PENEGAKAN ASAS ITIKAD BAIK DAN KESEIMBANGAN …
Transcript of PENEGAKAN ASAS ITIKAD BAIK DAN KESEIMBANGAN …
PENEGAKAN ASAS ITIKAD BAIK DAN KESEIMBANGAN PELAKU
USAHA DENGAN KONSUMEN TERHADAP TANGGUNG JAWAB
PRODUK YANG MEMILIKI CACAT TERSEMBUNYI DITINJAU DARI
HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN : STUDI KASUS PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 265 K/Pdt. Sus-BPSK/2013
Naufaldi Tri Pambudi dan Heri Tjandrasari
Program Kekhususan Tentang Kegiatan Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Universitas Indonesia, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan Hukum Perlindungan Konsumen dalam kaitannya untuk
menyeimbangkan kedudukan pelaku usaha dengan konsumen atas itikad baik dan sikap jujur pelaku usaha dalam
menjalankan tanggung jawab usahanya, mengetahui bagaimana bentuk upaya tanggung jawab pelaku usaha yang
dapat dilaksanakan kepada konsumen yang mengalami kerugian terhadap produk yang memiliki cacat
tersembunyi dan mencari solusi terhadap bentuk tanggung jawab pelaku usaha yang seharusnya dalam
penegakan asas keseimbangan pelaku usaha dan konsumen dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Agung yang
telah keluar dan berkekuatan hukum tetap. Metode penelitian yang digunakan adalah penilitan yang bersifat
yuridis normatif dengan menggunakan data primer berupa wawancara dengan narasumber dan penggunaan data-
data sekunder, antara lain peraturan perundang-undangan dan buku-buku. Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa putusan Mahkamah Agung yang menguatkan putusan BPSK tersebut terdapat berbagai
ketidak cermatan dalam pengambilan putusannya dimana banyak hak-hak pelaku usaha yang disimpangi.
Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Penerapan Asas Itikad Baik, Keseimbangan Pelaku Usaha, Tanggung
Jawab Produk, Cacat Tersembunyi.
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
Abstract
This Mini Thesis aims for understanding the implementation of Consumer Protection Law in relation
with Balancing the position of Entrepreneur and Consumer on principle of good faith and the honesty to do its
liability, to know how the form of entrepreneur liability on the consumer loss which caused by product that has a
hidden defect and to find the best solution on entrepreneur liability to enforce the principle of balanced position
in associated with Supreme Court which has come out and legally binding. Research method has been used for
this mini-thesis is normative juridicial by using primary data which is informant interview and secondary data,
such as legislations and books. The conclusion based on the research that the Supreme Court verdict which
reinforce the BPSK verdict has lack of thorough in the decision making which result of many entrepreneur right
ignored. On this matter should the entrepreneur and consumer aware against the right and duty which has been
asigned by the agreement beetween them and the law.
Keyword : Consumer Protection Law, Principle of Good Faith, Balancing the Entrepreneur Position,
Product Liability, Hidden Defect.
Pendahuluan
Konsumen pada era sekarang ini cenderung membeli produk sesuai dengan gaya hidup
yang biasanya berada di atas kemampuan daya beli konsumen. Perilaku tersebut mendasarkan
pada pertimbangan yang tidak baik, seperti :
1. Membeli barang hanya tertarik dengan iklannya;
2. Tertarik membeli barang hanya karena mereknya yang terkenal;
3. Membeli barang hanya karena obral atau untuk memperoleh bonus;
4. Hanya untuk pamer atau gengsi, bukan karena kebutuhan.
Kebutuhan tersebut tidak lagi hanya sebatas pada pada kebutuhan pokok seperti
sandang, pangan, dan papan, tetapi semakin berkembang menjadi salah satunya kebutuhan
akan sarana transportasi. Hanya saja dalam kehidupan di kota metropolitan seperti di ibukota
Jakarta, penggunaan kendaraan umum menjadi tidak efektif karena layanan tersebut dirasa
belum cukup memadai sehingga, Konsumen cenderung memiliki kendaraan pribadi sebagai
sarana transportasi utama, adapun, kepemilikan kendaraan pribadi tersebut digunakan oleh
Konsumen untuk meningkatkan rasa gengsi dengan membeli kendaraan pribadi merek
ternama, hal inilah yang mendasari pola perilaku konsumen yang irasional dalam pemilihan
akan barang atau produk tersebut, sehingga kemampuan finansial konsumen tidak memenuhi
kemampuan untuk membelinya.
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
Dengan pembiayaan secara kredit melalui Bank, dengan memberikan kemudahan
seperti cicilan atau kredit ringan, tanpa uang muka, biaya administrasi ringan sampai bunga
sampai ke 0 persen, kemudahan kepemilikan mobil ini biasanya memakai instrument yang
dinamakan perjanjian pembiayaan (leasing) dengan jaminan Fidusia pada kendaraan yang di
perjualbelikan. Dengan kemudahan ini Konsumen semakin terburu-buru untuk mendapatkan
produk yang diinginkan tanpa mempertimbangkan latar belakang untuk memiliki produk yang
dijual tersebut.
Apabila terdapat suatu sengketa antara Konsumen dengan Pelaku Usaha maka
penyelesaiannya dapat melalui BPSK sebagai jalan pertama baik melalui mediasi, konsiliasi
ataupun arbitrase. Dengan adanya BPSK ini membuat Konsumen semakin lebih mudah dalam
menyelesaikan sengketanya hal ini juga sesuai dengan tujuan pembuatan UUPK yang ingin
menyeimbangkan kedudukan Konsumen dengan Pelaku Usaha. Salah satu problem yang
dihadapi adalah adanya kemungkinan konsumen-konsumen yang tidak beritikad baik untuk
menggunakaan hak nya untuk menuntut pelaku usaha yang beritikad baik dan jujur, juga
dalam kenyataannya beberapa konsumen menggunakan haknya dalam menuntut pelaku usaha
yang beritikad baik maupun jujur dengan sistem acara yang sudah ada saat ini. Adapun BPSK
pada prakteknya hampir kemungkinan besar memenangkan Konsumen terlepas dari kesalahan
yang dilakukan oleh Pelaku Usaha.
Dalam Hukum Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa keseimbangan
perlindungan konsumen dapat dicapai dengan meningkatkan perlindungan terhadap
konsumen, karena posisi produsen yang selama ini lebih kuat daripada konsumen. Asas
tersebut bukan berarti bahwa Hukum Perlindungan Konsumen hanya melindungi kepentingan
konsumen semata, melainkan tujuannya yang hendak dicapai yaitu menyeimbangkan
kedudukan konsumen dengan produsen. Produsen atau yang lebih dikenal sebagai pelaku
usaha selama ini sering dianggap sebagai pihak yang licik dengan mengeruk keuntungan
sebanyak-banyaknya terhadap produk yang dijualnya, padahal, tidak jarang juga ditemukan
pelaku usaha yang menganut asas beritikad baik maupun jujur terhadap klaim atau tuntutan
yang diajukan oleh Konsumen. Setiap produk yang ditawarkan atau dijual kepada konsumen
pada dasarnya tidak semuanya sempurna, hal ini menuntut pelaku usaha untuk lebih hati-hati
dalam memilih produk yang dijual dan ditawarkannya (asas kehati-hatian).
Pada praktek jual beli kendaraan bermotor sering kali ditemukan cacat pada kendaraan
bermotor tersebut, terkadang cacat tersebut tidak terlihat atau tidak diketahui oleh pembeli
atau bahkan oleh pelaku usaha itu sendiri. Hal yang merugikan konsumen tersebut dikenal
sebagai cacat tersembunyi. Perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk yang
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
memiliki cacat tersembunyi telah diatur dalam KUHPerdata dan diatur secara khusus dalam
UUPK, dimana mewajibkan pelaku usaha untuk mengganti kerugian konsumen akibat
menggunakan barang atau produk tersebut. Pelaku usaha yang mengetahui akan adanya cacat
tersembunyi tersebut namun tidak memberitahu kepada konsumen dalam KUHPerdata masuk
dalam unsur Pasal 1365 tentang Perbuatan Melawan Hukum, juga terhadap pelaku usaha yang
lalai.
Kondisi yang demikian, terkadang menciptakan peluang bagi konsumen untuk
menggunakan hak menuntutnya kepada pelaku usaha sehingga pelaku usaha dapat mengalami
kerugian. Oleh karena itu, undang-undang perlindungan konsumen dimaksud menjadi
landasan hukum yang kuat bagi pelaku usaha maupun konsumen untuk memperkuat
kedudukannya di dalam transaksi bisnis atau jual beli di era modern saat ini.
Adapun, dalam putusan Mahkamah Agung No. 265 K/Pdt.Sus/BPSK/2013 yang
menguatkan Putusan majelis Arbiter di BPSK, telah bersifat tidak adil dan kurang berimbang
dengan tidak memberikan suatu kesempatan bagi Pelaku Usaha untuk melakukan pembelaan
dan juga membatalkan akta fidusia antara Konsumen dengan Bank, dimana merupakan suatu
ketidakwajaran karena Bank merupakan pihak ketiga di luar upaya hukum Arbitrase tersebut.
Bank berdasarkan asas itikad baik bukanlah merupakan suatu pihak dalam sengketa antara
konsumen dengan Pelaku Usaha.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka terdapat tiga hal yang menjadi permasalahan.
Pertama adalah Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen terhadap kendaraan bermotor
yang diketahui memiliki cacat tersembunyi apabila dikaitkan dengan KUHPerdata dan
UUPK, Kedua adalah Bagaimana Hukum Perlindungan Konsumen dalam penerapan product
liability dan strict liability sebagai tanggung jawab pelaku usaha dalam produk yang memiliki
cacat tersembunyi dengan memperhatikan itikad baik pelaku usaha terhadap konsumen, dan
ketiga adalah Bagaimana seharusnya Hukum Perlindungan Konsumen mengatur mengenai
Putusan yang dijatuhkan oleh hakim pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 265 K/Pdt.Sus-
BPSK/2013 dengan mempertimbangkan itikad baik pelaku usaha dalam menyeimbangkan
kedudukan pelaku usaha dengan konsumen.
Tinjauan Teoritis
Terhadap tinjauan yuridis Putusan Mahkamah Agung No. 265 K/Pdt.Sus/BPSK/2013,
menggunakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan konsumen serta hukum
perdata yaitu:
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
1. KUHPerdata
Berdasarkan Pasal 1365 diatur mengenai Perbuatan Melawan Hukum dan Pasal 1507
KUHPerdata tentang Penilaian terhadap Cacat Tersembunyi.
2. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 6 huruf c yang mengatur mengenai penerapan asas
keseimbangan Pelaku Usaha dengan Konsumen serta Pasal 25 ayat (2) mengatur
mengenai penerapan asas itikad baik bagi Pelaku usaha yang telah melakukan
kewajiban purna jualnya, juga Pasal 19 ayat (2) mengenai bentuk ganti rugi Pelaku
Usaha kepada Konsumen dan Pasal 21 mengenai tanggung jawab Importir.
3. Undang-undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
Berdasarkan Pasal 46 dan Pasal 45 yang mengatur mengenai tanggung jawab Importir
yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap barang yang diimpor.
4. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi
Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) bahwa segala pengakuan ataupun bukti-
bukti dalam upaya hukum mediasi tidak boleh digunakan di upaya hukum selanjutnya.
5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001
tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Berdasarkan Pasal 4, menyebutkan bahwa upaya hukum Mediasi, Konsiliasi maupun
Arbitrase merupakan upaya hukum Terpisah bukan suatu tingkatan atau berjenjang,
juga pada Pasal 1 angka 10 dan 11 disebutkan pengertian Mediasi dan Arbitrase
bahwa proses penyelesaian sengketa konsumen tersebut diserahkan sepenuhnya
kepada para pihak yang tunduk, dan untuk Arbitrase kepada BPSK.
Metode Penelitian
Metode Penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
yuridis normatif, yaitu penelitian yang meneliti hukum sebagai norma positif dalam sistem
perundang-undangan. Penelitian ini bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran, atau
lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai adanya hubungan hukum positif serta
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.1 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan melakukan wawancara
1Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Cet. 7.
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 13.
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
terhadap narasumber yang berhubungan dengan putusan yang diteliti yakni perumus undang-
undang Perlindungan Konsumen Bapak Az Nasution,Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) dan Kuasa Hukum PT. Maxindo Internasional Nusantara Indah sebagai
Pelaku Usaha. Yang mendasari diperlukannya wawancara dengan pihak-pihak tersebut
dikarenakan perlunya suatu dasar pertimbangan secara yuridis dan filosofis terhadap analisa
putusan BPSK yang dijatuhkan sehingga dapat mengurangi keseimbangan antara Pelaku
Usaha dengan Konsumen juga merugikan Bank sebagai pihak ketiga diluar perjanjian jual
beli Konsumen dengan Pelaku Usaha. Selanjutnya untuk data sekunder, Penulis
mengumpulkan dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier,
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup ketentuan perundang-undangan
yang berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat.2 Bahan hukum sekunder adalah bahan
hukum yang diperoleh dari penelusuran buku-buku dan artikel-artikel yang berkaitan dengan
penulisan skripsi ini, yang memberikan penjelasan yang mendalam mengenai bahan hukum
primer.3 Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.4
Hasil Penelitian
Hasil penelitian dari skripsi ini adalah berupa perlindungan konsumen terhadap
penerapan asas itikad baik dan keseimbangan antara pelaku usaha dengan konsumen ditinjau
dari undang-undang di Indonesia yang berkaitan dengan konsumen. Terdapat juga peraturan
yang berkaitan dengan Perbankan sebagai lembaga pemberi kredit di luar perjanjian jual beli
konsumen dengan pelaku usaha, serta proses hukum acara.
Pembahasan
Putusan Mahkamah Agung yang dibacakan pada hari Rabu, tanggal 28
Agustus 2013 yang pada intinya menguatkan pendapat pada persidangan Arbitrase dan tingkat
kasasi sebelumnya serta menolak permohonan kasasi oleh PT. MINI, dimana menurut
2Ibid.., hal. 12.
3Ibid.
4Ibid.
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
pendapat saya hal ini dianggap kurang tepat mengingat putusan pada proses Arbitrase ini
kurang cermat.
Terhadap putusan Arbitrase yang dijatuhkan pada tanggal 18 September 2012 yang pada
intinya berisi :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat;
2. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum;
3. Menyatakan Tergugat sebagai Penjual yang tidak beritikad baik;
4. Menghukum Tergugat dengan mengganti seluruh kerugian Penggugat :
5. Pengembalian uang muka/DP sebesar Rp. 164.234.000,-
6. Pengembalian pemesanan kaca film Rp. 2.000.000,-
7. Pengembalian kekurangan pengurusan STNK Rp. 6.320.000,-
8. Penggantian kerugian berupa cicilan 3 (tiga) bulan Rp. 45.297.120,-
Berjalan ke OCBC NISP sebesar (3x Rp. 15.099.040)
Total Keseluruhan Rp. 217.851.120,-
Dengan pengembalian uang sejumlah tersebut penggugat wajib mengembalikan unit
kepada yang berhak;
9. Menyatakan unit MINI COOPER yang menjadi obyek jual beli dalam perkara ini
mengandung cacat tersembunyi;
10. Menyatakan Surat Perjanjian No. 02540 PKA 001543 dan Akte Jaminan Fidusia No.
380/AJF/AH/2012 keduanya tertanggal 21 Mei 2012 tidak mengikat bagi Penggugat.
Pada proses upaya hukum di luar pengadilan yang telah diamanatkan oleh UU
Perlindungan Konsumen yaitu BPSK, para pihak telah menempuh proses mediasi sebelumnya
dimana pada proses mediasi segala fakta telah disampaikan baik dari Konsumen maupun PT.
MINI. Proses mediasi tersebut pun ternyata gagal sehingga BPSK menyarankan agar para
pihak menempuh proses Arbitrase, namun sebagai catatan bahwa dalam Pasal 52 UUPK
huruf a yang berbunyi :
“Tugas dan wewenang BPSK meliputi :
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen
dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;”
Lebih lanjut dalam Kepmerindag 350 Pasal 4 yang berbunyi sebagai berikut :
“(1) Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui cara
konsiliasi atau mediasi atau arbitrase sebagaimana dimaksud dalam
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
pasal 3 huruf a, dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak
yang bersangkutan.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bukan merupakan proses penyelesaian sengketa konsumen secara
berjenjang.”
Berdasarkan kedua pasal diatas dapat diketahui bahwa kedua proses mediasi maupun
arbitrase haruslah dikatakan sebagai kedua upaya hukum yang terpisah, dimana para pihak
haruslah sepakat untuk menempuh upaya hukum tersebut, sehingga apabila terjadi kegagalan
dalam proses mediasi bukan berarti BPSK menyarakan para pihak akan berlanjut kepada
proses konsiliasi ataupun arbitrase.
Selanjutnya, dalam Perma Mediasi No. 1 Tahun 2008, disebutkan bahwa mediasi
merupakan proses perundingan yang tidak bersifat adjudikatif, mediator merupakan pihak
yang netral dan membantu para pihak dalam proses perundingan untuk mencari cara
penyelesaian sengketa tanpa adanya suatu cara memutus atau memaksakan sebuah
penyelesaian, sehingga pernyataan dan pengakuan para pihak tidak dapat digunakan sebagai
bukti proses perkara yang bersangkutan, juga catatan mediator haruslah dihapuskan apabila
para pihak gagal mencapai kesepakatan dalam mediasi.
Dalam kenyataannya, pada proses arbitrase PT. MINI hanya dipanggil ke BPSK
setelah proses Mediasi hanya dua kali saja, yaitu pada tanggal 19 Juli 2012 untuk
menyarankan Arbitrase dan melaksanakan sidang pemeriksaan pada saat itu juga, serta pada
tanggal 17 September 2012 dengan langsung dibacakannya putusan. Berdasarkan fakta inilah
dapat diketahui bahwa majelis hakim BPSK tidak memberikan kesempatan bagi PT. MINI
untuk mengajukan pembelaan, dimana majelis BPSK memanfaatkan catatan persidangan
mediasi yang seharusnya tidak boleh digunakan dalam upaya hukum lainnya.
Atas fakta tersebut, majelis BPSK telah melanggar salah satu asas dalam Hukum
Perlindungan Konsumen, yakni asas keadilan dan keseimbangan antara pelaku usaha dengan
konsumen, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 6 huruf c:
“Hak Pelaku usaha adalah :
a. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya
didalam penyelesaian sengketa konsumen.”
Selain itu, juga disebutkan dalam Pasal 2 UUPK penjelasan yang
berbunyi :
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
“Dimana baik konsumen dan pelaku usaha
berkesempatan untuk memperoleh haknya dan
melaksankan kewajibannya secara adil”
Berdasarkan kedua pasal tersebut maka UUPK telah mengamanatkan agar kedudukan
pelaku usaha dengan konsumen seimbang, tidak meninggikan salah satu pihak dalam
berpekara, walaupun nama dari undang-undang ini terkesan hanya melindungi konsumen saja
tetapi undang-undang ini mengamanatkan keseimbangan bagi kedua belah pihak dalam
berpekara.
Dengan disimpanginya pemeriksaan dalam proses arbitrase oleh majelis BPSK, maka
tidak memberikan kesempatan bagi PT. MINI untuk melakukan pembelaan, jika majelis
BPSK pada saat itu memberikan kesempatan bagi PT. MINI untuk hadir proses pemeriksaan
dalam persidangan arbitrase, maka akan diketahui berbagai fakta-fakta yang ada.
Cacat tersembunyi yang terdapat dalam unit mobil tersebut hanya dinilai dari sudut
pandang konsumen saja, tidak melihat dari sisi otomotif atau kegunaannya, padahal dalam
Pasal 1507 KUHPerdata disebutkan bahwa cacat tersembunyi harus dinilai oleh orang
memiliki kualifikasi tersebut dan menjadi dasar pertimbangan hakim untuk memutuskan,
adapun majelis BPSK tidak memberikan kesempatan pemeriksaan dan pembelaan bagi pelaku
usaha sehingga penilaian adanya cacat tersembunyi tidak lah berdasarkan pasal 1507
KUHPerdata, melainkan berdasarkan keterangan dan catatan yang terdapat dalam proses
Mediasi saja maupun keterangan konsumen.
Terhadap tuduhan adanya itikad tidak baik dari PT. MINI masih merupakan pro dan
kontra, karena PT. MINI telah beritikad baik untuk melakukan kewajibannya dalam
menangani keluhan konsumen, seperti memberikan jawaban yang responsif kepada konsumen
dengan email yang dikirimkan pada tanggal 24 Mei dan 25 Mei 2012, yang berisikan
penjelasan mengenai problem yang dihadapi oleh konsumen serta dengan memberikan
pelayanan unit purna jual secara langsung dengan standar yang berlaku pada prinsipalnya
yaitu Grup BMW walaupun menurut keterangan konsumen prosedur pengembalian unit mobil
yang diperbaiki tersebut tidak sesuai standar yang ada yaitu dikembalikan bukan di tempat
yang semestinya, namun PT. MINI dalam proses mediasi menawarkan untuk mengganti unit
yang serupa namun konsumen tetap bersikeras untuk meminta pengembalian uang ganti
kerugian.
Dalam penilaian unsur melawan hukum pasal 1365 KUHPerdata, majelis arbiter tidak
menguraikan unsurnya secara komprehensif dan detail sehingga putusan yang menyatakan
PT. MINI telah melakukan perbutan melawan hukum terkesan tidak adil, maka dari itu unsur-
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
unsur dari Pasal 1365 KUHPerdata akan diuraikan lebih lanjut yang terdiri sebagai berikut
dan langsung diuraikan pula berdasarkan fakta yang ada :
1. Adanya Perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan ini baik yang bersifat positif
maupun yang bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat,
mungkin maksud dari majelis hakim disini adalah tidak melakukan pemeriksaan yang
menyeluruh terhadap unit mobil yang dijual, namun pada faktanya PT. MINI bersama
Konsumen telah sama-sama melakukan pemeriksaan terhadap unit mobil yang dijual dan
juga melakukan test drive pada unit yang dijual tersebut, dimana pada akhirnya
konsumen menyapakati untuk membeli unit mobil yang telah diperiksa secara bersama
tersebut. Hal ini juga merupakan suatu keanehan bagi Bank mengingat kerugian yang
diderita oleh Bank berdasarkan adanya putusan majelis arbiter, dalam putusan tersebut
hanya penjelasan mengenai adanya perjanjian kredit dengan Konsumen saja.
2. Perbuatan tersebut melanggar hukum, salah satu unsur dari melanggar hukum adalah
bertentangan dengan hak subyektif orang lain dimana mungkin menjadi dasar
pertimbangan hakim bahwa konsumen merasa dirugikan dengan perbuatan PT. MINI
yang lalai dengan ditemukan adanya cacat tersembunyi tersebut. Namun, dalam kasus ini
tidak ada suatu penjelasan apapun bagi Bank apakah melanggar hukum terhadap
pemberian kredit kepada konsumen.
3. Perbuatan tersebut membawa kerugian bagi penggugat, hal ini dapat dilihat dari tuntutan
yang diajukan oleh konsumen, namun kerugian tersebut tidaklah membawa kerugian fisik
dan moral secara signifikan yang ditemukan dalam unit mobil yang dijual tersebut
sehingga seharusnya majelis arbiter atau hakim mempertimbangkan unsur kerugian
tersebut sampai sejauh mana dalam menjatuhkan putusan, dalam putusan tersebut juga
tidak ada perbuatan yang membawa kerugian dari Bank, justru pemberian kredit tersebut
membuat Konsumen dapat memperoleh produk yang diinginkannya.
4. Adanya Kesalahan, mungkin yang dimaksud majelis arbiter disini adalah kelalaian
pengecekan oleh PT. MINI, tetapi tidak ada kesalahan oleh Bank yang seharusnya
dijelaskan dalam putusan tersebut.
5. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian,
untuk membuktikan adanya unsur kaulitas maka doktrin yang digunakan adalah teori
Von Kriess yaitu teori Adequat, dimana yang dilihat adalah sebab yang menimbulkan
akibat yang layak, apakah penilaian sebab yang paling layak tersebut adalah dari
cacatnya produk yang dibuat oleh produsen atau penjualan yang dilakukan oleh PT.
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
MINI sebagai agen, yang pasti Bank bukanlah sebab kerugian yang dialami oleh
Konsumen.
Tidak disebutkannya unsur Perbuatan Melawan Hukum dalam putusan
arbitrase tersebut membuat secara jelas putusan arbitrase ini membingungkan bagi
konsumen, terlebih bagi PT. MINI dan juga Bank yang dirasakan adanya
ketidakadilan dalam jatuhnya putusan ini, seharusnya dengan dituliskannya uraian
yang pasti mengenai unsur Perbuatan Melawan Hukum maka dapat menjadi suatu
dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan ganti rugi.
Terhadap putusan yang dijatuhkan dan juga mengenai ganti rugi tersebut dari
Sidang Arbitrase, terdapat suatu keanehan yaitu :
(1) Majelis Arbiter tidak mempertimbangkan adanya itikad baik dari PT. MINI
dalam menjalankan kewajibannya dan juga itikad baik dari PT. OCBC
NISP dalam memberikan kredit.
(2) Majelis Arbiter hanya melihat keluhan-keluhan konsumen saja tidak
memperhatikan dari sudut pandang pelaku usaha ataupun ahli otomotif
terhadap penilaian cacat tersembunyi yang berpengaruh pada penilaian
ganti kerugian.
(3) Majelis Arbiter tidak menegakkan asas keadilan dan keseimbangan sesuai
yang diamanatkan dalam UUPK, dimana dapat dilihat dalam fakta yang
ada bahwa majelis arbiter tidak memberikan suatu kesempatan bagi PT.
MINI untuk melakukan pembelaan dalam sidang pemeriksaan, majelis
arbiter hanya menggunakan cacatan mediasi saja dalam menguraikan fakta-
fakta yang ada.
(4) Hakim melampaui kewenangan dengan membatalkan perjanjian fidusia
antara konsumen dengan krediturnya, dimana seharusnya dalam Pasal 1
angka 1 undang-undang Arbitrase, hanya pihak yang telah sepakat untuk
tunduk pada arbitrase yang dapat dikenakan putusan arbitrase, sehingga
kreditur yaitu OCBC NISP tidaklah terikat dengan putusan arbitrase ini,
bahkan dengan adanya putusan yang membatalkan perjanjian fidusia ini
membawa kerugian kepada pihak diluar Arbitrase.
Kesimpulan
Dari pembahasan bab sebelumnya mengenai tinjauan yuridis putusan Mahkamah
Agung 265 K/Pdt-Sus/BPSK/2013 mengenai penyimpangan dari asas keadilan dan
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
keseimbangan antara pelaku usaha dengan konsumen sesuai yang diamanatkan oleh Undang-
undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dapat ditarik berbagai
kesimpulan yang akan disebutkan sesuai dengan poin-poin berikut ini :
1. Penerapan product liability atau tanggung jawab produk dalam Hukum
Perlindungan Konsumen tidak terlepas dalam Pelaku Usaha yang membuat produk
tersebut atau yang disebut sebagai Produsen, juga berdasarkan pasal 21 ayat (1) UU
Perlindungan Konsumen bahwa importir barang yang merupakan agen atau
perwakilan dari produsen luar negeri tidaklah bertanggung jawab terhadap barang
yang diimpor. Hal ini menandakan adanya pembatasan tanggung jawab bagi Pelaku
Usaha lain atau Agen dalam kasus ini, serta dalam perdagangan produk yang
diedarkan atau dipasarkan tersebut tidak mengalami perubahan dari Agen tersebut.
Namun, dikarenakan menuntut Pelaku Usaha diluar negeri sangat memberatkan
konsumen maka klaim ganti rugi untuk menuntut melalui perwakilannya saja.
Selanjutnya, kerugian yang dialami oleh agennya tersebut dapat diselesaikan dengan
mekanisme sendiri antara Prinsipalnya dengan Agensinya, mengingat Prinsipalnya
yaitu BMW Group merupakan Merk Terkenal.
Terhadap penerapan strict liability tidak diatur dalam Undang-undang
Perlindungan Konsumen kita, namun mengatur mengenai Pembuktian Terbalik
dimana sesuai pasal 28 Undang-undang Perlindungan Konsumen mewajibkan beban
pembuktian kepada Pelaku Usaha terhadap ada tidaknya unsur Kesalahan, yang berarti
bahwa Hakim atau Majelis Arbiter, haruslah mendengarkan terlebih dahulu
pembuktian unsur kesalahan dari Pelaku Usaha sebelum menjatuhkan putusan. Hakim
ataupun majelis arbiter seharusnya mempertimbangkan adanya itikad baik pelaku
usaha, dimana berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen pada pasal 25
ayat (2) menyebutkan apabila Pelaku Usaha telah menyediakan fasilitas perbaikan
dalam kasus ini adalah Servis Reparasi sesuai dengan standar yang telah diperjanjikan
ataupun telah memenuhi standar garansi dari apa yang diperjanjikan kepada konsumen
maka seharusnya Pelaku Usaha terlepas dari tuntutan ganti rugi yang dimintakan oleh
Konsumen kepada Pelaku Usaha.
2. Terhadap Perjanjian Kredit antara Bank dengan Konsumen, tidaklah dapat
dibatalkan begitu saja karena putusan arbitrase hanya berlaku bagi para pihak yang
sama-sama menundukan diri dari awal proses Arbitrase, sehingga majelis Arbiter tidak
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
dapat secara sepihak membatalkan perjanjian kredit konsumen dengan Bank.
Terhadap Unit mobil yang dikembalikan kepada PT. MINI juga merupakan suatu
tindakan yang kurang tepat, karena mobil tersebut belum secara lunas dibayarkan oleh
Konsumen dan mobil tersebut masih dijaminkan secara fidusia, sehingga terhadap
kesalahan yang dilakukan oleh PT. MINI seharusnya tidaklah mengikat kepada Bank
sebagai pihak ketiga diluar perjanjian jual beli unit mobil tersebut, Bank hanyalah
sebagai sarana bagi konsumen untuk mempermudah kepemilikan mobil tersebut.
3. Terhadap putusan hakim pada tingkat banding maupun kasasi yang dijatuhkan
kepada pelaku usaha dapat diketahui bahwa putusan tersebut kurang teliti, bahkan
hakim dalam tingkat banding hanya melihat dari judex juris nya saja tidak
mempertimbangkan fakta-fakta yang telah dikemukan oleh Pelaku Usaha. Bahwa
putusan yang telah dijatuhkan oleh majelis arbiter BPSK dianggap sudah tepat dan
benar, padahal dalam pertimbangan majelis arbiter BPSK tersebut terdapat
ketidakcermatan dalam menjatuhkan putusan tersebut.
Poin ketidakcermatan tersebut akan diurai dalam poin-poin berikut :
a. Majelis Arbiter tidak mempertimbangkan adanya itikad baik dari PT. MINI dalam
menjalankan kewajibannya bahkan itikad baik dari PT. OCBC NISP dalam
memberikan Kredit.
b. Majelis Arbiter tidak menjalankan asas Pembuktian Terbalik terhadap tidak
adanya sidang pemeriksaan bagi kesalahan Pelaku Usaha tersebut bagaimana
majelis arbiter dapat memutus putusan ganti rugi yang seharusnya apabila fakta-
fakta yang ada tidak dikemukan.
c. Majelis Arbiter tidak menegakkan asas keadilan dan keseimbangan sesuai yang
diamanatkan dalam UUPK dengan tidak melakukan sidang pemeriksaan.
d. Hakim melampaui kewenangan dengan membatalkan perjanjian fidusia antara
konsumen dengan krediturnya, sehingga merugikan PT. OCBC NISP.
Saran
Bagi Hakim maupun Majelis Arbiter disarankan sebagai berikut :
Hakim maupun Majelis Arbiter seharusnya mempertimbangkan adanya unsur
keseimbangan bagi pelaku usaha dengan konsumen terlepas dari adanya kesalahan yang telah
dilakukannya, dimana dengan tidak dikenalnya strict liability dalam UUPK Pelaku Usaha
seharusnya membuktikan adanya kesalahan terlebih dahulu dengan beban pembuktian
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
terbalik. Bahwa bagi hakim dalam tingkat banding maupun kasasi lebih cermat dan teliti,
tidak selamanya apa yang telah diputuskan oleh majelis arbiter BPSK itu selalu benar, dimana
pada kenyataannya hampir 90% kemungkinan putusan majelis arbiter selalu dimenangkan
dalam tingkat banding dan kasasi5, tetapi pada kenyataannya pada kasus kali ini banyak
kekeliruan yang diputuskan oleh majelis Arbiter terutama dengan merugikan pihak ketiga
seperti Bank yang memberikan kredit dengan itikad baik.
Bagi Konsumen disarankan sebagai berikut :
Konsumen seharusnya tidaklah mengambil keuntungan dari adanya kerugian yang
dialaminya terlebih lagi membesar-besarkan kerugian yang seharusnya masih dapat diperbaiki
oleh Pelaku Usaha. Konsumen juga seharusnya lebih teliti dalam memilih unit yang akan
dibelinya mengingat konsumen telah diberikan waktu untuk mencoba kendaraan yang
dibelinya, sehingga mencegah adanya kerugian terhadap unit yang telah dibelinya dan
Konsumen kedepannya seharusnya membeli produk sesuai kemampuan finansialnya, tidak
sepenuhnya berharap kepada pembiayaan kredit.
Bagi Pelaku Usaha disarankan sebagai berikut :
Pelaku Usaha seharusnya lebih teliti dalam memeriksa produk yang akan
diedarkannya, sehingga pada prakteknya tidak lagi terjadi tuntutan konsumen dikemudian
hari. Terhadap gugatan ganti rugi ini, pelaku usaha dalam hal ini PT. MINI sebagai Agen atau
perwakilan dapat meminta suatu retur atas kerugian unit yang dijualnya kepada prinsipalnya,
hal ini juga seharusnya ada dalam perjanjian antara Prinsipal dengan Agen sehingga atas
akibat hukum yang diderita oleh Agen seharusnya menjadi tanggung jawab bagi Prinsipalnya
untuk menjaga nama baik Prinsipalnya yaitu BMW Group.
Bagi Bank disarankan sebagai berikut :
Menuntut PT. MINI selaku Pelaku Usaha terkait kerugian yang diderita oleh Bank
karena dengan perjanjian leasing, bank membiayai sepenuhnya unit mobil yang dibeli
konsumen dan membebankan konsumen dengan perjanjian pembiayaan kredit tersebut.
Namun, dengan adanya putusan tersebut membuat Bank rugi terlebih Majelis Arbiter berlaku
diluar kewenangannya.
5 Wawancara dengan Pak Bambang Sumantri Majelis Arbiter BPSK, tanggal 18 November 2014 Pukul
15.00 WIB.
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
Daftar Referensi
Buku:
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum, Depok:Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2003.
Nasution, AZ. (2002). Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Cet. 2. Jakarta:
Diadit Media.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo (2004). Hukum Perlindungan Konsumen, Edisi 1, Cet. 2.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Dokumen Elektronik:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30272/3/Chapter%2011.pdf diakses pada
tanggal 8 September 2014.
www.insw.go.id/images/public/informasi_registrasi_importir.pdf, diakses pada tanggal 23
November 2014.
www.out-law.com.com/topics/commercial/supply-of-goods-and-services/product-liability-
under-the-consumer-protection-act/ diakses pada tanggal 10 Desember 2014.
Artikel Jurnal
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Laporan Akhir Penelitian
Perlindungan Terhadap Konsumen atas Kelalaian Produsen, Jakarta: Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1992.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta:Badan
Perlindungan Konsumen Nasional, 2005, cet. 2.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8 Tahun 1999 (1999).
Undang-Undang tentang Perdagangan. UU Nomor 7 Tahun 2014 (2014).
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, No.
1 Tahun 2008.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri
Perdagangan Nomor Kep-122/MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/SK/2/1974 dan Nomor
30/Kpb/I/74 tentang Perizinan Usaha Leasing.
Penegakan asas itikad baik dan ..., Naufaldi Tri Pambudi, FH UI, 2014