Kerugian Keuangan Negara
1.1. Pengertian Keuangan Negara
Menurut Arifin P. Soeria Atmadja mengatakan keuangan negara dalam
arti luas meliputi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD), Perusahaan Umum (Perum) dan
sebagaianya, sedangkan definisi keuangan negara dalam arti sempit, hanya
meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan
mempertanggungjawabkannya. Keuangan yang meliputi APBN, APBD dan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),
tidaklah tepat apabila menggunakan istilah keuangan negara yang lebih tepat
adalah menggunakan istilah Keuangan Publik6.
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban tersebut7.
Pengertian dan ruang lingkup keuangan negara yang digunakan dalam
pendekatan merumuskan keuangan negara menurut penjelasan umum angka 3
6 Adrian Sutedi., Hukum Keuangan Negara, 2010, Jakarta: Sinar Grafika, hal.10
7 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
9
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 adalah dari sisi objek, subjek, proses,
dan tujuan8:
a. Dilihat dari sisi objek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi
semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan
kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang
maupun beruba barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
b. Dilihat dari sisi obejk yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi
seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau
dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan
negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
c. Dilihat dari sisi proses, keuangan negara mencangkup seluruh rangkaian
kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di
atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan samapai
dengan pertanggungjawaban.
d. Dilihat dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan,
kegaitan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau
penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun,
yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala
bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena9:
8 Hernold Ferry Makawimbang, Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Suatu
Pendekatan Hukum Progresif, Thafa Media: Semarang, 2014, hal. 6
10
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik Negara/Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang
menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pidak
ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Berdasarkan unsur-unsur tersebut, kerangka pikir keuangan negara
dirumuskan adalah keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan
negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan,
termasuk di dalamnya segala bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak
dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak
dan kewajiban yang timbul karena “berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
pertanggungjawaban10
:
1. Pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
2. BUMN/BUMD,
3. Yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara,
atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan
perjanjian dengan negara.
Hukum Keuangan Negara adalah sekumpulan kaidah hukum tertulis
yang mengatur hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk uang dan barang yang dikuasai oleh negara terkait dengan pelaksanaan
9 Penjelasan Alinea III Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi 10
Hernold Ferry Makawimbang, Op.Cit, hal. 9
11
hak dan kewajiban tersebut11
. Pengertian barang yang dikuasai oleh negara dapat
berupa barang berwujud dan barang tidak berwujud. Penguasaan yang dilakukan
oleh negara sesuai dengan substansi dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945 yang tidak memberikan keabsahan untuk memilikinya.
Kepemilikan dalam negara hanya berada pada pemilik kedaulatan yaitu rakyat
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut UUD.
1.2. Pengertian Kerugian Keuangan Negara
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat bahasa Indonesia Depatemen
Pendidikan Nasional, Edisi Keempat Tahun 2008 mendefinisikan kata rugi,
kerugian dan merugikan sebagai berikut” kata “rugi” (1) adalah kurang dari
harga beli atau modalnya (2) kurang dari modal, (3) “rugi” adalah tidak
mendapat faedah (manfaat), tidak beroleh sesuatu yang berguna, “kerugian”
adalah menanggung atau menderita rugi, sedangkan kata “merugi” adalah
mendatangkan rugi kepada ...., sengaja menjual lebih rendah dari harga
pokok12
.
Sementara menurut Djiko Sumaryanto bukanlah kerugian negara dalam
pengertian di dunia perusahaan/peniagaan, melainkan suatu kerugian yang
terjadi karena sebab perbuatan (perbuatan melawan hukum). Dalam kaitan ini,
faktor-faktor lain yang menyebabkan kerugian negara adalah penerapan
kebijakan yang tidak benar, memperkaya sendiri, orang lain, atau korporasi.
Sebenarnya pengelolaan keuangan negara melupakan identitasnya pada saat
11
Muhammad Djafar Saidi., Hukum Keuangan Negara, 2013, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hal. 2 12
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Indonesia, Edisi ke empat 2008, (Departemen
Pendidikan Nasional), Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 1186.
12
diserahi tugas untuk mengurus keuangan negara sehingga negara mengalami
kerugian13
.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
memberikan definisi tentang “kerugian” dalam konteks kerugian
negara/daerah. Pasal 1 ayat (22) Undang-Undang ini berbunyi: Kerugian
Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang
nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik
sengaja maupun lalai.
Kerugian negara/daerah yang timbul karena di luar kemampuan
manusia (force majeure) tidak dapat dituntut. Kerugian negara/daerah sebagai
akibat perbuatan melawan hukum, dapat dituntut. Paham yang dikemukakan
dalam Pasal 1365 KUHPerdata tercermin dalam Kerugian Negara/ Daerah
yang dapat dituntut.
Dalam konteks Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kerugian keuangan negara
yang dimaksud adalah yang disebabkan perbuatan melawan hukum (pasal 2),
tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
pada seseorang karena jabatan atau kedudukannya (pasal 3).
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “Setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
13
Hernold Ferry Makawimbang, Op. Cit., hal. 110
13
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.”
Kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan
delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya
unsur-unsur perbuatan pidana yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya
akibat. Oleh karena itu, unsur kerugian negara harus dibuktikan dan dapat
dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi. Dengan
demikian, maka pembuktian atas kerugian tersebut harus ditentukan oleh
seorang ahli di bidangnya.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa Kerugian Keuangan Negara adalah berkurangnya kekayaan negara
atau bertambahnya kewajiban negara tanpa diimbangi dengan prestasi yang
setara, yang disebabkan oleh suatu tindakan melawan hukum, penyalahgunaan
wewenang/kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan
atau kedudukan, kelalaian seseorang, dan atau disebabkan oleh keadaan di luar
kemampuan manusia (force majeure).
1.3. Ruang Lingkup Kerugian Keuangan Negara
Yang menjadi ruang lingkup keuangan negara menurut Pasal 2 huruf g
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UUKN)
adalah sebagai berikut:
a. Hak negara untuk memungut pajak;
b. Hak negara untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang;
c. Hak negara untuk melakukan pinjaman;
14
d. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara;
e. Kewajiban negara untuk membayar tagihan pihak ketiga;
f. Penerimaan negara;
g. Pengeluaran negara;
h. Penerimaan daerah;
i. Pengeluaran daerah;
j. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang
dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara/perusahaan daerah;
k. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
l. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.
Ruang lingkup keuangan negara tersebut, dikelompokkan ke dalam tiga
bidang pengelolaan yang bertujuan untuk memberikan pengklasifikasian
terhadap pengelolaan keuangan negara. Adapun pengelompokan pengelolaan
keuangan negara adalah sebagai berikut:
1. Bidang pengelolaan pajak;
a. Pajak penghasilan;
b. Pajak pertambahan nilai barang dan jasa;
c. Pajak penjualan atas barang mewah;
d. Bea matrai.
15
2. Bidang pengelolaan moneter;
a. Bea masuk;
b. Cukai gula;
c. Cukai tembakau;
3. Bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan;
a. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah;
b. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;
c. Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan;
d. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
pemerintah;
e. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari
pengenaan denda administrasi;
f. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah;
g. Penerimaan lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri.
Pengelolaam keuangan negara merupakan bagian dari pelaksanaan
pemerintahan negara. Pengelolaan keuangan negara adalah keseluruhan
kegiatan pejabat pengelolaan keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan
kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
pertanggungjawaban.
Jadi ruang lingkup pengelolaan keuangan negara, meliputi:
1. Perencanaan keuangan negara;
2. Pelaksanaan keuangan negara;
16
3. Pengawasan keuangan negara; dan
4. Pertanggungjawaban keuangan negara.
1.4. Penetapan Kerugian Keuangan Negara
Penetapan kerugian keuangan negara dapat dilakukan dengan cara
melakukan audit terlebih dahulu oleh instansi yang memiliki keahlian di dalam
bidangnya untuk menghitung kerugian negara. Dalam penjelasan sebelumnya
sudah disebutkan terkait instansi-instasi apa saja yang dapat menghitung
kerugian keuangan negara. Selain itu, untuk dapat menentukan kerugian negara
juga harus dapat membuktikan bahwa unsur dari pengertian kerugian negara
dapat terpenuhi.
Pengertian kerugian negara sendiri dalam Pasal 1 angka 22 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara disebutkan
bahwa “Kerugian Negara/Daerah adalah berkurangnya uang, surat berharga,
dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan
hukum baik sengaja ataupun lalai”.
Unsur-unsur dari kerugian negara adalah:
1. Kerugian negara merupakan berkurangnya keuangan negara berupa uang
berharga, barang milik negara dari jumlahnya dan/atau nilai yang
seharusnya;
2. Kekurangan dalam keuangan negara tersebut harus nyata dan pasti
jumlahnya atau dengan perkataan lain kerugian tersebut benar-benar telah
terjadi dengan jumlah kerugian yang secara pasti dapat ditentukan
besarnya, dengan dapat ditentukan besarnya, dengan demikian kerugian
17
negara tersebut hanya merupakan indikasi atau berupa potensi terjadinya
kerugian; dan
3. Kerugian tersebut akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun
lalai, unsur melawan hukum harus dapat dibuktikan secara cermat dan
tepat.
Dalam penjelasan umum atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan mengenai keuangan
negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan
atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan
negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga negara baik di pejabat lembaga negara baik di tingkat pusat
maupun di daerah; dan
b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban
BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan
modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara, sedangkan yang
dimaksud dengan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan maupun usaha masyarakat secara mandiri
yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun
di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan
kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (22) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 sebagaimana di kemukakan di atas, maka dapat dilihat bahwa
18
konsep yang dianut yaitu konsep kerugian negara dalam arti delik materiil di
mana perbuatan atau tindakan merugikan keuangan negara dengan syarat harus
adanya kerugian negara yang benar-benar nyata sedangkan dalam Pasal 2 ayat
(1) Uundang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dijelaskan bahwa kerugian negara
dalam konsep delik formil dikatakan dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Dari beberapa ketentuan di atas, dapat dikatakan bahwa konsep
kerugian keuangan negara dalam arti delik materiil tidak dapat lagi digunakan
atau tidak dapat lagi dipertahankan karena untuk dapat atau tidaknya suatu
tindakan dikatakan sebagai korupsi harus adanya tindakan persiapan yang
dilakukan tetapi belum nyata dapat merugikan keuangan negara. Tindakan
persiapan tersebut juga akan mengarah pada perbuatan yang dapat merugikan
keuangan negara, sehingga untuk mencegah agar suatu tindakan pidana
keuangan negara maka sebaiknya dipergunakan konsep delik formil dalam
menentukan apakah telah terjadi kerugian keuangan negara atau tidak.
1.5. Timbulnya Kerugian Keuangan Negara
Timbulnya kerugian negara menurut Yunus Husein sangat terkait dengan
berbagai transaksi, seperti transaksi barang dan jasa, transaksi yang terkait
dengan utang piutang, dan transaksi yang terkait dengan utang piutang, dan
transaksi yang terkait dengan biaya dan pendapatan. Dalam kaitan ini Djoko
Sumaryanto mengemukakan bahwa tiga kemungkinan terjadinya kerugian
negara tersebut menimbulkan beberapa kemungkinan peristiwa yang dapat
merugikan keuangan negara, adalah sebagai berikut:
19
1. Terjadi pengadaan barang-barang dengan harga yang tidak wajar karena
jauh di atas harga pasar, sehingga dapat merugikan keuangan negara
sebesar selisih harga pembelian dengan harga pasar atau harga yang
sewajarnya;
2. Harga pengadaan barang dan jasa wajar. Wajar tetapi tidak sesuai dengan
spesifikasi barang dan jasa yang dipersyaratkan. Kalau harga barang dan
jasa murah, tetapi kualitas barang dan jasa kurang baik, maka dapat
dikaitkan juga merugikan keuangan negara;
3. Terdapat transaksi yang memperbesar utang negara secara tidak wajar,
sehingga dapat dikatakan merugikan keuangan negara karena kewajiban
negara untuk membayar utang semakin besar;
4. Piutang negara berkurang secara tidak wajar dapat juga dikatakan
merugikan keuangan negara;
5. Kerugian keuangan negara dapat terjadi kalau aset negara berkurang karena
terjual dengan harga yang murah atau dihibahkan kepada pihak lain atau
ditukar dengan pihak swasta atau perorangan (ruilasg);
6. Untuk merugikan negara adalah dengan memperbesar biaya instansi atau
perusahaan. Hal ini dapat terjadi baik karena pemborosan maupun dengan
cara lain seperti membuat biaya fiktif. Dengan biaya yang diperbesar,
keuntungan perusahaan yang menjadi objek pajak semakin kecil; dan
7. Hasil penjualan suatu perusahaan dilaporkan lebih kecil dari penjualan
sebenarnya, sehingga mengurangi penerimaan resmi perusahaan tersebut.
Kerugian negara dari aspek Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004
tentng Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dapat
20
terjadi pada dua tahap sebagaimana dikemukakan oleh Djoko Sumaryanto,
yaitu pada tahap dana akan masuk pada kas negara dan pada tahap dana akan
ke luar dari kas negara. Pada tahap dana akan ke luar dari kas kerugian bisa
terjadi melalui; konspirasi pajak, konspirasi denda, konspirasi pengembalian
kerugian negara dan penyelundupan. Sedangkan pada tahap dana akan ke luar
dari kas negara kerugian terjadi akibat; Mark Up, korupsi, kredit macet,
pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai dengan program dan lain-lain.
Sementara yang dimaksud dengan perbuatan-perbuatan yang dapat merugiakan
perekonomian negara ialah pelanggaran-pelanggaran pidana terhadap
peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam bidang
kewenangan.
1.6. Tahap-Tahap Perhitungan Kerugian Negara
Proses terkait dengan kerugian keuangan negara terbagi ke dalam 4
tahap yaitu:
1. Menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara.
Pada tahap ini, penyelidik, penyidik, dan kemudian penuntut umum
merumuskan perbuatan melawan hukumnya berdasarkan fakta hukumnya.
Hasil akhir dari tahap ini adalah menentukan apakah ada kerugian
keuangan negara.
2. Menghitung kerugian keuangan negara
Pada tahap ini, pihak yang bertanggung jawab menghitung kerugian
keuangan negara adalah akuntan/auditor/akuntan forensik. Di Undang-
Undang, pihak yang menghitung kerugian keuangan negara disebut sebagai
Ahli, seperti yang diatur dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 8
21
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ahli adalah
seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan
untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan.
3. Menetapkan kerugian keuangan negara
Dalam tindak pidana korupsi, tahap ketiga merupakan putusan
majelis hakim, baik di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan
Mahkamah Agung.
4. Menetapkan besarnya pembayaran uang pengganti
Pembayaran uang pengganti merupakan salah pidana tambahan
dalam Undang-Undang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi yang diatur
dalam pasal 18 ayat (1) poin ketiga “pembayaran uang pengganti yang
jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh
dari tindak pidana korupsi.
1.7. Metode Penghitungan Kerugian Negara
Pada dasarnya metode perhitungan kerugian negara tidak dapat
ditetapkan secara baku untuk dijadikan pedoman/acuan dalam menghitung
kerugian negara. Hal ini dikarenakan modus operandi, kasus-kasus
penyimpangan dan bentuk kerugian negara dapat bermacam-macam. Dalam
pelaksanaan pemeriksaan, pemeriksa dapat memilih metode yang dianggap
paling tepat.
22
Tuanakotta membagi konsep atau metode penghitungan kerugian
keuangan negara menjadi enam konsep atau metode, yaitu14
:
1) Kerugian Total (Total Loss)
Metode ini menghitung kerugian keuangan negara dengan cara
seluruh jumlah yang dibayarkan dinyatakan sebagai kerugian keuangan
negara. Metode penghitungan kerugian negara kerugian total juga
diterapkan dalam penerimaan negara yang tidak disetorkan, baik sebagian
maupun seluruhnya. Bagian yang tidak disetorkan merupakan kerugian
total.
2) Kerugian Total dengan Penyesuaian
Metode kerugian total dengan penyesuaian seperti dalam metode
Kerugian Total, hanya saja dengan penyesuaian ke atas. Penyesuaian
diperlukan apabila barang yang dibeli harus dimusnahkan dan
pemusnahannya memakan biaya. Kerugian keuangan negara tidak hanya
berupa pengeluaran untuk pengadaan barang tersebut, tetapi juga biaya
yang diperlukan maupun dikeluarkan untuk memusnahkan barang tersebut.
3) Kerugian Bersih (Net Loss)
Dalam metode kerugian bersih, metode nya sama dengan metode kerugian
total. Hanya saja dengan penyesuaian ke bawah. Kerugian bersih adalah
kerugian total dikurangi dengan nilai bersih barang yang dianggap masih
ada nilainya. Nilai bersih merupakan selisih yang bias diperoleh dikurangi
salvaging cost.
14
Theodorus M.Tuanakotta, 2009, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana
Korupsi, Jakarta : Penerbit Salemba Empat, hal. 144
23
4) Harga wajar
Pada metode penghitungan kerugian keuangan negara ini, harga
wajar menjadi pembanding untuk harga realisasi. Kerugian keuangan
negara dimana transaksinya tidak wajar berupa selisih antara harga wajar
dengan harga realisasi. Metode penghitungan kerugian keuangan negara
harga wajar digunakan dalam kasus pengadaan barang maupun transaksi
pelepasan dan pemanfaatan barang.
Dalam menghitung harga wajar sederhana, akan tetapi
penerapannya tidak selalu mudah. Hal ini dikarenakan sulitnya menentukan
harga wajar. Hukum Amerika Serikat menggunakan arm’s length
transaction untuk menentukan harga wajar. Arm’s length transaction
merupakan kesepakatan atau kontrak antara dua pihak seolah-olah mereka
tidak saling mengenal. Apabila kriteria arm’s length transaction tidak
terpenuhi maka harga yang terjadi bukan merupakan harga wajar.
Terminologi apple to apple comparison biasanya digunakan
untuk menguji kewajaran harga dalam pengadaan barang, khususnya
barang bergerak. Yang dimaksud dengan metode perbandingan apple to
apple comparison adalah membandingkan dua obyek yang bukan hanya
jenisnya harus sama tetapi unsur-unsur yang membentuk obyek
tersebut juga harus sama.
Adapun unsur-unsur yang harus diperhatikan pada saat
melakukan perbandingan harga barang antara lain adalah sebagai berikut:
a. spesifikasi suatu barang;
b. biaya pengangkutan;
24
c. asuransi;
d. pajak;
e. biaya pemasangan;
f. biaya pengujian barang;
g. keuntungan rekanan.
Selain penghitungan berdasarkan pendekatan apple to
apple comparison, ada dua jenis harga pembanding lain, yaitu:
a. Harga Pokok
Penghitungan berdasarkan harga pokok sering dikritik. Hal ini
dikarenakan harga pokok tidak sama dengan harga jual. Harga pokok
seharusnya disesuaikan ke atas atau ke bawah untuk dapat
mencerminka harga jual.
b. Harga Perkiraan Sendiri
Dalam pengadaan barang, lembaga yang melaksanakan proses
tender memiliki kewajiban dan diharuskan untuk menyusun Harga
Perkiraan Sendiri (HPS). Harga perkiraan sendiri dihitung dengan
pengetahuan dan keahlian mengenai barang ataupun jasa yang
ditenderkan dan harus berdasarkan data yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Akan tetapi, penggunaan harga perkiraan sendiri juga memiliki
kelemahan. Karena transaksi yang terjadi bukanlah arm’s length
transaction, sehingga harga perkiraan sendiri sudah dimainkan.
Dalam menentukan harga wajar, penggunaan harga pembanding
yang dihitung atau ditaksir oleh seorang ahli juga sering
25
dipertanyakan. Yang dimaksud dengan ahli dalam hal ini adalah penilai
(appraiser). Seorang penilai sangatlah tepat untuk menilai gedung, pabrik,
mobil, atau alat berat. Penilai bisa orang yang berspesialisasi atau
berpengalaman dalam aset tertentu. Nilai yang diajukan oleh beberapa
penilai biasanya lebih dapat diterima oleh pengadilan disbanding dengan
yang diajukan oleh hanya seorang penilai.
5) Biaya Kesempatan (Opportunity Cost)
Dalam metode biaya kesempatan, apabila ada kesempatan atau
peluang untuk memperoleh yang terbaik, akan tetapi justru peluang ini
yang dikorbankan, maka pengorbanan ini merupakan kerugian, dalam arti
opportunity cost.
6) Bunga (Interest)
Bunga merupakan unsur kerugian negara yang penting, terutama
pada transaksi-transaksi keuangan yang seperti dalam penempatan aset.
Para pelaku transaksi ini umumnya paham dengan konsep nilai waktu
dari uang. Bunga perlu dimasukkan dalam penghitungan kerugian
keuangan negara. Dalam sengketa perdata, kerugian bunga dihitung
berdasarkan jangka waktu (periode) dan tingkat bunga yang berlaku.
Menghitung kerugian keuangan negara dapat menggunakan berbagai
macam metode. Dalam melakukan penghitungan kerugian keuangan negara,
dapat juga digunakan dua metode atau lebih sekaligus, tergantung pada
kompleksitas pekerjaan dan jenis kontraknya.
Dalam pelaksanaannya penerapan atas metode penghitungan kerugian
keuangan negara sering kali tidak konsisten, meskipun secara umum
26
penyimpangannya tidak jauh berbeda. Tidak tertlihat adanya suatu pola
penghitungan yang bisa digunakan sebagai pedoman atau acuan
dalam menghitung kerugian keuangan negara.
B. Tinjauan Umum Tentang Korupsi
2.1. Pengertian Korupsi
Korupsi adalah penjualan barang-barang milik pemerintah oleh pegawai
negeri untuk keuntungan pribadi. Sebagai contoh, pegawai negeri sering menarik
pungutan liar dari perijinan, lisensi, bea cukai, atau pelarangan masuk bagi
pesaing. Para pegawai negeri itu memungut bayaran untuk tugas pokoknya atau
untuk pemakaian barang-barang milik pemerintah untuk kepentingan pribadinya.
Untuk kasus seperti ini, korupsi menyebabkan biaya ekonomi tinggi, dan oleh
karena itu korupsi tidak baik bagi pertumbuhan15
.
Berdasarkan pemahaman dan dimensi baru mengenai kejahatan yang
memiliki konteks pembangunan, pengertian korupsi tidak lagi hanya
diasosiasikan dengan penggelapan keuangan Negara saja. Tindakan bribery
(penyuapan) dan kickbacks (penerimaan komisi secara tidak sah) juga dinilai
sebagai sebuah kejahatan. Penilaian yang sama juga diberikan pada tindakan
tercela dari oknum pemerintah seperti bureaucratic corruption atau tindak
pidana korupsi, yang dikategorikan sebagai bentuk dari offences beyond the
reach of the law (kejahatan-kejahatan yang tidak terjangkau oleh hukum).
Banyak contoh diberikan untuk kejahatan-kejahatan semacam itu, misalnya tax
evasion (pelanggaran pajak), credit fraud (penipuan di bidang kredit),
15
Shleifer, Andrei dan Robert W. Vishny. Corruption. Quarterly of Journal Economy. Vol.CVIII. pp
598-617. Cambridge: MIT Press. 199
27
embezzlement and misapropriation of public funds (penggelapan dan
penyalahgunaan dana masyarakat), dan berbagai tipologi kejahatan lainnya yang
disebut sebagai invisible crime (kejahatan yang tak terlihat). Istilah invisble
crime banyak ditujukan untuk menunjuk pada kejahatan yang sulit dibuktikan
maupun tingkat profesionalitas yang tinggi dari pelakunya16
.
Dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah tindakan menyimpang dari
aturan maupun hukum yang berlaku dengan maksud dan tujuan untuk
keuntungan pribadi dan memberikan kerugian pada negara.
2.2. Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana atau dalam bahasa Belanda straafbaar feit merupakan
istilah resmi dalam strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang dalam istilah asing juga disebut dengan delict. Tindak pidana
dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman
pidana17
.
Pelaku tindak pidana disebut subjek tindak pidana dalam pandangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Subjek tindak pidana adalah seorang
manusia sebagai oknum yang memiliki daya berpikir yang merupakan syarat
subjek tindak tindak pidana itu. Wujud perbuatan tindak pidana tercantum dalam
perumusan pasal-pasal tertentu dalam dalam peraturan tindak pidana atau dalam
bahasa Belanda dinamakan delict-omschrijving.
16
Adji, Indriyanto Seno. Menuju UU Tindak Pidana Korupsi yang Efektif. Kompas Online.
www.kompas.com/9709/25/opini 1999
17
WirjonoProdjodikoro, 2009.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung : Refika Aditama, hal. 59
28
Simons18
menyatakan bahwa ”straafbaar feit adalah kelakuan
(handeling) yang diancam dengan pidana, besifat melawan hukum, yang
berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang dapat
dipertanggung jawabkan”.
Jadi, apabila dilihat rumusan delik yang dikemukakan oleh Simons
tersebut diatas, maka di dalamnya terkandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Suatu perbuatan manusia
2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang
3. Perbuatan itu harus bertentangan dengan hukum, dan
4. Perbuatan itu harus dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung
jawabkan, artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan tersebut.
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dapat dirumuskan bentuk tindak pidana korupsi yang tertuang dalam 30
pasal. Dari 30 pasal tersebut dapat dikategorikan menjadi 7 kategori besar
tindak pidana korupsi sebagai berikut :
1) Kerugian Keuangan Negara;
2) Suap-menyuap;
3) Penggelapan dalam Jabatan;
4) Perbuatan Pemerasan;
5) Perbuatan Curang;
6) Benturan Kepentingan dalam Pengadaan Barang dan Jasa;
7) Gratifikasi.
18
RuslyEffendy. 1986. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian I dan II. LEPPEN UMI : Ujung Pandang. hal.37
29
Dari tujuh kategori tindak pidana korupsi yang tertuang dalam 30 pasal
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara hanya digunakan pada kategori
tindak pidana atas kerugian keuangan negara.
Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi menyatakan “setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Unsur tindak pidananya adalah :
1) Setiap orang;
2) Memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi;
3) Dengan cara melawan hukum;
4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Selain itu dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun
1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan “setiap orang yang
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya
30
karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Unsur tindak pidananya adalah :
1) Setiap orang;
2) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi;
3) Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Berdasarkan ketentuan diatas, salah satu unsur yang termuat dalam
ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.
Terdapat perbedaan antara kerugian keuangan negara dan merugikan
keuangan negara. Kerugian keuangan negara diatur dalam Pasal 1 butir (22) UU
Perbendaharaan Negara mengartikan kerugian keuangan negara sebagai
"kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya
sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai". Dalam
teori hukum pidana, pengertian tersebut termasuk "delik materiil” lantaran
memberi syarat adanya kerugian negara "yang benar-benar nyata dan pasti
31
jumlahnya" sebagai akibat suatu perbuatan yang dilarang dan harus dibuktikan
di depan sidang pengadilan. Sedangkan merugikan keuangan negara diatur
dalam Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi yang menganut „delik formil‟,
yaitu tindak pidana korupsi dianggap sudah terjadi apabila unsur-unsur
perbuatan yang dilarang sudah terpenuhi, tanpa memperhitungkan timbulnya
suatu akibat. Hal itu dapat dilihat pada kata "dapat" merugikan keuangan dan
perekonomian negara dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Korupsi. Korupsi
dianggap telah terjadi apabila perbuatan tersebut „berpotensi‟ menimbulkan
kerugian keuangan negara. Ada atau tidaknya kerugian keuangan negara secara
nyata dan pasti jumlahnya, tidak menjadi ukuran telah terjadinya korupsi,
bahkan tidak perlu dibuktikan di sidang pengadilan.
Dalam hal menentukan suatu tindak pidana korupsi terdapat unsur “dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”dalam dugaan tindak
pidana korupsi diperlukan suatu pendapat dan analisis dari lembaga-lembaga
yang berwenang seperti BPK, APIP (Aparat Pengawasan Internal Pemerintah),
BPKP, dan Inspektorat berupa hasil audit seperti Laporan Hasil Audit
Penghitungan Kerugiaan Keuangan Negara.
C. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian
3.1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian merupakan salah satu hal yang penting dalam menentukan
kebenaran atas dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa dalam suatu
persidangan. Oleh karena itu, pembuktian perlu diketahui secara mendalam.
Dalam KUHAP istilah “bukti”, “barang bukti” dan “alat bukti” tidak
terdefinisi secara jelas, untuk itu diperlukan pendefinisian dari literatur di luar
32
KUHAP dalam hal ini Kamus Hukum maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia
dan pendapat para ahli hukum pidana.
Bukti dalam bahasa Inggris “evidence” menurut Ian Dennis19
yang
memiliki arti yaitu informasi yang memberikan dasar-dasar yang mengandung
suatu kenyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu benar.
Menurut Max M. Houck20
evidence atau bukti didefinisikan sebagai
pemberian informasi dalam penyidikan yang sah mengenahi fakta yang kurang
lebih seperti apa adanya.
Dalam bahasa Belanda “bewijs” merupakan asal kata serapan dari
bukti, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai sesuatu yang
menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Dalam kamus hukum “bewijs”
diartikan sebagai segala sesuatu yang memperlihatkan kebenaran fakta tertentu
atau ketidakbenaran fakta lain oleh para pihak dalam perkara pengadilan, guna
memberi bahan kepada hakim bagi penilaiannya.
Syaiful Bakhri,21
pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang,
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian
merupakan suatu ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh
undang-undang, yang digunakan oleh hakim dalam membuktikan kesalahan
yang didakwakan di dalam persidangan, dan tidak dibenarkan membuktikan
kesalahan terdakwa dengan tanpa alasan yuridis dan berdasar keadilan.
19
Eddy O.S. Hiariej. 2012. Teori & Hukum Pembuktian. Penerbit Erlangga : Jakarta, hal. 2 20
Ibid, hal. 3 21
Ibid, hal. 4
33
Nashr Farid Washil,22
„membuktikan‟ yakni menyajikan alat-alat bukti
yang sah menurut hukum.
Phyllis B. Gerstenfeld,23
memberi definisi hukum pembuktian adalah
sebagai aturan yang menentukan dapat diterimanya semua bentuk bukti di
pengadilan.
Bambang Poernomo,24
hukum pembuktian sebagai keseluruhan aturan
hukum atau peraturan undang-undang mengenahi kegiatan untuk rekonstruksi
suatu kenyataan yang benar pada setiap kejadian masa lalu yang relevan
dengan persangkaan terhadap orang-orang yang diduga melakukan perbuatan
pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang
berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.
Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo25
berpendapat bahwa
membuktikan mengandung tiga pengertian yaitu membuktikan dalam arti logis,
membuktikan dalam arti konvensional, dan membuktikan dalam hukum atau
mempunyai arti yuridis.
Menurut Yahya Harahap26
pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang
berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-
undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang
dibenarkan oleh undang-undang dan boleh dipergunakan hakim untuk
membuktikan kesalahan yang didakwakan.
22
Ibid, hal. 5 23
Ibid 24
Ibid 25
Ibid, hal. 6 26
M. Yahya Harahap. 2005. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika.
hal. 273
34
Membuktikan mempunyai pengertian-pengertian :
1) Memberi (memperlihatkan bukti);
2) Melakukan sesuatu sebagai bukti kebenaran melaksanakan (cita-cita dan
sebagainya);
3) Menandakan, menyatakan (bahwa sesuatu itu benar);
4) Meyakinkan, menyaksikan.
Kebenaran dalam perkara pidana merupakan kebenaran yang disusun
dan didapat dari jejak, kesan, dan refleksi dari keadaan dan atau benda yang
berdasarkan ilmu pengetahuan dapat berkaitan dengan masa lalu yang diduga
menjadi perbuatan pidana. Suatu pembuktian menurut hukum pada dasarnya
untuk menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta masa lalu yang
tidak terang menjadi fakta yang terang.
Dalam kaitannya dengan audit forensik bukti yang disajikan oleh
auditor forensik harus memenuhi hukum acara pidana tindak pidana korupsi
yakni ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan
mempertahankan kebenaran, baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa
maupun penasehat hukum, semuanya terikat pada ketentuan dan tata cara, serta
penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.
Begitu pentingnya pembuktian dalam proses peradilan pidana untuk
mencari dan mempertahankan kebenaran materiil baik oleh hakim, penuntut
umum, terdakwa maupun baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa maupun
penasehat penasehat hukum.
35
3.2. Sistem Pembuktian
Dalam ilmu hukum, kita kenal empat jenis sistem atau teori pembuktian,
yaitu27
:
1) Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positif
wettelijke bewijsteorie).
Sistem ini berkembang diabad pertengahan, dan saat ini sudah
mulai ditinggalkan. Dikatakan secara positif karena hanya didasarkan
kepada undang-undang, artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai
dengan alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan
hakim tidak diperlukan sama sekali.
2) Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim atau sistem keyakinan belaka
(conviction intime)
Dalam sistem ini sama sekali tidak membutuhkan suatu peraturan
tentang pembuktian dan menyerahkan segala sesuatu kepada kebijaksanaan
hakim. Menurut sistem ini hakim tidak terikat kepada alat-alat bukti
tertentu, hakim harus memutus tentang kesalahan terdakwa berdasarkan
keyakinannya belaka.
3) Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim dengan alasan yang logis (la
convictio raisonee).
Bahwa hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar
keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian
disertai dengan kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan
pembuktian tertentu. Hakim bebas untuk menentukan macam dan
27
Andi Hamzah. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, hal. 247-253
36
banyaknya alat-alat bukti yang dipandang cukup untuk menetapkan
kesalahan terdakwa, satu-satunya peraturan yang mengikat kepadanya ialah
bahwa dalam keputusannya hakim harus menyebutkan pula alasan-
alasannya.
4) Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief
wattelijke)
Dalam sistem ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah
berdasarkan pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif
oleh undang-undang sehingga hakimmemperoleh keyakinan akan hal itu.
Perkataan negatif dipakai untuk menunjukkan bahwa adanya bukti-
bukti yang disebutkan dalam undang-undang dan cara mempergunakannya
disebut juga dalam undang-undang itu, belum berarti hakim musti
menjatuhkan hukuman. Hal tersebut masih tergantung dengan keyakinan
hakim atas kebenarannya.
Sistem pembuktian negatif ini dapat kita lihat dalam Pasal 183
KUHAP yang berbunyi : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Sistem pembuktian di Indonesia hanya mengakui alat-alat bukti yang
sah menurut undang-undang yang dapat digunakan untuk pembuktian. Dalam
pembuktian ini penuntut umum membuat surat dakwaan dan oleh karena itu, ia
bertanggung jawab untuk menyusun alat bukti dan pembuktian tentang
kebenaran surat dakwaan atau tentang kesalahan terdakwa, bukan sebaliknya
37
terdakwa yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Hakim dalam
menjatuhkan putusan akan menilai semua alat bukti yang sah untuk menyusun
keyakinan hakim dengan mengemukakan unsur-unsur kejahatan yang
didakwakan itu terbukti dengan sah atau tidak, serta menetapkan pidana apa
yang harus dijatuhkan kepadanya setimpal dengan perbuatannya28
.
3.3. Alat Bukti dalam KUHAP
Bukti yaitu sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil atau
pendirian atau dakwaan. Alat-alat yang diperkenankan untuk dipakai
membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana disebut dakwaan di sidang
pengadilan misalnya : keterangan terdakwa, keterangan saksi, keterangan ahli,
surat dan petunjuk29
.
Alat bukti dapat didefinisikan sebagai segala hal yang dapat digunakan
untuk membuktikan perihal kebenaran suatu peristiwa di pengadilan. Pada
Pasal 184 KUHAP alat bukti yang dapat diajukan di sidang peradilan terdiri
dari :
1. Keterangan saksi
Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti
yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada suatu
perkara pidana yang luput dari pembuktian alat-alat bukti keterangan saksi.
Ditinjau dari segi dan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi,
agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan
pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus
28
Martiman Prodjohamidjojo. 1982. Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek.
Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 19 29
Andi Hamzah. Op.cit, hal. 254
38
dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan saksi dapat dianggap
sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian harus
dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut:
a. Harus mengucapkan sumpah atau janji;
b. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti;
c. Keterangan saksi saja dianggap tidak cukup;
d. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri.
2. Keterangan ahli
Berdasarkan Pasal 186 KUHAP, pengertian keterangan ahli adalah
keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus
tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana
guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli ini daspat juga diberikan
pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang disuratkan
dalam bentuk laporan dalam dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu ia
menerima jabatan atau pekerjaan.
Dengan demikian nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama
halnya dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti
keterangan saksi. Oleh karena itu nilai kekuatan pembuktian yang melekat
pada alat bukti keterangan ahli adalah :
a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas
b. Keterangan ahli yang berdiri saja tanpa didukung oleh salah satu alat
bukti yang lain.
Keterangan ahli sebagai alat bukti pada umumnya, tidak menyangkut
pokok perkara pidana yang diperiksa. Sifatnya lebih ditujukan untuk
39
menjelaskan sesuatu hal yang masih kurang terang tentang suatu hal atau
keadaan. Jadi tanpa mengurangi kekuatan pembuktiannya maka keterangan
beberapa orang ahli dapat dinilai sebagai dua atau beberapa alat bukti yang
dapat dianggap telah memenuhi prinsip minimum pembuktian yang
ditentukan Pasal 183 KUHAP. Oleh karena itu, dua atau lebih alat bukti
keterangan ahli, dapat dinilai merupakan dua atau beberapa alat bukti, yang
harus dinilai telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa.
3. Surat
Yang dimaksud dengan alat bukti surat adalah surat yang dibuat atas
kekuatan sumpah jabatan atau yang dikuatkan dengan sumpah. Dalam Pasal
187 KUHAP, yang dimaksud surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184
ayat (1) huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan
sumpah, adalah :
a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau
yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas
tentang keterangannya itu;
b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam
tatalaksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan
bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
40
c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi dari padanya;
d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi
dari alat pembuktian yang lain.
Pemeriksaan surat di persidangan langsung dikaitkan dengan
pemeriksaan saksi-saksi dan pemeriksaan terdakwa. Pada saat pemeriksaan
saksi, dinyatakan mengenai surat-surat yang ada keterkaitan dengan saksi
yang bersangkutan kepada terdakwa pada saat memeriksa terdakwa30
.
4. Petunjuk
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana. Alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari :
1. Keterangan saksi
2. Surat
3. Keterangan terdakwa
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari sesuatu petunjuk dalam
setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana,
setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan
kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya (Pasal 188 ayat (1), (2), dan ayat (3)
KUHAP).
30
Leden Marpaung, 1992, Tindak Pidana Korupsi : Masalah dan Pemecahannya, Jakarta : Sinar Grafika,
hal. 395
41
5. Keterangan terdakwa
Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan disidang
pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau
alami sendiri (Pasal 189 KUHAP).
Penilaian atas kekuatan pembuktian alat bukti dari suatu keterangan
atau pengakuan terdakwa adalah sebagai berikut :
1. Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas
Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat
bukti keterangan terdakwa. Dia bebas untuk menilai kebenaran yang
terkandung didalamnya. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya
sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan alasan-alasannya.
2. Harus memenuhi batas minimum pembuktian
Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan
harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Sekalipun kesalahan terdakwa terbukti sesuai dengan asas batas
minimum pembuktian masih harus lagi di barengi dengan keyakinan
hakim, bahwa memang terdakwa yang bersalah melakukan tindak pidana
yang didakwakan kepadanya. Asas keyakinan hakim harus melekat pada
putusan yang diambil sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut dalam
pasal 183 KUHAP.
D. Kerangka Pemikiran
Audit dalam rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara adalah audit
dengan tujuan tertentu yang dimaksudkan untuk menyatakan pendapat mengenai
42
nilai kerugian keuangan negara yang timbul dari suatu kasus penyimpangan dan
digunakan untuk mendukung tindakan litigasi.
Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara yang menyatakan keuangan negara adalah semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa
uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara menyatakan keuangan negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka (1), meliputi antara lain kekayaan negara/kekayaan
daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga,
piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.
Kerugian Keuangan Negara adalah berkurangnya kekayaan negara atau
bertambahnya kewajiban negara tanpa diimbangi dengan prestasi yang setara, yang
disebabkan oleh suatu tindakan melawan hukum, penyalahgunaan
wewenang/kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau
kedudukan, kelalaian seseorang, dan atau disebabkan oleh keadaan di luar
kemampuan manusia (force majeure). Dalam konteks pasal 2 dan 3 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kerugian keuangan
negara yang dimaksud adalah yang disebabkan perbuatan melawan hukum (pasal 2),
tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada
seseorang karena jabatan atau kedudukannya (pasal 3).
43
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara,
Pasal 1 ayat (22) “kerugian keuangan negara/daerah adalah kekurangan uang, surat
berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan
melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Oleh karena itu kerugian keuangan
negara itu harus pasti tidak menerka-nerka dan harus dilakukan penghitungan
kerugian keuangan negara.
Dalam penerapan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara tersebut ada
lembaga yang berwenang mengaudit yaitu lembaga yang diberikan kewenangan
oleh undang-undang untuk melakukan audit dalam rangka penghitungan kerugian
keuangan negara yaitu Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawas Keuangan
dan Pembangunan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi penyimpangan yang terjadi
b. Mengidentifikasi Transaksi
c. Mengidentifikasi, mengumpulkan, verifikasi dan analisis bukti
d. Menghitung jumlah kerugian keuangan negara
Metode yang digunakan dalam menghitung kerugian keuangan negara
adalah sebagai berikut:
a. Keruian total Kerugian Total (Total Loss)
b. Kerugian Total dengan Penyesuaian
c. Kerugian Bersih (Net Loss)
d. Harga wajar
e. Biaya Kesempatan (Opportunity Cost)
f. Bunga (Interest)
44
Kekuatan pembuktian Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara
adalah sebagai berikut:
1. Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara sebagai alat bukti surat apabila
laporan ahli yang diberikan pada saat penyidikan dan dilakukan dibawah
sumpah tidak dihadirkan di persidangan.
2. Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara sebagai alat bukti keterangan
ahli apabila memberikan keterangan di persidangan. Dengan demikian, Audit
Penghitungan Kerugian Keuangan Negara dapat menentukan/mengungkap ada
atau tidak kerugian keuangan negara.
E. Bagan Kerangka Pikir
PENERAPAN
AUDIT PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA
Pembuktian Audit
Penghitungan Kerugian
Keuangan Negara (X2) :
1. Alat bukti keterangan Ahli
2. Alat bukti surat
TERUNGKAP KERUGIAN KEUANGAN
NEGARA
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
2. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3. Undang-Undang Keuangan Negara
4. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi
Penerapan Audit Penghitungan
Kerugian Keuangan Negara dalam
penanganan tindak pidana korupsi (X1):
1. Lembaga yang berwenang
mengaudit
2. Langkah-Langkah dalam
menghitung kerugian keuangan
negara
3. Metode dalam Menghitung
Kerugian Keuangan Negara
45
F. Definisi Operasional
1. Penerapan Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara adalah penerapan
audit dengan tujuan tertentu yang dimaksudkan untuk menyatakan pendapat
mengenai nilai kerugian keuangan negara yang timbul dari suatu kasus
penyimpangan dan digunakan untuk mendukung tindakan litigasi.
2. Dasar Hukum:
2.1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
2.2. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2.3. Undang-Undang Keuangan Negara adalah Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
2.4. Peraturan Mahkamah Agung adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor
13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh
Korporasi
3. Penerapan Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara adalah sebagai
berikut :
3.1. Lembaga yang berwenang mengaudit adalah lembaga yang diberikan
kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan audit dalam rangka
penghitungan kerugian keuangan negara yaitu Badan Pemeriksa Keuangan
dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan.
46
3.2. Langkah-Langkah dalam menghitung kerugian keuangan negara adalah
dengan cara sebagai berikut :
e. Mengidentifikasi penyimpangan yang terjadi
f. Mengidentifikasi Transaksi
g. Mengidentifikasi, mengumpulkan, verifikasi dan analisis bukti
h. Menghitung jumlah kerugian keuangan negara
3.3. Metode yang digunakan dalam menghitung kerugian keuangan negara
adalah sebagai berikut:
g. Kerugian total (Total Loss)
h. Kerugian Total dengan Penyesuaian
i. Kerugian Bersih (Net Loss)
j. Harga wajar
k. Biaya Kesempatan (Opportunity Cost)
l. Bunga (Interest)
4. Pembuktian Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara adalah sebagai
berikut :
4.1. Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara sebagai alat bukti surat
apabila laporan ahli yang diberikan pada saat penyidikan dan dilakukan
dibawah sumpah tidak dihadirkan di persidangan; dan
4.2. Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara sebagai alat bukti
keterangan Ahli apabila memberikan keterangan di persidangan.
5. Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara digunakan untuk mengungkap
ada atau tidak kerugian keuangan negara.