Pendekatan Saintifik

6
Pendekatan Saintifik/Ilmiah dalam Proses Pembelajaran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah telah mengisyaratkan tentang perlunya proses pembelajaran yang dipandu dengan kaidah-kaidah pendekatan saintifik/ilmiah. Upaya penerapan Pendekatan saintifik/ilmiah dalam proses pembelajaran ini sering disebut- sebut sebagai ciri khas dan menjadi kekuatan tersendiri dari keberadaan Kurikulum 2013, yang tentunya menarik untuk dipelajari dan dielaborasi lebih lanjut. Melalui tulisan ini, saya akan sedikit bercerita tentang pendekatan saintifik/ilmiah dalam proses pembelajaran sebagaimana yang telah saya pahami selama ini. Menurut hemat saya, upaya penerapan pendekatan saintifik/ilmiah dalam proses pembelajaran bukan hal yang aneh dan mengada-ada tetapi memang itulah yang seharusnya terjadi dalam proses pembelajaran, karena sesungguhnya pembelajaran itu sendiri adalah sebuah proses ilmiah (keilmuan). Banyak para ahli yang meyakini bahwa melalui pendekatan saintifik/ilmiah, selain dapat menjadikan siswa lebih aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, juga dapat mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan guna menemukan fakta-fakta dari suatu fenomena atau kejadian. Artinya, dalam proses pembelajaran, siswa dibelajarkan dan dibiasakan untuk menemukan kebenaran ilmiah, bukan diajak untuk beropini apalagi fitnah dalam melihat suatu fenomena. Mereka dilatih untuk mampu berfikir logis, runut dan sistematis, dengan menggunakan kapasistas berfikir tingkat tinggi (High Order Thingking/HOT). Combie White (1997) dalam bukunya yang berjudul “Curriculum Innovation; A Celebration of Classroom Practice” telah mengingatkan kita tentang pentingnya membelajarkan para siswa tentang fakta-fakta. “Tidak ada yang lebih penting, selain fakta“, demikian ungkapnya. Penerapan pendekatan saintifik/ilmiah dalam pembelajaran menuntut adanya perubahan setting dan bentuk pembelajaran tersendiri yang berbeda dengan pembelajaran konvensional. Beberapa metode pembelajaran yang dipandang sejalan dengan prinsip-prinsip pendekatan saintifik/ilmiah, antara lain metode: (1) Problem Based Learning; (2) Project Based Learning; (3) Inkuiri/Inkuiri Sosial; dan (4) Group Investigation. Metode-metode ini berusaha membelajarkan siswa untuk mengenal masalah, merumuskan masalah, mencari solusi atau menguji jawaban sementara atas suatu masalah/pertanyaan dengan melakukan penyelidikan (menemukan fakta-fakta melalui penginderaan), pada akhirnya dapat menarik kesimpulan dan menyajikannya secara lisan maupun tulisan. Apakah pendekatan saintifik/ilmiah dengan langkah-langkah seperti dikemukakan di atas bisa diterapkan di semua jenjang pendidikan? Jawabannya tentu akan menjadi perdebatan keilmuan, tetapi saya memegang satu teori yang sudah kita kenal yaitu Teori Perkembangan Kognitif dari Piaget yang mengatakan bahwa mulai usia 11 tahun hingga dewasa (tahap formal-operasional), seorang individu telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan

Transcript of Pendekatan Saintifik

Page 1: Pendekatan Saintifik

Pendekatan Saintifik/Ilmiah dalam Proses Pembelajaran

Permendikbud No. 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah telah

mengisyaratkan tentang perlunya proses pembelajaran yang dipandu dengan kaidah-kaidah pendekatan

saintifik/ilmiah. Upaya penerapan Pendekatan saintifik/ilmiah dalam proses pembelajaran ini sering

disebut-sebut sebagai ciri khas dan menjadi kekuatan tersendiri dari keberadaan Kurikulum 2013, yang

tentunya menarik untuk dipelajari dan dielaborasi lebih lanjut.

Melalui tulisan ini, saya akan sedikit bercerita tentang pendekatan saintifik/ilmiah dalam proses

pembelajaran sebagaimana yang telah saya pahami selama ini. Menurut hemat saya, upaya penerapan

pendekatan saintifik/ilmiah dalam proses pembelajaran bukan hal yang aneh dan mengada-ada tetapi

memang itulah yang seharusnya terjadi dalam proses pembelajaran, karena sesungguhnya

pembelajaran itu sendiri adalah sebuah proses ilmiah (keilmuan).

Banyak para ahli yang meyakini bahwa melalui pendekatan saintifik/ilmiah, selain dapat menjadikan

siswa lebih aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, juga dapat mendorong siswa

untuk melakukan penyelidikan guna menemukan fakta-fakta dari suatu fenomena atau kejadian. Artinya,

dalam proses pembelajaran, siswa dibelajarkan dan dibiasakan untuk menemukan kebenaran ilmiah,

bukan diajak untuk beropini apalagi fitnah dalam melihat suatu fenomena. Mereka dilatih untuk mampu

berfikir logis, runut dan sistematis, dengan menggunakan kapasistas berfikir tingkat tinggi (High Order

Thingking/HOT). Combie White (1997) dalam bukunya yang berjudul “Curriculum Innovation; A

Celebration of Classroom Practice” telah mengingatkan kita tentang pentingnya membelajarkan para

siswa tentang fakta-fakta. “Tidak ada yang lebih penting, selain  fakta“,  demikian ungkapnya.

Penerapan pendekatan saintifik/ilmiah dalam pembelajaran menuntut adanya perubahan setting dan

bentuk pembelajaran tersendiri yang berbeda dengan pembelajaran konvensional. Beberapa metode

pembelajaran yang dipandang sejalan dengan prinsip-prinsip pendekatan saintifik/ilmiah, antara lain

metode: (1) Problem Based Learning; (2) Project Based Learning; (3) Inkuiri/Inkuiri Sosial; dan

(4) Group Investigation. Metode-metode ini berusaha membelajarkan siswa untuk mengenal masalah,

merumuskan masalah, mencari solusi  atau menguji  jawaban sementara atas suatu masalah/pertanyaan

dengan melakukan penyelidikan (menemukan fakta-fakta melalui penginderaan), pada akhirnya dapat

menarik kesimpulan dan menyajikannya secara lisan maupun tulisan.

Apakah pendekatan saintifik/ilmiah dengan langkah-langkah seperti dikemukakan di atas bisa diterapkan

di semua jenjang pendidikan? Jawabannya tentu akan menjadi perdebatan keilmuan,

tetapi saya memegang satu teori yang sudah kita kenal yaitu Teori Perkembangan Kognitif dari Piaget

yang  mengatakan bahwa mulai usia 11 tahun hingga dewasa (tahap formal-operasional), seorang

individu telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan maupun berurutan dua

ragam kemampuan kognitif yaitu: (1) Kapasitas menggunakan hipotesis; kemampuan berfikir mengenai

sesuatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan

dengan lingkungan yang dia respons; dan (2) Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak;

kemampuan untuk mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak secara luas dan mendalam.

Dengan demikian, tampaknya pendekatan saintifik/ilmiah dalam pembelajaran sangat mungkin untuk

diberikan mulai pada usia tahapan ini. Tentu saja, harus dilakukan secara bertahap, dimulai dari

penggunaan hipotesis dan berfikir abstrak yang sederhana, kemudian seiring dengan perkembangan

kemampuan berfikirnya dapat ditingkatkan dengan menggunakan hipotesis dan berfikir abstrak yang

lebih kompleks.

Page 2: Pendekatan Saintifik

Sementara itu, Kemendikbud (2013) memberikan konsepsi tersendiri  bahwa pendekatan ilmiah

(scientific appoach) dalam pembelajaran didalamnya mencakup komponen: mengamati, menanya,

mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. Komponen-komponen tersebut

seyogyanya  dapat dimunculkan dalam setiap praktik pembelajaran,  tetapi bukanlah sebuah siklus

pembelajaran.

Berdasarkan hasil analisis terhadap kondisi yang diharapkan terdapat maka dipeloleh 14 prinsip utama pembelajaran yang perlu

guru terapkan.

Ada pun 14 prinsip itu adalah:

1.  Dari siswa diberi tahu menuju siswa mencari tahu; pembelajaran mendorong siswa menjadi pembelajar aktif, pada

awal pembelajaran guru tidak berusaha untuk meberitahu siswa karena itu materi pembelajaran tidak disajikan dalam

bentuk final. Pada awal pembelajaran guru membangkitkan rasa ingin tahu siswa terhadap suatu fenomena atau fakta lalu

mereka merumuskan ketidaktahuannya dalam bentuk pertanyaan. Jika biasanya kegiatan pembelajaran dimulai dengan

penyampaian informasi dari guru sebagai sumber belajar, maka dalam pelaksanaan kurikulum 2013 kegiatan inti dimulai

dengan siswa mengamati fenomena atau fakta tertentu. Oleh karena itu guru selalu memulai dengan menyajikan alat bantu

pembelajaran untuk mengembangkan rasa ingin tahu siswa dan dengan alat bantu itu guru membangkitkan rasa ingin tahu

siswa dengan bertanya.

2. Dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka sumber; pembelajaran berbasis

sistem lingkungan. Dalam kegiatan pembelajaran membuka peluang kepada siswa  sumber belajar seperti informasi dari

buku siswa,  internet, koran, majalah, referensi dari perpustakaan yang telah disiapkan. Pada metode proyek, pemecahan

masalah, atau inkuiri siswa dapat memanfaatkan sumber belajar di luar kelas. Dianjurkan pula untuk materi tertentu siswa

memanfaatkan sumber belajar di sekitar lingkungan masyarakat. Tentu dengan pendekatan ini pembelajaran tidak cukup

dengan pelaksanaan tatap muka dalam kelas.

3. Dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah; pergeseran ini

membuat guru tidak hanya menggunakan sumber belajar tertulis sebagai satu-satunya sumber belajar siswa dan hasil

belajar siswa hanya dalam bentuk teks. Hasil belajar dapat diperluas dalam bentuk teks, disain program, mind maping,

gambar, diagram, tabel, kemampuan berkomunikasi, kemampuan mempraktikan sesuatu yang dapat dilihat dari lisannya,

tulisannya, geraknya, atau karyanya.

4. Dari pembelajaran berbasis konten menuju pembelajaran berbasis kompetensi;pembelajaran tidak hanya dilihat dari

hasil belajar, tetapi dari aktivitas dalam proses belajar. Yang dikembangkan dan dinilai adalah sikap, pengetahuan, dan

keterampilannya.

5. Dari pembelajaran parsial menuju pembelajaran terpadu; mata pelajaran dalam pelaksanaan kurikulum 2013

menjadi komponen sistem yang terpadu. Semua materi pelajaran perlu diletakkan dalam sistem yang terpadu untuk

menghasilkan kompetensi lulusan. Oleh karena itu guru perlu merancang pembelajaran bersama-sama, menentukan karya

siswa bersama-sama, serta menentukan karya utama pada tiap mata pelajaran bersama-sama, agar beban belajar siswa

dapat diatur sehingga tugas yang banyak, aktivitas yang banyak, serta penggunaan waktu yang banyak tidak menjadi

beban belajar berlebih yang kontraproduktif terhadap perkembangan siswa.

6. Dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya

multi dimensi; di sini siswa belajar menerima kebenaran tidak tunggul. Siswa melihat awan yang sama di sebuah

kabupaten. Mereka akan melihatnya dari tempatnya berpijak. Jika ada sejumlah siswa yang melukiskan awan pada jam

yang sama dari tempat yangberjauhan, mereka akan melukiskannya berbeda-beda, semua benar tentang awan itu, benar

menjadi beragam.

7. Dari pembelajaran verbalisme menuju keterampilan aplikatif; pada waktu lalu pembelajaran berlangsung ceramah.

Segala sesuatu diungkapkan dalam bentuk lisan guru, fakta disajikan dalam bentuk informasi verbal, sekarang siswa harus

Page 3: Pendekatan Saintifik

lihat faktanya, gambarnya, videonya, diagaramnya, teksnya yang membuat siswa melihat, meraba, merasa dengan panca

indranya. Siswa belajar tidak hanya dengan mendengar, namun dengan menggunakan panca indra lainnya.

8. Peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hardskills) dan keterampilan mental (softskills); hasil

belajar pada rapot tidak hanya melaporkan angka dalam bentuk pengetahuannya, tetapi menyajikan informasi menyangku

perkembangan sikapnya dan keterampilannya. Keterampilan yang dimaksud bisa keterampilan membacan, menulis,

berbicara, mendengar yang mencerminkan keterampilan berpikirnya. Keterampilan bisa juga dalam bentuk aktivitas dalam

menghasilkan karya, sampai pada keterampilan berkomunikasi yang santun, keterampilan menghargai pendapat dan yang

lainnya.

9. Pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan  dan pemberdayaan siswa sebagai pembelajar sepanjang

hayat; ini memerlukan guru untuk mengembangkan pembiasaan sejak dini untuk melaksanakan norma yang baik sesuai

dengan budaya masyarakat setempat, dalam ruang lingkup yang lebih luas siswa perlu mengembangkan kecakapan

berpikir, bertindak, berbudi sebagai bangsa, bahkan memiliki kemampuan untuk menyesusaikan dengan dengan

kebutuhan beradaptasi pada lingkungan global. Kebiasaan membaca, menulis, menggunakan teknologi, bicara yang

santun  merupakan aktivitas yang tidak hanya diperlukan dalam budaya lokal, namun bermanfaat untuk berkompetisi

dalam ruang lingkup global.

10. 10.    Pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan (ing ngarso sung tulodo), 

membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan mengembangkan kreativitas siswa dalam proses

pembelajaran (tut wuri handayani); di sini guru perlu menempatkan diri sebagai fasilitator yang dapat menjadi teladan,

meberi contoh bagaimana hidup selalu belajar, hidup patuh menjalankan agama dan prilaku baik lain. Guru di depan jadi

teladan, di tengah siswa menjadi teman belajar, di belakang selalu mendorong semangat siswa tumbuh mengembangkan

pontensi dirinya secara optimal.

11. Pembelajaran berlangsung di rumah, di sekolah, dan di masyarakat; karena itu pembelajaran dalam kurikulum 2013

memerlukan waktu yang lebih banyak dan memanfaatkan ruang dan waktu secara integratif. Pembelajaran tidak hanya

memanfaatkan waktu dalam kelas.

12. Pembelajaran menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja adalah siswa, dan di mana saja adalah

kelas. Prinsip ini menadakan bahwa ruang belajar siswa tidak hanya dibatasi dengan dinding ruang kelas. Sekolah dan

lingkungan sekitar adalah kelas besar untuk siswa belajar. Lingkungan sekolah sebagai ruang belajar yang sangat ideal

untuk mengembangkan kompetensi siswa. Oleh karena itu pembelajaran hendaknya dapat mengembangkan sistem yang

terbuka.

13. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (tIK) untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran;

di sini sekolah perlu meningkatkan daya guru dan siswa untuk memanfaatkan TIK. Jika guru belum memiliki kapasitas

yang mumpuni siswa dapat belajar dari siapa pun. Yang paling penting mereka harus dapat menguasai TIK sebabab

mendapatkan pelajaran dengan dukungan TIK atau tidak siswa tetap akan menghadapi tantangan dalam hidupnya menjadi

pengguna TIK. Jika sekolah tidak memfasilitasi pasti daya kompetisi siswa akan jomplang daripada  siswa yang

memeroleh pelajaran menggunakannya.

14. Pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya siswa; cita-cita, latar belakang keluarga, cara

mendapat pendidikan di rumah, cara pandang, cara belajar, cara berpikir, keyakinan siswa berbeda-beda. Oleh karena itu

pembelajaran harus melihat perbedaan itu sebagai kekayaan yang potensial dan indah jika dikembangkan menjadi

kesatuan yang memiliki unsur keragaman. Hargai semua siswa, kembangkan kolaborasi, dan biarkan siswa tumbuh

menurut potensinya masing-masing dalam kolobarasi kelompoknya.

Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Evektif, dan Menyenangkan

Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Evektif, dan Menyenangkan (PAIKEM) adalah merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran yang dilakukan dengan menerapkan multi metode, multi media dan melibatkan multi aspek (logika, praktika, estetika, dan etika). Oleh sebab itu dalam proses pembelajarannya dapat memanfaatkan lingkungan sekitar, sehingga proses pembelajarannya tidak hanya dilakukan di dalam kelas melainkan dapat juga di luar kelas (Depdiknas: 2006).

Page 4: Pendekatan Saintifik

Dalam praktiknya proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan PAIKEM mengacu kepada prinsip “joyful learning, mastery learning, quantum learning, empowering dan continuous improvement”. Untuk mencapai prinsip tersebut guru harus mendesain proses pembelajarannya mengacu kepada kebutuhan pelanggan. Fungsi guru dalam pembelajaran menganut sistem “Tut wuri handayani, Ing madya mangun karso, Ing ngarso sung tulodo”.

Dengan prinsip joyful learning guru harus mampu mengemas proses pembelajaran semenarik mungkin bagi para siswanya, sehingga siswa selalu bergairah dalam mengikuti pembelajaran yang disampaikan oleh gurunya. Prinsip mastery learning, menuntut guru sedini mungkin mengetahui sudah sejauh mana siswa telah menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Dengan kata lain siswa dituntut untuk mencapai ketuntasan belajar. Oleh sebab itu jika dalam situasi tertentu siswa belum mencapai standar ketuntasan belajar yang telah ditetapkan oleh sekolah, maka guru harus segera melakukan tindak lanjut, yaitu melakukan kegiatan remidial.

Quantum learning merupakan seperangkat metode dan falsafah belajar dengan memberikan sugesti kepada para siswa (Bobbi dePorter dan Mike Hernacki:2003). Prinsipnya adalah bahwa dengan sugesti dapat mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detail apapun memberikan sugesti positif maupun negatif. Sugesti positif dapat dilakukan dengan mendudukkan murid secara nyaman , memasang musik latar di dalam kelas , meningkatkan partisipasi individu, menggunakan poster-poster untuk memberi kesan besar sambil menonjolkan informasi. Lingkungan belajar yang diperlukan dalam quantum learning adalah lingkungan yang positif, aman,mendukung, santai, penjelajahan, dan menggembirakan. Sedangkan suasana yang diperlukan yaitu suasana yang nyaman, cukup penerangan, enak dipandang, dan ada musiknya.

Dalam menerapkan prinsip empowering guru harus mau memberikan kepercayaan pada siswa untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kompetensi dasar yang hendak dicapai. Siswa jangan dikekang atau dibatasi dengan ketentuan-ketentuan yang kaku. Pemberian kepercayaan ini tidak hanya berkaitan dengan tugas-tugas yang harus diselesaikan siswa, melainkan termasuk juga memberikan penilaian terhadap pekerjaannya sendiri.

Sedangkan prinsip continuous improvement adalah prinsip pendekatan PAIKEM yang menuntut guru untuk selalu memantau kemajuan siswa. Dengan PAIKEM hendaknya kompetensi siswa selalu tumbuh berkembang. Untuk mengetahui perkembangan kompetensi siswa tersebut tidak ada jalan lain kecuali dengan melakukan evaluasi secara kontinu dan berkelanjutan.

Dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut fungsi guru sesuai dengan PP 19 tahun 2005 adalah guru sebagai fasilitator, motivator, dan inspirator. Sebagai fasilitator maksudnya yaitu guru dalam proses pembelajaran harus mampu memfasilitasi siswa selama dalam proses pembelajaran. Oleh sebab itu dalam proses pembelajaran guru tidak boleh hanya duduk manis di belakang meja guru, apalagi sampai ke luar kelas. Selama dalam proses pembelajaran guru harus selalu berkeliling memonitor siswa dalam menyelesaikan tugas-tugasnya, dan apabila ditemui siswa yang tidak mampu menyelesaikan maka guru harus membantunya dengan jalan menjelaskan materi yang belum dikuasai siswa tersebut.

Dalam proses pembelajaran sering ditemui siswa cenderung pasif serta tidak mau ikut berpartisipasi. Bila ditemui hal yang demikian maka sebagai motivator guru harus mampu memotivasi siswa untuk selalu bersemangat dalam mengikuti pembelajaran hingga pada akhir kegiatan siswa mampu mencapai kompetensi yang dipelajari pada hari tersebut. Sedangkan sebagai inspirator dalam proses pembelajaran guru harus mampu menggali dan mengembangkan inspirasi yang telah dimiliki siswa. Sehingga siswa dapat secara optimal menunjukkan kemampuannya.

Sumber : PAIKEM

Beberapa Tips dari Guru Finlandia

Bulan lalu saya menghadiri Education Forum di FinnFest USA 2013 di Hancock, Michigan. Pembicara utama Dr. Pasi Sahlberg, ahli pendidikan terkemua saat ini, penulis buku Finnish Lessons: What We Can Learn From Educational Change in Finland? Pembicara-pembicara lainnya beragam mulai dari profesor-profesor pendidikan Finlandia dan AS, serta guru-guru Finlandia. Dalam tulisan ini saya hendak berbagi cerita guru-guru Finlandia tentang pengajaran yang mereka lakukan.

Kita semua tentu sudah pernah mendengar sedikit banyak informasi tentang kemajuan pendidikan di FInlandia. Berbanding terbalik dengan kebanyakan negara dengan performa hebat lainnya seperti Korea Selatan, Cina, atau Singapura, siswa-siswa Finlandia tidak stres akut dengan beban ujian sekolah, dan secara umum menghabiskan waktu belajar yang lebih sedikit. Siswa-siswa Finlandia juga tidak disibukkan dengan les ini dan itu, apalagi bimbel.

Proses belajar mengajar terkesan lebih bersahabat baik bagi siswa, guru, sekolah dan orang tua. Kenapa ya? Kenapa di Finlandia terjadi paradoks, yang diistilahkan oleh Dr. Pasi Sahlberg dengan istilah “teach less, learn more.” Banyak perspektif yang bisa kita gunakan dalam menjawab pertanyaan ini. Kali ini saya ingin melihat secercah jawabannya dari informasi yang diberikan oleh para guru Finlandia dalam Education Forum tersebut.

Pertama, penekanan pada pentingnya waktu bermain bagi anak di sekolah. Mungkin terdengar aneh bagi kita, tapi para guru Finlandia percaya bahwa bermain dapat membantu meningkatkan performa akademik siswa. Rumus yang mereka gunakan: dalam 1 jam harus dialokasikan 15 menit waktu bermain untuk anak. Bermain yang mereka maksud adalah bermain bebas di luar kelas, dimana anak menentukan apa dan bagaimana permainan yang mereka lakukan. Seringkali anak-anak justru menciptakan permainan baru sesuai dengan imajinasi yang ada di kepala mereka. Karena itu kegiatan bermain bebas ini merangsang kreatifitas, keterampilan sosial, kolaborasi dan kepemimpinan disamping anak-anak juga bergerak secara fisik. Ini dipercayai mampu merangsang otak untuk tumbuh dan berkembang dengan seimbang sehingga membantu performa akademik. Sekitar 20% waktu anak di sekolah dialokasikan untuk bermain

Page 5: Pendekatan Saintifik

bebas. Prinsipnya: “The children can’t learn if they don’t play. The children must play.” Dan waktu bermain ini tentunya di luar alokasi waktu mata pelajaran olahraga.

Kedua, penekanan pada pentingnya kreatifitas. Menurut guru Finlandia mata pelajaran terpopuler di kalangan siswa Finlandia adalah art and craft terutama kerajinan kayu (woodwork). Di sebuah presentasi salah seorang guru Finlandia memaparkan jumlah jam per mata pelajaran di sekolah dasar. Ternyata total waktu untuk Art and Craft sebesar 180 menit per minggu, lebih banyak dari matematika yang memakan waktu 135 menit perminggu (Sebagai catatan pembelajaran bahasa yang paling besar alokasi waktunya, hingga 315 menit per minggu). Kenapa demikian? Karena kreatifitas dianggap sangat penting, maka mata pelajaran art and craft diposisikan pada urutan atas pula.

Ketiga, cukup lazim di sekolah-sekolah Finlandia bahwa guru mengajar kelompok siswa yang sama selama beberapa tahun, bahkan ada yang bisa selama keseluruhan 6 tahun di sekolah dasar. Dengan cara ini guru bisa lebih mengenal siswanya dan menyesuaikan cara penyampaian pelajaran. Guru juga dapat memantau perkembangan akademik, sosial dan emosionalnya dengan lebih baik.

Secara umum ide-ide dan praktik-praktik pengajaran di sekolah-sekolah Finlandia ini tidaklah asing lagi dalam ilmu pendidikan mutakhir. Dan memang demikian adanya. Para guru Finladia ini mengatakan bahwa mereka senantiasa terus belajar dari perkembangan-perkembangan riset ilmu pendidikan. Mereka pun mengadaptasi hasil-hasil riset tersebut sesuai konteks yang mereka miliki, dan terus menganalisis sejauh mana ide-ide tersebut dapat membantu meningkatkan kualitas proses belajar mengajar. Sepertinya mereka percaya bahwa jika pembelajaran dilakukan dengan cara-cara terbaik sesuai ilmu pengetahuan yang ada, dan jika hal ini dilaksanakan dengan konsisten, maka hasil pembelajaran, diuji dengan cara apapun, akan ikut baik. Rupanya ini salah satu rahasia di balik ”teach less, and learn more” ala Finlandia tersebut

Prinsip pembelajaran  pada kurikulum 2013 menekankan perubahan paradigma yaitu:

 (1) peserta didik diberi tahu menjadi peserta didik mencari tahu;

 (2) guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis

      aneka sumber belajar; 

 (3) pendekatan  tekstual  menjadi pendekatan  proses  sebagai   

      penguatan penggunaan  pendekatan ilmiah;

 (4) pembelajaran  berbasis  konten  menjadi  pembelajaran  berbasis kompetensi;

 (5) pembelajaran parsial menjadi pembelajaran terpadu;

 (6) pembelajaran  yang  menekankan  jawaban  tunggal  menjadi 

      pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi;

 (7) pembelajaran verbalisme menjadi keterampilan aplikatif;

 (8)eningkatan dan keseimbangan antara keterampilan  fisikal   

     (hardskills) dan keterampilan  mental (softskills);

 (9) pembelajaran  yang  mengutamakan  pembudayaan dan pemberdayaan 

      peserta didik   sebagai pebelajar sepanjang hayat;

 (10) pembelajaran  yang  menerapkan  nilai-nilai  dengan  memberi 

        keteladanan (ing  ngarso sung  tulodo), membangun kemauan 

        (ing  madyo mangun  karso),  dan  mengembangkan

      kreativitas  peserta  didik  dalam proses pembelajaran (tut wuri handayani);

 (11) pembelajaranyang  berlangsung  di  rumah,  di  sekolah,  dan  di masyarakat;

 (12) pembelajaran  yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru, 

       siapa saja adalah siswa, dan di mana saja adalah kelas;

(13) pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan

       efisiensi dan efektivitas pembelajaran; dan

(14) pengakuan  atas perbedaan  individual dan  latar  belakang budaya 

      peserta didik.

 Sumber :subdit pembelajaran Dit PSMA Jkt