Pendidikan Tauhid Dalam Surat Al-Fatihah TafsirBuya Hamka
-
Upload
herlina-dedy-listiani -
Category
Documents
-
view
690 -
download
18
Transcript of Pendidikan Tauhid Dalam Surat Al-Fatihah TafsirBuya Hamka
Pendidikan Tauhid menurut
pemikiran Buya Hamka
(Dalam Q.S. Al-Fatihah
melalui buku tafsir Al-Azhar)
Oleh: Herlina Dedy Listiani 31801200459 UNIVERSITAS ISLAM SULTANG AGUNG
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tauhid adalah induk atau pondasi seorang muslim, dimana kualitas ibadah merujuk kepada
kualitas Tauhid. Surat Al-Fatihah juga merupakah Ummul Kitab atau ummul Qur’an yaitu induk
dari Al-Qu’ran, selain itu surat Al-Fatihah juga merupakan rukun shalat itu menunjukan bahwa
intensitas penggunaan surat Al-Fatihah lebih banyak digunakan dibandingkan dengan surat-surat
lain dalam Al-Qur’an tetapi walaupun demikian masih banyak dari kita yang hanya sekedar
membaca tanpa memahami kandungannya, surat Al-fatihah memiliki kedudukan yang tinggi
serta kandungan yang dalam.
Oleh Karena itu penulis merasa perlu membuat sebuah tulisan mengenai kajian nilai-nilai
ketauhidaan dalam surat Al-Fatihah yang menggunakan rujukan buku Tafsir Al-Qur’an yang
berjdul Tafsir Al-Azhar. Buku Tafsir Al-Azhar ditulis oleh salah satu pahlawan Indonesia,
seorang sastrawan, ulama, filsuf serta aktivis politik bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah
atau biasa akbar disebut Buya Hamka. Melalui salah satu karya agungnya penulis mencoba
menjadian referensi atau rujukan utama dalam menggali nilai-nilai ketauhidan dalam surat Al-
Fatihah, sehingga penulis berharap dengan tulisan ini selain bisa menjadi referensi untuk
memahami kandungan suratul Fatihah juga mampu mengaplikasikannya sebagai peningkatan
tauhid kita sebagai seorang muslim yang terimplemtasikan dengan meningkatnya kualitas ibadah
kita kepadaNya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yaitu :
1. Apa yang dimaksud dengan Tauhid?
2. Apa kedudukan serta isi tafsiran surat Al-Fatihah menurut buku Tafsir Al-Azhar Buya
Hamka?
3. Apa sajakah nilai-nilai ketauhidan yang terkandung dalam surat Al-Fatihah?
2
4. Apa himkah yang didapat dari mengkaji nilai-nilai ketauhidan dalam surat Al-Fatihah?
1.3 Tujuan
1. Memahami pengertian Tauhid dan urgensinya bagi seorang Muslim
2. Memahami kedudukan serta tafsiran surat Al-Fatihah
3. Mampu mengambil nila-nilai ketauhidan dalam surat Al-Fatihah
4. Mampu mengambil hikmah dari surat Al-Fatihah dan mampu pengaplikasikannya
dikehidupan sehari-hari.
1.4 Kajian Pustaka
1.4.1 Sekilas mengenai Buya Hamka
Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih
dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya,
(lahir di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera
Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981
pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus
ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik. Ia baru dinyatakan
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia setelah dikeluarkannya
Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November
2011.
Hamka merupakan salah satu orang Indonesia yang paling banyak menulis dan
menerbitkan buku. Oleh karenanya ia dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern.
Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal
dari kata abi atau abuya dalam bahasa Arab yang berarti ayahku atau seseorang yang dihormati.
Ayahnya adalah Haji Abdul Karim bin Amrullah, pendiri Sumatera Thawalib di Padang
Panjang. Sementara ibunya adalah Siti Shafiyah Tanjung. Dalam silsilah Minangkabau, ia
berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Pendidikan Tauhid menurut pemikiran Buya Hamka
(Dalam Q.S. Al-Fatihah melalui buku tafsir Al-Azhar)
2.1 Pengertian Tauhid
Secara Etimologis Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah memaparkan bahwa kata “tauhid”,
berasal dari bahasa Arab, kata benda (nomina) yang berasal dari perubahan kata kerja wahhada–
yuwahhidu, yang bermakna ‘menunggalkan sesuatu’. Sedangkan secara Terminologis “tauhid”
bermakna mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan diri-Nya. Kekhususan itu
meliputi perkara rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. (Al-Qaul Al-Mufid, 1:5).
Muhammad bin Abdullah Al-Habdan menjelaskan bahwa tauhid itu hanya akan
terwujud dengan memadukan antara kedua pilar ajaran tauhid, yaitu penolakan (nafi) dan
penetapan (itsbat). “La ilaha” adalah penafian/penolakan, maksudnya: kita menolak segala
sesembahan selain Allah. Sedangkan “illallah” adalah itsbat/penetapan, maksudnya: kita
menetapkan bahwa Allah saja yang berhak disembah.
2.2 Macam-macam Tauhid
Sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Maryam ayat 65, “Robb (yang menguasai) langit
dan bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya, maka sembahlah dia dan teguh hatilah
dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia
(Allah yang patut disembah)?”, Maka Tauhid dibagi menjadi tiga macam, diantaranya :
1. Tauhid Rububbiyah
Allah subhanahu wa ta’ala dalam hal perbuatan-Nya, seperti: mencipta, memberi rezeki,
menghidupkan dan mematikan, mendatangkan bahaya, memberi manfaat, dan perbuatan lain
yang merupakan perbuatan-perbuatan khusus Allah subhanahu wa ta’ala. Seorang muslim
4
haruslah meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak memiliki sekutu dalam rububiyah-
Nya.
Allah pencipta insan dan jagat raya, seluruh benda, zaman, dan waktu. Dia-lah yang
mengatur dan menjaga-Nya, kepada-Nyalah seluruh alam, benda dan yang bernyawa itu akan
kembali. Terciptanya alam ini dari kekuasaan Allah adalah langsung dan mutlak bukanlah
melalui media dan perantara, meng-Esakan Allah yang menciptakan langit dan segala isinya.
Karena siapa pun orangnya dan kepada siapa pun dia menyembah dan mengharapkan
pertolongan selain Allah swt., maka dia itu adalah musyrik.
2. Tauhid Uluhiyah
Mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam jenis-jenis peribadahan yang telah
disyariatkan, seperti: salat, puasa, zakat, haji, doa, nazar, menyembelih, rasa harap, cemas, takut,
dan jenis ibadah lainnya. Mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam hal-hal tersebut
dinamakan “tauhid uluhiyah”.
Tauhid jenis inilah yang dituntut oleh Allah Subhanhu wa Ta’ala dari hamba-hamba-Nya,
karena terhadap tauhid jenis pertama, yaitu tauhid rububiyah, setiap orang (termasuk jin) pun
mengakuinya, sekalipun dia orang musyrik yang menjadi musuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala, yang artinya, “Dan
sungguh, jika kamu bertanya kepada mereka (tentang) siapakah yang menciptakan mereka,
niscaya mereka menjawab, ‘Allah.’ Maka, bagaimana mereka dapat dipalingkan (dari
menyembah Allah)?” (QS. Az-Zukhruf:87)
Juga firman Allah, yang artinya, “Katakanlah, ‘Siapakah yang mempunyai tujuh langit dan
mempunyai ‘arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah,
‘Mengapa kamu tidak bertakwa?’” (QS. Al-Mukminun:86–87)
Masih banyak ayat yang menunjukkan bahwa orang-orang musyrik meyakini tauhid
rububiyah. Akan tetapi, sebenarnya yang dituntut dari mereka adalah mengesakan Allah dalam
hal ibadah. Jika mereka mengikrarkan tauhid rububiyah maka seharusnya mereka juga mengakui
tauhid uluhiyah (ibadah).
5
3. Tauhid asma’ wa shifat
Menetapkan nama-nama dan sifat-sifat untuk Allah subhanahu wa ta’ala, sesuai dengan yang
telah ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya maupun yang telah ditetapkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta meniadakan kekurangan-kekurangan dan aib-aib yang
ditiadakan oleh Allah terhadap diri-Nya, dan segala yang ditiadakan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (terhadap diri Allah).
2.3 Kedudukan Q.S.Al-Fatihah
2.3.1 Surat Al-Fatihah Sebagai Fatihatul Kitab
Al-Fatihah artinya ialah pembukaan. Surat ini pun dinamai Fatihatul-Kitab, yang berarti
pembukaan kitab, karena kitab al-Quran dimulai atau dibuka dengan surat ini, yang mulai ditulis
di dalam Mushhaf, dan yang mulai dibaca ketika tilawatil-Quran, meskipun bukan Surat yang
mula-mula diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Adapun tempat dia diturunkan, pendapat
yang lebih kuat ialah yang menyatakan bahwa Surat ini diturunkan di Makkah. AI-Wahidi
menulis di dalam kitabnya Asbabun-Nuzul dan as-Tsa`labi di dalam tafsirnya riwayat dari Ali
bin AbuThalib, dia berkata bahwa Kitab ini diturunkan di Makkah, dari dalam suatu
perbendaharaan di bawah `Arsy.
Menurut suatu riwayat lagi dari Abu Syaibah di dalam al-Mushhn-naj dan Abu Nu'aim
dan al-Baihaqi di dalam Dala-ilun-Nubuwwah, dan as-Tsa'alabi dan al-Wahidfidari Hadis Amer
bin Syurahbil, bahwa setelah Rasulullah s.a.w. mengeluhkan pengalamannya di dalam gua itu
setelah menerima wahyu pertama, kepada Khadijah, lalu beliau dibawa oleh Khadijah kepada
Waraqah, maka beliau ceriterakan kepadanya, bahwa apabila dia telah memencil seorang diri
didengarnya suara dari belakangnya: "Ya Muhammad, ya Muhammad, ya Muhammad!
Mendengar suara itu akupun lari.' Maka berkatalah Waraqah: "Jangan engkau berbuat begitu,
tetapi jika engkau dengar suara itu, tetap tenanglah engkau, sehingga dapat engkau dengar apa
lanjutan perkataannya itu". Selanjutnya Rasulullah s.a.w. berkata: "Maka datang lagi dia dan
terdengar lagi suara itu: "Ya Muhammad! Katakanlah: Bismillahir-Rahminir-Rahim, AI-
hamdulillahi Rabbil Alamin, hingga sampai kepada Waladh-Dhaalin". Demikian Hadis itu.
6
2.3.2 Surat Al-Fatihah sebagai rukun Shalat
Al-Fatihah ialah surat yang menjadi Rukun atau syarat sahnya Shalat, baik Shalat fardhu
yang lima waktu, ataupun yang sunnat, maka dalam hal ini tidaklah cukup kalau kita hanya
sekedar menafsirkan arti al-Fatihah, melainkan kita perlengkap lagi dengan hukum atau
ketentuan Syariat berkenaan dengan al-Fatihah. Segala bentuk Shalat tidak sah, kalau tidak
membaca al-Fatihah. Diperkuat dalam Hadis-hadis:
Dan hendaklah dibaca pada tiap-tiap rakaat,
DariUbadah bin asShamit, bahwasanya Nabi s.a.w. berkata: "Tidaklah ada sembahyang (tidak sah sembahyang) bagi siapa yang tidak membaca Fatihatil-Kitab." (Dirawikan oleh al-Jamaah).
2.3.3 Surat Al-Fatihah mencakup tiga nilai ketauhidan
Surat Al Fatihah merupakan sebuah surat paling agung di dalam al-Qur’an. Hal itu
berdasarkan hadits Abu Sa’id bin Al Mu’alla yang dikeluarkan oleh Al Bukhari (hadits nomor
4474). Surat ini telah mencakup ketiga macam tauhid: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan
tauhid asma’ wa shifat.
2.4 Kandungan/ Tafisr Q.S. Al-Fatihah berdasarkan Buku tafisr Al-Azhar
Kandungan atau isi tafsiran surat Al-Fatihah berdasarkan Buku tafsir Al-Azhar karya
Buya Hamka ialah sebagai berikut :
2.4.1 Ayat ke-1
“Dengan nama Allah, Yang Maha Murah, Maha Penyayang.”
Artinya, aku memulai pekerjaanku, menyiarkan wahyu Ilahi kepada manusia, di atas nama
Allah itu sendiri, yang telah memerintahkanku untuk menyampaikannya. Inilah contoh teladan
7
yang diberikan kepada kita untuk memulai suatu pekerjaan dengan nama Allah. Nabi
Muhammad s.a.w. diminta menyampaikan wahyu atas nama Allah. Dia, Rasul Allah itu, tidaklah
lebih dari manusia biasa, tetapi ucapan yang keluar dari mulutnya bukanlah semena-mena atas
kehendaknya sendiri, tetapi Allahlah yang memerintahkan. Dari yang mempunyai nama itu dia
mengambil kekuatan.
Dengan nama Allah, Tuhan Yang Maha Murah dan Maha penyayang kepada hambaNya
maka UtusanNya, Muhammad s.a.w. telah menyampaikan seruan ini kepada manusia. Yang
lebih dahulu mempengaruhi jiwa ialah bahwa Allah itu Pemurah dan Penyayang, bukan
Pembenci dan Pendendam, bukan haus kepada darah pengurbanan. Dan contoh yang diberikan
Nabi itu pulalah yang kita ikuti, yaitu memulai segala pekerjaan dengan nama Allah, yang
mempunyai beberapa sifat Yang Mulia, di antaranya ialah Rahman dan Rahim. Maka di dalam
bacaan itu tersimpullah suatu pengharapan atau doa apa saja yang kita kerjakan mendapat kurnia
Rahman dan Rahim dari Tuhan. DimudahkanNya kepada yang baik, dijauhkan dari yang buruk.
Maka tersebutlah di dalam sebuah Hadis Nabi s.a.w. yang dirawikan oleh Abu Daud dari Abu
Hurairah yang berbunyi:
"Setiap pekerjaan, kalau tidak dimulai dengan Bismillah, dengan nama Allah, maka pekerjaan itu
akan percuma jadinya."
2.4.2 Ayat ke-2
“Segala puji-pujian untuk Allah, Pemelihara semesta alam.”
Hamdan, artinya pujian, sanjungan. Di pangkalnya diletakkan AI atau AIif lam, sehingga
bacaannya menjadi Al-hamdu. AI mencakup segala jenis. Dengan sebutan Alhamdu, berarti
bahwa segala bentuk pujian, baik besar ataupun p kecil, atau ucapan terima kasih karena jasa
seseorang, kepada siapapun kita memberikan puji, namun pada hakikatnya, tidaklah seorang juga
yang berhak menerima pujian itu, melainkan Allah: LILLAHI, hanya semata-mata untuk Allah.
8
Untuk semua pemeliharaan, penjagaan, pendidikan dan perlindungan itulah kita diajari
mengucapkan pujian kepadaNya: "Rabbul `Alamin", Tuhan sekalian alam. Kalau kita pertalikan
lagi dengan beberapa penafsiran tentang `alamin tadi, bahwa yang dimaksud ialah makhluk
manusia, dapatlah kita fahami betapa tingginya kedudukan insan, sebagai Khalifah Allah, di
tengah-tengah alam yang luas itu.
Maka di dalam ayat pembukaan ini, kita telah bertemu langsung dengan Tauhid, yang
mempunyai dua faham itu, yaitu Tauhid Uluhiyah pada ucapan Alhamdu Lillahi. Dan Tauhid
Rububiyah pada ucapan Rabbil `Alamin.
Dan sudahlah jelas sekarang bahwa dalam ayat "Segala puji-pujian adalah kepunyaan Allah,
Pemelihara dari sekalian alam" itu telah mengandung dasar Tauhid yang dalam sekali. Tidak ada
yang lain yang patut dipuji, melainkan DIA.
2.4.3 Ayat ke-3
Maha Murah, Maha Penyayang.
Atau bisa juga diartikan Yang Pengasih, lagi Penyayang. Ayat ini menyempurnakan maksud
dari ayat yang sebelumnya. Jika Allah sebagai Rabb, sebagai Pemelihara dan Pendidik bagi
seluruh alam tidak lain maksud dan isi pendidikan itu, melainkan karena Kasih-sayangNya
semata dan karena murahNya belaka, bukan dalam memberikan Pemeliharaan dan pendidikan itu
menuntut keuntungan bagi diriNya sendiri. Bukan sebagai suatu Pemerintahan mengadakan
suatu pendidikan "kader" dan latihan pewagai, tetapi karena mengharapkan apabila orang-orang
yang dididik itu telah lepas dari pendidikan, akan dapat dipergunakan menjadi pegawai yang
baik. Pemeliharaan yang Dia berikan adalah pertama karena Ar-Rahman maknanya ialah sifat
Allah Yang Rahman itu telah membekas dan berjalan ke atas hambaNya. Bertambah tinggi
kecerdasan hamba itu, bertambah terasa olehnya betapa ar-Rahman Allah terhadap dirinya, dan
sifat Ar-Rahim ialah sifat yang tetap pada Allah. Maka Ar Rahman ialah setelah sifat itu terpaksa
pada hamba, dan Ar-Rahim ialah pada keadaannya yang tetap dan tidak pernah padam--
9
padamnya pada Tuhan. Dan keduanya itu adalah sama mengandung akan sumber kata yaitu
Rahmat.
Dengan melihat kasih-sayang suami isteri dan ayah terhadap anak, nenek terhadap cucu.
Dengan melihat kasih-sayang di antara binatang, burung-burung dengan berbagai jenisnya,
dapatlah kita mengetahui betapa besarnya Rahman dan Rahim Allah atas makhluk, dan akan
sirnalah rasa benci, dengki dan dendam dari hati kita. Maka bersabdalah Rasulullah s.a.w.:
"Orang-orang yang memiliki rasa Rahim akan dirahmati oleh Tuhan yang Rahman, yang
memberikan berkat dan Maha Tinggi. Sayangilah orang-orang yang di bumi, agar kamu
disayangi pula oleh yang di langit."(Dirawikan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, Termidzi, dan al-
Hakim dari Hadis Abdullah bin Umar).
4.2.4 Ayat ke-4
Yang Mempunyai Hari Pernbalasan.
Apabila kita telah membaca sampai pada ayat ini, timbullah pertanyaan, jika tadi seluruh
jiwa kita telah diliputi oleh rasa Rahmat, pancaran Rahman dan Rahim Tuhan, maka itu harus
dibatasi dengan keinsafan, bahwa betapa pun Rahman dan RahimNya namun Allah juga maha
adil. Rahman dan Rahim tidaklah lengkap kalau tidak disempurnakan dengan adil. Beberapa
diantara manusia yang karena sangat mendalam rasa Rahmat dalam dirinya, dan meresap ke
dalam jiwanya kasih-sayang yang balas berbalas, memberi dan menerima dengan Tuhan, lalu dia
beribadat kepada Tuhan dengan baik. Tetapi ada juga manusia yang tidak menghargai dan tidak
memperdulikan Rahman dan Rahim Tuhan; jiwanya diselimuti oleh rasa benci, dengki dan
khianat. Tidak ada rasa syukur, tidak ada terima kasih. Lebih banyak berbuat keburukan daripada
kebaikan. Sampai dia mati keadaan tetap demikian. Tentu ini pasti rnendapat pembalasan.
10
Maka apabila Ar-Rahman dan Ar-Rahim telah disambungkan dengan Maliki yaumiddin,
barulah seimbang pengabdian dan pemujaan kita kepada Allah. Hidup tidak berhenti di dunia
saja, akan ada hari kemudian yaitu hari pembalasan, hari agama yang sebenarnya. Kita memuji
Allah Pemelihara seluruh alam dan pendidiknya, kita memujiNya karena Rahman dan RahimNya
dan kitapun memujiNya karena buruk dan baik yang kita kerjakan di dunia ini tidak terbuang
percuma, akan tetapi akan diperhitungkan dan dibalas dengan adil di akhirat kelak.
4.2.5 Ayat ke-5
Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkau saja kami memohon
pertolongan.
Kalimat lyyaka, diartikan Engkaulah, atau boleh dilebih dekatkan lagi maknanya dengan
menyebut hanya Engkau sajalah yang kami sembah. Di sini terdapat lyyaka dua kali; hanya
Engkau sajalah yang kami sembah dan hanya Engkau saja tempat kami memohonkan
pertolongan. Kata Na'budu diarti-kan, kami sembah, dan nasta'inu kita artikan tempat kami
memohon pertolongan. Jika ada lagi kata lain dalam bahasa kita yang lebih mendekati maksud
yang terkandung di dalamnya, bolehlah diganti. Sebab dalam hati sendiri pun terasa bahwa arti
itu belum juga tepat danbenar, meskipun sudah mendekati. Kata na'budu berpangkal dari kalimat
ibadat dan nasta'inu berpangkal dari kalimat isti'anah. Begitulah disampaikan oleh Buya Hamka
bahwa tidak mudah dalam melakukan penafisiran atau alih bahasa, terlebih mengalih bahasakan
dari bahasa Arab, bahasa Al-Quranul karim kepada bahasa Indonesia.
Ayat ini menerangkan akan sebuah tujuan. Dengan ayat ini kita - menyatakan pengakuan
bahwa hanya kepadaNya saja kita memohonkan pertolongan; tiada kepada orang
lain. Sebagaimana telah kita tahu pada keterangan di atas, Allah adalah Tuhan Yang Mencipta
dan Memelihara. Dia adalah Rabbun, sebab itu Dia adalah Ilahi. Tidak ada Ilah yang lain,
melainkan Dia. Oleh karena Dia Yang Mencipta dan Memelihara, maka hanya Dia pula yang
patut disembah. Adalah satu hal yang tidak wajar, kalau Dia menjadikan dan memelihara, lalu
kita menyembah kepada yang lain.
11
Oleh sebab itu, ayat ke-5 ini memperkuat lagi ayat yang kedua "Segala puji-pujian bagi
Allah, Pemelihara dari sekalian alam. "Hanya Dia yang patut dipuji, karena hanya Dia sendiri
yang menjadikan dan memelihara alam, tidak bersekutu dengan yang lain. Alhamdu di atas
didahulukan menyebutkan bahwa yang patut menerima pujian hanya Allah, sebab hanya Dia
yang mencipta dan memelihara alam. Sedang pada ayat lyyaka na'budu ini dilebihjelaskan lagi,
hanya kepadaNya dihadapkan sekalian persembahan dan ibadat, sebab hanya Dia sendiri saja,
tidak bersekutu dengan yang lain, yang memelihara alam ini.
Maka mengakui bahwa yang patut disembah sebagai Ilah hanya Allah, dinamai Tauhid
Uluhiyah. Dan mengakui yang patut untuk memohon pertolongan, sebagai Rabbun hanya Allah,
dinamai Tauhid Rububiyah.
Arti yang luas dari ibadat ialah memperhambakan diri dengan penuh keinsafan dan
kerendahan. Dan dipatrikan lagi oleh cinta. Kita mengakui bahwa kita hambaNya, budakNya.
Kita tidak akan pernah ada jika Dia yang menjadikan. Kita beribadat kepadaNya disertai oleh
raja', yaitu pengharapan akan kasih dan sayangNya, cinta yang hakiki, tidak terbagi pada yang
lain. Sehingga jikapun kita cinta kepada yang lain, itu hanyalah karena yang lain merupakan
nikmat dariNya. Misalnya kita mencintai anak dan isteri, harta dan benda. Atau kita mencintai
tanahair tempat kita dilahirkan, ataupun yang lain-lain. Semuanya itu adalah karena nikmat
dariNya. Tidak dapat kita mencintai yang lain langsung, di samping mencintaiNya. Karena jika
ada cinta lain di samping cinta kepadaNya, itulah cinta yang terbagi. Apabila-telah terbagi, itulah
pangkal dari syirik.
2.4.6 Ayat ke-6
Tunjukilah kami jalan yang lurus.
Memohon dan meminta diberikan jalan yang lurus, menurut keterangan beberapa ahli tafsir,
perlengkapan menuju jalan yang lurus, yang dimohonkan kepada Allah itu ialah, pertama al-
Irsyad, artinya agar dianugerahi kecerdakan dan kecerdasan, sehingga dapat membedakan yang
salah dengan yang benar. Kedua at-Taufiq, yaitu bersesuaian hendaknya dengan apa yang di-
12
rencanakan Allah. Ketiga al-Ilham, diberi petunjuk supaya dapat mengatasi sesuatu yang sulit.
Keempat ad-Dilalah, artinya ditunjuk dalil-dalil dan tanda-tanda di mana tempat yang
berbahaya, di mana yang tidak boleh dilalui dan sebagainya.
Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, menurut beliau yang dimaksud dengan
meminta ditunjuki jalan yang lurus, tafsirnya ialah mohon ditunjuki agamaMu yang benar.
Sedangkan menurut beberapa riwayat dari ahli-ahli Hadis, darip Jabir bin Abdullah, yang
dimaksud dengan Shirathal Mustaqim ialah Agama Islam. Dan menurut beberapa riwayat lagi,
Ibnu Mas'ud mentafsirkan bahwa yang dimaksud dengan Shirathal Mustaqim ialah Kitab Allah
(al-Quran).
Maka semua penafsiran diatas dapat disimpulkan menjadi satu Shirathal Mustaqim memang
agama yang benar, dan itulah Agama Islam. Dan sumber petunjuk dalam Islam itu tidak lain
ialah al-Quran, dan semuanya dapat diambil contoh dari p Nabi Muhammad s.a.w. dan para
sahabat.
Dengan ayat ini semakin menunjukan begitu penting memohon kepadaNya, hanya
kepadaNya untuk diberikan jalan yang lurus. Menurut ilmu ukur ruang, garis lurus ialah jarak
yang paling dekat di antara dua titik. Maka di dalam Shirathal Mustaqim yang kita mohonkan
ini, dua titik itu ialah: yang pertama titik kita sebagai hamba, yang kedua titik Allah sebagai
Tuhan kita.
4.2.7 Ayat ke-7
Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka; bukan (jalan) orang-orang
yang engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.
Jalan orang-orang yanh telah engkau beri nikmat mengindikasikan permohonan untuk
diberikan petunjuk serta karunia seperti apa-apa yang telah Allah berikan kepada umat
terdahulu. Para Nabi, syuhada yang jasa-jasanya masih terasakanhinga kini. Lalu kalimat
kedua, Bukan(jalan) oranh-oranh yang engkau murkai. Siapakah yang dimurkai Allah? lalah
13
orang yang telah diberikan petunjuk, telah diutus kepadanya Rasul-rasul telah diturunkan
kepadanya Kitab-kitab Wahyu, namun dia masih saja memperturutkan hawa nafsunya. Telah
ditegur berkali-kali, namun teguran itu, tidak juga diperdulikannya. Dia merasa lebih pintar
daripada Allah, Rasul-rasul dicemoohkannya, petunjuk Tuhan diingkarinya, perdayaan
syaitan diperturutkannya. Dan yang terakhir, bukan pula jalan orang-orang yang sesat.
Adapun orang yang sesat ialah orang yang berani membuat jalan sendiri di luar yang
digariskan Tuhan. Tidak mengenal kebenaran, atau tidak dikenalnya kebenaran yang
sebenamya.
4.3 Pendidikan Tauhid dalam Q.S. Al-Fatihah
Setalah pada bagian sebelumnya dijelaskan mengenai tafsir dan kandungan dari Surat A-
Fatihah menurut rujukan buku Al-Azhar karya Buya Hamka, maka pada bagian ini akan
lebih difokuskan untuk mengkaji nilai-nilai ketauhidan melalui tabel di bawah ini :
Surat Al-Fatihah
Ayat ke-
Nilai-nilai Ketauhidan
Tauhid Rububbiyah Tauhid Uluhiyah Tauhid Asma wa sifat
Ayat ke-1
- Dengan menyebut nama
Allah yang maha
pengasih dan penyayang
terkandung Nilai Tauhid
Uluhiyah karena
beradasarkan isi
kandungan yang telah
dijelaskan diatas bahwa
dalam melakukan apun
haruslah
dimulai/diniatkan hanya
untuk Allah
1.
Meyakini Allah dengan
nama Ar-Rahman sebagai
dzat yang maha Pengasih
2.
Meyakini Allah dengan
nama Ar-Rahim sebagai
dzat yang maha
Penyayang.
Ayat ke-2
Yang artinya,”
Pemelihara semesta
alam”. Dalam
penggalan ayat
sebelumnya yang
menerangkan bahwa
apapun yang kita
Yang artinya,”Segala
puji adalah
kepunyaan Allah ”.
Ayat ini
mengindikasian
bahwa apapun yang
kita kerjakan adalah
-
14
kerjakan semata
adalah untuk
beribadah
kepadaNya, maka
ayat ini adalah
sebagai penjelas
mengenai alasan
beribadah hanya
untukNya. karena
Dialah semuanya
bersumber, Dialah
yang menciptakan
bumi dan segala
isinya. Maka tidak
ada yang berhak
disembak selain Allah
dan untukNya lah
segala apa yang kita
kerjakan.
semata karena
beribadah kepadaNya.
Ayat ke-3
3.
Meyakini Allah dengan
nama Ar-Rahman sebagai
dzat yang maha Pengasih
4.
Meyakini Allah dengan
nama Ar-Rahim sebgai
dzat yang maha
Penyayang.
Ayat ke-4
menunjukkan kepada
tauhid rububiyah.
Allah subhanahu wa
ta’ala adalah rabb
segala sesuatu dan
penguasanya. Seluruh
kerajaan langit dan
bumi serta apa pun
yang berada di antara
keduanya adalah
milik-Nya. Dia lah
Maliki yang berarti pula Al-Malik, yakni yang
maha merajai. Sebagaimana Allah yang merajaik segala apa-apa
yang ada di bumi dan dilangit berserta apa-apa
yang ada di antara keduanya.
15
Raja yang menguasai
dunia dan akhirat.
Ayat ke-5
Penyebutan objek yang didahulukan sebelum dua buah
kata kerja tersebut menunjukkan
pembatasan. Ia menunjukkan bahwa ibadah tidak boleh
dipersembahkan kecuali kepada Allah.
Demikian pula meminta pertolongan dalam urusan yang
hanya dikuasai oleh Allah juga harus
diminta hanya kepada Allah. Kalimat yang pertama menunjukkan
bahwasanya seorang muslim harus
melaksanakan ibadahnya dengan ikhlas untuk
mengharap wajah Allah yang disertai
kesesuaian amal dengan sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sedangkan kalimat
yang kedua menunjukkan bahwa hendaknya seorang
muslim tidak meminta pertolongan dalam
mengatasi segala urusan agama dan dunianya kecuali
kepada Allah ‘azza wa jalla.
Ayat ke-6
Ini menunjukkan
tauhid uluhiyah, sebab ia merupakan doa.
16
Dan doa termasuk jenis ibadah. Petunjuk menuju jalan yang
lurus itu akan menuntun kepada
jalan orang-orang yang diberikan kenikmatan yaitu para
nabi, orang-orang shiddiq, para
syuhada’, dan orang-orang salih. Mereka itu adalah orang-orang
yang memadukan ilmu dengan amal.
Maka seorang hamba memohon kepada Rabbnya untuk
melimpahkan hidayah menuju jalan lurus ini
yang merupakan sebuah pemuliaan dari Allah kepada para
rasul-Nya dan wali-wali-Nya
Ayat ke-7
Menunjukan tauhid
Uluhiyah, karena dalam hal ini seorang mukmin memohon
kepada Allah petunjuk sebagaimana yang
diberikan kepada orang-orang sholeh terdahulu bukan
orang-orang yang dimurkai Allah.
17
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Setelah memahami pengertian tauhid serta urgensinya bagi seorang Muslim yakni
sebagai pondasi utama mengenai implementasi kualitas ibadah baik ibadah secara vertikal
(hubungan dengan Tuhan) maupun ibadah secara horizontal (hubungan dengan sesama
makhluk). Kemudian macam-macam Tauhid yang terbagi menjadi Tauhid Rububbiyah yakni
meyakini Allah dalam hal perbuatanNya seperti mencipta, memberi rezeki, menghidupkan
maupun mematian. Lalu tahuid Uluhiyyah, yakni mengesakan Allah dalam peribadahan seperti
Shalat, puasa, zakat dll. Ketiga, Tauhid asma wa’sifat yaitu meyakini Allah dengan segala nama-
nama yang dimilikiNya. Oleh karenanya, perlu adanya kajian khusus mengenai tauhid, dalam hal
ini kaitannya dengan Surat Al-Fatihah. Surat yang sudah tidak asing dan banyak dihafal oleh
seluruh muslim karena perannya sebagai sayarat sahnya shalat. Akan tetapi walaupun demikian
masih banyak diantaranya kita yang belum memahami makna dari surat agung tersebut hingga di
ucapkan biasa-biasa saja, tanpa makna, dan terasa hambar.
Buya Hamka dalam buku tafsirnya yang bertajuk Al-Azhar memaparkan kandungan isi
surat Al-Fatihah yang agung dan terkandung nilai-nilai ketauhidan, baik tauhid Rububbiyah,
Uluhiyah maupun Asma wa’sifat. Hamka menjelaskan secara detail dari ayat pertama hingga
ayat ketujuh dari surat Al-fatihah, hal ini seperti sebuah pembuktian mengenai kedudukan Al-
Fatihah sebagai ummul Qur’an karena memang hakikatnya Al-Fatihah sudah mencakup dari
segala keseluruhan nilai-nilai islam diantaranya adalah nilai Tauhid. Dalam ayat pertama
Bismillahirahmanirahiim, artinya dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha
penyayang. Dalam ayat ini Muslim diperintahkan agar melakukan segala bentuk kegiatan apapun
dengan nama/niat semata karena Allah dan untuk Allah yang telah memberikan penghidupan
beserta segala nikmatnya kepada kita sebagai makhlukNya. Maka alhamdulillahi Rabbil ‘alamin
adalah tauhid. Ar rahmanir rahim adalah tauhid. Maliki yaumid Din adalah tauhid. Iyyaka
na’budu wa iyyaka nasta’in adalah tauhid. Ihdinash shirathal mustaqim adalah tauhid yang
mengandung permohonan petunjuk untuk bisa meniti jalan ahli tauhid yang telah mendapatkan
anugerah kenikmatan dari Allah, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan juga bukan jalan
orang-orang yang sesat; yaitu orang-orang yang memisahkan diri dari tauhid.”
18
Dikarenakan keagungan kedudukan surat Al Fatihah ini dan ketercakupannya terhadap
tauhidullah dalam hal rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, dan asma’ wa shifat-Nya, kandungan
permohonan petunjuk meniti jalan yang lurus, dan dikarenakan kebutuhan setiap muslim
terhadap petunjuk itu jauh berada di atas kebutuhannya terhadap apapun dan lebih mendesak,
maka surat ini pun disyari’atkan untuk dibaca di setiap raka’at shalat.
Oleh karena itu, semoga makalah ini dapat dijadikan salah satu rujukan dalam pengkajian
pendidikan nilai Ketauhidan dalam Q.S Al-Fatihah, hingga menjadikan surat Al-Fatihah terasa
lebih bermakna dan mampu mengaplikasan nilai-nilai yang terkandung didalamnya untuk
peningkatan kualitas tauhid hingga berwujud kepada perbaikan kualitas dan kuatitas ibadah kita
dalam kehidupan sehari-hari.
19
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: PT. Tanjung Mas Inti, 1992).
Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam
(Cet. II; Jakarta: Grafindo Persada, 1996).
www.wikipedia.com
http://almanhaj.or.id/content/546/slash/0
http://muslim.or.id/aqidah/hakekat-tauhid.html
http://muslim.or.id/aqidah/membekali-diri-dengan-tauhid.html
Ustadz Aris Munandar , http://sumber-mu.blogspot.com/2012/05/kedudukan-qs-al- fatihah-
dalam-alquran.html#ixzz2Ew1W1DPP