PENDIDIKAN PLURALISTIK DI...
-
Upload
truongxuyen -
Category
Documents
-
view
243 -
download
5
Transcript of PENDIDIKAN PLURALISTIK DI...
PENDIDIKAN PLURALISTIK DI PESANTREN (Studi analisis Tradisi Pendidikan di Pondok Pesantren
Soko Tunggal Semarang)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
Dalam Ilmu Tarbiyah
Disusun oleh:
I S N A E N I A B D U L A H
NIM: 3102134
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2008
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp. : 4 (empat) eks.
Hal : Naskah Skripsi
An. Sdr. Isnaeni Abdulah
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini
saya kirimkan naskah skripsi Saudari:
Nama : Isnaeni Abdulah
NIM : 3102134
Judul : PENDIDIKAN PLURALISTIK DI PESANTREN
(Studi Analisis Tradisi Pendidikan Di Pondok
Pesantren Soko Tunggal Semarang).
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi Saudara tersebut dapat segera
dimunaqasyahkan.
Demikian harap menjadi maklum adanya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Semarang, 17 Januari 2008
Pembimbing
Ahmad Muthohar, M.Ag. NIP. 150 276 929
iii
DEPARTEMEN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH
PENGESAHAN Skripsi saudara : Isnaeni Abdulah
Nomor Induk : 3102134
Judul : PENDIDIKAN PLURALISTIK DI PESANTREN
(Studi Analisis Tradisi Pendidikan Di Pondok
Pesantren Soko Tunggal Semarang).
Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus, dengan predikat
Cumlaude/ Baik/ Cukup, pada tanggal 29 Januari 2008 Dan dapat diterima
sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata1 tahun akademik 2008/ 2009
Semarang, 29 Januari 2008
Ketua Sidang Sekretaris Sidang Drs. Ruswan, MA. Drs. Mahfud Junaedi, M.Ag. NIP. 150 262173 NIP. 150 289 436 Penguji I Penguji II Prof. Dr. H. Djamaludin Darwis, MA. Syamsul Ma’arif, M.Ag. NIP. 150 030 529 NIP. 150 321 619
Pembimbing
Ahmad Muthohar, M.Ag. NIP. 150 276 929
Alamat : Jl. Prof. DR. Hamka (Kampus II) Ngaliyan Telp. 024-7601295 Semarang 50185
iv
MOTTO
يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل
بريخ ليمع إن الله قاكمالله أت عند كممفوا إن أكرارعلت
)١٣:احلجرتز(
“Wahai manusia! Sungguh kami telah menciptakan kamu dari seorang laki- laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku- suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang- orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah maha mengetahui dan maha teliti” (QS. Al-Hujurat: 13).1
1 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, cet. ke-3,
(Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2005), hlm. 261.
v
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini sepenuhnya untuk orang-orang yang memberi arti dalam
hidupku:
1. Bapak dan Ibuku tercinta yang selalu tersenyum meski kenyataan tak seindah harap,
terimakasih untuk kasih sayang yang kadang terlupa.
2. Kakak dan adik-adikku tercinta (Genung, Siti, Arba)
3. Keluarga embah di Kebumen
4. Istriku tercinta, Yusna Rahmawati
5. Seluruh keluargaku di Semarang, sedulur-sedulur Teater beta yang telah memberiku
tempat untuk berteduh, mengeluh, mengolah rasa dan berbagi.
6. Abah KH. Manshur Hidayat dan Bu Nyai beserta keluarga sebagai guru sekaligus
panutan yang telah memberikan bimbingan dan do’a restu bagi penulis.
7. Temen-temen seperjuangan S.16
8. Mas Fauzul Adzim, terimakasih untuk pinjaman bukunya
9. Para ustadz dan santri Pondok Pesantren Soko Tunggal yang telah membantu penulis
dalam proses penelitian
10. Seluruh angkatan 2002
11. Dan semua pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa
skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis orang lain atau di terbitkan.
Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali
informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 29 Januari 2007
Deklalator,
ISNAENI ABDULAH NIM. 3102134
vii
ABSTRAK PENELITIAN
Isnaeni Abdulah (NIM: 3102134) “PENDIDIKAN PLURALISTIK DI PESANTREN (Studi Analisis Tradisi Pendidikan di Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang). Skripsi. Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2008. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses pendidikan pluralistik di pesantren dan untuk mengetahui bagaimana tradisi pendidikan pluralistik di Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang. Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan pendekatan sosiologis, yaitu suatu pendekatan yang menyelidiki ikatan-ikatan antar manusia, mengungkap sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup, kepercayaan dan keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data interview (wawancara), observasi partisipan (participant observation) dan metode dokumentasi. Sedangkan metode analisis data yang digunakan, penulis memilih metode content analysis, interpretasi dan metode analitis kritis. Hal yang dapat ditemukan dari hasil penelitian ini adalah bahwa dalam tradisi pendidikan yang dilakukan di Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang yang melingkupi proses pembelajaran dan juga pola pergaulan antara seluruh penghuni pesantren benar-benar memunculkan suatu fenomena adanya bentuk pendidikan pluralistik, yaitu pendidikan yang membuat dan menciptakan situasi lembaga pendidikan beserta kegiatannya mampu melayani diversity atau pluralisme siswanya. Setiap siswa punya hak dan perlakuan yang sama (equality), tetapi setiap siswa juga mendapatkan perhatian secara pluralis. Dengan adanya pengakuan kemajemukan yang ada kemudian dijabarkan melalui proses pendidikan di pesantren bukanlah untuk menciptakan suatu keseragaman (uniformity) tetapi untuk mencari titik temu agar mampu hidup berdampingan satu sama lain, yang itu berarti titik tekan dari pendidikan pluralistik ini lebih merupakan masalah aplikatif, praktis, administratif dan historis, daripada masalah keimanan dan teologis. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan dan mengisi kekosongan mengenai model pendidikan yang akan dikembangkan di pesantren yang relevan dengan kondisi kemajemukan bangsa indonesia pada khususnya dan pendidikan Islam pada umumnya.
viii
KATA PENGANTAR
لبسم اهللا الرحمن الرحيمPuji syukur alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah SWT, yang
telah mencurahkan taufiq, hidayah dan inayahnya. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas dalam menyusun skripsi yang berjudul “Pendidikan
Pluralistik di Pesantren (Studi Analisis Tradisi Pendidikan di Pondok Pesantren
Soko Tunggal Semarang)” Sebagai tugas akhir guna memperoleh gelar sarjana
program Strata Satu (S-1) Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri
Walisongo (IAIN) Semarang.
Shalawat dan dalam senantiasa tersanjungkan kepangkuan Nabi
Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabat-sahabatnya dan para pengikutnya
yang telah membawa Islam dan mengembangkannya hingga sekarang ini.
Dalam menyusun skripsi ini tidak terlepas dari saran-saran dari berbagai
pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu dengan
selesainya skripsi ini penulis menyampaikan terima kepada :
1. Ahmad Muthohar, M.Ag selaku pembimbing yang senantiasa membimbing
dan mengarahkan penulis terutama dalam penyusunan skripsi ini
2. Drs. Ikhrom, M.Ag. selaku dosen wali yang telah memberikan nasehat dan
arahan kepada penulis selama menempuh masa studi di Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
3. KH. Dr. Nuril Arifin Husain, MBA dan keluarga dalem yang telah berkenan
mengizinkan penulis untuk mengadakan penelitian
4. Bapak Fahrur Rozi, M.Ag yang telah banyak memberikan sebegitu banyak
motivasi dan pengertian tentang makna hidup.
5. Seluruh Bapak/ Ibu dosen di lingkungan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang
6. Bapak dan Ibu tersayang yang selalu memberikan motivasi baik secara materi
maupun do'a kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi
hingga akhir
7. Sahabat-sahabatku semua yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.
ix
Penulis tidak dapat memberi balasan yang setimpal, hanya sebatas do'a
semoga amal baik yang telah diberikan mendapat balasan yang berlipat ganda dari
Allah SWT.
Akhirnya, tiada kesempurnaan kecuali hanya milik Allah SWT, sehingga
kritik dan saran senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Semarang, 29 Januari 2007
Penulis
x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………….
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………………...
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………………
HALAMAN MOTTO ………………………………………………………………
HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………… ……………………
HALAMAN DEKLARASI……………………………… …………………………
HALAMAN ABSTRAKSI…………………………………………………………
HALAMAN KATA PENGANTAR ……………………………………………….
HALAMAN DAFTAR ISI …………………………………………………………
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
viii
x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah …………………………………….……
B. Penegasan istilah ………………………………………………...
C. Rumusan masalah ……………………………………………….
D. Tujuan penelitian ………………………………………………...
E. Manfaat Penelitian ………………………………………………
F. Telaah pustaka …………………………………………………..
G. Metode penelitian ………………………………………………..
1
6
11
11
11
11
14
BAB II : PENDIDIKAN PLURALISTIK DI PESANTREN
A. Pesantren
1. Pengertian pesantren ………………………………………...
2. Sejarah dan perkembangan pondok pesantren ………………
3. Unsur-unsur pesantren ………………………………………
4. Sistem pendidikan dan pengajaran pondok pesantren .……...
B. Pendidikan pluralistik
1. Pengertian pendidikan pluralistik …………………………...
2. Dasar pendidikan pluralistik ……………….………………..
C. Pendidikan pluralistik di pesantren ……………….……………..
18
19
22
24
30
33
39
xi
BAB III : LAPORAN HASIL PENELITIAN DI PONDOK PESANTREN
SOKO TUNGGAL SEMARANG
A. Kondisi Umum Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang,
1. Sejarah Berdirinya ……………….………………………….
2. Letak Geografis ……………….…………………………….
3. Keadaan Pengajar dan Santri ……………….……………….
4. Struktur Organisasi ……………….…………………………
5. Sarana dan Prasarana ……………….……………………….
B. Kondisi Khusus Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang
1. Tujuan pendidikan……………….…………………………..
2. Pelaksanaan pendidikan ……………….…………………….
3. Kurikulum pendidikan ……………….……………………...
4. Materi yang Diajarkan ……………….……………………...
5. Metode pembelajaran ………….….…………………………
6. Evaluasi ……………..……………….………………………
7. Tradisi Pendidikan Pluralistik di Pondok Pesantren Soko
Tunggal Semarang …………………………………...……...
45
49
50
50
51
52
53
56
56
57
59
60
BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDIDIKAN PLURALISTIK DI
PONDOK PESANTREN SOKO TUNGGAL SEMARANG
A. Pendidikan Pluralistik di Pesantren ………..………………………
B. Implementasi Pendidikan Pluralistik Dalam Proses
Pembelajaran dan Interaksi Sosial di Pondok Pesantren Soko
Tunggal Semarang ………………………………………………
65
75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………...………………...……………….…
B. Saran-Saran ………………...………………...……………….…
C. Penutup ………………...………………...……………….……..
85
86
86
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DAFTAR LAMPIRAN
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ibarat untaian mutiara, kepulauan Indonesia membentang sekeliling
ekuator. Kadang kala dikatakan bahwa kepulauan nusantara yang amat luas
ini terdiri atas ribuan pulau yang selalu hijau yang menyelimuti daratan
seluas 735.000 dan lautan seluas 1.263.000 mil persegi yang amat kaya
dengan sumber daya alam.1
Kekayaan alam Indonesia diimbangi dengan keragaman budaya
sebagaimana terlihat pada kemajemukan suku, etnis, bahasa dan agama.
Indonesia yang terdiri atas 17.800 pulau, baik kecil maupun besar telah
mengakibatkan kemajemukan suku dan etnis menurut daerahnya masing-
masing. Lebih dari 525 bahasa dan dialek diucapkan oleh beragam suku dan
etnis yang ada. Begitupun dengan kemajemukan agama, itu terlihat dari
kemajemukan agama dan jumlah pemeluknya. Dengan populasi lebih dari
210 Juta penduduk, sekitar 87,21% adalah muslim; 6,04% Kristen Protestan;
3,58% Kristen Katolik; 1,83% Hindu; 1,03% Budha; dan 0,31% animisme.
Melihat jumlah muslim di atas, dapat dikatakan bahwa penganut agama
Islam di Indonesia adalah mayoritas.2
Adanya keanekaragaman tersebut tidak jarang menyebabkan dampak
negatif sehingga memunculkan adanya fanatisme pada kelompok tertentu
bahkan hingga menyebabkan kerusuhan di beberapa daerah. Oleh karena itu
upaya memelihara kesatuan bangsa menuntut perhatian dan kepedulian dari
segenap komponen bangsa. Hal itu sangat terasa ketika terjadi berbagai
konflik horisontal yang bernuansa etnik dan keagamaan dalam rentang waktu
yang cukup lama dan tidak mudah dipadamkan. Berbagai kasus itu memaksa
1 Abd. Racman Assegaf, Internasionalisasi Pendidikan: Sketsa Perbandingan Pendidikan di
Negara-Negara Islam dan Barat, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), hlm. 253 2 Ibid, hlm. 254.
2
kita untuk melakukan perenungan dan berpikir dengan jernih agar tidak
berkelanjutan atau terulang.3
Sebagai Bangsa yang sangat plural yang memiliki berbagai nuansa
kemajemukan yang mewujud dalam kelompok-kelompok etnis dengan
kekhasan latar belakang bahasa daerah, tradisi, adat istiadat, seni, budaya, dan
agama masing-masing, pendidikan pluralistik menempati urutan yang sangat
diutamakan dalam pendidikan, bahkan harus menjadi tujuan prioritas yang
harus di capai. Hal ini karena dalam dinamika kehidupan, Pluralisme
merupakan keniscayaan yang harus dikembangkan di era globalisasi.
Adanya serentetan kerusuhan-kerusuhan yang berbau SARA di
Indonesia, menunjukkan bahwa secara kolektif kita sebenarnya tidak mau
belajar tentang bagaimana hidup secara bersama dengan rukun. Bahkan, dapat
dikatakan, agen-agen sosialisasi utama seperti keluarga dan lembaga
pendidikan, tampaknya tidak berhasil menanamkan sikap toleransi-inklusif
dan tidak mampu mengajarkan untuk hidup bersama dalam masyarakat plural.
Di sinilah letak pentingnya sebuah ikhtiar menanamkan pluralisme melalui
pendidikan agama. Sehingga, masyarakat Indonesia akan mampu membuka
visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis
atau tradisi budaya.
Jika pluralisme4 dipahami sebagai sebuah sikap yang mengakui dan
menghargai keadaan yang plural secara etis, kebudayaan dan keagamaan
tertentu, maka sikap ini harus ditumbuhkembangkan pada diri generasi muda
melalui pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan yang menjunjung tinggi
nilai-nilai pluralisme sangat diperlukan untuk menciptakan dan memelihara
kerukunan antar sesama.
3 M. Saerozi, Politik Pendidikan Agama dalam Era Pluralisme: Telaah Historis atas
Kebijaksanaan Pendidikan Agama Konfensional di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hlm. XV.
4 Anis Malik Thoha dalam bukunya menjelaskan bahwa secara garis besar tren pluralisme dapat diklasifikasikan kedalam empat kategori, yaitu: Tren Humanisme Sekuler, Tren Teologi Global, Tren Sinkretisme, dan Tren Hikmah Abadi. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta: Perspektif Kelompok Gema Insani, 2005), hlm. 51.
3
Hal tersebut mengingat, pendidikan diyakini sebagai “usaha sadar,
terarah dan disertai dengan pemahaman yang baik untuk menciptakan
perubahan- perubahan yang diharapkan pada perilaku individu, dan
selanjutnya pada perilaku jama’ah atau komunitas dimana individu itu hidup”
termasuk usaha internalisasi paham pluralisme ini, pada peserta didik.5
Pandangan dan ideologi pluralisme bukan sesuatu yang baru, tetapi
aktualisasi yang perlu diperbaharui. Pendidikan merupakan wahana untuk
menanamkan hakekat dan praktek pluralistis bagi siswa. Filsafat pluralisme
dalam pendidikan tidak terbatas pada aspek pendidikan semata, melainkan
mencakup pula berbagai aspek kemasyarakatan yang mau tidak mau akan
mempengaruhi proses pendidikan.
Pendidikan oleh karenanya bukan hanya semata-mata proses transfer
pengetahuan. Apa yang terpenting dalam proses pendidikan adalah bagaimana
kemampuan berpikir dilatih dengan memberikan rangsangan, rangsangan
diberikan melalui metode ilmiah seperti kemampuan menganalisis atau
memilih secara rasional diantara beberapa alternatif.6
Dalam kaitannya dengan pendidikan, hakikat kehidupan pluralistis
bertumpu pada adanya “Social reproduction”, artinya, apa yang dilaksanakan
di dunia pendidikan dewasa ini akan berbuah dimasa mendatang. Kalau
pendidikan mengajarkan sikap sopan santun, kelak akan muncul sopan santun,
kalau pendidikan mengajarkan korupsi, kelak akan muncul generasi korup,
kalau pendidikan mengajarkan disiplin, kelak akan muncul perilaku disiplin,
dan jika pendidikan menanamkan jiwa pluralistis, kelak akan lahir masyarakat
dimana masing- masing warga mampu hidup dan berperilaku layak dalam
masyarakat plural.7
Pendidikan merupakan suatu usaha investasi manusia yang sangat
berharga bagi pembinaan dan kelangsungan bangsa dan negara. Pendidikan
5 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme Di Indoneasia, (Yogyakarta: Logung Pustaka,
2005), hlm. 1. 6 Siti Murtiningsih, Pendidikan Alat Perlawanan: Teori Pendidikan Paulo Freire,
(Yogyakarta: Resist Book, 2004), hlm. 4. 7 Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Socienty, (Yogyakarta:
Bigraf Publishing, 2001), hlm. 81-82.
4
sesungguhnya merupakan pembibitan generasi penerus yaitu persemaian tunas
bangsa yang pada waktunya akan ditebarkan dalam masyarakat sebagai
pemegang tongkat tanggung jawab dalam membangun bangsa dan negara.
Oleh karena pendidikan adalah bagian terpenting dalam kehidupan yang harus
ditangani dan menjadi tanggung jawab bersama, baik pemerintah maupun
swasta, pejabat maupun rakyat, masyarakat maupun orang tua.
Sedangkan pendidikan agama, sebagaimana dinyatakan oleh John
Sealy dalam bukunya Religious Education: Philosophical Perspective (1986),
diantaranya memiliki fungsi neo confessional, yaitu disamping berfungsi
untuk meningkatkan keberagamaan peserta didik dengan keyakinan agamanya
sendiri, juga berfungsi memberikan kemungkinan keterbukaan untuk
mempelajari dan mempermasalahkan agama lain sebatas untuk menumbuhkan
sikap toleransi. Hal ini mempunyai tempat yang sangat penting dan strategis
untuk tujuan penanaman sikap pluralisme tersebut.8
Sudah barang tentu arti pendidikan tidak hanya berarti pendidikan
formal sebagaimana dalam kurikulum, melainkan pendidikan yang terkandung
dalam hidden-curriculum, yakni pendidikan yang terkait erat dengan perilaku
para pelaksana pendidikan dan suasana yang melingkupi. Oleh karena itu,
dalam pendidikan pluralistik ini diperlukan kesadaran dikalangan pendidik
atas “Social reproduction” tersebut dan dapat mengarahkan untuk
membentuk pandangan, nilai-nilai, sikap, dan prilaku pluralisme siswa dimasa
mendatang dalam masyarakat pluralistis.9
Sementara itu keberadaan Pendidikan pesantren yang selama ini
dikenal sebagai pendidikan berbasis masyarakat,10 pesantren menjadi sangat
potensial untuk mengembangkan pluralisme melalui multidimentional
approach.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang memberi
pengajaran agama Islam, tujuannya tidak semata-mata memperkaya pikiran
santri dengan teks-teks dan penjelasan-penjelasan yang Islami, tetapi untuk
8 Syamsul Ma’arif, Op.Cit, hlm. 2. 9 Zamroni, Op.Cit, hlm. 84. 10 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 6.
5
meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-
nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap tingkah laku yang jujur
dan bermoral, dan menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati.
Setiap murid diajar agar menerima etik agama di atas etik-etik yang lain.
Pesantren dalam hal ini berperan ganda, yakni pesantren terlibat dalam
proses penciptaan nilai yang memiliki dua unsur yaitu usaha yang dilakukan
terus menerus secara sadar untuk memindahkan pola kehidupan ala Rasulullah
SAW, dan para pewaris nabi ke dalam kehidupan pesantren. Kemudian unsur
selanjutnya adalah disiplin sosial yang ketat di pesantren, yaitu kesetiaan
tunggal kepada pesantren untuk mendapatkan topangan moril dari Kyai untuk
kehidupan pribadinya. Ukuran yang dipakainya guna mengukur kedisiplinan
dan kesetiaan seorang santri kepada pesantren-nya atau kepada Kyai adalah
kesungguhan dalam melaksanakan pola kehidupan mutasawuf.11
Seiring perkembangan sistem sosial, khususnya pendidikan pesantren
sendiri secara bertahap melakukan proses adaptasi (secara dinamis)
melakukan inovasi serta pembaharuan karena tuntutan dan tekanan sistem di
luar pesantren. Seperti yang terjadi sekarang ini. Pesantren sudah ada yang
memulai menyelenggarakan pendidikan madrasah dan sekolah umum dari
jenjang pra sekolah dan sekolah dasar, sekolah menengah sampai perguruan
tinggi. Perkembangan pesantren juga mengarah pada fungsi pesantren sebagai
salah satu pusat pembangunan masyarakat yang diharapkan menjadi alternatif
pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu sendiri sekaligus pusat
pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai-nilai agama.
Ideologi pendidikan yang dikembangkan pesantren sekarang ini pun
mengalami perkembangan, hal ini bisa dilihat dari kurikulum yang diajarkan,
sistem pembelajaran yang telah diperbarui dan juga menyerap ilmu-ilmu yang
bersifat “umum”, juga telah dikembangkan pula paradigma ilmu yang bersifat
komparatif antar berbagai disiplin atau berbagai pendapat.
Kontinuitas lembaga pendidikan pesantren hingga kini menyebabkan
banyak perdebatan tentang sistem pendidikan dalam konteks pendidikan
11 Ibid, hlm. 45.
6
nasional. Penilaian dan penelitian tentang kondisi dan sistem pendidikan
pesantren tidak hanya dilakukan oleh kalangan akademisi di perguruan tinggi,
LSM maupun kelompok yang memang mempunyai basic dan kultur
pesantren, akan tetapi juga dilakukan oleh orang-orang yang ada diluar
pesantren.
Ada beberapa hal yang membuat mereka tertarik untuk selalu meneliti
dunia pesantren. Pertama, pesantren senantiasa eksis sejak ratusan tahun yang
lalu di Indonesia baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Kedua, antara satu
pesantren dengan pesantren yang lain mempunyai kekhasan yang berbeda dan
sama-sama dapat mempertahankan kekhasan masing-masing. Ketiga, tidak
komprehensifnya definisi tradisional dan modern hingga kini yang sering
ditunjukkan untuk memberikan penilaian terhadap pesantren. Keempat,
perkembangan pesantren yang semakin kompleks dan multi dimensi.12
Dari sinilah penulis tertarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut
dalam sebuah penelitian lapangan bersifat kualitatif dengan judul “Pendidikan
Pluralistik di Pesantren (Studi Analisis Tradisi Pendidikan di Pondok
Pesantren Soko Tunggal Semarang).
B. Penegasan Istilah
Untuk memberikan pemahaman dan menjaga agar tidak terjadi
kesalahpahaman tentang judul skripsi ini maka diperlukan penegasan istilah.
Adapun istilah yang dimaksud antara lain:
a. Pendidikan Pluralistik
Sebelum memahami pengertian pendidikan pluralistik, terlebih
dahulu akan diuraikan tentang makna pendidikan dalam pengertian yang
umum. Melalui pengertian dan penajaman terhadap makna pendidikan
dalam pengertian umum ini akan dapat diketahui makna pendidikan
pluralistik serta kondisi yang membedakannya dengan pendidikan secara
umum.
12 Ahmad Muthohar, Idiologi Pendidikan Pesantren: Pesantren Ditengah Arus Idiologi-
Idiologi Pendidikan, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), hlm. 5.
7
Para ahli pendidikan berbeda dalam memahami makna atau arti
pendidikan. Perbedaan pemaknaan yang dimaksud, dilatarbelakangi oleh
latar belakang pendidikan serta tujuan yang dikehendaki oleh pendidikan
yang dimaknai oleh ahli pendidikan itu sendiri. Beberapa pengertian
pendidikan yang beragam itu akan terlihat dari beberapa pendapat berikut
ini:
Menurut Soegarda Poerbakawatja dan H.A.H Harahap dalam
Ensiklopedi Pendidikan mendefinisikan pendidikan, sebagai berikut:
Pendidikan dalam arti yang luas meliputi semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta ketrampilannya (orang menanamkan ini juga ”mengalihkan” kebudayaan, dalam bahasa Belanda cultuuroverdracht) kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkan agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah. Tetapi pada manusia masih ada satu faktor penting yaitu adanya rasa tanggung jawab. Dalam hubungan ini maka pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk membawa si anak yang belum dewasa ke tingkat kedewasaan dalam arti sadar dan mampu memikul tanggungjawab atas segala perbuatannya secara moril.13
Sedangkan menurut John Dewey, pendidikan diartikan sebagai
berikut:
Pendidikan merupakan suatu proses penggalian dan pengolahan pengalaman secara terus menerus, untuk itu pendidikan mesti berpusat pada kondisi kongkret subyek didik dengan minat, bakat dan kemampuannya serta peka terhadap perubahan yang terus terjadi dalam masyarakat.14
Dengan bahasa yang berbeda, John Dewey juga menyatakan
bahwa: “Education is thus a fostering, a nurturing, a cultivating process.
All of these word mean that it implies attention to the conditions of
growth”.15
13 Soegarda Poerbakawatja dan H.A.H Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung
Agung, 1982), Cet. III, hlm. 257 14 John Dewey, “Experience and Education”, (New York: Collier Books, 1972), terj.
Hani’ah, Pendidikan Berbasis Pengalaman, (Jakarta: Penerbit Teraju, 2004), hlm. x 15 John Dewey, Eduication as a Social Function, (New York: The Macmillan Company,
1964), hlm. 10.
8
Kata pluralistik dalam hal ini harus dibedakan dengan pengertian
pluralisme dan pluralistik meskipun sama-sama berasal dari akar kata
plural yang berarti: kejamakan; orang banyak, ganda, terdiri dari banyak
macam.16
Secara etimologis17, pluralisme merupakan sebuah aliran atau
“ism” tentang pluralitas (a pluralism is an “ism” about a “plurality”)18
dengan kata lain pluralisme adalah paham yang mengajarkan, mengakui
dan dapat menempatkan diri dalam banyaknya perbedaan.
Lebih jauh disebutkan bahwa pluralisme berasal dari bahasa
Inggris pluralism, dalam bahasa latin plural berarti jamak; lebih dari satu.
Pluralisme berarti keadaan masyarakat yang majemuk bersangkutan sistem
sosial dan politiknya.19
Pluralitas bisa diartikan sebagai: ….the existence of many different
groups in one society, for example people of different races or of different
political or religious beliefs; cultural of political pluralism”20 Pluralisme
adalah keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-
kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman
kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan dan sebagainya.
16 Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,
1994), hlm. 326. 17 Etimologi adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari asal-usul suatu kata. ata
etimologi sebenarnya diambil dari bahasa Belanda etymologie yang berakar dari bahasa Yunani; étymos (arti sebenarnya adalah sebuah kata) dan lògos (ilmu). Pendeknya, kata etimologi itu sendiri datang dari bahasa Yunani ήτυµος (étymos, arti kata) dan λόγος (lógos, ilmu). Beberapa kata yang telah diambil dari bahasa lain, kemungkinan dalam bentuk yang telah diubah (kata asal disebut sebagai etimon). Melalui naskah tua dan perbandingan dengan bahasa lain, etimologis mencoba untuk merekonstruksi asal-usul dari suatu kata - ketika mereka memasuki suatu bahasa, dari sumber apa, dan bagaimana bentuk dan arti dari kata tersebut berubah. Agus Aditoni, “Etimologi”, http://www.geocities.com/ HotSprings/6774j-35.html, hlm. 1
18 Richard J. Mouw & Sander Griffon, “Pluralism & Horizons”, dalam Syamsul Ma’arif, Op.Cit, hlm. 12.
19 Tim Penyusun Kamus Besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 777.
20 Syamsul Ma’arif, Op.Cit, hlm. 13.
9
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan
pluralistik21 adalah bentuk pendidikan yang membuat dan menciptakan
situasi lembaga pendidikan beserta kegiatannya mampu melayani diversity
atau pluralitas siswanya. Setiap siswa punya hak dan perlakuan yang sama
(equality), tetapi setiap siswa juga mendapatkan perhatian secara pluralis
dan bukan suatu pendidikan yang mendidik peserta didiknya untuk
membenarkan semua yang berbeda dan membuat suatu keseragaman tetapi
untuk mendapatkan titik pertemuan yang dapat membawa semua
perbedaan menjadi saling mengisi dan berdampingan.
b. Pesantren
Secara terminologi pesantren berarti lembaga tradisional Islam
untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam (tafaqquh
fiddin) dengan mengaksentuasikan moral agama Islam sebagai falsafah
hidup dalam masyarakat. Penyelenggaraan lembaga pendidikannya
berbentuk asrama yang merupakan komunitas khusus di bawah pimpinan
kyai dan dibantu oleh beberapa kyai atau ustadz yang berdomisili
bersama-sama santri dengan Masjid atau gedung sebagai pusat kegiatan
ibadah dan pusat aktivitas belajar mengajar serta pondok atau asrama
sebagai tempat tinggal santri dan kehidupannya bersifat kolektif seperti
satu keluarga.22
Sedangkan ensiklopedi Islam memberikan pengertian yang
berbeda, kata pesantren atau santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti
guru mengaji. Sumber lain, juga menyebutkan bahwa kata itu berasal dari
bahasa India “shastri” dari akar kata “shastra” yang berarti buku-buku
agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.23
21 Pluralistic (adj) berkenaan dengan pluralisme, Peter Salim, The Contemporary English-Indonesian Dictionary, (Jakarta: Modern Press, 1996), hlm. 1436.
22 Ahmad Syafi’i Noer, et.al., Sejarah dan Pertumbuhan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Grasindo, 2001), hlm. 90.
23 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), hlm. 99.
10
c. Tradisi Pendidikan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tradisi diartikan sebagai
adat kebiasaan, penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada
merupakan cara yang paling baik dan benar.24
Tradisi atau heritage (Perancis) menurut kacamata Islam diartikan
sebagai warisan kepercayaan dan adat istiadat bangsa tertentu. Tradisi
adalah segala yang secara asasi berkaitan dengan aspek pemikiran dalam
peradaban Islam, mulai dari ajaran doktrinal, syari’at, bahasa, sastra, seni,
kalam, filsafat dan tasawuf.25
Sedangkan pendidikan dalam Undang-Undang RI Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara efektif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”26
Jadi, yang dimaksud dengan judul penelitian skripsi di atas, adalah
usaha untuk mempelajari dengan seksama mengenai pendidikan
pluralistik, dalam arti usaha dalam rangka untuk membentuk manusia yang
menjunjung tinggi kemajemukan dimana masing-masing peserta didiknya
mampu hidup dan berprilaku layak dalam masyarakat pluralistis, dan
dilakukan di lembaga pendidikan Islam berupa pesantren dengan
memfokuskan pada penelaahan dan penganalisaan terhadap tradisi
pendidikan pluralistik yang ada di pondok pesantren Soko Tunggal,
Semarang.
24 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1994), Cet. IV, hlm. 959. 25 Muhammad Abed Al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: LkiS, 2000), hlm.
16. 26 Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta:
Penerbit Kaldera Pustaka Nusantara, 2003), Cet. I, hlm. 3
11
C. Rumusan Masalah
Dalam skripsi ini ada beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimanakah Pendidikan Pluralistik di Pesantren Soko Tunggal
Semarang?
2. Bagaimana Tradisi Pendidikan Pluralistik di Pondok Pesantren Soko
Tunggal Semarang?
D. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui proses pendidikan pluralistik di Pondok Pesantren
Soko Tunggal Semarang.
2. Untuk mengetahui bagaimana tradisi pendidikan pluralistik di Pondok
Pesantren Soko Tunggal Semarang.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini dibedakan menjadi dua:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi,
wawasan pemikiran dan pengetahuan dalam bidang pendidikan Islam
bagi penyusun pada khususnya dan dunia pendidikan Islam pada
umumnya.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat mengenalkan dan
mensosialisasikan suatu realitas yang berkembang pada salah satu
pondok pesantren (tradisi pendidikan pluralistik) untuk kemudian agar
bisa dikembangkan pada lembaga-lembaga pendidikan lain.
F. Telaah Pustaka
Telah menjadi sebuah ketentuan di dunia akademis, bahwa tidak ada
satupun bentuk karya seseorang yang terputus dari usaha intelektual yang
dilakukan generasi sebelumnya, yang ada adalah kesinambungan pemikiran
dan kemudian dilakukan perubahan yang signifikan. Penulisan ini juga
12
merupakan mata rantai dari karya-karya ilmiah yang lahir sebelumnya. Namun
sejauh informasi yang penulis ketahui penelaahan terhadap masalah yang
penulis angkat belum pernah penulis temui.
Hal tersebut tercermin dalam hasil penelitian yang relevan dengan
permasalahan penelitian ini, antara lain :
1. Tesis yang berjudul : “Pendidikan Pluralisme Agama” Pada
Comparative Studies Graduate Program UGM, oleh Syamsul Ma’arif
(5100024) 27. Penelitian tersebut dilakukan di Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta dan sekarang telah diterbitkan dalam bentuk buku yang
berjudul: “Pendidikan Pluralisme di Indonesia” terbit pada tahun 2005,
yang menyebutkan bahwa konsep Pendidikan Islam yang perlu
dikembangkan di Indonesia adalah pendidikan yang mampu menjawab,
merespons, dan mengantisipasi persoalan- persoalan kerusuhan berbau
SARA. Bentuk pendidikannya juga harus mencerminkan adanya
pluralitas. Maksudnya, guru dan para murid harus bersifat heterogen,
tidak terkotak- kotak satu sama lain. Sehingga orang-orang yang
memiliki keanekaragaman budaya, agama, dan etnis dapat berinteraksi
secara langsung dan memungkinkan untuk saling belajar dan memahami
satu sama lain dalam satu komunitas pendidikan.
2. Disertasi yang berjudul: “Politik Pendidikan Agama di Era Pluralisme”
yang kemudian ditata ulang dan menjadi sebuah buku dengan judul:
“Politik Pendidikan Agama Dalam Era Pluralisme; Telaah Historis
Atas Kebijaksanaan Pendidikan Agama Konvensional di Indonesia”,
oleh Saerozi, yang terbit pada tahun 2004 menguraikan bahwa Indonesia
yang multi etnik dan multi agama memerlukan kebijaksanaan yang
mampu memberdayakan kelompok keyakinan minoritas (KKM),
sehingga negara bersih dari pola dominasi maupun pola penerlantaran.
Kebijaksanaan pemberdayaan itu bersumber pada konsep ”Pluralisme
agama konfensional”
27 Syamsul Ma’arif, “Pendidikan Pluralisme Agama” Pada Comparative Studies Graduate Program UGM, (Semarang: IAIN Walisongo, 2002), diterbitkan dalam bentuk buku berjudul: “Pendidikan Pluralisme Di Indonesia” (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005).
13
3. Buku yang berjudul: “Pendidikan Untuk Demokrasi, Tantangan Menuju
Civil Socienty” karangan Zamroni, bahwasanya sebagai bangsa yang
sangat majemuk, pendidikan di Indonesia haruslah mampu
mengembangkan pemahaman tentang kemajemukan karena pendidikan
akan mempersiapkan masyarakat guna memiliki misi untuk melahirkan
masyarakat yang cerdas sesuai dengan tujuan nasional dan landasan
bangsa Indonesia yang juga sarat akan pluralisme.
Penulis juga melihat dan mempelajari skripsi-skripsi yang ada di
Fakultas Tarbiyah yang ada kaitannya dengan tema skripsi yaitu pendidikan
pluralistik sebagai bahan pertimbangan dan pembanding. Adapun skripsi yang
penulis maksud adalah:
Skripsi yang disusun oleh Khusnul Aflah (NIM. 3101424), lulus tahun
2007 Jurusan Pendidikan Agama Islam yang berjudul: “Tradisi Ikhtilaf Dalam
Islam Urgensinya Bagi Aktualisasi Pendidikan Islam Berbasis Pluralisme“
yang menjelaskan bahwasanya pendidikan berbasis pluralisme merupakan
pendidikan Islam yang bertujuan selain memperteguh iman, aqidah dan
identitas indifidu dan kelompok sekaligus dengan menanamkan kesadaran
pentingnya hidup bersama dalam keragaman (pluralitas) suku, agama, ras dan
budaya dalam mengatasi konflik antar agama dan menciptakan perdamaian
untuk mewujudkan Islam sebagai rahmatan li al-‘amin. Landasan filosofisnya
adalah bahwa hakikat penciptaan alam ini termasuk manusia adalah dalam
bentuk yang beragam.oleh karena itu keragaman harus dipahami sebagai
sunatullah sekaligus rahmat bagi manusia.
Skripsi yang berjudul: “Konsep Pendidikan Multikultural H.A.R.
Tilaar Dalam Perspektif Pendidikan Islam“ karya M. Noer Arif (NIM.
3101314), lulus tahun 2007 Jurusan Kependidikan Islam, yang menyebutkan
bahwa konsep Pendidikan Islam yang perlu dikembangkan di Indonesia
adalah pendidikan yang memadukan antara pendidikan moral dan keagamaan
dengan pengembangan rasa nasionalisme atau persatuan di Indonesia agar
mampu menciptakan kehidupan beragama yang saling menghormati satu sama
lain.
14
Skripsi mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang,
yaitu: “Konsep Al-Qur’an Tentang Pluralisme Agama dan Urgensi
Implementasinya dalam Pendidikan Islam ”28 oleh Darmono Hadi (NIM.
3198202) yang bertujuan untuk mengetahui konsep Al-Qur'an tentang
pluralisme agama.
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan (field research).
Yang dimaksud dengan field research adalah suatu research yang
dilakukan di kancah atau medan tempat terjadinya gejala-gejala yang
diselidiki.29
Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
sosiologis, yaitu suatu pendekatan yang menyelidiki ikatan-ikatan antar
manusia, mengungkap sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan
tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup, kepercayaan
dan keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama
itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.30
2. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data-data yang
diperlukan yang bersumber di lapangan. Dalam melaksanakan penelitian
tersebut, antara lain peneliti terapkan metode-metode pengumpulan data
sebagai berikut di bawah ini:
28 Darmono Hadi, “Konsep Al-Qur’an Tentang Pluralisme Agama dan Urgensi
Implementasinya dalam Pendidikan Islam”, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2003). t.d.
29 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm. 137.
30 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 38-39
15
a. Metode Interview (wawancara)
Metode wawancara yaitu metode pengumpulan data dengan
jalan mengadakan tanya jawab sepihak dengan sistematis dan
berlandaskan kepada tujuan penelitian. Dan pada umumnya dua orang
atau lebih hadir dalam secara fisik dalam proses tanya jawab
tersebut.31
Dalam hal ini peneliti akan menggunakan bentuk bebas
terpimpin, dan akan ditujukan kepada informan untuk meminta
keterangan tentang sejarah, dan perkembangan dari pesantren tersebut.
Kemudian juga tentang proses pendidikan yang berkaitan dengan
tradisi pendidikan pluralistik di Pondok Pesantren Soko Tunggal
Semarang.
b. Metode Observasi Partisipan (Participant Observation)
Pengamatan dengan berpartisipasi merupakan teknik
pengumpulan data yang melibatkan interaksi sosial antara peneliti dan
informan dalam suatu latar penelitian selama pengumpulan data yang
dilakukan oleh peneliti secara sistematis, tanpa menampakkan diri
sebagai peneliti, atau observasi dengan terlibat langsung.32
Metode ini penulis gunakan untuk memperoleh data secara
umum atau gambaran mengenai Tradisi Pendidikan Pluralistik,
keadaan pengajar dan santri serta proses pendidikan di Pondok
Pesantren Soko Tunggal Semarang serta seluruh kegiatan yang
berlangsung di dalamnya.
c. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi ialah dokumen sebagai bahan klasik untuk
meneliti perkembangan historis yang khusus, dan biasanya digunakan
untuk menjawab beberapa persoalan tentang apa, kapan dan dimana.
31 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004) hlm. 72. 32 James A. Black & Dean J. Champion, Methods and Issues in Social Research, terj. E.
Kuswara, Metode dan Masalah Penelitian Sosial, (Jakarta: PT. Eresco, 1992), hlm. 289.
16
Jawabannya tersusun sebagai konfigurasi khas yang memuat fakta-
fakta yang dinyatakan secara deskriptif.33
Data-data dokumentasi tersebut dapat berupa catatan, transkip
buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan
sebagainya34 yang digunakan untuk memperjelas keberadaan Pondok
Pesantren Soko Tunggal Semarang mulai berdirinya hingga
perkembangannya hingga saat ini.
3. Metode Analisis Data
Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan
bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi
satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan
pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan
memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.35
Penulisan skripsi yang bersifat kualitatif pada dasarnya
menekankan pada realitas yang terjadi, oleh karena itu analisis yang
dipakai lebih ditekankan pada metode Content Analisis (analisis isi), yaitu
analisis ilmiah tentang isi pesan atau komunikasi yang ada untuk
menerapkan metode ini terkait dengan data-data kemudian dianalisis
sesuai dengan isi materi yang dibahas.36
Metode ini peneliti gunakan untuk menganalisis dan menafsirkan
mengenai pendidikan pluralistik di pesantren kaitannya dengan konsep
yang ada tentang pendidikan pluralistik. Penafsiran (interpretasi) disini
dimaksudkan untuk mencari latar belakang, konteks materi yang ada agar
dapat dikemukakan konsep atau gagasan yang jelas.
33 Suharsimi Arikunto, Op.Cit, hlm. 135. 34 Lihat juga: Amirul Hadi, dkk, Metodologi Penelitian Pendidikan, Pustaka Setia, Bandung,
1998, hlm. 117 35 Lexy J. Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004),
hlm. 248 36 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif Pendekatan Positivistik, Rasionalistik,
Fenomenoogi Dan Realieme Metafisik Telaah Studi Teks Dan Penelitian Agama, (Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1989), hlm. 49
17
Selain metode tersebut, penulis juga menggunakan metode analisis
lainnya, yaitu:
a. Metode Interpretasi
Dalam hal ini peneliti menggunakan metode interpretasi.
Interpretasi data adalah pencarian pengertian yang lebih luas tentang
data yang telah dianalisis, atau dengan kata lain interpretasi merupakan
penjelasan yang terperinci tentang arti yang sebenarnya dari data yang
telah dianalisis atau dipaparkan. Dengan demikian, pemberian
interpretasi dari data berarti memberikan arti yang lebih luas dari data
penelitian.
Interpretasi mempunyai dua aspek, yaitu sebagai berikut:
1. Untuk menegakkan keseimbangan suatu penelitian, dalam
pengertian menghubungkan hasil suatu penelitian dengan
penemuan penelitian lain.
2. Untuk membuat atau menghasilkan suatu konsep yang bersifat
menerangkan atau menjelaskan.37
b. Metode Analitis Kritis
Mengkaji gagasan primer mengenai suatu ruang lingkup
permasalahan yang dipercayakan oleh gagasan sekunder yang relevan.
Fokus gagasan penelitian adalah dengan mendeskripsikan, membahas
dan mengkritik gagasan primer yang selanjutnya dikonfrontasikan
dengan gagasan primer lain dalam upaya melakukan studi yang berupa
perbandingan hubungan dan pengembangan model.38
37 Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta:
Penerbit Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 137-138 38 Jujun, S. Suriasumantri, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, (Jakarta: Pusjarlit dengan
Penerbit Nuansa, tth), hlm. 45.
18
BAB II
PENDIDIKAN PLURALISTIK DI PESANTREN
A. PESANTREN
Pesantren merupakan warisan sekaligus kekayaan kebudayaan intelektual
bangsa Indonesia dalam rentangan sejarah masa lalu dan sekarang, dapat kita lihat
besar peranannya dalam proses perkembangan sistem pendidikan nasional, di
samping eksistensinya dalam melestarikan dan mempertahankan serta melestarikan
ajaran-ajaran agama Islam.
Berdasarkan kondisi pesantren yang sedemikian rupa, maka konsep pesantren
menjadi cerminan pemikiran masyarakat dalam mendidik dan melakukan perubahan
sosial terhadap masyarakat. Dampak yang jelas terjadi perubahan orientasi kegiatan
pesantren sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dengan demikian pondok
pesantren berubah tampil sebagai lembaga pendidikan yang bergerak di bidang
pendidikan dan sosial. Bahkan lebih jauh daripada itu pesantren menjadi konsep
pendidikan sosial dalam masyarakat muslim baik di desa maupun di kota.1 Untuk itu
akan dijelaskan mengenai gambaran tentang pondok pesantren sebagaimana berikut.
1. Pengertian Pesantren
Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata ”santri” yang mendapat
imbuhan awalan ”pe” dan akhiran ”an” yang menunjukkan tempat, maka artinya
adalah tempat para santri. Terkadang pula pesantren dianggap sebagai gabungan
dari kata ”santri” (manusia baik) dengan suku kata ”tra” (suka menolong)
sehingga kata pesantren dapat diartikan tempat pendidikan manusia baik-baik.2
Lebih jelas dan sangat terinci sekali Nurcholis Madjid mengupas asal usul
perkataan santri, ia berpendapat ”Santri itu berasal dari perkataan ”sastri” sebuah
kata dari Sansekerta, yang artinya melek huruf, dikonotasikan dengan kelas
literary bagi orang jawa yang disebabkan karena pengetahuan mereka tentang
1 Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta:
LKIS, 2004), hlm. 77. 2 Amal Fathullah Zarkasy, Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan dan Dakwah,
(Jakarta: Gema Risalah Press, 1998), hlm. 106.
19
agama melalui kitab-kitab yang bertuliskan dengan bahasa Arab. Kemudian
diasumsikan bahwa santri berarti orang yang tahu tentang agama melalui kitab-
kitab berbahasa Arab dan atau paling tidak santri bisa membaca al-Qur'an,
sehingga membawa kepada sikap lebih serius dalam memandang agama. Juga
perkataan santri berasal dari bahasa Jawa ”cantrik” yang berarti orang yang selalu
mengikuti guru kemana guru pergi menetap (ingat dalam istilah pewayangan)
tentunya dengan tujuan agar dapat belajar darinya mengenai keahlian tertentu.3
Pesantren juga dikenal dengan tambahan istilah pondok yang dalam arti
kata bahasa Indonesia mempunyai arti kamar, gubug, rumah kecil dengan
menekankan kesederhanaan bangunan atau pondok juga berasal dari bahasa Arab
”Funduq” yang berarti ruang tidur, wisma, hotel sederhana, atau mengandung arti
tempat tinggal yang terbuat dari bambu.4
Sehingga pesantren atau lebih dikenal dengan istilah pondok pesantren
dapat diartikan sebagai tempat atau komplek para santri untuk belajar atau
mengaji ilmu pengetahuan agama kepada kyai atau guru ngaji, biasanya komplek
itu berbentuk asrama atau kamar-kamar kecil dengan bangunan apa adanya yang
menunjukkan kesederhanaannya.
Lebih luas lagi M. Arifin mendefinisikan pondok pesantren sebagai suatu
lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat
sekitar, dengan sistem asrama (kampus) di mana menerima pendidikan agama
melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah
kedaulatan dari leadership seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas
yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal.5
2. Sejarah dan Perkembangan Pondok Pesantren
Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang
tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus)
yang santri-santrinya menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau
3 Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Praktek Perjalanan, (Jakarta: Paramadina,
1997), hlm. 19-20. 4 Amal Fathullah Zarkasyi, Op.Cit, hlm.105-106. 5 M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm.
240.
20
madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dan kepemimpinan
seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatis
serta independen dalam segala hal.6
Selain itu disebutkan bahwa pondok pesantren adalah suatu bentuk
lingkungan “masyarakat” yang unik dan memiliki tata nilai kehidupan yang
positif. Pada umumnya, pesantren terpisah dari kehidupan sekitarnya. Komplek
pondok pesantren minimal terdiri atas rumah kediaman pengasuh disebut juga
kyai, masjid atau mushola, dan asrama santri. Tidak ada model atau patokan
tertentu dalam pembangunan fisik pesantren, sehingga penambahan bangunan
demi bangunan dalam lingkungan pesantren hanya mengambil bentuk
improvisasi sekenanya belaka.
Tentang kehadiran pesantren secara pasti di Indonesia pertama kalinya,
dimana dan siapa pendirinya, tidak dapat diperoleh keterangan yang pasti.
Berdasarkan hasil pendataan yang dilaksanakan oleh Departemen Agama pada
tahun 1984-1985 diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada
tahun 1062 di Pamekasan Madura, dengan nama Pesantren Jan Tampes II. Akan
tetapi hal ini juga diragukan, karena tentunya ada Pesantren Jan Tampes I yang
lebih tua. Kendatipun Islam tertua di Indonesia yang peran sertanya tidak
diragukan lagi, adalah sangat besar bagi perkembangan Islam di nusantara.7
Lembaga pendidikan yang disebut pondok pesantren sebagai pusat
penyiaran Islam tertua yang lahir dan berkembang seirama dengan masuknya
Islam di Indonesia. Pada awal berdirinya, pondok pesantren umumnya sangat
sederhana. Kegiatan pembelajaran biasanya diselenggarakan di langgar
(mushala) atau masjid oleh seorang kyai dengan beberapa orang santri yang
datang mengaji. Lama kelamaan “pengajian” ini berkembang seiring dengan
pertambahan jumlah santri dan pelebaran tempat belajar sampai menjadi sebuah
lembaga yang unik, yang disebut pesantren.
Sedangkan asal-usul pesantren di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari
sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren merupakan lembaga
6 HM. Amin Haedari, et. al., Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan
Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta: IRD Press, 2004), hlm. 4. 7 Ibid, hlm. 3.
21
pendidikan Islam yang unik Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah
berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad. Maulana Malik Ibrahim
(meninggal 1419 di Gresik Jawa Timur), spiritual father Walisongo, dalam
masyarakat santri Jawa biasanya dipandang sebagai gurunya-guru tradisi
pesantren di tanah Jawa. Ini karena Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh
Maulana Maghribi yang wafat pada 12 Rabi’ul Awal 822 H bertepatan dengan 8
April 1419 M dan dikenal sebagai Sunan Gresik adalah orang yang pertama dari
sembilan wali yang terkenal dalam penyebaran Islam di Jawa.8
Meskipun begitu, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan
mengembangkan pondok pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah Raden
Rahmat (Sunan Ampel). Ia mendirikan pesantren di Kembang Kuning, yang pada
waktu didirikan hanya memiliki tiga orang santri, yaitu Wiryo Suroyo, Abu
Hurairah, dan Kyai Bangkuning. Kemudian ia pindah ke Ampel Denta, Surabaya
dan mendirikan pondok pesantren di sana. Misi keagamaan dan pendidikan
Sunan Ampel mencapai sukses, sehingga beliau dikenal oleh masyarakat
Majapahit. Kemudian bermunculan pesantren-pesantren baru yang didirikan oleh
para santri dan putra beliau. Misalnya oleh Raden Patah, dan Pesantren Tuban
oleh Sunan Bonang.
Pondok pesantren memang bila dilihat dari latar belakangnya, tumbuh
dan berkembang dengan sendirinya dalam masyarakat yang terdapat implikasi-
implikasi politis sosio kultural yang menggambarkan sikap ulama-ulama Islam
sepanjang sejarah. Sejak negara kita dijajah oleh orang barat, ulama-ulama
bersifat noncooperation terhadap penjajah serta mendidik santri-santrinya dengan
sikap politis anti penjajah serta nonkompromi terhadap mereka dalam bidang
pendidikan agama pondok pesantren. Oleh karena itu, pada masa penjajahan
tersebut pondok menjadi satu-satunya lembaga pendidikan Islam yang
menggembleng kader-kader umat yang tangguh dan gigih mengembangkan
agama serta menentang penjajahan berkat jiwa Islam yang berada dalam dada
8 Ibid, hlm. 5.
22
mereka. Jadi di dalam pondok pesantren tersebut tertanam patriotisme di samping
fanatisme agama yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada masa itu.9
3. Unsur-Unsur Pesantren
Dalam lembaga pendidikan Islam yang disebut pesantren sekurang-
kurangnya ada unsur-unsur: kyai yang mengajar dan mendidik serta menjadi
panutan, santri yang belajar, masjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan,
pengajaran kitab-kitab Islam klasik (kitab kuning) dan asrama tempat tinggal
para santri.10
a. Kyai
Adanya kyai dalam pesantren merupakan hal yang sangat mutlak,
bagi sebuah pesantren, sebab dia adalah tokoh sentral yang memberikan
pengajaran, karena kyai menjadi satu-satunya yang paling dominan dalam
kehidupan suatu pesantren.
b. Pondok (asrama)
Disinilah kyai tinggal bersama para santri untuk bekerja sama
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dalam situasi kekeluargaan dan
kegotong-royongan sesama warga pesantren. Pesantren menampung santri-
santri yang berasal dari daerah jauh untuk bermukim. Pondok bukan hanya
tempat tinggal (asrama), tetapi juga untuk mengikuti dengan baik pelajaran
yang diberikan oleh kyai dan sebagai tempat latihan bagi santri agar mampu
mandiri dalam masyarakat.
c. Masjid
Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar, di
samping sebagai tempat melakukan shalat berjamaah setiap waktu shalat.
Dan waktu belajar mengajar dilaksanakan sebelum atau sesudah shalat
berjamaah.
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan
pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik
9 Zamkhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3S, 1982), hlm. 17.
10 Ahmad Syafi’i Noer, et.al., Sejarah dan Pertumbuhan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Grasindo, 2001), hlm. 120.
23
para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah dan
shalat Jum’at dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.
Seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren biasanya
pertama-tama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini
biasanya di ambil atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia akan
sanggup memimpin sebuah pesantren.
d. Santri
Merupakan unsur pokok dari pesantren, biasanya terdiri dari dua
kelompok, yaitu:
1) Santri mukim ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan
menetap dalam pondok pesantren.
2) Santri kalong yaitu santri-santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar
pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren. Mereka
pulang ke rumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu
pelajaran di pesantren
e. Pengajaran Kitab Kuning
Kitab-kitab Islam klasik yang sekarang dikenal dengan kitab kuning
sebagai karangan ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu
pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab.11
Meski demikian, bukan berarti elemen-elemen yang lain tidak menjadi
bagian penting dalam sebuah lembaga pendidikan pesantren. Sebaliknya,
perkembangan dan kemajuan peradaban telah mendorong pesantren untuk
mengadopsi ragam elemen bagi teroptimalisasinya pelaksanaan pendidikan
pesantren. Seiring dengan hal itu, pengkategorisasian bagian-bagian yang
termasuk dalam elemen penting pesantren pun menjadi beragam. M. Arifin
misalnya menegaskan bahwa sistem pendidikan pesantren harus meliputi
infrastruktur maupun suprastruktur penunjang. Infrastruktur bisa berupa
perangkat lunak (software) seperti kurikulum, metode pembelajaran dan
perangkat keras (hardware) seperti bangunan pondok, masjid, sarana dan
prasarana belajar (laboratorium, komputer, perpustakaan dan tempat praktikum
11 Ibid, hlm. 28-38
24
lainnya. Sedangkan suprastruktur pesantren meliputi yayasan, kyai, santri, ustadz
dan para pembantu kyai.12
4. Sistem Pendidikan dan Pengajaran Pondok Pesantren
Bila kita mempergunakan istilah sistem pendidikan dan pengajaran
pondok pesantren, maka yang dimaksud adalah saran berupa perangkat
organisasi yang diciptakan untuk mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran
yang berlangsung dalam pondok pesantren. Sedangkan bila kita mempergunakan
istilah sistem pendekatan tentang metode pengajaran agama Islam di Indonesia,
maka pengertiannya adalah cara pendekatan dan penyampaian ajaran agama
Islam di Indonesia dalam ruang lingkup yang luas, tidak hanya terbatas pada
pondok pesantren, tetapi mencakup lembaga-lembaga pendidikan formal, baik
madrasah maupun sekolah umum dan nonformal, seperti pondok pesantren.
Pesantren sebagaimana kita ketahui, biasanya didirikan oleh perseorangan
(kyai) sebagai figur sentral yang berdaulat dalam mengelola dan mengaturnya.
Hal ini, menyebabkan sistem yang digunakan di pondok pesantren, berbeda
antara satu dan yang lainnya. Mulai dari tujuan, kitab-kitab (atau materi) yang
diajarkan, dan metode pengajarannya pun berbeda. Namun secara garis besar
terdapat kesamaan.
Pada umumnya pembelajaran di pesantren mengikuti pola tradisional,
yaitu metode sorogan dan metode bandongan. Kedua metode ini kyai aktif dan
santri pasif. Untuk itu perlu adanya metode pembelajaran sebagaimana
merupakan jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi
jika dikaitkan dengan istilah mengajar, dimana mengajar berarti menyajikan atau
menyampaikan, sedangkan metode mengajar sendiri adalah salah satu cara yang
harus dilalui untuk menyajikan bahan pengajaran agar tercapai tujuan pengajaran.
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang termasuk tertua, sejarah
perkembangan pondok pesantren memiliki model-model pembelajaran yang
bersifat klasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan metode pengajaran
12 M. Arifin, “Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum”, dalam HM. Amin Haedari, et. al.,
Op.Cit, hlm. 3
25
wetonan dan sorogan. Di Jawa Barat, metode tersebut diistilahkan dengan
bandongan, sedangkan di Sumatra digunakan istilah Halaqoh.
Belajar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan
manusia. Arno F. Witting dalam buku Psychology of Learning mengatakan
bahwa learning is a relatively permanent change in an organism’s behavioral
repertoire as a result of experience.13 (Belajar didefinisikan sebagai suatu
perubahan permanen yang terjadi secara relatif dalam membentuk perilaku diri
yang baik sebagai hasil dari pengalaman).
Menurut Elisabeth Hill, bahwa yang dinamakan belajar adalah a
relatively enduring change in behavior caused by experience or practice.14
(perubahan dalam tingkah laku yang tetap yang terjadi secara relatif akibat dari
suatu pengalaman atau latihan). Menurut Englewood Clifes, learning is a process
of progressive behavior adaptation. 15 (Belajar adalah suatu adaptasi perilaku
yang berkelanjutan atau terus menerus).
Secara garis besar metode pengajaran di pesantren, dapat dikelompokkan
menjadi dua macam, di mana diantaranya masing-masing sistem mempunyai ciri
khas tersendiri, yaitu:
a. Metode Wetonan (Halaqoh)
Istilah weton berasal dari bahasa jawa yang diartikan berkala atau
berwaktu. Pengajian weton tidak merupakan pengajian rutin harian, tetapi
dilaksanakan pada saat-saat tertentu.16
Metode ini di dalamnya terdapat seorang kyai yang membaca suatu
kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang sama
lalu santri mendengar dan menyimak bacaan kyai. Metode ini dapat dikatakan
sebagai proses belajar mengaji secara kolektif. Termasuk dalam kelompok
sistem bandongan atau weton ini adalah halaqah, yaitu model pengajian yang
umumnya dilakukan dengan cara mengitari gurunya. Para santri duduk
13 Arno F. Witting, Psychology of Learning, ( New York: Mc Graw-Hill, 1981), hlm. 12 14 Elisabeth Hall, Psychology to Day Introduction, (New York: Random House, 1983), hlm.
177. 15 Englewood Clifes, Essential of Education Psychology, (USA: Prentice Hall, 1958), hlm. 199 16 HM. Amin Haedari, et. al., Op.Cit, hlm. 40.
26
melingkar untuk mempelajari atau mendiskusikan suatu masalah tertentu di
bawah bimbingan seorang guru.
b. Metode Sorogan
Metode yang santrinya cukup pandai men-sorog-kan (mengajukan)
sebuah kitab kepada kyai untuk dibaca dihadapannya, kesalahan dalam
bacaannya itu langsung dibenarkan oleh kyai. Metode ini dapat dikatakan
sebagai proses belajar mengajar individual.
Model ini amat bagus untuk mempercepat sekaligus mengevaluasi
penguasaan santri terhadap kandungan kitab yang dikaji. Akan tetapi metode
ini membutuhkan kesabaran, ketekunan, ketaatan dan kedisiplinan yang
tinggi dari para santri. Model ini biasanya hanya diberikan kepada santri
pemula yang memang masih membutuhkan bimbingan khusus secara intensif.
Pada umumnya pesantren lebih banyak menggunakan model wetonan karena
lebih cepat dan praktis untuk mengajar banyak santri.
Meskipun setiap pesantren mempunyai ciri-ciri dan penekanan tersendiri,
hal itu tidaklah berarti bahwa lembaga-lembaga pesantren tersebut benar-benar
berbeda satu sama lain, sebab antara yang satu dengan yang lain masih saling kait
mengkait. Sistem yang digunakan pada suatu pesantren juga diterapkan di
pesantren lain.
Pada umumnya, pelaksanaan pendidikan di pesantren yang mengikuti
prinsip-prinsip pendidikan yang meliputi:
a. Prinsip Teosentris
Prinsip ini memandang semua aktivitas manusia harus senantiasa
diarahkan pada pencapaian nilai ibadah kepada Tuhan. Semua aktivitas
pendidikan merupakan bagian integral dari totalitas kehidupan, sehingga
belajar di pesantren tidak dipandang sebagai alat tetapi dipandang sebagai
tujuan. Oleh karena itu kegiatan belajar-mengajar di pesantren tidak
memperhitungkan waktu.17
Prinsip ibadah mengajarkan agar sesuatu tindakan bisa bernilai ibadah
dan berdasarkan rasa kecintaan terhadap tuhan. Segala perbuatan harus
17 Zamkhsyari Dhofier, Op.Cit, hlm. 29.
27
diarahkan dan didasarkan atas niat mencapai ridho Tuhan. Tanpa niat seperti
ini, tidak ada artinya amal yang dilakukan
b. Prinsip Sukarela dan Mengabdi
Para pengasuh pesantren memandang semua kegiatan pendidikan
sebagai ibadah kepada Tuhan. Oleh karena itu, maka penyelenggaraan
pesantren dilaksanakan secara sukarela dan mengabdi pada sesama dalam
rangka mengabdi kepada Tuhan. Sebagaimana perintah agama, bahwa santri
wajib menghormati ustadznya serta saling menghormati satu sama lain. Santri
yakin bahwa dirinya tidak menjadi orang berilmu tanpa guru dan bantuan
sesama. Untuk itu banyak santri yang mengabdikan dirinya di pesantren
sampai bertahun-tahun tanpa pamrih hanya untuk mencapai ridlo Allah
semata.
c. Prinsip Kearifan
Pesantren menekankan pentingnya kearifan dalam menyelenggarakan
pendidikan pesantren dan dalam tingkah laku sehari-hari. Kearifan yang
dimaksud disini adalah berperilaku sabar, rendah hati, berbuat adil dan amar
ma’ruf nahi mungkar, mampu mencapai tujuan tanpa merugikan orang lain
dan mendatangkan manfaat bagi kepentingan bersama.
d. Prinsip Kesederhanaan
Pesantren menekankan pentingnya penampilan sederhana sebagai
salah satu nilai luhur pesantren dan menjadi pedoman perilaku sehari-hari
bagi seluruh warga pesantren. Kesederhanaan bukanlah kemiskinan,
melainkan hidup secara wajar, proporsional dan tidak berlebihan, terutama
pada materi.
Kesederhanaan sudah menjadi ciri kehidupan pesantren, seluruh
elemen pesantren berusaha untuk memperoleh ridlo Allah dengan senantiasa
mendekatkan diri kepada-Nya dan tidak memikirkan kepentingan duniawi.
Mereka membiasakan diri untuk hidup dalam ke-sufi-an.
28
e. Prinsip Kolektivitas
Di Pondok Pesantren Soko Tunggal berlaku prinsip bahwa santri
harus mendahulukan kewajiban dan kepentingan orang lain di atas
kepentingan sendiri, sehingga terjadi kekompakan, rasa solidaritas dan
persaudaraan yang erat di antara para santri. Dalam pesantren, upaya
kebersamaan diciptakan melalui kegiatan-kegiatan setiap hari, misalnya
kegiatan keagamaan dan kegiatan belajar.
f. Prinsip Mandiri
Santri dilatih untuk mengatur dan bertanggung jawab atas
keperluannya sendiri. Prinsip ini tidak bertentangan dengan prinsip
kolektivitas, bahkan sebaliknya justru menjadi bagian dari padanya, karena
mereka menghadapi nasib dan kesukaran yang sama. Maka jalan yang baik
setiap individu mengatasi masalahnya ialah tolong-menolong.
Disisi lain, santri dituntut aktif dan mampu memilih yang sesuai
dengan kebutuhannya. Keberanian mengambil sikap ini sangat menentukan
kesuksesan seorang santri
g. Prinsip Mengagungkan Ilmu
Seorang santri (pelajar) tidak akan memperoleh kesuksesan ilmu dan
tidak pula ilmunya dapat bermanfaat, selain jika mau mengagungkan ilmu itu
sendiri, ahli ilmu dan menghormati keagungan gurunya. Seperti ungkapan
yang mengatakan: ”Dapatnya orang mencapai sesuatu hanya karena
mengagungkan sesuatu itu, dan gagalnya juga hanya karena tidak mau
mengagungkannya”.
Hal tersebut sesuai dengan uraian pada kitab Ta’lim Muta’allim
sebagai salah satu kitab yang banyak dikaji di lingkungan pondok pesantren,
yang menyebutkan bahwa: سأنبيك عن مجموعها ببيان* اال ال تنال العلم الا بستة
18وارشاد أستاذ وطول زمان* ذآاء وحرص واصتباروبلغة
18 Az-Zarnuji, Ta’lim Muta’allim, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Islamiyah, tt), hlm.15
29
“Ketahuilah kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan bekal enam perkara, yaitu: cerdas, semangat, bersabar, memiliki bekal, petunjuk atau bimbingan guru dan waktu yang lama”
h. Prinsip Estafet
Dalam sistem pendidikan pesantren, semua tanggung jawab tidak
menjadi tanggungan kiai, melainkan dibantu oleh santri-santri senior yang
dianggap mampu. Mereka mewakili kiai untuk membimbing santri baru.
i. Prinsip Kebebasan Terpimpin
Seperti prinsip-prinsip di atas, prinsip ini digunakan di pesantren
dalam menjalankan kebijaksanaan kependidikannya. Dalam kehidupan sosial,
individu juga mengalami keterbatasan-keterbatasan, baik keterbatasan
kultural maupun struktural. Namun demikian, manusia juga memiliki
kebebasan mengatur dirinya sendiri. Atas dasar itu pesantren memperlakukan
kebebasan dan keterikatan sebagai hal kodrati yang harus diterima dan
dimanfaatkan sebagaimana mestinya dalam kegiatan belajar-mengajar. Hal
itu tercermin dari pandangan kiai bahwa kepada anak wajib ditanamkan jiwa
agama, yang akan menjadi dasar kepribadiannya, tetapi pada saat menginjak
dewasa, anak itu sendirilah yang akan memilih jalan hidupnya, apakah akan
ingkar atau beriman dan bertaqwa pada Tuhan. Misalnya: seorang kyai
berkeyakinan bahwa kesan pertama yang ditanamkan kepada santri akan
mempengaruhi secara mendalam kepribadian selanjutnya.
Sehubungan dengan itu maka sikap pesantren dalam melaksanakan
pendidikan adalah membantu dan mengiring anak didiknya, tetapi pesantren
juga berpegang teguh pada tata tertib pesantren, terutama pada hukum agama.
j. Prinsip Restu Kyai
Dalam kehidupan pesantren semua aktivitas warga pesantren sangat
bergantung pada restu kyai. Implikasi prinsip ini adalah tanda kelulusan
ditentukan sendiri oleh kyai.19
19 Ahmad Muthohar, Idiologi Pendidikan Pesantren, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), hlm. 21-23
30
B. PENDIDIKAN PLURALISTIK
Pendidikan merupakan sebuah sistem yang mengembangkan segala aspek
pribadi dan kemampuan. Dalam upaya pengembangan kemampuan, jalur yang harus
ditempuh adalah pendidikan. Dalam pendidikan itu sendiri ada beberapa aspek yang
harus dicapai dalam berbagai segi kehidupan. Hal ini meliputi pengembangan segala
segi kehidupan masyarakat, termasuk pengembangan sosial budaya, ekonomi, dan
politik, serta bersedia menyelesaikan permasalahan masyarakat terkini dalam
menghadapi tuntutan-tuntutan masa depan dan memelihara sejarah dan
kebudayaannya.
Pada hakekatnya pendidikan adalah agen sebuah tradisi yang menjunjung
tinggi nilai dan adat istiadat serta mengutamakan musyawarah dalam menyelesaikan
permasalahan pelik dan bukan berorientasi pada aspek kapitalisme dan kanibalisme
intelektual. Jika memahami dan mengerti permasalahan diatas tentunya kita bisa
menilai bahwa pendidikan hanya memihak pada orang atau golongan tertentu.
1. Pengertian Pendidikan Pluralistik
Untuk memasuki pendidikan pluralistik, terlebih dahulu diungkapkan
makna dari pendidikan Islam, karena pendidikan pluralistik memiliki korelasi
yang kuat dengan konsep pendidikan Islam.
Pendapat M. Fadhil al-Jamaly tentang pendidikan Islam:
“Pendidikan Islam adalah upaya mengembangkan mendorong, serta mengajak manusia lebih maju berdasarkan nilai - nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan.”20
Selanjutnya Chabib Thoha, mendefinisikan Pendidikan Islam: “Adalah
pendidikan yang falsafah, dasar dan tujuan serta teori - teori yang dibangun untuk
melaksanakan praktek didasarkan nilai - nilai dasar Islam yang terkandung dalam
al-Qur'an dan Hadits).” 21
Kemudian dalam konggres sedunia II tentang pendidikan Islam tahun
1980, misalnya telah dihasilkan suatu rumusan, dinyatakan bahwa pendidikan
20 Muhammad Fadhil Al-Jamaly, Filsafat Pendidikan Dalam Al-Qur'an, Terj. Zainal Abidin Ahmad, (Jakarta: Pepera, 1986), hlm. 3.
21 M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Cet I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 99.
31
Islam ditujukan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan pribadi manusia
secara menyeluruh melalui latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan dan panca
indra. Oleh karena itu pendidikan Islam harus mengembangkan seluruh aspek
kehidupan manusia baik spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, keilmuan
bahasan, baik secara individu maupun kelompok, serta mendorong aspek - aspek
tersebut ke arah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup.
Dari penjelasan di atas memberikan gambaran tentang rangkaian
pengertian dan ruang lingkup yang mendasari konsep pendidikan Islam. Secara
garis besarnya pendidikan itu menyangkut tiga faktor utama, yaitu:
1. Hakikat penciptaan manusia22, yaitu agar manusia menjadi pengabdi Allah
yang taat dan setia.
2. Peran dan tanggung jawab manusia sejalan dengan statusnya selaku Abd
Allah, Al Basyir, Al Insan, Al Nas, Bani Adam maupun Khalifah Allah.
3. Tugas utama yaitu membentuk akhlak yang mulia serta memberi rahmat
bagi semua alam (rahmat li al alamin)
Ketiga faktor ini merupakan dasar berpijak bagi perumusan pendidikan
Islam. Dengan demikian pendidikan Islam dapat diartikan sebagai usaha
pembinaan dan pengembangan potensi manusia secara optimal sesuai dengan
statusnya, dengan pedoman kepada syari’at Islam yang disampaikan oleh
Rasulullah agar manusia dapat berperan sebagai pengabdi Allah yang setia
dengan segala aktivitasnya guna tercipta suatu kondisi kehidupan Islami yang
ideal, selamat, aman, sejahtera dan berkualitas, serta memperoleh jaminan hidup
di dunia dan jaminan bagi kehidupan di akhirat.
Sedangkan kata pluralistik dalam hal ini harus dibedakan dengan
pengertian pluralisme dan pluralistik meskipun sama-sama berasal dari akar kata
plural yang berarti: kejamakan; orang banyak, ganda, terdiri dari banyak
macam.23
22 Dalam tafsir Al-Quranul Majid an Nur, Teungku Hasbi ash Shiddiqy menyebutkan bahwa
fitrah manusia adalah hamba yang diciptakan oleh Allah yang Esa dan dengan akal yang diturunkan Allah merupakan karunia yang tidak terhingga dan kebanyakan manusia tidak mengakui nikmat yang telah diturunkan kepadanya. Lih. Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddiqy, Tafsir al Qur’anul Majid an Nur, (Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, 1995), cet. II, Edisi. II, hlm. 3079-3080.
23 Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 326.
32
Pluralisme merupakan sebuah aliran atau “ism” tentang pluralitas (a
pluralism is an “ism” about a “plurality”)24 dengan kata lain pluralisme adalah
paham yang mengajarkan, mengakui dan dapat menempatkan diri dalam
banyaknya perbedaan.
Pluralitas bisa diartikan sebagai: ….the existence of many different group
in one society, for example people of different races or of different political or
religious beliefs; cultural of political pluralism”25 Pluralisme adalah keberadaan
atau toleransi keragaman etnik atau kelompok- kelompok kultural dalam suatu
masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu
badan, kelembagaan dan sebagainya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan pluralistik adalah
usaha yang sistematis, terarah yang bertujuan untuk membentuk kesadaran,
mensosialisasikan dan menanamkan hakikat dan praktek pluralistis bagi peserta
didik yang menekankan pada nilai-nilai moral seperti kasih sayang, tolong
menolong, toleransi, menghormati perbendaan pendapat, dan sikap-sikap
kemanusiaan lainnya yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam.
Pendidikan pluralistik dirasa perlu dan mutlak harus direalisasikan
mengingat salah satu tujuan pendidikan adalah tidak mengenal kelas sosial
kemasyarakatan. Pendidikan pluralistik adalah sebuah sistem pendidikan yang
berupaya untuk meredam kesenjangan sosial, kelas sosial, kecemburuan sosial
dengan mengenalkan dan mensosialisasikan salah satu orientasinya yakni
kebersamaan. Orientasi kebersamaan ini paling tidak akan mampu untuk
memahami betapa sangat vitalnya menghargai dan menciptakan kebersamaan.
Jika kelas sosial masih saja di agung-agungkan maka akan timbul kecemburuan
sosial. Selama ini kecemburuan sosial sering terjadi di dunia pendidikan
khususnya dalam upaya pembenahan sebuah sistem yang akan digunakan dalam
rangka pengembangan model pendidikan tersebut.
24 Richard J. Mouw & Sander Griffon, “Pluralism & Horizons”, (Eerdsmans Publishing
Company, 1993), hlm. 13, dalam Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), hlm. 12.
25 Oxford Advanced Learned’s Dictionary: (New York: Webster’s New World: 2000), dalam Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme Di Indonesia, (Jakarta: Logung Pustaka, 2005), hlm. 13.
33
Pendidikan yang selama ini diwacanakan diberbagai aktifitas itu adalah
pendidikan pada taraf teoritik. Pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan
yang mampu mengenal, mampu mengakomodir segala kemungkinan, memahami
heterogenitas, menghargai perbedaan baik suku, bangsa, terlebih lagi agama.
Selain itu jika kita menyimak dengan maraknya isu sekitar dua tahun kebelakang
yakni jual beli kursi pendidikan, membumbungnya biaya pendidikan dan masih
banyak lagi. Ini tentunya akan menjadi cermin bagi kita, bagaimana sebenarnya
kebenaran arah dan rel tujuan pendidikan yang beberapa dekade telah disuarakan.
Sebagai upaya meredam berbagai permasalahan di atas pendidikan pluralistik
naik ke permukaan wacana pendidikan sebagai solusi dalam rangka pemenuhan
ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem pendidikan yang telah dijalankan.26
Wacana pluralisme dalam konteks Al-Quran adalah mengupayakan
pengenalan dan pemahaman SARA dalam upaya memahami heterogenitas, yakni
menerapkan hakekat pendidikan pluralistik itu sendiri.
2. Dasar Pendidikan Pluralistik
Menurut Umar Muhammad al Tomy al-Saibany menyatakan bahwa dasar
pendidikan Islam identik dengan dasar tujuan Islam keduanya berasal dari
sumber yang sama yaitu al-Qur'an dan hadits. Pemikiran yang serupa, juga dianut
oleh para pemikir pendidikan Islam.27 Atas dasar tersebut, maka para ahli didik
dan pemikir pendidikan muslim mengembangkan pemikiran mengenai
pendidikan Islam dengan kedua sumber utama ini, dengan bantuan berbagai
metode dan pendekatan seperti qiyas, ijma’, ijtihad dan tafsir.
Berangkat dari sini kemudian diperoleh suatu rumusan pemahaman
komprehensif tentang alam semesta, manusia, masyarakat dan bangsa,
pengetahuan kemanusiaan dan akhlak. Hasil pemikiran tersebut kemudian
menjadi titik awal dari kajian tentang pendidikan dalam Islam. Sebab dalam
pandangan filsafat pendidikan Islam, kelima unsur tersebut berkaitan erat dengan
permasalahan pendidikan.
26 Ainurrafiq Dawam, Emoh Sekolah: Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual Menuju Pendidikan Multikultural”, (Yogyakarta: Inspeal Prees, 2003), hal. 87-88.
27 Abuddin Nata, Pemikiran Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Cet II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 224.
34
Disisi lain, doktrin ajaran Islam sesungguhnya sejak awal menegaskan
penghargaan terhadap pluralitas (kemajemukan). Hal tersebut tentu saja sangat
bersesuaian dengan jargon Islam sendiri sebagai agama rahmatan lil alamin.
Pluralitas adalah hukum Tuhan (sunatullah) yang diciptakan untuk kebaikan
manusia sendiri. Sebab jika Tuhan menghendaki, Dia bisa saja hanya
menciptakan satu agama dan satu golongan masyarakat. Namun Tuhan
menginginkan keberagaman (pluralitas) agar manusia bisa saling menolong,
membantu, bekerja sama dan saling berlomba untuk mencapai kebaikan.
Banyak isyarat tentang pluralisme dalam Al-Qur'an merupakan pondasi
paling penting. Isyarat-isyarat itu menunjukkan adanya persepsi khusus dari
Islam yang ada dalam masyarakat manusia.28 Al-Qur’an telah memberikan
referensi paling otentik bagi pluralisme, buktinya gaya bahasa Al-Qur'an yang
istimewa membuat setiap kata yang digunakan memiliki kemungkinan makna
yang beragam. Lebih dari itu, hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur'an yang
ditetapkan secara pasti dalam penjelasannya menggunakan kalimat-kalimat
umum yang memberikan peluang besar bagi sunnah untuk menjelaskan maksud
kandungan Al-Qur'an. Al-Qur'an tidak pernah menghendaki manusia menjadi
umat yang satu yang diatur oleh suatu konvensi atau suatu gagasan. Ketika Al-
Qur'an mengatakan bahwa kaum muslimin adalah umat yang satu, maka yang
dimaksud adalah kesatuan di dalam akidah. 29
Adapun beberapa ayat Al-Quran yang sangat berkaitan dengan penegasan
bahwa keseragaman merupakan sunatullah adalah:
a. QS. Al Hujurat: 13
يا أيها الناس إنا خلقناآم من ذآر وأنثى وجعلناآم شعوبا وقبائل
)١٣:الحجرتز(لتعارفوا إن أآرمكم عند الله أتقاآم إن الله عليم خبير
“Wahai manusia! Sungguh kami telah menciptakan kamu dari seorang laki- laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku- suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang- orang
28 Thoyib IM., Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2002), hlm. 180. 29 Ibid, hlm. 14.
35
yang paling bertaqwa. Sungguh Allah maha mengetahui dan maha teliti” (QS. Al-Hujurat: 13).30
Karena ayat al-Quran sendiri telah mengatakan tentang intisari dari
problem dan sekaligus solusi tentang pluralitas menurut pemahaman Islam.
Ayat tersebut di mulai dengan kenyataan tentang fakta bahwa masyarakat
dalam dirinya sendiri terbagi kedalam berbagai macam kelompok dan
komunitas yang masing-masing memiliki orientasi kehidupannya sendiri
yang memberikannya arah petunjuk.
Penggalan pertama ayat di atas “Sungguh kami telah menciptakan
kamu dari seorang laki- laki dan seorang perempuan……” adalah pengantar
untuk menegaskan bahwa semua manusia derajat kemanusiaannya sama disisi
Allah, tidak ada perbedaan antar suku dengan suku yang lain. Tidak ada juga
perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan karena
semua diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Pengantar
tersebut mengantar pada kesimpulan yang disebut oleh penggalan terakhir
ayat ini yakni: “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah
ialah orang- orang yang paling bertaqwa.” Karena itu berusahalah untuk
meningkatkan ketakwaan agar menjadi yang termulia disisi Allah.
Dan apapun sabab nuzul-nya, yang jelas ayat di atas menegaskan
kesatuan asal usul manusia dengan menunjukkan kesamaan derajat
kemanusiaan manusia. Tidak wajar seseorang berbangga dan merasa diri
lebih tinggi dari yang lain, bukan saja antar satu bangsa, suku atau warna
kulit dengan selainnya, tetapi antara jenis kelamin mereka, karena kalaulah
seandainya ada yang berkata bahwa Hawa yang perempuan itu bersumber
dari tulang rusuk Adam, sedang Adam adalah laki-laki, dan sumber sesuatu
lebih tinggi derajatnya dari cabangnya, sekali lagi seandainya ada yang
berkata demikian maka itu hanya khusus terhadap Adam dan Hawa, tidak
30 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, cet. ke-3,
(Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2005), hlm. 261.
36
terhadap semua manusia karena manusia selain mereka berdua kecuali Isa as.
lahir akibat percampuran laki-laki dan perempuan.31
b. QS. Al Al-Kafirun: 6
) ٦: الكافرون( لكم دينكم ولي دين “Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6)32
Dalam ayat ini, kata din diartikan agama, maka apakah ayat ini berarti
bahwa Nabi diperintahkan mengakui kebenaran anutan mereka? Jelas tidak.
Ayat ini hanya mempersilahkan mereka menganut apa yang mereka yakini.
Apabila mereka telah mengetahui tentang ajaran agama yang benar dan
mereka menolaknya serta bersikeras menganut ajaran mereka, silahkan.33
“Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku” merupakan
pengakuan eksistensi secara timbal balik, sehingga masing-masing pihak
dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan baik, tanpa
memutlakkan pendapat kepada orang lain sekaligus tanpa mengabaikan
keyakinan masing-masing.
Pengakuan eksistensi secara timbal balik disini sangat berbeda dengan
fatwa MUI dalam Munas-nya yang ketujuh pada 25-29 Juli 2005 di Jakarta,
yang menyebutkan bahwa pluralisme adalah suatu paham yang mengajarkan
bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama
adalah relatif.
Pengakuan eksistensi berbeda dengan mengakui kebenaran agama
lain. Dengan kata lain untuk masalah sosial yang tidak berkaitan dengan
akidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif dalam artian tetap melakukan
31 Dalam konteks ini sewaktu haji wada’ Nabi SAW berpesan antara lain: “Wahai seluruh
manusia, sesungguhnya Tuhan kamu esa, ayah kamu satu. Tidak ada kelebihan orang Arab atas non Arab, tidak juga orang non Arab atas orang Arab, atau orang berkulit hitam atas yang berkulit putih, tidak juga sebaliknya kecuali dengan taqwa, sesungguhnya semulia-mulia kamu disisi Allah adalah yang paling bertaqwa, Ibid. hlm. 142
32 Ibid, hlm. 641 33 Karena memang: “tidak ada paksaan dalam memeluk agama, sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar dari jalan yang sesat. (QS 2:256), “…Dan katakanlah bahwa kebenaran itu datang dari tuhanmu (hai Muhammad), maka siapa yang hendak beriman silahkan beriman, dan siapa yang hendak kufur silahkan pula (QS 18: 29). Ibid, hlm. 642.
37
pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling
merugikan, karena Islam sendiri menjamin kebebasan berakidah dan
meletakkan dasar-dasar toleransi (di antara akidah-akidah lain).
Akidah Islam sangat berpengaruh dalam memberikan kebebasan,
karena setiap agama bebas mempunyai aturan masing-masing dengan tanpa
campur tangan undang-undang Islam seperti agama Nasrani yang
membiasakan diri mereka mengadakan acara ritual di gereja ataupun tempat
persembahan mereka. Dalam akidah Islam, banyak sekali pesan positif
mengenai hal ini seperti menganjurkan umat Islam untuk berbuat baik kepada
umat Nasrani serta berlaku adil terhadap mereka.
Secara garis besar, pluralisme disini dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa bagian agar pemahaman mengenai pluralisme dibatasi pada kajian
yang seharusnya dan tidak melenceng dari yang diharapkan. Dalam bukunya,
Anis Malik Thoha menyebutkan ada beberapa tren pluralisme yang
berkembang saat ini, yaitu:34
1. Humanisme Sekular
Secara umum, konsep humanisme sekuler bercirikan
“antroposentris”, yakni menganggap manusia sebagai hakikat sentral
kosmos, (center of cosmos) atau menempatkannya di titik sentral. Dengan
kata lain bahwa setiap manusia adalah standar dan ukuran segala sesuatu
dan apabila terjadi perbedaan opini diantara mereka alam suatu masalah
maka tidak ada apa yang disebut “kebenaran obyektif”, sehingga tidak
boleh dikatakan yang satu benar dan yang lain salah.
Kemudian, karena hanya memfokuskan pada pertimbangan dan
nilai-nilai humanis murni tanpa menghiraukan pertimbangan dan nilai-
nilai ketuhanan sama sekali, maka humanisme pada dasarnya sekuler atau
dengan kata lain ateistik.
2. Teologi Global
Tren ini merupakan upaya yang sangat serius, sistematis dan
sophisticated (arti: licik) untuk menghapus agama-agama secara perlahan-
34 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta: Perspektif Kelompok Gema Insani, 2005), hlm. 232
38
lahan, atau paling kurang untuk mendangkalkannya dan menjinakkannya.
Tren ini sangat berbahaya, apalagi ia disuguhkan dalam kemasan yang
tampaknya religius, teologis, ilmiah dan obyektif dan sangat kontekstual,
yakni seirama dengan globalisasi yang sedang melanda dunia dan dengan
gaya yang tampak meyakinkan.35
Hal ini tentu sangat bertentangan dengan Islam mengingat tidak
ada agama yang paling benar di dunia ini kecuali Islam.
3. Sinkretisme
Tren ini berkesimpulan bahwa setiap agama adalah benar adanya,
dengan kata lain tren ini mengajak untuk mencampuradukkan unsur-unsur
religius yang berbeda-beda.
Islam tidak mengakui dan tidak membenarkan cara-cara seperti ini
sama sekali. Sikap yang tegas seperti ini didasarkan pada akidah tauhid
yang murni yang merupakan sari pati Islam yang mana segala sesuatu
yang berhubungan dengan eksistensi dan hakikat agama ini (aqidah,
syari’at dan akhlak) adalah bersumber darinya. Maka tidak ada aqidah
ataupun syari’at ataupun akhlak kecuali yang dijelaskan oleh allah SWT
dan Rasul-Nya.36
4. Hikmah Abadi (Shophia Perennis)
Hikmah abadi pada dasarnya muncul sebagai akibat langsung dari
sikap permusuhan dan kebencian akal modern “yang tercurahkan”
terhadap segala sesuatu yang sakral serta kegagalannya memahami
hakikat “kebenaran” (the truth) dan “hakikat” (the reality), termasuk
hakikat pluralitas dengan pemahaman yang tepat, benar dan integral.
Dengan demikian, tren ini ingin menghidupkan tradisi sakral dan
memelihara kesemuanya secara adil, tanpa menganggap salah satunya
lebih superior daripada yang lain dan tanpa mengingkari kesakralan hal-
hal yang sepatutnya disakralkan, juga tanpa berusaha mencampuradukkan
sesuatu yang mutlak dengan yang nisbi.37
35 Ibid, hlm. 235. 36 Ibid, hlm. 249. 37 Ibid, hlm. 121.
39
Dengan demikian gagasan ini tidak saja semakin jauh dari Islam
dan semakin menjauh dari harapan yang dicitakan. Oleh karena itu ia
lebih merupakan problem daripada solusi bagi masalah keragaman.
Terdapat perbedaan mendasar antara Islam dan teori-teori agama dalam
hal pendekatan metodologis tentang isu dan fenomena pluralitas agama. Islam
memandangnya sebagai hakikat ontologis yang genuine yang tidak mungkin
dinafikan atau dinihilkan, sementara teori-teori pluralis melihatnya sebagai
keragaman yang terjadi hanya terjadi pada level manifestasi eksternal yang
superfisial dan oleh karenanya tidak hakiki atau tidak genuine.38
Oleh karena itu keberadaan “yang lain” (existence of “other” sebagai
suatu fenomena sosial alami, tidak ada masalah dengan Islam, sebab agama ini
memang diturunkan oleh Allah sebagai sistem atau pedoman yang komprehensif
untuk kehidupan manusia di bumi secara individu maupun kolektif.
Disamping konstruksi di atas, masih ada hal lain yang perlu diperhatikan
yaitu; dimensi spiritual yang dimiliki oleh agama yang terrefleksikan dalam
bentuk nilai-nilai moral kategorikal yang mengikat semua orang yang baik yang
seagama maupun diluarnya, misalnya persamaan hak, kebebasan, kasih sayang,
saling membantu dalam kebaikan, menghormati martabat orang lain. Bentuk
nilai-nilai ini tidak dipunyai oleh konsep ilmu-ilmu humaniora empiris. Dengan
demikian konstruksi teologis harus dalam wilayah ini harus ditekankan, sehingga
hasilnya nanti dalam pendidikan tidak terjadi truth claim dalam wilayah esoteris
yang praktis-empiris dalam dataran sosial politik. Truth claim hanya boleh terjadi
dalam wilayah esoteris-dogmatis yang jangan sampai mengganggu pada
hubungan antar individu atau kelompok lain yang tidak segaris pemikiran.39
3. Pendidikan Pluralistik di Pesantren
Pondok pesantren yang merupakan lembaga pendidikan yang bersifat non
formal mulai mengadakan perubahan-perubahan guna menghasilkan generasi-
generasi yang tangguh, yang berpengalaman luas, di antaranya dengan
38 Ibid, hlm. 183. 39 Ismail SM., et.al., Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerjasama
dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2001), hlm. 305.
40
memasukkan mata pelajaran non agama ke dalam kurikulum pesantren, sebagian
juga ada yang memasukkan pelajaran bahasa asing ke dalam kurikulum wajib di
pondok pesantren.
Demikian pula pesantren mulai mengembangkan sayapnya dengan
memperbaharui sistem klasikal dalam pengajarannya, mendirikan madrasah-
madrasah, tempat kursus, sekolah umum dan bahkan ada sebagian pondok
pesantren yang memiliki perguruan tinggi. Pondok pesantren mulai membuka
diri dari berbagai masukan dan kritikan yang bersifat membangun dan tidak
menyimpang dari Agama Islam, sehingga pembaharuan di sana sini terus
dilakukan oleh pesantren.
Hal ini akan merubah penafsiran bahwa pesantren itu identik dengan
kekolotan, tradisional, bangunannya yang sempit, kumuh dan terisolasi di
pedesaan kepada pandangan yang menilai bahwa pesantren adalah lembaga
pendidikan yang unggul dan dapat dibanggakan, yang bisa menjadi alternatif
sistem pendidikan modern.
Pesantren sebagai salah satu basic dari pendidikan Islam di Indonesia
yang diharapkan dapat mendidik para santri sesuai dengan kebutuhan masyarakat
pada beberapa tahun terakhir tiba-tiba menjadi center of interest setelah
terjadinya beberapa pengeboman yang dilakukan oleh beberapa oknum dari
sekelompok orang yang bersembunyi dan menjadikan pondok pesantren sebagai
sarang teroris.
Terkait dengan fakta tersebut, adalah suatu hal yang sangat bertentangan
dengan keadaan di pesantren, mengingat fakta pendidikan pluralistik di pesantren
telah ada dan berkembang sejak awal berdirinya pesantren. Hal tersebut juga
dapat kita telusuri dari kondisi yang ada di pesantren dan tujuan pendidikannya.
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, pesantren pada umumnya tidak
memiliki rumusan tujuan pendidikan secara rinci, dijabarkan dalam sebuah
sistem pendidikan yang lengkap dan konsisten direncanakan dengan baik. Namun
secara garis besar, tujuan pendidikan pesantren dapat diasumsikan sebagai
berikut:
a. Tujuan Umum, yaitu untuk membimbing anak didik (santri) untuk menjadi manusia yang berkepribadian islami yang sanggup dengan ilmu agamanya
41
menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
b. Tujuan khusus, yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang yang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.40
Lebih jauh dijelaskan bahwa tujuan pendidikan pesantren tidak semata-
mata untuk memperkaya pikiran santri dengan penjelasan-penjelasan, tetapi
untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai
nilai-nilai sepiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang
jujur dan bermoral, dan menyiapkan para santri untuk hidup sederhana dan bersih
hati.
Setiap santri diajar agar menerima etik agama di atas etik-etik yang lain.
Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan,
uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar
adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian (`ibadah) kepada Tuhan.
Pesantren yang memiliki kepentingan mendasar untuk menanamkan tradisi
keilmuan Islam terhadap santri, perlu untuk dirumuskan ulang tujuan pendidikan
dan pengajarannya. Jika tidak demikian, maka akan terjadi kesenjangan.
Hal ini terjadi, menurut Nurchalish Majid, dikarenakan belum adanya
kesiapan bagi pesantren untuk memahami pola-pola budaya Barat, apalagi
mengimbangi, merespon saja terkadang mengalami kesulitan. Kepentingan
tersebut adalah dalam rangka merealisasikan dua visi utamanya yaitu;
Pertama, untuk menyebarluaskan ajaran tentang universalitas Islam ke seluruh pelosok Nusantara yang sangat pluralis. Hal ini oleh para Wali telah membuktikan dan berhasil menginternalisasikan nilai-nilai Islam dalam lingkungan masyarakat, tanpa meninggalkan jati diri pesantren.
Kedua, untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral dengan “Amar ma’ruf nahi munkar”. Ini berarti pesantren menjadi agen perubahan dan selalu melakukan pembebasan masyarakat dari segala keburukan moral, penindasan politik, kemiskinan ilmu pengetahuan dan bahkan kemiskinan ekonomi.41
40 M. Arifin, Op.Cit, hlm. 110-111 41 Nurcholis Madjid, Op.Cit, hlm. 3-5
42
Lembaga pendidikan mempunyai banyak keunggulan yang dapat
diberdayakan untuk mengurangi masalah yang timbul dalam masyarakat
pluralistik. Beberapa keunggulan itu diberdayakan sehingga pendidikan betul-
betul diandalkan sebagai kekuatan untuk meredam kerawanan masalah dalam
masyarakat pluralistik.
a. Melatih peserta didik yang dalam hal ini adalah santri untuk menghindari
sikap kesetiakawanan buta. Peserta didik harus lebih banyak diberi
kesempatan untuk mencari, menemukan serta mengolah sendiri agar
muncul sikap kemandirian.
b. Hendaknya lembaga pendidikan mengembangkan didikan sikap saling
menghargai, saling mengerti dan dialog. Lembaga pendidikan seharusnya
menciptakan kesempatan serta suasana untuk bergaul secara terbuka dan
dengan siapa saja.
c. Mengembangkan sikap universal dan dibiasakan bergaul dengan siapa saja
diluar dari kelompok partikularnya.
d. Peserta didik dibiasakan untuk melatih diri agar tidak mencampuradukkan
masalah yang dihadapi.42
Pendidikan pluralistik yang mencoba mengantisipasi berbagai perbedaan
dari yang hanya sekedar berbeda, berhadapan (vis a vis), bertolak belakang/
berpisahan (Dikotomis) sampai yang saling berlawanan (konfrontative). Pluralitas
dan heterogenitas sebagai sebuah realitas tidak dapat dipungkiri dan tidak
dihilangkan dari eksistensinya di dunia ini. Bisa dikatakan bahwa heterogenitas
dan pluralitas adalah sebuah hukum alam (natural law/ hukum alam). Sebagai
hukum alam, eksistensinya tidak dapat digugat lagi sama sekali. Dan disini tugas
manusia adalah mengatur berbagai perbedaan tersebut.
Pendidikan pluralistik sebagaimana telah dijelaskan dimuka, merupakan
sebuah pendidikan alternatif yang menjunjung tinggi dan menghargai perbedaan.
Karena itu model pendidikan seperti ini diharapkan memiliki orientasi yang jelas,
yang memihak pada realitas masyarakat yang majemuk. Hal ini dimaksudkan
42 Tn. Sumartana, et.al., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 263-264.
43
agar dalam perjalanan sejarah pendidikan pluralistik nantinya tidak kehilangan
arah atau bahkan berlawanan dengan nilai-nilai dasar pluralisme.
Membahas tentang pendidikan pluralistik di pesantren, berarti juga
membicarakan tentang unsur-unsur dan komponen yang ada dalam pesantren,
dan hubungan antara komponen-komponen itu sendiri. Dalam dunia pesantren
terdapat lima unsur pokok yang antara satu dan lainnya saling terkait dan yang
menjadi titik tolak adalah santri yang kemudian membentuk sebuah tradisi yang
unik yang berbeda dengan tatanan yang ada di masyarakat pada umumnya.
Dalam pendidikan pluralistik, semua aspek kelembagaan dan proses
belajar mengajarnya harus menerapkan sistem dan metode yang dapat
menumbuhkan pluralisme serta mampu menggali sisi perdamaian dan toleransi.
Oleh karenanya, diantara langkah yang harus ditempuh guru, khususnya yang
terkait dengan kegiatan pembelajaran adalah penentuan penggunaan pendekatan
dan metode. Penentuan pendekatan dan metode ini merupakan elemen penting
dalam proses belajar mengajar. Berhasil dan tidaknya suatu tujuan pendidikan
tergantung pendekatan dan metode yang digunakannya.
Pendekatan dan metode dengan begitu juga memainkan peran yang sangat
vital demi keberhasilan suatu proses belajar mengajar. Tujuan menggunakan
metode ini adalah untuk memperoleh efektifitas dari kegunaan metode itu
meskipun tidak ada satupun metode yang paling tepat untuk segala kondisi.
Sedangkan mengenai garis-garis yang dapat dijadikan pedoman atau
guidance dalam menyusun kurikulum pluralistik, Syaikh Abdul Mahbub dalam
bukunya menjelaskan sebagai berikut:
a. Penyusunan kurikulum harus didasarkan pada keimanan kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa, norma-norma atau nilai-nilai absolut yang diambil dari
agama dan hubungan integral antara Tuhan, manusia dan alam.
b. Meninggikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai alat yang dapat dijadikan
sebagai alat atau inspirasi untuk menyeleksi, menginvestigasi, menerima
dan menikmati adanya kebenaran.
c. Peserta didik (baca: santri) harus mengetahui hierarki antara ilmu
pengetahuan dan sumber nilai. Ilmu pengetahuan diperoleh melalui
pengalaman dan harus tunduk kepada pengetahuan rasional dan
44
pengetahuan rasional harus tunduk kepada norma-norma agama yang
datang dari Tuhan.
d. Keimanan dan nilai-nilai harus diakui sebagai dasar kebudayaan manusia.
Dengan demikian pendidikan harus digunakan untuk mendorong value atau
nilai-nilai yang baik.
e. Antara perasaan, pemikiran, institusi dan intelektual harus bekerja secara
harmoni dan terinterogasikan kedalam sebuah sistem pendidikan yang
komprehensif.
f. Peserta didik harus didorong untuk mengetahui prinsip unity and diversity
dan menyadari adanya dasar-dasar keamanan yang menembus dunia
biologis dan psikis.43
43 Syaikh Abdul Mahbub, “An Integrated Education System in a Multi Faith and Multi-Cultural
Country”, dalam Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme Di Indoneasia, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), hlm. 102-103.
45
BAB III
LAPORAN HASIL PENELITIAN
DI PONDOK PESANTREN SOKO TUNGGAL SEMARANG
A. Kondisi Umum Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang
1. Sejarah dan Perkembangan
Keberadaan seorang kyai1 sebagai pemimpin pesantren, ditinjau dari
tugas dan fungsinya dapat dipandang sebagai fenomena kepemimpinan
yang unik. Legitimasi kepemimpinan seorang kyai secara langsung
diperoleh dari masyarakat yang menilai tidak saja dari segi keahlian ilmu-
ilmu agama seorang kyai melainkan dinilai pula dari kewibawaan
(kharisma) yang bersumber dari ilmu, kesaktian, sifat pribadi dan seringkali
keturunan.
Begitupun di Pondok Pesantren Soko Tunggal2 Semarang, cikal
bakal berdirinya pondok pesantren ini tidak lepas dari sosok KH. Nuril
Arifin Husain atau yang akrab disapa Gus Nuril, selaku penggagas awal
berdirinya Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengasuh Pondok Pesantren
Soko Tunggal, ide awal pendirian Pondok Pesantren Soko Tunggal itu tidak
hanya bermula dari pemikiran murni beliau melainkan juga gagasan dari
para ulama salaf3 yang khawatir terhadap pertumbuhan bangsa dan negara
Indonesia.
1 Pengertian Kyai adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama
Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajarkan kitab-kitab Islam klasik kepada santrinya. Oleh karena itu sebutan Kyai bisa menempel pada diri siapa saja. Baik orang mempunyai maupun tidak, sebab sebutan itu datang dari masyarakat setempat dan bukan seperti sarjana, Doktor, maupun Profesor yang semuanya itu harus melalui jenjang pendidikan atau suatu penemuan (penelitian). Namun pengertian paling luas di Indonesia, sebutan Kyai dimaksudkan untuk para pendiri dan pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terpelajar telah membaktikan hidupnya untuk Allah serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan. Lihat; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal. 499.
2 Menurut kaidah bahasa, Soko berarti tiang/ pilar. Sedangkan Tunggal berarti satu (esa), ijen, Soko Tunggal yaitu “Tiang satu” yang berarti lambang ketuhanan, bahwa kita senantiasa mengingat keesaan Allah SWT
3 Para ulama yang dimaksud disini antara lain: KH. Abdul Aziz Bahri, Kyai Muslim Rifa’i atau Mbah Lim, Gus Mus, Mbah Dimiyati, Tubagus Ahmad dari Cirebon, Syech Yakub, Gus Jogo
46
Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang resmi berdiri pada tahun
1995 yaitu ditandai dengan berdirinya masjid Soko Tunggal diatas tanah
seluas 3000 M² yang berfungsi sebagai tempat ibadah sekaligus pusat
seluruh kegiatan pesantren. Sedangkan istilah “Soko Tunggal” sendiri
terinspirasi dari nama masjid yang didirikan oleh Hamengkubuwono IV
yang memang hanya memiliki satu tiang penyangga (soko guru).
Pada perkembangan selanjutnya, khusus untuk Pondok Pesantren
Soko Tunggal telah membuka cabang diberbagai daerah4. Pembangunan
pondok pesantren sebagai cabang dari Pondok Pesantren Soko Tunggal
Semarang dilakukan oleh beberapa santri yang telah diizinkan pengasuh
pondok, termasuk oleh mereka yang tidak nyantri harian (santri kalong).
Sebagaimana kita ketahui bahwa keberadaan pondok pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam berbasis masyarakat tidak hanya
berfungsi sebagai tempat kegiatan belajar mengajar ilmu-ilmu agama, tetapi
juga sebagai tempat dan sarana bagaimana menyelesaikan permasalahan
sosial yang ada.
Berawal dari beberapa konflik yang meresahkan dan mengancam
kerukunan antar pemeluk agama di Indonesia, maka pada tahun 2005,
bertempat di komplek Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang, KH.
Nuril Arifin bersama dengan seluruh pemuka agama dari agama Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu5, mantan Presiden RI KH.
Rekso (Putra Pangeran Singosari), Sulton Abdul Hamid, Nur Moga Pemalang, Gus Nur Salim Bahr Malang, Gus Kholil Sonhaji Sucen, Gus Mik sendiri, Gus Ali Sidoarjo, Kyai Maimun Zuber dan lain-lain. Hasi wawancara dengan KH. Nuril Arifin selaku pengasuh Pondok Pesantren Soko Tunggal, tanggal 15 Juli 2007.
4 Cabang Soko Tunggal: Pondok Pesantren Taman Hati Soko Tunggal, berada di Jakarta yang didirikan oleh KH. Nuril Arifin, Soko Tunggal An Nuriyah III di Wirosari Kabupaten Grobogan, Anwar Soko Tunggal IV di Blora, Soko Sejati Soko Tunggal V di Guci, Pesantren Soko Tunggal VI, berada di wilayah Kabupaten Demak dan beberapa kota di Jawa Tengah. Hasil wawancara dengan Sukisno, salah satu tenaga pengajar Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang tanggal 14 Juli 2007
5 Tokoh agama tersebut antara lain: Pandita D. Henry Basuki, B.A. dan Ninik Lesmanati dari agama Buddha, Pendeta Z.S. Djoko Purnomo, S.Th., Dra. Lena Pudjiastuti (Kristen), Prof. Dr. A. Widanti, S.H. (Katolik), Dr. I Wayan Sukarya D., dan Dra. Sri Rahayu Dewa (Hindu). Acara tersebut juga dihadiri Muspida Jateng, mantan KSAD Jenderal TNI Tyasno Sudarto, duta besar Cina dan Korea. Dan sebagai tindak lanjut dari deklarasi soko tunggal tersebut, telah dibangun pondok pesantren multiagama, di daerah Mijen. Ponpes tersebut diyakini sebagai satu-satunya di dunia dan
47
Abdurrahman Wahid dan elemen lainnya bersepakat untuk membentuk
Forum Keadilan dan Asasi Umat Beragama (Forkaghama) yang melahirkan
Deklarasi Soko Tunggal yang dideklarasikan pada 17 Desember 2005.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah prasasti soko tunggal yang
terletak di dalam komplek Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang:
1. Mewujudkan kehidupan beragama dengan mengedepankan perlindungan hukum, solidaritas, dan toleransi dalam kerangka NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
2. Bisa menyelesaikan permasalahan umat beragama di tingkat bawah. 3. Memberi ruang gerak demi terciptanya persaudaraan antar umat
beragama 4. Membantu memudahkan dan menciptakan koridor serta sarana-
prasarana dalam mewujudkan kehidupan beragama yang harmonis. 5. Melakukan mediasi antar umat beragama. 6. Menjadi bagian tak terpisahkan dari prinsip Bhineka Tunggal Ika. 7. Menciptakan iklim sejuk dan menghilangkan kecemburuan antar
umat beragama.6
Sebagai pusat kegiatan Forkaghama, keberadaan Pondok Pesantren
Soko Tunggal Semarang semakin menunjukkan jatidirinya sebagai bagian
dari masyarakat yang ikut berperan aktif dalam menciptakan generasi
penerus bangsa yang taat beragama, cerdas, terampil dan toleran terhadap
sesama pemeluk agama.
Di lain pihak, untuk lebih mengembangkan sayap dalam rangka
membentuk peserta didik (santri) yang memiliki kecakapan dan ketrampilan
yang suatu saat akan terjun kedalam masyarakat, maka melalui Yayasan
Soko Tunggal, dikembangkanlah beberapa bidang selain pesantren itu
sendiri, yaitu:
akan menjadi pengakuan internasional tentang kuatnya kerukunan hidup beragama di Indonesia. Disebut multi agama, karena ponpes yang akan dibangun di kawasan Kelurahan Purwosari, Kecamatan Mijen, Kota Semarang seluas 9.000 meter persegi itu akan dijadikan aktivitas rohani umat Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan Kong Hu Cu. Bahkan khusus umat Islam yang menempati ponpes tersebut termasuk paham Ahmadiyah yang baru-baru ini menjadi perdebatan pelik di Indonesia sehubungan pemahamannya yang mengatakan Nabi Muhammad SAW bukan nabi terakhir. Dokumentasi Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang.
6 Hasil observasi di Pondok Pesantren Soko Tunggal tanggal 09 Juli 2007.
48
1. Bidang Usaha
Untuk mengembangkan usaha bagi kesejahteraan santri,
melalui Yayasan Soko Tunggal telah terbentuk koperasi dan CV yang
telah bekerjasama dengan PT. Rajawali Lusindo (RNI), Dolog, PT.
Kereta Api (Persero) dan Perhutani.
2. Bidang Pendidikan Formal
Selain pendidikan informal (pesantren) sendiri, melalui
Yayasan Soko Tunggal yang diketuai oleh KH. Nuril Arifin sendiri,
didirikan pula beberapa lembaga pendidikan formal antara lain:
a. Akademi Kebidanan
Akademi Kebidanan yang berlokasi di lingkungan Pondok
Pesantren Soko Tunggal ini resmi dibuka oleh Gus Dur pada
tahun 2005 dan pada tahun ini merupakan angkatan ke-3.
Untuk tenaga pengajarnya, pihak yayasan telah
menyediakan para pengajar profesional baik dari dalam dan luar
lingkungan pondok, termasuk tenaga pengajar untuk bidang
agama selain Islam, mengingat ada beberapa peserta didik yang
beragama non Islam.
b. Diklat Bahasa
Pendidikan bahasa Korea, atau Pusdiklat Soko Tunggal
merupakan program yang resmi dibuka pada tahun 2006, selain
gedung yang memadai, program ini menggunakan sistem
karantina sehingga selama 1 bulan peserta pelatihan wajib
mengikuti serangkaian kegiatan yang telah ditentukan. Termasuk
kegiatan di pondok pesantren bagi peserta yang beragama Islam.
Bagi peserta yang beragama Non Islam, pihak yayasan juga telah
menyediakan tenaga pengajar khusus untuk materi keagamaan.
c. LPK
Lembaga Pelatihan Keterampilan (LPK) Teknik Otomotif
ini dibuka pada awal tahun 2006 yang berlokasi di dekat komplek
49
Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang, Desa Sendangguwo,
Rt. 04/ 09 Kecamatan Tembalang Kodya Semarang.
3. Bidang Sosial
Untuk bidang sosial, yayasan juga mendirikan pantai asuhan
yang bernama “Tarbiyatush Shibyan Soko Tunggal”. Namun dalam
perkembangannya, panti asuhan ini kurang berkembang sehingga saat
ini lebih diarahkan untuk menampung anak-anak yang tidak mampu,
anak-anak yang putus sekolah dan pengangguran untuk kemudian
digabungkan, dibina dan dididik seperti santri-santri yang lain.
Selain beberapa program yang sudah terealisasi, dalam waktu dekat
ini juga akan dibuka program Pendidikan Bahasa Arab, Bahasa Inggris dan
Pendidikan Luar Sekolah (PLS) bagi masyarakat yang masih belum melek
aksara.
2. Letak Geografis
Secara geografis, Pondok Pesantren Soko Tunggal berdiri di atas
tanah seluas ± 3000 M2 tepatnya di Jl. Sendangguwo Raya No. 36,
Kelurahan Sendangguwo, Rt. 04 Rw. 09 Kecamatan Tembalang Kodya
Semarang.
Pondok Pesantren Soko Tunggal sangat mudah untuk dijangkau
karena terletak di Semarang Timur ± 100 M masuk dari jalan raya jurusan
Semarang Pedurungan (Jl. Majapahit), ke arah selatan.7
Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang memiliki lokasi yang
berbatasan dengan:
Sebelah utara berbatasan dengan Jalan Majapahit
Sebelah barat berbatasan dengan Desa Gayam Sari
Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kedung Mundu
Sebelah timur berbatasan dengan Desa Pedurungan Kecamatan
Pedurungan Kodya Semarang.
7 Hasil observasi di Pondok Pesantren Soko Tunggal tanggal 5 Juli 2007.
50
3. Keadaan Pengajar dan Santri
a. Pengajar/ Ustadz
Berdasarkan data yang diperoleh dari pengurus Pondok
Pesantren Soko Tunggal bahwa ustadz atau tenaga pengajarnya hanya
terdiri dari para badal yang sudah ditunjuk secara langsung oleh
pengasuh pondok pesantren. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa
tenaga pengajar/ ustadz di Pondok Pesantren Soko Tunggal adalah: KH.
Nuril Arifin Husein (Pengasuh Pondok), Ustadz Masnun (Badal I),
Ustadz Abdullah Adib (Badal II).
b. Santri
Bagi Pondok Pesantren Soko Tunggal, kata “santri” tidak hanya
mewakili dua macam santri seperti pengklasifikasian jenis santri yang
telah ada (mukim8 dan kalong) tetapi lebih luas dari itu, santri adalah
istilah yang digunakan untuk menyebut semua orang yang ingin belajar
dan pernah ikut berproses di Pondok Pesantren Soko Tunggal yang
dalam hal ini termasuk mahasiswa Akbid Soko Tunggal, Peserta Diklat
Bahasa Soko Tunggal, dan seluruh santri dari penjuru manapun yang
juga ikut belajar dan mengikuti beberapa kegiatan Pondok Pesantren
Soko Tunggal Semarang.
4. Struktur dan Organisasi
Setiap pesantren memiliki struktur organisasi sendiri-sendiri yang
berbeda satu dengan yang lainnya, sesuai dengan kebutuhan masing-masing
pesantren. Meskipun demikian, ada kesamaan-kesamaan yang menjadi ciri-
ciri umum struktur pesantren, dan tampak adanya kecenderungan perubahan
yang sama di dalam menatap masa depannya.
8 Jumlah keseluruhan santri yang tinggal di lingkungan Pondok Pesantren Soko Tunggal pada
tahun 2007 tercatat 44 santri, terdiri dari: santri asrama pondok putra sebanyak 24 santri dan santri asrama pondok putri sebanyak 20 santri dan berasal dari kota-kota di Jawa Tengah, yakni Demak, Purwodadi, Blora, Kebumen, Tegal, Pemalang dan dan kota lainnya. Hasil wawancara dengan Sukisno, salah satu tenaga pengajar di Pondok Pesantren Soko Tunggal tanggal 14 Juli 2007.
51
Sebagaimana layaknya sebuah lembaga pendidikan, maka Pondok
Pesantren Soko Tunggal memiliki struktur organisasi untuk pembagian
tugas dan wewenang dari kelancaran kegiatan pondok pesantren yang telah
diprogramkan, dan juga untuk menyiapkan rencana-rencana secara matang
sehingga hasil yang dihasilkan sesuai dengan yang telah direncanakan.
Adapun struktur organisasi Pondok Pesantren Soko Tunggal
terlampir.
5. Sarana dan Prasarana
Pondok Pesantren Soko Tunggal sebagai lembaga pendidikan Islam,
mempunyai lima gedung utama, yaitu gedung untuk tempat tinggal (asrama)
santri putra, gedung untuk asrama santri putri dan gedung serba guna (aula),
gedung kantor dan masjid sebagai pusat kegiatan belajar mengajar.
Di samping fasilitas utama sebagai sarana pelaksanaan proses
pendidikan yang telah penulis sebutkan di atas, terdapat pula berbagai
fasilitas penunjang lainnya seperti dapur, empat buah kamar mandi, dan
perlengkapan lainnya, seperti tempat wudlu, mesin pompa air, sound sistem,
komputer dan beberapa perlengkapan lain.
Gedung asrama putra yang terletak di sebelah utara masjid terdiri
atas empat kamar. Masing-masing kamar rata-rata diisi oleh 5-6 santri tanpa
membedakan asal dan usia santri. Setiap kamar juga dilengkapi dengan
perabot lainnya demi untuk kenyamanan santri. Setiap santri juga diberikan
tempat khusus seperti loker untuk menaruh barang.
Gedung untuk asrama putri terbagi atas empat kamar dan aula yang
berada di ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat untuk mengadakan
rapat kecil serta untuk kegiatan yang lain. gedung ini juga dilengkapi
dengan kamar mandi, tempat mencuci dan dapur umum.
Gedung kantor terdiri atas ruang kantor dan satu kamar untuk
asrama pengurus, sebuah serambi yang juga berfungsi sebagai tempat
52
menerima tamu, sebuah ruangan studio radio Soko Tunggal dan di samping
sebelah barat dilengkapi dengan kamar mandi.
Gedung aula yang berbentuk menyerupai joglo,9terletak
bersebelahan dengan gedung asrama putra dan asrama untuk peserta diklat
bahasa (dalam proses pembangunan). Aula ini berfungsi sebagai tempat
pusat kegiatan santri dan juga digunakan sebagai tempat majelis ta’lim
masyarakat sekitarnya pada waktu-waktu tertentu. Gedung ini juga
dilengkapi dengan tempat berwudhu. Namun untuk sementara waktu aula
tersebut dialihfungsikan sebagai tempat pelaksanaan diklat bahwa
mengingat untuk asrama dan gedung tempat pelatihan masih dalam proses
pembangunan.
Sarana yang lain adalah bangunan masjid yang merupakan elemen
yang tidak dapat dipisahkan dengan pesantren. masjid adalah bangunan
sentral sebuah pesantren, dibanding bangunan lain, masjid lah tempat serba
guna yang selalu ramai atau paling banyak menjadi pusat kegiatan warga
pesantren.
B. Kondisi Khusus Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang
1. Tujuan Pendidikan
Berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang pada
umumnya menyatakan tujuan pendidikannya dengan jelas, pesantren
terutama pesantren-pesantren lama biasanya tidak merumuskan secara
eksplisit dasar dan tujuan pendidikannya. Namun bukan berarti bahwa
pendidikan pesantren itu berlangsung tanpa arah yang dituju, hanya saja
tujuan tidak dirumuskan secara sistematis dan dinyatakan secara eksplisit.
Hal ini ada hubungannya dengan sifat kesederhanaan pesantren yang sesuai
dengan dorongan berdirinya di mana kyai mengajar dan santri belajar
adalah semata-mata untuk ibadah.
9 Joglo merupakan bentuk rumah khas daerah Jawa Tengah, berbentuk persegi dengan atap
yang menjulang tinggi.
53
Tujuan pendidikan yang diselenggarakan dapat diketahui dengan
jalan menanyakan langsung kepada para penyelenggara dan pengasuh
pesantren atau dengan cara memahami fungsi-fungsi yang dilaksanakan
baik dalam hubungannya dengan para santri maupun dengan masyarakat
sekitarnya. 10
Namun secara umum, berdasarkan hasil wawancara dengan pengasuh
Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang proses pendidikan yang
dilaksanakan di Soko Tunggal mempunyai tujuan yaitu untuk memberikan
manfaat bagi orang lain, dalam arti pendidikan yang dilakukan mengarah
pada pembentukan akhlak santri. Akhlak mempunyai kedudukan yang
sangat penting dalam sebuah pesantren yang dijunjung tinggi oleh segenap
elemen-elemen pesantren, termasuk juga ustadz dan kyai.
2. Pelaksanaan Pendidikan di Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang
Berdasarkan hasil wawancara dengan pendiri dan pengasuh Pondok
Pesantren Soko Tunggal serta salah satu ustadz di Pondok Pesantren Soko
Tunggal, pada dasarnya Pondok Pesantren Soko Tunggal merupakan
pondok pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan tasawuf11 untuk
lebih mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat
10 Terkait dengan pendidikan pluralistik di pesantren, Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa
visi utama pesantren sebagai lembaga pendidikan yaitu pertama, untuk menyebarluaskan ajaran tentang universalitas Islam ke seluruh pelosok Nusantara yang sangat pluralis. Hal ini oleh para Wali telah membuktikan dan berhasil menginternalisasikan nilai-nilai Islam dalam lingkungan masyarakat, tanpa meninggalkan jati diri pesantren. Kedua, untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral dengan “Amar ma’ruf nahi munkar”. Ini berarti pesantren menjadi agen perubahan dan selalu melakukan pembebasan masyarakat dari segala keburukan moral, penindasan politik, kemiskinan ilmu pengetahuan dan bahkan kemiskinan ekonomi, Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 3-5
11 Secara etimologis kata tasawuf berasal dari bahasa Arab, Tashawwafa, Yathawwasafu, Tashawwufan. Ulama berbeda pendapat dari mana asal usulnya. Ada yang mengatakan dari kata shuf (bulu kambing), shafa yang berarti bersih dan suci, Sophia yang berarti hikmah atau filsafat, shuffah yang artinya suatu ruangan dekat masjid Madinah tempat Nabi Muhammad SAW memberikan pengajaran kepada para sahabatnya. Sedangkan secara terminologi banyak dijumpai definisi yang berbeda yang oleh Ibrahim Basyuni diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu al-Bidayah, al- Mujahadah, dan al- Madzaqat. Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003), hlm. 192.
54
melihatnya dengan mata hati, bahkan ruhnya dapat bersatu dengan ruh
Tuhan.
Dalam konsep tasawuf sendiri terdapat istilah tasawuf ilmi atau
nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat teoritis. Tasawuf yang tercakup dalam
bagian ini ialah sejarah lahirnya tasawuf dan perkembangannya sehingga
menjelma menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Termasuk di dalamnya adalah
teri-teori tasawuf menurut berbagai tokoh tasawuf dan tokoh luar tasawuf
yang berwujud ungkapan sistematis dan filosofis.
Pengetahuan mengenai ilmu tasawuf ini diberikan langsung oleh
KH. Nuril Arifin melalui pengajian tasawuf yang dilaksanakan setiap dua
minggu sekali setiap malam Jum’at yang bertempat di Masjid Soko Tunggal
yang dihadiri oleh seluruh santri, warga sekitar dan para jama’ah yang
datang dari dalam dan luar kota Semarang.
Bagian kedua ialah tasawuf amali atau tathbiqi yaitu tasawuf
terapan, yakni ajaran tasawuf yang praktis. Tidak hanya teori belaka, tetapi
menuntut adanya pengamalan dalam rangka mencapai tujuan tasawuf.
Dalam hal ini, KH. Nuril Arifin menganjurkan kepada seluruh santri untuk
dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari yaitu melalui
pembentukan pribadi yang bermoral paripurna, dan berakhlak mulia.
Dimulai dengan membiasakan berprilaku baik, yang pada gilirannya akan
menghasilkan manusia yang sempurna (insan kamil) dan mengenal diri
sendiri agar dapat mengetahui posisi Tuhan.
Dengan kata lain proses pendidikan yang dilaksanakan di Soko
Tunggal mempunyai tujuan yaitu semata untuk meninggikan moral santri,
menghargai nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah
laku yang bermoral, melatih santri untuk hidup sederhana dan bersih hati
serta semata-mata merupakan kewajiban dan pengabdian kepada Allah
SWT.
Adapun beberapa kegiatan pembelajaran di Pondok Pesantren Soko
Tunggal berdasarkan waktu pelaksanaannya, terlihat seperti pada table
dibawah:
55
Tabel: 01 Kegiatan Pembelajaran
Di Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang
No. Waktu Jenis Kegiatan Keterangan 1. Harian Ngaji Kitab Diikuti oleh seluruh santri dan
dilaksanakan setiap hari setelah ba’da shalat dhuha dan shalat isya dengan menggunakan sistem sorogan, bertempat di Masjid dan diampu oleh pengsuh/ badal. Adapun kitab yang dikaji antara lain: Fatmun Mu’in (fiqih) karya Zainuddin al-Malaybari, Taklimul Mutaallim karya Afiduddin Asyaih Abdullah Ibnu Alawi Muhammad Al-Haddad, Tafsir Jalalaini karya Jalaluddin Muhamad Bin Ahmad Al-Mahalli dan lain sebagainya.
Sema'an/ ngaji Al-Qur’an
Diikuti oleh seluruh santri dan dilaksanakan setiap hari setelah ba’da shalat ashar dengan menggunakan sistem sorogan, bertempat di Masjid dan diampu oleh pengasuh/ badal.
2. Mingguan Pengajian tasawuf
Dilaksanakan setiap dua minggu sekali setiap malam Jum’at yang bertempat di Masjid Soko Tunggal yang dihadiri oleh seluruh santri, warga sekitar dan para jama’ah yang datang dari dalam dan luar kota Semarang.
3. Selapanan Pengajian Sabtu malam Ahad Pon
Kegiatan ini dilaksanakan 40 hari sekali pada malam ahad pon dan diisi langsung oleh KH. Nuril Arifin yang dihadiri oleh seluruh santri, warga sekitar dan para jama’ah yang datang dari dalam dan luar kota.
4. Tahunan Asma’ Qomar Kegiatan ini dilakukan setiap pertengahan bulan Agustus di atas kapal (ditengah laut) untuk napak tilas sekaligus sebagai media agar lebih mendekatkan diri kepada Allah.
56
3. Kurikulum Pendidikan
Sejalan dengan tidak dirumuskannya tujuan pendidikan secara
eksplisit, maka pada sebagian pesantren istilah kurikulum tidak dapat
ditemukan, walaupun essensi materinya ada dalam praktek pengajaran,
bimbingan rohani dan latihan kecakapan dalam kehidupan sehari-hari di
pesantren, yang semuanya itu merupakan kesatuan dalam proses
pendidikannya.
Meski di Pesantren Soko Tunggal Semarang tidak merumuskan
secara tajam materi pelajaran dalam bentuk kurikulum. Namun demikian
dapat dinyatakan bahwa kurikulum pesantren sebenarnya meliputi seluruh
kegiatan yang dilakukan santri selama sehari semalam. Di luar pelajaran
formal banyak kegiatan yang bernilai pendidikan dilakukan di sana seperti
latihan hidup sederhana, latihan ketrampilan, ibadah dengan tertib dan lain-
lain yang mengarah pada tujuan dan visi Pondok Pesantren Soko Tunggal
yaitu memberi manfaat kepada orang lain.
4. Materi yang Diajarkan di Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang
Dalam proses belajar di suatu lembaga pendidikan tidak akan dapat
dipisahkan dengan adanya kurikulum atau materi-materi yang diajarkan,
karena kurikulum merupakan acuan dan pedoman yang dipakai sebagai
perantara oleh pengajar dalam pelaksanaan pendidikan untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan.
Kurikulum di pesantren pada umumnya, belum ada ketentuan dan
aturan bakunya, sehingga dapat dikatakan masih sangat sederhana.
Demikian juga di Pondok Pesantren Soko Tunggal, untuk sumber belajar
yang digunakan masih terbatas pada kitab-kitab kuning yang dijadikan
sebagai acuan dalam proses belajar mengajar.
Dan dari hasil observasi yang dilakukan penulis, ada beberapa kitab
yang dijadikan sebagai bahan rujukan dan kajian di pondok pesantren yang
secara langsung maupun tidak langsung berisi tentang materi-materi Tauhid,
57
Tafsir, Hadits, Fiqih, Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balaghoh dan Tajwid),
dan akhlak. Kitab-kitab tersebut antara lain:
Tabel: 02
Beberapa Jenis Kitab yang Digunakan Dalam Proses Pembelajaran Di Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang
No. Jenis Kitab Nama Kitab 1. Nahwu Shorof - Al-Fiyah Ibnu Malik Karya Jamaluddin
Muhammad Bin Abdullah Bin Malik - Syarh Ibnu Aqil karya Imam Bahauddin
Abdillah, dll. 2. Fiqih - Al-Iqna’ karya Syaih Muhammad Assarbini
Al Khotib - Fatkhul Mu’in karya Zainuddin al Malaybari - Fatkhul Qorib, dll.
3. Hadits - Riyadhus Sholihin karya Syaihul Islam Muhyiddin Abi Zakariya Yahya Bin Sarof An-Nawawi
- Bulughul Maram, dll. 4. Akhlak
Tasawuf - Ayyuhal Walad karya Al Imam Abu Hamid
Muhammad Bin Muhammad Al Ghozali - Taklimul Mutaallim karya Afiduddin Asyaih
Abdullah Ibnu Alawi Muhammad Al Haddad - Adabul ‘Alim wal Muta’alim karya Hasyim
Asy'ari - Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, dll.
5. Tafsir - Tafsir Jalalaini karya Jalaluddin Muhamad Bin Ahmad Al Mahalli dan Syaih Al Mutabakhur Jalaluddin Abdurrohman Bin Abi Bakrin Assayuthi, dll.
Pelaksanaan pengajaran kitab ini dilakukan dengan menggunakan
metode-metode seperti: sorogan, bandongan, hafalan dan majlis ta’lim.
5. Metode Pembelajaran yang Digunakan di Pondok Pesantren Soko
Tunggal Semarang
Pada umumnya pembelajaran di pesantren mengikuti pola
tradisional, yaitu metode sorogan dan metode bandongan. Untuk metode
sorogan ini digunakan dalam mempelajari kitab-kitab yang sedang dikaji.
58
Metode ini amat bagus dan dirasa tepat untuk mempercepat sekaligus
mengevaluasi penguasaan santri terhadap kandungan kitab yang dikaji
mengingat jumlah santri Pondok Pesantren Soko Tunggal yang tidak begitu
banyak. Akan tetapi metode ini membutuhkan kesabaran, ketekunan,
ketaatan dan kedisiplinan yang tinggi dari para santri.
Teknik penyampaian materi dalam metode sorogan di Pondok
Pesantren Soko Tunggal ini adalah sekelompok santri satu persatu secara
bergantian menghadap kyai, mereka masing-masing membawa kitab yang
akan dipelajari, disodorkan kepada kyai. Kyai membacakan pelajaran yang
berbahasa Arab, kalimat demi kalimat kemudian menterjemakan dan
menerangkan maksudnya, santri menyimak ataupun ngesahi (memberi
harkat dan terjemah) dengan memberi catatan pada kitabnya, kemudian
santri disuruh membaca dan mengulangi sepersis mungkin seperti yang
dilakukan kyainya, serta mampu menguasainya.
Dalam menggunakan metode sorogan ini, kadang ada pengulangan
pelajaran ataupun pertanyaan yang dilakukan oleh kedua pihak dan setiap
santri yang telah menguasai apa yang telah diajarkan, kemudian santri diberi
materi pelajaran baru. Semua pelajaran ini diberikan oleh kyai atau
pembantunya yang disebut badal (pengganti).
Kenaikan kitab ditandai dengan bergantinya kitab yang dipelajari.
Sedangkan evaluasi dilakukan pada waktu-waktu yang telah disepakati
bersama, dengan cara ustadz memberikan soal secara lisan kemudian santri
yang telah ditunjuk memberikan jawaban secara lisan juga. Ketika jawaban
santri salah maka terkadang soal dilempar pada santri lain sampai
mendapatkan jawaban yang tepat.
Pelaksanaan pengajaran dengan menggunakan metode sorogan akan
tersusun kurikulum individual yang sangat fleksibel dan sesuai dengan
kebutuhan pribadi seorang santri sendiri. Dengan demikian metode sorogan
merupakan bentuk pengajaran yang dapat memberikan kesempatan kepada
seluruh santri untuk belajar secara mandiri berdasarkan kemampuan
masing-masing individu. Dan kegiatan ini setiap santri dituntut mengerjakan
59
tugasnya dengan kemampuan yang mereka miliki sendiri. Oleh karenanya
kyai atau ustadz harus mampu memahami dan mengembangkan strategi
dalam proses belajar mengajar dengan pendekatan individu. Implikasi dari
kegiatan belajar ini pengajar harus banyak memberikan perhatian dan
pelayanan secara individual, bagi siswa tertentu pengajar harus dapat
memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan taraf kemampuan
santri.
Metode bandongan atau metode wetonan juga digunakan di Pondok
Pesantren Soko Tunggal. Pada pelaksanaannya, pengasuh pondok/ badal
membaca dan menafsirkan suatu kitab, kemudian para santri menyimak
bacaan kyai. Dalam hal ini, santri juga membawa kitab yang sama.
Disamping metode bandongan dan metode sorogan, juga dikenal
beberapa metode pengajaran, yaitu: Hafalan (tahfidz), Hiwar atau
musyawarah, bahtsul masa’il (mudzakaroh), fathul kutub, muqoronah dan
muhadatsah.12
6. Evaluasi
Proses evaluasi pembelajaran kaitannya dengan materi yang
diajarkan oleh para ustadz/ kyai (kitab kuning) dilaksanakan sesuai dengan
waktu yang telah disepakati bersama. Sedangkan untuk proses evaluasi
tahap akhir, Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang mengikuti prinsip
tanpa ijazah, artinya pesantren tidak memberikan ijazah sebagai tanda
keberhasilan belajar. Keberhasilan bukan ditandai oleh ijazah yang
berisikan angka-angka sebagaimana madrasah dan sekolah umum, tetapi
ditandai oleh prestasi kerja yang diakui oleh khalayak dan mendapat restu
kiai. Sehingga tidak ada standar yang pasti apakah santri tersebut lulus
dengan baik atau tidak.
12 HM. Amin Haedari, et. al., Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan
Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta: IRD Press, 2004), hlm.17-22.
60
7. Tradisi Pendidikan Pluralistik di Pondok Pesantren Soko Tunggal
Semarang
Yang dimaksud tradisi di sini adalah seperangkat perilaku yang
sudah menjadi kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan dan senantiasa
dilakukan, diamalkan, dipelihara dan dilestarikan yang dalam hal ini di
Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang.
Dari hasil observasi yang dilakukan oleh penulis di Pondok
Pesantren Soko Tunggal terdapat beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh
santri selain belajar tentang ilmu agama antara lain:
a. Dalam proses pembelajaran
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa untuk
menanamkan jiwa inklusif dan saling mencintai pada para santri, Gus
Nuril sebagai pengasuh pondok sadar betul bahwa dia harus
mempersiapkan seperangkat materi dan metode yang mampu
menjembatani hal tersebut secara relevan. Oleh karena itu sebagai
pengasuh pondok sekaligus Ketua Yayasan Soko Tunggal, Gus Nuril
senantiasa memberikan contoh yang baik bagi para santrinya dalam
kehidupan sehari-hari. Hal tersebut amat nampak pada kebijaksanaan-
kebijaksanaan beliau, antara lain: Gus Nuril dengan lapang dada
menerima pemeluk agama lain yang sekedar ingin mempelajari ajaran
Islam atau berkunjung ke Soko Tunggal.
Selain penggunaan metode sorogan dan wetonan juga digunakan
juga digunakan metode bahtsul masa’il. Pada kegiatan bahtsul masa’il
(mudzakaroh), santri dianjurkan untuk tidak hanya menggunakan satu
rujukan saja, tapi dengan menggunakan berbagai pendekatan dan banyak
sumber. Ditambah dengan metode lainnya, yaitu metode muqoronah yang
akan membandingkan antara sumber yang satu dan lainnya. Dari situ
proses pendidikan di Soko Tunggal bena-benar telah mencerminkan
semangat pluralisme.
Bahtsul masail biasanya diadakan di serambi kantor yang cukup
luas dan diikuti oleh para santri yang berasal dari luar daerah (baca; santri
61
kalong), pengasuh pondok dan didampingi oleh para badal, dan tidak
jarang memunculkan berbagai masalah ditilik dari berbagai sudut
pandang.13 Pada bahsu al-masail ini para santri diberikan kesempatan
yang seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam menanggapi pokok
permasalahan yang sedang dibahas.
Gagasan besar Gus Nuril secara spesifik mengenai pentingnya
pendidikan pluralistik juga terealisasi dalam beberapa kegiatan dan
kebijakan beliau, antara lain: Pemberian materi seperti fiqih dan tafsir
tidak diberikan serta merta menggunakan satu rujukan, namun
menggunakan banyak pendekatan. Sehingga para santri tidak hanya
dibekali pengetahuan atau pemahaman tentang ketentuan hukum dalam
fiqih atau makna ayat yang tunggal, namun juga diberikan pandangan
yang berbeda. Tentunya, bukan sekedar mengetahui yang berbeda, namun
juga diberikan pengetahuan tentang mengapa bisa berbeda.
Setiap santri memiliki hak yang sama dalam menerima
pendidikan. Hal itu tercermin pada salah satu tradisi selapanan yang
diadakan setiap 40 hari sekali (setiap malam minggu pon) yang
memposisikan seluruh santri baik santri mukim dan kalong, tua-muda,
kaya-miskin, dan bentuk pluralitas lainnya; duduk satu atap dan sama
rendah untuk sama-sama menerima siraman rohani. Disisi lain, santri juga
diberikan perhatian secara pluralis kaitannya dengan kemampuan santri.
Hal tersebut terlihat pada adanya perbedaan materi yang diterima santri
pada proses pembelajaran kitab dengan menggunakan metode sorogan
mengingat tingkat pemahaman dan kemampuan santri yang berbeda.
Untuk membekali dan menopang pemahaman santri mengenai
pluralisme, maka santri diberi pengetahuan tentang perbandingan agama,
dan materi tentang aliran kalam yang disampaikan langsung oleh Gus
Nuril.
13 Membandingkan atau Muqoronah adalah sebuah metode yang terfokus pada kegiatan
perbandingan, baik perbandingan materi, paham, maupun kitab. Ibid, hlm. 21.
62
b. Dalam proses pendidikan dan interaksi sosial
Sebagai lembaga pendidikan sekaligus lembaga keagamaan,
pesantren menggunakan pendekatan holistik. Artinya di pesantren semua
kegiatan belajar mengajar dan aktifitas kehidupan, termasuk aktifitas
keagamaan merupakan kesatupaduan utuh dalam totalitas kehidupan
sehari-hari. Yang itu berarti proses pendidikan pesantren berlangsung
selama 24 jam penuh, karena hubungan antara santri dan kyai yang
terkonsentrasi dalam satu kompleks.
Di Pondok Pesantren Soko Tunggal diajarkan bahwa semua
kegiatan pendidikan di pesantren merupakan ibadah kepada Tuhan. Oleh
karena itu, ditekankan adanya sikap saling tolong menolong antar sesama
tanpa memandang adanya perbedaan. Hal itu dimaksudkan demi untuk
dapat memberikan manfaat bagi orang lain sesuai dengan misi Soko
Tunggal.
Tradisi pendidikan pluralistik juga nampak pada interaksi antar
santri yang menjunjung tinggi sikap hormat antar sesama santri, ustadz
dan semua penghuni pondok pesantren, termasuk mahasiswa Akbid Soko
Tunggal dan peserta Diklat Bahasa Korea yang notabenenya berasal dari
berbagai daerah dengan keragaman suku, agama dan budaya masing-
masing, juga menghormati setiap tamu yang datang dari pemeluk agama
lain, yang berkunjung untuk bertemu dengan KH. Nuril Arifin (Selaku
Ketua Forkaghama).
Disisi lain, seperti telah disinggung sebelumnya bahwa Pondok
Pesantren Soko Tunggal Semarang lebih menekankan pada aspek tasawuf
untuk bagaimana mendapatkan nur illahi. Dengan demikian, bisa
tidaknya seseorang mendapatkan cahaya pengetahuan dari Tuhan adalah
tergantung dari akhlak seseorang itu sendiri. Dengan kata lain tradisi
pendidikan pluralistik di Soko Tunggal merupakan pengejawantahan dari
seluruh proses pendidikan yang ada.
Penekanan pentingnya kearifan dalam proses pendidikan
pesantren dan dalam tingkah laku sehari-hari juga merupakan salah satu
63
prioritas utama. Kearifan yang dimaksud disini adalah berperilaku sabar,
rendah hati, berbuat adil, mampu mencapai tujuan tanpa merugikan orang
lain dan mendatangkan manfaat bagi kepentingan bersama.
Seperti yang dapat kita temui di pondok pesantren pada
umumnya, Soko Tunggal juga menjunjung tinggi prinsip kebebasan
terpimpin, maksudnya adalah bahwa Pondok Pesantren Soko Tunggal
dalam menjalankan kebijaksanaan kependidikannya tidak membatasi
santri secara mutlak. Hal itu tercermin dari pandangan salah satu ustadz
bahwa kepada anak wajib ditanamkan jiwa agama, yang akan menjadi
dasar kepribadiannya, tetapi pada saat menginjak dewasa, anak itu
sendirilah yang akan memilih jalan hidupnya, apakah akan ingkar atau
beriman dan bertaqwa pada Tuhan.
Proses pendidikan yang berlangsung selama 24 jam setiap hari
mewajibkan santri untuk bisa belajar dari semua yang ditemui. Namun
begitu tambahan pengalaman tidak sekedar menjadi tumpukan
pengalaman demi pengalaman yang lepas, tetapi dapat terjadi suatu
perpaduan yang memperkaya dan menumbuhkan pribadi yang
mengalami, walau hal itu tidak terjadi begitu saja.
c. Dalam kegiatan Forkhagama
Kegiatan Forkaghama yang melibatkan berbagai elemen dari
pemeluk agama Islam dan non Islam adalah media pendidikan yang
disadari atau tidak telah membawa santri kepada pemahaman mengenai
bagaimana untuk bisa hidup saling berdampingan dengan pemeluk agama
lain.
Adapun tujuan dibentuknya Forum keadilan dan Hak Asasi Umat
Beragama (Forkhagama) tercermin dalam prasasti Soko Tunggal yang
terletak di dalam komplek Pondok Pesantren Soko Tunggal yaitu: (1)
Untuk mewujudkan kehidupan beragama dengan mengedepankan
perlindungan hukum, solidaritas, dan toleransi dalam kerangka NKRI
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang berarti adanya kebebasan
memeluk agamanya masing-masing dan berhak mendapatkan
64
perlindungan hukum yang sama. (2) Bisa menyelesaikan permasalahan
umat beragama di tingkat bawah, (3) Memberi ruang gerak demi
terciptanya persaudaraan antar umat beragama (4) Membantu
memudahkan dan menciptakan koridor serta sarana-prasarana dalam
mewujudkan kehidupan beragama yang harmonis, (5) Melakukan mediasi
antar umat beragama, (6) Menjadi bagian tak terpisahkan dari prinsip
Bhineka Tunggal Ika dan (7) Menciptakan iklim sejuk dan
menghilangkan kecemburuan antar umat beragama.
Untuk membekali santri agar tidak melenceng dari yang
diharapkan maka santri diberikan pendidikan lintas agama melalaui
kegiatan-kegiatan Forkaghama yang juga tidak jarang menghadirkan
beberapa orang dari penganut agama lain. Dengan dialog seperti ini,
peserta didik diharapkan akan mempunyai pemahaman dan bisa
menentukan sikap dalam menghadapi realitas kemajemukan yang ada.
Untuk itu, Pondok Pesantren Soko Tunggal sebagai pusat kegiatan
Forkaghama dan juga beberapa aktifitas pembelajaran diluar kegiatan
pesantren merupakan tempat yang sangat potensial untuk mendidik santri
menjadi manusia yang dapat memandang pluralitas keindonesiaan dalam
berbagai aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama sebagai
kekayaan spritual bangsa yang harus tetap dijaga kelestarianya.
65
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PENDIDIKAN PLURALISTIK
DI PONDOK PESANTREN SOKO TUNGGAL SEMARANG
A. Pendidikan Pluralistik di Pesantren
Pendidikan Islam adalah aktifitas rutin sehari-hari umat Islam yang
berkesinambungan terus-menerus tanpa henti. Aktivitas keseharian yang
dimulai dari bangun tidur sampai tidur kembali; dari pranatal sampai manula.
Aktifitas kalangan elit-intelektual maupun orang awam biasa; keluarga kaya
maupun miskin; di desa maupun di kota.
Berbicara tentang pendidikan Islam dalam format pernyataan seperti
di atas sebenarnya tidak mengundang begitu banyak persoalan. Persoalan
baru muncul ke permukaan jika aktifitas pendidikan dihadapkan pada fakta
yang ada yang melibatkan perbandingan masa lalu, masa kini, dan masa yang
akan datang. Terlebih jika teori-teori keilmuan seperti psikologi, antropologi,
sosiologi dan filsafat turut terlibat dalam proses evaluasi dan analisis
aktivitas pendidikan Islam yang telah berjalan rutin dan berkesinambungan
tersebut.
Ibarat seseorang yang melihat hutan lebat dari atas ketinggian jelajah
pesawat terbang, maka yang tampak Cuma pemandangan hijau yang
menyenangkan dipandang mata. Tapi begitu turun dan mendekat ke tengah
hutan, kiranya hutan yang terlihat hijau dari kejauhan tidak seluruhnya
demikian. Disana terdapat banyak jurang-jurang, bukit-bukit terjal, lubang-
lubang bebatuan, aneka ragam pepohonan, semak belukar, bunga-bunga,
hewan dan begitu seterusnya, yang masing-masing punya kajian keilmuan
sendiri-sendiri.
Sama halnya dengan dunia pendidikan Islam. Jika dilihat dari
kejauhan, ia merupakan aktivitas rutin sehari-hari yang tidak begitu banyak
menimbulkan persoalan yang perlu dicermati dan ditelaah lebih lanjut.
Namun demikian, hal itu merupakan sebuah sistem yang rumit yang
melibatkan beragam institusi (pesantren madrasah, sekolah), pola
66
kepemimpinan (kyai, kepala sekolah, lurah pondok, direktur, kepemimpinan
keluarga), materi pengajaran (materi pelajaran agama saja, sebagian agama,
keterampilan, dan lain-lain), metodologi pengajaran (wetonan, sorogan,
ceramah, diskusi). Masing-masing pemilihan mempunyai karakteristik
sendiri-sendiri dan punya implikasi dan konsekwensi dari bentuk institusi,
pola kepemimpinan, materi, metodologi, staf pengajar yang dipilihnya dalam
pelaksanaan pendidikan.
Ketika kita membicarakan pendidikan Islam di Indonesia, ada ciri
khas yang dapat dilihat dari fenomena penyebaran pondok pesantren yang
hampir diseluruh pelosok Indonesia. Dikatakan khas karena adanya tradisi-
tradisi yang berkembang di lingkungan pesantren yang (bisa) dikatakan tidak
dijumpai diluar dan hingga saat ini, ketika dunia telah memasuki era modern
dengan menawarkan kebudayaan yang oleh kebanyakan orang disebut-sebut
sebagai kebudayaan maju, tradisi pesantren tetap bertahan dengan kekhasan
budaya yang dimilikinya, bahkan cenderung untuk dipertahankan dan
dilestarikan.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam sebagai
wahana untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam
dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup
bermasyarakat sehari-hari dan untuk memberikan respon terhadap situasi dan
kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah dihadapkan pada runtuhnya
sendi-sendi moral melalui transformasi nilai yang ditawarkanya (amar
ma’ruf nahi munkar). Kehadiran pesantren bisa disebut sebagai agen
perubahan sosial yang selalu melakukan pembebasan pada masyarakat dari
keburukan moral, penindasan dan kemiskinan. Selain itu, berdirinya
pesantren juga memiliki misi untuk menyebarluaskan informasi ajaran
universalitas Islam keseluruh pelosok Nusantara yang berwatak pluralis.
Semestinya umat Islam sadar atas realitas pluralitas masyarakat dan
budaya Indonesia, dan hal ini telah menjadi perhatian tersendiri oleh para
pendiri republik. Kesadaran bahwa permasalahan pluralitas merupakan
permasalahan krusial, jika tidak ditangani secara bijaksana akan menjadi
67
sumber konflik yang berkepanjangan. Dengan disetujuinya Pancasila sebagai
dasar negara maka jelas para pendiri Bangsa Indonesia dengan sadar
menjadikan pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa.
Karena kenyataan keragaman itulah buka tanpa alasan semboyan
resmi negara "Bhineka Tunggal Ika" (Bercerai berai tapi tetap satu jua)
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang pluralis karena ia menyimpan akar-
akar keberagaman dalam hal agama, etnis, seni, budaya dan cara hidup.
Sosok keberagaman yang indah ini, dengan latar belakang mosaik-mosaik
yang memiliki nuansa-nuansa khas masing-masing tidak mengurangi makna
kesatuan Indonesia. Motto Indonesia "Bhineka Tunggal Ika" yang dipakai
oleh Bangsa Indonesia jelas mempertegas pengakuan adanya "kesatuan
dalam keberagaman atau keragaman dalam kesatuan" dalam seluruh
spektrum kehidupan kebangsaan kita.
Kehadiran Pancasila sebagai dasar negara yang disahkan oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Oktober 1945, pada
hakekatnya secara kultural dan politis merupakan hasil kompromi bangsa
Indonesia yang beranekaragam, suatu konsensus nasional yang mampu
menggalang dan menjamin persatuan bangsa menuju terwujudnya cita-cita
bersama. Cita-cita bersama ini tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang
di dalamnya termuat sila-sila dari pancasila.
Kemudian dari pada itu untuk terbentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Karena itulah keanekaragaman yang ada di Indonesia haruslah
didudukkan sebagai kekayaan perikehidupan berbangsa dan bukan
68
menyempitkan diri dalam pengkotakkan atau sektarian. Selain kesenian dan
budaya, kekayaan ini yang terpenting adalah cara pandang dan kesadaran
mengenai dunia yang hendak dibentuk atau dicita-citakan. Dan pada
hakekatnya semua agama terbuka bagi siapa saja, sehingga bersifat universal
tanpa membedakan suku, etnis dan jenis kelamin. Untuk itu semangat seperti
inilah yang dibutuhkan bagi semua umat beragama.
Dengan menggunakan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah
hidup bangsa, maka persatuan dan kesatuan bangsa akan bertambah kokoh
dan kuat, karena masing-masing sila bukan hanya dapat diterima, melainkan
juga dapat menimbulkan semangat persatuan di kalangan berbagai golongan
dan suku bangsa di Indonesia.
Pluralitas agama dikalangan penduduk Republik Indonesia juga sudah
disadari pula sejak awal. Kesadaran itu mengantar lahirnya peraturan yang
menyangkut kebebasan beragama. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945
pasal 29 ayat (2) dinyatakan bahwa: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu.”
Dengan demikian, bangsa Indonesia memiliki landasan konstitusional
yang kuat untuk mengelola pluralitas secara baik dan benar. Landasan itu
diperkuat lagi oleh budaya bangsa Indonesia yang dikenal dengan sikap
ramah, santun, saling menghormati dan tolong menolong. Selain itu, agama
memandang keragaman suku bangsa dan budaya sebagai bagian dari
sunatullah dalam ciptaan-Nya. Sementara itu, keyakinan teologis keagamaan
dianggap sebagai tawaran yang sifatnya persuasif. Artinya, boleh diterima
atau ditolak dengan konsekwensinya masing-masing
Semangat dari sila pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa,
idealnya diwujudkan dalam setiap bidang kehidupan pribadi dan publik
bangsa Indonesia. Salah satunya adalah melalui bidang pendidikan sebagai
69
kendaraan utama negara untuk mengembangkan watak dan peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.1
Salah satu unsur pesantren (kyai) sebagai komponen yang utama,
adalah sosok figur orang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan
agama, kyai adalah sebagian pemimpin dan sekaligus pemilik pesantren
Sebagai tokoh agama (ulama), kyai dituntut memerankan fungsi
agama sebagai kemaslahatan manusia dengan cara mengembangkan
interpretasi (tafsir) yang memiliki semangat perdamaian dan kerukunan antar
umat beragama. Pengembangan interpretasi semacam ini diyakini mampu
mencerahkan keberagaman umat sehingga ajaran ketuhanan tampil lebih
fungsional, bahkan mampu menciptakan kedamaian, keadilan, toleransi dan
nilai-nilai kemanusiaan lainnya dalam kehidupan bermasyarakat.2 Mengingat
peranan ulama antara lain:
1. Menterjemahkan nilai-nilai dan norma-norma agama dalam kehidupan masyarakat
2. Menterjemahkan gagasan-gagasan pembangunan kedalam bahasa yang dipahami oleh umat beragama
3. memberikan pendapat, saran dan petunjuk terhadap ide-ide dan cara yang dilakukan untuk suksesnya pembangunan
4. Dengan bahasanya mendorong masyarakat dan umat beragama untuk ikut serta secara aktif dalam usaha pembangunan bangsa.3
Pendidikan pluralistik yang mencoba mengantisipasi berbagai
perbedaan dari yang hanya sekedar berbeda, berhadapan ( vis a vis ), bertolak
belakang/ berpisahan (Dikotomis) sampai yang saling berlawanan
(konfrontative). Pluralitas dan heterogenitas sebagai sebuah realitas tidak
dapat dipungkiri dan tidak dihilangkan dari eksistensinya di dunia ini. Bisa
dikatakan bahwa heterogenitas dan pluralitas adalah sebuah hukum alam
(natural law/ hukum alam).
1 M. Saerozi, Politik Pendidikan Agama dalam Era Pluralisme; Telaah Historis Atas Kebijaksanaan Pendidikan Agama Konvensional di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), hlm. xvi.
2 Asep Saefullah, Merukunkan Umat Beragama; Studi Pemikiran Tarmizi Taher Tentang Kerukunan Umat Beragama, (Jakarta: Penerbit Grafindo Khasanah Ilmu, 2007), hlm. 212.
3 Toyib IM dan Sugiyanto, Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 185
70
Pendidikan pluralistik sebagaimana telah dijelaskan dimuka,
merupakan sebuah pendidikan alternatif yang menjunjung tinggi dan
menghargai perbedaan. Karena itu model pendidikan seperti ini diharapkan
memiliki orientasi yang jelas, yang memihak pada realitas masyarakat yang
majemuk. Hal ini dimaksudkan agar dalam perjalanan sejarah pendidikan
pluralistik nantinya tidak kehilangan arah atau bahkan berlawanan dengan
nilai-nilai dasar pluralisme.
Bentuk pendidikan pluralistik semacam itu, tentunya akan dapat
dijadikan sebagai jawaban atau solusi alternatif bagi pemecahan masalah-
masalah yang dihadapi oleh masyarakat majemuk seperti Indonesia ini. Serta
mampu mengantisipasi dan meminimalisir ketegangan dan pertikaian antar
kelompok dan akhirnya mampu menuntun ke arah keselamatan, rahmatan li
al-‘alamin, menebarkan berkah bagi seluruh warga masyarakat.
Pendekatan dan metode yang relevan dengan tuntutan reformasi
pendidikan tersebut adalah metode yang dapat menumbuhkan kemerdekaan
pada peserta didik untuk menumbuhkan sisi-sisi kemanusiaanya. Yaitu
metodologi pembelajaran yang mampu mengembangkan semangat dan
kemampuan belajar lebih lanjut. Metode tersebut adalah metode yang
mengajak peserta didik yang dalam hal ini adalah santri untuk mencari dan
menemukan ilmu pengetahuan dalam prespektif menuju kedewasaanya,
mengembangkan jati diri kepribadianya.
Adapun metode yang dirasa relevan dan dapat dipergunakan dalam
pendidikan pluralistik di pesantren antara lain:
a. Metode keteladanan dan pemberian nasihat
Pendidikan dengan keteladanan adalah pendidikan dengan cara
memberi contoh-contoh kongkrit pada para siswa. Dalam pendidikan
pesantren, pemberian contoh-contoh ini sangat ditekankan. Tingkah laku
seorang ustadz mendapatkan pengamatan khusus dari para siswanya.
Seperti perumpamaan yang mengatakan “Guru kencing berjalan, murid
kencing berlari”, disini dapat diartikan bahwa setiap perilaku yang di
71
tunjukkan oleh guru selalu mendapat sorotan dan ditiru oleh anak
didiknya.
b. Metode latihan dan pembiasaan
Mendidik dengan latihan dan pembiasaan adalah mendidik dengan
cara memberikan latihan-latihan dan membiasakan untuk dilakukan setiap
hari. Misalnya: setiap santri ditekankan untuk saling menghormati antar
sesama santri dan seluruh penghuni pondok pesantren, tenggang rasa,
toleransi, saling mengasihi dan tolong-menolong.
c. Metode dialogis
Jembatan yang paling tepat untuk menghubungkan keberbedaan
dan kemajemukan adalah dialog. Jika dialog itu menjadi strategi dalam
proses pembelajaran, kiranya berbagai perbedaan dalam hidup ini dapat
dijembatani.
Dalam konteks pendidikan pluralistik, dialog menjadi suatu yang
penting dalam proses pembelajaran. Santri dibiasakan untuk berdialog jika
mendapati berbagai perbedaan pendapat atau pandangan. Perbedaan
hendaknya dianggap sebagai kewajaran, dan merupakan bagian tak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat yang serba plural.
Metode dialog itu pada akhirnya akan dapat memuaskan semua
pihak sebab metodenya telah mensyaratkan setiap orang untuk bersikap
terbuka.
Seperti pemaparan pada bab III, disamping metode bandongan dan
metode sorogan, juga dikenal beberapa metode pengajaran yang salah
satunya adalah bahtsul masa’il (mudzakaroh) dan muqoronah yang
didalamnya membahas mengenai berbagai permasalahan.4
Pada metode bahtsul masa’il (mudzakaroh) yang bisanya
membahas tentang masalah diniyah, seperti ibadah, aqidah dan
permasalahan-permasalahan lainnya, santri dianjurkan untuk tidak hanya
menggunakan satu rujukan saja, tapi dengan menggunakan berbagai
4 HM. Amin Haedari, et. al., Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan
Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta: IRD Press, 2004), hlm.17-22.
72
pendekatan dan banyak sumber. Ditambah dengan metode lainnya, yaitu
metode muqoronah yang akan membandingkan antara sumber yang satu
dan lainnya, proses pendidikan di Soko Tunggal bena-benar
mencerminkan semangat pluralisme.
Dalam mengajarkan persoalan syariah misalnya; sering umat Islam
berbeda pendapat dan bertengkar. Maka disinilah perlunya pesantren
memberikan penjelasan adanya perbedaan pendapat dalam Islam dan
semua pendapat itu sama-sama memiliki argumen, dan wajib bagi kita
untuk menghormati. Pesantren seharusnya tidak menentukan salah satu
mazhab yang harus diikuti oleh peseta didik, pilihan mazhab terserah
kepada mereka masing-masing.
Dalam pengajian atau majelis ta’lim, yang diikuti oleh jama’ah
yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, juga berlatarbelakang
pengetahuan bermacam-macam dan tidak dibatasi oleh tingkatan usia atau
perbedaan kelamin. Sebagai suatu media untuk menyampaikan ajaran
Islam secara terbuka, biasanya dalam pengajian ini seorang pengasuh
pondok memberikan nasihat dengan tema tertentu didukung dengan
landasan hukum dan kisah-kisah untuk diambil hikmahnya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa kisah dan cerita mempunyai fungsi
edukatif yang memiliki dampak psikologis yang cukup kuat terhadap anak
didik. Kisah dan cerita akan dapat membekas pada diri seseorang apabila
benar-benar dapat menyentuh hati nurani anak didik yang peka. Karena cerita
atau kisah yang baik dapat merangsang, menggugah dan mendorong anak
didik untuk bertindak sesuai dengan apa yang terkandung dalam isi cerita,
sehingga anak didik akan melakukan apa yang sesuai dengan hatinya dan
menyingkirkan apa yang tidak sesuai dengan dikehendaki.
Perlunya pesantren mengembangkan pendidikan pluralistik adalah
dalam rangka menumbuh kembangkan kecintaan, saling menghormati satu
dan lainnya. Hal seperti akan bisa dilakukan hanya dengan perlunya
mengenalkan suatu konsep dan pemahaman tentang kemajemukan kepada
73
para santri. Ini sangat penting sekali, apalagi kalau didasarkan pada
pertimbangan bahwa, masyarakat Indonesia dengan tingkat kemajemukan
sangat tinggi baik etnik, budaya, ras bahasa, dan agama merupakan potensi
sekaligus ancaman. Berbagai konflik bernuansa SARA yang terjadi selama
ini sering dikaitkan dengan kegagalan bangsa ini memahami pluralitas.
Melihat realitas seperti itu, maka sikap menghormati dan menghargai
bahkan menjunjung tinggi harkar martabat semua orang adalah sikap yang
sangat penting. Perlakuan dan penghormatan yang sama harus diaplikasikan
dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan agama.
Pendidikan pluralistik disini bukan berarti bertentangan dengan
prinsip pendidikan pesantren yang selalu akrab dengan ”taklid” dan
mengikuti seluruh petunjuk pengasuh pondok (prinsip restu kyai), namun
untuk memberikan pemahaman lebih jauh mengenai adanya realitas
kemajemukan termasuk di dalam ajaran Islam dan bagaimana seharusnya
kita menyikapinya.
Dengan adanya pengakuan kemajemukan yang ada kemudian
dijabarkan melalui proses pendidikan di pesantren sekali lagi bukan untuk
menciptakan suatu keseragaman (uniformity) tetapi untuk mencari titik temu
agar mampu hidup berdampingan satu sama lain, yang itu berarti titik tekan
dari pendidikan pluralistik ini lebih merupakan masalah aplikatif, praktis,
administratif dan historis, daripada masalah keimanan dan teologis.
Pada konteks yang demikian, Nurcholis Madjid menyatakan sebagai
berikut:
Jadi pluralitas tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita adalah majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama hanya menggambarkan kesan fragmentasi. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme.5
Pluralitas hanyalah salah satu fenomena genesis (ciptaan-kejadian)
yang kompleks dan plural: Siang-malam, tua-muda, baik-jelek, malaikat-
5 Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis: Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur, (Yogyakarta: Galang Press, 2003, hlm. 91.
74
manusia-setan, dan sebagainya. Namun yang perlu dicermati bahwa Allah
kadang menciptakan sesuatu dan menghendakinya secara ontologis tapi tidak
secara legalitis seperti setan, kufur, maksiat dan segala sesuatu yang tidak
diridloi-Nya.6
Pendidikan pluralistik yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan yang sangat terpuji, seperti kebebasan toleransi dan persamaan
bukanlah suatu sistem baru yang akan mencampuradukkan unsur-unsur yang
berbeda termasuk agama dan kepercayaan, pendidikan ini dirasa perlu
mengingat pesantren sebagai lembaga pendidikan telah menunjukkan
eksistensinya dalam kurun waktu yang tidak pendek.
Akhirnya, dengan model pendidikan pluralistik seperti ini, diharapkan
mampu memberikan dorongan terhadap penciptaan perdamaian dan upaya
menanggulangi konflik yang akhir-akhir ini marak, sebab nilai dasar dari
pendidikan pluralisme adalah penanaman dan pembumian nilai toleransi,
empati, simpati, dan solidaritas sosial.
B. Implementasi Pendidikan Pluralistik dalam Proses Pembelajaran dan
Interaksi Sosial di Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang
Pendidikan merupakan aspek kehidupan yang sangat penting, satu hal
yang tak bisa dipisahkan dari masyarakat, terutama sekali pada masing-
masing manusia. Semuanya harus saling merefleksi dan terlibat dalam arus
perubahan. Keterlibatanya tidak hanya sebatas pada kemampuan untuk
mengadakan peyesuaian diri terhadap perubahan, tetapi harus lebih pada
bagaimana pendidikan itu mampu menjadi agen perubahan sosial.
Mengenai adanya toleransi dan saling hormat dengan suku, agama,
dan golongan lain pada masa Nabi Muhammad SAW dengan Piagam
Madinah-nya, sejarah telah mencatat bahwa piagam ini ditulis Nabi dengan
tujuan utama menciptakan perdamaian antara penduduk Madinah yang
6 Mun’im A. Shirry, Islam dan Tantangan Pluralisme Agama, (Jakarta: Paramadina,
2000), hlm. 183
75
beraneka ragam suku, agama dan budaya telah membawa kita kepada
pemahaman lebih jauh mengenai pentingnya pendidikan pluralistik.
Pada saat itu, ada dua agama besar yang berkembang di Madinah,
yaitu Islam yang dibawa Nabi dan dipeluk oleh orang-orang Arab Makkah
(Muhajirin) dan Madinah (Anshar), dan agama Nabi Musa yang dipeluk
orang-orang Yahudi. Di lain pihak juga masih ada kepercayaan-kepercayaan
penyembah berhala.
Keputusan Nabi sangat tepat dan adil dalam menjalankan
pemerintahannya, yaitu beliau menerapkan hukum-hukum Islam berikut
sangsinya kepada umat Islam, dan bagi orang-orang non muslim diberi
kebebasan tidak harus mengikuti hukum-hukum Islam.
Inilah diantara tujuan ditulisnya Piagam Madinah, yaitu
mempersatukan penduduk Madinah secara integral yang terdiri dari unsur-
unsur heterogen. Rasulullah tidak hendak menciptakan persatuan orang-
orang muslim saja secara eksklusif, terpisah dari komunitas yang lain di
wilayah tersebut. Oleh karenanya ketetapan Piagam Madinah ini menjamin
hak semua kelompok.7
Dalam hal ini Nabi Muhammad tentulah tidak mencampuradukkan
antara agama Islam dengan selain agama Islam, namun Nabi saat itu telah
benar-benar dapat menghargai adanya realitas kemajemukan di dalam
masyarakat dan sekaligus telah meletakkan pondasi bagi pengembangan
sikap pluralisme umat Islam.
Dengan menyadari kegagalan pendidikan di Indonesia dalam
menumbuhkan sikap pluralisme serta melihat kenyataan masyarakat kita
terdiri dari banyak suku dan beberapa agama, maka pencarian bentuk
pendidikan alternatif mutlak diperlukan. Yaitu suatu bentuk pendidikan yang
berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkanya kepada
generasi berikutnya, memupuk persahabatan antara peserta didik yang
beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap saling
memahami, serta mengerjakan keterbukaan dan dialog. Paradigma
7 Asep Syaefullah, Op.Cit, hlm. 142.
76
pendidikan seperti inilah yang dimunculkan dan terus dipupuk di Pondok
Pesantren Soko Tunggal, tentunya memalui berbagai pendekatan baik dalam
proses pembelajaran maupun dalam praktek keseharian seluruh masyarakat
pondok.
1. Implementasi pendidikan pluralistik dalam proses pembelajaran di Pondok
Pesantren Soko Tunggal
Dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai lembaga
pendidikan sekaligus lembaga keagamaan, Soko Tunggal juga
menggunakan pendekatan holistik seperti pesantren pada umumnya.
Artinya di pesantren semua kegiatan belajar mengajar dan aktifitas
kehidupan, termasuk aktifitas keagamaan merupakan kesatupaduan utuh
dalam totalitas kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain proses pendidikan
pesantren berlangsung selama 24 jam penuh, karena hubungan antara
santri dan kyai yang terkonsentrasi dalam satu kompleks. Namun jika
boleh ditimbang, orientasi tujuan pesantren lebih mengutamakan dan
mementingkan pendidikan akhlak atau moral dalam membentuk
kepribadian santri untuk menjadi muslim sejati.8
Dalam proses pembelajaran di pondok pesantren, nilai-nilai
pendidikan pluralistik juga nampak pada metode pembelajaran klasikal
yang merupakan ciri tradisi pesantren yang unik, yaitu:
a. Metode Sorogan
Tentang metode sorogan ini, penulis mencermati ada pelajaran
tersendiri yang diperoleh santri, disamping pelajaran agama Islam.
Seperti diketahui, bahwa dalam pelaksanaan metode sorogan secara
aktif santri mendatangi kyai, men’sorog’kan kitab, kyai membacakan
dan menjelaskan isi kitab tersebut. Lain waktu, santri kembali
mendatangi kyai, menyodorkan kitab, membaca serta menjelaskan
kandungan kitab tersebut. Kyai memperhatikan apa yang dilakukan
8 Ahmad Muthohar, Idiologi Pendidikan Pesantren, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2007), hlm. 20.
77
santri, membetulkan manakala terjadi kesalahan yang dilakukan santri.
Demikian dan seterusnya.
Metode sorogan yang biasa disebut dengan pengajaran
individual ini memberikan kebebasan kepada para santri (siswa) untuk
mengikuti pelajaran menurut prakarsa dan perhitungan sendiri,
menentukan bidang dan tingkat kesukaran buku pelajarannya sendiri
serta mengatur intensitas belajar menurut kemampuan menyerap dan
memotivasinya sendiri.
Dalam pengajaran yang memakai metode sorogan ini kadang
ada pengulangan pelajaran ataupun pertanyaan yang dilakukan oleh
kedua pihak dan setiap pelajaran biasanya dimulai dengan bab baru.
Semua pelajaran ini diberikan oleh kyai atau pembantunya yang disebut
badal (pengganti) yang terdiri dari santri senior. Kenaikan kitab ditandai
dengan bergantinya kitab yang dipelajari. Sedangkan evaluasi dilakukan
sendiri oleh santri yang bersangkutan, apakah ia cukup menguasai bahan
yang telah dipelajari dan mampu mengikuti pengajian kitab berikutnya.
Dalam mengikuti pelajaran santri mempunyai kebebasan penuh
baik dalam kehadiran, pemilihan pelajaran, tingkat pelajaran, dan
sikapnya dalam mengikuti pelajaran. Jadi dapat dipahami bahwa metode
sorogan sebagai salah satu tradisi pesantren merupakan salah satu
bentuk interaksi antara santri (murid) dengan kyai (pengasuh pondok)
atau para ustadz (guru) yang mencerminkan adanya implementasi
pendidikan pluralistik di pesantren.
Pelaksanaan pengajaran dengan menggunakan metode sorogan
akan dapat memberikan kesempatan kepada seluruh santri untuk belajar
secara mandiri berdasarkan kemampuan masing-masing individu. Dan
kegiatan ini setiap santri dituntut mengerjakan tugasnya dengan
kemampuan yang mereka miliki sendiri. Oleh karenanya kyai atau
ustadz harus mampu memahami dan mengembangkan strategi dalam
proses belajar mengajar dengan pendekatan individu. implikasi dari
kegiatan belajar ini guru harus banyak memberikan perhatian dan
78
pelayanan secara individual, bagi siswa tertentu guru harus dapat
memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan taraf kemampuan
siswa.
b. Metode Weton/ Bandongan
Proses metode pengajaran ini adalah santri berbondong-bondong
datang ke tempat yang sudah ditentukan oleh kyai, kyai membaca suatu
kitab alam waktu tertentu, dan santri membawa kitab yang sama sambil
mendengarkan dan menyimak bacaan kyai, mencatat terjemahan dan
keterangan kyai pada kitab itu yang disebut dengan istilah maknani,
ngasahi atau njenggoti. Pengajian seperti ini dilakukan secara bebas,
tidak terikat pada absensi, dan lama belajarnya, hingga tamatnya kitab
yang di baca, tidak ada ujian.
Seperti pada metode sorogan, santri diberi keleluasaan penuh
dan mengembangkannya sendiri sesuai dengan pemahaman masing-
masing. Disini lagi-lagi seorang guru/ ustadz harus mencurahkan
perhatiannya untuk memantau perkembangan santri.
Dalam proses pembelajaran di Soko Tunggal, penggunaan
metode bahtsul masa’il (mudzakaroh) jika dipergunakan untuk
membahas masalah diniyah, seperti ibadah, aqidah dan permasalahan-
permasalahan lainnya, santri tidak hanya menggunakan satu rujukan
saja, namun dilengkapi dengan metode lainnya. yaitu muqoronah yang
akan membandingkan antara sumber yang satu dan lainnya.
Adapun bentuk mudzakaroh yang dilakukan di Pondok pesantren
Soko Tunggal meliputi:
Mudzakaroh yang diadakan antar sesama kyai atau ustadz. Metode
ini selain ditujukan untuk memecahkan permasalahan agama dan
kemasyarakatan yang timbul, disamping itu juga untuk
memperdalam pengetahuan agama.
Mudzakaroh yang diadakan sesama santri. Berbeda dengan yang
pertama, tujuan pelaksanaannya adalah untuk melatih santri dalam
memecahkan masalah dengan menggunakan rujukan-rujukan yang
79
jelas. Selain itu juga untuk melatih santri berargumentasi dengan
menggunakan nalar yang lurus. Mudzakaroh seperti ini biasanya
dipimpin oleh seorang ustadz atau santri senior.
Pemberian materi lintas agama juga diberikan, mengingat Pondok
Pesantren Soko Tunggal Semarang sebagai pusat kegiatan Forkhagama
akan selalu bersentuhan dengan kegiatan Forkhagama yang pastilah
mengikutkan para pemeluk agama lain.
2. Implementasi pendidikan pluralistik dalam tradisi interaksi sosial di
Pondok Pesantren Soko Tunggal
Pendidikan agama, merupakan sarana yang sangat efektif untuk
menginternalisasi nilai-nilai atau aqidah inklusif pada peserta didik.
Perbedaan di antara peserta didik (santri) bukanlah menjadi penghalang
untuk bisa bergaul dan bersosialisasi diri. Justru pendidikan agama dengan
peserta didik yang berbeda aliran bahkan agama, dapat dijadikan sarana
untuk menggali dan menemukan nilai-nilai keagamaan pada agamanya
masing-masing sekaligus dapat mengenal tradisi agama orang lain
Dalam rangka mengembangkan potensi santri dan kehendak jiwa
santri, agar dapat menjadi manusia yang memiliki kepribadian mulia yang
sesuai dengan tatanan nilai yang ada sehingga terbentuk manusia yang
berakhlak karimah dan dapat menempatkan diri dalam pergaulan, maka
penempaan dibidang akhlak merupakan prioritas pendidikan yang terus
dilakukan di pesantren, karena proses pendidikan sesungguhnya dijalankan
dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan sumber daya
manusia yang sanggup menyelesaikan persoalan lokal yang
melingkupinya. Dalam artian proses pendidikan dapat menghasilkan
output manusia yang sanggup untuk memetakan sekaligus memecahkan
masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Bagaimana mungkin
dapat diperoleh keluaran pendidikan yang mengerti kebutuhan lokal
80
manakala proses belajarnya tidak pernah bersentuhan dengan kebutuhan-
kebutuhan yang memang mengakar dalam masyarakat.9
Pendidikan akhlak dan tradisi yang ada di pesantren merupakan
dua hal yang saling terkait dan secara komprehensif dapat membentuk
pribadi yang sangat utuh, karena pendidikan akhlak di pesantren
dilaksanakan secara terpadu dan komprehensif. Di mana adanya
pandangan pesantren yang menganggap akhlak sebagai hal yang utama,
materi-materi yang diajarkan semuanya berorientasi pada pembentukan
akhlak, dan dibarengi serta didukung dengan lingkungan yang penuh
dengan keteladanan yang sangat mendukung dalam pembentukan pribadi
yang religius dan berakhlak karimah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pendidikan akhlak di pesantren dapat dijadikan sebagai alternatif dalam
mengenalkan konsep pendidikan yang dapat menampung perbedaan dan
mendasari pola hubungan yang ada.
Mengingat proses pendidikan di pesantren setiap hari maka dalam
kehidupan sehari-hari seorang kyai, guru (ustadz) dituntut untuk tetap
berperilaku sebagai seorang pendidik bagi para santri begitu juga
sebaliknya seorang bagi peserta didik (santri).
Selain pola pergaulan antara santri dan guru (kyai dan para ustadz)
yang juga melibatkan elemen pesantren lain (kitab kuning dan masjid
sebagai pusat seluruh kegiatan), hubungan santri dengan santri tidak lepas
dari unsur pendidikan pluralistik.
Dengan adanya sistem asrama, pesantren adalah tempat menuntut
ilmu sekaligus berfungsi sebagai tempat tinggal para santri, oleh sebab itu
santri tidak akan terlepas dari interaksi dengan sesamanya. Dengan
kehidupan yang senantiasa bersama dalam satu tempat akan menuntut para
santri untuk memiliki sikap kebersamaan, dan merasa senasib
seperjuangan. Sehingga akan menumbuhkan sikap saling tolong-
menolong, saling hormat-menghormati, yang terefleksikan dalam perilaku
9 Firdous M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial Paulo Freire dan YB.
Mangunwijaya, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), hlm. x
81
sehari-hari, seperti memasak bersama, belajar dan diskusi bersama dan lain
sebagainya.
Adapun bentuk lain dalam tradisi di Pondok Pesantren Soko
Tunggal, biasanya santri yang sudah dewasa dan telah lama tinggal di
pesantren akan ikut membantu dalam proses belajar mengajar, dengan
menjadi ustadz, mengajarkan kitab-kitab yang ia kuasai dan mampu untuk
diajarkan kepada santri lain. Hal ini juga akan semakin menguatkan
hubungan dan sikap saling hormat menghormati antar sesama santri,
sehingga memunculkan suatu tradisi yang positif dengan penggunaan
panggilan “kang” atau “mbah” bagi santri yang telah lama menjadi santri
di pesantren, sebagai penghormatan kedewasaanya dan juga karena tingkat
pengetahuannya.
Selanjutnya, terkait dengan obyek yang penulis teliti, seperti yang
telah disinggung pada bab III bahwasanya Pondok Pesantren Soko
Tunggal Semarang merupakan pesantren yang lebih menitikberatkan pada
pendidikan tasawuf. Lalu bagaimanakah keterkaitan antara tasawuf dengan
pendidikan pluralistik di pesantren?
Tasawuf merupakan suatu kehidupan rohani yang merupakan fitrah
manusia dengan tujuan untuk mencapai hakikat yang tinggi, berada dekat
atau sedekat mungkin dengan Allah SWT dengan jalan mensucikan
jiwanya dengan melepaskan jiwa dari kungkungan jasad yang
menyandarkan pada kehidupan kebendaan serta melepaskan jiwanya dari
noda dan sifat tercela.10
Sekalipun ada banyak definisi tasawuf dalam Islam yang
dikemukakan dalam beberapa buku tasawuf dan sebagainya, kita bisa
mengatakan bahwa menurut kaum sufi sendiri, tasawuf pada umumnya
bermakna menempuh kehidupan zuhud, menghindari gemerlap kehidupan
duniawi, rela hidup dalam keprihatinan, melakukan berbagai jenis amalan
ibadah, melaparkan diri, mengerjakan shalat malam dan melantunkan
berbagai jenis wirid sampai fisik atau dimensi jasmani manusia agar
10 Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 192.
82
tunduk kepada dimensi rohani (nafs), dengan berbagai cara sambil
bergerak menuju kesempurnaan akhlak seperti dinyatakan kaum sufi dan
meraih pengetahuan atau makrifat (ma’rifat) tentang zat ilahi dan
kesempurnaan-Nya.11
Meskipun dalam catatan sejarah umat Islam, munculnya tasawuf
telah melahirkan berbagai masalah yang kontroversial namun terlepas dari
hal tersebut harus diakui, munculnya tasawuf telah memberikan
sumbangan yang sangat berharga bagi pemikiran dan praktik keagamaan
umat Islam. Jalan tasawuf telah memberi contoh bagaimana mendekatkan
diri kepada Allah lewat berbagai bentuk dzikir, penyucian jiwa dan hati
dan melakukan amalan kebajikan yang murni termasuk bagaimana
berinteraksi dan saling tolong dengan orang lain tanpa memandang dari
mana mereka berasal.
Salah satu alasan yang dapat dipergunakan untuk memperkuat
statemen-statemen tentang sikap toleransi kaum sufi yang menjunjung
tinggi kemajemukan adalah dengan mengetahui inti dari ajaran tasawuf itu
sendiri. Inti dari ajaran tasawuf adalah keyakinan bahwa manusia
senantiasa ingin meraih kesucian diri dan dambaan untuk berdekatan atau
berdialog kepada Allah SWT.
Agar tujuan tersebut dapat terwujud, maka manusia lebih dulu
diharuskan mensucikan dirinya. dengan kata lain dalam hal ini tasawuf
sebenarnya dapat dipahami sebagai suatu bentuk ajaran yang menentang
terhadap adanya perbedaan lahiriyah seperti; ras, suku, warna kulit dan
lain-lain.
Berdasarkan hal itulah Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang
sebagai salah satu pesantren yang lebih menekankan pada sikap “al-Zuhud
wa Al-Wara’”, para santrinya senantiasa dianjurkan untuk memiliki sikap
toleransi dan mengenyampingkan adanya perbedaan sebagai salah satu
bentuk implementasi dari ajaran tasawuf yang mengarah pada pendidikan
11 H. Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003), hlm.
174.
83
pluralistik. Dengan demikian, interaksi sosial yang terjadi dan tradisi di
Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang secara tidak langsung telah
mampu mengembangkan logika pluralitas, yaitu logika yang mengakui
bahwa semua hal itu berbeda, tak ada yang sama, dan semua yang
berbeda-beda itu mempunyai hak untuk hidup dan berkembang.
Sejalan dengan orientasi pendidikan pluralistik, kehadiran Pondok
Pesantren Soko Tunggal Semarang telah membuka wacana baru
pentingnya pendidikan tentang bagaimana berinteraksi dengan manusia
lain yang memiliki latar belakang yang begitu majemuk. Hal tersebut salah
satunya tercermin dalam prasasti Deklarasi Soko Tunggal12 yang
bertempat di dalam kompleks pondok pesantren.
Dengan adanya kegiatan Forkhagama secara tidak langsung telah
menyangkal tudingan bahwa pondok pesantren hanya akrab dengan dogma
dan konservatisme. Persinggungan dengan pemeluk agama lain maupun
aliran kepercayaan lainnya menambah lengkap pemahaman mengenai
banyaknya keragaman masyarakat Indonesia.
Munculnya Deklarasi Soko Tunggal tidak lepas dari berbagai
kejadian yang melibatkan pertikaian antar suku dan agama yang kerap
terjadi. Sebagai pengasuh Pondok Pesantren Soko Tunggal KH. Nuril
Arifin merasa tersentuh untuk segera mengambil tindakan dalam rangka
meredam gejolak yang terus memanas.
Secara umum interaksi sosial yang terjadi di Soko Tunggal dapat
diklasifikasikan kedalam tiga bentuk sejalan dengan prinsip tri kerukunan
umat beragama, yaitu: (1) Antar sesama umat seagama, yaitu seluruh
aspek kehidupan yang melibatkan aktivitas antar pemeluk umat beragama
12 Isi deklarasi Soko Tunggal: (1) Mewujudkan kehidupan beragama dengan
mengedepankan perlindungan hukum, solidaritas dan toleransi dalam kerangka NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, (2) Bisa menyelesaikan permasalahan umat beragama ditingkat bawah, (3) Memberi ruang gerak demi terciptanya persaudaraan antar umat beragama, (4) Membantu memudahkan dan menciptakan koridor serta sarana-prasarana dalam mewujudkan kehidupan beragama yang harmonis, (5) Melakukan mediasi antar umat beragama, (6) Menjadi bagian tak terpisahkan dari prinsip Bhineka Tunggal Ika, (7) Menciptakan iklim sejuk dan menghilangkan kecemburuan antar umat beragama; Hasil observasi di Pondok Pesantren Soko Tunggal tanggal 09 Juli 2007.
84
(Islam). (2) Antar umat beragama, dalam hal ini Forkhagama memiliki
andil yang sangat besar dalam mengajak seluruh warga Soko Tunggal
untuk saling mencintai sesamanya, dan (3) Antar umat beragama dengan
pemerintah.
Terkait dengan hubungan antara seluruh umat beragama dengan
pemerintah, Forkhagama bisa disebut sebagai salah satu media untuk
mempererat hubungan antar umat beragama, bukan sebagai wasit dalam
persaingan antar golongan ataupun agama tapi dapat dilihat sebagai media
pemersatu bangsa.
Dari situ, Forkhagama (Forum Keadilan dan Hak Asasi Umat
Beragama) yang sudah menjadi bagian dari keseharian warga Pondok
Pesantren Soko Tunggal merupakan poin tambah sebagai bukti adanya
implementasi pendidikan pluralistik di Soko Tunggal.
Melalui kegiatan Forkaghama yang melibatkan warga Pondok
Pesantren Soko Tunggal dan juga dari penganut agama lain, diharapkan
pada diri santri akan memiliki pandangan yang mengapresiasi pluralitas
agama dan menganggap pluralitas agama bukanlah hal yang aneh lagi.
Apabila pemeluk agama-agama, mampu menerapkan jiwa
pluralisme (terutama melalui pendidikan agama), sebagaimana yang telah
dilakukan Pondok Pesantren Soko Tunggal, maka ketegangan yang
diakibatkan oleh “truth claim” dapat dikurangi atau bahkan dihapus.
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari bab kesatu sampai bab keempat maka
kesimpulan yang dapat diambil sebagai berikut:
1. Pendidikan pluralistik merupakan suatu bentuk pendidikan yang
membuat dan menciptakan situasi lembaga pendidikan beserta
kegiatannya mampu melayani diversity atau kemajemukan peserta
didiknya, suatu bentuk pendidikan yang mendidik peserta didiknya
untuk membenarkan semua yang berbeda dan membuat suatu
keseragaman tetapi untuk mendapatkan titik pertemuan yang dapat
membawa semua perbedaan menjadi saling isi dan berdampingan.
Suatu bentuk pendidikan yang menitikberatkan pada pemahaman dan
upaya untuk bisa hidup dalam konteks perbedaan agama dan budaya,
baik secara individual maupun secara kelompok.
2. Pendidikan pluralistik di pesantren tertuang dalam seluruh kegiatan
belajar mengajar dan aktifitas kehidupan, termasuk aktifitas
keagamaan yang merupakan kesatupaduan utuh dalam totalitas
kehidupan sehari-hari sehingga memunculkan tradisi dan pola
pergaulan unik yang mencerminkan implementasi pendidikan
pluralistik di pesantren
3. Tradisi pendidikan pluralistik yang tertuang dalam proses pendidikan
dan pola pergaulan yang berkembang di Pondok Pesantren Soko
Tunggal merupakan pengejawantahan dari pendidikan akhlak dan
tasawuf yang menempatkan santri untuk menjadi muslim sejati yang
memiliki kepribadian mulia dan kecintaan terhadap sesama tanpa
memandang suku, agama, ras dan golongan.
86
B. Saran-saran
1. Dalam pendidikan pluralistik di pesantren, semua aspek kelembagaan
dan proses belajar mengajarnya harus menerapkan sistem dan metode
yang dapat menumbuhkan multikulturalisme serta mampu menggali sisi
perdamaian dan toleransi
2. Untuk mengembangkan pendidikan pluralistik di pesantren maka
kurikulum pesantren harus disusun dan disesuaikan dengan pendidikan
pluralistik yang dapat menumbuhkan pluralisme serta mampu menggali
sisi perdamaian dan toleransi. sekaligus dapat menghimpun berbagai
pemikiran dan pandangan dari berbagai kalangan yang memiliki
kepedulaian terhadap peran agama dalam memecahkan problem sosial
yang ada.
3. Pengoptimalan metode dialog, sebab dengan dialog memungkinkan
setiap komunitas yang notabenya memiliki latar belakang berbeda dapat
mengemukakan pendapat secara argumentatif. Melalui metode dialog
inilah diharapkan nantinya akan memunculkan adanya sikap saling
mengenal antar tradisi sehingga bentuk-bentuk “truth claim” dapat
diminimalisir.
C. Penutup
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan
rahmat, taufiq dan hidayahnya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi
ini yang berjudul: “Pendidikan Pluralistik di Pesantren (Studi Analisis
Tradisi Pendidikan di Pondok Pesantren Soko Tunggal Semarang.” Penulis
sadar bahwa skripsi ini masih sarat dengan keterbatasan dan jauh dari
kesempurnaan. Karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi
sempurnanya skripsi ini.
Kepada semua pihak yang memberikan dorongan dan bantuan atas
tersusunnya skripsi ini, kami ucapkan banyak terima kasih, dan hanya Allah
lah yang berkuasa untuk memberikan balasan kepada semuanya yang tak
87
dapat kami sebutkan namanya satu persatu dengan iringan do’a Jazaa
kumullahu khoiran katsiraa.
Harapan kami semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kami sendiri
pada khususnya dan bagi seluruh pembaca juga masyarakat pada umumnya
dan dapat menjadikan suatu kontribusi bagi model pendidikan di pesantren
yang relevan dengan kondisi kemajemukan bangsa indonesia pada
khususnya dan pengajaran ilmu pendidikan ajaran agama Islam pada
umumnya. Serta menjadi bekal kebaikan ilmu pengetahuan, amien yaa
rabbal alamien.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004.
Aditoni, Agus, “Etimologi”, http://www.geocities.com/ HotSprings/6774j-35.html.
Al-Jabiri, Muhammad Abed, Post Tradisionalisme Islam, Yogyakarta: LkiS, 2000.
Al-Jamaly, Muhammad Fadhil, Filsafat Pendidikan Dalam Al-Qur'an, Terj. Zainal Abidin Ahmad, Jakarta: Pepera, 1986.
Arifin, M., Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Ash Shiddiqy, Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir al Qur’anul Majid an Nur, Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, 1995, cet. II.
Assegaf, Abd. Racman, Internasionalisasi Pendidikan: Sketsa Perbandingan Pendidikan dio Negara-Negara Islam dan Barat, Yogyakarta: Gama Media, 2003.
Az-Zarnuji, Ta’lim Muta’allim, Beirut: Dar Al-Kitab Al-Islamiyah, tt.
Clifes, Englewood, Essential of Education Psychology, USA: Prentice Hall, 1958.
Dawam, Ainurrafiq, Emoh Sekolah: Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual Menuju Pendidikan Multikultural”, Yogyakarta: Inspeal Prees, 2003.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, Cet. IV.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.
Dewey, John, “Experience and Education”, New York: Collier Books, 1972, terj. Hani’ah, Pendidikan Berbasis Pengalaman, Jakarta: Penerbit Teraju, 2004.
_______, Eduication as a Social Function, New York: The Macmillan Company, 1964.
Dhofier, Zamkhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3S, 1982.
Haedari, HM. Amin, et. al., Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, Jakarta: IRD Press, 2004.
Hall, Elisabeth, Psychology to Day Introduction, New York: Random House, 1983.
Hasan, Iqbal, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2002.
James A. Black & Dean J. Champion, Methods and Issues in Social Research, terj. E. Kuswara, Metode dan Masalah Penelitian Sosial, Jakarta: PT. Eresco, 1992.
Ma’arif, Syamsul, Pendidikan Pluralisme Di Indoneasia, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005.
Madjid, Nurcholis, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997.
Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKIS, 2004.
Moloeng, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif Pendekatan Positivistik, Rasionalistik, Fenomenoogi Dan Realieme Metafisik Telaah Studi Teks Dan Penelitian Agama, Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1989.
Murtiningsih, Siti, Pendidikan Alat Perlawanan: Teori Pendidikan Paulo Freire, Yogyakarta: Resist Book, 2004.
Muthohar, Ahmad, Idiologi Pendidikan Pesantren, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004.
_______, Pemikiran Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Cet II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Noer, Ahmad Syafi’i, et.al., Sejarah dan Pertumbuhan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Grasindo, 2001.
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.
Ridwan, Nur Khalik, Pluralisme Borjuis: Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur, Yogyakarta: Galang Press, 2003.
Saefullah, Asep, Merukunkan Umat Beragama; Studi Pemikiran Tarmizi Taher Tentang Kerukunan Umat Beragama, Jakarta: Penerbit Grafindo Khasanah Ilmu, 2007.
Saerozi, M., Politik Pendidikan Agama dalam Era Pluralisme: Telaah Historis atas Kebijaksanaan Pendidikan Agama Konfensional di Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Salim, Peter, The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Jakarta: Modern Press, 1996.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, cet. ke-3, Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2005.
Shirry, Mun’im A., Islam dan Tantangan Pluralisme Agama, Jakarta: Paramadina, 2000.
SM., Ismail, et.al., Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerjasama dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2001.
Soegarda Poerbakawatja dan H.A.H Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1982, Cet. III.
Sumartana, Tn., et.al., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Suriasumantri, Jujun, S., Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Jakarta: Pusjarlit dengan Penerbit Nuansa, tth.
Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama, Jakarta: Perspektif Kelompok Gema Insani, 2005.
Thoha, M. Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Cet I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Tim Penyusun Kamus Besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Toyib IM. dan Sugiyanto, Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Penerbit Kaldera Pustaka Nusantara, 2003, Cet. I.
Witting, Arno F., Psychology of Learning, New York: Mc Graw-Hill, 1981.
Yunus, Firdous M., Pendidikan Berbasis Realitas Sosial Paulo Freire dan YB. Mangunwijaya, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.
Yusuf, Ali Anwar, Studi Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003.
Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Socienty, Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2001.
Zarkasy, Amal Fathullah, Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan dan Dakwah, Jakarta: Gema Risalah Press, 1998.