PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG ...... · Untuk menjamin agar kekayaan sumber daya...
Transcript of PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG ...... · Untuk menjamin agar kekayaan sumber daya...
1
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG
KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN DONGGALA
SULAWESI TENGAH
Tesis
Untuk memenuhi Sebagai Persyaratan Mencapai
Derajat Megister Program Studi Ilmu Hukum
Minat Utama : Pidana Ekonomi
Diajukan oleh :
Nouvi Lihu S330908009
PROGAM MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Manusia dengan segala motivasi atau kepentingannya sejak lama telah
memanfaatkan potensi sumberdaya alam, tumbuhan maupun satwa liar (flora-fauna) baik untuk menunjang ekonomi, sosial budaya dan ilmu pengetahuan dimana pada banyak jenis tumbuhan dan satwa liar, pemanfaatan yang telah dilakukan oleh manusia diyakini telah menyebabkan jenis-jenis tersebut menjadi terancam kepunahan. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa fenomena alam, baik secara masing-masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti.
Meskipun luas daratan Indonesia hanya sekitar 1,32 persen dari luas daratan
dunia, ternyata bila dibandingkan dengan jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang
ada di dunia Indonesia memiliki sekitar 12 persen (515 jenis) dari total jenis
binatang menyusui (mamalia), 7,3 persen (511 jenis) dari total reptil dan 17
persen (1531 jenis) dari total jenis burung di dunia, 270 jenis ampibi, 2827 jenis
ikan tidak bertulang belakang, serta 47 jenis ekosistem. Selain itu sebagai bagian
terbesar di kawasan Indo Malaya, Indonesia merupakan salah satu dari 12 pusat
distribusi keanekaragaman genetik tanaman atau yang lebih dikenal sebagai
Vavilov CentreI. 1
Tiga lokasi utama yang merupakan pusat kekayaan spesies di Indonesia:
1. Papua (memiliki tingkat kekayaan spesies dan endemisitas tinggi).
2. Kalimantan (memiliki tingkat kekayaan spesies tinggi, dengan endemisisitas
yang sedang).
3. Sulawesi (memiliki tingkat kekayaan spesies sedang, dengan endemisitas
tinggi).
1 Kementerian Lingkungan Hidup, Keanekaragam Hayati, http://www.menlh.go.id/i/art/ DFBAB%20VII%20KEANEKARAGAMAN%20HAYATI%2011062003.
3
Menurut Hartiwiningsih lingkungan hidup yang merupakan harta warisan
yang harus dijaga keutuhannya dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab,
tampaknya tidak dapat dipertahankan lagi keutuhaanya, sebagai akibat kerakusan
manusia dalam memenuhi kebutuhan ekonominya. Pemenuhan kebutuhan
ekonomi tampaknya adalah segalanya meskipun harus mengorbankan kepentingan
lingkungan yang nota bene adalah kepentingan seluruh bangsa didunia pada
umumnya dan bangsa Indonesia khususnya. Pemuasan dan pemenuhan kebutuhan
ekonomi pada masyarakat modern yang konsumtif, kerakusan manusia, korupsi
dan persekongkolan yang dilakukan elit penguasa, kerjasama antara elit penguasa
dengan pebisnis kelas dunia, tampaknya yang menjadi penyebab munculnya
berbagai penyimpangan dalam pengelolaan lingkungan baik yang dilakukan oleh
elit penguasa, pebisnis maupun masyarakat”.2
Dalam siaran pers Nomor: S.632/PIK-1/2008 16 Desember 2008 Kepala
Pusat Informasi Kehutanan menyatakan :
“Pohon Ki Tenjo yang dalam bahasa latinnya disebut Anisoptera costata (Korth) tumbuh alami di Cagar Alam Leuwi Sancang dan Taman Nasional Ujung Kulon. Menurut hasil penelitian Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor, di habitat alam aslinya pohon Ki Tenjo tinggal satu batang, dan tidak ditemukan anakannya. Eksplorasi yang dilakukan oleh Titi Kalima pada tahun 2008 di Kawasan TN Ujung Kulon hanya menemukan satu batang Anisoptera Costata Korth yang berdiameter 121 cm. Pohon tersebut masih berdiri tegak pada ketinggian 80 m di atas permukaan laut. Keberadan spesies pohon tersebut sangat rawan punah. Dari pohon yang tersisa tersebut tidak ditemukan anakan. Hal ini menunjukkan bahwa A. costata Korth di tempat tersebut tidak dapat melanjutkan keturunan. Ancaman yang paling mengkhawatirkan adalah penebangan yang dilakukan oleh perambah hutan. Aktivitas perambahan yang makin mendekati lokasi pohon ini sangat mengancam percepatan kepunahannya.3
Kegiatan manusia sangat mempengaruhi keberadaan keanekaragaman hayati yang ada di muka bumi ini, disamping bencana alam yang terjadi secara alami, lebih dari 99 % spesies yang punah saat ini disebabkan oleh akibat yang dilakukan oleh manusia. Dewasa ini, walaupun bukan merupakan satu-satunya
2 Hartiwiningsih. Hukum Lingkungan Dalam Prespektif Kebijakan Hukum Pidana, Surakarta, UNS Press, 2008, Hal 25
3 Masyhud, Kepala Pusat Informasi Kehutanan, Siaran Pers, Jakarta, 2008, www.dephut.go.id
4
faktor, namun pertumbuhan penduduk dunia yang cenderung pesat merupakan pemicu kepunahan keanekaragaman hayati, dimana pertambahan penduduk dunia manusia meningkatkan penggunaan sumber daya alam. Dalam upaya pemenuhan kebutuhan tersebut, maka kegiatan manusia menimbulkan berbagai tindakan yang mengancam berbagai keberadaan keanekaragaman hayati.4
Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah menjadi kewajiban mutlak dari tiap generasidimana pada akhir-akhir ini usaha-usaha konservasi isu yang paling banyak dibicarakan. Arie Trouwborst mengemukakan :
On the current agenda of the international community of states, the so-called biodiversity crisis Prominent occupies a position. According to mainstream scientific opinion, species of animals and plants are disappearing at a rate presently Which is 100 to 1.000 times higher than the average rate of Extinction since life on Earth originated. The main Causes of recent extinctions are Well-Known, and all of human origin. In order of significance, they want are: (i) the removal, Degradation and / or fragmentation of species' habitats, (ii) the introduction of alien species, (iii) overexploitation and (iv) pollution. Frequently, extinctions have been the result of a combination of factors These.Broad agreement exists That Which at the current rate of biodiversity is being reduced amounts to a major concern, for Reasons varying behavior from ethics to economics5. (Permasalahan kelangkaan keanekaragaman hayati, pada saat ini menjadi salah satu agenda utama masyarakat internasional. Menurut pendapat pakar ilmiah, spesies hewan dan tumbuhan saat ini menghilang dengan kecepatan 100 sampai 1.000 kali lebih tinggi dibandingkan tingkat rata-rata kepunahan sejak kehidupan di bumi diciptakan. Penyebab utama kepunahan tersebut hampir semua akibat perbuatan manusia, yaitu: (i) penghapusan, degradasi dan / atau fragmentasi 'habitat spesies; (ii) pemasukan spesies asing, (iii) eksploitasi yang berlebihandan (iv) polusi.) Seringkali, kepunahan merupakan hasil kombinasi dari faktor-faktor ini. ada kesepakatan luas bahwa tingkat keanekaragaman hayati saat ini sedang berkurang sangat besar sehingga menjadi perhatian utama, karena alasan-alasan yang bervariasi dari etika ekonomi.
Fakta di atas dapat memberikan gambaran bahwa pemanfaatan yang dilakukan selama ini cenderung tidak memperhatikan prinsip kelestarian. Keberadaan potensi keanekaragaman hayati tidak jauh berbeda dengan habitat
4 Widada dkk. Sekilas Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Ditjen PHKA-JICA, Jakarta, 2006, Hal 29.
5 Arie Trouwborst, Article Conservation Nature International Law International To The Adaptation OF Biodiversity Climate Change: A mismatch. Copyright © 2009 by Oxford University Press. Journal of Environmental Law 2009
5
(tempat tumbuh atau hidup) yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Berbagai tekanan dan gangguan terhadap kawasan konservasi yang dapat berupa perusakan terhadap keutuhan kawasan, perburuan satwa, pengambilan tumbuhan dalam kawasan turut memperparah keberadaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Tindakan yang tidak bertanggung jawab yang dapat menimbulkan kerusakan pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam ataupun tindakan yang melanggar ketentuan tentang perlindungan tumbuhan dan dan satwa yang dilindungi, harus diancam dengan sanksi yang berat dan tegas. Sanksi yang berat dan tegas tersebut dipandang perlu karena kerusakan atau kepunahan salah satu unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak dapat dinilai dengan materi, sedangkan pemulihannya kepada keadaan semula tidak mungkin lagi.
Untuk menjamin agar kekayaan sumber daya alam tidak habis dalam waktu singkat, diperlukan sutu kebijakan dalam pemanfaatan sumber daya alam secara menyeluruh dengan rasa tanggung jawab dan bijaksana. Dalam prespektif hukum kebijakan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Selanjutnya dalam penjelasan umum dinyatakan berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berkaitan erat dengan tercapainya tiga sasaran konservasi, yaitu:
a. Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan);
b. Menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah);
6
c. Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya (pemanfaatan secara lestari)
Namun ketika kita mencermati tentang pemanfataan sumber daya alam pada akhir-akhir ini kita dihadapkan pada kenyataan bahwa pemanfaatan yang cenderung tidak memperhatikan dan menjaga keseimbangan populasi dengan habitatnya dan kemerosotan penegakan hukumnya. Sebagai contoh : Dalam Portal Keanekaragaman Hayati Sulawesi Celebes Biodiversity dengan tulisan yang berjudul “Minahasa” Pasar Satwa Liar mengambarkan kebiasaan mengkonsumsi daging satwa liar sebagian orang Minahasa mengakibatkan sebagian besar satwa liar di Sulawesi Utara sudah sangat sulit didapat akibat tingginya penangkapan, sehingga ini memicu perburuan dilakukan lebih jauh sampai ke wilayah propinsi lain yaitu Propinsi Sulawesi Tengah, Barat, Selatan dan Tenggara. Aktifitas pola perburuan yang tinggi dikawatirkan akan berdampak negatif bagi keberlanjutan hidup satwa liar di Sulawesi Utara bahkan seluruh dataran Sulawesi. Ketakutan akan kepunahan satwa liar yang unik di Sulawesi akan menjadi kenyataan jika perburuan intensif ini tidak segera dihentikan. Yaki, Babi Rusa, Burung Rangkong, dan Penyu yang terdapat di Sulawesi merupakan jenis satwa liar yang dilindungi Undang-undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tetapi sebaliknya satwa liar ini sangat mudah kita jumpai di bebrapa pasar di Minihasa tanpa ada kontrol dari para petugas maupun aparat yang berwenang.6
Menurunya kualitas lingkungan hidup dalam lima tahun terakhir semakin
memprihatinkan, sebetulnya sebelum revormasi bergulir sistem pengelolaan
lingkungan itu sudah mulai efektif, namun perubahan tatanan ekonomi, sosial dan
politik yang disertai dengan perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik
menjadi otonomi melemahkan kepemerintahan termasuk upaya pelestarian fungsi
lingkungan hidup7. Kondisi kebijakan dan penegakan hukum pidana dibidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya saat ini masih sangat
menghawatirkan, masih menjadi wacana birokrat/pemerintah, dan belum menuju
pada tindakan konkrit yang prioritas.
6 Celebes Biodiversity, Portal Keanekaragaman Hayati Sulawesi, HPPTwww.celebio.org
diakses pada tanggal 8 September 2009 10.30 WIB. 7 I Gusti Ayu Ketut Rachmi. Penegakan Hukum Lingkungan. Jurnal Ekosains Volume 1
Nomo 2 Program Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan. Juni 2009. Hal 1
7
Menurut Catatan Walhi Sulawesi Tengah Masalah yang berkaitan
dengan illegal logging dan legal logging yang paling mengkhawatirkan adalah
yang terjadi di Kabupaten Donggala. Walau di daerah itu tidak ada hak
pengusahaan hutan (HPH), tetapi dengan adanya izin pengelolaan kayu (IPK) dan
izin pengolahan kayu tanah milik (IPKTM) terjadi penebanganan kayu secara
masif. Bahkan disinyalir, kayu yang ditebang tidak hanya berada di aeral IPK dan
IPKTM, tetapi juga menyebar di luar areal tersebut. seperti yang disebut-sebut
terjadi di Desa Tonggolobibi Kecamatan Sojol. Dugaan kasus tersebut sempat
memicu protes masyarakat. Bahkan DPRD Donggala juga ikut turun tangan.
Namun, masalah tersebut hilang bagai ditelan bumi8.
Kondisi yang mengkawatirkan terhadap penegakan hukum konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tersebut menunjukkan adanya sesuatu
yang harus dipahami dan dibenahi secara menyeluruh pada penegakan hukum
secara luas. Penegakan hukum secara luas mencakup tugas dari pembentuk
Undang-Undang yang disebut tahap formulasi, kemudian tahap aplikasi yang
melibatkan aparat penyidik/kepolisian, aparat penuntut umum/kejaksaan, aparat
pengadilan, dan aparat pelaksana pidana.9
Di Indonesia penggunaan sarana hukum pidana tampaknya merupakan
suatu kebijakan yang sudah dapat diterima oleh semua pihak, terbukti selalu
hadirnya sanksi pidana dalam setiap kebijakan pembuatan suatu peraturan
perundangan. Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan
normal, dan memang seyogyanya harus ada dalam setiap peraturan perundangan
sebagai upaya ditaatinya suatu peraturan. Namun permasalahan yang muncul,
kebijakan yang bagaimana yang harus ditempuh, agar kebijakan penggunaan
sanksi pidana dalam setiap perundangan benar-benar dapat efektif, kehadirannya
dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, dapat berhasil dan berdaya guna.
Mengingat akhir-akhir ini sarana sanksi pidana dirasakan kurang bermanfaat
karena jarang bahkan hampir tidak pernah diterapkan oleh badan yang berwenang.
8 Pembeberantasan Ilegal Logging Belum jadi prioritas, Radar Sulteng, 23 Agustus 2008 9 Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981. Hal. 112.
8
Sehubungan dengan hal tersebut Herbert L. Packer dengan bukunya “The limits of
the criminal sanction” dalam Hariwiningsih, mengemukakan :
a. The criminal sanction is indispensable; we could not, now or in the foreseeable future get along, without it
b. The criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats of harm
c. The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanely, it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener.10
Dari rumusan tersebut dapat dilihat betapa pentingnya kehadiran sanksi
pidana dalam menghadapi berbagai ancaman kejahatan dan pelanggaran baik
masa kini maupun masa yang akan datang. Sanksi pidana merupakan sarana yang
terbaik yang tersedia untuk menghadapi kejahatan dan bahaya besar, ia
merupakan penjamin utama dan suatu ketika bisa merupakan pengancam utama
dari kebebasan manusia. Merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat
cermat, dan sebagai pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara
paksa. Dalam hal dimana hukum lain selain hukum pidana gagal, maka hukum
pidana harus maju kedepan. Hal ini dikemukakan oleh Moderman11 Negara
seyogyanya memidana hal-hal yang bertentangan dengan hukum, yang tidak dapat
dihambat oleh upaya-upaya lain dengan baik, maka hukum pidana harus menjadi
ujung tombak. Tetapi tidak pula bisa diharapkan bahwa hukum pidana akan
mengisi semua kekosongan.
Permasalahan lain yang berkaitan dengan penegakan hukum yaitu
pengetahuan perundang-undangan khususnya yang terkait dengan perlindungan,
pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya masih
belum tersosialisasi dengan baik pada aparat penegak hukum serta instansi terkait
lainnya. Terbatasnya informasi perlindungan, pemanfaatan dan pelestarian sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya, jenis-jenis tubuhan dan satwa yang dilindungi
pengetahuan tentang seluk-beluk perdaganan ilegal tumbuhan dan satwa satwa liar
yang dilindungi, baik di tingkat nasional dan regional masih belum banyak
dipahami oleh aparat penegak hukum dan instansi terkait lainnya.
10 Op. Cit, Hartiwiningsih, Hal 167 11 Op.Cit, Riduan Syahrani, Hal.75
9
Demikian pula halnya dengan pengetahuan tentang perlindungan,
pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, jenis-
jenis tumbuhan satwa yang dilindungi, serta fungsi ekologinya di dalam
ekosistemnya yang dapat digunakan untuk mendukung upaya penegakan
hukumnya juga belum banyak dipahami oleh aparat penegak hukum dan instansi
terkait lainnya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitan dengan judul PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK
PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN
EKOSISTEMNYA DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN DONGGALA
SULAWESI TENGAH
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan apa yang dipaparkan di atas, maka permasalahan dalam penulisan
makalah ini dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya tahap aplikasi di wilayah hukum
Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi proses penegakan hukum pidana di
bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di wilayah
hukum Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang penulis kemukakan di atas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kebijakan penegakan hukum terhadap tindak pidana
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tahap aplikasi di
wilayah hukum Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses penegakan
hukum pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya di wilayah hukum Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah.
10
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memeberikan sumbangan bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum bidang hukum
pidana ekonomi dalam hal penegakan hukum terhadap tindak pidana
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tahap aplikasi.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi instansi
pemerintah pada umumnya dan secara khusus bagi Kementerian
Kehutanan c.q. Direktorat Jenderal Pelestarian Hutan Konservasi Alam
dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum khususnya dalam proses
penegakan hukum terhadap tindak pidana konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum Dan Kebijakan hukum
Pidana
1. Penegakan Hukum
Menurut kajian normatif penegakan hukum adalah suatu tindakan
yang pasti yaitu menerapkan hukum terhadap suatu kejadian, yang dapat
diibaratkan menarik garis lurus antara dua titik. Dalam ilmu hukum cara
seperti itu disebut sebagai model mesin otomat dan pekerjaan menegakan
hukum menjadi aktivitas subsumsi otomat. Disini hukum dilihat sebagai
variabel yang jelas dan pasti dan terlihat sangat sederhana12 Dalam
kenyataannya tidak sesederhana itu melainkan yang terjadi penegakan
hukum itu mengandung pilihan dan kemungkinan, oleh karena dihadapkan
12 Satjipto Raharjo, Sosoilogi Hukum Perkembangan Metode Dan Pilihan Masalah, Muhamadiyah University Press, Surakarta, Tahun 2002 Hal 173
11
kepada kenyataan yang kompleks. Dalam ilmu hukum normatif
kompleksitas tersebut diabaikan, sedangkan sosiologi hukum sebagai ilmu
empirik sama sekali tidak dapat mengabaikannya.13 Menurut Soerjono
Soekanto14 menyebutkan bahwa secara konseptual , inti dan arti
penegakan hukum terletak pada kegiatan meyerasikan hubungan niali-nilai
yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah
dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk
menciptakan , memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup. Selanjutnya menurut Soerjono Soekanto, agar suatu penegakan
hukum dapat berjalan paling sedikit empat faktor harus dipenuhi :
1. Kaedah hukum atau peraturan itu sendiri 2. Petugas yang menerapkan atau menegakan 3. Fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan kaedah
hukum 4. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.15
Keempat faktor tersebut harus mempunyai hubungan yang serasi,
kepincangan salah satu unsur akan mengakibatkan bahwa seluruh sistem
akan terkena dampak negatifnya. Selanjutnya Satjipto Raharjo
berpendapat bahwa unsur-unsur yang terlibat dalam proses penegakan
hukum dibagi dalam dua golongan besar, yaitu unsur-unsur yang
mempunyai tingkat keterlibatan yang agak jauh dan yang dekat. Sebagai
contoh unsur yang mempunyai keterlibatan yang dekat dengan proses
penegakan hukum adalah legislatif atau pembuat Undang-Undang dan
polisi, sedang unsur pribadi dan sosial mempunyai keterlibatan yang
jauh.16 Hal ini dapat dipahami karena legislatif adalah badan yang
memproduksi peraturan, sedang polisi adalah badan yang melaksanakan
peraturan sehingga mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan
13 Loc.cit 14 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
RajaGrafindo Perkasa, Jakarta, Tahun 2008, Hal 5. 15 Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Penerbit CV Rajawali, Jakarta,
Tahun 1980, Hal. 16 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Bandung Hal. 24
12
proses penegakan hukum, sedang masyarakat adalah obyek yang terkena
peraturan sehingga wajar apabila keterlibatannya dengan proses penegakan
hukum terlihat lebih jauh. Oleh karena itu menurut Satjipto Raharjo,
penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-
keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-
keinginan hukum disini adalah pikiran-pikiran badan pembuat Undang-
Undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.
Keberhasilan dari proses penegakan hukum itu sangat tergantung oleh para
pejabat penegak hukum itu sendiri.17 Penegakan hukum dilihat dari
kacamata normatif memang merupakan permasalahan yang sangat
sederhana, tetapi bila dilihat dari kacamata sosiologis maka penegakan
hukum merupakan proses yang panjang dan merupakan suatu perjuangan,
sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa penegakan
hukum dan keadilan merupakan serangkaian proses yang cukup panjang
dan dapat melibatkan berbagai kewenangan instansi aparat penegak
hukum lainnya (di bidang penegakan hukum pidana melibatkan aparat
penyidik/kepolisian, aparat penuntut umum kejaksaan, aparat pengadilan,
dan aparat pelaksana pidana) 18
Selanjutnya Leden Marpaung mengatakan19
Penegakan hukum tidak berlangsung dalam suasana vakum atau kekosongan sosial. Yang dimaksud dengan kekosongan sosial adalah tiadanya proses-proses di luar hukum yang secara bersamaan berlangsung dalam masyarakat. Proses-proses tersebut adalah seperti ekonomi dan politik. Penegakan hukum berlangsung ditengah-tengah berjalannya proses-proses tersebut. Dengan dikeluarkanya Undang-Undang misalnya maka tidak sim salabim lalu segalanya menjadi persis seperti dikehendaki oleh Undang-Undang itu. Hubungan kompetitif, tarik menarik dan dorong mendorong antara hukum dan bidang serta proses lain di luarnya tetap saja terjadi
17 Loc.cit 18 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan HukumDan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Penerbit PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, Tahun 2001 Hal.2 19 Leden Marpaung. Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Masalah Prevensinya, Penerbit
Sinar Grafika, Jakarta, Tahun 1997 Hal.22
13
Menurut Marc Galanter Dalam Satjipto Rahardjo,20
bahwa penegakan hukum tidak sesederhana yang kita duga, melainkan bahwa penegakan hukum itu mengandung pilihan dan kemungkinan, oleh karena dihadapkan kepada kenyataan kompleks. Dalam ilmu hukum normatif kompleksitas itu diabaikan, sedangkan sebagai ilmu yang empirik tidak dapat mengabaikannya. Sosiologi hukum berangkat dari kenyataan di lapangan, yaitu melihat berbagai kenyataan, kompleksitas, yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kenyataan itu membentuk maksud dengan melihat hukum dari (from the other end of the telescope) “Ujung yang lain dari teleskop”. Oleh karena memasukan kompleksitas tersebut ke dalam pemahaman dan analisisnya, maka dalam sosiologi hukum, penegakan hukum itu tidak bersifat logis universal, melainkan variabel.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa penegakan
hukum mengandung pilihan dan kemungkinan, oleh karenanya dihadapkan
pada masalah yang kompleks, baik pada tahap aplikasinya maupun pada
tahap formulasi. Karena kondisinya tidak steril maka dalam proses
penegakannya juga dapat dihinggapi berbagai permasalahan baik yang
positip maupun negatip, dipengaruhi oleh berbagai kepentingan baik
kepentingan pembuat Undang-Undang, kepentingan pelaksana Undang-
Undang, dan kepentingan masyarakat yang terkena Undang-Undang.
Faktor kepentingan dari unsur-unsur yang terdapat didalam proses
penegakan hukum tampaknya memegang peran dominan, sebagaimana
penelitian Stewart Macaulay tentang penegakan hukum kontrak yang telah
dibuat sendiri oleh para pelaku justru banyak yang dikesampingkan,
hubungan bisnis antara para pelaku tidak selalu didasarkan pada kontrak
yang telah dibuat sendiri. Hubungan-hubungan yang seharusnya bersifat
kontraktual tetapi ternyata telah menjadi non kontraktual, karena ternyata
yang bersifat non kontraktual lebih menguntungkan bagi kedua belah
pihak dalam melakukan hubungan bisnis.21
Selanjutnya menutur Muladi penegakan hukum sebagai suatu usaha
untuk menegakkan norma-norma dan sekaligus nilai-nilai yang ada di
belakang norma tersebut. Untuk itu, para penegak hukum harus memahami
20 Satjipto Raharjo. Op.Cit Hal.1 21 Ibid, Hal. 179
14
betul semangat hukum yang mendasari dibuatnya peraturan hukum yang
hendak ditegakan itu.22 Aparat penegak hukum harus menyadari bahwa
penegakan hukum sebagai sub sistem dari sistem yang lebih luas, rentan
terhadap pengaruh lingkungan, seperti pengaruh perkembangan politik,
ekonomi, pendidikan, globalisasi. Karena itu, pemahaman atas perlunya
kebersamaan dan kerjasama antar komponen yang digambarkan sebagai
pendekatan sistem dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system)
sudah seharusnya terimplementasi dalam tiap komponen atau aparat
penegak hukum.
Sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk
menanggulangi masalah kejahatan. Komponen-komponen dalam sistem
peradilan pidana itu diharapkan bekerjasama untuk membentuk apa yang
dikenal dengan nama integrated criminal justice administration23.
Menurut Romli Asmasasmita sistem peradilan pidana, yang berarti
interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi terkait dalam proses
peradilan pidana. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana, di dalamnya
terkandung gerak sistemik dari subsistem-subsistem pendukungnya
(sebagaimana telah dikemukakan di atas), yang secara keseluruhan
berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output)
yang menjadi tujuan sistem peradilan pidana, yaitu tujuan jangka pendek
berupa resosialisasi pelaku, jangka menengah adalah pencegahan, dan
jangka panjang adalah kesejahteraan sosial.24
Menurut Muladi untuk mencapai tujuan tersebut, sistem peradilan
pidana sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan bidang-bidang
kehidupan manusia. Karena itu, sistem peradilan pidana dalam geraknya
akan selalu mengalami interaksi, interkoneksi, dan interdependensi dengan
22 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, BP. UNDIP, Semarang, Tahun 1995.
Hal 69 23 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidan, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta, Tahun 1994. Hal 85 24 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung, Tahun 1996. Hal
14.
15
lingkungannya dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, teknologi, dan
subsistem-subsistem dari sistem peradilan pidana.25
Apa yang telah dikemukakan tersebut secara singkat, sebagai upaya
menunjukkan bahwa untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan,
perlu ada keterpaduan antar subsistem, dan jika tidak terjadi dikhawatirkan
subsistem-subsistem itu akan berjalan sendiri-sendiri, yang pada akhirnya
bukan hasil seperti yang diharapkan, akan tetapi malah sebaliknya.
Demikian juga halnya dengan penegakan hukum terhadap tindak pdana
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dengan
menggunakan sarana penal (hukum pidana) sebagai sarana utamanya,
maka apabila terjadi ketimpangan, tentu akan menumpulkan bekerjanya
sistem peradilan pidana.
Penegakan hukum sebagai upaya untuk menanggulangi tindak pidana
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya melalui sarana
hukum pidana sebagaimana yang sudah dirumuskan dalam Undang-
Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya dan berbagai berbagai perundang-undangan terkait
selanjutnya perlu dioperasionalkan, dilaksanakan atau ditegakan. Undang-
Undang yang berhasil dibuat, tidak akan bergerak jika tidak digerakan.
Dalam arti, proses geraknya itu secara sistemik dari subsistem-subsistem
pendukungnya antara lain, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan.
a. Polisi
Di antara pekerjaan-pekerjaan penegakan hukum pekerjaan
kepolisian adalah yang paling menarik, karena di dalamnya banyak
dijumpai keterlibatan manusia sebagai pengambil keputusan. Polisi
pada hakekatnya dapat dilihat sebagai hukum yang hidup, karena di
25 Opcit, Hal 2-3
16
tangan polisi tersebut hukum mengalami perwujudannya, setidak-
tidaknya dalam hukum pidana.26
Fungsi kepolisian merupakan salah satu fungsi pemerintahan
negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat. 27
Kepolisian bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri
yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat,
tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta terbinanya
ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia
(Pasal 4).
Fungsi dan tujuan kepolisian semacam itu kemudian dijabarkan
lebih lanjut dalam tugas pokok kepolisian yang meliputi:
1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
2) menegakkan hukum
3) memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat (Pasal 13).
Dalam melaksanakan tugas pokoknya tersebut, Pasal 14
menyatakan, kepolisian bertugas untuk:
1) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli
terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan
2) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,
ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan
3) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat
terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan
4) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional
5) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum
26 Satjipto Raharjdo, Opcit, Hal. 111 27 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Repobik Indonesia
17
6) Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis
terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan
bentuk-bentuk pengamanan swakarsa
7) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak
pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan
perundang-undangan lainnya
8) Menyelenggarakan identifikasi kepolisian kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan
tugas kepolisian
9) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan
lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana
termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia
10) Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum
ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang
11) Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan
kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian
12) Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Selanjutnya Pasal 15 menjelaskan bahwa dalam menjalankan
tugasnya tersebut kepolisian berwenang untuk:
1) Menerima laporan dan/atau pengaduan
2) Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang
dapat mengganggu ketertiban umum
3) Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat
4) mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa
5) Mengeluarkan peraturan kepolisiandalm lingkup kewenangan
administratif kepolisian
6) Melaksakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari
tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan
18
7) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian
8) Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret
seseorang
9) Mencari keterangan dan barang bukti
10) Menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional
11) Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan
dalam rangka pelayanan masyarakat
12) Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan
putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan
masyarakat
13) Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Semua wewenang di atas masih ditambahkan beberapa wewenang
lainnya, antara lain:
1) Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan
kegiatan masyarakat lainnya
2) Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor
3) memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor
4) Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik
5) Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan
peledak dan senjata tajam
6) Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap
badan usaha di bidang jasa pengamanan
7) Memberikan petunjuk,mendidik dan melatih aparat kepolisian
khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang
teknis kepolisian
8) Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam
menyidik dan memberantas kejahatan internasional
9) Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing
yang berada di wilayah indonesia dengan koordinasi instansi
terkait
10) Mewakili pemerintah ri dalam organisasi kepolisian internasional
19
11) Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup
tugaskepolisian.
Dalam rangka menjalankan tugasnya, kepolisian masih diberikan
wewenang lain, yaitu:
1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledehan dan
penyitaan;
2) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat
kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
3) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam
rangka penyidikan;
4) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
7) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
8) Mengadakan penghentian penyidikan;
9) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
10) Mengajukan permintaan secara langsung kepada imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan
mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang
yang disangka melakukan tindak pidana;
11) Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik
pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik
pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum;
12) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
Ketentuan terkait “tindakan lain” tersebut menyatakan:
1) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum
20
2) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilakukan harus patut, masuk akal dan termasuk dalam
lingkungan jabatannya
3) Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa;
4) Menghormati hak asasi manusia.
Terkait dengan pejabat kepolisian, Pasal 18 menyatakan, untuk
kepentingan umum pejabat kepolisian negara RI dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya
sendiri (Ayat 1). Pelaksanaan ayat ini hanya dapat dilakukan dalam
keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian negara RI
(Ayat 2). Selanjutnya dikatakan dalam Pasal 19, dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya, pejabat kepolisian senantiasa bertindak
berdasarkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung
tinggi hak asasi manusia (Ayat 1).
Selanjutnya Pasal 6 Ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa
penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
Undang-Undang28. Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 2 Ayat
(1) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun
1983 Nomor 36)29 bahwa syarat kepangkatan bagi pejabat polisi
Negara Republik Indonesia sekurang-kurangnya Pembantu Letnan Dua
Polisi, sedangkan bagi pejabat pegawai negeri sipil tertentu itu
sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan
II/b atau yang disamakan dengan itu).
Di samping itu, KUHAP mengatur penyidik pembantu. Menurut
ketentuan Pasal 10 KUHAP, Penyidik pembantu adalah pejabat
28 Andi Hamzah, KUHAP dan KUHP, Cetakan Kedua, PT Rineka Cipta, Jakarta, Hal 237 29 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 36)
21
kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983,
yaitu syarat kepangkatan untuk pejabat polisi Negara Republik
Indonesia sekurang-kurangnya Sersan Dua, sedangkan untuk pejabat
pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkungan kepolisian Negara
Republik Indonesia sekurang-kurangnya berpangkat pengatur muda
(Golongan II/a) atau yang disamakan dengan itu.
Penyidik dan penyidik pembantu karena kewajibannya mempunyai
wewenang :
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana
2) Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian
3) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka
4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan
5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
6) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
7) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi
8) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara
9) Mengadakan penghentian penyidikan
10) Pengadaan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Wewenang-wewenang tersebut di atas, untuk penyidik pembantu
dikecualikan apabila menyangkut penahanan, karena untuk melakukan
hal itu harus ada pelimpahan wewenang dari penyidik. Selanjutnya,
apabila telah mulai melakukan penyidikan, penyidik memberitahu
penuntut umum. Demikian juga, jika telah selesai melakukan
penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu
22
kepada penuntut umum. Lain halnya yang menyangkut penghentian
penyidikan karena tidak terdapat bukti atau peristiwa tersebut bukan
merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum,
penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka,
atau keluarganya.
b. Kejaksaan
Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 200430 disebut kejaksaan adalah lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan serta kewenanangan lain berdasarkan Undang-Undang.
Dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya, Kejaksaan
harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum,
keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-
norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan, serta wajib menggali
nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
Sebagai salah satu lembaga penegak hukum, Kejaksaan dituntut
untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum,
perlindungan kepentingan umum, dan penegakan Hak Asasi Manusia.
Selain itu, Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam
proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang
mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasakan Pancasila, serta
berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan
pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 merupakan peraturan
perundang-undangan mengenai Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dijelaskan mengenai susunan
organisasi kejaksaan, yang terdiri dari Kejaksaan agung berkedudukan
30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Repoblik Indonesia
23
di ibukota negara Republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi berkedudukan
di ibukota propinsi, dan Kejaksaan Negeri berkedudukan di ibukota
Kabupaten/ Kotamadya.
Kejaksaan agung dipimpin oleh seorang Jaksa agung yang
mengendalikan tugas dan wewenang Kejaksaan. Dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya, Jaksa Agung dibantu oleh seorang wakil
Jaksa Agung yang merupakan satu kesatuan unsur pimpinan dan
beberapa orang Jaksa Agung Muda sebagai unsur pembantu pimpinan.
Untuk ditingkat propinsi, dipimpin oleh seorang Jaksa Tinggi yang
dibantu oleh seorang wakil Kepala Kejaksaan Tinggi sebagai kesatuan
unsur pimpinan, beberapa orang unsur pimpinan, dan unsur pelaksana.
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 dimaksud dengan Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai Jaksa
Penuntut Umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan
Undang-Undang. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 ayat 2 Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2004 Penuntut Umum adalah jaksa yang
diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan
dan melaksanakan penetapan hakim, dan menunjuk juga pada Pasal 6 a
dan Pasal 6 b KUHAP.
Dalam proses perkara pidana tugas dan wewenang Jaksa Penuntut
Umum di dalam Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 tahun
2004 disebutkan bahwa kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
1) Melakukan penuntutan
2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap
3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan,dan keputusan lepas
bersyarat
24
4) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
Undang-Undang
5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Selanjutnya dalam Pasal 14 KUHAP disebutkan bahwa Penuntut
Umum mempunyai wewenang :
1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik
atau penyidik pembantu
2) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3)
dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik
3) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah
perkaranya dilimpahkan oleh penyidik
4) Membuat surat dakwaan
5) Melimpahkan perkara ke pengadilan
6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan
hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan,
baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk dating pada
sidang yang telah ditentukan
7) Melakukan penuntutan
8) Menutup perkara demi kepentingan hukum
9) Mengadakan tindakan lain dalamlingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan Undang-Undang ini
10) Melaksanakan penetapan hakim
Disamping tugas dan wewenang kejaksaan di bidang pidana yang
tersebut dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 diatas, pada Pasal 32 juga disebutkan bahwa kejaksaan dapat
diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.
25
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina
hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta
badan negara / instansi lainnya. Selain itu kejaksaan dapat memberikan
pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah laiinya,
sesuai dengan bunyi Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
c. Hakim
Pengaturan mengenai badan pengadilan dalam sistem hukum
dimasukan kedalam kategori kekuasaan kehakiman. Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia. Lebih lanjut dalam Pasal 2
dikatakan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan
Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer,
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
Menurut Satjipto Rahardjo tugas penyelengaraan peradilan yang
diperinci kedalam kegiatan-kegiatan menerima, memeriksa dan
mengadili perkara, pengadilan melakukan penegakan hukum. Cara
mengadili seperti yang dikehendaki sistem hukum tersebut termasuk
dalam kategori ajudikatif, yaitu menentukan menentukan apa yang
sesungguhnya merupakan isi suatu peraturan, kemudian menentukan
apakah suatu peraturan itu telah dilanggar.31
Pengadilan negeri sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang
tugasnya menerima, memeriksa, dan mengadili dan menyelesaikan
31 Satjipto Rahardjo, Opcit, Hal 77
26
perkara yang ditunjuk kepadanya wajib menerima, memeriksa, dan
mengadili dan menyelesaikan perkara tersebut.
Stelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari
penuntut umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk
wewenang pengadilan yang dilimpahinya (Pasal 147 KUHAP). Setelah
mempelajari, langkah yang dilakukan adalah (Pasal 148 KUHAP dan
penjelasannya) sebgai berikut.
1) Dalam hal ketua pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara
pidana itu tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya,
tetapi termasuk wewenang pengadilan negeri lain, ia menyerahkan
surat pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan negeri lain
yang dianggap berwenang mengadilinya dengan surat penetapan
yang memuat alasannya.
2) Surat pelimpahan perkara tersebut diserahkan kembali kepada
penuntut umum selanjutnya kejaksaan negeri yang bersangkutan
menyampaikannya kepada kejaksaan negeri di tempat pengadilan
negeri yang tercantum dalam surat penetapan. Dengan demikian,
kejaksaan negeri yang menerima surat pelimpahan perkara tersebut
dari kejaksaan negeri semula, maka ia membuat surat pelimpahan
baru untuk disampaikan ke pengadilan negeri yang tercantum
dalam surat penetapan.
3) Turunan surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam angka (1)
di atas disampaikan kepada terdakwa atau penasihat hukum dan
penyidik.
Meskipun, pengadilan negeri telah mengeluarkan surat penetapan,
akan tetapi tidak selalu harus dilaksanakan oleh penuntut umum.
Apabila penuntut umum berkeberatan terhadap surat penetapan
pengadilan negeri tersebut, ia dapat mengajukan perlawanan kepada
pengadilan tinggi yang bersangkutan dalam waktu tujuh hari setelah
penetapan itu diterima, lebih dari itu mengakibatkan batalnya
perlawanan. Perlawanan itu disampaikan kepada ketua pengadilan
27
negeri yang mengeluarkan penetapan tadi, dan dalam waktu tujuh hari
pengadilan negeri wajib meneruskan perlawanan itu kepada pengadilan
tinggi yang bersangkutan. Untuk itu, pengadilan tinggi dalam waktu
paling lama empat belas hari dapat menguatkan atau menolak
perlawanan itu. Jika pengadilan tinggi menguatkan perlawanan
penuntut umum maka dengan surat penetapan memerintahkan
pengadilan negeri yang bersangkutan untuk menyidangkan perkara
tersebut. Sebaliknya, jika pengadilan tinggi menguatkan pendapat
pengadilan negeri, pengadilan tinggi mengirimkan berkas perkara
pidana itu kepada pengadilan negeri yang bersangkutan (Pasal 149
KUHAP).
Apabila dalam perkara itu tidak terjadi permasalahan yang
berkaitan dengan wewenang mengadili, pengadilan negeri setelah
menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa perkara
itu termasuk wewenangnya, ketua pengadilan menunjuk hakim yang
akan menyidangkan perkara tersebut dan yang ditunjuk itu menetapkan
hari sidang dan selanjutnya memerintahkan kepada penuntut umum
supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk datang di sidang
pengadilan (Pasal 152 KUHAP).
2. Kebijakan Hukum Pidana
Mengkaji politik hukum pidana akan terkait dengan politik hukum.
Politik hukum terdiri atas rangkaian kata politik dan hukum. Menurut
Sudarto,32 Istilah politik dipakai dalam berbagai arti, yaitu :
a. perkataan politik dalam bahasa Belanda berarti sesuatu yang
berhubungan dengan negara.
b. berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang berhubungan
dengan negara
Lebih lanjut Sudarto mengatakan, makna lain dari politik adalah
kebijakan yang merupakan sinonim dari policy. Dengan dasar itu,
32 Sudarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap
Pembaharuan Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung, Tahun 1983, Hal.16.
28
Sudarto mengatakan,33 Politik hukum merupakan kebijakan negara
melalui badan-badan yang berwenang untuk menerapkan peraturan-
peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk
mencapai apa yang dicita-citakan. Sedang menurut Solly Lubis,34
politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan peraturan
hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Atas dasar pendapat para pakar tersebut dapat dilihat dengan jelas
bahwa politik dan hukum mempunyai hubungan yang erat karena
politik berhubungan dengan negara sedangkan hukum berhubungan
dengan suatu aturan, norma, peraturan perundangan-undangan, yang
diproduk oleh negara. Kedekatan hubungan antara politik dan hukum
ini tidak saja pada tataran formulasi tetapi juga dapat dilihat pada
tataran aplikasi dan eksekusi. Hubungan yang erat antara politik dan
hukum ini juga mendapat perhatian dari Mahfud 35 yang menjelaskan
bahwa hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai
dependent variable (variabel terpengaruh) dan politik sebagai
independent variabel (variabel berpengaruh). Dengan asumsi yang
demikian itu, Mahfud36 merumuskan politik hukum sebagai:
Kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara
nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang
bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat
konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan
hukum itu. Disini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai Pasal-
Pasal yang bersifat imperative atau keharusan-keharusan, melainkan
33 Loc.cit 34 Solly Lubis, Serba-Serbi Politik Dan Hukum, Mandar Maju, Bandung, Tahun 1989,
Hal.49. 35 Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Jakarta, Tahun 1998, Hal.1-2 36 Loc.cit
29
harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak
mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi
dan Pasal-Pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.
Berdasar pendapat tersebut terlihat jelas bahwa secara umum
politik/kebijakan hukum selalu ada dan melingkupi bekerjanya hukum
dalam masyarakat baik pada tahap formulasi dimana ide-ide dasar,
kepentingan, keinginan baik yang disukai maupun yang tidak yang
merupakan ekspresi dan keinginan masyarakat diangkat dan
dituangkan dalam bentuk rumusan aturan perundangan-undangan yang
kemudian disahkan oleh lembaga yang berwenang, selanjutnya politik
hukum juga akan mempengaruhi proses aplikasi dimana aturan yang
sudah disahkan oleh lembaga yang berwenang diterapkan dalam proses
pengakan hukum dan yang terakhir akan mempengaruhi pula tahap
eksekusi.
Sedangkan secara khusus politik hukum juga mempengaruhi
berbagai sistem tata hukum yang ada seperti hukum perdata, hukum
pidana, hukum tata pemerintahan, hukum administrasi dan lain-lain,
dimana sistem tata hukum yang terdiri dari unsur-unsur hukum seperti
perdata, pidana, tata negara, administrasi dan lain-lain tersebut diatas
saling bertautan, saling pengaruh mempengaruhi serta saling mengisi.
Oleh karena itu membicarakan satu bidang atau unsur atau subsistem
hukum yang berlaku di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari yang lain
sehingga mirip dengan tubuh manusia, unsur hukum bagaikan organ
yang keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari organ yang lain.37
Hukum pidana yang merupakan bagian dari sistem hukum atau
sistem norma-norma, termasuk bidang hukum publik. Dimana menurut
Utrecht, hukum pidana mempunyai kedudukan istimewa, yang harus
diberi tempat tersendiri di luar kelompok hukum publik dan hukum
privat. Utrecht melihat hukum pidana sebagai suatu hukum sanksi
37 Ilham Bisri, Sistem Hukum Indonesia; Prinsip-prinsip dan Implementasi Hukum Di
Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 39
30
istimewa, baik atas pelanggaran hukum privat maupun atas
pelanggaran hukum publik. Hukum pidana melindungi kepentingan
yang diselenggarakan oleh peraturan-peraturan hukum privat maupun
peraturan-peraturan hukum publik. Hukum pidana melindungi kedua
macam kepentingan itu dengan membuat sanksi istimewa. Sanksi
istimewa itu perlu, oleh karena kadang-kadang perlu diadakan tindakan
pemerintah yang lebih keras.38
Pidana dan pemidanaan merupakan masalah yang selalu mendapat
perhatian banyak pakar, karena langsung berhubungan dengan
kepentingan mendasar manusia, untuk menentukan apakah suatu
pebuatan dikatagorikan sebagai tindak pidana, pantaskah suatu
perbuatan dikatagorikan sebagai tindak pidana, berapa lama jumlah
sanksi yang tepat bagi suatu perbuatan yang dikatagorikan sebagai
tindak pidana, diperlukan bantuan ilmu yaitu kebijakan hukum pidana.
Menurut Sudarto politik/ kebijakan hukum pidana adalah 39
1. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan
2. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.
Selanjutnya Sudarto mengemukakan politik criminal itu dapat
diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas.40
- Dalam arti sempit, politik criminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana.
- Dalam arti yang lebih luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja pengadilan dan polisi
38 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Edisi Revisi, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2004, Hal.75 39 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni Bandung 1981 Hal.151 40 Ibid, Hal 113-114.
31
- Dalam arti yang paling luas, ia merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang betrujuan untuk menegakan norma-norma sentral masyarakat.
Pada bagian lain Sudarto mengemukakan bahwa sebagai bagian
dari politik hukum maka politik hukum pidana mengandung arti
bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu
perundang-undangan pidana yang baik. Maka melaksanakan politik
hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil
perundangan-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi
syarat keadilan dan dayaguna.41 Dalam kesempatan lain dikemukakan
pula, bahwa melaksanakan politik hukum pidana mempunyai arti
sebagai usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana
yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk
masa-masa yang akan datang.42
Pada hakekatnya kebijakan hukum pidana dapat
difungsionalisasikan dan dioperasionalkan melalui beberapa tahap,
yaitu tahap formulasi atau tahap kebijakan legislatif, tahap aplikasi
atau kebijakan yudikatif dan tahap eksekutif atau kebijakan
administratif43 Tahap formulasi atau kebijakan legislatif dapat
dikatakan sebagai tahap perencanaan dan perumusan peraturan
perundang-undangan pidana. Tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif
merupakan tahap penerapan dari ketentuan peraturan perundang-
undangan pidana yang telah dilanggar. Tahap eksekusi atau kebijakan
administratif adalah tahap pelaksanaan dari putusan pengadilan atas
perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupakan tahap awal
yang paling strategis dari keseluruhan perencanaan proses
41 Ibid, Hal.152. 42 Ibid, Hal. 20. 43 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, Tahun 2001 Hal 75.
32
fungsionalisasi atau operasionalisasi hukum pidana. Tahap formulasi
atau kebijakan legislatif tersebut menjadi dasar, landasan dan pedoman
bagi tahap-taha fungsionalisasi atau operasionalisasi hukum pidana
berikutnya, yaitu tahap aplikasi dan eksekusi.44 Kesalahan atau
kelemahan tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupakan
kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat bagi tahap-tahap
berikutnya dalam kebijakan hukum pidana (penal policy), yaitu tahap
apilkasi dan eksekusi 45
Lebih lanjut Marc Ancel dalam Barda Nawawi Arief, menjelaskan
bahwa Modern Criminal Science terdiri dari tiga komponen 46
1. Criminology
2. Criminal Law
3. Penal Policy
Penal Policy (politik hukum pidana) menurut Marc Ancel 47 adalah
ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis
untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara
lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat
Undang-Undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan
Undang-Undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksanan
putusan pengadilan.
Selanjutnya menurut A. Mulder dalam Barda Nawawi Arief Politik
Hukum Pidana (Strafrechtspolitiek) ialah garis kebijakan untuk
menentukan 48
1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui.
44 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,
1992 Hal 157-158. 45 Ibid, Hal 75. 46 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Tanpa Tahun. Hal.1. 47 Ibid. Hal. 7. 48 Loc.cit.
33
2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
Oleh karena itu jika hukum pidana ditetapkan sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan maka harus benar-benar memperhitungkan
semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya
hukum pidana dalam kenyataannya.49 Faktor-faktor yang dapat
mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana tersebut
antara lain dikemukakan oleh Sudarto :50
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atas warga masyarakat.
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle)
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting)
Dan yang lebih penting agar sanksi pidana dapat lebih didaya
gunakan, maka perlu dilakukan suatu pendekatan. Menurut Barda
Nawawi Arief, pendekatan tersebut meliputi :
1. Pendekatan rasional
2. Pendekatan fungsional
3. Pendekatan pragmatis
4. Pendekatan nilai
Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan. Hal ini berarti
49 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit Citra Aditya
Bakti, Bandung, Tahun 1996, Hal. 29-30. 50 Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1983 Hal.44-48.
34
bahwa suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Sedangkan pendekatan yang fungsional merupakan suatu pendekatan yang melekat (inherent) pada setiap kebijakan yang rasioanl. Artinya dalam memilih dan menetapkan (hukum) pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya (hukum) pidana itu dalam kenyataannya.51
Selanjutnya dalam melakukan kebijakan hukum pidana diperlukan
pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented
approach) yang lebih bersifat pragmatis dan juga pendekatan yang
berorientasi pada nilai (value-judgment approach).52
Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan kriminal tidak dapat
dilepaskan sama sekali dari masalah nilai, terlebih lagi Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan pembangunan nasionalnya
bertujuan membentuk “manusia Indonesia seutuhnya” 53 karenanya
seperti dikatakan oleh Christiansen dalam Arief,54 “the conception of
problem crime and punishment is an essential part of the culture of
any society.
Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut, maka pendekatan humanistis harus pula diperhatikan. Hal ini penting tidak hanya karena kejahatan itu pada hakekatnya merupakan masalah kemanusiaan (human problem), tetapi juga karena pada hakekatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia.55
Selanjutnya Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa pendekatan
humanistis dalam penggunaan sanksi pidana tidak hanya berarti bahwa
pidana yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilai-
nilai kemanusiaan yang beradab, tapi juga harus dapat membangkitkan
51 Op.Cit, Barda Nawawi Arief, Hal.164 52 Loc.cit. 53 Loc.cit. 54 Loc.cit. 55 Loc.cit.
35
kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai
pergaulan hidup bermasyarakat.56
3. Teori Bekerjanya Hukum
Hukum adalah karya manusia yang berupa norma-norma berisikan
petunjuk-petunjuk tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari
kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu
dibina dan kemana harus diarahkan. Oleh karena itu pertama-tama
hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh
masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide
menegenai keadilan. Tentang apakah peraturan itu harus adil dan
mempunyai kegunaan bagi masyarakat, adalah diluar pengutamaan
nilai kepastian hukum. Dengan adanya nilai-nilai yang berbeda
tersebut maka penilaian mengenai keabsahan hukum pun bisa
bermacam-macam. Masalah ini biasanya dibicarakan dalam hubungan
dengan berlakunya hukum.57
Sebagai pedoman atau pengarahan pada warga masyarakat untuk
berperilaku, fungsi hukum menyiratkan perilaku yang diharapkan
diwujudkan oleh masyarakat apabila warga masyarakat melakukan
kegiatan yang diatur oleh hukum. Sebagai sarana pengendalian sosial,
hukum bermakna secara esensial bahwa suatu sistem mengandung
peraturan-peraturan-peraturan perilaku yang benar dan semua
masyarakat akan mengambil langkah untuk mendorong perilaku yang
baik dan memberikan sanksi negatif bagi pelaku yang buruk. Sebagai
sarana penyelesaian sengketa, fungsi hukum adalah menjadi sumber
bagi peneyelesaian sengketa serta pemecahan perselisihan yang timbul
dimasyarakat. Sebagai sarana rekayasa sosial hukum tidak saja
digunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku
yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan
56 Loc.cit. 57 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan Keenam, Bandung,
Tahun 2006, Hal 18-19.
36
pada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan-
kebiasaan yang dipandang tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola
kelakuan baru dan sebagainya.58
Melakukan kegiatan dibidang hukum adalah melakukan tindakan-
tindakan yang bermacam-macam, seperti pembuatan dan penerapan
hukum. Apapun juga tindakan dan perbuatan itu, semua merupakan
ekspesi akal pikiran manusia. Oleh karena keadaan yang demikian itu
maka semua usaha dan kegiatan itupun peka dan terbuka terhadap
pengukuran dari sudut prinsip-prinsip berfikir. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pembuatan dan penerapan hukum dapat berasal dari
pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan
(justiabelen) maupun golongan-golongan lain didalam masyarakat.
Faktor-faktor itulah yang harus diidentifikasi, oleh karena itu suatu
kelemahan yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang dirumuskan
tanpa mempertimbangkan saran-saran untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut.59
Tentang berlakunya hukum dibedakan atas tiga hal yaitu
berlakunya secara filosofis, yuridis dan sosiologis, yang intinya adalah
effektifitas hukum. Studi efektifitas hukum merupakan suatu kegiatan
yang memperlihatkan suatu strategi perumusan masalah yang bersifat
umum, yaitu suatu perbandingan antara realitas hukum dan ideal
hukum, secara khusus terlihat jenjang antara hukum dalam tindakan
(law ini action) dengan hukum dalam teori (law in theory) atau dengan
kata lain, kegiatan ini akan memperlihatkan kaitan antara law in book
dan law in action.60
Realitas hukum menyakut perilaku dan apabila hukum itu
dinyatakan berlaku, berarti menemukan perilaku hukum yaitu perilaku
58 Soleman B Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum Dalam Masyarakat. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun 1993, Hal.39-41
59 Soerjono Soekanto, Efektifitas Hukum dan Peranan Sanksi, Remaja Karya, Bandung, 1985, Hal. 119.
60 Soleman B Taneko,op.cit, Hal.47-48
37
yang sesuai dengan ideal hukum. Dengan demikian apabila ditemukan
perilaku yang tidak sesuai dengan ideal hukum, yaitu tidak sesuai
dengan rumusan yang ada pada Undang-Undang atau keputusan hakim
(case law) dapat berarti bahwa diketemukan keadaan dimana ideal
hukum tidak berlaku, dan mengingat perilaku hukum itu terbentuk
karena faktor motif dan gagasan, maka tentu saja bila diketemukan
perilaku yang tidak sesuai dengan hukum berarti ada faktor penghalang
atau kendala bagi terwujudnya perilaku sesuai dengan hukum.
Ada tiga nilai dasar yang perlu mendapat perhataian dari
pelaksanaan hukum yakni, keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan, yang mengarahkan hukum pada pertimbangan kebutuhan
masyarakat pada suatu saat tertentu. Hukum benar-benar mempunyai
peranana nyata bagi masyarakat dimana kekuatan sosial bekerja dalam
tahapan pembuatan Undang-Undang. Kekuatan sosial itu akan terus
berusaha masuk dan mempengaruhi setiap proses legislasi secara
efektif dan efesien. Peraturan yang dikeluarkan itu memang akan
menimbulkan hasil yang diinginkan, tapi efeknya sangat tergantung
pada kekuatan-kekuatan sosial yang melingkupinya.
Masyarakat dan ketertibannya merupakan dua hal yang
berhubungan secara erat, bahkan bisa juga dikatakan sebagai dua sisi
mata uang. Susah untuk mengatakan adanya masyarakat tanpa ada
suatu ketertiban, bagaimanapun kualitasnya. Ketertiban dalam
masyarakat diciptakan secara bersama-sama oleh berbagai lembaga
secar bersama-sama seperti hukum dan tradisi. Oleh karena itu dalam
masyarakat juga dijumpai berbagai macam norma yang masing-masing
memberikan sahamnya dalama menciptakan ketertiban itu. Kehidupan
dalam masyarakat yang sedikit banyak berjalan dengan tertib dan
teratur ini didukung oleh adanya suatu tatanan, karena adanya tatanan
inilah kehidupan menjadi tertib.61
61 Satjipto Rahardjo, op.cit, Hal 13
38
Suatu tatanan yang ada dalam masyarakat kita sesungguhnya
terdiri dari suatu kompleks tatanan yaitu terdiri dari sub-sub tatanan
yang berupa kebiasaan, hukum dan kesusilaan. Dengan demikian
ketertiban yang terdapat dalam masyarakat ini senantiasa terdiri dari
ketiga tananan tersebut diatas,62 keadaan yang demikian ini memberi
pengaruhnya tersendiri terhadap masalah effektifitas tatanan dalam
masyarakat. Efektifitas ini bisa dilihat dari segi peraturan hukum
sehingga ukuran-ukuran untuk menilai tingkah laku dan hubungan-
hubungan antara orang-orang pun didasarkan pada hukum atau tatanan
hukum.
Menurut Soerjono Soekanto bahwa masalah pokok penegakan
hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhinya, faktor-faktor itu mempunyai arti yang netral,
sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor-faktor
tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a) Kaedah Hukum atau peraturan itu sendiri;
b) Petugas yang menegakannya;
c) Fasilitas yang diharapkan mendukung pelaksanaan hukum;
d) Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan
tersebut;
e) Budaya Hukum63
Selanjutnya menurut Robert B Saidman, bekerjanya hukum sangat
dipengaruhi oleh kekuatan atau faktor-faktor sosial dan personal.
Faktor-faktor sosial dan personal tidak hanya berpengaruh terhadap
masyarakat (rakyat) sebagai sasaran yang diatur oleh hukum,
melainkan terhadap lembaga-lembaga hukum. Dari arah panah
sebagaimana yang terlihat pada bagan dibawah dapat diketahui bahwa
hasil akhir dari pekerjaan tatanan dalam masyarakat tidak bisa hanya
62 Satjipto Rahardjo, op.cit. Hal. 14
63 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. RajaGrafindo. Jakarta. 2008, Hal. 8
39
Pemegang peranan
dimonopoli oleh hukum melainkan juga oleh kekuatan sosial dan
personal lainya.
Teori bekerjanya hukum dari Robert B. Saidman tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1. Teori bekerjanya hukum dari Robert B. Saidman Faktor – faktor Sosial dan personal lainya
Umpan Balik
Norma
Umpan balik Norma
Aktifitas Penerapan
Lembaga Pembuat Peraturan
Lembaga penerap
peraturan
40
Faktor – faktor Sosial Faktor – faktor Sosial dan personal lainya dan personal lainya
Bagan tersebut diatas diuraikan dalam dalil-dalil berikut ini : 64
1. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang peranan (rule occupsnt) itu diharapkan bertindak.
2. Bagaimana seorang pemegang peranan itu akan bertindak sebagai suatu respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksi, aktifitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan komplek kekuatan sosial, politik dan lainya-lainya mengenai dirinya.
3. Bagamana lembaga – lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan komplek kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari para pemegang peranan.
4. Bagaimana para pembuatan Undang-Undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan komplek kekuatan-kekuatan sosial, politik, idiologis dan lain-lainya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari para pemegang peranan serta birokrasi.
Bekerjanya hukum sebagai suatu pranata didalam masyarakat,
terdapat suatu faktor yang menjadi perantara yang memungkinkan
terjadinya penerapan dari norma-norma hukum itu. Regenerasi atau
penerapa hukum dalam kehidupan masyarakat itu hanya dapat terjadi
melalui manusia sebagai perantaranya. Masuknya faktor manusia
kedalam hukum, khususnya didalam hubungan dengan bekerjanya
hukum itu, mempaba kepada penglihatan mengenai hukum sebagai
karya manusia didalam masyarakat, maka tidak dapat membatasi
masuknya pembicaraan mengenai faktor-faktor yang memberikan
beban pengaruhnya (impact) terhadap hukum, yang meliputi :
a) Pembuatan Hukum
64 Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1980, Hal
27
41
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur kehidupan
bersama manusia, hukum harus menjalanai suatu proses yang
panjang dan melibatkan berbagai aktifitas dengan kualitas yang
berbeda-beda. Jika masalah pembuatan hukum itu hendak dilihat
dengan bekerjanya hukum sebagai suatu lembaga sosial, maka
pembuatan hukum itu dilihat sebagai fungsi masyarakat.
Apabila hukum itu dilihat sebagai karya manusia maka
pembicaraannya juga sudah harus dimulai sejak dari pembuatan
hukum. Jika masalah pembuatan hukum itu hendak dilihat dalam
hubungan dengan bekerjanya hukum sebagai suatu lembaga sosial,
maka pembuatan hukum itu dilihat sebagi fungsi masyarakatnya.
Didalam hubungan\nya dengan masyarakat, pembuatan hukum
merupakan cerminan dalam model masyarakat. Menurut
Chambliss dan Saidman, terdapat 2 model masyarakat yaitu : 65
1. Model masyarakat yang berdasarkan pada basis kesepakatan akan nilai-nilai (value consensus), masyarakat yang demikian ini akan sedikit sekali menegenal adanya konflik atau ketegangan didalamnya sebagai akibat adanya kesepakatan nilai-nilai yang menjadi landasan kehidupanya, dengan demikian masalah yang dihadapai oleh pembuatan hukum hanyalah menetapkan nilai-nilai apakah yang berlaku didalam masyarakat itu.
2. Masyarakat dengan model konflik. Di dalam hal ini masyarakat dilihat sebagai suatu penghubungan yang sebagian warganya mengalami tekanan-tekanan oleh sementara pihak warga lainya, perubahan dan konflik-konflik merupakan kejadian yang umum. Nilai-nilai yang berlaku didalam masyarakat berada dalam situasi konflik satu sama lainnya sehingga ini juga akan tercermin dalam pembuatan hukumnya.
b) Bekerjanya Hukum di Bidang pengadilan
Pembicaraan mengenai bekerjanya hukum dalam hubungan
dengan proses peradilan secara konvensional melibatkan
pembicaraan tentang kekuasaan kehakiman, prosedur perkara dan
65 Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat….., op.cit, Hal 49
42
sebagainya. Masalahnya bagaimana mengatur penyelesaian
sengketa secara tertip berdasarkan prosedur-prosedur formal yang
ditentukan. Keadaan menjadi agak lain, apabila penyelesaian
sengketa itu dilihat sebagai fungsi kehidupan sosial. Dalam hal ini
yang menjadi masalah adalah bagaimana bekerjanya pengadilan
sebagai suatu pranata yang melayani kehidupan sosial. Didalam
kerangka penglihatan ini maka lembaga pengadilan tidak dilihat
sebagai suatu badan yang merupakan bagian-bagian dari
keseluruhan nilai-nilai dan proses-proses yang bekerja didalam
masyarakat tersebut.66
c) Pelaksanaan Hukum (hukum sebagai suatu proses)
Hukum tidak dapat bekerja atas kekuatannya sendiri,
melainkan hukum hanya akan dapat berjalan melalui manusia.
Manusialah yang menciptakan hukum, tetapi juga untuk
pelaksanaan hukum yang telah dibuat itu masih diperlukan campur
tangan manusia pula. Oleh karena itu masih diperlukan langkah
yang memungkinkan ketentuan hukum dapat dijalankan.
Pertama, harus ada pengangkatan pejabat sebagaimana
ditentukan dalam peraturan hukum. Kedua, harus ada orang-orang
yang melakukan perbuatan hukum. Ketiga, orang-orang tersebut
mengetahui adanya peraturan tentang keharusan bagi mereka untuk
menghadapai pegawai yang telah ditentukan untuk mencatatkan
peristiwa hukum tersebut.67
d) Hukum dan Nilai-Nilai di Dalam Masyarakat
Hukum menetapkan pola hubungan antar manusia dan
merumuskan nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat kedalam
bagan-bagan. Di dalam masyarakat ada norma-norma yang disebut
sebagai norma yang tertinggi atau norma dasar. Norma ini adalah
66 Satjipto Raharjdo, Ilmu……, op.cit, Hal 53 67 Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat….op.cit, Hal 71.
43
norma yang paling menonjol, yang paling kuat kerjanya atas diri
anggota-anggota masyarakat, seperti halnya dengan norma maka
nilai itu diartikan sebagai suatu pernyataan tentang hal yang
diinginkan oleh seseorang. Norma dan nilai itu merujuk pada hal
yang sama tetapi dari sudut pandang yang berbeda. Norma itu
mewakili suatu perspektif sosial, sedangkan nilai melihatnya dari
sudut perspektif individual.68
Menurut Radburch, nilai-nilai dasar dari hukum meliputi
keadialan, kegunaan (zweckmasziqkeif) dan kepastian hukum.
Sekalipun ketiga-tiganya itu merupakan nilai dasar dari hukum namun
diantara mereka terdapat suatu Spannunghsverhaltnis, yaitu suatu
ketegangan antara satu sama lain. Keadaan yang demikian itu dapat
dimengerti, kerena ketiga-tiganya berisikan tuntutan yang berlain-
lainan dan yang satu sama lainnya mengandung potensi untuk
bertentangan. Apa yang sudah dinilai sah atas dasar persyaratan yang
harus dipenuhi oleh suatu peraturan, bisa dinilai tidak sah dari segi
kegunaannya bagi masyarakat.69
Hukum agar bisa berfungsi dapat dipakai bila pendekatan dengan
mengambil teori Robert Saidman yang menyatakan bahwa bekerjanya
hukum dalam masyarakat itu melibatkan tiga kemampuan dasar, yaitu
pembuat hukum (Undang-Undang, birokrat pelaksana dan masyarakat
objek hukum). Pelaksana hukum, perilakunya ditentukan pula
peranannya yang diharapkan daripadanya, namun bekerjanya harapan
itu tidak hanya ditentukan oleh peraturan-peraturan saja, melainkan
juga ditentukan oleh faktor-faktor lainya, tetapi juga oleh : 70
a. Sanksi-sanksi yang terdapat didalamnya
68 Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat…..op.cit., 1980, Hal 78. 69 Radburch dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu…..op.cit, Hal 19. 70 Esmi Warasih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologi,PT. Suryandaru,Semarang,
2005, Hal 107.
44
b. Aktifitas dari lembaga-lembaga atau badan-badan pelaksana
hukum
c. Seluruh kekuatan sosial, politik dan lainnya yang bekerja atas
diri pemegang peran itu.
B. Sistem Pemidanaan dan Pengaturan Pidana dalam Undang-Undang No 5
Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya dan Bebrapa Undang-Undang Terkait
1. Sistem Pemidanaan
Secara konseptual, Barda Nawawi Arief, mengutip pernyatan L.H.C.
Hulsman, mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (the sentencing
system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
sanksi pidana dan pemidanaan. Apabila pengertian pemidanaan diartikan
secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh
hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup
pengertian:
a. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemidanaan
b. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemberian/
penjatuhan dan pelaksanaan pidana
c. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk
fungsionalisasi/ operasionalisasi/konkretisasi pidana
d. Keseluruhan sistem (perundang-undangan) yang mengatur bagaimana
hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret
sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana).
Dengan mengacu pada pengertian ini, maka semua perundang-
undangan adalah berhubungan dengan hukum pidana material/substantif.
Hukum pidana formal dan hukum pelaksanaanpidana dapat dilihat sebagai
satu kesatuan sistem pemidanaan. Dengan kata lain, sistem pemidanaan
terdiri dari subsistem hukum pidana substantif, subsistem hukum pidana
formal, dan subsistem hukum pelaksanaan/eksekusi pidana.
Beberapa konsep mendasar yang berhubungan dengan sistem
pemidanaan:
45
a. Kejahatan dan Pelanggaran
Penggolongan ini diatur di dalam buku tersendiri. Buku II memuat
tentang jenis-jenis tindak pidana yang termasuk dalam golongan
kejahatan. Sedangkan tindak pidana yang termasuk di dalam golongan
pelanggaran diatur di dalam Buku III. Kata kejahatan dan pelanggaran
merupakan terjemahan dari istilah misdrijf dan overtreding dalam
Bahasa Belanda.
Sebenarnya tidak mudah membedakan kejahatan dengan pelanggaran,
karena keduanya merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Tetapi
ada dua cara untuk menemukan perbedaan itu, yaitu: pertama, meneliti
maksud dari pembentuk Undang-Undang; kedua, meneliti sifat-sifat
yang berbeda antara tindak-tindak pidana yang termuat di dalam Bab II
KUHP dan tindak-tindak pidana yang termuat di dalam Buku III
KUHP71.
b. Tindak Pidana Material dan Formil
Penggolongan tindak pidana ini adalah berdasarkan cara perumusan
ketentuan hukum pidana oleh pembentuk Undang-Undang. Apabila
perumusan tindak pidana dirumuskan tanpa menyebutkan secara rinci
kegiatan atau tindak pidananya, tetapi hanya menyebutkan perbuatan
yang menyebabkan suatu akibat tertentu, maka tindak pidana ini
disebut sebagai tindak pidana material. Sedangkan apabila tindak
pidana itu dirumuskan dengan menggambarkan wujud perbuatannya
tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu, maka
tindak pidana semacam itu disebut sebagai tindak pidana formil.72
c. Unsur Kesengajaan dan Kelalaian dalam Tindak Pidana
Kesengajaan (dolus) menurut teori kehendak (wilstheorie) dan teori
pengetahuan (voorstellingstheorie) adalah adalah perbuatan atau
71 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2003, Hal.32-33. 72 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Ketujuh, Rineka Cipta, Jakarta, 2002,
Hal. 88-90.
46
tindakan yang dikehendaki dan diketahui akan mewujudkan perbuatan
yang oleh peraturan perundang-undangan dikategorikan sebagai tindak
pidana. Sebuah teori lain yang disebut dengan inkauf nehmen atau oleh
Moeljatno disebut dengan teori “apa boleh buat”, menyatakan bahwa
kesengajaan merupakan perbuatan atau tindakan yang kemungkinan
akibatnya diketahui oleh terdakwa dan sikapnya atas kemungkinan
tersebut, andaikata terjadi, adalah berani mengambil risikonya.73
Sementara, kelalaian (tidak sengaja atau culpa) adalah tindak pidana
yang dilakukan dalam situasi di mana terdakwa tidak mengetahui sifat
melawan hukumnya perbuatan tersebut.74
d. Subjek Tindak Pidana
Subjek tindak pidana adalah orang yang bisa dikenakan tanggung
jawab pidana. Dalam konsep hukum perdata yang kemudian diadopsi
dalam hukum-hukum publik, orang adalah istilah yang mencakup dua
subjek hukum yakni manusia dan subjek lain yang oleh hukum
ditetapkan sebagai subjek hukum. Dalam konteks yang terakhir ini,
hukum perdata telah mengkategorikan badan hukum sebagai subjek
hukum.75 Namun dalam perkembangan selanjutnya, subjek hukum
pidana tidak hanya manusia dan badan hukum tetapi juga
mencantumkan nama korporasi. Menurut Sutan Sjahdeini, dalam
hukum pidana, pengertian korporasi tidak hanya badan hukum. Di
sana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan badan
hukum. Cakupannya, bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan
terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan
sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut
hukum pidana, tetapi juga firma, perseroan komanditer atau CV, dan
73 Moeljatno, ibid., Hal. 171-177. 74 Moeljatno, ibid., Hal. 185-192. 75 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003,
Hal. 73-74.
47
persekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan usaha yang menurut
hukum perdata bukan suatu hukum. Sekumpulan orang yang
terorganisasi dan memiliki pimpinan dan melakukan perbuatan-
perbuatan hukum, juga termasuk ke dalam apa yang dimaksud dengan
korporasi.76
e. Stelsel Pidana
Stelsel pidana mencakup pengaturan tentang jenis-jenis pidana
(strafsoord), berat ringannya pidana (straafmaat) dan cara bagaimana
pidana itu dilaksanakan (strafmodus).77 Di dalam Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana diatur mengenai jenis pidana
(hukuman), yang terdiri dari:
(1) Pidana pokok:
(a) pidana mati,
(b) pidana penjara,
(c) pidana kurungan,
(d) pidana denda,
(e) pidana tutupan.
(2) Pidana tambahan:
(a) pencabutan hak-hak tertentu,
(b) perampasan barang-barang tertentu,
(c) pengumuman putusan hakim.
Berkaitan dengan berat ringannya pidana, KUHP menyebut pidana
dengan jumlah/maksimum pidana, minimum pidana dan pidana yang
sudah ditentukan jenis dan jumlah atau bentuknya (pidana mati,
penjara seumur hidup dan penjara 20 tahun). Sedangkan cara-cara
pelaksanaan pidana berbeda-beda berdasarkan jenis pidananya.
f. Pidana Administrasi
76 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Graffiti Pers, Jakarta,
2006, Hal. 39-47. 77 Muladi, “Pembaruan Hukum Pidana Yang Berkualitas Indonesia”, Jurnal Masalah-
Masalah Hukum, No. 2 Tahun 1988, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, Hal. 28.
48
Pidana administrasi tersebar di berbagai Undang-Undang sektoral di
Indonesia. Pidana ini merupakan bagian dari sanksi administrasi
karena dikenakan kepada pelanggaran-pelanggaran atas hukum
administrasi. Menurut Barda Nawawi Arief, hukum administrasi pada
dasarnya adalah hukum mengatur atau hukum pengaturan (regulatory
rules), yaitu hukum yang dibuat dalam melaksanakan kekuasaan
mengatur/pengaturan maka hukum pidana administrasi sering disebut
sebagai hukum pidana pengaturan atau hukum pidana dari aturan-
aturan (ordnungstrafrecht/ ordeningstrafrecht). Selain itu, kata Barda,
istilah hukum administrasi juga terkait dengan tata pemerintahan,
sehingga istilah hukum pidana administrasi juga ada yang
menyebutnya sebagai hukum pidana pemerintahan
(verwaltungsstrafrehct/bestuursstrafrechct). Dengan demikian, hukum
pidana administrasi merupakan perwujudan dari kebijakan
menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk melaksanakan atau
menegakan hukum administrasi. Jadi, pidana administrasi merupakan
bentuk fungsionalisasi/operasionalisasi hukum pidana di bidang
hukum adiministrasi.78
Adapun sanksi pidana yang dapat dijatuhkan pada pelaku kejahatan atau
pelanggaran di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
secara umum dapat dikenai ketentuan yang termuat dalam Undang-Undang
No.23 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
terdapat dalam Pasal 98 sampai dengan 115 berupa pidana penjara dan denda,
Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sanksi pidana berupa
penjara dan denda terdapat dalam Pasal 78, dan Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya
sanksi pidana berupa pidana penjara dan denda. Oleh karena berfungsi sebagai
78 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
Hal. 14-15.
49
umbrella provision maka ketentuan pidana yang termuat dalam Undang-
Undang No.23 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-Undang No.
32 Tahun 2009 dan Undang-Undang 41 Tahun 1999 terhadap sanksi pidana
yang terdapat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 berlaku adagium lex
specialis derogat legi generalis atau lex posterior derogat legi periori79.
Pemberlakuan sanksi pidana tersebut secara yuridis formal tergambar dalam
ragaan di bawah ini :
Gambar 2. Ruang Lingkup Pemberlakuan Sanksi Pidana Konservasi
Keanekaragaman Hayati
Sanksi pidana dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 bersifat umum untuk semua kasus lingkungan hidup dapat dijerat. Sanksi pidana dalam Undang-Undang No 41 Tahun 1999 bersifat khusus untuk kejahatan di luar dan dalam kawasan hutan lindung dan produksi. Sanksi pidana dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1999 bersifat khusus untuk kejahatan konservasi keanekaragaman hayati.
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya
79 Saifullah, Hukum Lingkungan Paradigma Kebijakan Kriminal di Bidang Konservasi
Keanekaragaman Hayati, UIN Malang Press Cetakan I, Malang, 2007, Hal 138-139.
50
Undang-Undang ini mengenal tindak pidana kejahatan dan
pelanggaran. Keduanya masuk dalam bab tentang ketentuan pidana80.
Lihat Tabel 1.
Tabel 1. Tindak Pidana Kejahatan Dan Pelanggaran Undang-
Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya
Pasal Tindak Pidana Kejahatan Pasal Tindak Pidana
Pelanggaran Pasal 40 (1) Melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam
Pasal 40 (3)
Kegiatan di samping dilakukan secara lalai
Pasal 40 (1) melakukan kegiatan yang dapatmengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional
Pasal 40 (3)
Kegiatan di samping dilakukan dengan secara lalai
Pasal 40 (2) Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
Pasal 40 (2) Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
Pasal 40 (2) Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan,memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup
Pasal 40 (2) Menyimpan,memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati
Pasal 40 (2) Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia
Pasal 40 (2) Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian
80 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya.
51
tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia
Pasal 40 (2) Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi
Pasal 40 (2) Melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam
Undang-Undang ini mengenal penggolongan tindak pidana materil dan
formil. Rumusan Pasal tindak pidana formil dapat dijumpai di Pasal 40
ayat 2 yang merujuk pada ketentuan Pasal 21 ayat 1 dan 2 serta Pasal 33
ayat 3. Berikut bunyi lengkap Pasal 21 ayat (1) dan (2) serta Pasal 33 ayat
(3). Sedangkan rumusan tindak pidana materil dapat dijumpai dalam Pasal
40 ayat 1, yang merujuk pada ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33
ayat (1)81. Lihat Tabel 2.
Tabel 2. Penggolongan Tindak Pidana Materil Dan Formil Undang-
Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.
Pasal Tindak Pidana Formil Pasal Tindak Pidana Materil Pasal 21 ayat (1) dan (2)
(1) Setiap orang dilarang untuk: a. Mengambil, b. Menebang, memiliki,
merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian- bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
c. Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu
Pasal 19 ayat (1)
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.
81 Ibid
52
tempat di indonesia ke tempat lain di alam atau di luar indonesia.
(2) Setiap orang dilarang untuk: a. Menangkap, melukai,
membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e. Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.
Pasal 33 ayat (3)
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
Pasal 33 ayat (1)
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.
Oleh karena terdapat peraturan perundang-undangan yang bersifat
khusus tersebut di atas maka kejahatan atau pelanggaran yang terjadi di
dalam kawasan konservasi dan kejahatan atau pelanggaran terhadap
tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi diberlakukan Undang-Undang
53
Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
3. Undang-Undang Nonor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Jenis-jenis tindak pidana yang termuat di dalam Undang-Undang ini
dibagi menjadi tindak pidana kejahatan dan pelanggaran (lihat tabel 3).
Kedua kategori ini masuk dalam bab tentang ketentuan pidana, yang
secara tegas dipisahkan dari jenis sanksi ganti rugi dan administratif82.
Tabel 3. Jenis-Jenis Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nonor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan
Pasal Tindak Pidana Kejahatan Pasal Tindak Pidana
Pelanggaran Pasal 78 (1)
Kejahatan merusak prasarana dan sarana perlindungan kehutanan
Pasal 78 (8)
Menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang
Pasal 78 (1)
Melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan
Pasal 78 (12)
Mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi Undang-Undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang
Pasal 78 (2)
Mengerjakan, menggunakan, menduduki kawasan hutan secara tidak sah
Pasal 78 (2)
Merambah hutan
Pasal 78 (2)
Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan jarak dan radius tertentu
Pasal 78 (3) & (4)
Membakar hutan
Pasal 78 (5)
Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di
82 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
54
dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin (mencuri)
Pasal 78 (5)
Menerima, membeli, atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang dipungut secara tidak sah.
Pasal 78 (6)
Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin menteri.
Pasal 78 (7)
Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan.
Pasal 78 (9)
Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang.
Pasal 78 (10)
Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
Pasal 78 (11)
Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan.
Undang-Undang ini mengenal penggolongan tindak pidana formil dan
materil83. Tindak pidana formil dapat dijumpai di Pasal 78 ayat (1) dan (2),
yang merujuk ketentuan di Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3). Pasal 50 ayat (1)
menyatakan: Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana
perlindungan hutan.
Pasal 50 ayat (3) berbunyi: Setiap orang dilarang84:
83 Loc.cit. 84 Loc.cit.
55
(a). mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
(b). merambah kawasan hutan; (c). melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius
atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di
daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang
terendah dari tepi pantai. (d). membakar hutan; (e). menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam
hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; (f). menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
(g). melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;
(h). mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
(i). menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
(j). membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
(k). membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
(l). membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi Undang-Undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.85
Inti dari Pasal-pasal di atas adalah adanya larangan terhadap orang dan
atau badan hukum untuk melakukan suatu kegiatan di kawasan hutan.
85 Loc.cit
56
Sedangkan untuk rumusan tindak pidana materil, dapat dijumpai dalam
Pasal 78 ayat (1), yang merujuk Pasal 50 ayat (2). Isi Pasal 50 ayat (2)
adalah: “Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan,
izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan
bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan
hutan.” Pasal ini merumuskan larangan melakukan kegiatan yang
menimbulkan kerusakan hutan. Yang menjadi intinya adalah bukan uraian
perbuatan tetapi perbuatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
Selanjutnya Undang-Undang ini sebenarnya mengenal badan hukum
sebagai pelaku tindak pidana. Ketentuan ini diatur di dalam ketentuan
Pasal 78 ayat (14). Pasal ini berbunyi: Tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan
oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan
sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana
masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang
dijatuhkan. Pasal tersebut mengatur pertanggungjawaban pidana dari
pengurus badan usaha yang melakukan kejahatan di bidang kehutanan.
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang ini hanya mengenal penggolongan tindak pidana
kejahatan. Jenis-jenis tindak pidana di dalam Undang-Undang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah sebagai berikut :
(lihat tabel 4)
Tabel 4. Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal Tindak Pidana Kejahatan
Pasal 98 (1) Melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu
udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup
57
Pasal 100 (1) Melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu
gangguan
Pasal 101 Melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media
lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan atau izin lingkungan
Pasal 102 Melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin
Pasal 103 Menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan
Pasal 104 Melakukan dumping limbahdan/atau bahan ke media lingkungan hidup
tanpa izin
Pasal 105 Memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia
Pasal 106 Memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia
Pasal 108 Melakukan pembakaran lahan
Pasal 109 Melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan
Pasal 110 Menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun
amdal
Pasal 111 (1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan
tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL
Pasal 111 (2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin
usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan
Pasal 112 Pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan
terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap
peraturan perundangundangan dan izin lingkungan
Pasal 113 Memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi,
merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar
yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan
hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup
Pasal 114 Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan
paksaan pemerintah
Pasal 115 Dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan
pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau
pejabat penyidik pegawai negeri sipil
Pasal-pasal yang memuat ketentuan tindak pidana materil dalam
Undang-Undang ini adalah Pasal 98 ayat (1) yang berbunyi Setiap orang
58
yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut,
atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)
danpaling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)86.
Undang-undang menganut asas ultimum remedium. Asas ini
menempatkan penegakan hukum pidana sebagai pilihan hukum yang
terakhir. Penegakan hukum lain berupa mekanisme hukum perdata dan
hukum administrasi harus didahulukan. Jadi jika kedua penegakan hukum
tersebut ternyata tidak mampu juga menyelesaikan dan menghentikan
tindak pidana lingkungan hidup menurut undang-undang ini, maka hukum
pidana dapat ditegakkan87.
C. Kerangka Pikir
Dalam prespektif hukum kebijakan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Kebijakan hukum pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya telah dirumuskan dalam UU No. 5 Tahun 1990 yaitu sebagaiman yang terdapat dalam Bab XII tentang Ketentuan Pidana Pasal 40 selanjutnya perlu dioperasionalkan, dilaksanakan dan ditegakan oleh sub-sub sistem penegak hukum pidana.
86 Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup 87 Penjelasan Undang-Undang 32 Tahun 2009 ketentuan umum angka 6. Penegakan hukum
pidana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.
59
Namun pada kenyataannya kondisi penegakan hukum pidana dibidang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai suatu usaha
untuk menegakkan norma-norma tersebut saat ini masih sangat
menghawatirkan, masih menjadi wacana birokrat/pemerintah, dan belum
menuju pada tindakan konkrit yang prioritas.
Kondisi yang mengkawatirkan terhadap penegakan hukum konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dengan sarana hukum pidana
tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor personal dan sosial lainnya.
Adapun skema dari kerangka pikir penulis adalah sebagai berikut :
Gambar 3. Skema Kerangka Pikir
UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya
Penegakan Hukum Pidana Sangat Ditentukan Oleh : 1. Peraturan itu sendiri 2. Petugas yang menerapkan 3. Fasilisats yang mendukung 4. Warga Masyarakat yang
terkena peraturan tersebut
Penegakan Hukum Pidana Oleh Polisi/PPNS Jaksa
Hakim
Proses Penegakan Hukum Pidana Oleh Polisi/PPNS
Jaksa Hakim
Faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum : 1. Adanya kelebihan beban
pekerjaan 2. Belum adanya keberanian
PPNS. 3. Adanya interfensi pejabat
penegak hukum 4. Faktor Ekonomi
60
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Menurut Setiono Metode adalah alat untuk mencari jawaban dari suatu
pemecahan masalah, oleh karena itu suatu metode atau alat harus jelas dahulu
yang akan dicari. Penetuan metode yang digunakan harus cermat, tepat dan
jelas sehingga mendapat kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan 88 Di
dalam penelitian hukum, metode yang digunakan tergantung pada konsep apa
yang akan digunankan.
Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan
konstruksi secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Motodologi suatu
sistem dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan
kerangka tertentu89.
Berdasarkan pandangan Soetandyo Wigyosoebroto90, mengemungkakan
ada 5 (lima) konsep hukum, yaitu :
1. Hukum sebagai asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan
berlaku universal.
2. Hukum adalah norma-norma posistif didalam sistem perundang-undangan
nasional.
3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim in concreto dan
tersistematis sebagai Judge Made Law
4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembaga eksis sebagai
variabel sosial yang empirik.
88 Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum. Program Studi Ilmu
Hukum Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Tahun 2008 Hal.19. 89 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, 2006, Hal 42 90 Setiono, Op.Cit Hal 20-21
61
5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosila
sebagai tanpak dalam interaksi mereka.
Dalam penelitian yang menggunakan konsep hukum ke lima, yaitu hukum
adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak
dalam interaksi antar mereka (hukum yang ada pada benak manusia),91 hukum
disini bukan dikonsepkan sebagai rules tetapi sebagai regularities yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari. Disini hukum adalah tingkah laku atau aksi-aksi
dan interaksi manusia yang secara aktual dan potensial akan terpola. Karena
setiap perilaku atau aksi itu merupakan suatu realita sosial yang terjadi dalam
alam pengalaman indrawi dan empiris, maka setiap penelitian yang
mendasarkan atau mengkonsepkan hukum sebagai tingkah laku atau perilaku
dan aksi ini dapat disebut sebagai penelitian sosial (hukum), penelitian empiris
atau penelitian non doktrinal. Tipe kajian ini adalah kajian keilmuan dengan
maksud hanya hendak mempelajari saja bukan hendak mengajarkan suatu
doktrin. Maka metodenya disebut sebagai metode non doktrinal.92
Dikonsepkan sebagai gejala empiris yang teramati di dalam pengalaman,
hukum jelas tidak lagi dimaknakan norma-norma yang eksis secara eklusif di
dalam suatu sistem legitimasi yang formal, dari segi substansinya, kini hukum
terlihat sebagai suatu kekuatan sosial yang nyata di dalam masyarakat dan
empiris wujudnya, yang bekerja dengan hasil yang mungkin saja efektif akan
tetapi mungkin pula tidak untuk memola perilaku-perilaku aktual warga
masyarakat. Karena dikonsepkan sebagai gejala yang berada, bergerak atau
beroperasi di dunia empiris, hukum baik sebagai kekuatan substansi sosial
maupun sebagai struktur institusi pembuat keputusan in cconcreto yang
berkekuasaan.
Dari perspektif ini kini hukum akan menampakan diri sebagai realitas
sosial yang kasat mata, yang tentunya akan bisa dikategorikan berdasarkan
keajegan-keajegan (regulaties nomos) atau keseragaman-keseragaman
(uniformilities) peristiwanya. Dengan demikian menurut konsepnya hukum
91 Ibid, Hal 21 92 Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm 33-34
62
akan dapat diamati, maka hukum yang dikonsepkan secara sosiologis akan
dapat dijadikan objek penelitian yang dikerjakan secara positifis, non
doktrinal, dan tidak akan lagi dijadikan sekedar objek penggarapan-
penggarapan untuk menyusun sistem normatif yang koheren belaka (atas dasar
prosedur logika deduktif semata-mata).93
Menurut Jane Donoghue dalam International Journal of Law :94 Hence, the existence of empirical socio-legal research on legal procedure and judicial discretion highlighted above elucidates several rudimentary (but non-exhaustive) areas ofinterest to this discussion of the social character of law. Socio-legal research demonstrates thatlaw is inextricably linked to socially constructed notions of justice, fairness and truth which are all underpinned by the exertion of (forms of) power in society. In this regard, law can and should be utilised as a means to better understand the social world, and in particular, the regulation of specific ‘social fields’. As Van Krieken (2006: p. 587) observes: ‘law might be best understood as a kind of meta-knowledge given its role in resolving/managing social and interpersonal conflict but.it will be increasingly important. to see law as part of a ‘‘knowledge production/governance complex’’ rather than simply as gloriously distinct and autonomous’. (Oleh karena itu, adanya penelitian sosial-hukum empiris pada prosedur hukum dan peradilan kebijaksanaan ditandai elucidates beberapa daerah (belum sempurna) dari bunga diskusi ini karakter sosial hukum. Penelitian sosial hukum menunjukkan bahwa hukum adalah terkait erat dengan gagasan keadilan sosial dibangun, keadilan dan kebenaran yang semua didukung oleh tenaga dari (bentuk) kekuasaan dalam masyarakat. Dalam hal ini, hukum bisa dan harus digunakan sebagai sarana untuk lebih memahami dunia sosial, dan khususnya, regulasi spesifik '' bidang sosial. Sebagai Van Krieken (2006: p. 587)95 diamati: 'hukum mungkin terbaik dipahami sebagai semacam meta-pengetahuan yang diberikan perannya dalam menyelesaikan / mengelola sosial dan but.it konflik interpersonal akan semakin penting, untuk melihat hukum sebagai bagian dari “pengetahuan produksi/tata kompleks'' bukan sekadar sebagai luhur berbeda dan otonom').
93 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam dan Huma cetakan pertama, 2002, hlm.193-194
94 Jane Donoghue, Reflection on the Sociology of Law : A Rejection of Law as “ Socially Marginal”International Journal of Law, Crime and Justice, Volume 37, Issues 1-2, March-June 2009, Pages 60
95 Van Krieken, R., 2006. Law’s autonomy in action: anthropology and history in court. Social & Legal Studies, dikutip dalam Jane Donoghue, Reflection on the Sociology of Law : A Rejection of Law as “ Socially Marginal”International Journal of Law, Crime and Justice, Volume 37, Issues 1-2, March-June 2009, Pages 60
63
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum sosiologis atau empiris
(sosiolegal research). Dalam penelitian sosiologis atau empiris maka yang
diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilakukan
penelitian pada data primer lapangan, atau terhadap masyarakat.96
Berdasarkan sifatnya penelitian ini merupakan penelitian deskriptif,
dimaksudkan untuk memberikan data yang teliti seteliti mungkin tentang
manusia dan gejala-gejalanya,97 dengan metode penelitian kualitatif yang
merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis
yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga
perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang
utuh.98
Berdasarkan pengertian di atas, penelitian ini menggunakan jenis
penelitian non doktrinal, dimana penulis menggunakan konsep hukum yang
kelima, yaitu hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku
sosila sebagai tanpak dalam interaksi mereka, tipe kajiannya sosiologi dan
/atau sosial antropologi hukum mengkaji “law as it is in (human ) action” ,
tipe kajiannya sosial/non-doktrinal dengan pendekatan interaksional/mikro
dengan analisis-analisis yang kualitatif ini metode penelitiannya kemudian
penelitiannya menggunakan sosioantropologi, pengkajian humaniora dan
orientasinya kepada simbolik interaksional.99
Konsep hukum yang kelima bukan merupakan konsep normatif
melainkan sesuatu yang normologi. Hukum disini bukan dikonsepkan sebagai
rule tetapi sebagai reguralities yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau
dalam alam pengalaman. Disini hukum adalah tingkah laku atau aksi-aksi dan
interaksi manusia yang secara aktual atau potensial akan terpola. Karena setiap
96 Soerjono, Op.Cit Hal 52 97 Setiono, Op.cit Hal 5 98 Soerjono, Op.Cit Hal 250 99 Burhan Ashshofa., Metode Penelitian Hukum, Cetakan ketiga. Rineka Cipta. Jakarta,
Tahun 2001, Hal .11.
64
perilaku atau aksi itu merupakan suatu realita sosial yang terjadi dalam alam
pengalaman inderawi dan empiris, maka setiap penelitian yang mendasarkan
atau mengkonsepkan hukum sebagai tingka laku atau perilaku dan aksi ini
dapat disebut sebagai penelitian sosial (hukum), penelitian empiris atau
penelitian yang non doktrinal. Tipe kajian ini adalah kajian keilmuan dengan
maksud hanya mempelajari saja dan bukan hendak mengajarkan sesuatu
doktrin, maka metodenya disebut metode non doktrinal100.
Berdasarkan konsep hukum kelima dengan tipe kajiannya sosial/non-
doktrinal dengan pendekatan interaksional/mikro, tipe kajian ini berupaya
menemukan hukum sebagai fenomena simbolik sebagaimana terwujud dalam
aksi-aksi atau interkasi antara manusia dalam masyarakat.
Dilihat dari bentuknya tersebut diatas, penelitian ini termasuk bentuk
penelitian diagnostik, yang mana penulis ingin mengetahui dan mencari apa
sebab-sebab, ingin menggali pendapat-pendapat, ide-ide, pikiran-pikiran dari
pelaku peristiwa secara langsung dan mendalam mengenai penegakan hukum
terhadap tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam dan
ekosistemnya di wilayah hukum kabupaten Donggala Sulawesi Tengah.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian direncanakan akan dilakukan di :
1. Balai KSDA Sulawesi Tengah
2. Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah
3. Kejaksaan Negeri Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah
4. Kepolisian Resort Donggala Propinsi Sulawesi Tengah
5. Perpustakaan Pascasarjana UNS
6. Perpustakaan Fakultas Hukum UNS
7. Perpustakaan Universitas Sebelas Maret
C. Jenis dan Sumber Data
100 Ibid, Hal 34.
65
Karena penelitian ini termasuk penelitian hukum sosiologis atau non-
doktrinal, maka jenis data yang diperlukan adalah data primer dan data
sekunder.
1. Data primer
Merupakan keterangan atau fakta yang diperoleh secara langsung melalui
penelitian lapangan atau dari lokasi penelitian. Data primer diperoleh dari
hasil wawancara dengan responden Polisi Resort Donggala, PPNS
BKSDA Sulteng, Jaksa Pengadilan Negeri Donggala, Hakim Pengadilan
Negeri Donggala, Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan.
2. Data sekunder
Adalah jenis data yang mendukung dan menunjang kelengkapan data
primer melalui bahan kepustakaan, buku-buku dan lain sebagainya.
Data sekunder terdiri atas :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang berhubungan
erat dengan permasalahan yang akan diteliti. Bahan hukum primer
terdiri dari :
1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam dan Ekosistemnya.
2) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
3) Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
4) Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Liar.
5) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 Pemanfaatan Tumbuhan
dan Satwa Liar.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan hukum yang
memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai hal-hal yang telah dikaji
bahan-bahan hukum primer. bahan hukum sekunder terdiri dari buku-
66
buku tentang hukum, buku-buku yang berkaitan dengan konservasi
sumber daya alam dan ekosistemnya.
c. Bahan Hukum Tersier
Sebagai bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang meberikan
informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum tersier dalam penelitian ini adalah kamus Besar Bahasa
Indonesia dan Kamus Hukum
Sumber data yang digunakan :
a. Sumber Data Primer
Merupakan data yang diperoleh berdasarkan keterangan dari Polisi
Resort Donggala, PPNS BKSDA Sulteng, Jaksa Pengadilan Negeri
Donggala, Hakim Pengadilan Negeri Donggala, Masyarakat Sekitar
Kawasan Hutan
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah peraturan
perundang-undangan, buku-buku, dokumen-dokumen yang berkaitan
langsung dengan masalah yang diteliti.
D. Teknik Pengumpulan data
Data primer diperoleh dari metode utama pengumpulan data yaitu
wawancara mendalam (indepth interview) melalui penelitian dilapangan.
Penelitian dilapangan sangat penting untuk mengetahui bagaimana penegakan
hukum pidana dan faktor-faktor apakah yang mempengaruhi proses
penegakan hukum tindak pidana konservasi sumber daya alam dan
ekosistemnya di wilayah hukum kabupaten Donggala Sulawesi Tengah tahap
aplikasi.
Dalam hal penentuan teknik sampling, teknik yang dipakai adalah
porposive sampling ( Non Probability Sampling), yakni suatu teknik sampling
dimana sampel yang diambil sudah ditentukan sebelumnya. Dalam hal ini
lokasi yang dijadikan sampel adalah Balai Konservasi Sumber Daya Alam
67
Sulawesi Tengah Kepolisian Resort Donggala, Kejaksaan Negeri Donggala,
Pengadilan Negeri Donggala.
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisis model interaktif. Menurut HB.Soetopo teknik analisis kualitatif
dengan metode interaktif terdiri dari tiga komponen yaitu :101
1. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses penyelesaian, pemfokusan,
penyederhanaan, dan abstraksi data yang diperoleh dari data yang kasar
yang dmuat dicatatan tertulis.
2. Penyajian Data
Penyajian data berupa rangkaian informasi yang tersusun dalam kesatuan
bentuk narasi yang memungkinkan untuk dapat ditarik suatu kesimpulan
dari penelitian yang dilakukan. Selain dalam bentuk narassi kalimat, sajian
data dapat pula ditampilkan dengan berbagai jenis matrik, gambar,
jaringan kerja, kaitan kegiatan dan juga tabel.
3. Penarikan kesimpulan dan Verifikasinya
Penarikan kesimpulan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh peneliti
yang perlu untuk diverifikasi, berupa suatu pengulangan dari tahap
pengumpulan data yang terdahulu dan dilakukan secara lebih teliti setelah
data tersaji. Penarikan kesimpulan dan Verifikasi merupakan tahap akhir
dari suatu penelitiabn yang dlakukan dengan didasarkan pada semua hal
yang ada dalam reduksi maupun penyajian data. Teknik analisis kualitatif
interaktif dapat diganbarkan dalam bentuk rangkaian yang utuh antara
ketiga komponen diatas (reduksi data, penyajian data serta penarikan
kesimpulan dan verifikasinya) yaitu sebagi berikut :
101 H.B. Soetopo, Metodologi Penelitian Kualitatif, UNS Pres, Surakarta, 2006, Hal. 120
68
Gambar 4: Analisis Data (Interactive Model of Analysis)
Keterangan :
Data yang etrkumpul direduksi berupa seleksi dan penyederhanaan data
dan kemudian diambil kesimpulan. Tahapa-tahap ini tidak harus urut,
yang memungkinkan adanya penilaian data kembali setelah adanya
gambaran kesimpulan.
Data-data yang diperoleh dari wawancara terhadap responden di Balai
KSDA Sulawesi Tengah dan Instansi terkai lainnya mengenai faktor-
faktor apakah yang mempengaruhi penegakan hukum Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1990 di Sulawesi Tengah.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
Pengumpulan Data
Sajian Data Reduksi Data
Penarikan
69
1. Keadaan dan Gambaran Lokasi Penelitian
Kabupaten Donggala adalah salah satu kabupaten yang berada
diwilayah Propinsi Sulawesi Tengah yang memiliki luas wilayah sebesar
10.471,71 kilometer persegi dan secara geografis terletak pada 0,30o LU
sampai dengan 2,20o LS dan 119,45o sampai dengan 121,45o BT dengan
batas wilayah administrasi Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten
Toli–Toli, Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan,
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Parigi Moutong, dan Sebelah
Barat berbatasan dengan Selat Makassar, dengan jumlah penduduk 471492
jiwa.102
Kabupaten Donggala terdiri atas 21 Kecamatan yaitu Kecamatan
Labuan, Tanantovea, Sindue, Sirenja, Balaesang, Damsol, Sojol, Biromaru,
Tanabulawa , Gumbasa, Palolo, Dolo, Dolo Selatan, Marawola, Pinembani,
Kulawi, Kulawi Selatan, Pipikoro, Banawa Utara, Banawa Selatan dan Rio
Pakava dengan 287 Desa, 9 Kelurahan. Untuk kegiatan ekspor, nilai total
ekspor non migas daerah ini sebesar 17.276.000,49 ribu US$, dengan
konstribusi terbesar datang dari komoditi Biji Kakao (16.267.302,99 ribu
US$), Bahan Bangunan dari Kayu (866.891,72 ribu US$), Ebony Sawn
Timber (105.712,36 ribu US$). Di sektor pertambangan Kabupaten
Donggala ini mempunyai potensi bahan tambang berupa emas, sirtu, kerikil
alam, batu pecah, pasir alam, batu pondasi, dengan sirtu sendiri boleh
dibilang terdapat hapir disemua kecamatan terutama di wilayah Pantai
Barat103.
Luas kawasan hutan Forest Area kabupaten Donggala 708.078 Ha yang
terdiri dari Hutan Lindung Protection Forest seluas 232.995, Hutan
Produksi Biasa Tetap Definitive Production Forest seluas 11.624 Ha,
Hutan Produksi Terbatas Limited Production Forest seluas 294.427 Ha,
Hutan yang Dapat dikonversi Conversion Forest seluas 33.296 Ha, Hutan
102 Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Donggala Dalam Angka
Tahun 2008. 103 Loc.Cit
70
Suaka Alam dan Huta Wisata Natural Park and Reserve Forest 135.736
Ha dan Luas Kawasan Hutan. Kawasan konservasi yang terdapat di
wilayah Kabupaten Donggala terdiri dari Cagar Alam Gunung Sojol
dengan luas 50.000 Ha, Suaka Margasatwa Pulau Pasoso seluas 5.000 Ha,
dan Taman Wisata Laut Tosale Towale seluas 5.000 Ha. dimana
pengelolaan kawasan konservasi dilakukan oleh Balai Konservasi Sumber
Daya Alam.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam adalah unit pelaksana teknis di
bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang berada
di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) dengan tugas pokok
penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
dan pengelolaan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam dan
taman buru, koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan hutan
lindung serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar kawasan
konservasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku104.
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Balai Konservasi Sumber
Daya Alam Sulawesi Tengah menyelenggarakan fungsi :
a. Penyusunan rencana, program dan evaluasi pengelolaan kawasan
Suaka Margasatwa, Cagar Alam, Taman Wisata Alam dan Taman
Buru, konservasi tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar
kawasan.
b. Pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa, Cagar Alam, Taman Wisata
Alam dan Taman Buru, konservasi tumbuhan dan satwa liar di dalam
dan di luar kawasan.
c. Perlindungan, pengamanan dan karantina sumberdaya alam hayati di
dalam dan di luar kawasan.
d. Pengamanan, perlindungan dan penanggulangan kebakaran kawasan.
104 Laporan Tahunan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah Tahun
2009
71
e. Promosi dan informasi konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistem kawasan Suaka Margasatwa, Cagar Alam, Taman Wisata
Alam dan Taman Buru,.
f. Pelaksanaan bina wisata alam dan cinta alam serta penyuluhan
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
g. Kerja sama pengembangan konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya.
h. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga105.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.02/Menhut-
II/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Konservasi Sumber Daya
Alam, struktur organisasi Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi
Tengah memiliki 2 (dua) Seksi Konservasi Wilayah dan struktur organisasi
Balai KSDA Sulawesi Tengah saat ini adalah sebagai berikut (lihat gambar
4) :
Gambar 5. Stuktur Organisasi dan Tata Kerja Balai Konservasi
Sumber Daya Alam Berdasarkan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.02/Menhut-II/2007
105 Lok.Cit
Balai KSDA
72
Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta kewenangan Balai
Konservasi Sumber Daya Alam, maka kawasan konservasi yang dikelola
oleh Balai KSDA Sulawesi Tengah tersebar di kabupaten-kabupaten yang
berada di Propinsi Sulawesi Tengah. Kawasan konservasi yang saat ini
dikelola Balai KSDA Sulawesi Tengah terdiri atas 7 kawasan Cagar Alam,
8 kawasan Suaka Margasatwa, 7 kawasan Hutan Wisata, dan1 kawasan
Taman Buru, secara keseluruhan berjumlah 23 kawasan dengan jumlah
total luas kawasan 639,802.82 Ha, 8 kawasan memiliki status penetapan
dan sisanya 15 kawasan statusnya masih penunjukan. Sebaran kawasan
konservasi di Kabupaten Donggal dapat dilihat pada tabel 5
Tabel 5
Data Kawasan Konservasi Di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah
No Nama
Kawasan
Luas
Kawasan
(Ha)
Status Pengukuhan Jumlah
Petugas Penunjukan Penetapan
Sub Bagian Tata Usaha
Kelompok Jabatan Fungsional
Seksi Konservasi Wilayah I
Seksi Konservasi Wilayah II
73
(orang)
1 2 3 4 5 6 1 Cagar Alam
Gunung Sojol
64,448.71 SK.
Menhutbun
No. 354/Kpts-
II/1999
Tgl. 24 - 05 -
1999
1
2 Taman Wisata
Alam Wera
250.00 SK. Mentan.
No.
843/Kpts/UM/1
1/1980 Tgl. 25
- 11 - 1980
2
3 Suaka
Margasatwa
Pulau Pasoso
5,000.00 SK Menhutbun
No. 757/Kpts-
II/1999 Tgl 23
September
1999
1
(Merangk
ap petugas
di TWL
Tosale)
4 Taman Wisata
Laut Tosale
5,000.00 SK Menhutbun
No. 757/Kpts-
II/1999 Tgl 23
September
1999
Dirangkap
petugas
SM Pulau
Pasoso
Wilayah Hukum Kopolisian Resot Donggala, Kejaksaan Negeri
Donggala dan Pengadilan Negeri Donggala adalah mencakup keseluruhan
wilayah pemerintahan Kabupaten Donggala yang luas wilayahnya
10.471.71 KM dengan jumlah penduduk kurang lebih 46 juta jiwa
perkilometer. Kepolisian Resort Donggala terdiri dari 21 Sektor
74
Kepolisian yang tersebar di 21 Kecamatan sedangkan Kejaksaan Negeri
Donggala terdapat 2 cabang Kejaksaan Negeri yaitu Cabang Kejaksaan
Negeri Tompe dan Cabang Kejaksaan Negeri Sabang.
2. Hasil Penelitian Dokumen
Dari hasil penelitian penulis terhadap penanganan perkara tindak
pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di wilayah
hukum Kabupaten Donggala dalam kurun waktu 2006 sampai dengan
2009 tergambar dalam beberapa tabel berikut ini :
a. Kepolisian
Tabel 6
Data Penanganan Kasus Pidana Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya Tahun 2006 samai dengan 2009
POLRES Donggala Sulawesi Tengah
No Undang-Undang
Yang Dilanggar
Kasus Yang Ditangani
JumlahTahun
2006 2007 2008 2009
1 Undang-Undang No. 5
/1990 - - - - -
2 Undang-Undang No
41/1999 7 25 17 42 91
3 Undang-Undang No. 32/
2009 - - - - -
Berdasarkan studi dokumen yang ditemukan penulis, penegakan
hukum tidak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya kebijakan hukum pidana yang diterapkan adalah
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Hal ini
dapat dilihat dari jumlah kasus yang pernah ditangani Polres Donggala
dalam rentan waktu empat tahun terakhir dengan prosentase 0%.
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil
75
Tabel 7
Data Penanganan Kasus Pidana Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya Tahun 2006 samai dengan 2009 Oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil BKSDA Sulteng di Kabupaten
Donggala
No Undang-Undang
Yang Dilanggar
Kasus Yang Ditangani
Jumlah Tahun
2006 2007 2008 2009
1 Undang-Undang No. 5
1990 1 - - - 1
2 Undang-Undang No
41/1999 - - - - -
3 Undang-Undang No. 32
2009 - - - - -
Berdasarkan studi dokumen yang ditemukan penulis, penegakan
hukum tidak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya kebijakan hukum pidana yang diterapkan adalah
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Hal ini
dapat dilihat dari jumlah kasus yang pernah ditangani Polres Donggala
dalam rentan waktu empat tahun terakhir dengan prosentase 0%.
c. Kejaksaan
Tabel 8
Data Penanganan Perkara Pidana Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya Tahun 2006 samai dengan 2009 Di
Kejaksaan Negeri Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah
76
Perkara Tahun SPDP Penyerahan Surat
Dakwaan Jumlah
Tahap I Tahap II
UU No. 5
Tahun
1990
2006 4 1 3 4
2007 Nihil Nihil Nihil Nihil
2008 Nihil Nihil Nihil Nihil
2009 Nihil Nihil Nihil Nihil
UU No.
41 Tahun
1999
2006 9 2 7 9
2007 29 4 25 29
2008 21 1 20 22
2009 42 12 10 26 42
UU No.
32 Tahun
2009
2006 Nihil Nihil Nihil Nihil
2007 1 1 1
2008 Nihil Nihil Nihil Nihil
2009 Nihil Nihil Nihil Nihil
Data diatas tergambar bahwa kebijkan penegakan hukum terhadap
penegakan hukum tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya dengan sarana hukum pidana terdapat penurunan
yang sangat drastis dari tahun ke tahun.
d. Pengadilan
Tabel 9
Data Penanganan Perkara Pidana Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya Tahun 2006 samai dengan 2009 Di
Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala
77
No Undang-Undang
Yang Dilanggar
Jumlah Kasus Upaya Hukum
Tahun Banding Kasasi
2006 2007 2008 2009
1 UU No 5 Tahun
1990 Tentang
KSDAE
3 - - - - -
2 UU No. 41 Tahun
1999 Tentang
Kehutanan
7 25 20 26 - -
3 UU No. 32 Tahun
2009 Tentang
Perlindungan Dan
Lingkungan
Hidup
- 1 - - - -
3. Hasil Wawancara
a. Kepolisian
Wawancara dengan AIPDA Taufik Usman pada tanggal 3 Pebruari 2010 diperoleh penjelasan sebagai berikut : 1) Polisi disebut sebagai aparat penegak hukum dan peyebutan itu
yang menonjol dan yang melekat pada pemikiran masyarakat dimana sebenarnya belum mengambarkan apa yang sesungguhnya dilakukan oleh polisi. Polisi tidak hanya menjalankan hukum melainkan melaksanakan ketertiban yang mana antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat jelas dan ini merupakan warna dari pekerjaan polisi. Dalam menjalankan hukum/penegakan hukum sangat berkaitan erat dengan kekuasaan. Oleh hukum polisi diberi sejumlah kewenangan seperti menangkap, menggeledah, menahan, menyuruh berhenti, melarang meninggalkan tempat dan sebagainya dimana polisi ada pada kedudukan yang memaksa sedangkan masyarakat wajib mematuhinya. Kalau kita gambarkan hubungan ini bersifat atas bawah. Sedangkan yang berkaitan dengan tugas sebagai mengayomi melindungi, membimbing dan melayani rakyat polisi berada pada keadaan yang sama atau horisontal atau juga yang biasa disebut kemitraan
78
2) Polisi dalam mejalankan hukum adalah pekerjaan yang terkait dengan prosedur hukum yang jelas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian halnya dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang konservasi sumber adaya alam hayati dan ekosistemnya.
Wawancara dengan Brigadir Sutisno penyidik Polres Donggala
pada tanggal 4 Pebruari 2010 diperoleh penjelasan sebagai berikut :
1) Dalam melakukan penyidikan terhadap kasus tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang mengunakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 dalam rentan waktu 2006 sampai dengan 2009 di Polres Donggala belum pernah melakuakan, demikian halnya dengan berbagai undang-undang terkait lainnya. Yang pernah dan sering kami lakukan penyidikan terhadap kasus-kasus illegal logging yang dijerat dengan Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Ini dilakuakan karena tempat kejadiannya berada di luar kawasan hutan yaitu pada saat hasil hutan ilegal tersebut diangkut. Memang ada beberapa kasus tempat kejadiannya didalam kawasan hutan tetapi bukan dalam kawasan konservasi.
2) Di wilayah hukum Polres Donggala terdapat beberapa kawasan konservasi yaitu Taman Nasional Lore Lindu, Cagar Alam Gunung Sojol, TWL. Tosale Towale dan SM. Pulau Pasoso namun karen keterbatasan personil untuk melakukan penegakan hukum di daerah tersebut belum maksimal.
3) Animo masyarakat atau kepedulian masyarakat untuk melaporkan tindak pidana pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya atau tindak pidana yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan hidup sangat rendah bahkan tidak ada sama sekali, hal ini dibuktikan dengan tidak adanya laporan masyarakat atau lembaga suadaya masyarakt yang berkaitan dengan konservasi.
4) Dalam penangan kasus ilegal loging kebanyakan diketahui atau ditemukan oleh polisi walau memang ada beberapa kasus informasi awal berasal dari masyarakat.
5) Dalam proses penyidikan penerapan UU No 41 Tahun 1999 sangat mudah diterapkan karena unsur-unsur pidana yang terumasus dalam Undang-undang tersebut tersebut pada prakteknya sangat mudah untuk ditemukan oleh polisi hal ini sangat berbeda dengan penerapan unsur-unsur pidana dalam Undang-undang nomor 5 Tahun 1990, apalagi ketika barang bukti dan pelaku ditemukan atau ditangkap di luar kawasan hutan.
Selanjutnya Pasal 6 Ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa
penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
79
undang-undang. Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 2 Ayat (1)
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1983
Nomor 36) bahwa syarat kepangkatan bagi pejabat polisi Negara
Republik Indonesia sekurang-kurangnya Pembantu Letnan Dua Polisi,
sedangkan bagi pejabat pegawai negeri sipil tertentu itu sekurang-
kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b atau
yang disamakan dengan itu).
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Konservasi Sumber Daya Alama
Sulawesi Tengah.
Hasil Wawancara dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Johni
Hutabarat pada tanggal 13 Januari 2010 diperoleh pejelasan sebagai
berikut :
1) Jumlah petugas di CA. Gunung Sojol TWA Tosale Towale dengan luas kawasan sekitar 70.000 Ha hanaya diawasi dua orang petugas. Jadi di sini tugas saya disamping sebagai penyidik juga sebagai Polhut.
2) Dalam melaksanakan tugas sebagai polhut dalam kasus-kasus tertentu terpaksa melakukan penyimpangan dalam arti ketika menemukan pelanggaran terhadap tindak pidana di dalam kawasan konservasi dalam skala kecil dan berdampak tidak tidak besar dan melihat pelaku yang dalam melakukan perbuatan tersebut hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup hanya dilakukan pembinaan berupa membuat surat pernyataan untuk tidak melakukan perbuatannya lagi. Tetapi ketika pelakunya dan perbuatannya bisa berdampak besar harus diproses sesuai peraturan yang berlaku.
3) Adanya interfensi dari pelaku pada saat penyidikan, dimana pelaku yang bermodal besar melakukan interfensi dalam proses penyidikan melalui pejabat penegak hukum lainnya.
4) Faktor ekonomi dari petugas bisa mempengaruhi proses penegakan hukum dimana petugas karena keadaan ekonomi yang tidak memadai menerima pemberian dari pelaku sehingga proses tidak berlanjut.
5) Pada saat penyerahan berkas perkara tahap II oleh penyidik ke penunu umum biasanya penuntu umum memperhatikan latar belakang pelaku dimana jika pelakunya masyarakat ekonomi lemah dan dampak pemidanaan akan berpengaruh terhadap keluarga tersangka Jaksa akan menhentikan proses penuntutan.
80
Hasil Wawancara dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Fachrudin
Desi, SH pada tanggal 14 Januari 2010 diperoleh pejelasan sebagai
berikut :
1) Dalam proses penegakan hukum terutama dalam melakukan melakukan penyidikan, penyidik pegawai negeri sipil pada balai KSDA Sulteng belum memiliki keberanian untuk melakukan penyidikan, hal ini berkaitan dengan belum adanya pengalaman melakukan penyidikan.
2) Sumber daya manusia yang belum memadai baik latar belakang pendidikan penydik maupun pelatihan-pelatihan dan pembinaan dari korwas PPNS dalam rangka peningkatan keteramilan tenik penyidikan masih kurang.
3) Pekerjaan penyidikan hanya merupakan tugas tambahan disamping tugas pokok sebagai PNS atau pejabat fungsional, sehingga dalam pelaksanaanya bersifat insidesil yang tidak diimbangi dengan pemberian dana intensif kepada penyidik, dimana sebaiknya PPNS dijadikan sebagai tugas pokok disamping tugas-tugas lainnya.
4) Dana penyidikan yang tidak memadai.
Hasil Wawancara dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Iskandar, SP
pada tanggal 14 Januari 2010 diperoleh pejelasan sebagai berikut :
1) Dalam proses pemberkasan perkara ketika P.19 dikeluarkan jaksa, penyidik sulit memenuhi sesuai petunjuk yang diberikan jaksa, sebagai contoh sesuai petujuk yang diberikan jaksa pada surat P19 menyerahkan tersangka dimana hal ini tisak dapat dilaksanakan karena tersangkanya telah melarikan diri.
2) Anggaran penyidikan terlalu minim sehingga untuk menjangkau TKP yang berada dalam kawasan konservasi yang masuk wewenang BKSDA Sulteng sulit dijangkau mengingat sebaran kawasan yang berjauhan.
3) Sarana parasarana yang belum mendukung
Hasil Wawancara dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Marwansyah, SH pada tanggal 20 Januari 2010 diperoleh pejelasan
sebagai berikut :
1) Proses penyidikan tidak dapat dilakukan karena laporan kejadian dari petugas Polhut tidak pernah ada dimana tahapannya untuk dapat dilakukan peyidikan harus didahului adanya laporan kejadian. Penegakan hukum yang diterapkan oleh Polisi Kehutanan dengan pendekatan kekeluargaan dimana anggota masyarakat yang tertangkap tangan dilepaskan dengan catatan tidak mengulang
81
perbuatannya dengan syarat-syarat tertentu yang dubuat dalam surat pernyataan.
2) Tugas penyidikan bersifat temporer sehingga penyidik tidak terlatih dalam melakukan peyidikan.
3) Dana penyidikan yang tidak memadai.
c. Kejaksaan
Wawancara dengan Kepala Seksi Pidana Umum Agustinus Heri
Mulyanto, SH pada tanggal 5 Pebruari 2010 diperoleh penjelasan
sebagai berikut :
1) Dalam sistem peradilan pidana kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan sangat ditentukan oleh subsistem yang lain dalam hal ini polisi maupun penyidik pegawai negeri silpil, karen disini peran polisi sebagai penyidik/PPNS merupakan pintu masuknya seseorang kedalam sistem peradilan pidana, karena tanpa melaui proses yang dilakuakn polisi/PPNS seseorang tidak dapat dilakukan penuntutan (diluar tindak pidana korupsi). Dalam menangani tindak pidana jaksa penuntut umum berpedoman pada KUHAP, yaitu sebelum melakukan penuntutan perkara penuntut umum mempelajari berkas perkara dari penyidik yang menyangkut kelengkapan formil dan materil. Setelah mendapat gamabaran yang jelas tentang tindak pidana yang dilakukan terdakwa penuntut umum membuat surat dakwaan dan melimpahkan perkara ke pengadilan untuk disidangkan.
2) Ketika kita membicarakan tindak pidana yang harus diperhatikan yaitu perbuatan dan sanksi, perbuatan apa yang dilarang dan apa sanksinya. Membicarakan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yaitu berbicara masalah kawasan hutan yang merupakan suatu kesatuan ekosistem. Didalam merumuskan perbuatan pidana harus dibuktikan unsur-unsur delik dari perbuatan tersebut dan apa sanksinya. Apabila unsur-unsur pidana telah terpenuhi maka terhadap tersangka dapat dilakukan penuntutan.
3) Berdasarkan data yang ada di kejaksaan Negeri Donggala kebijakan hukum pidana yang diterapkan terhadap tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya menerapkan pidana diatur Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990. Pada kebanyakan kasus yang terkait dengan hutan dan hasil hutan penerapanya menggunakan Undang-undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
4) Kebijakan pengunaan Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya sulit untuk diterapkan ada beberapa dalam undang-undang tersebut sulit
82
dibuktikan telah terjadi perbuatan pidana apalagi tempat kejadian perkara berada di luar kawasan konservasi sementara barang bukti berasal dari kawasan. Kebijakan penggunaan Undang-undang 41 Tahun 1999 diambil mengingat pembuktiannya mudah dan jaksa dalam manangani perkara selalu memperhaikan prinsip biaya murah dan cepat dimana yang diharapkan tujuan dari penggunaan sarana pidana tercapai.
5) Kendala yang dihadapi dalam pemeriksaan berkas oleh jaksa yaitu penyidik belum memahami betul tentang peraturan perundang-undangan yang mejadi dasar hukumnya. Disini terjadi bolak-balik berkas perkara antara penyidik dan penuntut umum sehingga prinsip cepat dalam penganan perkara tidak tercapai. Untuk mengantisipasi hal tersebut diupaya penyidik adalah sarjana hukum sehingga dapat mempermudah dalam proses penyidikan.
6) Belum semua Jaksa memahai tentang konservasi sumber daya alam untuk itu perlu adanya pendidikan dan lepatihan khusus bagi jaksa tentang konservasi sumber daya alam termasuk penggunaan teknologinya.
d. Kehakiman
Wawancara dengan Pranoto, SH Hakim Ketua Pengadilan Negeri
Donggala pada tanggal 2 Pebruari 2010 diperoleh penjelasan sevagai
berikut :
1) Dalam penerapan hukum terhadap tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya itu tergantung dari penilaian dan keyakian hakim apakah akan menerapkan sanksi atau membebaskan terdakawa dari dakwaan jaksa penuntut umum, kebebasan hakim memiliki kebebasan dalam memutus perkara tetapi kebebasan hakim tidak membuta-tuli.
2) Dalam memutus perkara tidak harus sama, harus dilihat secara menyeluruh yaitu aspek yuridis, aspek sosiologisdan aspek filsofis Disparitas bisa saja terjadi walaupun dalam kasus yang sama. Misalnya dalam kasus illegal logging yang pelakunya para cukong dan pemodal besar harus dibedakan dengan pelaku yang masyarakat biasa yang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Harus dibedakan pula illegal logging yang skala besar dan skala kecil. Jadi hakim bukan hanya sekedar corong undang-undang yang melaksanakan hukum sebagai mana tertulis. Hakim dalam memutus perkara harus bebas dalam arti disamping harus memperhatikan aspek prosedural tetapi juga memperhatikan aspek substansial yang berkenaan dangan rasa keadilan dan kemungkinan menimbulkan rasa tidak puas dan yang paling utama adalah menemukan titik keseimbangan antara hak-hak terdakwa dengan kepentingan korban agar tercipta ketertiban dalam masyarakat yang bisa dipertanggung jawabkan.
83
Wawancara dengan Hakim Wisnu Widodo, SH pada tanggal 22
Pebruari 2010 diperoleh penjelasan sebagai berikut :
1) Hakim dalam menangani perkara mempunyai karakteristik tersendiri tergantung perkara apa yang ditangani dan kepentingan masyarakat mana yang akan dilindungi. Hakim tidak boleh terpaku pada rumusan ancaman pidana seperti rumusan dalam undang-undang tersebut sepanjang dilandasi dengan argumen-argumen hukum.
2) Penegakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan adalah untuk mendapatkan keadilan yang walaupun keadilan dapat ditafsirkan berbeda-beda oleh pihak-pikah yang berperkara tergantung dari mana mereka melihat. Tetapi pada prinsipnya ada tiga nilai yang harus termuat dalam pengambilan keputusan yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, ketiga nilai ini oleh pelaksana hukum harus diupayakan secara maksimal mungkin secara bersama-sama oleh karena itu latar belakang, pendidikan, organisasi, pengalaman, keadaan lingkungan, kursus-kursus, sangat mempengerauhi hakim dalam menjatuhkan putusan yang akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Adapun fakto-faktor yang dihadapi hakim dalam menjatuhkan pususan perkara kehutanan adalah semua produk hukum yang berkaitan dengan kehutanan itu sendiri, sosiologi, psikologi, faktor kepentingan korban dan faktor sosial lainnya supaya putusan itu menjadi adil.
3) Jika saya mengkaji beberapa putusan di bidang kehutanan yang dalam putusan pidananya mengacu pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 sangat sedikit, ini terjadi karena kehakiman sesuai tugas dan fungsinya hanya menerima, memerika dan memutus perkara, dalam hal perkara pidan itu semua tergantung dari penegak hukum yang lain dalam hal ini kejaksaan. Hakim dalam menerima, mengadila dan memutus perkara pidana berdasarkan surat dakwaan yang dibuat oleh Penuntut umum.
4) Dalam mengambil keputusan harus mempertimbangan filosofi dari suatu peraturan yang terkandung di dalamnya, semua produk putusan ada aspek-aspek lain yang dipertimbangkan, produk putusan tidak selalu sama makanya terbuka upaya hukum bagi pihak-pihak yang belum menerima suatu keputusan dan ini merupakan penghargaan terhadap suatu putusan.
5) Salah satu kekurangan hakim di Pengadilan negeri Donggala yaitu belum ada hakim yang memiliki keahlian di bidang lingkungan. Untuk memiliki keahlian dalam bidang lingkungan seharusnya para hakim diberikan pelatihan khusus atau pendidikan di bidang lingkungan termasuk bidang konservasi. Makanya setiap melakukan persidangan di bidang lingkungan hakim untuk memperoleh kejelasan tentang peristiwa pidana di bidang lingkungan hanya mengandalkan pada keterangan ahli.
84
B. Pembahasan
1. Kebijakan Aplikatif Hukum Pidana Dalam Penegakan Hukum
Tindak Pidana Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan
Ekosistemnya.
Merebaknya perusakan yang diakibatkan oleh ekploitasi yang
berlebihan dan tidak terencana serta melanggar ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya sangat berkaitan erat dengan adanya
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan otonomi daerah. Dimana
kebijakan tersebut dimanfaatkan oleh para investor baik dibidang
pertambangan, industri, kehutanan dan lain-lain untuk mengeruk
keuntungan tanpa memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup,
baik air, tanah, udara maupun hutan.
Menurunya kualitas lingkungan hidup dalam lima tahun terakhir
semakin memprihatinkan, sebetulnya sebelum revormasi bergulir sistem
pengelolaan lingkungan itu sudah mulai efektif, namun perubahan tatanan
ekonomi, sosial dan politik yang disertai dengan perubahan sistem
pemerintahan dari sentralistik menjadi otonomi melemahkan
kepemerintahan termasuk upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup106
Prinsip kemanfaatan secara ekonomi dalam jangka pendek menjadi
alasan pembenar untuk tidak melakukan tindakan pencegahan,
pengawasan dan penegakan hukum. Cara pandang ekonomi dalam
memandang dan memahami sistem investasi ternyata sangat berpengaruh
terhadap upaya pelestarian lingkungan hidup dan proses penegakannya.
Faktor ini ternyata juga merupakan salah satu pemicu maraknya perusakan
dan penjarahan kawasan konservasi, selain kewenangan yang terbatas dari
institusi kehutanan untuk menegakan hukum lingkungan dimana
keterbatasan kewenangan itu tidak diikuti dengan koordinasi dan
106 I Gusti Ayu Ketut Rachmi, Penegakan Hukum Lingkungan. Jurnal Ekosains Volume 1
Nomo 2 Program Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan. Juni 2009. Hal 1
85
kerjasama yang baik antar instansi penegak hukum sesuai dengan mandat
undang-undang107.
Contoh kasus pembangunan transmigrasi Ogobayas Kabupaten Parigi
Moutong yang berada dalam kawasan Cagar Alam Gunung Tinombala
pihak pengelola Balai KSDA Sulawesi Tengah hanya sanggup melakukan
upaya penegakan hukum melalu jalur pengadilan dengan berakhir
bebasnya pihak-pihak yang seharusnya bertangung jawab. Indikasi
kekuatan modal untuk memfasilitasi pembuat kebijakan guna melegitimasi
perubahan kebijakan merupakan faktor yang memberi sumbangan terbesar
dalam penyalahgunaan pengelolaan kawasan konservasi.
Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum adalah suatu proses
untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang
disebut sebagai keinginan-keinginan hukum disini adalah pikiran-pikiran
badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-
peraturan hukum itu. Keberhasilan dari proses penegakan hukum itu
sangat tergantung oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri.108
Penegakan hukum dilihat dari kacamata normatif memang merupakan
permasalahan yang sangat sederhana, tetapi bila dilihat dari kacamata
sosiologis maka penegakan hukum merupakan proses yang panjang dan
merupakan suatu perjuangan, sebagaimana dikemukakan oleh Barda
Nawawi Arief, bahwa penegakan hukum dan keadilan merupakan
serangkaian proses yang cukup panjang dan dapat melibatkan berbagai
kewenangan instansi aparat penegak hukum lainnya (di bidang penegakan
hukum pidana melibatkan aparat penyidik/kepolisian, aparat penuntut
umum kejaksaan, aparat pengadilan, dan aparat pelaksana pidana).109
107 Hartiwiningsih. Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana
Cetakan 1, UNS Press, Surakarta, 2008, Hal 57 108 Satjipto Rahardjo, Sosoilogi Hukum Perkembangan Metode Dan Pilihan
Masalah, Surakarta, Muhamadiyah University Press Tahun 2002 Hal 173 109 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan HukumDan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, Bandung Penerbit PT.Citra Aditya Bakti. Tahun 2001 Hal.2
86
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, penegakan hukum terhadap
tindak pidana konservasi sumber daya alam yaitu suatu tindakan/upaya
yang dilakukan aparat penegak hukum dimulai dari penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan penjatuhan sanksi pidana oleh hakim
sebagiman yang diatur dalam Bab. XII Pasal 40 UU No. 5 Tahun 1990
tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.
Konsep penegakan hukum yang diatur dalam Undang-Undang No.
5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan
Ekosistemnnya adalah konsep penegakan hukum pidana yang berupa :
a. Tindak pidana materiil
b. Tindak pidana formil
c. Tindak pidana konservasi sumber daya alam adalah kejahatan dan
pelanggaran110
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis pada
lembaga-lembaga penegak hukum Kepolisian/PPNS, Kejaksaan dan
Pengadilan di wilayah hukum Kabupaten Donggala diperoleh hasil bahwa
prosentase penangan tindak pidana selang waktu empat tahun terakhir
yaitu 2006 sampai dengan 2009 sangat kurang bahkan pada tahun 2007
sampai dengan 2009 tidak ada perkara.
Penegakan hukum dengan sarana hukum pidana (penal) terhadap
tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
sangat jarang digunakan oleh aparat penegak hukum polisi/PPNS, Jaksa
dan Hakim di wilayah hukum Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah, hal
ini disebabkan karena keterpaduan dan koordinasi penegakan hukum yang
masih lemah, dimana keyakinan bahwa konservasi sumber daya alam
adalah satu sektor terbatas bukan proses yang perlu diperhatikan oleh
semua sektor terkait.
Menurut Soerjono Soekanto secara konseptual, maka inti dan arti dari
penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-
110 Undang-Undang No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya
87
nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan
mengejahwanta dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap
akhir, untuk menciptakan, memlihara, dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup111. Lebih lanjut menurut beliau bahwa masalah pokok
penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhinya. Faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga
dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Agar
suatu kaedah atau peraturan tertulis senantiasa dapat dikembalikan pada
paling sedikit emapt faktor yaitu112 :
1. Faktor hukumya sendiri 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor Masyarakat, yaitu linkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan.
Untuk mengkaji lebih dalam bagaimana penegakan hukum terhadap
tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tahap
aplikasi di wilayah hukum Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah maka
pembahasan ini akan merujuk pada teori Soerjono Soekanto tersebut.
a. Kaedah hukum atau peraturan itu sendiri
Peraturan /norma merupakan dasar bagi proses penerapan hukum,
berhasil tidaknya suatu proses penegakan hukum sangat tergantung
pada apakah peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan
tertentu secara hirarkis maupun horizontal tidak ada pertentangan,
apakah secara kuantitatif dan secara kualitatif sudah cukup, apakah
peraturan yang ada menimbulkan penafsiran ganda, sistematis dan
penerbitannya sudah sesuai dengan persyaratan yuridis yang ada113.
Bila dikaitkan dengan penggunaan hukum pidana yang sangat jarang
111 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Edisi I,
PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, Tahun 2008, Hal 5 112 Ibid, Hal 8 113 Op.cit Hartiwiningsih, Hal 63
88
digunakan dalam penegakan hukum pidana KSDAE saat ini sangat
berkaitan dengan kualitas dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Latar belakang diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya adalah keinginan untuk mewujudkan tiga sasaran
konservasi yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan sumber plasma nutfah dan pemanfaatan secara lestari.
Ketiga sasaran konservasi tersebut diwujudkan dalam strategi
pengaturan hukum konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya dengan peraturan pelaksananya.
Terlepas dari pembentukan Undang-undang No. 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya alam Hayati dan Ekosistemnya yang
merupakan produk Orde Baru, dimana corak kebijakan pembangunan
lingkungan yang sentralistik, sektoral, tidak memberikan ruang secara
proposional bagi transparansi dan partisipasi masyarakat, serta
manggaibaikan hak-hak masyarakat dengan didampingi kebijakan
hukum yang represif undang-undang ini memmiliki beberapa
kelemahan yang substansial.
Kelemahan yang substansial sebagai berikut 114:
1) Peran Pemerintah masih mendominasi penguasaan dan
pengelolaan sumber daya alam (state-base-recourcemanagament).
2) Keterpaduan dan koordinasi antar sektor dalam pengelolaan
sumber daya alam (integrated recource managament) yang masih
lemah.
3) Hak-hak masyarakat atas penguasaan dan pengelolaan sumber
daya alam (indigeneous property rigths) yang belum dikusai
secara utuh.
114 Saifullah, Hukum Lingkungan Paradigma Kebijakan Kriminal di Bidang Konservasi
Keanekarahaman Hayati, Cetakan Pertama ,UIN Malang Press, Malang, Tahun 2007, Hal 219
89
4) Partisipasi masyarakat (publik participation) dalam pengelolaan
sumber daya alam yang masih terbatas.
5) Transparansi dan demokratisasi dalam proses pengambilan
keputusan (transparancy and democratization in the process of
decesion making) yang belum diatur secara utuh.
6) Akuntabilitas pemerintah kepada publik dalam pengelolaan sumber
daya alam (public accountability) yang belum diatur secara tegas.
Kesalahan atau kelemahan tahap formulasi atau kebijakan legislatif
merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat bagi
tahap-tahap berikutnya dalam kebijakan hukum pidana (penal policy),
yaitu tahap apilkasi dan eksekusi 115
Selanjutnya secara kualitas masih terdapat ketidak sempurnaan
dalam hal perumusan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana,
sanksi pidana Berdasarkan hasil penelitian penulis memperoleh
beberapa kelemahan lain dalam tahap pembentukan (formulasi) yang
dapat penghambat dalam proses penegakan hukum penegakan
hukum. Berdasarkan hasil wawancara dengan Jaksa Agustinus H. M
terdapat bebrapa perumusan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya yang pembuktiannya sangat sulit. Dalam Pasal 40, yang
merujuk pada ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1). Yang
secara lengkap berbunyi :
Pasal 19 ayat (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam. Pasal 33 ayat (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional116.
115 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001 Hal.75 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati Dan Ekosistemnya
90
Mengenai perumusan delik materil dalam Pasal 33 ayat (1) yang
mana pasal ini merumuskan larangan melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.
Yang menjadi intinya adalah bukan uraian perbuatan tetapi perbuatan
yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan
suaka alam. Untuk membuktikan adanya perubahan terhadap keutuhan
kawasan suaka alam sangat sulit. Untuk membuktikan bahwa
perubahan sudah terjadi merupakan tugas yang sangat sulit bagi
penegak hukum. Unsur-unsur yang harus dipenuhi /dibuktikan oleh
jaksa penuntut umum antara lain adanya perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja, bersifat melawan hukum, adanya perubahan keutuhan
kawasan serta adanya hubungan sebab akibat. Hal ini sangat sulit
untuk dibuktikan, meskipun memang bisa tapi prosentase
keberhasilannya sangat kecil.
Penggolongan tindak pidana ini adalah berdasarkan cara
perumusan ketentuan hukum pidana oleh pembentuk undang-undang.
Apabila perumusan tindak pidana dirumuskan tanpa menyebutkan
secara rinci kegiatan atau tindak pidananya, tetapi hanya menyebutkan
perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, maka tindak
pidana ini disebut sebagai tindak pidana material. Sedangkan apabila
tindak pidana itu dirumuskan dengan menggambarkan wujud
perbuatannya tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh
perbuatan itu, maka tindak pidana semacam itu disebut sebagai tindak
pidana formil.
Terhadap perumusan tindak pidana formil pada Pasal 33 ayat (3)
telah jelas yaitu Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak
sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman
nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Namun kenyataan
dalam proses penegakan hukum itu sulit diterapkan oleh lembaga-
lembaga penegak hukum. Hal ini dapat kita lihat dari data pada tabel 1
tabel kawasan dan pembagian zonasi. Berdasarkan data tersebut
91
hampir semua kawasan pelestarian alam belum memiliki pembagian
zonasi sehingga untuk memenuhi unsur-unsur delik dalam pasal
tersebut tidak bisa terpenuhi.Demikian juga Pasal 40, yang merujuk
pada ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1), terdapat
ketidak jelasan dalam perumusan subyek tindak pidana, dan konsep
yang menentukan siapa yang harus bertanggungjawab apabila terjadi
tindak pidana yang pelakunya adalah korporasi.
Secara vertikal terdapat pertentangan substansi dalam Undang-
Undang No 5 Tahun 1990 dengan peraturan pemerintah yang berada
dibawahnya. Pertentangan substansi dapat dilihat dari adanya
peraturan pemerintah yang mencantumkan sanksi pidana dan sanksi
admistratif yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dimana dalam bab X
mengatur tentang sanksi (perumusan sanksi pidana lihat tabel 11).
Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan tentang
jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat
(1) , yang dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 7 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai
berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 secara hierarki berda
di bawa Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 dan merupakan aturan
pelaksana dari Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 Pasal 36 yang
berbunyi :
Pasal 36 (1) Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilaksanakan
dalam bentuk:
92
a. pengkajian, penelitian dan pengembangan; b. penangkaran; c. perburuan; d. perdagangan; e. peragaan; f. pertukaran;
g. budidaya tanaman obat-obatan; h. pemeliharaan untuk kesenangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Jika kita mengkaji rumusan ketentuan pidana dalam Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1990 tidak merumuskan sanksi pidana dan
sanksi admistratif, berupa pencabutan dan pembekuan ijin
sebagaimana yang dirumuskan dalam peraturan pemerintah tersebut
maka seharusnya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999
tidak boleh mencantumkan sanksi pidana dan sanksi pemaksa. Hal ini
sangat bertentangan dan bisa mengakibatkan adanya ketidak pastian
hukum dalam penegakan hukum.
Dalam hubungannya dengan ketentuan mengenai sanksi pidana dan
sanksi administratif dalam Peraturan Pemerintah pada dasarnya suatu
Peraturan Pemerintah hanya boleh mencantumkan sanksi pidana
ataupun sanksi administrasi apabila ditentukan dalam Undang-Undang
yang dilaksanakannya. Apabila Undang-Undangnya tidak
mencantumkan sanksi pidana atau sanksi administrasi dalam ketentuan
pasal-pasalnya, maka ketentuan-ketentuan Pertaturan Pemerintahnya
tidak boleh mencantumkan sanksi pidana maupun sanksi pemaksa.
Peraturan Pemerintah tidak boleh mencantumkan sanksi pidana atau
denda apabila Undang-Undang yang khusus dijalankan olehnya tidak
mencantumkan sanksi pidana atau denda. Juga tidak apabila
didasarkan pada suatu Undang-undang yang bersifat umum yang
memberi kewenangan kepada suatu atau berbagai Peraturan
Pemerintah untuk mencantumkan sansi atau denda, yakni kewenangan
93
yang bersifat blanko117. A. Hamid S. Attamimi, menentukan beberapa
karakteristik Peraturan Pemerintah adalah sebagai berikut :
a. Peraturan Pemerintah tidak dapat dibentuk terlebih dahulu sebelum Undang-Undang yang menjadi induknya.
b. Peraturan Pemerintah tidak dapat mencantukan sanksi pidana apabila Undang-Undang yang menjadi induknya tidak menentukan demikian
c. Ketentuan Peraturan Pemerintah tidak boleh menambah atau engurangi ketentuan Undang-Undang yang bersangkutan
d. Untuk “menjalankan”, menjabarkan atau merinci ketentuan Undang-Undang Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meski ketentuan Undang-Undang tersebut tidak memintanya secara tegas-tegas.
a. Ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah berisis peraturan atau gabungan peraturan dan penetapan: Peraturan Pemerintah tidak berisi penetapan semata-mata118.hal ini sangat bertentangan bertentangan ini bisa mengakibatkan adanya ketidak pastian hukum dalam penegakan hukum.
Dalam BAB XII tentang Ketentuan Pidana Pasal 40 tidak
mencantumkan sanksi pidana dan sanski administrasi terhadap
pelanggaran Pasal 36, rumusan ketentuan pidana dalam Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1990 adalah sebagai berikut :
BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 40 (1) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
117 Loc.cit. 118 A. Hamid S. Attamimi, Pembentukan Undang-Undang Indonesia. Beberapa Catatan
Yang Memerlukan Perhatian, Makalah, 1998, terdapat dalam Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi dan Marteri Muatannya), Kanisius (Anggota IKPAPI), Yogyakarta, 2007, Hal 195-196.
94
(1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) adalah pelanggaran.
Tabel 10. Perumusan Sanksi Pidana Dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar
No Substansi Yang Diatur Ketentuan Dalam PP
No. 8 Tahun 1999
Sanksi
1 Menggunakan tumbuhan
dan atau satwa liar yang
dilindungi untuk
kepentingan kepentingan
pengkajian, penelitian
dan pengembangan tanpa
ijin
Pasal 50
ayat (1)
Denda administrasi
sebanyak-banyaknya Rp.
50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan atau
dihukum tidak
diperbolehkan melakukan
kegiatan pengkajian,
penelitian dan
pengembangan
terhadaptumbuhan liar dan
satwa liar untuk waktu
paling lama 5 tahun
2 Mengambil tumbuhan
liar dan satwa liar dari
habitat alam tanpa izin
atau dengan tidak
Pasal 50
ayat (3)
Denda administrasi
sebanyakbanyaknya Rp.
40.000.000,00 (empat
puluh juta rupiah) dan atau
95
memenuhi ketentuan dihukum tidak
diperbolehkan melakukan
kegiatan pemanfaatan
tumbuhan dan satwa li
3 Hasil pengkajian,
penelitian dan
pengembangan jenis
tumbuhan dan satwa liar
yang dilindungi wajib
diberitahukan kepada
pemerintah
Pasal 51
ayat (1)
Denda administrasi
sebanyak-banyaknya Rp.
20.000.000,00 (dua puluh
juta rupiah) dan atau
dihukum tidak
diperbolehkan melakukan
kegiatan pengkajian,
penelitian dan
pengembangan terhadap
tumbuhan dan satwa liar
untuk waktu paling lama 4
tahun
4 Melakukan penangkaran
tumbuhan liar dan atau
satwa liar yang
dilindungi tanpa izin
Pasal 52
ayat (1)
Denda administrasi
sebanyak-banyaknya Rp.
25.000.000,00 (dua puluh
lima juta rupiah) dan atau
pencabutan izin
penangkaran
5 Penangkar yang
melakukan perdagangan
tumbuhan dan atau satwa
liar tanpa memenuhi
standar kualifikasi
Pasal 53
ayat (1)
Denda administrasi
sebanyak-banyaknya Rp.
100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan atau
pencabutan izin usaha
penangkaran
6 Melakukan perdagangan
tumbuhan atau satwa
Pasal 54
ayat (1)
Denda administrasi
sebanyak-banyaknya Rp.
96
dilindungi hasil
pengankaran sesuai
ketentuan
100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan atau
pencabutan izin usaha
yang bersangkutan
7 Penangkar yang tidak
memenuhi kewajiban
penandaan dan sertifikasi
Pasal 55
ayat (1)
Denda administrasi
sebanyak-banyaknya Rp.
10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) dan atau
pencabutan izin usaha
penangkaran.
8 Melakukan perdagangan
satwa liar yang
dilindungi
Pasal 56
ayat (1)
Denda administrasi
sebanyak-banyaknya Rp.
200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan
atau pencabutan izin
usaha yang bersangkutan
9 Melakukan perdagangan
tumbuhan liar dan atau
satwa liar selain Badan
Usaha dan masyarakat
Pasal 57
ayat (1)
Denda administrasi
sebanyak-banyaknya Rp.
100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan atau
pencabutan izin usaha
penangkaran
10 Badan Usaha
perdagangan yang tidak
memenuhi kewajiban
pasal 20 ayat (1) huruf a
dan c
Pasal 58
ayat (1)
Denda administrasi
sebanyakbanyaknya
Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan
atau pembekuan kegiatan
usaha paling lama 2 (dua)
tahun
11 Badan Usaha Pasal 58 Pembekuan kegiatan usaha paling
97
perdagangan yang tidak
memenuhi kewajiban
pasal 20 ayat (1) huruf b
ayat (1) Lama 1 (satu) tahun
12 Ekspor, re-ekspor, atau
impor tumbuhan liar dan
atau satwa liar tanpa izin
Pasal 59
ayat (1)
Denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha perdagangan yang bersangkutan
13 Melakukan peragaan
satwa liar tanpa izin
Pasal 60
ayat (1)
Dihukum karena melakukan percobaan perbuatan perusakan lingkungan hidup.
14 Melakukan pertukaran
tumbuhan dan satwa
yang menyimpang dari
ketentuan
Pasal 61
ayat (1)
Denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha yang bersangkutan
15 Pemeliharaan tumbuhan
liar dan atau satwa liar
untuk kesenangan yang
tidak memenuhi
kewajiban dalam Pasal
40 dan Pasal 41 ayat (2)
Pasal 62 Denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan atau perampasan atas satwa yang dipelihara
16 Melakukan pengiriman
atau pengangkutan
tumbuhan dan atau satwa
liar tanpa dokumen
pengiriman atau
pengangkutan, atau
menyimpang dari syarat-
syarat atau tidak
Pasal 63
ayat (1)
Denda administrasi sebanyak-banyaknya rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha yang bersangkutan
98
memenuhi kewajiban,
atau memalsukan
dokumen
17 Pelanggaran
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50, 51, 52,
53, 54, 55, 56, 57, 58, 59,
60, 61, 62, dan 63,
sepanjang menyangkut
tumbuhan dan satwa liar
yang dilindungi
Pasal 64
ayat (1)
Tumbuhan dan satwa liar tersebut dirampas untuk negara
18 Pelanggaran
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50, 51, 52,
53, 54, 55, 56, 57, 58, 59,
60, 61, 62, dan 63,
sepanjang menyangkut
tumbuhan dan satwa liar
yang tidak dilindungi
Pasal 64
ayat (1)
Tumbuhan dan satwa liar tersebut dirampas untuk negara
Selain itu secara kuantitas sejak dikeluarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya masih ada peraturan pelaksanaan yang
diperintahkan dalam undang-undang ini belum dibuat. Pasal 5 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan Peraturan Pemerintah
adalah Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh presiden
untuk melaksanakan Undang-Undang, untuk menjalankan Undang-
Undang. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan
sebagai berikut :
Pasal 5 ayat (2)
99
“Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan
Undang-Undang sebagiman mestinya”119.
Peraturan Pemerintah ini berisi peraturan-peraturan untuk
menjalankan Undang-Undang, atau dengan perkataan lain Peraturan
Pemerintah merupakan peraturan-peraturan yang memuat ketentuan-
ketentuan dalam suatu Undang-Undang bisa berjalan/diperlukan.
Suatu Peraturan Pemerintah baru dapat dibentuk apabila sudah ada
Undang-Undangnya, tetapi walaupun demikian suatu Peraturan
Pemerintah dapat dibentuk meskipun dalam Undang-Undangnya tidak
ditentukan secara tegas supaya diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah.120 Pembentukan ini hanyalah bersifat teknis yakni sebuah
peraturan yang membuat Undang-Undang berjalan sebagaimana
mestinya.
Peraturan Pemerintah di bidang konservasi sumber daya alam
mempunyai fungsi yang sangat penting utamanya bagi penegak
hukum. Tidak adanya peraturan pemerintah tersebut akan mengganggu
keserasian antara ketertiban dan ketenteraman di bidang konservasi
suber daya alam hayati dan ekosistemnya. Khusus bagi pengelola
kawasan konservasi peraturan pemerintah merupakan petunjuk
operasional di lapangan. Semakin jelas peraturan pelaksana maka
semakin mudah aparat untuk melaksanakan peraturan perundang-
undangan terkait.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 peraturan
pemerintah yang disyaratkan adalah sebagai berikut :
Tabel 11. Daftar Peraturan Pelaksana Dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1990
No Substansi Yang Diatur Ketentuan Dalam UU
No. 5 Tahun
Peraturan Pemerintah
119 Undang-Undang Dasar 1945 120 Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi dan Marteri
Muatannya), Kanisius (Anggota IKPAPI), Yogyakarta, Tahun 2007, Hal 194.
100
1990
1 Perlindungan sistem penyangga
kehidupan
Pasal 8 ayat
(2)
Belum ada
2 Penetapan dan pemanfaatan suatu
wilayah sebagai kawasan suaka
alam dan penetapan wilayah yang
berbatasan dengannya sebagai
daerah penyangga
Pasal 16 ayat
(2)
PP. No 68
Tahun 1998
3 Kegiatan yang dapat dilakukan di
dalam cagar alam dan suaka
margasatwa
Pasal 17 ayat
(3)
PP. No 68
Tahun 1998
4 Penetapan suatu kawasan suaka
alam dan kawasan tertentu
lainnya sebagai cagar biosfer
Pasal 18 ayat
(2)
Belum ada
5 Jenis tumbuhan dan satwa yang
dilindungi
Pasal 20 ayat
(3)
PP. No 7
Tahun 1999
6 Pengecualian larangan pasal 21 Pasal 22 ayat
(4)
Belum ada
7 Pemasukan tumbuhan dan satwa
liar dari luar negeri ke dalam
wilayah Negara RI
Pasal 23 ayat
(2)
Belum ada
8 Pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa yang dilindungi hanya
dapat dilakukan dalam bentuk
pemeliharaan atau
pengembangbiakan oleh
lembaga-lembaga yang dibentuk
Pasal 25 ayat
(2)
Belum ada
101
untuk itu.
9 Penetapan suatu wilayah sebagai
kawasan pelestarian alam dan
penetapan wilayah yang
berbatasan dengannya sebagai
daerah penyangga
Pasal 29 ayat
(2)
PP. No 68
Tahun 1998
10 Kegiatan pariwisata di zona
pemanfaatan taman nasional,
taman hutan raya, dan taman
wisata alam dengan mengikut
sertakan rakyat.
Pasal 34 ayat
(4)
PP. No 18
Tahun 1994
11 Pemanfaatan jenis tumbuhan dan
satwa liar
Pasal 36 ayat
(2)
PP No.13
Tahun 1994
PP. No 8
Tahun 1999
12 Peran serta rakyat dalam
konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya
Pasal 37 ayat
(3)
Belum ada
13 Penyerahan sebagian urusan
pelaksanaan konservasi sumber
daya alam hayati dan
ekosistemnya kepada pemerintah
daerah
Pasal 38 ayat
(2)
PP. No 6
Tahun 1998
Tabel di atas menujukan bahwa dari 13 peraturan pemerintah yang
disyaratkan oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 terdapat 6
peraturan pemerintah yang belum terealisasi yaitu :
102
1. Peraturan Pemerintah tentang perlindungan sistem penyangga
kehidupan
2. Peraturan Pemerintah tentang penetapan suatu kawasan suaka
alam dan kawasan tertentu lainnya sebagai cagar biosfer
3. Peraturan Pemerintah tentang penelitian ilmu pengetahuan bagi
penyelamatan jenis tumbuhan dan atau satwa pemberian atau
pertukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar
negeri dengan izin pemerintah (pengecualian larangan pasal 21)
4. Peraturan Pemerintah tentang pemasukan tumbuhan dan satwa liar
dari luar negeri ke dalam wilayah Negara RI
5. Peraturan Pemerintah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa yang dilindungi hanya dapat dilakukan dalam bentuk
pemeliharaan atau pengembangbiakan oleh lembaga-lembaga yang
dibentuk.
6. Peraturan Pemerintah tentang peran serta rakyat dalam konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
Dari uraian diatas terlihat bahwa kondisi peraturan perundang-
undangan di bidang lingkungan baik yang terdapat di dalam maupun di
luar UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
belum menunjang upaya penegakan hukum secara baik, sebab secara
kuantitas masih banyak peraturan pelaksanaan yang belum tercipta,
secara kualitas masih terdapat kekurang sempurnaan dalam perumusan
tindak pidana, pertanggung jawaban pidana, dan sanksi pidana.
Selanjutnya secara vertikal dan horizontal masih terdapat pertentangan
antara paraturan yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah.
b. Petugas yang menegakan atau yang menerapkan
Petugas yang menegakan atau aparat penegak hukum yang
menerapkan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu
103
faktor pendukung utama keberhasilan penegakkan hukum.
Bagaimanapun baiknya suatu peraturan perundangan, bila tidak
didukung dengan aparat penegak hukum yang baik dan handal maka
jangan diharapkan bahwa suatu penegakan akan berhasil, atau dengan
kata lain bagaimanapun jeleknya suatu peraturan perundangan, apabila
didukung dengan aparat penegak hukum yang baik, mempunyai
moral, maka penegakan hukum akan berhasil. Keduanya memang
saling mendukung, pengaruh mempengaruhi, tetapi persoalan
sebenarnya sangat tergantung pada sumber daya manusia.
Menurut Satjipto Rahardjo, 121
Membicarakan masalah penegakan hukum tanpa menyinggung segi manusia yang menjalankan penegakan itu, merupakan pembicaraan yang steril sifatnya. Apabila kita membicarakan masalah penegakan hukum hanya berpegangan pada keharusan-keharusan sebagaimana tercantum dalam ketentuan-ketentuan hukum, maka kita hanya akan memperoleh gambaran stereotipis yang kosong. Ia baru menjadi berisi manakala dikaitkan pada pelaksanaannya yang konkret oleh manusia.
Oleh karena itu manusia yang dalam hal ini adalah aparat penegak
hukum memegang peranan sangat penting bagi berhasilnya suatu
tugas penegakan hukum, khususnya penegakan hukum pidana
lingkungan. Berhasil tidaknya penegakan hukum khusus di bidang
KSDAE sangat ditentukan oleh kondisi aparat penegak hukum dan
kondisi lembaga tempat bernaung aparat penegak hukum.Berdasarkan
hasil penelitian pada lembaga penegak hukum Balai KSDA,
Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman di wilayah hukum Kabupaten
Donggala penegakan hukum dengan sarana hukum pidana sangat
jarang, ini disebabkan karena belum tersedianya sumber daya manusia
yang belum memadai. Di Balai Konservasi Sumber Daya Alam
personil petugas yang mengawasi kawasan konservasi di wilayah
Kabupaten Donggala dengan luas ± 74.698 (tujuh puluh empat ribu
enam ratus sembilan puluh delapan ribu hektar) hanya sebanyak empat
121 Satjipto Rahardjo, Masalah pengakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Penerbit Genta Publishing, Cetakan I, Yogyakarta, Hal. 26
104
personil yang lokasinya saling berjauhan, Polres Donggala, pada
bagian reserse kriminal hanya memiliki 3 orang penyidik dan 4 orang
penyidik pembantu.122 Adalah wajar apabila penegakan dibidang
hukum KSDAE tersendat bahkan tidak jalan sama sekali,
bagaimanapun kecukupan dan kualitas sumber daya manusia
memegang peranan penting bagai berhasilnya suatu penegakan hukum.
Tanpa didukung kualitas dan kuantitas, komitmen akan tegaknya
keadilan, kesiapan aparat penegak hukum dalam mengani masalah
lingkungan, mustahil apa yang diamanatkan UU No. 5 Tahun 1990
dapat terwujud.
Selanjutnya apabila dilihat dari sisi kualitas maka aparat penegak
hukum belum sesuai apa yang diharapkan, hal ini dapat dilihat dari
belum berfungsinya penegakan hukum pidana KSDAE saat ini terbukti
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis pada
lembaga-lembaga penegak hukum Kepolisian/PPNS, Kejaksaan dan
Pengadilan di wilayah hukum Kabupaten Donggala diperoleh hasil
bahwa jumlah penangan tindak pidana KSDAE selang waktu empat
tahun terakhir yaitu 2006 sampai dengan 2009 sangat kurang bahkan
pada tahun 2007 sampai dengan 2009 tidak ada perkara.
Minimnya jumlah kasus pidana KSDAE yang berhasil
diselesaikan, sebagaimana dikemukakan diatas berhubungan erat
dengan kondisi kualitas aparat penegak hukum yang buruk.
Menurut Andi Hamzah,123 dari sisi kualitas aparat penegak hukum dapat dikatakan belum menguasai seluk beluk hukum lingkungan bahkan mungkin pengenalan terhadap hukum lingkungan sangat kurang. Hal ini hanya dapat diatasi dengan pendidikan dan latihan di samping orangnya harus belajar sendiri dengan membaca buku, mengikuti pertemuan ilmiah. Pengetahuan yang luas biasanya membawa kepada meningkatnya kepercayaan diri sendiri dan selanjutnya akan menjurus kepada kejujuran. Di samping itu, belum ada spesialisasi di bidang ini. Belum ada jaksa khusus lingkungan,
122 Wawancara Brigadir Sutisno, pada tanggal 4 Pebruari 2010 Pukul 10.30 Wita 123 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta, Sinar Grafika, Tahun 2005, Hal
55
105
belum ada polisi khusus lingkungan, apalagi patroli khusus yang terus-menerus memantau masalah lingkungan, sebagaimana halnya di Belanda.
Pendapat tersebut benar adanya bahwa kondisi kualitas aparat
penegak hukum KSDAE masih jauh dari harapan. Aparat penegak
hukum di Kepolisan Resort Donggala, Kejaksaan dan Kehakiman
Donggala belum pernah mengikuti pelatihan sebagaimana yang
dijelaskan oleh Hakim Wisnu Widodo, SH124 : Salah satu kekurangan
hakim di Pengadilan negeri Donggala yaitu belum ada hakim yang
memiliki keahlian di bidang lingkungan. Untuk memiliki keahlian
dalam bidang lingkungan seharusnya para hakim diberikan pelatihan
khusus atau pendidikan di bidang lingkungan termasuk bidang
konservasi, memang ada beberapa hakim yang telah memiliki
sertifikat keahlian tetapi kebanyakan hakim-hakim yang berada di
kota-kota besar. Makanya setiap melakukan persidangan di bidang
lingkungan hakim untuk memperoleh kejelasan tentang peristiwa
pidana di bidang lingkungan hanya mengandalkan pada keterangan
ahli. Hal ini juga terjadi di Kejaksaan Negeri Donggala
Bila dibandingkan dengan luas wilayah kabupaten Donggala, dan
semakin maraknya tindak pidana di bidang KSDAE, maka pelatihan-
pelatihan yang berhubungan dengan peningkatan pengetahuan
lingkungan itu sangat perul untuk diadakan.
c. Fasilitas yang diharapkan akan mendukung pelaksanaan kaedah
hukum
Secara sederhana fasilitas dapat dirumuskan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan. Ruang lingkupnya adalah terutama sarana fisik yang
124 Hasil wawancara dengan Hakim Wisnu Widodo, SH, Tanggal 22 Pebruari 2010 Pukul
11.00 Wita
106
berfungsi sebagai faktor pendukung. Sarana fisik tersebut bisa berupa
materi atau uang, sarana prasarana berupa laboratorium, gedung,
mobil, lembaga peradilan, dan sarana fisik lainnya. Penanggulangan
masalah lingkungan memerlukan biaya yang besar disamping
penguasaan teknologi dan manajemen.
Data Sara Prasaran Balai KSDA Sulteng Di Kabuaten Donggala
Nama Kawasan Luas (Ha)
Kendaraan Pondok Roda Empat
Roda Dua
Kerja Jaga
Cagar Alam Gunung Sojol 64,448.71 - 1 - 1
Taman Wisata Alam Wera 250 - - 1 -
Suaka Marga Satwa PulauvPasoso
5000 - - - -
Taman Wisata Laut Tosale 5000 - - - -
Berdasarkan data diatas pada Balai KSDA Sulawesi Tengah
khususnya di wilayah kabupaten Donggala untuk menunjang porses
penegakan hukum masih sangat minim. Keadaan ini juga terjadi pada
lembaga penegak hukum Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman di
wilayah Donggala. Keadaan seperti ini akan membawa damapak buruk
bagi kinerja aparat, sehingga harapan terwujudnya proses penegakan
hukum KSDAE yang cepat, tegas, dan konsisten belum dapat
terwujud.
d. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut
Berbicara mengenai warga masyarakat maka hal ini sedikit
banyaknya menyangkut masalah derajad kepatuhan. Secara sempit
dapat dikatakan bahwa derajad kepatuhan masyarakat terhadap hukum
107
merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang
bersangkutan.
Tampaknya gaya hidup masyarakat khususnya para pengusaha
yang mengutamakan provit, materi dan konsumtif telah mengubah
cara pandang dan perlakuannya terhadap lingkungan. Untuk
memenuhi kebutuhannya para pengusaha tidak segan-segan untuk
mengekploitasi sumber daya alam secara berlebihan untuk mengejar
keuntungan komersial. Mereka mengetahui akibat-akibat yang akan
ditimbulkan, namun demikian karena untuk mempertahankan tingkat
keuntungan tersebut mereka lebih mengutamakan jalan pintas yang
dipandang murah. Masyarakat yang berada di sekitar kawasan
diperdaya dengan alasan ekonomi dan untuk keuntungan sesaat dengan
berbagai macam modus operandi dan kedok.
Dari penjelasan tersebut diatas dapat diambil satu kesimpulan
bahwa kondisi kesadaran hukum warga masyarakat terhadap
peraturan perundang-undangan di bidang KSDAE sangat rendah.
Masyarakat disini meliputi pengusaha, pejabat pemerintah, aparat
penegak hukum, dan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu perlu
terus diupayakan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat akan
pentingnya pelestarian lingkungan, dan ketaatanya terhadap peraturan
di bidang konservasi sumber daya alam, dengan cara memberi
penyuluhan kepada masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan di
bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,
memberi sanksi yang tegas, menjerakan dan tanpa pandang bulu
kepada perusak lingkungan, baik itu pengusaha, pejabat, aparat
penegak hukum maupun masyarakat.
Setelah mengkaji pendapat Soerjono Soekanto dikaitkan dengan
kondisi penegakan hukum terhadap tindak pidana KSDAE saat ini
maka dapat dilihat dengan jelas bahwa penegakan hukum KSDAE
faktual /saat ini belum sesuai harapan.
108
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Penegakan Hukum
Pidana Di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan
Ekosistemnya
Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tigkah laku
orang sebagai masyarakat, tujuan hidup itu adalah mengadakan
keselamatan, kebahagiaan, dan ketertiban di dalam masyarakat, karena
masing-masing masyarakat memiliki kepentingan sehingga untuk
mengatur berbagai kepentingan masyarakat agagar tercapai keseimbangan
dalam kehidupan maka dalam hukum memiliki sanksi untuk dikenakan
kepada anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran hukum.
Dari penelitian atas data berupa dokumen yang diperoleh dan
wawancara yang dilakukan terhadap para penegak hukum, maka
selanjutnya untuk mengetahui faktor-faktor apa yang yang mempengaruhi
proses penegakan hukum pidana di bidang konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya di wilayah hukum Kabupaten Donggala Sulawesi
Tengah penulis akan mengkaji dengan teori yang dikembangkan oleh
William J. Cambliss dan Robert B. Seidmen mengenai teori bekerjanya
hukum dalam masyarakat bahwa bekerjanya hukum dipengaruhi oleh tiga
faktor yang saling kait mengkait yaitu lembaga pembuat peraturan,
lembaga penerap peraturan, dan pemegang peran.
Sehubungan dengan pokok permasalahan penelitian ini yang
dititikberatkan pada penegakan hukum pidana tahap aplikasi, maka dalam
pembahasan ini penulis akan membatasi pokok kajian pada lembaga
penerap peraturan dan pemegang peran.
a. Lembag Penerap Peraturan
Apabila kita melihat penegakan hukum sebagai suatu proses untuk
mewujudkan tujuan-tujuan hukum menjadi kenyataan maka proses itu
selalu melibatkan para pembuat dan pelaksana hukum, serta juga
masyarakat. Masing-masing komponen ingin mengembangkan nilai-
109
nilai yang ada di lingkungannya yang sarat dengan pengaruh faktor-
faktor non hukum lainnya125.
Selanjutnya untuk mewujudkan hukum sebagai ide-ide ternyata
dibutuhkan organisasi yang cukup kompleks. Lembaga-lembaga
seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan dan sebagainya, akan
mengembangkan perlengkapannya sendiri yang dikembangkan untuk
menunjang pekerjaannya sebagai suatu lembaga hukum dengan tugas
tertentu.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap badan-badan penegak hukum
terlihat jelas bahwa badan-badan penegak hukum memiliki tujuan-
tujuan dari masing-masing fungsi badan tersebut dan ketika
dihadapkan pada tantangan cenderung untuk menganti tujuan-tujuan
tersebut.
1) Tahap Penyidikan Oleh Polisi
Penyidik merupakan lembaga penegak hukum yang organisasi
yang memiliki tujuan masing-mising. Polisi dengan segala tugas
dan bebanya sebaga pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui
upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat. Dalam melaksana fungsinya polisi memiliki pilihan-
pilihan untuk bertindak karena di tangan polisi hukum yang
bersifat abstrak akan berubah kenyataan.
Penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan
pelanggaran/kejahatan terhadap kawasan hutan dengan fungsi
konservasi, tumbuhan dan satwa yang dilindungi dimana
berdasarkan adagium lex spesialis derogat legi generali maka
kebijakan hukum pidana yang diterapkan adalah Undang-undang
125 Esmi Warasih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Cetakan 1, PT. Suryandaru
Utama, Semarang, Tahun 20051, Hal 84
110
Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam. Namun
pada kenyataan ketentuan ini tidak pernah dilaksanakan126 hal ini
disebabkan karena tidak adanya laporan dari masyarakat.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Brigadir Sutisno
penyidik Polres Donggala bahwa animo masyarakat untuk
melaporkan tindak pidana sangat kurang bahkan dalam rentan
waktu tiga tahun terakhir tidak pernah ada laporan yang masuk ke
Kepolisian Resort Donggala. Yang pernah dan sering kami lakukan
penyidikan terhadap kasus-kasus illegal logging yang dijerat
dengan Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Ini
dilakuakan karena tempat kejadiannya berada di luar kawasan
hutan yaitu pada saat hasil hutan ilegal tersebut diangkut. Memang
ada beberapa kasus tempat kejadiannya didalam kawasan hutan
tetapi bukan dalam kawasan konservasi.127
Hal lain yang yang berkaitan dengan tugas Polisi sebagai
penyidik dimana dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Repobik Indonesia Pasal 14
menyebutkan bahwa Polisi mempunyai tugas melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya, dalam kaitannya dengan Tindak pidana KSDAE yang
mana merupakan tindak pidana kejahatan/ pelanggaran yang tidak
termasuk dalam golongan delik aduan, seharusnya Polisi sebagai
penyelidik/penyidik dalam penegakan hukum terhadap tindak
pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
harus lebih proaktif dalam mencari dan menemukan tindak pidana
dimaksud. Namum pada kenyataannya hal ini sulit untuk dilakukan
126 Berdasarkan studi dokumen prosentase penaganan tindak pidana konservasi seumber
daya alam hayati dan ekosistemnya tahun 2006 sampai dengan tahun 2009 sebanyak 0%, lihat tabel 6.
127 Wawancara Brigadir Sutisno, pada tanggal 4 Pebruari 2010 Pukul 10.30 Wita
111
mengingat tindak pidana KSDAE adalah tindak pidana yang
berkaitan dengan kawasan hutan dengan fungsi konservasi, tempat
kejadian perkara berada dalam kawasan hutan yang sebaranya
sangat luas. Disini Polisi dihadapkan pada pilihan untuk
melakukan tindakan yang sifatnya lebih menguntungkan
organisasinya.
Dalam kasus ini Polisi lebih memilih untuk membiarkan
perbuatan tersebut untuk selanjutnya malakukan penindakan ketika
pelaku dan barang bukti telah diangkut dan berpindah tempat
keluar dari kawasan konservasi. Pilihan tindakan ini dilakukan
mengingat adanya keterbatasan jumlah petugas dan biaya
operasional yang sangat minim.
Dari apa yang ditemukan penulis pilihan kebijakan
pengunaan hukum pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan
konservasi sumber daya alam penyidik lebih memilih
menerapkan Undang-undang lebih mudah untuk dilakukan
proses penyidikan dan hal ini sesuai apa yang telah dikemukakan
oleh Chambliis dan Seidmen bahwa setiap organisasi tersebut
diarahkan kepada pencapaian tujuan tertentu. Tujuan-tujuan yang
resmi inilah yang dicantumkan pada deskripsi dari jabatan-
jabatan yang dipangku oleh masing-masing badan penegak
hukum. Bersamaan dengan itu setiap organisasi tersebut tunduk
pada proses pengantian tujuan. Setiap organisasi bekerja dalam
konteks sosial tertentu oleh karena itu akan terjalin suatu
hubungan yang erat antar keduanya.
Dilihat dari organisasi bersama personelnya mereka
dihadapakan pada kenyataan bahwa berbagai tindakan dan
kebijakan menimbulkan keuntungan, sedang lainnya
menimbulkan kerugian dan hambatan. Dihadapkan kepada
tantangan, maka organisasi serta personelnya cenderung untuk
menganti tujuan-tujuan dengan kebijakan-kebijakan dan
112
tindakan-tindakan yang akan menghasilkan keuntungan
maksimal dan hambatan minimal bagi organisasi.128 Berdasarkan
hasil penelitian penulis di Polres Donggala, pada bagian reserse
kriminal hanya memiliki 3 orang penyidik dan 4 orang penyidik
pembantu.129 Berdasarkan jumlah personil tersebut menjadikan
suatu hal yang mustahil untuk pihak penyidik dapat
melaksanakan tugas secara maksimal dimana pada bagian ini
tidak hanya menangani maslah konservasi tetapi juga menangani
kasus-kasus tindak pidana diluar KUHP lainnya.
2) Tahap Peyidikan Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Jika dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana
KSDAE ditempu dengan menggunakan sarana hukum pidana maka
harus benar-benar memperhitungkan semua faktor yang dapat
mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam
kenyataannya. Faktor-faktor yang dapat mendukung berfungsinya
atau bekerjanya hukum pidana tersebut antara lain dikemukakan
oleh Sudarto :130
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atas warga masyarakat.
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle)
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan
128 Op. Cit Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis....., Hal 51-52. 129 Loc.Cit 130 Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1983 Hal.44-48
113
penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
Dalam proses penegakan hukum, penggunaan sarana hukum
pidana oleh penyidik pegawai negeri sipil sangat jarang dilakuan
disebabkan adanya kelampauan beban tugas dimana beban tugas
yang diberikan terlampau berat. Berdasarkan hasil wawancara
dengan PPNS Johni Hutabarat131 diperoleh penjelasan bahwa untuk
mengawasi kawasan konservasi dengan luas ± 70.000 (tujuh puluh
ribu hektar) hanya diawasi oleh dua orang petugas Polhut yang
sekaligus merangkap sebagai PPNS, selanjutnya berdasarkan hasil
wawancara dengan PPNS Facrudin Desi, SH132 diperoleh
penjelasan bahwa pekerjaan penyidikan hanya merupakan tugas
tambahan disamping tugas pokok sebagai PNS atau pejabat
fungsional (Polisi Kehutanan), sehingga dalam pelaksanaanya
bersifat insidesil yang tidak diimbangi dengan pemberian dana
intensif kepada penyidik, dimana sebaiknya PPNS dijadikan
sebagai tugas pokok yang tidak dibebani dengan tugas-tugas
lainnya. Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan PPNS
Iskandar, SP133 diperoleh pejelasan bahwa Anggaran penyidikan
terlalu minim sehingga untuk menjangkau TKP yang berada dalam
kawasan konservasi yang masuk wewenang BKSDA Sulteng sulit
dijangkau mengingat sebaran kawasan yang berjauhan, Sarana
parasarana yang belum mendukung. Disini terlihat jelas beban
tugas yang diberikan oleh lembaga penegak hukum terlampau berat
yang tidak didukung dengan biaya yang memadai sebagai
131 Hasil Wawancara Dengan PPNS Johni Hutabarat Tanggal 13 Januari 2010 Pukul 13.00
Wita 132 Hasil Wawancara Dengan PPNS Fachrudi Desi, SH tanggal 14 Januari 2010, Pukul
10.00 Wita 133 Hasil Wawancara Dengan PPNS Iskandar, SP tanggal 14 Januari 2010, Pukul 12.00
Wita
114
akibatnya proses penegakan hukum tidak dapat dilaksankan secara
maksimal.
Faktor lain yang berkaitan dengan personal (petugas penegak
hukum) yaitu belum adanya keberanian dari petugas untuk
melakukan proses penegakan hukum. Dimana berdasarkan hasil
wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan PPNS Facrudin
Desi, SH diperoleh penjelasan bahwa dalam proses penegakan
hukum terutama dalam melakukan melakukan penyidikan,
penyidik pegawai negeri sipil pada balai KSDA Sulteng belum
memiliki keberanian untuk melakukan penyidikan, hal ini
berkaitan dengan belum adanya pengalaman melakukan
penyidikan. Interfensi pejabad penegak hukum juga turut
mempengarihu proses penegakan hukum, dimana pelaku yang
bermodal besar melakukan interfensi dalam proses penyidikan
melalui pejabat penegak hukum lainnya.
Faktor selanjutnya yang mempengaruhi proses penegakan
hukum yaitu faktor ekonomi petugas yang minim. Berdasarkan
hasil penelitian faktor ini bisa mempengaruhi proses penegakan
hukum dimana petugas karena keadaan ekonomi yang tidak
memadai menerima pemberian dari pelaku sehingga proses tidak
berlanjut dan diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan
dimana anggota masyarakat yang tertangkap tangan dilepaskan
dengan catatan tidak mengulang perbuatannya dengan syarat-syarat
tertentu yang dubuat dalam surat pernyataan.
Dalam melaksanakan tugas sebagai polhut dalam kasus-kasus
tertentu terpaksa melakukan penyimpangan dalam arti ketika
menemukan pelanggaran terhadap tindak pidana di dalam kawasan
konservasi dalam skala kecil dan berdampak tidak tidak besar dan
melihat pelaku yang dalam melakukan perbuatan tersebut hanya
sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup hanya dilakukan
pembinaan berupa membuat surat pernyataan untuk tidak
115
melakukan perbuatannya lagi. Tetapi ketika pelakunya dan
perbuatannya bisa berdampak besar harus diproses sesuai peraturan
yang berlaku.
3) Tahap Penuntutan
Kejaksaan merupakan sub sistem dari sistem ketatanegaraan
Indonesia sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Sebagai salah
satu sub sistem dari suatu sistem hukum, Kejaksaan memiliki
kedudukan yang sentral dalam penegakan hukum, di Indonesia.
Sebagai salah satu sub sistem hukum, Kejaksaan berada dalam
satu kesatuan yang teratur dan terintegrasi, saling mempengaruhi
dan saling mengisi dengan sub sistem lainnya untuk mencapai
tujuan dari sistem hukum tersebut.
Dalam UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2
ayat (1) menegaskan bahwa “Kejaksaan RI adalah lembaga
pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang
penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”.
Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis),
mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena
hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu
kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat
bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping
sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan
satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive
ambtenaar).
Oleh karena itu, adalah sebuah hal yang wajar jika
masyarakat sangat mendambakan institusi Kejaksaan dapat
berfungsi secara optimal dalam menegakan supremasi hukum
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta dapat berfungsi
menjadi tulang punggung reformasi, sehingga dapat
memperkokoh ketahanan dan konstitusi sebagai prasyarat bagi
tegaknya demokrasi dan civil society yang dicita-citakan.
116
Kedudukan sentral Kejaksaan berkait erat dengan kedudukan
dan fungsi Kejaksaan dalam penegakan hukum di Indonesia.
Sudah tentu penekanan pada eksistensi dan eksisnya institusi ini
baik dalam tataran teoritis yang mengacu pada konsepsi negara
hukum maupun dalam asas normative praktis yang berpedoman
pada peraturan perundang-undangan. Artinya, Kejaksaan dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya dalam kedudukannya
sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman dalam
penegakan hukum, harus menjunjung tinggi supremasi hukum
sebagai prasyarat mutlak bagi penyelenggaraan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara . Supremasi hukum
berarti adanya jaminan konstitusional dalam proses politik yang
dijalankan oleh kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif.
Supremasi hukum akan selalu bertumpu pada kewenangan yang
ditentukan oleh hukum .
Dalam penegakan hukum tindak pidana konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya Jaksa Penuntut Umum
mempunyai tugas melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk
itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum
dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya
dikoordinasikan dengan penyidik (Pasal 30 ayat 1 angka (5)
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004). Berdasarkan studi
dokumen jumlah perkara tindak pidana di bidang konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang pernah
ditangani Kejaksaan Negeri Donggala selama empat tahun
terakhir yaitu dari tahun 2006 sampai dengang 2009 sebanyak 4
perkara.
Dasar kebijakan penerapan tindak pidana konservasi
terhadap 4 perkara tersebut yaitu keempat perkara dimaksud
locus deliktinya berada dalam kawasan konservasi (2 kasus di
117
Taman Nasional Lore Lindu 1 kasus di CA. Gunung Sojol dan1
kasus di SM. Pasoso).
Dilihat dari prosentasi kasus tersebut dapat diketahui
penegakan hukum terhadap tindak pidana konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya sangat kecil, hal ini
disebabkan penangana perkara pada lembaga kepolisian dan
instansi kehutanan tidak berlanjut sampai pada tahap penuntutan.
Jaksa sebagai lembaga penuntutan sifatnya hanya melanjutkan
proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik untuk kemudian
dilakukan penuntutan.
4) Tahap Pemeriksaan Dipersidangan
Pengadilan negeri sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman
yang tugasnya menerima, memeriksa, mengadili dan
memutuskan perkara yang diajukan kepadanya wajib menerima,
memeriksa, dan mengadili perkara tersebut.
Dalam melaksanakan fungsinya oleh hakim sebagai salah
satu penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan
(role) sekaligus. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan
suatu wadah yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-
kewajiban tertentu yang merupakan role, oleh karena itu hakim
yang mempunyai kedudukan tertentu yang lazim dinamakan
pemegang peran.
Putusan pengadilan negeri dalam perkara pidana merupakan
hasil musyawarah atau hasil kerja dari hakim/majelis hakim yang
bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang
terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, dimana apabila
menurut hakim apa yang didakwakan dalam surat dakwaan
terbukti dan terdakwa dipandang mampu mempertanggung
jawabkan sebagaiman diatur dalam undang-undang maka kepada
terdakwa dinyatakan bersalah yang diikuti dengan pemidanaan,
sedangkan apabila dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa
118
menurut penilaian mereka tidak tidak terbukti maka mereka akan
dibebaskan, adapun jika perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan
tindak pidana atau ruang lingkup perkara perdata maka kepada
terdakwa akan dibebaskan dari tuntutan hukum.
Meskipun setiap hakim berusaha bersikap obyektif, namun
secara ekstern terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
dalam memberikan pertimbangan untuk menjatuhkan putusan.
Menurut Satjipto Rahardjo134 secara sosiologis putusan
pengadilan (court decision) atau putusan hakim disatu pihak
merupakan variabel dependen (dependent variabel), sedangkan
di pihak lain struktur hukum formal maupun informal
menempatkan posisi variabel independen (independent variabel)
seperti konstitusi, peraturan perundang-undangan, doktrin,
termasuk konsep-konsep. Hal ini berarti putusan pengadilan,
potensial bervariasi bergantung pada faktor-faktor independen
yang melingkupi proses pembentukan putusan pengadilan (caurt
decision making). Faktor independen yang melingkupi hakim
ketika ia memeriksa, mengadili dan memutus perkara berbeda-
beda antara hakim yang satu dengan hakim yang lain.
Dalam kondisi normal idealnya setip hukum termasuk
putusan pengadilan/hakim haruslah dijiwai/memuat ketiga nilai
dasar yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Namun
dalam prakteknya sangatlah sulit untuk mengharmonisasikannya
dalam satu putusan. Hakim mempunyai kebebasan dalam
memutus perkara pidana yang ditanganinya, namun kebebasan
bukanlah kebebasan mutlak melainkan kebebasan yang
terikat/terbatas.
Dengan menyadari bahwa hakim sebagai aktor yang memiliki
kebebasan dalam menentukan apa saja tindakan yang
134 Ibid, Hal 17
119
dilakukannya maka Antonius Sudirman menyatakan bahwa
sesungguhnya hakim dapat memainkan peran politik tertentu
yang ingin dicapainya melalui putusan akan tetapi peran politik
yang dimainkan oleh hakim bukanlah politik judicial restrain,
yang hanya menjalankan politik patuh kepada undang-undang,
melainkan politik judicial activism yang mengandung makna
bahwa dalam menjalankan putusannya sang hakim dapat
mengadakan pilihan dari berbagai alternatif tindakan yang tepat
untuk tercapainya rasa keadilan dalam masyarakat.135
Dengan demikian dalam melakukan tindakan tersebut dapat
berpengaruh pada munculnya perilaku penyimpangan, yang
maksudnya seorang hakim dapat bertindak tidak sesuai dengan
kebiasaan umum atau norma atau aturan yang dijadikan
pegangan bersama oleh para hakim atau organisasi lainya.
Dari hasil penelitian terhadap perkara dan wawancara yang
dilakuan oleh penulis dengan Hakim Wisnu Subroto, SH
kebijakan pidana yang diterapkan terhadap ketiga perkara tentang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistenya telah sesuai
dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi
sumber daya alam dimana tempat kejadian perkara berada di
dalam kawasan konservasi dan obyek perbuatan pidana adalah
jenis yang dilindung. Pertimbangan hakim memutus perkara
tersebut yaitu berdasarkan barang bukti, keterangan saksi,
keterangan terdakwa dan keterangan saksi ahli telah memenuhi
unsur-unsur dalam rumusan pasal Pasal 21 ayat (1) huruf a dan
Pasal 21 ayat (2) angka a.
b. Pemegang Peran
Sebagai pedoman atau pengarahan pada warga masyarakat untuk
berperilaku, fungsi hukum menyiratkan perilaku yang diharapkan
135 Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya Suatu Pendekatan dari Ilmu Hukum Perilaku (Behaivioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar, PT. Citra Adtya Bakti, Bandung, 2007, Hal 43
120
diwujudkan oleh masyarakat apabila warga masyarakat melakukan
kegiatan yang diatur oleh hukum. Sebagai sarana pengendalian sosial,
hukum bermakna secara esensial bahwa suatu sistem mengandung
peraturan-peraturan-peraturan perilaku yang benar dan semua masyarakat
akan mengambil langkah untuk mendorong perilaku yang baik dan
memberikan sanksi negatif bagi pelaku yang buruk. Sebagai sarana
penyelesaian sengketa, fungsi hukum adalah menjadi sumber bagi
peneyelesaian sengketa serta pemecahan perselisihan yang timbul
dimasyarakat. Sebagai sarana rekayasa sosial hukum tidak saja digunakan
untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat
dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan pada tujuan-tujuan
yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan-kebiasaan yang dipandang
tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya.136
Hukum tidak dapat bekerja atas kekuatannya sendiri, melainkan
hukum hanya akan dapat berjalan melalui manusia. Manusialah yang
menciptakan hukum, tetapi juga untuk pelaksanaan hukum yang telah
dibuat itu masih diperlukan campur tangan manusia pula. Oleh karena itu
masih diperlukan langkah yang memungkinkan ketentuan hukum dapat
dijalankan.
Yang dimaksud dengan peran adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang
berisikan patokan perikelakuan pada kedudukan tertentu dalam masyarakt,
kedudukan mana dapat dipunyai oleh pribadi atau kelompok. Pribadi yang
mempunyai peranan yang tadi dinamakan pemegang peran (role
occupant). Dalam kalangan hukum apabila diterjemahkan dalam bahasa
hukum pemegang peran adalah suyek hukum, sedangkan peran merupakan
hak-hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kepentingan hukum.
Berperanya pemegang peran merupakan peristiwa hukum yang dapat
sesuai atau berlawanan dengannya. Dengan demikian yang menjadi
136 Soleman B Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum Dalam Masyarakat. PT. Raja Grafindo
Persada. Jakarta, 1993, Hal.39-41
121
masalah utamaya adalah bagaimana kaidah-kaidah hukum akan dapat
mengatur berperannya pemegang peran.137
Menurut Rebert B. Seidman dalam Satjipto Rahardjo138 setiap
peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang
peran (role occupant) itu diharapkan bertindak. Supaya dapat memasukan
nilai-nilai baru ke dalam masyarakat maka diperlukan adanya pemahaman
dan perubahan sikap dari anggota-anggota masyarakat untuk menerim
perubahan-perubahan. Oleh karenanya hukum sebagai sarana untuk
merubah tingkah laku tentunya mengandung nilai-nilai yang sudah
dipahami benar oleh masyarakat.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 menghendaki agar anggota
masyarakat sebagai adressat berlaku sesuai dengan filosofi undang-
undang tersebut. Rebert B. Seidman telah menyatakan bahwa adressat
hukum sebagai pemegang peran diminta untuk mejalankan peran
sebagaimana yang diharapkan oleh undang-undang tersebut, kendati dalam
menjalankan peran tersebut tidak terdapat kesesuai dengan peran yang
diharapkan. Dan oleh karena salah satu fungsi hukum adalah untuk
mengubah tingkah laku masyarakat maka dalam hal ini dilibatkan sikap-
sikap anggota masyarakat terhadap pemahaman akan perannya dimaksud,
dengan demikian berhasil tidaknya suatu kebijakan yang dituangkan dalam
bentuk aturan hukum tersebut dapat dilihat dari pemahaman-pemahaman
yang mendasarinya.
Dari hasil penelitian tampak bahwa pengetahuan dari individu-individu
anggota masyarakat terhadap penegakan hukum tindak pidana konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dapat dikatakan masih minim
hal ini disebabkan kurangnya komunikasi dari lembaga-lembaga kepada
masyarakat tentang adanaya kaidah-kaidah yang mengatur pemanfaatan
hutan khususnya hutan dengan fungsi konservasi. Ditengah minimnya
pemahaman tentang penegakan hukum tindak pidana konservasi sumber
137 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum CV. Rajawali, Jakarta, 1980 Hal 130 138 Satjipto Raharjdo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982 Hal 27-28
122
daya alam hayati dan ekosistemnya masyarakat sebenarnya masyarakat
telah memahami bahwa ada aturan atau norma-norma yang harus
dijalankan dalam rangka pemanfaatan kawasan konservasi, masyarakat di
sekitar kawasan hutan telah mengetahui apa saja yang boleh dilakukan dan
yang tidak boleh dilakuakantetapi karena dipengaruhi oleh faktor ekonomi
maka perilaku dari masyarakat menyimpang dari apa yang dikehendaki
oleh undang-undang.
Dalam penegakan hukum lembaga penegak hukum bertindak dan
menetukan pilihan-pilihan yang menguntungakan organisasinya,
pemegang pemeran melakukan pilihan-pilihan untuk bertindak seolah-
olah tidak sesuai dengan apa yang diharpkan oleh Undang-undang. Dalam
penegakan hukum terhadap tindak pidana konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya polisi, jaksa dan hakim sebagai pemegang peran
memilih untuk melakukan tindakan-tindakan yang lebih
menguntungkannya. Pilihan ini dijalankan oleh petugas penegak hukum
karena mereka memahami peraturan yang telah dibuat tidak dibarengi
dengan usaha-usaha perbaikan terhadap sarana prasaran pendukung
penegakan hukum dan usaha perbaikan ekonomi, sosial para penegak
hukum dan masyarakat.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka peneliti dapat
mengambil suatu kesimpulan bahwa :
1. Penegakan hukum tahap aplikasi terhadap tindak pidana konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya oleh penegak hukum
123
Polisi/PPNS, Jaksa dan Hakim di wilayah hukum Kabupaten Donggala
Sulawesi Tengah sangat jarang digunakan, hal ini disebabkan karena
keterpaduan dan koordinasi penegakan hukum yang masih lemah, dimana
keyakinan bahwa konservasi sumber daya alam adalah satu sektor terbatas
bukan proses yang perlu diperhatikan oleh semua sektor.
Hal ini dipengaruhi oleh :
a. Kaedah hukum atau peraturan itu sendiri
(1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 merupakan produk Orde
Baru dimana corak kebijakan pembangunan lingkungan yang
sentralistik, sektoral, tidak memberikan ruang secara proposional
bagi transparansi dan partisipasi masyarakat, serta manggaibaikan
hak-hak masyarakat dengan didampingi kebijakan hukum yang
represif
(2) Secara kualitas masih terdapat ketidak sempurnaan dalam hal
perumusan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, sanksi
pidana.
(3) Secara vertikal terdapat pertentangan substansi dalam Undang-
Undang No 5 Tahun 1990 dengan peraturan pemerintah Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Liar dimana dalam bab X mengatur tentang
sanksi pidana dan sanksi admistratif sementara undang-undang
tersebut tidak mengatur.
(4) Masih ada peraturan pelaksanaan yang diperintahkan dalam
undang-undang ini belum dibuat.
b. Petugas yang menegakan atau yang menerapkan
1) Dari segi kuantitas jumlah aparat penegak hukum masih sangat
kurang.
2) Dari segi kualitas belum sesuai dengan apa yang diharapkan
disebabkan masih minimnya pengetahuan tentang konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
124
c. Fasilitas yang diharapkan akan mendukung pelaksanaan kaedah
hukum baik sarana dan prasarana serta pendanaan masih sangat kurang
d. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut
kondisi kesadaran hukum terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang KSDAE sangat rendah.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum tindak pidana
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah :
a. Belum terlaksananya penegekan hukum tindak pidana konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya oleh Polisi/PPNS, Jaksa,
Hakim dipengaruhi oleh belum ada dukungan yang sepenuhnya dari
lembaga-lembaga penegak hukum sebagai suatu sistem dalam
peradilan pidana. Dalam hal hakim mengambil keputusan hakim
selalu mempertimbangkan aspek kepastian hukum, keadilan dan
kemanfaatan sehigga setiap putusan hakim akan berbeda tergantung
kondisi dan keadaan perkara tersebut. Disamping aspek norma hukum
positf, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum hakim dalam
memutus perkara konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya dipengaruhi oleh pengetahuan hakim tentang ilmu
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
b. Pemegang Peran
Pengetahuan dari individu-individu anggota masyarakat dan
aparat terhadap penegakan hukum tindak pidana konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya dapat dikatakan masih minim hal
ini disebabkan kurangnya komunikasi dari lembaga-lembaga kepada
masyarakat tentang adanaya kaidah-kaidah yang mengatur
pemanfaatan hutan khususnya hutan dengan fungsi konservasi.
Ditengah minimnya pemahaman tentang penegakan hukum tindak
pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
masyarakat sebenarnya telah memahami bahwa ada aturan atau norma-
norma yang harus dijalankan dalam rangka pemanfaatan kawasan
konservasi, masyarakat di sekitar kawasan hutan telah mengetahui apa
125
saja yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakuakan tetapi
karena dipengaruhi oleh faktor ekonomi maka perilaku dari
masyarakat menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh undang-
undang.
B. Implikasi
Konsekwensi logis dari fakta-fakta dalam kesimpulan di atas adalah :
1. Keterpaduan dan koordinasi penegakan hukum yang masih lemah, dimana
keyakinan bahwa konservasi sumber daya alam adalah satu sektor terbatas
bukan proses yang perlu diperhatikan oleh semua sektor dan akan saling
mempengaruhi mengakibatkan penegakan hukum tidak dapat
dilaksanakan sesuai jiwa dari undang-undang.
a. Kaedah hukum atau peraturan itu sendiri
1) Corak kebijakan pembangunan lingkungan yang sentralistik,
sektoral, tidak memberikan ruang secara proposional bagi
transparansi dan partisipasi masyarakat, serta manggaibaikan hak-
hak masyarakat dengan didampingi kebijakan hukum yang represif
akan berpengaruh pada rendahnya kepatuhan masyarakat
2) Ketidak sempurnaan dalam hal perumusan tindak pidana,
pertanggungjawaban pidana, sanksi pidana akan menghambat
proses penegakan hukum pidana.
3) Pertentangan substansi dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1990
dengan peraturan pemerintah Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar
dimana dalam bab X mengatur tentang sanksi pidana dan sanksi
admistratif sementara undang-undang tersebut tidak mengatur
dapat menyebakan adanya ketidak pastian hukum.
4) Masih ada peraturan pelaksanaan yang diperintahkan dalam
undang-undang ini belum dibuat akan berdampak pada kegiatan
operasional.
b. Petugas yang menegakan atau yang menerapkan
126
Minimnya kualitas dan kuantitas aparat penegak hukum
mempengaruhi keberhasilan penegakan hukum.
c. Fasilitas baik sarana dan prasarana serta pendanaan masih sangat
kurang mempengaruhi tercapainya penegakan hukum yang cepat,
tegas, dan konsisten belum dapat terwujud
d. Kondisi kesadaran hukum terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang KSDAE sangat rendah akan mempengaruhi tingkat kepatuhan
2. a. Pemilihan keputusan yang lebih menguntungkan oleh lembaga
penegak hukum sebagai organisasi akan mempengaruhi eketifitas
penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana (criminal justis
system).
b. Kurangnya komunikasi para penegak hukum mengakibatkan
singkornisasi penegakan hukum tidak terwujud
C. Saran
Dari kesimpulan yang diperoleh berdasarkan kerangka pemikiran
Soerjono Soekanto yang dipadukan dengan pemikiran Chambliis dan Seidmen
untuk penegakan hukum tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya, oleh penulis menyarankan :
1. Dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana konsevasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya dengan menggunakan sarana hukum pidana
harus ada penyamaan persepsi dari semua sektor.
Agar penegakan hukum pidana lebih efekti :
a. Terhadap kaedah hukum atau peraturan itu sendiri
1) Mengingat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 merupakan
produk Orde Baru dimana corak kebijakan pembangunan
lingkungan yang sentralistik, sektoral, tidak memberikan ruang
secara proposional bagi transparansi dan partisipasi masyarakat,
serta manggaibaikan hak-hak masyarakat dengan didampingi
kebijakan hukum yang represif maka hendakanya undang-undang
ini segerah di formulasi kembali
127
2) Perlu dirumukannya tentang subyek hukum korporasi dan bentuk
pertangung jawabannya baik pidana maupun administrasi.
3) Harus dirumuskan sanksi pidana dan sanksi adminstrasi terhadap
pelanggaran/kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan jenis
tumbuhan dan satwa liar yang dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 belum diatur
4) Segerah membuat aturan pelaksana yang belum dikeluarkan
sebagaiman yang diperintah oleh undang-undang.
b. Petugas yang menegakan atau yang menerapkan
Peningkatan Kualitas dan Kuantitas aparat penegak hukum.
Peningkatan ini dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan dan
membiayai pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan
pengetahuan. Disamping itu juga perlu dilakukan pemanbahan aparat
penegak hukum dengan pola penerimaan yang selektif.
c. Fasilitas yang diharapkan akan mendukung pelaksanaan kaedah
hukum baik sarana dan prasarana serta pendanaan harus diadakan
sesuai kebutuhan
d. Pelibatan masyarakat dalam penegakan hukum dan pengelolaan harus
lebih ditingkatkan.
2. a. Lembaga Penerap Peraturan
1) Penguatan organisasi lembaga penegak hukum dengan melakukan
restrukturisasi lembaga penegak hukum sehingga koordinasi lintas
sektoral dengan penegak hukum lainnya dapat berjalan lancar
2) Perlu dibentuk suatu sistem penegakan hukum satu atap sehingga
proses penegakan hukum yang cepat, keterpaduan, biaya murah
dapat terwujud
3) Perlu dibentuknya badan pengawas yang bertugas untuk mengawsi
proses penegakan hukum yang berkaitan konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya.
b. Pemegang Peran
128
Peningkatan kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak langsung
termasuk para penegak hukum dan penyuluhan kesadaran hukum
harus dilakukan secara menyeluruh baik di tingkat masyarakat maupun
aparat penegak hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah. 1983. KUHAP dan KUHP, Cetakan Kedua, PT. Rineka Cipta,
Jakarta. Barda Nawawi Arief, 2001 Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung. ---------------------------, 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit
PT Citra Aditia Bakti, Bandung. ---------------------------, 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit PT Citra
Aditia Bakti, Bandung. ---------------------------, 2008 Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana Dalam Penggulangan Kejahatan, Penerbit Kencana Perdana Media Group, Jakarta.
---------------------------, Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy). Burhan Ashshofa, 1998, Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta.
Esmi Warassih Pujirahayu. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT Suryandaru Utama, Semarang.
Hartiwiningsih, 1996, Penegakan Hukum Lingkungan Untuk Mengantisipasi Tindak Pidana Lingkungan Yang Dilakukan Korporasi, Tesis.
H. B. Soetopo, 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif, UNS Pres, Surakarta. Ilham Bisri, Sistem Hukum Indonesia; Prinsip-prinsip dan Implementasi Hukum
Di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Leden Marpaung, 1997, Tindak Pidana Lingkungan Hidup Dan Masalah
Prevensinya, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta. Mahfud M.D, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Jakarta.
Marjono Reksodiputra. 1994. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta
Moeljatno, 2002. Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Ketujuh, Rineka Cipta, Jakarta
129
Muladi, 1997. Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit BP. Undip, Semarang.
Muladi Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Riduan Syahrani, 2004, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Edisi Revisi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Romli Atmasasmita. 1996. Sistem Peradilan Pidana,Binacipta, Bandung
Saifullah. 2007. Hukum Lingkungan, Paradigma Kebijakan Kriminal di Bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati, Cetakan Pertama, UIN Malang Press, Malang.
Satjipto Rahardjo, 1980, Hukum, Masyarakat Dan Pembangunan, Penerbit Alumni, Bandung.
----------------------, 2001, Ilmu Hukum Bandung, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
----------------------, 2002, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode Dan Pilihan Masalah, Muhamadyah University Press, Surakarta.
----------------------. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung.
----------------------. 2007. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Cetakan I, Genta Publishing, Yogyakarta.
Setiono, 2005, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana UNS, Surakarta.
Soerjono Soekanto, Purnadi Purbacaraka, 1979, Perihal Kaedah Hukum, Penerbit Alumni, Bandung.
----------------------, 1980, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Penerbit CV Rajawali, Jakarta.
----------------------, 1985, Efektifitas Hukum Dan Peranan Sanksi, Remaja Karya, Bandung.
----------------------, 2005, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Soleman B.Taneko, 1993, Pokok-Pokok Studi Hukum Dalam Masyarakat. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Solly Lubis, 1989, Serba-Serbi Politik Dan Hukum, Mandar Maju, Bandung. Sudarto,1981. Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
---------, 1983. Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Bandung Sinar Baru.
---------, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
130
Sudikno Mertokusumo. 2003. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
Sutan Remy Sjahdeni. 2006. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Graffiti Pers, Jakarta.
Wirjono Prodjodikoro. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung
Jurnal dan Makalah A, Hamzah, 1991, Penegakan Hukum Lingkungan, Makalah Dalam Hukum Pidana Dan Kriminologi Kerjasama Indonesia Belanda, Ambarawa.
Arie Trouwborst, 2009 Article Conservation Nature International Law International To The Adaptation OF Biodiversity Climate Change: A mismatch. Journal of Environmental Law, Copyright © by Oxford University Press.
I Gusti Ayu Ketut Rachmi, 2009, Penegakan Hukum Lingkungan Jurnal Ekosains Volume 1 Nomo 2 Program Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan.
Muladi, 1998. ”Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berkualitas”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, No. 2 Tahun 1998, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang
Van Krieken, R., 2006. Law’s autonomy in action: anthropology and history in court. Social & Legal Studies, dikutip dalam Jane Donoghue, Reflection on the Sociology of Law : A Rejection of Law as “ Socially Marginal”International Journal of Law, Crime and Justice, Volume 37, Issues 1-2, March-June 2009, Pages 60
Undang-Undang : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Repoblik Indonesia. Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-undang Nomor 14 tahun 2004 tentang Kejaksaan Negeri Repoblik Indonesia
131
Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar. Surat Kabar Radar Sulteng, 23 Agustus 2008 Media Elektronik : Celebes Biodiversity, Portal Keanekaragaman Hayati Sulawesi,
HPPTwww.celebio.org diakses pada tanggal 8 September 2009 Kementrian Lingkungan Hidup Keanekaragam Hayati, http://www.menlh.go.id/i/
art/DFBAB%20VII%20KEANEKARAGAMAN%20HAYATI%2011062003
Masyhud, Siaran Pers, dalam www.dephut.go.id